UNI
TAHUN 2011
Oleh :
FURQAN ARIEF
090100221
FAKULTAS KEDOKTERAN
NIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
“Karya Tulis Il
UNI
TAHUN 2011
is Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syar
memperoleh
kelulusan Sarjana Kedokteran”
Oleh :
FURQAN ARIEF
090100221
FAKULTAS KEDOKTERAN
NIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
syarat untuk
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL : Faktor yang Dapat Dimodifikasi dan Tidak Dapat Dimodifikasi
Pada Penderita Sindroma Koroner Akut di RSUP. H. Adam Malik
Medan Tahun 2011
NAMA : Furqan Arief
NIM : 090100221
Pembimbing Penguji I
(dr. Rumondang Pulungan, M.Kes) (dr. Tapisari Tambunan, SpPK)
NIP. 19611210 198703 2 007 NIP. 19530608 198190 2 001
Penguji II
(dr. M. Surya Husada, SpKJ)
NIP. 19800203 200801 1 011
Medan, Desember 2012
Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH
ABSTRAK
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah salah satu Penyakit Tidak Menular (PTM) terbanyak yang menyebabkan kematian di Indonesia. PJK merupakan penyebab utama kematian dini pada sekitar 40 % dari sebab kematian laki-laki usia menengah. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada sindroma koroner akut di RSUP. Haji Adam Malik (HAM) Medan. Hal ini penting dalam hal pencegahan primer maupun sekunder dalam program untuk mengurangi mortaitas dan morbiditas sindroma koroner akut.
Data penelitian dipilih dengan menggunakan tekniksimple random sampling. Penelitian ini dihitung terlebih dahulu jumlah subjek dalam populasi lalu menggunakan rumus dan dipilih secara acak sebanyak 72 sampel. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dari rekam medik pasien dan dari masing-masing sampel ditabulasi faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi sindroma koroner akut. Analisis data dilakukan dengan program SPSS.
Dari 72 penderita SKA yang diteliti lebih banyak terjadi pada kelompok usia 46-59 tahun 43,1% dan laki-laki 73,6%. Didapati persentase frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi dari persentase yang terbesar hingga persentase terkecil sebagai berikut merokok 58,3%, hipertensi 55,6%, diabetes melitus 40,3%, dan hiperkolesterolemia 11,1%. Dan dari data karakteristik faktor risiko, penderita SKA di RSUP. HAM sebagian besar memiliki faktor risiko yaitu merokok 23,6% dan merokok dengan hipertensi 15,3%.
Sebagian besar penderita SKA merupakan laki-laki, memiliki≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun. RSUP HAM diharapkan lebih memberikan perawatan intensif pada pasien yang memiliki ≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun.
ABSTRACT
Coronary Heart Disease (CHD) is one of the non-transmitting diseases that has been the most cause of death in Indonesia. Almost 40% of middle-age male was reported as CHD is the main cause of early death. Due to this matter, this research is done to know the frequency of the modifiable and non-modifiable factors of acute coronary syndrome (ACS) in Adam Malik Hospital in 2011. This matter is crucial in primary or even in secondary prevention as to suppress mortality and morbidity of ACS.
By using simple random sampling technique, this research was identified and samples was identified by using formula and 72 samples were picked randomly. Data was a secondary data and taken from patients’ medical records. Every samples was tabulated of its modifiable and non-modifiable factors of ACS. Data was analyzed using SPSS computer program.
Out of 72 ACS patients, obtained the most group of age is between 46-59 years old 43,1% and male patients 73,6%. Data was analyzed, it show the frequency from the most to the least of the modifiable factors are as follow respectively, smoking 58,3%, hypertension 55,6%, diabetes mellitus 40,3%, and hypercholesterolemia 11,1%. And characteristic data of risk factors show that the most of the ACS patients, which are smoking 23,6% and smoking with hypertension 15,3%.
ACS patients are mostly male, have ≥2 risk factors, and age between 46-59 years old. Adam Malik Hospital should give more intensive care to patient which have≥2 risk factors and age between 46-59 years old.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang dengan petunjuk dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis selama melakukan penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini telah memperoleh dukungan secara moral, ide dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada:
1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu dr. Rumondang Pulungan, M.Kes selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk dapat memberikan bimbingan, saran, motivasi serta semangat sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan. 3. Ibu dr. Tapisari Tambunan, SpPK KH selaku Dosen Penguji I dan Bapak dr.
M. Surya Husada, SpKJ selaku Dosen Penguji II yang turut memberikan saran dan nasehat-nasehat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.
4. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Hotma Partogi, Sp.OG(K) yang telah menjadi dosen penasehat akademik penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5. Teristimewa Ayahanda tercinta dr. Zulfikri Mukhtar, SpJP (K) FIHA dan Ibunda tercinta Nini Yuliarni yang selama ini telah membesarkan, mendidik, memberikan kasih sayang, memberikan dukungan serta doa kepada saya selaku penulis dalam menjalani pendidikan di FKUSU.
Wahyuni, M.Kes yang telah memberikan ide dan saran kepada saya dalam mengerjakan karya tulis ilmiah ini.
7. Terima kasih kepada seluruh staf RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu administrasi perizinan untuk melakukan penelitian dan pengambilan data di bagian rekam medik.
8. Terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan civitas akademika FakultasKedokteran Universitas Sumatera Utara.
9. Teman-teman dekat saya, Baginda Yusuf Siregar, M. Desfrianda Pane, Christy Dymphna Akip, Feby Putri Lestari, Maulida Septianita, Tiah Nurbaiti L, Fildzah Yamami R, Cicimei Putriyani S, Dizalia Ananda, Andru Aswar, Donny Dian P, Abduh Halim P, M. Effendy N, Faris Akbar N, dan teman seperjuangan angkatan 2009 Fakultas Kedokteran Universitas lainnya yag tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah membantu, berjuang serta berpartisipasi dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan, khususnya bagi pembaca karya ilmiah ini.
Medan, 08 Desember 2012 Penulis
DAFTAR ISI
1.3. Tujuan Penelitian ... ... 3
1.4. ManfaatPenelitian………. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………. 5
2.1. Sindroma Koroner Akut... 5
2.1.1. Defenisi Sindroma Koroner Akut ... 5
2.2. Patofisiologi Sindroma Koroner Akut ... 6
2.3. Klasifikasi Sindroma Koroner Akut ... 8
2.3.1. Infark Miokard Akut dengan ST Elevasi ... 8
2.3.2. Infark Miokard Akut tanpa ST Elevasi... 9
2.3.3. Angina Pektoris Tidak Stabil... 10
2.4. Faktor Risiko Sindroma Koroner Akut... 10
2.4.1. Faktor yang Dapat Dimodifikasi... 10
a. Hipertensi... 10
2.4.2. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi... 18
a. Usia ... 18
b. Jenis Kelamin ... 19
c. Suku / Ras ... 19
d. Riwayat PJK dalam Keluarga ... 20
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 22
3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 22
3.2. Defenisi Operasional... 23
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 26
4.1. Rancangan Penelitian... 26
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 26
4.3.1. Populasi Penelitian... 26
4.3.2. Besar Sampel ... 26
4.3.3. Metode Pengambilan Sampel ... 27
4.4. Metode Pengumpulan Data... 27
4.5. Metode Analisis Data... 27
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 28
5.1. Hasil Penelitian ... 28
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 28
5.1.2.Karakterisktik Individu ... 28
a. Kategori Usia ... 29
b. Jenis Kelamin ... 29
c. Riwayat PJK dalam Keluarga ... 30
d. Faktor yang Dapat Dimodifikasi ... 30
i. Karakteristik Faktor Risiko ... 31
5.2. Pembahasan ... 32
5.2.1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi ... 32
a. Usia ... 32
b. Jenis Kelamin ... 32
c. Riwayat PJK dalam Keluarga ... 33
5.2.2. Faktor yang Dapat Dimodifikasi ... 33
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………...……… 36
6.1. Kesimpulan ... 36
6.2. Saran ... 36
DAFTAR PUSTAKA……..... 37
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1. Jumlah Penderita Sindroma Koroner Akut………….. 6
Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII ………. 11
Tabel 2.3. Frekuensi Hiperlipidemia Menjadi Penderita Infark
Miokard ………
13
Tabel 2.4. Tingkat Morbiditas Penyakit Koroner yang
Berhubungan dengan Merokok ………
14
Tabel 2.5. Distribusi Penderita Infark Miokard Akut dengan DM
yang Meninggal Menurut Kelompok Umur ………….
