DOMINASI KEKUASAAN DAN PERLAWANAN MASYARAKAT STUDI KASUS : DOMINASI PEMERINTAH KOTA TERHADAP PEDAGANG
PASAR SENAPELAN KOTA PEKANBARU RIAU
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada Departemen Ilmu Politik Program Sarjana Universitas Sumatera Utara
OLEH
HESTI OKTORIZAH 040906002
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
1.5. Kerangka Teori ... 9
1.5.1. Teori Dominasi Kekuasaan ... 11
1.5.2. Teori Perlawanan ... 17
1.5.3. Teori Resolusi Konflik ... 21
1.6. Metode Penelitian ... 25
1.6.1. Jenis Penelitian ... 25
1.6.2. Lokasi Penelitian ... 26
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data ... 27
1.6.3.1. Observasi ... 27
1.6.3.2. Pengumpulan Data Sekunder ... 28
1.7. Sistematika Penulisan ... 29
BAB II DOMINASI KEKUASAAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PEDAGANG PASAR SENAPELAN KOTA PEKANBARU ... 30
2.1. Surat Keputusan Walikota Pekan Baru ... 33
2.1.1. Penetapan Harga Kios ... 39
2.1.2. Penempatan Pedagang ... 42
2.1.3. Pembongkaran Kios-kios Pasar Senapelan ... 46
2.2. Tindakan Represif ... 47
2.2.1. Fragmentasi, Intimidasi dan Pencekalan ... 48
2.2.2. Tindakan Kekerasan Aparat ... 52
2.3. Kooptasi Media Massa dan Organisasi Pedagang ... 54
BAB III PERLAWANAN PEDAGANG PASAR SENAPELAN TERHADAP DOMINASI KEKUASAAN PEMERINTAH KOTA PEKANBARU ... 58
3.1. Perlawanan Terbuka ... 60
3.1.1. Unjuk Rasa atau Demonstrasi ... 60
3.1.2. Aksi Mogok Makan ... 66
3.1.3. Pernyataan Tertulis ... 67
3.2. Perlawanan Sembunyi-sembunyi atau Tidak Langsung ... 72
3.2.1. Mengumpat dan Memaki ... 72
3.2.2. Merusak TPS ... 73
3.2.4. Tidak Mendaftar Ulang dan Tidak Membayar Cicilan .... 75
3.3. Pihak-pihak yang Mendukung Perlawanan Pedagang ... 76
3.3.1. Pendukung Spesialis ... 76
3.3.2. Pendukung Umum ... 79
3.4. Resolusi Konflik ... 80
3.4.1. Peta Konflik ... 80
3.4.2. Upaya Resolusi yang Pernah Dilakukan ... 84
BAB IV PENUTUP ... 89
4.1. Kesimpulan ... 89
4.2. Saran ... 95
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skripsi ini akan membahas dan melihat bagaimana dominasi pemerintahan
kota terhadap pedagang Senapelan di Kota Pekanbaru Riau dan bagaimana juga
bentuk perlawanan yang dilakukan oleh pedagang terhadap Pemkot Pekanbaru.
Konflik yang terjadi berawal dari kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru
untuk melakukan peremajaan pasar tradisional Senapelan Pekanbaru, hingga
sekarang konflik itu tidak terselesaikan dengan baik, mengingat banyak pedagang
yang tidak puas dengan solusi yang ditetapkan oleh pemkot. Dengan demikian
melahirkan konflik vertikal antara pemkot dan pedagang pasar senapelan yang
berkepanjangan. Kasus ini menjadi penting untuk dilihat karena konflik vertikal
antara pedagang dan Pemkot Kota Pekanbaru menarik perhatian masyarakat Riau
secara umum dan masyarakat Kota Pekanbaru khususnya.
Konflik adalah gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat
dalam kehidupan setiap masyarakat, dan karena itu tidak mungkin dilenyapkan1. Sebagai gejala kemasyarakatan yang melekat di dalam kehidupan setiap
masyarakat, ia hanya akan lenyap bersama masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu,
konflik yang terjadi hanya dapat dikendalikan agar tidak terwujud dalam bentuk
kekerasan atau violence.2
Konflik sosial biasanya terjadi karena adanya satu pihak atau kelompok
yang merasa kepentingan atau haknya dirampas dan diambil oleh pihak atau
1
Lihat Nasikun, Sistem Sosial di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2000, hal. 15 2
kelompok lain dengan cara-cara yang tidak adil. Yang oleh Karl Marx di kenal
dengan surplus value3. Dan konflik ini dapat terjadi secara horizontal maupun
vertiKal.4
Konflik horizontal terjadi antara kelompok-kelompok yang ada dalam
masyarakat, yang dibedakan oleh agama, suku, bangsa dan lain-lain. Sedangkan
konflik vertikal biasanya terjadi antara suatu kelompok tertentu dalam masyarakat
atau lapisan bawah dengan lapisan atas atau penguasa.
5
Kasus-kasus penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha kaum miskin
yang makin marak terjadi belakangan ini di berbagai kota di Indonesia merupakan
fenomena sosial yang menimbulkan konflik vertikal. Seperti penggusuran
Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pemukiman masyarakat miskin yang terjadi di
wilayah Jakarta6, dan juga kasus penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) serta masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Yogyakarta7
Konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat juga terjadi di kota
Pekanbaru. Konflik ini terjadi antara pedagang tradisional pasar Kodim atau
Senapelan di kota Pekanbaru, propinsi Riau dengan pemerintah kota Pekanbaru
dan pengusaha. Hal ini disebabkan oleh rencana peremajaan pasar Senapelan yang . Dalam penggusuran
tersebut melekat makna pemaksaan dan kekerasan oleh kolaborasi penguasa yang
secara politik maupun ekonomi kuat. Hampir tidak ada dialog dan penyelesaian
masalah secara damai, win-win solution dalam penggusuran. Yang ada hanyalah
raungan mesin kekuasaan dan jerit tangis si korban.
3
Lihat Susetiawan, Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh Perusahaan dan Negara di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 34
4
Nasikun, Op. Cit., hal. 16 5
Lihat C. James Scott, PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 20
6
Lihat Kompas, ”Penggusuran di Ibu Kota Jakarta”, 11 Oktober, Desember 2003. 7
dilakukan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru disertai dengan aksi pembongkaran
paksa ratusan kios lama di pasar tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota (pemkot) Pekanbaru dalam rangka peremajaan pasar Senapelan
tersebut telah melahirkan sikap penentangan pedagang pasar Senapelan.
Kebijaksanaan yang telah direncanakan sejak empat tahun itu, sekitar tahun 2001
yang lalu, berimplikasi pada terjadinya konflik vertical.8
Tuntutan sekitar 2000 pedagang pasar Senapelan cukup masuk akal,
mereka meminta agar harga kios baru pasca peremajaan sesuai dengan kecukupan
ekonomi yang dimiliki oleh pedagang. Pedagang tidak menolak pasar yang berada
di Jalan Ahmad Yani Pekanbaru tersebut diremajakan karena dapat memperindah
wajah kusam kota Pekanbaru yang sedang berbenah diri.
9
Disatu sisi, Pemerintah
Kota (Pemkot) Pekanbaru dengan pihak investor P.T Peputra Maha Jaya (PMJ)
telah menyepakati harga kios baru pasca peremajaan tanpa persetujuan para
pedagang pasar Senapelan.10
Pemko menetapkan harga kios seluas 3x3 di blok A atau lantai dasar,
mencapai Rp. 20 juta Per meter2. Sementara blok B dengan luas kios yang sama, harga ditetapkan Rp. 14,3 juta permeter2. blok ini berada di lantai dua dan tiga, sementara blok C berada di lantai empat dan lima dipatok dengan harga yang
sama dengan blok B11
8
Lihat Media Indonesia, ”Bentrokan Antara Masyarakat dan Satpol PP”, 17 Mei 2004, hal. 3 9
Lihat Media Indonesia, “Pemkot Pekanbaru Berbenah” 09 Juni 2004, hal. 3 10
Ibid.
