• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Dapat Dimodifikasi Dan Tidak Dapat Dimodifikasi Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor yang Dapat Dimodifikasi Dan Tidak Dapat Dimodifikasi Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2011"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

UNI

TAHUN 2011

Oleh :

FURQAN ARIEF

090100221

FAKULTAS KEDOKTERAN

NIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012

(2)

“Karya Tulis Il

UNI

TAHUN 2011

is Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syar

memperoleh

kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh :

FURQAN ARIEF

090100221

FAKULTAS KEDOKTERAN

NIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012

syarat untuk

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : Faktor yang Dapat Dimodifikasi dan Tidak Dapat Dimodifikasi

Pada Penderita Sindroma Koroner Akut di RSUP. H. Adam Malik

Medan Tahun 2011

NAMA : Furqan Arief

NIM : 090100221

Pembimbing Penguji I

(dr. Rumondang Pulungan, M.Kes) (dr. Tapisari Tambunan, SpPK)

NIP. 19611210 198703 2 007 NIP. 19530608 198190 2 001

Penguji II

(dr. M. Surya Husada, SpKJ)

NIP. 19800203 200801 1 011

Medan, Desember 2012

Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH

(4)

ABSTRAK

Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah salah satu Penyakit Tidak Menular (PTM) terbanyak yang menyebabkan kematian di Indonesia. PJK merupakan penyebab utama kematian dini pada sekitar 40 % dari sebab kematian laki-laki usia menengah. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada sindroma koroner akut di RSUP. Haji Adam Malik (HAM) Medan. Hal ini penting dalam hal pencegahan primer maupun sekunder dalam program untuk mengurangi mortaitas dan morbiditas sindroma koroner akut.

Data penelitian dipilih dengan menggunakan tekniksimple random sampling. Penelitian ini dihitung terlebih dahulu jumlah subjek dalam populasi lalu menggunakan rumus dan dipilih secara acak sebanyak 72 sampel. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dari rekam medik pasien dan dari masing-masing sampel ditabulasi faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi sindroma koroner akut. Analisis data dilakukan dengan program SPSS.

Dari 72 penderita SKA yang diteliti lebih banyak terjadi pada kelompok usia 46-59 tahun 43,1% dan laki-laki 73,6%. Didapati persentase frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi dari persentase yang terbesar hingga persentase terkecil sebagai berikut merokok 58,3%, hipertensi 55,6%, diabetes melitus 40,3%, dan hiperkolesterolemia 11,1%. Dan dari data karakteristik faktor risiko, penderita SKA di RSUP. HAM sebagian besar memiliki faktor risiko yaitu merokok 23,6% dan merokok dengan hipertensi 15,3%.

Sebagian besar penderita SKA merupakan laki-laki, memiliki≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun. RSUP HAM diharapkan lebih memberikan perawatan intensif pada pasien yang memiliki ≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun.

(5)

ABSTRACT

Coronary Heart Disease (CHD) is one of the non-transmitting diseases that has been the most cause of death in Indonesia. Almost 40% of middle-age male was reported as CHD is the main cause of early death. Due to this matter, this research is done to know the frequency of the modifiable and non-modifiable factors of acute coronary syndrome (ACS) in Adam Malik Hospital in 2011. This matter is crucial in primary or even in secondary prevention as to suppress mortality and morbidity of ACS.

By using simple random sampling technique, this research was identified and samples was identified by using formula and 72 samples were picked randomly. Data was a secondary data and taken from patients’ medical records. Every samples was tabulated of its modifiable and non-modifiable factors of ACS. Data was analyzed using SPSS computer program.

Out of 72 ACS patients, obtained the most group of age is between 46-59 years old 43,1% and male patients 73,6%. Data was analyzed, it show the frequency from the most to the least of the modifiable factors are as follow respectively, smoking 58,3%, hypertension 55,6%, diabetes mellitus 40,3%, and hypercholesterolemia 11,1%. And characteristic data of risk factors show that the most of the ACS patients, which are smoking 23,6% and smoking with hypertension 15,3%.

ACS patients are mostly male, have ≥2 risk factors, and age between 46-59 years old. Adam Malik Hospital should give more intensive care to patient which have≥2 risk factors and age between 46-59 years old.

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang dengan petunjuk dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis selama melakukan penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini telah memperoleh dukungan secara moral, ide dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu dr. Rumondang Pulungan, M.Kes selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk dapat memberikan bimbingan, saran, motivasi serta semangat sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan. 3. Ibu dr. Tapisari Tambunan, SpPK KH selaku Dosen Penguji I dan Bapak dr.

M. Surya Husada, SpKJ selaku Dosen Penguji II yang turut memberikan saran dan nasehat-nasehat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Hotma Partogi, Sp.OG(K) yang telah menjadi dosen penasehat akademik penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5. Teristimewa Ayahanda tercinta dr. Zulfikri Mukhtar, SpJP (K) FIHA dan Ibunda tercinta Nini Yuliarni yang selama ini telah membesarkan, mendidik, memberikan kasih sayang, memberikan dukungan serta doa kepada saya selaku penulis dalam menjalani pendidikan di FKUSU.

(7)

Wahyuni, M.Kes yang telah memberikan ide dan saran kepada saya dalam mengerjakan karya tulis ilmiah ini.

7. Terima kasih kepada seluruh staf RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu administrasi perizinan untuk melakukan penelitian dan pengambilan data di bagian rekam medik.

8. Terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan civitas akademika FakultasKedokteran Universitas Sumatera Utara.

9. Teman-teman dekat saya, Baginda Yusuf Siregar, M. Desfrianda Pane, Christy Dymphna Akip, Feby Putri Lestari, Maulida Septianita, Tiah Nurbaiti L, Fildzah Yamami R, Cicimei Putriyani S, Dizalia Ananda, Andru Aswar, Donny Dian P, Abduh Halim P, M. Effendy N, Faris Akbar N, dan teman seperjuangan angkatan 2009 Fakultas Kedokteran Universitas lainnya yag tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah membantu, berjuang serta berpartisipasi dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan, khususnya bagi pembaca karya ilmiah ini.

Medan, 08 Desember 2012 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

1.3. Tujuan Penelitian ... ... 3

1.4. ManfaatPenelitian………. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………. 5

2.1. Sindroma Koroner Akut... 5

2.1.1. Defenisi Sindroma Koroner Akut ... 5

2.2. Patofisiologi Sindroma Koroner Akut ... 6

2.3. Klasifikasi Sindroma Koroner Akut ... 8

2.3.1. Infark Miokard Akut dengan ST Elevasi ... 8

2.3.2. Infark Miokard Akut tanpa ST Elevasi... 9

2.3.3. Angina Pektoris Tidak Stabil... 10

2.4. Faktor Risiko Sindroma Koroner Akut... 10

2.4.1. Faktor yang Dapat Dimodifikasi... 10

a. Hipertensi... 10

2.4.2. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi... 18

a. Usia ... 18

b. Jenis Kelamin ... 19

c. Suku / Ras ... 19

d. Riwayat PJK dalam Keluarga ... 20

(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 22

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 22

3.2. Defenisi Operasional... 23

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 26

4.1. Rancangan Penelitian... 26

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 26

4.3.1. Populasi Penelitian... 26

4.3.2. Besar Sampel ... 26

4.3.3. Metode Pengambilan Sampel ... 27

4.4. Metode Pengumpulan Data... 27

4.5. Metode Analisis Data... 27

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 28

5.1. Hasil Penelitian ... 28

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 28

5.1.2.Karakterisktik Individu ... 28

a. Kategori Usia ... 29

b. Jenis Kelamin ... 29

c. Riwayat PJK dalam Keluarga ... 30

d. Faktor yang Dapat Dimodifikasi ... 30

i. Karakteristik Faktor Risiko ... 31

5.2. Pembahasan ... 32

5.2.1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi ... 32

a. Usia ... 32

b. Jenis Kelamin ... 32

c. Riwayat PJK dalam Keluarga ... 33

5.2.2. Faktor yang Dapat Dimodifikasi ... 33

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………...……… 36

6.1. Kesimpulan ... 36

6.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA……..... 37

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Jumlah Penderita Sindroma Koroner Akut………….. 6

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII ………. 11

Tabel 2.3. Frekuensi Hiperlipidemia Menjadi Penderita Infark

Miokard ………

13

Tabel 2.4. Tingkat Morbiditas Penyakit Koroner yang

Berhubungan dengan Merokok ………

14

Tabel 2.5. Distribusi Penderita Infark Miokard Akut dengan DM

yang Meninggal Menurut Kelompok Umur ………….