16
Tabel 2.6. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas
Berdasarkan IMT Menurut WHO ………
17
Tabel 2.7. Body Mass Indexpada Penderita PJK dan Kontrol ….. 17
Tabel 2.8. Golongan Usia pada Penderita Penyakit Jantung
Koroner dan Kontrol ………
19
Tabel 3.1. Skala Pengukuran Faktor yang Tidak Dapat
Dimodifikasi ……….
24
Tabel 3.2. Skala Pengukuran Faktoryang Dapat Dimodifikasi … 25
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Diagnosis Penyakit ... 29
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Kategori Umur……… 29
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin………. 30
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga PJK……….... 30
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Jumlah Faktor Risiko... 30
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Patofisiologi Terjadi Sindroma Koroner Akut ……….…. 8
Gambar 2.2 Diagram SKA MenurutESC Guidelines……….….….…. 9
DAFTAR LAMPIRAN
ABSTRAK
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah salah satu Penyakit Tidak Menular (PTM) terbanyak yang menyebabkan kematian di Indonesia. PJK merupakan penyebab utama kematian dini pada sekitar 40 % dari sebab kematian laki-laki usia menengah. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada sindroma koroner akut di RSUP. Haji Adam Malik (HAM) Medan. Hal ini penting dalam hal pencegahan primer maupun sekunder dalam program untuk mengurangi mortaitas dan morbiditas sindroma koroner akut.
Data penelitian dipilih dengan menggunakan tekniksimple random sampling. Penelitian ini dihitung terlebih dahulu jumlah subjek dalam populasi lalu menggunakan rumus dan dipilih secara acak sebanyak 72 sampel. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dari rekam medik pasien dan dari masing-masing sampel ditabulasi faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi sindroma koroner akut. Analisis data dilakukan dengan program SPSS.
Dari 72 penderita SKA yang diteliti lebih banyak terjadi pada kelompok usia 46-59 tahun 43,1% dan laki-laki 73,6%. Didapati persentase frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi dari persentase yang terbesar hingga persentase terkecil sebagai berikut merokok 58,3%, hipertensi 55,6%, diabetes melitus 40,3%, dan hiperkolesterolemia 11,1%. Dan dari data karakteristik faktor risiko, penderita SKA di RSUP. HAM sebagian besar memiliki faktor risiko yaitu merokok 23,6% dan merokok dengan hipertensi 15,3%.
Sebagian besar penderita SKA merupakan laki-laki, memiliki≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun. RSUP HAM diharapkan lebih memberikan perawatan intensif pada pasien yang memiliki ≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun.
ABSTRACT
Coronary Heart Disease (CHD) is one of the non-transmitting diseases that has been the most cause of death in Indonesia. Almost 40% of middle-age male was reported as CHD is the main cause of early death. Due to this matter, this research is done to know the frequency of the modifiable and non-modifiable factors of acute coronary syndrome (ACS) in Adam Malik Hospital in 2011. This matter is crucial in primary or even in secondary prevention as to suppress mortality and morbidity of ACS.
By using simple random sampling technique, this research was identified and samples was identified by using formula and 72 samples were picked randomly. Data was a secondary data and taken from patients’ medical records. Every samples was tabulated of its modifiable and non-modifiable factors of ACS. Data was analyzed using SPSS computer program.
Out of 72 ACS patients, obtained the most group of age is between 46-59 years old 43,1% and male patients 73,6%. Data was analyzed, it show the frequency from the most to the least of the modifiable factors are as follow respectively, smoking 58,3%, hypertension 55,6%, diabetes mellitus 40,3%, and hypercholesterolemia 11,1%. And characteristic data of risk factors show that the most of the ACS patients, which are smoking 23,6% and smoking with hypertension 15,3%.
ACS patients are mostly male, have ≥2 risk factors, and age between 46-59 years old. Adam Malik Hospital should give more intensive care to patient which have≥2 risk factors and age between 46-59 years old.
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyebab kematian terbanyak di
Indonesia dengan persentase 59,5% pada tahun 2007, hal ini berdasarkan data
Menteri Kesehatan. Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun
2005 penyakit tidak menular merupakan penyebab utama 58 juta kematian di
dunia, meliputi penyakit jantung dan pembuluh darah (30%), penyakit pernafasan
kronik dan penyakit kronik lainnya (16%), kanker (13%), cedera (9%) dan
diabetes melitus (2%).Berdasarkan data survei kesehatan rumah tangga (SKRT)
tahun 1996 menunjukkan bahwa proporsi penyakit ini meningkat dari tahun ke
tahun sebagai penyebab kematian. Tahun 1975 kematian akibat penyakit jantung
hanya 5,9%, tahun 1981 meningkat sampai dengan 9,1%, tahun 1986 meningkat
menjadi 16% dan tahun 1995 meningkat menjadi 19 %. Berdasarkan data
Departemen Kesehatan RI, sensus nasional tahun 2001 menunjukkan bahwa
kematian karena penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit jantung koroner
adalah sebesar 26,4 %. Dan sampai dengan saat ini penyakit jantung koroner juga
merupakan penyebab utama kematian dini pada sekitar 40 % dari sebab kematian
laki-laki usia menengah (Depkes, 2011).
Penyakit jantung merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Pada
tahun 2005 sedikitnya 17,5 juta atau setara dengan 30,0 % kematian di seluruh
dunia disebabkan oleh penyakit jantung. Menurut WHO, 60% dari seluruh
penyebab kematian penyakit jantung adalah penyakit jantung koroner (Supriyono,
2008).
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit degeneratif, mayoritas
diderita setelah usia lebih dari 40 tahun pada laki-laki dan wanita setelah
menopause. Tapi karena perubahan gaya atau budaya hidup di masyarakat seperti
diet kaya kolesterol, merokok, hipertensi, diabetes dan kurangnya olahraga,
menyebabkan kecendrungan insiden penderita penyakit jantung koroner telah
Prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia semakin hari semakin
meningkat dari tahun ketahun. SKRT Departemen Kesehatan RI tahun 1992
menunjukkan bahwa penyakit tersebut telah menempati urutan pertama dalam
penyebab kematian di Indonesia. Di Amerika Serikat, karena upaya masyarakat,
pelayanan kesehatan yang baik dan peranan dari pemerintah dalam
menanggulangi penyakit kardiovaskular angka kejadian penyakit tersebut
menurun, namun masih merupakan penyebab utama kematian. Dilaporkan bahwa
setiap tahun terdapat 1,5 juta penderita infark miokard dan terjadi kematian
sejumlah 500.000 pasien pertahun. Ternyata 50 persen dari kematian tersebut
justru terjadi sebelum penderita sampai di rumah sakit, yang terjadi pada jam-jam
pertama serangan akibat komplikasi infrak miokard terutama vibrilasi ventrikel
(VF) (Waspadji, 2003).