11
Lihat Media Indonesia, “Tarif Baru Harga Kios Senapelan” 09 Juni 2004, hal. 3
. Lain halnya dengan Pemkot, pedagang pasar Senapelan
delapan (8) juta rupiah untuk blok B, dan tiga setengah (3,5) juta rupiah dengan
lima (5) juta rupiah untuk blok C.12
Selain permasalahan harga kios yang tinggi, konflik ini juga dipicu oleh
kebijakan Pemkot yang tidak transparan dalam penempatan pedagang Senapelan
di lokasi tersebut. Yaitu kebijakan tersebut dibuat oleh Pemkot begitu saja tanpa
terlebih dahulu bermusyawarah dengan pedagang. Pedagang eks pasar Senapelan
akan ditempatkan di blok B dan C, sedangkan blok A ditempati pengusaha dari
Jakarta dan Singapura. Lokasi blok B dan C berada di belakang blok A, sangat
tidak strategis bagi pedagang untuk melakukan transaksi jual beli, dan akan
semakin merugikan pedagang lagi jika sistem satu pintu benar-benar akan
diterapkan dalam pembangunan pasar tersebut.13
Harga kios tersebut mulai dipersoalkan oleh pedagang pasar tradisional
Senapelan. Melalui rapat yang mereka lakukan, sekitar 2000 yang terhimpun
dalam Forum Komunikasi Pedagang Senapelan (FKPPS) menyepakati harga kios
baru pascaperemajaan adalah Rp 8 juta per meter2 dan dilunasi dengan cara mencicil kepada investor14. Kesepakatan harga yang dibuat oleh pedagang ini kemudian menjadikan Pemerintah Kota Pekanbaru dan investor menunda
sementara peremajaan pasar Senapelan sampai terjadi kesepakatan harga kios
antara pedagang dan Pemkot.15
Tanggal 25 Januari, 2003, terjadi kesepakatan antara Pemerintah Kota
Pekanbaru yang ditandatangani oleh Wali Kota Pekanbaru, Ketua DPRD
Pekanbaru, direktur P.T Peputra Maha Jaya, dan perwakilan salah seorang
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
pedagang pasar Senapelan. Kesepakatan tersebut menyatakan bahwa segala
bentuk aktivitas pembangunan pasar Senapelan akan dihentikan hingga
kesepakatan hargai kios tercapai, dan bagi pihak-pihak yang melanggar
kesepakatan yang telah dibuat tersebut akan dituntut sesuai dengan hukum yang
berlaku di negara Republik Indonesia.16
Kesepakatan yang telah dibuat tersebut awalnya dapat dijalankan dengan
baik, tetapi memasuki tahun 2004, kesepakatan tersebut mulai goyah dan berakhir
dengan aksi penggusuran pasar Senapelan dari kios mereka yang lama, tanggal 15
dan 18 April 2004. Aksi penggusuran tersebut diwarnai dengan bentrokan antara
aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan pedagan pasar Senapelan
yang didukung oleh sejumlah aktivis mahasiswa dan LSM. Bentrok tersebut
berakhir dengan kekalahan di pihak pedagang dan penangkapan sejumlah
pedagang dan aktivis yang turut serta memperjuangkan nasib pedagang.17
Tindakan pembongkaran kios yang pertama, aparat berhasil mengamankan
sejumlah pedagang karena dianggap menghalangi upaya pembongkaran kios.
Tindakan pembongkaran ini sempat terhenti karena ratusan pedagang yang
kebanyakan adalah ibu-ibu menghalangi masuknya buldozer. Tindakan
pembongkaran itu kemudian dilanjutkan pada tanggal 18 April 2004, kali ini
Pemkot berhasil meratakan seluruh bangunan kios. Dalam tindakan
pembongkaran ini, aparat kembali menahan sejumlah orang terdiri dari aktivis dan
pedagang, karena dituduh memprovokasi massa.18
Pada akhirnya, para pedagangpun terpaksa harus pindah ke TPS (Tempat
Penampungan Sementara) yang telah disediakan sebelumnya oleh Pemkot, dengan
16
Ibid
17
Ibid.
18
ukuran 3x2 m2 di jalan teratai Pekanbaru. Tempat penampungan sementara tersebut disediakan sebanyak empat blok dengan berbagai fasilitas umum yang
disediakan gratis bagi pedagang. Akan tetapi kenyataannya, sejumlah TPS
ternyata harus diperoleh pedagang dengan cara membeli atau menyewa kembali
kepada pedagang lain, sehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang mendalam
dari pedagang terhadap kebijakan Pemkot. Kenyataan ini diperparah lagi dengan
kondisi TPS yang dijanjikan tidak sesuai dengan harapan yang dijanjikan Pemkot
kepada pedagang Senapelan, kios yang tidak layak dipakai dan tidak mencukupi
untuk menampung pedagang korban penggusuran.19
Dengan terjadinya tindakan pembongkaran kios itu, bukan berarti aksi
penentangan yang dilakukan oleh pedagang pasar Senapelan juga berakhir,
malahan semakin gencar, Mulai tanggal 19 April 2004 sampai dengan akhir
tahum 2004, para pedagang dengan dibantu oleh beberapa elemen masyarakat
melakukan aksi protes terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru. Aksi tersebut
dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari aksi turun kejalan, mendirikan tenda
darurat, penahanan, sampai pada aksi membakar salah satu capres tertentu sebagai
bentuk kekecewaan terhadap kader dari parpol capres tersebut, yang menjadi
ketua DPRD Pekanbaru.20
Ratusan pedagang pasar Senapelan melakukan aksi memprotes kebijakan
Pemkot yang tetap melanjutkan pembangunan pasar Senapelan tersebut. Mereka
yang terdiri dari pedagan pasar, mahasiswa, dan LSM berkeinginan untuk bertemu
dengan Wali Kota Pekanbaru dan menuntut agar menghentikan sementara
pembangunan pasar tersebut sampai adanya kesepakatan harga antara pedagan
19
Ibid.
20
dengan investor penyelenggara pembangunan tersebut. Akan tetapi, aksi ini harus
berakhir dengan kekecewaan dan di lampiaskan dengan mendirikan tenda darurat
di depan kantor Wali Kota Pekanbaru.21
Aksi memprotes kebijakan Pemkot yang dilakukan oleh pedagang
Senapelan tidak hanya dilakukan di Kantor Wali Kota Pekanbaru, aksi ini juga
dilakukan di gedung DPRD Pekanbaru22. Aksi protes ke gedung DPRD Pekanbaru bertujuan untuk menuntut DPRD agar bersedia menjadi mediator
mempertemukan pedagang dengan investor dan Wali Kota Pekanbaru. Tetapi
tindakan ini kembali gagal mendapatkan hasil, karena DPRD hanya berjanji untuk
merealisasikan saja, akan tetapi janji tersebut tidak pernah terwujud. Tidak adanya
pertemuan yang terjadi antara pedagang Senapelan, investor dan Wali Kota,
menjadikan pedagang semakin frustasi dan kecewa, bahkan para pedagang sempat
menyandera ketua DPRD Pekanbaru selama beberapa jam, untuk kemudian
dilepaskan kembali.23
Bentuk solidaritas antara sesama kaum tertindas dilakukan oleh pedagang.
Para pedagang pasar Senapelan menuntut beberapa orang teman mereka yang
ditahan dalam aksi protes yang terjadi beberapa waktu lalu supaya dibebaskan.
Para pedagang meminta pihak kepolisian untuk membebaskan mereka dari
tahanan karena mereka harus mencari nafkah. Selain itu mereka juga meminta
polisi agar mengusut tuntas dan menghukum Oknum Satuan Polisi Pamong Praja
yang melakukan tindak kekerasan di saat aksi protes pedagang berlangsung.24
21
Lihat Bintan Post, “Warga Bermalam di Kantor Wali Kota” 19 April 2004 22
Lihat Media Indonesia, ”Aksi Terus Berlanjut” 09 Juni 2004 23
Ibid
24
1.2. Perumusan Masalah
Yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana dominasi kekuasaan terhadap pedagang Pasar Senapelan ?
2. Bagaimana perlawanan masyarakat terhadap dominasi kekuasaan
tersebut ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui bagaimana dominasi yang dilakukan oleh pemkot
terhadap pedagang pasar Senapelan Kota Pekanbaru ?
2. Untuk mengetahu bagaimana perlawanan yang dilakukan oleh para
pedagang Senapelan terhadap dominasi kekuasaan pemkot Pekanbaru?
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini adalah
untuk:
a. Bagi Pemko Pekanbaru Riau agar dapat menjadikan pelajaran untuk
mengambil dan melaksanakan kebijakan yang lebih arif dan bijaksana
untuk kasus yang serupa di kemudian hari.
b. Bagi Masyarakat/Pedagang agar dapat memahami bentuk dominasi
kekuasaan oleh pemerintah dan juga mengetahui bentuk perlawanan
c. Bagi Akademisi dapat menjadi khasanah atau sumber referensi baru
untuk memahami konflik yang terjadi di dalam masyarakat khususnya
konflik antara pemerintah kota dan pedagang pasar tradisional.
d. Bagi penulis sebagai salah satu media untuk mengasah kemampuan
menulis dan mengaplikasikan teori-teori yang pernah didapat.
1.5. Kerangka Teori
Konflik merupakan peristiwa yang seringkali terjadi dalam kehidupan
kemasyarakatan. Berkaitan dengan konflik, Neil J. Smelser menyatakan bahwa :
“Teori konflik modern membuat asumsi sebagai berikut: a) yang utama pada masyarakat yang akan datang adalah perubahan, konflik dan kekerasan’ b) struktur masyarakat didasarkan pada dominasi oleh beberapa kelompok terhadap kelompok lain; c) masing-masing kelompok dalam masyarakat memiliki kecenderungan perhatian umum, apakan para anggotanya memahami atau tidak; d) ketika orang-orang memahami kecenderungan umumnya, mereka mungkin membentuk kelas sosial, dan e) intensitas konflik kelas bergantung pada adanya kepastian politik dan kondisi sosial.” 25
1. Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial ada di mana-mana,
Sementara , Dahrendorf dalam Johnson (1986) menjelaskan bahwa;
2. Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik; konflik sosial ada di mana-mana,
3. Setiap elemen dalam masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan,
4. Setiap masyarakat di dasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.26
Dengan mendasarkan pada pemikiran Dahrendorf, Ian Craib mengurai
pemikiran konflik dalam memandang fenomena sosial sebagai berikut:
25
Lihat Muchtar, Sunyoto Usman dan Lambang Trijon, Konflik Dalam Transportasi Kota di Kota Malang, Yogyakarta: Fisipol UGM, 2001, hal. 41
26
1. Kepentingan adalah unsur dari kehidupan sosial, 2. Kehidupan sosial perlu terbagi,
3. Kehidupan sosial melahirkan oposisi,
4. Kehidupan sosial melahirkan konflik struktural
5. Kehidupan sosial melahirkan kepentingan bagian-bagian 6. Diferensiasi sosial melibatkan kekuasaan
7. Sistem sosial tidak terintegrasi dan ditimpa oleh kontradiksi-kontradiksi, dan
8. Sistem-sistem sosial cenderung untuk berubah.27
Dilihat dari asal usul terjadinya konflik, Soekanto menyatakan bahwa
konflik mencakup suatu proses di mana bermula dan pertentangan hak atau
kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan seterusnya di mana salah satu pihak
berusaha menghancurkan pihak yang lain.28 Sementara K. Sanderson lebih menekankan pada bentuk-bentuk konflik: “konflik adalah pertentangan
kepentingan antara individu dan kalangan berbagai individu dan kelompok sosial,
baik yang mungkin terlihat secara gamblang ataupun tidak, baik yang mungkin
pecah menjadi tertentangan terbuka atau kekerasan fisik ataupun tidak”.29
Senada dengan penjelasan di atas, Dahrendorf berkesimpulan bahwa:
Pertama. hubungan wewenang adalah suatu bentuk hubungan antara supra- dan
subordinasi, hubungan: atas-bawah, Kedua, di mana terdapat hubungan
wewenang, di situ unsur atas larangan-larangan-mengendalikan perilaku unsur
bawah (subordinat), Ketiga, perkiraan demikian secara relativ lebih dilekatkan
kepada posisi sosial daripada kepribadian individual. Keempat, berdasarkan pada
kenyataan ini, hubungan wewenang selalu meliputi spesifikasi orang-orang yang
harus tunduk kepada pengendalian dan spesifikasi dalam bidang mana saja
pengendalian itu diperbolehkan. Kelima, wewenang adalah sebuah hubungan
27
Lihat Ian Craib, Teori-teori Sosial Modern, Jakarta: CV. Rajawali, 1986, hal. 22 28
Lihat Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Jakarta: CV. Rajawali, 1984, hal, 37
29
Lihat Stephen Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
yang sah; tidak tunduk kepada perintah orang yang berwenang dapat dikenai
sangsi tertentu.30
Baik Smelse maupun Dahrendorf menyatakan bahwa konflik sosial terjadi
antara dua kelompok yang berbeda kepentingan yang dipengaruhi oleh kondisi
sosial dan politik yang ada. Satu kelompok berusaha untuk mengendalikan
kelompok yang lainnya. Ketika satu kelompok berusaha mengendalikan
kelompok lain dengan berbagai cara, selalu melibatkan kekuasaan dan wewenang,
maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan yang dilakukakn oleh satu
kelompok terhadap kelompok lainnya. Kelompok yang menguasai disebut
sebagai superdinat dan kelompok yang dikuasai sebagai subordinat.31
“Dalam setiap masyarakat, … terdapat dua kelas penduduk. Satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama”
1.5.1. Teori Dominasi Kekuasaan
Mosca dalam karyanya The Rulling Class Yang dikutikp oleh
Sastroandmodjo dalam Perilaku Politik menyatakan:
32
Pandangan ini menekankan, bahwa dalam masyarakat terdapat dua kelas
yang menonjol, yaitu kelas yang memerintah dan yang diperintah, kelas pertama
yangmenguasai politik, yakni memonopoli kekuasaan sekaligus menguasai
hasil-hasilnya. Kelas yang kedua sebaliknya, mereka yang jumlahnya lebih besar tetapi .
30
Lihat Ralf Dahrendorf, Konflik Dalam Masyarakat Industri; Sebuah Analisa-Kritik, Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1986, hal. 67
31
Ibid.
32
mempunyai kekuasaan atau fungsi politik, mereka diarahkan dan dikendalikan
oleh kelas pertama dengan cara-cara tertentu33
Mengenai konflik sosial, para ahli ilmu sosial memiliki pandangan
penekanan yang berebeda. Setiap konflik yang terjadi di antara kelas atau
kelompok yang ada dimasyarakat memiliki sebab dan akibat yang beragam, ada
yang dikarenakan oleh status, kekuasaan, kekayaan, usia , peran menurut gender,
dan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Hal ini dapat berakibat pada
terbentuknya suatu tatanana atau struktur sosial, terjadinya kekerasan, penindasan,
dan bahkan peperangan.
.
34
Marx mendefinisikan kelas sebagai kelompok individu atau kelompok
kesatuan yang pada dasarnya bukan ditentukan semata-mata oleh tempatnya
dalam proses produksi. Tetapi dari kedudukan ekonomi dapat juga ditentukan
kelas sosialnya. Marx menyatakan bahwa penyebab penugasan kelas tertentu
terdapat kelas lainnya dikarenakan oleh hubungan produksi yang tidak seimbang
(surplus value) dalam suatu hubungan produksi yang kapitalistik. Ekonomi politik
merupakan penekanan khusus yang dibicarakan Marx dalam pertentangan ini.
Marx menganggap perbincangan mengenai modal dan kerja, dan antara modal dan
tanah perlu dijelaskan secara rinci, yang belum pernah disinggung dalam setiap
perbincangan ekonomi dan politik35
Marx menjelaskan, bahwa semakin miskin keadaan pekerja atau tenaga
kerja, semakin banyak kekayaan yang diproduksikannya. Semakin banyak
kekayaan yang diproduksikannya, semakin besar pula kekuasaan yang terbentuk .
33
Ibid., hal. 20 34
Ibid.
35
dan semakin luas pula pengaruh kekuasaan tersebut. Pekerja menjadi komoditi
murah. Semakin murah harga komoditi itu semakin banyak barang yang
dihasilkannya. Devaluasi dunia manusia semakin membesar, hal mana
berhubungan lansung dengan peningkatan nilai benda. Kerja tidak hanya
menciptakan benda-benda, tetapi juga menciptakan kerja itu sendiri dan pekerja
sebagai komoditi dalam proposisi yang sama dengan produksi barang-barang36 Lain halnya dengan Marx, para pengikut Marx (dikenal dengan kaum
Marxis, menyatakan bahwa faktor ekonomi jelas mempunyai peranan yang
menentukan terhadap cara produksi atau terhadap susunan sosial. Tetapi faktor
yang bersifat politis dan idiologis (super struktur) juga mempunyai peranan yang
penting. Kelas sosial ditentukan oleh tempatnya dalam kesatuan praktek-praktek
sosial dalam arti menurut tempatnya dalam kesatuan pembagian kerja yang
mencakup hubungan-hubungan politik dan idiologi. Tempat ini berhubungan
dengan determinasi kultural dari kelas, yakni cara yang ditentukan oleh struktur
(hubungan produksi, dominasi, politik, idiologi) yang berpengaruh terhadap
praktek-praktek kelas
.
37
“Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang bebas dan budak, bangsawan dan rakyat biasa, tuan dan hamba, pemimpin peusahaan dan orang luntang-lantang, dalam satu kata, penindas dan yang ditindas, selalu bertentangan satu sama lain, yang berlangsung tak putus-putusnya dalam suatu pertarungan yang kadang-kadang tersembunyi, kadang-kadang terbuka, suatu pertarungan yang setiap kali berakhir, baik dalam suatu rekonstitusi masyarakat pada umumnya secara revolusioner, maupun dalam keruntuhan umumnya dari kelas-kelas yang bercekcok tersebut”
.
Dalam The communist Manifesto, Marx menyatakan:
38
36
Ibid, hal, 40 37
Ibid 38
Johnson, Op., Cit., hal, 43
Pemilikan atau kontrol terhadap alat produksi merupakan dasar utama bagi
kelas-kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat yang dibedakan
menurut kelas yang paling awal sampai ke kapitalisme modern. Walaupun
demikian, karakteristik dari kelas yang berbeda-beda dan sifat hubungan sosial
diantara kelas-kelas tersebut akan berbeda dalam masyarakat yang berbeda dan
tahap yang berbeda pula.39
Kelas penguasa adalah yang mengekploitasi dalam sistem hubungan
produksi yang diajukan (terutama jka ada hubungan-hubungan produksi lain
dalam masyarakat itu) melalui totalitas kadar dan bentuk intervensi Negara dalam
jangka waktu tertentu. Kelas pengasa tidak harus merupakan kelas dominant
secara ekonomi dalam arti kelas yang mengeksploitasi menurut cara produksi
dominant, di mana terdapat berbagai cara produksi, seperti pertanian, subsistensi,
feodalisme, kapitalisme, dan lain sebagainya40
Mengenai kelas atau kelompok yang berkuasa dan dikuasai. Mosca
menjelaskan, seperti yang dikutip dalam Soekanto. Kelas pertama (berkuasa)
biasanya terdiri dari orang-orang yang sedikit jumlahnya, menerapkan semua
fungsi-fungsi politik, memonopoli kekuasaan dengan menikmati segala
keuntungan dari kedudukan sebagai pemegang kekuasaan. Kelas yang kedua
(dikuasai), terdiri dari lebih banyak orang, diarahkan dan dikendalikan oleh kelas
pertama, dengan cara-cara yang kurang legal, sewenang-wenang atau dengan
kekerasan. Kelas kedua tersebut meyediakan sarana untuk dapat hidup dan
bertahan, serta hal-hal lainnya yang sangat penting bagi organisme politik. .
41
39
Ibid.
40
Antonio Gidens, Op., Cit., hal. 45 41
Sementara Weber, mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai
dasar yang fundamental untuk kelas, selain prestise dan kekuasaan politik. Kelas
sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang sama
dalam bidang ekonomi. Weber menyatakan bahwa jika ingin berbicara tentang
suatu kelas, tidak mungkin terlepas dari pembicaraan tentang: 1) sejumlah orang
yang sama-sama memiliki suatu komponen tertentu yang merupakan sumber
dalam kesempatan hidup mereka, 2) komponen ini secara eksklusif tercermin
dalam kepentingan ekonomi berupa pemilikan benda-benda dan
kesempatan-kesempatan untuk memperoleh pendapatan, 3) hal itu terlihat dalam
kondisi-kondisi komoditi atau pasar tenaga kerja.42
Tidak seperti kelas ekonomi, kelompok (kelas) status berlandaskan pada
ikatan subyektif antara para anggotanya, yang terikat menjadi satu karena gaya
hidup yang sama, nilai serta kebiasaan yang sama, dan sering pula oleh
perkawinan di dalam kelompok itu sendiri, serta oleh perasaan-perasaan akan
jarak sosial dari kelompok-kelompok status lainnya. Mereka saling mengenal dan
menyebut masing-masing sebagai “orang kita” dan berjuang mempertahankan
perasaan superioritas terhadap mereka yang tidak termasuk dalam lingkaran43 Selain posisi ekonomis dan kehormatan kelompok status, dasar yang lain
untuk stratifikasi sosial adalah kekuasaan politik. Bagi Weber kekuasaan adalah
kemampuan untuk memaksakan kehendak seseorang meskipun mendapat
tantangan dari orang lain. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengatasi
perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan seseorang, khususnya
dalam mempengaruhi perilaku. Kekuasaan tersebut digunakan terus-menerus .
42
Johnson, Op., Cit., hal. 36 43
untuk menanamkan suatu kepercayaan akan haknya untuk berbuat demikian,
berusaha untuk menegakkan legitimasi kekuasaan sebagai batu loncatan bagi
peningkatan posisi ekonomi atau status44
Menurut kaum Marxis, kelas penguasa ketika berkuasa tidak mutlak
membuat semua keputusan bagi masyarakat sebagai suatu unit yang kompak.
Kekuasaan kelas penguasa dilaksanakan melalui seperangkat mekanisme yang
secara obyektif saling berkaitan tetapi tidak harus menyatu secara pribadi. Melalui
cara ini, teknik eksploitasi yang ada direproduksi. Kelas penguasa bukanlah suatu
subyek kekuasaan yang bersatu. Kekuasaan diwujudkan dalam proses sosial yang
obyektif, yang memelihara dan memperluas cara produksi tertentu serta dijamin
oleh pemerintah atau Negara
.
45
Gramsci, ia menyatakan bahwa kelas sosial akan memperoleh keunggulan
(supremasi) melalui dua cara, yaitu: melalui cara dominasi .
46
(dominio) atau
paksaan (coercion) dan melalui kepemimpinan intelektual dan moral, yang
disebut dengan hegemoni47
Hegemoni merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui
masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perseorangan, pengaruh dari
jiwa ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik, dan semua
relasi sosial, terutama dari intelektual dan hal-hal yang menunjukkan pada moral.
Upaya untuk menggiring individu agar menilai dan memandang problematika
sosial dalam kerangka yang telah ditentukan, sebuah rantai kemenangan yang di .
44
Ibid., hal. 37-38 45
Antonio, Op., Cit., hal. 27 46
Dominasi diartikan sebagai penguasaan, penempatan posisi bagus dan kuat; pengaruh besar (Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-barry, 1994, Kamus Ilmiah Popular, Arkola, Surabaya). 47
dapat melalui mekanisme consensus dengan mekanisme institusi yang ada
dimasyarakat. Perlu diingat, bahwa Gramsci beranggapan hegemoni bukan hanya
kepemimpinan intelektual dan moral saja tanpa diikuti praktek dominasi atau
paksaan. Akan tetapi dapat terjadi sebagai kepemimpinan intelektual dan moral
sekaligus diiringi dengan praktek dominasi atau paksaan.48
Kekuasaan, sebagaimana yang dikemukakan Weber merupakan
kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain
walaupun ada penolakan melalui perlawanan. Perlawanan akan dilakukan oleh
kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya
situasi ketidakadilan di tengah- tengah mereka.
I.5.2. Teori Perlawanan
49
Jika situasi ketidakadilan dan
rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan (apa yang disebut
sebagai) gerakan sosial atau sosial movement, yang akan mengakibatkan
terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang
berbeda dengan sebelumnya.50
Scott mendefinisikan perlawanan sebagai segala tindakan yang dilakukan
oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau
menolak klaim (misalnya harga sewa atau pajak) yang dibuat oleh pihak atau
kelompok superdinat terhadap mereka. Scott membagi perlawanan tersebut
menjadi dua bagian, yaitu: perlawanan publik atau terbuka (public transcript) dan
48
Lihat Patria dan Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 44.
49
Lihat Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran: Studi Tentang Idiologi, Isu, Strategi, dan Dampak Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, 2002, hal. 19
50
perlawanan tersembunyi atau tertutup (hidden transcript).51
Kedua kategori tersebut, oleh Scott, dibedakan atas artikulasi perlawanan;
bentuk, karekteristik, wilayah sosial dan budaya. Perlawanan terbuka
dikarakteristikan oleh adanya interaksi terbuka antara kelas-kelas subordinat
dengan kelas- kelas superdinat. Sementara perlawanan sembunyi- sembunyi
dikarakteristikan oleh adanya interaksi tertutup, tidak langsung antara kelas-kelas
subordinat dengan kelas-kelas superdinat. Untuk melihat pembedaan yang lebih
jelas dari dua bentuk perlawanan di atas, Scott mencirikan perlawanan terbuka
sebagai perlawanan yang bersifat: Pertama, organik, sistematik dan kooperatif.
Kedua, berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri. Ketiga, berkonsekuensi
revolusioner, dan/atau Keempat, mencakup gagasan atau maksud meniadakan
basis dominasi.52 Dengan demikian, aksi demonstrasi atau protes yang diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa, mogok makan dan lain- lain merupakan
konsekuensi logis dari perlawanan terbuka terhadap pihak superdinat.53
51
Lihat James C. Scoot, Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara,
Jakarta: LP3ES, 1981, hal. 69
52
Ibid, hal. 58 53
Tarrow, Op., Cit., hal. 37
Menurut
Fakih, gerakan sosial diakui sebagai gerakan yang bertujuan untuk melakukan
perubahan terhadap sistem sosial yang ada. Karena memiliki orientasi pada
perubahan, dianggap lebih mempunyai kesamaan tujuan, dan bukan kesamaan
analisis. Mereka tidak bekerja menurut prosedur baku, melainkan menerapkan
struktur yang cair dan operasionalnya lebih diatur oleh standar yang muncul saat
itu untuk mencapai tujuan jangka panjang. Mereka juga tidak memiliki
kepemimpinan formal, seorang aktivis gerakan sosial tampil menjadi pemimpin
dalam memahami dan menjelaskan tujuan dari gerakan serta memiliki rencana
yang paling efektif dalam mencapainya.54
Soekanto dan Broto Susilo memberikan empat ciri gerakan sosial, yaitu:
Pertama, tujuannya bukan untuk mendapatkan persamaan kekuasaan, akan tetapi
mengganti kekuasaan. Kedua, adanya penggantian basis legitimasi, Ketiga,
perubahan sosial yang terjadi bersifat massif dan pervasive sehingga
mempengaruhi seluruh masyarakat, dan Keempat, koersi dan kekerasan biasa
dipergunakan untuk menghancurkan rezim lama dan mempertahankan
pemerintahan yang baru. Dan J. Smelser menyatakan, bahwa gerakan sosial
ditentukan oleh lima faktor. Pertama, daya dukung struktural (structural
condusiveness) di mana suatu perlawanan akan mudah terjadi dalam suatu
lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi untuk melakukan suatu
gerakan massa secara spontan dan berkesinambungan (seperti lingkungan kampus,
buruh, petani, dan sebagainya). Kedua, adanya tekanan- tekanan struktural
(structural strain) akan mempercepat orang untuk melakukan gerakan massa
secara spontan karena keinginan mereka untuk melepaskan diri dari situasi yang
menyengsarakan.55
Ketiga, menyebarkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas
untuk membangun perasaan kebersamaan dan juga dapat menimbulkan
kegelisahan kolektif akan situasi yang dapat menguntungkan tersebut. Keempat,
faktor yang dapat memancing tindakan massa karena emosi yang tidak terkendali,
seperti adanya rumor atau isu-isu yang bisa membangkitkan kesadaran kolektif
untuk melakukan perlawanan. Kelima, upaya mobilisasi orang- orang untuk
54
Zubir, Op., Cit., hal. 25 55
melakukan tindakan tindakan yang telah direncanakan.56
Sedangkan perlawanan sembunyi-sembunyi dapat dicirikan sebagai
perlawanan yang bersifat: Pertama, Tidak teratur, tidak sistematik dan terjadi
secara individual, Kedua, Bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri,
Ketiga, Tidak berkonsekuensi revolusioner, dan; atau Keempat, Lebih akomodatif
terhadap sistem dominasi. Oleh karena itu, gejala- gejala kejahatan seperti:
pencurian kecil- kecilan, hujatan, makian, bahkan pura- pura patuh (tetapi
dibelakang membangkang) mempakan perwujudan dari perlawanan sembunyi
sembunyi. Perlawanan jenis ini bukannya bermaksud atau mengubah sebuah
sistem dominasi, melainkan lebih terarah pada upaya untuk tetap hidup dalam
sistem terse but sekarang, minggu ini, musim ini. Percobaan- percobaan untuk
menyedot dengan tekun dapat memukul balik, mendapat keringanan marjinal
dalam eksploitasi, dapat menghasilkan negosiasi- negosiasi tentang batas- batas
pembagian, dapat mengubah perkembangan, dan dalam peristiwa tertentu dapat
menjatuhkan sistem. Tetapi, menurut, semua itu hanya mempakan akibat- akibat
yang mungkin terjadi, sebaliknya, tujuan mereka hampir selalu untuk kesempatan
hidup dan ketekunan.57
Bagaimanapun, kebanyakan dari tindakan ini (oleh kelas- kelas lainnya)
akan dilihat sebagai keganasan, penipuan, kelalaian, pencurian, kecongkakan-
singkat kata semua bentuk tindakan yang dipikirkan untuk mencemarkan orang-
orang yang mengadakan perlawanan. Perlawanan ini dilakukan untuk
mempertahankan diri dan rumah tangga. Dapat bertahan hidup sebagai produsen
komoditi kecil atau pekerja, mungkin dapat memaksa beberapa orang dari
56
Ibid, hal. 48-49 57
kelompok ini menyelamatkan diri dan mengorbankan anggota lainnya.58
Scott menambahkan, bahwa perlawanan jenis ini (sembunyi- sembunyi)
tidak begitu dramatis, namun terdapat di mana- mana, melawan efek-efek
pembangunan kapitalis asuhan negara. Perlawanan ini bersifat perorangan dan
seringkali anonim. Terpencar dalam komunitas- komunitas kecil dan pada
umumnya tanpa sarana- sarana kelembagaan untuk bertindak kolektif,
menggunakan sarana perlawanan yang bersifat lokal dan sedikit memerlukan
koordinasi. Koordinasi yang dimaksudkan di sini, bukanlah sebuah konsep
koordinasi yang dipahami selama ini, yang berasal dari rakitan formal dan
birokratis. Tetapi merupakan suatu koordinasi dengan aksi- aksi yang dilakukan
dalam komunitas dengan jaringan jaringan informasi yang padat dan sub kultur-
sub kultur perlawanan yang kaya.59
Konflik merupakan faktor yang turut membangun perkembangan
masyarakat. Konflik akan bisa membangun solidaritas kelompok dan hubungan
antar warga Negara maupun antar kelompok. Konflik tidak bisa dihindari oleh
setiap aktor, namun yang paling penting adalah cara untuk menyelesaikan konflik
agar ancaman (threat) bias menjadi kesempatan (oppurtunity) dan bahaya
timbulnya konflik terbuka secara meluas dilokalisasi dengan membangun suatu
model pencegahan dan penanggulangan dini.
1.5.3. Teori Resolusi Konflik
60
Suatu kebiasaan khas dalam konflik adalah memberikan prioritas yang
tinggi guna mempertahankan kepentingan pihaknya sendiri. Jika kepentingan si A
58
Lihat James C. Scoot, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal. 27 59
Ibid.
60
bertentangan dengan kepentingan B, A cenderung mengabaikan kepentingan B,
atau secara aktif menghancurkannya. Menurut Miall, pihak pihak yang berkonflik
biasanya cenderung melihat kepentingan mereka sebagai kepentingan yang
bertentangan secara diametrikal, oleh karena itu, berkesimpulan bahwa hasil yang
diperoleh adalah hasil kalah- menang.61
Untuk itu, menurut Dahrendorf, perlu diadakan suatu peraturan
pertentangan yang mensyaratkan tiga faktor. Pertama, kedua kelompok yang
terlibat dalam pertentangan harns mengakui pentingnya dan nyatanya situasi
pertentangan dan dalam hal ini, mengakui keadilan fundamental dari maksud
pihak lawan. Pengakuan adilnya maksud lawan tentu saja bukan berarti bahwa
subtansi kepentingan lawan harns diakui sebagai adil dari awal. Pengakuan di sini
berarti bahwa kedua kelompok yang bertentangan menerima untuk apa
pertentangan itu, yakni menerimanya sebagai suatu hasil pertumbuhan yang tak
terelakkan. Syarat Kedua, adalah organisasi kelompok- kelompok kepentingan.
Selama kekuatan- kekuatan yang bertentangan itu terpencar- pencar dalam
kesatuan yang kecil yang masing- masing erat ikatannya, peraturan pertentangan
tidak akan efektif. Dan Ketiga, adanya keharnsan bagi kelompok- kelompok yang
berlawanan dalam pertentangan sosial menyetujui aturan formal tertentu yang
menyediakan kerangka hubungan bagi mereka.62
Berdasarkan buku panduan pengelolaan konflik yang dikeluarkan oleh The
British Council, bahwa penyelesaian suatu konflik yang terjadi dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu:
61
Hugh Miall, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah dan Mengubah Konflik BersumberPolitik, Sosial, Agama, dan Ras, Jakarta: Rajawali Pers, 2002, hal. 18 62
1. Negosiasi, suatu proses untuk memungkinkan pihak- pihak yang berkonflik untuk mendiskusikan berbagai kemungkinan pilihan dan mencapai penyelesaian melalui interaksi tatap muka.
2. Mediasi, suatu proses interaksi yang dibantu oleh pihak ketiga sehingga pihak pihak yang berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sendiri.
3. Arbitrasi atau perwalian dalam sengketa, tindakan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutuskan dan menjalankan suatu penyelesaian.63
Secara tradisional, tugas penyelesaian konflik adalah membantu pihak-
pihak yang merasakan situasi yang mereka alami sebagai sebuah situasi zero- sum
(keuntungan diri sendiri adalah kerugian pihak lain). Agar melihat konflik sebagai
keadaan non- zero- sum (di mana kedua belah pihak dapat memperoleh hasil atau
keduanya sama- sarna tidak memperoleh hasil) dan kemudian membantu pihak-
pihak yang berkonflik berpindah ke arah hasil yang positif. Untuk menciptakan
hasil non- zero- sum, mewajibkan akan adanya pihak yang berfungsi
menyelesaikan konflik.64
Konsiliasi, tidak melibatkan pihak manapun dalam menyelesaikan suatu
pertentangan. Konsiliasi lebih cenderung pada upaya damai yang dilakukan oleh
pihak pihak yang bertentangan terhadap pertentangan yang mereka alami.
Menurut Dahrendorf, ketiga bentuk penyelesaian pertentangan tersebut, yakni
konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi dapat dilaksanakan sebagai peraturan
pertentangan secara berurutan atau dapat pula diterapkan secara terpisah- pisah
menurut situasi yang dihadapi.65
Menurut Dahrendorf, mediasi merupakan bentuk yang paling ringan dari
campur tangan pihak luar dalam menyelesaikan pertentangan. Kedua kelompok
63
Ibid.
64
Hugh Miall, Op., Cit., hal. 73 65
yang bertentangan sepakat untuk berkonsultasi dengan pihak luar yang diminta
memberikan nasihat. Akan tetapi, nasihat tersebut tidak mempunyai kekuatan
mengikat terhadap kelompok yang bertentangan. Sekilas, hal ini hanya
menjanjikan pengaruh sedikit, tetapi dari pengalaman di berbagai bidang
kehidupan sosial menunjukkan bahwa mediasi merupakan suatu tipe penyelesaian
pertentangan yang berhasil.66
1. Otonom, dibekali hak untuk mengambil keputusan tanpa campur tangan pihak lain.
Berkaitan dengan keberhasilan mediasi, Kerr dalam Dahrendorf,
mengungkapkan lima hal positif dari model ini: Pertama, mengurangi sikap
irrasional, Kedua, menyingkirkan sikap non- rasional, Ketiga, menjajaki
penyelesaian, Keempat, membantu pengenduran perlahan, dan Kelima,
meningkatkan biaya pertentangan. Dahrendorf (1986) juga mensyaratkan empat
hal sebagai syarat wajib dipenuhi oleh pihak ketiga:
2. Memegang posisi monopoli, merupakan satu- satunya institusi dalam suatu perserikatan (satu- satunya kelompok di luar dua kelompok yang bertikai).
