S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH: ELLA ANDIRA NIM: 100200286
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH : ELLA ANDIRA NIM: 100200286
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Ketua Departemen
NIP. 196403301993031002 Arif, SH, M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum
NIP : 195612101986012001 NIP : 197302202002121001
Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang
berjudul: “PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN
BENCANA DITINJAU DARI KONVENSI HAK-HAK ANAK DAN HUKUM
NASIONAL” sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan
tidak lupa shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah
SWT.
Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan
hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen
pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing,
dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kedua orangtua penulis yang amat penulis sayangi Ayahanda Alfian
Abdullah dan Ibunda Farlina Thaher, yang telah membesarkan penulis sampai
sekarang, memberi doa dan dukungan yang tiada henti-hentinya baik moril
Sumatera Utara;
3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Universitas
Sumatera Utara Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Syafruddin, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak O. K. Saidin, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
6. Bapak Arif, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta
bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini;
8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan,
serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini;
9. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis;
10. Saudara kandung penulis, Putri Amalia, A.Md., Muammar Rozi, ST, dan
Aulia Ichsan, terimakasih atas doa dan semangat yang telah diberikan kepada
jalinan persahabatan kita akan terus terjalin untuk ke depannya, sukses untuk
kita semua! I love you girls;
12. Sahabat sejak SMA Reza Birong, Chairunnisa Damanik, Rizky Agustina dan
Debora, terimakasih atas segala dukungannya kepada penulis;
13. Teman-teman ILSA Stambuk 2010, teman-teman Grup D, serta Mahasiswa/i
Fakultas Hukum USU Stambuk 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Semoga kita semua menjadi generasi yang lebih baik untuk bangsa
dan negara;
14. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di
dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran
yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang. Demikianlah yang
dapat penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Medan, 18 Juni 2014
Penulis
Daftar Isi……….iv
Abstrak………....vi
BAB I PENDAHULUAN………...1
A. Latar Belakang……….1
B. Perumusan Masalah……….7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….7
D. Keaslian Penulisan………...8
E. Tinjauan Kepustakaan………..9
F. Metode Penelitian………...13
G. Sistematika Penulisan……….16
BAB II ANAK DAN HAK-HAKNYA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL……….18
A. Konvensi Hak-Hak Anak Sebagai Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak……….18
B. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Sebagai Acuan Perlindungan Anak di Indonesia………..36
C. Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak Anak………..43
B. Penyebab serta Dampak-Dampak Bencana………...53
C. Manajemen Penangggulangan Bencana (Disaster Management)………..57
D. Aspek Hukum Internasional Dalam Penanganan Bencana………65
BAB IVPERLINDUNGAN ANAK-ANAK KORBAN BENCANA DITINJAU DARI KONVENSI HAK-HAK ANAK DAN HUKUM NASIONAL………...80
A. Perlindungan Anak-Anak Korban Bencana Menurut Konvensi Hak-Hak Anak………...80
B. Perlindungan Anak-Anak Korban Bencana Menurut Hukum Nasional…98 C. Pihak-Pihak yang Bertanggungjawab Dalam Menjamin Perlindungan Terhadap Anak-Anak-Anak Korban Bencana……….103
D. Perlindungan Terhadap Anak-Anak Korban Bencana Topan Haiyan di Filipina……….109
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….117
A. Kesimpulan………..117
B. Saran……….119
Peristiwa bencana senantiasa disertai dengan cerita tragis penderitaan manusia yang tidak habis-habisnya.Korban yang paling mengkhawatirkan adalah yang berasal dari kalangan anak-anak.Anak-anak masih sangat rentan kondisi psikologisnya, parahnya persentase jumlah koban yang berasal dari anak-anak di seluruh dunia lumayan besar, baik dalam angka kematian ataupun dampak lainnya.Namun dalam prakteknya, perlindungan secara langsung terhadap anak-anak korban bencana masih sangat minim.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis normatif, karena sasaran penelitian adalah meninjau peraturan hukum yang terkait dengan perlindungan terhadap anak-anak korban bencana.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder berupa buku, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan majalah dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini. Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Hak-hak anak diatur didalam Konvensi Hak Anak yang menjadi acuan perlindungan hak anak secara internasional.Di Indonesia perlindungan terhadap hak-hak anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang dapat menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap keberfungsian suatu masyarakat melebihi batas kemampuannya, sehingga mengakibatkan kerusakan, kerugian serta penderitaan bahkan sampai jatuhnya korban jiwa, baik terjadi karena alam ataupun non-alam (seperti oleh manusia) ataupun karena faktor keduanya.Di Indonesia pengaturan mengenai bencana dan manajemen penanggulangannya diatur di dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ada lima kluster pengelompokan hak anak yang harus dipenuhi dalam konteks tanggap darurat bencana mengacu kepada Konvensi Hak Anak yaitu: Hak sipil dan kemerdekaan, Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, Kesehatan dan kesejahteraan dasar, Pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya, dan Perlindungan khusus. Untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban bencana, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 mengamanatkan dalam beberapa pasal yaitu pada pasal 59, pasal 60 dan pasal 62.
Kata Kunci : Perlindungan Anak, Korban Bencana, Konvensi Hak Anak, Hukum Nasional.
* Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I
Peristiwa bencana senantiasa disertai dengan cerita tragis penderitaan manusia yang tidak habis-habisnya.Korban yang paling mengkhawatirkan adalah yang berasal dari kalangan anak-anak.Anak-anak masih sangat rentan kondisi psikologisnya, parahnya persentase jumlah koban yang berasal dari anak-anak di seluruh dunia lumayan besar, baik dalam angka kematian ataupun dampak lainnya.Namun dalam prakteknya, perlindungan secara langsung terhadap anak-anak korban bencana masih sangat minim.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis normatif, karena sasaran penelitian adalah meninjau peraturan hukum yang terkait dengan perlindungan terhadap anak-anak korban bencana.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder berupa buku, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan majalah dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini. Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Hak-hak anak diatur didalam Konvensi Hak Anak yang menjadi acuan perlindungan hak anak secara internasional.Di Indonesia perlindungan terhadap hak-hak anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang dapat menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap keberfungsian suatu masyarakat melebihi batas kemampuannya, sehingga mengakibatkan kerusakan, kerugian serta penderitaan bahkan sampai jatuhnya korban jiwa, baik terjadi karena alam ataupun non-alam (seperti oleh manusia) ataupun karena faktor keduanya.Di Indonesia pengaturan mengenai bencana dan manajemen penanggulangannya diatur di dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ada lima kluster pengelompokan hak anak yang harus dipenuhi dalam konteks tanggap darurat bencana mengacu kepada Konvensi Hak Anak yaitu: Hak sipil dan kemerdekaan, Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, Kesehatan dan kesejahteraan dasar, Pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya, dan Perlindungan khusus. Untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban bencana, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 mengamanatkan dalam beberapa pasal yaitu pada pasal 59, pasal 60 dan pasal 62.
Kata Kunci : Perlindungan Anak, Korban Bencana, Konvensi Hak Anak, Hukum Nasional.
* Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I
A.Latar Belakang
Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan
kehidupan suatu bangsa. Anak-anak merupakan bagian dari masyarakat yang
masih memiliki ketergantungan terhadap orang lain, mempunyai
kebutuhan-kebutuhan khusus, dan membutuhkan perawatan dan perlindungan agar mereka
dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi dalam kehidupan. Di dalam
implementasinya, anak merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan suatu
bangsa, penentu masa depan dan penerus generasi. Perhatian terhadap anak sudah
lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari
semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan
negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar
dapat berkembang fisik, mental dan spritualnya secara maksimal.1
Namun demikian disadari bahwa kondisi anak masih banyak yang
memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat bahwa belum semua anak mempunyai akta
kelahiran, belum semua anak diasuh oleh orang tua kandungnya, keluarga maupun
orang tua asuh atau wali dengan baik, masih belum semua anak mendapatkan
pendidikan yang memadai, masih belum semua anak mempunyai kesehatan
optimal, masih belum semua anak dalam pengungsian, daerah konflik, korban
bencana alam, anak-anak korban eksploitasi, kelompok minoritas dan anak-anak
1
yang berhadapan dengan hukum seharusnya mendapatkan perlindungan khusus.
Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya berbagai krisis ekonomi di
Indonesia dan di negara-negara lain dan juga terjadinya berbagai bencana alam di
berbagai negara, yang mengakibatkan banyaknya permasalahan-permasalahan
yang terkait dengan kependudukan termasuk permasalahan-permasalahan di
dalam perlindungan hak-hak anak korban bencana.
Sebagai salah satu unsur yang harus ada di dalam negara hukum dan
demokrasi, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia termasuk di dalamnya
perlindungan terhadap hak-hak anak yang diharapkan sebagai penentu masa depan
bangsa dan sebagai generasi penerus harus mendapatkan pengaturan yang jelas.
Hal ini perlu dilakukan, mengingat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat
kemuliaan dirinya sehingga HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu HAM
harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi
atau dirampas oleh siapapun.
Sejarah umat manusia penuh dengan peristiwa bencana.Dalam berbagai
kitab suci banyak kisah-kisah mengenai bencana sebagai peringatan bagi umat
manusia misalnya Banjir Nabi Nuh dan kaum Luth semuanya disertai dengan
peristiwa bencana yang memusnahkan satu generasi.2
2
Soehatman Ramli, Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Management), (Jakarta: PT Dian Rakyat, 2010), hal 1.
Peristiwa bencana
senantiasa disertai dengan cerita tragis penderitaan manusia yang tidak
hancurnya peradaban manusia.3
Korban tentunya akan merasa sangat terpukul dengan keadaan yang
mereka alami, dan yang paling mengkhawatirkan adalah yang berasal dari
kalangan anak-anak. Anak-anak masih sangat rentan kondisi psikologisnya,
parahnya persentase jumlah koban yang berasal dari anak-anak di seluruh dunia
lumayan besar, baik dalam angka kematian ataupun dampak lainnya.Misalkan
dalam bencana tsunami, 37 persen dari jumlah korban meninggal adalah berasal
dari anak-anak (lebih dari 90.000), anak-anak yang masih hidup kehilangan
saudara dan teman-temannya dan 7.722 anak ditinggal kedua orang tua
mereka.Dan kasus bencana terbaru yang terjadi adalah bencana Topan Haiyan
yang melanda Filipina pada 8 November 2013, dimana data UNICEF Pada beberapa tahun terakhir ini sering sekali
terjadi bencana alam yang melanda di berbagai negara.Bencana itu telah
menyebabkan begitu banyak korban jiwa, fisik serta harta benda.Banjir, gempa
bumi dan badai memaksa puluhan ribu orang mengungsi di seluruh dunia.Dalam
beberapa tahun terakhir tanggapan masyarakat internasional terhadap
bencana-bencana itu semakin cepat dan lebih canggih.Tetapi, sampai kini dan karena
penyaluran bantuan untuk menyelamatkan jiwa dilakukan tergesa-gesa, hanya
sedikit perhatian tertuju pada hak-hak korban yang mengungsi.Bagi korban yang
selamat, maka ia akan sangat merasa terbebani dengan adanya cacat fisik yang ia
derita, kerugian material, dan juga keadaan psikologis mereka. Hal ini tentu akan
terasa sangat berat apabila tidak ada penanganan yang serius dari pihak-pihak
yang terkait.
3
menunjukkan sekitar 4 juta anak menjadi korban.4
Di samping itu, dalam situasi pasca bencana, kehidupan yang serba darurat
sering membuat orangtua kehilangan kontrol atas pengasuhan dan bimbingan
terhadap anak-anak mereka. Keadaan ini dapat mengancam perkembangan
mental, moral dan sosial anak, sekaligus menempatkan anak dalam posisi rentan
terhadap kemungkinan tindak eksploitasi, penculikan, kekerasan dan
perdagangan. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan rusaknya fasilitas kesehatan
dan sanitasi serta lingkungan yang tidak sehat di tempat penampungan yang dalam Semua bencana yang terjadi
tentunya akan menyebabkan trauma yang mendalam bagi para korbannya. Baik
orang dewasa, maupun anak-anak. Pada awalnya, gejala trauma dari bencana pada
anak dianggap sama dengan yang dialami oleh orang dewasa, hingga ditemukan
satu hasil penelitian baru yang dilakukan oleh Terr (1979) yang mengemukakan
pandangan bahwa anak akan merespon trauma dengan cara yang berbeda dengan
orang dewasa.
Hal ini menjadikan anak-anak sebagai salah satu kelompok yang paling
rentan terdampak bencana alam karena secara fisik dan mental masih dalam
pertumbuhan dan masih tergantung dengan orang dewasa. Mengalami kejadian
yang sangat traumatis dan mengerikan akibat bencana seperti gempa bumi dan
letusan gunung merapi dapat mengakibatkan stress dan trauma mendalam bagi
anak. Pengalaman trauma yang dialami anak tersebut kalau tidak diatasi segera
akan berdampak buruk bagi perkembangan mental dan sosial anak sampai
dewasa.
4
UNICEF Indonesia, “Jumlah Anak Korban Topan Haiyan Mencapai 4 Juta, UNICEF mengirimkan Bantuan”, sebagaimana dimuat dalam
perkembangan selanjutnya berdampak buruk terhadap kesehatan anak yang dalam
jangka panjang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan kesehatan anak.
Dalam situasi darurat anak-anak membutuhkan perlindungan khusus.
Anak-anak yang telah menjadi yatim piatu atau terpisah dari keluarganya sangat
berisiko terhadap penyiksaan, kekerasan, pengabaikan dan eksploitasi;tanpa
perlindungan orang tua, mereka lebih rawan terhadap pengadopsian ilegal,
perkawinan di bawah umur, dan perdagangan orang. Bahkan ketika anak-anak
tidak dipisahkan dari keluarga mereka, tempat tinggal yang tidak aman,
pengungsian, kehilangan pekerjaan, kehancuran sumber mata pencaharian, serta
kematian pencari nafkah utama, meningkatkan kerentanan mereka dalam rumah
tangga. Kesulitan ekonomi khususnya memicu risiko tambahan bagi anak-anak,
yang dapat muncul pada tahap keadaan darurat. Di keluarga, mereka mungkin
menjadi korban kekerasan dan akses yang kurang kepada kebutuhan pokok seperti
tempat berlindung, makanan, air dan perawatan kesehatan. Kelangkaan sumber
daya juga menempatkan anak-anak berisiko terhadap putus sekolah;banyak anak
yang dipaksa untuk mendapatkan penghasilan–sering dalam pekerjaan berisiko
tinggi seperti pertambangan dan pertanian. Anak-anak perempuan secara khusus
menjadi korban dari pornografi anak atau bentuk lain eksploitasi seksual.5
Berdasarkan kondisi itulah, maka banyak sekali pemangku kepentingan
(stakeholder) baik dari unsur pemerintah dan non-pemerintah seperti lembaga
swadaya masyarakat (lokal maupun internasional), perusahaan, organisasi massa
dan masyarakat selalu mengambil bagian dalam upaya penanggulangan bencana
5
khususnya untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yang menjadi koban bencana.
Perhatian dan bantuan dalam masa tanggap darurat bencana tersebut dari sisi
jumlah dan jenis bantuan sangat banyak dan seringkali kalau tidak diorganisir
dengan baik akan mengakibatkan tidak meratanya distribusi bantuan sehingga
bantuan yang sifatnya temporer seperti makanan menjadi rusak dan tidak dapat
dimanfaatkan.
Bantuan tanggap darurat bencana alam tersebut dari sisi jenis bantuannya
lebih banyak diprioritaskan pada bantuan logistik dan kalau sasarannya anak-anak
program-program yang ditawarkan lebih banyak bersifat permainan-permainan
yang bertujuan untuk mencegah sekaligus mengatasi trauma yang dihadapi anak
akibat bencana alam. Bantuan dan maksud baik dari semua pemangku
kepentingan tersebut akan menjadi lebih komprehensif dan efektif jika setiap
program dan bantuan yang diberikan untuk anak berangkat dari sebuah landasan
konsep yang kuat yang untuk selanjutnya dapat dipergunakan sebagai panduan
dalam melakukan aksi-aksi nyata untuk membantu anak yang menjadi korban
bencana. Bantuan logistik dan program permainan adalah salah satu upaya
perlindungan anak dan upaya perlindungan anak dalam konteks bencana alam
sangat luas sekali.
Kondisi ini sangatlah perlu untuk diperhatikan tanpa kecuali. Hal semacam
inilah yang melatar belakangi penulis untuk membahas dan menyusun sebuah
skripsi yang berjudul: “Perlindungan Terhadap Anak-Anak Korban Bencana
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengemukakan
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan terhadap hak-hak anak menurut hukum internasional
dan hukum nasional?
2. Bagaimana pengaturan mengenai bencana dan manajemen
penanggulangannya?
3. Bagaimana pengaturan mengenai perlindungan terhadap anak-anak korban
bencana menurut Konvensi Hak-Hak Anak dan hukum nasional?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam meneliti permasalahan diatas adalah:
a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai hak-hak anak menurut hukum
internasional dan hukum nasional.
b. Untuk mengetahui pengaturan mengenai bencana dan manajemen
penanggulangannya.
c. Untuk mengetahui pengaturan mengenai perlindungan terhadap
anak-anak korban bencana menurut Konvensi Hak-Hak Anak dan hukum
nasional.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara teoritis penulisan ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk
pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi yang ingin
mengetahui dan memperdalam tentang aspek Konvensi Hak-Hak Anak
dan hukum nasional dalam perlindungan terhadap anak-anak korban
bencana.
b. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pemerintah dalam memberikan perlindungan yang lebih terjamin kepada
anak-anak korban bencana, sesuai dengan aturan yang diatur dalam
hukum nasional dan hukum internasional.
D.Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini yang berjudul: “PERLINDUNGAN TERHADAP
ANAK-ANAK KORBAN BENCANA DITINJAU DARI KONVENSI
HAK-HAK ANAK DAN HUKUM NASIONAL” merupakan tulisan yang masih baru
yang berasal dari hasil pemikiran penulis sendiri tanpa adanya jiplakan dari hasil
tulisan milik orang lain. Dan belum ada tulisan dalam bentuk skripsi yang
membahas tentang hal ini. Demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan
berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas
Hukum USU tertanggal 5 Desember 2013, karya tulis berjudul sama belum
pernah ditulis sebelumnya. Hanya saja, tidak dapat dipungkiri ada beberapa
penelitian yang menyinggung mengenai perlindungan anak, yaitu perlindungan
internasional terhadap hak asasi anak khususnya anak terlantar dan anak jalanan,
tetapi tidak ada mengenai perlindungan terhadap anak-anak korban
bencana.Dengan ini penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, baik
secara ilmiah ataupun secara akademik.
E.Tinjauan Kepustakaan
1. Anak
Pengertian tentang anak sangatlah luas. Dalam berbagai kesempatan
pertemuan, formal maupun informal, mulai dari pertemuan-pertemuan resmi di
hotel-hotel atau di kantor-kantor, balai-balai pertemuan, ataupun obrolah-obrolan
santai di warung kopi atau di teras rumah, orang dewasa dapat dengan mudah
mencurahkan pemahamannya tentang anak. Semua pemahaman ini baik dan
hampir semuanya menaruhkan harapan terbaiknya pada anak-anak.Berikut ini
adalah beberapa pemahaman tersebut.
Pemahaman pertama, merupakan pemahaman yang paling sering
diungkapkan, bersifat rohaniah.Anak dimaknai sebagai anugerah atau karunia
Tuhan, titipan ilahi, amanah Tuhan yang harus dijaga, dilindungi, diperhatikan,
dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang.6
Pemahaman kedua, adalah pemahaman tentang anak ketika berhadapan
dengan orang tua sebagai penerus keturunan.Anak adalah penerus keluarga,
melanjutkan garis keturunan dari orang tua.Hingga kapanpun dan dimanapun,
status sebagai anak dari orang tua tidak bisa dihilangkan. Meskipun sudah
6
menjadi nenek dan kakek, status sebagai anak dari ayah dan ibu, tidak akan bisa
dilepaskan.7
Pemahaman ketiga merupakan pemahaman yang paling sering luput dari
perhatian. Yaitu anak sebagai manusia yang mempunyai hak yang sama dengan
orang dewasa lainnya. Sebagai manusia, anak dilahirkan merdeka dan mempunyai
hak asasi.Sama dengan manusia lainnya, anak dikarunia akal budi dan hati
nurani.8
Hasil Simposium Bahasa Indonesia dinyatakan, anak adalah:9
1. Keturunan
2. Manusia yang kecil
3. Binatang yang masih kecil
4. Pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau rumpun tumbuhan besar
5. Orang yang berasal dari, atau dilahirkan di suatu negeri atau daerah
6. Orang yang termasuk suatu golongan pekerjaan, keluarga
7. Bagian yang kecil pada sesuatu benda
8. Yang lebih kecil daripada yang lain
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Hak-hak anak,
“Untuk tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah usia 18
tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan
bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.”
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Pengertian ini membatasi definisi anak berdasarkan tingkat umur.Ini
adalah definisi yang paling umum dan diakui secara internasional.
Pembatasan usia hingga 18 tahun tidak mengikat semua negara. Hal ini
dapat dilihat perbedaan dalam hukum di beberapa negara penetapan batasan umur
seorang anak tidak sama. Konvensi Hak-hak anak memberi ruang bagi tiap negara
untuk membuat aturan khusus tentang pembatasan usia. Itulah sebabnya tiap-tiap
negara mempunyai batasan usia yang berbeda. Seperti di Korea dan Jepang
misalnya, batasan usia anak adalah 20 tahun. Di Inggris, Australia, Srilanka dan
beberapa negara lain batasan usia anak ditetapkan 16 tahun. Kebanyakan negara
mengikuti pembatasan usia anak 18 tahun seperti negara Amerika Serikat,
Belanda, Malaysia, Filipina, Taiwan, Iran, Kamboja, dan lain-lain.10 Pada
umumnya komunitas hak anak internasional menerima bahwa usia 18 tahun
merupakan usia yang sesuai untuk menentukan masa dewasa.11
2. Bencana
Di Indonesia,
pembatasan usia anak diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Secara resmi, berdasarkan UU ini, “Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu
yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan.
Sedangkan bencana alam artinya adalah bencana yang disebabkan oleh alam.
10
Disadur dari buku Sri Widoyati Wiratmo Soekito dalam Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal 73-74.
11
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan
pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan
yang dipicu oleh suatu kejadian.
Menurut United Nation Development Program (UNDP), bencana adalah
suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara
merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas sampai
pada tingkat yang menimbulkan bencana.12
Menurut Asian Disaster Reduction Center (2003),bencana adalah suatu
gangguan serius terhadap masyarakat yang menimbulkan kerugian secara meluas Jika dilihat dari Buku Karakteristik Bencana yang dikeluarkan oleh
BAKORNAS PB, maka yang termasuk dalam bencana alam yaitu banjir, tanah
longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, angin badai, gelombang badai/
pasang, gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api. Jenis dan karakteristik
bencana alam yang terjadi tentunya berbeda antar satu jenis bencana dengan
bencana alam lainnya.Terkadang terdapat beberapa bencana alam yang terjadi
dalam satu kejadian seperti misalanya angin badai/ angin topan/ puting beliung
disertai dengan banjir, atau banjir disertai dengan tanah longsor dan lainnya.
12
dan dapat berdampak serius bagi masyarakat. Berbagai material maupun dampak
dari bencana alam yang muncul kerap kali diluar kendali manusia.13
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Sebagaimana lazimnya penulisan dalam penyusunan dan penulisan
karya tulis ilmiah yang harus berdasarkan fakta-fakta dan data-data obyektif
(benar dan layak dipercaya), demikian halnya dalam menyusun dan
menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai karya tulis ilmiah juga
menggunakan pengumpulan data secara ilmiah (metodologi), guna
memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunannya sesuai dengan
yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah
diuraikan sebelumnya.
Secara umum, menurut Soerjono Soekanto dalam penelitian ilmu
hukum dikenal dua jenis penelitian yaitu:14
a. Penelitian Yuridis Normatif meliputi:
i. Penelitian terhadap asas-asas hukum
ii. Penelitian terhadap sistematika hukum
iii. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum
b. Penelitian Yuridis Sosiologis atau Empiris meliputi:
i. Penelitian terhadap identifikasi hukum
ii. Penelitian terhadap efektivitas hukum
13
“Mengenal Bencana”, sebagaimana dimuat dalam
14
Metode penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan dan ditujukan
pada norma-norma hukum yang berlaku.Dalam penelitian ini, metode yuridis
normatif yang digunakan adalah norma-norma hukum internasional dan hukum
nasional yang tertuang dalam bentuk Konvensi dan Peraturan
Perundang-Undangan.
2. Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Adapun data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah
penelitian berupa konvensi internasional yaitu Konvensi Hak-Hak Anak,
serta perundang-undangan nasional yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun
2004-2009.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan
tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, jurnal,
makalah, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan
masalah penelitian.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan
hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan
lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari
buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, makalah, jurnal serta
artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, termasuk
peraturan perundang-undangan.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai
berikut:
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya
yang relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak
maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah
yang menjadi objek penelitian.
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa
dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.Metode deduktif dilakukan
induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan
dengan topik penelitian ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan
tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G.Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan ini terdiri dari 5 Bab, masing masing bab terdiri dari:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : ANAK DAN HAK-HAKNYA MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Bab ini menguraikan tentang Konvensi Hak-Hak Anak
Sebagai Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak
Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Sebagai
Acuan Perlindungan Anak di Indonesia, Pentingnya
Perlindungan Terhadap Hak Anak, Instrumen Hukum
Internasional Tentang Perlindungan Hak-Hak Anak.
BAB III : TINJAUAN UMUM TERHADAP BENCANA DAN
MANAJEMEN PENANGGULANGANNYA
Bab ini menguraikan tentang Pengertian dan Jenis-Jenis
Manajemen Penanggulangan Bencana (Disaster
Management), Aspek Hukum Internasional Dalam
Penanganan Bencana.
BAB IV : PERLINDUNGAN ANAK-ANAK KORBAN BENCANA
DITINJAU DARI KONVENSI HAK-HAK ANAK DAN
HUKUM NASIONAL
Bab ini menguraikan tentang Perlindungan Anak-Anak
Korban Bencana Menurut Konvensi Hak-Hak Anak,
Perlindungan Anak-Anak Korban Bencana Menurut
Hukum Nasional, Pihak-Pihak yang Bertanggungjawab
Dalam Menjamin Perlindungan Terhadap Anak-Anak-Anak
Korban Bencana, Perlindungan Terhadap Anak-Anak
Korban Bencana Topan Haiyan di Filipina.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang
A.Konvensi Hak-Hak Anak Sebagai Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak
Konvensi Hak-hak Anak (The United Nations Convention on The Rights of
Child) 1989 dalam berbagai hal berbeda diantara perjanjian-perjanjian
internasional dan unik dipandang dari segi hukum internasional secara umum.
Konvensi ini dihasilkan setelah sebuah proses penyusunan panjang yang dimulai
pada tahun 1978. Partisipasi organisasi non-pemerintah (non-governmental
organisations) baik dalam proses penyusunan dan dalam mekanisme pelaporan
juga signifikan. Gambaran lainnya yang luar biasa adalah dimana negara-negara
sangat berhasrat untuk menandatangani dan meratifikasi Konvensi ini.Di hari
pertama Konvensi Hak-hak Anak dibuka untuk penandatanganan (26 Januari
1990) tidak kurang dari 61 negara peserta menandatangani, yang merupakan rekor
bagi sebuah perjanjian internasional.Konvensi Hak-hak Anak mulai berlaku
(didalam hukum internasional) pada 2 September 1990.15
Konvensi Hak Anak merupakan perjanjian internasional yang bersifat
terbuka, artinya Konvensi Hak Anak terbuka untuk diratifikasi oleh negara-negara
lain yang belum menjadi peserta (state parties).Berdasarkan jumlah negara yang
meratifikasinya, maka Konvensi Hak Anak merupakan perjanjian internasional
15
yang multilateral.Pada umumnya perjanjian internasional yang bersifat terbuka
adalah juga perjanjian internasional yang multilateral.Selain itu sebagaimana
lazimnya perjanjian terbuka untuk seluruh negara anggota PBB merupakan
perjanjian internasional yang membentuk hukum (law making treaties) kepada
seluruh anggota yang meratifikasinya.16
Adanya hak-hak anak yang diakui secara internasional merupakan
perjuangan yang cukup panjang. Dimulai dengan usaha perumusan draft hak-hak
anak yang dilakukan oleh Eglantyne Jebb, seorang aktivis perempuan yang
prihatin pada nasib perempuan dan anak-anak yang mengalami situasi buruk
akibat perang dan bencana, sekaligus pendiri Save the Children Fund. Eglantyne
Jebb mengembangkan draft pertama mengenai 7 (tujuh) gagasan mengenai hak
anak yang kemudian diadopsi oleh Save the Children pada tanggal 23 Februari
1923, yaitu:17
1. Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan mengenai ras,
kebangsaan dan kepercayaan;
2. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga;
3. Bagi anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan
secara normal, baik materil, moral, dan spiritual;
4. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat
mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar
harus diurus/diberi perumahan;
16
Syahmin A.K., Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, (Bandung: Armico, 1985), hal 28.
17
5. Anaklah yang pertama-tama harus mendapatkan bantuan/pertolongan pada saat
terjadi kesengsaraan;
6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program
kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapatkan pelatihan agar pada saat
diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus
dilindungi dari segala bentuk eksploitasi;
7. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya
dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat.
Kemudian pada tanggal 26 November 1924, pernyataan tersebut diadopsi
dalam Sidang Umum Liga Bangsa-Bangsa sebagai the World Child Welfare
Charter. Pada tanggal 20 November 1959, Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengadopsi kembali dengan mengembangkan isinya menjadi 10
(sepuluh) butir dengan nama Deklarasi Hak-Hak Anak, dimana tanggal tersebut
kemudian diadopsi juga sebagai hari anak internasional.
Pada persiapan hari anak internasional pada tahun 1979, Pemerintah
Polandia mengusulkan untuk merumuskan Konvensi Hak-hak Anak.Usulan
tersebut diterima yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengadakan diskusi
tentang rancangan Konvensi.Perancangan Konvensi berlangsung dalam suatu
kelompok kerja yang didirikan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB.Wakil-wakil
pemerintah membentuk inti kelompok perancang ini. Kemudian perwakilan
badan-badan PBB dan badan-badan khususnya, termasuk Kantor Komisi Tinggi
PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Organisasi Buruh Internasional (ILO), Dana
mengambil bagian dalam perbincangan mengenai rancangan Konvensi.
Rancangan pertama yang disampaikan oleh Pemerintah Polandia kemudian
diubah dan diperluas secara ekstensif melalui berbagai diskusi.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi
Hak-hak Anak melalui Resolusi No. 44/25 tanggal 20 November 1989 dan
terbuka untuk penandatanganan Konvensi Hak-hak Anak pada tanggal 20
November 1989 (pada peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-Hak Anak). Konvensi
ini berlaku pada tanggal 2 September 1990 setelah jumlah negara yang
meratifikasinya telah mencapai syarat. Sampai dengan Desember 2008, telah ada
193 negara yang meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, meliputi keseluruhan
negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, kecuali Amerika Serikat dan
Somalia. Indonesia sebagai negara anggota PBB telah meratifikasi Konvensi Hak
Anak pada tahun 1990.Indonesia termasuk negara yang pertama meratifikasi
Konvensi Hak Anak yang dilakukan dengan atau berdasarkan Keputusan Presiden
(Keppres) No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Peratifikasian Konvensi Hak
Anak.Oleh karena itu sejak tahun 1990, Indonesia terikat secara hukum untuk
melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam Konvensi Hak Anak.18
Konvensi Hak-hak Anak merupakan perjanjian internasional yang
memberikan pengakuan serta menjamin penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak anak.Dalam Konvensi ini diatur hak-hak sipil, politik,
ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak.Konvensi Hak-hak Anak merupakan
perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai negara yang
18
mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak anak. Konvensi Hak-hak
Anak menegaskan berlakunya hak asasi manusia bagi semua tingkatan usia,
meningkatkan standar hak asasi manusia agar lebih sesuai dengan anak-anak, dan
mengatur masalah-masalah yang khusus berhubungan dengan anak-anak.
Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan “anak” secara umum sebagai
manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikan juga
pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam
perundangan nasional.19
1. Langkah-langkah implementasi umum.
Ada 2 (dua) protokol tambahan yang juga diadopsi pada tanggal 25 Mei
2000, yaitu protokol mengenai keterlibatan anak-anak dalam konflik senjata yang
membatasi keterlibatan anak-anak dalam konflik-konflik militer, serta protokol
mengenai perdagangan anak-anak, prostitusi anak-anak, dan pornografi anak-anak
yang melarang perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak-anak. Kedua protokol
tambahan ini diratikasi oleh lebih dari 120 negara.
Konvensi Hak Anak berisi 54 Pasal yang kemudian dikelompokkan ke
dalam 8 (delapan) cluster yaitu:
2. Definisi anak.
3. Prinsip-prinsip umum.
4. Hak-hak sipil dan kemerdekaan.
5. Lingkungan keluarga dan pengasuhan pengganti.
6. Kesehatan dan kesejahteraan dasar.
19
7. Pendidikan, waktu luang, dan kegiatan budaya.
8. Langkah-langkah perlindungan khusus.
Cluster 1-3 tidak secara eksplisit menyebutkan hak-hak substantif anak
namun berkaitan erat dengan substansi hak-hak anak. Sedangkan cluster 4-8
mengandung ketentuan mengenai substansi hak-hak anak.
Ada beberapa klausul yang terdapat dalam Konvensi Hak-hak Anak yaitu
sebagai berikut:
1. Klausul mulai berlakunya Konvensi.
Dalam Pasal 49 Konvensi Hak-hak Anak dimuat klausul mulai berlakunya
Konvensi, yaitu berdasarkan penyimpanan piagam pengesahan. Disebutkan
dalam Pasal 49 ayat (1) bahwa Konvensi Hak-hak Anak akan mulai
mempunyai kekuatan pada hari ke-30 sejak tanggal penyimpanan piagam
pengesahan atau penyetujuan ke-20. Selanjutnya dalam Pasal 49 ayat (2)
disebutkan bahwa karena tiap negara mengesahkan atau menyetujui Konvensi
setelah penyimpanan alat pengesahan atau penyetujuan ke-20, Konvensi akan
mulai mempunyai kekuatan pada hari ke-30 setelah penyimpanan piagam
pengesahan atau penyetujuan oleh negara tersebut.
2. Klausul aksesi
Bagi perjanjian-perjanjian yang bersifat terbuka maka negara yang tidak ikut
membuat atau menandatangani suatu perjanjian dapat menjadi pihak pada
ke negara penyimpan.20
3. Klausul revisi.
Klausul aksesi ini nampak dalam Pasal 48 Konvensi
Hak-hak Anak.
Klausul revisi ini nampak dalam Pasal 50 Konvensi Hak-hak Anak.Disebutkan
bahwa negara pihak boleh mengajukan revisi dan merangkainya bersama
dengan sekjen PBB.
4. Klausul ratifikasi.
Klausul ratifikasi nampak dalam Pasal 47 Konvensi Hak-hak Anak yang
menyebutkan bahwa Konvensi ini perlu diratifikasi dan instrumen-instrumen
ratifikasi akan disimpan oleh Sekjen PBB.
Ada 4 (empat) prinsip-prinsip umum hukum internasional (General
Principle of International Law) yang terdapat dalam Konvensi Hak-hak Anak,
sebagai berikut:
1. Prinsip non-diskriminasi (prinsip universalitas HAM)
Alinea pertama dari Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental negara
peserta (fundamental obligations of state parties) yang mengikatkan diri
dengan Konvensi Hak Anak, untuk menghormati dan menjamin (to respect and
ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam
semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk
apapun.21
20
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2005), hal 132.
Perlu digarisbawahi kemungkinan terjadinya diskriminasi anak yang
21
membutuhkan perlindungan khusus, anak tidak beruntung atau kelompok
anak-anak yang beresiko, misalnya anak-anak cacat (disabled children), anak pengungsi
(refugee children).Pasal-pasal tertentu KHA menyediakan bentuk-bentuk
perlindungan khusus bagi anak yang cenderung mengalami diskriminasi.Sebab,
diskriminasi adalah akar berbagai bentuk eksploitasi terhadap anak.22
2. Prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (indivisibilitas
HAM)
Prinsip ini menjelaskan tentang jaminan terhadap kelangsungan hidup anak.
Segala potensi yang akan membahayakan anak harus diminimalisir dari semua
lingkungan kehidupan anak, misalnya seperti di lingkungan sekolah dan
rumah. Negara peserta harus menjamin sampai pada batas maksimal
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat (2) Konvensi
Hak-hak Anak).
3. Prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child)
Prinsip ini pertama kali muncul pada tingkatan internasional di dalam prinsip 2
dan 7 Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959.23
Prinsip kepentingan terbaik bagi
anak (the best interest of the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana
prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration)
dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada
sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan
legislatif. Pasal 3 ayat 1 KHA meminta negara dan pemerintah, serta
22
Ibid., hal 3.
23
badan publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua
tindakan mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of
the child menjadi pertimbangan utama, memberikan prioritas yang lebih baik
bagi anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child
friendly-society).24
Kepentingan terbaik untuk anak menjadi prinsip tatkala sejumlah kepentingan
lainnya melingkupi kepentingan anak.Sehingga, dalam hal ini kepentingan
terbaik bagi anak harus diutamakan dari kepentingan lainnya.Kepentingan
terbaik bagi anak bukan dipahami sebagai memberikan kebebasan anak
menentukan pandangan dan pendapatnya sendiri secara liberal.Peran orang
dewasa justru untuk menghindarkan anak memilih suatu keadaan yang justru
tidak adil dan tidak eksploitatif, walaupun hal itu tidak dirasakan lagi oleh
anak.25
Guna menjalankan prinsip the best interest of the child ini, dalam rumusan
Pasal 3 ayat 2 KHA ditegaskan bahwa negara peserta menjamin perlindungan
anak dan memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah yurisdiksinya.
Negara mengambil peran untuk memungkinkan orangtua bertanggungjawab
terhadap anaknya, demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya.26
4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child)
Prinsip ini merupakan wujud dari hak partisipasi anak yang diserap dari pasal
12 KHA.Mengacu kepada pasal 12 ayat 1 KHA, diakui bahwa anak dapat dan
mampu membentuk atau mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya
24
Muhammad Joni, Op. Cit., hal 4.
25
Muhammad Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Op. Cit., hal 105.
26
sendiri yang merupakan hak berekspresi secara bebas (capable of forming his
or her own views the rights to express those views freely). Jaminan
perlindungan atas hak mengemukakan pendapat terhadap semua hal tersebut,
mesti dipertimbangkan sesuai usia dan kematangan anak.27
Sejalan dengan itu, negara peserta wajib menjamin bahwa anak diberikan
kesempatan untuk menyatakan pendapatnya pada setiap proses peradilan
ataupun administrasi yang mempengaruhi hak anak, baik secara langsung
ataupun tidak langsung.28
Konvensi Hak Anak terdiri atas 54 (lima puluh empat) pasal yang
beradasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme
implementasi hak anak oleh negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak
Anak.29 Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak
tersebut, dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu:30
1. Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights)
Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk
melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk
memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.
(the rights to the highest standard of health and medical care attainable).
Mengenai Hak terhadap Kelangsungan Hidup di dalam Konvensi Hak Anak
terdapat pada pasal 6 dan pasal 24 Konvensi Hak Anak.Dalam pasal 6
Konvensi Hak Anak tercantum ketentuan yang mewajibkan kepada setiap
27
Ibid., hal 5.
28
Ibid.
29
Muhammad Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Op. Cit., hal 34.
30
negara peserta untuk menjamin kelangsungan hak hidup (rights to life),
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (the survival and development of
the child).
Psal 24 KHA mengatur mengenai kewajiban negara-negara peserta untuk
menjamin hak atas taraf kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau dan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan
kesehatan primer. Dalam pasal 24 KHA dikemukakan beberapa langkah
konkret yang harus dilakukan negara-negara peserta untuk mengupayakan
implementasi hak terhadap hidup anak, yaitu:
1. Untuk melaksanakan menurunkan angka kematian bayi dan anak (vide pasal
24 ayat 2 huruf a);
2. Menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan khususnya pelayanan
kesehatan primer (vide pasal 24 ayat 2 huruf b);
3. Memberantas penyakit dan kekekurangan gizi termasuk dalam rangka
pelayanan kesehatan primer (vide pasal 24 ayat 2 huruf c);
4. Penyediaan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi
ibu-ibu (vide pasal 24 ayat 2 huruf d);
5. Memperoleh informasi serta akses pada pendidikan dan mendapat dukungan
pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi (vide pasal 24 ayat 2
huruf e);
6. Mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang
7. Mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang
berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan (vide pasal 24 ayat 3) dan
pengembangan kerja sama internasional (vide pasal 24 ayat 4).
Mengenai Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survivalrights) dalam Konvensi
Hak Anak berkaitan dengan beberapa pasal yang relevan dengan Hak terhadap
Kelangsungan Hidup (survival rights) itu, yaitu Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 30, Pasal 32, Pasal
33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 38.
2. Hak terhadap Perlindungan (protection rights)
Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak
perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak
yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.
Hak terhadap Perlindungan (protection rights) dalam Konvensi Hak Anak,
dikemukakan atas 3 (tiga) kategori, yaitu:
a. Pasal-Pasal mengenai Larangan Diskriminasi Anak
Untuk menjelaskan hak terhadap perlindungan atas diskriminasi anak
terdapat dalam pasal-pasal berikut:
(1) Pasal 2 tentang prinsip non diskriminasi terhadap hak-hak anak;
(2) Pasal 7 tentang hak anak untuk mendapatkan nama dan
kewarganegaraan;
(3) Pasal 23 tentang hak-hak anak penyandang cacat memperoleh
(4) Pasal 30 tentang hak anak-anak dari kelompok masyarakat minoritas
dan penduduk asli.
b. Pasal-pasal mengenai Larangan Eksploitasi Anak
Untuk menjelaskan hak-hak anak mengenai perlindungan atas eksploitasi
anak dapat dirujuk dalam pasal-pasal berikut ini:
(1) Pasal 10 tentang hak anak untuk berkumpul kembali bersama orang
tuanya dalam kesatuan keluarga, apakah dengan meninggalkan atau
memasuki negara tertentu untuk maksud tersebut.
(2) Pasal 11 tentang kewajiban negara untuk mencegah dan mengatasi
penculikan atau penguasaan anak di luar negeri.
(3) Pasal 16 tentang hak anak untuk memperoleh perlindungan dari
gangguan terhadap kehidupan pribadi.
(4) Pasal 19 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala
bentuk salah perlakuan yang dilakukan oleh orang tua atau orang lain
yang bertanggung jawab atas pengasuhan mereka.
(5) Pasal 20 tentang kewajiban negara untuk memberikan perlindungan
khusus bagi anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga mereka.
(6) Pasal 21 tentang adopsi di mana pada negara yang mengakui adopsi
hanya dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak.
(7) Pasal 25 tentang peninjauan secara periodik terhadap anak-anak yang
ditempatkan dalam pengasuhan oleh negara karena alasan perawatan,
(8) Pasal 32 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari
keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan
atau perkembangan mereka.
(9) Pasal 33 tentang hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat
bius dan narkotika serta keterlibatan dalam produksi dan distribusi.
(10)Pasal 34 tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan
penganiayaan seksual termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam
pornografi.
(11)Pasal 35 tentang kewajiban negara untuk menjajaki segala upaya guna
mencegah penjualan, penyeludupan dan penculikan anak.
(12)Pasal 36 tentang hak anak atas perlindungan dari semua bentuk
eksploitasi yang belum tercakup dalam pasal 32, pasal 33, pasal 34 dan
pasal 35.
(13)Pasal 37 tentang larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau
hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan
penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak.
(14)Pasal 39 tentang kewajiban negara untuk menjamin agar anak yang
menjadi korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantaran, salah
perlakuan atau eksploitasi, memperoleh perawatan yang layak demi
penyembuhan dan re-integrasi sosial mereka.
(15)Pasal 40 tentang hak bagi anak-anak yang didakwa ataupun yang
diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak
hukum atau bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan pengajuan
pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan penempatan institusional
sedapat mungkin dihindari.
c. Pasal-pasal mengenai Krisis dan Keadaan Darurat Anak
Untuk menjelaskan hak-hak anak atas perlindungan dari keadaan krisis
(crisis) dan keadaan darurat (emergency) dapat dirujuk dalam pasal-pasal
berikut:
(1) Pasal 10 tentang mengembalikan anak dalam kesatuan keluarga.
(2) Pasal 22 tentang perlindungan terhadap anak-anak dalam pengungsian.
(3) Pasal 25 tentang peninjauan secara periodik mengenai penempatan
anak.
(4) Pasal 38 tentang konflik bersenjata atau peperangan yang menimpa
anak.
(5) Pasal 39 tentang perawatan rehabilitasi.
3. Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights)
Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi segala bentuk
pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup
yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial
anak.Hak anak atas pendidikan (the education rights), diatur dalam pasal 28
dan pasal 29 Konvensi Hak Anak.
Untuk menjelaskan Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights) dalam
Konvensi Hak Anak mengacu kepada beberapa pasal, yaitu pasal 17 (hak
pendidikan), pasal 31 (hak untuk bermain dan rekreasi), pasal 14 (hak
kebebasan berpikir, berhatinurani dan beragama), pasal 5, 6, 13, 14 dan 15 (hak
untuk pengembangan kepribadian—sosial dan psikologis), pasal 6 dan 7 (hak
atas identitas, nama dan kebangsaan), pasal 24 (hak atas kesehatan dan
pengembangan fisik), pasal 12 dan pasal 13 (hak untuk didengar) dan pasal 9,
10, dan 11 (hak untuk keluarga).
Secara demikian, berdasarkan bentuk-bentuknya, dapatlah dikualifikasi
beberapa hak atas untuk tumbuh kembang (the right to development), yang
terdapat dalam Konvensi Hak Anak, yaitu:
1. Hak untuk memperoleh informasi (the rights to information);
2. Hak untuk memperoleh pendidikan (the rights to education);
3. Hak untuk bermain dan rekreasi (the rights to play and recreation);
4. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to
participation in cultural activities);
5. Hak untuk kebebasan berpikir dan beragama (the rights to thought and
religion);
6. Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights to personality
development);
7. Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);
8. Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik (the rights to
health and physical development);
9. Hak untuk didengar (pendapatnya) (the rights to be heard);
4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)
Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk
menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of
the child to express her/his views in all matters affecting that child).Mengenai
hak untuk berpartisipasi (participation rights) dalam Konvensi Hak Anak
diantaranya diatur dalam pasal 12, pasal 13 dan pasal 15.
Dalam pasal 12 Konvensi Hak Anak diatur bahwa negara peserta menjamin
hak anak untuk menyatakan pendapat dan untuk memperoleh pertimbangan
atas pendapatnya itu, dalam segala hal atau prosedur yang menyangkut diri
sang anak.
Sementara itu dalam hal kebebasan berekspresi, Konvensi Hak Anak menjamin
hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi, serta untuk
mengekspresikan pandangan-pandangannya, kecuali jika hal ini akan
melanggar hak-hak orang lain. Hak yang menjamin kebebasan menyatakan
pendapat ini diatur dalam pasal 13 Konvensi Hak Anak.
Dalam Konvensi Hak Anak juga diatur mengenai hak anak untuk berserikat.
Hak anak untuk menjalin hubungan dengan orang lain serta untuk bergabung
dalam atau membentuk perhimpunan, kecuali jika hal tersebut melanggar hak
orang lain. Hak atas kebebasan berserikat ini diatur dalam pasal 15 Konvensi
Hak Anak.
Dalam hal akses terhadap informasi, Konvensi Hak Anak menjamin agar anak
memperoleh akses terhadap informasi, dan menjamin untuk melindungi
informasi diatur dalam pasal 17 Konvensi Hak Anak, yang menjamin akses
terhadap informasi dan bahan-bahan dari berbagai sumber nasional dan
internasional, terutama yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial, spiritual dan moral dan kesehatan fisik serta mentalnya. Oleh karena itu,
peran dari media massa sangat penting dalam penyebaran informasi yang
konsisten bagi implementasi hak-hak anak.
Selain hak-hak atas partisipasi sebagaimana disebut di atas, Konvensi Hak
Anak menetapkan kewajiban negara untuk menyebarkan informasi mengenai
Konvensi Hak Anak ini kepada anak-anak dan orang dewasa serta masyarakat
luas.Dengan demikian, hak-hak anak sebagaimana dimaksud dalam Konvensi
Hak Anak haruslah disosialisasikan kepada anak-anak.Hal ini diatur dalam
pasal 42 Konvensi Hak Anak.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disebutkan beberapa hak anak atas
partisipasi di dalam Konvensi Hak Anak, yang terdiri atas:
1. Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas
pendapatnya;
2. Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk
berekspresi;
3. Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung;
4. Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung dari
informasi yang tidak sehat;
B.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Sebagai Acuan Perlindungan Hak Anak di Indonesia
Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak melalui
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Dengan diratifikasinya Konvensi
tersebut maka secara hukum pemerintah Indonesia berkedudukan sebagai
pemangku kewajiban yang berkewajiban untuk memenuhi, melindungi dan
menghormati hak-hak anak. Sedangkan pemangku hak adalah setiap anak di
Indonesia.Untuk menguatkan ratifikasi tersebut dalam upaya perlindungan anak di
Indonesia, maka disahkanlah Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang selanjutnya menjadi panduan dan payung hukum dalam
melakukan setiap kegiatan perlindungan anak.
Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak karena negara Indonesia menjamin kesejahteraan
tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak anak yang
merupakan hak asasi manusia seperti yang termuat dalam Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-hak Anak.
Penjelasan UU No 23 Tahun 2002 menyebutkan meski Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang
hak-hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak
masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai
Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.Rangkaian
kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan
dan perkembangan anak, baik fisik, mental, maupun spiritual, maupun
sosial.Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak
yang diharapkan nantinya sebagai penerus bangsa.31
UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 merupakan upaya memberikan
hak anak secara penuh dalam kehidupan sehari-hari. Upaya pengimplementasian
UU Perlindungan Anak tersebut diwujudkan dalam penetapan Program Nasional
Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 yang isinya merupakan target-target
pencapaian hak-hak anak berdasarkan pada upaya pencapaian MDGs (Millenium
Development Goals) 2015 dan harus diwujudkan pula oleh Indonesia hingga
tahun 2015, bahkan hingga dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) sebagai lembaga negara yang bertugas khusus memantau keefektifan
upaya-upaya penyelenggaraan hak-hak anak di Indonesia.32
Dari segi isinya, UU No. 23/2002 terdiri atas norma hukum (legal norm)
tentang:33
a. Hak-hak anak;
b. Kewajiban dan tanggungjawab negara;
c. Bentuk-bentuk perlindungan yang dilakukan terhadap anak;
31
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), hal 24-25.
32
Abdur Rozaki dkk, Mengembangkan Gampong Peduli Hak Anak, (Yogyakarta: IRE Yogyakarta, 2009), hal 94.
33
d. Peran serta masyarakat;
e. Lembaga independen perlindungan anak, serta
f. Ketentuan sanksi hukum pidana dalam hal terjadi pelanggaran UU No. 23
Tahun 2002.
Prinsip perlindungan hak-hak anak tertuang pada pasal 2 UU No 23 Tahun
2002. Ada empat prinsip-prinsip dasar hak-hak anak, yaitu:
1. Tidak membeda-bedakan (Non-diskriminasi)
Artinya semua hak-hak anak harus dipenuhi kepada setiap anak tanpa
pembedaan apapun.Tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, ras, warna
kulit, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal
usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak,
kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau
walinya yang sah.
2. Prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak
Pengertian asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah, bahwa dalam suatu
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat,
badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak
harus menjadi pertimbangan utama.34
3. Prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
Pengertian asas untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah
bahwa hak-hak asasi yang mendasar bagi anak wajib dilindungi oleh negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.Artinya, pihak-pihak tersebut,
34
wajib mewujudkan dan tidak meniadakan hak-hak yang dimaksud (hak hidup,
hak kelangsungan hidup dan hak berkembang).35
4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak
Pengertian asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah adanya
penghormatan atas hak untuk mengambil keputusan, terutama terhadap hal
yang berkaitan dengan kehidupannya.36
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 diatur hak dan kewajiban anak (Pasal 4 s/d
19). Penegasan hak anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 ini merupakan legalisasi
hak-hak anak yang diserap dari Konvensi Hak Anak dan norma hukum nasional.
Dengan demikian, pasal 4 s/d 19 UU No. 23/2002 menciptakan norma hukum
(legal norm) tentang apa yang menjadi hak-hak anak.37
Menurut UU No. 23 Tahun 2002, hak-hak anak meliputi:38
1. Hak hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi;
2. Hak atas nama dan identitas diri dan status kewarganegaraan;
3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi;
4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh atau diasuh oleh
pihak lain apabila karena sesuatu hal orang tua tidak mewujudkannya;
5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan jasmani dan rohani, jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial;
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Muhammad Joni, Loc. Cit.
38
6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dan bagi yang cacat
memperoleh pendidikan luar biasa;
7. Hak untuk didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi dan juga
memberi informasi;
8. Hak berkreasi, istirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan yang
sebaya dan yang cacat berhak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan
memelihara taraf kesejahteraan sosial;
9. Selama dalam pengasuhan, anak berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan: (a) diskriminasi; (b) eksploitasi, baik ekonomi atau seksual; (c)
penelantaran; (d) kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; (e) ketidakadilan;
dan (f) perlakuan salah lainnya terhadap pelaku hal-hal yang tersebut dengan
hukuman;
10. Hak untuk diasuh orang tuanya sendiri, kecuali apabila terdapat aturan hukum
yang meniadakannya;
11. Hak untuk memperoleh perlindungan dari: (a) penyalahgunaan dalam
kegiatan politik; (b) pelibatan dalam sengketa bersenjata; (c) pelibatan dalam
kekerasan sosial; (d) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan; dan (e) pelibatan dalam peperangan;
12. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak memperoleh kebebasan
sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau hukuman penjara hanya
13. Anak yang dirampas kebebasannya, berhak: (a) mendapat perlakuan yang
manusiawi dan penempatannya dipisah dari orang tua; (b) memperoleh
bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dari setiap tahapan hukum;
(c) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang
obyektif dan tidak memihak;
14. Anak yang menjadi korban, berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan
lainnya.
Adapun kewajiban anak tertuang di dalam ketentuan pasal 19 UU
Perlindungan Anak, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menghormati orang tua, wali dan guru;
2. Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman;
3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan partisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera (Pasal 3 UU N