• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor faktor yang mempengaruhi migrasi kerja nelayan ke non nelayan di muara angke, kelurahan pluit, kecamatan penjaringan, jakarta utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor faktor yang mempengaruhi migrasi kerja nelayan ke non nelayan di muara angke, kelurahan pluit, kecamatan penjaringan, jakarta utara"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

MIGRASI KERJA NELAYAN KE NON NELAYAN

DI MUARA ANGKE, KELURAHAN PLUIT,

KECAMATAN PENJARINGAN, JAKARTA UTARA

OLEH:

BUDI DHARMA SUDHAWASA C04400063

PROGRAM STUDI

MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN - KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi:

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MIGRASI KERJA NELAYAN KE NON NELAYAN DI MUARA ANGKE, KELURAHAN PLUIT, KECAMATAN PENJARINGAN, JAKARTA UTARA

Adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapunkepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2006

(3)

ABSTRAK

BUDI DHARMA SUDHAWASA. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Migrasi Kerja Nelayan ke Non Nelayan di Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Dibimbing oleh YATRI INDAH KUSUMASTUTI dan MOCH. PRIHATNA SOBARI.

Migrasi kerja adalah perpindahan kerja tanpa memperhatikan adanya perpindahan secara geografis. Migrasi kerja ini dilakukan sebagai respon individu atau kelompok

(4)

DI MUARA ANGKE, KELURAHAN PLUIT,

KECAMATAN PENJARINGAN, JAKARTA UTARA

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

OLEH:

BUDI DHARMA SUDHAWASA C04400063

PROGRAM STUDI

MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN - KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(5)

Judul : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Migrasi Nelayan ke Non Nelayan di Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Nama : Budi Dharma Sudhawasa

NRP : C04400063

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M.Si. Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S. NIP. 131956692 NIP. 131578826

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, M.Sc. NIP. 130805031

(6)

Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Migrasi Kerja Nelayan ke Non Nelayan di Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis kepada:

1) Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M.Si., dan Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S., selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya.

2) Ir. Narni Farmayanti, M.Sc., dan Etty Eidman, S.H., selaku dosen penguji atas masukan dan sarannya terhadap perbaikan skripsi.

3) Bapak H. Wasroh dan Bapak H. Madumar yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data-data yang dibutuhkan selama penelitian, serta kepada seluruh responden yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan.

4) Papa dan Mama tersayang atas doa, pengertian, serta kesabarannya; Ci Sin Hwa dan Ci Mei-mei atas semua bantuan dan dukungannya; Rina atas rasa sayang, motivasi, dan semangatnya.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2006

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 19 November 1982 dari Ayah Tan Tek Tjeng dan Ibu Lay Oen Niang. Penulis adalah putra ketiga dari tiga bersaudara.

(8)

Halaman

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Migrasi Kerja ... 6

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Migrasi ... 8

2.3 Nelayan ... 11

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI ... 13

IV. METODOLOGI ... 15

4.1 Metode Penelitian ... 15

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 15

4.2.1 Jenis Data ... 15

4.2.2 Sumber Data ... 16

4.3 Metode Penentuan Responden ... 16

4.4 Analisis Data ... 17

4.5 Definisi ... 17

4.6 Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 19

5.1.1 Letak dan Keadaan Geografis ... 19

5.1.2 Kependudukan ... 19

5.1.2.1 Jumlah dan Komposisi Penduduk ... 19

5.1.2.2 Tingkat Pendidikan ... 20

5.1.3.3 Keadaan Perumahan dan Kesehatan ... 25

5.1.4 Keadaan Umum Perikanan ... 26

5.1.4.1 Musim dan Daerah Penangkapan ... 26

5.1.4.2 Jenis Perahu atau Kapal ... 27

5.1.4.3 Jenis Alat Penangkapan Ikan ... 28

(9)

Halaman

5.2 Profil Responden ... 32

5.2.1 Umur Responden ... 32

5.2.2 Lama Responden Tinggal di Muara Angke ... 33

5.2.3 Pendidikan Responden ... 34

5.2.4 Jumlah Tanggungan Responden ... 34

5.3 Gambaran Umum Perpindahan Kerja ... 35

5.4 Jenis dan Karakteristik Pekerjaan Responden ... 37

5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Migrasi Kerja ... 38

5.5.1 Faktor-faktor Pendorong Migrasi Kerja ... 39

5.5.1.1 Jam Kerja Sebelum Migrasi Kerja ... 40

5.5.1.2 Tingkat Pendidikan Responden ... 42

5.5.1.3 Pengalaman Kerja Sebelum Alih Profesi ... 43

5.5.1.4 Jumlah Tanggungan Keluarga ... 45

5.5.1.5 Pendapatan Sebelum Alih Profesi ... 46

5.5.2 Faktor-faktor Penarik Migrasi Kerja ... 48

5.5.2.1 Pendapatan Setelah Alih Profesi ... 48

5.5.2.2 Tingkat Kenyamanan Kerja Setelah Migrasi Kerja ... 50

5.5.3 Perbandingan Faktor-faktor Pendorong dan Penarik Migrasi Kerja ... 51

5.5.3.1 Perbandingan Jenis Pekerjaan dan Durasi Kerja Sebelum dan Sesudah Migrasi Kerja ... 51

5.5.3.2 Perbandingan Tingkat Pendapatan Rata-rata per Bulan Sebelum dan Sesudah Migrasi terhadap Jumlah Tanggungan Keluarga ... 53

5.5.3.3 Perbandingan Produktivitas Kerja Sebelum dan Sesudah Alih Profesi ... 54

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

6.1 Kesimpulan ... 57

6.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(10)

Halaman

1. Jumlah dan Komposisi Penduduk di Muara Angke, tahun 2005 ... 20

2. Persentase Tingkat Pendidikan di Muara Angke, tahun 2005 ... 20

3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Matapencahariaan di Kelurahan Pluit, tahun 2005 ... 21

4. Jumlah Penganut Agama, tahun 2005 ... 22

5. Berbagai Fasilitas Umum di Muara Angke, tahun 2004 ... 22

6. Jenis-jenis Pendidikan Formal di Kelurahan Pluit, tahun 2004 ... 23

7. Jenis-jenis Pendidikan Non Formal di Kelurahan Pluit, tahun 2004 ... 24

8. Sarana Peribadatan di Kelurahan Pluit, tahun 2004 ... 24

9. Berbagai Fasilitas Kesehatan di Kelurahan Pluit, tahun 2004 ... 26

10. Frekuensi Masuknya Kapal Motor dan Perahu Motor Tempel di PPI Muara Angke, tahun 2003 ... 27

11. Jenis Alat Penangkapan Ikan di Muara Angke, tahun 2003 ... 29

12. Jumlah Responden Berdasarkan Penggolongan Umur, tahun 2005 ... 32

13. Jumlah Responden Berdasarkan Penggolongan Lamanya Waktu Menetap, tahun 2005 ... 33

14. Jumlah Responden Berdasarkan Penggolongan Tingkat Pendidikan, tahun 2005 ... 34

15. Jumlah Responden Berdasarkan Penggolongan Kelompok Tanggungan Keluarga, tahun 2005 ... 35

16. Gambaran Umum Perpindahan Kerja Responden, tahun 2005 ... 36

17. Alasan Melakukan Perpindahan Kerja, tahun 2005 ... 39

18. Jenis Pekerjaan dan Durasi Kerja Sebelum Migrasi Kerja, tahun 2005 ... 41

19. Jumlah Durasi Kerja dan Tingkat Pendapatan Rata-rata Responden per Bulan Sebelum Migrasi, tahun 2005 ... 42

20. Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan Rata-rata Responden per Bulan Sebelum Migrasi, tahun 2005 ... 43

21. Lamanya Pengalaman Kerja Sebelum Responden Melakukan Migrasi Kerja, tahun 2005 ... 44

(11)

Halaman 23. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden dan Tingkat Pendapatan Rata-rata

per Bulan Sebelum Migrasi, tahun 2005 ... 45 24. Jenis Pekerjaan, Pendapatan, Durasi Kerja, dan Produktivitas Responden

Sebelum Migrasi Kerja, tahun 2005 ... 47 25. Jenis Pekerjaan, Pendapatan, Durasi Kerja, dan Produktivitas Responden

Setelah Migrasi Kerja, tahun 2005 ... 49 26. Kondisi Durasi Kerja Responden Setelah Alih Profesi, tahun 2005 ... 50 27. Perbandingan Jenis Pekerjaan dan Durasi Kerja Sebelum dan Sesudah

Migrasi Kerja, tahun 2005 ... 52 28. Pengaruh Jumlah Tanggungan Keluarga Responden terhadap Tingkat

(12)
(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Sketsa Lokasi Penelitian ... 62 2. Gambar Foto Udara Kondisi Existing Kawasan Angke ... 63 3. Tabel Hasil Kuisioner Para Responden ... 64 4. Tabel Hasil Perbandingan Kondisi-kondisi Sebelum dan Sesudah Migrasi

(14)

1.1 Latar Belakang

Indonesia menganut trilogi pembangunan yang terdiri atas pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Di masa orde baru, sektor pertanian menjadi unggulan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Memasuki era reformasi, masyarakat semakin menyadari akan potensi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri atas banyaknya pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan 5,8 juta km2 laut atau 70 % dari luas total Indonesia. Keadaan ini menjadikan sektor perikanan dan kelautan memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi di saat sekarang ini.