3. Perannya harns dipatuhi, keputusan- keputusan yang telah dicapai harns mengikat kedua kelompok kepentingan.Demokratis, kedua kelompok yang bertentangan di dengar dan diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat sebelum keputusan diambil.67
Berkaitan dengan arbitrasi, Lockwood mengandung dua konsep, yaitu
konsep politik dan pengadilan. Konsep pertama memberikan kesan bahwa adalah
menjadi tugas untuk menemukan titik kompromi yang dapat dilaksanakan di
antara isu- isu yang bertentangan. Sedangkan konsep kedua melihat pertentangan
dari sudut pandangan hukum, yakni memberikan tugas kepada arbitrator untuk
66
Dahrendorf, Op., Cit., hal 86 67
menilai kebaikan isu yang dipertentangkan itu menurut ukuran yang pasti, benar
atau salah68
Metode penelitian didefinisikan sebagai ajaran mengenai cara-cara yang
digunakan dalam proses penelitian. Metode berguna untuk memberikan ketepatan,
kebenaran dan pengetahuan yang mempunyai nilai ilmiah yang tinggi. .
1.6. Metode Penelitian
69
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan penekanan
pada deskriptif dan analitis. Bogdan dan Taylor mendefenisikan penelitian
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa
kata- kata baik tertulis maupun lisan dan pelaku yang dapat diamati. Metode
penelitian kualitatif ini dipilih karena dapat menyajikan secara langsung hakikat
hubungan antara peneliti dan responden serta lebih peka dan dapat menyesuaikan
diri dengan pola- pola nilai yang dihadapi
Untuk
itu, penelitian ini akan memaparkan beberapa cara sebagai batasan untuk
mencapai kebenaran ilmiah, yakni: jenis penelitian, lokasi penelitian, teknik
pengumpulan data, pemilihan informan, dan teknik analisa data.
1.6.1. Jenis Penelitian
70
68
Ibid. hal. 97-98 69
Lihat Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: CV. Mandar Maju, 1996, hal. 17
70
Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Deskriptif - analitis adalah suatu
upaya untuk menggambarkan hasil dari data data yang diperoleh di lapangan, baik
penelitian.71
Penelitian ini berusaha menggambarkan bagaimana bentuk-bentuk
dominasi kekuasaan yang terjadi terhadap pedagang, bagaimana perlawanan yang
dilakukan oleh pedagang, dan upaya seperti apa yang telah dilakukan untuk
menyelesaikan konflik tersebut. Sedangkan pedekatan yang penulis gunakan
adalah pendekatan studi kasus (case study), yakni suatu pendekatan untuk
mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus (case) dalam
konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar.
72
1.6.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini diadakan di kelurahan Padang Bulan kecamatan Senapelan
kota Pekanbaru, propinsi Riau. Dipilihnya lokasi ini karena beberapa
pertimbangan, diantaranya: Pertama. lokasi ini merupakan salah satu wilayah
yang memiliki pasar tradisional yang cukup besar dan telah lama berdiri kurang
lebih tiga puluh tahun dengan mayoritas pedagang yang memiliki modal ekonomi
menengah kebawah, lokasi penelitian berada di tengah kota, ibukota propinsi
Riau (sebagai pusat pemerintahan), sangat berpengaruh dan menjadi model bagi
daerah- daerah lainnya di propinsi Riau, Ketiga. merupakan pusat ekonomi
menengah ke bawah sehingga sangat sesuai bagi terjadinya konflik vertika4 dan
Keempat. lebih mudah dijangkau dan dekat dengan akses informasi lainnya, yang
berhubungan dengan penelitian ini.
71
Kartini Kartono, Op., Cit., hal. 21 72
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti
dalarn penelitian ini untuk memperoleh informasi atau data yang akurat sehingga
dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu penelitian sosial yang ilmiah. Adapun
cara-cara tersebut dapat dibagai atas tiga bagian, yakni melalui: observasi atau
pengamatan, dan dokumentasi. Observasi berfungsi sebagai data primer,
sedangkan dokumen dokumen berfungsi sebagai data sekunder.73
Observasi adalah teknik atau cara pengumpulan data melalui pengamatan
terhadap fenomena- enomena sosial dan gejala- gejala alam. Menurut Faisal,
pengamatan dapat juga dilakukan terhadap benda, keadaan, kondisi, situasi,
kegiatan, proses, dan penampilan tingkah laku seseorang.
1.6.3.1. 0bservasi
74
Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung. Di mana peneliti
melakukan kunjungan langsung ke lapangan berkaitan dengan perilaku atau
kondisi lingkunngan yang relevan dengan maksud penelitian ini sebagai tambahan
dimensi- dimensi baru dalam konteks memahami fenomena yang diteliti
tersebut.
75
Dalam hal penelitian ini, observasi dilakukan pada saat pedagang sedang
melakukan transaksi jual beli di pasar Senapelan. Kebanyakan pengamatan ini
dilakukan pada waktu siang hari. Dengan harapan, observasi yang dilakukan akan
lebih menyeluruh, karena dapat melihat kondisi pedagang secara holistik ketika
melakukan interaksi sosial dengan masyarakat lainnya, dan dengan sesama
73
Lihat Sanafiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, hal. 27 74
Ibid.
75
pedagang dari beragam tingkatan penghasilan dan modal yang mereka miliki.
Selain itu juga dilakukan pada waktu peneliti melakukan kegiatan wawancara di
lapangan dengan pedagang. Dan kebanyakan observasi ini difokuskan Pada
kondisi sosial yang dihadapi pedagang ketika mereka harus mencari nafkah
ditempat yang ''tidak memadai".
1.6.3.2. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan dokumen
dokumen yang dianggap penting dan berkaitan dengan penelitian ini. Dokumen
dokumen dalam penelitian ini berupa teks- teks yang dapat ditafsirkan lebih
lanjut. Teks- teks ini berbentuk arsip, statistik, hasil laporan, buku- buku, koran
harian, website, ataupun hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap
permasalahan (berkaitan) dengan penelitian ini.76
Proses analisa data dimulai dengan menelaah informasi atau data yang
telah didapat, baik yang diperoleh dari wawancara, pengamatan, atau pun dari
Dokumen- dokumen berupa buku berguna untuk mendapatkan data
tentang sejarah kota Pekanbaru dan sejarah Senapelan. Untuk mengisi data- data
statistik yang diperlukan dalam penelitian ini, digunakan buku- buku yang berasal
dari Biro Pusat Statistik sebagai penunjangnya. Selain itu, juga terdapat data dari
koran harian dan website yang digunakan sebagai penunjang kekuatan informasi
dalam penelitian ini.
1.6.5. Teknik Analisa Data
76
studi terhadap dokumen-dokumen. Keseluruhan data yang di dapat tersebut
dirangkum dan dikategorisasikan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian.
Selanjutnya, kategori kategori yang telah diklasifikasikan tersebut dikontruksikan
dengan pendekatan kualitatif dalam sebuah deskripsi untuk kemudian dianalisis
sehingga memungkinkan diambil kesimpulan yang utuh.77
• Bab I Pendahuluan; akan mengulas tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan peneilitian, manfaat penelitian, kerangka teori,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
1.7. Sistematika Penulisan
Tulisan penelitian ini akan terdiri dari 4 bagian (BAB) dengan urutan
penulisan sebagai berikut:
• Bab II Dominasi Kekuasaan Pemko Terhadap Pedagang Senapelan; bab
ini akan memaparkan deskripsi lokasi Pasar Senapelan, dan bagaimana
bentuk-bentuk dominasi kekuasaan yang terdapat pada kasus peremajaan
pasar Senapelan, Pekanbaru.
• Bab III Perlawanan Pedagang Senapelan Terhadap Pemko; sedangkan
pada bagian ini menceritakan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan
oleh pedagang pasar Senapelan dan juga akan membahas resolusi konflik
terhadap masalah yang terjadi.
• Bab IV Penutup: Kesimpulan dan saran menjadi isi pada bagian ini.
77
BAB II
DOMINASI KEKUASAAN PEMERINTAH KOTA TRHADAP PEDAGANG PASAR SENAPELAN KOTA PEKANBARU
Untuk menjelaskan bagaimana bentuk- bentuk dominasi kekuasaan
berlangsung pada pembangunan pasar tradisional ini, akan dimulai dengan
penjelasan mengenai suatu hubungan konfliktual yang terjadi antara Pemkot dan
investor dengan pedagang pasar Senapelan. Beberapa teori dominasi kekuasaan
yang relevan akan digunakan sebagai pengantar bab ini. Diantaranya adalah teori
mengenai pembagian masyarakat atas dua kelompok dalam suatu hubungan sosial
yang asimetris, yang menjadikan suatu kelompok masyarakat menguasai
kelompok masyarakat lainnya, superdinat dan subordinat. Dilanjutkan dengan
teori Wright yang mengemukakan beberapa karekteristik yang dapat dikenali dari
hubungan asimetris tersebut, yaitu: 1) kesejahteraan suatu kelompok secara
material tergantung pada perampasan material dari kelompok lain, 2) hubungan
itu melibatkan pengucilan dan penutupan (exclusion) akses terhadap sumber daya
produktif, 3) mekanisme yang menghasilkan pengucilan dan penutupan tersebut
melibatkan pengambilalihan nilai tambah (fruits of labour)78
Selanjutnya teori Mosca yang menjelaskan mengenai kelompok pertama
yang menguasai fungsi politik terhadap kelompok yang lain. Tindakan ini diiringi
dengan tindakan pemaksaan, mengendalikan pedagang sampai patuh, dan
mencampuri kebebasan serta memaksanya dengan cara- cara khusus. Cara cara
tersebut dapat dilakukan melalui: 1) kebijakan pemerintah atau negara, 2) .
78
kekuatan premanisme, 3) kekuatan informasi dan modal, penguasaan dan
penutupan akses terhadap informasi dan modal.79 Selain menguasai politik, kelompok yang berkuasa ini juga menguasai ekonomi melalui suatu hubungan
ekonomi yang tidak seimbang atau hubungan sosial yang kapitalistik, seperti yang
diungkapkan oleh Marx.80
79
Ibid, hal. 22 80
Ibid, hal. 28
Dalam kasus pasar Senapelan ini, dominasi kekuasaan
politik lebih kental daripada kekuasaan ekonomi. Kekuasaan politik menjadi
nuansa yang tergambar dengan jelas dalam pembangunan pasar tersebut,
sedangkan nuansa ekonomi adalah nuansa kepentingan yang ada dibalik
kekuasaan politik tersebut.
Secara politik, Pemkot sebagai kelas penguasa melakukan tindakan
dominasi melalui kebijakan yang tidak partisipatif (non partisipatif), tindakan
represi, dan kooptasi. Melalui kebijakan non partisipatif tersebut, melalui Surat
Keputusan, Pemkot memberikan legitimasi hukum bagi terlaksananya program
peremajaan pasar Senapelan. Di samping itu, Pemkot juga membuat
keputusan-keputusan yang sepihak, seperti halnya keputusan-keputusan untuk terus melanjutkan
program peremajaan pasar Senapelan, walaupun ada kesepakatan untuk
menghentikan sementara pembangunan pasar tersebut sampai ada kesepakatan
harga kios, selain sikap ngotot Pemkot dengan harga yang telah ditetapkan oleh
investor. Setiap tindakan yang dilakukan oleh Pemkot dianggap sebagai tindakan
yang sah, mulai dari penentuan harga kios, menempatkan para pedagang, dan
melakukan tindakan pembongkaran paksa. Kebijakan yang dibuat tidak memihak
masyarakat umum atau kecil, tetapi lebih memihak investor atau kepentingan
Selain melakukan dominasi dalam bentuk pembuatan kebijakan yang tidak
partisipatif, Pemkot juga melakukan tindakan represi. Tindakan represi atau
tekanan ini dilakukan oleh Pemkot dengan bantuan aparat pemerintah, seperti
polisi, Satpol PP, maupun pemanfaatan kekuatan di luar aparat pemerintah
(seperti penggunaan preman). Mereka melakukan tekanan terhadap pedagang
melalui intimidasi, teror, dan tindakan kekerasan. Tindakan intimidasi dan teror
dilakukan oleh kekuatan preman terhadap pedagang secara individual. sedangkan
tindakan kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan dan Satpol PP dalam aksi
pembongkaran kios- kios pedagang yang lama dan dalam aksi unjuk rasa yang
dilakukan pedagang.
Tindakan kooptasi dilakukan melalui pemanfaatan media massa dan
organisasi pedagang. Melalui media massa lokal. kooptasi atau penguasaan
dilakukan oleh Pemkot. Pemberitaan yang minim dari dua koran Harian terbesar
di kota Pekanbaru, yaitu Rian Post dan Riau Mandiri menjadikan informasi yang
diperoleh sangat minim. Walaupun ada pemberitaan tentang konflik yang terjadi
akibat pembangunan pasar tersebut, porsinya sedikit dan kebanyakan informasi
lebih dikuasai oleh berita tentang desain atau bentuk bangunan dan fasilitasnya,
harga kios (versi investor), dan pemasaranya. Sedangkan di tingkat pedagang,
penguasaan terhadap pedagang dilakukan melalui lembaga ISIP. Melalui ISIP ini
para pedagang di pecah belah menjadi dua, pedagang pendukung segala kebijakan
pemkot di bawah bendera ISIP (walaupun tidak terang- terangan) dan pedagang
yang tidak setuju dengan kebijakan Pemkot (FKPPS).
Mengenai bentuk – bentuk kekuasaan yang di lakukan pemerintah kota
pembahasan berikut.
2.1. Surat Keputusan Walikota Pekan Baru
Berdasarkan hasil wawancara pada media lokal Harian Riau Exspres,
diperoleh informasi dari salah seorang pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah
(pemda) Tingkat I, bahwa peremajaan pasar Senapelan ditetapkan melalui Surat
Keputusan (S.K) Walikota Pekanbaru, Herman Abdullah, MM. Berdasarkan S.K
yang dikeluarkan tahun 2001 tersebut, maka dibentuklah Tim Sembilan (9), yang
terdiri dari sembilan Kepala Bagian (Kabag) dan Kepala Dinas (Kadis) untuk
mengurusi pembangunan ini (Pekanbaru, 14 Oktober 2004).81
1. Kimpraswil (Pemukiman dan Perencanaan Wi1ayah)
Tim Sembilan
terdiri dari:
2. B.P.N (Badan Pertanahan Nasional)
3. Kadis Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah)
4. Kadis Pasar
5. Kadis Tata Kota
6. Kabag Ekonomi
7. Kabag Hukum
8. Kabag Keuangan
9. Kabag Perlengkapan.
Walaupun S.K Walikota tersebut tidak pernah diperlihatkan, tetapi dari
hasil wawancara tersebut diketahui bahwa ketua Tim Sembilan adalah Kadis
Dispenda dan sekretaris dipegang oleh Kabag Ekonomi. Dan alasan peremajaan
81
dilakukan adalah karena:
1. Pasar tersebut sudah tidak layak pakai dan memadai untuk bangunan setingkat kota.
2. Jumlah penduduk dan pedagang yang semakin meningkat sehingga memerlukan
3. Perluasan bangunan. Sedangkan alasan penggandengan pihak swasta dalam proyek tersebut adalah karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh Pemerintah Kota (pemkot) untuk meremajakan pasar Senapelan (wawancara, Pekanbaru, 16 September 2004).82
Setelah S.K keluar (yang tidak diketahui tanggalnya), Tim Sembilan mulai
melakukan seleksi terbuka (diumumkan kepada publik) terhadap perusahaan
perusahaan yang berminat untuk menjalankan proyek peremajaan pasar. Setelah
Tim Sembilan menyaring perusahaan- perusahaan yang berminat (kebetulan
hanya dua perusahaan), kemudian Tim Sembilan menetapkan bahwa P.T. Peputra
Mahajaya (PMJ) sebagai pemenang tender proyek.
Menurut General Officer P.T. PMJ, Suryanto, pertimbangan dipilihnya
P.T. PMJ sebagai mitra pemerintah adalah sebagai berikut:
1. Pengalaman pembangunan pasar terdahulu (pasar Pusat) yang dianggap berhasil dan tidak mengecewakan Pemerintah Kota (Pemkot).
2. Harga jual kios yang tidak terlalu tinggi sehingga terjangkau oleh kalangan pedagang tradisional.
3. Desain bangunan yang tidak ketinggalan zaman.
4. Sesuai dengan keinginan Pemkot untuk membangun pasar semi modern.83
Berdasarkan perjanjian kerjasama peremajaan pasar Senapelan Pekanbaru
antara Pemkot (dalam hal ini diwakili oleh Walikota Pekanbaru, Drs. Herman
Abdullah, MM) bernomor 131 tahun 2002 dan 497/ PMJ/ VIII 2002, dinyatakan
bahwa tanah tempat berdirinya pasar Senapelan merupakan milik Pemkot, dengan
luas 18500 m2. Pasar dan sertifikat Hak Pengelolaan no. 1 tahun 1983. Dengan begitu, kapanpun Pemkot menginginkan pasar itu (beserta bangunannya) tidak ada
82
Ibid,
83
yang dapat menghalangi. Hal ini dikuatkan dengan surat perjanjian pemakaian
toko/ kios/ los antara Pemkot dengan pemakai toko/ kios/ los pasar Senapelan.
Pasal sembilan (9) ayat (a) yang menyatakan bahwa apabila dalam masa
perjanjian tersebut pemerintah menghendaki lokasi toko/ kios/ los dibangun
kembali, direnovasi atau akan dipergunakan untuk kepentingan umum lainnya,
pihak kedua (para pedagang) harus menyerahkan melalui pihak pertama (Pemkot)
dan dengan sendirinya surat perjanjian pemakaian toko/ kios/ los ini habis masa
berlakunya.
Menurut Kadis Dispenda (Drs. M. Din Hasni), setelah Pemkot memilih P.T.
PMJ sebagai mitra pembangunan, P.T. PMJ kemudian merepresentasikan
proposal pembangunan kepada Tim Sembilan, dari Tim Sembilan proposal
tersebut disetujui oleh Walikota, dari Walikota proposal dibawa ke DPRD
Pekanbaru untuk sharing, setelah proposal disetujui oleh DPRD, barulah
peremajaan pasar Senapelan mulai disosialisasikan secara resmi84
Berkaitan dengan sosialisasi, Kadis Dispenda menyatakan, bahwa proses
sosialisasi telah berlangsung lama, melalui beberapa media lokal, sebelum
dikeluarkannya kebijakan resmi. Dilakukan sebanyak sebelas kali kepada
pedagang. Bahkan setelah dikeluarkannya kebijakan resmi pemerintah tentang
pembangunan itu, sosialisasi tetap berlangsung, dan pembangunan sempat
ditangguhkan selama ± 3 tahun (setelah kebijakan resmi dikeluarkan tahun 2001),
tujuannya untuk menunggu persetujuan dari para pedagang. Dan proses ini
berakhir pada tahun 2004, setelah proses pembangunan fisik dimulai, dengan
dilakukannya pembongkaran tokol kios/ los di pasar Senapelan Pekanbaru .
85
84
Kutipan wawancara LSM Riau Mandiri , Pekanbaru, 14 Oktober 2004 85
Ibid,
Berkaitan dengan kebijakan Pemkot untuk meremajakan pasar tersebut,
menurut para pedagang, mereka tidak menolak dilakukannya peremajaan karena
dapat memoles wajah kusam bangunan pasar tradisional itu, bahkan mereka dari
awal memang menginginkanya. Akan, tetapi, menurut pedagang, setelah
mengetahui harga yang dipatok, mereka menjadi pesimis terhadap kebijakan
pembangunan tersebut.86
1. Blok A, merupakan pusat perbelanjaan modern (mall) diperuntukkan bagi pedagang non- pasar Senapelan dengan harga tanpa diskon, dengan harga dasar berkisar antara Rp. 17 juta- Rp. 20 juta per tapak (kios).
Bangunan ini direncanakan terdiri dari tiga blok, dengan perincian sebagai
berikut:
2. Blok B dan C, diperuntukkan bagi para pedagang eks pasar Senapelan dengan perincian:
a. Bagi pedagang aktif (pemilik kios dan juga pedagang) diskon 15 % dari harga dasar Rp. 7-15 juta.
b. Bagi pedagang pasif (pemilik kios tetapi tidak beerdagang) diskon 10 % dari harga dasar Rp. 7-15 juta.
c. Bagi pedagang penyewa diskon 5 % dari harga dasar Rp. 7- 15 juta.87 Harga blok A tanpa diskon bertujuan untuk menutupi biaya pembangunan
blok B dan C, jika mengalami defisit biaya pembangunan atau subsidi silang.
Uang muka yang harus dibayarkan oleh pedagang adalah 30 % dari harga kios
yang dapat dicicil selama satu tahun. Harga yang dimulai dari Rp. 7- 15 juta- an
itu belum termasuk P.P.N (Pajak Pendapatan Negara) sebesar 10 % yang
dibebankan kepada pedagang. Harga tersebut akan bertambah lagi jika posisi kios
yang akan diambil sangat strategis, seperti: terletak di depan, lantai dasar, dekat
dengan tangga, dan sebagainya. Suryanto menambahkan, bahwa prioritas
pemasaran awal diperuntukkan bagi para pedagang eks pasar Senapelan, setelah
86
Kutipan wawancara LSM Riau Mandiri, dengan Marwan salang seorang pedagang Pasar Senapelan, Pekanbaru 4 September 2004
87
itu diperuntukkan bagi masyarakat umum atau public.88
Melalui surat pemberitahuan bernomor 1911 511.2/DP-IIII 2004 dan 0101
PMJI lill 2004, mengharapkan agar pedagang melakukan pendaftaran ulang. Surat
yang diedarkan kepada para pedagang tersebut ditandatangani oleh direktur P.T.
PMJ Hofman Halolo dan Kadis Pasar Drs. H. R Murzamir. Surat itu sendiri
diedarkan dengan beberapa kali perpanjangan, yaitu tanggal 15 Maret, 20 Maret,
30 Maret, dan 6 April 2004. Pada tanggal 15 Maret 2004, pendaftaran ulang
pedagang dibuka selama sembilan hari, mulai dari tanggal 12- 21 Maret 2004.
Karena pedagang yang mendaftar masih sedikit, kemudian diperpanjang dari
tanggal 23- 27 Maret 2004. Dan diperpanjang kembali dari tanggal 30 Maret- 3
April 2004 serta 6- 8 April 2004 engan tujuan memberikan kesempatan seluas-
luasnya bagi para padagang Senapelan untuk mendaftarkan diri kembali.89
Menurut Drs. Al- masri, kepala UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas)
Pasar Senape1an, mereka yang dianggap pedagang resmi adalah mereka yang
terdaftar di Dinas Pasar, yang memiliki kios dan los sebelum terjadinya
pembongkaran. Untuk dapat mendaftar ulang, para pedagang disyaratkan
membawa surat asli dan foto copy kepemilikan kios bagi pemilik, surat asli dan
foto copy bukti sewa menyewa kios/ los bagi pedagang penyewa.90
Mengenai jumlah pedagang, terdapat perbedaan pendapat yang mendasar
antara pedagang dan Dinas Pasar. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Dinas
pasar, jumlah pedagang pasar Senapelan adalah 972 orang. Dengan tidak
memasukkan pedagang kaki lima sebagai pedagang resmi karena tidak memiliki
tapak atau tempat berdagang yang pasti, seperti halnya kios atau los. Sedangkan
88
Ibid, 89
Ibid, 90
data yang dikumpulkan oleh FKPPS (Forum Komunikasi Pedagang Pasar
Senapelan), jumlah pedagang yang tercatat mencapai angka 2097 orang. Jumlah
ini menjadi besar karena FKPPS memasukkan pedagang kaki lima sebagai
pedagang resmi.91
Berdasarkan surat Walikota Pekanbaru bemomor 5112/ Dispenko/ 121
tertanggal 23 Januari 2004, yang ditujukan kepada ketua umum FKPPS,
dijelaskan, bahwa blok B dan C diperuntukkan bagi pedagang yang mempunyai
tapak dan penyewa, dengan kondisi bangunan semi modern. Dengan ukuran 3x3,
5 meter bagi blok B dan 3x3 meter bagi blok C. Dan di dalam surat tersebut tidak
terdapat penjelasan mengenai kondisi dan hak bagi pedagang terhadap blok A.
Selanjutnya dalam surat tersebut juga dijelaskan tentang peralihan pelaksanaan
proyek pembangunan dari P.T. PMl kepada P.T. MPP (Makmur Papan
Pratama).
92
Berkaitan dengan blok A, menurut Kabag Marketing P.T. PMl Acdelina
Tamaela, rencananya blok A yang terdiri dari 250 kios akan menyediakan
onderdil dan asesoris mobil terlengkap di kota Pekanbaru yang berlokasi di
basement. Sedangkan lantai 1, 2, dan 3 diperuntukkan bagi toko fashion, hand
phone, perhiasan, dan mainan anak- anak. Di samping itu, blok A juga
menyediakan tempat khusus bagi food court.93
Acdelina kemudian menyatakan dalam sebuah kalimat singkat: "kami
pastikan pusat perbelanjaan ini (pasar Senapelan) merupakan yang terdepan di
kota Pekanbaru". Dan akan dipasarkan kepada publik tanggal 18 Oktober 2004
91
Ibid,
92
Ibid,
93
lalu, setelah sebelumnya mengalami perpanjangan sebanyak dua kali, yaitu 16
Juli- 31 Agustus 2004 dan 1- 16 Oktober 2004.94
Menurut Direktur P.T. PMJ Hofman Halolo, harga kios di blok A, yang
terdiri dari beragam ukuran, akan dipasarkan dengan harga Rp. 18- Rp. 39 juta
kepada publik, dengan pemberian diskon sampai 10 % bagi 100 orang pendaftar
pertama. Sedangkan blok B dan C betjumlah 1950 kios dan los, diperuntukkan
bagi pedagang Senapelan. Menurut Hofman, jumlah yang barn terjual (membayar
uang muka) betjumlah 900 orang. Dan rencananya akan dipasarkan kepada publik
pada akhir 2005.95
1. Menyangkut desain bangunan.
2.1.1. Penetapan Harga Kios
Menurut Suryanto, General Officer P. T. PMJ, proses sosialisasi
pembangunan pasar Senapelan telah berlangsung lama, mulcul dari tahun 2001-
2004. Sedangkan hal- hal yang disosialisasikan antara lain berkaitan dengan:
2. Penempatan pedagang.
3. Menyangkut harga kios.
Berhubungan dengan desain bangunan, umumnya pedagang tidak terlalu
mempersoalkannya, mereka menyetujui model apapun yang akan dibangun oleh
investor. Bahkan seorang pedagang buah (asal Aceh) mengatakan, bahwa ia
menyetujui seratus persen pembangunan tersebut, dengan alasan tempat mereka
berdagang sekarang sudah tidak layak lagi untuk berdagang.96
Harga kios yang ditetapkan oleh pihak investor di mulai dari Rp. 7. 816.
94
Ibid,
95
Ibid,
96
827, hingga Rp. 14. 4275. 343, 86. Harga tersebut belum termasuk P.P.N (10 %)
yang dibebankan kepada pedagang dan juga tambahan- tambahan biaya lainnya,
berupa: fasilitas kios (AC, telepon, dan lain- lain), lokasi yang strategis, dan
pungutan lainnya. Menurut sejumlah pedagang, harga awal kios yang
disosialisasikan oleh pihak investor adalah Rp. 24 juta plus PPN. Akan tetapi,
harga ini kemudian turun menjadi Rp. 16 juta, dan turon lagi sampai pada angka
Rp. 14 juta. Penurunan ini terjadi setelah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh
pedagang berulang kali.97
- Plaza Sukaramai atau pasar Pusat Rp. 6. 500. 000 m2 selesai tahun 2001.
Walaupun demikian, menurut Suryanto, harga kios ini dapat diangsur
selama lima tahun, dengan tahap awal pembayaran uang muka 30 % dari harga
resmi, dan inipoo (uang muka 30