• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis pada Lansia di Panti Werdha Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis pada Lansia di Panti Werdha Bogor"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA POLA KONSUMSI PANGAN DAN

AKTIVITAS FISIK DENGAN KEJADIAN OSTEOPOROSIS

PADA LANSIA DI PANTI WERDHA BOGOR

AVLIYA QURATUL MARJAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis pada Lansia di Panti Werdha Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Avliya Quratul Marjan NIM I14090039

________________________

(4)

RINGKASAN

 

AVLIYA QURATUL MARJAN. Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis pada Lansia di Panti Werdha Bogor. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI.

 

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis pada Lansia di Panti Werdha Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) mengkaji karakteristik contoh (usia, status pernikahan, pendidikan dan besar keluarga); 2) mengkaji pola konsumsi (kebiasan makan dan frekuensi makan), status gizi, tingkat kecukupan energi, protein, kalsium dan fosfor contoh; 3) mengkaji aktivitas fisik contoh; 4) mengkaji nilai densitas tulang contoh dan 5) menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis pada contoh di Panti Werdha Bogor.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive. Penelitian dilaksanakan di dua Panti Werdha di Bogor, yaitu Panti Werdha Tresna dan Panti Werdha Hanna, Bogor. Hal ini dikarenakan jumlah contoh yang memenuhi kriteria dalam penelitian tidak mencukupi jika hanya menggunakan satu Panti Werdha. Penelitian dilakukan selama bulan Maret sampai dengan April 2013. Contoh adalah lansia yang tinggal di lokasi penelitian dan dipilih secara purposive. Kriteria contoh yaitu lansia dengan usia >55 tahun, sehat, dapat berkomunikasi dengan baik, bersedia untuk menjadi subjek penelitian dan masih dapat beraktivitas dengan baik. Jumlah contoh dalam penelitian ini yaitu 37 orang lansia wanita yang tinggal di panti .

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan skunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Data primer mencakup karakteristik contoh (usia, status pernikahan, tingkat pendidikan dan besar keluarga), status gizi (berat badan dan tinggi badan), frekuensi dan kebiasaan makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, dan nilai densitas tulang yang diperoleh dari alat Bone Densitometry milik Anlene Bone Health Check. Data sekunder meliputi data tentang keadaan umum lokasi penelitian, daftar menu makanan dan jadwal kegiatan penghuni panti. Data diolah dan dianalisis menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for Windows. Analisis statistik yang digunakan untuk uji antar variabel dengan kejadian osteoporosis dianalisis dengan uji epidemiologi menghitung nilai Odds Ratio (OR) menggunakan uji regresi Binary Logistik. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor dianalisis dengan menggunakan uji Multiregresi Logistik.

Jumlah keseluruhan contoh adalah 37 orang lansia wanita yang tinggal di panti. Sebagian besar contoh (75.7%) berada pada rentang usia diatas atau sama dengan 65 tahun. Berdasarkan status pernikahan, lebih dari separuh contoh (59.5%) dengan status pernikahan cerai mati. Rata-rata pendidikan terakhir contoh (32.4%) tidak sekolah atau tidak lulus SD. Jika dilihat dari besar keluarga, lebih dari sebagian besar contoh (78.4%) memiliki keluarga kecil yaitu (≤ 4 orang).

(5)

dikonsumsi contoh adalah telur (5.5±3.3) atau 5-6 kali dalam seminggu. Tahu dan tempe adalah pangan sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi oleh keseluruhan contoh. Rata-rata frekuensi konsumsi tahu dan tempe pada keseluruhan contoh adalah sebanyak 8-9 kali dalam seminggu. Jenis sayur dan buah yang paling sering dikonsumsi contoh dalam seminggu adalah wortel (3-4 kali/minggu) dan jeruk (2-3 kali/minggu). Jenis pangan sumber kalsium yang paling sering dikonsumsi contoh adalah kacang-kacangan dan olahannya yaitu, tahu dan tempe sebanyak 8-9 kali/minggu. Frekuensi konsumsi susu merupakan konsumsi yang terbesar kedua setelah pangan dari kacang-kacangan dan olahannya yaitu rata-rata 3 kali dalam seminggu.

Sebagian besar dari keseluruhan contoh (81.1%) terbiasa makan sebanyak 3 kali/hari dengan makanan yang berupa nasi dan lauk pauk yang disediakan dari pihak panti maupun makanan dari luar panti. Sebagian besar contoh mulai mengkonsumsi susu sejak balita (45.9%), hal ini terutama terjadi pada lansia yang tidak osteoporosis. Sebanyak 64.9% contoh memiliki kebiasaan minum < 6 gelas/hari. Berdasarkan kesukaan terhadap makanan, terlihat bahwa contoh yang tidak osteoporosis sangat menyukai lauk hewani (37.5%) dan sebesar 34.5% contoh yang osteoporosis lebih menyukai jajanan dari luar panti.

Tingkat kecukupan energi dan protein rata-rata contoh tergolong dalam kategori normal (90-119%) yaitu 100.7% dan 102.3%. Tingkat kecukupan kalsium rata-rata contoh masih berada dalam kategori kurang yaitu 74.4% dan fosfor sudah berada dalam kategori cukup yaitu 139.7% (Gibson 2005). Dari keseluruhan contoh, sebanyak 40.5% contoh memiliki status gizi lebih, 37.8% berstatus gizi normal dan 21.6% contoh dengan status gizi kurang. Berdasarkan kategori nilai t score densitas tulang Anlene Bone Health Check, sebagian besar contoh (78.4%) yaitu 29 orang mengalami osteoporosis dan hanya sebesar (21.6%) yaitu 8 orang contoh yang tidak osteoporosis.