Kenyataan di lapangan berkata lain, karena banyak nelayan Indonesia yang pindah profesi ke sektor industri, jasa dan pekerjaan lain yang bahkan tidak berhubungan dengan kegiatan menangkap ikan di perairan umum. Krisis ekonomi besar-besaran yang terjadi pada tahun 1998, yang ditandai dengan inflasi dan tingkat suku bunga yang tinggi, merupakan salah satu penyebab kondisi ini, yang mengakibatkan banyaknya usaha-usaha menjadi bangkrut dan tidak sedikit orang yang kehilangan pekerjaannya, dalam hal ini termasuk para nelayan pemilik kapal dan ABK (anak buah kapal), sehingga menimbulkan pengangguran besar-besaran. Kondisi ini menjadi semakin parah dengan adanya kenaikan harga BBM secara bertahap dalam hal ini solar dan minyak tanah, sehingga semakin memberatkan kehidupan sebagai nelayan. Hal ini merupakan beberapa pemicu terjadinya perpindahan kerja.

Hal yang kontradiksi terjadi di sini, yaitu di satu sisi potensi perikanan dan kelautan Indonesia sangat besar, dan di sisi lain nelayan banyak yang

(15)

2

adalah pemanfaatan sumberdaya laut yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan yang dilakukan oleh nelayan besar dengan menggunakan alat-alat yang relatif lebih modern, sehingga menyebabkan banyaknya nelayan kecil dengan peralatan yang relatif masih tradisional sering tidak mendapatkan hasil tangkapan yang sepadan dengan usaha yang dikeluarkannya.

Muara Angke adalah salah satu kawasan pengembangan ekonomi di sektor perikanan dan kelautan sebagai daerah pendaratan ikan yang dekat dengan

Kepulauan Seribu, sehingga menjadi pusat transitnya kapal-kapal penangkap ikan. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta (2004), ada berbagai macam fasilitas yang dibuat untuk menunjang kegiatan operasional perikanan di Muara Angke sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), yaitu Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Cold Storage, Tempat Pengecer Ikan, Unit Pengepakan Ikan, Pujaseri (pusat jajanan serba ikan) Masmurni, dan Stasiun Pengoperasian Bahan Bakar Umum (SPBU) Dwifungsi. Adanya TPI semakin memudahkan nelayan untuk langsung menjual hasil-hasil tangkapannya. Selain fasilitas seperti TPI, adanya tempat Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) yang dilakukan oleh masyarakat Muara Angke memudahkan nelayan untuk memasarkan dan mengolah hasil

tangkapannya, mengingat produk perikanan yang mudah rusak.

(16)

Ketersediaan berbagai fasilitas yang dibuat untuk menunjang kegiatan operasional Pelabuhan Perikanan dan PPI Muara Angke, tidak memberikan jaminan akan kehidupan yang lebih baik bagi para nelayan. Adanya berbagai kesulitan seperti, masa paceklik yang setiap tahun selalu dialami oleh nelayan, penghasilan yang serba tidak pasti, resiko kematian saat menangkap ikan di laut yang menimpa para nelayan, membuat para nelayan berusaha keluar dari

lingkaran itu dan menyadari bahwa kehidupan sebagai nelayan adalah tidak pasti. Adanya dua hal yang kontradiktif antara potensi kelautan yang melimpah dengan kemiskinan nelayan yang sampai saat ini masih terjadi, khususnya di Muara Angke sebagai pangkalan pendaratan ikan (PPI), menimbulkan keingintahuan secara pasti mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi migrasi kerja di Muara Angke.

1.2 Perumusan Masalah

Muara Angke adalah salah satu daerah di Provinsi DKI Jakarta yang cukup berpotensi dalam pengembangan usaha perikanan, mengingat tempatnya yang tidak jauh dari daerah penangkapan, seperti Kepulauan Seribu dan beberapa daerah penangkapan lainnya. Keberadaan Pangkalan Pendaratan Ikan,

menyebabkan banyak nelayan dari berbagai daerah memilih tinggal sementara ataupun menetap di Muara Angke dan melakukan perkawinan dengan penduduk setempat. Perbedaan daerah asal antar nelayan di Muara Angke, menimbulkan perbedaan pola hidup dan tingkah laku, sehingga kebutuhan masing-masing nelayan menjadi berbeda-beda.

(17)

4

maka tidak jarang jika banyak orang yang berpindah profesi dan menjadikan pekerjaan sampingannya sebagai pekerjaan tetap seumur hidup.

Kondisi ini terjadi juga pada nelayan khususnya di Muara Angke, yang dalam beberapa kasus sering disebutkan bahwa pada masa paceklik, para nelayan terpaksa menjual barang-barang pribadi, seperti TV, kulkas, radio, bahkan tidak sedikit yang berhutang pada tengkulak. Keadaan ini merupakan salah satu dari berbagai alasan yang memaksa nelayan untuk melakukan mobilitas kerja menjadi non nelayan. Selain sebagai sebuah paksaan, keadaan ini juga dipandang oleh kelompok nelayan tertentu di Muara Angke sebagai peluang emas untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, dan tidak perlu merasa tergantung kepada tengkulak, serta semua kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan selama menjadi nelayan. Sebenarnya, para nelayan pun menyadari bahwa keputusan untuk memulai sebuah usaha baru memang tidak mudah dan memiliki banyak pertimbangan, tetapi hanya orang-orang yang berani mengambil resiko demi kehidupan yang lebih baik di masa depan yang bisa survive dalam menghadapi tantangan dalam hidup ini. Berdasarkan survei pendahuluan, ternyata masalah migrasi kerja dari nelayan ke non nelayan juga terjadi di Muara Angke. Berdasarkan uraian di atas, masalah yang ditelaah di Muara Angke adalah:

1) Apa saja jenis pekerjaan yang dimasuki oleh para eks nelayan? Bagaimana karakteristik pekerjaan tersebut?

2) Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan untuk melakukan migrasi kerja?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang dimasuki oleh para eks nelayan serta karakteristik pekerjaan tersebut.

(18)

Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk: 1) Sebagai salah satu syarat kelulusan bagi mahasiswa Program Studi

Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan - Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2) Memberikan informasi dan menambah wawasan bagi para pembaca tentang berbagai hal yang menyebabkan nelayan melakukan migrasi kerja.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Migrasi Kerja

Migrasi kerja merupakan reaksi atas tekanan interaksi faktor-faktor positif, negatif dan netral (Hugo 1981). Suryana (1979) menyatakan tekanan itu berupa tekanan fisik, ekonomi, sosial, atau budaya, yang mana pergerakan itu didorong oleh keinginan untuk mendapatkan perbaikan tingkat hidup. Suryana (1979) lebih lanjut menyatakan bahwa mobilitas kerja diartikan sebagai perpindahan matapencaharian tanpa memperhatikan adanya perpindahan geografis.

Sumaryanto dan Sudaryanto (1989) menyatakan bahwa mobilitas kerja atau kecenderungan migrasi, baik komutasi maupun sirkulasi, dipengaruhi oleh faktor demografis (usia muda dan jumlah anggota keluarga berpengaruh positif), ekspektasi pendapatan di daerah asal (ekspektasi rendah berpengaruh negatif), dan kualitas sumberdaya (kualitas berpengruh negatif). Tujuan komutasi (jenis

mobilitas tenaga kerja yang dilakukan dengan cara pulang pergi setiap hari kerja) dan sirkulasi (mobilitas yang dilakukan oleh tenaga kerja yang menginap di daerah tujuan, tetapi basis rumah tinggal tetap di daerah asal) adalah untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Sumaryanto dan Sudaryanto (1989) lebih lanjut menyatakan bahwa migrasi terutama disebabkan oleh faktor ekonomi, seperti tarikan upah yang lebih tinggi dan keinginan untuk mengisi waktu luang di saat-saat tidak melaut.

Para migran umumnya berpendidikan lebih baik, memiliki ketrampilan yang lebih baik demikian pula motivasi untuk maju lebih besar. Ini digambarkan dengan kesediaan para migran menanggung resiko, walaupun biaya (costs) sebagian besar ditanggung sendiri, meskipun keuntungan masih lebih bersifat harapan (Poeloengan 2003).

Sjaastad (1962); Bodenhofer (1967) diacu dalam Poeloengan (2003), mendekati migrasi lewat teori human investment, dimana migrasi adalah suatu investasi sumberdaya manusia yang menyangkut biaya-biaya dan

(20)

2) Pendapatan yang hilang (earning forgone) 3) Ketidaknyamanan di lingkungan kerja yang baru

4) Psychic costs (biaya psikhis) karena berbagai ketidaknyamanan tersebut. Keuntungan yang diperoleh adalah pendapatan yang lebih baik yang diperoleh di daerah baru nantinya. Poeloengan (2003) menyatakan bahwa pendapatan yang dimaksud tersebut dalam bentuk expected income (pendapatan yang diharapkan). Pernyataan ini juga diperkuat oleh penelitian Ginting (1994) mengenai analisis faktor penentu keputusan mobilitas kerja sektor pertanian ke non pertanian, dimana pendapatan yang diharapkan berpengaruh nyata pada α = 10%, selain usia dan jumlah beban tanggungan keluarga yang juga berpengaruh nyata pada nilai tersebut. Todaro (1992) menyatakan bahwa perbedaan tingkat upah sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan mobilitas kerja, sedangkan faktor demografi seperti usialah yang berpengaruh terhadap keputusan migrasi kerja.

