• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Inkontinensia Urin Terhadap Praktik Perawatan Inkontinensia Urin di RSU Kabupaten Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Inkontinensia Urin Terhadap Praktik Perawatan Inkontinensia Urin di RSU Kabupaten Tangerang"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

PERAWATAN INKONTINENSIA URIN DI RSU

KABUPATEN TANGERANG

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH :

WALIDATUL LAILI MARDLIYAH

NIM: 109104000051

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 Keperawatan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juli 2013

(3)

iii JAKARTA

Undergraduate Thesis, July 2013

Walidatul Laili Mardliyah, NIM: 109104000051

Correlation between Nurse’s Knowledge of Urinary Incontinence and Nursing Practice of Urinary Incontinence in RSU Kabupaten Tangerang

xviii + 87 pages + 11 tables + 3 schemes + 11 attachments

ABSTRACT

Urinary incontinence is consider as serious clinical problem and causes significant disability and dependence. The prevalence of urinary incontinence both in the world and in Indonesia ranges from 4%-32.2%. Nurses as health professionals have an important role in handling this problem. However, the main challenge in the implementation of urinary incontinence care is the level of nurse’s knowledge about urinary incontinence management. It occurs because knowledge is basic domain in practice changes.

The purpose of this study was to determine the correlation between nurse’s knowledge about urinary incontinence and nursing practice of urinary incontinence in RSU Kabupaten Tangerang. This research was an analytical quantitative research with cross sectional design at α = 0.05 level. Data collection was conducted on 46 respondents using questionnaires. The result of this study showed that there is a correlation between knowledge and practice of urinary incontinence (p = 0.035, r = 0.311).

The result is expected to be a consideration for health agencies to be able to give guidance to increase knowledge, awareness, and responsibilities of nursing staffs in dealing with urinary incontinence during the treatment process in order to minimize complications from urinary incontinence and improve the health status of patients in hospitals.

Keywords: Knowledge, Practice, Nurse, Urinary Incontinence

(4)

iv

Skripsi, Juli 2013

Walidatul Laili Mardliyah, NIM: 109104000051

Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin terhadap Praktik Perawatan Inkontinensia Urin di RSU Kabupaten Tangerang

xviii + 87 halaman + 11 tabel + 3 skema + 11 lampiran

ABSTRAK

Inkontinensia urin merupakan masalah klinis yang cukup besar serta menyebabkan kecacatan dan ketergantungan secara signifikan. Prevalensi inkontinensia urin baik di dunia maupun di Indonesia berkisar antara 4%-32.2%. Perawat sebagai tenaga kesehatan mempunyai peran penting dalam menangani masalah tersebut. Namun, tantangan utama dalam pelaksanaan perawatan inkontinensia adalah tingkat pengetahuan perawat tentang praktik penatalaksanaan inkontinensia urin. Hal ini karena pengetahuan merupakan domain yang mendasar dalam perubahan praktik.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin terhadap praktik perawatan inkontinensia urin pada pasien di RSU Kabupaten Tangerang. Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan desain cross sectional dengan α = 0.05. Pengambilan data dilakukan pada 46 responden dengan menggunakan kuisioner. Hasil analisis didapatkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan praktik perawatan inkontinensia urin (p = 0.035, r = 0.311).

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi instansi kesehatan agar dapat melakukan pembinaan guna meningkatkan pengetahuan serta kesadaran dan tanggung jawab staf perawat dalam menangani masalah inkontinensia urin selama proses perawatan sebagai guna meminimalisir komplikasi akibat inkontinensia urin dan meningkatkan derajat kesehatan pasien di rumah sakit.

Kata kunci: Pengetahuan, Praktik, Perawat, Inkontinensia Urin

(5)

v

Skripsi dengan judul

HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG

INKONTINENSIA URIN TERHADAP PRAKTIK

PERAWATAN INKONTINENSIA URIN

DI RSU KABUPATEN TANGERANG

Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Disusun Oleh:

Walidatul Laili Mardliyah

NIM: 109104000051

Pembimbing I

Nia Damiati, S.Kp, M.SN

NIP. 19790114 200501 2007

Pembimbing II

Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc

NIP. 19790210 200501 2002

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(6)

vi

HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG

INKONTINENSIA URIN TERHADAP PRAKTIK

PERAWATAN INKONTINENSIA URIN

DI RSU KABUPATEN TANGERANG

Telah disusun dan dipertahankan dihadapan penguji oleh :

Walidatul Laili Mardliyah

NIM: 109104000051

Pembimbing I

Nia Damiati, S.Kp, M.SN

NIP. 19790114 200501 2007

Pembimbing II

Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc

NIP. 19790210 200501 2002

Penguji I

Ita Yuanita, S.Kp, M.Kep

NIP. 19700122 200801 2005

Penguji II

Nia Damiati, S.Kp, M.SN

NIP. 19790114 200501 2007

Penguji III

Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc

(7)

vii

HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG

INKONTINENSIA URIN TERHADAP PRAKTIK

PERAWATAN INKONTINENSIA URIN DI RSU KABUPATEN

TANGERANG

Telah disusun dan dipertahankan dihadapan penguji oleh :

Walidatul Laili Mardliyah

NIM: 109104000051

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM

Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(8)

viii

Nama : WALIDATUL LAILI MARDLIYAH

Tempat, tanggal Lahir : Lamongan, 19 Mei 1991

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Dsn Pengaron RT/RW 01/01 Pengumbulanadi Tikung Lamongan 62281

HP : +6285730913411

E-mail : walida.elkaaf@gmail.com

Fakultas/Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/

Program Studi Ilmu Keperawatan

PENDIDIKAN

1. TK Kartini Pengumbulanadi 1996-1997

2. Sekolah Dasar Negeri Pengumbulanadi II Tikung 1997-2003

3. MTsM 01 Pondok Modern Paciran 2003-2006

4. MAM 02 Pondok Modern Paciran 2006-2009

(9)

ix

SO VERILY, WITH THE HARDSHIP, THERE IS RELIEF VERILY, WITH THE HARDSHIP, THERE IS RELIEF

(QS Al-Insyirah:5-6)

Sesungguhnya perjuangan tidak pernah merugi

tiap peluhnya akan menjadi mutiara

air matanya menjadi cahaya

lelahnya penembus dosa

dan... gugurnya bernilai syurga

Bismillah….

Skripsi ini aku persembahkan untuk:

 Ibu, motivator terhebat di jagad raya ini. Alhamdulillah, bisa terlahir dari rahimmu. Alhamdulillah, menikmati pelukan dan ciumanmu. Alhamdulillah, hati selalu merasa rindu ketika tak bersamamu. My life is for you, Mom 

 Bapak, laki-laki pertama yang kucinta, yang hingga detik ini pun engkau masih tetap menjadi satu-satunya di hatiku. Tak pernah mencintai laki-laki secinta ini. Terima kasih untuk semuanya, you’re the greatest man who I ever knew. Love you more and more 

 Adikku, I don’t know what must I say, I think nothing to say, you`re the naughtiest one who I ever knew, but you’re the only one who I have. Being better my brotha... I love you 

(10)

x

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Inkontinensia Urin Terhadap Praktik Perawatan Inkontinensia Urin di RSU Kabupaten Tangerang”.

