PERAWATAN INKONTINENSIA URIN DI RSU
KABUPATEN TANGERANG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
OLEH :
WALIDATUL LAILI MARDLIYAH
NIM: 109104000051
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
ii
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 Keperawatan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juli 2013
iii JAKARTA
Undergraduate Thesis, July 2013
Walidatul Laili Mardliyah, NIM: 109104000051
Correlation between Nurse’s Knowledge of Urinary Incontinence and Nursing Practice of Urinary Incontinence in RSU Kabupaten Tangerang
xviii + 87 pages + 11 tables + 3 schemes + 11 attachments
ABSTRACT
Urinary incontinence is consider as serious clinical problem and causes significant disability and dependence. The prevalence of urinary incontinence both in the world and in Indonesia ranges from 4%-32.2%. Nurses as health professionals have an important role in handling this problem. However, the main challenge in the implementation of urinary incontinence care is the level of nurse’s knowledge about urinary incontinence management. It occurs because knowledge is basic domain in practice changes.
The purpose of this study was to determine the correlation between nurse’s knowledge about urinary incontinence and nursing practice of urinary incontinence in RSU Kabupaten Tangerang. This research was an analytical quantitative research with cross sectional design at α = 0.05 level. Data collection was conducted on 46 respondents using questionnaires. The result of this study showed that there is a correlation between knowledge and practice of urinary incontinence (p = 0.035, r = 0.311).
The result is expected to be a consideration for health agencies to be able to give guidance to increase knowledge, awareness, and responsibilities of nursing staffs in dealing with urinary incontinence during the treatment process in order to minimize complications from urinary incontinence and improve the health status of patients in hospitals.
Keywords: Knowledge, Practice, Nurse, Urinary Incontinence
iv
Skripsi, Juli 2013
Walidatul Laili Mardliyah, NIM: 109104000051
Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin terhadap Praktik Perawatan Inkontinensia Urin di RSU Kabupaten Tangerang
xviii + 87 halaman + 11 tabel + 3 skema + 11 lampiran
ABSTRAK
Inkontinensia urin merupakan masalah klinis yang cukup besar serta menyebabkan kecacatan dan ketergantungan secara signifikan. Prevalensi inkontinensia urin baik di dunia maupun di Indonesia berkisar antara 4%-32.2%. Perawat sebagai tenaga kesehatan mempunyai peran penting dalam menangani masalah tersebut. Namun, tantangan utama dalam pelaksanaan perawatan inkontinensia adalah tingkat pengetahuan perawat tentang praktik penatalaksanaan inkontinensia urin. Hal ini karena pengetahuan merupakan domain yang mendasar dalam perubahan praktik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin terhadap praktik perawatan inkontinensia urin pada pasien di RSU Kabupaten Tangerang. Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan desain cross sectional dengan α = 0.05. Pengambilan data dilakukan pada 46 responden dengan menggunakan kuisioner. Hasil analisis didapatkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan praktik perawatan inkontinensia urin (p = 0.035, r = 0.311).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi instansi kesehatan agar dapat melakukan pembinaan guna meningkatkan pengetahuan serta kesadaran dan tanggung jawab staf perawat dalam menangani masalah inkontinensia urin selama proses perawatan sebagai guna meminimalisir komplikasi akibat inkontinensia urin dan meningkatkan derajat kesehatan pasien di rumah sakit.
Kata kunci: Pengetahuan, Praktik, Perawat, Inkontinensia Urin
v
Skripsi dengan judul
HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG
INKONTINENSIA URIN TERHADAP PRAKTIK
PERAWATAN INKONTINENSIA URIN
DI RSU KABUPATEN TANGERANG
Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
Walidatul Laili Mardliyah
NIM: 109104000051
Pembimbing I
Nia Damiati, S.Kp, M.SN
NIP. 19790114 200501 2007
Pembimbing II
Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc
NIP. 19790210 200501 2002
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
vi
HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG
INKONTINENSIA URIN TERHADAP PRAKTIK
PERAWATAN INKONTINENSIA URIN
DI RSU KABUPATEN TANGERANG
Telah disusun dan dipertahankan dihadapan penguji oleh :
Walidatul Laili Mardliyah
NIM: 109104000051
Pembimbing I
Nia Damiati, S.Kp, M.SN
NIP. 19790114 200501 2007
Pembimbing II
Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc
NIP. 19790210 200501 2002
Penguji I
Ita Yuanita, S.Kp, M.Kep
NIP. 19700122 200801 2005
Penguji II
Nia Damiati, S.Kp, M.SN
NIP. 19790114 200501 2007
Penguji III
Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc
vii
HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG
INKONTINENSIA URIN TERHADAP PRAKTIK
PERAWATAN INKONTINENSIA URIN DI RSU KABUPATEN
TANGERANG
Telah disusun dan dipertahankan dihadapan penguji oleh :
Walidatul Laili Mardliyah
NIM: 109104000051
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM
Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
Nama : WALIDATUL LAILI MARDLIYAH
Tempat, tanggal Lahir : Lamongan, 19 Mei 1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Dsn Pengaron RT/RW 01/01 Pengumbulanadi Tikung Lamongan 62281
HP : +6285730913411
E-mail : walida.elkaaf@gmail.com
Fakultas/Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/
Program Studi Ilmu Keperawatan
PENDIDIKAN
1. TK Kartini Pengumbulanadi 1996-1997
2. Sekolah Dasar Negeri Pengumbulanadi II Tikung 1997-2003
3. MTsM 01 Pondok Modern Paciran 2003-2006
4. MAM 02 Pondok Modern Paciran 2006-2009
ix
SO VERILY, WITH THE HARDSHIP, THERE IS RELIEF VERILY, WITH THE HARDSHIP, THERE IS RELIEF
(QS Al-Insyirah:5-6)
Sesungguhnya perjuangan tidak pernah merugi
tiap peluhnya akan menjadi mutiara
air matanya menjadi cahaya
lelahnya penembus dosa
dan... gugurnya bernilai syurga
Bismillah….
Skripsi ini aku persembahkan untuk:
Ibu, motivator terhebat di jagad raya ini. Alhamdulillah, bisa terlahir dari rahimmu. Alhamdulillah, menikmati pelukan dan ciumanmu. Alhamdulillah, hati selalu merasa rindu ketika tak bersamamu. My life is for you, Mom
Bapak, laki-laki pertama yang kucinta, yang hingga detik ini pun engkau masih tetap menjadi satu-satunya di hatiku. Tak pernah mencintai laki-laki secinta ini. Terima kasih untuk semuanya, you’re the greatest man who I ever knew. Love you more and more
Adikku, I don’t know what must I say, I think nothing to say, you`re the naughtiest one who I ever knew, but you’re the only one who I have. Being better my brotha... I love you
x
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Inkontinensia Urin Terhadap Praktik Perawatan Inkontinensia Urin di RSU Kabupaten Tangerang”.
Skripsi ini disusun sebagaimana untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) UIN Jakarta serta menerapkan dan mengembangkan teori-teori yang penulis peroleh selama kuliah.