Dari uraian di atas dengan jelas beberapa ahli migrasi menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap keputusan untuk bermigrasi adalah pendapatan yang diharapkan diperoleh di daerah baru. Tentunya tingkat pendapatan di daerah kerja tujuan migran tadi diharapkan lebih tinggi

dibandingkan daerah asal. Secara spesifik Pernia (1977) diacu dalam Poeloengan (2003), menemukan tingkat pendapatan migran lebih tinggi 16,35% dari tingkat pendapatan non migran. Hal ini memberikan gambaran mikro bahwa dengan melakukan migrasi, para migran mendapatkan pendapatan dan kesejahteraan yang lebih baik dibanding yang tidak bermigrasi.

Migrasi kerja ini juga terjadi di Kelurahan Kali Baru, Jakarta Utara (Maria 1996), dimana migrasi yang dilakukan para nelayan lebih didorong oleh beberapa sebab, yaitu tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan tingkat

pendapatan nelayan, dimana lebih dari 50% nelayan yang melakukan migrasi kerja menyatakan bahwa kondisi perumahan dan kondisi sosial ekonominya mengalami peningkatan.

(21)

8

wilayah. Adanya migrasi kerja yang menghasilkan pendapatan yang lebih baik, akan memberikan pengaruh pada konsumsi yang pada gilirannya akan

memberikan pengaruh pada variabel makro ekonomi lainnya.

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor pendorong (push factor) yang berupa situasi kelautan yang tidak sesuai bagi nelayan, dan faktor penarik (pull factor) yang berupa kondisi sektor lain yang lebih menarik (Erwidodo 1992).Sumaryanto dan Sudaryanto (1989) menyatakan bahwa faktor penarik dapat berupa

produktivitas yang lebih tinggi di tempat lain atau fasilitas lain yang

memungkinkan individu itu memperoleh kehidupan yang lebih baik, seperti jaminan hari tua yang lebih mapan, status sosial yang lebih tinggi, kenyamanan kerja yang lebih baik, sedangkan faktor pendorong umumnya berupa suatu set peubah yang menyebabkan individu tersebut merasa sulit memperbaiki taraf hidupnya di tempat asal, seperti pemilikan aset produktif yang sangat rendah, tingkat pendidikan yang semakin baik, pendapatan yang diharapkan kurang memadai, produktivitas kerja di tempat asal rendah. Kesempatan kerja di bidang perikanan yang luas merupakan hal yang menggiurkan pada jaman dulu, karena banyak nelayan yang berjaya, sehingga banyak orang yang ingin menjadi nelayan, tetapi pada kenyataannya dengan semakin berkembangnya teknologi dan tingkat penguasaan terhadap unit penangkapan serta modal, hanya nelayan-nelayan yang memiliki kreativitas tinggi dan modal yang memadailah yang bisa bertahan. Hal ini menyebabkan banyaknya nelayan-nelayan kecil kesulitan dalam menangkap ikan berhubung unit penangkapan yang masih tradisional, sehingga memaksa para nelayan kecil untuk segera melakukan migrasi kerja jikalau ingin terus bertahan hidup.

(22)

panen. Sayangnya kebanyakan nelayan kurang bisa memanfaatkan

penghasilannya untuk jangka panjang. Para nelayan lebih tertarik untuk membeli barang-barang seperti elektronik yang sebenarnya kurang dibutuhkan, juga tidak sedikit nelayan yang menghamburkan uangnya untuk berjudi, mabuk-mabukan dan menghabiskannya di tempat-tempat lokalisasi.

Menurut Munir (1981) diacu dalam LDFEUI (1981), faktor-faktor pendorong terdiri atas :

1) Makin berkurangnya sumber-sumber alam,

2) Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal akibat masuknya teknologi yang menggunakan mesin, dan

3) Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, SARA di daerah asal. Dan faktor-faktor penarik terdiri atas :

1) Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok,

2) Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik, dan 3) Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.

Pernyataan Munir (1981) di atas diperkuat oleh Yosephine (1989) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor penentu migrasi masuk dan migrasi keluar antar provinsi di Indonesia, menyimpulkan tingkat upah dan kemungkinan untuk memperoleh kesempatan kerja di daerah tujuan sebagai faktor penarik, sedangkan rendahnya tingkat upah di daerah asal sebagai faktor pendorong. Lee (1966) diacu dalam Yosephine (1989) mengatakan bahwa motif ekonomi merupakan motif utama seseorang pindah, dimana migran umumnya mengalir ke daerah yang aktivitas ekonominya sudah maju, yang mana tingkat industrialisasi juga memiliki peranan penting dalam proses migrasi. Lebih jauh Lee (1966) diacu dalam

Yosephine (1989) mengatakan bahwa tindakan migrasi merupakan tindakan rasional yang berdasar pada motivasi memaksimalkan kesejahteraan.

Utama (1994) dalam penelitiannya mengenai migrasi dari dan ke

(23)

10

1) Faktor-faktor fisik seperti banyaknya kota besar di suatu daerah yang mencerminkan tingkat aglomerasi, pemusatan kegiatan dan tersedianya infrastruktur fisik maupun sosial.

2) Faktor-faktor ekonomi seperti penanaman modal, tingkat upah, dan kesempatan kerja atau probabilitas memperoleh pekerjaan.

Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa rata-rata pengaruh di daerah tujuan lebih besar dibanding di daerah asal, yang mana penanaman modal adalah daya tarik utama bagi migrasi di Kawasan Timur Indonesia.

Ananta (1993) mengemukakan beberapa penyebab migrasi yaitu: 1) Keputusan pribadi calon migran

2) Keputusan pemerintah melalui program transmigrasi yang mana sebagai upaya untuk meningkatkan mutu modal manusia melalui peningkatan pendidikan.

Keputusan untuk bermigrasi juga ditentukan oleh produktivitas, dalam hal ini upah yang diharapkan dari daerah tujuan. Peningkatan mutu modal manusia (lewat pendidikan) merupakan salah satu kunci peningkatan produktivitas. Mobilitas penduduk akan berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas jika migran memiliki mutu modal manusia yang baik, dalam hal ini berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan si pekerja.

Lebih jauh Lee (1966) diacu dalam Ananta (1993) mengemukakan faktor-faktor penyebab pengambilan keputusan bermigrasi adalah sebagai berikut: 1) Faktor-faktor yang ada di daerah asal (faktor-faktor negatif) yaitu sempitnya

peluang usaha dan kesempatan kerja, upah yang rendah, tingginya biaya hidup, dan tingginya pajak,

2) Faktor-faktor yang ada di daerah tujuan (faktor-faktor positif) yaitu luasnya peluang usaha dan kesempatan kerja, upah yang tinggi, fasilitas sosial yang gratis atau murah, biaya hidup relatif rendah, adanya institusi ekonomi yang efisien,

(24)

2.3 Nelayan

Berdasarkan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang matapencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam kesehariannya, nelayan memiliki status yang membedakan posisi masing-masing nelayan itu sendiri. Menurut Hermanto (1986), ada lima macam status nelayan, yaitu:

1) Juragan darat, yaitu orang yang memiliki perahu dan alat tangkap tetapi tidak ikut dalam operasi penangkapan di laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil penangkapannya yang diusahakan orang lain. Biasanya juragan darat menanggung seluruh biaya operasi penangkapan.

2) Juragan darat-laut, yaitu orang yang memiliki perahu, alat tangkap, dan ikut dalam operasi penangkapan. Juragan ini juga menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit penangkapan.

3) Juragan laut, yaitu orang yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap, tetapi bertanggungjawab dalam operasi penangkapan di laut (nahkoda).

4) Buruh / pandega, yaitu orang yang tidak memiliki unit pengangkapan dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal. Buruh / pandega umumnya menerima bagi hasil penangkapan dan jarang menerima upah harian. 5) Anggota kelompok, bentuk usaha secara kelompok ini merupakan suatu

sistem kelembagaan baru dalam usaha penangkapan. Perahu yang diusahakan adalah perahu hasil pembelian dari modal yang dikumpulkan oleh tiap anggota kelompok. Pemimpin kelompok umumnya berfungsi sebagai juragan laut, sedangkan anggota kelompok berfungsi sebagai anak buah kapal.

(25)

12

langsung (seperti para penebar dan penarik jaring), maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) sebagai matapencaharian. Dalam buku Ensiklopedia Indonesia, ada tiga pengertian nelayan yaitu:

1) Nelayan Juragan, yaitu nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang mampu mengupah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan juragan memiliki sawah tadah hujan yang dikerjakan pada waktu tertentu saja. Nelayan juragan ada dua macam, yaitu : (1) nelayan juragan laut, bila ia masih aktif di laut, (2) nelayan juragan darat, bila ia sudah tua dan hanya mengendalikan usahanya dari daratan. Pihak lain yang memiliki perahu dan alat penangkap ikan tetapi bukan merupakan kaum nelayan asli, disebut tauke atau cukong.