Berdasarkan penelitian Thom et al (2006) dalam Kleinschmidt (2008),
persentase mortalitas akibat penyakit kardiovaskular di Amerika menunjukkan
bahwa penyakit koroner memiliki persentase mortalitas tertinggi yaitu sebesar
53% dibandingkan dengan stroke sebesar 17%, gagal jantung dan hipertensi
sebesar 6%, penyakit vaskular sebesar 4%, dan lain-lain sebesar 14%.
Berdasarkan data Badan Litbang Depkes RI, penyakit kardiovakuler angka
prevalensinya bergeser dari urutan ke-9 pada tahun 1972, menjadi urutan ke-6
pada tahun 1980 dengan 5,9 kasus per 1000 penduduk. Secara spesifik prevalensi
penyakit kardiovaskuler terjadi pada kelompok umur kurang dari 40 tahun sebesar
3,1 % dan pada kelompok umur 40-49 tahun sebesar 19,9 % (Supriyono, 2008).
Menurut WHO (2012), Penyakit jantung koroner diklasifikasikan
berdasarkan diagnosis angina penderita yaitu angina pektoris (angina stabil) dan
sindroma koroner akut. Sindroma koroner akut (SKA) merupakan kumpulan
sindroma klinis nyeri dada disebabkan oleh kerusakan miokard yang diistilahkan
dengan infark miokard. SKA terdiri dari unstable angina (UA) atau angina
pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard (non-Q atau Q wave Miocardial
Infarction). Keadaan tersebut merupakan keadaan kegawatan dalam
kardiovaskuler yang memerlukan tatalaksana yang baik untuk menghindari
Penyebab SKA secara pasti belum diketahui, namun secara umum dikenal
berbagai faktor yang berperan penting terhadap timbulnya SKA yang disebut
sebagai faktor risiko SKA. Berdasarkan penelitian epidemiologis prospektif,
seperti penelitian Framingham, Multiple Risk Factors Interventions Trial dan
Minister Heart Study (PROCAM), diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk
menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko antara
lain : faktor yang tidak dapat dikendalikan(nonmodifiable risk factors)dan faktor
yang dapat dikendalikan (modifiable risk factors). Faktor yang tidak dapat
dikendalikan terdiri dari umur dan jenis kelamin. Faktor yang dapat dikendalikan
terdiri dari merokok, hipertensi, penyakit diabetes mellitus, obesitas dan
dislipidemia (Supriyono, 2008).
Identifikasi faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi
pada SKA sangat penting untuk mengendalikan kejadian SKA di Indonesia. Oleh
karena itu, berdasarkan identifikasi faktor tersebut maka dapat dilakukan tindakan
pencegahan dan penanggulangan SKA sedini mungkin untuk menurunkan angka
kejadian SKA.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
Bagaimana faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi
pada penderita sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP. H. Adam Malik
Medan tahun 2011?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui frekuensi kejadian faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dan
tidak dapat dimodifikasi pada penderita SKA pada pasien rawat inap RSUP. H.
Adam Malik Medan tahun 2011.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui perbandingan laki-laki dan perempuan sebagai faktor yang
tidak dapat dimodifikasi SKA.
2. Mengetahui usia rata-rata sebagai faktor yang tidak dapat dimodifikasi
3. Mengetahui riwayat penyakit keluarga sebagai faktor yang tidak dapat
dimodifikasi SKA.
4. Mengetahui persentase kebiasaan merokok sebagai faktor yang dapat
dimodifikasi pada penderita SKA.
5. Mengetahui persentase riwayat hipertensi sebagai faktor yang dapat
dimodifikasi pada penderita SKA.
6. Mengetahui persentase diabetes melitus sebagai faktor yang dapat
dimodifikasi pada penderita SKA.
7. Mengetahui persentase hiperkolesterolemia sebagai faktor yang dapat
dimodifikasi pada penderita SKA.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. RSUP. H. Adam Malik Medan dan dokter
o Memberikan informasi bagi pihak RSUP. H. Adam Malik Medan
sebagai unit pelayanan kesehatan agar mengetahui frekuensi kejadian
faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada
penderita SKA di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2011.
o Dengan mengetahui frekuensi kejadian faktor-faktor yang dapat
dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada penderita SKA, pihak
RSUP. H. Adam Malik Medan dapat meningkatkan pelayanan
pengobatan SKA di RSUP. H. Adam Malik Medan secara khusus.
2. Peneliti
o Memberikan informasi pada peneliti gambaran frekuensi kejadian
faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada
penderita SKA.
o Peneliti memperoleh pengetahuan dan pengalaman melakukan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sindroma Koroner Akut
2.1.1 Definisi Sindroma Koroner Akut
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan kumpulan sindroma klinis
nyeri dada disebabkan oleh kerusakan miokard yang diistilahkan dengan infark
miokard. SKA terdiri dari unstable angina(UA) atau angina pektoris tidak stabil
(APTS), infark miokard dengan ST-elevasi dan tanpa ST-elevasi. Ketiga keadaan
tersebut merupakan keadaan kegawatan dalam kardiovaskuler yang memerlukan
tatalaksana yang baik untuk menghindari tejadinya suddent death (Ramrakha dan
Hill, 2006).
Secara klinis, untuk mendiagnosis infark miokard menurut Supriyono
(2008) diperlukan 2 (dua) dari 3 (tiga) kriteria sebagai berikut :
1. Terdapat riwayat klinis: perasaan tertekan dan nyeri pada dada (angina), selama
30 menit atau lebih.
2. Perubahan gambaran EKG: segmen ST elevasi lebih dari 0,2 mV paling sedikit
2 (dua) precordial leads, depresi segmen ST lebih besar dari 0,1 mV paling
sedikit 2 (dua)leads, ketidaknormalan gelombang Q atau inversi gelombang T
paling sedikit 2 (dua)leads.
3. Peningkatan enzim pada jantung terutama kreatinin kinase 2 (dua) kali lebih
besar dari nilai normal pada pemeriksaan laboratorium dan peningkatan
troponin yang diakibatkan adanya kerusakan miosit pada otot jantung.
Data dari GRACE terhadap pasien yang datang ke rumah sakit dengan
keluhan nyeri dada ternyata diagnosis ST-Elevasi Miocardial Infraction(STEMI)
yang terbanyak (34%), Non ST-Elevasi Miocardial Infraction (NSTEMI) (31%)
Tabel 2.1. Jumlah Kasus SKA
Pasien %
STEMI 34%
NSTEMI 31%
UAP 29%
dan lain-lain 6%
Sumber : Budaj dkk, 2003
2.2. Patofisiologi Sindroma Koroner Akut
Pada saat pembuluh darah normal mengalami kerusakan pada lapisan
endotel. Faktor yang dapat menyebabkan kerusakan lapisan endotel yaitu faktor
hemodinamik seperti hipertensi, zat-zat vasokonstriktor, sitokin sel darah, asap
rokok, peningkatan gula darah dan oksidasi LDL. Lapisan endotel yang rusak
menjadi terganggu dan jaringan ikat pada pembuluh darah mengalami
thrombogenik sehingga terjadi primary hemostasis. Primary hemostasis
merupakan tahap awal pertahanan terhadap pendarahan. Proses ini bermula hanya
dalam beberapa saat setelah pembuluh rusak dan dicegah oleh adanya sirkulasi
platelet. Platelet akan menempel pada kolagen subendotel pembuluh darah dan
beragregasi untuk membentuk “Platelet plug” (Young dan Libby, 2007).
