• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi, sifat fisik, dan sifat kimia daging domba yang diberi ransum mengandung limbah udang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi, sifat fisik, dan sifat kimia daging domba yang diberi ransum mengandung limbah udang"

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)

DOMBA YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG

LIMBAH UDANG

MUHAMMAD SAYUTI MAS’UD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Produksi, Sifat Fisik, dan Sifat Kimia Daging Domba yang Diberi Ransum Mengandung Limbah Udang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

(3)

MUHAMMAD SAYUTI MAS’UD. Meat Production and Characteristics from Local Sheep Fattened on Pelleted Ration Containing Shrimp Waste. Under direction of AMINUDDIN PARAKKASI, R. EDDIE GURNADI, and RUDY PRIYANTO.

An experiment had been done with 16 growing male local sheep. The experiment divides in to three different steps ie: 1) To find out the optimum length of autoclaving time needed (121ºC, 1 atm) in processing shrimp waste, in a in vitro study using sheep rumen fluid. The observation using a randomized block design. Four time autoclaving were compared (0, 3, 6, and 9 hours) their effect on digestibility dry matter, organic matter, protein, chitin, VFA production, and ammonia concentration; 2) The objective of the 2 observation is to find out the effect of level of processed shrimp waste (0, 10, 20, and 30%) on feed intake, digestibilities, body weight changes, and feed efficiency. The observation using 4 local sheep (aproximately 8 mo old, with average body weight 15,9 kg) each level, for 12 weeks; 3) Continuation of observation no. 2, after all animals were slaughtered. The effect of level of processed shrimp waste on carcass composition, meat distribution, physical and chemical characteristic, from commercial cuts. The results of studies ie: 1) Autoclaving of shrimp waste (121ºC, 1 atm) were significantly (P<0.05) affecting dry matter digestibility (fermentative, enzimatis, and for both), as well as on organic matter, protein, total chitin, VFA, and N-NH3production, while on digestibility of total organic matter, and chitin, were not (P>0.05). In scoring system and efficiency point of view, it was found that best time of autoclaving was 6 hours; 2) The effect of shrimp waste concentration level were not affecting feed intake (P>0.05), however on the digestibilities of nutrients, was (P<0.01) except on digestibility of crude fiber and NDF. Also did no effect ruminal pH, urine allantoin and N retention (P>0.05), however significantly (P<0.01) affect on VFA production and N-NH3 concentration, slaughter weight, live body weight gain, and feed convertion; 3) The effect of level of processed shrimp waste in local sheep ration did not affected (P>0.05) percent of carcass weight, loin eye area, distribution of commercial meat cuts, except for breast, and physical characteristic of meat (pH, tenderness, cooking loss, and water holding capacity. However, it was significantly (P<0.01) affect the empty body weight, carcass weight, percentage of meat, bone, and fat on weight, and triglyceride concentration, total cholesterol, and iodium number of meat. From several results of the experiment as mentioned above, it can be concluded that the best autoclaving time (121ºC, 1 atm) for shrimp waste was 6 hours. Processed shrimp waste can reduced carcass fat concentration, triglyceride and cholesterol level of meat. The best level were 20% in ration.

(4)

MUHAMMAD SAYUTI MAS’UD. Produksi, Sifat Fisik, dan Sifat Kimia Daging Domba yang Diberi Ransum Mengandung Limbah Udang. Dibimbing oleh AMINUDDIN PARAKKASI, R. EDDIE GURNADI, dan RUDY PRIYANTO.

Domba adalah salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang prospektif sebagai penghasil daging dan berperan penting dalam penyediaan protein hewani. Namun disisi lain, daging domba memiliki kandungan lemak dan kolesterol yang tinggi. Jika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih dapat berdampak kurang baik terhadap kesehatan sebab akan memicu timbulnya berbagai penyakit kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi, jantung koroner, dan atheroskelerosis (Azwar 2004; Sudana 2004). Guna menanggulangi hal tersebut, diperlukan ransum sumber serat karena bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol (Horigome et al. 1992; Sudana 2004). Salah satu limbah yang potensial digunakan sebagai sumber serat adalah limbah udang karena mengandung kitin (chitin) berupa senyawa polisakarida struktural mirip selulosa sebesar 30% dari bahan keringnya (Purwantiningsih 1992) yang mengikat nitrogen dalam bentuk N-Acetylated-glucosamin-polysacharida sebanyak 6.6 sampai dengan 6.7% (Stelmoch et al. 1985). Disamping itu, juga mengandung protein kasar sebesar 36.75% (Mirzah 2006), sehingga dapat digunakan sebagai sumber protein.

Pada ternak ruminansia, protein limbah udang didegradasi oleh mikroba rumen. Tingkat degradasinya (in vitro) mencapai 57.94% (Batubara 2000), sehingga manfaat limbah udang menjadi kurang maksimal. Dengan demikian, bila limbah udang digunakan sebagai sumber protein dalam ransum ruminansia, perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu guna memproteksi proteinnya. Hal ini dapat meningkatkan pasokan protein by pass di pencernaan pascarumen. Kitin sebagai serat di pencernaan pascarumen berguna untuk mengikat asam lemak dan empedu menjadi bentuk senyawa yang tidak dapat di absorbsi dan diekskresikan bersama feses sehingga menurunkan kolesterol dalam tubuh ternak. Pada akhirnya, domba dapat memproduksi daging yang tinggi dengan kadar kolesterol yang rendah sehingga aman bagi konsumen. Salah satu jenis pengolahan yang sering digunakan adalah pengolahan secara fisik melalui pemanasan dengan tekanan uap panas (Prawirokusumo 1994; Mirzah 1997).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dilakukan penelitian yang berjudul: produksi, sifat fisik, dan sifat kimia daging domba yang diberi ransum mengandung limbah udang. Tujuan Penelitian ini, untuk: mengetahui lama pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1 atm) menggunakan autoklaf yang terbaik guna meningkatkan pasokan protein by pass dan kecernaan limbah udang dalam pencernaan pascarumen; mengetahui efek ransum yang mengandung limbah udang terhadap performa pertumbuhan, komposisi karkas, distribusi daging potongan komersial karkas, sifat fisik dan sifat kimia daging pada domba; serta mengetahui taraf terbaik penggunaan limbah udang dalam ransum domba.

(5)

dilakukan secara in vitro guna mengetahui kecernaan dan fermentabilitas limbah udang dalam cairan rumen domba. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan adalah empat waktu pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf pada limbah udang yaitu 0, 3, 6, dan 9 jam. Ulangan adalah tiga kelompok pengambilan cairan rumen. Peubah yang diamati adalah kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein, kecernaan kitin, produksi VFA, dan konsentrasi N-NH3.

Penelitian tahap kedua dilakukan untuk mengetahui efek dan taraf limbah udang dalam ransum terhadap performa pertumbuhan domba. Pengujian dilakukan secara in vivo menggunakan domba lokal jantan berumur  8 bulan dengan rataan bobot badan 15.19 kg sebanyak 16 ekor. Pemeliharaan dilakukan selama 12 minggu dan ransum diberikan secara ad libitum. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Perlakuan adalah taraf hidrolisat limbah udang (hasil terbaik penelitian tahap pertama) dalam ransum yaitu 0% (kontrol), 10%, 20%, dan 30%, masing-masing empat ekor domba sebagai ulangan. Peubah yang diamati adalah konsumsi dan kecernaan nutrien ransum (bahan kering, bahan organik, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, acid detergent fiber(ADF), neutral detergent fiber(NDF), energi); produk fermentasi rumen (pH, VFA, dan N-NH3) dan alantoin urin; retensi nitrogen; bobot awal, bobot potong; pertambahan bobot hidup; dan konversi ransum.

Penelitian tahap ketiga adalah lanjutan penelitian tahap kedua, dilakukan untuk mengetahui efek dan taraf limbah udang dalam ransum terhadap komposisi karkas, distribusi daging potongan komersial karkas, sifat fisik dan sifat kimia daging pada domba lokal jantan. Pengujian dilakukan dengan menyembelih domba di akhir pemeliharaan pada penelitian tahap kedua. Peubah yang diamati adalah bobot tubuh kosong; bobot dan persentase karkas; luas urat daging mata rusuk; bobot dan persentase komposisi karkas (daging, tulang, dan lemak); bobot daging, tulang, dan lemak potongan komersial karkas (leg, loin, rack, breast, shoulder, foreshank, dan flank); sifat fisik daging (pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air oleh protein daging); dan sifat kimia daging (kadar trigliserida, kadar kolesterol, dan bilangan iodium).

Seluruh data dari penelitian tahap pertama, kedua, dan ketiga dianalisis menggunakan sidik ragam (Analysis of Varian). Uji lanjut menggunakan uji jarak berganda Duncan.

Hasil yang diperoleh pada penelitian tahap pertama yaitu perlakuan waktu pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf pada limbah udang berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kecernaan bahan kering fermentatif, enzimatik, dan total; kecernaan bahan organik fermentatif dan enzimatik; kecernaan protein fermentatif, enzimatik, dan total; kecernaan kitin total; produksi VFA; dan konsentrasi N-NH3. Sedangkan kecernaan bahan organik total serta kecernaan kitin fermentatif dan enzimatik tidak berpengaruh nyata (P>0.05). Berdasarkan evaluasi yang dilakukan dengan menggunakan sistem skor dan pertimbangan efisiensi didapatkan bahwa waktu pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf yang terbaik pada limbah udang adalah 6 jam.

(6)

kecernaan nutrien ransum (bahan kering, bahan organik, protein kasar, lemak kasar, ADF, dan energi) kecuali serat kasar dan NDF. Juga tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap pH rumen, alantoin urin, dan retensi nitrogen, tetapi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap produksi VFA rumen, konsentrasi N-NH3rumen, bobot potong, pertambahan bobot hidup, dan konversi ransum.