2) Nelayan Pekerja, yaitu nelayan yang tidak punya alat produksi, tetapi hanya memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Dalam hubungan kerja antara nelayan pekerja dan nelayan juragan, berlaku perjanjian tak tertulis yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Dalam hal ini juragan berkewajiban mengutamakan bahan makanan dan kayu bakar untuk keperluan operasi penangkapan ikan. Jika nelayan pekerja memerlukan lagi bahan makanan untuk dapur keluarga yang ditinggalkannya selama berlayar, maka nelayan itu harus berhutang lagi pada juragan. Hasil penangkapan ikan di laut dibagi menurut pengaturan tertentu yang berbeda-beda dengan juragan yang

bersangkutan. Umumnya bagian nelayan pekerja selalu habis untuk membayar hutangnya.

(26)

Mobilitas kerja adalah perpindahan kerja dari angkatan kerja sebelumnya yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat tertentu, yang mana tidak diikuti perpindahan secara geografis. Migrasi kerja ini dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat tertentu untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan

keluarganya yang menjadi tanggungannya sebagai kepala keluarga, dengan cara berpindah pekerjaan. Hal ini juga dilakukan oleh sebagian masyarakat nelayan di Muara Angke dengan beralih profesi menjadi non nelayan seperti pedagang, pengolah ikan, tukang becak dan air, dan pengusaha rumah kontrakan.

(27)

14

Ket : --- : Batasan Penelitian

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Studi

Kondisi awal:

1. status pekerjaan 2. pendapatan

Faktor-faktor pendorong:

1. jam kerja sebelum migrasi.

2. pendapatan sebelum migrasi.

3. tingkat pendidikan sebelum migrasi. 4. banyaknya jumlah

tanggungan keluarga. 5. pengalaman sebelum

migrasi

Faktor-faktor penarik:

1. pendapatan sesudah migrasi.

2. kenyamanan bekerja.

Kondisi saat ini:

1. status pekerjaan 2. pendapatan

(28)

4.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus, dimana satuan kasusnya adalah para eks nelayan yang tinggal di RW 011 di Muara Angke. Menurut Maxfield (1930) diacu dalam Nazir (1988), studi kasus adalah penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subyek penelitian dapat saja berupa individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat. Penulis menggunakan metode studi kasus, karena penulis ingin mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang menjadi subjek. Nazir (1988) menyatakan bahwa studi kasus bertujuan untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat, serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian, dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Sevilla et.al (1993) menyatakan bahwa studi kasus juga berarti usaha pengumpulan data yang meliputi pengalaman-pengalaman masa lampau dan keadaan sekarang dari subyek yang diteliti, termasuk lingkungannya. Menurut Yin (2002), metode studi kasus merupakan metode yang dianggap tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan “bagaimana” dan “mengapa”, tepat bagi peneliti yang memiliki peluang kecil sekali atau tidak punya peluang sama sekali untuk

mengontrol peristiwa atau gejala sosial yang hendak diteliti, serta fokus penelitian adalah peristiwa atau gejala sosial kontemporer (masa kini).

4.2 Jenis dan Sumber data 4.2.1 Jenis data

(29)

16

4.2.2 Sumber Data

Data dilihat dari sumbernya ada dua, yaitu:

1) Data Primer, yaitu data yang didapat dengan cara mewawancara langsung responden atau informan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, dan melalui pengamatan secara langsung di lapangan. Data primer yang dicari berupa umur, tingkat pendidikan, status dalam keluarga, pendapatan, dan alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya migrasi kerja seperti jumlah tanggungan keluarga, jumlah jam kerja yang dibandingkan dengan total pendapatan yang diterima para responden, dan pengalaman kerja.

2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari lembaga atau instansi terkait yang berada di daerah penelitian, meliputi Kelurahan Pluit, Dinas Perikanan Jakarta Utara, dan UPTPKPI (Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pendaratan Ikan). Selain itu data sekunder juga didapat dari bahan bacaan yang berhubungan dengan obyek penelitian. Data sekunder yang dicari berupa data kependudukan mengenai pembagian jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencahariaan dari tahun ke tahun dan kondisi umum lokasi penelitian.

4.3 Metode Penentuan Responden

(30)

ketersediaan masyarakat non nelayan di lapangan untuk dijadikan sebagai

responden, mengingat jadwal kerja calon responden yang tidak menentu dan tidak ingin diganggu oleh siapapun ketika sedang beristirahat termasuk anggota

keluarganya sendiri.

4.4 Analisis Data

Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), dikatakan bahwa analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data yang telah diperoleh lalu diolah dan dianalisis melalui beberapa langkah, yaitu editing, tabulasi, dan analisis. Data yang telah diedit, disusun dalam tabel dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis perbandingan, mengingat hasil-hasil penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif.

4.5 Definisi

1) Nelayan adalah tenaga kerja yang pekerjaannya menangkap ikan, baik secara langsung (seperti para penebar dan penarik jaring), maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan, termasuk juragan kapal yang ikut melaut) di perairan Indonesia, seperti dari Teluk Jakarta sampai ke Kepulauan Seribu, Sumatera, bahkan sampai ke Lombok.

2) Matapencaharian non nelayan adalah matapencaharian di luar penangkapan ikan, termasuk di dalamnya pedagang ikan.

3) Jam kerja adalah waktu dengan satuan jam yang dicurahkan untuk mendapat penghasilan dalam satu hari, dimana waktu untuk mengurus rumah tangga tidak termasuk di dalamnya.

4) Migrasi kerja nelayan adalah perpindahan kerja dari profesi sebagai nelayan ke non nelayan yang tidak diikuti perpindahan geografis.

5) Pendapatan, yaitu penghasilan bersih yang diterima oleh responden dalam satuan rupiah setiap bulannya.

(31)

18

7) Pengalaman adalah lamanya waktu (dalam tahun) seseorang bekerja, baik sebagai nelayan maupun responden.

8) Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya jiwa yang dibiayai oleh responden tapi tidak termasuk responden itu sendiri.

9) Tingkat kenyamanan kerja dilihat dari jam kerja dan besarnya penghasilan yang diterima responden setelah melakukan migrasi kerja yang juga berdampak pada kepedulian responden terhadap pendidikan anak.

4.6 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian diadakan di kawasan Muara Angke, Kelurahan Pluit,

Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Pemilihan Muara Angke sebagai tempat penelitian didasarkan pada adanya mobilitas kerja yang memang benar-benar terjadi di sana. Penelitian dilakukan kurang lebih satu bulan yaitu pada bulan Juni tahun 2005.

(32)

5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian

5.1.1 Letak dan Keadaan Geografis

Pada tahun 1977, Muara Angke yang merupakan bagian dari Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, diresmikan sebagai pusat

pemukiman nelayan yang semula tersebar di berbagai lokasi Pantai Utara Jakarta dan menjadi pusat kegiatan perikanan tradisional di DKI Jakarta. Kelurahan Pluit terdiri atas 18 RW (Rukun Warga) dimana 2 RW diantaranya (RW 01 dan RW 11) adalah Muara Angke.

Secara geografis Kelurahan Pluit terletak antara 6º.06’50” - 6º.06’56” LS dan 106º.45’56” - 106º.46’28” BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: - Sebelah Utara : Laut Jawa

- Sebelah Timur : Jalan Karang Pluit - Sebelah Selatan : Kali Angke - Sebelah Barat : Kali Angke

Luas Kelurahan Pluit 771,19 Ha, dimana luas tanah daratnya 748,05 Ha dan luas tanah-tanah lainnya 23,14 Ha. Pengelolaan tanah dilakukan oleh PT Jakarta Propertindo untuk wilayah Muara Karang dan Pluit, sedangkan untuk wilayah Muara Angke dilakukan di bawah pembinaan Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara.

Secara geografis Muara Angke terletak pada posisi 106º.52’ BT dan 06º LS dengan luas 67 Ha dengan pengalokasian tanah: perumahan nelayan (21,266 Ha), pembibitan dan penelitian ikan (9,21 Ha), bangunan pusat pendaratan ikan serta fasilitas penunjang lainnya (5 Ha), hutan bakau (8 Ha), komplek pengolahan ikan (5 Ha), kapal (1,35 Ha), lahan kosong (6,7 Ha), pasar, bank, dan bioskop (1 Ha), serta terminal (2,57 Ha).

5.1.2 Kependudukan

5.1.2.1 Jumlah dan Komposisi Penduduk

(33)

20

8.079 jiwa (91,85%), dengan jumlah penduduk laki-laki di ke-2 RW (4.269 jiwa) lebih mendominasi dibanding jumlah penduduk wanita (3.810 jiwa). Ada juga penduduk dengan WNI keturunan sebanyak 717 jiwa (8,15%) dan tidak ada penduduk berkebangsaan asing yang tinggal disana. Secara lebih lengkap data jumlah dan komposisi penduduk di Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah dan Komposisi Penduduk di Muara Angke, tahun 2005.

RW

laki-laki perempuan laki-laki perempuan laki-laki perempuan

01 2.558 2.231 130 143 2.688 2.374

011 1.711 1.579 270 174 1.981 1.753

Jumlah 4.269 3.810 400 317 4.669 4.127

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Pluit, Mei 2005

Sex ratio adalah angka perbandingan jumlah penduduk laki-laki per 100 penduduk wanita (Rusli 1995). Sex ratio (rasio jenis kelamin) pada Tabel 1 bernilai 113, artinya untuk keseluruhan golongan umur di Muara Angke terdapat 113 laki-laki di antara 100 orang penduduk wanita. Angka sex ratio yang lebih besar dari 100 menunjukkan jumlah laki-laki lebih banyak dari jumlah

perempuan.

