PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM
“GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN
PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN PANTAI CERMIN
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Oleh
LINA SIMATUPANG
097024036/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM
“GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN
PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN PANTAI CERMIN
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Oleh
LINA SIMATUPANG
097024036/SP
PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM “GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Nama Mahasiswa : Lina Simatupang Nomor Pokok : 097024036
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si) (Husni Thamrin, S.Sos., MSP)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)
Telah diuji pada Tanggal 13 April 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si Anggota : 1. Husni Thamrin, S.Sos., MSP
PERNYATAAN
PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM “GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN
PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, April 2011
Penulis,ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembagian hasil pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan”, mengetahui faktor-faktor yang membentuk kemitraan dengan sistem “gaduhan” dan untuk mengetahui penerapan pola kemitraan tersebut terhadap kesejahteraan petani/peternak.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengambilan sampel secara purposive dan dengan teknik snowball, dan diperoleh jumlah sampel adalah 74 orang peternak gaduhan yang telah memelihara ternak 2 tahun ke atas. Data kualitatif diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan FGD, sedangkan data kuantitatif diperoleh dari penyebaran kuesioner. Data dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa pola pembagian hasil pada kemitraan dengan sistem “gaduhan” di Kecamatan. Pantai Cermin adalah 50 : 50, artinya keuntungan usaha dibagi 50 % untuk peternak pemelihara dan 50% untuk pemilik modal; 60 : 40, artinya keuntungan usaha dibagi 60% untuk peternak pemelihara dan 40% untuk pemilik modal. Faktor-faktor yang membentuk pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” adalah adanya ikatan kekeluargaan dan adanya keinginan pribadi/perorangan baik dari pemelihara ternak maupun pemilik modal. Hasil dari perhitungan korelasi menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan signifikan pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” terhadap kesejahteraan petani/peternak. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi masing-masing indikator yaitu : pendapatan r = 0,91; pendidikan r = 0,78; kesehatan r = 0,83 dan rasa bangga (self esteem) r = 0,73
ABSTRACT
This study aims to determine the distribution pattern of contribution on the implementation of a partnership with the system "gaduhan", knowing the factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" and to know the effect of the implementation of these partnerships on the welfare of farmers
. This research was conducted in the district of Pantai Cermin, Serdang Bedagai, with qualitative and quantitative approaches. Purposive sampling and snowball techniques are used, and obtained the number of samples is 74 “gaduhan” farmers who have kept the cattle 2 years and above. The qualitative data obtained from interviews, observation and focus group discussions (FGD), while the quantitative data obtained from questionnaires. Data were analyzed using descriptive statistics.
The results illustrate that the pattern of income distribution in partnership with the system "gaduhan" in the district. P. Cermin is 50: 50, meaning that business profits were divided 50% to famers and 50% for owners of capital; 60: 40, meaning that business profits were divided 60% to farmers and 40% for owners of capital. The factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" is the bond of kinship and personal desire / individuals from both livestock keepers and owners of capital. The results of the calculation of correlation indicates there is strong and significant relationship on the implementation of a partnership with the system "gaduhan" on the welfare of farmers. This is indicated by the correlation value of each indicator, namely: income r = 0.91; education r = 0.78; health r = 0.83 and self esteem r = 0.73
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas kasih dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul : Penerapan Pola Kemitraan dengan Sistem “Gaduhan” Terhadap Kesejahteraan Petani/Peternak di Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan bekerjasama selama penelitian dan yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini. Pihak-pihak tersebut adalah :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.sc.(CTM), Sp.A (K),
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A, selaku Ketua Program Magister Studi
4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si, selaku Sekretaris Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I penulis
5. Bapak Husni Thamrin, S.Sos., MSP, selaku Pembimbing II penulis
6. Suamiku tercinta dan Anak-anakku tersayang Winna dan Joe, yang telah
mendampingi dan memberi semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini
7. Para Rekan di Studi Pembangunan khususnya teman-teman seangkatan di
Jalur Eksekutif, yang telah memberi bantuan dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini
8. Segenap civitas akademika, khusunya para dosen dan staf sekretariat Program
Magister Studi Pembangunan yang telah membantu dalam pelayanan akademik dan administrasi penulis.
Akhir kata penulis mengucapkan terimaksih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini, yang telah turut membantu baik materil maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak pemangku kepentingan dan bagi dunia pendidikan.
Medan, April 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabanjahe pada tanggal 8 Nopember 1966, menikah pada tanggal 14 Juni 1996 dan telah dikarunia seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Pada saat ini penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di instansi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara, dan dipercayakan menduduki jabatan Kepala Seksi Produksi pada UPT Inseminasi Buatan sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang.
Pendidikan formal yang telah diselesaikan penulis adalah SD : SDN 020268 Binjai tahun 1980; SMP : SMPN-3 Binjai tahun 1983; SMA : SMAN-2 Binjai tahun 1986; S1 : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun 1991.
Pendidikan informal berupa kursus dan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti oleh penulis selama bekerja di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi Sumatera Utara adalah sbb:
No Nama Kursus/Pelatihan/Diklat Tempat Tahun
1. Sarlita Medan 1997
2. General English Medan 1998
4. Manajemen Proyek Medan 1999
5. Pig Husbandry Philipina 2000
6. LAKIP Jakarta 2001
7. MAP INFO Jakarta 2001
8. Laboran Jawa Timur 2003
9. Inseminator Lampung 2004
10. Sperm Quality Bogor 2004
11. Diklat PIM - V Medan 2002
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK……… i
ABSTRACT…………….. ii
KATA PENGANTAR………. iii
RIWAYAT HIDUP………. v
DAFTAR ISI ………... vii
DAFTAR TABEL ……….. ix
DAFTAR GAMBAR ……….. xi
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………. 1
1.2. Perumusan Masalah ……… 7
1.3. Tujuan Penelitian ……… 8
1.4. Manfaat Penelitian ……….. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Kemitraan ………. 13
2.2. Sistem Agribisnis dan Kemitraan Sapi Potong ………. 17
2.3. Peluang Pengembangan Sapi Potong ……… 21
2.4. Peranan Petani/Peternak Pada Usaha Peternakan ………. 24
2.5. Teori Kesejahteraan ……….. 30
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ……….. 35
3.2. Lokasi Penelitian ………... 36
3.3. Sampel Penelitian ……….. 36
3.4. Teknik Pengumpulan Data ……… 37
3.5. Definisi Konsep ……… 38
3.6. Definisi Operasional ………. 39
3.7. Teknik Analisa Data ………. 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………. 43
4.3. Hasil Penelitian Gambaran Responden………. 51
4.4. Pola Pembagian Hasil Pada Sistem Gaduhan ……….. 59
4.5. Faktor Yang Membentuk Kemitraan ……… 62
4.6. Kesejahteraan Petani/Peternak ………. 65
4.7. Analisis ………. 74
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ……… 92
5.2. Saran ……….. 94
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Matriks Operasional Pengukuran Kuantitatif ……… 41
2. Luas Areal Pertanian menurut Jenisnya ……… 45
3. Populasi Ternak Besar dan Kecil di Kec. P. Cermin Tahun 2010 ………... 46 4. Jumlah Penduduk Menurut Usia Tahun 2005 ………... 47
5. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru di Pantai Cermin Tahun 2005 …... 48 6. Sarana Kesehatan di Pantai Cermin Tahun 2007 ……….. 49
7. Hasil Uji Validitas Setiap Butir Instrumen ……… 50
8. Gambaran Umur Responden ………. 52
10. Jumlah Kepemilikan Ternak Responden ………... 55
11. Lama Memelihara Ternak Gaduhan ……….. 56
12. Kepemilikan Aset Petani/Peternak ……… 58
13. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap
Pendapatan ……….
66
14. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap
Pendidikan ………...
67
15. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap
Kesehatan ………
68
16. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap Rasa
Bangga (self esteem) ………
69
17. Skor Rata-rata Jawaban Responden ……….. 70
18. Nilai Korelasi Variabel Kesejahteraan ……….. 72
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Alur Pikir……… 10
2. Peta Kecamatan Pantai Cermin ………. 44
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian………... 100
2. Perhitungan Validitas Instrumen ………... 109
3. Data Hasil Penelitian ………. 113
4. Notulen FGD ………. 118
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembagian hasil pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan”, mengetahui faktor-faktor yang membentuk kemitraan dengan sistem “gaduhan” dan untuk mengetahui penerapan pola kemitraan tersebut terhadap kesejahteraan petani/peternak.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengambilan sampel secara purposive dan dengan teknik snowball, dan diperoleh jumlah sampel adalah 74 orang peternak gaduhan yang telah memelihara ternak 2 tahun ke atas. Data kualitatif diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan FGD, sedangkan data kuantitatif diperoleh dari penyebaran kuesioner. Data dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa pola pembagian hasil pada kemitraan dengan sistem “gaduhan” di Kecamatan. Pantai Cermin adalah 50 : 50, artinya keuntungan usaha dibagi 50 % untuk peternak pemelihara dan 50% untuk pemilik modal; 60 : 40, artinya keuntungan usaha dibagi 60% untuk peternak pemelihara dan 40% untuk pemilik modal. Faktor-faktor yang membentuk pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” adalah adanya ikatan kekeluargaan dan adanya keinginan pribadi/perorangan baik dari pemelihara ternak maupun pemilik modal. Hasil dari perhitungan korelasi menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan signifikan pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” terhadap kesejahteraan petani/peternak. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi masing-masing indikator yaitu : pendapatan r = 0,91; pendidikan r = 0,78; kesehatan r = 0,83 dan rasa bangga (self esteem) r = 0,73
ABSTRACT
This study aims to determine the distribution pattern of contribution on the implementation of a partnership with the system "gaduhan", knowing the factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" and to know the effect of the implementation of these partnerships on the welfare of farmers
. This research was conducted in the district of Pantai Cermin, Serdang Bedagai, with qualitative and quantitative approaches. Purposive sampling and snowball techniques are used, and obtained the number of samples is 74 “gaduhan” farmers who have kept the cattle 2 years and above. The qualitative data obtained from interviews, observation and focus group discussions (FGD), while the quantitative data obtained from questionnaires. Data were analyzed using descriptive statistics.
The results illustrate that the pattern of income distribution in partnership with the system "gaduhan" in the district. P. Cermin is 50: 50, meaning that business profits were divided 50% to famers and 50% for owners of capital; 60: 40, meaning that business profits were divided 60% to farmers and 40% for owners of capital. The factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" is the bond of kinship and personal desire / individuals from both livestock keepers and owners of capital. The results of the calculation of correlation indicates there is strong and significant relationship on the implementation of a partnership with the system "gaduhan" on the welfare of farmers. This is indicated by the correlation value of each indicator, namely: income r = 0.91; education r = 0.78; health r = 0.83 and self esteem r = 0.73
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar terhadap produksi daging
nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan. Sapi potong telah
lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk
mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha
ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau
penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun
tanaman perkebunan.
Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan, namun
peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.
Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23% pada tahun 2007
(Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan
sapi potong terhadap produksi daging nasional rendah sehingga terjadi kesenjangan
yang makin lebar antara permintaan dan penawaran (Setiyono etal. 2007). Pada tahun 2006, tingkat konsumsi daging sapi diperkirakan 399.660 ton, atau setara dengan
1,70−2 juta ekor sapi potong, sementara produksi hanya 288.430 ton. Pemerintah
memproyeksikan tingkat konsumsi daging pada tahun 2010 sebesar 2,72
kg/kapita/tahun sehingga kebutuhan daging dalam negeri mencapai 654.400 ton dan
Populasi sapi potong pada tahun 2007 tercatat 11,366 juta ekor (Direktorat
Jenderal Peternakan 2007). Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju
permintaan daging sapi yang terus meningkat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah
mengimpor daging sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan. Kebijakan impor
tersebut harus dilakukan walaupun akan menguras devisa negara, karena produksi
daging sapi local belum mampu mengejar laju peningkatan permintaan di dalam
negeri, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Di sisi lain, permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha
pengembangan sapi potong lokal sehingga upaya untuk meningkatkan
produktivitasnya perlu terus dilakukan. Untuk mencapai efisiensi usaha yang tinggi,
diperlukan pengelolaan usaha secara terintegrasi dari hulu hingga hilir serta
berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan, sehingga dapat memberikan
keuntungan yang layak secara berkelanjutan.
Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola
kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak.
Kemitraan adalah kerja sama antar pelaku agribisnis mulai dari proses praproduksi,
produksi hingga pemasaran yang dilandasi oleh azas saling membutuhkan dan
menguntungkan bagi pihak yang bermitra. Pemeliharaan sapi potong dengan pola
seperti ini diharapkan pula dapat meningkatkan produksi daging sapi nasional yang
Kabupaten Serdang Bedagai adalah kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten
Deliserdang. Sejak berpisah dari kabupaten induknya, perkembangan populasi ternak
khususnya ternak sapi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada kurun
waktu tahun 2005 sampai dengan 2009 populasi ternak sapi mengalami kenaikan
yang cukup signifikan. Pada tahun 2005 populasi ternak sapi di kabupaten Serdang
Bedagai 8.344 ekor dan berkembang hingga 34.294 ekor di tahun 2009 (sumber :
Statistik Peternakan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov.Sumatera Utara
Tahun 2009).
Di Kecamatan Pantai Cermin sendiri perkembangan populasi ternak sapi
tersebut cukup signifikan. Pada tahun 2008 populasi ternak sapi di kecamatan P.
Cermin adalah 2.743 ekor, kemudian meningkat menjadi 5.255 ekor pada tahun 2009
dan 5.388 ekor di tahun 2010 (sumber Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Serdang
Bedagai). Jika dibandingkan dengan kecamatan lain di kabupaten Serdang Bedagai
maka kecamatan P. Cermin memiliki populasi ternak sapi yang paling tinggi. Oleh
karena itu potensi ternak sapi di kecamatan ini berpotensi untuk terus dikembangkan.
dan pemilik modal. Mekanisme gaduh ini telah terbukti saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Orang yang mempunyai kehidupan ekonomi yang lebih mapan memberi bantuan modal berupa ternak atau menitipkan ternaknya kepada petani/peternak untuk dipelihara. Hasil usaha akan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemberi modal dan petani/peternak.
Biasanya tidak ada ikatan/kontrak secara tertulis tentang kerjasama usaha tersebut. Kerjasana antara penggaduh dan penerima gaduhan hanya secara lisan dan didasarkan atas saling percaya, dan biasanya penerima gaduhan adalah orang yang sudah dikenal baik oleh penggaduh ataupun yang dikenalkan oleh kerabat penggaduh.
untuk digaduhkan kepada petani lainnya; dan Seekor kambing, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun atau setelah menghasilkan seekor anak, penerima ternak bantuan harus menyerahkan induknya untuk digaduhkan kepada petani lainnya.
Didalam pelaksanaan pola kerjasama dengan sistem gaduhan ternak ini bisa saja menimbulkan permasalahan ataupun perselisihan, apalagi pola kerjasamanya hanya didasarkan pada saling percaya, tidak ada perjanjian secara tertulis. Pada sistem gaduhan pada ternak pemerintah saja, tidak jarang terjadi program berjalan tersendat-sendat. Hal tersebut dapat disebabkan dari pihak peternak maupun pemerintah sendiri. Dari pihak peternak ada anggapan karena ternak tersebut berasal dari pemerintah maka tanggung jawab untuk mengembalikan atau memenuhui kewajibannya tepat waktu tidak menjadi suatu keharusan sekali. Apalagi dari pihak pemerintah sendiri pengawasan dan monitoring terhadap keberlanjutan suatu program lemah sekali, karena tidak didukung oleh dana supervisi ataupun dana untuk sistem perguliran ternak. Akibatnya banyak ternak pemerintah yang “hilang” begitu saja tanpa memberikan arti bagi tujuan penambahan populasi ternak dan peningkatan kesejahteraan petani/peternak.
perjanjian secara tertulis, tetapi prinsip yang dijalankan adalah kepercayaan dan keterbukaan. Petani dilibatkan mulai dari pembelian ternak maupun penjualan ternak, dan dilakukan secara terbuka. Seperti contoh dalam pembelian ternak, maka yang memilih sendiri ternaknya di pasar adalah petani sendiri, pesantren tinggal membayar. Dengan cara tersebut, maka petani penggaduh akan mantap dalam memelihara ternaknya dan tidak ada akal-akalan/penipuan dalam harga beli ternak. Selain itu pesantren menyediakan tenaga pendamping yang bertanggung jawab dalam program pendampingan ke masyarakat, dimana program pendampingan tersebut meliputi bidang pendampingan kesehatan ternak, maupun ikut andil dalam membangun mentalitas dan spiritualitas masyarakat sekitar. Sehingga ada proses saling berbagi, baik terkait bidang pengetahuan kesehatan ternak lewat pelatihan-pelatihan maupun program pertemuan rutin di kelompok petani.
yaitu Coorporate Farming Bersemi, hanya bertindak sebagai pemberi modal. Tidak adanya upaya pendampingan seperti pemberian pengetahuan dan ketrampilan pada peternak,, supervisi kesehatan ternak, menyebabkan banyak petani yang tidak dapat melunasi kreditnya. Ditambah penerapan teknologi inseminasi buatan yang tidak berjalan secara optimal, sehingga produktifitas ternak yang diperkirakan meningkat tidak terpenuhi.
Menurut Sasongko dan Farida Sukmawati (2006) pada pola gaduhan ternak kambing bahwa skala usaha peternakan yang kecil yang hanya memelihara 2 – 3 ekor ternak saja tidak dapat memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan kepada petani/peternak. Oleh karenanya pendekatan penambahan jumlah ternak (skala usaha) merupakan alternative bagi keberhasilan pengembangan peternakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani/peternak.
1.2. Perumusan Masalah
dalam usaha gaduhan ini sehingga membuat kemitraan atau kerjasama tersebut dapat berkembang, langgeng, dan berkelanjutan.
Oleh karenanya penulis ingin merumuskan masalah yang akan menjadi perhatian pokok nantinya, yaitu:
1) Bagaimana pembagian hasil pada pola kemitraan dengan sistem “gaduhan”
dijalankan dimasyarakat.
2) Faktor-faktor dominan apa yang membentuk pola kemitraan/kerjasama dengan
sistem gaduhan tersebut.
3) Bagaimana hubungan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap
kesejahteraan petani/peternak.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui pola pembagian hasil pada kemitraan dengan sistem gaduhan
2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang membentuk pola kemitraan dengan sistem
gaduhan.
3) Untuk mengetahui hubungan penerapan kemitraan dengan sistem gaduhan
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna antara lain :
1) Bagi pemerintah sebagai pertimbangan membuat kebijakan dalam peningkatan
ekonomi kerakyatan dan peningkatan pemberdayaan masyarakat di pedesaan.
2) Bagi pelaku bisnis (pemodal) sebagai informasi usaha dibidang peternakan,
sehingga dapat menggunakan peluang yang ada dimasyarakat.
3) Bagi dunia pendidikan sebagai pembelajaran dan bahan informasi tentang pola
1.5. Kerangka Pemikiran
4) 5) 6)
Keterangan :
= Variabel = Indikator
= Dimensi
Faktor dominan pembentuk kemitraan : ‐ bantuan pemerintah ‐ swasta / perusahaan ‐ perseorangan/pribadi ‐ yayasan ‐ lainnya Pedapatan Pendidikan Kesehatan
Self‐Esteem Pola pembagian hasil : ‐ 50 : 50 ‐ 60 : 40 ‐ 70 : 30 ‐ Berupa ternak ‐ Lainnya
Pola
Kemitraan
dengan
sistem
“Gaduhan”
Kesejahteraan
Pola kemitraan dengan sistem gaduhan ternak sapi sudah berkembang dimasyarakat, khususnya dikalangan petani/peternak. Kemitraan antara penggaduh (pemilik modal) dengan penerima gaduhan ternak (petani/peternak) dilaksanakan sedemikian rupa dan dengan model atau bentuk yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Melalui wawancara dan penyebaran/pengisian kuesioner kepada sampel peternak, akan diperoleh faktor –faktor dominan yang membentuk pola kerjasama / kemitraan dengan sistem gaduhan ternak sapi. Apakah kerjasama terbentuk oleh karena pemerintah memberi bantuan ternak dengan pola gaduhan, atau ternak gaduhan diberikan oleh perusahaan peternakan atau yayasan atau perorangan menggaduhkan ternaknya kepada petani/peternak atau lainnya.
Demikian pula kesepakatan terhadap pembagian hasil dari usaha ternak tersebut, apakah pembagian antara penggaduh dan penerima gaduhan dibagi sama rata (50% ; 50%), atau pembagian 60% : 40%; atau 70% : 30% atau pembagian berupa anak sapi yang lahir atau dalam bentuk lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Kemitraan
Pada dasarnya konsep kemitraan (partnership) adalah jenis entitas bisnis di
mana mitra (pemilik) saling berbagi keuntungan atau kerugian bisnis. Kemitraan sering digunakan diperusahaan untuk tujuan perpajakan, sebagai struktur kemitraan umumnya tidak dikenakan pajak atas laba sebelum didistribusikan kepada para mitra
(yaitu tidak ada pajak dividen dikenakan).. Namun, tergantung pada struktur
kemitraan dan yurisdiksi di mana ia beroperasi, pemilik kemitraan mungkin terkena
kewajiban pribadi yang lebih besar daripada mereka yang akan memegang saham
dari suatu perusahaan.
Bentuk dasar kemitraan adalah kemitraan umum , di mana semua mitra mengelola bisnis dan secara pribadi bertanggung jawab atas hutangnya. Bentuk lain
yang telah dikembangkan di sebagian besar negara adalah kemitraan terbatas (LP), di
mana mitra terbatas untuk mengelola bisnis dan dengan imbalan terbatas. Mitra
Umum mungkin memiliki kewajiban bersama atau beberapa kewajiban bersama dan
tergantung pada keadaan, tanggung jawab mitra terbatas pada investasi mereka dalam kemitraan tersebut. Mitra “diam” (silent partner) adalah mitra yang tetap berbagi dalam keuntungan dan kerugian pada usaha, tetapi tidak terlibat dalam mengelola usaha atau keterlibatan mereka dalam usaha tidak diketahui umum. Mitra ini biasanya hanya menyediakan modal.
Kemitraan usaha pertanian berdasarkan azas persamaan kedudukan, kesela peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwuji kemitraan yaitu hubungan yang :
a) saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku
dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan;
b) saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra
sama-sama memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis, sehingga akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya;
c) saling menguntungkan, yaitu baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra
memperoleh peningkatan pendapatan, dan kesinambungan usaha;
Kemitraan usaha pertanian dapat dilaksanakan dengan pola:
1) Inti-plasma
2) Sub kontak
Pola sub kontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.
3) Dagang umum
Pola dagang umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra.
4) Keagenan
Pola keagenan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d merupakan hubungan kemitraan, yang didalamnya kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra.
5) Bentuk-bentuk lain, missal Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)
dan/atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian.
2.2 Sisitem Agribisnis dan Kemitraan Sapi Potong
Pada periode 2005−2008, Departemen Pertanian melaksanakan tiga program
utama pembangunan pertanian, yaitu: 1) peningkatan ketahanan pangan, 2)
pengembangan agribisnis, dan 3) peningkatan kesejahteraan petani. Program
pengembangan agribisnis diarahkan untuk memfasilitasi kegiatan yang berorientasi
agribisnis dan memperluas kegiatan ekonomi produktif petani, serta meningkatkan
efisiensi dan daya saing. Upaya peningkatan daya saing usaha ternak sapi potong
rakyat secara teknis dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas sehingga
produknya dapat dijual pada tingkat harga yang cukup murah tanpa mengurangi
keuntungan peternak (Kuswaryan et al. 2003). Perluasan kegiatan ekonomi yang berpeluang untuk dilaksanakan adalah mendorong kegiatan usaha tani terpadu yang
mencakup beberapa komoditas, seperti integrasi tanaman ternak atau
tanaman-ternak-ikan. Konsep agribisnis memandang suatu usaha pertanian termasuk peternakan
secara menyeluruh (holistik), mulai dari subsistem penyediaan sarana produksi,
produksi, pengolahan hingga pemasaran.
Menurut Syafa’at et al. (2003), konsep agribisnis atau strategi pembangunan
sistem agribisnis mempunyai ciri antara lain: 1) berbasis pada pendayagunaan
based), 2) akomodatif terhadap kualitas sumber daya manusia yang beragam dan tidak terlalu mengandalkan impor dan pinjaman luar negeri yang besar, 3)
berorientasi ekspor selain memanfaatkan pasar domestik, dan 4) bersifat multifungsi,
yaitu mampu memberikan dampak ganda yang besar dan luas. Pembangunan
pertanian dan peternakan berdasarkan konsep agribisnis perlu memperhatikan dua hal
penting; pertama, berupaya memperkuat subsistem dalam satu sistem yang
terintegrasi secara vertikal dalam satu kesatuan manajemen, dan kedua menciptakan
perusahaan-perusahaan agribisnis yang efisien pada setiap subsistem. Jika hal ini
dapat terwujud maka daya saing produk peternakan (daging, susu, dan telur) akan
meningkat, terutama dalam menghadapi pasar global.
Agribisnis sapi potong diartikan sebagai suatu kegiatan usaha yang menangani
berbagai aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang
utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan, dan penyaluran sarana produksi,
kegiatan budi daya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua pemangku
kepentingan (stakeholders), dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang
seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani peternak dan perusahaan
swasta). Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan
pembangunan sektor pertanian secara simultan dengan pembangunan sector industri
dan jasa yang terkait dalam suatu kluster industri sapi potong. Kegiatan tersebut
mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis
dan Ilham (2003), agar pengembangan sistem usaha agribisnis tersebut dapat
mengakomodasi tujuan untuk meningkatkan daya saing produk dan sekaligus
melibatkan peternak skala menengah ke bawah, ada tiga alternatif kegiatan yang
dapat dilakukan, yaitu: 1) integrasi vertikal yang dikelola secara profesional oleh
suatu perusahaan swasta, 2) integrasi vertikal yang dilakukan peternak secara
bersama-sama yang tergabung dalam wadah koperasi atau organisasi lainnya, dan 3)
kombinasi keduanya atau dikenal dengan sistem usaha kemitraan.
Kemitraan dimaksudkan sebagai upaya pengembangan usaha yang dilandasi
kerja sama antara perusahaan dan peternakan rakyat, dan pada dasarnya merupakan
kerja sama vertikal (vertical partnership). Kerja sama tersebut mengandung
pengertian bahwa kedua belah pihak harus memperoleh keuntungan dan manfaat.
Menurut Saptana et al. (2006), kemitraan adalah suatu jalinan kerja sama berbagai pelaku agribisnis, mulai dari kegiatan praproduksi, produksi hingga pemasaran.
Kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan kedudukan, saling membutuhkan, dan
saling menguntungkan serta adanya persetujuan di antara pihak yang bermitra untuk
saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat.
Sebagai contoh adalah kemitraan ayam broiler. Pada kemitraan tersebut,
perusahaan bertindak sebagai inti dan peternak sebagai plasma. Dalam proses
produksi, peternak hanya menyediakan tenaga kerja dan kandang, sedangkan pihak
perusahaan menyediakan bibit, pakan, obat-obatan, pelayanan teknik berproduksi dan
pertanian yang berkelanjutan melalui pendekatan sistem usaha agribisnis dan
kemitraan, yaitu: 1) mengoptimalkan alokasi sumber daya pada satu titik waktu dan
lintas generasi, 2) meningkatkan efisiensi dan produktivitas produk
pertanian/peternakan karena adanya keterpaduan produk berdasarkan tarikan
permintaan (demand driven), 3) meningkatkan efisiensi masing-masing subsistem
agribisnis dan harmonisasi keterkaitan antar subsistem melalui keterpaduan antar
pelaku, 4) terbangunnya kemitraan usaha agribisnis yang saling memperkuat dan
menguntungkan, dan 5) adanya kesinambungan usaha yang menjamin stabilitas dan
kontinuitas pendapatan seluruh pelaku agribisnis (Saptana dan Ashari 2007).
Penerapan konsep kemitraan antara peternak sebagai mitra dan pihak
perusahaan perlu dilakukan sebagai upaya khusus agar usaha ternak sapi potong, baik
sebagai usaha pokok maupun pendukung dapat berjalan seimbang. Upaya khusus
tersebut meliputi antara lain pembinaan finansial dan teknik serta aspek manajemen.
Pembinaan manajemen yang baik, terarah, dan konsisten terhadap peternak sapi
potong sebagai mitra akan meningkatkan kinerja usaha, yang akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, melalui kemitraan, baik yang dilakukan
secara pasif maupun aktif akan menumbuhkan jalinan kerja sama dan membentuk
2.3. Peluang Pengembangan Sapi Potong
Memelihara sapi potong sangat menguntungkan, karena tidak hanya menghasilkan daging dan susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai tenaga kerja. Sebagai tenaga kerja sapi dapat digunakan menarik gerobak, kotoran sapi juga mempunyai nilai ekonomis, karena termasuk pupuk organic yang dibutuhkan oleh semua jenis tumbuhan. Kotoran sapi dapat menjadi sumber hara yang dapat memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih gembur dan subur. Semua organ tubuh sapi dapat dimanfaat kan antara lain:
1) Kulit, sebagai bahan industri tas, sepatu, ikat pinggang, topi, jaket.
2) Tulang, dapat diolah menjadi bahan bahan perekat/lem, tepung tulang dan barang kerajinan
3) Tanduk, digunakan sebagai bahan kerajinan seperti: sisir, hiasan dinding dan
masih banyak manfaat sapi bagi kepentingan manusia.
potong pada saat survei mengakibatkan keuntungan bersih yang diperoleh peternak hanya mencapai sekitar Rp. 166.400 per ekor selama pemeliharaan 4 bulan.
Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber
daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Saragih dalam Mersyah (2005), ada
beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu:
1) budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan
tenaga kerja yang berkualitas tinggi,
2) memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes,
3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan
yang tinggi, dan
4) dapat membuka lapangan pekerjaan. Daging sapi merupakan salah satu sumber
protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, dan sampai saat ini
Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga sebagian masih harus
diimpor. Kondisi tersebut mengisyaratkan suatu peluang untuk pengembangan
usaha budi daya ternak, terutama sapi potong.
Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama adalah
pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan usaha
pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah pengembangan sapi tidak
terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola ketiga adalah pengembangan
meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi siap
potong.
Dalam upaya pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan,
yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Pengembangan sapi potong secara
ekstensifikasi menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh
pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit, penyuluhan dan
pembinaan usaha, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan, dan
pemasaran. Menurut Isbandi (2004), penyuluhan dan pembinaan terhadap
petani-peternak dilakukan untuk mengubah cara beternak dari pola tradisional menjadi usaha
ternak komersial dengan menerapkan cara-cara zooteknik yang baik.
Zooteknik tersebut termasuk sapta usaha beternak sapi potong, yang meliputi
penggunaan bibit unggul, perkandangan yang sehat, penyediaan dan pemberian pakan
yang cukup nutrien, pengendalian terhadap penyakit, pengelolaan reproduksi,
pengelolaan pascapanen, dan pemasaran hasil yang baik. Indonesia memiliki peluang
dan potensi yang besar dalam pengembangan sapi potong. Salah satu pendukungnya
adalah peternak telah sejak lama memelihara sapi potong dan mengenal dengan baik
teknik beternak secara sederhana serta ciri masing-masing jenis sapi yang ada di
suatu lokasi.
Agar pengembangan sapi potong berkelanjutan, Winarso et al. (2005) mengemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1) perlunya perlindungan dari
kebijakan tentang tata ruang ternak serta pengawasan terhadap alih fungsi lahan
pertanian yang berfungsi sebagai penyangga budi daya ternak, 2) pengembangan
teknologi pakan terutama pada wilayah padat ternak, antara lain dengan
memanfaatkan limbah industri dan perkebunan dan 3) untuk menjaga sumber plasma
nutfah sapi potong, perlu adanya kebijakan impor bibit atau sapi bakalan agar tidak
terjadi pengurasan terhadap ternak lokal dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi
daging dalam negeri. Menurut Bahri et al.(2004), paling tidak ada tiga pemicu
timbulnya pengurasan populasi sapi lokal sebagai dampak dari tingginya permintaan
daging sapi terutama pada periode 1997−1998, serta tingginya impor daging dan
jerohan serta sapi bakalan, yaitu: 1) produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi
peningkatan permintaan, 2) permintaan meningkat, sedangkan produksi dalam negeri
menurun, dan 3) permintaan tetap sedangkan produksi dalam negeri menurun.
Hidajati dalam Syamsu et al. (2003) menyatakan, pengurasan sumber daya
ternak akan berakibat pada penurunan kualitas ternak yang ada di masyarakat, karena
ternak yang berkualitas baik tidak tersisakan untuk perbibitan. Kuswaryan et al.
(2003) mengemukakan, usaha untuk menanggulangi pengurasan sapi bibit terbentur
pada masalah kepemilikan ternak yang hanya berkisar antara 1−3 ekor sapi
dewasa/KK dengan kemampuan memelihara 2−4 unit ternak. Kebijakan impor sapi
dan daging sapi dapat menghambat laju pengurasan sapi di dalam negeri, selain
Selain itu, upaya pengembangan sapi potong perlu memperhatikan beberapa hal,
antara lain: 1) daging sapi harus dapat dikonsumsi oleh masyarakat dengan harga
yang terjangkau, 2) peternakan sapi potong di dalam negeri (peternakan rakyat)
secara finansial harus menguntungkan sehingga dapat memperbaiki kehidupan
peternak sekaligus merangsang peningkatan produksi yang berkesinambungan, dan 3)
usaha ternak sapi potong harus memberikan kontribusi yang positif terhadap
perekonomian nasional (Kuswaryan et al.2004).
Persepsi peternak terhadap sistem usaha agribisnis sapi potong dengan pola
kemitraan sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan makin berkembangnya usaha
ternak sapi potong melalui pola kemitraan yang dilakukan oleh beberapa peternak
atau pengusaha peternakan berskala besar karena pola tersebut secara ekonomis
memberikan keuntungan yang layak kepada pihak yang bermitra. Hal ini sesuai
dengan pendapat Roessali et al. (2005), bahwa usaha tani atau usaha ternak sapi
potong rakyat umumnya berskala kecil bahkan subsistem. Bila beberapa usaha kecil
ini berhimpun menjadi satu usaha berskala yang lebih besar dan dikelola secara
komersial dalam suatu sistem agribisnis maka usaha tersebut secara ekonomi akan
lebih layak dan menguntungkan.
Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola
kemitraan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan
masyarakat peternak khususnya, dan perekonomian nasional umumnya (Kuswaryan
ini yang bernilai positif, yang berarti bahwa pengembangan peternakan sapi potong
dalam negeri mampu menghasilkan surplus ekonomi.
2.4. Peranan Petani/Peternak Pada Usaha Peternakan
Dalam akselerasi pembangunan pertanian, pengetahuan petani/peternak mempunyai arti penting, karena pengetahuan petani/peternak dapat mempertinggi kemampuannya untuk mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. Jika pengetahuan petani/peternak tinggi dan petani/peternak bersikap positip terhadap suatu teknologi baru dibidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna, yang pada akhirnya akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas maupun kualitas
Menurut Hayami & Kikuchi (1981) dalam proses transformasi di Asia, khususnya di Asia Tenggara, mendapat kesimpulan bahwa perubahan-perubahan pada dimensi sosio-kultural masyarakat petani berlangsung lebih lambat dibanding perubahan dalam dimensi teknis-ekonomi masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan dimensi sosio-kultural masyarakat petani/peternak merupakan proses yang rumit dan mendasar. Kesalahan sedikit saja dalam penanganannya dapat membawa malapetaka yang amat besar bagi kelangsungan kehidupan petani-peternak. Berjangkitnya “penyakit’ involusi bisa jadi merupakan salah satu contoh klasik tentang itu. Dengan kata lain, proses transformasi peternakan dapat diwujudkan bila terjadi perubahan dan perkembangan yang serasi antara dimensi teknis-ekonomi dan dimensi sosio-kultural masyarakat peternak. Proses inovasi teknologi baru akan terjadi bila dalam batas-batas tertentu telah timbul minat dan kesadaran dari sebagian atau seluruh anggota masyarakat terhadap manfaat suatu teknologi. Oleh sebab itu strategi pembangunan peternakan yang berhasil selain diarahkan untuk memperluas cakupan penyempurnaan teknologi intensifikasi, juga yang memberi perhatian sama besar terhadap usaha untuk mengembangkan kemampuan, sikap mental, dan responsitas petani-peternak, sehingga semakin banyak pula petani-peternak yang dapat dilibatkan dan menjalani proses perubahan.
memiliki : (a) ikatan yang nyata; (b) interaksi dan interelasi sesame anggotanya ; (c) struktur dan pembagian tugas yang jelas; (d) kaidah-kaidah atau norma tertentu yang disepakati bersama; dan (d) keinginan dan tujuan yang sama. Bagi peternak, kelompok merupakan jaringan komunikasi yang mampu menggerakkan mereka untuk melakukan adopsi teknologi baru. Melalui wadah ini petani-peternak dibimbing dan diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan perekonomian dinamis (Herman Soewardi, 1985).
pendapat Dudung Abdul Adjid (dalam Satpel Bimas, 1980), bahwa di dalam kelompok tani terdapat proses transformasi, yaitu mengolah informasi baru dari PPL menjadi informasi praktis, spesifik, sesuai kondisi masyarakat setempat. Selanjutnya dinyatakan bahwa PPL sebagai penyuluh marupakan “ujung tombak” proses adopsi inovasi, mengolah dan menyampaikan informasi teknologi baru melalui pengembangan dan pembinaan kegiatan kelompok tani.
Selanjutnya menurut Soekartawi (1988) karakteristik peternak dapat dilihat dari umur, tingkat pendidikan, jumlah pemilikan ternak, pengalaman beternak, hubungan dengan individu lain, dan hubungan dengan lembaga terkait. Umur berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menerima sesuatu yang baru. Usia muda adalah saat dimana hidup penuh dinamis, kritis dan selalu ingin tahu hal-hal baru.. Seseorang yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi, begitu pula sebaliknya seseorang yang berpendidikan rendah, maka agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Inkeles (1984), bahwa hampir semua penelitian yang menyangkut modernisasi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan merupakan factor utama. Artinya, tingkat kemodernan seseorang akan meningkat dengan bertambahnya pendidikan.
terlalu skeptis terhadap perubahan baru yang berada di sekitarnya, dan bahkan
biasanya selalu berpandangan positif terhadap adanya perubahan (Soekartawi,1988).
Pengalaman beternak juga mempengaruhi persepsi mereka terhadap inovasi. Peternak yang berpengalaman akan lebih mudah diberi pengertian, artinya lebih cepat dalam menerima introduksi baru yang yang diberikan. Hubungan dengan individu lain, dan lembaga terkait, akan memberikan persepsi yang lebih baik terhadap inovasi, karena berkunjung atau berkonsultasi dengan sesama peternak, penyuluh, atau lembaga terkait akan menambah wawasan dan tingkat pengetahuannya. Wawasan dan tingkat pengetahuan yang diperoleh peternak menjadi pendorong baginya untuk mempersepsikan inovasi dengan lebih baik (Soekartawi, 1988). Berdasarkan ciri-ciri sosial ekonomi, karakteristik pengadopsi cepat ditandai oleh tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Pengadopsi cepat mempunyai tingkat mobilitas sosial yang besar. Kekayaan dan keinovatifan muncul berjalan seiring, karena keuntungan yang besar diperoleh orang yang mempersepsi-kan inovasi dengan sangat baik dan mengadopsi pertama (golongan innovator).
2.5. Teori Kesejahteraan
ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro 2004: 21). Sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut pembangunan suatu negara boleh dikatakan tidak berhasil apabila tidak dapat mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan pendapatan serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya. Untuk mengukur keberhasilan pembangunan tidak cukup hanya menggunakan tolok ukur ekonomi saja melainkan juga harus didukung oleh indikator-indikator sosial (non ekonomi), antara lain seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan akan kebutuhan perumahan .
Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok, yaitu : 1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), 2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan 3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude).
koelie menjadi mitra usaha dalam sistem triple co, yaitu co-owwnership (ikut
memiliki), codetermination (ikut menggariskan wisdom) dan co-responsibility (ikut
bertanggungjawab)
Tujuan setiap pembangunan pada dasarnya adalah untuk mensejahterakan masyarakat. Konsep kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur dari jumlah pendapatan atau materi yang diterima saja, tetapi juga peranan yang dapat diambil dalam kehidupan sosial, dan peranan ikut serta dalam mengambil keputusan dan mengembangkan ide-ide. Sebagaimana yang diungkapkan Amartya Sen (2001), bahwa konsep kemiskinan bukan karena kurangnya kebutuhan materi, tetapi karena kurangnya kesempatan (akses) atau kemampuan untuk mengambil bagian dalam kehidupan social. Hal ini sering dikaitkan dengan partisipasi dan pemberdayaan.
Sen, (2002: 8) mengatakan bahwa welfare economics merupakan suatu proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs fulfillment), kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human development). Selanjutnya Sen, A. (1992: 39-45) lebih memilih capability approach didalam menentukan standard hidup. Sen mengatakan: the freedom or ability to achieve desirable “functionings” is more importance than actual outcomes.
namun tidak semuanya dapat digunakan sebagai ukuran standar yang dapat dibandingkan antar wilayah atau antar Negara. Oleh karena itu Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan suatu ukuran standar pembangunan manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)
Indeks Pembangunan Manusia didasarkan atas empat indicator yaitu angka harapan hidup, angka melek hidup, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan hidup menggambarkan dimensi umur panjang yang mewakili bidang kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mengukur capaian pembangunan bidang pendidikan dan kemampuan daya beli yang dilihat dari besarnya rata-rata pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan (Sumodiningrat, G. 2009 : 80)
Disamping IPM, paradigma pembangunan yang saat ini harus diperhitungkan adalah keberlanjutan dari pembangunan tersebut. Perspektif pembangunan berkelanjutan menjadi penting dimana kecenderungan sumberdaya yang semakin terbatas dan semakin tereksploitasi. Dengan demikian pembangunan tidak saja dipahami sebagai pembangunan ekonomi, tetapi sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral dan spiritual.
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kualitatif pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor dominan yang membentuk pola kemitraan pada pemeliharaan sapi dengan sistem gaduhan dan untuk mengetahui bagaimana pola pembagian hasil diantara kedua belah pihak yang saling bermitra.
Untuk menentukan indikator pada faktor dominan yang membentuk pola kemitraan dan pola pembagian hasil, sebelumnya dilaksanakan angket kepada petugas peternakan lapangan dari beberapa daerah di Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil angket diperoleh beberapa bentuk yang mendasari terjadinya proses gaduhan ternak, yaitu antara lain adanya bantuan pemerintah; kerjasama dengan pihak swasta/perusahaan; perseorangan/pribadi yang menanamkan modalnya; dari yayasan ( dalam upaya memberdayakan masyarakat).
Pendekatan kuantitatif adalah untuk melihat hubungan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan peternak. Indikator kesejahteraan didekati menurut indeks pembangunan manusia, yang meliputi tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan ditambah dengan tingkat self-esteem (Todaro, 2004 dan Swasono, 2004)
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian adalah di Kecamatan Pantai Cermin, kabupaten Serdang
Bedagai.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah petani/peternak yang memelihara ternak
gaduhan di tiga desa di kecamatan P. Cermin, yaitu desa Kota Pari, Ujung Rambung dan Celawan. Pemilihan desa didasarkan pada populasi ternak sapi di ketiga desa tersebut adalah yang lebih besar.
disebabkan tidak adanya data atau tidak diketahuinya jumlah petani/peternak gaduhan di ketiga desa tersebut. Dari hasil pengambilan sampel dengan cara purposive dan
bersifat snow ball tersebut diperoleh jumlah sampel penelitian sebesar 74 orang
petani/peternak .
Selain itu untuk mendapatkan informasi, digunakan informan. Informan tersebut adalah petugas inseminator yang ada di kecamatan P.Cermin dan informan yang berasal dari petani/peternak. Informan dari petani/peternak adalah yang dianggap mewakili peternak disekitarnya dan yang mempunyai wawasan lebih luas. Informan yang berasal dari petani/peternak ini sebagai peserta pada Grup Diskusi Terarah (FGD) nantinya dengan jumlah sebanyak 12 orang.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengupulan data diawali dengan pendekatan kuantitatif, yaitu dengan
Responden pada penelitian ini adalah para petani/peternak, dimana pada umumnya pendidikan mereka rendah sehingga untuk tidak menyulitkan mereka dalam memilih jawaban maka dibuat gradasi dengan skala tiga saja. Tambahan lagi gradasi yang sangat positif dan sangat negatif dianggap tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner
Pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara, observasi dan dilanjutkan dengan teknik Focus Group Discussion (FGD) atau Grup Diskusi Terarah, panduan wawancara, observasi dan FGD dapat dilihat pada lampiran 1. Dari hasil pendekatan kualitatif ini akan diperoleh faktor-faktor dominan yang membentuk kemitraan dengan sistem ”gaduhan” dan pola pembagian hasil antara pemodal dan peternak. Selain itu dari hasil observasi diperoleh gambaran tentang kondisi fisik perumahan dan sistem perkandangan ternak.
3.5. Definisi Konsep
1) Pola kemitraan dengan sistem ”gaduhan” adalah bentuk kerjasama dibidang
usaha ternak sapi, dimana pemilik modal memberikan modal berupa ternak sapi kepada petani/peternak untuk dipelihara.
2) Petani/peternak adalah orang yang memelihara ternak sapi baik dia
3) Pola pembagian hasil adalah proporsi pembagian keuntungan hasil usaha ternak gaduhan antara pemilik modal dengan petani/peternak sebagai pemelihara.
4) Faktor dominan yang membentuk kemitraan/kerjasama adalah faktor yang
mendasari terjadinya kemitraan/kerjasama antara pemilik modal dan petani/peternak.
5) Kesejahteraan petani/peternak adalah keadaan yang menunjukkan adanya
perbaikan dan kemajuan dibidang pendapatan, pendidikan, kesehatan dan rasa bangga (self esteem).
3.6. Definisi Operasional
Untuk memperjelas arti serta untuk mempermudah analisis dipaparkan definisi operasional variabel yang digunakan sebagai berikut :
1) Pola pembagian hasil pada pemeliharaan ternak dengan sistem ”gaduhan”.
Variabel ini meliputi bagaimana pola pembagian hasil yang diterima oleh peternak dan pemilik modal. Pembagian hasil antara peternak dan pemilik modal mungkin dengan perbandingan 50% : 50%; atau 60% : 40%; atau 70% : 30%; atau pembagian dalam bentuk anak sapi (ternak) jika induk sudah beranak ataupun dalam bentuk lainnya.
2) Faktor-faktor dominan yang membentuk pola kemitraan pada pemeliharaan
Variabel ini meliputi faktor apa yang mendasari terbentuknya kemitraan dengan sistem gaduhan tersebut. Faktor-faktor tersebut mungkin adalah karena adanya bantuan pemerintah; atau kerjasama dengan pihak swasta/perusahaan; atau perseorangan/pribadi yang menanamkan modalnya; atau suatu yayasan dalam upaya memberdayakan masyarakat; atau lainnya.
3) Kesejahteraan petani/peternak; kesejahteraan petani/peternak didekati
menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu meliputi:
a. Pendapatan;
Untuk mengukur indikator pendapatan diukur melalui persepsi petani/peternak terhadap antara lain : pola konsumsi, tersedianya tabungan, kepemilikan aset (barang elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah). Pengukuran indikator pendapatan ini merupakan bagian dari variabel-variabel indikator kesejahteraan menurut CBSM (Community Based Monitoring System) atau Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masayarakat (Lembaga Penelitian SMERU, 2005).
b. Pendidikan;
Indikator ini diukur melalui persepsi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani/peternak, tingkat pendidikan anggota keluarga.
c. Kesehatan;
(mandi-cuci-kakus), kebersihan lingkungan termasuk sistem perkandangan dan penanganan kotoran ternak
d. Rasa Bangga (Self-Esteem)
[image:62.612.125.518.317.673.2]Indikator ini diukur melalui persepsi terhadap ”rasa bangga”; kenaikan pemilikan (entitlement) petani/peternak karena memelihara ternak gaduhan.
Tabel 1. Matriks Operasional Pengukuran Kuantitatif Variabel Penelitian Indikator Instrumen/Alat ukur
Kesejahteraan Petani/Peternak
Pendapatan - Pola konsumsi
- Kepemilikan asset (barang
elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah)
- Tabungan
Pendidikan - Pengetahuan dan ketrampilan
petani/peternak
- Tingkat pendidikan anggota
keluarga
Kesehatan - Penggunaan layanan medis
ketika sakit
- fasilitas MCK
- kebersihan lingkungan
(penanganan kotoran ternak)
Self-Esteem - Rasa bangga
- Kenaikan pemilikan
3.7. Teknik Analisa Data
Untuk menganalisa data kuantitatif maka digunakan analisis statistik deskriptif dengan melakukan tabulasi secara tunggal, yang kemudian dituangkan dalam bentuk tabel frekwensi, persentase maupun diagram. Untuk melihat hubungan penerapan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan petani/peternak digunakan analisa korelasi Product Pearson Moment, dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007.
Analisis data kualitatif mengikuti model Miles dan Huberman (1984), yaitu proses data direduksi kemudian penyajian data (data display) dan selanjutnya diverifikasi untuk ditarik kesimpulan (conclusion/drawing/verification).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Pantai Cermin merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di kabupaten Serdang Bedagai. Secara geografis Pantai Cermin terletak pada posisi 2° 57” Lintang Utara, 3° 16” Lintang Selatan, 98° 33” Bujur Timur dan 99° 27” Bujur Barat. Ketinggian P. Cermin berkisar 0 – 3 m dari permukaan laut dengan luas
Kecamatan Pantai Cermin terletak pada daerah pesisir pantai timur Sumatera, beriklim tropis dengan kelembaban udara 84%. Curah hujan berkisar 30 sampai dengan 340 mm perbulan, dengan periodik tertinggi pada bulan September dan Oktober, ketinggian dari permukaan laut 0-3 m, rata-rata kecepatan udara berkisar 1,10 m/s dengan tingkat penguapan 3,47 mm/hari, temperatur udara perbulan minimum 24 C dan maksimal 34 C. Adapun batas wilayah dari kecamatan Pantai Cermin adalah:
Sebelah Utara : Selat Malaka
Sebelah Selatan : Perbaungan
Sebelah Barat : Sei Ular/kabupaten Deli Serdang
Sebelah Timur : Perbaungan
Gambar 2. Peta Kecamatan Pantai Cermin
Potensi wilayah Pantai Cermin antara lain sebagai daerah wisata ; Saat ini Kecamatan Pantai Cermin telah memiliki 5 lokasi pantai yaitu Pantai Mutiara 88, Pantai Gudang Garam, Pantai Pondok Permai, Pantai Cermin Theme Park dan Pantai Kuala Putri. Selain itu Pantai cermin berpotensi dalam pengembangan perikanan dan kealutan. Dengan garis pantai sepanjang 21 KM, maka Pantai Cermin memiliki potensi sumberdaya laut dan hasil laut. Walaupun berpotensi pada kedua sektor tersebut di atas, Pantai Cermin juga merupakan lumbung beras untuk Kabupaten Serdang Bedagai. Luas lahan pertanian di Kecamatan Pantai Cermin 3.338 Ha yang berada di 12 desa dengan luas cakupan sebagaimana tercantum dalam tabel 2.
Tabel 2. Luas Areal Pertanian menurut Jenisnya
No Desa Irigasi Irigasi Sederhana Tadah Pompa Jlh
Teknis ½ Teknis PU Desa Hujan
1. U.Rambung - 160 - - - 100 260
2. Celawan - 200 - 110 50 50 410
3. Kota Pari - - - 344 50 - 394
5. P.C.Kiri - 125 - 50 - - 175
6. Kuala lama - 178 - - 47 - 255
7. Sementara - 325 - - - - 325
8. B. II Terjun - 165 - 50 60 100 325
9. P. Kasih - 100 - - - - 100
10. A.Payung - 219 - 40 40 - 299
11. L.Saban - 184 100 50 50 20 404
12. N.Kisar - 310 - - - 20 330
Jumlah - 1.966 100 644 328 290 3.328
Sumber : www.serdangbedagaikab.go.id
Luas areal pertanian cukup luas, meliputi 43,20 % dari luas seluruh
Kecamatan Pantai Cermin. Jenis tanaman pertanian antara lain tanaman padi, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai dan jagung. Adanya potensi tanaman pangan ini memberikan peluang untuk pengembangan peternakan, yaitu pengembangan peternakan terintegrasi dengan tanaman pangan. Hal ini dimungkinkan karena tersedianya potensi makanan untuk ternak yang cukup dari limbah pertanian, dan sebaliknya potensi pupuk dari kotoran ternak untuk tanaman pangan.
ternak di Kecamatan P. Cermin dapat dilihat sebagaimana tercantum pada tabel 3. di bawah ini.
Tabel 3. Populasi Ternak Besar dan Kecil di Kec. Pantai Cermin Tahun 2010
No Desa Sapi
Perah
Sapi
Potong
Kerbau Kambing Domba Babi
1. P.Cermin Kanan 17 159 0 385 106 749
2. P.Cermin Kiri 0 155 11 358 171 0
3. Kota Pari 43 2.237 64 496 489 2.122
4. Celawan 0 675 6 396 420 952
5. Besar II Terjun 0 310 13 178 160 719
6. Sementara 0 139 9 257 188 0
7. Kuala Lama 0 177 11 185 143 782
8. Ara Payung 0 294 13 393 164 576
9. Lubuk Saban 0 132 35 293 181 0
10. Naga Kisar 0 249 16 169 195 1.386
11. Pematang Kasih 0 188 0 278 159 616
12. Ujung rambung 0 673 14 110 193 1.427
Jumlah 60 5.388 192 3.498 2.569 9.329
Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa populasi ternak sapi potong sebahagian besar berada di desa Kota Pari (41,52%), diikuti Desa Celawan (12,52% dan Desa Ujung Rambung (12,49%). Oleh karenanya pengambilan sampel pada penelitian ini di ambil dari ketiga desa tersebut.
Jumlah penduduk dapat memberikan gambaran akan potensi tenaga kerja di suatu wilayah, khususnya jumlah penduduk usia produktif. Jika usia produktif tinggi maka potensi sumberdaya yang dapat dijadikan modal penggerak pembangunan semakin besar pula.
Berdasarkan data Serdang Bedagai Dalam Angka Tahun 2005, populasi penduduk di Kecamatan Pantai Cermin adalah 40.267 orang. Pada tabel 4. menunjukkan jumlah penduduk Kecamatan Pantai Cermin menurut usia.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Usia Tahun 2005
No Nama Desa Jumlah Penduduk Menurut Usia
0-5 6-12 13-16 17-59 >60 Jumlah
Jlh KK
6. B. II Terjun 653 745 857 887 692 3.877 783 7. Sementara 289 329 545 605 214 1.952 405 8. Kuala Lama 612 712 821 970 650 3.245 756 9. Ara Payung 350 450 463 514 471 1.299 274 10. P.Kasih 193 207 352 329 218 2.248 468 11. Lubuk Saban 396 372 644 675 348 2.474 545 12. Naga Kisar 575 624 796 991 452 3.418 751
Jumlah 6.312 7.180 9.530 10.915 6.136 40.267 8.376
Sumber : BPS Kab. Serdang Bedagai
Tingkat pendidikan adalah salah satu ukuran untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebagai komponen pada ukuran Indeks Pembangunan Manusia, pendidikan adalah faktor penting dan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dimiliki agar mampu meningkatkan potensinya. Kualitas pendidikan selain dipengaruhi oleh sistem pendidikan dan kurikulum yang ada, juga oleh sarana- dan prasarana yang tersedia, seperti gedung sekolah dan jumlah guru.
[image:69.612.124.524.102.331.2]Tabel. 5. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru di Pantai Cermin Tahun 2005
No Jenis Jumlah Sekolah Jumlah Murid Jumlah Guru Sekolah
Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta
1. SD 24 3 5.705 199 -
-2. SLTP 2 2 740 151 66 25
3. SMU - 1 - 76 - 10
4. MTS 3 133 31
Jumlah 29 6 6.578 426 97 35
Sumber : Dinas Pendidikan Nasional Kab. Serdang Bedagai
Rasio guru terhadap murid dapat menggambarkan mutu pendidikan. Dari tabel 5 dapat pula dilihat bahwa rasio guru terhadap murid masih sangat rendah yaitu 1,88%, artinya jumlah guru dibandingkan dengan jumlah murid yang harus diajar sangat kurang (tidak seimbang). Rasio guru terhadap murid idealnya adalah 20%.
kesejahteraannya. Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai sangat membantu dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sarana kesehatan di Kecamatan Pantai Cermin sebagaimana dicantumkan pada tabel 6. di bawah ini.
Tabel 6. Sarana Kesehatan di Pantai Cermin Tahun 2007
No. Sarana Jumlah
1. Puskesmas 1
2. Puskesmas Pembantu 6
3. Balai Pengobatan Swasta 13
4. Praktek Dokter umum 4
5. Depot Obat 3
6. Dokter Umum 2
7. Dokter Gigi 3
8. Perawat 15
9. Bidan 12
Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Serdang Bedagai
Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan pada instrumen penelitian kesejahteraan petani/peternak. Uji validitas dan reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah setiap instrumen yang digunakan pada kuesioner dapat digunakan untuk mengukur penerapan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan petani/peternak. Pada pengujian instrumen, responden yang digunakan berjumlah 30 orang dan jumlah butir instrumen yang diuji 11 butir (perhitungan lihat lampiran).
Dari hasil pengujian validitas terhadap setiap butir pertanyaan dalam kuesioner dengan menggunakan korelasi Pearson Moment, diperoleh sebagaimana tercantum dalam tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Hasil Uji Validitas Setiap Butir Instrumen
No.Butir
Instrumen
Koefisien Korelasi
(r hitung)
r kritis Keputusan
1 0,47 0,3 Valid
2 0,57 0,3 Valid
3 0,56 0,3 Valid
4 0,81 0,3 Valid
5 0,51 0,3 Valid
6 0,72 0,3 Valid
[image:72.612.130.432.447.685.2]8 0,79 0,3 Valid
9 0,73 0,3 Valid
10 0,33 0,3 Valid
11 0,77 0,3 Valid
Sumber : Hasil Analisis (Lihat Lampiran)
Dari hasil perhitungan ditemukan bahwa r hitung setiap butir instrumen lebih besar daripada 0,3 (r kritis), dengan demikian setiap butir instrumen dinyatakan valid.
Pengujian reliabilitas terhadap instrumen dilakukan dengan internal
consistency dengan teknik belah dua (split half) yang dianalisis dengan rumus Spearman Brown. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai reliabilitas adalah 0,81 (perhitungan lihat lampiran). Oleh karena setiap butir pertanyaan (instrumen) pada kuesioner adalah valid dan reliabel maka instrumen tersebut dapat digunakan untuk pengumpulan data pengaruh gaduhan ternak terhadap kesejahteraan petani/peternak.
4.3. Hasil Penelitian Gambaran Responden
Berdasarkan data yang diperoleh umur responden terentang mulai umur 21 tahun sampai dengan 60 tahun. Gambaran umur respond