PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN PRA
OPERASI DI RSUD KABUPATEN GAYO LUES
TESIS
Oleh
ENA TRIANA 107032002/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN PRA
OPERASI DI RSUD KABUPATEN GAYO LUES
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ENA TRIANA 107032002/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN PRA OPERASI DI RSUD KABUPATEN GAYO LUES TAHUN 2012
Nama Mahasiswa : Ena Triana Nomor Induk Mahasiswa : 107032002
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M) (dr. Fauzi, S.K.M Ketua Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 30 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. dr. Fauzi, S.K.M
PERNYATAAN
PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN PRA
OPERASI DI RSUD KABUPATEN GAYO LUES
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2012 Penulis,
ABSTRAK
Operasi dapat menimbulkan kecemasan baik bagi klien maupun keluarga sehingga perawat dan tenaga kesehatan lain perlu memberi perhatian pada upaya mengurangi kecemasan sekaligus menurunkan resiko operasi yang dapat terjadi. Persiapan pra operasi penting sekali untuk memperkecil resiko operasi, karena hasil akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian keadaan penderita dan persiapan pra operasi yang telah dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan tingkat kecemasan pada pasien bedah sebelum dan sesudah pemberian informed consent. Jenis penelitian adalah quasi-eksperimen, dengan menggunakan satu kelompok subjek yang terdiri 32 responden serta dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian informed consent. Alat pengumpulan data adalah kuesioner dan uji yang digunakan adalah uji t-test dengan tingkat signifikasi (α) sebesar 0,05.
Uji t-test menunjukkan hasil yang signifikans (p < 0,05), artinya ada perbedaan antara sebelum dan sesudah pemberian informed consent.
Perubahan tingkat kecemasan pasien dari yang tidak mengalami kecemasan sebelum pemberian informed consent 7 orang sesudah pemberian informed consent 10 orang, tingkat kecemasan ringan sebelum pemberian informed consent 8 orang sesudah pemberian informed consent 16 orang, tingkat kecemasan sedang sebelum pemberian informed consent 12 orang sesudah pemberian informed consent 6 orang, dan tingkat kecemasan berat sebelum pemberian informed consent 5 orang sesudah pemberiani informed consent tidak ada.
Disarankan kepada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gayo Lues perlu mempertahankan dan meningkatkan komunikasi dalam pemberian informed consent terhadap pasien yang mengahadapi operasi.
ABSTRACT
Operation can cause anxiety for both the clients and their family that nurses and other health workers need to pay attention to the efforts to reduce anxiety and at the same time to lower the operation risks that may arise
The purpose of this quasi-experimental study was to find out the influence of the different levels of anxiety on the surgical patients before and after giving an informed consent. The samples for this study were a subject group consisting of 32 respondents who were measured before and after giving the informed consent. The data for this study were obtained through questionnaire distribution and then were analyzed through t-test at α = 0.05.
. Pre-operation preparation is very important to minimize the operation risk because the outcome of surgery depends very much on the assessment of the condition of patient and the pre-operation preparation done.
The result of t-test showed a significant result (p < 0.05) meaning that there was a difference between before and after giving the informed consent. The level of anxiety changed from 7 patients who did not experience anxiety before giving the informed consent to 10 after giving the informed consent; from 8 patients with minor anxiety before giving the informed consent to 16 after giving the informed consent; from 12 patients with moderate anxiety before giving the informed consent to 6 after giving the informed consent; from 5 patients with severe anxiety before giving the informed consent to after giving informed consent became zero.
The management of Gayo Lues District Hospital should motivate the medical personal to improve the quality of communication.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT Karena atas
limpahan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul
“Perbedaan Tingkat Kecemasan Sebelum dan Sesudah Pemberian Informed Consent pada Pasien Pra Operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues”.
Tesis ini merupakan salah satu pesyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan
program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat. Minat Studi Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari
Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan dr Fauzi, S.K.M selaku komisi
pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberi masukan untuk
membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis ini selesai. Pada
kesempatan ini juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera.
3. Prof. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Utara serta seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan dorongan
selama penulis mengikuti pendidikan.
5. dr. Heldy Bz, MPH dan dr. Surya Dharma, MPH selaku dosen Penguji yang telah
banyak memberi masukan berupa saran dan kritikan untuk perbaikan tesis ini.
6. Kedua orang tua tercinta Asminah dan Basyarudin (Alm) yang telah banyak
membantu baik moril maupun material, memberikan dorongan dan semangat
serta do’a yang tiada henti-hentinya kepada penulis dalam pembuatan tesis.
7. Kepada saudara-saudaraku Syafri Amin, Suriani, Laila Damai Yanti, Peni Ernita,
Mirwan, Hilwa Iwayu, Nazira Khansa, M Fadhil Aufa yang penulis sayangi yang
telah banyak memberi motivasi dan do’a kepada penulis dalam proses
penyusunan tesis penelitian ini.
8. Rekan-rekan di peminatan AKK stambuk 2010 yang telah memberi dukungan
kepada penulis.
9. dr. Taufik Ririansyah selaku Direktur RSUD Kabupaten Gayo Lues yang telah
memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di RSUD Kabupaten
Gayo Lues dan semua responden yang telah bersedia di wawancarai dalam
penyusunan tesis ini.
Akhirnya dengan hati terbuka penulis mohon maaf andai terdapat kesalahan
maupun kekeliruan dalam melakukan penelitian ini. Kiranya Allah SWT akan
membalas semua kebaikan yang telah penulis terima selama ini. Semoga penelitian
tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu saran dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.
Medan, Oktober 2012 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Ena Triana, lahir pada tanggal 3 Mei 1988 di Kabupaten Gayo Lues, anak
ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Alm. Basyarudin dan
Asminah.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan dasar di Sekolah Dasar
Muhammadiyah di Gayo Lues selesai tahun 1999, Sekolah Menengah Pertama
Negeri 1 Blangkejeren selesai tahun 2002, Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Blangkejeren selesai tahun 2005, S-1 Fakultas Kesehatan Masyarakat STIKes
Helvetia Medan selesai 2009.
Tahun 2010 penulis mengikuti pendidikan lanjutan pada program studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Permasalahan ... 7
1.3Tujuan Penelitian ... 7
1.4Hipotesis ... 7
1.5Manfaat Penelitian ... 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Kecemasan ... 9
2.1.1 Pengertian dan Batas Kecemasan ... 9
2.1.2 Angka Kejadian Kecemasan ... 10
2.2.3 Cara Mengukur Kecemasan ... 11
2.2 Informed Consent ... 14
2.2.1 Pengertian Informed Consent ... 14
2.2.2 Tujuan dan Fungsi Persetujuan Tindakan Medis ... 15
2.2.3 Bentuk Persetujuan Tindakan Medis ... 16
2.2.4 Informasi ... 17
2.2.5 Informasi yang Harus Disampaikan ... 21
2.2.6 Hak-Hak dan Kewajiban Pasien ... 23
2.2.7 Persetujuan Tindakan Medis ... 26
2.2.8 Penolakan Tindakan Medis ... 26
2.2.9 Manajemen Unit Kerja Informasi Kesehatan ... 27
2.3 Operasi ... 28
2.3.1 Pengertian Operasi ... 28
2.3.2 Tahap-Tahap Operasi ... 30
2.3.3 Persiapan-Persiapan Sebelum Operasi ... 31
2.4 Landasan Teori ... 33
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 37
3.1 Jenis Penelitian ... 37
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37
3.3 Populasi dan Sampel ... 38
3.3.1 Populasi ... 38
3.3.2 Sampel ... 38
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 38
3.4.1 Data Primer ... 38
3.4.2 Data Sekunder ... 39
3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 39
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 41
3.5.1 Variabel Bebas ... 42
3.5.2 Variabel Terikat ... 44
3.6 Metode Pengukuran ... 43
3.6.1 Tabel Pengukuran ... 43
3.6.2 Aspek Pengukuran ... 44
3.7. Metode Analisis Data ... 45
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 46
4.1 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ... 46
4.2 Analisis Univariat ... 46
4.2.1 Gambaran Karakteristik Responden ... 46
BAB 5. PEMBAHASAN ... 52
5.1 Karakteristik Responden ... 52
5.2 Kecemasan dalam Operasi... 52
5.3 Pemberian Informed Consent ... 54
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
6.1 Kesimpulan ... 57
6.2 Saran ... 57
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1. Alat Ukur HRS-A (Hamilton Rating Scale For Anxiety) ... 12
3.1. Uji Validitas Variabel ... 40
3.2. Uji Reliabilitas Variabel ... 41
3.3. Tabel Pengukuran ... 43
4.1. Distribusi Karakteristik Responden ... 46
4.2. Distribusi Jawaban Responden Berdasarkan Komunikasi dalam Pemberian Informed Consent ... 48
4.3. Distribusi Responden Berdasrkan Skor Tingkat Kecemasan sebelum dan sesudah Pemberian Komunikasi Informed Consent. ... 49
DAFTAR GAMBAR
ABSTRAK
Operasi dapat menimbulkan kecemasan baik bagi klien maupun keluarga sehingga perawat dan tenaga kesehatan lain perlu memberi perhatian pada upaya mengurangi kecemasan sekaligus menurunkan resiko operasi yang dapat terjadi. Persiapan pra operasi penting sekali untuk memperkecil resiko operasi, karena hasil akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian keadaan penderita dan persiapan pra operasi yang telah dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan tingkat kecemasan pada pasien bedah sebelum dan sesudah pemberian informed consent. Jenis penelitian adalah quasi-eksperimen, dengan menggunakan satu kelompok subjek yang terdiri 32 responden serta dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian informed consent. Alat pengumpulan data adalah kuesioner dan uji yang digunakan adalah uji t-test dengan tingkat signifikasi (α) sebesar 0,05.
Uji t-test menunjukkan hasil yang signifikans (p < 0,05), artinya ada perbedaan antara sebelum dan sesudah pemberian informed consent.
Perubahan tingkat kecemasan pasien dari yang tidak mengalami kecemasan sebelum pemberian informed consent 7 orang sesudah pemberian informed consent 10 orang, tingkat kecemasan ringan sebelum pemberian informed consent 8 orang sesudah pemberian informed consent 16 orang, tingkat kecemasan sedang sebelum pemberian informed consent 12 orang sesudah pemberian informed consent 6 orang, dan tingkat kecemasan berat sebelum pemberian informed consent 5 orang sesudah pemberiani informed consent tidak ada.
Disarankan kepada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gayo Lues perlu mempertahankan dan meningkatkan komunikasi dalam pemberian informed consent terhadap pasien yang mengahadapi operasi.
ABSTRACT
Operation can cause anxiety for both the clients and their family that nurses and other health workers need to pay attention to the efforts to reduce anxiety and at the same time to lower the operation risks that may arise
The purpose of this quasi-experimental study was to find out the influence of the different levels of anxiety on the surgical patients before and after giving an informed consent. The samples for this study were a subject group consisting of 32 respondents who were measured before and after giving the informed consent. The data for this study were obtained through questionnaire distribution and then were analyzed through t-test at α = 0.05.
. Pre-operation preparation is very important to minimize the operation risk because the outcome of surgery depends very much on the assessment of the condition of patient and the pre-operation preparation done.
The result of t-test showed a significant result (p < 0.05) meaning that there was a difference between before and after giving the informed consent. The level of anxiety changed from 7 patients who did not experience anxiety before giving the informed consent to 10 after giving the informed consent; from 8 patients with minor anxiety before giving the informed consent to 16 after giving the informed consent; from 12 patients with moderate anxiety before giving the informed consent to 6 after giving the informed consent; from 5 patients with severe anxiety before giving the informed consent to after giving informed consent became zero.
The management of Gayo Lues District Hospital should motivate the medical personal to improve the quality of communication.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Manusia pernah merasakan sakit, baik itu penyakit ringan ataupun penyakit
yang parah. Penyakit yang parah membutuhkan perawat dan terapi pengobatan yang
baik. Pada penyakit-penyakit tertentu seperti Appendisitis, terapi yang baik adalah
pembedahan disamping perawatan dan terapi pengobatan. Operasi atau pembedahan
merupakan suatu langkah yang sangat penting untuk dilakukan apabila tindakan
pembedahan tersebut merupakan satu-satunya jalan keluar bagi pasien (Effendy,
2005).
Salah satu layanan yang ada di Rumah Sakit adalah layanan pengobatan
melalui operasi. Operasi merupakan tindakan pengobatan yang banyak menimbulkan
kecemasan. Kecemasan terjadi ketika seseorang merasa terancam baik fisik maupun
psikologis misalnya harga diri dan identitas diri (Brunner & Suddart, 2001).
Kebanyakan orang akan merasa cemas ketika divonis harus menjalani operasi
meskipun itu hanya operasi kecil. Sebab menurut pemahaman awam operasi berarti
ada bagian tubuh yang akan disayat, dibuka sampai ke dalam dalamnya. Oleh sebab
itu, sebagian orang pasti akan merasa cemas ketika harus menunggu tindakan medis
tersebut. Walaupun demikian, sebuah operasi pada dasarnya dilakukan untuk
meningkatkan kualitas kesehatan. Misalnya, jika tumor ganas dibiarkan bersarang di
menjadi salah satu solusi. Namun, jika tidak dipertimbangkan secara tepat dan penuh
perhitungan, tindakan medis tersebut dapat berakhir dengan kerugian di pihak pasien
(Kusmawan, 2011).
Operasi dapat menimbulkan respon yang berbeda bagi setiap pasien hal ini
beralasan karena status kesehatan, kondisi akut atau kronis dan prognosa penyakit,
serta pengalaman tindakan operasi pasien juga berbeda. sehingga respon pasien juga
berbeda dan dapat ditunjukan melalui beberapa cara yaitu: cemas, marah, bingung,
menolak, dan mengajukan banyak pertanyaan (Taylor, 1993).
Pasien pra operasi juga dapat mengalami berbagai ketakutan, terutama
ketakutan terhadap anestesi, nyeri, sesuatu yang buruk akan terjadi dan kematian, rasa
takut/khawatir, ancaman lain terhadap citra tubuh dapat timbul karena ketidak tahuan
pasien. Selain ketakutan-ketakutan di atas pasien sering mengalami kekhawatiran
masalah finansial, tanggung jawab terhadap keluarga dan kewajiban dalam pekerjaan
yang ditinggalkan selama operasi. Hal tersebut dapat menyebabakan ketidaktenangan
atau kecemasan pada pasien (Smiltzer & Bare, 1996).
Banyak pasien merasa tidak dapat mengeksperesikan ketakutannya, meskipun
demikian penting untuk mengenali tanda-tanda lain dari kecemasan yang meliputi
pucat yang berlebihan, pergerakan mata yang cepat, berkeringat, tremor tangan,
postur kaku, agresif, bicara berlebihan serta tidak melihat langsung ke arah yang
berbicara (Attree, 2000).
Operasi dapat menimbulkan kecemasan baik bagi klien maupun keluarga
sehingga perawat dan tenaga kesehatan lain perlu memberi perhatian pada upaya
mengurangi kecemasan sekaligus menurunkan resiko operasi yang dapat timbul.
Persiapan pra operasi penting sekali untuk memperkecil resiko operasi, karena hasil
akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian keadaan penderita dan
persiapan pra operasi yang telah dilakukan.
Kecemasan merupakan respon umum yang sering muncul pada individu yang
mengalami sakit dan takut yang terus-menerus timbul. Perasaan ini timbul akibat
ancaman terhadap diri sendiri, identitas diri dan harga diri. Ancaman yang dirasakan
pasien yang menderita sakit antara lain karena anggota tubuhnya mengalami
kerusakan akibat sakit, penurunan fungsi tubuh akibat sakit (Tamsuri, 2006).
Cemas dalam operasi mungkin dapat dikurangi dengan cara mengetahui lebih
banyak tentang kelainan yang pasien derita, sehingga pasien yakin kalau operasi
merupakan jalan terbaik untuk mengatasi masalah. Sebenarnya, operasi tidak lagi
menjadi hal yang menakutkan apalagi jika dikaitkan dengan rasa sakit. Pasalnya
menjelang operasi pasien akan terbebas dari rasa sakit akibat kerja obat-obat anestesi.
Cepatnya perkembangan kefarmasian terutama dengan formula yang diberikan oleh
dokter anestesi, akan memperkuat keyakinan kalau pasien mendapatkan informasi
tambahan dari orang lain yang pernah menjalani operasi yang sama. Jika dengan
semua itu kekhawatiran masih juga menyelimuti tentu dokter bedah dapat menjadi
Ada sejumlah laporan mengenai informasi bagi pasien bahwa banyak pasien
yang merasa tidak pernah menerima cukup informasi. Kita ketahui benar bahwa
perasaan cemas menghalangi informasi yang baru. Kemampuan untuk mengurangi
perasaan cemas dalam diri pasien merupakan keterampilan yang perlu dimiliki oleh
dokter agar pasien mempunyai keyakinan melalui penyampaian informasi yang baik
mengenai apa yang terjadi pada diri mereka (Roper, 2002).
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa ketidaktenangan, rasa khawatir,
cemas yang diukur pada pasien tersebut adalah karena tidak sempurnanya informasi
yang diterima. Di United Kingdom dan Eropa dilaporkan bahwa kebutuhan akan
informasi dan dukungan pada pasien pra operasi cukup tinggi, akan tetapi dari
laporan yang didapat kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak diberikan dengan baik oleh
tim medis dan perawat di Rumah Sakit tersebut Chalmers (2001) dalam Dale (2004)
Hasil penelitian lain di USA melaporkan bahwa kebutuhan informasi yang
diperlukan pasien tidak sepenuhnya terpenuhi. kejadian ini dapat mempengaruhi
perawatan kesehatan dan peningkatan penderitaan yang tidak seharusnya dialami oleh
pasien (Wen & Gustafson, 2004).
Dokter dan perawat dapat melakukan banyak hal untuk mengoptimalkan
pemenuhan kebutuhan informasi yang diperlukan pasien. Corbet (1994) dalam Ellis
(1999) menyatakan bahwa dokter dan pasien diperbolehkan memasuki hubungan
interpersonal yang akrab. Pasien berhak mengetahui lebih banyak tentang asuhan
keperawatan yang diberikan oleh perawat sebagai petugas kesehatan yang
hal-hal yang tidak atau belum diketahui bila pasien bertanya. Memberikan informasi yang
diperlukan sebagai suatu cara untuk membina hubungan saling percaya dengan
pasien sehingga menambah pengetahuan pasien yang berguna bagi pasien dalam
mengambil keputusan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Handerson dan Chien (2004) di
Hongkong (N=83) pada pasien pra operasi, ditemukan bahwa pasien membutuhkan
berbagai macam tipe informasi. Pasien tersebut kebanyakan membutuhkan informasi
tentang tanda dan gejala penyakit yang dialami, komplikasi pasca operasi, efek
prosedur operasi pada perubahan gaya hidup, efek operasi 24-48 jam pertama, alasan
mengapa dokter menyarankan dilakukan operasi, bagaimana dokter melakukan
tindakan operasi, kewajiban administrasi yang harus dipenuhi pasien saat berada di
Rumah Sakit dan obat-obat yang dapat mempercepat penyembuhan.
Perbedaan budaya dapat mempengaruhi penyampaian informasi pada pasien
Usia memilki pengaruh yang terhadap kebutuhan informasi, dimana dilaporkan
pasien yang lebih muda akan lebih membutuhkan informasi tentang penyakitnya
(Dale, 2004).
Taylor (1997) menyatakan bahwa operasi merupakan masa kritis dan
menghasilkan ketakutan atau kecemasan yang dapat dikuranggi dengan komunikasi.
Rumah Sakit merupakan salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan,
Dalam pelaksanaan setiap rumah sakit harus mempunyai prosedur tetap sebagai
acuan pelaksanaan kegiatan, salah satu isi antara lain mewajibkan semua dokter yang
kepada pasien sebelum tindakan dilaksanakan. Kepada pasien harus dijelaskan
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan yang akan diberikan serta
resiko yang mungkin saja terjadi, apa yang akan terjadi bila tindakan tidak
dilaksanakan dan apakah ada tindakan lain yang dapat dilakukan. Hal ini tercakup
dalam Informed Consent.
Keberhasilan tindakan kedokteran bukan suatu kepastian, melainkan
dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan keberhasilan yang
berbeda-beda dari satu kasus ke kasus lainnya. Dewasa ini pasien mempunyai
pengetahuan yang semakin luas tentang bidang kedokteran, serta lebih ingin terlibat
dalam pembuatan keputusan perawatan terhadap diri mereka. Karena alasan tersebut,
persetujuan yang diperoleh dengan baik dapat memfasilitasi keinginan pasien
tersebut, serta menjamin bahwa hubungan antara dokter dan pasien adalah
berdasarkan keyakinan dan kepercayaan. Proses informed consent merupakan
manisfetasi dari terpeliharanya hubungan saling menghormati dan komunikasi antara
dokter dengan pasien, yang bersama-sama menentukan pilihan tindakan yang terbaik
bagi pasien demi mencapai tujuan pelayanan kedokteran yang disepakati ( Medical
Counsil, 2006).
Survei pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap 8 pasien pra operasi di
RSUD Kabupaten Gayo Lues cemas dalam menghadapi operasi diantaranya cemas
bila operasi gagal, cemas menghadapi ruang operasi dan peralatan operasi. Pasien pra
pasien,sementara menurut permenkes No.585 tahun 1989 tentang informed consent
dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada
pasien/keluarga diminta atau tidak diminta. Berdasarkan latar belakang di atas
peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah
pemberian informed consent pada pasien pra operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah: Apakah ada perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah
pemberian informed consent pada pasien pra operasi di RSUD Kabupaten Gayo
Lues?.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan mengidentifikasi masalah kecemasan yang dihadapi oleh pasien
pra operasi.
2. Menganalisis perbedaan tingkat kecemasan pasien pra operasi sebelum dan
sesudah pemberian informed consent.
1.4 Hipotesis
Ada perbedaan pemberian informed consent terhadap penurunan tingkat
1.5 Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan Rumah Sakit
untuk meningkatkan kewajiban dokter yang akan melakukan tindakan operasi
agar melaksanakan Persetujuan Tindakan Medis sesuai dengan prosedur, sehingga
terjadi komunikasi efektif antara dokter dengan pasien agar dapat mengurangi
tingakat kecemasan sebelum operasi dilaksanakan.
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan dapat dijadikan referensi bagi calon
peneliti yang ingin meneliti topik yang sama atau hampir sama.
3. Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang
pemberian informed consent terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pra
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecemasan
2.1.1 Pengertian dan Batasan Kecemasan
Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan
ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami
gangguan dalam menilai kenyataan, kepribadian masih tetap utuh atau tidak
mengalami keretakan kepribaadian normal (Hawari, 2008).
Kecemasan adalah perasaan yang menetap berupa ketakutan atau kecemasan
yang merupakan respon terhadap kecemasan yang akan datang. Hal tersebut dapat
merupakan perasaan yang ditekan kedalam bawah alam sadar bila terjadi peningkatan
akan adanya bahaya dari dalam. Kecemasan bukanlah suatu panyakit melainkan suatu
gejala. Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu panjang dan
sebagian besar tergantung pada seluruh pengalaman hidup seseorang.
Peristiwa-perstiwa atau situasi-situasi khusus dapat menpercepat munculnya kecemasan tetapi
setelah terbentuk pola dasar yang menunjukan reaksi rasa cemas pada pengalaman
hidup seseorang (Ibrahim, 2007).
Kecemasan adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami
perasaan gelisah dan aktivasi sistem saraf autonom dalam merespon ancaman yang
tidak jelas. Kecemasan akibat terpejan pada peristiwa traumatik yang dialami
peristiwa yang melibatkan kematian aktual atau ancaman kematian atau cidera serius
atau ancaman fisik diri sendiri (Doenges, 2006).
Kecemasan adalah respon subjektif terhadap stres, ciri-ciri kecemasan adalah
keperihatinan, kesulitan, ketidakpastian atau ketakutan yang terjadi akibat ancaman
yang nyata atau dirasakan (Isaacs, 2004).
Kecemasan merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan
sesuatu diluar dirinya dan mekanisme diri yang digunakan dalam mengatasi
permasalahan (Asmadi, 2009).
2.1.2 Angka Kejadian Kecemasan
Menurut Ibrahim (2007), kriteria diagnosis untuk gangguan kecemasan karena
kondisi medis meliputi:
a. Kecemasan yang menonjol, serangan panik, obsesi, atau kompulsi yang
menguasai gejala klinis.
b. Terdapat bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium bahwa gangguan adalah akibat langsung dari kondisi medis umum.
c. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain
(misalnya gangguan penyesuaian dengan kecemasan, dimana stresor adalah suatu
kondisi medis umum yang serius).
d. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, perjalanan atau fungsi penting lain.
Manifestasi klinis, Gejala utamanya adalah kecemasan, ketegangan motorik,
dimanifestasi oleh sesak nafas, keringat berlebihan, palpitasi dan gejala
gastrointestinal. Gejala lain adalah mudah tersinggung dan mudah dikejutkan
(Manjoer, 2000).
Kecemasan pada tingkat fisiologik atau kecemasan yang sudah mempengaruhi
atau terwujud pada gejala fisik terutama pada fungsi saraf. Misalnya tidak dapat tidur,
jantung berdebar-debar, keluar keringat dingin berlebih, sering gemetar, perut mual,
dan yang lainnya.
Tingkatan ansietas adalah sebagai berikut :
a. Ansietas ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari
dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan persepsi.
b. Ansietas sedang, memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
c. Ansietas berat, sangat mengurangi persepsi seseorang yang cenderung
memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik dan tidak dapat berpikir tentang
hal lain.
d. Tingkat panik dari ansietas, berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan
teror. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak
mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.
2.1.3 Cara Mengukur Kecemasan
Menurut Hawari (2008), untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan
dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini
terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan
gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian
angka (score) antara 0-4, yang artinya nilai 0 berarti tidak ada gejala, nilai 1 gejala
ringan, nilai 2 gejala sedang, nilai 3 gejala berat, dan nilai 4 gejala berat sekali.
Masing-masing nilai angka (score) dari ke-14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan
dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang
yaitu Total nilai (score) < 14 tidak ada kecemasan, nilai 14-20 kecemasan ringan,
nilai 21-27 kecemasan sedang, nilai 28-41 kecemasan berat dan nilai 42-56
kecemasan berat.
Tabel 2.1. Alat Ukur HRS-A (Hamilton Rating Scale For Anxiety)
No Gejala kecemasan Nilai Angka (skor)
1. 2. 3. 4. Perasaan cemas a. Cemas b.Firasat buruk
c. Takut akan pikiran sendiri d.Mudah tersinggung Ketegangan
a. Merasa tegang b.Lesu
c. Tidak bisa istirahat tenang d.Mudah terkejut
e. Mudah menangis f. Gemetar
g.Gelisah Ketakutan a. Pada gelap b.Pada orang asing c. Ditinggal sendiri Gangguan tidur a.Sukar tidur
b.Terbangun malam hari
0 1 2 3 4
0 1 2 3 4
0 1 2 3 4
5 6. 7. 8. 9. 10. 11.
c.Tidur tidak nyenyak d.Bangun dengan lesu
e.Banyak mimpi-mimpi (mimpi buruk) Gangguan kecerdasan
a. Sukar konsentrasi b.Daya ingat menurun c. Daya ingat buruk Perasaan depresi (murung) a. Hilangnya minat
b.Sedih
c. Bangun dini hari
d.Perasaan berubah-rubah Gejala somatik/fisik (otot) a.Sakit dan nyeri di otot-otot b.Kaku
c.Kedutan otot d.Gigi gemerutuk e.Suara tidak stabil
Gejala somatik/fisik (sensorik) a. Tinitus (telinga berdenging) b. Penglihatan kabur
c. Muka merah atau pucat d. Merasa lemas
Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah)
a.Takikardia (denyut jantung cepat) b.Berdebar-debar
c.Nyeri di dada
d.Denyut nadi mengeras
e.Rasa lesu/lemas seperti mau pingsan Gejala respiratori (pernafasan)
a.Rasa tertekan atau sempit didada b.Rasa tercekik
c.Sering menarik nafas d.Nafas pendek/sesak
Gejala gastrointestinal (pencernaan) a.Sulit menelan
b.Perut melilit
c.Gangguan pencernaan
d.Nyeri sebelum atau sesudah makan
0 1 2 3 4
0 1 2 3 4
0 1 2 3 4
0 1 2 3 4
0 1 2 3 4
0 1 2 3 4
[image:30.612.117.495.142.695.2]12.
13.
14.
e.Rasa penuh dan kembung f. Mual atau muntah
g.Buang air besar lembek atau konstipasi Gejala urogenital (perkemihan)
a. Sering buang air kecil
b.Tidak dapat menahan air seni Gejala autonom
a. Mulut kering b.Muka merah c. Mudah berkeringat d.Kepala terasa berat Tingkah laku
a.Gelisah b.Tidak tenang
c.Jari gemetar d.Kerut kening
e.Muka tegang
f. Otot tegang/mengeras
0 1 2 3 4
0 1 2 3 4
0 1 2 3 4
2.2 Informed Consent
2.2.1 Pengertian Informed Consent
Menurut Permenkes Republik Indonesia nomor 585/Menkes/Per/IX/ 1989
Informed consent atau Persetujuan Tindakan Medis adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Persetujuan Tindakan Medis adalah terjemahan yang dipakai untuk istilah
informed consent, Informed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan, atau telah
diinformasikan. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk
[image:31.612.116.526.129.396.2]berbuat sesuatu (Hanafiah & Amir, 2008).
Informed Consent adalah suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang
diberikan dengan bebas dan rasional sesudah mendapat informasi dari dokter dan
yang sudah dimengerti (Guwandi, 1994).
Menurut Sampurna dalam proceding seminar lokakarya yang dikutip oleh IDI
(2005), yang mengatakan Informed Consent adalah suatu proses yang menunjukan
komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien dan bertemunya pemikiran
tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan tehadap pasien.
2.2.2 Tujuan dan Fungsi Persetujuan Tindakan Medis
Menurut Guwandi (2004), fungsi dari Persetujuan Tindakan Medis antara
lain: 1) promosi dari hak otonomi perorangan, 2) proteksi dari pasien dan subjek, 3)
mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, 4) menimbukan ransangan kepada
profesi medik untuk mengadakan introspeksi terhadap diri sendiri, 5) promosi dari
keputusan-keputusan yang rasional, 6) keterlibatan masyarakat dalam memajukan
prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan dalam pengawasan
penyelidikan biomedik.
Dasar hukum Persutujuan Tindakan Medis adalah hubungan dokter dengan
pasien yang atas dasar kepercayaan, tujuannya adalah memberikan perlindungan
pasien tehadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dimana secara
medik tidak ada dasar pembenaran yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien dan
memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan
bersifat negatif, karena setiap prosedur medik melekat suatu risiko (Affandi dkk,
Tujuan dan fungsi Persetujuan Tindakan Medis adalah:
a. Persetujuan Tindakan Medis dimaksudkan sebagai alat untuk memungkinkan
penentu nasib sendiri dan berfungsi sebagai jaminan untuk terpenuhi hak dan
informasi dalam suatu hubungan medik/kesehatan.
b. Persetujuan Tindakan Medis ini juga dimaksudkan untuk melindungi hak individu
pasien dari tindakan tidak sah oleh dokter dan dapat melindungi dokter dari
tuntutan pelanggaran hak pribadi pasien tersebut.
c. Persetujuan Tindakan Medis dapat menjadi doktrin hukum apabila adanya
kewajiban dokter untuk memberi informasi dan kewajiban untuk mendapatkan
persetujuan mempunyai dasar hukum tertentu.
d. Persetujuan Tindakan Medis dapat diartikan sebagai perwujudan prinsip
mengutamakan pasien, tanpa mengabaikan kepentingan dokter, maka Persetujuan
Tindakan Medis secara tertulis dari pasien dapat dijadikan alat bukti untuk
membebaskan dokter dari tuntutan resiko yang mungkin timbul dari tindakan
medik yang dilakukan. Karena itu, Persetujuan Tindakan Medis bertujuan supaya
dokter dapat menghindari resiko sekecil apapun atau demi kepentingan pasien.
2.2.3 Bentuk Persetujuan Tindakan Medis
Ada dua bentuk Persetujuan Tindakan Medis yaitu:
1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied consent)
a. keadaan normal
2. Dinyatakan (Expressed consent)
a. lisan
b. tulisan
Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat,
tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini dilihat dokter dari sikap dan tindakan
pasien. Tindakan dokter yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum. Misal
pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, melakukan suntikan pada
pasien, dan melakukan penjahitan. Implied consent adalah bila pasien dalam keadaan
gawat darurat (emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara
pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarga tidak di
tempat, dokter dapat melakukan tindakan medis terbaik menurut dokter (Permenkes
No 585 tahun1989, pasal 11). Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed consent.
Artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang
akan dilakukan dokter.
Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau
tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang
biasa. Dalam keadaan demikian, sebaliknya kepada pasien disampaikan terlebih
dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah
pengertian. Misalnya, pemeriksaan dalam rektal atau pemeriksaan dalam vagina,
mencabut kuku dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan
umum. Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis, persetujuan secara lisan
seperti tindakan pembedahan, sebaliknya didapatkan Persetujuan Tindakan Medis
secara tertulis (Hanafiah & Amir, 2008).
2.2.4 Informasi
Bagian yang terpenting dalam pembicaraan mengenai informed consent
tentulah mengenai informasi. Menurut Depdiknas, 2005 informasi identik dengan
pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu, identik dengan jalan masuk.
informasi berasal dari kata informare yang sebenarnya berarti memberi bentuk.
Informasi adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang dapat membentuk
pendapat berdasarkan sesuatu yang diketahui.
Kata informasi diambil dari bahasa latin informationem yang berarti ”garis
besar, konsep atau ide” informasi merupakan kata benda dari informare yang berarti
aktivitas dalam ”pengetahuan yang dikomunikasikan”. Informasi adalah pengetahuan
yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman, atau instruksi. Namun demikian
istilah ini memiliki banyak arti bergantung kontek, dan secara umum berhubungan
erat dengan konsep seperti arti, pengetahuan, komunikasi, kebenaran, dan rangsangan
mental.Dewasa ini setiap anggota masyarakat dan institusi membutuhkan informasi.
Siapa yang lebih cepat menguasai informasi, dialah yang kemungkinan suksesnya
akan lebih besar. Pendapat ini memang benar adanya, setiap orang berhak
mendapatkan informasi yang jelas dan benar tentang berbagai aspek terutama
berkaitan dengan masalah kesehatan (Andhi, 2008).
Seorang pasien membutuhkan informasi, informasi yang diberikan kepada
diberikan kepada pasien sehingga dapat juga diartikan sebagai pemberian
pengetahuan. Sedangakan yang dimaksud dengan bimbingan dan tuntutan kepada
pasien merupakan suatu metode penerangan kepada pasien yang bermaksud untuk
menolong pasien melalui komunikasi dalam menghadapi beban psikis yang mungkin
timbul karena perawatan serta akibat-akibatnya agar pasien mampu menghadapi atau
mengatasinya. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan pasien adalah memberikan
bantuan penerangan kepada pasien mengenai segala kemungkinan yang terjadi,
sehingga pasien siap dalam menghadapi dan menyesuaikan dengan keadaan dirinya.
Instruksi kepada pasien dapat tertulis dan dapat pula tidak, dan dapat gerakan tangan
yang dilakukan pada pemeriksaan selama proses penyembuhan (Astuti, 2009).
Menurut Bloom yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), proses dalam
penyampaian informasi sampai dapat dipahami oleh seseorang tergantung pada
kemahiran intelektualnya. Untuk menagkap rangsangan atau stimulus dari orang lain
yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari orang yang bersangkutan. Faktor
karakteristik orang digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu
mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Hal ini disebabakan karena
adanya ciri-ciri individu yang berbeda-beda.
Untuk dapat mengerti ataupun paham tentang informasi yang disampaikan
seseorang kepada orang lain haruslah melalui beberapa proses antara lain:
1. Sensasi
Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan
dengan kegiatan alat indra. Fase ini yang paling berperan untuk dapat mencerna
informasi adalah alat-alat indra.
2. Persepsi
Adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Banyak hal yang
mempengaruhi persepsi seseorang seperti pengaruh kebutuhan, kesiapan mental,
suasana emosional dan latar belakang budaya.
3. Memori
Memori adalah sistem yang sangat berstruktur,yang menyebabkan Organisme
merekam fakta tentang dunia dan mengunakan pengetahuan untuk membimbing
prilaku.
4. Berfikir
Adalah proses untuk menarik kesimpulan untuk membuat keputusan. Dengan
berfikir seseorang akan dapat menyimpulkan arti dari ransangan yang diterimanya
melalui indera yang menangkap ransangan tersebut (Arikunto, 2006).
Fungsi utama dan pertama dari informasi adalah menyampaikan pesan atau
menyebarluaskan informasi kepada orang lain yang bersifat mendidik. Artinya, dari
penyebarluasan informasi itu diharapkan para penerima informasi akan menambah
pengetahuan tentang sesuatu yang ingin dia ketahui (Liliweri, 2008).
Pada pasien pra operasi sangat perlu mendapatkan informasi yang
sejelas-jelasnya dan selengkapnya yaitu informasi tentang perlunya tindakan medis yang
tentang keuntungan dan kerugian atau faktor resiko dari tindakan medis yang akan
dilaksanakan. Namun jika dokter banyak memberikan informasi tentang resiko,
terdapat kemungkinan akan mempengaruhi mental pasien yang sangat awam dan
dalam keadaan sakit atau takut yang bisa-bisa mengarah pada kegagalan sebelum
dilakukan tindakan medis (Astuti, 2009).
Menurut Astuti (2009), isi informasi medis yang dikemukakan adalah:
a. Diagnosa
b. Terapi dengan kemungkinan alternatif terapi
c. Tentang cara kerja dan pengalaman dokter
d. Resiko
e. Kemungkinan perasaan sakit ataupun perasaan lainnya (misalnya, gatal-gatal)
f. Keuntungan terapi
g. Prognosis
Hal-hal yang perlu diketahui pasien praoperasi untuk mengurangi kecemasan adalah :
a. Pengenalan staf
b. Lama waktu perawatan di rumah sakit
c. Pengetahuan tentang operasi
d. Persiapan sebelum operasi
e. Pembiusan
f. Perawatan sesudah operasi
g. Pengobatan
i. Kapan pasien boleh bangun dari tempat tidur setelah operasi (Roper, 2002).
2.2.5 Informasi yang Harus Disampaikan
Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan Pasal 168 ayat 1 ‘’Untuk menyelenggarakan Upaya
kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan informasi kesehatan, ayat 2 ‘’
Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem
informasi dan melalui lintas sektor, ayat 3 ‘’ Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Dalam Pasal 169 Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk
memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat .
Sedangkan Informasi yang perlu disampaikan kepada pasien atau keluarga
adalah informasi mengenai apa yang perlu disampaikan, kapan disampaikan, siapa
yang harus menyampaikan dan informasi mana yang harus disampaikan, tentu segala
sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan,
tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik diagnostik maupun terapi
dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Hal ini mencakup
bentuk, tujuan, risiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternatif
terapi. Mengenai kapan disampaikan bergantung pada waktu yang tersedia setelah
dokter memutuskan akan melakukan tindakan invasif. Pasien atau keluarga harus
diberi waktu yang cukup untuk menentukan keputusannya. Yang menyampaikan
bedah dan tindakan invasif lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan
tindakan. Penyampaian informasi ini memerlukan kebijaksanaan dari dokter yang
akan melakukan tindakan tersebut atau petugas yang ditunjuk. Mengenai informasi
mana yang harus disampaikan haruslah selengkap-lengkapnya, kecuali dokter menilai
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien
menolak diberikan informasi, bila perlu, informasi dapat diberikan kepada keluarga
pasien (Hanafiah & Amir, 2008).
Dokter yang akan melakukan tindakan medik mempunyai tanggung jawab
utama memberikan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila berhalangan,
informasi dan penjelasan yang harus diberikan dapat diwakilkan kepada dokter lain
dengan sepengetahuan dokter yang bersangkutan. informasi dan penjelasan
disampaikan disampaikan secara lisan, sedangkan secara tulisan dilakukan hanya
sebagai pelengkap penjelasan yang telah disampaikan secara lisan. Cara penyampaian
dan isi informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi
pasien ( Guwandi, 2004).
2.2.6 Hak dan Kewajiban Pasien a. Hak untuk menentukan nasib sendiri
Dalam Hospital Patients Charter yang disepakati dalam sidang pleno
memuat hal-hal yang berhubungan dengan pasien yaitu dikatakan bahwa pasien
berhak untuk memilih dokternya secara bebas. Pasien berhak untuk menerima atau
menolak pengobatan sesudah pasien menerima informasi yang jelas. Pasien berhak
tidak berhak untuk mencegah atau melarang jika pasien hendak berobat kepada
dokter yang lain. Dalam kenyataan dokter dan pasien melihat suatu keadaan dari
sudut pandang yang bebeda, Disatu pihak tindakan medis terhadap seseorang yang
tidak didasarkan pada informasi yang adekuat akan mencemarkan atau menganggu
pribadi orang tersebut. Dipihak lain untuk menentukan nasib sendiri yang
mengandung hak untuk berkembang dalam masyarakat tidak dapat diwujudkan
apabila individu tidak memperoleh informasi yang cukup yang berhubungan langsung
dengan kepentingan jasmani dan rohaninya.
b. Hak atas informasi
Hak untuk menentukan nasib sendiri tidak akan terwujud secara optimal jika
tidak didampingi hak atas informasi, Karena keputusan akhir mengenai penentuan
nasibnya sendiri itu dapat diberikan jika untuk pengambilan keputusan tersebut
memperoleh informasi yang lengkap tentang segala untung dan ruginya apabila suatu
keputusan telah diambil.
Selain dari kedua hak tersebut, hak-hak pasien yang lain adalah sebagai berikut:
a. Hak memberikan persetujuan tindakan medis
Persetujuan tindakan medis atau Informed consent merupakan hal yang sangat
prinsip dalam profesi kedokteran jika ditinjau dari sudut hukum perdata ataupun
pidana.
Walaupun pada dasarnya setiap dokter dianggap memiliki kemampuan yang sama
untuk melakukan tindak medis dalam bidang masing-masing, pasien tetap berhak
memilih dokter atau rumah sakit yang dikehendaki.
c. Hak atas rahasia medis
Yaitu segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien (secara sadar dan tidak sadar)
kepada dokter dan segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sesuatu mengobati
dan merawat pasien. Etika kedokteran mengatakan behwa rahasia ini harus
dihormati oleh dokter, bahkan setelah pasien itu meninggal.
d. Hak untuk menolak pengobatan atau perawatan serta tindakan medis
Dokter atau rumah sakit tidak boleh memaksa pasien untuk menerima suatu
tindakan medis tertentu, tetapi dokter harus menjelaskan risiko atau kemungkinan
yang terjadi jika tindakan medis itu tidak dilakukan. Apabila setelah menerima
penjelasan pasien tetap menolak, pasien harus menandatangani penolakan itu.
e. Hak atas pendapat kedua (second opinion)
Usaha mendapatkan second opinion dari dokter lain, maka dokter pertama tidak
perlu tersinggung, demikian pula dengan keputusan pasien setelah mendapatkan
second opinion.
f. Hak untuk mengetahui isi rekam medis
Pasien adalah pemilik berkas rekam medis serta bertanggung jawab sepenuhnya
atas rekam medis tersebut. Apabila pasien menghendaki keluarga atau pengacara
untuk mengetahui isi rekam medis tersebut, pasien harus membuat izin tertulis
memberikan ringkasan atau foto kopi rekam medis tersebut meskipun dokter atau
rumah sakit harus tetap menjaga rekam medis tersebut dari orang yang tidak
berhak.
Kewajiban-kewajiban pasien adalah sebagai berikut :
a. Kewajiban memberikan informasi medis.
b. Kewajiban mentaati petunjuk.
c. Kewajiban memenuhi aturan-aturan pada sarana kesehatan.
d. Kewajiban memberikan imbalan jasa kepada dokter.
e. Kewajiban berterus terang.
f. Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahui.
2.2.7 Persetujuan Tindakan Medis
Inti dari persetujuan adalah persetujuan haruslah didapat sesudah pasien
mendapat informasi yang adekuat. Hal yang diperhatikan bahwa yang berhak
memberikan persetujuan tindakan adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun
atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak Persetujuan
Tindakan Medis yang ada selama ini, penanda tanganan persetujuan ini lebih sering
dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini berkaitan dengan kesangsian terhadap
kesiapan mental pasien sehingga beban demikian diambil alih oleh keluarga pasien
atau atas alasan lain. Untuk pasien di bawah umur 21 tahun, dan pasien-pasien
gangguan jiwa yang menandatangani adalah orang tua/wali/keluarga terdekat. Untuk
terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan
tindakan medik segera, tidak diperlukan persetujuan dari siapa pun.
2.2.8 Penolakan Tindakan Medis
Sepeti dikemukakan pada bagian awal, tidak selamanya pasien atau keluarga
setuju dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demikian
kalangan dokter maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasien
atau keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Hal
ini disebut informed refusal. Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien
mengikuti anjurannya, walaupun dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat
atau kematian pada pasien. Bila dokter gagal dalam meyakinkan pasien dalam
alternatif tindakan yang diperlukan, untuk keamanan di kemudian hari, sebaiknya
dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga menandatangani surat
penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan. Dalam kaitan transaksi
terapeutik dokter dengan pasien, pernyataan penolakan pasien atau keluarga ini
dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik . Dengan demikian, apa yang terjadi
di belakang hari tidak menjadi tanggung jawab dokter atau rumah sakit lagi
(Hanafiah, Amir, 2008).
2.2.9 Manajemen Unit Kerja Informasi Kesehatan
a. Memprediksi kebutuhan informasi dan teknik dalam sistem pelayanan kesehatan
dimasa yang akan datang.
c. Merencanakan kebutuhan sarana dan prasarana unit kerja rekam medis untuk
memenuhi kebutuhan kerja.
d. Menyusun anggaran.
e. Menggunakan anggaran.
f. Menerapkan program orientasi dan latihan staf bagi yang terkait dalam sistem
data pelayanan kesehatan.
g. Menyusun kebijakan dan prosedur tentang sistem rekam medis yang sesuai
hukum, sertifikasi, akreditasi dan kebutuhan setempat.
h. Mengembangkan kebijakan dan prosedur tentang sistem rekam medis.
i. Mengimplementasikan kebijakan dan prosedur tentang sistem rekam medis
j. Mengevaluasi kebijakan dan prosedur tentang sistem rekam medis.
k. Menyusun analisa jabatan dan uraian tugas perekam medis.
l. Menyusun kebijakan dan prosedur antar unit kerja tentang arus informasi
setempat ( Rustiyanto, 2009).
2.3 Operasi
2.3.1 Pengertian Operasi
Operasi adalah suatu bentuk tindakan invasif yang hanya dapat dilakukan oleh
tenaga professional dan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan pasien dan
keluarganya. Operasi atau pembedahan merupakan salah satu prosedur khusus medik
Operasi adalah salah satu tindakan medis yang kadang harus dijalankan
menyangkut penyakit yang ada di dalam tubuh, yang apabila tidak dilakukan
pembedahan akan semakin parah. Namun, kebanyakan orang yang merasa cemas
bahkan tidak sedikit yang panik ketika divonis harus menjalani operasi (Kusmawan,
2011).
Operasi dilakukan setidaknya memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:
a. Kuratif
Artinya, operasi dilakukan agar penyakit bisa tuntas diatasi jika tidak dilakukan
operasi pasien harus terus-menerus menjalani pengobatan.
b. Diagnostik
Tidak selamanya operasi bertujuan untuk menyembuhkan pada kondisi tertentu,
operasi bertujuan untuk mengetahui penyakit yang diderita. Misalnya, operasi
biopsi , selain itu, operasi bertujuan untuk eksplorasi, misalnya eksplorasi
laparotomi (memerisa rongga perut). Hasil diagnostik dengan teknik operasi
semacam ini tentu yang terakurat dibandingkan dengan pemeriksaan penunjang
lainnya.
c. Penyelamatan Nyawa
Operasi ini bertujuan menyelamatkan nyawa seorang pasien. Misalnya, operasi
emergensi yang melibatkan salah satu dari tiga fungsi tubuh, yakni jalan napas,
alat pernapasan, dan sistem jantung pembuluh darah.
Tujuan untuk mengembalikan fungsi sistem organ yang terganggu akibat
kerusakan atau penyakit, bisa dilakukan secara emergensi maupun terencana.
misalnya sumbatan pada saluran pencernaan, saluran kencing, gangguan fungsi
penglihatan, fungsi pendengaran dan lain-laiin.
e. Preventif
Operasi bertujuan mencegah terjadi sesuatu yang lebih buruk akibat gangguan
sebelumnnya. Misal, operasi hernia dengan pemasangan mash untuk memperkuat
lapisan penutup untuk memperkecil risiko kekambuhan.
f. Rekonstruksi
Operasi ini bertujuan untuk memperbaiki struktur yang mengalami kerusakan atau
kelaianan bentuk.
g. Estetika
Operasi ini bertujuan untuk memperbaiki penampilan demi kecantikan atau
ketampanan seseorang (Kusmawan, 2011).
2.3.2 Tahap-Tahap Operasi
Menururut Tamsuri (2006), berdasarkan setting operasi, situasi atau tahapan
dapat dibedakan tiga bagian yaitu pra operasi, operasi dan pasca operasi. Ketiga
bagian ini memiliki karakteristik dan tujuan perawatan yang berbeda sehingga
kegiatan yang dilakukan dengan pasien dan atau komunikasi yang diperlukan pada
fase ini berbeda satu sama lain.
Pra operasi dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir
ketika pasien dikirim ke meja operasi. Dalam hal ini dokter dan perawat dapat
melakukan pengkajian awal, merencanakan metode penyuluhan sesuai dengan
kebutuhan pasien dan melibatkan keluarga Atkinson (1992) dalam Tanjung
(2004).
b. Tahap operasi
Masa operasi dimulai pada saat pasien masuk ruang operasi hingga pasien
dipindah ke ruang pemulihan. Pada situasi ini perawat tidak berperan dominan,
tetapi bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pasien.
c. Tahap pasca operasi
Masa pasca operasi adalah situasi setelah pasien kembali dari ruang operasi
kemudian ditempatkan di ruang pemulihan atau dikembalikan ke ruang rawat.
Pada tahap ini perawat berperan membantu pasien memenuhi kebutuhan harian
sekaligus melanjutkan perawatan luka operasi (Tamsuri, 2006).
2.3.3 Persiapan - Persiapan sebelum Operasi a. Pemeriksaan fisik.
b. Pemeriksaan tekanan darah.
c. Status pernafasan.
Tujuan bagi pasien yang berpotensi menjalani operasi adalah untuk mempunyai
fungsi pernafasan yang optimal. Semua pasien diminta untuk berhenti merokok 4
d. Status kardiovaskuler
Tujuan dalam menyiapkan semua pasien pra operasi adalah agar fungsi sistem
kardiovaskuler berfungsi memenuhi kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi
Karena penyakit kardiovaskuler meningkatkan resiko, pasien dengan penyakit
membutuhkan perhatian yang lebih besar dari biasanya selama fase perawatan
dan penatalaksanaan. Tergantung pada keparahan gejala, pembedahan mungkin
diundur sampai pengobatan medis dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi
pasien.
e. Fungsi imunologi
Fungsi pengkajian pra operasi yang penting adalah untuk menentukan adanya
alergi, termasuk reaksi alergi sebelumnya. Penting untuk mengidentifikasi dan
mencatat segala bentuk sensitivitas. Pasien diminta untuk mengingat segala
substansi yang menyebabkan reaksi alergi sebelumnya, termasuk medikasi,
transfusi darah dan agen kontras dan untuk menggambarkan tanda dan gejala
yang ditimbulkan oleh substansi ini.
f. Persiapan intestinal
Pembersihan dengan enema mungkin dilakukan pada malam sebelum operasi dan
diulang jika tidak efektif. Pembersihan ini adalah untuk mencegah trauma yang
tidak diinginkan pada intestinal.
g. Pertimbangan gerontologi
Individu lansia yang menghadapi operasi dapat mempunyai suatu kombinasi
Individu lansia sering tidak melaporkan gejala, barangkali kerena mereka takut
akan diagnosa penyakit serius atau karena mereka menerima gejala tersebut
sebagai bagian dari proses penuaan. Secara umum, lansia dianggap memiliki
resiko operasi lebih buruk dibandingka pasien yang lebih muda. Cadangan
jantung menurun, fungsi ginjal dan hepar menurun dan aktifitas gastrointestinal
tanpaknya berkurang. Dehidrasi, konstipasi dan malnutrisi mungkin terjadi.Secara
ringkas, tujuan keseluruhan dalam periode pra operasi adalah untuk
memperbanyak mungkin faktor-faktor kesehatan yang positif. (Brunner &
Suddarth, 2001).
Mengatasi rasa cemas dan takut dapat dilakukan persiapan psikologis pasien
melalui pengetahuan kesehatan, penjelasan tentang peristiwa yang mungkin terjadi.
Sedangkan resiko infeksi atau cedera lainya dapat dilakukan dengan persiapan pra
operasi sepeti diet, persiapan perut, kulit, persiapan bernapas dan latihan kaki dan
latihan mobilitas. Malam sebelum di operasi, diusahakan agar pasien dapat istirahat
dan tidur nyeyak. perasaan nyeri dapat mengganggu tidur pasien. Bila perlu, diberi
satu tabelt parasetamol dan pasien yang tidak bisa tidur diberi satu tabelt Luminal
(Kozier,2004).
2.4 Landasan Teori
Menurut Smeltzer dan Bare (1996) dalam bukunya menjelaskan pentingnya
Informed Consent dimana izin tertulis yang dibuat secara sadar dan sukarela dari
melindungi pasien terhadap operasi yang lalai dan melindungi ahli bedah terhadap
tuntutan dari suatu lembaga hukum. Demi kepentingan semua pihak yang terkait,
perlu mengikuti prinsip medikolegal yang baik. Sebelum pasien menandatangani
formulir Informed Consent, ahli bedah harus memberikan penjelasan yang jelas dan
sederhana tentang apa yang akan diperlukan dalam pembedahan. Ahli bedah juga
harus menginformasikan pasien tentang alternatif-alternatif yang ada, kemungkinan
resiko, komplikasi, perubahan bentuk tubuh, menimbulkan kecacatan, pengangkatan
bagian tubuh, juga tentang apa yang diperkirakan terjadi pada periode pasca operasi
awal dan lanjut.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan kecemasan, diantaranya: 1) Teori Psikoanalisa menunjukkan sesuatu
tentang ego manusia. Ego manusia tidak seluruhnya dan tidak selamanya sanggup
menghadapi stimulus dari luar dan dalam dirinya. Dalam keadaan demikian manusia
akan mempergunakan berbagai macam mekanisme pertahanan diri. Bila mekanisme
pertahanan ini tidak mampu mengendalikan stimulus dari luar, beberapa di antara
mekanisme pertahanan diri yang patologik, baik sendiri atau bersamaan, akan
dipergunakan. 2) Teori interpersonal dihubungkan dengan trauma pada masa
perkembangan atau pertumbuhan seperti kehilangan, perpisahan yang menyebabkan
seseorang menjadi tidak berdaya. Individu yang mempunyai harga diri rendah
biasanya sangat mudah untuk mengalami kecemasan berat . 3) Teori perilaku
Kecemasan merupakan hasil frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu
menganggap kecemasan merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari berdasarkan
keinginan untuk menghindarkan rasa sakit. Teori ini meyakini bahwa manusia yang
pada awal kehidupannya dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan akan
menunjukkan kemungkinan kecemasan yang berat pada kehidupan masa dewasanya.
4) Teori keluarga kecemasan yang dialami oleh individu kemungkinan memiliki
dasar genetik. Orang tua yang memiliki gangguan cemas tampaknya memiliki resiko
tinggi untuk memiliki anak dengan gangguan cemas. 5) Teori biologi menunjukkan
bahwa otak mengandung reseptor khusus benzodiazepines. Reseptor ini mungkin
membantu mengatur kecemasan. Penghambat asam aminobutirik-gamma
neuroregulator (GABA) dan endorfin juga berperan utama dalam mekanisme
biologis berhubungan dengan kecemasan sebagaimana halnya dengan endorfin.
kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan
ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan menurut Hawari
2.5 Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian dapat digambarkan kerangka konsep penelitian
[image:53.612.124.514.189.410.2]sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen yaitu : Komunikasi dalam pemberian informed consent
Variabel dependen yaitu : Tingkat kecemasan
Komunikasi dalam Pemberian informed Consent:
1. Cara Penyampaian 2. Siapa yang
menyampaikan 3. Isi pesan: a.Diagnosa b.Terapi c.Cara kerja d.Prognosis e.Resiko 4. Kapan Informed
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Quasi Experiment yang bertujuan menyelidiki
hubungan sebab akibat dengan cara mengadakan intervensi atau mengadakan
perlakuan kepada satu atau lebih kelompok eksprimen, kemudian hasil (akibat) dari
intervensi dibandingkan dengan kelompok yang tidak dikenakan perlakuan
(kelompok kontrol). Quasi Experiment disebut juga dengan one group pretest and
posttest design yaitu rangcangan penelitian yang melakukan pengukuran sebelum
dan sesudah pamberian informed consent (Setiadi, 2007).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUD Kabupaten Gayo Lues dengan alasan rumah
sakit ini merupakan Rumah Sakit Umum Daerah dan satu-satunya Rumah Sakit
yang ada di Kabupaten Gayo Lues, tersedianya jumlah sampel, adanya izin dari
instansi tempat penelitian, belum pernah dilakukan penelitian tentang perbedaan
tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian informed Consent pada pasien
pra operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues. Penelitian dimulai dari bulan Februari
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien yang operasi di RSUD
Kabupaten Gayo Lues. Dari hasil survei awal yang telah dilakukan pada Februari
2012, dilaporkan jumlah populasi pasien yang dilakukan tindakan operasi sebanyak
60 orang ( Rekan Medis RSUD, 2012).
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi dalam suatu penelitian (Notoatmodjo, 2005).
Sampel penelitian ini diambil dengan purposive sampling, artinya pengambilan
sampel secara puposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh
peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumnya. Kriteria inklusi sampel (1) pasien yang akan dioperasi (2) kondisi
kesehatan memungkinkan untuk dijadikan subjek penelitian berdasarkan laporan
subjektif responden (3) dapat menggunakan bahasa yang baik dan benar (4) bersedia
menjadi subjek penelitian (5) pasien pra operasi ≥ 15 tahun (6) pasien yang dirawat di
Rumah Sakit. Berdasarkan kriteria inklusi sampel berjumlah 32 orang.
3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer
Data primer adalah data yang dihimpun melalui wawancara berpedoman
diteliti. Adapun sumber data primer didapat dari hasil jawaban responden yang
diteliti. Data primer sebagai variabel bebas adalah pemberian informed consent.
Variabel terikat adalah tingkat kecemasan pasien pra bedah di RSUD Kabupaten
Gayo Lues.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari laporan-laporan maupun dokumen-dokumen
resmi lainya terutama data di RSUD Kabupaten Gayo Lues, Laporan tahunan dan
dari jurnal/hasil penelitian yang digunakan untuk membantu analisis tehadap data
primer yang diperoleh.
3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas a. Uji Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti ketepatan dan
kecermatan suatu alat ukur (instrumen) dalam mengukur suatu data. Uji validitas
(Ghozali, 2005). Untuk mengetahui validitas suatu instrumen (dalam kuesioner)
dilakukakan dengan menghitung korelasi antara skor r-hitung masing-masing
pertanyaan dalam suatu variabel. Pertanyaan pada kuesioner dapat dikatakan valid
apbila nilai koefisien korelasi > 0,2 dan dikatakan reliabel apabila nilai alpha
cronbach >0,6 . Teknik korelasi yang digunakan adalah pearson product Moment
Correlation, dengan kriteria:
a. Bila r-hitung > r - tabel maka pertanyaan valid
Tabel 3.1 Uji Validitas Variabel
Variabel Instrumen r-hitung r-tabel Ket
Pemberian P1 0,812 0,2 Valid
Informed P2