5.1.2.2 Tingkat Pendidikan

Secara umum pendidikan adalah dasar dari kemajuan suatu negara. Sistem pendidikan yang memadai dapat membantu perkembangan suatu daerah karena pola berpikir maju dibentuk oleh sistem pendidikan. Berdasarkan data bulanan dari Kantor Kelurahan Pluit (2005), tingkat pendidikan di Muara Angke

dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTP, dan tamat SMU. Jumlah penduduk tidak tamat SD adalah 616 orang, tamat SD 4.398 orang, tamat SLTP 2.639, dan tamat SMU 1.143 orang. Persentase tingkat pendidikan penduduk di Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 2.

(34)

membutuhkan pendidikan formal yang tinggi, melainkan bertumpu pada kekuatan, kemampuan (skills), dan naluri.

Tabel 2. Persentase Tingkat Pendidikan Penduduk di Muara Angke, tahun 2005. No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Tidak Tamat SD 616 7

2 Tamat SD 4.398 50

3 Tamat SLTP 2.639 30

4 Tamat SMU 1.143 13

Total 8.796 100

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Pluit, Mei 2005

5.1.2.3 Matapencaharian

Selain sebagai salah satu pusat pendaratan ikan yang ada di wilayah Jakarta Utara, Muara Angke juga merupakan pusat aktivitas kegiatan perikanan tradisional. Hal ini menggambarkan berbagai macam matapencaharian masyarakat di Muara Angke. Tabel 3 menunjukkan status pekerjaan dan jumlah penduduk yang ada di Kelurahan Pluit termasuk Muara Angke. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jenis pekerjaan sebagai pedagang / wiraswasta sebanyak 14.018 jiwa lebih diminati masyarakat di Kelurahan Pluit dibanding jenis pekerjaan lainnya, hal ini dikarenakan daerah Kelurahan Pluit merupakan salah satu sentra bisnis di

Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Hal ini terlihat dari banyaknya toko, restoran, dan kios dagang (lapak) yang ada di sepanjang jalan Kelurahan Pluit dan Muara Angke.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Status Pekerjaan di Kelurahan Pluit, tahun 2005.

No Status Pekerjaan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Karyawan Swasta / PNS / ABRI 8.398 19,54

2 Pedagang / Wiraswasta 14.018 32,61

3 Nelayan 2.273 5,29

4 Pensiunan 341 0,79

5 Pertukangan 419 0,97

6 Ibu Rumah Tangga, Pelajar, Fakir

Miskin 17.540 40,80

Total 42.989 100,00

(35)

22

5.1.2.4 Agama

Berbagai agama yang dianut oleh para penduduk di Muara Angke

bermacam-macam, disesuaikan dengan keyakinannya masing-masing. Mayoritas penduduk yang tinggal di Muara Angke beragama Islam (Tabel 4). Hal ini terlihat pada saat hari jumat, banyak umat muslim laki-laki yang melakukan sholat jumat, sehingga jalanan menjadi relatif sepi karena yang biasanya beraktivitas adalah laki-laki. Jumlah penganut agama di Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Agama, tahun 2005.

No Agama RW Total

01 011 Jumlah Persentase(%)

1 Islam 4.789 3.490 8.279 94,13

2 Kristen 111 87 198 2,25

3 Katolik 61 52 113 1,28

4 Buddha 101 105 206 2,34

Jumlah 5.062 3.734 8.796 100,00

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Pluit, Mei 2005

5.1.3 Sarana dan Prasarana

Sejak ditetapkannya Muara Angke sebagai pusat pemukiman nelayan, maka pemerintah membangun berbagai fasilitas umum, yang tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Fasilitas Umumyang Terdapat di Muara Angke, tahun 2004.

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Pluit, Agustus 2004

No Jenis-jenis Fasilitas Satuan (unit)

1 Jalan dan Saluran 4.235

2 Perumahan Nelayan 1.728

3 Pendidikan 6

4 Tempat Ibadah 3

5 Gedung Pertemuan Nelayan 2

6 Bank 1

12 Pemadam Kebakaran 1

13 Taman 1

14 Pos KP3 4

15 WC Umum 2

16 SPBU 1

(36)

5.1.3.1 Pendidikan

Secara umum sistem pendidikan yang terdapat di lokasi penelitian terdiri atas 2 jenis, yaitu sistem pendidikan formal dan sistem pendidikan non formal. Pendidikan formal yang berlaku pada umumnya meliputi SD, SMP, SMU, dan Madrasah (sekolah umum yang lebih mengutamakan pendidikan berbasis islami). Secara lebih lengkap data mengenai jenis-jenis pendidikan formal di Kelurahan Pluit dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Sarana Pendidikan Formal di Kelurahan Pluit, tahun 2004.

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Pluit, Agustus 2004

Pendidikan formal diberikan melalui sekolah-sekolah negeri atau swasta, sedangkan pendidikan non formal bisa didapat melalui berbagai tempat kursus keahlian, pesantren, dan taman kanak-kanak. Ketika penulis melakukan penelitian, suasana taman kanak-kanak yang ada di Muara Angke tidak seperti taman kanak-kanak yang ada di kota pada umumnya. Gedung sekolahnya sangat kecil dan dari luar tampak hampir tidak ada tempat bermain bagi anak-anak. Kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat taman kanak-kanak adalah tempat bermain dan melatih kreatifitas bagi anak-anak. Secara lebih lengkap data

mengenai berbagai jenis pendidikan non formal di Kelurahan Pluit dapat dilihat pada Tabel 7.

Jenis Sekolah Jumlah

Gedung (unit) Sekolah (unit)

SD: Negeri 2 5

Bersubsidi 0 0

Swasta 8 8

Ibtidaiyah 1 4

Jumlah 11 17

SMP: Negeri 1 1

Bersubsidi 0 0

Swasta 9 9

Tsanawiyah 1 1

Jumlah 11 11

SMA: Negeri 1 1

Bersubsidi 0 0

Swasta 4 4

Aliyah 0 0

(37)

24

Tabel 7. Sarana Pendidikan Non Formal di Kelurahan Pluit, tahun 2004.

No Jenis Kursus Jumlah (unit)

1 Bahasa Inggris 4

2 Montir Mobil 1

3 Stir Mobil 1

4 Komputer 4

5 Kecantikan 1

6 Elektronik 22

7 Taman Kanak-kanak 10

8 Lain-lain 8

Total 51

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Pluit, Agustus 2004

5.1.3.2 Peribadatan

Tempat ibadah yang terdapat di Kelurahan Pluit meliputi masjid dan mushola, gereja, dan vihara atau kelenteng. Selain nuansa islami yang ada di Kelurahan Pluit, jumlah gereja dan vihara memperlihatkan nuansa chinese yang cukup kental. Hal ini terlihat dari banyaknya nama toko-toko dan sekolah-sekolah yang ditulis dalam bahasa mandarin. Secara lebih lengkap data berbagai tempat ibadah di Kelurahan Pluit dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Sarana Peribadatan di Kelurahan Pluit, tahun 2004.

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Pluit, Agustus 2004

Pada saat penulis melakukan wawancara di Muara Angke, salah seorang responden sedang mengumpulkan uang sumbangan untuk pembangunan mushola di RW 011. Hal ini dipelopori oleh ketua RT 07 yang menarik iuran sebesar Rp500.000,00 setiap bulannya dari para warga yang rata-rata bekerja sebagai pedagang ikan atau langgan, mengingat penghasilan warga yang cukup besar. Hal ini pun disambut baik oleh para warga dengan tidak adanya keberatan untuk menyumbang, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang responden berikut ini:

No Tempat ibadah Jumlah (unit)

1 Masjid 4

2 Mushola 5

3 Gereja 7

(38)

“Daripada uangnya dipakai untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, akan lebih baik jikalau uangnya dipakai untuk membangun rumah Allah, pahalanya juga bisa berlipat-lipat ganda, yah itung-itung nabung buat di akhirat.”

5.1.3.3 Keadaan Perumahan dan Kesehatan

Pemukiman di Muara Angke sampai tahun 2003 telah mengalami tujuh tahap pembangunan dengan jumlah rumah yang telah dibangun berjumlah 1.128 unit. Persyaratan penghunian di setiap tahapan pembangunan adalah

diprioritaskan bagi nelayan, baik nelayan pemilik, pekerja, pengolah ikan, maupun pedagang ikan. Pada masa sekarang pemukiman nelayan di Muara Angke lebih diprioritaskan bagi penduduk yang mempunyai KTP DKI Jakarta. Banyak

masyarakat yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta tinggal di Muara Angke dengan cara mengontrak di rumah-rumah penduduk setempat.

Kondisi perumahan nelayan di Muara Angke dapat dikatakan baik, karena rata-rata rumahnya sudah permanen dan jalannya sudah beraspal, walaupun masih ada rumah panggung serta rumah sempit di dalam gang. Masyarakat yang

sebelumnya tinggal di Muara Kali Adem sebagian besar juga sudah ikut pindah ke Muara Angke dan menempati rumah susun tipe 42/25 sebanyak 600 unit yang dibangun atas kerjasama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan yayasan Buddha Tzu Chi.

(39)

26

Angke menjadi daerah langganan banjir pada saat air laut pasang. Berbagai fasilitas kesehatan di Kelurahan Pluit dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Berbagai Fasilitas Kesehatan di Kelurahan Pluit, tahun 2004.