Skripsi ini disusun sebagaimana untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) UIN Jakarta serta menerapkan dan mengembangkan teori-teori yang penulis peroleh selama kuliah.

Penulis telah berusaha untuk menyajikan suatu tulisan ilmiah yang rapi dan sistematik sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Penulis menyadari bahwa penyajian skripsi ini jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan masih terbatasnya pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis dalam melihat fakta, memecahkan masalah yang ada, serta mengeluarkan gagasan ataupun saran-saran. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang berguna untuk menyempurnakan skripsi ini akan penulis terima dengan hati terbuka dan rasa terima kasih.

Sesungguhnya banyak pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan yang tak terhingga nilainya hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. DR (hc). Dr. Muhammad Kamil Tajuddin, Sp. And., selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM, selaku Ketua Program Studi dan Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Nia Damiati, S.Kp, M.SN, dan Ibu Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc, selaku Dosen Pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah meluangkan waktu serta memberi arahan dan bimbingan dengan sabar kepada penulis selama proses pembuatan skripsi ini.

4. Ibu Ita Yuanita, S.Kp, M.Kep, Ibu Nia Damiati, S.Kp, M.SN, dan Ibu Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc, selaku Dosen Penguji Skripsi, terima kasih sebesar-besarnya atas saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

(11)

xi

kepada saya selama duduk di bangku kuliah.

7. Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik serta Perpustakaan Fakultas yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

8. Staff karyawan RSU Kabupaten Tangerang yang telah memberikan kesempatan pada peneliti untuk melakukan penelitian.

9. Kementerian Agama RI yang telah memberikan beasiswa penuh selama proses perkuliahan, tanpa beasiswa tersebut saya belum tentu bisa menikmati indahnya nikmat kuliah gratis.

10.Orang tuaku, Bpk. Murtadlo Wahyudi dan Ibu Suni yang telah mendidik, mencurahkan semua kasih sayang tiada tara, mendo’akan keberhasilan penulis, serta memberikan bantuan baik moril maupun materiil kepada penulis selama proses menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa, Adikku, Gilang Aminuddin dan seluruh keluargaku yang selalu memberikan semangat tanpa pamrih.

11.Teman-teman FKIK 2007-2012, PSIK 2009, CSS MoRA 2009, BEM FKIK, BEMJ-IK, PIM Lovers, Sahabat-sahabat terbaikku, Cime, Nuyung, Dhea, Inggar, Rusmanto, Ummi, Eva, Dila, Leli, Luluk, Vina, Omi, Zizah, Iqbal Nurmansyah, Badra, Indri, yang berjalan dan berjuang bersama, memberi inspirasi, menghibur, memberi masukan, dan mengundang tawa saya selama menyelesaikan skripsi ini, serta semua pihak yang telah mendo’akan selama proses pembuatan skripsi ini.

Pada akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis harapkan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Jakarta, Juli 2013

(12)

xii

Halaman Judul ... i

Pernyataan Keaslian Karya ... ii

Abstract ... iii

Abstrak ... iv

Pernyataan Persetujuan ... v

Lembar Pengesahan ... vi

Daftar Riwayat Hidup ... viii

Lembar Persembahan ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xii

Daftar Singkatan ... xv

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Bagan ... xvii

Daftar Lampiran ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 6

C.Pertanyaan Penelitian ... 7

D.Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Inkontinensia Urin ... 10

1. Definisi Inkontinensia Urin ... 10

2. Etiologi Inkontinensia Urin ... 11

(13)

xiii

1. Definisi Perawat ... 18

2. Peran dan Fungsi Perawat terhadap Inkontinensia Urin ... 19

C.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Perawatan Inkontinensia Urin ... 20

D.Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin ... 25

1. Definisi Pengetahuan ... 25

2. Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin ... 28

E. Praktik Perawatan Inkontinensia Urin ... 29

1. Definisi Praktik ... 29

2. Praktik Perawatan Inkontinensia Urin ... 30

F. Kerangka Teori ... 35

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS A.Kerangka Konsep ... 36

B.Definisi Operasional ... 37

C.Hipotesis ... 39

BAB IV METODE PENELITIAN A.Desain Penelitian ... 40

B.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

C.Populasi dan Sampel ... 41

D.Instrumen Penelitian ... 44

E. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 46

F. Langkah-langkah Pengumpulan Data ... 49

G.Etika Penelitian ... 51

H.Pengolahan data ... 52

I. Analisis Data ... 53

(14)

xiv

B.Hasil Preliminary Analysis ... 61 C.Hasil Analisis Univariat ... 62 D.Hasil Analisis Bivariat ... 66

BAB VI PEMBAHASAN

A.Analisis Univariat ... 68 B.Analisis Bivariat ... 80 C.Keterbatasan Penelitian ... 84

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ... 85 B.Saran ... 86

Daftar Pustaka

(15)

xv

Rumah Sakit Umum Pusat Negara National Overactive Bladder Evaluation Pusat Santunan Keluarga

Registered Nurse

International Continence Society

Delirium/confusional state, Infection–urinary (symptomatic), Atrophic urethritis/vaginitis,

Pharmaceuticals, Psychological, Excessive urine output, Restricted mobility, danStool impaction World Health Organization

Agency for Health Care Policy and Research Confidence Interval

Tempat Tidur

Sekolah Djuru Rawat

(16)

xvi

Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus

Rekapitulasi Kegiatan Pelatihan, Kursus, serta Simposium oleh Instalasi Diklat RSU Kabupaten Tangerang Tahun 2012 Hasil Uji Normalitas Data

Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang Mei 2013

Distribusi Frekuensi Responden Menurut Usia di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang Mei 2013 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang Mei 2013

Distribusi Frekuensi Responden Menurut Lama Kerja di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang Mei 2013

Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pengetahuan di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang Mei 2013

(17)

xvii

Halaman 2.1

2.2 3.1

Kerangka model Henderson tentang pengetahuan, praktik, keyakinan, dan sikap terkait inkontiensia urin

Kerangka Teori Kerangka Konsep

24

(18)

xviii

Lampiran 1. Dokumen Perizinan Lampiran 2. Informed Consent Lampiran 3. Kuisioner

Lampiran 4. Denah RSU Kabupaten Tangerang

Lampiran 5. Susunan Organisasi RSU Kabupaten Tangerang Lampiran 6. Fasilitas Rawat Inap RSU Kabupaten Tangerang Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas

Lampiran 8. Hasil Olahan SPSS Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 9. Hasil Olahan SPSS Univariat

Lampiran 10. Hasil Olahan SPSS Bivariat

(19)

1 A. Latar Belakang

Inkontinensia urin merupakan masalah klinis yang cukup besar serta

menyebabkan kecacatan dan ketergantungan secara signifikan (Henderson, 1996).

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai ketidakmampuan otot sfingter eksternal

sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin (Kozier, 2004). Meskipun

prevalensi inkontinensia urin lebih sering terjadi pada lansia, kehilangan urin bisa

juga terjadi pada orang dewasa dari segala usia (Henderson, 1996).

National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE), program yang meneliti

inkontinensia urin pada 5204 orang dewasa di Amerika Serikat memperkirakan

jumlah perempuan di Negara tersebut yang mengalami inkontinensia urin sebesar

14,8%, sepertiga di antaranya merupakan inkontinensia urin tipe campuran 34,4%

(Stewart et al. 2001, dalam Yuliana, 2011). Adapun survei tentang kejadian

inkontinensia urin yang dilakukan di negera-negara Asia dengan total populasi

5506 orang menunjukkan hasil yang bervariasi, di mana prevalensi terbesar

terdapat di Thailand sebesar 17% dan terkecil di China dan Singapura sebesar 4%,

sedangkan Indonesia sebesar 5%. Adanya perbedaan prevalensi ini dimungkinkan

karena alasan budaya dan sosial, di mana masyarakat Asia memiliki rasa malu

yang lebih tinggi dalam mengungkapkan inkontinensia dibanding masyarakat

Amerika (Diokno, 2003). Namun, peneliti juga belum menemukan penelitian

tentang rasa malu pada masyarakat Asia yang dimungkinkan bisa menyebabkan

(20)

Di Indonesia, survei inkontinensia urin dilakukan oleh Divisi Geriatri

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo pada 208 orang

usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA) di Jakarta pada

tahun 2002. Survei ini menghasilkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stres

sebesar 32,2%. Sedangkan survei yang dilakukan di poliklinik Geriatri RSUPN

Dr.Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien Geriatri didapatkan angka

kejadian inkontinensia urin tipe stres pada laki–laki sebesar 20,5% dan pada

perempuan sebesar 32,5%. Adapun survei inkontinensia urin yang dilakukan oleh

Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan RSU

Dr.Soetomo tahun 2008 terhadap 793 penderita, prevalensi inkontinensia urin

pada pria 3,02% sedangkan pada wanita 6,79%. Hal ini menunjukkan bahwa

prevalensi inkontinensia urin pada wanita lebih tinggi daripada pria (Yuliana,

2011).

Inkontinensia masih dianggap sebagai suatu yang tabu untuk dibicarakan

atau diakui untuk masyarakat Indonesia. Orang yang mengalami inkontinensia

merasa tidak senang, tidak bermartabat, dan bahkan sangat memalukan. Pasien

dengan inkontinensia urin juga memiliki kualitas hidup yang lebih rendah di

setiap domain (fungsi fisik, fungsi peran, fungsi sosial, kesehatan mental, persepsi

kesehatan, dan nyeri). Selain itu, inkontinensia urin dapat menyebabkan pasien

membatasi aktivitas sosial dan kemasyarakatan. Orang yang mengalami

inkontinensia menunjukkan suatu rentang emosi mencakup peningkatan depresi,

iritabilitas, cemas, dan perasaan tidak berdaya (Booker, 2009). Sedangkan dari

segi ekonomi, biaya terkait konsekuensi inkontinensia urin diperkirakan

(21)

yang dibutuhkan berkisar antara $860 sampai $960 per bulan (Doughty, 2006).

Oleh karena itu, kasus ini memerlukan perhatian intensif dari perawat untuk

menjadi prioritas intervensi dan praktik keperawatan.

Intervensi yang efektif dapat menyelesaikan masalah inkontinensia urin.

Petugas kesehatan, khususnya perawat mempunyai peran penting dalam

menangani masalah tersebut. Namun, tantangan utama dalam pelaksanaan

perawatan inkontinensia adalah tingkat pengetahuan perawat tentang penilaian

dan pengobatan inkontinensia urin (Saxer et al, 2008). Hal ini karena pengetahuan

merupakan domain terendah dalam perubahan sikap maupun praktik. Sikap dan

praktik yang tidak didasari oleh pengetahuan yang adekuat tidak akan bertahan

lama pada kehidupan seseorang, sedangkan pengetahuan yang adekuat jika tidak

diimbangi oleh praktik yang berkesinambungan juga tidak akan mempunyai

makna yang berarti bagi kehidupan (Notoatmodjo, 2007). Pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa pengetahuan dan praktik merupakan komponen penting yang

harus dimiliki perawat dalam menangani masalah inkontinensia urin pada pasien

di rumah sakit.

Henderson (1996) mengembangkan suatu model dimana terdapat saling

keterkaitan antara pengetahuan, praktik, kepercayaan, dan sikap terkait

inkontinensia urin. Di sisi lain, model Henderson & Kashka (2000, dalam Saxer et

al, 2008) juga menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan terhadap sikap

perawat, serta antara sikap perawat terhadap praktik perawatan inkontinensia urin.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan Saxer et al (2008) menunjukkan bahwa

ada hubungan antara pengetahuan dan praktik, khususnya dalam hal mengatur

(22)

inkontinensia urin. Hasil penelitian ini memberi kesan bahwa praktik perawatan

inkontinensia urin bisa diperbaiki dengan pengetahuan yang baik dan sikap yang

positif dari perawat.

Berkaitan dengan pengetahuan dan praktik perawatan inkontinensia urin,

hasil penelitian Henderson (1996) menunjukkan bahwa hubungan antara

pengetahuan dan praktik itu sangat kuat dengan nilai p=0.033 (<0.05). Sementara

itu, hasil penelitian Zurcher et al (2011) menunjukkan bahwa prevalensi perawat

yang mengenali dan menyelesaikan masalah inkontinensia urin di ruang

perawatan akut masih sangat minimal, yaitu sebesar 24,4 %. Adapun hasil

penelitian Saxer et al (2008) menunjukkan bahwa dari segi pengetahuan, 96-98%

dari Registered Nurses (RN) menjawab dengan benar pada tiga item pernyataan

berikut: Inkontinensia urin dapat lebih sering terjadi pada saat bersin, batuk dan

berjalan; Stroke dapat menyebabkan inkontinensia; Toilet training dapat

memperbaiki inkontinensia pada pasien. Sedangkan sekitar 85% RN tidak tahu

jawaban yang tepat untuk pernyataan: Perempuan lebih sering mengalami

inkontinensia daripada laki-laki; Lebih dari 80% penduduk di panti jompo

menderita inkontinensia urin. Dalam hal praktik, 91.5% RN dilaporkan menjawab

‘selalu’ melakukan pengkajian terhadap kebiasaan minum dan ekskresi pasien,

35% RN dilaporkan ‘tidak pernah’ memberikan informasi terkait inkontinensia

urin kepada pasien, 40% RN dilaporkan ‘tidak pernah’ mendokumentasikan

seberapa banyak pasien kehilangan urin dalam periode inkontinensia, dan 92%

RN dilaporkan menjawab ‘selalu’ memberikan bantuan kepada pasien, misalnya

(23)

Dari data di atas, beberapa perawat mungkin masih tidak menganggap

perawatan inkontinensia urin sebagai bagian dari kewajiban mereka. Mereka

hanya memiliki pengetahuan minimal terkait pengkajian dan manajemen

inkontinensia urin. Oleh karena itu, pengkajian terhadap pengetahuan perawat dan

praktik perawatan inkontinensia urin sangat penting dilakukan sehingga nantinya

perawat bisa mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang adekuat tentang

perawatan pasien dengan inkontinensia urin.

Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten Tangerang merupakan rumah sakit

rujukan utama di Kabupaten Tangerang. Kunjungan pertahun di rumah sakit ini

diperkirakan mencapai 20.000 pasien. Sementara itu, berdasarkan data yang

diperoleh dari Bidang Pelayanan Keperawatan RSU Kabupaten Tangerang per

Mei 2013, distribusi jumlah perawat yang merawat pasien di RSU Kabupaten

Tangerangsebanyak 363 perawat, 121 di antaranya merupakan perawat di Ruang

Rawat Inap Dewasa. Ruang Rawat Inap Dewasa ini merupakan ruangan dimana

pasiennya merupakan orang dewasa dengan berbagai macam gangguan penyakit.

Berdasarkan wawancara dengan perawat, inkontinensia urin merupakan salah satu

masalah yang seringkali ditemukan di sini. Namun, Bidang Pendidikan dan

Pelatihan rumah sakit ini mengaku belum pernah melakukan survei pencatatan

jumlah prevalensi inkontinensia urin secara detail.

Di samping itu, berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap

beberapa perawat selama praklinik, peneliti mendapatkan bahwa pengetahuan

perawat tentang inkontinensia urin cukup baik. Sedangkan dalam praktik

perawatannya, perawat biasanya mengkaji adanya inkontinensia urin, namun

(24)

mendokumentasikan intake dan output cairan. Pemberian informasi dan dukungan

toileting terhadap pasien dengan inkontinensia urin masih sangat jarang

dilakukan, bahkan tidak pernah. Hal ini memberi kesan bahwa perawat

membutuhkan pengetahuan yang lebih luas sehingga dapat memberikan asuhan

keperawatan yang lebih baik.

Peran perawat dalam menangani masalah inkontinensia urin ini merupakan

hal yang sangat penting karena banyak sekali dampak negatif yang diakibatkan

oleh inkontinensia urin. Namun, saat ini masih jarang ditemukan adanya

seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan yang spesifik membahas praktik perawatan

inkontinensia urin. Selain itu, peneliti juga belum menemukan hasil penelitian

yang spesifik membahas pengetahuan dan praktik perawatan inkontinensia urin di

Indonesia.

Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam

terkait hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin terhadap praktik

perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten Tangerang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dari latar belakang di atas, peneliti menyimpulkan

bahwa inkontinensia urin merupakan masalah klinis yang cukup besar dan

membutuhkan tatalaksana yang baik. Inkontinensia urin bisa menyebabkan

kecacatan dan ketergantungan secara signifikan (Henderson, 1996). Prevalensi

inkontinensia cukup tinggi baik di dunia maupun di Indonesia. Di Amerika

Serikat, prevalensi inkontinensia urin sebesar 14,8% , sedangkan di Asia berkisar

antara 4% - 17 % (Stewart et al. 2001, dalam Yuliana, 2011; Diokno, 2003).

(25)

2011). Inkontinensia urin ini dapat menyebabkan pasien membatasi aktivitas

sosial dan kemasyarakatan. Orang yang mengalami inkontinensia menunjukkan

suatu rentang emosi mencakup peningkatan depresi, iritabilitas, cemas, dan

perasaan tidak berdaya (Booker, 2009). Di sisi lain, beberapa penelitian

menunjukkan bahwa pengetahuan dan praktik keperawatan inkontinensia urin

sangat diperlukan untuk meningkatkan status kesehatan mereka (Henderson,

1996; Saxer et al, 2008; Zurcher et al, 2011). Sementara itu, peneliti belum

menemukan hasil penelitian tentang pengetahuan dan praktik perawatan

inkontinensia di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti lebih dalam

terkait hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin terhadap praktik

perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten Tangerang.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik perawat di RSU Kabupaten Tangerang?

2. Bagaimana pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin?

3. Bagaimana praktik perawatan inkontinensia urin pada pasien di RSU

Kabupaten Tangerang?

4. Bagaimana hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin

terhadap praktik perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten Tangerang?

D. Tujuan Penelituan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat tentang

inkontinensia urin terhadap praktik perawatan inkontinensia urin di RSU

(26)

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran karakteristik perawat di RSU Kabupaten

Tangerang

b. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan perawat tentang inkontinensia

urin

c. Untuk mengetahui gambaran praktik perawatan inkontinensia urin pada

pasien di RSU Kabupaten Tangerang

d. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia

urin terhadap praktik perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten

Tangerang

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Perawat

Penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan serta kesadaran dan tanggung

jawab perawat dalam menangani masalah inkontinensia urin selama proses

perawatan.

2. Bagi Rumah Sakit

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi pihak rumah

sakit untuk melakukan pembinaan guna meningkatkan pengetahuan serta

kesadaran dan tanggung jawab staf perawat dalam menangani masalah

inkontinensia urin pada pasien selama proses perawatan di rumah sakit.

3. Bagi Perkembangan Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu

pengetahuan dalam bidang pendidikan keperawatan, khususnya Keperawatan

(27)

untuk meningkatkan kualitas praktik perawatan inkontinensia urin pada

pasien. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi landasan dalam

pengembangan evidence based ilmu keperawatan, khususnya mengenai

praktik penatalaksanaan inkontinensia urin pada pasien.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah yang bertujuan

untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin

terhadap praktik perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten Tangerang.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik kuantitatif dengan desain studi cross

sectional. Metode pengambilan data dengan menyebarkan kuisioner yang terdiri

dari data demografi dan Urinary Incontinence Scales yang dibuat oleh Henderson

(1996). Subjek yang diteliti adalah perawat di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU

(28)

10

A. Inkontinensia Urin

1. Definisi Inkontinensia Urin

Menurut Pranaka (2009), inkontinensia urin adalah pengeluaran

urin tanpa disadari serta dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sering

sehingga mengakibatkan masalah/gangguan kesehatan atau sosial.

Menurut Lewis et al. (2011), inkontinensia urin merupakan eliminasi urin

dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan.

Sedangkan menurut Saxer et al (2008), inkontinensia urin didefinisikan

oleh International Continence Society (ICS) sebagai keluhan atas

kebocoran urin yang tidak disadari. Selain itu, Mauk (2010) juga

mendefinisikan inkontinensia urin sebagai pengeluaran urin yang tidak

disengaja dan merupakan masalah kesehatan umum yang bisa

menyebabkan kecacatan dan penurunan kualitas hidup. Meskipun

inkontinensia urin ini umumnya terjadi pada lansia, namun hal ini juga

bisa terjadi pada orang dewasa dari segala usia (Henderson, 1996).

Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

inkontinensia adalah suatu kondisi pengeluaran/kebocoran urin tanpa

disadari, tidak terkendali, terjadi di luar keinginan, dalam jumlah dan

frekuensi yang cukup sering, serta bisa menyebabkan kecacatan dan

(29)

2. Etiologi Inkontinensia Urin

Menurut Doughty (2006), penyebab inkontinensia urin biasa

disebut dengan singkatan DIAPPERS yang merupakan kependekan dari

Delirium/confusional state, Infection–urinary (symptomatic), Atrophic

urethritis/vaginitis, Pharmaceuticals, Psychological, Excessive urine

output, Restricted mobility, danStool impaction.

a. Delirium

Seseorang dikatakan delirium jika terjadi gangguan status mental

atau penurunan kesadaran secara situasional yang disebabkan karena

penggunaan obat, alkohol, atau reaksi anastesia paska operasi.

