TESIS
Oleh
FENNI CIPTANI SARAGIH
107011051/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FENNI CIPTANI SARAGIH
107011051/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 107011051 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, SH)
Pembimbing Pembimbing
(Dr. Purnama T. Sianturi, SH, MHum) (Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH
Anggota : 1. Dr. Purnama T. Sianturi, SH, MHum 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : FENNI CIPTANI SARAGIH
Nim : 107011051
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA DALAM
PELELANGAN BOEDEL KEPAILITAN
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
i
dan lahir mulai sejak para pihak melakukan negosiasi hingga terjadi kesepakatan dagang. Kompleksitas persoalan hukum dari kegiatan jual beli menjadi bertambah manakala kegiatan ini kemudian meningkat menjadi kegiatan jual beli secara internasional. Dalam transaksi perdagangan internasional tidak lepas dari yang namanya perjanjian. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem hukum nasional, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Dengan adanya unifikasi dan harmonisasi aturan dan praktik melalui berbagai upaya melalui UPICCs dan CISG bagi Indonesia dalam KUHPerdata yang diharapkan dapat mengurangi perbedaan-perbedaan yang selama ini menjadi kendala bagi Indonesia serta dapat menyamakan suatu persepsi atau titik pandang yang memudahkan para pihak memenuhi kebutuhan hukum dalam perjanjian jual beli internasional.
Pembahasan dalam penelitian ini yaitu, pertama, pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli internasional di tinjau dari ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, kedua, berlakunya suatu perjanjian jual beli internasional bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, ketiga ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analisis dan deskriptif komparatif.
ii
KUHPerdata diperlukannya suatu aturan khusus yang menjelaskan hal-hal yang mendasari pemberlakuan ketentuan ganti rugi terhadap para pihak, baik dalam hal bentuk ganti rugi, persetase kerugian/kehilangan keuntungan sehingga keseimbangan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak atas prestasi terpenuhi.
iii
execution exercised by creditors individually can be evaded, unless Regulation gives the exception such as the creditors who are entitled to hold Hypothecation are prioritized. Hypothecation is extraordinary collateral which has special position owned by the holder of Hypothecation. If a debtor breaches a contract, the creditor who is entitled to hold Hypothecation has the authority to execute the object of hypothecation, based on the executorial power, called “parate executie” or sells, by his own authority, through public auction and takes his share as redemption of the debtor’s debt so that he becomes the preferred creditor.
The discussions in the research are as follows: first, the rights of creditors who are entitled to hold the first Hypothecation on the collateral according to Hypothecation Act; secondly, the implementation of the rights of creditors who are entitled to hold Hypothecation, based on Article 59 of Bankruptcy Law; thirdly, judicial problems in auction toward inventory of bankruptcy included in Hypothecation. The research used judicial normative approach, and its nature was a descriptive analysis.
iv
Hypothecation files the claim with the guarantee by stockholders or by the third party, the buyer of the auction will have problems because the certificate for the collateral is in the hand of the holder of Hypothecation, and the Hypothecation is not cancelled by the holder of the Hypothecation.
v
melimpahkan berkat dan karuniaNya yang tidak terkira sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini dengan judul “TINJAUAN YURIDIS HAK KREDITOR
PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA DALAM PELELANGAN
BOEDEL KEPAILITAN”. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada
pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan dalam proses
penyelesaian tesis ini, sebagai berikut:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), Sp.A (K), Selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara Di Medan, yang telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk melanjutkan studi sampai dengan memperoleh
gelar Magister di Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara di Medan.
2. Bapak Prof. DR. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Prof. DR Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Serta para Guru Besar dan dosen-dosen yang telah membimbing dan memberi
ilmu-ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis.
5. Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH; Ibu DR. Purnama T. Sianturi, SH, M.Hum;
vi
6. Seluruh Staf Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan mengurus administrasi
penulis selama masa perkuliahan.
7. Secara khusus Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terkasih Orangtua Penulis: Ayahanda terkasih A. Saragih,
yang telah mendukung Penulis untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi,
yang selalu berdoa sepanjang waktu dan memberikan kasih sayang, serta
memberikan dukungan baik moril dan materil.
8. Kepada saudara-saudari Penulis: abang dan kakak tercinta Jan Setia Saragih,
Hendra Sargih, Ardes Saragih, Poltak Hasiholan Saragih, Jameslin Saragih,
K’Ririn, K’Reni, K’Mitha yang selalu memotivasi dan mendoakan Penulis, maaf
selalu buat repot ya untuk menyelesaikan studi dan untuk penyelesaian tesis ini.
9. Kepada teman dan sahabat yang ada di kostan Marakas 41 Rahel Hutahayan,
Siska Saragih, Dina Tambunan, terima kasih buat persahabatannya dan akan
selalu aku ingat sampai kapanpun, dan buat buat teman-teman yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu yang sangat mendukung saya ucapkan terima kasih
vii
11. Kepada para teman dan sahabat di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara: Deswita Rajagukguk dan Evelin Angelita
Manurung, Maria Sihombing yang sangat mendukung dan membantu Penulis
selama masa perkuliahan dan proses penyelesaian tesis ini, serta rekan-rekan
mahasiswa MKn USU angkatan Tahun 2010 yang tidak dapat Penulis sebutkan
namanya satu persatu, terima kasih atas perhatian, dukungan, dan sumbangsih
lainnya selama masa perkuliahan kepada Penulis.
12. Kepada seseorang yang juga telah mendukung saya dan memberikan perhatian
yang lebih, terima kasih dan semoga apa yang kita harapkan dapat tercapai.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat dan karunia-Nya kepada
kita semua dan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu
penulis.
Harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan Ilmu
Pengetahuan Hukum khususnya di bidang Hukum Lelang.