Hasil yang diperoleh pada penelitian tahap ketiga yaitu perlakuan taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap persentase karkas; luas urat daging mata rusuk; distribusi daging potongan komersial karkas kecuali potongan leg; distribusi tulang dan lemak potongan komersial karkas kecuali breast; dan sifat fisik daging (pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air oleh protein daging). Namun, berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap bobot tubuh kosong; bobot karkas; bobot daging, tulang, dan lemak; kadar trigliserida, kolesterol total, dan bilangan iodium daging.

Hasil dari penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pengolahan limbah udang dengan cara pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1 atm) menggunakan autoklaf sebaiknya dilakukan selama 6 jam. Penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum domba lokal jantan mampu menurunkan bobot dan persentase lemak karkas, kadar trigliserida dan kolesterol daging. Taraf terbaik penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum domba yaitu 20%, karena mampu mempertahankan pertambahan bobot hidup, bobot dan persentase karkas, bobot dan persentase daging, bobot daging pada potongan leg, dan meningkatkan kadar lemak tak jenuh (bilangan iodium) daging pada domba.

(7)

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

DOMBA YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG

LIMBAH UDANG

MUHAMMAD SAYUTI MAS’UD

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc.

(10)

Diberi Ransum Mengandung Limbah Udang Nama : Muhammad Sayuti Mas’ud

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini ialah Produksi, sifat fisik, dan sifat kimia daging domba yang diberi ransum mengandung limbah udang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof.(Em). Dr. drh. H. Aminuddin Parakkasi, M.Sc., Prof.(Em). Dr. drh. H. R. Eddie Gurnadi, dan Dr. Ir. Rudy Priyanto selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof.(Em). Dr. drh. Rachmat Herman, M.V.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan selaku penguji pada ujian tertutup serta Dr. Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc. dan Prof.(Riset). Dr. Ir. H. M. Winugroho, M.Sc. selaku penguji pada ujian terbuka atas masukan dan sarannya.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dirjen DIKTI beserta jajarannya, Rektor IPB beserta jajarannya, Rektor Universitas Negeri Gorontalo beserta jajarannya, dan seluruh instansi yang telah memberi kesempatan dan bantuan kepada penulis, mulai dari masa kuliah sampai selesainya karya ilmiah ini.

Kepada ayahanda H. Andi Mas’ud (alm) dan ibunda Hj. Andi Nurhayati, yang tercinta adik-adik, serta seluruh keluarga besar saya, saya haturkan terima kasih yang tulus atas doa, kasih sayang, teladan, dan dukungannya.

Kepada Dr. Ir. Syahriani Syahrir, M.Si., Dr. Wisri Puastuti, S.Pt., M.Si., Dr. Syahrir Akil, S.Pt., Ir. A. Saenab Baso, M.Si., Muh. Hatta, S.Pt., M.Si., Eli Nurlaeli, S.Pt., Gladys Oktosari, S.Pt., rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Ternak, Kerukunan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB asal Sulawesi Selatan, dan Ririungan Mahasiswa Gorontalo di Bogor, serta seluruh pihak yang telah ikut berperan hingga penulisan karya ilmiah ini dapat terselesaikan, terima kasih atas kebersamaan, motivasi dan bantuannya.

Keterbatasan kemampuan penulis menjadikan disertasi ini terbuka dari saran dan kritik membangun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.

Bogor, Februari 2012

(12)

Penulis dilahirkan di Sengkang, kabupaten Wajo (Sulawesi Selatan) pada tanggal 31 Mei 1968 sebagai anak kedua dari pasangan H. Andi Mas'ud (alm) dan Hj. Andi Nurhayati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin Makassar, lulus pada tahun 1993. Gelar Magister sains diperoleh dari Program Studi Ilmu Ternak, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) program doktor diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Sejak tahun 2006 sampai sekarang, penulis adalah staf pengajar pada Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo.

(13)

vii

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Limbah Udang ... 5

Hidrolisis dan Pemanasan Protein ... 8

Proses Pencernaan pada Ruminansia ... 10

Pencernaan dan Absorpsi Karbohidrat ... 11

Pencernaan dan Absorpsi Protein ... 12

Pencernaan dan Absorpsi Lemak ... 15

Domba ... 17

Pertumbuhan Ternak ... 18

Karkas dan Komponen Karkas ... 19

Sifat Fisik dan Kimia Daging ... 22

Lemak dan Trigliserida ... 24

Kolesterol ... 26

BAHAN DAN METODE ... 29

Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

Penelitian Tahap Pertama: Pengujian Limbah Udang Secarain Vitro ... 29

Penelitian Tahap Kedua (in Vivo): Percobaan Ransum yang Mengandung Limbah Udang pada Domba ... 34

Penelitian Tahap Ketiga: Penyembelihan Domba ... 38

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

Fermentasiin VitroLimbah Udang dalam Cairan Rumen Domba ... 45

Konsumsi dan Kecernaan Nutrien pada Domba ... 48

Produk Fermentasi Rumen dan Alantoin Urin pada Domba ... 51

Retensi Nitrogen, Pertumbuhan dan Konversi Ransum pada Domba ... 52

Sifat dan Komposisi Karkas pada Domba ... 55

Distribusi Daging pada Potongan Komersial Karkas Domba ... 59

Distribusi Tulang pada Potongan Komersial Karkas Domba ... 60

(14)

viii

Sifat Kimia Daging Domba ... 62

Aspek Ekonomis Ransum ... 64

Pembahasan Umum ... 65

SIMPULAN DAN SARAN ... 71

Simpulan ... 71

Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(15)

ix

Halaman

1 Komposisi kimia tepung limbah udang, tepung ikan,

dan bungkil kedelai ... 5

2 Komposisi asam amino tepung limbah udang, tepung ikan,

bungkil kedelai, dan mikroba rumen ... 6

3 Kandungan mineral tepung kepala udang, tepung ikan,

dan bungkil kedelai ... 7

4 Susunan dan kandungan nutrien ransum penelitian ... 35

5 Rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, kitin, dan produksi VFA, serta konsentrasi N-NH3limbah udang dalam

cairan rumen domba ... 46

6 Skor penilaian lama pengukusan disertai tekanan yang terbaik

pada limbah udang ... 47

7 Rataan konsumsi nutrien pada domba lokal jantan yang diberi ransum

mengandung limbah udang ... 48

8 Rataan kecernaan nutrien pada domba lokal jantan yang diberi ransum

mengandung limbah udang ... 50

9 Rataan produk fermentasi rumen dan alantoin urin pada domba

lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ... 52

10 Neraca nitrogen pada domba lokal jantan yang diberi ransum

mengandung limbah udang ... 53

11 Rataan bobot awal, bobot potong, pertambahan bobot hidup, dan konversi ransum pada domba lokal jantan yang diberi ransum

mengandung limbah udang ... 54

12 Rataan bobot tubuh kosong, bobot karkas segar, persentase karkas segar, dan luas urat daging mata rusuk pada domba lokal jantan yang diberi

ransum mengandung limbah udang ... 56

13 Rataan bobot dan persentase daging, tulang, dan lemak, serta rasio daging dengan lemak pada karkas kanan domba lokal jantan

yang diberi ransum mengandung limbah udang ... 58

(16)

x

lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ... 61

16 Rataan distribusi lemak pada potongan komersial karkas kanan domba

lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ... 61

17 Rataan pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air daging

domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ... 62

18 Rataan kadar trigliserida, bilangan iodium, dan kadar kolesterol total daging, serta kadar kolesterol total feses pada domba lokal jantan

yang diberi ransum mengandung limbah udang ... 63

19 Peubah aspek ekonomis ransum percobaan pada domba lokal jantan

(17)

xi

Halaman

1 Struktur polimer selulosa (a), kitin (b), dan kitosan (c) ... 8

2 Sketsa proses denaturasi protein ... 9

3 Alat pencernaan pada ruminansia ... 10

4 Skema ikhtisar degradasi protein dalam rumen dan peranan protein makanan dan protein mikroba dalam memperkaya persediaan protein dalam usus ... 14

5 Limbah udang windu (Penaeus monodon) kering ... 30

6 Alat autoklaf merek Kormat ... 30

7 Domba lokal jantan dari UP3J-IPB ... 34

8 Ransum percobaan ... 35

9 Bagian potongan komersial karkas ... 39

10 Karkas segar bagian luar dan dalam domba lokal jantan ... 56

11 Karkas kanan bagian luar dan dalam domba lokal jantan ... 59

12 Potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan: shoulder(A),rack(B),loin(C),leg(D),flank(E),breast(F), danforeshank(G) ... 60