Kerusakan lapisan endotel pembuluh darah ini juga akan mengaktifkancell
molecule adhesion seperti sitokin, TNF-α, growth factor, dan kemokin. Limfosit
T dan monosit akan teraktivasi dan masuk ke permukaan endotel lalu berpindah
ke subendotel sebagai respon inflamasi. Monosit berproliferasi menjadi makrofag
dan mengikat LDL teroksidasi sehingga makrofag membentuk sel busa. Akibat
kerusakan endotel menyebabkan respon protektif dan terbentuk lesi fibrous, plak
aterosklerotik yang dipicu oleh inflamasi. Respon tersebut mengaktifkan faktor
Va dan VIIIa yang akan membentuk klot pada pembuluh darah. Teraktivasinya
kedua faktor tersebut dapat dipicu karena tidak terbentuknya protein C oleh liver
klot (Young dan Libby, 2007).
Aterosklerosis berkontribusi dalam pembentukan thrombus. Hal ini
dikarenakan teraktivasinya faktor VII dan X mengakibatkan terpaparnya sirkulasi
darah oleh zat-zat thrombogenik yang akan menyebakan rupturnya plak dan
hilangnya respon protektif seperti antithrombin dan vasodilator pada pembuluh
darah. Penyebab gangguan plak ini disebabkan faktor kimiawi yang tidak stabil
pada lesi aterosklerosis dan faktor stress fisik penderita. Disebakan adanya
perkembangan klot pada pembuluh darah dan tidak terstimulusnya produksi NO
dan prostasiklin pada lapisan endotel sebagai vasodilator sehingga terjadi
disfungsi endotel. Dengan adanya ruptur plak dan disfungsi endotel,
teraktivasinya kaskade koagulasi oleh pajanan tissue faktor dan terjadi agregasi
platelet yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga terjadi
thrombosis koroner (Young dan Libby, 2007).
Infrak miokard akut dengan segmen ST elevasi (STEMI) umumnya
terjadinya jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak. Kematian sel-sel miokard yang disebakan infark miokard
dapat mengakibatkan kekurangan oksigen. Sel-sel miokard mulai mati setelah
sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen (Corwin, 2002). Akibat
thrombus tersebut, kebutuhan ATP pembuluh darah untuk berkontraksi berkurang,
hal ini disebabkan kurangnya suplai oksigen sehingga pembentukan ATP
berkurang. Keadaan ini berdampak pada metabolisme mitokondria sehingga
terjadi perubahan proses pembentukan ATP menjadi anaerob glikolisis.
Berkurangnya ATP menghambat proses, Na+ K+-ATPase, peningkatan Na+ dan
Cl- intraselular, menyebakan sel menjadi bengkak dan mati (Fuster et al, 2011).
Akibat kematian sel tercetus reaksi inflamasi yang menyebabkan terjadi
penimbunan trombosit dan pelepasan faktor-faktor pembekuan dan membentuk
plak thrombus. Jika plak aterosklerosis mengalami ruptur atau ulserasi dan terjadi
ruptur lokal yang menyebabkan oklusi arteri koroner sehingga terjadilah infrak
2.3.3. Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS)
APTS merupakan angina yang timbul saat istirahat dan semakin lama
angina yang timbul semakin berat dengan gambaran EKG abnormal pada segmen
ST atau EKG normal dan tidak terdapat peningkatan troponin.
Secara klinis Angina pektoris tidak stabil memiliki diagnosis yang sama
dengan NSTEMI tetapi pada APTS tidak dijumpai kerusakan miokard dan
dijumpai pada gambran EKG yang abnormal atau EKG normal dan juga tidak
terjadi peningkatan troponin (Cannon and Braunwald, 2012).
2.4. Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut
Berdasarkan buku kardiologi oleh Bender (2006), diketahui bahwa faktor
risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih
faktor risiko antara lain : faktor yang tidak dapat dikendalikan (nonmodifiable
factors) dan faktor yang dapat dikendalikan (modifiable factors). Faktor yang
dapat dikendalikan, yaitu: merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus,
stress, makanan tinggi lemak, dan kurang aktivitas fisik. Sedangkan faktor yang
tidak dapat dikendalikan, yaitu: usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit
keluarga.
2.4.1. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi a. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang
menetap (Dorlan, 2002). Pada tahun 2003, JNC VII mengklasifikasikan tekanan
darah sistolik normal dibawah 120 mmHg dan tekanan darah diastolik dibawah 80
mmHg. Hipertensi dikategorikan menjadi dua grade yaitu dengan katergori
Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII
Tingkat 2 ≥ 160 Atau ≥100
Sumber: Fuster et al, 2010
Hipertensi pada koroner jantung biasanya disebabkan meningkatnya tekanan
darah dan mempercepat timbulnya aterosklerosis. Peningkatan tekanan darah
menyebabkan beban jantung menjadi berat, sehingga menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri (faktor miokard) pada akhirnya menyebabkan angina dan infark
miokardium. Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
Peningkatan tekanan darah yang menetap, menurut Anwar (2004), akan
menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria,
sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini
menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih
sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal dalam
penggunaan oksigen oleh miokardium.
b. Lipid
Lipid atau lemak mempunyai beberapa komponen yaitu kolesterol,
trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas. Kolesterol, trigliserida, fosfolipid
tidak larut dalam air yang terdapat di usus halus bergabung dengan apolipoprotein
diangkut dalam bentuk komponen yang disebut lipoprotein. Tubuh membentuk
empat jenis lipoprotein, yaitu kilomikron, VLDL (Very Low Density Lipoprotein),
LDL (Low Density Lipoprotein), dan HDL (High Density Lipoprotein)
(Almatsier, 2004).
Keempat lipoprotein yang dibentuk oleh tubuh mempunyai fungsi
masing-masing. Kilomikron berfungsi mengemulsi lemak sebelum masuk ke dalam aliran
asam lemak yang dapat langsung digunakan sebagai zat energi. VLDL dibentuk di
hati kemudian mengikat kolesterol yang ada pada lipoprotein lain dalam sirkulasi
darah. VLDL bertambah berat dan menjadi LDL. HDL berfungsi mengambil
kolesterol dan fosfolipid yang ada di dalam aliran darah lalu menyerahkannya ke
lipoprotein lain untuk diangkut kembali ke hati guna diedarkan kembali atau
dikeluarkan dari tubuh (Almatsier, 2004).
Hiperlidemia merupakan meningkatkan konsentrasi lemak dalam darah
(Dorland, 2002). Secara klinis, hiperlipidemia dinyatakan sebagai
hiperkolesterolemia, hipertrigliserida atau keduanya yang merupakan akumulasi
berlebih salah satu lemak utama dalam darah sebagai kelainan metabolisme
ataupun kelainan transportasi lemak (Waspadji, 2003). Pada buku Hurst’s
dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada
jantung. Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh
arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung, akan membentuk plak sehingga
pembuluh arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan
lemak akan mengalami aterosklerosis (Fuster et al, 2010). Hiperlipidemia juga
disebabkan karena abnormalnya lipoprotein dalam darah. Hal ini disebabkan
karena meningkatnya LDL kolesterol dan menurunnya HDL kolesterol (Kumar et
al, 2010).
Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida dapat mengindikasikan adanya
faktor risiko untuk aterosklerosis. Kadar kolesterol di atas 180 mg/dL pada orang
berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mg/dL untuk berusia lebih dari 30
tahun (Corwin E. J, 2001). Bila kadar kolersterol di atas 200 mg/dL merupakan
faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Hiperkolesterolemia berkaitan
erat dengan proses aterosklerosis pada usia 30-49 tahun, bila kadar kolesterol
mencapai 260 mg/dL, kemungkinan terjadinya klinis aterosklerosis 3-5 kali
dibandingkan dengan kadar kolesterol 220 mg/dL. Di bawah usia 50 tahun,
hiperkolesterolemia mengungguli faktor risiko hipertensi, obesitas dan faktor
Tabel 2.3. Frekuensi Hiperlipidemia Menjadi Penderita Infark Miokard
Kelahiran
% jumlah menjadi penderitaan infrak
miokard
Umur < 60 tahun Umur > 60 tahun
1. Monogenik hiperlipidemia 20,6 7,5
Penggunaan rokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar pada
penyakit tidak menular. Menurut data Susenas tahun 2001, jumlah perokok di
Indonesia sebesar 31,8%. Jumlah ini meningkat menjadi 32% pada tahun 2003,
dan meningkat lagi menjadi 35% pada tahun 2004. Pada tahun 2006,The Global
Youth Survey (GYTS) melaporkan 64,2% atau 6 dari 10 anak sekolah yang
disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga
(37,3%) pelajar biasa merokok, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah 30,9%
atau 3 diantara 10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur dibawah
10 tahun. Data Riset Riskesdas 2007 juga memperlihatkan tingginya penduduk
yang merokok. Jumlah perokok aktif penduduk umur > 15 tahun adalah 35.4%
(65.3% laki-laki dan 5.6% wanita), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok
aktif. Lebih bahaya lagi 85,4 % perokok aktif merokok dalam rumah bersama
anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan kesehatan lingkungan
(Depkes, 2007).
Merokok dapat merubah metabolisme, khususnya dengan meningkatnya
kadar kolersterol darah dan di samping itu dapat menurunkan HDL. Tingginya
kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya
Penelitian Framingham dalam Prof T.B. Anwar (2004), mendapatkan
kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki perokok 10x
lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih dari
pada bukan perokok. Hal ini disebabkan meningkatnya beban miokard yang
dipicu oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO
sehingga menimbulkan tahikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, merubah
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi karboksi
-Hb. Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan kadar HDL kolesterol
makin menurun. Penurunan kadar HDL kolesterol pada perempuan lebih besar
dibandingkan laki–laki perokok. Efek merokok ini akan berdampak langsung pada
peningkatan tingkat diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang
merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang
bukan perokok.
Tabel 2.4. Tingkat Morbiditas Penyakit Koroner yang Berhubungan
dengan Merokok
Pola Merokok Rasio Insiden
Bukan perokok 58
Hanya perokok cerutu dan pipa 71
Perokok sigaret
Sekitar ½ bungkus per hari 104
Sekitar 1 bungkus per hari 120
Lebih dari 1 bungkus per hari 183
Sumber : Waspadji, 2003
Merokok juga dapat mengubah konsentrasi serum lemak, terjadi
peningkatan peroksidasi LDL lalu dimetabolisme oleh makrofag, gangguan
intoleransi glukosa dan resistensi insulin sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah (Frati et al, 1996). Jika frekuensi dan intensitas merokok meningkat, maka
kecendrungan terjadi kerusakan pembuluh darah lebih tinggi sehingga lebih
d. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik,
ditandai oleh adanya hiperglikemia dan hiperlipidemia yang disebabkan oleh
defek sekresi insulin atau keduanya (Waspadji, 2003). Dalam penelitian Suyono
(2003), diabetes melitus merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan
perbandingan dua kali lebih tinggi dibanding non diabetes melitus. Diabetes
melitus bukan merupakan faktor tunggal risiko penyakit jantung koroner namun
obesitas, hipertensi, dan hiperlipidemia juga sering menggambarkan gangguan
karbohidrat. Dengan tingginya kadar insulin pada penderita DM dalam sirkulasi
darah menjadi salah satu faktor meningkatnya aterosklerosis.
Menurut Supriyono (2008), yang dimaksud dengan penderita DM dengan
kadar gula darah puasa >120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200 mg/dl akan
cenderung mengalami aterosklerosis pada usia yang lebih dini dan penyakit yang
ditimbulkan lebih cepat dan lebih berat pada penderita diabetes dari pada
non-diabetes. Pada keadaan ini, insulin berdampak penting dalam metabolisme lipid
dan kelainan-kelainan lipid pada penderita diabetes. Selain meupakan faktor risiko
penyakit jantung koroner, diabetes berkaitan dengan adanya abnormalitas
metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis
(peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen).
Penelitian Prof T. B. Anwar (2004) menunjukkan laki-laki yang
menderita DM risiko penyakit jantung koroner 50% lebih tinggi daripada orang
normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian
Waspadji (2003) menunjukkan adanya hubungan penderita DM dengan penyakit
Tabel 2.5. Distribusi Penderita Infark Miokard Akut dengan DM yang
Meninggal Menurut Kelompok Umur.
Kelompok
Umur
Infrak Miokard Akut +
DM
Infrak Miokard Akut Non
DM
Jumlah Kematian % Jumlah Kematian %
20–29 tahun 0 0 0,0 2 0 0,0
30–39 tahun 2 0 0,0 8 1 12,5
40–49 tahun 1 0 0,0 16 4 25,0
50–59 tahun 17 3 17,6 45 8 17,8
60–69 tahun 6 2 33,3 31 6 19,3
≥ 70 tahun 14 6 42,8 29 2 6,9
40 11 131 21 P<0,01
Sumber: Waspadji, 2003
e. Obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan dengan mengakumulasi lemak yang tidak
normal atau berlebihan di jaringan adiposa. Akibat akumulasi lemak tersebut
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan
sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri dari
hiperinsulinemia, intoleransi glukosa/diabetes melitus, hiperlipidemia, gangguan
fibrinolisis, dan hipertensi (Sugondo, 2002).
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator untuk menentukan berat
badan lebih yang praktis dan obesitas pada orang dewasa dengan perhitungan
Tabel 2.6. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT
Menurut WHO
Klasifikasi IMT (kg/m²)
Berat Badan Kurang <18,5
Kisaran Normal 18,5–24,9
Berat Badan Lebih >25
Pra-Obes 25,0–29,9
Obes Tingkat I 30,0–34,9
Obes Tingkat II 35,0–39,9
Obes Tingkat III >40
Sumber : Sugondo, 2006
Menurut Waspadji (2003), obesitas merupakan faktor independen terhadap
penyakit jantung koroner. Obesitas berhubungan erat dengan kadar kolesterol
serum, tekanan darah, dan toleransi glukosa. Dan obesitas tidak berdiri sendiri
sebagai faktor risiko penyakit jantung koroner, obesitas akan berpengaruh
terhadap aterosklerosis melalui hubungannya dengan hipertensi, hiperlipidemia
dan DM. Pada penelitiannya menunjukkan penderita yang BMI atau IMT >25
lebih banyak yang menderita PJK daripada kontrol.
Tabel 2.7. Body Mass Indexpada Penderita PJK dan Kontrol
BMI PJK Kontrol
N % N %
< 25 24 51,1 34 72,3
25–30 23 48,9 13 27,7
> 30 - - -
-Jumlah 47 100,0 47 100,0
Sumber : Waspadji, 2003
f. Stres
Stres, baik fisik maupun mental merupakan faktor risiko untuk penyakit
jantung koroner. Pada masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab
abnormalitas metabolisme lipid. Stres juga merangsang sistem kardiovaskuler
dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan kecepatan denyut jantung
dan menimbulkan vasokonstriksi (Supriyono, 2008).
g. Kurangnya Aktivitas Fisik
Pada penelitian observasional dalam buku Cardiology(Bender et al, 2011),
menunjukkan ada hubungan kuat antara aktivitas fisik dengan penyakit koroner.
Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkatan aktivitas fisik seseorang, semakin
banyak seseorang melakukan aktivitas fisik semakin rendah risiko terjadinya
penyakit jantung koroner.