Penulis telah berusaha untuk menyajikan suatu tulisan ilmiah yang rapi dan sistematik sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Penulis menyadari bahwa penyajian skripsi ini jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan masih terbatasnya pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis dalam melihat fakta, memecahkan masalah yang ada, serta mengeluarkan gagasan ataupun saran-saran. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang berguna untuk menyempurnakan skripsi ini akan penulis terima dengan hati terbuka dan rasa terima kasih.
Sesungguhnya banyak pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan yang tak terhingga nilainya hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. DR (hc). Dr. Muhammad Kamil Tajuddin, Sp. And., selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM, selaku Ketua Program Studi dan Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Nia Damiati, S.Kp, M.SN, dan Ibu Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc, selaku Dosen Pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah meluangkan waktu serta memberi arahan dan bimbingan dengan sabar kepada penulis selama proses pembuatan skripsi ini.
4. Ibu Ita Yuanita, S.Kp, M.Kep, Ibu Nia Damiati, S.Kp, M.SN, dan Ibu Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc, selaku Dosen Penguji Skripsi, terima kasih sebesar-besarnya atas saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
xi
kepada saya selama duduk di bangku kuliah.
7. Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik serta Perpustakaan Fakultas yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
8. Staff karyawan RSU Kabupaten Tangerang yang telah memberikan kesempatan pada peneliti untuk melakukan penelitian.
9. Kementerian Agama RI yang telah memberikan beasiswa penuh selama proses perkuliahan, tanpa beasiswa tersebut saya belum tentu bisa menikmati indahnya nikmat kuliah gratis.
10.Orang tuaku, Bpk. Murtadlo Wahyudi dan Ibu Suni yang telah mendidik, mencurahkan semua kasih sayang tiada tara, mendo’akan keberhasilan penulis, serta memberikan bantuan baik moril maupun materiil kepada penulis selama proses menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa, Adikku, Gilang Aminuddin dan seluruh keluargaku yang selalu memberikan semangat tanpa pamrih.
11.Teman-teman FKIK 2007-2012, PSIK 2009, CSS MoRA 2009, BEM FKIK, BEMJ-IK, PIM Lovers, Sahabat-sahabat terbaikku, Cime, Nuyung, Dhea, Inggar, Rusmanto, Ummi, Eva, Dila, Leli, Luluk, Vina, Omi, Zizah, Iqbal Nurmansyah, Badra, Indri, yang berjalan dan berjuang bersama, memberi inspirasi, menghibur, memberi masukan, dan mengundang tawa saya selama menyelesaikan skripsi ini, serta semua pihak yang telah mendo’akan selama proses pembuatan skripsi ini.
Pada akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis harapkan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Jakarta, Juli 2013
xii
Halaman Judul ... i
Pernyataan Keaslian Karya ... ii
Abstract ... iii
Abstrak ... iv
Pernyataan Persetujuan ... v
Lembar Pengesahan ... vi
Daftar Riwayat Hidup ... viii
Lembar Persembahan ... ix
Kata Pengantar ... x
Daftar Isi ... xii
Daftar Singkatan ... xv
Daftar Tabel ... xvi
Daftar Bagan ... xvii
Daftar Lampiran ... xviii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Rumusan Masalah ... 6
C.Pertanyaan Penelitian ... 7
D.Tujuan Penelitian ... 7
E. Manfaat Penelitian ... 8
F. Ruang Lingkup Penelitian ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Inkontinensia Urin ... 10
1. Definisi Inkontinensia Urin ... 10
2. Etiologi Inkontinensia Urin ... 11
xiii
1. Definisi Perawat ... 18
2. Peran dan Fungsi Perawat terhadap Inkontinensia Urin ... 19
C.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Perawatan Inkontinensia Urin ... 20
D.Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin ... 25
1. Definisi Pengetahuan ... 25
2. Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin ... 28
E. Praktik Perawatan Inkontinensia Urin ... 29
1. Definisi Praktik ... 29
2. Praktik Perawatan Inkontinensia Urin ... 30
F. Kerangka Teori ... 35
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS A.Kerangka Konsep ... 36
B.Definisi Operasional ... 37
C.Hipotesis ... 39
BAB IV METODE PENELITIAN A.Desain Penelitian ... 40
B.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40
C.Populasi dan Sampel ... 41
D.Instrumen Penelitian ... 44
E. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 46
F. Langkah-langkah Pengumpulan Data ... 49
G.Etika Penelitian ... 51
H.Pengolahan data ... 52
I. Analisis Data ... 53
xiv
B.Hasil Preliminary Analysis ... 61 C.Hasil Analisis Univariat ... 62 D.Hasil Analisis Bivariat ... 66
BAB VI PEMBAHASAN
A.Analisis Univariat ... 68 B.Analisis Bivariat ... 80 C.Keterbatasan Penelitian ... 84
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan ... 85 B.Saran ... 86
Daftar Pustaka
xv
Rumah Sakit Umum Pusat Negara National Overactive Bladder Evaluation Pusat Santunan Keluarga
Registered Nurse
International Continence Society
Delirium/confusional state, Infection–urinary (symptomatic), Atrophic urethritis/vaginitis,
Pharmaceuticals, Psychological, Excessive urine output, Restricted mobility, danStool impaction World Health Organization
Agency for Health Care Policy and Research Confidence Interval
Tempat Tidur
Sekolah Djuru Rawat
xvi
Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus
Rekapitulasi Kegiatan Pelatihan, Kursus, serta Simposium oleh Instalasi Diklat RSU Kabupaten Tangerang Tahun 2012 Hasil Uji Normalitas Data
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang Mei 2013
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Usia di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang Mei 2013 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang Mei 2013
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Lama Kerja di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang Mei 2013
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pengetahuan di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang Mei 2013
xvii
Halaman 2.1
2.2 3.1
Kerangka model Henderson tentang pengetahuan, praktik, keyakinan, dan sikap terkait inkontiensia urin
Kerangka Teori Kerangka Konsep
24
xviii
Lampiran 1. Dokumen Perizinan Lampiran 2. Informed Consent Lampiran 3. Kuisioner
Lampiran 4. Denah RSU Kabupaten Tangerang
Lampiran 5. Susunan Organisasi RSU Kabupaten Tangerang Lampiran 6. Fasilitas Rawat Inap RSU Kabupaten Tangerang Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas
Lampiran 8. Hasil Olahan SPSS Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 9. Hasil Olahan SPSS Univariat
Lampiran 10. Hasil Olahan SPSS Bivariat
1 A. Latar Belakang
Inkontinensia urin merupakan masalah klinis yang cukup besar serta
menyebabkan kecacatan dan ketergantungan secara signifikan (Henderson, 1996).
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin (Kozier, 2004). Meskipun
prevalensi inkontinensia urin lebih sering terjadi pada lansia, kehilangan urin bisa
juga terjadi pada orang dewasa dari segala usia (Henderson, 1996).
National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE), program yang meneliti
inkontinensia urin pada 5204 orang dewasa di Amerika Serikat memperkirakan
jumlah perempuan di Negara tersebut yang mengalami inkontinensia urin sebesar
14,8%, sepertiga di antaranya merupakan inkontinensia urin tipe campuran 34,4%
(Stewart et al. 2001, dalam Yuliana, 2011). Adapun survei tentang kejadian
inkontinensia urin yang dilakukan di negera-negara Asia dengan total populasi
5506 orang menunjukkan hasil yang bervariasi, di mana prevalensi terbesar
terdapat di Thailand sebesar 17% dan terkecil di China dan Singapura sebesar 4%,
sedangkan Indonesia sebesar 5%. Adanya perbedaan prevalensi ini dimungkinkan
karena alasan budaya dan sosial, di mana masyarakat Asia memiliki rasa malu
yang lebih tinggi dalam mengungkapkan inkontinensia dibanding masyarakat
Amerika (Diokno, 2003). Namun, peneliti juga belum menemukan penelitian
tentang rasa malu pada masyarakat Asia yang dimungkinkan bisa menyebabkan
Di Indonesia, survei inkontinensia urin dilakukan oleh Divisi Geriatri
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo pada 208 orang
usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA) di Jakarta pada
tahun 2002. Survei ini menghasilkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stres
sebesar 32,2%. Sedangkan survei yang dilakukan di poliklinik Geriatri RSUPN
Dr.Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien Geriatri didapatkan angka
kejadian inkontinensia urin tipe stres pada laki–laki sebesar 20,5% dan pada
perempuan sebesar 32,5%. Adapun survei inkontinensia urin yang dilakukan oleh
Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan RSU
Dr.Soetomo tahun 2008 terhadap 793 penderita, prevalensi inkontinensia urin
pada pria 3,02% sedangkan pada wanita 6,79%. Hal ini menunjukkan bahwa
prevalensi inkontinensia urin pada wanita lebih tinggi daripada pria (Yuliana,
2011).
Inkontinensia masih dianggap sebagai suatu yang tabu untuk dibicarakan
atau diakui untuk masyarakat Indonesia. Orang yang mengalami inkontinensia
merasa tidak senang, tidak bermartabat, dan bahkan sangat memalukan. Pasien
dengan inkontinensia urin juga memiliki kualitas hidup yang lebih rendah di
setiap domain (fungsi fisik, fungsi peran, fungsi sosial, kesehatan mental, persepsi
kesehatan, dan nyeri). Selain itu, inkontinensia urin dapat menyebabkan pasien
membatasi aktivitas sosial dan kemasyarakatan. Orang yang mengalami
inkontinensia menunjukkan suatu rentang emosi mencakup peningkatan depresi,
iritabilitas, cemas, dan perasaan tidak berdaya (Booker, 2009). Sedangkan dari
segi ekonomi, biaya terkait konsekuensi inkontinensia urin diperkirakan
yang dibutuhkan berkisar antara $860 sampai $960 per bulan (Doughty, 2006).
Oleh karena itu, kasus ini memerlukan perhatian intensif dari perawat untuk
menjadi prioritas intervensi dan praktik keperawatan.
Intervensi yang efektif dapat menyelesaikan masalah inkontinensia urin.
Petugas kesehatan, khususnya perawat mempunyai peran penting dalam
menangani masalah tersebut. Namun, tantangan utama dalam pelaksanaan
perawatan inkontinensia adalah tingkat pengetahuan perawat tentang penilaian
dan pengobatan inkontinensia urin (Saxer et al, 2008). Hal ini karena pengetahuan
merupakan domain terendah dalam perubahan sikap maupun praktik. Sikap dan
praktik yang tidak didasari oleh pengetahuan yang adekuat tidak akan bertahan
lama pada kehidupan seseorang, sedangkan pengetahuan yang adekuat jika tidak
diimbangi oleh praktik yang berkesinambungan juga tidak akan mempunyai
makna yang berarti bagi kehidupan (Notoatmodjo, 2007). Pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa pengetahuan dan praktik merupakan komponen penting yang
harus dimiliki perawat dalam menangani masalah inkontinensia urin pada pasien
di rumah sakit.
Henderson (1996) mengembangkan suatu model dimana terdapat saling
keterkaitan antara pengetahuan, praktik, kepercayaan, dan sikap terkait
inkontinensia urin. Di sisi lain, model Henderson & Kashka (2000, dalam Saxer et
al, 2008) juga menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan terhadap sikap
perawat, serta antara sikap perawat terhadap praktik perawatan inkontinensia urin.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan Saxer et al (2008) menunjukkan bahwa
ada hubungan antara pengetahuan dan praktik, khususnya dalam hal mengatur
inkontinensia urin. Hasil penelitian ini memberi kesan bahwa praktik perawatan
inkontinensia urin bisa diperbaiki dengan pengetahuan yang baik dan sikap yang
positif dari perawat.
Berkaitan dengan pengetahuan dan praktik perawatan inkontinensia urin,
hasil penelitian Henderson (1996) menunjukkan bahwa hubungan antara
pengetahuan dan praktik itu sangat kuat dengan nilai p=0.033 (<0.05). Sementara
itu, hasil penelitian Zurcher et al (2011) menunjukkan bahwa prevalensi perawat
yang mengenali dan menyelesaikan masalah inkontinensia urin di ruang
perawatan akut masih sangat minimal, yaitu sebesar 24,4 %. Adapun hasil
penelitian Saxer et al (2008) menunjukkan bahwa dari segi pengetahuan, 96-98%
dari Registered Nurses (RN) menjawab dengan benar pada tiga item pernyataan
berikut: Inkontinensia urin dapat lebih sering terjadi pada saat bersin, batuk dan
berjalan; Stroke dapat menyebabkan inkontinensia; Toilet training dapat
memperbaiki inkontinensia pada pasien. Sedangkan sekitar 85% RN tidak tahu
jawaban yang tepat untuk pernyataan: Perempuan lebih sering mengalami
inkontinensia daripada laki-laki; Lebih dari 80% penduduk di panti jompo
menderita inkontinensia urin. Dalam hal praktik, 91.5% RN dilaporkan menjawab
‘selalu’ melakukan pengkajian terhadap kebiasaan minum dan ekskresi pasien,
35% RN dilaporkan ‘tidak pernah’ memberikan informasi terkait inkontinensia
urin kepada pasien, 40% RN dilaporkan ‘tidak pernah’ mendokumentasikan
seberapa banyak pasien kehilangan urin dalam periode inkontinensia, dan 92%
RN dilaporkan menjawab ‘selalu’ memberikan bantuan kepada pasien, misalnya
Dari data di atas, beberapa perawat mungkin masih tidak menganggap
perawatan inkontinensia urin sebagai bagian dari kewajiban mereka. Mereka
hanya memiliki pengetahuan minimal terkait pengkajian dan manajemen
inkontinensia urin. Oleh karena itu, pengkajian terhadap pengetahuan perawat dan
praktik perawatan inkontinensia urin sangat penting dilakukan sehingga nantinya
perawat bisa mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang adekuat tentang
perawatan pasien dengan inkontinensia urin.
Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten Tangerang merupakan rumah sakit
rujukan utama di Kabupaten Tangerang. Kunjungan pertahun di rumah sakit ini
diperkirakan mencapai 20.000 pasien. Sementara itu, berdasarkan data yang
diperoleh dari Bidang Pelayanan Keperawatan RSU Kabupaten Tangerang per
Mei 2013, distribusi jumlah perawat yang merawat pasien di RSU Kabupaten
Tangerangsebanyak 363 perawat, 121 di antaranya merupakan perawat di Ruang
Rawat Inap Dewasa. Ruang Rawat Inap Dewasa ini merupakan ruangan dimana
pasiennya merupakan orang dewasa dengan berbagai macam gangguan penyakit.
Berdasarkan wawancara dengan perawat, inkontinensia urin merupakan salah satu
masalah yang seringkali ditemukan di sini. Namun, Bidang Pendidikan dan
Pelatihan rumah sakit ini mengaku belum pernah melakukan survei pencatatan
jumlah prevalensi inkontinensia urin secara detail.
Di samping itu, berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap
beberapa perawat selama praklinik, peneliti mendapatkan bahwa pengetahuan
perawat tentang inkontinensia urin cukup baik. Sedangkan dalam praktik
perawatannya, perawat biasanya mengkaji adanya inkontinensia urin, namun
mendokumentasikan intake dan output cairan. Pemberian informasi dan dukungan
toileting terhadap pasien dengan inkontinensia urin masih sangat jarang
dilakukan, bahkan tidak pernah. Hal ini memberi kesan bahwa perawat
membutuhkan pengetahuan yang lebih luas sehingga dapat memberikan asuhan
keperawatan yang lebih baik.
Peran perawat dalam menangani masalah inkontinensia urin ini merupakan
hal yang sangat penting karena banyak sekali dampak negatif yang diakibatkan
oleh inkontinensia urin. Namun, saat ini masih jarang ditemukan adanya
seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan yang spesifik membahas praktik perawatan
inkontinensia urin. Selain itu, peneliti juga belum menemukan hasil penelitian
yang spesifik membahas pengetahuan dan praktik perawatan inkontinensia urin di
Indonesia.
Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam
terkait hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin terhadap praktik
perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten Tangerang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa inkontinensia urin merupakan masalah klinis yang cukup besar dan
membutuhkan tatalaksana yang baik. Inkontinensia urin bisa menyebabkan
kecacatan dan ketergantungan secara signifikan (Henderson, 1996). Prevalensi
inkontinensia cukup tinggi baik di dunia maupun di Indonesia. Di Amerika
Serikat, prevalensi inkontinensia urin sebesar 14,8% , sedangkan di Asia berkisar
antara 4% - 17 % (Stewart et al. 2001, dalam Yuliana, 2011; Diokno, 2003).
2011). Inkontinensia urin ini dapat menyebabkan pasien membatasi aktivitas
sosial dan kemasyarakatan. Orang yang mengalami inkontinensia menunjukkan
suatu rentang emosi mencakup peningkatan depresi, iritabilitas, cemas, dan
perasaan tidak berdaya (Booker, 2009). Di sisi lain, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pengetahuan dan praktik keperawatan inkontinensia urin
sangat diperlukan untuk meningkatkan status kesehatan mereka (Henderson,
1996; Saxer et al, 2008; Zurcher et al, 2011). Sementara itu, peneliti belum
menemukan hasil penelitian tentang pengetahuan dan praktik perawatan
inkontinensia di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti lebih dalam
terkait hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin terhadap praktik
perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten Tangerang.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran karakteristik perawat di RSU Kabupaten Tangerang?
2. Bagaimana pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin?
3. Bagaimana praktik perawatan inkontinensia urin pada pasien di RSU
Kabupaten Tangerang?
4. Bagaimana hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin
terhadap praktik perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten Tangerang?
D. Tujuan Penelituan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat tentang
inkontinensia urin terhadap praktik perawatan inkontinensia urin di RSU
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran karakteristik perawat di RSU Kabupaten
Tangerang
b. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan perawat tentang inkontinensia
urin
c. Untuk mengetahui gambaran praktik perawatan inkontinensia urin pada
pasien di RSU Kabupaten Tangerang
d. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia
urin terhadap praktik perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten
Tangerang
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Perawat
Penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan serta kesadaran dan tanggung
jawab perawat dalam menangani masalah inkontinensia urin selama proses
perawatan.
2. Bagi Rumah Sakit
Penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi pihak rumah
sakit untuk melakukan pembinaan guna meningkatkan pengetahuan serta
kesadaran dan tanggung jawab staf perawat dalam menangani masalah
inkontinensia urin pada pasien selama proses perawatan di rumah sakit.
3. Bagi Perkembangan Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dalam bidang pendidikan keperawatan, khususnya Keperawatan
untuk meningkatkan kualitas praktik perawatan inkontinensia urin pada
pasien. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi landasan dalam
pengembangan evidence based ilmu keperawatan, khususnya mengenai
praktik penatalaksanaan inkontinensia urin pada pasien.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin
terhadap praktik perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten Tangerang.
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik kuantitatif dengan desain studi cross
sectional. Metode pengambilan data dengan menyebarkan kuisioner yang terdiri
dari data demografi dan Urinary Incontinence Scales yang dibuat oleh Henderson
(1996). Subjek yang diteliti adalah perawat di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU
10
A. Inkontinensia Urin
1. Definisi Inkontinensia Urin
Menurut Pranaka (2009), inkontinensia urin adalah pengeluaran
urin tanpa disadari serta dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sering
sehingga mengakibatkan masalah/gangguan kesehatan atau sosial.
Menurut Lewis et al. (2011), inkontinensia urin merupakan eliminasi urin
dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan.
Sedangkan menurut Saxer et al (2008), inkontinensia urin didefinisikan
oleh International Continence Society (ICS) sebagai keluhan atas
kebocoran urin yang tidak disadari. Selain itu, Mauk (2010) juga
mendefinisikan inkontinensia urin sebagai pengeluaran urin yang tidak
disengaja dan merupakan masalah kesehatan umum yang bisa
menyebabkan kecacatan dan penurunan kualitas hidup. Meskipun
inkontinensia urin ini umumnya terjadi pada lansia, namun hal ini juga
bisa terjadi pada orang dewasa dari segala usia (Henderson, 1996).
Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa
inkontinensia adalah suatu kondisi pengeluaran/kebocoran urin tanpa
disadari, tidak terkendali, terjadi di luar keinginan, dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sering, serta bisa menyebabkan kecacatan dan
2. Etiologi Inkontinensia Urin
Menurut Doughty (2006), penyebab inkontinensia urin biasa
disebut dengan singkatan DIAPPERS yang merupakan kependekan dari
Delirium/confusional state, Infection–urinary (symptomatic), Atrophic
urethritis/vaginitis, Pharmaceuticals, Psychological, Excessive urine
output, Restricted mobility, danStool impaction.
a. Delirium
Seseorang dikatakan delirium jika terjadi gangguan status mental
atau penurunan kesadaran secara situasional yang disebabkan karena
penggunaan obat, alkohol, atau reaksi anastesia paska operasi.
Kondisi seperti ini bisa menyebabkan seseorang menjadi
inkontinensia urin (Doughty, 2006).
b. Infeksi saluran kemih
Infeksi traktus urinarius yang simptomatik seperti sistitis dan
urethritis dapat menyebabkan iritasi kandung kemih sehingga timbul
frekuensi, disuria, dan urgensi yang mengakibatkan seseorang tidak
mampu mencapai toilet untuk berkemih (Doughty, 2006).
c. Atrofi vagina atau urethra
Atrofi vagina atau urethra merupakan salah satu perbahan yang
terjadi pada lansia. Pada kondisi ini, jaringan vagina atau urethra
menjadi tipis, mudah teriritasi, dan mudah rusak sehingga
infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, dan
inkontinensia (Doughty, 2006).
d. Psikologis
Proses psikologis yang menyebabkan timbulnya inkontinensia belum
pernah diteliti secara detail. Namun, depresi dan kecemasan yang
disebabkan karena operasi mayor, diagnosa penyakit kronis, atau
hospitalisasi yang lama diyakini dapat memicu terjadinya
inkontinensia urin. Mekanisme ini biasanya merupakan kombinasi
dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak
tepat (Doughty, 2006).
e. Farmakologis
Doughty (2006) mengungkapkan bahwa obat-obatan yang sering
dihubungkan dengan inkontinensia, di antaranya:
1) Obat-obatan diuretik akan meningkatkan pembebanan urin di
kandung kemih sehingga bila seseorang tidak dapat menemukan
toilet pada waktunya akan timbul inkontinensia urgensi.
2) Agen antikolinergik dan sedatif dapat menyebabkan timbulnya
atonia sehingga timbul retensi urin kronis yang berujung pada
inkontinensia overflow.
3) Sedatif, seperti benzodiazepin juga dapat berakumulasi dan
menyebabkan konfusi dan inkontinensia sekunder, terutama
4) Alkohol, mempunyai efek serupa dengan benzodiazepin,
mengganggu mobilitas dan menimbulkan diuresis.
5) Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan
berkurangnya tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan
kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga menstimulasi
timbulnya inkontinensia stres. Obat ini juga dapat menyebabkan
edema perifer, yang menimbulkan nokturia.
6) Agen α-adrenergik yang sering ditemukan pada obat influenza
akan meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan
berkemih, sebaliknya obat-obatan ini sering bermanfaat dalam
mengobati beberapa kasus inkontinensia stres.
7) Alpha blockers, yang sering dipergunakan untuk terapi
hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra dan
menyebabkan inkontinensia stres.
f. Sistem endokrin
Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotik yang dapat
menyebabkan suatu kondisi overactive bladder. Diabetes insipidus
juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan produksi urin hingga
10 liter per hari pada kandung kemih sehingga menimbulkan
inkontinensia overflow. Kondisi hipertiroid dapat menginduksi
kandung kemih menjadi overactive, sehingga menimbulkan kondisi
dapat menyebabkan kandung kemih hipotoni dan menimbulkan
inkontinensia overflow (Doughty, 2006).
g. Produksi urin yang berlebihan (excessive)
Output urin yang berlebihan bisa disebabkan oleh karena intake
cairan yang banyak, minuman berkafein, dan adanya masalah
endokrin (Doughty, 2006).
h. Restriksi/hambatan mobilitas
Umumnya hal ini yang sering menimbulkan inkontinensia pada
lansia. Keterbatasan mobilitas ini dapat disebabkan karena kondisi
nyeri arthritis, deformitas panggul, deconditioning fisik, stenosis
spinal, gagal jantung, penglihatan yang buruk, hipotensi postural
atau post prandial, claudication, perasaan takut jatuh, stroke,
masalah kaki atau ketidakseimbangan karena penggunaan
obat-obatan (Doughty, 2006).
i. Stool impaction (impaksi feses)
Impaksi feses akan mengubah posisi kandung kemih serta menekan
syaraf yang mensuplai uretra dan kandung kemih sehingga akan
dapat menimbulkan kondisi retensi urin dan inkontinensia overflow
(Doughty, 2006).
Sementara itu, Pranaka (2009) menyebutkan bahwa penyebab
inkontinensia urin berasal dari:
b. Kelaianan neurologi; misalnya stroke, trauma pada medula spinalis,
dan demensia
c. Lain-lain; misalnya hambatan mobilitas, situasi tempat berkemih yang
tidak memadai/jauh, dan sebagainya.
Adapun kondisi-kondisi yang menyertai inkontinensia urin menurut
Wagg et al (2006) di antaranya:
a. Artritis
b. Penyakit paru kronis
c. Gangguan kognitif
d. Gagal jantung kongestif
e. Konstipasi
f. Kontraktur
g. Demensia
h. Diabetes mellitus
i. Jatuh/fraktur hip
j. Penyakit Parkinson
k. Penyakit vaskular
perifer
l. Infeksi saluran kemih
berulang
m. Stroke
n. Kelainan vena
3. Tipe-tipe Inkontinensia Urin
Lewis et al (2011) mengklasifikasikan inkontinensia urin menjadi:
a. Inkontinensia stres
Inkontinensia ini terjadi akibat dari peningkatan mendadak pada
tekanan intra-abdomen. Tipe inkontinensia ini paling sering
ditemukan pada wanita yang mengalami cedera obstetrik, lesi kolum
vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi
dapat pula terjadi akibat kelainan kongenital, seperti ekstrofi vesika
urinaria atau ureter ektopik (Lewis, 2011).
b. Inkontinensia urgensi
Inkontinensia ini terjadi bila pasien merasakan dorongan atau
keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu menahannya cukup lama
sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus, kontraksi kandung
kemih yang tidak dapat ditahan merupakan faktor yang menyertai.
Keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang
kontraksi kandung kemihnya terhambat atau pada pasien dengan
gejala iritasi lokal akibat infeksi/tumor pada saluran kemih (Lewis,
2011).
c. Inkontinensia overflow
Inkontinensia ini ditandai oleh eliminsi urin yang sering dan terjadi
hampir terus menerus. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan
isinya secara normal dan mengalami distensi yang berlebihan.
Inkontinensia overflow dapat disebabkan oleh kelainan neurologi
(yaitu lesi pada medula spinalis) atau oleh faktor-faktor yang
menyumbat saluran keluar urin, yaitu: penggunaan obat-obatan,
tumor, striktur, dan hiperplasia prostat (Lewis, 2011).
d. Inkontinensia refleks
Inkontinensia ini ditandai dengan keluarnya urin yang tidak disadari
yang disebabkan oleh adanya lesi pada medula spinalis sakrum S2 ke
kandung kemih dan mengganggu jalur koordinasi antara kontraksi
dan relaksasi sfingter (Lewis, 2011).
e. Inkontinensia paska trauma atau operasi
Inkontinensia ini terjadi karena adanya fistula vesiko-vaginal atau
urethro-vaginal pada wanita. Selain itu, inkontinensia ini juga
merupakan komplikasi paska operasi transurethral, perineal, atau
prostatektomi retropubik (Lewis, 2011).
f. Inkontinensia fungsional
Ini merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian
bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif
berat yang membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya
urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang
menyebabkan pasien tidak mungkin menjangkau toilet untuk
melakukan urinasi (Lewis, 2011).
4. Dampak Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin juga memiliki efek terhadap kualitas hidup,
bahkan pada kegiatan sehari-hari sederhana, seperti bekerja, berjalan,
kegiatan interpersonal, aktivitas fisik, fungsi seksual, dan tidur. Pasien
dengan inkontinensia urin juga memiliki kualitas hidup yang lebih rendah
di setiap domain (fungsi fisik, fungsi peran, fungsi sosial, kesehatan
mental, persepsi kesehatan, dan nyeri). Sedangkan dari segi ekonomi,
miliar per tahun. Sedangkan untuk biaya perawatannya, jumlah yang
dibutuhkan berkisar antara $860 sampai $960 per bulan (Doughty, 2006).
Menurut Booker (2009), inkontinensia urin memiliki beberapa
dampak, di antaranya:
a. Perubahan pada kesejahteraan emosi, sosial, fisik, dan ekonomi
individu yang mengalami inkontinensia urin.
b. Ketakutan akan kehilangan kontrol yang disaksikan oleh orang lain
menyebabkan pasien membatasi aktivitas sosial dan kemasyarakatan.
c. Orang yang mengalami inkontinensia menunjukkan suatu rentang
emosi mencakup peningkatan depresi, iritabilitas, cemas, dan
perasaan tidak berdaya.
Adapun menurut Continence Essential Guide (2009), dampak
inkontinensia urin antara lain:
a. Jatuh
b. Depresi
c. Luka dekubitus
d. Masalah bowel
e. Infeksi kulit
f. Isolasi
g. Penurunan kualitas
hidup
h. Peningkatan perhatian
institusi kesehatan
B. Peran dan Fungsi Perawat terhadap Perawatan Inkontinensia Urin
1. Definisi Perawat
Sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. HK 02.02/MENKES/148/I/2012,
dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Perawat adalah orang yang mengasuh, merawat dan
melindungi, yang merawat orang sakit, luka, dan usia lanjut (Elis &
Hartley, 1980 dalam Priharjo, 2008). Sedangkan menurut Kusnanto
(2004), perawat adalah seseorang (seorang profesional) yang mempunyai
kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan dalam melaksanakan
pelayanan/asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan
keperawatan.
Fokus dari praktik keperawatan adalah pemenuhan kebutuhan
dasar manusia. Seorang perawat dikatakan profesional ketika dirinya
mampu mengasuh, merawat dan melindungi pasien secara komprehensif,
melakukan aktifitas keperawatan sesuai dengan kode etik keperawatan,
serta memberikan pelayanan/asuhan keperawatan pada berbagai jenjang
pelayanan keperawatan (Kusnanto, 2004).
2. Peran Perawat terhadap Perawatan Inkontinensia Urin
Salah satu peran dan fungsi perawat yang penting dalam
pendidikan kesehatan, di antaranya: menjaga kesehatan, mencegah dan
mengurangi komplikasi, serta menyesuaikan diri dengan perawatan dan
masalah kesehatan (Mauk, 2010). Peran dan fungsi tersebut saat ini
menjadi lebih luas dengan penekanan pada peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit, juga memandang klien secara komprehensif.
Perawat kontemporer menjalankan fungsi dalam berbagai peran, yaitu:
advokat bagi klien, manajer kasus, rehabilitator, pembuat kenyamanan,
komunikator, dan pendidik (Potter & Perry, 2005). Peran dan fungsi
tersebut juga diterapkan dalam perawatan inkontinensia urin pada pasien
yang dirawat di rumah sakit.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Perawatan Inkontinensia Urin
Praktik perawatan inkontinensia urin pada pasien yang dirawat di rumah
sakit merupakan bentuk perilaku kesehatan, dimana perawat menjadi salah satu
pihak yang bertanggung jawab di dalamnya. Perilaku itu sendiri didefinisikan
sebagai tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan
bahkan dapat dipelajari. (Kwick, 1974 dalam Notoatmodjo, 2003).
Beberapa teori yang mengungkap determinan perilaku dari analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan
dengan perilaku kesehatan, antara lain:
1. Teori Lawrence Green
Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2007) menganalisis perilaku
manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2
faktor pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar
perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri
ditentukan dari 3 faktor, yaitu:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana kesehatan, misalnya obat-obatan, alat-alat, dan
sebagainya.
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan.
Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:
dimana:
B = Behaviour RF = Reinforcing factors
PF = Predisposing factors f = fungsi
EF = Enabling factors
2. Teori World Health Organization (WHO)
Sementara itu, WHO (1984, dalam Notoadmodjo, 2007)
menganalisis bahwa hal-hal yang menyebabkan seseorang itu berperilaku
tertentu adalah:
a. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan dipengaruhi oleh pengalaman sendiri atau pengalaman
orang lain.
b. Kepercayaan (Beliefs)
Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek.
Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan
c. Sikap (Attitudes)
Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek.
Sikap sering dipengaruhi oleh pengalaman sendiri atau pengalaman
orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati
atau menjauhi objek lain.
d. Orang-orang penting (References)
Perilaku seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang
dianggap penting. Apabila seseorang itu dianggap penting untuknya,
maka apa yang ia katakan atau ia lakukan cenderung untuk dicontoh.
e. Sumber-sumber daya (Recources)
Sumber daya di sini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan
sebagainya. Semua itu berpengaruh (baik positif maupun negatif)
terhadap perilaku seseorang.
f. Kebudayaan (Culture)
Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan
sumber-sumber akan menghasilkan suatu pola hidup yang pada umumnya
disebut kebudayaan.
Teori ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
dimana: B = Behaviour R = Resources
f = fungsi PR = Personal References
TF = Thoughts and feelings C = Culture
(meliputi pengetahuan,
kepercayaan, dan sikap)
Kedua teori di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku tentang
kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan
sebagainya. Di samping itu, ketersediaan fasilitas dan perilaku petugas
kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku
yang biasa diwujudkan dengan praktik/tindakan yang nyata. Hal tersebut
juga berlaku pada praktik perawatan inkontinensia urin pada pasien yang
dirawat di rumah sakit.
3. Teori Henderson
Dalam hal inkontinensia urin, Henderson (1996) mengembangkan
suatu model di mana terdapat saling keterkaitan antara pengetahuan,
praktik, keyakinan, dan sikap terkait inkontiensia urin (lihat bagan 2.1).