Medan, Januari 2013 Hormat Penulis,
viii
Nama : Fenni Ciptani Saragih
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal lahir : Sambosar Raya, 14 Mei 1986
Kewarganegaraan : Indonesia
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jln. Marakas No. 41 Pasar 2 Padang
Bulan, Medan
Telepon, HP : 087867322608
II. DATA KELUARGA
Ayah : A. Saragih
Ibu : (Alm) L. Purba
Kakak : 1. Jan Setia Saragih
2. Hendra Jesastra Saragih
3. Ardes Pramos Saragih
4. Poltak Hasiholan Saragih
5. Jameslin Saragih
III. PENDIDIKAN
SD INPRES Sambosar Raya Tahun 1993 – 1999
SMP Methodist, Pematang Siantar Tahun 1999 – 2002
SMA Negeri 2, Pematang Siantar Tahun 2002 – 2005
(S-1) Fakultas Hukum Universitas Tahun Bengkulu 2005 – 2010
ix
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian ... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15
1. Kerangka Teori ... 15
2. Konsepsi ... 20
G. Metode Penelitian ... 22
1. Spesifikasi Penelitian ... 22
2. Jenis Data dan Bahan Hukum ... 23
3. Teknik Pengumpulan Data ... 24
4. Analisis Data ... 25
BAB II HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA ATAS BARANG JAMINAN DALAM UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN ... 26
A. Hak Tanggungan ... 26
1. Pengertian Hak Tanggungan ... 26
2. Subjek dan Objek Hak Tanggungan ... 29
x
6. Eksekusi Hak Tanggungan ... 37
B. Lelang Hak Tanggungan ... 41
C. Kreditur Dalam Kepailitan ... 48
1. Pengertian dan Jenis-jenis Kreditur Dalam Kepailitan ... 48
2. Kedudukan kreditur separatis dalam hukum kepailitan .... 54
D. Hak Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Kepailitan .. 58
E. Hak Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Pertama Atas Barang Jaminan Dalam UUHT ... 66
BAB III PELAKSANAAN HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN PASAL 59 UNDANG-UNDANG KEPAILITAN ... 76
A. Pengertian Insolvensi ... 76
B. Pelaksanaan Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan ... 77
BAB IV PERMASALAHAN-PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL DALAM PELELANGAN TERHADAP BOEDEL PAILIT YANG TERMASUK DALAM HAK TANGGUNGAN ... 83
A. Penjelasan Pasal 59 ayat (2) lebih luas dari norma ... 83
B. Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan mendaftarkan tagihan dengan jaminan atas nama pemegang saham atau pihak ketiga ... 85
1. Harta Pailit ... 85
xi
2. Pembeli lelang memperoleh masalah karena sertifikat jaminan ada pada pemegang Hak Tanggungan dan Hak
Tanggungan tidak diroya oleh pemegang HT ... 96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 99
A. Kesimpulan ... 99
B. Saran ... 100
i
dan lahir mulai sejak para pihak melakukan negosiasi hingga terjadi kesepakatan dagang. Kompleksitas persoalan hukum dari kegiatan jual beli menjadi bertambah manakala kegiatan ini kemudian meningkat menjadi kegiatan jual beli secara internasional. Dalam transaksi perdagangan internasional tidak lepas dari yang namanya perjanjian. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem hukum nasional, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Dengan adanya unifikasi dan harmonisasi aturan dan praktik melalui berbagai upaya melalui UPICCs dan CISG bagi Indonesia dalam KUHPerdata yang diharapkan dapat mengurangi perbedaan-perbedaan yang selama ini menjadi kendala bagi Indonesia serta dapat menyamakan suatu persepsi atau titik pandang yang memudahkan para pihak memenuhi kebutuhan hukum dalam perjanjian jual beli internasional.
Pembahasan dalam penelitian ini yaitu, pertama, pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli internasional di tinjau dari ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, kedua, berlakunya suatu perjanjian jual beli internasional bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, ketiga ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analisis dan deskriptif komparatif.
ii
KUHPerdata diperlukannya suatu aturan khusus yang menjelaskan hal-hal yang mendasari pemberlakuan ketentuan ganti rugi terhadap para pihak, baik dalam hal bentuk ganti rugi, persetase kerugian/kehilangan keuntungan sehingga keseimbangan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak atas prestasi terpenuhi.
iii
execution exercised by creditors individually can be evaded, unless Regulation gives the exception such as the creditors who are entitled to hold Hypothecation are prioritized. Hypothecation is extraordinary collateral which has special position owned by the holder of Hypothecation. If a debtor breaches a contract, the creditor who is entitled to hold Hypothecation has the authority to execute the object of hypothecation, based on the executorial power, called “parate executie” or sells, by his own authority, through public auction and takes his share as redemption of the debtor’s debt so that he becomes the preferred creditor.
The discussions in the research are as follows: first, the rights of creditors who are entitled to hold the first Hypothecation on the collateral according to Hypothecation Act; secondly, the implementation of the rights of creditors who are entitled to hold Hypothecation, based on Article 59 of Bankruptcy Law; thirdly, judicial problems in auction toward inventory of bankruptcy included in Hypothecation. The research used judicial normative approach, and its nature was a descriptive analysis.
iv
Hypothecation files the claim with the guarantee by stockholders or by the third party, the buyer of the auction will have problems because the certificate for the collateral is in the hand of the holder of Hypothecation, and the Hypothecation is not cancelled by the holder of the Hypothecation.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaruh gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara di Asia termasuk di
Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar
terhadap perekonomian nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam
mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban
pembayaran mereka pada para kreditor. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan
akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak
yang lebih luas lagi. Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang
bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya
kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan
perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah
satunya adalah dengan melakukan revisi undang-undang kepailitan yang ada.
Sebelum Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 diberlakukan,
masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia diatur
di dalamFaillisement Verordening Peraturan Kepailitan (Staatblad 1905 Nomor 217
junto staatblad Tahun 1906 Nomor 348)1. Pada masa-masa tersebut, hingga
dilakukan revisi atas Undang-undang Kepailitan, urusan kepailitan merupakan suatu
yang jarang muncul ke permukaan. Kekurang populeran masalah kepailitan ini,
1 Parwoto Wignjosumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang (Himpunan Makalah),
karena banyak pihak yang kurang puas terhadap pelaksanaan kepailitan. Banyaknya
urusan kepailitan yang tidak tuntas, lamanya waktu persidangan yang diperlukan,
tidak adanya kepastian hukum yang jelas, merupakan beberapa dari sekian alasan
yang ada. Secara psikologis mungkin hal ini dapat diterima, karena setiap pernyataan
kepailitan berarti hilangnya hak-hak kreditor, atau bahkan hilangnya nilai piutang,
karena harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit itu tidak mencukupi untuk
menutupi semua kewajibannya kepada kreditor. Akibatnya dalam peristiwa
kepailitan, tidak semua kreditor setuju dan bahkan akan berusaha keras untuk
menentangnya.
Menurut Peter Mahmud,2 kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite”
yang berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah
“failliet” dan dalam hukum Anglo Amerika, undang-undangnya dikenal dengan
Bankcruptcy Act.
Pengertian kepailitan menurut Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun
2004 (selanjutnya disebut UUK) adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat 1).
Putusan kepailitan bersifat serta merta dan konstitutif yaitu meniadakan
keadaan dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam putusan hakim tentang
kepailitan ada 3 hal yang esensial yaitu :3
1. pernyataan bahwa si debitur pailit;
2
Rahayu Kartini.Hukum Kepailitan, ( Malang : Bayu Media, 2008), hal. 4
3
2. pengangkatan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan
dan;
3. kurator.
Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan, mempunyai pengaruh bagi debitur
dan harta bendanya. Bagi debitur, sejak diucapkannya putusan kepailitan, ia
kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya
(persona standi in judicio) yang telah dimasukan ke dalam harta pailit. Hal ini dapat
dilihat dari adanya kewenangan kurator untuk mengurus dan atau melakukan
pemberesan harta pailit.
Dalam hal debitor atau kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator
kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak selaku kurator.
Terpailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di
bidang harta kekayaan, misalnya membuat perjanjian, apabila dengan perbuatan
hukum itu akan memberikan keuntungan bagi harta (boedel) si pailit. Sebaliknya,
apabila dengan perjanjian atau perbuatan hukum itu justru akan merugikan boedel,
maka kerugian itu tidak mengikat boedel.4Akibat kepailitan terhadap barang jaminan
diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UUK disebutkan bahwa: “dengan tetap memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 setiap
kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi
4Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta : PT.
kepailitan”. Kreditur pemegang Hak Tanggungan kedudukannya sebagai kreditur
separatis. Mereka dapat langsung melakukan eksekusi atas benda-benda yang
menjadi jaminan bagi mereka ini.5
Namun, dalam Pasal 56 ayat (1) UUK dikatakan bahwa:
”Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
tidak dapat langsung mengeksekusi haknya, tetapi harus ditangguhkan
pelaksanaannya dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan pailit
ditetapkan.
Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa UUK tidak konsisten dalam mengatur
kedudukan kreditor pemegang Hak Tanggungan, disatu sisi berdasarkan Pasal 55 ayat
(1) kreditor tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan,
di sisi lain menurut Pasal 56 ayat (1) pelaksanaan hak atau eksekusi dari kreditor
harus menunggu selama jangka waktu stay, yaitu paling lama 90 hari sejak debitor
dinyatakan pailit.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
(selanjutnya disebut UUHT) menyebutkan bahwa :
5
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.6
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui, bahwa Hak
Tanggungan dapat memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang
memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut. Pengertian
kedudukan yang diutamakan lebih jelasnya dapat dilihat di dalam angka 4 Penjelasan
Umum UUHT, yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain adalah jika debitor cidera janji,
kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah
yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya.
Hak eksekusi kreditor khususnya pemegang Hak Tanggungan terhadap harta
kekayaan debitor yang telah dijadikan jaminan oleh debitor pailit atas kewajiban–
kewajibannya, diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) UUK menyatakan bahwa hak
preferen dari kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi hak atas tanah
ditangguhkan pelaksanaannya untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak
tanggal putusan pailit diucapkan. Ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUK ini justru
6Boedi Harsono,Hukum Agraria (Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah), UU No. 4
mengingkari hak separatis kreditor pemegang Hak Tanggungan yang diakui oleh
Pasal 55 ayat (1) UUK, karena menentukan bahwa yang dibebani dengan Hak
Tanggungan merupakan harta pailit. Meskipun ditangguhkan eksekusinya, hak atas
tanah tersebut tidak boleh dipindahtangankan oleh kurator. Harta pailit yang dapat
digunakan atau dijual oleh kurator terbatas hanya pada barang persediaan (inventory)
dan atau barang bergerak (current asset) meskipun harta pailit tersebut dibebani
dengan hak agunan kebendaan. Pasal 21 UUHT menyebutkan bahwa apabila pemberi
Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang
melakukan segala hak yang diperolehya menurut ketentuan undang–undang tersebut.
Pada penjelasannya lebih lanjut ditegaskan bahwa ketentuan Pasal 21 UUHT
tersebut adalah untuk lebih memantapkan kedudukan diutamakan pemegang Hak
Tanggungan dengan mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi Hak
Tanggungan terhadap objek Hak Tanggungan. UUK tidak mengatur mengenai
hubungan ketentuan Pasal 56 ayat 1 UUK dengan ketentuan Pasal 21 UUHT. Hak
Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak
Tanggungan kepada debitur. Apabila debitur cidera janji, maka hak atas tanah yang
dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang Hak Tanggungan
tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak
dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.7
7
Agar dalam pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair),
maka UUHT mengharuskan dalam penjualan itu dilaksanakan melalui pelelangan
umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku sesuai Pasal 20 ayat (1) UUHT.8 Meskipun lelang merupakan alternatif,
tetapi secara gramatikal tidak salah jika ditafsirkan bahwa penjualan secara lelang
merupakan solusi utama. Hal ini merupakan cara yang tepat untuk diprogramkan
dalam penyelesaian kepailitan, mengingat dalam upaya penyelesaian yang adil
diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara transparan, cepat dan efektif.9
Kebaikan penjualan secara lelang merupakan suatu cara penjualan barang
yang dipilih dan dimanfaatkan dalam berbagai sistem hukum mengingat adanya
kebaikan-kebaikan yang dapat diambil dari lelang tersebut yaitu :
a. adil karena lelang tersebut bersifat terbuka (umum) dan obyektif;
b. aman, lelang disaksikan, dipimpin, dilaksanakan oleh pejabat lelang dan
cukup terlindungi oleh hukum karena sistem lelang mengharuskan pejabat
lelang meneliti terlebih dahulu tentang keabsahan dokumen penjualan dan
barang yang akan dijual (subyek dan obyek) lelang;
c. cepat, karena lelang didahului dengan pengumuman lelang sehingga peminat
lelang dapat bekumpul pada saat hari lelang yang ditentukan dan
pembayarannya secara tunai;
8Ibid
9Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Ponto,penyelesaian Utang-Piutang Melalui
d. mewujudkan harga yang wajar, karena sistem penawaran dalam lelang
bersifat kompetitif dan transparan;
e. memberikan kepastian hukum, karena pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh
pejabat lelang dapat dibuat berita acara pelaksanaan lelang yang disebut
risalah lelang sebagai akta otentik.
Dalam Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa: ”apabila debitor cidera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Berkaitan dengan ketentuan Pasal
6 UUHT tersebut, hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh
pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh
pemegang Hak Tanggungan, bahwa apabila debitor cidera janji pemegang Hak
Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum
tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya,
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada
kreditor-kreditor lain.10 Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak
Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan pertama cukup mengajukan permohonan
kepada Kepala Kantor Lelang Negara setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum
dalam rangka eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut. Kewenangan pemegang Hak
10
Tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
artinya kewenangan tersebut dipunyai demi hukum. Karena itu Kepala Kantor Lelang
Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.11
Pemegang Hak Tanggungan (yang dalam hukum kepailitan sering kali disebut
dengan istilah kreditor separatis) adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
misalnya pemegang gadai, pemegang jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotik,
agunan kebendaan lainya.12 Hak jaminan kebendaan yang dimiliki oleh kreditor
pemegang jaminan kebendaan tersebut memberikan kewenangan bagi kreditor
tersebut untuk menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan kepadanya dan
untuk selanjutnya memperoleh pelunasan secara mendahulu dari kreditor-kreditor
lainnya dari hasil penjualan kebendaan yang dijaminkan kepadanya tersebut13. Akibat
hukum kepailitan yang mempengaruhi kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama
adalah pada masa penangguhan eksekusi, yang ditetapkan UUK selama 90 hari,
jaminan debitur yang telah dibebani Hak Tanggungan untuk kepentingan kreditur
berada dalam kondisi tidak boleh diganggu gugat. Hal ini dilakukan agar kurator bisa
mengupayakan terjadi perdamaian. Sehingga, kreditur pemegang Hak Tanggungan
sebagai kreditur terpisah yang secara umum memiliki hak istimewa terhadap jaminan
yang telah dibebankan Hak Tanggungan tidak bisa melaksanakan kewenangannya
selaku kreditur istimewa.
11Ibid, hal. 77
12
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,(Bandung: PT. Alumni, 2006), hal. 127
13 Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak Tanggungan,
Adanya ketentuan penangguhan eksekusi tidak berarti kreditur pemegang Hak
Tanggungan tidak bisa mengeksekusi jaminan yang telah dibebankan Hak
Tanggungan dan sekaligus berstatus boedel pailit. Segala akibat hukum yang akan
berpengaruh terhadap jaminan tersebut dan kreditur separatis akan ditentukan dalam
acara proses penyelesaian kepailitan dari putusan pailit itu sendiri.
Pasal 59 ayat (1) UUK mengatur sebagai berikut :
”Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor
Pemegang Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan
haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya
keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”
Dalam penjelasan pasal tersebut diatur bahwa yang dimaksud dengan ”harus
melaksanakan haknya” adalah bahwa kreditor sudah mulai melaksanakan haknya.
Pasal 59 ayat (2) UUK mengatur sebagai berikut :
”Setelah lewat jangka waktu sebagaiman dimaksud pada ayat (1), kurator harus
menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak kreditor
pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut”.
Pada dasarnya maksud dari Pasal 59 ayat (2) tersebut adalah untuk
memberikan kepastian hukum bagi kreditor konkuren pada khususnya dan proses
kepailitan pada umumnya, karena dalam hal penjualan benda agunan oleh kreditor
separatis, bisa saja terdapat sisa hasil penjualan (yang diperoleh dari hasil penjualan
yang merupakan hak kreditor konkuren. Oleh karena itu, Pasal 59 ayat (2) UUK
memberikan adanya suatu jangka waktu tertentu yaitu 2 bulan setelah insolvensi, bagi
kreditor separatis untuk melaksanakan penjualan benda agunan. Setelah lewat jangka
waktu tersebut Pasal 59 ayat (2) UUK mengharuskan kurator untuk menuntut
penyerahan benda agunan demi kepentingan kreditor separatis, tanpa memberikan
pengecualian terhadap kreditor separatis yang belum menjual benda agunan namun
sudah mulai melaksanakan haknya tersebut. Dengan demikian penjelasan Pasal 59
ayat (2) ini lebih luas dari norma yang ada pada pasal tersebut sehingga menimbulkan
ketidak pastian hukum.
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UUK telah bertentangan dengan kepastian hukum
yang hendak dicapai dalam Pasal 59 ayat (2) UUK, karena penjelasan Pasal 59 ayat
(1) memungkinkan kreditor separatis yang telah mulai melaksanakan haknya untuk
tidak menyerahkan benda agunan kepada kurator meskipun lewat masa waktu 2 bulan
setelah insolvensi.
Adanya Pasal 59 UUK mengakibatkan kedudukan kreditur pemegang Hak
Tanggungan terhadap objek Hak Tanggungan menjadi lemah, karena hak-hak
kreditor pemegang Hak Tanggungan telah dikurangi atau dibatasi.