(18)

xii

Halaman

1 Analisis ragam kecernaan bahan kering fermentatif limbah udang

dalam cairan rumen domba ... 85

2 Analisis ragam kecernaan bahan kering enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba ... 85

3 Analisis ragam kecernaan bahan kering total limbah udang dalam cairan rumen domba ... 85

4 Analisis ragam kecernaan bahan organik fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba ... 85

5 Analisis ragam kecernaan bahan organik enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba ... 86

6 Analisis ragam kecernaan bahan organik total limbah udang dalam cairan rumen domba ... 86

7 Analisis ragam kecernaan protein fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba ... 86

8 Analisis ragam kecernaan protein enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba ... 86

9 Analisis ragam kecernaan protein total limbah udang dalam cairan rumen domba ... 87

10 Analisis ragam kecernaan kitin fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba ... 87

11 Analisis ragam kecernaan kitin enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba ... 87

12 Analisis ragam kecernaan kitin total limbah udang dalam cairan rumen domba ... 87

13 Analisis ragam VFA limbah udang dalam cairan rumen domba ... 88

14 Analisis ragam N-NH3limbah udang dalam cairan rumen domba ... 88

15 Analisis ragam konsumsi bahan kering ransum pada domba ... 88

(19)

xiii

18 Analisis ragam konsumsi lemak kasar ransum pada domba ... 89

19 Analisis ragam konsumsi serat kasar ransum pada domba ... 89

20 Analisis ragam konsumsi ADF ransum pada domba ... 89

21 Analisis ragam konsumsi NDF ransum pada domba ... 89

22 Analisis ragam konsumsi energi ransum pada domba ... 89

23 Analisis ragam kecernaan bahan kering ransum pada domba ... 90

24 Analisis ragam kecernaan bahan organik ransum pada domba ... 90

25 Analisis ragam kecernaan protein kasar ransum pada domba ... 90

26 Analisis ragam kecernaan lemak kasar ransum pada domba ... 90

27 Analisis ragam kecernaan serat kasar ransum pada domba ... 90

28 Analisis ragam kecernaan ADF ransum pada domba ... 91

29 Analisis ragam kecernaan NDF ransum pada domba ... 91

30 Analisis ragam kecernaan energi ransum pada domba ... 91

31 Analisis ragam pH rumen pada domba ... 91

32 Analisis ragam VFA rumen pada domba ... 91

33 Analisis ragam N-NH3rumen pada domba ... 92

34 Analisis ragam alantoin urin pada domba ... 92

35 Analisis ragam nitrogen konsumsi pada domba ... 92

36 Analisis ragam nitrogen feses pada domba ... 92

37 Analisis ragam nitrogen urin ransum pada domba ... 92

38 Analisis ragam retensi nitrogen pada domba ... 93

39 Analisis ragam bobot awal pada domba ... 93

(20)

xiv

42 Analisis ragam konversi ransum pada domba ... 93

43 Analisis ragam bobot tubuh kosong pada domba ... 94

44 Analisis ragam bobot karkas segar pada domba ... 94

45 Analisis ragam persentase karkas segar pada domba ... 94

46 Analisis ragam luas udamaru pada domba ... 94

47 Analisis ragam bobot daging pada karkas kanan domba ... 94

48 Analisis ragam bobot tulang pada karkas kanan domba ... 95

49 Analisis ragam bobot lemak pada karkas kanan domba ... 95

50 Analisis ragam persentase daging pada karkas kanan domba ... 95

51 Analisis ragam persentase tulang pada karkas kanan domba ... 95

52 Analisis ragam persentase lemak pada karkas kanan domba ... 95

53 Analisis ragam rasio daging dengan lemak pada karkas kanan domba ... 96

54 Analisis ragam rasio daging dengan tulang pada karkas kanan domba ... 96

55 Analisis ragam daginglegpada karkas kanan domba ... 96

56 Analisis ragam dagingloinpada karkas kanan domba ... 96

57 Analisis ragam dagingrackpada karkas kanan domba ... 96

58 Analisis ragam dagingbreastpada karkas kanan domba ... 97

59 Analisis ragam dagingshoulderpada karkas kanan domba ... 97

60 Analisis ragam dagingforeshankpada karkas kanan domba ... 97

61 Analisis ragam dagingflankpada karkas kanan domba ... 97

62 Analisis ragam tulanglegpada karkas kanan domba ... 97

63 Analisis ragam tulangloinpada karkas kanan domba ... 98

(21)

xv

66 Analisis ragam tulangshoulderpada karkas kanan domba ... 98

67 Analisis ragam tulangforeshankpada karkas kanan domba ... 98

68 Analisis ragam lemaklegpada karkas kanan domba ... 99

69 Analisis ragam lemakloinpada karkas kanan domba ... 99

70 Analisis ragam lemakrackpada karkas kanan domba ... 99

71 Analisis ragam lemakbreastpada karkas kanan domba ... 99

72 Analisis ragam lemakshoulderpada karkas kanan domba ... 99

73 Analisis ragam lemakforeshankpada karkas kanan domba ... 100

74 Analisis ragam lemakflankpada karkas kanan domba ... 100

75 Analisis ragam pH pada daging domba ... 100

76 Analisis ragam keempukan pada daging domba ... 100

77 Analisis ragam susut masak pada daging domba ... 100

78 Analisis ragam daya mengikat air pada daging domba ... 101

79 Analisis ragam kadar trigliserida pada daging domba ... 101

80 Analisis ragam bilangan iodium pada daging domba ... 101

81 Analisis ragam kadar kolesterol total pada daging domba ... 101

82 Analisis ragam kadar kolesterol total pada feses domba ... 101

83 Analisis ragamincome over feed cost(IOFC) pada domba ... 102

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba adalah salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang prospektif sebagai penghasil daging dan berperan penting dalam penyediaan protein hewani. Namun disisi lain, daging domba memiliki kandungan lemak dan kolesterol yang tinggi. Kandungan kolesterol daging domba sekitar 78 sampai dengan 124 mg/100 g, sedangkan daging sapi sekitar 81 sampai dengan 106 mg/100 g dan daging ayam sekitar 75 sampai dengan 94 mg/100 g (Soeparno et al. 2011). Jika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih dapat berdampak kurang baik terhadap kesehatan, sebab akan memicu timbulnya berbagai penyakit kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi, jantung koroner, dan atheroskelerosis (Azwar 2004; Sudana 2004). Guna menanggulangi hal tersebut, diperlukan pakan sumber serat karena bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol (Horigome et al. 1992; Sudana 2004). Salah satu limbah perikanan yang potensial digunakan adalah limbah udang.

(23)

N-Acetylated-glucosamin-polysacharida sebanyak 6.6% sampai dengan 6.7% (Stelmoch et al. 1985).

Penelitian mengenai penggunaan limbah udang sebagai pakan sumber protein dan kitin (serat dari hewani) sudah dilakukan, terutama pada non-ruminansia. Hasilnya dapat meningkatkan bobot badan dan produksi daging serta menurunkan kadar kolesterol serum darah dan daging pada ayam (Supadmo 1997), juga menurunkan kadar kolesterol pada telur ayam (Sudibya 1998). Pada tikus putih jantan dan betina, kadar low density lipoprotein (LDL) dagingnya menurun dan kadar high density lipoprotein (HDL) dagingnya serta persentase karkasnya meningkat (Suryaningsih dan Parakkasi 2006). Begitu juga bobot badan tikus putih jantan dan betina, meningkat sampai penggunaan 20% limbah udang dalam ransumnya (Mas’ud dan Parakkasi 2009).

Bila limbah udang digunakan sebagai pakan ruminansia, protein yang berikatan secara kovalen dengan kitin dalam limbah udang, didegradasi oleh mikroba rumen (in vitro) sebesar 57.94% (Batubara 2000). Hal ini dapat menjadikan limbah udang kurang efisien, sehingga perlu dilakukan pengolahan untuk mengurangi proteinnya didegradasi oleh mikroba dalam rumen ternak. Dengan demikian, tersedia pasokan protein by pass yang mudah dicerna dalam pencernaan pascarumen. Disamping itu, senyawa kitin dalam pencernaan pascarumen akan mengikat asam lemak dan empedu menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorpsi dan diekskresikan bersama feses. Kondisi ini akan menyebabkan deposisi lemak secara berlebih dalam tubuh ternak tidak terjadi, sehingga menurunkan kandungan lemak dan kolesterol pada otot ternak. Pada akhirnya, ternak dapat menghasilkan daging yang berkadar kolesterol rendah. Salah satu jenis pengolahan yang sering digunakan adalah pengolahan secara fisik melalui pemanasan dengan tekanan uap panas (Prawirokusumo 1994; Mirzah 1997).

(24)

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui lama pengukusan disertai tekanan yang terbaik untuk meningkatkan kecernaan limbah udang dalam pencernaan pascarumen.

2. Mengetahui efek ransum yang mengandung limbah udang terhadap performa pertumbuhan, komposisi karkas, distribusi daging potongan komersial karkas, sifat fisik dan sifat kimia daging pada domba.

3. Mengetahui taraf terbaik penggunaan limbah udang dalam ransum domba.

Kegunaan Penelitian

1. Memanfaatkan limbah udang dalam ransum domba guna menghasilkan daging yang berkualitas baik, sehingga aman dikonsumsi.

2. Menunjukkan daya guna atau nilai ekonomi limbah udang, terutama sebagai pakan domba.

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Udang

Limbah udang adalah hasil samping yang dibuang pada industri pengolahan udang beku (Arlius 1991). Hasil samping tersebut, berupa kepala, kulit keras (carapace), dan ekor(uropod)udang (Setyahadi 2006).