No Fasilitas Kesehatan Jumlah (unit)

1 Puskesmas 1

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Pluit, Agustus 2004

5.1.4 Keadaan Umum Perikanan

5.1.4.1 Musim dan Daerah Penangkapan

Para nelayan mengenal dua macam musim tangkap, yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat berlangsung dari bulan Desember sampai Maret, membawa angin kencang yang bertiup dari barat daya ke barat laut dan

menyebabkan nelayan tidak dapat melaut, sehingga penghasilan yang diperoleh sangat terbatas. Hal ini menyebabkan banyak nelayan buruh hanya dapat bekerja di darat seperti memperbaiki jala atau alat tangkap yang rusak. Lain halnya dengan musim timur yang membawa angin perlahan dari timur laut ke tenggara. Musim timur berlangsung dari bulan Juni sampai September, dan arus pergerakan ikan searah dengan arah angin. Selain kedua musim tangkap di atas, ada juga musim pancaroba (musim peralihan di antara kedua musim tangkap di atas) yang berlangsung antara bulan April – Mei dan bulan Oktober – November.

(40)

kapal-kapal besar dengan kapasitas kekuatan mesin lebih dari 10 GT (Gross Tone), daerah penangkapan ikan dapat mencapai perairan sekitar Sumatra, sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura), perairan Kalimantan dan Sulawesi, Bangka – Belitung, dan Lampung.

5.1.4.2 Jenis Perahu atau Kapal

PPI Muara Angke melayani rata-rata 15 kapal besar dengan daya muat 25 ton ikan per hari. Rata-rata jumlah kapal motor yang berlabuh di PPI Muara Angke pada tahun 2003 sebanyak 376 unit, dengan jumlah maksimal pada bulan Mei, yaitu sebanyak 444 unit, dan jumlah minimum sebanyak 230 unit pada bulan Desember. Rata-rata perahu motor tempel yang berlabuh di PPI Muara Angke sebanyak 71 unit, dengan jumlah maksimal pada bulan Januari, yaitu sebanyak 93 unit, dan jumlah minimum sebanyak 37 unit pada bulan Desember. Hal ini disebabkan pada bulan Desember adalah awal dari musim barat yang membawa angin kencang, sehingga banyak nelayan yang tidak dapat melaut. Berbagai jenis kapal motor dan perahu motor tempel yang berlabuh di PPI Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Frekuensi masuknya Kapal Motor dan Perahu Motor Tempel di PPI Muara Angke, tahun 2003.

Sumber : Laporan Tahunan UPT PKPI (Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pendaratan Ikan) Muara Angke, tahun 2003

Bulan Kapal Motor (unit) Perahu Motor Tempel (unit)

(41)

28

Setiap tahun jumlah kapal yang berlabuh di PPI Muara Angke berfluktuasi sesuai dengan musim. Perbedaan antara kapal motor dengan perahu motor tempel terletak pada mesin motor kapal. Biasanya mesin motor pada kapal motor sudah didesain untuk kapal-kapal dengan daya tampung relatif besar berkekuatan GT (Gross Tone) seperti kapal-kapal dengan alat tangkap long line dan purse seine. Pada perahu motor tempel, mesin motor dapat dipindah-pindah karena berukuran relatif kecil dan perahu yang menggunakan jenis mesin motor tempel biasanya berbentuk relatif kecil seperti kapal-kapal yang digunakan untuk menangkap rajungan dan ikan-ikan pelagis seperti ikan kerapu.

5.1.4.3 Jenis Alat Penangkapan Ikan

Muara Angke sebagai kawasan pusat pendaratan ikan di wilayah Jakarta Utara, memiliki beragam jenis alat penangkapan yang sesuai dengan kapal-kapal yang berlabuh di Muara Angke. Secara lebih lengkap data mengenai jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 11.

Berdasarkan data pada Tabel 11 dapat dilihat penggunaan jaring rampus paling banyak digemari oleh para nelayan, yaitu 367 unit, sedangkan lainnya long line (269 unit), pukat ikan (240 unit), dan gill net (117 unit) juga banyak digemari oleh para nelayan yang memiliki kapal dan modal yang cukup besar, mengingat hasil tangkapan ikan yang didapat juga besar. Alat tangkap long line yang biasa digunakan untuk menangkap ikan tuna disebut rawai tuna. Rawai tuna atau tuna long line adalah alat penangkap tuna yang paling efektif. Rawai tuna merupakan rangkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu tuna longliner biasanya mengoperasikan 1.000-2.000 mata pancing untuk sekali turun. Gill net (jaring insang) adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang dan

(42)

Selain itu, banyak nelayan yang melakukan budidaya kerang hijau. Rakit kerang hijau adalah salah satu tempat budidaya kerang hijau yang dilakukan nelayan dengan teknik bagan tancap melalui metode rakit dan sering disebut sebagai Bagan Rakit Tancap. Selain praktis, metode ini cukup ekonomis karena tidak mengeluarkan biaya yang besar untuk mengerjakannya.

Tabel 11. Jenis Alat Penangkapan Ikan di Muara Angke, tahun 2003.

No Jenis Alat Jumlah (unit) Persentase(%)

1 Payang 4 0,27

12 Jaring rampus 367 24,96

13 Jaring rajungan 64 4,35

14 Jaring teri 2 0,14

Sumber: Laporan Tahunan Kantor Suku Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Jakarta Utara, tahun 2003

5.1.4.4 Pemasaran Hasil Perikanan

Pemasaran merupakan proses berantai yang menghubungkan

(43)

30

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Pluit, Agustus 2004

Gambar 2. Mekanisme Pelelangan Ikan melalui TPI Muara Angke

Berdasarkan Gambar 2, pada saat kapal memasuki pelabuhan, maka pihak kapal harus melapor ke kantor UPT PKPI & PPI (Unit Pelaksana Teknis

Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan & Pangkalan Pendaratan Ikan) untuk menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan dan dicatat, serta mendapatkan

Kapal datang / masuk pelabuhan

Pemenang Lelang / Bakul

Proses Bongkar

Penimbangan

Dilelang oleh Juru Lelang (jumlah peserta lelang 70

orang, harga ditentukan mekanisme pasar)

Pasar Muara Angke (Grosir, Pengecer, Unit

Pengolah) Luar Daerah

Jabotabek

Pencatatan Produksi Proses Pengolahan

Ekspor

(rekomendasi tidak lelang untuk jaga mutu, retribusi 5% (3% untuk

(44)

nomor urut lelang. Pada proses bongkar, hasil-hasil laut akan disortir berdasarkan jenis dan mutunya, lalu ditempatkan ke dalam trays. Pada proses penimbangan, ikan akan diberi label berdasarkan volume dan nama kapal. Selanjutnya ikan-ikan yang sudah ditimbang, dikelompokkan menjadi 2, yaitu ikan-ikan-ikan-ikan yang khusus dilelang dan ikan-ikan yang diperuntukkan bagi kebutuhan ekspor. Para pemenang lelang akan melakukan packing mengingat produk perikanan mudah rusak, agar ikan-ikan hasil lelang dapat segera dijual ke pasar Muara Angke (pedagang grosir, pengecer, dan unit pengolah) maupun ke luar daerah Jabotabek.

Di PHPT terdapat sekitar 300 unit pengolahan ikan dengan jenis pengolahan pengasinan, pemindangan, pengasapan, pembuatan terasi dan penyamakan kulit. Persentase jenis pengolahan yang terbesar adalah jenis pengolahan pengasinan antara 80-90%. Biasanya para pengolah juga ikut

memasarkan hasil olahannya, sehingga dapat memberikan pemasukan yang lebih bagi para pengolah itu sendiri.

Gambar 3. Jalur Pemasaran Ikan Olahan melalui PHPT di Muara Angke

Selain pemasaran ikan segar yang ada di PPI Muara Angke, ada juga pemasaran ikan olahan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3. Biasanya para pengolah juga ikut memasarkan langsung hasil olahannya ke pedagang pengecer

Konsumen

Pengecer luar Jakarta Pengecer (local)

(45)

32

lokal. Hal ini dilakukan agar keuntungan yang diperoleh lebih besar dengan cara memotong biaya pemasaran (ongkos, pembagian keuntungan dengan pedagang besar / grosir).

Sekitar 70% ikan segar dan ikan olahan di Muara Angke dijual ke pasar lokal maupun ke pasar di luar Jakarta lewat pengecer atau pedagang besar (grosir), sedangkan sisanya diekspor dalam bentuk ikan segar, olahan atau beku. Daerah tujuan pemasaran ikan segar dan ikan olahan adalah Jakarta, Bandung, Bogor, dan Serang. Negara-negara tujuan ekspor adalah Malaysia, Hongkong, dan Singapura. Volume rata-rata ekspor ikan di Muara Angke dapat mencapai 4 ton per hari, dimana hasil-hasil laut yang diekspor yaitu udang, bawal, kakap merah, kerapu dan tenggiri.

5.2 Profil Responden

Profil responden menggambarkan siapa dan bagaimana kondisi kehidupan para responden yang mengalami peralihan profesi dari nelayan ke non nelayan. Beberapa data mengenai profil responden adalah umur, lamanya responden tinggal di Muara Angke, tingkat pendidikan dan jumlah tanggungan keluarga.