Pembatasan-pembatasan tersebut berupa eksekusi oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan harus
ditangguhkan selama 90 hari dan eksekusi yang dilaksanakan dibatasi hanya dalam
tenggang waktu dua bulan. Selain dari itu, tidak jarang barang yang dijadikan objek
jaminan ternyata nilainya di bawah nilai kewajiban dari debitor yang harus
ayat (1) dan (2) UUK ini sangat sulit dan bahkan hampir tidak mungkin bisa
dilakukan penjualan benda yang menjadi agunan dalam jangka waktu 2 bulan.
Pasal 56 ayat (1) UUK mengemukakan bahwa penangguhan bertujuan antara
lain untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit. Ini sama artinya
dengan mengemukakan bahwa, harta debitor yang sebelum kepailitan telah dibebani
dengan hak agunan merupakan harta pailit ketika debitor itu dinyatakan pailit. Pasal
56 ayat (1) UUK ini merupakan ketentuan merugikan bagi kreditor pemegang Hak
Tanggungan yang mempunyai kedudukan yang diutamakan. Dengan adanya Pasal 59
ayat (1) dan (2) UUK ini maka hak pemegang Hak Tanggungan yang ada pada Pasal
55 ayat (1) tersebut tidak dapat dijalankan secara langsung karena adanya
penangguhan.
Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas diketahui bahwa hak kreditor
pemegang Hak Tanggungan pertama dalam pelaksanaan lelang boedel kepailitan
belum sepenuhnya diatur dalam Pasal 59 UUK dan tidak adanya kejelasan mengenai
pengaturan waktu penangguhan dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku
selanjutnya, mengenai kedudukan harta pailit setelah dinyatakan debitur pailit.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dalam bentuk
Tesis dengan judul ”Tinjauan Yuridis Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan
Pertama Dalam Pelelangan Terhadap Boedel Kepailitan”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat
1. Bagaimanakah hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama atas barang
jaminan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan?
2. Bagaimanakah pelaksanaan hak kreditor pemegang Hak Tanggungan
berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan?
3. Bagaimana Permasalahan-permasalahan hukum yang timbul dalam
pelelangan terhadap boedel pailit yang termasuk dalam Hak Tanggungan?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama atas
barang jaminan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan
2. Untuk mengetahui pelaksanaan hak kreditor pemegang Hak Tanggungan
berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan
3. Untuk mengetahui permasalahan-permasalahan hukum yang timbul dalam
pelelangan terhadap boedel pailit yang termasuk dalam Hak Tanggungan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong para pembacanya untuk dapat
lelang terhadap boedel kepailitan berupa jaminan Hak Tanggungan di Indonesia.
Hasil penelitian ini juga dapat diharapkan dapat memberikan masukan
penyempurnaan peraturan atau kebijakan tentang pelaksanaan lelang.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada masyarakat terkait dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan
kegiatan pelaksanaan lelang terhadap boedel kepailitan berupa jaminan Hak
Tanggungan di Indonesia. Selain itu, juga dapat memberikan masukan bagi profesi
notaris, akademisi, pengacara dan mahasiswa.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi
dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada
Magister Kenotariatan maupun Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara,
penelitian dengan judul ”Tinjauan Yuridis Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Pertama Dalam Pelelangan Boedel Kepailitan” belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun penelitian yang berkaitan dengan hak pemegang Hak
Tanggungan, yaitu:
Nama : BELINDA
NIM : 077011009
Judul Tesis : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur
Pemegang Hak Tanggungan
1) Bagaimana ketentuan hukum pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap
debitur?
2) Bagaimana kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam keputusan
kepailitan?
3) Bagaimana akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang Hak
Tanggungan dalam eksekusi Hak Tanggungan?
Atas dasar sistem pendekatan yang berbeda dari saudari Belinda yang khusus
tentang akibat hukum putusan pernyataan pailit sedangkan penelitian yang saya
gunakan adalah pendekatan secara komprehensif dan dengan demikian keaslian
penelitian ini dapat saya pertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang
dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.14Fungsi teori adalah untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala fisik atau proses terjadi.15Suatu teori
harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukan
ketidakbenarannya.16 Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau
butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang
14
J.J.H.Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Shidarta, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 2
15J.J.M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, edt M. Hisyam, (Jakarta : FE UI,
1996), hal 203
menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,17 yang akan dijadikan sebagai
landasan pemikiran dalam penulisan tesis ini.
Dengan demikian teori yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini
adalah teori kesetaraan dan kepastian hukum.
UUK lahir guna mengatur mengenai cara menentukan eksistensi suatu utang
debitur kepada kreditur, berapa jumlahnya yang pasti termasuk mengupayakan
perdamaian yang dapat ditempuh oleh debitur kepada para krediturnya.18 Selain itu,
undang-undang kepailitan lahir :
1. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama
ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur
2. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa
memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah
seorang kreditur atau debitur sendiri.19
Dalam pelaksanaan putusan pailit yang telah ditetapkan oleh Pengadilan
Niaga, semua pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara kepailitan tersebut wajib
menjalankan putusan yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Niaga yang telah
17M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80
18
Zainal Asikin,Op.Cit, hal. 13
19 Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan para pihak dengan berdasarkan pada
teori kesetaraan.
Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap debitor. Pasal 21
UUK menentukan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat
putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan.20 Selanjutnya, dalam Pasal 21 UUHT memberikan jaminan terhadap hak
dari pemegang Hak Tanggungan apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit.
Menurut pasal 21 UUHT itu, apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit,
pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang
diperolehnya menurut ketentuan UUHT. Dengan demikian, objek Hak Tanggungan
tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada kreditor-kreditor
lain dari pemberi Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal 21 UUHT ini memberikan
penegasan mengenai kedudukan yang preferen dari pemegang Hak Tanggungan
terhadap objek Hak Tanggungan terhadap kreditor-kreditor lain.
Pada dasarnya, kedudukan para kreditor adalah sama (paritas creditorum).
Oleh karena itu, mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit
sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu prorata parte).
Namun demikian, asas tersebut mengenal pengecualian yaitu golongan kreditor yang
memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditor yang haknya
didahulukan berdasarkan UUK dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan
20 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta : PT.
demikian, asas paritas creditorum berlaku bagi para kreditor konkuren saja.21
Sedangkan asas pari passu prorata parte menemukan relevansinya dalam kondisi
harta debitur yang akan dibagi lebih kecil dibanding dengan jumlah utang-utang
debitur.
Asas paritas creditoriumdianut di dalam sistem hukum perdata di Indonesia.
Hal itu temuat dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala
kebendaan si berutang, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Sedangkan, asas
pari passu prorate parte termuat dalam Pasal 1132 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang
mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut
keseimbangannya yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.22
Bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan, putusan pailit tersebut ada kalanya
dianggap tidak memenuhi teori kesetaraan sebagaimana mestinya. Kreditur pemegang
Hak Tanggungan selalu merasa dirugikan akibat adanya putusan pailit yang dianggap
sudah memenuhi hak-hak dan kepentingan seluruh kreditor yang terkait. Oleh karena
itu, untuk mencapai tujuan pelaksanaan peradilan yang bisa mewujudkan
21
Fred BG. Tumbuan, “Pokok-pokok Undang-undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1/1998”, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Editor, Rudy A. Lontoh, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 128
22
keseimbangan dan keadilan bagi para pihak. Para pihak yang terkait dalam perkara
kepailitan harus memperhatikan asas-asas yang diadopsi oleh hukum kepailitan.
Kepastian hukum menunjukan kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap,
konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh
keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Adapun kepastian hukum sangat diperlukan
untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena kepastian
hukum dalam bentuk peraturan atau ketentuan umum mempunyai sifat sebagai
berikut :23
1. adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas
mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara
alat-alatnya;
2. sifat undang-undang mengikat dan berlaku bagi siapa saja.
Teori kesetaraan dan kepastian hukum penting dalam pelaksanaan lelang
terhadap boedel kepailitan berupa jaminan Hak Tanggungan. Kedua teori ini
digunakan untuk memberikan perlindungan hukum kepada kreditur pemegang Hak
Tanggungan. Hak preferen dari kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat
melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan setelah melewati masa penangguhan
paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan dan eksekusinya dilakukan paling lambat 2 bulan setelah dimulainya
keadaan insolvensi.
23
2. Konsepsi
Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai
suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan
pertimbangan.24 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan
konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi,
antara abstraksi dan realitas.25
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut defenisi operasional.26
Pentingnya defenisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang
berbeda dari istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini
dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut :
1. Lelang
Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pengertian lelang adalah penjualan barang
yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan
yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang
didahului dengan pengumuman lelang.27
2. Boedel Kepailitan
24
Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hal.122
25Masri Singarimbun dan Sifian Effendi.Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES,1989),
hal.34
26Simadi Suryabrata.Metodologi Penelitian, (Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 3
27
Boedel pailit adalah harta kekayaan seseorang atau badan yang telah dinyatakan
pailit yang dikuasai oleh balai harta peninggalan.
3. Pailit
Menurut R. Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas
harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta
Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel
dari orang yang pailit.28
Hal ini sesuai dengan pengertian pailit yang diatur dalam Pasal 1 angka (1) UUK
yang menyebutkan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor
pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
4. Hak Tanggungan
Dalam UUHT pada Pasal 1 angka 1 dirumuskan yang dimaksud dengan
pengertian Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggugan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
28
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 tersebut, terdapat unsur-unsur esensial
yang merupakan sifat dan ciri-ciri dari Hak Tanggungan yaitu :29
a. lembaga hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu;
b. pembebanannya pada hak atas tanah;
c. berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah;
d. memberikan kedudukan yang preferent kepada kreditornya.
G. Metode Penelitian
Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan
dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna
terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau
menjawab problemnya.30
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam proposal ini merupakan penelitian hukum.
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan
pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan
29
Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, (Jakarta : Djambatan, 1998), hal. 70
30 Joko P. Subagyo, Metode Peneltian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
suatu pemecahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala-gejala yang bersangkutan.31
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif
yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder yang
meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan sistematika hukum serta
mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum
lainnya.32
Sifat penelitian penulisan ini adalah deskriptif analitis. Bersifat deskriptif
maksudnya penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis
tentang permasalahan yang diteliti. Analitis dimasukan berdasarkan gambaran fakta
yang diperoleh akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.33
2. Jenis Data dan Bahan Hukum
Data dalam peneltian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang
dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum primer yang terdiri dari :
1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
31
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,Penelitian Hukum Normatif- suatu tinjauan singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hal. 1
32
Ibrahim Johni,Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005), hal. 336
33 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, (Bandung:
2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
3) Peraturan Lelang
4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari pendapat para ahli yang termuat
dalam literatur, artikel, media cetak maupun media elektronik
c. Bahan Hukum tersier terdiri dari kamus hukum atau ensiklopedia yang
berhubungan dengan materi penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan studi
dokumen untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pemikiran konseptual dan
penelitian yang dilakukan oleh pihak lain yang relevan dengan penelitian ini dengan
cara menelaah dan menginventarisasi pemikiran atau pendapat juga sejarah atau latar
belakang pemikiran tentang pemegang Hak Tanggungan pertama dalam pelelangan
boedel kepailitan.
Pemikiran dan gagasan serta konsepsi tersebut dapat diperoleh melalui
peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur dari para pakar yang relevan
dengan objek penelitian ini, artikel yang termuat dalam bentuk jurnal, majalah ilmiah,
ataupun yang termuat dalam data elektronik seperti pada website dan sebagainya
maupun dalam bentuk dokumen atau putusan berkaitan dengan permasalahan
4. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.34
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya
berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. “Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.35
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini termasuk ke dalam tipe penelitian
hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk
melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan
dengan :36
(a) mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti;
(b) memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian;
(c) mensistemasikan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin;
(d) menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin
yang ada;
(e) menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian hukum
normatif maka analisis data yang dipergunakan adalah analisis kualitatif.
34 Lexy J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002),
hal.101
35
Soerjono Soekanto,Op.Cit.,hal.251
36Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja
BAB II
HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA ATAS BARANG JAMINAN DALAM UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN
A. Hak Tanggungan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, disebutkan bahwa:
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain.
Dari pengertian Hak Tanggungan tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada
prinsipnya pemberian Hak Tanggungan selalu disertai dengan perjanjian utang
piutang atau perjanjian lainnya yang menerbitkan kewajiban pembayaran utang
tertentu. Dengan tujuan untuk menjamin pelunasan utang piutang inilah, maka
penjaminan dengan Hak Tanggungan ini diberikan.
Kewajiban dari keberadaan suatu utang piutang yang menyertai suatu
pemberian Hak Tanggungan merupakan suatu hal mutlak yang harus ada pada saat
eksekusi Hak Tanggungan dimohonkan37. Ini secara tegas disyaratkan dalam
ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT :
37
“utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan”.
Ketentuan tersebut secara tidak langsung telah menunjukan suatu kemajuan
dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak kreditor.
Berbeda dengan keadaan sebelumnya, UUHT hanya mensyaratkan adanya suatu
jumlah tertentu yang dapat diketahui dengan pasti (berdasarkan perjanjian yang ada)
pada saat eksekusi Hak Tanggungan dimohonkan pelaksanaannya.
Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam
defenisi tersebut. Unsur-unsur pokok itu ialah :38
(1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang;
(2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA;
(3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi
dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu;
(4) Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu;
(5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.
Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, harus
mengandung ciri-ciri:39
38
Sutan,Op.Cit, hal. 11
39
a. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului
kepada pemegangnya, yaitu dikenal dengan “droit de preference”. Apabila
debitor cidera janji, maka debitor pemegang Hak Tanggungan berhak untuk
menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut
peraturan hukum yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur
lain yang bukan pemegang Hak Tanggungan dengan peringkat yang lebih
rendah.
b. Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun
objek itu berada. Keistimewaan ini dikenal sebagai droit de suite. Biarpun
objek Hak Tanggungan sudah di pindahkan haknya kepada pihak lain,
kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya
melalui penjualan umum jika debitor cidera janji.
c. Hak Tanggungan memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat
mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihaknya
yang berkepentingan. Droit de preference dan droit de suite sebagai
keistimewaan yang diberikan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan,
jelas bisa merugikan kreditur-kreditur lain dan pembeli objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan, apabila adanya Hak Tanggungan yang
membebani objek yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang kreditur
tersebut tidak diketahui oleh mereka. Untuk sahnya pembebanan Hak
dan sampai sejumlah berapa yang dijaminkan serta benda-benda yang mana
dijadikan jaminan.
d. Hak Tanggungan itu mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Jika debitor
cidera janji maka kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak untuk melelang
objek yang dijadikan jaminan sebagai pelunasan piutangnya. Kepastian
pelaksanaan eksekusi tersebut yang menjadi ciri Hak Tanggungan, dengan
disediakannya cara-cara yang lebih mudah daripada melalui acara gugatan
seperti perkara perdata biasa.
2. Subjek dan Objek Hak Tanggungan a. Subjek Hak Tanggungan
Mengenai subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9
UUHT, dari ketentuan dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
subjek hukum dalam Hak Tanggungan adalah subjek hukum yang terkait dengan
perjanjian pemberi Hak Tanggungan. Di dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan ada
dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut:40
a. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek
Hak Tanggungan (debitor).
b. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak
Tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya.
Dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT memuat ketentuan mengenai subjek Hak
Tanggungan, yaitu sebagai berikut :
40
a. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek
Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan.
b. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas piutang yang
diberikan.
Penyebutan “orang perseorangan” atau “badan hukum” dalam Pasal 8 UUHT
adalah berlebihan, karena dalam pemberian Hak Tanggungan objek yang dijaminkan
pada pokoknya adalah tanah, dan menurut Undang-Undang Pokok Agraria yang bisa
mempunyai hak atas tanah adalah baik orang perseorangan maupun badan hukum
(vide Pasal 21, Pasal 30, Pasal 36 dan Pasal 45 UUPA). Untuk masing-masing hak
atas tanah, sudah tentu pemberi Hak Tanggungan sebagai pemilik hak atas tanah
harus memenuhi syarat pemilikan tanahnya, seperti ditentukan sendiri-sendiri dalam
undang-undang.
Selanjutnya syarat, bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai
kewenangan untuk mengambil tindakan hukum atas objek yang dijaminkan adalah
kurang lengkap, karena yang namanya tindakan hukum bisa meliputi, baik tindakan
pengurusan (beheersdaden) maupun tindakan pemilikan (beschikkingsdaden),
padahal tindakan menjaminkan merupakan tindakan pemilikan (bukan pengurusan),
yang tidak tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi, lebih baik disebutkan, bahwa
syaratnya adalah pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan tindakan
Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran
Hak Tanggungan (Pasal 8 ayat 2) UUHT. Jadi tidak tertutup kemungkinan bahwa
orang yang menjanjikan Hak Tanggungan pada saat benda yang akan dijaminkan
belum menjadi miliknya, asal nanti pada saat pendaftaran Hak Tanggungan, benda
jaminan telah menjadi milik pemberi Hak Tanggungan. Ini merupakan upaya
pembuat undang-undang untuk menampung kebutuhan praktek, dimana orang bisa
menjaminkan persil, yang masih akan dibeli dengan uang kredit dari kreditur.41
b. Objek Hak Tanggungan
Untuk dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak jaminan hak atas
tanah, suatu benda haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:42
1) dapat dinilai dengan uang, atau bernilai ekonomis;
Karena utang yang dijamin berupa uang, maka benda yang menjamin pelunasan utang tersebut haruslah dapat dinilai dengan uang.
2) mempunyai sifat dipindahtangankan;
Sifat ini harus melekat pada benda yang dijadikan agunan atau jaminan, karena apabila debitur cedera janji, benda yang dijadikan jaminan tersebut akan dijual untuk pelunasan utang.
3) benda yang mempunyai alas hak yang wajib didaftar, menurut ketentuan tentang pendaftaran tanah untuk memenuhi syarat publisitas;
4) penunjukan benda yang dapat dijaminkan, haruslah dengan penunjukan khusus dengan undang-undang.
Kebutuhan praktik menghendaki agar hak pakai dapat dibebani juga dengan
hipotik (pada saat ini Hak Tanggungan). Kebutuhan itu ternyata telah diakomodir
oleh UUHT ini. Akan tetapi, hanya hak pakai atas tanah negara saja yang dapat
41 J. Satrio,Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti,
2007), hal. 309
42
dibebani dengan Hak Tanggungan, sedangkan hak pakai atas tanah hak milik masih
akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.43
Menurut Sutan Remy Sjahdeini :44
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang tidak hanya dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara saja, tetapi juga dari tanah milik orang lain, dengan membuat perjanjian antara pemilik tanah dengan pemegang hak pakai yang bersangkutan. Sedangkan, kedua jenis hak pakai itu pada hakikatnya tidak berbeda ruang lingkupnya yang menyangkut hak untuk penggunaannya atau hak untuk memungut hasilnya. Karena itu, wajar bila hak pakai atas tanah hak milik dapat pula dibebani dengan Hak Tanggungan seperti halnya hak pakai atas tanah negara. Namun, sudah barang tentu bahwa pelaksanaan Hak Tanggungan atas tanah hak pakai atas tanah hak milik itu baru dapat dilakukan apabila telah dikeluarkan ketentuan bahwa hak pakai atas tanah hak milik diwajibkan untuk didaftarkan.
Hak Pakai yang tidak dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan adalah hak
pakai yang sifatnya tidak dapat dipindahtangankan seperti hak pakai atas nama
pemerintah, hak pakai atas nama badan keagamaan dan sosial, hak pakai atas nama
perwalian negara asing yang masing-masing tidak ditentukan waktunya (biasa disebut
hak pakai publik), sementara hak pakai privat diatas tanah hak milik sekalipun
ditentukan waktunya oleh UUHT di masa datang akan ditetapkan menjadi obyek Hak
Tanggungan melalui Peraturan Pemerintah. Sedangkan hak milik tanah wakaf,
keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya juga tidak bisa dijadikan obyek Hak
Tanggungan.45
Dari uraian diatas, maka objek-objek Hak Tanggungan adalah:
43
Pasal 4 ayat (3) UUHT
44Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 58-59
45 Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian hak, (Medan : Fakultas Hukum
a) Hak Milik.
b) Hak Guna Usaha.
c) Hak Guna Bangunan.
d) Hak Pakai atas tanah negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
e) Hak pakai atas hak milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).
3. Pendaftaran Hak Tanggungan
Pendaftaran objek Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUHT
dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah Kota/Kabupaten setempat. Lembaga
pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam UUPA jo PP No. 10 Tahun 1960 lebih
tepat dinamakan sebagai stelsel campuran, yakni antara stelsel negatif dan stelsel
positif.46 Artinya, pendaftaran tanah memberikan perlindungan kepada pemilik yang
berhak (stelsel negatif) dan menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar
dalam buku pemilik yang berhak (stelsel positif). Berdasarkan ketentuan Pasal 17
UUHT, tidaklah berlebihan apabila lembaga pendaftaran tanah menurut UUHT juga
menganut stelsel campuran.47
Tanpa pendaftaran, Hak Tanggungan dianggap tidak pernah ada. Jika
pendaftaran belum dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah, menurut Pasal 13 ayat (1)
UUPA begitu juga halnya dengan hipotek menurut Pasal 1179 ayat (2) KUH Perdata,
maka Hak Tanggungan itu belum ada.
46
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra Adityabakti, 1991), hal. 1
47Effendy Hasibuan,Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan Terhadap
Adapun proses pembebanan Hak Tanggungan menurut UUHT adalah melalui
2 tahap :
(1) Tahap pemberian Hak Tanggungan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT. Sebelumnya telah dibuat perjanjian hutang piutang yang menjadi dasar dari Hak Tanggungan ini (Pasal 10 ayat 1 dan 2).
(2) Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan (Pasal 13 ayat 1), pendaftaran ini adalah penting karena membuktikan merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan (Pasal 13 ayat 5).48
Semua perikatan Hak Tanggungan yang sudah dalam proses pemasangan
yang belum didaftarkan dianggap belum ada dan tidak dapat dimintakan eksekusi
penjualan lelang berdasarkan Pasal 224 HIR.49 Pemberian Hak Tanggungan harus
didaftarkan 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan akta pemberian Hak
Tanggungan.
4. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Janji-Janji Dalam Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan
Lahirnya Hak Tanggungan didasarkan pada adanya perjanjian pokok, yaitu
perjanjian utang piutang. Pemberian Hak Tanggungan didahului oleh janji debitur
untuk memberikan hak tanggngan kepada kreditur sebagai jaminan pelunasan utang.
Janji tersebut dituangkan dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian
utang-piutang, kemudian dilakukan pemberian Hak Tanggungan melalui pembuatan
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:
48Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto,Komentar Atas Peraturan-Peraturan
Undang-Undang Pokok Agraria 1996, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 60
1. nama dan identitas pemegang dan pemberi hak;
2. domisili para pihak yang tercantum dalam akta;
3. penunjukan secara jelas utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan;
4. nilai tanggungan;
5. uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Di samping itu dalam akta pemberian Hak Tanggungan dapat pula
dicantumkan adanya janji-janji, kecuali untuk memiliki objek Hak Tanggungan. Isi
janji-janji tersebut adalah:
1. membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek hak
tanggungan kecuali persetujuan tertulis pemegang hak;
2. membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau
susunan objek hak, kecuali dengan persetujuan tertulis pemegang hak;
3. memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola
objek hak berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri;
4. memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
menyelamatkan objek hak jika diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk
mencegah hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan
karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
5. pemegang Hak Tanggungan pertama berhak menjual atas kekuasaan sendiri;