16

Tabel 2.6. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas

Berdasarkan IMT Menurut WHO ………

17

Tabel 2.7. Body Mass Indexpada Penderita PJK dan Kontrol ….. 17

Tabel 2.8. Golongan Usia pada Penderita Penyakit Jantung

Koroner dan Kontrol ………

19

Tabel 3.1. Skala Pengukuran Faktor yang Tidak Dapat

Dimodifikasi ……….

24

Tabel 3.2. Skala Pengukuran Faktoryang Dapat Dimodifikasi … 25

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Diagnosis Penyakit ... 29

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Kategori Umur……… 29

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin………. 30

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga PJK……….... 30

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Jumlah Faktor Risiko... 30

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Patofisiologi Terjadi Sindroma Koroner Akut ……….…. 8

Gambar 2.2 Diagram SKA MenurutESC Guidelines……….….….…. 9

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

ABSTRAK

Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah salah satu Penyakit Tidak Menular (PTM) terbanyak yang menyebabkan kematian di Indonesia. PJK merupakan penyebab utama kematian dini pada sekitar 40 % dari sebab kematian laki-laki usia menengah. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada sindroma koroner akut di RSUP. Haji Adam Malik (HAM) Medan. Hal ini penting dalam hal pencegahan primer maupun sekunder dalam program untuk mengurangi mortaitas dan morbiditas sindroma koroner akut.

Data penelitian dipilih dengan menggunakan tekniksimple random sampling. Penelitian ini dihitung terlebih dahulu jumlah subjek dalam populasi lalu menggunakan rumus dan dipilih secara acak sebanyak 72 sampel. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dari rekam medik pasien dan dari masing-masing sampel ditabulasi faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi sindroma koroner akut. Analisis data dilakukan dengan program SPSS.

Dari 72 penderita SKA yang diteliti lebih banyak terjadi pada kelompok usia 46-59 tahun 43,1% dan laki-laki 73,6%. Didapati persentase frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi dari persentase yang terbesar hingga persentase terkecil sebagai berikut merokok 58,3%, hipertensi 55,6%, diabetes melitus 40,3%, dan hiperkolesterolemia 11,1%. Dan dari data karakteristik faktor risiko, penderita SKA di RSUP. HAM sebagian besar memiliki faktor risiko yaitu merokok 23,6% dan merokok dengan hipertensi 15,3%.

Sebagian besar penderita SKA merupakan laki-laki, memiliki≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun. RSUP HAM diharapkan lebih memberikan perawatan intensif pada pasien yang memiliki ≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun.

(14)

ABSTRACT

Coronary Heart Disease (CHD) is one of the non-transmitting diseases that has been the most cause of death in Indonesia. Almost 40% of middle-age male was reported as CHD is the main cause of early death. Due to this matter, this research is done to know the frequency of the modifiable and non-modifiable factors of acute coronary syndrome (ACS) in Adam Malik Hospital in 2011. This matter is crucial in primary or even in secondary prevention as to suppress mortality and morbidity of ACS.

By using simple random sampling technique, this research was identified and samples was identified by using formula and 72 samples were picked randomly. Data was a secondary data and taken from patients’ medical records. Every samples was tabulated of its modifiable and non-modifiable factors of ACS. Data was analyzed using SPSS computer program.

Out of 72 ACS patients, obtained the most group of age is between 46-59 years old 43,1% and male patients 73,6%. Data was analyzed, it show the frequency from the most to the least of the modifiable factors are as follow respectively, smoking 58,3%, hypertension 55,6%, diabetes mellitus 40,3%, and hypercholesterolemia 11,1%. And characteristic data of risk factors show that the most of the ACS patients, which are smoking 23,6% and smoking with hypertension 15,3%.

ACS patients are mostly male, have ≥2 risk factors, and age between 46-59 years old. Adam Malik Hospital should give more intensive care to patient which have≥2 risk factors and age between 46-59 years old.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyebab kematian terbanyak di

Indonesia dengan persentase 59,5% pada tahun 2007, hal ini berdasarkan data

Menteri Kesehatan. Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun

2005 penyakit tidak menular merupakan penyebab utama 58 juta kematian di

dunia, meliputi penyakit jantung dan pembuluh darah (30%), penyakit pernafasan

kronik dan penyakit kronik lainnya (16%), kanker (13%), cedera (9%) dan

diabetes melitus (2%).Berdasarkan data survei kesehatan rumah tangga (SKRT)

tahun 1996 menunjukkan bahwa proporsi penyakit ini meningkat dari tahun ke

tahun sebagai penyebab kematian. Tahun 1975 kematian akibat penyakit jantung

hanya 5,9%, tahun 1981 meningkat sampai dengan 9,1%, tahun 1986 meningkat

menjadi 16% dan tahun 1995 meningkat menjadi 19 %. Berdasarkan data

Departemen Kesehatan RI, sensus nasional tahun 2001 menunjukkan bahwa

kematian karena penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit jantung koroner

adalah sebesar 26,4 %. Dan sampai dengan saat ini penyakit jantung koroner juga

merupakan penyebab utama kematian dini pada sekitar 40 % dari sebab kematian

laki-laki usia menengah (Depkes, 2011).

Penyakit jantung merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Pada

tahun 2005 sedikitnya 17,5 juta atau setara dengan 30,0 % kematian di seluruh

dunia disebabkan oleh penyakit jantung. Menurut WHO, 60% dari seluruh

penyebab kematian penyakit jantung adalah penyakit jantung koroner (Supriyono,

2008).

Penyakit jantung koroner merupakan penyakit degeneratif, mayoritas

diderita setelah usia lebih dari 40 tahun pada laki-laki dan wanita setelah

menopause. Tapi karena perubahan gaya atau budaya hidup di masyarakat seperti

diet kaya kolesterol, merokok, hipertensi, diabetes dan kurangnya olahraga,

menyebabkan kecendrungan insiden penderita penyakit jantung koroner telah

(16)

Prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia semakin hari semakin

meningkat dari tahun ketahun. SKRT Departemen Kesehatan RI tahun 1992

menunjukkan bahwa penyakit tersebut telah menempati urutan pertama dalam

penyebab kematian di Indonesia. Di Amerika Serikat, karena upaya masyarakat,

pelayanan kesehatan yang baik dan peranan dari pemerintah dalam

menanggulangi penyakit kardiovaskular angka kejadian penyakit tersebut

menurun, namun masih merupakan penyebab utama kematian. Dilaporkan bahwa

setiap tahun terdapat 1,5 juta penderita infark miokard dan terjadi kematian

sejumlah 500.000 pasien pertahun. Ternyata 50 persen dari kematian tersebut

justru terjadi sebelum penderita sampai di rumah sakit, yang terjadi pada jam-jam

pertama serangan akibat komplikasi infrak miokard terutama vibrilasi ventrikel

(VF) (Waspadji, 2003).

Berdasarkan penelitian Thom et al (2006) dalam Kleinschmidt (2008),

persentase mortalitas akibat penyakit kardiovaskular di Amerika menunjukkan

bahwa penyakit koroner memiliki persentase mortalitas tertinggi yaitu sebesar

53% dibandingkan dengan stroke sebesar 17%, gagal jantung dan hipertensi

sebesar 6%, penyakit vaskular sebesar 4%, dan lain-lain sebesar 14%.