Adapun keempat faktor tersebut adalah:
a. Sikap (Attitudes)
Sikap merupakan kepedulian perasaan terhadap objek sosial dan
perhatian terhadap target atau objek tertentu. Sikap didefinisikan
sebagai kecenderungan yang terorganisir untuk berpikir, merasakan,
memahami, dan bersikap terhadap suatu acuan atau objek kognitif.
Ini merupakan struktur berkelanjutan dari keyakinan yang
mempengaruhi individu untuk acuan berperilaku selektif (Kerlinger,
1986 dalam Henderson, 1996). Sikap lebih mudah dipengaruhi oleh
pendapat, pandangan, perspektif, dukungan, kelakuan, dan postur
b. Kepercayaan (Beliefs)
Kepercayaan tidak terlalu sering digunakan sebagai domain
pengukuran. Kata “kepercayaan” dan “sikap” seringkali
dipertukarkan dalam literatur bahkan beberapa menyimpulkan
bahwa keduanya adalah sama. Kepercayaan dikaitkan dengan
kata-kata yang menunjukkan perasaan yang sudah mendarah daging
dengan baik, termasuk jaminan, kepastian, harapan, kepercayaan,
doktrin, dogma, prinsip, postulat, teori, konsep, persuasi, dan posisi
(Rodale, 1978 dalam Henderson, 1996).
c. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan ini didefinisikan sebagai pemahaman terhadap fakta
atau informasi yang diperoleh, dalam hal ini dispesifikkan pada
inkontinensia urin (Henderson, 1996).
d. Praktik (Practice)
Praktik didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan perawat yang
relevan dengan masalah inkontinensia urin (AHCPR, 1992 dalam
Henderson, 1996).
Bagan 2.1 Kerangka model Henderson tentang pengetahuan, praktik, keyakinan, dan sikap terkait inkontiensia urin
Sikap
Praktik
Bagan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan
antara keempat faktor; sikap, kepercayaan, pengetahuan, dan praktik
terkait inkontinensia urin.
D. Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin
1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui berkenaan
dengan hal tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Menurut
Taksonomi Bloom (1987, dalam Notoatmodjo, 2007) pengetahuan
mencakup enam tingkat domain kognitif, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini. Oleh sebab itu, tahu
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja
dipelajari, antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, atau meramalkan objek yang
dipelajari.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi
juga dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip, dan sebagainya.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,
seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri
atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Rogers (1974, dalam Notoatmodjo, 2007) mengungkapkan bahwa
sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut
sudah terjadi proses berurutan, yaitu:
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Pada
proses ini, sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya.
d. Trial (mencoba), dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek
atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas
(Notoatmodjo, 2007).
2. Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin
Pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin didefinisikan
sebagai penguasaan dan dan pemahaman perawat yang diperoleh dari fakta
atau informasi tentang inkontinensia urin (Henderson, 1996).
Bekerja dengan populasi yang sakit memerlukan pengetahuan
dasar yang kuat sehingga nantinya bisa menilai tanda dan gejala penyakit
secara akurat, melakukan penatalaksanaan dengan benar, dan memperoleh
hasil tindakan sesuai dengan harapan.
Menurut Saxer et al (2008), pengetahuan yang harus dikuasai oleh
perawat yang merawat pasien dengan inkontinensia urin adalah mencakup:
a. Prevalensi dan insidensi inkontinensia urin
Angka kejadian inkontinensia urin cenderung meningkat seiring
dengan penambahan usia. Akan tetapi, prevalensi dan insidensi
inkontinensia ini bervariasi. Hal ini disebabkan karena perbedaan
populasi, metode penelitian, dan cara pengumpulan data.
b. Etiologi inkontinensia urin
Perawat harus memahami hal-hal yang menjadi penyebab dan faktor
resiko terjadinya inkontinensia urin.
c. Tipe-tipe inkontinensia urin
Ada berbagai macam tipe inkontinensia urin, di antaranya: tipe stres,
d. Penatalaksanaan/praktik perawatan inkontinensia urin (akan dibahas
selanjutnya)
E. Praktik Perawatan Inkontinensia Urin
1. Definisi Praktik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), praktik
didefinisikan sebagai pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam
teori. Beberapa tingkatan dalam praktik menurut Notoatmodjo (2003)
antara lain:
a. Persepsi (perception)
Pada tingkat ini individu mampu mengenal dan memilih berbagai
objek terkait dengan tindakan yang akan diambil.
b. Respon terpimpin (guide response)
Indikator pada tingkat ini adalah individu mampu untuk melakukan
sesuatu dengan urutan yang benar.
c. Mekanisme (mechanism)
Pada tingkat ini, individu sudah menjadikan suatu tindakan yang benar
menjadi suatu kebiasaan.
d. Adopsi (adoption)
Pada tingkat ini, individu sudah mampu memodifikasi suatu tindakan
tanpa mengurangi nilai kebenaran dari tindakan tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung dengan
sebelumnya atau secara langsung dengan cara mengobservasi tindakan
atau kegiatan individu tersebut (Notoatmodjo, 2003).
Sedangkan yang dimaksud dengan praktik perawatan adalah
tindakan mandiri perawat profesional melalui kerja sama bersifat
kolaborasi dengan klien dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan
asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya.
Lingkup kewenangan perawat dalam praktik keperawatan profesional
meliputi sistem klien (individu, keluarga, kelompok khusus, dan
masyarakat) dalam rentang sehat-sakit sepanjang daur kehidupan
(Kusnanto, 2004).
2. Praktik Perawatan Inkontinensia Urin
Perawat dapat memposisikan diri untuk mengkoordinasikan
seluruh spektrum perawatan, meliputi: pemeliharaan kesehatan,
pencegahan, intervensi, dan pengobatan sehingga meningkatkan kualitas
pelayanan sekaligus memastikan efektivitas biaya (Mauk, 2010). Oleh
karena itu, perawat juga harus mampu mengkoordinasikan seluruh
spektrum praktik perawatan inkontinensia urin.
Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR)
mendefinisikan praktik perawatan inkontinensia urin sebagai sumber daya
perilaku yang diidentifikasi sebagai tindakan yang diambil oleh perawat
yang relevan untuk merawat klien dengan inkontinensia urin (Henderson,
Saxer et al (2008) membagi praktik perawatan inkontinensia urin
menjadi 4 kategori, yaitu:
a. Penatalaksanaan kebiasaan minum dan ekskresi
b. Pengkajian dan informasi terkait inkontinensia urin
c. Dokumentasi penatalaksanaan inkontinensia urin
d. Sistem dukungan/bantuan untuk pasien dengan inkontinensia urin.
