MELALUI PENDEKATAN KLASTER
Oleh :
DJONI TARIGAN
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2008
ABSTRACT
A strategy of silk agroindustrial development can be done through a cluster approach. This approach may increase the competitiveness of this type of agroindustry because it will create vertical and horizontal relationships, complementarities and commonalities. The relationship may lead to the more economical agroindustrial activities.
This study was intended to develop a model of silk agroindustrial development strategy through cluster approach in order to increase its competitiveness. In this study several important factors in forming industrial cluster such as linkage, core industry, geographic concentration and institution have been explored. Core industry is needed as a prime mover for linkage industries and institutions. It may well manage, support and coordinate all of stakeholders involved in the cluster.
The model consists of (1) cluster location model, (2) core industry development model, (3) institution development model, (4) financial development model, (5) price harmonisation model. Model and data were integrated in computer based Decision Support System (DSS) called AI-Sutera.
The results of the study are as follows : (1) the cluster location is Wajo, South Sulawesi, (2) the core industry is silk weaving industry, (3) the main problems in core industry are technology obsolete, low quality of raw material, and limited capital, (4) The Government and other interconnected institutions are suggested to overcome the problems, (5) The proposed institution is Unit Layanan Pengembangan Usaha (ULPU). Central, Province and Regional Government and Facilitator play a significant role in the cluster development. Other interconnected stakeholders such as Silk Association, Research and Development Institution, Importer, University, Exporters also have to support Government and facilitator to develop the cluster, (6) Financial analysis gives the results that farmers producing cocoon, silk spinning industry, silk weaving and batik industry are feasible to be developed since all of them have NPV >0, IRRs are higher than the market interest rate and Net B/Cs > 1.
Even though all of silk agroindustry are feasible, their incomes are not equal. Farmer who produces cocoon gets the lowest income. Integration of cocoon producer, spinning, weaving and batik industries in the cluster may harmonize their incomes. By using calculation with constant batik price (Rp. 560,000/pieces), B/C 1.34, the price of cocoon, silk yarn and silk woven can be raised. Then, it will enable to promote silk agroindustry.
DJONI TARIGAN. Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster. Dibimbing oleh ANAS M. FAUZI, MARIMIN, ANI SURYANI, SUKARDI dan MIEN KAOMINI.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model sistem pengembangan agroindustri sutera alam melalui pendekatan klaster dalam rangka peningkatan daya saing. Basis model diintegrasikan dengan basis data dalam sistem penunjang keputusan berbasis komputer yang diberi nama model AI-Sutera. Pengembangan model agroindustri sutera alam mencakup aspek lokasi pengembangan, industri inti, kelembagaan, finansial dan kesetaraan harga.
Metode penelitian yang digunakan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan adalah Expert Survey yaitu melakukan wawancara dan pengisian kuesioner yang mendalam kepada sejumlah ahli/pakar. Penentuan ahli/pakar dilakukan melalui metode purposive sampling. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait. Metode pengolahan data pada model identifikasi lokasi pengembangan klaster dilakukan dengan metode Location Quotient (LQ) sedangkan untuk pemilihan lokasi digunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Identifikasi rantai nilai industri dilakukan dengan metode Independent Preference Evaluation (IPE) dan pemilihan industri inti dilakukan dengan metode AHP.
Identifikasi elemen sistem pengembangan industri inti dan kelembagaan menggunakan kaidah IPE, dan model strukturisasi elemen menggunakan metode Interpretative Structural Modelling (ISM). Pada model kelayakan usaha digunakan analisa Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Pay Back Period (PBP).
Kabupaten Wajo sebagai lokasi potensial untuk pengembangan klaster dengan industri inti adalah industri pertenunan. Tujuan utama pengembangan industri inti adalah meningkatkan pemasaran, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, meningkatkan kualitas dan mengembangkan disain. Pencapaian tujuan kunci akan mendukung tercapainya tujuan lainnya. Industri inti merupakan penggerak utama dalam klaster, dengan berkembangnya industri inti, industri terkait dan pendukung lainnya dapat ikut berkembang.
Untuk mencapai tujuan tersebut kendala yang dihadapi industri inti yaitu keterbatasan teknologi, rendahnya kualitas bahan baku dan keterbatasan modal usaha harus diselesaikan terlebih dahulu melalui aktivitas peningkatan keterkaitan dengan lembaga keuangan, pengadaan bahan baku berkualitas, meningkatkan kemampuan teknologi, dan meningkatkan kemampuan SDM. Permasalahan tersebut tentunya tidak dapat diselesaikan oleh industri inti tersebut sendirian, tetapi memerlukan dukungan dari industri/institusi lain seperti pemerintah baik pusat, pemerintah daerah serta instansi/lembaga terkait lainnya.
Masing–masing anggota memiliki komitmen melakukan kerjasama saling menguatkan dan menjalankan fungsinya sebaik mungkin. Keberhasilan lembaga tersebut tentunya harus didukung oleh faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu perlunya komunikasi yang intensif antar semua anggota klaster, peningkatan kerjasama/network, adanya industri inti yang berperan sebagai penggerak utama usaha baik ke hulu maupun ke hilir, dukungan fasilitator untuk melakukan fasilitasi misalnya mengkoordinir pertemuan–pertemuan anggota dan adanya pimpinan dengan kemampuan mengelola organisasi serta jiwa kewirausahaan yang tinggi.
Selain faktor penting untuk keberhasilan, faktor penghambat pembentukan klaster juga perlu diperhatikan. Hambatan pembentukan klaster adalah kurangnya pemahaman pengusaha tentang manfaat klaster, sulitnya melakukan koordinasi sesama stakeholder dan belum adanya sikap saling percaya antar pengusaha. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan peran pemerintah dalam melaksanakan koordinasi serta meningkatkan kesadaran pengusaha untuk dapat bekerjasama dan saling mempercayai, serta mensosialisasikan konsep klaster kepada pengusaha sehingga mereka dapat mengerti tentang manfaat klaster tersebut.
Model kelayakan usaha menunjukkan bahwa usaha agroindustri sutera alam yang meliputi usaha pemeliharaan ulat sutera, pemintalan sutera, pertenunan sutera dan pembatikan serta usaha integrasi adalah layak untuk dikembangkan, namun dilihat dari sisi pemerataan pendapatan masih belum seimbang. Hasil pengolahan data model keseimbangan untuk integrasi usaha dari pemelihara ulat sutera, pemintalan, pertenunan dan pembatikan dengan kesetaraan B/C sebesar 1,34, harga batik sebesar Rp 560.000/stel, maka harga kain, benang, kokon dapat ditingkatkan. Untuk integrasi usaha dari pemelihara ulat sutera, pemintalan, dan pertenunan dengan kesetaraan B/C sebesar 1,26 , harga kain Rp 60.0000/meter, maka harga benang dan kokon dapat ditingkatkan. Untuk integrasi usaha dari pemelihara ulat sutera dan pemintalan dengan kesetaraan B/C sebesar 1,21, harga benang sebesar Rp 315.000/kg, maka harga kokon dapat ditingkatkan. Peningkatan harga kokon, benang dan kain dapat memberikan dampak pemerataan penghasilan dan jaminan kelangsungan usaha bagi ketiga usaha tersebut. Hasil analisa sensitivitas menunjukkan bahwa harga jual minimal untuk mencapai BEP dari kokon adalah Rp 24.064/kg, benang sebesar Rp 318.685/kg, kain sebesar Rp 58.784/meter dan kain batik Rp 542.370/stel.
Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
MELALUI PENDEKATAN KLASTER
DJONI TARIGAN
995150
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nrp : 995150
Program Studi : Teknologi Industri Pertanian
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Anas M. Fauzi, M.Eng Ketua
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Anggota Anggota
Dr. Ir. Sukardi, MM Dr. Ir. Mien Kaomini, M.Sc Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor
berkat dan rakhmatNya penulisan disertasi dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini tidak lupa kami memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ketua Komisi Pembimbing Bapak Dr. Ir. Anas M. Fauzi, M.Eng, dan para anggota Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Marimin, M.Sc, Ibu Dr. Ani Suryani, DEA, Bapak Dr. Ir. Sukardi, MM dan Ibu Dr. Ir. Mien Kaomini, M.Sc atas bantuan, bimbingan, nasehat, dorongan semangat, dan waktu yang diberikan kepada kami selama ini dengan sabar, penuh pengertian, dan keikhlasan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Penghargaan kami sampaikan pula kepada Bapak Prof. Dr. Endang Gumbira Sa’id, MADev sebagai penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, Ibu Dr. Atih Suryati Herman, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Dida, M.Sc, sebagai penguji luar komisi pada Ujian Terbuka, atas segala saran, masukan dan waktunya untuk penyempurnaan disertasi ini.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada para personalia di bawah ini : Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian, Staf Pengajar dan Staf Administrasi yang telah membantu dan membekali ilmu selama mengikuti pendidikan.
Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian beserta Staf dan rekan-rekan di Departemen Perindustrian.
Penghargaan setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan dan Staf Departemen Perindustrian, Menegkop UKM, Dephut, Pimpinan dan Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan dan Dinas yang menangani sektor industri Kabupaten-Kota se Provinsi Sulawesi Selatan, Pimpinan dan Staf pada Kantor Pusat Badan Pusat Statistik di Jakarta, serta para nara sumber lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan informasi, masukan dan kemudahan selama penelitian dilakukan.
Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Drg Ita Paulina Sembiring, ananda Rinesia Tarigan, SKG dan Fidela Tarigan serta seluruh kerabat dan teman atas doa, kesabaran, dorongan, bantuan dan pengertian yang diberikan secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan, dan tidak lupa ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Dr.Ir. Halim Mahfud M.Sc, Ir.Roni Wijaya, Arief Guntoro, Iskandar Zulkarnaen, S.Teks, MM dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak sekali membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan tidak luput dari kelemahan dan kekurangan, sehingga saran untuk perbaikan akan kami terima dengan segala ketulusan hati.
1953 sebagai anak ketiga dari pasangan Merhat Tarigan (Alm) dan Tumpun Ginting (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Institut Teknologi Tekstil Bandung jurusan Teknik Tekstil, lulus pada tahun 1981. Pada tahun 1992 penulis mengikuti program pascasarjana jurusan Business Administration di Birmingham University, Inggris, dengan beasiswa dari Departemen Keuangan dan selesai pada tahun 1994. Selanjutnya pada tahun 1999 penulis melanjutkan ke program Doktor pada program studi Teknologi Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor dengan biaya sendiri.
Setelah menyelesaikan program S1 pada tahun 1981-1982 penulis bekerja di Pabrik Pemintalan PT. Putra Sejati Bogor dan sejak 1982-1984 di PT. Bara Exab Indonesia. Terhitung mulai 1 Maret 1985 sampai sekarang penulis bekerja di Departemen Perindustrian, Jakarta.
Ujian Tertutup
Penguji luar komisi : Prof. Dr. Endang Gumbira Sa’id, MADev
Ujian Terbuka
DAFTAR ISI ... 2.2. Jenis-Jenis Murbei dan Pemeliharaan Ulat Sutera ... 2.3. Industri Pemintalan Sutera Alam ... 2.4. Industri Pertenunan ... 2.5. Industri Pembatikan ... 2.6. Pemasaran ... 2.7. Prospek Pengembangan ... 2.8. Konsep Klaster ... 2.9. Membangun Keunggulan Daya Saing ... 2.10. Konsep Rantai Nilai ... 2.11. Kelembagaan ... 2.12. Pendekatan Sistem ... 2.13. Sistem Penunjang Keputusan ... 2.14. Metode Pengambilan Keputusan ...
7
3.1. Kerangka Pemikiran ... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.3. Tahapan Penelitian ...
62 66 66
IV ANALISA SISTEM
4.1. Analisa Situasional Agroindustri Sutera ... 4.2 Agroindustri di Sulawesi Selatan ... 4.3. Analisis Kebutuhan ... 4.4. Formulasi Permasalahan ... 4.5. Identifikasi Sistem ...
5.2. Sistem Manajemen Basis Model ... 5.3. Model Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ... ... melalui Pendekatan Klaster
85 85
5.4. Model Pemilihan Lokasi Pengembangan Klaster Agroindustri Sutera Alam ... 5.5. Model Pemilihan Industri Inti ... 5.6. Model Pengembangan Industri Inti ... 5.7. Model Pengembangan Kelembagaan ... 5.8. Model Kelayakan Usaha ... 5.9. Model Kesetaraan Harga ... 5.10. Sistem Manajemen Basis Data ... 5.11. Sistem Manajemen Terpusat ...
86
VI PEMODELAN SISTEM KLASTER
6.1. Model Lokasi Pengembangan ... 6.2. Model Industri Inti ... 6.3. Model Kelembagaan ... 6.4. Model Kelayakan Usaha ... 6.5. Model Kesetaraan Harga ... 6.6. Verifikasi dan Validasi Model ...
102
VII PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM
7.1. Kebijakan Pengembangan Klaster ... 7.2. Pengembangan Klaster Agroindustri Sutera Alam ... 7.3. Implikasi Kebijakan Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ..
151 155 160
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan ... 8.2. Saran ...
182 184
DAFTAR PUSTAKA 185
LAMPIRAN 192
1 Perkembangan IKM Pemintalan dan Pertenunan Sutera
Tahun 2002-2005 ... 7
2 Skala Banding Berpasangan Pada AHP ... 52
3 Kebutuhan Pelaku Agroindustri Sutera Alam ... 76
4 Kebutuhan Saling Bersinergi ... 77
5 Kebutuhan yang Menciptakan Konflik ... 78
6 Kebutuhan yang Tidak Saling Mempengaruhi ... 78
7 Konfigurasi Basis Model Sistem Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ... 85
8 Data Kegiatan Budidaya Sutera Alam di Sulsel Tahun 2006 ... 103
9 Data Industri Pemintalan Sutera Alam di Sulsel Tahun 2006 ... 103
10 Data Industri Pertenunan Sutera Alam di Sulsel Tahun 2006 ... 104
11 Jumlah Unit Usaha Sutera Alam di Sulsel Tahun 2006 ... 105
12 Jumlah Unit Usaha Sutera Alam dan Location Quotient 2006 ... 106
13 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Kendala Pengembangan ………. 112
14 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Kebutuhan ……… 115
15 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Tujuan … 118 16 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Aktivitas.. 121
17 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Pelaku/Lembaga ……….. 126
18 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Keberhasilan Pengembangan Klaster ... 129
19 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Hambatan Pembentukan Klaster ……… 132
20 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Peran Pemerintah ……… 135
21 Analisis Kelayakan Usaha Agroindustri Sutera Alam ... 139
22 Hasil Analisis Sensitivitas Perubahan Harga Jual Kokon Terhadap Kriteria Investasi Pada Pemeliharaan Ulat Sutera ... 140
23 Hasil Analisis Sensitivitas Perubahan Harga Jual Benang Terhadap Kriteria Investasi Pada Industri Pemintalan Sutera ... 140
24 Hasil Analisis Sensitivitas Perubahan Harga Jual Kain Terhadap Kriteria Investasi Pada Industri Pertenunan Sutera ... 141
25 Hasil Analisis Sensitivitas Perubahan Harga Jual Kain Batik Terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Pembatikan Sutera ... 141
26 Hasil Analisa Sensitivitas Peningkatan Harga Jual Kokon, Benang, Kain dan Batik Terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Agroindustri Sutera Alam... 142
27 Hasil Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Bahan Baku Kokon terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Pemintalan... 142
iv 29 Hasil Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Bahan Baku Kain
terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Pembatikan ... 144 30 Hasil Analisa Sensitivitas Perubahan Biaya Pemasaran Terhadap
Kriteria Investasi Pada Masing-masing Usaha Agroindustri Sutera
Alam ……….. 144
31 Kebutuhan Pasokan Pada Usaha Integrasi Pemelihara Ulat Sutera,
Pemintalan, Pertenunan dan Pembatikan ... 146 32 Kebutuhan Pasokan Pada Usaha Integrasi Petani/pemelihara Ulat
Sutera, Pemintalan, dan Pertenunan ... 146 33 Hasil Analisa Kelayakan Usaha Integrasi Petani/pemelihara Ulat
Sutera dan Pemintalan ... 147 34 Hasil Analisis Kesetaraan B/C Usaha Integrasi Petani/pemelihara
Ulat Sutera, Pemintalan, Pertenunan dan Pembatikan ... 148 35 Hasil Analisis Kesetaraan B/C Usaha Integrasi Petani/pemelihara
Ulat Sutera, Pemintalan dan Pertenunan ... 148 36 Hasil Analisis Kesetaraan B/C Usaha Integrasi Petani/pemelihara
1 Alur Proses Usaha Sutera Alam ... 8
2 Berbagai Jenis Murbei ... 11
3 Pohon Murbei, Pemeliharaan Ulat Sutera dan Kokon ... 13
4 Mesin Reeling (Pemintalan) Sutera Otomatis, Mesin Reeling Sutera Konvensional dan Benang Sutera Hasil Reeling ... 14