Berdasarkan data Badan Litbang Depkes RI, penyakit kardiovakuler angka

prevalensinya bergeser dari urutan ke-9 pada tahun 1972, menjadi urutan ke-6

pada tahun 1980 dengan 5,9 kasus per 1000 penduduk. Secara spesifik prevalensi

penyakit kardiovaskuler terjadi pada kelompok umur kurang dari 40 tahun sebesar

3,1 % dan pada kelompok umur 40-49 tahun sebesar 19,9 % (Supriyono, 2008).

Menurut WHO (2012), Penyakit jantung koroner diklasifikasikan

berdasarkan diagnosis angina penderita yaitu angina pektoris (angina stabil) dan

sindroma koroner akut. Sindroma koroner akut (SKA) merupakan kumpulan

sindroma klinis nyeri dada disebabkan oleh kerusakan miokard yang diistilahkan

dengan infark miokard. SKA terdiri dari unstable angina (UA) atau angina

pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard (non-Q atau Q wave Miocardial

Infarction). Keadaan tersebut merupakan keadaan kegawatan dalam

kardiovaskuler yang memerlukan tatalaksana yang baik untuk menghindari

(17)

Penyebab SKA secara pasti belum diketahui, namun secara umum dikenal

berbagai faktor yang berperan penting terhadap timbulnya SKA yang disebut

sebagai faktor risiko SKA. Berdasarkan penelitian epidemiologis prospektif,

seperti penelitian Framingham, Multiple Risk Factors Interventions Trial dan

Minister Heart Study (PROCAM), diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk

menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko antara

lain : faktor yang tidak dapat dikendalikan(nonmodifiable risk factors)dan faktor

yang dapat dikendalikan (modifiable risk factors). Faktor yang tidak dapat

dikendalikan terdiri dari umur dan jenis kelamin. Faktor yang dapat dikendalikan

terdiri dari merokok, hipertensi, penyakit diabetes mellitus, obesitas dan

dislipidemia (Supriyono, 2008).

Identifikasi faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi

pada SKA sangat penting untuk mengendalikan kejadian SKA di Indonesia. Oleh

karena itu, berdasarkan identifikasi faktor tersebut maka dapat dilakukan tindakan

pencegahan dan penanggulangan SKA sedini mungkin untuk menurunkan angka

kejadian SKA.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:

Bagaimana faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi

pada penderita sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP. H. Adam Malik

Medan tahun 2011?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui frekuensi kejadian faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dan

tidak dapat dimodifikasi pada penderita SKA pada pasien rawat inap RSUP. H.

Adam Malik Medan tahun 2011.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui perbandingan laki-laki dan perempuan sebagai faktor yang

tidak dapat dimodifikasi SKA.

2. Mengetahui usia rata-rata sebagai faktor yang tidak dapat dimodifikasi

(18)

3. Mengetahui riwayat penyakit keluarga sebagai faktor yang tidak dapat

dimodifikasi SKA.

4. Mengetahui persentase kebiasaan merokok sebagai faktor yang dapat

dimodifikasi pada penderita SKA.

5. Mengetahui persentase riwayat hipertensi sebagai faktor yang dapat

dimodifikasi pada penderita SKA.

6. Mengetahui persentase diabetes melitus sebagai faktor yang dapat

dimodifikasi pada penderita SKA.

7. Mengetahui persentase hiperkolesterolemia sebagai faktor yang dapat

dimodifikasi pada penderita SKA.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. RSUP. H. Adam Malik Medan dan dokter

o Memberikan informasi bagi pihak RSUP. H. Adam Malik Medan

sebagai unit pelayanan kesehatan agar mengetahui frekuensi kejadian

faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada

penderita SKA di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2011.

o Dengan mengetahui frekuensi kejadian faktor-faktor yang dapat

dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada penderita SKA, pihak

RSUP. H. Adam Malik Medan dapat meningkatkan pelayanan

pengobatan SKA di RSUP. H. Adam Malik Medan secara khusus.

2. Peneliti

o Memberikan informasi pada peneliti gambaran frekuensi kejadian

faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada

penderita SKA.

o Peneliti memperoleh pengetahuan dan pengalaman melakukan

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindroma Koroner Akut

2.1.1 Definisi Sindroma Koroner Akut

Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan kumpulan sindroma klinis

nyeri dada disebabkan oleh kerusakan miokard yang diistilahkan dengan infark

miokard. SKA terdiri dari unstable angina(UA) atau angina pektoris tidak stabil

(APTS), infark miokard dengan ST-elevasi dan tanpa ST-elevasi. Ketiga keadaan

tersebut merupakan keadaan kegawatan dalam kardiovaskuler yang memerlukan

tatalaksana yang baik untuk menghindari tejadinya suddent death (Ramrakha dan

Hill, 2006).

Secara klinis, untuk mendiagnosis infark miokard menurut Supriyono

(2008) diperlukan 2 (dua) dari 3 (tiga) kriteria sebagai berikut :

1. Terdapat riwayat klinis: perasaan tertekan dan nyeri pada dada (angina), selama

30 menit atau lebih.

2. Perubahan gambaran EKG: segmen ST elevasi lebih dari 0,2 mV paling sedikit

2 (dua) precordial leads, depresi segmen ST lebih besar dari 0,1 mV paling

sedikit 2 (dua)leads, ketidaknormalan gelombang Q atau inversi gelombang T

paling sedikit 2 (dua)leads.

3. Peningkatan enzim pada jantung terutama kreatinin kinase 2 (dua) kali lebih

besar dari nilai normal pada pemeriksaan laboratorium dan peningkatan

troponin yang diakibatkan adanya kerusakan miosit pada otot jantung.

Data dari GRACE terhadap pasien yang datang ke rumah sakit dengan

keluhan nyeri dada ternyata diagnosis ST-Elevasi Miocardial Infraction(STEMI)

yang terbanyak (34%), Non ST-Elevasi Miocardial Infraction (NSTEMI) (31%)

(20)

Tabel 2.1. Jumlah Kasus SKA

Pasien %

STEMI 34%

NSTEMI 31%

UAP 29%

dan lain-lain 6%

Sumber : Budaj dkk, 2003

2.2. Patofisiologi Sindroma Koroner Akut

Pada saat pembuluh darah normal mengalami kerusakan pada lapisan

endotel. Faktor yang dapat menyebabkan kerusakan lapisan endotel yaitu faktor

hemodinamik seperti hipertensi, zat-zat vasokonstriktor, sitokin sel darah, asap

rokok, peningkatan gula darah dan oksidasi LDL. Lapisan endotel yang rusak

menjadi terganggu dan jaringan ikat pada pembuluh darah mengalami

thrombogenik sehingga terjadi primary hemostasis. Primary hemostasis

merupakan tahap awal pertahanan terhadap pendarahan. Proses ini bermula hanya

dalam beberapa saat setelah pembuluh rusak dan dicegah oleh adanya sirkulasi

platelet. Platelet akan menempel pada kolagen subendotel pembuluh darah dan

beragregasi untuk membentuk “Platelet plug” (Young dan Libby, 2007).

Kerusakan lapisan endotel pembuluh darah ini juga akan mengaktifkancell

molecule adhesion seperti sitokin, TNF-α, growth factor, dan kemokin. Limfosit

T dan monosit akan teraktivasi dan masuk ke permukaan endotel lalu berpindah

ke subendotel sebagai respon inflamasi. Monosit berproliferasi menjadi makrofag

dan mengikat LDL teroksidasi sehingga makrofag membentuk sel busa. Akibat

kerusakan endotel menyebabkan respon protektif dan terbentuk lesi fibrous, plak

aterosklerotik yang dipicu oleh inflamasi. Respon tersebut mengaktifkan faktor

Va dan VIIIa yang akan membentuk klot pada pembuluh darah. Teraktivasinya

kedua faktor tersebut dapat dipicu karena tidak terbentuknya protein C oleh liver

(21)

klot (Young dan Libby, 2007).

Aterosklerosis berkontribusi dalam pembentukan thrombus. Hal ini

dikarenakan teraktivasinya faktor VII dan X mengakibatkan terpaparnya sirkulasi

darah oleh zat-zat thrombogenik yang akan menyebakan rupturnya plak dan

hilangnya respon protektif seperti antithrombin dan vasodilator pada pembuluh

darah. Penyebab gangguan plak ini disebabkan faktor kimiawi yang tidak stabil

pada lesi aterosklerosis dan faktor stress fisik penderita. Disebakan adanya

perkembangan klot pada pembuluh darah dan tidak terstimulusnya produksi NO

dan prostasiklin pada lapisan endotel sebagai vasodilator sehingga terjadi

disfungsi endotel. Dengan adanya ruptur plak dan disfungsi endotel,

teraktivasinya kaskade koagulasi oleh pajanan tissue faktor dan terjadi agregasi

platelet yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga terjadi

thrombosis koroner (Young dan Libby, 2007).

Infrak miokard akut dengan segmen ST elevasi (STEMI) umumnya

terjadinya jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi

thrombus pada plak. Kematian sel-sel miokard yang disebakan infark miokard

dapat mengakibatkan kekurangan oksigen. Sel-sel miokard mulai mati setelah

sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen (Corwin, 2002). Akibat

thrombus tersebut, kebutuhan ATP pembuluh darah untuk berkontraksi berkurang,

hal ini disebabkan kurangnya suplai oksigen sehingga pembentukan ATP

berkurang. Keadaan ini berdampak pada metabolisme mitokondria sehingga

terjadi perubahan proses pembentukan ATP menjadi anaerob glikolisis.

Berkurangnya ATP menghambat proses, Na+ K+-ATPase, peningkatan Na+ dan

Cl- intraselular, menyebakan sel menjadi bengkak dan mati (Fuster et al, 2011).

Akibat kematian sel tercetus reaksi inflamasi yang menyebabkan terjadi

penimbunan trombosit dan pelepasan faktor-faktor pembekuan dan membentuk

plak thrombus. Jika plak aterosklerosis mengalami ruptur atau ulserasi dan terjadi

ruptur lokal yang menyebabkan oklusi arteri koroner sehingga terjadilah infrak

(22)
(23)
(24)

2.3.3. Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS)

APTS merupakan angina yang timbul saat istirahat dan semakin lama

angina yang timbul semakin berat dengan gambaran EKG abnormal pada segmen

ST atau EKG normal dan tidak terdapat peningkatan troponin.

Secara klinis Angina pektoris tidak stabil memiliki diagnosis yang sama

dengan NSTEMI tetapi pada APTS tidak dijumpai kerusakan miokard dan

dijumpai pada gambran EKG yang abnormal atau EKG normal dan juga tidak

terjadi peningkatan troponin (Cannon and Braunwald, 2012).

2.4. Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut

Berdasarkan buku kardiologi oleh Bender (2006), diketahui bahwa faktor

risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih

faktor risiko antara lain : faktor yang tidak dapat dikendalikan (nonmodifiable

factors) dan faktor yang dapat dikendalikan (modifiable factors). Faktor yang

dapat dikendalikan, yaitu: merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus,

stress, makanan tinggi lemak, dan kurang aktivitas fisik. Sedangkan faktor yang

tidak dapat dikendalikan, yaitu: usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit

keluarga.

2.4.1. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi a. Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang

menetap (Dorlan, 2002). Pada tahun 2003, JNC VII mengklasifikasikan tekanan

darah sistolik normal dibawah 120 mmHg dan tekanan darah diastolik dibawah 80

mmHg. Hipertensi dikategorikan menjadi dua grade yaitu dengan katergori

(25)

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII

Tingkat 2 ≥ 160 Atau ≥100

Sumber: Fuster et al, 2010

Hipertensi pada koroner jantung biasanya disebabkan meningkatnya tekanan

darah dan mempercepat timbulnya aterosklerosis. Peningkatan tekanan darah

menyebabkan beban jantung menjadi berat, sehingga menyebabkan hipertrofi

ventrikel kiri (faktor miokard) pada akhirnya menyebabkan angina dan infark

miokardium. Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.

Peningkatan tekanan darah yang menetap, menurut Anwar (2004), akan

menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria,

sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini

menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih

sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal dalam

penggunaan oksigen oleh miokardium.

b. Lipid

Lipid atau lemak mempunyai beberapa komponen yaitu kolesterol,

trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas. Kolesterol, trigliserida, fosfolipid

tidak larut dalam air yang terdapat di usus halus bergabung dengan apolipoprotein

diangkut dalam bentuk komponen yang disebut lipoprotein. Tubuh membentuk

empat jenis lipoprotein, yaitu kilomikron, VLDL (Very Low Density Lipoprotein),

LDL (Low Density Lipoprotein), dan HDL (High Density Lipoprotein)

(Almatsier, 2004).

Keempat lipoprotein yang dibentuk oleh tubuh mempunyai fungsi

masing-masing. Kilomikron berfungsi mengemulsi lemak sebelum masuk ke dalam aliran

(26)

asam lemak yang dapat langsung digunakan sebagai zat energi. VLDL dibentuk di

hati kemudian mengikat kolesterol yang ada pada lipoprotein lain dalam sirkulasi

darah. VLDL bertambah berat dan menjadi LDL. HDL berfungsi mengambil

kolesterol dan fosfolipid yang ada di dalam aliran darah lalu menyerahkannya ke

lipoprotein lain untuk diangkut kembali ke hati guna diedarkan kembali atau

dikeluarkan dari tubuh (Almatsier, 2004).

Hiperlidemia merupakan meningkatkan konsentrasi lemak dalam darah

(Dorland, 2002). Secara klinis, hiperlipidemia dinyatakan sebagai

hiperkolesterolemia, hipertrigliserida atau keduanya yang merupakan akumulasi

berlebih salah satu lemak utama dalam darah sebagai kelainan metabolisme

ataupun kelainan transportasi lemak (Waspadji, 2003). Pada buku Hurst’s

dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada

jantung. Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh

arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung, akan membentuk plak sehingga

pembuluh arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan

lemak akan mengalami aterosklerosis (Fuster et al, 2010). Hiperlipidemia juga

disebabkan karena abnormalnya lipoprotein dalam darah. Hal ini disebabkan

karena meningkatnya LDL kolesterol dan menurunnya HDL kolesterol (Kumar et

al, 2010).

Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida dapat mengindikasikan adanya

faktor risiko untuk aterosklerosis. Kadar kolesterol di atas 180 mg/dL pada orang

berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mg/dL untuk berusia lebih dari 30

tahun (Corwin E. J, 2001). Bila kadar kolersterol di atas 200 mg/dL merupakan

faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Hiperkolesterolemia berkaitan

erat dengan proses aterosklerosis pada usia 30-49 tahun, bila kadar kolesterol

mencapai 260 mg/dL, kemungkinan terjadinya klinis aterosklerosis 3-5 kali

dibandingkan dengan kadar kolesterol 220 mg/dL. Di bawah usia 50 tahun,

hiperkolesterolemia mengungguli faktor risiko hipertensi, obesitas dan faktor

(27)

Tabel 2.3. Frekuensi Hiperlipidemia Menjadi Penderita Infark Miokard

Kelahiran

% jumlah menjadi penderitaan infrak

miokard

Umur < 60 tahun Umur > 60 tahun

1. Monogenik hiperlipidemia 20,6 7,5

Penggunaan rokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar pada

penyakit tidak menular. Menurut data Susenas tahun 2001, jumlah perokok di

Indonesia sebesar 31,8%. Jumlah ini meningkat menjadi 32% pada tahun 2003,

dan meningkat lagi menjadi 35% pada tahun 2004. Pada tahun 2006,The Global

Youth Survey (GYTS) melaporkan 64,2% atau 6 dari 10 anak sekolah yang

disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga

(37,3%) pelajar biasa merokok, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah 30,9%

atau 3 diantara 10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur dibawah

10 tahun. Data Riset Riskesdas 2007 juga memperlihatkan tingginya penduduk

yang merokok. Jumlah perokok aktif penduduk umur > 15 tahun adalah 35.4%

(65.3% laki-laki dan 5.6% wanita), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok

aktif. Lebih bahaya lagi 85,4 % perokok aktif merokok dalam rumah bersama

anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan kesehatan lingkungan

(Depkes, 2007).