Kondisi seperti ini bisa menyebabkan seseorang menjadi

inkontinensia urin (Doughty, 2006).

b. Infeksi saluran kemih

Infeksi traktus urinarius yang simptomatik seperti sistitis dan

urethritis dapat menyebabkan iritasi kandung kemih sehingga timbul

frekuensi, disuria, dan urgensi yang mengakibatkan seseorang tidak

mampu mencapai toilet untuk berkemih (Doughty, 2006).

c. Atrofi vagina atau urethra

Atrofi vagina atau urethra merupakan salah satu perbahan yang

terjadi pada lansia. Pada kondisi ini, jaringan vagina atau urethra

menjadi tipis, mudah teriritasi, dan mudah rusak sehingga

(30)

infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, dan

inkontinensia (Doughty, 2006).

d. Psikologis

Proses psikologis yang menyebabkan timbulnya inkontinensia belum

pernah diteliti secara detail. Namun, depresi dan kecemasan yang

disebabkan karena operasi mayor, diagnosa penyakit kronis, atau

hospitalisasi yang lama diyakini dapat memicu terjadinya

inkontinensia urin. Mekanisme ini biasanya merupakan kombinasi

dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak

tepat (Doughty, 2006).

e. Farmakologis

Doughty (2006) mengungkapkan bahwa obat-obatan yang sering

dihubungkan dengan inkontinensia, di antaranya:

1) Obat-obatan diuretik akan meningkatkan pembebanan urin di

kandung kemih sehingga bila seseorang tidak dapat menemukan

toilet pada waktunya akan timbul inkontinensia urgensi.

2) Agen antikolinergik dan sedatif dapat menyebabkan timbulnya

atonia sehingga timbul retensi urin kronis yang berujung pada

inkontinensia overflow.

3) Sedatif, seperti benzodiazepin juga dapat berakumulasi dan

menyebabkan konfusi dan inkontinensia sekunder, terutama

(31)

4) Alkohol, mempunyai efek serupa dengan benzodiazepin,

mengganggu mobilitas dan menimbulkan diuresis.

5) Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan

berkurangnya tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan

kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga menstimulasi

timbulnya inkontinensia stres. Obat ini juga dapat menyebabkan

edema perifer, yang menimbulkan nokturia.

6) Agen α-adrenergik yang sering ditemukan pada obat influenza

akan meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan

berkemih, sebaliknya obat-obatan ini sering bermanfaat dalam

mengobati beberapa kasus inkontinensia stres.

7) Alpha blockers, yang sering dipergunakan untuk terapi

hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra dan

menyebabkan inkontinensia stres.

f. Sistem endokrin

Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotik yang dapat

menyebabkan suatu kondisi overactive bladder. Diabetes insipidus

juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan produksi urin hingga

10 liter per hari pada kandung kemih sehingga menimbulkan

inkontinensia overflow. Kondisi hipertiroid dapat menginduksi

kandung kemih menjadi overactive, sehingga menimbulkan kondisi

(32)

dapat menyebabkan kandung kemih hipotoni dan menimbulkan

inkontinensia overflow (Doughty, 2006).

g. Produksi urin yang berlebihan (excessive)

Output urin yang berlebihan bisa disebabkan oleh karena intake

cairan yang banyak, minuman berkafein, dan adanya masalah

endokrin (Doughty, 2006).

h. Restriksi/hambatan mobilitas

Umumnya hal ini yang sering menimbulkan inkontinensia pada

lansia. Keterbatasan mobilitas ini dapat disebabkan karena kondisi

nyeri arthritis, deformitas panggul, deconditioning fisik, stenosis

spinal, gagal jantung, penglihatan yang buruk, hipotensi postural

atau post prandial, claudication, perasaan takut jatuh, stroke,

masalah kaki atau ketidakseimbangan karena penggunaan

obat-obatan (Doughty, 2006).

i. Stool impaction (impaksi feses)

Impaksi feses akan mengubah posisi kandung kemih serta menekan

syaraf yang mensuplai uretra dan kandung kemih sehingga akan

dapat menimbulkan kondisi retensi urin dan inkontinensia overflow

(Doughty, 2006).

Sementara itu, Pranaka (2009) menyebutkan bahwa penyebab

inkontinensia urin berasal dari:

(33)

b. Kelaianan neurologi; misalnya stroke, trauma pada medula spinalis,

dan demensia

c. Lain-lain; misalnya hambatan mobilitas, situasi tempat berkemih yang

tidak memadai/jauh, dan sebagainya.

Adapun kondisi-kondisi yang menyertai inkontinensia urin menurut

Wagg et al (2006) di antaranya:

a. Artritis

b. Penyakit paru kronis

c. Gangguan kognitif

d. Gagal jantung kongestif

e. Konstipasi

f. Kontraktur

g. Demensia

h. Diabetes mellitus

i. Jatuh/fraktur hip

j. Penyakit Parkinson

k. Penyakit vaskular

perifer

l. Infeksi saluran kemih

berulang

m. Stroke

n. Kelainan vena

3. Tipe-tipe Inkontinensia Urin

Lewis et al (2011) mengklasifikasikan inkontinensia urin menjadi:

a. Inkontinensia stres

Inkontinensia ini terjadi akibat dari peningkatan mendadak pada

tekanan intra-abdomen. Tipe inkontinensia ini paling sering

ditemukan pada wanita yang mengalami cedera obstetrik, lesi kolum

vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi

(34)

dapat pula terjadi akibat kelainan kongenital, seperti ekstrofi vesika

urinaria atau ureter ektopik (Lewis, 2011).

b. Inkontinensia urgensi

Inkontinensia ini terjadi bila pasien merasakan dorongan atau

keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu menahannya cukup lama

sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus, kontraksi kandung

kemih yang tidak dapat ditahan merupakan faktor yang menyertai.

Keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang

kontraksi kandung kemihnya terhambat atau pada pasien dengan

gejala iritasi lokal akibat infeksi/tumor pada saluran kemih (Lewis,

2011).

c. Inkontinensia overflow

Inkontinensia ini ditandai oleh eliminsi urin yang sering dan terjadi

hampir terus menerus. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan

isinya secara normal dan mengalami distensi yang berlebihan.

Inkontinensia overflow dapat disebabkan oleh kelainan neurologi

(yaitu lesi pada medula spinalis) atau oleh faktor-faktor yang

menyumbat saluran keluar urin, yaitu: penggunaan obat-obatan,

tumor, striktur, dan hiperplasia prostat (Lewis, 2011).

d. Inkontinensia refleks

Inkontinensia ini ditandai dengan keluarnya urin yang tidak disadari

yang disebabkan oleh adanya lesi pada medula spinalis sakrum S2 ke

(35)

kandung kemih dan mengganggu jalur koordinasi antara kontraksi

dan relaksasi sfingter (Lewis, 2011).

e. Inkontinensia paska trauma atau operasi

Inkontinensia ini terjadi karena adanya fistula vesiko-vaginal atau

urethro-vaginal pada wanita. Selain itu, inkontinensia ini juga

merupakan komplikasi paska operasi transurethral, perineal, atau

prostatektomi retropubik (Lewis, 2011).

f. Inkontinensia fungsional

Ini merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian

bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif

berat yang membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya

urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang

menyebabkan pasien tidak mungkin menjangkau toilet untuk

melakukan urinasi (Lewis, 2011).

4. Dampak Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin juga memiliki efek terhadap kualitas hidup,

bahkan pada kegiatan sehari-hari sederhana, seperti bekerja, berjalan,

kegiatan interpersonal, aktivitas fisik, fungsi seksual, dan tidur. Pasien

dengan inkontinensia urin juga memiliki kualitas hidup yang lebih rendah

di setiap domain (fungsi fisik, fungsi peran, fungsi sosial, kesehatan

mental, persepsi kesehatan, dan nyeri). Sedangkan dari segi ekonomi,

(36)

miliar per tahun. Sedangkan untuk biaya perawatannya, jumlah yang

dibutuhkan berkisar antara $860 sampai $960 per bulan (Doughty, 2006).

Menurut Booker (2009), inkontinensia urin memiliki beberapa

dampak, di antaranya:

a. Perubahan pada kesejahteraan emosi, sosial, fisik, dan ekonomi

individu yang mengalami inkontinensia urin.

b. Ketakutan akan kehilangan kontrol yang disaksikan oleh orang lain

menyebabkan pasien membatasi aktivitas sosial dan kemasyarakatan.

c. Orang yang mengalami inkontinensia menunjukkan suatu rentang

emosi mencakup peningkatan depresi, iritabilitas, cemas, dan

perasaan tidak berdaya.

Adapun menurut Continence Essential Guide (2009), dampak

inkontinensia urin antara lain:

a. Jatuh

b. Depresi

c. Luka dekubitus

d. Masalah bowel

e. Infeksi kulit

f. Isolasi

g. Penurunan kualitas

hidup

h. Peningkatan perhatian

institusi kesehatan

B. Peran dan Fungsi Perawat terhadap Perawatan Inkontinensia Urin

1. Definisi Perawat

Sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. HK 02.02/MENKES/148/I/2012,

(37)

dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Perawat adalah orang yang mengasuh, merawat dan

melindungi, yang merawat orang sakit, luka, dan usia lanjut (Elis &

Hartley, 1980 dalam Priharjo, 2008). Sedangkan menurut Kusnanto

(2004), perawat adalah seseorang (seorang profesional) yang mempunyai

kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan dalam melaksanakan

pelayanan/asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan

keperawatan.

Fokus dari praktik keperawatan adalah pemenuhan kebutuhan

dasar manusia. Seorang perawat dikatakan profesional ketika dirinya

mampu mengasuh, merawat dan melindungi pasien secara komprehensif,

melakukan aktifitas keperawatan sesuai dengan kode etik keperawatan,

serta memberikan pelayanan/asuhan keperawatan pada berbagai jenjang

pelayanan keperawatan (Kusnanto, 2004).

2. Peran Perawat terhadap Perawatan Inkontinensia Urin

Salah satu peran dan fungsi perawat yang penting dalam

pendidikan kesehatan, di antaranya: menjaga kesehatan, mencegah dan

mengurangi komplikasi, serta menyesuaikan diri dengan perawatan dan

masalah kesehatan (Mauk, 2010). Peran dan fungsi tersebut saat ini

menjadi lebih luas dengan penekanan pada peningkatan kesehatan dan

pencegahan penyakit, juga memandang klien secara komprehensif.

Perawat kontemporer menjalankan fungsi dalam berbagai peran, yaitu:

(38)

advokat bagi klien, manajer kasus, rehabilitator, pembuat kenyamanan,

komunikator, dan pendidik (Potter & Perry, 2005). Peran dan fungsi

tersebut juga diterapkan dalam perawatan inkontinensia urin pada pasien

yang dirawat di rumah sakit.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Perawatan Inkontinensia Urin

Praktik perawatan inkontinensia urin pada pasien yang dirawat di rumah

sakit merupakan bentuk perilaku kesehatan, dimana perawat menjadi salah satu

pihak yang bertanggung jawab di dalamnya. Perilaku itu sendiri didefinisikan

sebagai tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan

bahkan dapat dipelajari. (Kwick, 1974 dalam Notoatmodjo, 2003).

Beberapa teori yang mengungkap determinan perilaku dari analisis

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan

dengan perilaku kesehatan, antara lain:

1. Teori Lawrence Green

Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2007) menganalisis perilaku

manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2

faktor pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar

perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri

ditentukan dari 3 faktor, yaitu:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud

dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan

(39)

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau

sarana-sarana kesehatan, misalnya obat-obatan, alat-alat, dan

sebagainya.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam

sikap dan perilaku petugas kesehatan.

Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:

dimana:

B = Behaviour RF = Reinforcing factors

PF = Predisposing factors f = fungsi

EF = Enabling factors

2. Teori World Health Organization (WHO)

Sementara itu, WHO (1984, dalam Notoadmodjo, 2007)

menganalisis bahwa hal-hal yang menyebabkan seseorang itu berperilaku

tertentu adalah:

a. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan dipengaruhi oleh pengalaman sendiri atau pengalaman

orang lain.

b. Kepercayaan (Beliefs)

Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek.

Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan

(40)

c. Sikap (Attitudes)

Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek.

Sikap sering dipengaruhi oleh pengalaman sendiri atau pengalaman

orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati

atau menjauhi objek lain.

d. Orang-orang penting (References)

Perilaku seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang

dianggap penting. Apabila seseorang itu dianggap penting untuknya,

maka apa yang ia katakan atau ia lakukan cenderung untuk dicontoh.

e. Sumber-sumber daya (Recources)

Sumber daya di sini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan

sebagainya. Semua itu berpengaruh (baik positif maupun negatif)

terhadap perilaku seseorang.

f. Kebudayaan (Culture)

Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan

sumber-sumber akan menghasilkan suatu pola hidup yang pada umumnya

disebut kebudayaan.

Teori ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

dimana: B = Behaviour R = Resources

f = fungsi PR = Personal References

TF = Thoughts and feelings C = Culture

(meliputi pengetahuan,

kepercayaan, dan sikap)

(41)

Kedua teori di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku tentang

kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan

sebagainya. Di samping itu, ketersediaan fasilitas dan perilaku petugas

kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku

yang biasa diwujudkan dengan praktik/tindakan yang nyata. Hal tersebut

juga berlaku pada praktik perawatan inkontinensia urin pada pasien yang

dirawat di rumah sakit.

3. Teori Henderson

Dalam hal inkontinensia urin, Henderson (1996) mengembangkan

suatu model di mana terdapat saling keterkaitan antara pengetahuan,

praktik, keyakinan, dan sikap terkait inkontiensia urin (lihat bagan 2.1).

Adapun keempat faktor tersebut adalah:

a. Sikap (Attitudes)

Sikap merupakan kepedulian perasaan terhadap objek sosial dan

perhatian terhadap target atau objek tertentu. Sikap didefinisikan

sebagai kecenderungan yang terorganisir untuk berpikir, merasakan,

memahami, dan bersikap terhadap suatu acuan atau objek kognitif.

Ini merupakan struktur berkelanjutan dari keyakinan yang

mempengaruhi individu untuk acuan berperilaku selektif (Kerlinger,

1986 dalam Henderson, 1996). Sikap lebih mudah dipengaruhi oleh

pendapat, pandangan, perspektif, dukungan, kelakuan, dan postur

(42)

b. Kepercayaan (Beliefs)

Kepercayaan tidak terlalu sering digunakan sebagai domain

pengukuran. Kata “kepercayaan” dan “sikap” seringkali

dipertukarkan dalam literatur bahkan beberapa menyimpulkan

bahwa keduanya adalah sama. Kepercayaan dikaitkan dengan

kata-kata yang menunjukkan perasaan yang sudah mendarah daging

dengan baik, termasuk jaminan, kepastian, harapan, kepercayaan,

doktrin, dogma, prinsip, postulat, teori, konsep, persuasi, dan posisi

(Rodale, 1978 dalam Henderson, 1996).

c. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan ini didefinisikan sebagai pemahaman terhadap fakta

atau informasi yang diperoleh, dalam hal ini dispesifikkan pada

inkontinensia urin (Henderson, 1996).

d. Praktik (Practice)

Praktik didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan perawat yang

relevan dengan masalah inkontinensia urin (AHCPR, 1992 dalam

Henderson, 1996).

Bagan 2.1 Kerangka model Henderson tentang pengetahuan, praktik, keyakinan, dan sikap terkait inkontiensia urin

Sikap

Praktik

(43)

Bagan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan

antara keempat faktor; sikap, kepercayaan, pengetahuan, dan praktik

terkait inkontinensia urin.

D. Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin

1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui berkenaan

dengan hal tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Pengetahuan

merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

pancaindera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui

mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Menurut

Taksonomi Bloom (1987, dalam Notoatmodjo, 2007) pengetahuan

mencakup enam tingkat domain kognitif, yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima

termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini. Oleh sebab itu, tahu

merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja

(44)

dipelajari, antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

menyatakan, dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, atau meramalkan objek yang

dipelajari.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi

juga dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus,

metode, prinsip, dan sebagainya.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,

seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,

memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

(45)

yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri

atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Rogers (1974, dalam Notoatmodjo, 2007) mengungkapkan bahwa

sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut

sudah terjadi proses berurutan, yaitu:

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Pada

proses ini, sikap subjek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya.

d. Trial (mencoba), dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan

sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

(46)

atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas

(Notoatmodjo, 2007).

2. Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin

Pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin didefinisikan

sebagai penguasaan dan dan pemahaman perawat yang diperoleh dari fakta

atau informasi tentang inkontinensia urin (Henderson, 1996).

Bekerja dengan populasi yang sakit memerlukan pengetahuan

dasar yang kuat sehingga nantinya bisa menilai tanda dan gejala penyakit

secara akurat, melakukan penatalaksanaan dengan benar, dan memperoleh

hasil tindakan sesuai dengan harapan.

Menurut Saxer et al (2008), pengetahuan yang harus dikuasai oleh

perawat yang merawat pasien dengan inkontinensia urin adalah mencakup:

a. Prevalensi dan insidensi inkontinensia urin

Angka kejadian inkontinensia urin cenderung meningkat seiring

dengan penambahan usia. Akan tetapi, prevalensi dan insidensi

inkontinensia ini bervariasi. Hal ini disebabkan karena perbedaan

populasi, metode penelitian, dan cara pengumpulan data.

b. Etiologi inkontinensia urin

Perawat harus memahami hal-hal yang menjadi penyebab dan faktor

resiko terjadinya inkontinensia urin.

c. Tipe-tipe inkontinensia urin

Ada berbagai macam tipe inkontinensia urin, di antaranya: tipe stres,

(47)

d. Penatalaksanaan/praktik perawatan inkontinensia urin (akan dibahas

selanjutnya)

E. Praktik Perawatan Inkontinensia Urin

1. Definisi Praktik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), praktik

didefinisikan sebagai pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam

teori. Beberapa tingkatan dalam praktik menurut Notoatmodjo (2003)

antara lain:

a. Persepsi (perception)

Pada tingkat ini individu mampu mengenal dan memilih berbagai

objek terkait dengan tindakan yang akan diambil.

b. Respon terpimpin (guide response)

Indikator pada tingkat ini adalah individu mampu untuk melakukan

sesuatu dengan urutan yang benar.

c. Mekanisme (mechanism)

Pada tingkat ini, individu sudah menjadikan suatu tindakan yang benar

menjadi suatu kebiasaan.

d. Adopsi (adoption)

Pada tingkat ini, individu sudah mampu memodifikasi suatu tindakan

tanpa mengurangi nilai kebenaran dari tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung dengan

(48)

sebelumnya atau secara langsung dengan cara mengobservasi tindakan

atau kegiatan individu tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Sedangkan yang dimaksud dengan praktik perawatan adalah

tindakan mandiri perawat profesional melalui kerja sama bersifat

kolaborasi dengan klien dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan

asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya.

Lingkup kewenangan perawat dalam praktik keperawatan profesional

meliputi sistem klien (individu, keluarga, kelompok khusus, dan

masyarakat) dalam rentang sehat-sakit sepanjang daur kehidupan

(Kusnanto, 2004).

2. Praktik Perawatan Inkontinensia Urin

Perawat dapat memposisikan diri untuk mengkoordinasikan

seluruh spektrum perawatan, meliputi: pemeliharaan kesehatan,

pencegahan, intervensi, dan pengobatan sehingga meningkatkan kualitas

pelayanan sekaligus memastikan efektivitas biaya (Mauk, 2010). Oleh

karena itu, perawat juga harus mampu mengkoordinasikan seluruh

spektrum praktik perawatan inkontinensia urin.

Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR)

mendefinisikan praktik perawatan inkontinensia urin sebagai sumber daya

perilaku yang diidentifikasi sebagai tindakan yang diambil oleh perawat

yang relevan untuk merawat klien dengan inkontinensia urin (Henderson,

(49)

Saxer et al (2008) membagi praktik perawatan inkontinensia urin

menjadi 4 kategori, yaitu:

a. Penatalaksanaan kebiasaan minum dan ekskresi

b. Pengkajian dan informasi terkait inkontinensia urin

c. Dokumentasi penatalaksanaan inkontinensia urin

d. Sistem dukungan/bantuan untuk pasien dengan inkontinensia urin.

Salah satu faktor penting dalam penatalaksanaan inkontinensia urin

adalah pengkajian. Adapun pengkajian terhadap pasien dengan

inkontinensia urin yang terdapat dalam Continence Essential Guide

(2009), diantaranya:

a. Pengkajian tentang riwayat kontinensia

Dalam aspek ini, perawat harus mengkaji riwayat berkemih dan proses

pengosongan kandung kemih pasien. Berikut ini adalah aspek

pengkajian riwayat kontinensia beserta contoh pertanyaan yang bisa

diajukan kepada pasien, di antaranya:

1) Frekuensi berkemih

2) Frekuensi nokturia

3) Faktor yang memperberat

4) Nyeri

5) Kehilangan urin yang terus-menerus

6) Susah atau berusaha keras dalam mengosongkan kandung kemih

7) Aliran kemih yang terhambat – indikasi obstruksi kandung kemih

8) Kencing yang menetes – indikasi obtruksi saluran kemih

(50)

b. Pengkajian tentang fungsi kognitif

Pasien dengan gangguan kognitif biasanya kurang kooperatif ketika

dilakukan intervensi terhadap inkontinensia mereka. Oleh karena itu,

perawat diharapkan untuk mengkaji fungsi kognitif mereka.

c. Pengkajian tentang kebutuhan pasien dalam mengenakan pampers

Dalam hal ini, hal-hal yang perlu diperhatikan perawat meliputi:

1) Fungsi kognitif pasien, apakah dia mampu mengganti

pampers-nya sendiri atau tidak.

2) Jadwal bladder training mungkin bisa membantu pasien

mengenakan pampers.

3) Derajat mobilitas yang memungkinkan pasien bisa mengambil

/meletakkan pampers kembali.

4) Kemampuan untuk pergi ke toilet dan mengganti pampers

5) Kuantitas pampers yang dibutuhkan pasien

6) Ukuran pampers yang dibutuhkan pasien

7) Terjadi dermatitis akibat pampers yang jarang diganti.

Intervensi praktik perawatan yang efektif bisa membantu

menangani masalah inkontinensia urin. Lewis et al (2011) menyebutkan

beberapa intervensi praktik perawatan inkontinensia urin, di antaranya:

a. Behavioral intervention, yang terdiri dari:

1) Bladder training (menolak/menghambat desakan berkemih,

(51)

2) Habit training (berkemih sesuai dengan waktu yang ditentukan,

penjadwalan berkemih)

3) Prompted voiding (mengajarkan bagaimana cara meminta

bantuan ketika terjadi inkontinensia). Untuk pasien yang

mengalami gangguan kognitif, prompted voiding dilakukan

dengan cara:

a) pemantauan reguler dengan dorongan agar pasien melaporkan

status kontinensia mereka

b) mendorong pasien untuk pergi ke toilet secara terjadwal

c) memberikan pujian dan umpan balik positif ketika pasien

berusaha untuk pergi ke toilet sendiri

4) Latihan otot-otot panggul (kontraksi otot panggul dan

pulbocoxigeal)

5) Corong vagina (kontraksi otot dengan corong yang berguna untuk

memperkuat otot panggul dan pulbocoxigeal)

6) Biofeedback (metode untuk memberikan informasi tentang tubuh

pasien dengan menggunakan sadapan elektromiogram (EMG)

yang dipasang di vagina yang nantinya memberi umpan balik

tentang kondisi normal dan abnormal neuromuskular dan aktivitas

otonom dalam bentuk analog, binary, signal auditory, maupun

visual)

b. Terapi farmakologis dengan menggunakan propantelin, oxybutinin,

(52)

dicyclomin, penilpropanolamin, estrogen, kombinasi alfa agonis

adrenergik dan terapi estrogen, imipramin, atau propanolol

c. Penatalaksanaan lainnya, seperti: kateter intermitten, pengumpulan

urin, klem penis, dan perawatan kulit.

Penilaian tentang pengetahuan dan praktik perawatan inkontinensia

urin ini bisa dilakukan dengan menggunakan instrumen Urinary

Incontinence Scales yang dikembangkan oleh Henderson (1996). Dimensi

pengetahuan pada instrumen ini terdiri dari 23 item terkait fakta dan

pernyataan tentang inkontinensia urin, sementara dimensi praktik terdiri

dari 23 item terkait tindakan perawat dalam menangani inkontinensia urin

(Henderson, 1996).

Cara pemberian skor dilakukan dengan skala Guttman untuk

dimensi pengetahuan dan skala Likert untuk dimensi praktik. Dengan skala

Guttman dan Likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi

indikator variabel, kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik

tolak untuk menyusun item-item instrumen yang berupa pernyataan.

Adapun jawaban untuk semua pernyataan pada dimensi pengetahuan dan

praktik kemudian diberi skor:

a. Pernyataan untuk pengetahuan

Skor untuk jawaban benar adalah 1, skor untuk jawaban salah adalah 0

b. Pernyataan untuk praktik

Skor Selalu adalah 3, skor Sering adalah 2, skor Kadang-kadang

(53)

F. Kerangka Teori

g. Produksi urin yang berlebihan (excessive)

h. Restriksi/hambatan mobilitas i. Stool impaction (impaksi feses) j. Penyakit Degeneratif

f. Penurunan kualitas hidup

secara fisik dan ekonomi

g. Pembatasan aktivitas sosial

h. Peningkatan depresi,

d. Orang-orang penting (Manajemen RS)

e. Sumber daya yang tersedia

f. Kebudayaan

(WHO, 1984 dalam Notoatmodjo, 2007)

a. Predisposing factors (pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dsb)

b. Enabling factors (lingkungan fisik, tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan,

misalnya obat-obatan, alat-alat, dsb)

c. Reinforcing factors (sikap dan perilaku petugas kesehatan)

(Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2007) a. Pengetahuan

a. Pengkajian riwayat kontinensia, fungsi

kognitif, dan kebutuhan penggunaan pads

b. Behavioral intervention: Bladder training,

Habit training, Prompted voiding, Kegel’s

Exercise, Corong vagina, dan Biofeedback

c. Terapi farmakologis

d. Penatalaksanaan lain, seperti: kateter

intermitten, pengumpulan urin, klem penis,

dan perawatan kulit.

(54)

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini, variabel bebas (independen) yang ingin

diketahui yakni pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin, sedangkan

variabel terikat (dependen) yang akan diteliti yaitu praktik perawatan

inkontinensia urin.

Variabel pengetahuan merupakan variabel yang sangat mempengaruhi

praktik perawatan inkontinensia urin yang dilakukan oleh perawat, dimana

pengetahuan merupakan domain dari perilaku (Notoatmodjo, 2007;

Henderson, 1996; dan Saxer et al, 2008). Hal ini perlu diketahui dan diteliti

dengan baik sehingga perawat dapat melakukan perawatan dan

meminimalkan terjadinya komplikasi inkontinensia urin. Di bawah ini

dijelaskan mengenai kerangka konsep yang akan dilakukan peneliti di RSU

Kabupaten Tangerang.

Bagan 3.1. Kerangka konsep penelitian tentang hubungan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin terhadap praktik perawatan inkontinensia

urin di RSU Kabupaten Tangerang

Praktik perawatan inkontinensia urin

Kebiasaan minum dan ekskresi

Pengkajian dan informasi

Dokumentasi

Dukungan

Pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin

Prevalensi dan insidensi

Etiologi inkontinensia urin

Tipe-tipe inkontinensia urin

(55)

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1. Pengetahuan urin secara umum yang berkaitan dengan

(56)

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

(57)

C. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka hipotesis

penelitian yang muncul adalah:

1. Ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin

terhadap praktik perawatan inkontinensia urin di RSU Kabupaten

Gambar

Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Tabel 4.1 Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus
Tabel 5.1
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam kepada nabi Muhammad SAW, atas rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam kepada nabi Muhammad SAW, atas rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam kepada nabi Muhammad SAW, atas rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat- Nya, Shalawat serta salam haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penyusunan

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta shalawat salam kita ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi besar Muhammad

vi KATA PENGANTAR Alhamdulillahhirabbil‟alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya dan Shalawat serta Salam kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga