• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Tingkat Kesalahan Pengobatan Sendiri (Swamedikasi) Di Kalangan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Evaluasi Tingkat Kesalahan Pengobatan Sendiri (Swamedikasi) Di Kalangan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI TINGKAT KESALAHAN PENGOBATAN

SENDIRI (SWAMEDIKASI) DI KALANGAN

MAHASISWA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

rjana Farmasi pada Fakulta

Universitas Sumatera Utar

OLEH:

FUTRI RIZKIYAH WISUDANI LUBIS

NIM 121524026

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EVALUASI TINGKAT KESALAHAN PENGOBATAN

SENDIRI (SWAMEDIKASI) DI KALANGAN

MAHASISWA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

FUTRI RIZKIYAH WISUDANI LUBIS

NIM 121524026

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Tingkat Kesalahan Pengobatan Sendiri (Swamedikasi) di Kalangan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas dan masukan selama masa pendidikan dan penelitian, kepada Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., dan Dr. Azizah Nasution, M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, dan bantuan selama masa penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., Drs. Wiryanto, M.S., Apt., dan Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

(5)

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, Desember 2014 Penulis,

(6)

EVALUASI TINGKAT KESALAHAN PENGOBATAN SENDIRI (SWAMEDIKASI) DI KALANGAN MAHASISWA UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA ABSTRAK

Pengobatan sendiri (swamedikasi) adalah pemilihan dan penggunaan obat-obatan tanpa resep untuk mengobati penyakit atau gejala penyakit. Pada pelaksanaanya, pengobatan sendiri dapat menjadi sumber kesalahan pengobatan (medication error) akibat terbatasnya pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesalahan pengobatan sendiri di kalangan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) serta membandingkan tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan fakultas, jenis kelamin, usia, tingkat akademis dan tempat tinggal.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan teknik survei. Data dikumpulkan melalui pengisisan kuesioner yang telah divalidasi. Responden (n = 384) dipilih dengan metode accidental sampling dari 14 fakultas di USU yang terdiri dari 5 fakultas kesehatan dan 9 fakultas non kesehatan yang ditentukan secara proporsional sesuai dengan populasi masing-masing fakultas. Data dianalisis menggunakan Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) versi 17.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit yang banyak diatasi mahasiswa dengan pengobatan sendiri adalah demam (25,5%), flu (22,1%), nyeri (22,1%), batuk (14,1%), diare (5,5%), maag (5,5%). Parasetamol, obat flu dan batuk, Non Steroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs) adalah obat yang paling banyak digunakan mahasiswa pada pengobatan sendiri. Tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai pengobatan sendiri adalah kurang baik dan signifikan secara statistik (p < 0,05) pada 8 pertanyaan kecuali pada pertanyaan mengenai istilah pengobatan sendiri (p = 0,059). Sikap pengobatan sendiri mahasiswa adalah baik dan signifikan secara statistik (p < 0,05) pada 12 pertanyaan. Tingkat kesalahan pengobatan sendiri di kalangan mahasiswa mencapai (40,1%). Pada penelitian ini ditemukan bahwa kesalahan paling banyak terjadi adalah pada kriteria lama penggunaan obat. Terdapat perbedaaan yang signifikan pada tingkat kesalahan berdasarkan fakultas, usia, tingkat akademis dan tempat tinggal kecuali berdasarkan jenis kelamin.

(7)

EVALUATION LEVEL OF SELF MEDICATION ERROR AMONG STUDENTS IN UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

ABSTRACT

Self-medication is the selection and using of non-prescription medicines to treat illness or symptoms. In practice, self medication error can be source of medication error because lack of knowledge about drug and their use. The aim of this study was to analyze the level of self medication error among students in University of Sumatera Utara (USU) and compare the level of self medication errors by faculty, gender, age, academic level and residence.

This study used descriptive quantitative with survey techniques by using a validated questionnaire. Respondents (n = 384) were selected by accidental sampling on 14 faculties in USU which contain 5 health faculties and 9 non health faculties determined in proportion to the population of each faculty. Data were analyzed using Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) version 17.

The results showed the most disorders resolved by the students them selveves were fever (25.5%), flu (22.1%), pain (22.1%), cough (14.1%), diarrhea (5.5%) and ulcer (5.5%). Paracetamol, cold and cough drugs, Non Steroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs) were the most widely taken drugs in self medication. The knowledge level of the students about self medication was unfavorable and significant statistically (p < 0.05) at 8 questions except the question regarding self medication terminologies (p = 0.059). The attitude of self-medication of students was favorable and significant statistically (p < 0.05) at 12 questions. The level of self-medication error among students was (40.1%). It was noticed that the most common error was the duration of drug use. There were significant differences in self medication error by faculty, age, academic level and residence except by sex.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.3 Perumusan Masalah ... 4

1.4 Hipotesis Penelitian ... 4

1.5 Tujuan Penelitian ... 4

1.6 Manfaat Penelitian ... 5

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Definisi Pengobatan Sendiri ... 6

2.2 Pengobatan Sendiri yang Sesuai Aturan ... 8

2.3 Pengobatan Sendiri yang Tidak Sesuai Aturan ... 8

2.4 Faktor-Faktor Pengobatan Sendiri ... 13

(9)

2.5.1 Obat Bebas ... 14

2.5.2 Obat Bebas Terbatas ... 15

2.5.3 Obat Wajib Apotek ... 16

2.5.4 Obat Tradisional... 17

2.6 Penyakit dan Pilihan Obat Pada Pengobatan Sendiri ... 18

2.6.1 Demam ... 18

2.6.2 Nyeri ... 19

2.6.3 Batuk ... 20

2.6.4 Flu ... 22

2.6.5 Maag ... 23

2.6.6 Diare ... 25

2.7 Pengetahuan dan Sikap Pengobatan Sendiri ... 26

2.8 Masalah-Masalah Pada Pengobatan Sendiri ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Rancangan Penelitian ... 35

3.2 Jenis Data ... 35

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

3.4 Subjek Penelitian ... 36

3.4.1 Populasi ... 36

3.4.2 Sampel... 36

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 39

3.5.1 Kriteria Inklusi ... 39

3.5.2 Kriteria Eksklusi ... 40

(10)

3.6 Alat / Instrumen Penelitian ... 40

3.7 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 41

3.7.1 Uji Validitas ... 41

3.7.2 Uji Reliabilitas ... 41

3.8 Prosedur Penelitian ... 43

3.9 Definisi Operasional ... 44

3.10 Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Perhitungan Responden ... 47

4.2 Karakteristik Responden ... 47

4.3 Keluhan yang Diatasi dengan Pengobatan Sendiri ... 48

4.4 Alasan Melakukan Pengobatan Sendiri ... 50

4.5 Kelompok Obat yang Digunakan Pada Pengobatan Sendiri .. 51

4.6 Jenis dan Frekuensi Efek Samping yang Dialami Responden. 51

4.7 Tingkat Pengetahuan Pengobatan Sendiri Responden ... 62

4.8 Sikap Pengobatan Sendiri Responden ... 65

4.9 Tindakan Pengobatan Sendiri Responden ... 67

4.10 Tingkat Kesalahan Pengobatan Sendiri Berdasarkan Faktor Sosiodemografi ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner ... 42

3.2 Definisi operasional ... 44

4.1 Rekrutmen responden dari tiap fakultas di USU ... 47

4.2 Karakteristik sosiodemografi responden ... 48

4.3 Keluhan yang diatasi mahasiswa dengan pengobatan sendiri ... 49

4.4 Penggunaan obat berdasarkan golongan ... 51

4.5 Jenis obat yang digunakan pada pengobatan sendiri ... 52

4.6 Kombinasi obat yang digunakan mahasiswa pada pengobatan sendiri ... 53

4.7 Jenis dan frekuensi efek samping yang dialami mahasiswa ... 62

4.8 Uji binomial pengetahuan pengobatan sendiri ... 63

4.9 Tingkat pengetahuan pengobatan sendiri seluruh responden ... 64

4.10 Tingkat pengetahuan berdasarkan faktor sosiodemografi ... 64

4.11 Uji binomial sikap pengobatan sendiri ... 65

4.12 Sikap pengobatan sendiri seluruh responden ... 66

4.13 Sikap pengobatan sendiri berdasarkan faktor sosiodemografi ... 67

4.14 Uji binomial kriteria ketepatan pengobatan sendiri ... 68

4.15 Tingkat kesalahan pengobatan sendiri seluruh responden ... 69

4.16 Tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan fakultas ... 70

4.17 Tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan jenis kelamin 71 4.18 Tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan usia ... 72

