• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Pola Kemitraan Dengan Sistem “Gaduhan” Terhadap Kesejahteraan Petani/Peternak Di Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Pola Kemitraan Dengan Sistem “Gaduhan” Terhadap Kesejahteraan Petani/Peternak Di Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM

“GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN

PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN PANTAI CERMIN

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Oleh

LINA SIMATUPANG

097024036/SP

 

 

 

 

 

 

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM

“GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN

PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN PANTAI CERMIN

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 

Oleh

LINA SIMATUPANG

097024036/SP

PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM “GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Nama Mahasiswa : Lina Simatupang Nomor Pokok : 097024036

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si) (Husni Thamrin, S.Sos., MSP)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 13 April 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si Anggota : 1. Husni Thamrin, S.Sos., MSP

(5)

PERNYATAAN

PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM “GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN

PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, April 2011

Penulis,
(6)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembagian hasil pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan”, mengetahui faktor-faktor yang membentuk kemitraan dengan sistem “gaduhan” dan untuk mengetahui penerapan pola kemitraan tersebut terhadap kesejahteraan petani/peternak.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengambilan sampel secara purposive dan dengan teknik snowball, dan diperoleh jumlah sampel adalah 74 orang peternak gaduhan yang telah memelihara ternak 2 tahun ke atas. Data kualitatif diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan FGD, sedangkan data kuantitatif diperoleh dari penyebaran kuesioner. Data dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa pola pembagian hasil pada kemitraan dengan sistem “gaduhan” di Kecamatan. Pantai Cermin adalah 50 : 50, artinya keuntungan usaha dibagi 50 % untuk peternak pemelihara dan 50% untuk pemilik modal; 60 : 40, artinya keuntungan usaha dibagi 60% untuk peternak pemelihara dan 40% untuk pemilik modal. Faktor-faktor yang membentuk pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” adalah adanya ikatan kekeluargaan dan adanya keinginan pribadi/perorangan baik dari pemelihara ternak maupun pemilik modal. Hasil dari perhitungan korelasi menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan signifikan pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” terhadap kesejahteraan petani/peternak. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi masing-masing indikator yaitu : pendapatan r = 0,91; pendidikan r = 0,78; kesehatan r = 0,83 dan rasa bangga (self esteem) r = 0,73

(7)

ABSTRACT

This study aims to determine the distribution pattern of contribution on the implementation of a partnership with the system "gaduhan", knowing the factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" and to know the effect of the implementation of these partnerships on the welfare of farmers

. This research was conducted in the district of Pantai Cermin, Serdang Bedagai, with qualitative and quantitative approaches. Purposive sampling and snowball techniques are used, and obtained the number of samples is 74 “gaduhan” farmers who have kept the cattle 2 years and above. The qualitative data obtained from interviews, observation and focus group discussions (FGD), while the quantitative data obtained from questionnaires. Data were analyzed using descriptive statistics.

The results illustrate that the pattern of income distribution in partnership with the system "gaduhan" in the district. P. Cermin is 50: 50, meaning that business profits were divided 50% to famers and 50% for owners of capital; 60: 40, meaning that business profits were divided 60% to farmers and 40% for owners of capital. The factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" is the bond of kinship and personal desire / individuals from both livestock keepers and owners of capital. The results of the calculation of correlation indicates there is strong and significant relationship on the implementation of a partnership with the system "gaduhan" on the welfare of farmers. This is indicated by the correlation value of each indicator, namely: income r = 0.91; education r = 0.78; health r = 0.83 and self esteem r = 0.73

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas kasih dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul : Penerapan Pola Kemitraan dengan Sistem “Gaduhan” Terhadap Kesejahteraan Petani/Peternak di Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan bekerjasama selama penelitian dan yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini. Pihak-pihak tersebut adalah :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.sc.(CTM), Sp.A (K),

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A, selaku Ketua Program Magister Studi

(9)

4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si, selaku Sekretaris Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I penulis

5. Bapak Husni Thamrin, S.Sos., MSP, selaku Pembimbing II penulis

6. Suamiku tercinta dan Anak-anakku tersayang Winna dan Joe, yang telah

mendampingi dan memberi semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini

7. Para Rekan di Studi Pembangunan khususnya teman-teman seangkatan di

Jalur Eksekutif, yang telah memberi bantuan dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

8. Segenap civitas akademika, khusunya para dosen dan staf sekretariat Program

Magister Studi Pembangunan yang telah membantu dalam pelayanan akademik dan administrasi penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan terimaksih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini, yang telah turut membantu baik materil maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak pemangku kepentingan dan bagi dunia pendidikan.

Medan, April 2011

(10)
(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabanjahe pada tanggal 8 Nopember 1966, menikah pada tanggal 14 Juni 1996 dan telah dikarunia seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Pada saat ini penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di instansi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara, dan dipercayakan menduduki jabatan Kepala Seksi Produksi pada UPT Inseminasi Buatan sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang.

Pendidikan formal yang telah diselesaikan penulis adalah SD : SDN 020268 Binjai tahun 1980; SMP : SMPN-3 Binjai tahun 1983; SMA : SMAN-2 Binjai tahun 1986; S1 : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun 1991.

Pendidikan informal berupa kursus dan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti oleh penulis selama bekerja di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi Sumatera Utara adalah sbb:

No Nama Kursus/Pelatihan/Diklat Tempat Tahun

1. Sarlita Medan 1997

2. General English Medan 1998

(12)

4. Manajemen Proyek Medan 1999

5. Pig Husbandry Philipina 2000

6. LAKIP Jakarta 2001

7. MAP INFO Jakarta 2001

8. Laboran Jawa Timur 2003

9. Inseminator Lampung 2004

10. Sperm Quality Bogor 2004

11. Diklat PIM - V Medan 2002

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……… i

ABSTRACT…………….. ii

KATA PENGANTAR………. iii

RIWAYAT HIDUP………. v

DAFTAR ISI ………... vii

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 7

1.3. Tujuan Penelitian ……… 8

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 9

(14)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kemitraan ………. 13

2.2. Sistem Agribisnis dan Kemitraan Sapi Potong ………. 17

2.3. Peluang Pengembangan Sapi Potong ……… 21

2.4. Peranan Petani/Peternak Pada Usaha Peternakan ………. 24

2.5. Teori Kesejahteraan ……….. 30

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ……….. 35

3.2. Lokasi Penelitian ………... 36

3.3. Sampel Penelitian ……….. 36

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……… 37

3.5. Definisi Konsep ……… 38

3.6. Definisi Operasional ………. 39

3.7. Teknik Analisa Data ………. 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………. 43

(15)

4.3. Hasil Penelitian Gambaran Responden………. 51

4.4. Pola Pembagian Hasil Pada Sistem Gaduhan ……….. 59

4.5. Faktor Yang Membentuk Kemitraan ……… 62

4.6. Kesejahteraan Petani/Peternak ………. 65

4.7. Analisis ………. 74

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ……… 92

5.2. Saran ……….. 94

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Matriks Operasional Pengukuran Kuantitatif ……… 41

2. Luas Areal Pertanian menurut Jenisnya ……… 45

3. Populasi Ternak Besar dan Kecil di Kec. P. Cermin Tahun 2010 ………... 46 4. Jumlah Penduduk Menurut Usia Tahun 2005 ………... 47

5. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru di Pantai Cermin Tahun 2005 …... 48 6. Sarana Kesehatan di Pantai Cermin Tahun 2007 ……….. 49

7. Hasil Uji Validitas Setiap Butir Instrumen ……… 50

8. Gambaran Umur Responden ………. 52

(17)

10. Jumlah Kepemilikan Ternak Responden ………... 55

11. Lama Memelihara Ternak Gaduhan ……….. 56

12. Kepemilikan Aset Petani/Peternak ……… 58

13. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap

Pendapatan ……….

66

14. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap

Pendidikan ………...

67

15. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap

Kesehatan ………

68

16. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap Rasa

Bangga (self esteem) ………

69

17. Skor Rata-rata Jawaban Responden ……….. 70

18. Nilai Korelasi Variabel Kesejahteraan ……….. 72

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Alur Pikir……… 10

2. Peta Kecamatan Pantai Cermin ………. 44

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian………... 100

2. Perhitungan Validitas Instrumen ………... 109

3. Data Hasil Penelitian ………. 113

4. Notulen FGD ………. 118

(20)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembagian hasil pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan”, mengetahui faktor-faktor yang membentuk kemitraan dengan sistem “gaduhan” dan untuk mengetahui penerapan pola kemitraan tersebut terhadap kesejahteraan petani/peternak.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengambilan sampel secara purposive dan dengan teknik snowball, dan diperoleh jumlah sampel adalah 74 orang peternak gaduhan yang telah memelihara ternak 2 tahun ke atas. Data kualitatif diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan FGD, sedangkan data kuantitatif diperoleh dari penyebaran kuesioner. Data dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa pola pembagian hasil pada kemitraan dengan sistem “gaduhan” di Kecamatan. Pantai Cermin adalah 50 : 50, artinya keuntungan usaha dibagi 50 % untuk peternak pemelihara dan 50% untuk pemilik modal; 60 : 40, artinya keuntungan usaha dibagi 60% untuk peternak pemelihara dan 40% untuk pemilik modal. Faktor-faktor yang membentuk pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” adalah adanya ikatan kekeluargaan dan adanya keinginan pribadi/perorangan baik dari pemelihara ternak maupun pemilik modal. Hasil dari perhitungan korelasi menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan signifikan pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” terhadap kesejahteraan petani/peternak. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi masing-masing indikator yaitu : pendapatan r = 0,91; pendidikan r = 0,78; kesehatan r = 0,83 dan rasa bangga (self esteem) r = 0,73

(21)

ABSTRACT

This study aims to determine the distribution pattern of contribution on the implementation of a partnership with the system "gaduhan", knowing the factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" and to know the effect of the implementation of these partnerships on the welfare of farmers

. This research was conducted in the district of Pantai Cermin, Serdang Bedagai, with qualitative and quantitative approaches. Purposive sampling and snowball techniques are used, and obtained the number of samples is 74 “gaduhan” farmers who have kept the cattle 2 years and above. The qualitative data obtained from interviews, observation and focus group discussions (FGD), while the quantitative data obtained from questionnaires. Data were analyzed using descriptive statistics.

The results illustrate that the pattern of income distribution in partnership with the system "gaduhan" in the district. P. Cermin is 50: 50, meaning that business profits were divided 50% to famers and 50% for owners of capital; 60: 40, meaning that business profits were divided 60% to farmers and 40% for owners of capital. The factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" is the bond of kinship and personal desire / individuals from both livestock keepers and owners of capital. The results of the calculation of correlation indicates there is strong and significant relationship on the implementation of a partnership with the system "gaduhan" on the welfare of farmers. This is indicated by the correlation value of each indicator, namely: income r = 0.91; education r = 0.78; health r = 0.83 and self esteem r = 0.73

(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar terhadap produksi daging

nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan. Sapi potong telah

lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk

mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha

ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau

penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun

tanaman perkebunan.

Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan, namun

peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23% pada tahun 2007

(Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan

sapi potong terhadap produksi daging nasional rendah sehingga terjadi kesenjangan

yang makin lebar antara permintaan dan penawaran (Setiyono etal. 2007). Pada tahun 2006, tingkat konsumsi daging sapi diperkirakan 399.660 ton, atau setara dengan

1,70−2 juta ekor sapi potong, sementara produksi hanya 288.430 ton. Pemerintah

memproyeksikan tingkat konsumsi daging pada tahun 2010 sebesar 2,72

kg/kapita/tahun sehingga kebutuhan daging dalam negeri mencapai 654.400 ton dan

(23)

Populasi sapi potong pada tahun 2007 tercatat 11,366 juta ekor (Direktorat

Jenderal Peternakan 2007). Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju

permintaan daging sapi yang terus meningkat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah

mengimpor daging sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan. Kebijakan impor

tersebut harus dilakukan walaupun akan menguras devisa negara, karena produksi

daging sapi local belum mampu mengejar laju peningkatan permintaan di dalam

negeri, baik kuantitas maupun kualitasnya.

Di sisi lain, permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha

pengembangan sapi potong lokal sehingga upaya untuk meningkatkan

produktivitasnya perlu terus dilakukan. Untuk mencapai efisiensi usaha yang tinggi,

diperlukan pengelolaan usaha secara terintegrasi dari hulu hingga hilir serta

berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan, sehingga dapat memberikan

keuntungan yang layak secara berkelanjutan.

Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola

kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak.

Kemitraan adalah kerja sama antar pelaku agribisnis mulai dari proses praproduksi,

produksi hingga pemasaran yang dilandasi oleh azas saling membutuhkan dan

menguntungkan bagi pihak yang bermitra. Pemeliharaan sapi potong dengan pola

seperti ini diharapkan pula dapat meningkatkan produksi daging sapi nasional yang

(24)

Kabupaten Serdang Bedagai adalah kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten

Deliserdang. Sejak berpisah dari kabupaten induknya, perkembangan populasi ternak

khususnya ternak sapi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada kurun

waktu tahun 2005 sampai dengan 2009 populasi ternak sapi mengalami kenaikan

yang cukup signifikan. Pada tahun 2005 populasi ternak sapi di kabupaten Serdang

Bedagai 8.344 ekor dan berkembang hingga 34.294 ekor di tahun 2009 (sumber :

Statistik Peternakan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov.Sumatera Utara

Tahun 2009).

Di Kecamatan Pantai Cermin sendiri perkembangan populasi ternak sapi

tersebut cukup signifikan. Pada tahun 2008 populasi ternak sapi di kecamatan P.

Cermin adalah 2.743 ekor, kemudian meningkat menjadi 5.255 ekor pada tahun 2009

dan 5.388 ekor di tahun 2010 (sumber Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Serdang

Bedagai). Jika dibandingkan dengan kecamatan lain di kabupaten Serdang Bedagai

maka kecamatan P. Cermin memiliki populasi ternak sapi yang paling tinggi. Oleh

karena itu potensi ternak sapi di kecamatan ini berpotensi untuk terus dikembangkan.

(25)

dan pemilik modal. Mekanisme gaduh ini telah terbukti saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Orang yang mempunyai kehidupan ekonomi yang lebih mapan memberi bantuan modal berupa ternak atau menitipkan ternaknya kepada petani/peternak untuk dipelihara. Hasil usaha akan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemberi modal dan petani/peternak.

Biasanya tidak ada ikatan/kontrak secara tertulis tentang kerjasama usaha tersebut. Kerjasana antara penggaduh dan penerima gaduhan hanya secara lisan dan didasarkan atas saling percaya, dan biasanya penerima gaduhan adalah orang yang sudah dikenal baik oleh penggaduh ataupun yang dikenalkan oleh kerabat penggaduh.

(26)

untuk digaduhkan kepada petani lainnya; dan Seekor kambing, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun atau setelah menghasilkan seekor anak, penerima ternak bantuan harus menyerahkan induknya untuk digaduhkan kepada petani lainnya.

Didalam pelaksanaan pola kerjasama dengan sistem gaduhan ternak ini bisa saja menimbulkan permasalahan ataupun perselisihan, apalagi pola kerjasamanya hanya didasarkan pada saling percaya, tidak ada perjanjian secara tertulis. Pada sistem gaduhan pada ternak pemerintah saja, tidak jarang terjadi program berjalan tersendat-sendat. Hal tersebut dapat disebabkan dari pihak peternak maupun pemerintah sendiri. Dari pihak peternak ada anggapan karena ternak tersebut berasal dari pemerintah maka tanggung jawab untuk mengembalikan atau memenuhui kewajibannya tepat waktu tidak menjadi suatu keharusan sekali. Apalagi dari pihak pemerintah sendiri pengawasan dan monitoring terhadap keberlanjutan suatu program lemah sekali, karena tidak didukung oleh dana supervisi ataupun dana untuk sistem perguliran ternak. Akibatnya banyak ternak pemerintah yang “hilang” begitu saja tanpa memberikan arti bagi tujuan penambahan populasi ternak dan peningkatan kesejahteraan petani/peternak.

(27)

perjanjian secara tertulis, tetapi prinsip yang dijalankan adalah kepercayaan dan keterbukaan. Petani dilibatkan mulai dari pembelian ternak maupun penjualan ternak, dan dilakukan secara terbuka. Seperti contoh dalam pembelian ternak, maka yang memilih sendiri ternaknya di pasar adalah petani sendiri, pesantren tinggal membayar. Dengan cara tersebut, maka petani penggaduh akan mantap dalam memelihara ternaknya dan tidak ada akal-akalan/penipuan dalam harga beli ternak. Selain itu pesantren menyediakan tenaga pendamping yang bertanggung jawab dalam program pendampingan ke masyarakat, dimana program pendampingan tersebut meliputi bidang pendampingan kesehatan ternak, maupun ikut andil dalam membangun mentalitas dan spiritualitas masyarakat sekitar. Sehingga ada proses saling berbagi, baik terkait bidang pengetahuan kesehatan ternak lewat pelatihan-pelatihan maupun program pertemuan rutin di kelompok petani.

(28)

yaitu Coorporate Farming Bersemi, hanya bertindak sebagai pemberi modal. Tidak adanya upaya pendampingan seperti pemberian pengetahuan dan ketrampilan pada peternak,, supervisi kesehatan ternak, menyebabkan banyak petani yang tidak dapat melunasi kreditnya. Ditambah penerapan teknologi inseminasi buatan yang tidak berjalan secara optimal, sehingga produktifitas ternak yang diperkirakan meningkat tidak terpenuhi.

Menurut Sasongko dan Farida Sukmawati (2006) pada pola gaduhan ternak kambing bahwa skala usaha peternakan yang kecil yang hanya memelihara 2 – 3 ekor ternak saja tidak dapat memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan kepada petani/peternak. Oleh karenanya pendekatan penambahan jumlah ternak (skala usaha) merupakan alternative bagi keberhasilan pengembangan peternakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani/peternak.

1.2. Perumusan Masalah

(29)

dalam usaha gaduhan ini sehingga membuat kemitraan atau kerjasama tersebut dapat berkembang, langgeng, dan berkelanjutan.

Oleh karenanya penulis ingin merumuskan masalah yang akan menjadi perhatian pokok nantinya, yaitu:

1) Bagaimana pembagian hasil pada pola kemitraan dengan sistem “gaduhan”

dijalankan dimasyarakat.

2) Faktor-faktor dominan apa yang membentuk pola kemitraan/kerjasama dengan

sistem gaduhan tersebut.

3) Bagaimana hubungan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap

kesejahteraan petani/peternak.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui pola pembagian hasil pada kemitraan dengan sistem gaduhan

2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang membentuk pola kemitraan dengan sistem

gaduhan.

3) Untuk mengetahui hubungan penerapan kemitraan dengan sistem gaduhan

(30)

 

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna antara lain :

1) Bagi pemerintah sebagai pertimbangan membuat kebijakan dalam peningkatan

ekonomi kerakyatan dan peningkatan pemberdayaan masyarakat di pedesaan.

2) Bagi pelaku bisnis (pemodal) sebagai informasi usaha dibidang peternakan,

sehingga dapat menggunakan peluang yang ada dimasyarakat.

3) Bagi dunia pendidikan sebagai pembelajaran dan bahan informasi tentang pola

(31)

1.5. Kerangka Pemikiran

4) 5) 6)

Keterangan :

= Variabel = Indikator

= Dimensi

Faktor dominan  pembentuk kemitraan :  ‐ bantuan pemerintah  ‐ swasta / perusahaan  ‐ perseorangan/pribadi  ‐ yayasan  ‐ lainnya  Pedapatan  Pendidikan  Kesehatan 

Self‐Esteem  Pola pembagian hasil :  ‐ 50 : 50  ‐ 60 : 40  ‐ 70 : 30  ‐ Berupa ternak  ‐ Lainnya 

Pola

 

Kemitraan

 

dengan

 

sistem

 

“Gaduhan”

 

Kesejahteraan

 

(32)

Pola kemitraan dengan sistem gaduhan ternak sapi sudah berkembang dimasyarakat, khususnya dikalangan petani/peternak. Kemitraan antara penggaduh (pemilik modal) dengan penerima gaduhan ternak (petani/peternak) dilaksanakan sedemikian rupa dan dengan model atau bentuk yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Melalui wawancara dan penyebaran/pengisian kuesioner kepada sampel peternak, akan diperoleh faktor –faktor dominan yang membentuk pola kerjasama / kemitraan dengan sistem gaduhan ternak sapi. Apakah kerjasama terbentuk oleh karena pemerintah memberi bantuan ternak dengan pola gaduhan, atau ternak gaduhan diberikan oleh perusahaan peternakan atau yayasan atau perorangan menggaduhkan ternaknya kepada petani/peternak atau lainnya.

Demikian pula kesepakatan terhadap pembagian hasil dari usaha ternak tersebut, apakah pembagian antara penggaduh dan penerima gaduhan dibagi sama rata (50% ; 50%), atau pembagian 60% : 40%; atau 70% : 30% atau pembagian berupa anak sapi yang lahir atau dalam bentuk lainnya.

(33)
(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kemitraan

Pada dasarnya konsep kemitraan (partnership) adalah jenis entitas bisnis di

mana mitra (pemilik) saling berbagi keuntungan atau kerugian bisnis. Kemitraan sering digunakan diperusahaan untuk tujuan perpajakan, sebagai struktur kemitraan umumnya tidak dikenakan pajak atas laba sebelum didistribusikan kepada para mitra

(yaitu tidak ada pajak dividen dikenakan).. Namun, tergantung pada struktur

kemitraan dan yurisdiksi di mana ia beroperasi, pemilik kemitraan mungkin terkena

kewajiban pribadi yang lebih besar daripada mereka yang akan memegang saham

dari suatu perusahaan.

(35)

Bentuk dasar kemitraan adalah kemitraan umum , di mana semua mitra mengelola bisnis dan secara pribadi bertanggung jawab atas hutangnya. Bentuk lain

yang telah dikembangkan di sebagian besar negara adalah kemitraan terbatas (LP), di

mana mitra terbatas untuk mengelola bisnis dan dengan imbalan terbatas. Mitra

Umum mungkin memiliki kewajiban bersama atau beberapa kewajiban bersama dan

tergantung pada keadaan, tanggung jawab mitra terbatas pada investasi mereka dalam kemitraan tersebut. Mitra “diam” (silent partner) adalah mitra yang tetap berbagi dalam keuntungan dan kerugian pada usaha, tetapi tidak terlibat dalam mengelola usaha atau keterlibatan mereka dalam usaha tidak diketahui umum. Mitra ini biasanya hanya menyediakan modal.

(36)

Kemitraan usaha pertanian berdasarkan azas persamaan kedudukan, kesela peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwuji kemitraan yaitu hubungan yang :

a) saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku

dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan;

b) saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra

sama-sama memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis, sehingga akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya;

c) saling menguntungkan, yaitu baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra

memperoleh peningkatan pendapatan, dan kesinambungan usaha;

Kemitraan usaha pertanian dapat dilaksanakan dengan pola:

1) Inti-plasma

(37)

2) Sub kontak

Pola sub kontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.

3) Dagang umum

Pola dagang umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra.

4) Keagenan

Pola keagenan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d merupakan hubungan kemitraan, yang didalamnya kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra.

5) Bentuk-bentuk lain, missal Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

(38)

dan/atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian.

2.2 Sisitem Agribisnis dan Kemitraan Sapi Potong

Pada periode 2005−2008, Departemen Pertanian melaksanakan tiga program

utama pembangunan pertanian, yaitu: 1) peningkatan ketahanan pangan, 2)

pengembangan agribisnis, dan 3) peningkatan kesejahteraan petani. Program

pengembangan agribisnis diarahkan untuk memfasilitasi kegiatan yang berorientasi

agribisnis dan memperluas kegiatan ekonomi produktif petani, serta meningkatkan

efisiensi dan daya saing. Upaya peningkatan daya saing usaha ternak sapi potong

rakyat secara teknis dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas sehingga

produknya dapat dijual pada tingkat harga yang cukup murah tanpa mengurangi

keuntungan peternak (Kuswaryan et al. 2003). Perluasan kegiatan ekonomi yang berpeluang untuk dilaksanakan adalah mendorong kegiatan usaha tani terpadu yang

mencakup beberapa komoditas, seperti integrasi tanaman ternak atau

tanaman-ternak-ikan. Konsep agribisnis memandang suatu usaha pertanian termasuk peternakan

secara menyeluruh (holistik), mulai dari subsistem penyediaan sarana produksi,

produksi, pengolahan hingga pemasaran.

Menurut Syafa’at et al. (2003), konsep agribisnis atau strategi pembangunan

sistem agribisnis mempunyai ciri antara lain: 1) berbasis pada pendayagunaan

(39)

based), 2) akomodatif terhadap kualitas sumber daya manusia yang beragam dan tidak terlalu mengandalkan impor dan pinjaman luar negeri yang besar, 3)

berorientasi ekspor selain memanfaatkan pasar domestik, dan 4) bersifat multifungsi,

yaitu mampu memberikan dampak ganda yang besar dan luas. Pembangunan

pertanian dan peternakan berdasarkan konsep agribisnis perlu memperhatikan dua hal

penting; pertama, berupaya memperkuat subsistem dalam satu sistem yang

terintegrasi secara vertikal dalam satu kesatuan manajemen, dan kedua menciptakan

perusahaan-perusahaan agribisnis yang efisien pada setiap subsistem. Jika hal ini

dapat terwujud maka daya saing produk peternakan (daging, susu, dan telur) akan

meningkat, terutama dalam menghadapi pasar global.

Agribisnis sapi potong diartikan sebagai suatu kegiatan usaha yang menangani

berbagai aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang

utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan, dan penyaluran sarana produksi,

kegiatan budi daya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua pemangku

kepentingan (stakeholders), dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang

seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani peternak dan perusahaan

swasta). Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan

pembangunan sektor pertanian secara simultan dengan pembangunan sector industri

dan jasa yang terkait dalam suatu kluster industri sapi potong. Kegiatan tersebut

mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis

(40)

dan Ilham (2003), agar pengembangan sistem usaha agribisnis tersebut dapat

mengakomodasi tujuan untuk meningkatkan daya saing produk dan sekaligus

melibatkan peternak skala menengah ke bawah, ada tiga alternatif kegiatan yang

dapat dilakukan, yaitu: 1) integrasi vertikal yang dikelola secara profesional oleh

suatu perusahaan swasta, 2) integrasi vertikal yang dilakukan peternak secara

bersama-sama yang tergabung dalam wadah koperasi atau organisasi lainnya, dan 3)

kombinasi keduanya atau dikenal dengan sistem usaha kemitraan.

Kemitraan dimaksudkan sebagai upaya pengembangan usaha yang dilandasi

kerja sama antara perusahaan dan peternakan rakyat, dan pada dasarnya merupakan

kerja sama vertikal (vertical partnership). Kerja sama tersebut mengandung

pengertian bahwa kedua belah pihak harus memperoleh keuntungan dan manfaat.

Menurut Saptana et al. (2006), kemitraan adalah suatu jalinan kerja sama berbagai pelaku agribisnis, mulai dari kegiatan praproduksi, produksi hingga pemasaran.

Kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan kedudukan, saling membutuhkan, dan

saling menguntungkan serta adanya persetujuan di antara pihak yang bermitra untuk

saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat.

Sebagai contoh adalah kemitraan ayam broiler. Pada kemitraan tersebut,

perusahaan bertindak sebagai inti dan peternak sebagai plasma. Dalam proses

produksi, peternak hanya menyediakan tenaga kerja dan kandang, sedangkan pihak

perusahaan menyediakan bibit, pakan, obat-obatan, pelayanan teknik berproduksi dan

(41)

pertanian yang berkelanjutan melalui pendekatan sistem usaha agribisnis dan

kemitraan, yaitu: 1) mengoptimalkan alokasi sumber daya pada satu titik waktu dan

lintas generasi, 2) meningkatkan efisiensi dan produktivitas produk

pertanian/peternakan karena adanya keterpaduan produk berdasarkan tarikan

permintaan (demand driven), 3) meningkatkan efisiensi masing-masing subsistem

agribisnis dan harmonisasi keterkaitan antar subsistem melalui keterpaduan antar

pelaku, 4) terbangunnya kemitraan usaha agribisnis yang saling memperkuat dan

menguntungkan, dan 5) adanya kesinambungan usaha yang menjamin stabilitas dan

kontinuitas pendapatan seluruh pelaku agribisnis (Saptana dan Ashari 2007).

Penerapan konsep kemitraan antara peternak sebagai mitra dan pihak

perusahaan perlu dilakukan sebagai upaya khusus agar usaha ternak sapi potong, baik

sebagai usaha pokok maupun pendukung dapat berjalan seimbang. Upaya khusus

tersebut meliputi antara lain pembinaan finansial dan teknik serta aspek manajemen.

Pembinaan manajemen yang baik, terarah, dan konsisten terhadap peternak sapi

potong sebagai mitra akan meningkatkan kinerja usaha, yang akhirnya dapat

meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, melalui kemitraan, baik yang dilakukan

secara pasif maupun aktif akan menumbuhkan jalinan kerja sama dan membentuk

(42)

2.3. Peluang Pengembangan Sapi Potong

Memelihara sapi potong sangat menguntungkan, karena tidak hanya menghasilkan daging dan susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai tenaga kerja. Sebagai tenaga kerja sapi dapat digunakan menarik gerobak, kotoran sapi juga mempunyai nilai ekonomis, karena termasuk pupuk organic yang dibutuhkan oleh semua jenis tumbuhan. Kotoran sapi dapat menjadi sumber hara yang dapat memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih gembur dan subur. Semua organ tubuh sapi dapat dimanfaat kan antara lain:

1) Kulit, sebagai bahan industri tas, sepatu, ikat pinggang, topi, jaket.

2) Tulang, dapat diolah menjadi bahan bahan perekat/lem, tepung tulang dan barang kerajinan

3) Tanduk, digunakan sebagai bahan kerajinan seperti: sisir, hiasan dinding dan

masih banyak manfaat sapi bagi kepentingan manusia.

(43)

potong pada saat survei mengakibatkan keuntungan bersih yang diperoleh peternak hanya mencapai sekitar Rp. 166.400 per ekor selama pemeliharaan 4 bulan.

Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber

daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Saragih dalam Mersyah (2005), ada

beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu:

1) budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan

tenaga kerja yang berkualitas tinggi,

2) memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes,

3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan

yang tinggi, dan

4) dapat membuka lapangan pekerjaan. Daging sapi merupakan salah satu sumber

protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, dan sampai saat ini

Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga sebagian masih harus

diimpor. Kondisi tersebut mengisyaratkan suatu peluang untuk pengembangan

usaha budi daya ternak, terutama sapi potong.

Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama adalah

pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan usaha

pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah pengembangan sapi tidak

terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola ketiga adalah pengembangan

(44)

meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi siap

potong.

Dalam upaya pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan,

yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Pengembangan sapi potong secara

ekstensifikasi menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh

pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit, penyuluhan dan

pembinaan usaha, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan, dan

pemasaran. Menurut Isbandi (2004), penyuluhan dan pembinaan terhadap

petani-peternak dilakukan untuk mengubah cara beternak dari pola tradisional menjadi usaha

ternak komersial dengan menerapkan cara-cara zooteknik yang baik.

Zooteknik tersebut termasuk sapta usaha beternak sapi potong, yang meliputi

penggunaan bibit unggul, perkandangan yang sehat, penyediaan dan pemberian pakan

yang cukup nutrien, pengendalian terhadap penyakit, pengelolaan reproduksi,

pengelolaan pascapanen, dan pemasaran hasil yang baik. Indonesia memiliki peluang

dan potensi yang besar dalam pengembangan sapi potong. Salah satu pendukungnya

adalah peternak telah sejak lama memelihara sapi potong dan mengenal dengan baik

teknik beternak secara sederhana serta ciri masing-masing jenis sapi yang ada di

suatu lokasi.

Agar pengembangan sapi potong berkelanjutan, Winarso et al. (2005) mengemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1) perlunya perlindungan dari

(45)

kebijakan tentang tata ruang ternak serta pengawasan terhadap alih fungsi lahan

pertanian yang berfungsi sebagai penyangga budi daya ternak, 2) pengembangan

teknologi pakan terutama pada wilayah padat ternak, antara lain dengan

memanfaatkan limbah industri dan perkebunan dan 3) untuk menjaga sumber plasma

nutfah sapi potong, perlu adanya kebijakan impor bibit atau sapi bakalan agar tidak

terjadi pengurasan terhadap ternak lokal dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi

daging dalam negeri. Menurut Bahri et al.(2004), paling tidak ada tiga pemicu

timbulnya pengurasan populasi sapi lokal sebagai dampak dari tingginya permintaan

daging sapi terutama pada periode 1997−1998, serta tingginya impor daging dan

jerohan serta sapi bakalan, yaitu: 1) produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi

peningkatan permintaan, 2) permintaan meningkat, sedangkan produksi dalam negeri

menurun, dan 3) permintaan tetap sedangkan produksi dalam negeri menurun.

Hidajati dalam Syamsu et al. (2003) menyatakan, pengurasan sumber daya

ternak akan berakibat pada penurunan kualitas ternak yang ada di masyarakat, karena

ternak yang berkualitas baik tidak tersisakan untuk perbibitan. Kuswaryan et al.

(2003) mengemukakan, usaha untuk menanggulangi pengurasan sapi bibit terbentur

pada masalah kepemilikan ternak yang hanya berkisar antara 1−3 ekor sapi

dewasa/KK dengan kemampuan memelihara 2−4 unit ternak. Kebijakan impor sapi

dan daging sapi dapat menghambat laju pengurasan sapi di dalam negeri, selain

(46)

Selain itu, upaya pengembangan sapi potong perlu memperhatikan beberapa hal,

antara lain: 1) daging sapi harus dapat dikonsumsi oleh masyarakat dengan harga

yang terjangkau, 2) peternakan sapi potong di dalam negeri (peternakan rakyat)

secara finansial harus menguntungkan sehingga dapat memperbaiki kehidupan

peternak sekaligus merangsang peningkatan produksi yang berkesinambungan, dan 3)

usaha ternak sapi potong harus memberikan kontribusi yang positif terhadap

perekonomian nasional (Kuswaryan et al.2004).

Persepsi peternak terhadap sistem usaha agribisnis sapi potong dengan pola

kemitraan sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan makin berkembangnya usaha

ternak sapi potong melalui pola kemitraan yang dilakukan oleh beberapa peternak

atau pengusaha peternakan berskala besar karena pola tersebut secara ekonomis

memberikan keuntungan yang layak kepada pihak yang bermitra. Hal ini sesuai

dengan pendapat Roessali et al. (2005), bahwa usaha tani atau usaha ternak sapi

potong rakyat umumnya berskala kecil bahkan subsistem. Bila beberapa usaha kecil

ini berhimpun menjadi satu usaha berskala yang lebih besar dan dikelola secara

komersial dalam suatu sistem agribisnis maka usaha tersebut secara ekonomi akan

lebih layak dan menguntungkan.

Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola

kemitraan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan

masyarakat peternak khususnya, dan perekonomian nasional umumnya (Kuswaryan

(47)

ini yang bernilai positif, yang berarti bahwa pengembangan peternakan sapi potong

dalam negeri mampu menghasilkan surplus ekonomi.

2.4. Peranan Petani/Peternak Pada Usaha Peternakan

Dalam akselerasi pembangunan pertanian, pengetahuan petani/peternak mempunyai arti penting, karena pengetahuan petani/peternak dapat mempertinggi kemampuannya untuk mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. Jika pengetahuan petani/peternak tinggi dan petani/peternak bersikap positip terhadap suatu teknologi baru dibidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna, yang pada akhirnya akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas maupun kualitas

(48)

Menurut Hayami & Kikuchi (1981) dalam proses transformasi di Asia, khususnya di Asia Tenggara, mendapat kesimpulan bahwa perubahan-perubahan pada dimensi sosio-kultural masyarakat petani berlangsung lebih lambat dibanding perubahan dalam dimensi teknis-ekonomi masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan dimensi sosio-kultural masyarakat petani/peternak merupakan proses yang rumit dan mendasar. Kesalahan sedikit saja dalam penanganannya dapat membawa malapetaka yang amat besar bagi kelangsungan kehidupan petani-peternak. Berjangkitnya “penyakit’ involusi bisa jadi merupakan salah satu contoh klasik tentang itu. Dengan kata lain, proses transformasi peternakan dapat diwujudkan bila terjadi perubahan dan perkembangan yang serasi antara dimensi teknis-ekonomi dan dimensi sosio-kultural masyarakat peternak. Proses inovasi teknologi baru akan terjadi bila dalam batas-batas tertentu telah timbul minat dan kesadaran dari sebagian atau seluruh anggota masyarakat terhadap manfaat suatu teknologi. Oleh sebab itu strategi pembangunan peternakan yang berhasil selain diarahkan untuk memperluas cakupan penyempurnaan teknologi intensifikasi, juga yang memberi perhatian sama besar terhadap usaha untuk mengembangkan kemampuan, sikap mental, dan responsitas petani-peternak, sehingga semakin banyak pula petani-peternak yang dapat dilibatkan dan menjalani proses perubahan.

(49)

memiliki : (a) ikatan yang nyata; (b) interaksi dan interelasi sesame anggotanya ; (c) struktur dan pembagian tugas yang jelas; (d) kaidah-kaidah atau norma tertentu yang disepakati bersama; dan (d) keinginan dan tujuan yang sama. Bagi peternak, kelompok merupakan jaringan komunikasi yang mampu menggerakkan mereka untuk melakukan adopsi teknologi baru. Melalui wadah ini petani-peternak dibimbing dan diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan perekonomian dinamis (Herman Soewardi, 1985).

(50)

pendapat Dudung Abdul Adjid (dalam Satpel Bimas, 1980), bahwa di dalam kelompok tani terdapat proses transformasi, yaitu mengolah informasi baru dari PPL menjadi informasi praktis, spesifik, sesuai kondisi masyarakat setempat. Selanjutnya dinyatakan bahwa PPL sebagai penyuluh marupakan “ujung tombak” proses adopsi inovasi, mengolah dan menyampaikan informasi teknologi baru melalui pengembangan dan pembinaan kegiatan kelompok tani.

Selanjutnya menurut Soekartawi (1988) karakteristik peternak dapat dilihat dari umur, tingkat pendidikan, jumlah pemilikan ternak, pengalaman beternak, hubungan dengan individu lain, dan hubungan dengan lembaga terkait. Umur berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menerima sesuatu yang baru. Usia muda adalah saat dimana hidup penuh dinamis, kritis dan selalu ingin tahu hal-hal baru.. Seseorang yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi, begitu pula sebaliknya seseorang yang berpendidikan rendah, maka agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Inkeles (1984), bahwa hampir semua penelitian yang menyangkut modernisasi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan merupakan factor utama. Artinya, tingkat kemodernan seseorang akan meningkat dengan bertambahnya pendidikan.

(51)

terlalu skeptis terhadap perubahan baru yang berada di sekitarnya, dan bahkan

biasanya selalu berpandangan positif terhadap adanya perubahan (Soekartawi,1988).

Pengalaman beternak juga mempengaruhi persepsi mereka terhadap inovasi. Peternak yang berpengalaman akan lebih mudah diberi pengertian, artinya lebih cepat dalam menerima introduksi baru yang yang diberikan. Hubungan dengan individu lain, dan lembaga terkait, akan memberikan persepsi yang lebih baik terhadap inovasi, karena berkunjung atau berkonsultasi dengan sesama peternak, penyuluh, atau lembaga terkait akan menambah wawasan dan tingkat pengetahuannya. Wawasan dan tingkat pengetahuan yang diperoleh peternak menjadi pendorong baginya untuk mempersepsikan inovasi dengan lebih baik (Soekartawi, 1988). Berdasarkan ciri-ciri sosial ekonomi, karakteristik pengadopsi cepat ditandai oleh tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Pengadopsi cepat mempunyai tingkat mobilitas sosial yang besar. Kekayaan dan keinovatifan muncul berjalan seiring, karena keuntungan yang besar diperoleh orang yang mempersepsi-kan inovasi dengan sangat baik dan mengadopsi pertama (golongan innovator).

2.5. Teori Kesejahteraan

(52)

ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro 2004: 21). Sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut pembangunan suatu negara boleh dikatakan tidak berhasil apabila tidak dapat mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan pendapatan serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya. Untuk mengukur keberhasilan pembangunan tidak cukup hanya menggunakan tolok ukur ekonomi saja melainkan juga harus didukung oleh indikator-indikator sosial (non ekonomi), antara lain seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan akan kebutuhan perumahan .

Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok, yaitu : 1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), 2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan 3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude).

(53)

koelie menjadi mitra usaha dalam sistem triple co, yaitu co-owwnership (ikut

memiliki), codetermination (ikut menggariskan wisdom) dan co-responsibility (ikut

bertanggungjawab)

Tujuan setiap pembangunan pada dasarnya adalah untuk mensejahterakan masyarakat. Konsep kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur dari jumlah pendapatan atau materi yang diterima saja, tetapi juga peranan yang dapat diambil dalam kehidupan sosial, dan peranan ikut serta dalam mengambil keputusan dan mengembangkan ide-ide. Sebagaimana yang diungkapkan Amartya Sen (2001), bahwa konsep kemiskinan bukan karena kurangnya kebutuhan materi, tetapi karena kurangnya kesempatan (akses) atau kemampuan untuk mengambil bagian dalam kehidupan social. Hal ini sering dikaitkan dengan partisipasi dan pemberdayaan.

Sen, (2002: 8) mengatakan bahwa welfare economics merupakan suatu proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs fulfillment), kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human development). Selanjutnya Sen, A. (1992: 39-45) lebih memilih capability approach didalam menentukan standard hidup. Sen mengatakan: the freedom or ability to achieve desirable “functionings” is more importance than actual outcomes.

(54)

namun tidak semuanya dapat digunakan sebagai ukuran standar yang dapat dibandingkan antar wilayah atau antar Negara. Oleh karena itu Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan suatu ukuran standar pembangunan manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)

Indeks Pembangunan Manusia didasarkan atas empat indicator yaitu angka harapan hidup, angka melek hidup, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan hidup menggambarkan dimensi umur panjang yang mewakili bidang kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mengukur capaian pembangunan bidang pendidikan dan kemampuan daya beli yang dilihat dari besarnya rata-rata pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan (Sumodiningrat, G. 2009 : 80)

Disamping IPM, paradigma pembangunan yang saat ini harus diperhitungkan adalah keberlanjutan dari pembangunan tersebut. Perspektif pembangunan berkelanjutan menjadi penting dimana kecenderungan sumberdaya yang semakin terbatas dan semakin tereksploitasi. Dengan demikian pembangunan tidak saja dipahami sebagai pembangunan ekonomi, tetapi sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral dan spiritual.

(55)
(56)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.

Pendekatan kualitatif pada penelitian ini adalah untuk mengetahui

faktor-faktor dominan yang membentuk pola kemitraan pada pemeliharaan sapi dengan sistem gaduhan dan untuk mengetahui bagaimana pola pembagian hasil diantara kedua belah pihak yang saling bermitra.

Untuk menentukan indikator pada faktor dominan yang membentuk pola kemitraan dan pola pembagian hasil, sebelumnya dilaksanakan angket kepada petugas peternakan lapangan dari beberapa daerah di Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil angket diperoleh beberapa bentuk yang mendasari terjadinya proses gaduhan ternak, yaitu antara lain adanya bantuan pemerintah; kerjasama dengan pihak swasta/perusahaan; perseorangan/pribadi yang menanamkan modalnya; dari yayasan ( dalam upaya memberdayakan masyarakat).

(57)

Pendekatan kuantitatif adalah untuk melihat hubungan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan peternak. Indikator kesejahteraan didekati menurut indeks pembangunan manusia, yang meliputi tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan ditambah dengan tingkat self-esteem (Todaro, 2004 dan Swasono, 2004)

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian adalah di Kecamatan Pantai Cermin, kabupaten Serdang

Bedagai.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah petani/peternak yang memelihara ternak

gaduhan di tiga desa di kecamatan P. Cermin, yaitu desa Kota Pari, Ujung Rambung dan Celawan. Pemilihan desa didasarkan pada populasi ternak sapi di ketiga desa tersebut adalah yang lebih besar.

(58)

disebabkan tidak adanya data atau tidak diketahuinya jumlah petani/peternak gaduhan di ketiga desa tersebut. Dari hasil pengambilan sampel dengan cara purposive dan

bersifat snow ball tersebut diperoleh jumlah sampel penelitian sebesar 74 orang

petani/peternak .

Selain itu untuk mendapatkan informasi, digunakan informan. Informan tersebut adalah petugas inseminator yang ada di kecamatan P.Cermin dan informan yang berasal dari petani/peternak. Informan dari petani/peternak adalah yang dianggap mewakili peternak disekitarnya dan yang mempunyai wawasan lebih luas. Informan yang berasal dari petani/peternak ini sebagai peserta pada Grup Diskusi Terarah (FGD) nantinya dengan jumlah sebanyak 12 orang.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengupulan data diawali dengan pendekatan kuantitatif, yaitu dengan

(59)

Responden pada penelitian ini adalah para petani/peternak, dimana pada umumnya pendidikan mereka rendah sehingga untuk tidak menyulitkan mereka dalam memilih jawaban maka dibuat gradasi dengan skala tiga saja. Tambahan lagi gradasi yang sangat positif dan sangat negatif dianggap tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner

Pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara, observasi dan dilanjutkan dengan teknik Focus Group Discussion (FGD) atau Grup Diskusi Terarah, panduan wawancara, observasi dan FGD dapat dilihat pada lampiran 1. Dari hasil pendekatan kualitatif ini akan diperoleh faktor-faktor dominan yang membentuk kemitraan dengan sistem ”gaduhan” dan pola pembagian hasil antara pemodal dan peternak. Selain itu dari hasil observasi diperoleh gambaran tentang kondisi fisik perumahan dan sistem perkandangan ternak.

3.5. Definisi Konsep

1) Pola kemitraan dengan sistem ”gaduhan” adalah bentuk kerjasama dibidang

usaha ternak sapi, dimana pemilik modal memberikan modal berupa ternak sapi kepada petani/peternak untuk dipelihara.

2) Petani/peternak adalah orang yang memelihara ternak sapi baik dia

(60)

3) Pola pembagian hasil adalah proporsi pembagian keuntungan hasil usaha ternak gaduhan antara pemilik modal dengan petani/peternak sebagai pemelihara.

4) Faktor dominan yang membentuk kemitraan/kerjasama adalah faktor yang

mendasari terjadinya kemitraan/kerjasama antara pemilik modal dan petani/peternak.

5) Kesejahteraan petani/peternak adalah keadaan yang menunjukkan adanya

perbaikan dan kemajuan dibidang pendapatan, pendidikan, kesehatan dan rasa bangga (self esteem).

3.6. Definisi Operasional

Untuk memperjelas arti serta untuk mempermudah analisis dipaparkan definisi operasional variabel yang digunakan sebagai berikut :

1) Pola pembagian hasil pada pemeliharaan ternak dengan sistem ”gaduhan”.

Variabel ini meliputi bagaimana pola pembagian hasil yang diterima oleh peternak dan pemilik modal. Pembagian hasil antara peternak dan pemilik modal mungkin dengan perbandingan 50% : 50%; atau 60% : 40%; atau 70% : 30%; atau pembagian dalam bentuk anak sapi (ternak) jika induk sudah beranak ataupun dalam bentuk lainnya.

2) Faktor-faktor dominan yang membentuk pola kemitraan pada pemeliharaan

(61)

Variabel ini meliputi faktor apa yang mendasari terbentuknya kemitraan dengan sistem gaduhan tersebut. Faktor-faktor tersebut mungkin adalah karena adanya bantuan pemerintah; atau kerjasama dengan pihak swasta/perusahaan; atau perseorangan/pribadi yang menanamkan modalnya; atau suatu yayasan dalam upaya memberdayakan masyarakat; atau lainnya.

3) Kesejahteraan petani/peternak; kesejahteraan petani/peternak didekati

menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu meliputi:

a. Pendapatan;

Untuk mengukur indikator pendapatan diukur melalui persepsi petani/peternak terhadap antara lain : pola konsumsi, tersedianya tabungan, kepemilikan aset (barang elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah). Pengukuran indikator pendapatan ini merupakan bagian dari variabel-variabel indikator kesejahteraan menurut CBSM (Community Based Monitoring System) atau Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masayarakat (Lembaga Penelitian SMERU, 2005).

b. Pendidikan;

Indikator ini diukur melalui persepsi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani/peternak, tingkat pendidikan anggota keluarga.

c. Kesehatan;

(62)

(mandi-cuci-kakus), kebersihan lingkungan termasuk sistem perkandangan dan penanganan kotoran ternak

d. Rasa Bangga (Self-Esteem)

[image:62.612.125.518.317.673.2]

Indikator ini diukur melalui persepsi terhadap ”rasa bangga”; kenaikan pemilikan (entitlement) petani/peternak karena memelihara ternak gaduhan.

Tabel 1. Matriks Operasional Pengukuran Kuantitatif Variabel Penelitian Indikator Instrumen/Alat ukur

Kesejahteraan Petani/Peternak

Pendapatan - Pola konsumsi

- Kepemilikan asset (barang

elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah)

- Tabungan

Pendidikan - Pengetahuan dan ketrampilan

petani/peternak

- Tingkat pendidikan anggota

keluarga

Kesehatan - Penggunaan layanan medis

ketika sakit

- fasilitas MCK

- kebersihan lingkungan

(penanganan kotoran ternak)

Self-Esteem - Rasa bangga

- Kenaikan pemilikan

(63)

3.7. Teknik Analisa Data

Untuk menganalisa data kuantitatif maka digunakan analisis statistik deskriptif dengan melakukan tabulasi secara tunggal, yang kemudian dituangkan dalam bentuk tabel frekwensi, persentase maupun diagram. Untuk melihat hubungan penerapan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan petani/peternak digunakan analisa korelasi Product Pearson Moment, dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007.

Analisis data kualitatif mengikuti model Miles dan Huberman (1984), yaitu proses data direduksi kemudian penyajian data (data display) dan selanjutnya diverifikasi untuk ditarik kesimpulan (conclusion/drawing/verification).

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Pantai Cermin merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di kabupaten Serdang Bedagai. Secara geografis Pantai Cermin terletak pada posisi 2° 57” Lintang Utara, 3° 16” Lintang Selatan, 98° 33” Bujur Timur dan 99° 27” Bujur Barat. Ketinggian P. Cermin berkisar 0 – 3 m dari permukaan laut dengan luas

(64)

Kecamatan Pantai Cermin terletak pada daerah pesisir pantai timur Sumatera, beriklim tropis dengan kelembaban udara 84%. Curah hujan berkisar 30 sampai dengan 340 mm perbulan, dengan periodik tertinggi pada bulan September dan Oktober, ketinggian dari permukaan laut 0-3 m, rata-rata kecepatan udara berkisar 1,10 m/s dengan tingkat penguapan 3,47 mm/hari, temperatur udara perbulan minimum 24 C dan maksimal 34 C. Adapun batas wilayah dari kecamatan Pantai Cermin adalah:

Sebelah Utara : Selat Malaka

Sebelah Selatan : Perbaungan

Sebelah Barat : Sei Ular/kabupaten Deli Serdang

Sebelah Timur : Perbaungan

(65)
[image:65.612.121.526.523.692.2]

Gambar 2. Peta Kecamatan Pantai Cermin

Potensi wilayah Pantai Cermin antara lain sebagai daerah wisata ; Saat ini Kecamatan Pantai Cermin telah memiliki 5 lokasi pantai yaitu Pantai Mutiara 88, Pantai Gudang Garam, Pantai Pondok Permai, Pantai Cermin Theme Park dan Pantai Kuala Putri. Selain itu Pantai cermin berpotensi dalam pengembangan perikanan dan kealutan. Dengan garis pantai sepanjang 21 KM, maka Pantai Cermin memiliki potensi sumberdaya laut dan hasil laut. Walaupun berpotensi pada kedua sektor tersebut di atas, Pantai Cermin juga merupakan lumbung beras untuk Kabupaten Serdang Bedagai. Luas lahan pertanian di Kecamatan Pantai Cermin 3.338 Ha yang berada di 12 desa dengan luas cakupan sebagaimana tercantum dalam tabel 2.

Tabel 2. Luas Areal Pertanian menurut Jenisnya

No Desa Irigasi Irigasi Sederhana Tadah Pompa Jlh

Teknis ½ Teknis PU Desa Hujan

1. U.Rambung - 160 - - - 100 260

2. Celawan - 200 - 110 50 50 410

3. Kota Pari - - - 344 50 - 394

(66)

5. P.C.Kiri - 125 - 50 - - 175

6. Kuala lama - 178 - - 47 - 255

7. Sementara - 325 - - - - 325

8. B. II Terjun - 165 - 50 60 100 325

9. P. Kasih - 100 - - - - 100

10. A.Payung - 219 - 40 40 - 299

11. L.Saban - 184 100 50 50 20 404

12. N.Kisar - 310 - - - 20 330

Jumlah - 1.966 100 644 328 290 3.328

Sumber : www.serdangbedagaikab.go.id

    Luas areal pertanian cukup luas, meliputi 43,20 % dari luas seluruh

Kecamatan Pantai Cermin. Jenis tanaman pertanian antara lain tanaman padi, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai dan jagung. Adanya potensi tanaman pangan ini memberikan peluang untuk pengembangan peternakan, yaitu pengembangan peternakan terintegrasi dengan tanaman pangan. Hal ini dimungkinkan karena tersedianya potensi makanan untuk ternak yang cukup dari limbah pertanian, dan sebaliknya potensi pupuk dari kotoran ternak untuk tanaman pangan.

(67)
[image:67.612.123.528.218.646.2]

ternak di Kecamatan P. Cermin dapat dilihat sebagaimana tercantum pada tabel 3. di bawah ini.

Tabel 3. Populasi Ternak Besar dan Kecil di Kec. Pantai Cermin Tahun 2010

No Desa Sapi

Perah

Sapi

Potong

Kerbau Kambing Domba Babi

1. P.Cermin Kanan 17 159 0 385 106 749

2. P.Cermin Kiri 0 155 11 358 171 0

3. Kota Pari 43 2.237 64 496 489 2.122

4. Celawan 0 675 6 396 420 952

5. Besar II Terjun 0 310 13 178 160 719

6. Sementara 0 139 9 257 188 0

7. Kuala Lama 0 177 11 185 143 782

8. Ara Payung 0 294 13 393 164 576

9. Lubuk Saban 0 132 35 293 181 0

10. Naga Kisar 0 249 16 169 195 1.386

11. Pematang Kasih 0 188 0 278 159 616

12. Ujung rambung 0 673 14 110 193 1.427

Jumlah 60 5.388 192 3.498 2.569 9.329

(68)

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa populasi ternak sapi potong sebahagian besar berada di desa Kota Pari (41,52%), diikuti Desa Celawan (12,52% dan Desa Ujung Rambung (12,49%). Oleh karenanya pengambilan sampel pada penelitian ini di ambil dari ketiga desa tersebut.

Jumlah penduduk dapat memberikan gambaran akan potensi tenaga kerja di suatu wilayah, khususnya jumlah penduduk usia produktif. Jika usia produktif tinggi maka potensi sumberdaya yang dapat dijadikan modal penggerak pembangunan semakin besar pula.

Berdasarkan data Serdang Bedagai Dalam Angka Tahun 2005, populasi penduduk di Kecamatan Pantai Cermin adalah 40.267 orang. Pada tabel 4. menunjukkan jumlah penduduk Kecamatan Pantai Cermin menurut usia.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Usia Tahun 2005

No Nama Desa Jumlah Penduduk Menurut Usia

0-5 6-12 13-16 17-59 >60 Jumlah

Jlh KK

(69)

6. B. II Terjun 653 745 857 887 692 3.877 783 7. Sementara 289 329 545 605 214 1.952 405 8. Kuala Lama 612 712 821 970 650 3.245 756 9. Ara Payung 350 450 463 514 471 1.299 274 10. P.Kasih 193 207 352 329 218 2.248 468 11. Lubuk Saban 396 372 644 675 348 2.474 545 12. Naga Kisar 575 624 796 991 452 3.418 751

Jumlah 6.312 7.180 9.530 10.915 6.136 40.267 8.376

Sumber : BPS Kab. Serdang Bedagai

Tingkat pendidikan adalah salah satu ukuran untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebagai komponen pada ukuran Indeks Pembangunan Manusia, pendidikan adalah faktor penting dan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dimiliki agar mampu meningkatkan potensinya. Kualitas pendidikan selain dipengaruhi oleh sistem pendidikan dan kurikulum yang ada, juga oleh sarana- dan prasarana yang tersedia, seperti gedung sekolah dan jumlah guru.

[image:69.612.124.524.102.331.2]
(70)
[image:70.612.128.520.148.417.2]

Tabel. 5. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru di Pantai Cermin Tahun 2005

No Jenis Jumlah Sekolah Jumlah Murid Jumlah Guru Sekolah

Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta

1. SD 24 3 5.705 199 -

-2. SLTP 2 2 740 151 66 25

3. SMU - 1 - 76 - 10

4. MTS 3 133 31

Jumlah 29 6 6.578 426 97 35

Sumber : Dinas Pendidikan Nasional Kab. Serdang Bedagai

Rasio guru terhadap murid dapat menggambarkan mutu pendidikan. Dari tabel 5 dapat pula dilihat bahwa rasio guru terhadap murid masih sangat rendah yaitu 1,88%, artinya jumlah guru dibandingkan dengan jumlah murid yang harus diajar sangat kurang (tidak seimbang). Rasio guru terhadap murid idealnya adalah 20%.

(71)

kesejahteraannya. Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai sangat membantu dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sarana kesehatan di Kecamatan Pantai Cermin sebagaimana dicantumkan pada tabel 6. di bawah ini.

Tabel 6. Sarana Kesehatan di Pantai Cermin Tahun 2007

No. Sarana Jumlah

1. Puskesmas 1

2. Puskesmas Pembantu 6

3. Balai Pengobatan Swasta 13

4. Praktek Dokter umum 4

5. Depot Obat 3

6. Dokter Umum 2

7. Dokter Gigi 3

8. Perawat 15

9. Bidan 12

Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Serdang Bedagai

(72)

Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan pada instrumen penelitian kesejahteraan petani/peternak. Uji validitas dan reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah setiap instrumen yang digunakan pada kuesioner dapat digunakan untuk mengukur penerapan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan petani/peternak. Pada pengujian instrumen, responden yang digunakan berjumlah 30 orang dan jumlah butir instrumen yang diuji 11 butir (perhitungan lihat lampiran).

Dari hasil pengujian validitas terhadap setiap butir pertanyaan dalam kuesioner dengan menggunakan korelasi Pearson Moment, diperoleh sebagaimana tercantum dalam tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Hasil Uji Validitas Setiap Butir Instrumen

No.Butir

Instrumen

Koefisien Korelasi

(r hitung)

r kritis Keputusan

1 0,47 0,3 Valid

2 0,57 0,3 Valid 

3 0,56 0,3 Valid 

4 0,81 0,3 Valid 

5 0,51 0,3 Valid 

6 0,72 0,3 Valid 

[image:72.612.130.432.447.685.2]
(73)

8 0,79 0,3 Valid 

9 0,73 0,3 Valid 

10 0,33 0,3 Valid 

11 0,77 0,3 Valid 

Sumber : Hasil Analisis (Lihat Lampiran)

Dari hasil perhitungan ditemukan bahwa r hitung setiap butir instrumen lebih besar daripada 0,3 (r kritis), dengan demikian setiap butir instrumen dinyatakan valid.

Pengujian reliabilitas terhadap instrumen dilakukan dengan internal

consistency dengan teknik belah dua (split half) yang dianalisis dengan rumus Spearman Brown. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai reliabilitas adalah 0,81 (perhitungan lihat lampiran). Oleh karena setiap butir pertanyaan (instrumen) pada kuesioner adalah valid dan reliabel maka instrumen tersebut dapat digunakan untuk pengumpulan data pengaruh gaduhan ternak terhadap kesejahteraan petani/peternak.

4.3. Hasil Penelitian Gambaran Responden

(74)

Berdasarkan data yang diperoleh umur responden terentang mulai umur 21 tahun sampai dengan 60 tahun. Gambaran umur respond

Gambar

Tabel  1.  Matriks Operasional Pengukuran Kuantitatif
Gambar 2.  Peta Kecamatan Pantai Cermin
Tabel 3.  Populasi Ternak Besar dan Kecil di Kec. Pantai Cermin Tahun 2010
tabel 5 yaitu perbandingan antara jumlah penduduk usia sekolah (6 – 16 tahun) dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain dari pada itu Strategi belajar OUT DOOR juga memperkenalkan alam secara natural dan sangat banyak menfaat yang dirasakan peserta didik, kemudian dengan

Sumber keuangan dari luar ( baik berupa hibah atau pinjaman ) dapat memainkan peranan yang penting dalam usaha melengkapi kekurangan sumber daya guna membantu pelaksanaan

Hasil penelitian yang telah dilakukan penunjukkan bahwa kualitas air selama penelitian tergolong dalam kisaran yang layak untuk penetasan telur, pemeliharaan larva ikan lele

Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang lainnya, budaya dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan demikian

bergantung dari kapan member melihat schedule tersebut. Selain itu, member juga dapat melihat jadwal untuk hari-hari ke depan bahkan untuk bulan-bulan ke depan. Tampilan dari

Aset keuangan (atau mana yang lebih tepat, bagian dari aset keuangan atau bagian dari kelompok aset keuangan serupa) dihentikan penggunaanya pada saat; (1) hak untuk menerima arus

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh kesimpulan bahwa ubikayu varietas UJ 5/Kasetsart memiliki kandungan pati, rendemen, dan keuntungan

Program st udi adalah k esat uan rencana belaj ar sebagai pedom an penyelenggaraan pendidikan akadem ik dan/ at au profesional yang diselenggarakan at as dasar suat u