5 Alat Tenun Bukan Mesin , Kain Sutera Produksi Thailand... 15
6 Proses Pembatikan dengan Cap dan Tulis serta Kain Batik... 16
7 Grafik Perkembangan Ekspor Produk Sutera ... 17
8 Grafik Perkembangan Impor Produk Sutera ... 17
9 Sistem Nilai (value System) ... 27
10 Model Keterkaitan Strategi Klaster ... 34
11 Berlian Keunggulan Daya Saing Industri Nasional ... 36
12 Siklus Integrasi Perusahaan dalam Persaingan ... 39
13 Rantai Nilai Dalam Perusahaan ... 41
14 Sistem Nilai Dalam Perusahaan ... 41
15 Struktur Dasar Sistem Penunjang Keputusan ... 47
16 Struktur Hirarki AHP ... 51
17 Matriks DP-D untuk Elemen Tujuan ... 55
18 Kerangka Pemikiran Konseptual Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 64
19 Diagram Alir Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 65
20 Peta Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara ... 73
21 Diagram Sebab Akibat Sistem Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 80
22 Diagram Input-Output Sistem Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 81
23 Konfigurasi Sistem Pendukung Keputusan Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera dengan Pendekatan Klaster ... 84
24 Diagram Alir Model Pemilihan Lokasi Pengembangan Klaster ... 86
25 Diagram Alir Model Pemilihan Industri Inti Agroindustri Sutera Alam ... 87
26 Diagram Alir Sub Model Identifikasi Elemen Pengembangan Industri Inti ... 88
27 Diagram Alir Sub Model Strukturisasi Elemen Pengembangan Industri Inti ... 89
28 Diagram Alir Sub Model Identifikasi Elemen Pelaku/Lembaga ... 90
29 Diagram Alir Sub Model Strukturisasi Elemen Pelaku/Lembaga ... 91
30 Diagram Alir Sub Model Kelayakan Usaha Kebun dan Pemeliharaan Ulat Sutera ... 93
34 Diagram Alir Sub Model Kelayakan Usaha Integrasi ... 97
35 Diagram Alir Model Kesetaraan/Harmonisasi Harga ... 98
36 Hirarki Pemilihan Lokasi Pengembangan ... 107
37 Hirarki Elemen dan Vector Pemilihan Lokasi Pengembangan ... 107
38 Hirarki Pemilihan Industri Inti ... 109
39 Hirarki Elemen dan Vector Pemilihan Industri Inti... ... 109
40 Strukturisasi Elemen Kendala Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ………... 113
41 Klasifikasi Elemen Kendala Pengembangan Industri Inti ... 114
42 Strukturisasi Elemen Kebutuhan Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ………... 116
43 Klasifikasi Elemen Kebutuhan Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ... 117
44 Strukturisasi Elemen Tujuan Pengembangan Industri Inti ... 119
45 Klasifikasi Elemen Tujuan Pengembangan Industri Inti ... 120
46 Strukturisasi Hirarki Elemen Aktivitas Pengembangan Industri Inti . 122 47 Klasifikasi Elemen Aktivitas Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ... 123
48 Strukturisasi Hirarki Elemen Pelaku/Lembaga Pengembangan ... 127
49 Klasifikasi Elemen Pelaku/Lembaga Pengembangan ... 128
50 Strukturisasi Elemen Keberhasilan Pengembangan Klaster ... 130
51 Klasifikasi Keberhasilan Pengembangan Klaster ... 131
52 Strukturisasi Elemen Hambatan Pembentukan Klaster ... 133
53 Klasifikasi Hambatan Pembentukan Klaster ……… 134
54 Strukturisasi Hirarki Elemen Peran Pemerintah ... 134
55 Klasifikasi Elemen Peran Pemerintah ………... 137
56 Sub Elemen Dengan Driver Power Kuat Pada Sistem Pengem-bangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 157
57 Model Kelembagaan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 167
vii
1 Data Struktur Biaya Usaha Tani/Pemelihara Ulat Sutera... 192
2 Data Struktur Biaya Industri Pemintalan Sutera Alam ... 195
3 Data Struktur Biaya Industri Pertenunan Sutera ... 197
4 Data Struktur Biaya Industri Pembatikan Sutera ... 198
5 Perkiraan Arus Kas Agroindustri Sutera ... 201
6 Keperluan Mesin, Peralatan dan Lahan ... 203
7 Potensi Agroindustri Sutera Alam di Kabupaten Wajo... 204
1 AHP Analitical Hierarchy Process atau proses hierarki analitic, salah satu metoda pengambilan keputusan dengan menerapkan analisis dan sintesis guna mendapatkan peubah yang memiliki prioritas tertinggi dan paling berpengaruh terhadap pengambilan keputusan tersebut.
2 ATBM Singkatan dari Alat Tenun Bukan Mesin yang digunakan untuk menenun benang yang menghasilkan kain.
3 ATM Alat Tenun Mesin
4 BEP Break Event Point, titik impas
5 Competitive Advantage
Keunggulan bersaing
6 Daya Saing Dalam penelitian ini daya saing terkait dengan kualitas, disain, biaya dan delivery.
7 Finishing silk fabrics
Kain sutera yang sudah diproses lanjut antara lain anti kusut, diperlembut dll.
8 Industri inti Industri yang diunggulkan dan diharapkan menjadi penghela usaha lainnya di dalam klaster
9 Industri Kecil Menurut Undang-Undang No 9 tahun 1995, Industri Kecil adalah usaha yang mempunyai nilai asset diluar tanah dan bangunan sebesar ≤ Rp. 200 (Dua Ratus Juta Rupiah)
Menurut BPS Industri Kecil adalah usaha yang mempunyai tenaga kerja > 5 (lima) orang dan < 20 (dua puluh) orang.
10 Industri Menengah
Menurut Inpres No. 10 Tahun 1999, Industri Menengah adalah usaha yang mempunyai nilai asset diluar tanah dan bangunan sebesar ≤ Rp. 10 Milyar (Sepuluh Milyar Rupiah)
Menurut BPS Industri Menengah adalah usaha yang mempunyai tenaga kerja ≥ 20 (dua puluh) orang dan < 100 (seratus) orang.
11 IRR Internal Rate of Return, tingkat pengembalian modal atau investasi
12 Integrasi Penggabungan satu usaha dengan usaha lainnya
13 Kelembagaan Menurut Nasution (1999), kelembagaan didefinisikan sebagai suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya yang sekaligus mengatur hubungan seseorang dengan lainnya.
14 Kerjasama Kegiatan yang dilakukan secara bersama untuk mencapai satu tujuan yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang melakukan kerjasama
15 Keterkaitan Menurut Porter (1994) keterkaitan adalah hubungan antar suatu aktivitas dengan aktivitas lain.
yang dihubungkan dengan adanya kebersamaan (commonalities) dan sifat saling melengkapi (complementaries) satu sama lain.
17 Kokon Kokon adalah gulungan filamen yang diproduksi oleh ulat sutera
18 Metodologi Kumpulan metoda yang digunakan dalam pencapaian suatu tujuan
19 Model Menurut Suryadi dan Ramdani (2000), model didefinisikan sebagai suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu dari suatu sistem nyata
20 Murbei Sejenis pohon yang daunnya digunakan sebagai pakan ulat sutera
21 NPV Net Present Value, nilai sekarang dari suatu laba yang timbul karena adanya investasi
22 Net B/C Perbandingan antara keuntungan bersih yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan
23 OWA Ordered Weighted Average, salah satu metoda agregasi fuzzy yang memudahkan penggabungan operasi AND dan OR
24 PBP Pay Back Period, perioda atau jangka waktu pengembalian
investasi
25 Pemodelan Upaya membentuk model sesuai dengan yang ditetapkan atau dirancang sebelumnya
26 Raw Silk Benang sutera yang belum di twist
27 Reeling Mesin yang digunakan untuk memintal filamen yang berasal dari kokon yang menghasilkan benang sutera.
28 Stakeholders Pemangku kepentingan yang terlibat.
29 Twist Gintir. Untuk menambah kekuatan benang diperlukan gintiran.
30 UKM Usaha Kecil Menengah
31 Validasi Menurut Sargent (1998), validasi model adalah kebenaran bahwa model yang telah dikomputerkan memiliki akurasi/ketepatan sesuai model aplikasi yang diharapkan
32 Value Chain Rantai nilai yang terdiri dari aktivitas utama dan aktivitas pendukung
33 Verifikasi Menurut Sargent (1998), verifikasi model adalah keyakinan bahwa program komputer dan implementasinya sudah benar.
1.1. Latar Belakang
Usaha agroindustri sutera alam sangat potensial untuk dikembangkan di
Indonesia karena sumber daya sangat mendukung pengembangan usaha tersebut.
Usaha ini mudah digeluti karena teknologinya sederhana serta mempunyai potensi
pasar yang masih sangat besar terutama untuk pasar lokal maupun untuk pasar
ekspor. Saat ini jumlah kebutuhan raw silk dunia cukup besar yaitu mencapai 118.000
ton sedangkan produksi raw silk dunia hanya mencapai 92.742 ton. Kebutuhan ini
diprediksikan akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambahnya penduduk
serta semakin membaiknya perekonomian dunia. (Depperin, 2006d).
Agroindustri sutera alam sebagian besar diusahakan rakyat dalam usaha skala
kecil dan menengah (UKM) dengan lahan yang relatif tidak luas antara 0,5 sampai
dengan 1 (satu) ha, modal usaha yang kurang memadai tidak lebih dari Rp. 100 juta
juta, kemampuan dan keterampilan yang rendah, peralatan dan teknologi sederhana
dan kurangnya kemampuan akses informasi. Selain itu, pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap berkembangnya agroindustri sutera alam belum
menunjukkan aktivitas yang terpadu. Pelaku usaha, industri/institusi pendukung dan
pemerintah memiliki program pengembangan sendiri-sendiri, kurang terkoordinasi
dan kurang saling mendukung. Kondisi tersebut menyebabkan daya saing
agroindustri sutera alam rendah, karena produktivitas usaha dan kualitas sutera alam
yang dihasilkan rendah. Untuk itu, perlu pengembangan agroindustri sutera alam
untuk meningkatkan daya saingnya sehingga dapat meningkatkan pendapatan
petani/pemelihara ulat sutera, pengusaha pemintalan, pertenunan dan pembatikan.
Pengembangan agroindustri sutera alam mempunyai nilai strategis dalam
proses pembangunan perekonomian nasional, karena dapat memperluas kesempatan
kerja dan berusaha, meningkatkan nilai tambah, meningkatkan perolehan devisa
negara dan membangun perekonomian bangsa berbasis kerakyatan yang memiliki
keunggulan komparatif. Agroindustri sutera alam merupakan salah satu industri yang
difokuskan oleh pemerintah untuk dikembangkan. Untuk melaksanakan peningkatan
dan pengembangan sutera alam, tiga instansi Pemerintah yaitu Departemen
penandatanganan kerjasama. Pengembangan sutera alam juga tidak terlepas dari
strategi pembangunan industri nasional. Strategi pembangunan industri nasional di
Indonesia telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan dunia meskipun agak
ketinggalan jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
Perubahan-perubahan kebijakan dan strategi terus dilakukan untuk mengejar
ketertinggalan tersebut. Menurut Tambunan (2001), pada awalnya sekitar dekade
1960-an sampai pertengahan dekade 1980-an dilakukan strategi substitusi impor yang
mempunyai ciri-ciri antara lain proteksi yang sangat tinggi misalnya pengenaan bea
masuk yang tinggi untuk barang-barang industri manufaktur yang diimpor,
pengenaan tata niaga atas berbagai jenis barang antara lain berupa larangan impor,
kuota dan lisensi impor, ketentuan-ketentuan administrasi serta hambatan non tarif
lainnya.
Selanjutnya Tambunan (2001) menjelaskan bahwa pelaksanaan strategi
tersebut dilakukan dengan memberikan prioritas pada pengembangan industri
berspektrum luas (broad-based industry) dan industri-industri berbasis teknologi
tinggi (high-tech industry) dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian
besar masih diimpor. Di lain pihak industri-industri berbasis pertanian (agroindustri)
yang mempunyai keunggulan komparatif karena sebagian besar bahan bakunya
tersedia di dalam negeri yang berpotensi memiliki keunggulan kompetitif bila
dikembangkan, kurang mendapatkan perhatian. Strategi yang bukan berbasis
agroindustri tersebut dilakukan berkepanjangan sehingga mengakibatkan
perkembangan industri di Indonesia terlambat berkembang karena menciptakan high
cost economy, dan dampak negatif selanjutnya adalah rendahnya kemampuan
bersaing produk produk industri manufaktur di pasar dunia.
Beberapa negara berkembang lainnya juga mempunyai pengalaman yang
sama dengan Indonesia dimana kurang berhasil dengan strategi substitusi impor,
sehingga badan-badan dunia, antara lain Bank Dunia dan Lembaga Keuangan
Internasional (IMF) menganjurkan agar negara-negara berkembang mulai mengubah
strategi industrinya dengan strategi promosi ekspor dimana strategi industrialisasi
yang diterapkan berorientasi pasar ekspor. Strategi tersebut mulai diikuti oleh
pemerintah Indonesia dengan melakukan perubahan strategi substitusi impor menjadi
Sejalan dengan perkembangan dunia yang mengikuti era perdagangan bebas
saat ini, bentuk proteksi dan fasilitas yang selama ini dapat dinikmati oleh industri
dalam negeri termasuk Indonesia mulai dihapuskan. Dengan dihapuskannya
hambatan-hambatan pada perdagangan internasional, industrialisasi harus
sepenuhnya dilaksanakan dengan strategi peningkatan ekspor dengan konsekwensi
peningkatan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun di
pasar ekspor.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa industri yang tadinya dibangun dengan
strategi substitusi impor dengan berbagai proteksi mempunyai daya saing yang
rendah sehingga ketika krisis ekonomi terjadi pada akhir 1990an industri tersebut
banyak yang berhenti beroperasi. Di lain pihak terlihat bahwa industri berbasis
pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat
negatif dari krisis ekonomi tersebut (Saragih 2001). Dari pengalaman dan
perkembangan tersebut maka strategi ke depan perlu mempertimbangkan dan
menjadikan agroindustri sebagai sektor yang memimpin (leading sector) dalam
pengembangan industri.
Untuk menghadapi tantangan persaingan global yang semakin ketat melalui
pembangunan agroindustri, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan
menetapkan agar pembangunan industri dilakukan melalui pendekatan klaster.
Pemilihan strategi yang didorong oleh pemikiran bahwa sebagian besar kebijakan
yang ditetapkan pada masa lalu cenderung bersifat parsial dan kurang
memperhatikan keterkaitan horizontal maupun vertikal menimbulkan biaya tinggi dan
pada gilirannya justru melemahkan daya saing nasional. Pengembangan industri
melalui pendekatan klaster membutuhkan rumusan strategi nasional dimana
perumusannya harus melibatkan seluruh unsur mulai dari Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah, bersama seluruh pelaku usaha dan instansi terkait lainnya.
Strategi nasional tersebut memuat arahan pengembangan masing-masing klaster
industri yang secara khusus mempertimbangkan potensi sumber daya lokal sehingga
Pemerintah Daerah beserta pelaku usaha terkait memiliki peluang lebih besar di
dalam menciptakan lingkungan bisnis lokal yang kondusif.
Pengembangan industri melalui pendekatan klaster mendorong terbentuknya
dan Koperasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Pendekatan klaster
industri tampaknya mengacu kepada hasil penelitian Porter (1990) pada 10 negara
yang industrinya sudah maju (Denmark, Jerman, Itali, Jepang, Korea, Singapura,
Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat). Dari hasil penelitian tersebut
ditemukan kenyataan bahwa lokasi industri-industri yang kompetitif di negara-negara
tersebut tidak tersebar merata di seluruh wilayahnya, tetapi cenderung mengelompok
pada daerah-daerah tertentu, membentuk klaster-klaster industri. Hal ini menurut
Porter terjadi karena dinamika dari "national diamond" negara-negara tersebut
mendorong terbentuknya klaster-klaster industri yang kompetitif di daerah-daerah
tertentu saja. Penelitian Porter tersebut telah menjadi topik pembahasan dan
penelitian-penelitian lanjutan di banyak negara, dan akhirnya banyak negara maju
maupun negara berkembang membuat kebijakan dan strategi pengembangan industri
melalui pendekatan klaster.
Mengikuti fenomena dan perkembangan tersebut pemerintah Indonesia juga
mencoba untuk menerapkan strategi tersebut dalam pembangunan industrinya.
Peraturan Presiden RI No. 7 (2005) memberikan arahan pengembangan industri lima
tahun ke depan melalui pendekatan klaster. Ada sepuluh subsektor industri prioritas
yang akan dikembangkan melalui pendekatan klaster yaitu kelompok industri
makanan dan minuman, pengolah hasil laut, tekstil produk tekstil, alas kaki, barang
kayu (termasuk rotan dan bambu), karet dan barang karet, pulp dan kertas, mesin
listrik dan peralatan listrik serta petro kimia.
Meskipun konsep pembangunan industri melalui pendekatan klaster tersebut
sudah lama diperkenalkan dan diterapkan di negara lain namun di Indonesia
penerapan strategi tersebut sangat lambat diantisipasi oleh pemerintah Indonesia
termasuk Departemen Perindustrian sebagai instansi pembina industri. Beberapa
klaster yang dicoba untuk dikembangkan antara lain klaster kayu di Jepara, klaster
alas kaki di Sidoarjo, klaster rotan di Cirebon dan Palu, klaster batu mulia dan
perhiasan di Jawa Timur, klaster tekstil produk tekstil di Majalaya, dan lain lain.
Pengembangan industri melalui pendekatan klaster mengikuti arahan
kebijakan yang tertuang dalam Perpres no.7 Tahun 2005 sehingga implementasi dari
kebijakan tersebut masih tergolong baru. Hal tersebut mengakibatkan sampai sat ini
Departemen Perindustrian telah memilih 10 industri prioritas untuk
dikembangkan dimana salah satunya adalah industri Tekstil Produk Tekstil (TPT)
yang di dalamnya termasuk agroindustri sutera alam. Industri sutera alam merupakan
salah satu industri yang potensial untuk dikembangkan sebagai industri andalan
karena memiliki keunggulan antara lain (1) Bahan baku berbasis pada sumber daya
alam dalam negeri, (2) Produk sutera berpotensi menjadi komoditi andalan ekspor
dan peluang pasar dalam negeri sangat besar dengan indikasi pada tahun 2005,
Indonesia masih mengimpor sutera dengan nilai mencapai US$ 2,5 juta, (3) Banyak
menyerap tenaga kerja, saat ini jumlah tenaga kerja pada agroindustri sutera alam
mencapai 217.120 orang, (4) Industri sutera alam sangat dekat dengan usaha
masyarakat menengah ke bawah karena pada umumnya saat ini bentuk usaha sutera
alam dalam skala kecil menengah yang digeluti masyarakat pedesaan, (5) Industri
sutera alam masih menggunakan teknologi yang sangat sederhana dan dapat
dilakukan dengan menggunakan mesin berteknologi rendah dan madya, (6) Sektor
industri ini bersifat lintas sektoral karena memiliki keterkaitan yang luas dengan
sektor ekonomi yang lain yaitu sektor kehutanan dan perkebunan, sektor pertanian,
sektor tenaga kerja, bidang pemberdayaan perempuan, pengembangan wilayah dan
sebagainya, (7) Penyebaran usaha sutera alam Indonesia sudah cukup luas mencakup
sepuluh wilayah yaitu daerah Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.
Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sumatera
Barat dan Sumatera Utara.
Sebagaimana telah dijelaskan, daya saing industri nasional masih rendah
termasuk agroindustri sutera alam. Rendahnya daya saing agroindustri sutera alam
ditandai dengan rendahnya kualitas dan disain produk, rendahnya produktivitas dan
efisiensi, biaya produksi yang tinggi, waktu penyampaian barang yang lambat serta
lemahnya akses pasar.
Dari uraian tersebut di atas, maka salah satu strategi pembangunan industri ke
depan dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan yaitu pembangunan industri berbasis
agro dan pendekatan klaster. Masalah-masalah yang berkaitan dengan daya saing
yang dihadapi oleh agroindustri sutera alam penyelesaiannya dilakukan melalui
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model sistem pengembangan
agroindustri sutera alam melalui pendekatan klaster dalam rangka peningkatan daya
saing meliputi Quality, Cost and Delivery (QCD), peningkatan nilai tambah dan
pendapatan masyarakat.
1.3. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya pada usaha kecil menengah
agroindustri sutera alam yaitu petani/pemelihara ulat sutera, pemintalan sutera,
pertenunan sutera dan pembatikan yang meliputi:
1. Pengembangan model lokasi klaster yaitu memilih salah satu lokasi dalam hal ini
Kabupaten atau Kota yang paling sesuai untuk pengembangan agroindustri sutera
alam melalui pendekatan klaster.
2. Pengembangan model industri inti yaitu untuk menentukan industri inti
agroindustri sutera alam yang dipilih dari rantai nilai (value chain) serta melakukan pengembangannya. Industri inti merupakan penggerak utama dalam
pengembangan agroindustri sutera alam.
3. Pengembangan model kelembagaan ditujukan untuk membuat satu model
kelembagaan dimana semua pihak terkait dan yang berkepentingan di dalam
pengembangan klaster agroindustri sutra alam dapat terintegrasikan, melihat
faktor-faktor pendukung keberhasilan dan hambatan pembentukan klaster.
4. Pengembangan model kelayakan usaha melalui kriteria, Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR), Pay Back Period (PBP), dan Break Even Point (BEP) terbatas pada usaha kecil menengah pemeliharaan ulat sutera, industri pemintalan (reeling) sutera, industri pertenunan sutera, pembatikan. Pengembangan kelayakan usaha ditujukan untuk menjadi acuan bagi
pelaku usaha yang terlibat di dalam klaster.
5. Pengembangan model kesetaraan harga yang ditujukan untuk
mengharmonisasi-kan semua kepentingan agar masing-masing pelaku usaha yang terlibat di dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agroindustri Sutera Alam
Agroindustri sutera alam merupakan salah satu kegiatan agroindustri yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan mengingat bahan bakunya tersedia di dalam
negeri, teknologinya sederhana serta mempunyai potensi pasar yang masih sangat
besar terutama untuk pasar lokal dan tidak terlepas kemungkinan untuk mengisi pasar
ekspor. Industri ini mempunyai rangkaian kegiatan yang panjang; mencakup
pemeliharaan ulat sutera/produksi kokon, pengolahan kokon/pemintalan, pertenunan
sutera, pembatikan dan pakaian jadi. Perkembangan usaha IKM pemintalan dan
pertenunan sutera alam pada tahun 2002-2005 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan IKM Pemintalan dan Pertenunan Sutera Tahun 2002-2005
TAHUN
2 Tenaga Kerja (orang) 55.600 57.978 63.097
Sumber : Depperin (2006c)
Alur proses agroindustri sutera alam mulai dari hulu ke hilir ditunjukkan pada
Gambar 1. Bahan baku untuk benang disupplai oleh usaha pemelihara ulat sutera
dengan aktivitas mulai dari penanaman pohon murbei, memelihara ulat sutera
sehingga menghasilkan kokon. Filamen yang berasal dari kokon akan dipintal dengan
mesin pemintal (reeling) yang menghasilkan benang. Selanjutnya benang akan
dipasok ke industri pertenunan dengan hasil produksi akhir kain sutera yang
grey maupun kain bermotif dipasarkan kembali ke industri pakaian jadi maupun
industri pembatikan, sedangkan kain tenun ikat dapat langsung dipasarkan ke
konsumen. Sebagian kecil kain tenun sutera dipergunakan juga sebagai bahan baku
untuk industri-industri kerajinan. Pasar dari produk tersebut ada yang diekspor,
namun pasar terbesar adalah untuk dalam negeri.
Bahan Baku
Produk-produk berbasis kain sutera 1. Baju Batik Sutera
2. Pakaian Jadi Sutera 3. Sarung Sutera
4. Lain-lain, seperti: Barang-barang Tekstil, Dasi, Dompet dan
Souvenier
Catatan : Limbah kokon masih dapat dimanfaatkan (Spun Silk)
1.Perajin benang Sutera
2.Industri pemintalan 1.Ekspor
2. Industri
Gambar 1. Alur Proses usaha Sutera Alam (Depperin, 2006b)
Murbei Ulat Sutera
2.2. Jenis-Jenis Murbei dan Pemeliharaan Ulat Sutera 2.2.1. Marga dan Jenis Murbei
Murbei termasuk marga Morus dari keluarga Moraceae. Berdasarkan
morfologi bunga marga Morus dipilah-pilah menjadi 24 jenis (Atmosoedarjo et. al,
2000), yang kemudian ditambah dengan lima jenis lagi. Murbei pada dasarnya
mempunyai bunga kelamin tunggal, meskipun kadang-kadang juga berkelamin
rangkap.
Menurut Yamamoto (1985) dalam Atmosoedarjo et al. (2000) M. nigra adalah
satu jenis murbei yang tersebar sangat luas, di antara 6 jenis murbei yang didatangkan
dari Jawa ke Sulawesi, karena perakarannya yang sangat baik. Sesudah melalui
beberapa percobaan pemupukan, maka dipilih M. alba untuk disebarluaskan, karena
menghasilkan daun banyak dan berkualitas tinggi. Dalam percobaan yang sama M.
multicaulis menghasilkan daun banyak juga, kendati tanpa pemupukan, akan tetapi
daunnya sangat kasar.
2.2.2 Beberapa jenis murbei di Indonesia dan kegunaannya
Ciri-ciri untuk mengenal jenis murbei, yang banyak ditanam dan daunnya
digunakan sebagai pakan ulat sutera di Indonesia, secara ringkas adalah sebagai
berikut :
a. M. nigra
Dikenal dengan nama "murbei hitam", atau jenis "nigra". Berupa perdu, yang
dapat mencapai ketinggian sampai 1,5 meter, kalau sudah dewasa. Warna batangnya
hijau kecoklat-coklatan, adakalanya coklat hitam kalau sudah tua. Bentuk daunnya
lonjong dan lancip ujungnya, dengan panjang antara 5 - 10 cm atau lebih, tergantung
dari daerah tumbuhnya. Daunnya berwarna hijau tua, permukaannya halus dan
adakalanya bercelah/berlekuk dalam dan cabangnya banyak. Stek yang berusia lebih
dari 9 - 12 bulan mempunyai 10 cabang atau lebih, apalagi kalau sudah pernah
dipangkas.
Buahnya berwarna merah jambu, ketika masih muda, dan hitam, kalau sudah
tua. Bunga dan buah akan banyak kalau tanaman sudah mencapai umur lebih dari 8
b. M. multicaulis
Dikenal dengan nama "murbei multi", atau "murbei besar". Berupa perdu,
yang cepat besar dan tinggi. Warna batang coklat, atau coklat kehijau-hijauan.
Daunnya sangat besar, membulat dan permukaannya bergelombang, sedang pinggiran
daun bergerigi. Cabangnya tidak banyak, paling-paling antara 2 - 4 cabang saja.
Setiap cabang cepat memanjang dan membesar. Buahnya berwarna merah, yang
keluar pada waktu stek baru ditanam, atau batangnya baru dipangkas. Buahnya jarang
didapat pada cabang atas. Sekarang banyak ditanam untuk makanan ulat, karena
bentuk daunnya yang besar dan kecepatan tumbuhnya. Tetapi sangat disayangkan,
bahwa pucuk-pucuknya mudah dan cepat sekali diserang hama serangga, atau
penyakit bakteria, virus atau jamur, sehingga bentuknya menggulung atau rusak.
c. M. australis
Dikenal dengan nama "murbei pagar", atau "murbei kecil", mengingat sering
ditanam sebagai pagar dan daunnya kecil-kecil. Sifat hidupnya hampir sama dengan
M. nigra, hanya batangnya berwarna coklat kekuning-kuningan dan dapat mencapai
ketinggian sampai 3 - 5 meter, berupa pohon. Kalau sudah berumur 10 tahun lebih,
dari satu batang dapat tumbuh sampai 50 cabang yang lebat dengan daun, sehingga
setiap musim (3 - 4 bulan sekali) dari satu pohon yang sudah tua bisa didapat 2 - 4
kwintal daun.
Sekarang banyak ditanam sebagai batang bawah, yang bagian atasnya
disambung dengan okulasi, dengan jenis nigra atau multi. Hal ini mengingat akan
daya tumbuhnya, yang besar dan kuat, dan tahan terhadap pergantian musim, atau
cuaca dan penyakit.
d. M. alba
Dikenal dengan nama "murbei buah", karena pada umumnya ditanam untuk
diambil buahnya, seperti di sekitar Lembang, Tawangmangu, dsb. Berbeda dengan
jenis-jenis murbei di atas, jenis ini tidak digunakan untuk pakan ulat, karena selain
tumbuhnya terbatas, daun yang dapat dipungut sangat sedikit, apalagi kalau tiba
waktunya berbuah.
Sifat yang sangat mencolok dari jenis ini adalah tentang buku, atau ruas
batangnya yang pendek-pendek dan pertumbuhannya yang tidak ke atas, melainkan
kecil lagi. Tinggi pohon, kalau tumbuh di daerah dingin, dapat sampai 1,5 meter,
tumbuh rimbun dan banyak bercabang.
e. M. Alba var. macrophylla
Jenis ini belum begitu dikenal di Indonesia. Tetapi di beberapa tempat,
terutama di Sumatera, ditanam orang bukan untuk daun atau buahnya, melainkan
untuk batangnya, yang baik untuk dibuat alat-alat perabot rumah-tangga, atau
olah-raga. Daunnya mempunyai bentuk yang sangat mencolok, yaitu mempunyai lekukan
yang dalam dan permukaannya sangat kasar, seperti ampelas. Karena itu tidak heran
kalau di beberapa daerah ditanam "murbei ampelas", karena memang sering dipakai
untuk mengampelas kulit muka supaya halus.
Batangnya berwarna putih dan beruas panjang-panjang. Tumbuh sangat cepat
dan subur, sehingga dalam waktu singkat bisa melebihi 3 meter tingginya. Bentuk
batangnyapun tidak berbeda dengan tumbuhan tinggi lainnya, seperti yang tumbuh di
Kebun Raya Bogor, atau di hutan-hutan pulau Andalas.
f. M. bombycis
Walaupun jenis murbei ini belum lama ditanam di Indonesia, tetapi sekarang
banyak ditanam orang, dengan bibit dari Jepang. Di Jepang jenis yang terkenal
dengan nama "ichinose" ini merupakan jenis murbei terkemuka untuk pakan ulat
sutera. Bentuk batangnya tidak berbeda dengan murbei multi, tetapi pertumbuhan
daunnya sama seperti murbei-nigra. Permukaan daun sangat halus, sehingga tak
terasa adanya gelombang apalagi lekukan pada permukaan daun, yang umum terdapat
Gambar 2. Berbagai Jenis Murbei yang digunakan sebagai Pakan Ulat Sutera di Indonesia (Atmosoedarjo et al. 2000).
2.2.3 Pemeliharaan Ulat Sutera
Bibit ulat sutera berupa telur ulat sutera yang dikembangkan dari jenis unggul
yaitu bivoltine. Pada saat sekarang telur diproduksi dan dikembang-biakkan oleh
Perum Perhutani yang berlokasi di Candiroto dan Soppeng, dengan produksi riil
sebanyak 25.000 kotak per tahun yang dapat menghasilkan kokon. Menurut
Atmosudardjo et al. (2000), pemeliharaan ulat sutera sudah dimulai di China sejak
berabad-abad yang lalu. Leluhurnya adalah Ulat sutera liar, Bombyx mandarina, yang
ditemukan di pohon murbei di China, Jepang dan negara lain di Asia Timur.
Pemeliharaan ulat sebanyak enam kali, atau delapan kali tiap tahun, bahkan
mungkin lebih, di negara kita dapat dilakukan, asal dapat mengatur waktu penanaman
dan waktu pemangkasan di beberapa bagian kebun murbei, dengan perhitungan,
bahwa sembilan bulan sebelum pemeliharaan ulat dimulai, harus sudah selesai
menanam dan menyediakan tanaman murbeinya. Dengan perhitungan waktu tersebut, Morus alba
Morus nigra Morus multicaulis. Morus australis.
M. alba var. macrophylla
maka tinggal mengatur berapa kali pemeliharaan akan kita lakukan setiap tahun, agar
persediaan daun cukup banyak dan pemeliharaan ulat sutera tidak terlantar. Kecuali
itu, di samping kebun-kebun, yang sudah termasuk di dalam rencana, harus
disediakan pula kebun persediaan, atau kebun bandingan, untuk persediaan kalau
kebun-kebun biasa terkena hama, atau ada gangguan lain. Pemeliharaan ulat
sebanyak 12 kali setiap tahun, di negara kita dapat saja dilakukan, asal tersedia paling
sedikit empat bagian kebun murbei yang berlainan waktu mulai ditanamnya, dan
sedikitnya harus ada dua tempat pemeliharaan. Kalau satu tempat pemeliharaan
dipakai, yang lain dibersihkan, dan sebaliknya. Tetapi cara pemeliharaan 12 kali tiap
tahun akan memerlukan persyaratan kerja, alat-alat dan pengawasan yang sangat
ketat, agar tidak mengakibatkan kegagalan atau kerugian (Atmosoedarjo et al. 2000).
Produksi kokon berpotensi besar karena cepat memberikan hasil dengan nilai
ekonomi yang cukup tinggi. Teknologi yang digunakan sederhana dan dapat
dilakukan sebagai usaha utama maupun sebagai usaha tambahan atau sampingan.
Pekerjaan-pekerjaan dalam usaha agroindustri ini dapat dilakukan oleh pria, wanita
dewasa maupun anak-anak. Kegiatan tersebut bersifat padat karya sehingga dapat
menjadi sumber pendapatan masyarakat yang menguntungkan dan dapat pula
dijadikan ajang untuk mengentaskan kemiskinan di pedesaan. Pada tahun 2005 posisi
perkembangan usaha pengolahan kokon meliputi 11.867 petani (KK), luas tanaman
murbei 9.526 ha dan menghasilkan kokon sebanyak 7.129,5 ton. (Depperin, 2006b).
2.3. Industri Pemintalan Sutera Alam
Industri pemintalan sutera menggunakan alat pintal (reeling) baik dengan
sistim manual dan semi mekanis maupun dengan sistim semi otomatis. Sentra utama
industri pemintalan benang sutera terdapat di Sulawesi Selatan (Kab. Enrekang,
Soppeng dan Wajo) dan Jawa Barat (Kab. Garut, Tasikmalaya, Bogor dan Cianjur).
Sentra penghasil benang sutera lainnya adalah (1) Jawa Tengah tersebar di Kabupaten
Pemalang, Jepara, Pekalongan, Pati, Wonosobo dan Banyumas, (2) DI Yogyakarta
tersebar di Sleman dan Kota Yogyakarta, (3) Bali: Badung dan Tabanan, (4) NTB di
Lombok Barat, (5) NTT: Timor Timur Selatan, (6) Lampung tersebar di Lampung
Barat, (7) Sumatera Selatan tersebar di Kabupaten OKU, (8) Sumatera Barat tersebar
di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten 50 Kota. (9) Sumatera Utara tersebar di
Kabupaten Deli Serdang dan Simalungun.
Jumlah industri pemintalan sutera sekitar 2.363 unit usaha, menyerap tenaga
kerja sebanyak 7.796 orang. Produsen benang sutera terbesar Indonesia adalah
Sulawesi Selatan, namun seluruh produksi belum mampu memenuhi kebutuhan
benang sutera nasional. Untuk mengisi kekurangan benang sutera tersebut diatasi
dengan mengimpor benang sutera dari China, Thailand, Vietnam dan India.
(Depperin, 2006b)
Gambar 4. Mesin Reeling (pemintalan) Sutera Otomatis, Mesin Reeling Sutera Konvensional dan Benang Sutera Hasil Reeling.
2.4. Industri Pertenunan
Industri pertenunan sutera menggunakan peralatan yaitu sistem gedogan, alat
tenun bukan mesin (ATBM) dan alat tenun mesin (ATM). Pada saat ini terdapat
kerja dengan nilai produksi sebesar Rp 1.063 miliar atau setara dengan 26 juta meter.
Sentra utama yang memproduksi kain sutera terdapat di Sulawesi Selatan sebanyak
9.387 unit usaha atau 64% dari potensi nasional, sedangkan daerah lain yang
memproduksi kain sutera adalah Jawa Barat (Majalaya, Tasikmalaya, dan Garut),
Jawa Tengah (Jepara, Pemalang dan Pekalongan), DI Yogyakarta (Sleman) dan Bali
(Tabanan dan Badung).
Gambar 5. Alat Tenun Bukan Mesin dan Kain Sutera Produksi Thailand.
2.5. Industri Pembatikan
Batik adalah produk seni rupa Indonesia hasil pewarnaan rintang dengan
menggunakan lilin batik sebagai bahan perintangnya. Karena itu dilihat dari teknik
pembuatannya, batik melalui tiga pokok tahapan proses yaitu :
1. Pelekatan lilin batik sebagai media penerapan ragam hias pada kain
2. Pewarnaan
3. Penghilangan/pelepasan lilin batik
Teknik aplikasi pelekatan lilin batik sesuai motifnya dapat dilakukan dengan
alat canting tulis, canting cap atau kombinasi keduanya. Dengan cara pelekatan lilin
batik tersebut, produk batik dapat digolongkan sebagai batik tulis, batik cap dan batik
kombinasi tulis dan cap. Bahan baku untuk batik dapat digunakan kain yang terbuat
dari serat alam maupun serat buatan. Kain dari serat alam termasuk kain sutera.
Pewarnaan dapat dilakukan dengan cara pencelupan maupun kuwasan/
coletan, sedangkan penghilangan lilin batik dilakukan pada tengah proses dan pada
akhir proses. Penghilangan lilin pada tengah proses dapat dilakukan lebih dari satu
Sentra utama industri pembatikan sutera terdapat di Jambi, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung dan Bali. Pada tahun
2005 jumlah industri kecil menengah batik sebesar 40.549 unit usaha, menyerap
tenaga kerja sebanyak 703.560 orang dengan nilai produksi sebesar Rp. 2.506
milyar. Industri penghasil batik dunia adalah Indonesia meskipun saat ini telah
banyak negara khususnya di Asia mulai memproduksi batik. Penghasil batik terbesar
setelah Indonesia antara lain Malaysia, Singapore, dan bahkan Thailand juga telah
mulai memproduksi batik. Industri batik Indonesia yang menggunakan sutera sebagai
bahan bakunya sekitar 15%.
Gambar 6. Proses Pembatikan dengan Cap dan Tulis serta Kain Batik.
2.6. Pemasaran
Pada umumnya pasar produk sutera di dalam negeri. Produk sutera di
distribusikan mulai dari petani kokon ke sentra-sentra industri pemintalan kemudian
benangnya dijual ke pelaku usaha industri pertenunan sutera. Secara tradisional sudah
terbentuk jaringan distribusi pemasaran dengan pendekatan market operation, artinya
pemasaran produk sutera telah berjalan sesuai mekanisme pasar.
Permintaan kain sutera oleh industri pembatikan sekitar 1 juta meter atau
setara 200 ton benang sutera per bulan, permintaan kain sutera untuk industri gaun
pengantin, interior, garmen dan produk jadi lainnya di dalam negeri cukup besar. Di
samping tujuan pasar dalam negeri, produk sutera juga di ekspor ke Jepang, Italia,
Perancis dan Amerika Serikat. Ekspor produk sutera alam dari tahun 2001 s/d 2005
-2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Gambar 7. Grafik Perkembangan Ekspor Produk Sutera (Depperin 2006b)
Realisasi produksi benang dan kain sutera dalam negeri belum memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri sehingga kekurangannya diimpor. Impor benang
sutera pada tahun 2005 mencapai US$. 1.365.320,00 dan impor kain sutera pada
tahun yang sama mencapai US$.1.135.998,00. Perkembangan impor
produk-produk persuteraan alam pada tahun 2001 s/d 2005 ditunjukkan pada Gambar 8.
2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
US
$ Kokon
Benang
Kain
Gambar 8. Grafik Perkembangan Impor Produk Sutera (Depperin 2006b)
2.7. Prospek Pengembangan
Persuteraan alam Indonesia merupakan kelompok agro-industri yang
sangat potensial untuk dikembangkan, karena memiliki berbagai keunggulan
antara lain sebagai berikut :
ketinggian 400-800 meter di atas permukaan laut untuk menghasilkan murbei dan
kokon yang baik.
2. Produk sutera memiliki nilai ekonomi tinggi dan banyak digemari masyarakat
tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
3. Usaha persuteraan alam dapat dikelola masyarakat pedesaan secara luas, dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat secara cepat untuk segera mengurangi
masalah kemiskinan dan dapat mengembangkan ekonomi kerakyatan.
4. Permintaan pasar produk sutera baik oleh pasar domestik maupun ekspor dari
tahun ke tahun cenderung meningkat seperti raw silk, yarn silk dan grey fabrics.
Perkembangan kebutuhan benang sutera dunia meningkat dari tahun 2002
sebesar 92.742 ton dan pada tahun 2005 mencapai 118.000 ton atau meningkat
27,3 %. Sedangkan Indonesia hanya mampu menghasilkan benang sutera rata-rata 78
ton per tahun. Demikian pula dengan barang-barang jadi sutera seperti finishing silk
fabrics (dyed maupun printed), ready made garment, made up goods dan bahan-bahan
untuk interior dan dekorasi pasarannya cukup baik untuk tujuan pasar dalam negeri
dan ekspor.
Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan persuteraan alam,
baik untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, maupun untuk memenuhi pasar
global. Diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama usaha persuteraan alam dapat
memberikan kontribusi yang berarti dalam perekonomian nasional. Hal ini akan
segera terwujud apabila pengembangan persuteraan alam nasional dikelola dengan
cermat dan konsepsional oleh instansi pembina dan para stakeholders.
2.8. Konsep Klaster
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2005-2009)
mengamanatkan bahwa lima tahun ke depan fokus pengembangan industri diarahkan
kepada pengembangan 10 klaster industri antara lain kelompok industri tekstil produk
tekstil. Definisi mengenai klaster antara lain sebagai berikut :
1. Depperin (2006e), mendefinisikan klaster sebagai kelompok yang secara
geografis berdekatan, yang terdiri dari perusahaan-perusahaan dan
kebersamaan (commonalities) dan sifat saling melengkapi (complementaries) satu sama lain.
2. Porter (1998a), menyatakan bahwa klaster adalah suatu kelompok perusahaan
yang saling terkait satu dengan lainnya (interconnected) memiliki asosiasi kelembagaan dalam satu bidang tertentu yang saling melengkapi, kompetitif
dan kooperatif.
3. Morosini (2003) menyatakan “An industrial cluster is a socioeconomic entity characterized by a social community of people and a population of economic agents localized in close proximity in a specific geographic region. Within an industrial cluster, a significant part of both the social community and the economics agents work together in economically link activities, sharing and nurturing a common stock of product, technology and organizational knowledge in order to generate superior products and services in the marketplace.”
4. Doeringer dan Terkla (1995) memberi definisi sebagai “Geographical concentration of industries that gain performance advantages through co-location”.
5. Definisi yang digunakan oleh UNIDO (OECD 1999) adalah: “The term cluster is used to indicate a sectoral and geographical concentration of enterprises which, first, give rise to external economics (such as the emergence of specialized suppliers of raw materials and component or the growth of a pool of sector specific skills) and, second, favours the rise of specialized services create a conducive ground for the development of a network of public and private local institutions which support local economic development by promoting collective learning and innovation through implicit and explicit co-ordination”.
6. Cooke (2001) mendefinisikan klaster dengan: “Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localized enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co-operation in a specific market field”.
element of each member firm’s individual competitiveness”. Binding the cluster together are “buyer-supplier relationships, or common technologies, common buyers or distribution channel, or common labor pools”.
8. Ketels (2004) dalam Sa’id dan Rahayu (2006), menyatakan bahwa klaster
merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu
kelompok perusahaan, universitas dan lembaga-lembaga lainnya, misalnya dalam
bidang produksi otomotif, pengolahan pangan atau turisme, yang secara geografik
berada dalam lokasi yang berdekatan. Karena lokasinya yang berdekatan satu
sama lainnya tersebut, maka perusahaan-perusahaan di atas dapat mengambil
manfaat dari peningkatan perekonomian daerah, yang memungkinkan mereka
menciptakan nilai tambah bagi para pelanggan bisnisnya.
Knorringa dan Meyer (1998) menyatakan bahwa klaster industri yang terdapat
di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan
embrio dengan skala yang masih sangat kecil dan hanya memproduksi barang-barang
konsumsi yang berkualitas rendah. Klaster ini hanya melakukan spesialisasi
horizontal dan belum melakukan pembagian pekerjaan sebagaimana yang terdapat
dalam suatu rantai nilai (value-chain). Manfaat aglomerasi yang diperoleh baru
berupa kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool
dari tenaga kerja. Klaster demikian ini disebut sebagai "survival cluster". Klaster
jenis ini sebagian besar bersifat stagnan, sehingga akan tetap hanya berupa
aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang kurang mendapatkan manfaat dari
terbentuknya klaster.
Meskipun di negara-negara berkembang pembangunan industri melalui
pendekatan klaster belum terlalu maju, namun beberapa pengalaman di berbagai
negara memperlihatkan bahwa wilayah-wilayah dimana terdapat klaster-klaster
industri telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Penelitian Porter
(1998a) memperlihatkan bahwa sejumlah kecil klaster industri biasanya merupakan
kontributor terbesar dari kegiatan ekonomi di suatu wilayah geografis dan juga
merupakan pemberi kontribusi terbesar untuk kegiatan ekspor ke luar daerahnya.
Dalam penelitian ini definisi yang dipakai adalah yang digunakan oleh
Depperin (2006e) meskipun pelaku tidak terkonsentrasi semua secara geografis. Bila
dapat menciptakan suatu competitive advantages dilihat dari beberapa terminologi
kunci (Depperin, 2006e), yaitu:
1. Klaster industri melibatkan perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan dan
terkait dengan supplier yang terspesialisasi, service providers, dan lain- lain.
Klaster industri merupakan associated institutions
2. Keterlibatan dan partisipasi dari universitas, asosiasi, dan LSM diperlukan untuk
melakukan penelitian, pelatihan tenaga kerja dan konsultasi untuk pemantapan
klaster.
3. Klaster industri memiliki konsentrasi geografi untuk memudahkan pengembangan
dan akses antar pelaku yang terlibat dalam klaster.
4. Klaster dan komponen-komponen lainnya yang berasosiasi dan terkonsentrasi
dalam wilayah geografis memungkinkan terjadinya interaksi dan efisiensi yang
dapat dikembangkan antara perusahaan yang berhubungan dan juga menyediakan
akses pada tenaga kerja yang lebih terspesialisasi. Perusahaan dalam klaster
berkompetisi tetapi juga berkooperasi. Secara individual, perusahaan-perusahaan
yang terlibat dalam klaster industri berkompetisi satu dengan yang lain tetapi juga
menunjukkan suatu kerjasama. Karena tanpa kooperasi, suatu wilayah tidak
memiliki klaster industri.
Semua komponen dalam klaster berperan secara sinergi sepanjang mata
rantai nilai. Setiap perusahaan secara inheren merupakan bagian dari klaster, oleh
karena keunggulan kompetitif tidak hanya ditentukan oleh satu perusahaan sendiri.
Peningkatan efisiensi pada tingkat perusahaan sangat penting, tetapi dalam
persaingan global hal tersebut tidaklah cukup.
Menurut Depperin (2006e), pengembangan klaster industri meliputi
perencanaan bisnis dari sekumpulan industri (industri inti ditunjang industri terkait
dan industri pendukung) yang diintegrasikan sepanjang rantai nilai dan didukung oleh
adanya kelembagaan. Ada lima elemen kunci dari suatu klaster yaitu (1)
Pengelompokan (clustering), (2) Adanya mata rantai nilai, (3) Memiliki industri inti,
(4) Memiliki keterkaitan baik secara vertikal maupun secara horizontal, dan (5)
Adanya kelembagaan.
Menurut Anderson (2004), klaster saat ini merupakan alat yang sangat penting
saing dan pertumbuhan industri. Disamping upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
sektor swasta dalam pengembangan klaster peran dari pelaku-pelaku lainnya juga
cukup penting misalnya pemerintah dan instansi-instansi terkait lainnya baik regional
maupun nasional.
Konsep klaster seharusnya diarahkan dan digunakan berdasarkan kompetensi
bagaimana mengatur dan mensosialisasikannya tapi bukan menetapkan untuk
distandarkan. Ada tujuh elemen yang perlu diidentifikasi dalam pengembangan
klaster yaitu : (1) konsentrasi geografis, (2) industri inti dan menetapkan spesialisasi
dari klaster, (3) pelaku-pelaku, (4) keterkaitan (linkages), (5) critical mass (6) cluster
life cycle, (7) inovasi. Namun demikian tidak harus semua elemen tersebut terpenuhi
untuk setiap klaster spesifik.
Kekuatan daripada klaster terletak pada konsep keterkaitan klaster itu sendiri
dengan persepsi-persepsi yang menguntungkan. Klaster industri merupakan bentukan
organisasi industri yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi, tuntutan
desentralisasi, dan sekaligus mendorong terbentuknya jaringan kegiatan produksi dan
distribusi serta pengembangan pengusaha kecil, menengah dan koperasi untuk
meningkatkan keunggulan kompetitifnya.
Tambunan (2001), menyatakan bahwa dalam menyusun strategi
pengembangan, harus dapat (1) menciptakan keterkaitan produksi antar sektor
pertanian dengan sektor agroindustri dan keterkaitan antar unit produksi di dalam satu
industri secara kuat; (2) pengembangan spesialisasi berdasarkan faktor keunggulan
komparatif dan kompetitif dan (3) pendalaman struktur industri (diversifikasi). Lebih
lanjut dinyatakan bahwa untuk mencapai pengembangan industri tersebut, klaster
industri merupakan salah satu strategi pengembangan yang tepat.
Porter (1998a) menjelaskan bahwa konsep klaster menunjukkan pola berpikir
tentang ekonomi nasional dan menggambarkan peran baru bagi perusahaan,
pemerintah dan institusi lainnya dalam upaya peningkatan daya saing. Selanjutnya,
menurut Porter (1994), keterkaitan adalah hubungan antar suatu aktivitas dengan
aktivitas lain. Keunggulan bersaing adalah pelaksanaan suatu aktivitas secara lebih
murah atau lebih baik dari pesaing.
Keterkaitan dapat menghasilkan keunggulan bersaing melalui optimalisasi