Salah satu faktor penting dalam penatalaksanaan inkontinensia urin
adalah pengkajian. Adapun pengkajian terhadap pasien dengan
inkontinensia urin yang terdapat dalam Continence Essential Guide
(2009), diantaranya:
a. Pengkajian tentang riwayat kontinensia
Dalam aspek ini, perawat harus mengkaji riwayat berkemih dan proses
pengosongan kandung kemih pasien. Berikut ini adalah aspek
pengkajian riwayat kontinensia beserta contoh pertanyaan yang bisa
diajukan kepada pasien, di antaranya:
1) Frekuensi berkemih
2) Frekuensi nokturia
3) Faktor yang memperberat
4) Nyeri
5) Kehilangan urin yang terus-menerus
6) Susah atau berusaha keras dalam mengosongkan kandung kemih
7) Aliran kemih yang terhambat – indikasi obstruksi kandung kemih
8) Kencing yang menetes – indikasi obtruksi saluran kemih
b. Pengkajian tentang fungsi kognitif
Pasien dengan gangguan kognitif biasanya kurang kooperatif ketika
dilakukan intervensi terhadap inkontinensia mereka. Oleh karena itu,
perawat diharapkan untuk mengkaji fungsi kognitif mereka.
c. Pengkajian tentang kebutuhan pasien dalam mengenakan pampers
Dalam hal ini, hal-hal yang perlu diperhatikan perawat meliputi:
1) Fungsi kognitif pasien, apakah dia mampu mengganti
pampers-nya sendiri atau tidak.
2) Jadwal bladder training mungkin bisa membantu pasien
mengenakan pampers.
3) Derajat mobilitas yang memungkinkan pasien bisa mengambil
/meletakkan pampers kembali.
4) Kemampuan untuk pergi ke toilet dan mengganti pampers
5) Kuantitas pampers yang dibutuhkan pasien
6) Ukuran pampers yang dibutuhkan pasien
7) Terjadi dermatitis akibat pampers yang jarang diganti.
Intervensi praktik perawatan yang efektif bisa membantu
menangani masalah inkontinensia urin. Lewis et al (2011) menyebutkan
beberapa intervensi praktik perawatan inkontinensia urin, di antaranya:
a. Behavioral intervention, yang terdiri dari:
1) Bladder training (menolak/menghambat desakan berkemih,
2) Habit training (berkemih sesuai dengan waktu yang ditentukan,
penjadwalan berkemih)
3) Prompted voiding (mengajarkan bagaimana cara meminta
bantuan ketika terjadi inkontinensia). Untuk pasien yang
mengalami gangguan kognitif, prompted voiding dilakukan
dengan cara:
a) pemantauan reguler dengan dorongan agar pasien melaporkan
status kontinensia mereka
b) mendorong pasien untuk pergi ke toilet secara terjadwal
c) memberikan pujian dan umpan balik positif ketika pasien
berusaha untuk pergi ke toilet sendiri
4) Latihan otot-otot panggul (kontraksi otot panggul dan
pulbocoxigeal)
5) Corong vagina (kontraksi otot dengan corong yang berguna untuk
memperkuat otot panggul dan pulbocoxigeal)
6) Biofeedback (metode untuk memberikan informasi tentang tubuh
pasien dengan menggunakan sadapan elektromiogram (EMG)
yang dipasang di vagina yang nantinya memberi umpan balik
tentang kondisi normal dan abnormal neuromuskular dan aktivitas
otonom dalam bentuk analog, binary, signal auditory, maupun
visual)
b. Terapi farmakologis dengan menggunakan propantelin, oxybutinin,
dicyclomin, penilpropanolamin, estrogen, kombinasi alfa agonis
adrenergik dan terapi estrogen, imipramin, atau propanolol
c. Penatalaksanaan lainnya, seperti: kateter intermitten, pengumpulan
urin, klem penis, dan perawatan kulit.
Penilaian tentang pengetahuan dan praktik perawatan inkontinensia
urin ini bisa dilakukan dengan menggunakan instrumen Urinary
Incontinence Scales yang dikembangkan oleh Henderson (1996). Dimensi
pengetahuan pada instrumen ini terdiri dari 23 item terkait fakta dan
pernyataan tentang inkontinensia urin, sementara dimensi praktik terdiri
dari 23 item terkait tindakan perawat dalam menangani inkontinensia urin
(Henderson, 1996).
Cara pemberian skor dilakukan dengan skala Guttman untuk
dimensi pengetahuan dan skala Likert untuk dimensi praktik. Dengan skala
Guttman dan Likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi
indikator variabel, kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik
tolak untuk menyusun item-item instrumen yang berupa pernyataan.
Adapun jawaban untuk semua pernyataan pada dimensi pengetahuan dan
praktik kemudian diberi skor:
a. Pernyataan untuk pengetahuan
Skor untuk jawaban benar adalah 1, skor untuk jawaban salah adalah 0
b. Pernyataan untuk praktik
Skor Selalu adalah 3, skor Sering adalah 2, skor Kadang-kadang
F. Kerangka Teori
g. Produksi urin yang berlebihan (excessive)
h. Restriksi/hambatan mobilitas i. Stool impaction (impaksi feses) j. Penyakit Degeneratif
f. Penurunan kualitas hidup
secara fisik dan ekonomi
g. Pembatasan aktivitas sosial
h. Peningkatan depresi,
d. Orang-orang penting (Manajemen RS)
e. Sumber daya yang tersedia
f. Kebudayaan
(WHO, 1984 dalam Notoatmodjo, 2007)
a. Predisposing factors (pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dsb)
b. Enabling factors (lingkungan fisik, tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan,
misalnya obat-obatan, alat-alat, dsb)
c. Reinforcing factors (sikap dan perilaku petugas kesehatan)
(Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2007) a. Pengetahuan
a. Pengkajian riwayat kontinensia, fungsi
kognitif, dan kebutuhan penggunaan pads
b. Behavioral intervention: Bladder training,
Habit training, Prompted voiding, Kegel’s
Exercise, Corong vagina, dan Biofeedback
c. Terapi farmakologis
d. Penatalaksanaan lain, seperti: kateter
intermitten, pengumpulan urin, klem penis,
dan perawatan kulit.
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini, variabel bebas (independen) yang ingin
diketahui yakni pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin, sedangkan
variabel terikat (dependen) yang akan diteliti yaitu praktik perawatan
inkontinensia urin.
Variabel pengetahuan merupakan variabel yang sangat mempengaruhi
praktik perawatan inkontinensia urin yang dilakukan oleh perawat, dimana
pengetahuan merupakan domain dari perilaku (Notoatmodjo, 2007;
Henderson, 1996; dan Saxer et al, 2008). Hal ini perlu diketahui dan diteliti
dengan baik sehingga perawat dapat melakukan perawatan dan
meminimalkan terjadinya komplikasi inkontinensia urin. Di bawah ini
dijelaskan mengenai kerangka konsep yang akan dilakukan peneliti di RSU
Kabupaten Tangerang.
Bagan 3.1. Kerangka konsep penelitian tentang hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin terhadap praktik perawatan inkontinensia
urin di RSU Kabupaten Tangerang
Praktik perawatan inkontinensia urin
Kebiasaan minum dan ekskresi
Pengkajian dan informasi
Dokumentasi
Dukungan
Pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin
Prevalensi dan insidensi
Etiologi inkontinensia urin
Tipe-tipe inkontinensia urin
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Pengetahuan urin secara umum yang berkaitan dengan
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka hipotesis
penelitian yang muncul adalah:
1. Ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin
terhadap praktik perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten