• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kadar Interferon Gamma Cairan Pleura Pada Efusi Pleura Exudativa Tuberkulosa Dengan Non Tuberkulosa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Kadar Interferon Gamma Cairan Pleura Pada Efusi Pleura Exudativa Tuberkulosa Dengan Non Tuberkulosa"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KADAR INTERFERON GAMMA CAIRAN

PLEURA PADA EFUSI PLEURA EXUDATIVA

TUBERKULOSA DENGAN NON TUBERKULOSA

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Pendidikan Spesialisasi di Bidang Pulmonolgi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP. H. Adam Malik Medan

Oleh

MEILAND TINA JOHANNA DILIANA SILITONGA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

TESIS

PPDS DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN I. KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT UMUM HAJI ADAM MALIK

MEDAN

Judul Tesis : Perbandingan Kadar Interferon Gamma Cairan Pleura Pada Efusi

Pleura Exudativa Tuberkulosa Dengan Non Tuberkulosa

Nama Peneliti: Meiland Tina Johanna Diliana Silitonga NIP : 400059440

Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis I Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Jangka Waktu : 3 (tiga) bulan

Lokasi : Rawat inap RS Pemerintah dan Swasta di Medan

Biaya : Rp. 20.000.000,-

Pembimbing : Dr. Widirahardjo, SpP(K)

 

 

(4)

PERNYATAAN

PERBANDINGAN KADAR INTERFERON GAMMA CAIRAN PLEURA

PADA EFUSI PLEURA EXUDATIVA TUBERKULOSA DENGAN NON TUBERKULOSA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yang menyatakan

Peneliti

(5)

Telah diuji pada:

Tanggal 01 Maret 2011

Panitia Penguji Tesis

Ketua

: dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K)

Sekretaris : dr. Noni N. Soeroso, Sp.P

Anggota

: - Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K)

-

dr. Pantas Hasibuan, Sp.P(K)Onk

-

dr. Hilaluddin Sembiring, Sp.P(K), DTM&H

-

dr. Pandiaman S. Pandia, Sp.P(K)

(6)

PERBANDINGAN KADAR INTERFERON GAMMA CAIRAN PLEURA PADA EFUSI PLEURA EXUDATIVA

TUBERKULOSA DENGAN NON TUBERKULOSA meiland silitonga, widirahardjo

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H. Adam Malik

MEDAN 

ABSTRAK

Latar Belakang: Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi penyebab kematian terbanyak

di seluruh dunia, juga merupakan penyebab utama efusi pleura. Diagnosa banding antara efusi pleura tuberkulosis dengan nontuberkulosis kadang-kadang sulit dilakukan, dan masih menjadi masalah klinis yang penting. Pemeriksaan konvensional tidak selamanya dapat membantu dalam menegakkan diagnosis efusi pleura tuberkulosis. Banyak studi yang meneliti manfaat pengukuran IFN- cairan pleura sebagai diagnosis awal efusi pleura Tuberkulosis.

Tujuan: Untuk membandingkan kadar IFN- cairan pleura pada efusi pleura eksudativa

Tuberkulosa dengan Non Tuberkulosa.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang bersifat observasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini memiliki sampel 11 orang penderita efusi pleura Tuberkulosis dan 22 penderita efusi pleura Non Tuberkulosis sebagai kontrol yang datang ke beberapa rumah sakit di Medan. Kadar IFN- cairan pleura diukur dengan menggunakan kit komersil yang tersedia.

Hasil: Kadar IFN- cairan pleura pada efusi pleura eksudativa tuberkulosa dengan non tuberkulosa (723 ± 482.65 pg/ml vs 17.11±20.05 pg/ml, p = 0.0001).

Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang sangat bermakna diantara kedua kelompok

dimana kelompok efusi pleura TB mempunyai kadar IFN- yang lebih tinggi dibandingkan dengan efusi pleura Non TB (nilai p = 0.0001). Perlu penelitian yang lebih lanjut untuk mendapatkan nilai sensitifiti dan spesifiti IFN- dengan jumlah sampel yang lebih banyak.

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS

Nama : dr. Meiland Tina Johanna Diliana Silitonga Tempat/Tgl. Lahir : Sibolga, 16 Mei 1976

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : PPDS Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU Medan

Alamat : Jl. Flamboyan I/3 No.5 Kompl. Pemda Tk.II. Tanjung Selamat. Medan

PENDIDIKAN

a) SD RK Santa Maria Tarutung tamat tahun 1988 b) SMP Negeri 1 Tiga Dolok Simalungun tamat tahun 1991 c) SMA RK Budi Mulia P. Siantar tamat tahun 1994 d) FK USU Medan tamat tahun 2001

KELUARGA

Suami : Rev. Ir. Habonaran Richard Aruan, MA

PEKERJAAN

(8)

PARTISIPASI

1. Menyajikan poster pada KONAS XII PDPI di Yogyakarta tahun 2009 2. Peserta pada KONAS XII PDPI di Yogyakarta tahun 2009 3. Peserta Workshop Basic if Interventional Bronchoscopy di Padang tahun 2009 4. Panitia dan Peserta pada MERCY I di Medan tahun 2010

TUGAS

Selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU telah menyelesaikan tugas:

1. Sari Pustaka : 6 buah

2. L. aporan Kasus : 5 buah

3. Journal Reading : 12 buah

(9)

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera;

Terpujilah Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan tulisan akhir ini dengan judul “Perbandingan Kadar Interferon Gamma Cairan Pleura Pada Efusi Pleura Exudativa Tuberkulosa Dengan Non Tuberkulosa.”

Tulisan ini merupakan tugas akhir yang merupakan syarat dalam penyelesaian pendidikan Spesialis Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSU. H. Adam Malik Medan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalam karya tulis ini, namun penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat sebagai alat diagnostik yang mendukung diagnosa Efusi Pleura Tuberkulosis yang selama ini masih ada yang sulit ditegakkan.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

(10)

ilmiah, yang mana hal tersebut sangat berguna bagi penulis untuk masa yang akan datang.

Yang terhormat dr. Pantas Hasibuan, Sp.P(K) Onk. sebagai Sekretaris Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSU. H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberi penulis saran dan nasehat yang bermanfaat dalam penyelesaian pendidikan penulis.

Yang terhormat dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K), sebagai Ketua Program Studi Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSU. H. Adam Malik Medan dan sebagai TK-PPDS yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan dan nasehat yang sangat berguna dalam menjalani masa pendidikan yang bermanfaat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

Yang terhormat dr. Noni N. Soeroso, Sp.P sebagai seketaris program studi Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSU. H. Adam Malik Medan yang banyak memberikan motivasi dan saran serta nasehat yang bermanfaat sehingga saya dapat menyelesaikan tulisan ini.

Yang terhormat Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K) sebagai koordinator penelitian ilmiah di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSU. H. Adam Malik Medan dan Ketua Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia (PDPI) cabang Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan tulisan ini.

(11)

dorongan moril serta penyempurnaan penelitian bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Yang terhormat dr. Arlinda Sari Wahyuni, Mkes dan Drs. Abdul Djalil Amri Arma. M.Kes sebagai pembimbing statistik penulis yang telah banyak memberikan bantuan serta membuka wawasan penulis dalam bidang statistik.

Yang terhormat dr. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp.P(K) yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan dan nasehat yang sangat berguna dalam menjalani masa pendidikan yang bermanfaat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

Yang terhormat Prof. dr. R. S. Parhusip, Sp.P(K), Alm. Dr. Sugito, Sp.P(K), dr. Usman Sp.P(K), Alm. Dr. Sumarli, Sp.P(K) yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan dan nasehat yang sangat berguna dalam menjalani masa pendidikan yang bermanfaat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

Penghargaan dan rasa terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada yang terhormat dr. Pandia P. S. Sp.P (K), dr. Fajrinur Syahrani, Sp.P (K), dr. Amira Permatasari Sp.P, dr. Parluhutan Siagian, Sp.P, dr. Bintang YM. Sinaga, Sp.P, dr. Setia Putra Tarigan Sp.P, dr. Ucok Martin Tambunan Sp.P, dr. Neti Damanik Sp.P yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dan pengarahan selama penulis menjalani pendidikan ini.

(12)

Ketua Departemen Mikrobiologi FK-USU/RSU H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen Kardiologi FK-USU/RSU H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen Radiologi FK-USU/RSU H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen Patologi Anatomi FK-USU/RSU H. Adam Malik Medan, Kepala Instalasi Perawatan Intensif RSU H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama menjalani pendidikan dan penelitian ini. Juga kepada pimpinan dan staf laboratorium PRODIA yang membantu pelaksanaan penelitian ini.

Penulis mengucapakan terimakasih kepada teman sejawat peserta Program Studi Pendidikan Spesialisasi Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, pegawai Tata Usaha / Paramedis Poliklinik / Pegawai ruang bronkoskopi/ Ruang Inap Paru /Paramedis Unit Perawatan Intensif RSU. H. Adam Malik Medan, atas bantuan dan kerja sama yang baik selama menjalani pendidikan dan penelitian ini.

(13)

Sabrina Aruan atas doa restu, bantuan dan dukungan serta motivasi selama menjalani pendidikan ini.