Kualitas limbah udang terutama ditinjau dari kandungan nutrien dan komposisi kimianya, cukup baik dan layak dijadikan sebagai sumber protein dalam ransum ternak. Hasil analisa di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB, memperlihatkan bahwa protein kasarnya cukup tinggi yaitu 41.58%, hampir sama dengan bungkil kedelai (45.6%). Begitu juga bahan keringnya (88.32% vs 88.0%). Akan tetapi ada perbedaan pada serat kasarnya yaitu 13.72% dalam limbah udang, sedangkan bungkil kedelai 4.58%, sehingga menjadi faktor pembatas karena kecernaannya yang rendah. Walaupun demikian, serat kasarnya (kitin) bisa berguna dalam menurunkan kolesterol daging. Oleh sebab itu, pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak sebaiknya dilakukan proses pengolahan terlebih dahulu. Perbandingan komposisi kimia antara tepung limbah udang dengan tepung ikan dan bungkil kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia tepung limbah udang, tepung ikan, dan bungkil kedelai

Nutrien Tepung limbah udang1) Tepung ikan2) Bungkil kedelai3)

(% bahan kering)

---Protein kasar 41.58 52.6 45.60

Serat kasar 13.72 2.2 4.58

Lemak kasar 3.08 6.8 2.79

Abu 22.06 20.7 6.84

1)

Hasil analisa di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB

2)

Hartadiet al. (1997)

3)

Sutardi (2001)

(26)

Perbandingan komposisi asam amino antara tepung limbah udang dengan tepung ikan, bungkil kedelai, dan mikroba rumen disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi asam amino tepung limbah udang, tepung ikan, bungkil kedelai, dan mikroba rumen

Asam amino

Tepung limbah udang

Tepung ikan3) Bungkil kedelai4) Mikroba rumen5) Udang merah jambu

(Pandalus borealis)1)

Udang windu (Penaeus monodon)2)

--- (gram/100 gram protein)

---Alanin 5.25 ± 0.05 2.14 - 4.6 7.5

Arginin 6.13 ± 0.07 4.67 6.46 7.0 5.1

Asam Aspartat 11.17 ± 0.01 7.52 - 10.9 12.2

Asam Glutamat 12.85 ± 0.14 11.36 - 14.3 13.1

Fenilalanin 5.13 ± 0.07 5.52 4.64 3.9 5.1

Glisin 4.11 ± 0.03 17.76 7.70 3.5 5.8

Histidin 2.24 ± 0.09 2.35 2.78 1.8 2.0

Isoleusin 5.78 ± 0.13 4.16 4.30 2.1 5.7

Leusin 7.01 ± 0.02 8.65 7.20 7.3 8.1

Lisin 6.58 ± 0.07 4.58 7.55 5.9 7.9

Metionin 2.41 ± 0.08 - 2.47 0.7 2.6

Prolin 4.20 ± 0.10 - - -

-Serin 4.11 ± 0.05 1.65 - 4.8 4.6

Sistein 0.91 ± 0.01 - 1.01 0.7

-Tirosin 4.53 ± 0.01 12.13 3.46 3.0 4.9

Treonin 4.14 ± 0.20 - 4.28 3.5 5.8

Triptophan 1.19 ± 0.07 - 0.85 -

-Valin 5.95 ± 0.06 - 5.29 4.6 6.2

1)

Shahidi dan Synowiecki (1992)

2)

Purwantiningsih (1992)

3)Hartadiet al. (1997) 4)

Thomas dan Beeson (1977)

5)

Clarket al. (1992)

(27)

Tabel 3 Kandungan mineral tepung kepala udang, tepung ikan, dan bungkil kedelai

Mineral Tepung kepala udang1) Tepung ikan2) Bungkil kedelai3)

Ca (%) 15.30 4.20 0.3

Na (%) 2.05 0.97

-K (%) 0.20 0.68 2.1

Mg (%) 0.95 0.22

-P (%) 1.66 2.80 0.71

Sr (%) 0.22 -

-Mn (ppm) 29 -

-Fe (ppm) 82 -

-Cu (ppm) 13 10.24

-Zn (ppm) 21 14.76 45

As (ppm) 27 -

-Ba (ppm) 54 -

-1)

Shahidi dan Synowiecki (1992)

2)

Hartadiet al. (1997)

3)

Parakkasi (1999)

(28)

Gambar 1 Struktur polimer selulosa (a), kitin (b), dan kitosan (c) (Hawab 2006).

Hidrolisis dan Pemanasan Protein

Hidrolisis protein diartikan sebagai pemecahan banyak ikatan menjadi satu ikatan atau putusnya ikatan peptida yang menghubungkan asam-asam amino (Girindra 1986). Pada limbah udang, hidrolisis yang baik untuk meningkatkan kecernaannya adalah dengan HCl 6% disertai pemanasan tekanan tinggi menggunakanpressure cookerselama 45 menit (Sudibya 1998).

(29)

Denaturasi dapat pula diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya lipatan molekul (Winarno 1991).

Dua macam denaturasi, yaitu (1) pengembangan rantai peptida dan (2) pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul. Terjadinya kedua jenis denaturasi ini tergantung pada keadaan molekul. Denaturasi yang pertama terjadi pada rantai polipeptida, sedangkan yang kedua terjadi pada bagian-bagian molekul yang tergabung dalam ikatan sekunder (Winarno 1991). Jadi proses denaturasi tidak merusak ikatan peptida yang terdapat antara asam amino dalam struktur primer (Girindra 1986).

Lehninger (1982) mengemukakan bahwa jika protein mengalami denaturasi, tidak ada ikatan kovalen pada kerangka rantai polipeptida yang rusak. Jadi deret asam amino khas protein tersebut tetap utuh setelah denaturasi. Selanjutnya dikemukakan bahwa rantai polipeptida yang berikatan kovalen pada protein asli (natif) melipat dalam tiga dimensi dengan suatu pola yang khas bagi tiap jenis protein. Jika suatu protein terdenaturasi, susunan tiga dimensi khas dari rantai polipeptida terganggu dan molekul ini terbuka menjadi struktur acak, tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen (Gambar 2).

Gambar 2 Sketsa proses denaturasi protein (Brandts 1967disitirWinarno 1991).

(30)

Proses pemanasan protein yang tidak sampai merusak kandungan nutrisinya dilakukan dengan maksud agar kurang soluble dalam rumen. Cara ini biasa disebut heat treated protein (HTP) dan cara pemanasan yang sedang populer disebutdry extrusion process,yaitu pemanasan yang tidak memakai sumber panas dari luar. Panas terjadi akibat friksi (friction) dan diteruskan dengan expansion melalui extrusi (extrusion) dan tekanan (pressure). Konsep ini dilakukan karena protein tidak dapat dipenuhi dari mikroba rumen (terutama pada ternak yang berproduksi tinggi) maka tambahan asam-asam amino akan dapat dipenuhi dengan pemberian HTP yang langsung dapat digunakan pada pascarumen (Prawirokusumo 1994).

Proses Pencernaan pada Ruminansia

Pencernaan adalah serangkaian proses perubahan fisik dan kimia dari bahan makanan di dalam alat pencernaan sampai memungkinkan terjadinya proses penyerapan. Hewan ruminansia memiliki empat bagian perut dengan fungsi yang berbeda yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum (Gambar 3). Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antar pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri (Mertens 1993). Prosesnya terdiri atas pencernaan mekanis di mulut, pencernaan fermentatif oleh mikroba di rumen dan pencernaan hidrolisis oleh enzim pencernaan pasca rumen (Sutardi 1977).

Gambar 3 Alat pencernaan pada ruminansia.

(31)

terbang (volatile fatty acid atau VFA), gas metan, dan air. Omasum fungsinya belum jelas, tetapi pada organ ini terjadi penyerapan air, NH3, dan VFA, diduga juga memproduksi VFA dan NH3. Abomasum fungsinya sama dengan perut monogastrik (Church dan Pond 1982; Forbes dan France 1993).

Makanan yang masuk ke dalam mulut akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini makanan bercampur dengan saliva, kemudian masuk ke dalam rumen melalui esofagus untuk selanjutnya mengalami proses pencernaan fermentatif. Di rumen bolus dicerna oleh enzim mikroba, hasil pencernaan fermentatif berupa VFA, NH3 dan air. Selama di rumen makanan yang masih kasar dikembalikan lagi ke mulut (regurgitasi dan remastikasi). Partikel makanan yang tidak tercerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan yang sama pada monogastrik. Hasil pencernaan tersebut diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk dalam sistem peredaran darah (Sutardi 1979).

Pencernaan dan Absorpsi Karbohidrat

Karbohidrat merupakan nutrien dominan dalam ransum ruminansia yaitu sekitar 60 sampai dengan 75% dari total nutrien ransum. Fungsi karbohidrat adalah sumber energi dan keambaannya bermanfaat untuk memelihara proses pencernaan. Karbohidrat berasal dari dua jenis yaitu karbohidrat dinding sel (selulosa dan hemiselulosa) banyak terkandung dalam hijauan pakan (roughage), dan karbohidrat isi sel (gula dan pati) banyak terkandung dalam pakan konsentrat. Selulosa merupakan zat penyusun tanaman, banyak mengandung unit glukosa, tersusun dalam rantai lurus, panjang dengan ikatan  1,4 dan biasanya dalam bentuk kristal. Hemiselulosa adalah karbohidrat rantai lurus terdiri atas polimer pentosa (silosa dan arabinosa), asam uronat dan galaktosa (Tillmanet al. 1986).

(32)

diubah menjadi asam lemak terbang (VFA) yaitu asetat, propionat dan butirat (Collier 1985).

Jenis karbohidrat pakan sangat besar pengaruhnya terhadap jumlah dan jenis VFA yang diproduksi. Konsentrasi VFA total di rumen bervariasi dan bergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonald et al. 2002), pengolahan dan frekuensi pemberian makan (Sutardi 1977). Konsentrasi VFA yang optimum bagi kelangsungan hidup ternak berkisar 80 sampai dengan 160 mM, dengan proporsi 65% asetat, 20% propionat, 10% butirat dan 5% valerat serta asam lemak bercabang yaitu isobutirat, isovalerat, dan 2-metilbutirat (Czerkawski 1986). Asam lemak bercabang ini diduga berasal dari asam amino berantai cabang yaitu leusin, isoleusin, dan valin. VFA terutama yang berantai cabang, esensial bagi pertumbuhan mikroba rumen (Sutardi 1977). Proporsi VFA dapat berubah pada ransum tinggi serat, sehingga nisbah asetat/propionat lebih besar dari pada ransum tinggi konsentrat. Proporsi propionat meningkat pada ransum tinggi konsentrat, dan proporsi isobutirat serta isovalerat meningkat pada ransum tinggi protein (Sutardi 1977; Collier 1985).

Produk akhir berupa VFA dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan sebagai sumber energi dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorpsi melalui epitel rumen dan masuk ke sirkulasi darah, dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi glukosa dan menjadi bagian dari cadangan glukosa hati. Asam butirat sebelum masuk ke sirkulasi darah dan dibawa ke hati bersama asetat

dikonversi menjadi asam beta hidroksi butirat(-hydroxybutyric acidatau BHBA) di dalam epitel rumen (Banerjee 1978; Crampton et al. 1978). Asetat dan BHBA dari hati disalurkan ke sistem sirkulasi dan digunakan oleh jaringan sebagai sumber energi melalui siklus asam sitrat (Tillmanet al. 1986; Forbes dan France 1993) dan sebagai substrat lipogenesis pada lemak susu, sedangkan propionat untuk glukoneogenesis dan lipogenesis lemak tubuh.

Pencernaan dan Absorpsi Protein

(33)

oleh mikroba menjadi VFA dan NH3 selanjutnya diabsorpsi. Protein mikrobanya tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak dan keluar melalui feses.

Sebagian senyawa protein atau nitrogen bukan protein (NPN) asal ransum yang dihidrolisis oleh enzim proteolitik mikroba rumen dirombak menjadi oligopeptida dan asam amino yang merupakan produk intermediate. Selanjutnya oligopeptida dan asam amino mengalami deaminasi dan menghasilkan asam

keto-, CO2, VFA, dan NH3(Sutardi 1977).

Kebanyakan mikroba rumen tidak dapat memanfaatkan asam amino secara langsung, karena mikroba terutama bakteri rumen tidak mempunyai sistem transpor untuk mengangkut asam amino ke dalam selnya. Lebih kurang 82% mikroba rumen membutuhkan N-NH3 untuk mensintesis protein selnya, oleh karena itu mereka lebih suka merombak asam amino tersebut menjadi NH3 (Sutardi 1977).

Amonia merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis de novo asam amino mikroba rumen. Konsentrasi N-NH3 optimum untuk sintesis protein mikroba rumen adalah 50 mg liter-1 atau 3.57 mM (Satter dan Slyter 1974), atau antara 4 sampai dengan 12 mM (Sutardi 1979). Kadar amonia yang optimum untuk mencapai efisiensi penggunaan energi dan protein pakan adalah 7 sampai dengan 8 mM (Erwanto et al. 1993). N-NH3 yang diproduksi tidak semua digunakan untuk sintesis protein mikroba tetapi sisanya diserap oleh dinding rumen, masuk ke sirkulasi portal dan dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi urea dan masuk ke sirkulasi darah (Tillman et al. 1986). Urea tersebut sebagian keluar melalui urin dan sebagian lagi masuk kembali ke rumen melalui saliva.

(34)
[image:34.595.107.512.83.800.2]

Sumbangan protein asal mikroba rumen berkisar 40 sampai 80% (Sniffen dan Robinson 1987), sedangkan sumbangan energi asal VFA berkisar 60 sampai 80% (Ensminger et al. 1990). Pada ternak yang berproduksi tinggi, pasokan protein asal mikroba saja tidaklah cukup sehingga harus diberi protein yang tak terdegradasi oleh mikroba dalam rumen pada pakannya.

[image:34.595.114.503.372.661.2]

Gambaran tentang degradasi protein bahan makanan dalam rumen dan peranan bahan makanan yang tahan terhadap degradasi dalam memperkaya persediaan protein pada usus seperti pada Gambar 4. Ikhtisar tersebut memperlihatkan bahwa mikroba dan hewan induk semangnya sama-sama memperoleh 5 masukan (input), yaitu masukan melalui jalur 1 sampai dengan 5 bagi mikroba rumen dan I sampai dengan V bagi hewan induk semang. Jalur tersebut diberi nomor berdasarkan besarnya andil senyawa yang bersangkutan (Sutardi 1979).

(35)

Terdapat enam asam amino pembatas dalam pakan ruminansia yang harus diperhatikan ketersediaannya, yaitu metionin (Met), leusin (Leu), isoleusin (Ileu), valin (Val), lisin (Lys) dan treonin (Thr). Asam amino pembatas tersebut didasarkan pada adanya transfer Met dan asam amino bercabang (Leu, Ileu dan Val) ke dalam protein mikroba rumen yang cukup besar, Lys dirombak total dalam rumen, dan tidak dijumpai Thr dalam rumen (Sutardi 1997). Sebelumnya Merchen dan Titgemeyer (1992) melaporkan bahwa ternak ruminansia membutuhkan asam amino aromatik (fenilalanin dan triptofan) dan sejumlah asam amino yang bersifat semiesensial atau koesensial.

Pencernaan dan Absorpsi Lemak

Pencernaan lemak dimulai di retikulorumen. Lemak pakan mengalami dua peristiwa yaitu lipolisis dan biohidrogenasi di rumen (Scott dan Ashes 1993). Pada lipolisis oleh lipase mikroba, lemak atau minyak diurai menjadi asam lemak bebas (Free Fatty Acid atau FFA), gliserol dan galaktosa. Van Nevel dan Demeyer (1995) melaporkan bahwa semua asam lemak yang dilepaskan dari triasil gliserol terakumulasi dalam bentuk FFA, dan gliserol serta galaktosa difermentasi lebih lanjut menjadi VFA dengan proporsi terbanyak propionat (Scott dan Ashes 1993; Jenkins 1993). Asam lemak bebas tak jenuh secara cepat dihidrogenasi oleh mikroba rumen menjadi asam lemak jenuh.

Lipolisis pada beberapa lemak pakan terjadi sangat cepat di dalam rumen. Immig et al. (1993) melaporkan bahwa lipolisis minyak kedelai di rumen domba mencapai 90% selama satu jam setelah introduksi, dan di rumen sapi mencapai 85 sampai dengan 90% (Bauchart et al. 1990). Sumber lipase utama pada lipolisis berasal dari bakteriAnaerovibrio lipolytica,dan 30 persennya lipase asal protozoa (Harfoot dan Hazlewood 1988).

(36)

Pada proses hidrogenasi terjadi perubahan asam lemak oleat (C18:1), linoleat (C18:2), dan linolenat (C18:3) menjadi stearat (C18:0) melalui isomerase dan reduktase. Banyaknya linoleat yang dihidrogenasi di rumen antara 60 sampai dengan 95% dan linolenat antara 80 sampai dengan 100% (Doreau dan Ferlay 1994), proses hidrogenasi menjadi rendah pada ransum berkonsentrat lebih dari 70% (Bauchartet al.1990). Asam lemak tak jenuh berantai lebih dari C18seperti arakhidonat, eikosa pentanoat (EPA) dan dokosa heksaenoat (DHA) tidak mengalami hidrogenasi di rumen (Asheset al.1992).

Asam lemak yang telah mengalami lipolisis dan biohidrogenasi seperti C2 sampai dengan C14 dan VFA hasil pencernaan lemak langsung diserap melalui dinding rumen, sedangkan asam lemak rantai panjang (lebih dari C14), asam lemak jenuh hasil sintesis de novo dan lemak pakan terus mengalir ke abomasum dan diserap di usus halus.

Asam empedu mengemulsi lemak di usus halus. Partikel emulsi tersebut terutama mengandung triasil gliserol. Lipase pankreas merombak triasil gliserol menjadi mono dan diasil gliserol seperti halnya asam lemak bebas. Asam lemak bebas, mono dan diasil gliserol diserap secara difusi pasif masuk ke sel epitel brush border usus halus. Selanjutnya mono gliserol dan diasil gliserol di dalam sel mukosa usus dirakit kembali menjadi triasil gliserol dan dengan penambahan protein membentuk kilomikron (Collier 1985). Asam lemak dalam triasil gliserol tersebut semuanya mempunyai panjang rantai lebih dari 12 karbon.

(37)

Domba

Domba diklasifikasikan dalam Kingdom: Animal, Phylum: Chordata (bertulang belakang), Kelas: Mamalia (menyusui), Ordo: Artiodactyla (berkuku genap), sub ordo: Ruminansia, Famili: Bovidae, Genus: Ovis, dan spesies: Ovis aries (Devendra dan Mcleroy 1992).

Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga jenis yaitu: 1) Domba Jawa ekor kurus (JEK); 2) Domba Jawa ekor gemuk (JEG); dan 3) Domba Sumatera ekor kurus (SEK). Perbedaan masing-masing jenis domba ini dapat dilihat dari sifat-sifat luarnya, antara lain domba JEK dan SEK mempunyai ekor kurus dan panjang, warna bulu domba JEK bervariasi, pada jantan umumnya bertanduk. Domba SEK umumnya berwarna coklat muda dan pada jantan jarang yang bertanduk. Kedua jenis domba ini rata-rata bulunya (wool) kasar dan tersebar tidak teratur dibagian tubuhnya. Domba JEK mempunyai beberapa kelompok atau populasi lokal yang diberi nama sesuai dengan nama daerah atau tempat keberadaannya, seperti domba Garut dan Priangan. Domba JEG mempunyai ekor yang tebal, gemuk, dan pendek, umumnya dikenal sebagai penghasil wool, berwarna putih dan tidak bertanduk. Daerah penyebaran populasi domba ini di Jawa Timur, dipelihara terisolasi, sebagai contohnya di pulau Lombok (Tomaszewskaet al. 1993).

(38)

Pertumbuhan Ternak

Secara sederhana Butterfield (1988) mendefinisikan pertumbuhan sebagai terjadinya perubahan ukuran tubuh dalam suatu organisme sebelum mencapai dewasa, sedangkan perkembangan adalah produk hasil perbedaan pertumbuhan dari masing-masing bagian tubuh dari suatu organisme. Perubahan ukuran meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linear dan komposisi tubuh termasuk pula perubahan pada komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ dalam serta komponen kimia terutama air, lemak, protein dan abu (Soeparno 2005).

Pertumbuhan adalah bertambahnya bobot hingga ukuran dewasa tercapai atau lebih spesifik pertumbuhan dapat dijelaskan dengan bertambahnya produksi unit biokimia baru oleh pembagian sel, pembesaran sel atau persatuan dari bahan-bahan (material) yang berasal dari lingkungan. Perkembangan menunjukkan koordinasi berbagai proses hingga kematangan (kedewasaan) tercapai, seperti diferensiasi selular dan perubahan bentuk tubuh. Pertumbuhan pada umumnya dinyatakan dengan mengukur kenaikan bobot hidup yang mudah dilakukan dan biasanya dinyatakan sebagai pertambahan bobot hidup harian atau average daily gain (ADG). Pertumbuhan yang diperoleh dengan memplotkan bobot hidup terhadap umur akan menghasilkan kurva pertumbuhan (Tillman et al. 1986 dan Taylor 1984).

Pertumbuhan ternak terdiri atas tahap cepat yang terjadi mulai awal sampai pubertas dan tahap lambat yang terjadi pada saat kedewasaan tubuh telah tercapai (Tillman et al. 1986). Pada waktu kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, slope kurva pertumbuhan hampir tidak berubah. Hal ini berarti pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting mulai berhenti, sedangkan penggemukan (fattening) mulai dipercepat (Judgeet al. 1989).

(39)

Pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen (pengelolaan) yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia, kesehatan dan iklim. Batubaraet al. (1993) menyatakan bahwa pertambahan bobot hidup domba lokal Sumatera jantan muda dengan menggunakan pakan konsentrat komersial yang dicampur bungkil inti sawit (40%), molases (20%) dan urea (0.5%) adalah sebesar 106 g/ekor/hari dan konversi pakan adalah 8.2, sedangkan dengan pakan konsentrat kualitas tinggi (pakan komersial) pertambahan bobot hidup adalah 100 g/ekor/hari dan konversi pakan sebesar 9.4. Perbedaan bangsa memberikan keragaman dalam kecepatan pertumbuhan dan komposisi tubuh. Ternak dari satu bangsa tertentu cenderung tumbuh dan berkembang dalam suatu sifat yang khas dan menghasilkan karkas dengan sifat tersendiri, sehingga merupakan sifat khas bangsanya (Judge et al. 1989).

Karkas dan Komponen Karkas

Bobot karkas adalah bobot hidup setelah dikurangi bobot saluran pencernaan, darah, kepala, kulit dan keempat kaki mulai dari persendian carpus atau tarsus ke bawah. Dijumpai sedikit modifikasi, kadang-kadang dengan atau tanpa ginjal, lemak ginjal, lemak pelvis, lemak sekitar ambing, diaphragma dan ekor. Perbedaan sangat besar adalah lemak ginjal atau lemak pelvis termasuk ke dalam karkas atau tidak (Berg dan Butterfield 1976). Karkas sebagai satuan produksi dinyatakan dalam bobot karkas dan persentase karkas. Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup saat dipotong (dikurangi isi saluran pencernaan dan urine) dikali 100% (Berg dan Butterfield 1976; Tulloh 1978; Judge et al. 1989). Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, kondisi, bangsa ternak, proporsi bagian-bagian non karkas, ransum yang diberikan dan cara pemotongan (Berg dan Butterfield 1976).

(40)

pakan konsentrat biasa adalah sebesar 7.5 kg dari bobot hidup 19.3 kg dan persentase karkasnya 39.1%. Johnston (1983) menyatakan bahwa persentase karkas pada domba yang kurus dan kondisinya buruk kurang dari 40%, sedangkan pada kondisi gemuk persentase karkas dapat melebihi 60%. Pendapat lain dikemukakan Tulloh (1978) bahwa apabila ternak tidak diberi makan atau minum untuk suatu periode tertentu (dua hari misalnya) maka persentase karkas akan meningkat karena berkurangnya jumlah urine dan feses selama periode tertentu. Komposisi pakan juga berpengaruh terhadap besarnya persentase karkas. Ternak yang mendapat pakan hijauan dengan mutu yang rendah, mengandung lebih banyak digesta didalam saluran pencernaannya dari pada ternak yang diberi pakan bermutu tinggi dengan proporsi biji-bijiannya yang tinggi. Ternak yang dipuasakan keragaman persentase karkasnya dapat mencapai 4% lebih besar (Tulloh 1978). Soeparno (2005) mengemukakan bahwa perbedaan komposisi tubuh dan karkas diantara bangsa ternak disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa atau perbedaan bobot pada saat dewasa.

Komponen utama karkas terdiri atas jaringan otot, tulang dan lemak. Kualitas karkas sangat ditentukan oleh ketiga komponen tersebut. Tulang sebagai kerangka tubuh, merupakan komponen karkas yang tumbuh dan berkembang paling dini, kemudian disusul oleh otot dan yang paling akhir oleh jaringan lemak (Soeparno 2005). Proporsi komponen karkas dan potongan karkas yang dikehendaki konsumen adalah karkas atau potongan karkas yang terdiri atas proporsi daging tanpa lemak (lean) yang tinggi, tulang yang rendah dan lemak optimal (Natasasmita 1978). Komponen karkas yang dapat memberikan nilai ekonomis adalah lemak, karena lemak berfungsi sebagai pembungkus daging dan memberikan keempukan pada daging (Berg dan Butterfield 1976).

(41)

berturut-turut adalah 8.290, 2.554, 720 dan 598 gram sedangkan untuk domba ekor gemuk berturut-turut 8.530, 2.521, 724 dan 794 gram. Rachmadi (2003) menyatakan bahwa domba yang diberikan pakan konsentrat yang mengadung bungkil inti sawit sebanyak 45% mempunyai bobot tubuh kosong, bobot karkas dan persentase karkasnya berturut-turut adalah sebesar 14.30 %, 6.24 % dan 43.57% dengan masa pengemukan enam bulan.

Murray dan Slezacek (1976) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan dalam proporsi daging, tulang dan jaringan ikat maupun perlemakan pada tingkat pemberian pakan dan perbedaan pada domba, tetapi berbeda dalam depot lemak tubuhnya. Domba yang mendapatkan pakan lebih banyak mempunyai lemak subkutan lebih banyak, namun lemak intramuskuler lebih rendah. Soeparno (2005) dan Ouhayoun (1998) mengemukakan bahwa perlemakan dipengaruhi oleh bobot karkas dan konsumsi ransum, khususnya energi. Makin tinggi bobot karkas, lemak karkas makin meningkat.

Karkas domba dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : Pertama foresaddle (bagian depan) meliputi: neck (leher), shoulder (bahu), shank (paha depan),rack (dada) dan breast (bagian bawah dada). Kedua hindsadle (bagian belakang) meliputi: leg (paha belakang), loin (pinggang) dan flank (bagian bawah perut) (Judge et al. 1989). Domba lokal jantan mempunyai komposisi potongan komersial karkas pada bobot potong 15 kg adalah sebagai berikut : leg(34.47%), loin(9.40%),rib(9.46%),shoulder(21.87%),shank (3.74%),breast(9.01%) dan neck(8.98%) (Triatmojo 1988). Judgeet al. (1989) menyatakan bahwa komposisi leg (39%), loin (7%), rib (9%), shoulder(26%), shank(5%), breast(10%), flank (2%), ginjal dan lemak ginjal (2%).

(42)

Gemuk (8.6%) dan shoulder pada domba Priangan (28.2%), Ekor Gemuk (27.3%).

Peningkatan bobot karkas segar akan meningkatkan bobot leg, neck, loin, rackdanshoulder, dimana persentase peningkatan bobot terbaik ditunjukkan oleh potongan leg disusul oleh loin, rack dan shoulder (Beermann et al. 1986). Saparto (1981) menyatakan bahwa persentase shank meningkat dengan menurunnya bobot karkas, sebaliknya persentaseloin danrackmeningkat dengan naiknya bobot karkas. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada domba jantan, otot pada shoulder, leg, loin, dan breast mempunyai sifat masak dini sehingga pertumbuhannya relatif lebih cepat dibandingkan dengan bagian bagian tubuh lainnya. Sugana et al. (1983) melaporkan bahwa persentase loin meningkat, persentaselegberkurang dengan meningkatnya bobot karkas.

Sifat Fisik dan Kimia Daging

Kualitas atau mutu daging ditentukan oleh keempukan (tenderness), cita rasa (flavour), tekstur, aroma, warna sari minyak atau jus daging (juiceness), lemak intramuskuler (marbling), hilangnya air selama perebusan atau susut masak (cooking loss), daya mengikat air oleh protein daging (water holding capacity, WHC), dan pH daging (Aberle et al. 2001). Gurnadi (1986) menyatakan bahwa ada 3 faktor sebagai kriteria untuk menentukan mutu daging yaitu : 1) nilai gizi (ditentukan oleh protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral); 2) selera konsumen (penampilan: seperti warna, keempukan, marbling, ketegaran atau firmness, juiciness, dan tekstur); 3) teknologi penanganan atau pengolahan (daya mengikat air yang tinggi, memiliki kecenderungan lemak tertentu, kandungan jaringan ikat dan air tertentu).

(43)

Menurut Soeparno (2005) pH ultimat daging adalah pH yang dicapai setelah glikogen otot habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan enzim-enzim glikolitik. Lawrie (2003) menyatakan bahwa penurunan pH postmortem dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik antara lain adalah temperature lingkungan perlakuan sebelum pemotongan dan suhu penyimpanan. Penurunan pH otot postmortem juga bervariasi diantara ternak. Pada sejumlah ternak dapat ditemukan bahwa pH karkas atau daging hanya menurun sedikit selama beberapa jam pertama setelah pemotongan, dan pada saat tercapainya kekakuan daging, pH tetap tinggi yaitu antara 6.5 sampai dengan 6.8. Pada ternak yang lain, pH dapat menurun dengan cepat hingga mencapai 5.4 sampai dengan 5.5 selama beberapa jam pertama setelah pemotongan (Aberleet al. 2001).

Komponen air dalam jaringan daging ada 3 bentuk yaitu: 1) air bebas (free water) yang jumlahnya 4 sampai dengan 10 gram/100 gram protein; 2) air tak

bergerak (immobilized water) dengan jumlah 20 sampai dengan 60 gram/100 gram protein dan 3) air yang terikat erat (tightly bound water) yang jumlahnya 300 sampai dengan 360 gram/100 gram protein. Jika dilakukan penekanan (pressur) atau sentrifugasi, maka hanya air yang dalam bentuk bebas saja yang terpisah, sementara air yang tak bergerak dan air yang terikat erat, tetap tertinggal dalam daging. Air yang tak bergerak dan air yang terikat erat, sangat menentukan water holding capacity(WHC) (Soeparnoet al. 1990). Daya mengikat air (WHC) berkonstribusi terhadap tenderness (keempukan), warna, rasa dan semua penentu kualitas daging. Kehilangan cairan selama penyimpanan dan pemrosesan akan merugikan produsen daging, prosessor dan konsumen (Lutset al. 1992).

(44)

Sementara lemak daging sekitar 95% disusun oleh trigliserida, 5% disusun oleh kolesterol, fosfolipid dan vitamin ADEK. Trigeliserida pada lemak daging disusun oleh asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dari molekul dengan rantai atom C5 sampai dengan C20. Asam lemak tak jenuh yang menyusun lemak daging terdiri dari asam lemak tak jenuh tunggal (monosaturated fatty acids) dan asam lemak poli tak jenuh (polysaturated fatty acids). Makin tinggi imbangan asam lemak tak jenuh dengan asam lemak jenuh, maka lemak tersebut konsistensinya akan semakin lembek. Disamping itu, asam lemak tak jenuh cepat tengik karena ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh mudah dioksidasi oleh oksigen udara yang menghasilkan senyawa peroksida yang menimbulkan bau tengik (Soeparnoet al. 1990).

Lemak dan Trigliserida

Lemak merupakan subtansi yang dapat ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Lemak tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti benzene, eter dan khloform. Lemak mengandung karbon, oksigen, dan hidrogen dengan rumus: C12H22O11 (Mc Donald et al. 2002). Lemak biasa disebut ester lemak murni dari gliserol yaitu trigliserida. Lemak merupakan ikatan organik yang masuk ke dalam klasifikasi lipid bersama-sama dengan ikatan kimia lainnya termasuk lilin, fosfolipid dan sterol (Wahyu 1985).

Frandson (1992) menyatakan bahwa lemak digolongkan menjadi lemak sederhana, lemak gabungan dan lemak derivat. Lemak sederhana adalah ester dari asam-asam lemak dan alkohol termasuk macam-macam lemak (ester asam lemak dan gliserol) dan wax (ester asam lemak dan alkohol selain gliserol). Lemak gabungan mengandung beberapa gugus selain alkohol dan asam lemak seperti fosfor, nitrogen, dan karbohidrat. Lemak derivat merupakan senyawa yang dihasilkan oleh hidrolisa lemak sederhana ataupun lemak gabungan.

(45)

energi melebihi kebutuhan metabolisme; kelebihan energi menyebabkan akumulasi lemak yang berlebihan sehingga disimpan dalam jaringan lemak dalam bentuk cadangan lemak. Beberapa trigliserida berbentuk butir-butir kecil pada jaringan yang digunakan untuk metabolisme energi.

Asam lemak adalah komponen terbesar dari beberapa lipida kompleks yang mengandung 12 sampai dengan 24 atom C yang umumnya sebagian besar terdapat pada jaringan hewan. Sebagai contoh adalah asam linoleat yang diketahui dapat menurunkan taraf kolesterol dalam darah juga dipertimbangkan sebagai asam lemak esensial, tetapi ternyata bahwa asam linoleat dapat merangsang pembentukan tumor dan penyebaran tumor (metastase) (Enser 1984). Konsumsi yang berlebihan dari lemak yang mengandung asam linoleat tinggi, dipercaya dapat merangsang kanker payudara, prostat dan kanker usus besar (Adnan 1994).

Trigliserida adalah komponen utama dari penyimpanan lemak atau depot lemak pada tumbuhan dan hewan; umumnya tidak dijumpai pada membran. Bagian utama trigliserida adalah asam lemak tidak jenuh dan bila disimpan dalam suhu kamar akan berbentuk cair (Lehninger 1997). Trigliserida yang ada pada tubuh hewan, 95% berasal dari makanan, dan 5 % disintesis oleh tubuh. Murray et al. (1990) menyatakan bahwa dalam saluran pencernaan, sebagian besar trigliserida dipecah menjadi monogliserida dan asam lemak, kemudian ketika melalui epitel usus, disentesis kembali menjadi molekul trigleserida yang baru dan masuk ke dalam limfe dan bentuk droplet (butiran kecil) yang tersebar (kilomikron). Selain itu, sebagian besar kolesterol dan fosfolipid diabsorbsi dari saluran pencernaan kemudian masuk ke dalam kilomikron.

Fungsi dari trigliserida adalah sebagai cadangan energi. Trigliserida merupakan lemak yang efisein untuk dipakai sebagai cadangan energi dan tidak banyak membutuhkan tempat serta dapat menghasilkan energi lebih besar dibandingkan karbohidrat dan protein dengan jumlah yang sama yaitu dengan perbandingan karbohidrat : protein : lemak sebesar 1 : 1: 2,5 (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

(46)

Syamsuhaidi (1997) mengemukakan bahwa imbangan energi protein ransum yang diperluas dapat meningkatkan konsentrasi trigliserida yang ada di serum darah.

Kolesterol

(47)

peningkatan umum mobilisasi lemak. Hormon seks wanita yaitu estrogen dapat menurunkan kolesterol darah dan hormon seks pria yaitu androgen dapat meningkatkan kolesterol dalam darah.

Jalur utama pengeluaran kolesterol tubuh adalah melalui konversi oleh hati menjadi asam empedu. Kurang lebih separuh dari kolesterol dieksresikan ke dalam feses setelah sebelumnya diubah menjadi asam-asam empedu dan sebahagian besar kolesterol yang diekskresi ke dalam empedu akan diserap kembali (Murrayet al.1990).

Arora (2007), menjelaskan bahwa kolesterol bekerja membantu mengangkut lemak yang diolah dari hati ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Proses ini akan terus berjalan dan berulang-ulang. Secara garis besar, kerja kolesterol dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Makanan atau lemak masuk lambung untuk diemulsi oleh asam empedu kemudian diteruskan masuk ke usus halus untuk dicerna dan diserap. Sari-sari makanan yang telah diserap kemudian dikirim ke hati untuk diproses lalu dikirim ke seluruh tubuh.

2. Hati mengandung lemak (VLDL), VLDL masuk melalui pembuluh-pembuluh darah, membongkar muatannya (lemak) diseluruh tubuh. Kemudian VLDL yang kosong berubah menjadi LDL.

3. Beberapa potongan LDL dapat tersangkut di sepanjang dinding pembulun darah, sehinga mempersempit pembuluh darah.

4. HDL dalam darah atau pembuluh darah berfungsi untuk melepaskan potongan LDL yang tersangkut di dinding pembuluh-pembuluh darah dan membawanya kembali ke hati. Di hati, LDL tersebut di daur ulang menjadi VLDL atau dihancurkan dan dibuang. VLDL yang baru akan memulai kembali proses pengiriman.

Menurut Arora (2007), kolesterol dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. LDL (Low Density Lipoprotein)

(48)

darah yang kemudian dapat menyebabkan penyumbatan dan berkurangnya pasokan darah

2. HDL (High Density Lipoprotein

HDL merupakan lipoprotein yang berjalan mengikuti aliran darah dari bagian tubuh (perifer), sambil membawa kolesterol ke hati untuk dihancurkan. Selain itu, jenis kolesterol ini juga berfungsi untuk mengangkut kolesterol bebas yang terdapat dalam endotel jaringan perifer, termasuk pembuluh darah, ke reseptor HDL di dalam hati untuk keluar lewat empedu, sehingga penimbunan kolesterol di perifer berkurang. Dalimartha (2002) menyatakan bahwa HDL merupakan lipoprotein yang diharapkan tinggi dalam tubuh 3. VRDL

VRDL merupakan partikel-partikel lemak yang disebut siklomikro dan asam lemak pembentuk VLDL yang digunakan untuk energi dan pemindahan lemak.

4. Trigliserida

Trigliserida merupakan jenis lemak yang diproduksi oleh hati. Pada manusia, lebih dari 5% lemak yang dikonsumsi, dalam bentuk trigliserida.

5. Lipoprotein (a)

Lipoprotein (a) merupakan lemak yang berkaitan dengan aterosklerosis dan berbagai penyakit arteri koroner. LP (a) lebih berkaitan dengan gen.

(49)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2007 sampai Maret 2009. Limbah udang Windu (Penaeus monodon) untuk pengujianin vitro(proses pengolahan) dan percobaan in vivo diperoleh dari perusahaan pembekuan udang di Muara Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Pengolahan limbah udang dilaksanakan di Laboratorium Seafast PAU, IPB. Pembuatan ransum bentuk pelet dilaksanakan di PT Indo Feed Bogor. Pengujian in vitro dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Fapet IPB. Percobaan in vivo menggunakan domba lokal jantan yang berasal dari UP3J-IPB, dilaksanakan di kandang Ternak Ruminansia Kecil, Fapet IPB. Analisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Fapet IPB dan Biologi Hewan PPSHB, IPB. Penimbangan dan penguraian karkas serta pengujian sifat fisik daging dilaksanakan di Laboratorium Ruminansia Besar Fapet IPB. Pengujian sifat kimia daging dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Hewan FKH IPB.

Penelitian Tahap Pertama:

Pengujian Limbah Udang Secarain Vitro

Guna mencari kecernaan yang terbaik terhadap pengolahan limbah udang, dilakukan dengan uji in vitro. Preparasi limbah udang berupa kepala, kulit, dan ekor udang (Gambar 5) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: limbah udang basah diambil dengan menggunakan boks pendingin yang berisi es supaya tidak rusak atau berbau. Setelah sampai di laboratorium, dicuci kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 60ºC selama 24 jam dan selanjutnya digiling menjadi tepung. Pengolahan sampel limbah udang dilakukan secara fisik yaitu pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf (Gambar 6) masing-masing selama 0, 3, 6, dan 9 jam sebagai perlakuan.

(50)
[image:50.595.153.460.182.264.2]

yang disediakan sebelumnya dibuang airnya. Isi rumen diambil dengan tangan bersarung tangan karet untuk menghindari kontaminasi, kemudian dimasukkan ke dalam kain tipis rangkap dua. Selanjutnya diperas melalui sebuah corong dan cairannya dimasukkan ke dalam thermos.

Gambar 5 Limbah udang windu (Penaeus monodon) kering

Gambar 6 Alat autoklaf merek Kormat

Metode yang digunakan sebagai berikut: Sampel limbah udang seberat 0.5 gram dari masing-masing perlakuan dimasukkan ke dalam tabung fermentor (tabung plastik polypropilen kapasitas 50 ml). Ditambahkan saliva buatan (McDougall) sebanyak 18 ml pada suhu 39 sampai dengan 40oC dan pH 6.5 sampai dengan 6.9. Diinokulasi dengan cairan rumen sebanyak 12 ml. Setiap media in vitro diberi gas CO2 selama  30 detik supaya tetap dalam kondisi anaerob, kemudian tabung ditutup dengan karet berventilasi satu arah keluar.

[image:50.595.241.386.310.465.2]
(51)

konsentrasi N-amonia (N-NH3), dan volatile fatty acid (VFA). Supernatan yang diinkubasi selama 24 jam dibuang dan endapannya diperlakukan sebagai berikut:

Kecernaan fermentatif: isi tabung disaring dengan kertas saring Whatman nomor 41 dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 24 jam, kemudian ditimbang untuk menentukan kecernaan bahan kering (KcBK) fermentatif. Setelah itu dipijarkan dalam tanur listrik pada suhu 600oC selama 6 jam, kemudian ditimbang untuk menentukan kecernaan bahan organik (KcBO) fermentatif. Guna keperluan perhitungan kecernaan protein (KcPr) fermentatif, hasil saringan dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam, kemudian dianalisa kadar proteinnya dengan metode Kjeldahl. Guna keperluan perhitungan kecernaan kitin (KcKt) fermentatif, dilakukan dengan metode sebagai berikut: isi tabung dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan HCl 1 N (1:7) lalu dipanaskan dalam shaker water bath pada suhu 90ºC selama 1 jam. Selanjutnya disaring dan dicuci aquadest sampai netral (pH 7), kemudian ditambahkan NaOH 3,5 N (1:10) lalu dipanaskan dalamshaker water bath pada suhu 90ºC selama 1 jam. Setelah itu, disaring dan dicuci aquadest sampai netral (pH 7), kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80ºC selama 24 jam.

Kecernaan enzimatik: endapan yang tersisa dalam tabung fermentor ditambah 30 ml larutan pepsin 0.2% dalam suasana asam, kemudian diinkubasi selama 24 jam dalam keadaan aerob pada suhu 39 sampai dengan 40oC. Selanjutnya disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 (yang beratnya diketahui) dengan bantuan pompa vakum. Perlakuan selanjutnya sama dengan perlakuan kecernaan fermentatif.

Peubah yang diukur adalah KcBK, KcBO, KcPr, KcKt, konsentrasi N-NH3, dan VFA pada kedua fase pencernaan ruminansia (fermentatif dan enzimatik). Nilai peubah ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

1. Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dihitung dengan persamaan:

% 100 ) (

X BKsampel

BKkontrol BKresidu

BKsampel

(52)

2. Kecernaan Bahan Organik (KcBO) dihitung dengan persamaan: % 100 ) ( X BOsampel BOkontrol BOresidu BOsampel

KcBO  

3. Kecernaan Protein Kasar (KcPr) dihitung dengan persamaan:

% 100 ) ( ) ( ) ( Pr X sampel protein residu protein sampel protein Kc     

4. Kecernaan Kitin (KcKt) dihitung dengan persamaan:

% 100 ) ( ) ( ) ( X sampel kitin residu kitin sampel kitin KcKt     

5. Konsentrasi N-NH3

Pengukuran kadar N-NH3 dilakukan dengan menggunakan metode Micro Diffusi Conway, cara kerjanya sebagai berikut: sebanyak 1 ml cairan supernatan yang didapat dari sampel yang telah disentrifuse (dari ujiin vitro) dimasukkan ke dalam salah satu ruang sekat cawan Conway dan pada ruang lainnya diletakkan 1 ml natrium karbonat (NaOH) jenuh. Posisi cawan Conway diletakkan sedemikian rupa agar kedua larutan tersebut tidak bercampur sebelum cawan ditutup rapat. Di bagian tengah, diletakkan 1 ml asam borat 4% berindikator. Selanjutnya cawan ditutup rapat dengan vaselin. Setelah yakin cawan tertutup rapat, maka supernatan dan NaOH jenuh dicampurkan secara merata dengan menggoyang cawan, kemudian didiamkan selama 24 jam. Amonia yang dibebaskan dari reaksi akan ditangkap oleh asam borat yang diperlihatkan dengan adanya perubahan warna. Selanjutnya amonium borat yang ada ditengah cawan dititrasi dengan larutan asam sulfat (H2SO4) 0.005 N, sampai terjadi perubahan warna dari biru kewarna asam borat (kemerah-merahan).

Kadar N-NH3dihitung dengan persamaan:

Kadar N-NH3 = (S – B) x N H2SO4x 1000 mM

dimana: S = ml H2SO4yang diperlukan untuk menitrasi sampel B = ml H2SO4yang diperlukan untuk menitrasi blanko 6. VFA

(53)

Cara kerjanya sebagai berikut: sebanyak 5 ml cairan supernatan dimasukkan ke dalam tabung destilasi yang dipanaskan dengan uap air (destilasi Markham). Tabung segera ditutup rapat setelah ditambahkan 1 ml H2SO4 15%. Kemudian uap air akan mendesak VFA melewati tabung pendingin terkondensasi atau pendingin Leibig dan destilat ditampung dengan labu erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N sampai volume mencapai sekitar 250 ml. Selanjutnya ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalein dan dititrasi dengan HCl 0.5 N. Titrasi berakhir pada saat titik awal perubahan warna merah jambu menjadi tidak berwarna (bening). Sebagai kontrol dilakukan titrasi terhadap larutan blanko berupa 5 ml NaOH 0.5 N.

Kadar total VFA dihitung dengan persamaan:

Kadar total VFA = (b - s) x N HCl x 1000/5 mM keterangan: b = volume titrasi blanko (5 ml NaOH)

s = volume titrasi sampel N = normalitas HCl (0.5 N)

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap pertama ini adalah rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan adalah empat waktu pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf pada limbah udang yaitu 0, 3, 6, dan 9 jam. Ulangan adalah tiga kelompok pengambilan cairan rumen yang

Gambar

Tabel 2Komposisi asam amino tepung limbah udang, tepung ikan, bungkil
Tabel 3Kandungan mineral tepung kepala udang, tepung ikan, dan bungkilkedelai
Gambar 1 Struktur polimer selulosa (a), kitin (b), dan kitosan (c)
Gambar 4 Skema ikhtisar degradasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

MENURUT ORGANI SASI / BAGI AN ANGGARAN, UNI T ORGANI SASI , PUSAT,DAERAH DAN KEWENANGAN. KODE PROVINSI KANTOR PUSAT KANTOR DAERAH DEKONSEN

Dengan adanya realitas tersebut muncul dampak negative yaitu adanya sikap fanatisme dan munculnya konflik antar kelompok agama terkait dengan pendirian rumah

AKUMULASI LOGAM BERAT (Pb DAN Cu) PADA KERANG KEPAH (Polymesoda erosa) DI SUNGAI BATU

Syafiq Riza Basalamah, MA di Media Online Youtube 2016 (Analisis Isi Deskriptif dan Naratif Model Tzevetan Todorov). Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah berapa frekuensi

KPU Kota Banjarmasin, serta setelah mendapatkan informasi dari hasil penelusuran informasi di Polres Kota Banjarbaru, kemudian sekitar pukul 15.03 WITA mendapatkan

g) Apakah proses pembiasaan yang bapak ajarkan berhasil dan diterapkan oleh peserta didik berkebutuhan khusus (tunarungu)?.. h) Uswatun hasanah merupakan pendukung

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui reproduksi Bahasa Krama Inggil melalui Kursus Pambiwara Keraton Surakarta dalam upaya Keraton mempertahankan legitimasi

Tujuan menggunakan Balanced Scorecard adalah untuk mengukur kinerja perusahaan dari empat perspektif yaitu : Perspektif Keuangan, Perspektif Pelanggan, Perspektif Proses Bisnis