5.2.1 Umur Responden

Jumlah responden berdasarkan umur digolongkan menjadi tiga, yaitu kelompok umur 37 – 45 tahun, 46 – 54 tahun, dan kelompok umur ≥ 55 tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden, umur rata-rata para responden adalah 49 tahun, dengan umur minimumnya 37 tahun, dan umur maksimumnya 67 tahun (Lampiran 1). Secara lebih lengkap data jumlah responden berdasarkan penggolongan umur di Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah Responden Berdasarkan Penggolongan Umur, tahun 2005.

No Kelompok umur Jumlah orang Persentase (%)

1 37 - 45 7 41

2 46 - 54 8 47

3 55+ 2 12

Total 17 100

(46)

Tabel 12 menunjukkan bahwa sekitar 88% responden berumur 37 – 54 tahun. Hal ini menandakan bahwa kebanyakan para responden yang beralih profesi berada dalam usia produktif, dalam arti kisaran usia tersebut adalah masa-masa puncak seseorang dalam memenuhi semua kebutuhan rumahtangganya.

Secara umum usia cukup berpengaruh terhadap jumlah tanggungan keluarga dan tingkat kemapanan hidup seseorang. Semakin tinggi usia seseorang, maka semakin dewasa cara berpikir dan bertindaknya, sehingga dapat mengkaji ulang bila ingin menambah jumlah tanggungan keluarga dengan bercermin pada tingkat penghasilannya. Selain itu, tingkat kemapanan hidup seseorang

diasumsikan tercapai pada saat orang tersebut memiliki pekerjaan yang tetap. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa usia muda adalah usia yang cenderung masih mencari jenis pekerjaan tetap, sehingga tingkat kemapanan masih belum stabil.

5.2.2 Lama Responden Tinggal di Muara Angke

Jumlah responden berdasarkan lamanya waktu menetap di Muara Angke digolongkan menjadi tiga, yaitu antara 10 – 19 tahun, 20 – 29 tahun, dan 30 – 39 tahun. Lamanya waktu menetap di Muara Angke rata-rata 19,18 tahun, dengan waktu menetap maksimum adalah 33 tahun, dan waktu menetap minimumnya 10 tahun (Lampiran 1). Untuk lebih jelas, data jumlah responden berdasarkan penggolongan lamanya waktu menetap di Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Jumlah Responden Berdasarkan Penggolongan Lamanya Waktu Menetap di Muara Angke, tahun 2005.

No Lama Menetap (tahun) Jumlah orang Persentase (%)

1 10 - 19 9 53

2 20 - 29 5 29

3 30 - 39 3 18

Total 17 100

Sumber: Data Primer Diolah, tahun 2005

(47)

34

Tanjung Priuk pada tahun 1993. Berdasarkan Tabel 13, dari total responden yang berjumlah 17 orang, 53% di antaranya tinggal di Muara Angke kurang lebih selama 10 – 19 tahun.

5.2.3 Pendidikan Responden

Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden, tingkat pendidikan formal para responden dikategorikan ke dalam 5 kelompok, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat STM, dan Tamat SMU.

Kelompok-kelompok ini dikategorikan berdasarkan tingkat pendidikan formal yang dirasakan atau tidak oleh para responden. Kebanyakan para responden bersekolah hanya sampai tingkat SD saja, yaitu sebanyak 12 orang. Jumlah ini dihitung berdasarkan tingkat pendidikan formal yang sempat dirasakan para responden, baik belum selesai maupun sudah selesai. Ada juga beberapa responden yang tidak bersekolah sebanyak 3 orang. Ada juga 1 responden yang bersekolah sampai tingkat STM, walau belum tamat, dan 1 responden yang tamat SMU. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Jumlah Responden Berdasarkan Penggolongan Tingkat Pendidikan, tahun 2005.

No Tingkat pendidikan Jumlah orang Persentase (%)

1 Tidak sekolah 3 18

2 Tidak tamat SD 9 52

3 Tamat SD 3 18

4 Tidak tamat STM 1 6

5 Tamat SMU 1 6

Total 17 100

Sumber: Data Primer Diolah, tahun 2005

Berdasarkan Tabel 14, dari 17 responden yang diwawancara, 70% responden hanya mengenyam pendidikan formal sampai tingkat SD saja. Hal ini lebih dipengaruhi karena pekerjaan sebagai nelayan tidak membutuhkan tingkat pendidikan formal yang tinggi.

5.2.4 Jumlah Tanggungan Responden

(48)

Rata-rata jumlah tanggungan keluarga yaitu 4 orang, dengan jumlah tanggungan minimum 1 orang, dan jumlah maksimumnya 9 orang (Lampiran 1).

Tabel 15. Jumlah Responden Berdasarkan Kelompok Tanggungan Keluarga, tahun 2005.

No Kelompok tanggungan

(orang)

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 1 - 3 7 41

2 4 - 6 7 41

3 7 - 9 3 18

Total 17 100

Sumber: Data Primer Diolah, tahun 2005

Tabel 15 menunjukkan kelompok jumlah tanggungan keluarga responden terbanyak berkisar antara 1 - 3 orang dan 4 - 6 orang dengan total persentase masing-masing 41%. Jumlah tanggungan keluarga dipengaruhi oleh

kecenderungan faktor tingginya pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka jumlah tanggungan keluarga cenderung semakin banyak. Keadaan ini diperkuat oleh beberapa responden yang menikah lagi atau berbuat amal dengan cara menampung anak-anak yatim. Jumlah tanggungan keluarga dihitung dari jumlah anggota keluarga selain responden.

5.3 Gambaran Umum Perpindahan Kerja

Perpindahan kerja yang dilakukan oleh hampir sebagian besar masyarakat nelayan di Muara Angke adalah tindakan yang dimaksudkan untuk keluar dari berbagai permasalahan yang selalu dihadapi, baik dari segi ekonomi seperti pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk biaya sekolah anak-anak, maupun segi sosial yang lebih ke arah psikologis keluarga. Untuk lebih jelas, gambaran umum perpindahan kerja para responden dapat dilihat pada Tabel 16.

(49)

36

ditunjukkan dalam bentuk kepemilikan aset seperti rumah dan mobil yang mewah, di samping memiliki tabungan untuk berangkat naik haji. Hal inilah yang

memotivasi para responden untuk ikut meningkatkan taraf kehidupannya, di samping juga meningkatkan status sosial dalam masyarakat. Keinginan untuk mencoba pun timbul, walaupun sempat terbentur dengan modal, sehingga banyak responden yang berusaha meminjam uang kepada saudara-saudaranya agar dapat memiliki modal untuk berdagang. Hal ini seperti yang dilakukan oleh pak Rdwn yang berjualan fiber dengan modal awal sebesar Rp70.000.000,00. Modal yang dikeluarkan cukup besar mengingat fiber harus dibeli secara tunai kepada pemasoknya. Sebagian modal ini didapatnya dari pinjaman sanak saudaranya. Dari 64,70% (11 orang) yang memilih pekerjaan sebagai pedagang, 35,29% berjualan ikan di lapak (6 orang), 5,88% berjualan es campur di pasar kaki lima di Muara Angke (1 orang), 5,88% menjual nasi uduk (1 orang), 5,88% berjualan fiber (1 orang), 5,88% menjadi supplier rajungan (1 orang), 5,88% membuka industri otak-otak (1 orang).

Tabel 16. Gambaran Umum Perpindahan Kerja Responden, tahun 2005. Responden Jenis Pekerjaan Dulu Jenis Pekerjaan Sekarang

1 Juragan Kapal Pancing Pedagang Ikan

2 Juragan Jaring Udang Pedagang Ikan

3 Melele (ikan teri) Penyewaan rumah

4 Nahkoda Kapal Bagang Pedagang Ikan

5 Nahkoda Pukat Harimau Penjual Es Campur

6 Nahkoda Kapal Tongkol Pedagang Ikan

7 Nahkoda Kapal Tongkol Penjual Nasi Uduk

8 Nahkoda Jaring Udang Tukang Angkut Air

9 ABK Jaring Udang Pedagang Ikan

10 ABK Kapal Tongkol Tukang Becak

11 ABK Perahu Rajungan Tukang Becak

12 ABK Perahu Rajungan Supplier Rajungan

13 ABK Kapal Tenggiri Industri Pengolah Otak-otak

14 ABK Jaring Pelak Langgan

15 ABK Jaring Fillet Pedagang Ikan

16 Nelayan Tradisional Pedagang Fiber

17 Nelayan Tradisional Pemulung Botol Aqua

Sumber: Data Primer Diolah, tahun 2005

(50)

juragan kapal yang ikut melaut. Selain itu, kondisi psikologis-ekonomi keluarga (kekhawatiran responden terhadap keluarga di rumah karena perjalanan melaut yang dapat menghabiskan waktu berhari-hari, kekhawatiran keluarga terhadap responden mengingat kondisi di laut tidak pernah menentu, meningkatnya biaya hidup seiring dengan jumlah tanggungan, hasil laut yang sering merugi)

menyebabkan para responden secara berangsur-angsur memilih untuk beralih profesi, ada yang menjadi pedagang ikan, penjual es campur, tukang becak, tukang angkut air, pengusaha otak-otak, pengusaha rumah kontrakan, dan ada juga yang menjadi langgan. Langgan (pengurus nelayan) adalah seseorang yang membantu membiayai para nelayan yang melaut dengan perhitungan pembagian komisi sekitar 7 – 10% dari hasil tangkapan.

5.4 Jenis dan Karakteristik Pekerjaan Responden

Perbedaan berbagai jenis pekerjaan responden menyebabkan perbedaan pada karakteristik masing-masing pekerjaan itu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa faktor seperti cara berusaha, lokasi usaha dan waktu yang digunakan untuk melakukan usaha tersebut. Ada beberapa responden yang beralih profesi menjadi pedagang ikan, supplier rajungan, pengusaha dalam bidang pengolahan ikan, penjual es campur di pasar, tukang air dan becak, sampai ada juga yang membeli beberapa rumah untuk dijadikan rumah kontrakan.

(51)

38

siang untuk jasa angkutan air, dan jam 4 pagi – jam 10 siang untuk angkutan becak. Tukang air biasanya mengangkut air bersih pesanan warga sekitar yang kerap digunakan oleh warga untuk minum dan memasak, sedangkan angkutan becak biasa dimanfaatkan oleh pedagang dan pembeli ikan untuk mengangkut barang-barang yang dijual atau dibeli warga dari dan ke tempat pelelangan. Pekerjaan sebagai tukang air dilakukan oleh salah seorang responden karena dilihatnya sebagai peluang, mengingat pekerjaan ini belum ada yang

melakukannya.

Berdasarkan hasil wawancara, ada juga beberapa responden yang memiliki usaha sampingan. Selain karena keinginan untuk membantu sesama, hal ini juga dilakukan sebagai cara untuk beradaptasi dengan kondisi usaha yang terkadang tidak menentu. Sebagai seorang pedagang nasi uduk, pak Tchd masih

menyempatkan dirinya untuk memberikan pelajaran les mengaji jika ada anak-anak tetangga yang ingin belajar. Kegiatan ini memang memberikan pemasukan tambahan, tetapi pak Tchd tidak pernah memberlakukan tarif tertentu. Hal ini dilakukannya karena khawatir ada beberapa anak tetangga yang tidak bisa mengaji hanya karena tidak memiliki uang untuk membayar les mengaji. Usaha sampingan juga dilakukan oleh pak Wsrh yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang ikan, dengan membuka warung kecil di ujung gang rumahnya. Warung kecil ini dikelola oleh bu Wsrh dan memberikan pemasukan yang cukup besar per harinya, yaitu rata-rata Rp50.000,00. Dengan pemasukan tambahan ini, pak Wsrh dapat menyisihkan uang hasil penjualan ikan untuk berangkat ke tanah suci.

5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Migrasi Kerja

(52)

5.5.1 Faktor-faktor Pendorong Migrasi Kerja

Berdasarkan hasil wawancara, ada beberapa alasan yang mempengaruhi perpindahan kerja para responden. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 17. Pendapatan para nelayan sangat dipengaruhi oleh alasan-alasan ini, yaitu biaya operasional meningkat seiring dengan meningkatnya harga barang-barang kebutuhan pokok termasuk harga solar. Selain itu, seorang responden mengatakan bahwa limbah pabrik yang dibuang oleh perusahaan-perusahaan tidak bertanggung jawab sudah mencapai 1 jam perjalanan hingga ke Pulau Damar di Kepulauan Seribu. Hal ini menyebabkan para nelayan sulit mendapatkan hasil tangkapan dengan unit penangkapan tradisional, sehingga banyak nelayan tradisional bangkrut. Selain itu, pekerjaan nelayan sangat tidak menentu karena bergantung pada musim. Pada saat musim timur, nelayan pergi melaut. Pada saat musim barat, kondisi cuaca yang buruk menyebabkan kapal-kapal tidak dapat melaut, sehingga banyak nelayan yang menganggur.

Tabel 17. Alasan Melakukan Perpindahan Kerja, tahun 2005.

No Alasan Pindah Kerja Jumlah

(orang)

Persentase (%) 1 Biaya operasional meningkat sedangkan hasil

tangkapan menurun

4 23,53

2 Minimnya modal untuk melaut dan sulit mendapat pinjaman

1 5,88

3 Penghasilan kecil, hidup nelayan tidak pasti 6 35,29 4 Biaya pendidikan anak-anak dan harga

barang-barang kebutuhan yang terus meningkat.

6 35,29

Sumber: Data Primer Diolah, tahun 2005

(53)

40

lengkap dengan naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok dan biaya sekolah anak-anak. Rangkaian berbagai kesulitan inilah yang membuat para responden memilih untuk beralih profesi.

5.5.1.1 Jam Kerja Sebelum Migrasi

Para nelayan di Muara Angke memiliki jumlah jam kerja yang berbeda-beda sesuai dengan unit penangkapan ikan yang digunakan. Perberbeda-bedaan unit penangkapan juga dipengaruhi oleh daerah penangkapan ikan (fishing ground). Hal ini disebabkan karena unit penangkapan ikan tertentu dapat menghabiskan waktu dua bulan di laut, seperti kapal yang khusus menangkap ikan tongkol. Berdasarkan penuturan salah seorang responden, selama perbekalan masih cukup, kapal-kapal besar dapat mengarungi perairan hingga ke Pulau Sumatera, Selat Malaka, Lombok, dan Bali. Berdasarkan Tabel 11, banyaknya unit penangkapan yang digunakan di daerah fishing ground yang sama akan menyebabkan hasil tangkapan menurun, sehingga akan berdampak pada banyaknya unit penangkapan yang tidak dapat beroperasi, mengingat harga perbekalan yang semakin

meningkat dan hasil tangkapan yang menurun, dan akhirnya mengurangi jumlah nelayan. Hal ini mendorong para nelayan untuk beralih profesi. Tabel 18

menunjukkan jenis pekerjaan dan durasi kerja rata-rata per bulan sebelum para responden beralih profesi.

(54)

Tabel 18. Jenis Pekerjaan dan Durasi Kerja Sebelum Migrasi Kerja, tahun 2005.

No Kondisi Sebelum Migrasi

Jenis Pekerjaan Durasi kerja per bulan (jam)

1 Juragan Kapal Pancing 300

16 Nelayan Tradisional 240

17 Nelayan Tradisional 360

Rata-rata 315,88

Nilai Tengah 300

Nilai Maksimum 510

Nilai Minimum 240

Sumber: Data Primer Diolah, tahun 2005

(55)

42

memberikan gambaran mengenai waktu kerja minimum seorang nelayan berkisar antara 8 – 10 jam per hari, dengan asumsi 1 bulan adalah 30 hari. Kisaran durasi kerja ini memberikan dampak pada rendahnya rata-rata pendapatan yang

diperoleh responden setiap bulannya, yaitu Rp375.362,50. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Jumlah Durasi Kerja dan Tingkat Pendapatan Rata-rata Responden per Bulan Sebelum Migrasi, tahun 2005.

No Kelompok Durasi Kerja (jam)

Total 1.500.362,50 17 100,00

Sumber: Data Primer Diolah, tahun 2005

5.5.1.2 Tingkat Pendidikan Responden

Berdasarkan Tabel 14, yaitu jumlah responden berdasarkan penggolongan tingkat pendidikan menunjukkan sekitar 70% dari total responden hanya

bersekolah sampai tingkat SD, 18% tidak bersekolah, 6% sekolah sampai tingkat STM, dan 6% lulus SMU. Banyaknya responden yang bersekolah hanya sampai SD lebih disebabkan oleh profesi sebagai nelayan tidak membutuhkan pendidikan formal yang tinggi, melainkan lebih mengutamakan uang sebagai modal, kekuatan fisik, keahlian, dan naluri dalam menangkap ikan. Pada saat kekuatan fisik dan keahliannya melemah karena faktor usia, beban kerja dan kondisi cuaca yang tidak menentu selama di laut, maka para responden berpikir keras untuk mencari pekerjaan di darat dengan penghasilan yang lebih pasti dan tingkat resiko yang lebih rendah. Tabel 20 menggambarkan tingkat pendidikan dan tingkat

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Studi
Tabel 1. Jumlah dan Komposisi Penduduk di Muara Angke, tahun 2005.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Status Pekerjaan di Kelurahan Pluit, tahun 2005.
Tabel 5.  Fasilitas Umum yang Terdapat  di Muara Angke, tahun 2004.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemasangan ini bertujuan untuk membuat lapisan dengan koefisien permeabilitas tinggi di sekeliling saringan pada rongga annulus, dimana partikel-partikel halus dari akuifer yang

Contoh Kasus Erosi Air ……….. Cara Mengatasi Erosi

Merupakan tempat tinggal para santrinya. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan

Setelah melakukan penelitian dan observasi dengan mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak terkait yaitu ketua laboratorium dan asisten laboratorium STT

Hanya saja, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam perkara tersebut hanya menggugat untuk membatalkan perkawinan, namun tidak turut menjadikan P3N sebagai petugas yang

Pada surat kabar Harian Vokal dari tujuh kategori diantaranya berimbang, bohong, fitnah, sadis, cabul, prasangka, dan identitas dalam penyajian berita kriminal pada surat

keberadaan Harian Tribun Timur di tengah arus perkembangan media online setelah beberapa tahun terakhir menjadi koran nomor satu di kota Makassar, berdasarkan hasil

Mempunyai hak akses ke administrator yang dapat menambahkan data guru, siswa, mata pelajaran, jadwal, latihan soal dan laporan nilai siswa..