Kepada suamiku tercinta Richard Aruan yang selalu setia dalam suka dan duka, senantiasa memberi motivasi, doa, cinta kasih serta banyak pengorbanan selama ini, penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan atas semuanya.

Banyak hal dan peristiwa yang penulis jalani dan alami selama menjalani pendidikan ini tetapi semua itu adalah proses pembelajaran dan pembentukan karakter, meneguhkan iman dan untuk meningkatkan kemampuan, ketrampilan dan ilmu pengetahuan khususnya di bidang paru, karena itu penulis menyadari kekhilafan, kesalahan, dan kekurangan yang penulis perbuat selama menjalani pendidikan ini. Disini penulis menyampaikan permohonan maaf dan terimakasih sebesar-besarnya. Semoga segala ilmu, keterampilan, pembinaan yang penulis dapatkan selama ini bisa menjadi berkat bagi sesama dan menjadi kemuliaan bagi nama Tuhan Yesus Kristus.

Medan, Januari 2011

Penulis

(14)

DAFTAR ISI

Abstrak... i

Daftar Riwayat Hidup ... ii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... ix

Daftar Singkatan ... xiii

Daftar Tabel ... xv

Daftar Gambar ... xvi

Daftar Lampiran... xvii      

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan masalah... 6

1.3. Hipotesis ... 6

1.4. Tujuan Penelitian ... 7

1.4.1. Tujuan Penelitian Umum ... 7

1.4.2. Tujuan Penelitian Khusus ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Definisi Efusi Pleura ... 8

2.2. Epidemiologi... 8

(15)

2.4. Aspek Imunologis ... 12

2.4.1. Sitokin ... 12

2.4.2. Efek Biologik Sitokin ... 14

2.4.3. Efek Biologik IFN- ... 15

2.4.4. Sistem Imun Pada TB ... 17

2.5. Manifestasi Klinis ... 19

2.6. Diagnosis... 20

2.6.1. Apusan & Kultur Sputum, Cairan Pleura dan Jaringan Pleura ... 21

2.6.2. Biopsi Pleura ... 22

2.6.3. Uji Tuberkulin... 22

2.6.4. Analisis Cairan Pleura... 22

2.6.5. Adenosin Deaminase(ADA) ... 23

2.6.6. Interferon gamma (IFN- )... 24

2.6.7. Polimerase Chain Reaction (PCR) ... 26

2.6.8. Kerangka Konsep Penelitian ... 27

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... ... 28

3.1. Desain Penelitian ... 28

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian... 28

3.3. Populasi dan Sampel ... 28

3.3.1. Populasi ... 28

(16)

3.4. Perkiraan Besar Sampel ... 29

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 30

3.5.1. Kriteria inklusi ... 30

3.5.2. Kriteria eksklusi ... 30

3.6. Kerangka Operasional Penelitian ... 31

3.7. Identifikasi Variabel... 32

3.8. Definisi Operasional ... 32

3.9. Peralatan dan Bahan... 33

3.10. Cara Kerja Penelitian ... 34

3.11. Analisis Data ... 37

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 39

4.1 Profil Data Demografi Penderita Efusi Pleura TB dan Non TB ... 40

4.2. Gambaran Keluhan Penderita Efusi Pleura TB dan Non TB ... 40

4.3. Lokasi Efusi Pleura Pada Penderita TB dan Non TB ... 41

4.4. Gambaran Infiltrat pada Foto Toraks Pasien Efusi Pleura TB dan Non TB ... 42

4.5. Profil Cairan Pleura Secara Makroskopis Pada Pasien TB dan Non TB ... 43

4.6. Profil Kimiawi Cairan Pleura Pada Efusi Pleura TB dan Non TB ... 43

4.7. Gambaran Kadar IFN- Pada Penderita Efusi Pleura TB dan Non TB... 44

4.8. Perbedaan Kadar IFN- Cairan Pleura Pada Penderita TB dan Non TB... 45

BAB 5. PEMBAHASAN ... 46

(17)

6.1. Kesimpulan ... 56

6.2. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(18)

DAFTAR SINGKATAN

Ab = Antibodi

ADA = Adenosin Deaminase

Ag = Antigen

AICD = Activation-Induced Invariant Peptide AIDS = Acquired Immunodeficiency Syndrome APC = Antigen Presenting Cell HIV = Human Immunodeficiency Virus IAP = Immunosuppressive Acidic Protein

IFN = Interferon

Ig = Imunoglobulin

IL = Interleukin

LDH = Lactic Acid Dehydrogenase MAC = Macrophage Activating Cytokine MCP = Monocyte Chemotactic Protein MIP = Macrophage Inflammatory Protein MHC = Mayor Histocompatibility Complex

MN = Mononuklear

M. TB = Mikobakterium Tuberkulosis

NK = Natural Killer

(19)

PA = Posterior Anterior

PCR = Polymerase Chain Reaction

PMN = Polimorfonuklear

SD = Sel Dendritik

SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga

sIL-2R = Soluble Interleukin-2 Receptor

TB = Tuberkulosis

TGF = Tumor Growth Factor

Th = T helper

TLRs = Tool Like Receptors TNF = Tumor Necrosis Factor

UK = United Kingdom

U = Unit

US = United State

WHO = World Health Organization

(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Profil Data Demografi Penderita Efusi Pleura TB Dan Non TB...40

Tabel 2. Gambaran Keluhan Respirasi Dan Non Respirasi Pada Penderita Efusi Pleura TB Dan Non TB... ...41

Tabel 3. Lokasi Efusi Pleura Pada Penderita TB Dan Non TB... ... ...42

Tabel 4. Gambaran Infiltrat Pada Pasien Efusi Pleura TB Dan Non TB...42

Tabel 5. Karakteristik Cairan Pleura Secara Makroskopis Pada Pasien Efusi Pleura TB Dan Non TB...43

Tabel 6. Profil Kimiawi Cairan Pleura Pada Efusi Pleura TB dan Non TB* ...43

Tabel 7. Gambaran Kadar IFN- Pada Penderita Efusi Pleura TB dan Non TB...44

Tabel 8. Perbedaan Kadar IFN- Cairan Pleura Pada Penderita TB Dan Non TB*...45

Tabel 9. Gambaran Cut Of Point Kadar IFN- Pada Beberapa Penelitian...…..54

(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Aktivitas pleotropik IFN- ... 13

Gambar 2. Fungsi sitokin pada pertahanan penjamu ... 14

Gambar 3. Efek biologik IFN- ... 16

Gambar 4. Imuniti Seluler pada Infeksi Tuberkulosis ... 18

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Persetujuan Komite Etik

Lampiran 2. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian

Lampiran 3. Surat Persetujuan Bersedia berpartisipasi sebagai subjek penelitian

Lampiran 4. Status Penelitian Pasien

Lampiran 5. Keterangan Data Induk

(23)

PERBANDINGAN KADAR INTERFERON GAMMA CAIRAN PLEURA PADA EFUSI PLEURA EXUDATIVA

TUBERKULOSA DENGAN NON TUBERKULOSA meiland silitonga, widirahardjo

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H. Adam Malik

MEDAN 

ABSTRAK

Latar Belakang: Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi penyebab kematian terbanyak

di seluruh dunia, juga merupakan penyebab utama efusi pleura. Diagnosa banding antara efusi pleura tuberkulosis dengan nontuberkulosis kadang-kadang sulit dilakukan, dan masih menjadi masalah klinis yang penting. Pemeriksaan konvensional tidak selamanya dapat membantu dalam menegakkan diagnosis efusi pleura tuberkulosis. Banyak studi yang meneliti manfaat pengukuran IFN- cairan pleura sebagai diagnosis awal efusi pleura Tuberkulosis.

Tujuan: Untuk membandingkan kadar IFN- cairan pleura pada efusi pleura eksudativa

Tuberkulosa dengan Non Tuberkulosa.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang bersifat observasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini memiliki sampel 11 orang penderita efusi pleura Tuberkulosis dan 22 penderita efusi pleura Non Tuberkulosis sebagai kontrol yang datang ke beberapa rumah sakit di Medan. Kadar IFN- cairan pleura diukur dengan menggunakan kit komersil yang tersedia.

Hasil: Kadar IFN- cairan pleura pada efusi pleura eksudativa tuberkulosa dengan non tuberkulosa (723 ± 482.65 pg/ml vs 17.11±20.05 pg/ml, p = 0.0001).

Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang sangat bermakna diantara kedua kelompok

dimana kelompok efusi pleura TB mempunyai kadar IFN- yang lebih tinggi dibandingkan dengan efusi pleura Non TB (nilai p = 0.0001). Perlu penelitian yang lebih lanjut untuk mendapatkan nilai sensitifiti dan spesifiti IFN- dengan jumlah sampel yang lebih banyak.