Merokok dapat merubah metabolisme, khususnya dengan meningkatnya

kadar kolersterol darah dan di samping itu dapat menurunkan HDL. Tingginya

kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya

(28)

Penelitian Framingham dalam Prof T.B. Anwar (2004), mendapatkan

kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki perokok 10x

lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih dari

pada bukan perokok. Hal ini disebabkan meningkatnya beban miokard yang

dipicu oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO

sehingga menimbulkan tahikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, merubah

permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi karboksi

-Hb. Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan kadar HDL kolesterol

makin menurun. Penurunan kadar HDL kolesterol pada perempuan lebih besar

dibandingkan laki–laki perokok. Efek merokok ini akan berdampak langsung pada

peningkatan tingkat diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang

merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang

bukan perokok.

Tabel 2.4. Tingkat Morbiditas Penyakit Koroner yang Berhubungan

dengan Merokok

Pola Merokok Rasio Insiden

Bukan perokok 58

Hanya perokok cerutu dan pipa 71

Perokok sigaret

Sekitar ½ bungkus per hari 104

Sekitar 1 bungkus per hari 120

Lebih dari 1 bungkus per hari 183

Sumber : Waspadji, 2003

Merokok juga dapat mengubah konsentrasi serum lemak, terjadi

peningkatan peroksidasi LDL lalu dimetabolisme oleh makrofag, gangguan

intoleransi glukosa dan resistensi insulin sehingga terjadi peningkatan tekanan

darah (Frati et al, 1996). Jika frekuensi dan intensitas merokok meningkat, maka

kecendrungan terjadi kerusakan pembuluh darah lebih tinggi sehingga lebih

(29)

d. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik,

ditandai oleh adanya hiperglikemia dan hiperlipidemia yang disebabkan oleh

defek sekresi insulin atau keduanya (Waspadji, 2003). Dalam penelitian Suyono

(2003), diabetes melitus merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan

perbandingan dua kali lebih tinggi dibanding non diabetes melitus. Diabetes

melitus bukan merupakan faktor tunggal risiko penyakit jantung koroner namun

obesitas, hipertensi, dan hiperlipidemia juga sering menggambarkan gangguan

karbohidrat. Dengan tingginya kadar insulin pada penderita DM dalam sirkulasi

darah menjadi salah satu faktor meningkatnya aterosklerosis.

Menurut Supriyono (2008), yang dimaksud dengan penderita DM dengan

kadar gula darah puasa >120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200 mg/dl akan

cenderung mengalami aterosklerosis pada usia yang lebih dini dan penyakit yang

ditimbulkan lebih cepat dan lebih berat pada penderita diabetes dari pada

non-diabetes. Pada keadaan ini, insulin berdampak penting dalam metabolisme lipid

dan kelainan-kelainan lipid pada penderita diabetes. Selain meupakan faktor risiko

penyakit jantung koroner, diabetes berkaitan dengan adanya abnormalitas

metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis

(peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen).

Penelitian Prof T. B. Anwar (2004) menunjukkan laki-laki yang

menderita DM risiko penyakit jantung koroner 50% lebih tinggi daripada orang

normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian

Waspadji (2003) menunjukkan adanya hubungan penderita DM dengan penyakit

(30)

Tabel 2.5. Distribusi Penderita Infark Miokard Akut dengan DM yang

Meninggal Menurut Kelompok Umur.

Kelompok

Umur

Infrak Miokard Akut +

DM

Infrak Miokard Akut Non

DM

Jumlah Kematian % Jumlah Kematian %

20–29 tahun 0 0 0,0 2 0 0,0

30–39 tahun 2 0 0,0 8 1 12,5

40–49 tahun 1 0 0,0 16 4 25,0

50–59 tahun 17 3 17,6 45 8 17,8

60–69 tahun 6 2 33,3 31 6 19,3

≥ 70 tahun 14 6 42,8 29 2 6,9

40 11 131 21 P<0,01

Sumber: Waspadji, 2003

e. Obesitas

Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan

metabolisme energi yang dikendalikan dengan mengakumulasi lemak yang tidak

normal atau berlebihan di jaringan adiposa. Akibat akumulasi lemak tersebut

meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan

sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri dari

hiperinsulinemia, intoleransi glukosa/diabetes melitus, hiperlipidemia, gangguan

fibrinolisis, dan hipertensi (Sugondo, 2002).

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator untuk menentukan berat

badan lebih yang praktis dan obesitas pada orang dewasa dengan perhitungan

(31)

Tabel 2.6. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT

Menurut WHO

Klasifikasi IMT (kg/m²)

Berat Badan Kurang <18,5

Kisaran Normal 18,5–24,9

Berat Badan Lebih >25

Pra-Obes 25,0–29,9

Obes Tingkat I 30,0–34,9

Obes Tingkat II 35,0–39,9

Obes Tingkat III >40

Sumber : Sugondo, 2006

Menurut Waspadji (2003), obesitas merupakan faktor independen terhadap

penyakit jantung koroner. Obesitas berhubungan erat dengan kadar kolesterol

serum, tekanan darah, dan toleransi glukosa. Dan obesitas tidak berdiri sendiri

sebagai faktor risiko penyakit jantung koroner, obesitas akan berpengaruh

terhadap aterosklerosis melalui hubungannya dengan hipertensi, hiperlipidemia

dan DM. Pada penelitiannya menunjukkan penderita yang BMI atau IMT >25

lebih banyak yang menderita PJK daripada kontrol.

Tabel 2.7. Body Mass Indexpada Penderita PJK dan Kontrol

BMI PJK Kontrol

N % N %

< 25 24 51,1 34 72,3

25–30 23 48,9 13 27,7

> 30 - - -

-Jumlah 47 100,0 47 100,0

Sumber : Waspadji, 2003

f. Stres

Stres, baik fisik maupun mental merupakan faktor risiko untuk penyakit

jantung koroner. Pada masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab

(32)

abnormalitas metabolisme lipid. Stres juga merangsang sistem kardiovaskuler

dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan kecepatan denyut jantung

dan menimbulkan vasokonstriksi (Supriyono, 2008).

g. Kurangnya Aktivitas Fisik

Pada penelitian observasional dalam buku Cardiology(Bender et al, 2011),

menunjukkan ada hubungan kuat antara aktivitas fisik dengan penyakit koroner.

Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkatan aktivitas fisik seseorang, semakin

banyak seseorang melakukan aktivitas fisik semakin rendah risiko terjadinya

penyakit jantung koroner.

Menurut penelitian Supriyono (2008), latihan fisik dapat meningkatan

curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ

yang aktif. Olahraga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik,

menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan

lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, dan memperbaiki sirkulasi

koroner. Akibat kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan kegemukan maka

akan menyebabkan orang yang kurang aktivitas menjadi gemuk. Pada umumnya

seseorang yang gemuk kurang aktif daripada seseorang dengan berat badan

normal (Waspadji, 2003).

2.4.2. Faktor Risiko yang tidak dapat dimodifikasi a. Usia

Pada penelitian Hanafiah (1993) terjadi peningkatan pasien infrak miokard

akut (IMA) di bawah usia 45 tahum dari 7% (1985) menjadi 18% (1991) dan

mayoritas penderita IMA adalah pria dibawah usia 45 tahun. Laki-laki ( 30 – 45

tahun) mengalami SKA lebih banyak daripada perempuan (setelah menopause,

insidennya meningkat pada perempuan) (Russ dan Fagan, 2002). Hal ini

dikarenakan kadar kolesterol perempuan sebelum menopause (45-60 tahun) lebih

rendah daripada laki-laki dengan usia yang sama.

Dari survei Waspadji (2003), memperlihatkan bahwa penderita penyakit

(33)

tahun telah dijumpai penderita penyakit jantung koroner. Pada umur tersebut telah

terjadi komplikasi plak-plak dalam pembuluh darah dan dapat mengalami

perkapuran. Plak-plak ini terus meningkat dengan bertambahnya umur.

Tabel 2.8. Golongan Usia pada Penderita Penyakit Jantung Koroner dan

Kontrol

Golongan Umur PJK Kontrol

N % N %

30–39 6 12,8 6 12,8

40–49 8 17,0 8 17,0

50–59 20 42,5 20 42,5

60–69 6 12,8 6 12,8

≥ 70 7 14,9 7 14,9

Jumlah 47 100,0 47 100,0

Sumber : Waspadji, 2003

Menurut Prof. T. B. Anwar (2004), risiko penyakit jantung koroner pada

penurunkan kadar kolesterol pada usia tua sangat bermanfaat. Hal tersebut

dibuktikan dengan penurunkan kadar kolesterol total 1% pada penderita, maka

terjadi penurunan 2% serangan jantung sehingga bila kadar kolesterol dapat

diturunkan 15% maka risiko penyakit jantung koroner akan berkurang 30%.

b. Jenis Kelamin

Laki-laki mengalami sindrom koroner akut lebih banyak daripada

perempuan (setelah menopause, insidennya meningkat pada perempuan) (Russ

dan Fagan, 2002). Hal ini dikarenakan kadar kolesterol perempuan sebelum

menopause (45-60 tahun) lebih rendah daripada laki-laki dengan umur yang sama.

Setelah menopause kadar kolesterol perempuan biasanya akan meningkat menjadi

lebih tinggi daripada laki-laki. Hal tersebut terjadi karena pada perempuan

menopause mengalami penurunan produksi hormon estrogen dimana fungsi

(34)

c. Suku / Ras.

Pada kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki-laki

mendominasi kematian akibat penyakit jantung koroner, tetapi lebih nyata pada

kulit putih dan lebih serinditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua.

Onset penyakit jantung koroner pada wanita kulit putih umumnya 10 tahun lebih

lambat dibanding pria, dan pada wanita kulit berwarna lebih lambat sekitar 7

(tujuh) tahun. Insidensi kematian dini akibat penyakit jantung koroner pada orang

Asia yang tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan

juga angka yang rendah pada ras Afro-Karibia (Supriyono, 2008).

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi, hiperkolesterolemia, dan diabetes melitus dipengaruhi oleh

faktor genetik. Kedua hal tersebut berhubungan dengan mekanisme terjadinya

aterosklerosis (Bahri, 2004). Penyakit jantung koroner juga merupakan

manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang berhubungan dengan mekanisme

terjadinya aterosklerosis (Supriyono, 2008).

2.5. Pencegahan

Pencegahan merupakan salah satu upaya menurunkan angka kejadian

suatu penyakit. Pencegahan penyakit jantung koroner meliputi atas pencegahan

primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah

terjadinya proses patologis yang mendasari penyakit jantung koroner, mencegah

timbulnya aterosklerosis, dengan cara memberantas faktor-faktor risiko, dan

mencegah timbulnya hipertensi dengan membatasi konsumsi garam. Pencegahan

sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya serangan ulang atau progresifitas

penyakit jantung koroner (Bagindo, 1992). Menurut Majid (2008), pencegahan

penyakit kardiovaskuler harus dimulai sejak umur 20 tahun. Riwayat keluarga

dengan penyakit jantung koroner, merokok, diet, dan aktivitas fisik harus secara

rutin dipantau. Tekanan darah, kadar kolesterol, kadar gula darah (KGD puasa

<110 mg/dL), dan indeks masa tubuh harus diperiksa 2 tahun.

Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan untuk pencegahan primer, antara

(35)

1. Melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat luas mengenai

faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner (Bagindo, 1992).

2. Meningkatkan pembinaan pola hidup sehat, termasuk di dalamnya kebersihan

perorangan dan lingkungan, tidak merokok, memeriksakan tekanan darah

(<140/90 mmHg) secara teratur, makanan seimbang, menjaga berat badan

ideal, mengendalikan stres dan olahraga teratur (Bagindo, 1992).

3. Meningkatkan konsumsi makanan yang bervariasi seperti buah, sayur, sereal,

roti, ikan, dan makanan rendah lemak (Graham, 2007).

4. Berjalan sepanjang 3 km setiap hari atau melakukan aktivitas sedang selama 30

menit (Graham, 2007).

Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan untuk pencegahan sekunder

(Bagindo, 1992), antara lain adalah :

1. Penggunaan aspirin dan meneruskan penanggulangan faktor risiko.

2. Menyebarluaskan informasi tentang tanda-tanda serangan jantung.

(36)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah :

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Umur

Jenis Kelamin

Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi Merokok

Diabetes Melitus

Hiperkolesterolemia Sindroma Koroner

Akut

Faktor yang tidak dapat dimodifikasi

(37)

3.2. Definisi Operasional

Penderita SKA merupakan pasien yang dinyatakan menderita SKA

berdasarkan dokter RSUP Haji Adam Malik Medan yang tercatat di rekam medik.

• Cara menilai: melihat hasil anamnesis dan pemeriksaan EKG pada rekam medik pasien SKA. Diagnosis SKA ditegakkan berdasarkan EKG. EKG

merupakan standar baku emas untuk penegakkan diagnosis SKA. • Alat ukur: rekam medik.

• Hasil pengukuran: infrak miokard dengan ST elevasi (STEMI), infrak miokard tanpa ST elevasi (NSTEMI) dan angina pektoris tak stabil (APTS).

• Skala pengukuran: nominal.

Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor-faktor yang

memperbesar kemungkinan seseorang untuk menderita SKA yang ditentukan

secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak

dapat dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini adalah:

a. Usia adalah jumlah tahun hidup penderita SKA yang sesuai dengan

rekam medik tahun 2011.

b. Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita SKA baik laki-laki

ataupun perempuan yang sesuai dengan rekam medik tahun 2011.

c. Riwayat penyakit keluarga adalah riwayat yang menyebutkan adanya

anggota keluarga penderita tersebut yang menderita SKA yang tercatat

(38)

Tabel 3.1 Skala Pengukuran Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi

Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi adalah faktor-faktor yang

memperbesar kemungkinan seseorang untuk menderita SKA akibat dari gaya

hidup seseorang dan faktor ini dapat dimodifikasi. Yang termasuk dalam

kelompok ini adalah:

a. Merokok adalah kebiasaan merokok sehari-hari yang dilakukan

penderita SKA yang sesuai dengan rekam medik tahun 2011.

b. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial penderita SKA

yang diklasifikasikan berdasarkan JNC VII yang sesuai dengan rekam

medik tahun 2011.

c. Hiperkolesterolemia adalah adanya peningkatan kadar kolesterol >200

mg/dL pada penderita SKA sesuai dengan rekam medik tahun 2011.

d. Diabetes mellitus adalah adanya peningkatan kadar gula darah puasa

>120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200 mg/dl pada penderita SKA

(39)
(40)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan dengan tujuan

untuk membuat gambaran faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat

dimodifikasi pada SKA. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini

adalah cross sectional, dimana pengumpulan data dilakukan hanya satu kali dan

dilakukan observasi rekam medik pasien sindroma koroner akut yang rawat inap

di RSUP. H. Adam Malik dalam kurun waktu Januari 2011 sampai Desember

2011.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Tempat ini dipilih karena merupakan rumah sakit pendidikan dan rujukan di

Sumatera Utara serta mudah dijangkau. Penelitian dilakukan pada bulan Maret

2012 sampai November 2012.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini berasal dari data sekunder yaitu pasien yang

menderita SKA pada bulan Januari 2011 sampai Desember 2011 di RSUP H.

Adam Malik Medan. Berdasarkan data dari bagian rekam medis RSUP H. Adam

Malik Medan pada tahun 2011, pasien berjumlah 288 orang.

4.3.2. Besar Sampel

Besar sampel sebanyak 72 orang yang dihitung dengan menggunakan

rumus besar sampel untuk populasi terbatas (Wahyuni, 2007), yaitu

= . . (1 )

( 1) + . . (1 )

Keterangan:

n = besar sampel minimum

N = jumlah populasi

(41)

= harga proporsi di populasi yang diinginkan bernilai maksimal, yaitu 0,5

d = kesalahan (absolut) yang dapat ditoleransi, yaitu 10%

= 288 . (1,96) . 0,5 (1 0,5)

(288 1)(0,1) + (1,96) . 0,5 (1 0,5)

n = 72,21 orang≈ 72 orang

4.3.3. Metode Pengambilan Sampel

Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan teknik probability

sampling/random sampeldengan jenissimple random sampling. Pada metode ini,

dihitung terlebih dahulu jumlah subjek dalam populasi yang akan dipilih

sampelnya (sebanyak 288 orang pada penelitian ini). Tiap subjek dalam populasi

diberi nomor, dan dipilih sebagian dari mereka sebanyak sampel yang diperlukan

berdasarkan perhitungan rumus (dalam penelitian ini 72 orang) secara acak. Jenis

pengambilan sampel ini dipilih karena tiap subjek dalam populasi mempunyai

kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel penelitian

sehingga sampel yang dipilih diharapkan dapat mewakili populasi atau dapat

digeneralisasikan ke populasi, dan dengan simple random sampling, pengacakan

pemilihan sampel lebih mudah diaplikasikan karena menggunakan bantuan tabel

angka random (Mukhtar, 2011).

4.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder,

yaitu data yang didapat dari rekam medik di RSUP. H. Adam Malik Medan dari

Januari 2011 sampai Desember 2011. Dari masing-masing sampel ditabulasi

faktor-faktor risiko sindrom koroner akut. Data mengenai faktor-faktor yang dapat

dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi pada SKA merupakan data yang

dibutuhkan dalam penelitian ini.

4.5. Metode Analisa Data

Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan bantuan

program SPSS for Windows. Analisis statistik yang digunakan adalah statistik

(42)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP. HAM) kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit Pemerintah dengan Kategori Kelas A. Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP HAM Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk Wilayah Sumatera yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5.1.2. Karakterisktik Individu

(43)

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Diagnosis

Frekuensi (n) %

STEMI 46 63,9

UAP 16 22,2

NSTEMI 10 13,9

Total 72 100,0

a. Kategori Usia

Dari tabel 5.2. diketahui bahwa dari 72 penderita SKA berada pada kelompok usia 46-59 tahun yaitu sebanyak 31 orang (43,1%), kelompok usia ≥60 tahun sebanyak 29 orang (40,3%), sedangkan proporsi terkecil berada pada kelompok usia≤45 tahun yaitu sebanyak 12 orang (16,7%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

b. Jenis Kelamin

Dari tabel 5.3. diketahui bahwa dari 72 penderita SKA yang memiliki proporsi terbesar pada kelompok laki-laki yaitu sebanyak 53 orang (73,6%), sedangkan proporsi terkecil berada pada kelompok perempuan yaitu sebanyak 19 orang (26,4%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Kategori Usia

Usia (tahun) Frekuensi (n) %

46-59 31 43,1

≥60 29 40,3

≤45 12 16,7

(44)

c. Riwayat PJK dalam Keluarga

Dari tabel 5.4. diketahui bahwa dari 72 penderita SKA di RSUP. HAM yang memiliki riwayat PJK dalam keluarga yaitu sebanyak 11 orang (15,3%), sedangkan yang tidak memiliki riwayat PJK dalam keluarga yaitu sebanyak 61 orang (84,7%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Riwayat PJK dalam Keluarga

Riwayat PJK Keluarga Frekuensi (n) %

Tidak Ada 61 84,7

Ada 9 15,3

Total 72 100,0

d. Faktor yang Dapat Dimodifikasi

Dari tabel 5.5. diketahui bahwa dari 72 penderita SKA sebagian besar faktor yang dapat dimodifikasi yaitu merokok sebanyak 42 orang (58,3%) lalu yang menderita hipertensi sebanyak 40 orang (55,6%), diabetes melitus 28 orang (40,3%), dan hiperkolesterolemia sebanyak 8 orang (11,1%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Faktor yang Dapat Dimodifikasi

Frekuensi %

Merokok 42 58,3

Hipertensi 40 55,6

Diabetes Melitus 29 40,3

Hiperkolesterol 8 11,1

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (n) %

Laki-Laki 53 73,6

Perempuan 19 26,4

(45)

e. Distribusi Frekuensi Karakteristik Faktor Risiko

Berdasarkan tabel 5.10, menunjukkan bahwa faktor risiko dari 72 penderita SKA lebih banyak terjadi pada penderita SKA yang hanya memiliki riwayat merokok 17 orang (23,6%), diikuti riwayat merokok dengan hipertensi 11 orang (15,3%), dan hipertensi dengan DM 8 orang (11,1%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Karakteristik Faktor Risiko

Faktor Risiko Frekuensi (n) %

Merokok 17 23,6

Merokok + Hipertensi 11 15,3

Hipertensi + DM 8 11,1

Hipertensi 7 9,7

Merokok + Hipertensi + DM 7 9,7

DM 6 8,3

Merokok + DM 4 5,6

Tidak Ada 4 5,6

Hipertensi + Hiperkolesterol 2 2,8

Hipertensi + DM + Hiperkolesterol 2 2,8

Merokok + Hipertensi + DM + Hiperkolesterol 2 2,8

Hiperkolesterolemia 1 1,4

Merokok + Hipertensi + Hiperkolesterol 1 1,4

(46)

5.2. Pembahasan

Penyakit jantung koroner diklasifikasikan berdasarkan diagnosis angina penderita yaitu angina pektoris (angina stabil) dan SKA (WHO, 2012). Berdasarkan pengertian tersebut, PJK dengan SKA memiliki faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodikasi yang saling berkaitan.

5.2.1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi

a. Usia

Berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa dari 72 penderita SKA, kelompok usia 46-59 tahun merupakan kelompok usia yang memiliki frekuensi terbesar. Hal ini sejalan dengan penelitian Nasution (2011) , yang menunujukkan bahwa jumlah penderita PJK lebih banyak pada kelompok usia 46-59 tahun yaitu sebanyak 54 orang (35,3%), kelompok usia >60 tahun sebanyak 50 orang (32,7%), sedangkan proporsi terkecil berada pada kelompok usia <45 tahun yaitu sebanyak 49 orang (32%).

Pada kelompok usia 46-59 tahun merupakan kelompok usia yang aktif bekerja sehingga dapat berdampak pada gaya hidup, seperti mudah stres, kurangnya aktivitas fisik, pola makan yang tidak teratur maupun berlebihan. Kurangnya aktivitas fisik dan pola makan berlebihan dapat menyebabkan kegemukan akibat akumulasi lemak berlebihan sehingga dapat berpengaruh terhadap aterosklerosis.

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 5.3, menunjukkan bahwa penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak pada laki-laki (73,6%). Hal ini sejalan dengan penjelasan Russ dan Fagan (2002) yang menyatakan laki-laki yang mengalami sindrom koroner akut lebih banyak daripada perempuan (setelah menopause,

insidennya meningkat pada perempuan) (Russ dan Fagan, 2002). Penelitian ini

sebagian besar adalah perempuan menopause sebanyak 16 orang (84,2%), hal ini

terjadi karena pada perempuan pra-menopause kadar kolesterol dalam darah lebih

rendah daripada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar

(47)

laki-laki, hal ini disebabkan pada perempuan menopause mengalami penurunan

produksi hormon estrogen dimana fungsi hormon estrogen dapat menurunkan

kadar kolesterol dalam darah (Anwar, 2004).

c. Riwayat Penyakit Jantung Koroner dalam Keluarga

Berdasarkan tabel 5.4, menunjukkan bahwa penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak yang tidak mempunyai riwayat PJK dalam keluarga (84,7%). Bila dibandingkan dengan penelitian Nababan (2010), jumlah penderita yang memiliki riwayat keluarga pada penelitian ini lebih sedikit daripada penelitian yang dilakukan Nababan (2008) sebesar 41,4% (29 orang).

Hal di atas dapat terjadi karena sebagian besar rekam medis tidak tercantum riwayat penyakit keluarga sehingga dianggap tidak memiliki riwayat penyakit keluarga dan riwayat PJK keluarga cenderung terjadi pada subjek yang berusia <45 tahun. Dan penelitian ini lebih banyak subjek yang berusia >45 tahun.

5.2.2. Faktor yang Dapat Dimodifikasi

Berdasarkan tabel 5.5, menunjukkan bahwa penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak memiliki riwayat merokok (58,3%) Hal ini sejalan dengan penelitian Goldenberg (2003), yang menunujukkan bahwa 32,7% kematian pada penderita PJK terdapat riwayat merokok sebagai indepentdent predictorkejadiancardiac arrestpada penderita PJK.

Hal tersebut dapat terjadi karena rokok mengandung nikotin dan kabon monoksida yang dapat mengurangi kolesterol baik (HDL) dalam darah dan meningkatkan kolesterol jahat (LDL) dalam darah sehingga merusak dinding dalam arteri, menurunkan jumlah darah yang mencapai jaringan dan meningkatkan kecenderungan darah untuk membeku (Nababan, 2008). Pada penelitian Framingham dalam Anwar (2004), didapat kematian mendadak akibat

penyakit jantung koroner pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada bukan

(48)

yang tidak merokok, dan mortalitas PJK 70%, lebih tinggi pada perokok dan dua kali lebih tinggi pada perokok berat dibanding yang tidak merokok.

Frekuensi penderita SKA yang menderita hipertensi merupakan salah satu frekuensi terbesar setelah riwayat merokok. Hal ini sejalan dengan penelitian Malau (2011), yang menunjukkan bahwa pasien PJK di RSUP. H. Adam Malik pada tahun 2010 yang menderita hipertensi sebesar 56,6%.

Pada penelitian Anwar (2004) dijelaskan bahwa hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang menetap sehingga akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria dan memudahkan

terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina

pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada

penderita hipertensi dibandingkan orang normal dalam penggunaan oksigen oleh

miokardium.

Pada penelitian ini menunjukkan frekuensi DM dan hiperkolesterolemia

pada penderita SKA tidak sebanyak faktor yang dapat dimodifikasi lainnya. Hal

ini disebabkan mungkin karena perbedaan pada pola hidup seperti pola makan, tempat tinggal dan kebiasaan merokok (pada penelitian ini lebih banyak yang memiliki riwayat merokok). Walaupun demikian, pada penelitian Suyono (2003) dan Anwar (2004) menyatakan bahwa penderita DM lebih berisiko 2 kali menderita PJK daripada non-DM. Dan pada penelitian Waspadji (2003) menyatakan bahwa orang yang mengalami hiperkolesterolemia kemungkinan terjadinya aterosklerosis 3-5 kali sehingga mempercepat terjadinya PJK.

Pada Penelitian ini penderita SKA di RSUP. HAM Medan lebih banyak yang memliki≥2 faktor risiko (51,4%). Hal ini sejalan dengan penelitian Berger et al (2010) yang menunjukkan bahwa pada kelompok yang memiliki ≥2 faktor risiko akan lebih berisiko PJK > 20%. Berdasarkan penelitian tersebut, dampak bagi individu yang memiliki ≥2 faktor risiko akan mempercepat akumulasi terjadinya aterosklerosis yang merupakan penyebab utama PJK dan berisiko menjadiperipheral artery disease,strokeatauheart failure.

(49)

(23,6%) dan merokok dengan hipertensi (15,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Nababan (2008) bahwa rokok dapat mengurangi kolesterol baik (HDL) dalam darah dan meningkatkan kolesterol jahat (LDL) dalam darah sehingga merusak dinding dalam arteri, menurunkan jumlah darah yang mencapai jaringan dan meningkatkan kecenderungan darah untuk membeku. Sedangkan hipertensi menurut Anwar (2004) merupakan peningkatan tekanan darah yang menetap sehingga akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah

arteri koronaria dan memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor

koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard

infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang

normal dalam penggunaan oksigen oleh miokardium.

Jika disertai hipertensi yang akan menyebabkantrauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koroner, maka akan terjadi akumulasi dan

mempercepat terjadinya aterosklerosis sehingga terjadi PJK (Anwar, 2004). Pada

kategori “Tidak Ada” pada tabel 5.6. adalah penderita SKA yang hanya memiliki

faktor risko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu pada kategori usia >60 tahun

(tabel terlampir) dimana pada kategori usia tersebut mungkin telah terjadi

(50)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan data yang diperoleh, frekuensi diagnosis penderita SKA di RSUP. HAM terbanyak adalah STEMI (56,2%).

2. Berdasarkan data yang diperoleh, penderita SKA di RSUP. HAM lebih banyak pada kelompok usia 46-59 tahun (43,1%), laki-laki (73,6%), dan tidak memiliki riwayat PJK keluarga (84,7%).

3. Berdasarkan data yang diperoleh, frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi pada penderita SKA yaitu merokok (58,3%), hipertensi (55,6%), diabetes melitus (40,3%), dan hiperkolesterolemia (11,1%).

4. Berdasarkan data karakteristik faktor risiko, penderita SKA di RSUP. HAM sebagian besar memiliki faktor risiko merokok (23,6%) dan merokok dengan hipertensi (15,3%).

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang dapat disampaikan adalah 1. Kepada pihak rumah sakit agar lebih memperlengkap status pada rekam

medis dan diharapkan lebih memberikan perawatan intensif pada pasien yang memiliki≥2 faktor risikodan pada kelompok umur 46-59 tahun karena hal ini sangat berguna baik bagi kepentingan penderita, klinisi maupun untuk penelitian.

2. Perlu adanya peningkatan promosi kesehatan oleh petugas kesehatan kepada masyarakat tentang pencegahan untuk meningkatan kualitas hidup melalui perilaku hidup sehat dengan cara mencegah faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi terjadinya SKA

Gambar

Tabel 2.1. Jumlah Kasus SKA
Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII
Tabel 2.3. Frekuensi Hiperlipidemia Menjadi Penderita Infark Miokard
Tabel 2.4. Tingkat Morbiditas Penyakit Koroner yang Berhubungan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

PROBABILISTIC RECONSTRUCTION OF ORTHODOX CHURCHES FROM PRECISION POINT CLOUDS USING BAYESIAN NETWORKS AND CELLULAR AUTOMATAM. Luhmann

The influence of the mountainous area, covered by forest, to the accuracy is obvious in figures 9 and 10. In general LiDAR describes the height of the canopy not in

In order to verify whether using the different pointing angle, then the sum of the elevation distance square between the laser footprint points and reference terrain

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan yaitu memiliki Surat Ijin Penyalur Alat Kesehatan (PAK) / Cabang Izin Penyalur

Hal ini menunjukkan bahwa variabel earnings , asset growth dan operating cash flow secara simultan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap stock return perusahaan

P Pemajangan Misi sekolah di setiap kelas dan di luar kelas Observasi dan Dokumentasi tentang: 1.Undangan sosialisasi Misi S/M 2.Daftar hadir rapat sosialisasi misi

 Mendeskripsikan tumbuhan atau binatang di sekitar sesuai ciri-cirinya dengan menggunakan kalimat yang mudah di pahami orang lain.