(12)
(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5 4.1 Alasan mahasiswa melakukan pengobatan sendiri ... 50 4.2 Tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan fakultas ... 70 4.3 Tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan jenis

kelamin ... 71 4.4 Tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan usia ... 72 4.5 Tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan tingkat

akademis ... 73 4.6 Tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan tempat

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuesioner penelitian yang sudah valid ... 81

2. Surat izin penelitian dari Dekan Fakultas Farmasi USU ... 85

3. Surat balasan izin pengambilan data dari tiap fakultas ... 86

4. Surat izin dari Biro Rektor untuk pengambilan data ... 95

5. Data mahasiswa aktif USU Tahun Ajaran 2013/2014 ... 96

6. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner ... 100

7. Hasil uji binomial pengetahuan pengobatan sendiri ... 105

8. Hasil uji binomial sikap pengobatan sendiri ... 106

9. Hasil uji binomial tindakan pengobatan sendiri ... 108

10. Hasil uji crosstab kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan faktor sosiodemografi ... 109

11. Hasil uji chi kuadrat tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan faktor sosiodemografi ... 111

(15)

EVALUASI TINGKAT KESALAHAN PENGOBATAN SENDIRI (SWAMEDIKASI) DI KALANGAN MAHASISWA UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA ABSTRAK

Pengobatan sendiri (swamedikasi) adalah pemilihan dan penggunaan obat-obatan tanpa resep untuk mengobati penyakit atau gejala penyakit. Pada pelaksanaanya, pengobatan sendiri dapat menjadi sumber kesalahan pengobatan (medication error) akibat terbatasnya pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesalahan pengobatan sendiri di kalangan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) serta membandingkan tingkat kesalahan pengobatan sendiri berdasarkan fakultas, jenis kelamin, usia, tingkat akademis dan tempat tinggal.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan teknik survei. Data dikumpulkan melalui pengisisan kuesioner yang telah divalidasi. Responden (n = 384) dipilih dengan metode accidental sampling dari 14 fakultas di USU yang terdiri dari 5 fakultas kesehatan dan 9 fakultas non kesehatan yang ditentukan secara proporsional sesuai dengan populasi masing-masing fakultas. Data dianalisis menggunakan Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) versi 17.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit yang banyak diatasi mahasiswa dengan pengobatan sendiri adalah demam (25,5%), flu (22,1%), nyeri (22,1%), batuk (14,1%), diare (5,5%), maag (5,5%). Parasetamol, obat flu dan batuk, Non Steroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs) adalah obat yang paling banyak digunakan mahasiswa pada pengobatan sendiri. Tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai pengobatan sendiri adalah kurang baik dan signifikan secara statistik (p < 0,05) pada 8 pertanyaan kecuali pada pertanyaan mengenai istilah pengobatan sendiri (p = 0,059). Sikap pengobatan sendiri mahasiswa adalah baik dan signifikan secara statistik (p < 0,05) pada 12 pertanyaan. Tingkat kesalahan pengobatan sendiri di kalangan mahasiswa mencapai (40,1%). Pada penelitian ini ditemukan bahwa kesalahan paling banyak terjadi adalah pada kriteria lama penggunaan obat. Terdapat perbedaaan yang signifikan pada tingkat kesalahan berdasarkan fakultas, usia, tingkat akademis dan tempat tinggal kecuali berdasarkan jenis kelamin.

(16)

EVALUATION LEVEL OF SELF MEDICATION ERROR AMONG STUDENTS IN UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

ABSTRACT

Self-medication is the selection and using of non-prescription medicines to treat illness or symptoms. In practice, self medication error can be source of medication error because lack of knowledge about drug and their use. The aim of this study was to analyze the level of self medication error among students in University of Sumatera Utara (USU) and compare the level of self medication errors by faculty, gender, age, academic level and residence.

This study used descriptive quantitative with survey techniques by using a validated questionnaire. Respondents (n = 384) were selected by accidental sampling on 14 faculties in USU which contain 5 health faculties and 9 non health faculties determined in proportion to the population of each faculty. Data were analyzed using Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) version 17.

The results showed the most disorders resolved by the students them selveves were fever (25.5%), flu (22.1%), pain (22.1%), cough (14.1%), diarrhea (5.5%) and ulcer (5.5%). Paracetamol, cold and cough drugs, Non Steroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs) were the most widely taken drugs in self medication. The knowledge level of the students about self medication was unfavorable and significant statistically (p < 0.05) at 8 questions except the question regarding self medication terminologies (p = 0.059). The attitude of self-medication of students was favorable and significant statistically (p < 0.05) at 12 questions. The level of self-medication error among students was (40.1%). It was noticed that the most common error was the duration of drug use. There were significant differences in self medication error by faculty, age, academic level and residence except by sex.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan keluhan yang dirasakan seseorang dan bersifat subjektif, sedangkan penyakit berkaitan dengan gangguan yang terjadi pada organ tubuh berdasarkan diagnosis medis dan bersifat objektif (Rosenstock, 1974). Badan Pusat Statistik mencatat bahwa di Indonesia terdapat 66% masyarakat melakukan pengobatan sendiri sebagai tindakan pertama ketika sakit. Angka tersebut relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat pengobatan sendiri di Amerika Serikat yang mencapai 73% (Kartajaya, 2011).

(18)

Keberadaan pengobatan sendiri tidak dapat dihindari terjadinya penggunaan obat yang diresepkan oleh pasien atau konsumen tanpa pengawasan dari dokter.

Masalah peresepan sendiri sebenarnya telah diatur pada Permenkes NO. 919/MENKES/PER/X/1993, yang di dalamnya ditentukan jenis dan batasan

jumlah obat yang dapat diserahkan kepada konsumen tanpa harus menyertakan resep dari dokter (Depkes RI, 1993). Pemerintah juga menetapkan peraturan mengenai golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri. Pengobatan sendiri harus menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (Depkes RI, 1997).

Laporan Pan American Health Organization (PAHO) mengenai “Drug Classification: Prescription and OTC (Over The Counter) Drugs”, terdapat hasil survei yang dilakukan oleh The World Self Medication Industry (WSMI) di 14 negara. Survei tersebut menunjukkan bahwa pengobatan sendiri meningkat jumlahnya pada populasi penduduk yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, adanya pengetahuan tentang obat dan pengobatan sehingga kelompok tersebut tidak terlalu terpengaruh pada iklan dan promosi obat (PAHO, 2004).

Menurut Dharmasari (2003), tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku pengobatan sendiri yang aman, tepat dan rasional. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin rasional dan berhati-hati dalam memilih obat untuk pengobatan sendiri.

(19)

antibiotik. Hal tersebut menjadi menarik ketika mahasiswa yang mewakili kalangan terdidik malah menunjukkan kegiatan pengobatan sendiri yang tinggi untuk obat-obat keras (Awad, 2005).

Permasalahan swamedikasi yang sama juga ditemukan di Slovakia (Tesar, 2005). Pengobatan sendiri dengan antibiotik banyak dilakukan mahasiswa kesehatan seperti mahasiswa farmasi dan kedokteran, serta mahasiswa fakultas teknik. Adanya pengetahuan tentang antibiotik, pernah menggunakan antibiotik sebelumnya dan tidak memiliki banyak waktu untuk berkonsultasi dengan dokter menjadi alasan utama mahasiswa melakukan pengobatan sendiri dengan antibiotik (Olayemi, 2010).

Tingkat pengetahuan tentang pengobatan sendiri masih terbatas dan kesadaran untuk membaca label pada kemasan obat pun masih rendah sehingga pengobatan sendiri dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) (Supardi dan Notosiswoyo, 2006). Oleh karena itu pada pelaksanaannya, pengobatan sendiri harus memenuhi kriteria penggunaan obat menurut Kompendia Obat Bebas, yaitu a) tepat golongan obat, b) tepat kelas terapi obat c) tepat dosis obat, dan d) tepat lama penggunaan obat (Depkes RI, 2006).

(20)

1.2Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah terdapat kesalahan pengobatan sendiri di kalangan mahasiswa

Universitas Sumatera Utara?

b. Apakah terdapat perbedaan proporsi tingkat kesalahan pengobatan sendiri di

kalangan mahasiswa Universitas Sumatera Utara berdasarkan fakultas, jenis kelamin, usia, tingkat akademis dan tempat tinggal?

1.3Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Terdapat kesalahan pengobatan sendiri di kalangan mahasiswa Universitas

Sumatera Utara.

b. Terdapat perbedaan proporsi tingkat kesalahan pengobatan sendiri di kalangan

mahasiswa Universitas Sumatera Utara berdasarkan fakultas, jenis kelamin,

usia, tingkat akademis dan tempat tinggal.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui tingkat kesalahan pengobatan sendiri di kalangan mahasiswa Universitas Sumatera Utara.

(21)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

a. Dapat memberikan informasi mengenai tingkat kesalahan dalam upaya pengobatan sendiri di kalangan mahasiswa Universitas Sumatera Utara kepada petugas kesehatan, instansi kesehatan ataupun mahasiswa fakultas kesehatan. b. Dapat memberikan informasi kepada petugas apotek untuk meningkatkan

pelayanan informasi obat kepada masyarakat yang melakukan upaya pengobatan sendiri langsung di apotek.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini terdiri dari variabel terikat yaitu kesalahan pengobatan sendiri

dan variabel bebas yaitu pengetahuan dan sikap pengobatan sendiri serta faktor

sosiodemografi responden seperti fakultas, jenis kelamin, usia, tingkat akademis

dan tempat tinggal. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian Variabel Bebas 3. Tepat Dosis Obat 4. Tepat Lama

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi Pengobatan Sendiri

Beberapa definisi pengobatan sendiri menurut beberapa sumber adalah sebagai berikut:

a. Menurut World Health Organization (WHO), pengobatan sendiri (swamedikasi) adalah pemilihan dan penggunaan obat modern dan obat tradisional oleh seseorang untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit. b. Menurut The International Pharmaceutical Federation (FIP), pengobatan

sendiri adalah penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seseorang atas inisiatifnya sendiri.

c. Menurut World Self Medication Industry (WSMI), pengobatan sendiri adalah pengobatan untuk masalah kesehatan yang umum terjadi menggunakan obat yang dapat digunakan tanpa pengawasan dari tenaga kesehatan serta aman dan efektif untuk penggunaan sendiri.

d. Pengobatan sendiri berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Tan dan Rahardja, 1993).

(23)

mengancam bagi diri pasien. Beberapa penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, antara lain demam, nyeri, batuk, flu, diare, cacingan dan maag (Depkes RI, 2006).

Pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat dalam menjaga kesehatan dan menjadi alternatif yang banyak dipilih oleh masyarakat karena dapat menanggulangi keluhan secara cepat dan efektif. Pengobatan sendiri merupakan sumbangan yang sangat besar bagi pemerintah dalam hal pemeliharaan kesehatan, karena mengurangi beban pelayanan kesehatan serta meningkatkan keterjangkauan obat oleh masyarakat yang jauh dari pelayanan kesehatan.

Keuntungan dari pengobatan sendiri adalah aman apabila digunakan sesuai petunjuk, efektif untuk menghilangkan keluhan karena 80% dari penyakit ringan bersifat self- limiting, yaitu sembuh sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan, biaya pembelian obat relatif murah daripada biaya pelayanan kesehatan, hemat waktu karena tidak perlu mengunjungi sarana dan profesi kesehatan serta berperan aktif dalam pengambilan keputusan terapi untuk diri sendiri (Supardi dan Notosiswoyo, 2006).

(24)

mempunyai keterampilan untuk mencari informasi obat secara tepat dan benar perlu dilakukan (Holt, 1986).

2.2 Pengobatan Sendiri yang Sesuai Aturan

Penggunaan obat yang sesuai dengan aturan dan kondisi penderita akan mendukung upaya penggunaan obat yang tepat. Definisi penggunaan obat rasional menurut hasil konferensi WHO dalam “Conference of Experts on the Rational Use of Drugs” di Nairobi 1985 adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu, mendapatkan obat dalam jangka terapi yang cukup dan biaya pengobatan yang terjangkau bagi masyarakat (Depkes RI, 2006).

Pengobatan sendiri harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami. Pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria pengobatan sendiri yang sesuai aturan. Pengobatan sendiri yang sesuai dengan aturan mencakup 4 kriteria antara lain: (a) tepat golongan obat, yaitu menggunakan golongan obat bebas dan obat bebas terbatas, (b) tepat kelas terapi obat, yaitu menggunakan obat yang termasuk dalam kelas terapi yang sesuai dengan keluhannya, (c) tepat dosis obat, yaitu menggunakan obat dengan dosis sekali dan sehari pakai sesuai dengan umur dan (d) tepat lama penggunaan obat, yaitu apabila berlanjut segera berkonsultasi dengan dokter (Depkes RI, 2006).

2.3Pengobatan Sendiri yang Tidak Sesuai Aturan

(25)

kesalahan terjadi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko pada kesehatan (Supardi dan Notosiswoyo, 2005).

Kesalahan pengobatan (medication error) menurut National Coordinating Council Medication Error Reporting and Prevention (NCC MERP) adalah setiap kejadian yang dapat dihindari yang menyebabkan atau berakibat pada pelayanan obat yang tidak tepat sehingga membahayakan pasien sementara obat berada dalam pengawasan tenaga kesehatan, pasien atau konsumen.

Kejadian medication error terdiri dari 4 fase, yaitu: a. Prescribingphase (fase penulisan resep)

Kesalahan yang terjadi pada fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai.

b. Trancribingphase (fase pembacaan resep)

Kesalahan yang terjadi fase ini meliputi: kekeliruan saat membaca resep sehingga berdampak pada kesalahan pada obat yang diberikan, kesalahan pada pembacaan perintah pada resep yang disengaja atau tidak disengaja dan adanya perintah pada resep yang terlewatkan sehingga tidak dikerjakan.

c. Dispensingphase (fase peracikan atau penyiapan resep)

(26)

cara pakai obat tidak sesuai lagi, kesalahan pada penyampaian informasi obat kepada pasien.

d. Administrationphase (fase penggunaan)

Kesalahan pada fase ini meliputi: kurangnya kepatuhan pasien terhadap cara dan aturan pakai obat yang digunakan.

Menurut National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention (NCC MERP) kategorisasi medication error adalah sebagai berikut:

Kategori A: Keadaan atau kejadian yang memiliki kapasitas untuk menyebabkan menyebabkan kesalahan, tetapi tidak ada kesalahan yang sebenarnya terjadi. Kategori B: Terjadi kesalahan tetapi kesalahan tidak mencapai pasien

Kategori C: Terjadi kesalahan yang mencapai pasien tetapi tidak membahayakan pasien

Kategori D: Terjadi kesalahan yang mencapai pasien dan pemantauan yang diperlukan untuk mengkonfirmasikan bahwa kesalahan tersebut tidak mengakibatkan kerugian bagi pasien dan/atau intervensi yang diperlukan untuk mencegah bahaya.

Kategori E: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan kerusakan sementara untuk pasien dan ada intervensi yang diperlukan.

Kategori F: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan

kerusakan sementara terhadap pasien dan diperlukan rawat inap berkepanjangan di rumah

sakit.

Kategori G: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan

(27)

Kategori H: Terjadi kesalahan dan membutuhkan intervensi untuk mempertahankan

hidup.

Kategori I: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan

kematian pasien.

Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada pasien, mulai dari industri, dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan dan monitoring pasien. Setiap tenaga kesehatan dalam rantai ini dapat memberikan kontribusi terhadap kesalahan (Cohen, 1991).

Faktor penyebab terjadinya medication error antara lain: a) komunikasi yang buruk baik secara tertulis dalam bentuk kertas resep maupun secara lisan (antara pasien, dokter dan apoteker), b) sistem distribusi obat yang kurang mendukung (sistem komputerisasi, sistem penyimpanan obat), c) sumber daya manusia (kurangnya pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan), d) kurangnya edukasi kepada pasien, e) kurangnya peran pasien dan keluarga (Cohen, 1991).

Pencegahan terjadinya medication error dapat didekati dengan konsep-konsep human error (Anonim, 2011).

1. Error awareness. Setiap individu harus menyadari bahwa medication error dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja. Jika terjadi medication error maka akibat yang dapat timbul sangat beragam dari yang ringan/tanpa gejala hingga menyebabkan kematian. Pemahaman yang baik mengenai medication error perlu diterapkan di unit-unit pelayanan yang langsung berkaitan dengan obat dan pengobatan, mulai dari dokter, perawat, apoteker, asisten apoteker dan petugas administrasi obat.

(28)

yang buruk dapat mengawali terjadinya medication error. Selain itu, sistem yang buruk yang tidak mendukung mekanisme kerja yang baik, atau tidak dijalankan atas dasar prosedur yang standar juga dapat menjadi sumber medication error. Oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan secara sistematik apakah system tersebut ikut berperan terhadap penyebab terjadinya medication error. Sebagai contoh, buruknya sistem kerjasama antara dokter, perawat, dan apoteker akan selalu menjadi penyebab timbulnya medication error.

3. Evaluasi Kinerja Petugas. Perlu dikembangkan suatu mekanisme evaluasi yang sistematik dan komprehensif untuk mengetahui kinerja petugas. Kinerja ini kemudian dievaluasi secara terus menerus sehingga masing-masing petugas mengetahui hal-hal yang berpotensi menimbulkan medication error.

4. Antisipasi Kesalahan Melalui Sistem Koding dan SOP. Standard Operational Procedure (SOP) untuk prescribing, transcribing, dispensing dan administration perlu dibuat untuk meminimalkan risiko medication error. Sebagai contoh, jika ada bagian resep yang tidak terbaca, maka konsultasi langsung ke penulis resep haruslah menjadi langkah pertama yang harus dilakukan. Pencatatan nama dan alamat pasien sebenarnya merupakan satu SOP yang baik, tetapi selama ini tidak pernah ada evaluasi harian bagi apotek untuk selanjutnya segera menghubungi pasien pada hari yang sama jika terbukti terjadi kekeliruan.

(29)

perangkat lunak (software) kemudian menerjemahkan dan menginformasikan mengenai ketepatan dosis, frekuensi, dan cara pemberian obat serta kemungkinan interaksi obat yang terjadi dalam peresepan yang dituliskan oleh dokter. Melalui cara ini resiko medication error dapat dikurangi hingga 75%.

2.4 Faktor- Faktor Pengobatan Sendiri

Tindakan pengobatan sendiri cenderung akan meningkat. Faktor- faktor yang memepengaruhi tindakan pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai berikut: pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan tersebut, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat-obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau obat OTC (over the counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan (Supardi, 1997).

Menurut Sukasediati (1996), faktor lain yang berperan pada tindakan pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat antara lain:

a. Persepsi sakit

Persepsi seseorang mengenai berat ringannya penyakit yang dirasakan dapat menentukan alternatif pengobatan yang paling cocok untuk dirinya sendiri. Untuk penyakit ringan, pasien akan memilih beristirahat saja atau membeli obat ditempat terdekat sesuai dengan keperluan pengobatan penyakit.

b. Ketersediaan informasi tentang obat

(30)

c. Ketersediaan obat di masyarakat

Ketersediaan obat di masyarakat merupakan faktor penentu yang memungkinkan masyarakat mendapatkan dan menggunakan obat. Obat yang digunakan oleh masyarakat biasanya diperoleh di apotek, toko obat, warung dan minimarket.

d. Sumber informasi cara pemakaian obat.

Sumber informasi cara pemakaian obat dapat diperoleh dari kemasan atau brosur yang menyertai obat serta dapat menanyakannya langsung kepada petugas apotek atau penjaga toko.

2.5Obat-Obatan Pada Pengobatan Sendiri

Obat-obatan yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri sering disebut sebagai over the counter drugs (OTC). Bagi sebagian orang, obat-obat OTC dapat berbahaya ketika digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan obat lain. Tetapi bagi sebagian lainnya, obat-obat OTC sangat bermanfaat dalam pengobatan sendiri untuk mengatasi penyakit ringan hingga sedang (Fleckenstein, 2011).

Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah golongan obat bebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes NO. 2380/1983).

2.5.1 Obat Bebas (OB)

Obat bebas adalah obat yang bebas dijual di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: vitamin atau mulitivitamin, dan beberapa obat analgetik-antipiretik (parasetamol).

(31)

Obat bebas terbatas disebut Daftar W (Waarschuwing = peringatan) masih termasuk golongan obat keras tetapi dapat dibeli tanpa resep dokter sehingga penyerahannya pada pasien hanya boleh dilakukan oleh Asisten Apoteker Penanggung Jawab. Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: obat batuk, obat flu, obat penghilang rasa sakit dan penurun panas pada saat demam (analgetik-antipiretik), obat antimabuk (antimo), klorfeiramin maleat (CTM).

Terdapat pula tanda peringatan “P” dalam labelnya. Label “P” ada beberapa macam, yaitu:

a. Tanda peringatan nomor 1 (P1) adalah Awas! Obat Keras. Bacalah aturan

memakainya. Contoh: OBH Combi®, Decolsin® dan Saridon®

b. Tanda peringatan nomor 2 (P2) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. Contoh: Betadineobat kumur.

c. Tanda peringatan nomor 3 (P3) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian

luar badan. Contoh: Kalpanax®, Daktarin® dan Canesten®

d. Tanda peringatan nomor 4 (P4) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar.

e. Tanda peringatan nomor 5 (P5) adalah Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan.

Contoh: Dulcolax®

f. Tanda peringatan nomor 6 (P5) adalah Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan

ditelan. Contoh: Superhoid®

(32)

diperlukan. Semua kemasan obat bebas terbatas wajib mencantumkan tanda peringatan ‘apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter’ (SK Menkes No. 386/1994).

2.5.3 Obat Wajib Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan NO. 347/ MENKES/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Apoteker dalam melayani pasien yang memerlukan obat diwajibkan untuk:

a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang termasuk Obat Wajib Apotek.

b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

c. Memberikan informasi meliputi dosis, aturan pakai, kontraindikasi, efek samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Sesuai Permenkes NO. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep adalah:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan

(33)

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri

2.5.4 Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisonal secara turun-temurun telah digunakan untuk kesehatan berdasarkan resep nenek moyang, adat istiadat. Obat tradisional banyak digunakan masyarakat karena mudah didapat, harga terjangkau dan berkhasiat untuk pengobatan, perawatan dan pencegahan penyakit (Ditjen POM, 1994).

Golongan obat yang tidak diperbolehkan penggunaannya pada pengobatan sendiri adalah golongan obat keras tetapi pada prakteknya golongan obat tersebut masih banyak digunakan oleh masyarakat. Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Obat keras mempunyai tanda khusus berupa lingkatan bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini antara lain: obat jantung, obat antihipertensi, obat antidiabetes, hormon, antibiotika dan obat ulkus lambung (Ditjen POM, 2008).

2.6 Penyakit dan Pilihan Obat Pada Pengobatan Sendiri

(34)

Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya atau diatas 37o C dan merupakan gejala dari suatu penyakit. Demam dapat disebabkan karena faktor infeksi dan non infeksi.

a. Faktor infeksi antara lain: kuman, virus, parasit atau mikroorganisme lain. b. Faktor non infeksi antara lain: dehidrasi, alergi, stress, trauma, kelainan kulit

yang luas, penyakit keganasan seperti kanker.

Pada demam karena infeksi kemungkinan dapat disertai menggigil. Menggigil bukan merupakan suatu gejala infeksi karena menggigil juga dapat terjadi karena demam yang disebabkan alergi atau penyakit keganasan. Keringat yang berlebihan umumnya terjadi pada saat temperatur tubuh turun secara tiba-tiba dan sering terjadi pada dini hari.

Penanggulangan dengan terapi non obat untuk mengatasi demam ringan dapat diatasi dengan banyak minum, kompres, alkohol di daerah lipatan tubuh atau permukaan tubuh atau memakai pakaian yang tipis. Terapi obat yaitu dengan menggunakan obat penurun panas (antipiretik) dan hanya dianjurkan digunakan jika dengan cara terapi non obat demam tidak dapat diatasi. Obat penurun panas (antipiretik) yang dapat digunakan adalah parasetamol dan asetosal. Kedua obat ini mempunyai efek penurun panas dan pereda nyeri yang setara.

(35)

setelah makan atau bersamaan dengan makanan karena obat tersebut berisiko mengiritasi lambung (Depkes RI, 2006).

Hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat penurun panas adalah: a. Obat penurun panas hanya mengurangi gejala penyakit, tetapi tidak mengobati

penyakit yang mendasarinya atau penyebab penyakit.

b. Penderita demam harus berkonsultasi dengan dokter atau unit pelayanan kesehatan bila:

- demam berlanjut lebih dari 2 hari

- demam disertai gejala lain seperti kaku kuduk, pingsan, bintik merah pada kulit, nyeri hebat, mata kuning, diare hebat, kejang dan menggigil.

2.6.2 Nyeri

Nyeri adalah suatu gejala subyektif yang kompleks berupa emosional yang tidak menyenangkan dan pengalaman sensoris yang terjadi karena adanya rangsangan pada ujung-ujung saraf yang sangat peka pada jaringan tubuh. Bila terjadi rangsangan pada ujung-ujung saraf maka senyawa kimia prostaglandin akan terbentuk. Zat inilah yang bekerja pada ujung-ujung saraf jaringan yang rusak dan akan mengalirkan kesan nyeri sepanjang serabut saraf menuju ke otak sehingga timbul rasa nyeri tersebut (Depkes RI, 1997).

Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada ujung-ujung saraf karena kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan antara lain: trauma akibat benda tajam, benda tumpul, bahan kimia dan juga karena proses infeksi atau peradangan.

(36)

antara lain ibuprofen, asetosal dan parasetamol. Obat-obat tersebut juga dapat digunakan untuk menurunkan panas. Ibuprofen memiliki terapi antiradang lebih tinggi dibanding efek penurun panas, sedangkan asetosal dan parasetamol efek penurun demamnya lebih tinggi dibanding efek anti nyeri (Depkes RI, 2006).

Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari. Batas waktu penggunaan obat nyeri pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih dari lima hari (Depkes RI, 2006).

2.6.3 Batuk

Batuk adalah refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari saluran napas. Batuk juga membantu melindungi paru-paru dari aspirasi yaitu masuknya benda asing dari saluran cerna atau saluran napas bagian atas. Saluran pernapasan dimulai dari tenggorokan, trakhea, bronkus, bronkhioli sampai ke jaringan paru-paru. Penyebab batuk ada dua, yaitu: faktor infeksi oleh bakteri dan virus, misalnya tuberkulosis, influenza, campak, batuk rejan. Faktor non infeksi oleh debu, asap, alergi, makanan yang merangsang tenggorokan (Depkes RI, 2006).

Batuk dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Batuk berdahak, yaitu batuk yang terjadi karena adanya dahak di tenggorokan. Batuk berdahak lebih sering terjadi pada saluran napas yang peka terhadap paparan debu dan lembab berlebih.

b. Batuk tak berdahak (batuk kering), yaitu batuk yang terjadi apabila tidak ada sekresi saluran napas, iritasi pada tenggorokan , sehinga timbul rasa sakit.

(37)

a. Sering minum air putih, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurangi iritasi atau rasa gatal.

b. Hindari paparan debu, minuman atau makanan yang meragsang tenggorokan dan udara malam hari.

Penanggulangan dengan terapi obat adalah dengan menggunakan obat batuk. Sesuai dengan jenis batuk, maka obat batuk dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ekspektoran (pengencer dahak), antitusif (penekan batuk). Banyak obat batuk dipasaran beredar dalam bentuk kombinasi yang tidak lebih unggul dari bentuk tunggal.

a. Ekspektoran (Pengencer Dahak)

Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi cairan saluran napas,

sehingga mempermudah perpindahan dahak dan ekspektoransinya (pengeluarannya). Beberapa ekspektoran yang dapat diperoleh tanpa resep

dokter adalah: gliserilguaiakolat, ammonium klorida, bromheksin, dan succus liquiritiae.

b. Antitusif (Penekan Batuk)

Obat-obat kelompok ini bekerja pada susunan saraf pusat menekan pusat batuk dan menaikkan ambang rangsang batuk. Antitusif yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah: dekstrometorfan HBr, noskapin dan difenhidramin HCl

(38)

kali sehari. Batas waktu penggunaan obat batuk pada pengobatan sendiri tidak lebih dari tiga hari (Depkes RI, 2006).

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat batuk adalah:

a. Apabila batuk berlangsung lebih dari 3 hari atau setelah pengobatan sendiri tidak ada perbaikan atau batuk menjadi lebih berat, dahak bercampur darah atau berwarna hijau/kuning, sesak maka segera konsultasi ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.

b. Obat-obat batuk yang beredar di pasaran dimaksudkan untuk meringankan gejala batuk (Depkes RI, 1997).

2.6.4 Flu

Flu adalah penyakit yang menyerang bagian hidung, tenggorokan dan paru-paru yang disebabkan oleh infeksi virus influenza. Penyakit ini dapat menyebar dengan mudah dari satu orang ke orang lain. Umumnya, penyebaran terjadi melalui udara, dari batuk atau bersin. Virus flu juga dapat disebarkan melalui kontak langsung dengan penderita atau kontak dengan benda-benda yang digunakan oleh penderita (WHO, 2012).

(39)

Obat flu hanya dapat meringankan keluhan dan gejala saja, tetapi tidak dapat menyembuhkan. Obat flu yang diperoleh tanpa resep dokter umumnya merupakan kombinasi dari beberapa zat berkhasiat, yaitu:

a. Antipiretik-analgetik untuk menghilangkan rasa sakit dan menurunkan demam. b. Antihistamin, untuk mengurangi rasa gatal di tenggorokan atau reaksi alergi

lain yang menyertai flu. Bekerja dengan menghambat efek histamin yang dapat menyebabkan alergi . Contoh: CTM dan difenhidramin HCl.

c. Dekongestan, untuk meredakan hidung tersumbat. Contoh: fenilpropanolamin, fenilefrin, pseudoefedrin dan efedrin.

d. Antitusif, ekspektoran dan mukolitik untuk meredakan batuk yang menyertai flu.

Obat flu dengan berbagai merek dagang dapat mengandung kombinasi yang sama, sehingga tidak dianjurkan menggunakan berbagai merek obat flu pada saat bersamaan. Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga kali sehari. Batas waktu penggunaan obat flu pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih dari tiga hari (Depkes RI, 2006).

2.6.5 Maag

Gastritis adalah radang selaput lendir lambung, dapat disertai tukak lambung usus 12 jari, atau tanpa tukak dan dikenal juga sebagai sakit maag. Selain karena infeksi bakteri Helicobacter pylori, gastritis disebabkan oleh rangsangan kelebihan asam lambung. Adapun kelebihan asam lambung dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

a. Faktor kecemasan, emosi atau stress

(40)

c. Makanan atau minuman yang merangsang produksi asam lambung

Gejala berupa rasa nyeri dan panas pada perut bagian atas atau ulu hati, mual, muntah dan banyak gas (kembung). Penanggulangan dengan terapi non obat adalah dengan makan secara teratur, hindari makanan/minuman yang merangsang lambung dan hindari stress.

Terapi obat untuk gastritis pada pengobatan sendiri dapat diobati dengan antasida. Antasida adalah obat yang bekerja dengan cara menetralkan asam lambung yang berlebih, dan melindungi selaput lendir lambung. Antasida yang beredar di pasaran biasanya terdiri dari campuran garam aluminium dan garam magnesium agar tidak menimbulkan sembelit ataupun diare. Kandungan lain antasida adalah simetikon, yaitu zat yang berkhasiat membantu pengeluaran gas yang berlebih di dalam saluran cerna.

Dosis pemakaian antasida untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari. Batas pemakaian antasida pada pengobatan sendiri tidak boleh lebih dari 2 minggu kecuali atas saran dokter. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pasien pada penggunaan antasida, antara lain:

a. Antasida dalam bentuk tablet harus dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan b. Antasida diminum satu jam sebelum makan. Penggunaan terbaiknya adalah

saat gejala timbul pada waktu lambung kosong dan menjelang tidur malam. c. Antasida dapat mengganggu absorbsi obat-obat tertentu, misalnya antibiotik.

Beri jarak minimal satu jam bila digunakan bersamaan.

(41)

Diare adalah keadaan dimana terjadi peningkatan frekuensi buang air besar (BAB) lebih dari biasanya (3 - 4 kali dalam 24 jam) dan terjadi perubahan konsistensi tinja menjadi melembek sampai mencair. Wujud tinja merupakan ukuran yang lebih penting dibanding frekuensi buang air. Meski sering buang air tapi wujud tinja lunak dan berisi tidak dapat dikatakan diare.

Diare dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: diare akut dan diare kronik. a. Diare akut (mendadak) adalah diare yang berlangsung kurang dari 2 minggu.

Gejalanya berupa: tinja cair, biasanya terjadi mendadak, disertai rasa lemas, kadang-kadang demam atau muntah, biasanya berhenti/berakhir dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Diare akut dapat terjadi akibat infeksi virus, infeksi bakteri, akibat obat-obatan dan makanan tertentu.

b. Diare kronik adalah diare yang menetap atau berulang dalam jangka waktu lama. Umumnya berlangsung lebih dari 2 minggu atau bahkan beberapa bulan.

Diare merupakan mekanisme tubuh untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh. Umumnya diare merupakan gejala dari adanya infeksi di saluran cerna yang disebabkan oleh virus, bakteri dan mikrooganisme parasit lain. Namun banyaknya cairan tubuh yang dikeluarkan bersama tinja akan mengakibatkan dehidrasi.

(42)

terjadinya dehidrasi dapat dihindari. Oralit merupakan campuran gula, garam kalium dan natrium yang tersedia dalam bentuk serbuk untuk dilarutkan.

Pilihan obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi diare pada pengobatan sendiri adalah karbo adsorben dengan dosis pemakaian untuk dewasa adalah 3 sampai 4 tablet tiga kali sehari dan juga kombinasi kaolin-pektin attapulgit dengan dosis pemakaian untuk dewasa satu tablet tiap buang air besar dan maksimal 12 tablet selama 24 jam (Depkes RI, 2006).

2.7 Pengetahuan dan Sikap Pengobatan Sendiri

Pengetahuan kesehatan merupakan pengetahuan tentang berbagai jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan penggunaan obat, penyebab penyakit dan cara menanggulanginya. Peningkatan pengetahuan dari pasien untuk dapat mendiagnosis dirinya sendiri menjadi bagian yang sangat penting. Pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat untuk melakukan pengobatan sendiri secara benar adalah:

a. Mengetahui jenis obat yang diperlukan untuk mengatasi penyakitnya, dalam hal ini mengetahui bahan aktif yang terdapat dalam obat yang digunakan. b. Mengetahui kegunaan dari tiap obat yang digunakan, biasa disebut indikasi. c. Mengetahui penggunaan obat tersebut secara benar (cara, aturan, lama

pemakaian). Tahu batas kapan mereka harus menghentikan pengobatan sendiri dan segera meminta pertolongan petugas kesehatan jika penyakit tidak juga membaik.

(43)

e. Mengetahui siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut, biasa disebut kontraindikasi.

f. Mengetahui efek penggunaan obat jika diminum bersama dengan obat lain. Untuk melakukan pengobatan sendiri secara aman dan efektif, diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam memilih obat. Salah satu cara memperoleh pengetahuan adalah melalui informasi obat. Informasi obat yang paling banyak dijumpai masyarakat sehari-hari adalah yang berasal dari indusrti farmasi yang bersifat komersil dalam bentuk iklan (Suryawati, 1997).

Peningkatan pengetahuan masyarakat dalam masalah kesehatan, khususnya dalam masalah penggunaan obat-obatan, harus didukung dengan sikap pengobatan sendiri yang baik. Sikap adalah respon atau prilaku seseorang terhadap tindakan yang akan dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan masyarakat ketika akan melakukan pengobatan sendiri (Depkes RI, 2008; Atmoko dan Kurniawati, 2009) adalah:

a. Kenali gejala penyakit atau keluhan kesehatan yang diderita

b. Gunakan obat yang termasuk golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek

c. Obat dapat diperoleh di apotek atau toko obat berizin

d. Sebelum menggunakan obat, bacalah sifat, cara pemakaian, tanggal kadaluarsa pada etiket, brosur dan kemasan obat agar penggunaannya tepat dan aman. e. Tentukan obat yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan yang dialami seperti:

(44)

- Pilih obat yang mengandung dosis efekif, serta mencantumkan komposisi dan jumlahnya.

- Dianjurkan untuk menggunakan produk generik bila tersedia

- Berhati-hatilah terhadap iklan yang melebihkan efek obat dibanding produk lain yang sejenis.

- Perhatian khusus harus diberikan untuk pemberian pada anak-anak, terutama mengenai dosis, bentuk sediaan dan rasa.

f. Perhatikan waktu penggunaan obat dengan kesembuhan atau berkurangnya keluhan penyakit, bila dalam beberapa hari tidak terdapat perubahan sebaiknya meminta bantuan dokter atau tenaga medis lainnya.

g. Cara penggunaan obat harus memperhatikan hal-hal berikut: - Obat tidak untuk digunakan secara terus-menerus

- Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur obat

- Bila obat yang diminum menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, hentikan penggunaan obat dan tanyakan kepada dokter atau apoteker

- Hindari menggunakan obat orang lain, walaupun gejala penyakit sama

- Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lengkap tanyakan kepada apoteker

h. Gunakan obat tepat waktu sesuai dengan aturan penggunaan

i. Pemakaian obat secara oral adalah cara yang paling lazim karena praktis, mudah dan aman. Cara terbaik adalah dengan meminum obat dengan segelas air putih matang.

(45)

- Simpan obat dalam wadah kemasan asli dan tertutup rapat

- Simpan obat pada suhu kamar dan terhindar dari sinar matahari langsung atau seperti yang tertera pada kemasan

- Simpan obat pada tempat yang tidak panas dan tidak lembab karena dapat merusak obat

- Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak - Jauhkan dari jangkauan anak-anak

2.8 Masalah-Masalah Pada Pengobatan Sendiri

Di Indonesia tercatat bahwa ada 30% konsumen yang pernah dan biasa melakukan pengobatan sendiri dan diantaranya adalah untuk jenis obat-obatan antibiotik. Dari data World Health Organization (WHO) pada tahun 2010, terdapat sekitar 25 ribu orang di Eropa yang meninggal karena infeksi bakteri yang kebal terhadap antibiotik. Jika dilakukan studi di Indonesia, ada kemungkinan ditemukan indikasi yang sama karena keberadaan antibiotik yang selama ini sangat mudah diperoleh sehingga penggunaannya menjadi cenderung tidak rasional. Antibiotik selama ini dianggap sebagai obat segala penyakit yang dapat dibeli bebas dengan harga terjangkau (Kartajaya, 2011).

(46)

Masyarakat menjadi lebih berani untuk melakukan pengobatan berdasarkan informasi yang diperoleh dari internet.

Informasi melalui media cetak dan elektronik juga memudahkan masyarakat memakai obat seperti analgetik atau antipiretik yang tidak tepat indikasi pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan, maka seseorang dengan mudah menggunakan analgetik karena merasa sakit kepala ringan. Begitu pula pada ibu rumah tangga yang cepat merasa khawatir apabila anaknya demam, maka segera memberikan antipiretik. Hal tersebut tidak semata-mata dapat menjadi acuan terhadap pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat. Karena dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter untuk mendiagnosa penyakit agar diperoleh pengobatan yang lebih efektif (Kartajaya, 2011).

Selain itu, banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat konsumen bingung memilih antara obat yang baik dan aman untuk dikonsumsi. Begitu juga dengan maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media televisi dan media-media lain mempunyai peran yang cukup besar bagi masyarakat untuk memilih obat tanpa resep (Kartajaya, 2011).

(47)

semacam ini juga mempunya kontribusi dalam pengobatan sendiri (Kartajaya, 2011).

Seiring dengan terus bertambahnya jumlah apotek, secara tidak langsung apotek juga mendapatkan persaingan dari toko-toko obat modern seperti minimarket dan supermarket, terutama yang juga menyediakan berbagai obat over the counter (OTC) yang biasa digunakan untuk pengobatan sendiri. Survei yang dilakukan MarkPlus Insight mencatat bahwa supermarket dan minimarket merupakan tempat yang dituju untuk pembelian obat setelah apotek dan toko obat (Kartajaya, 2011).

Berdasarkan peraturan pemerintah tentang pendirian apotek (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002), salah satu kriteria wajib pendirian apotek adalah keberadaan apoteker pengelola apotek. Selain sebagai persyaratan wajib, keberadaan apoteker juga menjadi salah satu keunggulan apotek dari berbagai saluran distribusi obat lain yang biasa diakses konsumen untuk pengobatan sendiri. Apoteker memiliki peranan yang sangat penting bagi pengobatan sendiri karena langsung berinteraksi dengan konsumen dalam hal pemilihan obat. Posisi apoteker ini menjadi sangat strategis dalam mewujudkan pengobatan sendiri yang bertanggung jawab. Namun pada kenyataannya seringkali sebuah apotek tidak memilki apoteker yang selalu siap siaga melayani konsumen yang membutuhkan (Kartajaya, 2011).

(48)

bentuk pelayanan yang ramah saja tetapi juga diperlukan suatu sistem operasi yang istimewa dalam kecepatan pelayanan dan ketersediaan obat (Kartajaya, 2011).

Sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, apoteker memiliki peran dan tanggung jawab yang besar pada pengobatan sendiri. Peran dan tanggung jawab apoteker ini didasarkan pada filosofi Pharmaceutical Care, dimana kegiatan apoteker yang sebelumnya berorientasi pada obat menjadi berorientasi pada pasien. Didasarkan pada filosofi ini, maka tanggung jawab apoteker adalah mengidentifikasi, memecahkan dan mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan obat (drug-related-problem), sehingga dapat tercapai terapi yang optimal.

Penerapan asuhan kefarmasian yang baik atau GPP (Good Pharmaceutical Practice) di apotek telah diatur dalam Permenkes 1027 tahun 2004. Dalam PP no.51 Pasal 21 ayat 2 juga sudah dipaparkan, bahwa yang boleh melayani pemberian obat berdasarkan resep adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa apoteker harus selalu ada di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian.

(49)

muncul pada industri farmasi, menyarankan rujukan kepada dokter, dan memberitahu cara penyimpanan obat yang benar (FIP, 1999).

Menurut WHO, fungsi atau tanggung jawab apoteker dalam pengobatan sendiri adalah sebagai komunikator (communicator), penyedia obat yang berkualitas (quality drug supplier), pengawas dan pelatih (trainer and supervisor) dan promoter kesehatan (health promoter) (WHO, 1998).

a. Komunikator (communicator)

Salah satu tugas yang harus dilakukan oleh apoteker adalah memberikan informasi yang objektif tentang obat kepada pasien agar pasien dapat menggunakan obat secara rasional. Informasi yang harus diberikan oleh apoteker meliputi informasi mengenai bentuk sediaan obat, efek terapi, cara penggunaan, dosis, frekuensi penggunaan, dosis maksimum, lama penggunaan, efek samping yang mungkin timbul dan memerlukan penanganan dokter, kontraindikasi obat, makanan dan aktivitas yang harus dihindari selama penggunaan obat tersebut dan penyimpanan obat (WHO, 1998; Jepson, 1990; Rudd, 1983).

b. Penyedia obat yang berkualitas (quality drug supplier)

Seseorang farmasis harus menjamin bahwa obat yang tersedia berasal dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan berkualitas bagus. Selain itu farmasis juga harus menjamin bahwa obat-obat tersebut disimpan dengan baik. c. Pengawas dan pelatih (trainer and supervisor)

(50)

staf yang bukan farmasis memiliki kualitas yang sama. Farmasis juga harus menyediakan pelatihan dan menjadi pengawas bagi staf yang bukan farmasis. d. Kolaborator (collaborator)

Farmasis harus membangun hubungan profesional yang baik dengan profesional kesehatan yang lain, asosiasi profesi nasional, industri farmasi, pemerintah (Lokal/Nasional), klien dan masyarakat umum. Pada akhirnya hubungan yang baik ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam pelayanan pengobatan sendiri.

e. Promotor Kesehatan (Health promotor)

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dengan teknik survei. Penelitian deskriptif kuantitatif adalah penelitian terhadap fenomena atau populasi tertentu yang diperoleh oleh peneliti dari subjek berupa individu dimana hasil pengolahannya ditampilkan dalam bentuk angka. Penelitian ini membantu menjelaskan atau menggambarkan karakteristik subjek yang diteliti dan mengkaji berbagai aspek dalam fenomena tertentu. Teknik survei merupakan teknik penelitian dimana informasi/data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner (Erlina, 2011).

3.2 Jenis Data

Data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh secara langsung dari responden melalui pengisian kuesioner dan data sekunder yaitu data jumlah mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) yang diperoleh dari Kantor Biro Rektor USU bagian pendidikan.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

(52)

3.4 Subjek Penelitian 3.4.1 Populasi

Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa USU dan yang menjadi populasi studi adalah sebanyak 31.403 mahasiswa dengan rincian 6.430 mahasiswa kesehatan yang terbagi menjadi 5 fakultas (Kedokteran, Kedokteran Gigi, Kesehatan Masyarakat, Keperawatan dan Farmasi) dan sebanyak 24.973 mahasiswa non kesehatan yang terbagi menjadi 14 fakultas (Pertanian, Teknik, MIPA, Ilmu Sosial dan Politik, Psikologi, Hukum, Ekonomi, Ilmu Budaya dan Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi) dengan tingkat pendidikan S-1.

3.4.2 Sampel

Pengambilan sampel menggunakan rumus Lameshow dan Lwanga (1997), berikut:

� =

��� 2

2.. (1− �)

�.�2 + 2

2.. (1− �)

� = 31403 . (1,96)

2 . 0,5. (10,5)

31403 . (0,05)2+. (1,96)2 . 0,5. (10,5)

� = 30159,4412

78,5075 + 0,9604

� =30159,4412 79,4679

(53)

Keterangan: n = besar sampel

N = besar populasi = 31.403 orang

Z = asumsi tingkat kepercayaan yang diambil peneliti adalah 95% dengan nilai Z = 1,96

P = asumsi keragaman populasi yang dimasukan dalam perhitungan adalah P (1-P), P = 0,5.

d = penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan yaitu 5% yaitu 0,05

Berdasarkan rumus di atas, sampel (responden) pada penelitian ini adalah 380 orang. Penentuan responden dari masing-masing fakultas dilakukan secara proporsional menggunakan rumus berikut:

Fakultas Kesehatan: ����� �� ℎ������ ���� ℎ����

����� ������ ℎ�� ℎ������ ������ℎ�����������������������

6.430

31.403 � 380 = 77,80 (����������������� 78)

a. Fakultas Kedokteran = 2.013/6.430 x 78 = 24,41 = 24 Laki-Laki = 775/2.013 x 24 = 9,23 = 9

Perempuan = 1238/2.013 x 24 = 14,76 = 15

b. Fakultas Kedokteran Gigi = 1.059/6.430 x 78 = 12,84 = 13 Laki-Laki = 246/1.059 x 13 = 3,01 = 3

Perempuan = 813/1.059 x 13 = 9,98 = 10

c. Fakultas Kesehatan Masyarakat = 1.975/6.430 x 78 = 23,95 = 24 Laki-Laki = 387/1.975 x 24 = 4,7 = 5

(54)

d. Fakultas Keperawatan = 614/6.430 x 78 = 7,44 = 8 Laki-Laki = 76/614 x 8 = 0,99 = 1

Perempuan = 538/614 x 8 = 7,00 = 7

e. Fakultas Farmasi = 769/6.430 x 78 = 9,32 = 9 Laki-Laki = 179/769 x 9 = 2,09 = 2

Perempuan = 590/769 x 9 = 6,90 = 7 Fakultas Non Kesehatan:

:����� ��� �� ℎ������ ���� ℎ����

����� ������ ℎ�� ℎ������ ������ℎ��������������������

24.973

31.403 � 380 = 302,19 (����������������� 302)

a. Fakultas Hukum = 2.803/24.973 x 302 = 33,89 = 34 Laki-Laki = 1.603/2.803 x 34 = 19,44 = 19

Perempuan = 1.200/2.803 x 34 = 14,55 = 15

b. Fakultas Pertanian = 4.261/24.973 x 302 = 51,52 = 52 Laki-Laki = 2.419/4.261 x 52 = 29,52 = 30

Perempuan = 1.842/4.261 x 52 = 22,47 = 22

c. Fakultas Teknik = 3.929/24.973 x 302 = 47,51 = 48 Laki-Laki = 2.851/3.929 x 48 = 34,83 = 35

Perempuan = 1.078/3.929 x 48 = 13,16 = 13

d. Fakultas Ekonomi = 3.845/24.973 x 302 = 46,49 = 46 Laki-Laki = 1.750/3.845 x 46 = 20,93 = 21

Perempuan = 2.095/3.845 x 46 = 25,06 = 25

e. Fakultas Ilmu Budaya = 2.902/24.973 x 302 = 35,09 = 35 Laki-Laki = 1.156/2.902 x 35 = 13,94 = 14

(55)

f. Fakultas MIPA = 1.478/24.973 x 302 = 17,87 = 18 Laki-Laki = 572/1.478 x 18 = 6,96 = 7

Perempuan = 906/1.478 x 18 = 11,03 = 11

g. Fakultas FISIP = 3.898/24.973 x 302 = 47,13 = 47 Laki-Laki = 1.850/3.898 x 47 = 22,30 = 22

Perempuan = 2.048/3.898 x 47 = 24,69 = 25 h. Fakultas Psikologi = 601/24.973 x 302 = 7,26 = 7

Laki-Laki = 134/601 x 7 = 1,56 = 2 Perempuan = 467/607 x 7 = 5,38 = 5

i. Fakultas Ilkom-TI = 1256/24.973 x 302= 15,18 = 15 Laki-Laki = 788/1.256 x 15 = 9,41 = 9

Perempuan = 468/1.256 x 15 = 5,58 = 6

3.4.3 Kriteria inklusi dan eksklusi 3.4.3.1Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi responden yang ditentukan oleh peneliti untuk dapat dijadikan sebagai sampel penelitian (Notoatmodjo, 2002). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Mahasiswa Universitas Sumatera Utara fakultas kesehatan dan non kesehatan yang

pernah melakukan pengobatan sendiri 1-3 bulan terakhir

(56)

3.4.3.2Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi adalah kriteria dimana responden penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi tetapi tidak dapat dijadikan sebagai sampel penelitian (Notoatmodjo, 2002). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang tidak bersedia mengisi kuesioner penelitian.

3.5 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel menggunakan metode accidental sampling yaitu metode pengambilan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila orang tersebut memenuhi persyaratan untuk dijadikan responden penelitian. Keuntungan dari teknik ini adalah terletak pada ketepatan peneliti memilih responden sesuai dengan variabel yang diteliti (Arikunto, 2006).

3.6 Alat/Instrumen Penelitian

(57)

3.7 Uji validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat apakah suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data (Rinza, 2009). Uji ini dilakukan pada minimal 30 orang yang tidak termasuk responden. Cara menguji validitas dan reliabilitas kuesioner adalah sebagai berikut:

3.7.1 Uji Validitas

Uji validitas dilakukan menggunakan Korelasi Pearson, yaitu dengan cara mengkorelasikan nilai setiap pertanyaan dengan nilai total pertanyaan. Jika seluruh butir pertanyaan mempunyai nilai (p < 0,05), maka kuesioner tersebut dapat dinyatakan valid (Trihendradi, 2011).

3.7.2 Uji Reliabilitas

(58)

Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner No.

Soal

Topik Pertanyaan Sig Korelasi Pearson

Cronbach's Alpha 1. Istilah pengobatan sendiri 0.000 0.945 0,747 3. Penyakit yang dapat diatasi dengan

pengobatan sendiri

0.000 0.780 0.757

4. Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri

0.002 0.534 0.768 5. Istilah-istilah pada kemasan obat 0.000 0.574 0.764 6. Aturan dan cara pakai obat 0.000 0.945 0.744 24. Gejala penyakit yang diderita 0.000 0.615 0.767

26. Cara pemakaian obat 0.000 0.756 0.766

27. Lama pemakaian obat 0.000 0.945 0.747

28. Efek samping obat 0.000 0.945 0.777

10. Mencari informasi penyakit yang diderita sebelum melakukan pengobatan sendiri

0.000 0.605 0.727

11. Mencari informasi obat sebelum melakukan pengobatan sendiri

0.000 0.673 0.722

12. Tempat membeli obat 0.000 0.741 0.730

13. Bertanya pada petugas apotek perihal obat yang akan digunakan

0.045 0.368 0.742 14. Memperhatikan kelayakan obat dan

kemasan obat

0.013 0.448 0.738 15. Membaca keterangan pada kemasan

obat

0.001 0.566 0.731 16. Memperhatikan tanggal kadaluarsa

dan tanda peringatan pada kemasan obat

0.000 0.675 0.729

17. Memperhatikan kontraindikasi dan efek samping obat

0.001 0.566 0.731 18. Kepatuhan responden pada aturan

dan cara pakai obat

0.000 0.638 0.726

19. Memperhatikan kondisi dan penyimpanan obat

0.000 0.707 0.720 20. Sikap yang dilakukan terhada obat

jika penyakit sudah membaik

0.000 0.741 0.730 21. Sikap yang dilakukan jika penyakit

tidak juga membaik

(59)

Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan nilai (p < 0,05) dan nilai Cronbach’s Alpha yang diperoleh mendekati 1, dinyatakan bahwa pertanyaan pada kuesioner telah valid dan reliabel. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 7.

3.8 Prosedur Penelitian

Langkah-Langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah:

a. Menyiapkan kuesioner penelitian yang akan diisi oleh responden

b. Meminta izin Dekan Fakultas Farmasi USU untuk melakukan penelitian dengan responden mahasiswa Universitas Sumatera Utara

c. Meminta izin Dekan masing-masing fakultas Universitas Sumatera Utara untuk melakukan penelitian dengan responden mahasiswa fakultas tersebut.

d. Membagikan kuesioner penelitian kepada responden

e. Mengumpulkan data penelitian

f. Mengolah data penelitian

3.10 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengisisan kuesioner dikumpulkan dan dilakukan pengkodean pada setiap jawaban dengan memberi skor dan nilai tertentu. Data kemudian diolah dan dianalisis menggunakan program Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) versi 17.

a. Analisis Univariat

(60)

b. Analisis Bivariat

(61)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perhitungan Responden

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 384 orang mahasiswa yang dijadikan responden penelitian. Rekrutmen responden secara proporsional dari tiap fakultas di Universitas Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Rekrutmen Responden dari Tiap Fakultas di Universitas Sumatera Utara

NO. Fakultas Responden Total

Laki-Laki Perempuan

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Tabel 4.1 Rekrutmen Responden dari Tiap Fakultas di Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.2 Karakteristik Sosiodemografi Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada pelaksanaannya swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan penggunaan analgetik pada pengobatan sendiri oleh masyarakat di Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten dan

Adapun penelitian Cristiana 2014 mengenai hubungan antara pengetahuan dan sikap mengenai obat tradisional dan obat modern terhadap tindakan pemilihan obat pada pengobatan mandiri

Saya memilih obat maag sesuai dengan obat yang diiklankan Saya memilih obat sesuai dengan saran dari apoteker Ketika saya ingin tau informasi obat maka saya membaca di kemasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulan Gambaran tingkat pengetahuan masyara- kat terhadap pemilihan obat antiinflamasi sebagai upaya

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan: kerasionalan penggunaan obat pada pengobatan sendiri terhadap balita berdasarkan indikasi, kontra

kota; masyarakat cenderung membeli obat secara eceran di sarana pelayanan obat ilegal, sehingga tidak dapat membaca informasi pada kemasan obatnya, serta masih banyak iklan obat

Adanya pengetahuan yang baik dari tenaga kesehatan terutama dokter atau pun calon-calonnya akan menunjang keberhasilan pengobatan konvensional yang terintegrasi dengan pengobatan