(24)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang utama khususnya di negara-negara berkembang.1 Karena itu TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai “Global Emergency”.2 Menurut data yang dilaporkan WHO tahun 2008 diperkirakan sebanyak 9.2 juta kasus baru TB yang terjadi di seluruh dunia pada tahun 2006 (139 per 100.000), termasuk sekitar 4.1 juta (62 per 100.000) kasus baru dengan apusan BTA positif.3 Indonesia menempati urutan ke-3 terbanyak penderita TB di dunia setelah India, dan Cina.2,3 Di Indonesia setiap tahun terdapat ± 250.000 kasus baru dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa TB merupakan penyebab kematian nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit jantung dan pernafasan akut pada seluruh kalangan usia.2

TB paru sering bermanifestasi ke organ-organ lain. Manifestasi ke pleura berupa pleuritis atau efusi pleura merupakan salah satu manifestasi TB ekstraparu yang paling sering terjadi setelah limfadenitis TB.4,5 Sekitar ± 30% infeksi aktif Mycobacterium tuberculosis (M. TB) bermanifestasi ke pleura.6

(25)

disebabkan oleh kuman M. TB (30,26%) dengan umur terbanyak adalah 21-30 tahun.7,8

Karena itu dalam menegakkan diagnosis efusi pleura exudativa TB dan efusi pleura exudativa yang bukan disebabkan oleh M. TB masih menjadi masalah klinis. Selama ini diagnosis efusi pleura TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, analisis cairan pleura, temuan radiologis dan respons terapi terhadap obat anti TB (OAT) tetapi diagnosis ini dikonfirmasi dengan pemeriksaan konvensional yang disebut “gold standart” atau baku emas yaitu pemeriksaan cairan pleura Bakteri Tahan Asam (BTA) langsung atau kultur positif M. TB dan atau gambaran histologis granuloma kaseosa.9 Jadi diagnosis efusi pleura TB didapat dari hasil kombinasi sputum, histopatologi dan kultur. Pada metode diagnostik konvensional hasilnya kurang memuaskan karena sensitiviti pemeriksaannya cukup rendah walaupun kultur dan histopatologi digabungkan, sementara tindakan invasif yang berulang untuk mendapat hasil yang positif akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi dan menambah biaya.10

(26)

dan secara histopatologi dijumpainya granuloma yang mengalami perkijuan merupakan standar baku untuk menegakkan diagnosis efusi pleura TB, dengan nilai sensitiviti ± 39-80%, 90% dan 50-97% berturut-turut lebih tinggi, namun prosedur ini membutuhkan keahlian yang lebih baik dan lebih invasif.11,12,13,14 Karena itulah dibutuhkan pemeriksaan alternatif yang cepat dan akurat dalam mendukung diagnosis efusi pleura TB.15 Jika TB cepat didiagnosis dan diterapi maka pasien bisa cepat menjadi tidak infeksius dan cepat disembuhkan.3

Sekarang ini banyak petanda biologi untuk uji diagnostik efusi pleura TB yang mempunyai nilai sensitifiti tinggi, diantaranya pemeriksaan kadar interferon gamma (IFN- ) cairan pleura. IFN- ini merupakan suatu produk sitokin yang diaktifasi oleh sel T cluster of differentiation 4 (CD4+) pada subset T helper1 (Th1) yang berperan pada sistem imuniti seluler.16,17,18,19 Pasien-pasien efusi pleura TB cenderung mempunyai kadar IFN- cairan pleura yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien-pasien efusi pleura yang disebabkan oleh penyakit lain.

(27)

pemeriksaan IFN- cairan pleura mempunyai nilai sensitiviti 100% dan spesifisiti mencapai 98,5%.20 Penelitian yang dilakukan oleh Akio dkk di Jepang, mereka membandingkan 6 pemeriksaan petanda biologi ADA, IFN- , Interleukin-12p40 (IL-12p40), IL-18, Immunosuppressive Acidic Protein (IAP), dan soluble IL-2 receptors (sIL-2R) untuk menegakkan diagnosis efusi pleura TB, terbukti bahwa IFN- mempunyai nilai sensitiviti dan spesifisiti yang lebih tinggi dibandingkan petanda lainnya, mereka menyimpulkan bahwa pemeriksaan IFN- merupakan pemeriksaan yang paling informatif dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya.21 Wongtim dkk menganjurkan agar pemeriksaan IFN- cairan pleura dijadikan sebagai pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB di daerah berprevalensi TB yang tinggi melihat dari hasil penelitian yang mereka buat mendapatkan bahwa IFN- mempunyai nilai sensitiviti dan spesifisiti yang cukup tinggi mencapai 95%.22

(28)

Greco dkk melakukan ulasan metaanalisis dengan membandingkan pemeriksaan ADA dan IFN- dalam menegakkan efusi pleura TB. Dari hasil ulasan tersebut mereka menyimpulkan bahwa ADA dan IFN- dapat memberi diagnosis yang akurat pada efusi pleura TB dimana ADA mempunyai nilai sensitiviti dan spesifisiti 93% sementara IFN- 96%.25

Menurut tinjauan metaanalisis yang dilakukan oleh Jiang dkk di China membuktikan bahwa IFN- mempunyai nilai sensitiviti dan spesifisiti yang tinggi dalam menentukan efusi pleura TB sehingga pemeriksaan ini dapat dijadikan sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis efusi pleura TB.9 Di Indonesia, Ekanita telah melakukan penelitian pada tahun 2009 dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik klinis, radiologis dan pemeriksaan mikroskopis BTA, biakan M.TB, kadar IFN- pada efusi pleura TB terhadap 52 orang penderita efusi pleura TB, dari hasil penelitian ini ditarik asumsi bahwa semakin tinggi kadar IFN- maka semakin besar tingkat progresifitinya.26

(29)

Karena itu diperlukan pemeriksaan penunjang yang cepat, sensitif dan spesifik di dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB. Pemeriksaan kadar IFN- merupakan pemeriksaan yang cepat dimana kita bisa mendapatkan hasilnya dalam waktu 1 hari, juga sensitif dan spesifik seperti yang telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya di berbagai negara. Di Indonesia penelitian mengenai perbandingan kadar Interferon Gamma cairan pleura pada efusi pleura exudativa Tuberkulosa dengan Non Tuberkulosa belum pernah dilakukan, karena itu penulis tertarik ingin mengadakan penelitian tentang bagaimana perbandingan kadar Interferon Gamma cairan pleura pada efusi pleura exudativa Tuberkulosa dengan Non Tuberkulosa.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas perlu diteliti bagaimana perbandingan kadar Interferon Gamma cairan pleura pada efusi pleura exudativa TB dengan Non TBa.

1.3. Hipotesis

(30)

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Untuk melihat perbandingan kadar Interferon Gamma cairan pleura pada efusi pleura exudativa TB dengan Non TB yang ada di rumah sakit Pemerintah dan Swasta di Medan.

1.4.2. Tujuan Khusus

- Mendapatkan perbandingan data demografi penderita efusi pleura exudativa TB dan Non TB

- Mendapatkan perbandingan kimiawi cairan efusi pleura exudativa TB dan Non TB

- Mendapatkan perbandingan kadar IFN- cairan efusi pleura exudativa TB dan Non TB.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bila ternyata perbedaannya bermakna, maka pemeriksaan IFN- dapat dipakai sebagai alat bantu mendiagnosa efusi pleura TB secara cepat.

(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Efusi Pleura Tuberkulosis

Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB yang dikenal juga dengan nama pleuritis TB.27 Peradangan rongga pleura pada umumnya secara klasik berhubungan dengan infeksi TB paru primer. Berbeda dengan bentuk TB di luar paru, infeksi TB pada organ tersebut telah terdapat kuman M. TB pada fase basilemia primer. Proses di pleura terjadi akibat penyebaran atau perluasan proses peradangan melalui pleura viseral sebagai proses hipersensitiviti tipe lambat. Mekanisme ini berlaku pada beberapa kasus tetapi data epidemiologi terbaru pleuritis TB mengarahkan mekanisme patogenik lain pada sebagian besar proporsi kasus. Pada pasien dewasa yang lebih tua kelainan pada pleura berhubungan dengan reaktivasi TB paru. Efusi pleura harus dicurigai akibat penyebaran infeksi sebenarnya ke ruang pleura dibandingkan prinsip reaksi imunologi terhadap Ag M. TB.28

2.2. Epidemiologi

(32)

dengan apusan BTA positif.3 Diantara kasus baru itu diperkirakan 709 000 (7.7%) dengan HIV-positif.28 Asia mencapai 55% dari seluruh kasus di dunia, dan Afrika sekitar 31%.3

Menurut laporan WHO tahun 2004 diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun di seluruh dunia, dimana jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortalitas tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan kasus HIV.4

Indonesia masih menempati urutan ke-3 setelah India, dan China dengan angka insiden TB tertinggi di dunia.2,3 Di Indonesia setiap tahun terdapat ± 250.000 kasus baru dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit jantung dan pernafasan akut pada seluruh kalangan usia.2

(33)

Frekuensi TB sebagai penyebab efusi pleura tergantung kepada prevalensi TB pada populasi yang diteliti. Penelitian di Spanyol terhadap 642 penderita efusi pleura ditemukan TB menjadi penyebab terbanyak efusi pleura; insidennya mencapai 25% dari seluruh kasus efusi pleura. Penelitian di Saudi Arabia terhadap 253 kasus dijumpai 37% disebabkan oleh TB. Di US insiden efusi pleura yang disebabkan TB diperkirakan mencapai 1.000 kasus. Atau sekitar 3-5% pasien dengan TB akan mengalami efusi pleura TB. Kelihatannya jumlah ini rendah, diakibatkan banyak pasien efusi pleura TB cenderung tidak terlaporkan karena sering sekali kultur M. TB hasilnya negatif.5 Di UK infeksi TB yang melibatkan pleura < 10% kasus.31 Sedangkan penelitian yang dilakukan di Rwanda pada 127 penderita efusi pleura dijumpai sekitar 86% penyebabnya adalah TB.32

(34)

2.3. Patogenesis

Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB suatu keadaan dimana terjadinya akumulasi cairan dalam rongga pleura.35 Mekanisme terjadinya efusi pleura TB bisa denganbeberapa cara:

1. Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi toraks. Ini merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB biasanya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan orang dewasa muda.30,36 Efusi pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan akumulasi cairan pleura.30,35,36,37 Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah. Namun terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan efusi tersebut dapat menjadi purulen, sehingga membentuk empiema TB.36

2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut. Jarang, keadaan seperti ini bia berlanjut menjadi nanah (empiema).36 Efusi pleura ini terjadi akibat proses reaktivasi yang mungkin terjadi jika penderita mengalami imuniti rendah.37

(35)

antara paru dan dinding dada. TB dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema). Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks.36

2.4. Aspek Imunologis

2.4.1. Sitokin

Sitokin merupakan golongan protein yang diproduksi oleh makrofag, eosinofil, sel mast, sel endotel, epitel, limfosit B, dan T yang diaktifkan yang semuanya ini masuk dalam golongan protein sistem imun yang mengatur interaksi antar sel yang memacu reaktivitas imun, baik pada imuniti non-spesifik maupun spesifik.38

Sitokin yang penting pada imuniti spesifik:

1. IL-2

Sekresi berasal dari Sel T. Berperan dalam proliferasi sel T, promosi AICD, aktivasi dan proliferasi sel NK, proliferasi sel B.

2. IL-4

Sekresi berasal dari Th2, sel mast. Berperan dalam mempromosikan diferensiasi Th2, pengalihan isotop ke IgE.

3. IL-5

(36)

4. TGF-

Sekresi berasal dari sel T, makrofag, dan jenis sel lainnya. Sitokin ini menghambat proliferasi dan fungsi efektor sel T, menghambat proliferasi sel B, promosi pengalihan isotop ke IgA, menghambat makrofag.

5. IFN-

Sekresi berasal dari Th1, CD8+, sel NK. Sitokin ini bekerja mengaktivasi makrofag, meningkatkan ekspresi MHC-I dan MHC-II, dan meningkatkan presentasi Ag.

Sitokin-sitokin ini dapat memberikan lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropik).38

Gambar 1. Aktifitas pleotropik IFN-

(37)

2.4.2. Efek Biologik Sitokin

Efek biologik sitokin timbul setelah diikat oleh reseptor spesifiknya yang diekspresikan pada membran sel organ sasaran. Pada imuniti nospesifik, sitokin diproduksi makrofag dan sel NK, berperan pada inflamasi dini, merangsang proliferasi, diferensiasi dan aktivasi sel efektor khusus seperti makrofag. Pada imuniti spesifik sitokin yang diproduksi sel T mengaktifkan sel-sel imun spesifik (Gambar 2).38

Gambar 2. Fungsi sitokin pada pertahanan penjamu.

(38)

2.4.3. Efek Biologik IFN-

Interferon ditemukan tahun 1957 oleh Isaacs dan Lindenmann sebagai protein yang pembentukannya diinduksi oleh sel yang terinfeksi virus dan ia berperan mengganggu replikasi virus.39 Di samping sifat antivirus, interferon terbukti mempunyai fungsi pengatur imun seperti penambahan produksi dan aktivasi sel NK serta berfungsi sebagai pengatur sel, misalnya penghambat pertumbuhan sel.39,40 Berdasarkan sumber selnya interferon diklasifikasikan sebagai interferon fibroblas dan interferon imun. Ada 3 jenis IFN yaitu alfa, beta dan gamma. IFN-α diproduksi oleh leukosit, IFN- oleh sel fibroblast yang bukan limfosit, dan IFN- atau interferon imun yang dihasilkan oleh limfosit T.38

(39)

(Gambar 1). IFN- mengaktifkan fagosit dan APC dan induksi pengalihan sel B (isotip antibodi yang dapat mengikat komplemen dan Fc-R pada fagosit, yang berbeda dengan isotip yang diinduksi IL-4), menginduksi tidak langsung efek Th1 atas peran peningkatan produksi IL-12 dan ekspresi reseptor.38

(40)

2.4.4. Sistem Imun pada TB

M.TB adalah patogen intraseluler yang dapat bertahan hidup dan berkembang biak di dalam makrofag. Makrofag dan limfosit T sangat berperan penting dalam respon imun terhadap TB. Makrofag alveolar memiliki reseptor khusus tool like receptors (TLRs) yang dapat mengenali bahan-bahan asing seperti lipoprotein mikobakterium. Makrofag memangsa M.TB dan menghasilkan sitokin, khususnya IL-12 dan IL-18 yang akan merangsang pertumbuhan limfosit T CD4+ melepaskan IFN- . IFN- penting dalam aktivasi mekanisme mikrobisid makrofag dan merangsang makrofag melepaskan TNF-α yang diperlukan dalam pembentukan granuloma. Makrofag akan memproses antigen (Ag) M.TB dan mempresentasikannya ke limfosit T CD4+ (helper T cell) dan limfosit T CD8+ (cytotoxic T-cell). Ini akan berbentuk ekspansi klonal dari limfosit T yang spesifik. Responnya berupa tipe Th1 dengan sel CD4+, IFN- , dan IL-2 memainkan peranan penting.41,42,43,44,45

Reaksi hipersensitiviti jaringan menghasilkan pembentukan granuloma yang akan membatasi replikasi dan penyebaran mikobakteria. Granuloma perkijuan adalah lesi patologik klasik TB. Pada individu dengan imunokompromis reaksi hipersensitiviti jaringan berkurang sehingga terjadi respon inflamasi non spesifik dengan serbukan sedikit leukosit polimorfonuklear dan monosit dan basil dalam jumlah besar tetapi tanpa bentukan granuloma.41,43,44,46

(41)

tiga subfamili polipeptida yang berhubungan pada sel-sel mesotel. Subfamili ini secara generik dikenal sebagai famili kemokin dan termasuk kemokin C-X-R, kemokin C-C, atau kemokin C atau yang dikenal dengan limfotaktin.5,49

Gambar 4. Imuniti Seluler pada Infeksi Tuberkulosis.46

Pada penyakit-penyakit granulomatous pleura, cairan pleura paling banyak mengandung sel-sel mononuklear. Pada hewan dengan pleuritis TB, netrofil lebih dominan pada 24 jam pertama setelah masuknya BCG (Bacillus Calmette Guerin) diikuti masuknya makrofag dalam jumlah yang banyak. Kemokin C-C yang dinamai Monocyte Chemotactic Protein (MCP)-1, dijumpai dalam jumlah yang besar pada cairan efusi TB. Macrophage Inflammatory Protein (MIP)-1 juga dijumpai pada

cairan pleura pasien-pasien efusi pleura TB. Pada pasien-pasien dimana fungsi

kekebalan tubuhnya menurun seperti pada pasien dengan AIDS, kadar monosit dan

kemokin monosit spesifik cairan pleura pasien efusi pleura TB lebih rendah. IFN-

merupakan sitokin pertama yang penting dan dijumpai dalam jumlah yang besar pada

(42)

penelitian-penelitian sebelumnya yang memberikan kesan bahwa sel T helper tipe 1

(Th1) subset memperantarai limfosit dalam memberi respon terhadap infeksi M.TB.

Saat terdapat pembagian sel-sel CD4 dalam rongga pleura pasien dengan efusi pleura

TB, terdapat peningkatan jumlah produksi IFN- . Netralisasi produksi IFN-

menyebabkan penghapusan produksi kemokin lokal oleh sel-sel mesotel dan

penurunan pelepasan MIP-1 dan MCP-1.28,47

2.5. Manifestasi Klinis

Kadang-kadang efusi pleura TB asimptomatik jika cairan efusinya masih sedikit dan sering terdeteksi pada pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk tujuan tertentu.48 Namun jika cairan efusi dalam jumlah sedang sampai banyak maka akan memberikan gejala dan kelainan dari pemeriksaan fisik.15

Efusi pleura TB biasanya memberikan gambaran klinis yang bervariasi berupa gejala respiratorik, seperti nyeri dada, batuk, sesak nafas.15 Gejala umum berupa demam, keringat malam, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, rasa lelah dan lemah juga bisa dijumpai. Gejala yang paling sering dijumpai adalah batuk (~70%) biasanya tidak berdahak, nyeri dada (~75%) biasanya nyeri dada pleuritik, demam sekitar 14% yang subfebris, penurunan berat badan dan malaise.30

(43)

gejala kurang dari 1 minggu durasinya dan 62% dengan gejala kurang dari satu bulan.30 Umur penderita efusi pleura TB lebih muda daripada penderita TB paru. Pada suatu penelitian yang dilakukan di Qatar dari 100 orang yang menderita usia rata-rata 31.5 tahun, sementara di daerah industri seperti US usia ini cenderung lebih tua sekitar 49.9 tahun. Efusi pleura TB paling sering unilateral dan biasanya efusi yang terjadi biasanya ringan sampai sedang dan jarang massif.48 Pada penelitian yang dilakukan Valdes dkk pada tahun 1989 sampai 1997 terhadap 254 penderita efusi pleura TB ditemukan jumlah penderita yang mengalami efusi pleura di sebelah kanan 55,9%, di sebelah kiri 42,5% dan bilateral efusi 1,6% penderita serta 81,5% penderita mengalami efusi pleura kurang dari dua pertiga hemitoraks.50

2.6. Diagnosis

Diagnosis efusi pleura TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi torak, pemeriksaan bakteri tahan asam sputum, cairan pleura dan jaringan pleura, uji tuberkulin, biopsi pleura dan analisis cairan pleura.30 Diagnosis dapat juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan ADA, IFN- , dan PCR cairan pleura. Hasil darah perifer tidak bermanfaat; kebanyakan pasien tidak

mengalami lekositosis.30 Sekitar 20% kasus efusi pleura TB menunjukkan gambaran infiltrat pada foto toraks.50

(44)

sela iga melebar, pergerakan tertinggal pada dada yang terlibat. Pada palpasi stem fremitus melemah sampai menghilang, perkusi dijumpai redup pada daerah yang terlibat, dari auskultasi akan dijumpai suara pernafasan vesikuler melemah sampai menghilang, suara gesekan pleura.30

Berdasarkan pemeriksaan radiologis toraks menurut kriteria American Thoracic Society (ATS), TB paru dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi minimal, lesi sedang, dan lesi luas.46 Sedangkan efusi pleura TB pada pemeriksaan radiologis toraks posisi Posterior Anterior (PA) akan menunjukkan gambaran konsolidasi homogen dan meniskus, dengan sudut kostophrenikus tumpul, pendorongan trakea dan mediastinum ke sisi yang berlawanan.30

2.6.1. Apusan dan Kultur Sputum, Cairan Pleura dan Jaringan Pleura

(45)

2.6.2. Biopsi Pleura

Biopsi pleura merupakan suatu tindakan invasif dan memerlukan suatu pengalaman dan keahlian yang baik karena pada banyak kasus, pemeriksaan histopatologi dari biopsi spesimen pleura sering negatif dan tidak spesifik.52 Akan tetapi, diagnosis histopatologis yang didapat dari biopsi pleura tertutup dengan dijumpainya jaringan granulomatosa sekitar 60-80%.34 Sementara pemeriksaan yang dilakukan oleh A. H. Diacon dkk sensitiviti histologis, kultur dan kombinasi histologis dengan kultur secara biopsi jarum tertutup mencapai 66%, 48%, 79% dan pemeriksaann secara torakoskopi sensitivitinya 100, 76%, 100% dan spesifisitinya 100%.53

2.6.3. Uji Tuberkulin

Dulu tes ini menjadi pemeriksaan diagnostik yang penting pada pasien yang diduga efusi pleura TB. Test ini akan memberikan hasil yang positif setelah mengalami gejala > 8 minggu. Pada penderita dengan status gangguan kekebalan tubuh dan status gizi buruk, tes ini akan memberikan hasil yang negatif.30

2.6.4. Analisis Cairan Pleura

(46)

dengan gejala < 2 minggu, hitung jenis sel darah putih menunjukkan PMN lebih banyak. Pada torakosentesis serial yang dilakukan, hitung jenis lekosit ini menunjukkan adanya perubahan ke limfosit yang menonjol.30 Pada efusi pleura TB kadar LDH cairan pleura > 200 U, kadar glukosa sering menurun.31

Analisis kimia lain memberi nilai yang terbatas dalam menegakkan diagnostik efusi pleura TB. Pada penelitian-penelitian dahulu dijumpai kadar glukosa cairan pleura yang menurun, namun pada penelitian baru-baru ini menunjukkan kebanyakan pasien dengan efusi pleura TB mempunyai kadar glukosa diatas 60 mg/dl.Kadar pH cairan pleura yang rendah dapat kita curigai suatu efusi pleura TB. Kadar CRP cairan pleura lebih tinggi pada efusi pleura TB dibandingkan dengan efusi pleura eksudatif lainnya.30

2.6.5. Adenosin Deaminase (ADA)

(47)

Gambaran yang menunjukkan peningkatan kadar ADA bermanfaat dalam menentukan diagnosis efusi pleura TB. Beberapa peneliti menggunakan berbagai tingkat cut-off untuk ADA efusi pleura TB antara 30-70 U/l. Pada kadar ADA cairan pleura yang lebih tinggi cenderung pasien efusi pleura TB. Pada studi metaanalisis yang meninjau 40 artikel menyatakan bahwa ADA mempunyai nilai spesifisiti dan sensitivitinya mencapai 92% dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB.56 Kebanyakan pasien dengan efusi pleura TB mempunyai kadar ADA > 40 U/l. Pada pasien dengan gangguan kekebalan tubuh dengan efusi pleura TB kadar ini lebih tinggi lagi. Efusi pleura limfositik yang bukan disebabkan oleh TB biasanya mengandung kadar ADA < 40 U/l.34

Namun penggunaan ini juga tergantung pada prevalensi TB.56 Pada populasi dengan prevalensi efusi pleura TB yang rendah spesifisiti ADA dapat sangat rendah.38 Sehingga pada daerah dengan prevalensi rendah kemungkinan tinggi nilai positif palsu yang mana dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan keterlambatan diagnosis penyakit lain seperti kanker.55

2.6.6. Interferon gamma (IFN- )

(48)

Produksi IFN- muncul sebagai mekanisme pertahanan yang bermanfaat. IFN- membantu polymyristate acetate merangsang produksi hidrogen peroksida dalam makrofag, dimana ini memfasilitasi aktifitas eliminasi parasit intraselular. Limfokin ini juga menghambat pertumbuhan mikobakteria dalam monosit manusia.30

(49)

2.6.7. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Ini merupakan tehnik amplifikasi DNA yang dengan cepat mendeteksi M. TB.32 Dewasa ini telah dikembangkan beberapa metode untuk amplifikasi asam nukleat in vitro. Dimana tujuan utama dari teknik ini adalah untuk memperbaiki sensitiviti uji yang berdasarkan pada asam nukleat dan untuk menyederhanakan prosedur kerjanya melalui automatisasi dan bentuk deteksi non-isotopik.58

PCR ini merupakan salah satu tehnik pemeriksaan yang digunakan dalam penegakan diagnosis efusi pleura TB karena metode konvensional masih rendah sensitivitinya. Sensitiviti PCR pada efusi pleura TB berkisar 20-81% dan spesitifiti nya berkisar 78-100%.37

(50)

2.7. Kerangka Konsep Penelitian

TB ESAT-6

CFP-10 EFUSI PLEURA

EXUDATIF

Reaksi Hipersensitif

QUANTIKINE (IFN- )

METODE ELISA NON

TB

TB

Sitokin (IL-12, IL-18)

T CD4+

(51)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang bersifat observasional dengan pendekatan cross sectional.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

- Penelitian dilakukan di fasilitas kesehatan RS pemerintah dan beberapa RS swasta di kota Medan.

- Penelitian dilaksanakan sampai jumlah sampel terpenuhi.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Semua penderita efusi pleura exudativa yang ada di ruang rawat inap di RS pemerintah dan beberapa RS swasta di kota Medan.

3.3.2. Sampel

(52)

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus:

n = 2

σ

2 (Z1-α/2+ Z1- )2

(µ1 – µ2)2

Dimana:

• Z1-α/2 = nilai baku normal dari tabel Z yang nilainya tergantung dari

nilai ά Æ untuk nilai ά 0,05, maka Zά = 1,96

• Z1- = nilai baku normal dari tabel Z yang nilainya tergantung dari

nilai Æ untuk nilai 0,12, maka Z 1- = 1,282

σ

= Simpang baku nilai rerata kadar IFN- dalam populasi, nilainya

adalah 0,59

µ1

µ2

= perbedaan rerata IFN- yang dianggap bermakna adalah 1

n = (2x0.59)2(1,96+1,282)2 1

n = 8 orang

(53)

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria Inklusi

Semua penderita efusi pleura exudativa dengan syarat yaitu: 1. Umur ≥ 15 tahun

2. Dapat bekerjasama dengan baik

3. Bersedia diikutkan dalam penelitian dan menyetujui menandatangani informed consent

3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Penderita hamil dan menyusui.

(54)

3.6. Kerangka Operasional Penelitian

TB NON-TB

IFN- IFN-

- Anamnesis - Pemeriksaan fisik - Foto Toraks - Darah Lengkap

- Mikrobiologi sputum dan cairan pleura - Sitologi cairan pleura dan sputum

EFUSI PLEURA EXUDATIVA

(55)

3.7. Identifikasi Variabel

1. Variabel terikat: Interferon- cairan pleura 2. Variabel bebas : - Efusi pleura TB

- Efusi pleura Non TB

 3.8. Definisi Operasional

1. Efusi pleura tuberkulosis adalah penderita dengan salah satu/lebih gejala respirasi seperti; sesak nafas, batuk, batuk darah, nyeri dada, dengan atau tanpa disertai keluhan non respirasi seperti demam, keringat malam, nafsu makan menurun, dan penurunan berat badan, foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura dengan atau tanpa gambaran infiltrat, kaviti serta pemeriksaan sitologi cairan pleura suatu proses inflamasi kronik, tidak ada penjelasan klinis lain penyebab efusi pleura, analisis cairan pleura menunjukkan sifat eksudat dan limfosit > 50%, dijumpainya kuman M. TB pada pemeriksaan apusan BTA pada salah satu atau lebih dari bahan sputum dan cairan pleura, terjadi perbaikan gambaran radiologik efusi pleura dengan pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) minimal 2 bulan. 2. Pemeriksaan mikroskopis dinyatakan positif bila pada pemeriksaan

mikroskopis dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen ditemukan kuman BTA. Pemeriksaan dinyatakan negatif bila tidak ditemukan kuman BTA pada pemeriksaan tersebut.

(56)

4. Efusi pleura exudativa non tuberkulosis: efusi pleura yang disebabkan oleh proses infeksi selain disebabkan tuberkulosis, kanker dan lain-lain. 5. Kelainan foto toraks adalah kelainan pada foto toraks berupa efusi pleura

dengan atau tanpa dijumpainya lesi di paru.

3.9. Peralatan dan Bahan

1. Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan sebagai berikut:

- Set peralatan pemeriksaan mikroskopis BTA dengan bahan pewarnaan Ziehl-Neelsen.

- Set peralatan pemeriksaan ELISA - IFN- kit.

- Reagen IFN- R&D System DIF50

- Set peralatan tindakan torakosentesis: handschoen, semprit steril ukuran 10 cc (3 buah) dan 3 cc (1 buah), kasa steril, kapas steril, plester, povidon iodin, alkohol 70%, Lidocain 3-6 ampul, Sulfas atropin 1 ampul.

- Alat sentrifuge - Mikroskop

- Alat pelengkap lain: formulir persetujuan peserta penelitian (informed consent).

2. Bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan sebagai berikut:

(57)

3.10. Cara Kerja Penelitian

1. Penderita yang datang ke ruang rawat inap RS Pemerintah dan Swasta di kota Medan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks.

2. Bagi penderita efusi pleura diminta persetujuan untuk dilakukan tindakan torakosentesis.

3. Sebagian cairan pleura dikirim ke laboratorium patologi klinik RSUP HAM Medan untuk dilakukan pemeriksaan analisis kimia cairan pleura, dan ke mikrobiologi RSUP HAM Medan (apusan gram, apusan BTA dan kultur gram). Sementara sebagian lagi cairan pleura dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi RSUP HAM Medan untuk dilakukan pemeriksaan sitologi cairan pleura. Spesimen cairan pleura yang terakhir dikirim ke laboratorium PRODIA untuk dilakukan pemeriksaan IFN- .

4. Semua penderita juga menjalani pemeriksaan mikrobiologik sputum berupa apusan BTA, bakteri gram dan jamur serta kultur bakteri gram dan jamur. 5. Setelah semua hasil pemeriksaan didapat maka dapat ditegakkan diagnosa

penyebab efusi pleura.

6. Pengukuran kadar IFN- dalam cairan pleura ini menggunakan human IFN- Elisa R&D System DIF50 dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Penanganan reagen ; - Wash Buffer Concentrate

(58)

- Standard

Larutkan IFN- Standard dengan Calibrator Diluent RD6-21. Larutan ini

merupakan larutan stok 1000 pg/mL. Sebelum dilarutkan standar dikocok

perlahan selama minimal 15 menit.

Pipet 500 µl Calibrator Diluent RD6-21 masukkan ke dalam tabung

sebelahnya. Pipet 500 µl kemudian masukkan kedalam sisa tabung

lainnya. Gunakan larutan stok untuk mendapatkan serial larutan seperti

gambar di bawah ini.

Gambar 5. Penyediaan Standar Pengenceran IFN- .61

- Larutan Substrat

(59)

b. Cara kerja:

- Siapkan semua reagen, working standard, sampel dan kontrol - Tambahkan 100 µl Assay Diluent RD1-51 ke dalam well

- Tambahkan 100 µl standar, kontrol atau sampel ke dalam masing-masing well, campur dengan baik

- Tutup plate dengan plate sealer yang tersedia dan inkubasi pada suhu kamar selama 2 jam

- Buang isi dari tiap well dan cuci dengan menambahkan 400 µl Wash Buffer ke dalam masing-masing well. Ulangi proses tersebut sebanyak 3 kali (total pencucian sebanyak 4 kali). Setelah pencucian terakhir, buang isi dari well, buang sisa Wash Buffer dengan mengetuk-ngetukkan plate secara terbalik pada lap kertas yang bersih

- Segera tambahkan 200 µl Conjugate ke dalam masing-masing well. Tutup plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 2 jam - Ulangi kembali proses pencucian seperti pada no. 5

- Segera tambahkan 200 µl Substrate Solution ke dalam masing-masing well. Tutup plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 20 menit. Lindungi dari sinar matahari.

(60)

- Tentukan optical density dari tiap well dalam waktu 30 menit menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm

c. Prinsip Pemeriksaan:

Pemeriksaan ini menggunakan teknik quantitatif sandwich enzyme immuno-assay. Sebelumnya antibody poliklonal spesifik untuk IFN- telah di-coated dalam microplate. Standar dan sampel dipipet ke dalam well dan keberadaan IFN- akan disandwich (dipasangkan) oleh immobilized antibody dalam well.

Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan substansi-substansi yang tidak terikat, kemudian ditambahkan enzyme-linked polyclonal antibody yang spesifik terhadap IFN- . Kemudian setelah dilakukan pencucian kembali untuk menghilangkan reagen antibody-enzyme yang tidak berikatan, selanjutnya larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan kemudian terbentuklah warna yang sebanding dengan jumlah IFN- yang terikat. Pembentukan warna dihentikan dan kemudian intensitas warna diukur.61

3.11. Analisis Data

3.11.1.Karakteristik penderita efusi pleura disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan.

(61)

3.11.3.Karakteristik cairan pleura secara makroskopis kedua kelompok diuji dengan menggunakan uji Chi-Square.

3.11.4.Lokasi efusi pleura kedua kelompok dibandingkan dengan menggunakan uji Chi-Square.

3.11.5.Gambaran adanya infiltrat pada foto toraks kedua kelompok dibandingkan dengan menggunakan uji Chi-Square.

3.11.6.Uji t-independent digunakan untuk membandingkan kadar glukosa dan protein pada kedua kelompok.

3.11.7.Uji Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan kadar LDH, Sel, PMN dan MN pada kedua kelompok.

(62)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Subjek penelitian ini berjumlah 11 orang penderita efusi pleura TB sebagai kelompok I dan untuk pembanding diambil 22 orang penderita efusi pleura exudativa Non TB sebagai kelompok II. Efusi pleura TB ditegakkan berdasarkan BTA yang positif pada pemeriksaan apusan cairan pleura dan atau pada apusan sputum penderita (3 orang) dan dijumpai adanya respon perbaikan secara klinis dan radiologi terhadap pemberian OAT setelah 2 bulan pengobatan (8 orang). Sementara kelompok efusi pleura exudativa Non TB penyebabnya terdiri dari keganasan 12 orang dan efusi parapneumonia 10 orang.

Sebanyak 26 orang (78.8%) adalah penderita laki-laki, dan 7 orang (21.2%) adalah perempuan; dimana 8 orang (72.7%) penderita efusi pleura TB adalah laki-laki dan 3 orang (27.3%) perempuan. Sementara penderita efusi pleura exudativa Non TB didapat laki-laki sebanyak 18 orang (81.8%) dan 4 orang (18.2%) perempuan. Dengan menggunakan uji Fishers’s Exact kedua kelompok ini ternyata tidak berbeda bermakna dengan nilai p = 0.661.

(63)

4.1. Profil Data Demografi Penderita Efusi Pleura TB dan Non TB

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa pada penderita efusi pleura TB umur ≤ 30 tahun sebanyak 4 orang (36.4%) dan > 30 tahun sebanyak 2 orang (63.6%). Pada kelompok efusi pleura exudativa Non TB umur ≤ 30 tahun sebanyak 2 orang (9.1%) dan > 30 tahun sebanyak 20 orang (90.9%). Kedua kelompok ini dibandingkan dengan menggunakan uji Fishers’s Exact dengan nilai p = 0.146.

Tabel 1. Profil Data Demografi Penderita Efusi Pleura TB dan Non TB

Profil TB NON TB TOTAL p* * Profil jenis kelamin dan umur menggunakan uji Fishers’s Exact.

4.2. Gambaran Keluhan Penderita Efusi Pleura TB dan Non TB

(64)

Pada kelompok I keluhan non respirasi seperti demam pada 8 orang (72.3%), keringat malam dikeluhkan 6 orang (54.5%), nafsu makan menurun dialami oleh 8 orang (72.3%) penderita dan berat badan menurun dikeluhkan 7 orang (63.6%) penderita. Sementara pada kelompok II keluhan demam 17 orang (31.8%), keringat malam 6 orang (27.3 %), nafsu makan menurun 17 orang (31.8 %) dan berat badan menurun 15 orang (61.2%).(Tabel 2)

Tabel 2. Gambaran Keluhan Respirasi dan Non Respirasi Pada Penderita Efusi Pleura TB dan Non TB

4.3. Lokasi Efusi Pleura Pada Penderita TB Dan Non TB

(65)

Tabel 3. Lokasi Efusi Pleura Pada Penderita TB dan Non TB

LOKASI TB NON TB TOTAL p*

n n n

Kiri 3 (27.3%) 11 (50%) 14 (42.4%)

Kanan 8 (72.7%) 10 (45.5%) 18 (54.6%) 0.32 Bilateral 0 (0%) 1 (4.5%) 1 (3%)

Total 11 (100%) 22 (100%) 33 (100%) * Lokasi efusi pleura menggunakan uji Chi-Square.

4.4. Gambaran Infiltrat pada Foto Toraks Pasien Efusi Pleura TB dan Non TB Pada penelitian ini kelainan yang ditemukan pada parenkim paru berupa infiltrat dijumpai pada 16 (48.5%) dimana 5 orang (45.5%) adalah kelompok I dan 11 (50.0%) kelompok II, sementara dari foto toraks tidak dijumpai adanya infiltrat pada 17 (51.5%) penderita dengan perincian 6 (54.5%) adalah kelompok I dan 11 (50.0%) berasal dari kelompok II. (Tabel 4)

Tabel 4. Gambaran Infiltrat Pada Pasien Efusi Pleura TB dan Non TB

PARENKIM TB NON TB p*

Infiltrat (+) 5 (45.5%) 11 (50.0%)

Infiltrat (-) 6 (54.5%) 11 (50%) 0.805

TOTAL 11 (100%) 22 (100%)

(66)

4.5. Profil Cairan Pleura Secara Makroskopis Pada Pasien TB dan Non TB Karakteristik cairan pleura secara makroskopis pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Karakteristik Cairan Pleura Secara Makroskopis Pada Pasien Efusi Pleura TB dan Non TB

CAIRAN PLEURA TB NON TB p*

JERNIH 7 (63.6%) 9 (40.9%)

KERUH 4 ( 36.4%) 13 (59.1%) 0.076 TOTAL 11 (100%) 22 (100%)

* Karakteristik cairan pleura secara makroskopis menggunakan uji Chi-Square.

4.6. Profil Kimiawi Cairan Pleura Pada Efusi Pleura TB dan Non TB

Konsentrasi protein, LDH, glukosa, Sel, PMN dan MN cairan pleura pada kedua kelompok ini tidak tampak berbeda (tabel 6).

Tabel 6. Profil Kimiawi Cairan Pleura Pada Efusi Pleura TB dan Non TB*

PROFIL TB NON TB p

(n=11) (n=22)

Protein (g/dl) 5.20±1.41 4.18±1.25 0.641

LDH (IU/L) 604.6±423.5 632.0±690.9 0.620

Glukosa (mg/dl) 68.56±41.79 75.37±61.48 0.610

Sel 1360.0±1195.3 823.0±927.8 0.075

PMN 30.5±31.9 33.6±29.1 0.772

MN 69.5±31.9 66.4±29.1 0.772

(67)

4.7. Gambaran Kadar IFN- Pada Penderita Efusi Pleura TB dan Non TB

Hasil pemeriksan kadar IFN- cairan pleura pada semua penderita efusi pleura TB dan Non TB ditunjukkan pada tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Gambaran Kadar IFN- Pada Penderita Efusi Pleura TB dan Non TB

(68)

4.8. Perbedaan Kadar IFN- Cairan Pleura Pada Penderita TB dan Non TB Seperti yang ditunjukkan pada tabel 8, penderita efusi pleura TB memberikan gambaran kadar IFN- yang lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang Non TB. (723 ± 482.65 pg/ml vs 17.11 ± 20.05 pg/ml).

Tabel 8. Perbedaan Kadar IFN- Cairan Pleura Pada Penderita TB dan Non TB*

Profil TB NON TB p

n=11 n=22

IFN- Mean (pg/ml) 723±482.65 17.11±20.05 0.0001

Median (pg/ml) 674.14 8.00

Minimum (pg/ml) 63.3 8.00

Maksimum (pg/ml) 1559 73.63

(69)

BAB 5 PEMBAHASAN

(70)

Jikalau diamati dari profil jenis kelamin maka dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok penelitian ini, dimana pada kedua kelompok ini ternyata efusi pleura cenderung lebih banyak dialami laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Aoe dkk mendapatkan penderita laki-laki 34 orang (73.91%) dan perempuan 12 orang (26.09%).23 Penelitian yang dilakukan Akio dkk juga mendapatkan penderita laki-laki sebanyak 42 orang (76.36%) dan perempuan 13 orang (23.63%).21 Gerogianni dkk menjumpai 24 dari 31 (77%) adalah penderita laki-laki, dan 7 dari 31 (23%) perempuan.62 Data ini juga menunjukkan bahwa efusi pleura TB juga cenderung lebih banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Amni (Medan) dijumpai laki-laki penderita efusi pleura TB lebih banyak (65%) dibandingkan penderita perempuan (35%), Ekanita (Rumah Sakit Persahabatan Jakarta) memperoleh hasil 66.7% penderita adalah laki-laki dan 33.3% penderita perempuan.26,60 Losi dkk menemukan penderita efusi pleura TB pada laki-laki 13 dari 20 (65%) dan perempuan 7 dari 20 (35%). Insidens efusi pleura TB terbanyak pada laki-laki sesuai dengan epidemiologi dan prevalens TB. Secara epidemiologi dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal penyakit infeksi., progresiviti penyakit, insiden dan kematian akibat TB. Hambatan ekonomi dan faktor sosial ekonomi kultural turut berperan termasuk pemahaman tentang penyakit paru.63

(71)

median umur 67 tahun. Pada kedua kelompok penelitian ini tidak tampak perbedaan yang bermakna dari segi umur penderita dimana nilai p = 0.146. Pada kelompok TB penderita yang berusia ≤ 30 tahun 4 (36.4%) dan > 30 tahun sebanyak 7 (63.6%). Insidens efusi pleura TB meningkat dengan meningkatnya usia, biasanya terjadi pada usia sekitar 15-45 tahun.27,37 Umur rata-rata penderita efusi pleura TB yang sudah pernah dilaporkan adalah sekitar 34 tahun (SD 18.1).37 Pada penelitian Ekanita di Rumah Sakit Persahabatan usia penderita terbanyak adalah 25 tahun yaitu 52,1%.26 Pada penelitian Hasaneen dkk, usia rerata 46 ± 2.3 tahun sedangkan Conde dkk menemukan rerata usia penderita efusi pleura TB 37.2 tahun dan 60% usia di bawah 40 tahun dari 113 penderita.65,66 Luis Valdes dkk melaporkan penderita efusi pleura TB yang berusia < 35 tahun sekitar 62.2%.16 Diacon dkk meneliti dan menemukan rata-rata usia penderita 34 tahun.53 Dominasi efusi pleura TB terbanyak terdapat pada kelompok usia 25-34 tahun secara sosial ekonomi merupakan kelompok usia produktif sesuai dengan buku pedoman nasional TB Indonesia dinyatakan sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun).67

(72)

bahwa keluhan yang paling sering dialami oleh penderita efusi pleura adalah nyeri dada dan batuk non produktif.27 Keluhan utama sesak nafas dialami oleh semua penderita dari kedua kelompok ini. Hal ini dapat disebabkan oleh kecenderungan penderita mengabaikan keluhan yang masih ringan sehingga ketika proses penyakit sudah berjalan lebih lanjut dan menimbulkan keluhan yang lebih berat baru penderita datang ke rumah sakit, ketidakpedulian pasien terhadap gejala penyakit, ambang rasa sakit pasien yang cukup tinggi, keterlambatan diagnosis atau masalah dana diperkirakan dapat menerangkan dominasi keluhan sesak nafas pada penelitian ini. Gejala demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun tidak menjadi keluhan utama yang menyebabkan penderita datang ke rumah sakit karena kemungkinan gejala tersebut dianggap sebagai penyakit biasa yang dapat sembuh dengan mengkonsumsi obat bebas atau obat dari dokter umum.64

Dari pemeriksaan fisis dan radiologis pada penelitian ini didapatkan lokasi efusi pleura pada kelompok I di sisi sebelah kanan lebih banyak 8 (72.7%) dibandingkan dengan sebelah kiri 3 (27.7%). Tidak dijumpai adanya efusi pleura bilateral pada pasien-pasien efusi pleura TB pada penelitian ini. Sementara pada kelompok II hampir sama banyak dimana sisi sebelah kiri 11 (50%) dan kanan 10 (45.5%) sementara bilateral 1 (4.5%). Namun jika dibandingkan kedua kelompok tidak tampak perbedaan yang bermakna diman nilai p=0.32. Pada penelitian yang dilakukan oleh Valdes dkk mendapatkan efusi pleura kiri sebanyak 55.9% dan kanan 42.5% dan efusi pleura bilateral 1.6%.16

(73)

Stephan dikatakan bahwa efusi pleura sering terjadi pada sebelah kanan dan efusi pleura bilateral terjadi pada 10% penderita.5 Menurut Valdess dkk hasil terbanyak efusi pleura kiri 55.9%, kanan 42.5%, bilateral 1.6%.16 Jadi berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa efusi pleura TB pada umumnya terjadi pada satu hemitoraks, jarang dijumpai bilateral. Hal ini tidak berbeda dengan penelitian sebelumnya.

Kelainan foto toraks berupa infiltrat dapat terlihat pada 5 (45.5%) penderita dan tidak tampak pada 6 (54.5%) penderita kelompok I dan 11 (50.0%) penderita tampak adanya infiltrat sementara 11 (50.0%) penderita lain tidak tampak adanya infiltrat di kelompok II. Pada penelitian yang dilakukan Heru dijumpai kelainan infiltrat pada 33 (52.22%) penderita.64 Conde dkk mendapatkan 23.8% pasien dengan kelainan infiltrat.66 Hal ini menunjukkan bahwa sebagian kasus efusi pleura eksudatif terdapat kelainan infiltrat. Kedua kelompok ini dibandingkan namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari kedua kelompok di atas.

Karakteristik cairan pleura secara makroskopis pada kedua kelompok ini dapat dilihat bahwa kebanyakan cairan pelura adalah jernih 7 (63.6%), hal ini sesuai dengan kepustakaan.27 Dari 4 penderita efusi pleura TB dengan cairan pleura yang keruh diduga disebabkan oleh proses penyakit TB yang lanjut. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan efusi pleura TB dapat berkembang lebih lanjut menjadi empiema dan pada penderita yang lanjut usia.36 Sementara pada yang kelompok II lebih banyak keruh 13 (59.1%).

(74)

protein, LDH, Glukosa, jumlah sel, PMN dan MN walaupun nilainya bervariasi. Dari hasil penelitian ini didapatkan kadar protein cairan pleura minimal 2.1 g/dl, maksimal 8 g/dl rerata 5.20 ± 1.41 g/dl untuk kelompok I sedangkan rerata 4.18±1.25 g/dl untuk kelompok II. Saat kedua kelompok ini dianalisis dengan uji t-independence ternyata tidak tampak perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dengan nilai p = 0.641. Semua hasil analisis cairan pleura adalah jenis eksudat. Seorang penderita dengan kadar protein 2.1 dengan rasio kadar protein cairan pleura dengan kadar protein serum < 0.5 namun cairan ini keruh. Kadar protein yang rendah tidak berarti jenis cairan yang me memiliki nilai tersebut bukan eksudat.

Kadar LDH cairan pleura minimal 175 U/L, maksimal 1.853 U/L, dimana nilai rerata 604.6 ± 423.5 U/L pada kelompok I dan nilai rerata 632.0±690.9 U/L pada kelompok II. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dimana nilai p = 0.620. Kadar LDH dapat dipakai untuk membedakan efusi pleura karena eksudat atau transudat dengan membandingkan kadar LDH serum. Kadar LDH berkorelasi dengan derajat proses peradangan pleura dan seharusnya dinilai setiap kali pengeluaran cairan pleura pada kasus efusi pleura yang tidak diketahui penyebabnya. Kadar LDH yang tinggi menunjukkan proses peradangan yang luas.23 Pada penelitian ini tidak ada membandingkan kadar LDH cairan pleura dengan serum. Kadar LDH yang rendah pada beberapa penderita yang berada pada level < 200, tidak berarti jenis cairan yang memiliki nilai tersebut bukan eksudat.

(75)

Kadar glukosa pada efusi pleura TB relatif lebih rendah pada kebanyakan kasus. Namun beberapa penelitian menunjukkan nilai ini bervariasi.27

(76)

adalah keganasan dan TB, apabila limfositnya lebih dari 90 - 95% lebih mengindikasikan pleuritis TB.5,23,27

Dari hasil pemeriksaan IFN- cairan pleura didapatkan nilai paling rendah 8 pg/ml dan nilai paling tinggi 1559 pg/ml. Kadar IFN- pada kelompok I mempunyai nilai rerata 723 ± 482.65 pg/ml, median 674.14 pg/dl dan kisaran 69.30 - 1559. Sementara pada kelompok II nilai rerata 17.11 ± 20.05 pg/ml, median 8 pg/dl dan kisaran 8 - 73.63 pg/ml. Setelah kedua kelompok ini diuji ternyata menunjukkan hasil yang bermakna dengan nilai p = 0.0001, dimana pada penderita efusi pleura TB tampak peningkatan kadar IFN- yang cukup bermakna. Dan penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya.23 Aoe dkk membandingkan kadar IFN- cairan pleura antara kelompok efusi pleura TB dan Non TB didapakan perbedaan yang bermakna diantara keduanya ( 37 ± 230 IU/ml vs 0.41 ± 0.05 IU/ml) dengan nilai p < 0.0001.23

(77)

Tabel 9. Gambaran Cut Of Point Kadar IFN- Pada Beberapa Penelitian *ELISA enzyme-linked immunosorbent assay; RIA

radioimmunoassay;

(78)

11-50% karena pada kultur diperlukan 10-100 basil TB. Akan tetapi kultur memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 2 - 6 minggu untuk menumbuhkan kuman M. TB. Sensitifiti biopsi pleura dilaporkan lebih tinggi 39%.Biopsi membutuhkan ketrampilan yang lebih dan lebih invasif.23 Telah banyak petanda biologi pada efusi pleura yang disarankan sebagai alat dignostik yang sensitif terhadap efusi pleura TB, termasuk ADA, IFN- , IAP dan sIL-2R. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa keempat petanda ini secara bermakna lebih tinggi dijumpai pada efusi pleura TB dibandingkan dengan efusi pelura Non TB.16,18

(79)

BAB 6

KESIMPULAN & SARAN 6.1. Kesimpulan

Setelah dilakukan pemeriksaan kadar IFN- cairan pleura pada kedua kelompok dan dianalisa ternyata terdapat perbedaan yang sangat bermakna diantara kedua kelompok dimana kelompok efusi pleura TB mempunyai kadar IFN- yang lebih tinggi dibandingkan dengan efusi pleura Non TB (nilai p = 0.0001).

6.2. Saran

1. Sebaiknya penelitian berikutnya merupakan penelitian berupa uji diagnostik dan mencari nilai sensitifiti dan spesifisiti dari pemeriksaan IFN- dan dengan jumlah sampel yang lebih banyak.

2. Setiap pasien efusi pleura suspek TB sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan kultur cairan pleura dan kultur sputum. Spesimen sputum yang didapat secara induksi hasilnya lebih baik dan bermakna.

3. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut yang membandingkan antara IFN- dengan biomarker lainnya.

4. Perlu dilakukan penelitian yang membandingkan kadar IFN- di cairan pleura dengan serum.

Gambar

Gambar 1. Aktifitas pleotropik IFN-�Aktivasi makrofag yang diinduksi IFN-berbagai jenis sel.Sitokin tersebut disekresi sel Th1, sel NK dan sel Tc dan  bekerja terhadap 38   � sangat berperan pada inflamasi kronis
Gambar 2. Fungsi sitokin pada pertahanan penjamu.
Gambar 3. Efek biologik IFN-�.38
Gambar 4. Imuniti Seluler pada Infeksi Tuberkulosis.46
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil NPP 92,9% dan NPN 81,3% menegaskan bahwa nilai diagnostik kadar glukosa pleuracukup baik dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada pasien efusi

Segala puji bagi Allah SWT atas selesainya karya akhir kami yang berjudul “Nilai Diagnostik Adenosine Deaminase (ADA) Cairan Pleura pada Penderita Efusi Pleura

Efusi pleura adalah penimbunan cairan di dalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura.. Menurut WHO (2008), Efusi

Pemeriksaan efusi pleura dengan sonografi pada pasien dengan posisi supine dilakukan dengan menyusuri setiap sela iga untuk melihat cairan efusi dari apeks sampai

“ Hubungan Nilai pH Cairan Pleura Dengan Hasil Pleurodesis Pada Penderita Efusi Pleura Karena Keganasan “ sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan

Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis (pengambilan cairan

Penyebab pada kelompok efusi pleura non maligna yang ikut dalam subjek penelitian ini dibagi atas transudat dan eksudat dan tidak ditemukan sel ganas pada sitologi

)enyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis (pengambilan