Menurut penelitian Supriyono (2008), latihan fisik dapat meningkatan
curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ
yang aktif. Olahraga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik,
menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan
lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, dan memperbaiki sirkulasi
koroner. Akibat kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan kegemukan maka
akan menyebabkan orang yang kurang aktivitas menjadi gemuk. Pada umumnya
seseorang yang gemuk kurang aktif daripada seseorang dengan berat badan
normal (Waspadji, 2003).
2.4.2. Faktor Risiko yang tidak dapat dimodifikasi a. Usia
Pada penelitian Hanafiah (1993) terjadi peningkatan pasien infrak miokard
akut (IMA) di bawah usia 45 tahum dari 7% (1985) menjadi 18% (1991) dan
mayoritas penderita IMA adalah pria dibawah usia 45 tahun. Laki-laki ( 30 – 45
tahun) mengalami SKA lebih banyak daripada perempuan (setelah menopause,
insidennya meningkat pada perempuan) (Russ dan Fagan, 2002). Hal ini
dikarenakan kadar kolesterol perempuan sebelum menopause (45-60 tahun) lebih
rendah daripada laki-laki dengan usia yang sama.
Dari survei Waspadji (2003), memperlihatkan bahwa penderita penyakit
tahun telah dijumpai penderita penyakit jantung koroner. Pada umur tersebut telah
terjadi komplikasi plak-plak dalam pembuluh darah dan dapat mengalami
perkapuran. Plak-plak ini terus meningkat dengan bertambahnya umur.
Tabel 2.8. Golongan Usia pada Penderita Penyakit Jantung Koroner dan
Kontrol
Golongan Umur PJK Kontrol
N % N %
30–39 6 12,8 6 12,8
40–49 8 17,0 8 17,0
50–59 20 42,5 20 42,5
60–69 6 12,8 6 12,8
≥ 70 7 14,9 7 14,9
Jumlah 47 100,0 47 100,0
Sumber : Waspadji, 2003
Menurut Prof. T. B. Anwar (2004), risiko penyakit jantung koroner pada
penurunkan kadar kolesterol pada usia tua sangat bermanfaat. Hal tersebut
dibuktikan dengan penurunkan kadar kolesterol total 1% pada penderita, maka
terjadi penurunan 2% serangan jantung sehingga bila kadar kolesterol dapat
diturunkan 15% maka risiko penyakit jantung koroner akan berkurang 30%.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki mengalami sindrom koroner akut lebih banyak daripada
perempuan (setelah menopause, insidennya meningkat pada perempuan) (Russ
dan Fagan, 2002). Hal ini dikarenakan kadar kolesterol perempuan sebelum
menopause (45-60 tahun) lebih rendah daripada laki-laki dengan umur yang sama.
Setelah menopause kadar kolesterol perempuan biasanya akan meningkat menjadi
lebih tinggi daripada laki-laki. Hal tersebut terjadi karena pada perempuan
menopause mengalami penurunan produksi hormon estrogen dimana fungsi
c. Suku / Ras.
Pada kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki-laki
mendominasi kematian akibat penyakit jantung koroner, tetapi lebih nyata pada
kulit putih dan lebih serinditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua.
Onset penyakit jantung koroner pada wanita kulit putih umumnya 10 tahun lebih
lambat dibanding pria, dan pada wanita kulit berwarna lebih lambat sekitar 7
(tujuh) tahun. Insidensi kematian dini akibat penyakit jantung koroner pada orang
Asia yang tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan
juga angka yang rendah pada ras Afro-Karibia (Supriyono, 2008).
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi, hiperkolesterolemia, dan diabetes melitus dipengaruhi oleh
faktor genetik. Kedua hal tersebut berhubungan dengan mekanisme terjadinya
aterosklerosis (Bahri, 2004). Penyakit jantung koroner juga merupakan
manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang berhubungan dengan mekanisme
terjadinya aterosklerosis (Supriyono, 2008).
2.5. Pencegahan
Pencegahan merupakan salah satu upaya menurunkan angka kejadian
suatu penyakit. Pencegahan penyakit jantung koroner meliputi atas pencegahan
primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya proses patologis yang mendasari penyakit jantung koroner, mencegah
timbulnya aterosklerosis, dengan cara memberantas faktor-faktor risiko, dan
mencegah timbulnya hipertensi dengan membatasi konsumsi garam. Pencegahan
sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya serangan ulang atau progresifitas
penyakit jantung koroner (Bagindo, 1992). Menurut Majid (2008), pencegahan
penyakit kardiovaskuler harus dimulai sejak umur 20 tahun. Riwayat keluarga
dengan penyakit jantung koroner, merokok, diet, dan aktivitas fisik harus secara
rutin dipantau. Tekanan darah, kadar kolesterol, kadar gula darah (KGD puasa
<110 mg/dL), dan indeks masa tubuh harus diperiksa 2 tahun.
Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan untuk pencegahan primer, antara
1. Melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat luas mengenai
faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner (Bagindo, 1992).
2. Meningkatkan pembinaan pola hidup sehat, termasuk di dalamnya kebersihan
perorangan dan lingkungan, tidak merokok, memeriksakan tekanan darah
(<140/90 mmHg) secara teratur, makanan seimbang, menjaga berat badan
ideal, mengendalikan stres dan olahraga teratur (Bagindo, 1992).
3. Meningkatkan konsumsi makanan yang bervariasi seperti buah, sayur, sereal,
roti, ikan, dan makanan rendah lemak (Graham, 2007).
4. Berjalan sepanjang 3 km setiap hari atau melakukan aktivitas sedang selama 30
menit (Graham, 2007).
Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan untuk pencegahan sekunder
(Bagindo, 1992), antara lain adalah :
1. Penggunaan aspirin dan meneruskan penanggulangan faktor risiko.
2. Menyebarluaskan informasi tentang tanda-tanda serangan jantung.
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah :
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Umur
Jenis Kelamin
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi Merokok
Diabetes Melitus
Hiperkolesterolemia Sindroma Koroner
Akut
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
3.2. Definisi Operasional
Penderita SKA merupakan pasien yang dinyatakan menderita SKA
berdasarkan dokter RSUP Haji Adam Malik Medan yang tercatat di rekam medik.
• Cara menilai: melihat hasil anamnesis dan pemeriksaan EKG pada rekam medik pasien SKA. Diagnosis SKA ditegakkan berdasarkan EKG. EKG
merupakan standar baku emas untuk penegakkan diagnosis SKA. • Alat ukur: rekam medik.
• Hasil pengukuran: infrak miokard dengan ST elevasi (STEMI), infrak miokard tanpa ST elevasi (NSTEMI) dan angina pektoris tak stabil (APTS).
• Skala pengukuran: nominal.
Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor-faktor yang
memperbesar kemungkinan seseorang untuk menderita SKA yang ditentukan
secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak
dapat dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini adalah:
a. Usia adalah jumlah tahun hidup penderita SKA yang sesuai dengan
rekam medik tahun 2011.
b. Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita SKA baik laki-laki
ataupun perempuan yang sesuai dengan rekam medik tahun 2011.
c. Riwayat penyakit keluarga adalah riwayat yang menyebutkan adanya
anggota keluarga penderita tersebut yang menderita SKA yang tercatat
Tabel 3.1 Skala Pengukuran Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi adalah faktor-faktor yang
memperbesar kemungkinan seseorang untuk menderita SKA akibat dari gaya
hidup seseorang dan faktor ini dapat dimodifikasi. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah:
a. Merokok adalah kebiasaan merokok sehari-hari yang dilakukan
penderita SKA yang sesuai dengan rekam medik tahun 2011.
b. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial penderita SKA
yang diklasifikasikan berdasarkan JNC VII yang sesuai dengan rekam
medik tahun 2011.
c. Hiperkolesterolemia adalah adanya peningkatan kadar kolesterol >200
mg/dL pada penderita SKA sesuai dengan rekam medik tahun 2011.
d. Diabetes mellitus adalah adanya peningkatan kadar gula darah puasa
>120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200 mg/dl pada penderita SKA
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan dengan tujuan
untuk membuat gambaran faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat
dimodifikasi pada SKA. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini
adalah cross sectional, dimana pengumpulan data dilakukan hanya satu kali dan
dilakukan observasi rekam medik pasien sindroma koroner akut yang rawat inap
di RSUP. H. Adam Malik dalam kurun waktu Januari 2011 sampai Desember
2011.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Tempat ini dipilih karena merupakan rumah sakit pendidikan dan rujukan di
Sumatera Utara serta mudah dijangkau. Penelitian dilakukan pada bulan Maret
2012 sampai November 2012.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini berasal dari data sekunder yaitu pasien yang
menderita SKA pada bulan Januari 2011 sampai Desember 2011 di RSUP H.
Adam Malik Medan. Berdasarkan data dari bagian rekam medis RSUP H. Adam
Malik Medan pada tahun 2011, pasien berjumlah 288 orang.
4.3.2. Besar Sampel
Besar sampel sebanyak 72 orang yang dihitung dengan menggunakan
rumus besar sampel untuk populasi terbatas (Wahyuni, 2007), yaitu
= . . (1 )
( 1) + . . (1 )
Keterangan:
n = besar sampel minimum
N = jumlah populasi
= harga proporsi di populasi yang diinginkan bernilai maksimal, yaitu 0,5
d = kesalahan (absolut) yang dapat ditoleransi, yaitu 10%
= 288 . (1,96) . 0,5 (1 0,5)
(288 1)(0,1) + (1,96) . 0,5 (1 0,5)
n = 72,21 orang≈ 72 orang
4.3.3. Metode Pengambilan Sampel
Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan teknik probability
sampling/random sampeldengan jenissimple random sampling. Pada metode ini,
dihitung terlebih dahulu jumlah subjek dalam populasi yang akan dipilih
sampelnya (sebanyak 288 orang pada penelitian ini). Tiap subjek dalam populasi
diberi nomor, dan dipilih sebagian dari mereka sebanyak sampel yang diperlukan
berdasarkan perhitungan rumus (dalam penelitian ini 72 orang) secara acak. Jenis
pengambilan sampel ini dipilih karena tiap subjek dalam populasi mempunyai
kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel penelitian
sehingga sampel yang dipilih diharapkan dapat mewakili populasi atau dapat
digeneralisasikan ke populasi, dan dengan simple random sampling, pengacakan
pemilihan sampel lebih mudah diaplikasikan karena menggunakan bantuan tabel
angka random (Mukhtar, 2011).
4.4. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
yaitu data yang didapat dari rekam medik di RSUP. H. Adam Malik Medan dari
Januari 2011 sampai Desember 2011. Dari masing-masing sampel ditabulasi
faktor-faktor risiko sindrom koroner akut. Data mengenai faktor-faktor yang dapat
dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada SKA merupakan data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini.
4.5. Metode Analisa Data
Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan bantuan
program SPSS for Windows. Analisis statistik yang digunakan adalah statistik
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP. HAM) kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit Pemerintah dengan Kategori Kelas A. Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP HAM Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk Wilayah Sumatera yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5.1.2. Karakterisktik Individu
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Diagnosis
Frekuensi (n) %
STEMI 46 63,9
UAP 16 22,2
NSTEMI 10 13,9
Total 72 100,0
a. Kategori Usia
Dari tabel 5.2. diketahui bahwa dari 72 penderita SKA berada pada kelompok usia 46-59 tahun yaitu sebanyak 31 orang (43,1%), kelompok usia ≥60 tahun sebanyak 29 orang (40,3%), sedangkan proporsi terkecil berada pada kelompok usia≤45 tahun yaitu sebanyak 12 orang (16,7%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
b. Jenis Kelamin
Dari tabel 5.3. diketahui bahwa dari 72 penderita SKA yang memiliki proporsi terbesar pada kelompok laki-laki yaitu sebanyak 53 orang (73,6%), sedangkan proporsi terkecil berada pada kelompok perempuan yaitu sebanyak 19 orang (26,4%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Kategori Usia
Usia (tahun) Frekuensi (n) %
46-59 31 43,1
≥60 29 40,3
≤45 12 16,7
c. Riwayat PJK dalam Keluarga
Dari tabel 5.4. diketahui bahwa dari 72 penderita SKA di RSUP. HAM yang memiliki riwayat PJK dalam keluarga yaitu sebanyak 11 orang (15,3%), sedangkan yang tidak memiliki riwayat PJK dalam keluarga yaitu sebanyak 61 orang (84,7%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Riwayat PJK dalam Keluarga
Riwayat PJK Keluarga Frekuensi (n) %
Tidak Ada 61 84,7
Ada 9 15,3
Total 72 100,0
d. Faktor yang Dapat Dimodifikasi
Dari tabel 5.5. diketahui bahwa dari 72 penderita SKA sebagian besar faktor yang dapat dimodifikasi yaitu merokok sebanyak 42 orang (58,3%) lalu yang menderita hipertensi sebanyak 40 orang (55,6%), diabetes melitus 28 orang (40,3%), dan hiperkolesterolemia sebanyak 8 orang (11,1%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Faktor yang Dapat Dimodifikasi
Frekuensi %
Merokok 42 58,3
Hipertensi 40 55,6
Diabetes Melitus 29 40,3
Hiperkolesterol 8 11,1
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi (n) %
Laki-Laki 53 73,6
Perempuan 19 26,4
e. Distribusi Frekuensi Karakteristik Faktor Risiko
Berdasarkan tabel 5.10, menunjukkan bahwa faktor risiko dari 72 penderita SKA lebih banyak terjadi pada penderita SKA yang hanya memiliki riwayat merokok 17 orang (23,6%), diikuti riwayat merokok dengan hipertensi 11 orang (15,3%), dan hipertensi dengan DM 8 orang (11,1%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Karakteristik Faktor Risiko
Faktor Risiko Frekuensi (n) %
Merokok 17 23,6
Merokok + Hipertensi 11 15,3
Hipertensi + DM 8 11,1
Hipertensi 7 9,7
Merokok + Hipertensi + DM 7 9,7
DM 6 8,3
Merokok + DM 4 5,6
Tidak Ada 4 5,6
Hipertensi + Hiperkolesterol 2 2,8
Hipertensi + DM + Hiperkolesterol 2 2,8
Merokok + Hipertensi + DM + Hiperkolesterol 2 2,8
Hiperkolesterolemia 1 1,4
Merokok + Hipertensi + Hiperkolesterol 1 1,4
5.2. Pembahasan
Penyakit jantung koroner diklasifikasikan berdasarkan diagnosis angina penderita yaitu angina pektoris (angina stabil) dan SKA (WHO, 2012). Berdasarkan pengertian tersebut, PJK dengan SKA memiliki faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodikasi yang saling berkaitan.
5.2.1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Usia
Berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa dari 72 penderita SKA, kelompok usia 46-59 tahun merupakan kelompok usia yang memiliki frekuensi terbesar. Hal ini sejalan dengan penelitian Nasution (2011) , yang menunujukkan bahwa jumlah penderita PJK lebih banyak pada kelompok usia 46-59 tahun yaitu sebanyak 54 orang (35,3%), kelompok usia >60 tahun sebanyak 50 orang (32,7%), sedangkan proporsi terkecil berada pada kelompok usia <45 tahun yaitu sebanyak 49 orang (32%).
Pada kelompok usia 46-59 tahun merupakan kelompok usia yang aktif bekerja sehingga dapat berdampak pada gaya hidup, seperti mudah stres, kurangnya aktivitas fisik, pola makan yang tidak teratur maupun berlebihan. Kurangnya aktivitas fisik dan pola makan berlebihan dapat menyebabkan kegemukan akibat akumulasi lemak berlebihan sehingga dapat berpengaruh terhadap aterosklerosis.
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel 5.3, menunjukkan bahwa penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak pada laki-laki (73,6%). Hal ini sejalan dengan penjelasan Russ dan Fagan (2002) yang menyatakan laki-laki yang mengalami sindrom koroner akut lebih banyak daripada perempuan (setelah menopause,
insidennya meningkat pada perempuan) (Russ dan Fagan, 2002). Penelitian ini
sebagian besar adalah perempuan menopause sebanyak 16 orang (84,2%), hal ini
terjadi karena pada perempuan pra-menopause kadar kolesterol dalam darah lebih
rendah daripada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar
laki-laki, hal ini disebabkan pada perempuan menopause mengalami penurunan
produksi hormon estrogen dimana fungsi hormon estrogen dapat menurunkan
kadar kolesterol dalam darah (Anwar, 2004).
c. Riwayat Penyakit Jantung Koroner dalam Keluarga
Berdasarkan tabel 5.4, menunjukkan bahwa penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak yang tidak mempunyai riwayat PJK dalam keluarga (84,7%). Bila dibandingkan dengan penelitian Nababan (2010), jumlah penderita yang memiliki riwayat keluarga pada penelitian ini lebih sedikit daripada penelitian yang dilakukan Nababan (2008) sebesar 41,4% (29 orang).
Hal di atas dapat terjadi karena sebagian besar rekam medis tidak tercantum riwayat penyakit keluarga sehingga dianggap tidak memiliki riwayat penyakit keluarga dan riwayat PJK keluarga cenderung terjadi pada subjek yang berusia <45 tahun. Dan penelitian ini lebih banyak subjek yang berusia >45 tahun.
5.2.2. Faktor yang Dapat Dimodifikasi
Berdasarkan tabel 5.5, menunjukkan bahwa penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak memiliki riwayat merokok (58,3%) Hal ini sejalan dengan penelitian Goldenberg (2003), yang menunujukkan bahwa 32,7% kematian pada penderita PJK terdapat riwayat merokok sebagai indepentdent predictorkejadiancardiac arrestpada penderita PJK.
Hal tersebut dapat terjadi karena rokok mengandung nikotin dan kabon monoksida yang dapat mengurangi kolesterol baik (HDL) dalam darah dan meningkatkan kolesterol jahat (LDL) dalam darah sehingga merusak dinding dalam arteri, menurunkan jumlah darah yang mencapai jaringan dan meningkatkan kecenderungan darah untuk membeku (Nababan, 2008). Pada penelitian Framingham dalam Anwar (2004), didapat kematian mendadak akibat
penyakit jantung koroner pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada bukan
yang tidak merokok, dan mortalitas PJK 70%, lebih tinggi pada perokok dan dua kali lebih tinggi pada perokok berat dibanding yang tidak merokok.
Frekuensi penderita SKA yang menderita hipertensi merupakan salah satu frekuensi terbesar setelah riwayat merokok. Hal ini sejalan dengan penelitian Malau (2011), yang menunjukkan bahwa pasien PJK di RSUP. H. Adam Malik pada tahun 2010 yang menderita hipertensi sebesar 56,6%.
Pada penelitian Anwar (2004) dijelaskan bahwa hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang menetap sehingga akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria dan memudahkan
terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina
pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada
penderita hipertensi dibandingkan orang normal dalam penggunaan oksigen oleh
miokardium.
Pada penelitian ini menunjukkan frekuensi DM dan hiperkolesterolemia
pada penderita SKA tidak sebanyak faktor yang dapat dimodifikasi lainnya. Hal
ini disebabkan mungkin karena perbedaan pada pola hidup seperti pola makan, tempat tinggal dan kebiasaan merokok (pada penelitian ini lebih banyak yang memiliki riwayat merokok). Walaupun demikian, pada penelitian Suyono (2003) dan Anwar (2004) menyatakan bahwa penderita DM lebih berisiko 2 kali menderita PJK daripada non-DM. Dan pada penelitian Waspadji (2003) menyatakan bahwa orang yang mengalami hiperkolesterolemia kemungkinan terjadinya aterosklerosis 3-5 kali sehingga mempercepat terjadinya PJK.
Pada Penelitian ini penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak yang memliki≥2 faktor risiko (51,4%). Hal ini sejalan dengan penelitian Berger et al (2010) yang menunjukkan bahwa pada kelompok yang memiliki ≥2 faktor risiko akan lebih berisiko PJK > 20%. Berdasarkan penelitian tersebut, dampak bagi individu yang memiliki ≥2 faktor risiko akan mempercepat akumulasi terjadinya aterosklerosis yang merupakan penyebab utama PJK dan berisiko menjadiperipheral artery disease,strokeatauheart failure.
(23,6%) dan merokok dengan hipertensi (15,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Nababan (2008) bahwa rokok dapat mengurangi kolesterol baik (HDL) dalam darah dan meningkatkan kolesterol jahat (LDL) dalam darah sehingga merusak dinding dalam arteri, menurunkan jumlah darah yang mencapai jaringan dan meningkatkan kecenderungan darah untuk membeku. Sedangkan hipertensi menurut Anwar (2004) merupakan peningkatan tekanan darah yang menetap sehingga akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah
arteri koronaria dan memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor
koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard
infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang
normal dalam penggunaan oksigen oleh miokardium.
Jika disertai hipertensi yang akan menyebabkantrauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koroner, maka akan terjadi akumulasi dan
mempercepat terjadinya aterosklerosis sehingga terjadi PJK (Anwar, 2004). Pada
kategori “Tidak Ada” pada tabel 5.6. adalah penderita SKA yang hanya memiliki
faktor risko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu pada kategori usia >60 tahun
(tabel terlampir) dimana pada kategori usia tersebut mungkin telah terjadi
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan data yang diperoleh, frekuensi diagnosis penderita SKA di RSUP. HAM terbanyak adalah STEMI (56,2%).
2. Berdasarkan data yang diperoleh, penderita SKA di RSUP. HAM lebih banyak pada kelompok usia 46-59 tahun (43,1%), laki-laki (73,6%), dan tidak memiliki riwayat PJK keluarga (84,7%).
3. Berdasarkan data yang diperoleh, frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi pada penderita SKA yaitu merokok (58,3%), hipertensi (55,6%), diabetes melitus (40,3%), dan hiperkolesterolemia (11,1%).
4. Berdasarkan data karakteristik faktor risiko, penderita SKA di RSUP. HAM sebagian besar memiliki faktor risiko merokok (23,6%) dan merokok dengan hipertensi (15,3%).
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang dapat disampaikan adalah 1. Kepada pihak rumah sakit agar lebih memperlengkap status pada rekam
medis dan diharapkan lebih memberikan perawatan intensif pada pasien yang memiliki≥2 faktor risikodan pada kelompok umur 46-59 tahun karena hal ini sangat berguna baik bagi kepentingan penderita, klinisi maupun untuk penelitian.
2. Perlu adanya peningkatan promosi kesehatan oleh petugas kesehatan kepada masyarakat tentang pencegahan untuk meningkatan kualitas hidup melalui perilaku hidup sehat dengan cara mencegah faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi terjadinya SKA