Secara keseluruhan, tingkat aktivitas fisik contoh termasuk dalam kategori aktivitas ringan (81.1%), namun terdapat perbedaan antara contoh yang tidak osteoporosis dengan contoh yang osteoporosis. Contoh yang osteoporosis sebagian besar (89.7%) memiliki tingkat aktivitas fisik ringan, sedangkan contoh yang tidak osteoporosis hanya 50% yang memiliki tingkat aktivitas fisik ringan.

Hasil uji epidemiologi dengan menghitung nilai Odds Ratio (OR) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan (p>0.05) antara karakteristik contoh (usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, besar keluarga), tingkat kecukupan energi, protein, fosfor dan status gizi dengan kejadian osteoporosis. Namun terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara tingkat kecukupan kalsium dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis. Berdasarkan uji multiregresi logistik dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan kalsium memiliki pengaruh lebih tinggi terhadap kejadian osteoporosis (OR=8.4) dibandingkan dengan aktivitas fisik (OR=7.4). Tingkat kecukupan kalsium dan aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor risiko terhadap kejadian osteoporosis pada contoh penelitian ini.

(6)

ABSTRAK

AVLIYA QURATUL MARJAN.Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis pada Lansia di Panti Werdha Bogor. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI.

Semua populasi berisiko terkena osteoporosis, terutama pada populasi lanjut usia. Gejala osteoporosis yaitu menurunnya kepadatan tulangdanadanya kelainan tulang belakang. Kepadatan mineral tulang penting digunakan untuk mengetahui kejadian osteoporosis. Kurangnya konsumsi atau asupan makanan dan aktivitas fisik yang rendah akan meningkatkan risiko kejadian osteoporosis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dan data dikumpulkan selama periode bulan Maret-April 2013. Jumlah contohyang digunakan sebanyak 37 orang lansia.Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi dan protein adalah normal, fosfor pada kategori cukup dan kalsium diklasifikasikan pada kategori kurang. Hasil uji hubunganmenunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan energi, protein, dan fosfordengan kejadian osteoporosis. Namun, terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan kalsium dan tingkat aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis.

Kata kunci:lansia, osteoporosis, pola konsumsi pangan, tingkat aktivitas fisik

ABSTRACT

AVLIYA QURATUL MARJAN.Relationship between Food Consumption and Physical Activity with risk of Osteoporosis in Elderly of the Panti Werdha Bogor. Under direction ofSRI ANNA MARLIYATI.

All populations at risk of osteoporosis, especially in the elderly population. Symptoms include low bone density and spinal deformities. Bone mineral density is important to predict risk of osteoporosis. Poor food consumption or combination of dietary intake and low physical activity would increase risk of osteoporosis.The objective of this study was to analyze relationship between food consumption and physical activity with risk of Osteoporosis in Elderly of the Panti Werdha Bogor. The design of this study was cross sectional and the data was collected during March-April 2013 period. The number of sampels obtained as many as 37 elderly. The result showed that the sufficiency level of energy and protein were normal, fosfor was in sufficient category and calsium classified as defficient category. The correlation test showed that the sufficiency level of energy, protein and fosforhad no significant relationship with risk of osteoporosis. However, there was a relationship between the sufficiency level of calsium and physical activity level with risk of osteoporosis.

(7)
(8)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

HUBUNGAN ANTARA POLA KONSUMSI PANGAN DAN

AKTIVITAS FISIK DENGAN KEJADIAN OSTEOPOROSIS

PADA LANSIA DI PANTI WERDHA BOGOR

AVLIYA QURATUL MARJAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(9)
(10)

Judul Skripsi :Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis pada Lansia di Panti Werdha Bogor

Nama : Avliya Quratul Marjan

NIM : I14090039

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Anna Marliyati, MSi Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr Ir Budi Setiawan, MS Ketua Departemen

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret hingga April 2013 ini ialah osteoporosis, dengan judul “Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis pada Lansia di Panti Werdha Bogor”. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Ibu Dr Ir Sri Anna Marliyati, Msi selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberikan arahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Ibu Dr Ir Ikeu Ekayanti,MS selaku dosen penguji yang telah banyak membantu dan memberikan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini. 3. Mba Anna Vipta, MSc yang telah banyak memberi saran dan masukan

dalam pengolahan data.

4. Bapak Yusmar Yusuf (ayah), Ibu Erlina (ibu), Vanya Amalia Muthia (kakak), dan Naufal (adik) serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya selama ini.

5. Bintang Mahaputra yang selalu memberikan semangat, motivasi dan selalu menemani hingga saat ini.

6. Rekan-rekan IKPMR Bogor 46 (Sarah, Esi, Dila, Arin, Ayu, Dedek, Wal, Ilham, Fadil) yang selalu memberikan motivasi dan semangat.

7. Penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan Gizi Masyarakat angkatan 46 (Nisa, Mona, Liza, Vita, Ratu, Wulan, Ayu, Suty, Teguh, Singgih, Anis, Michel, Heti, Bibi, Estu, Hanum, Uun dan Dira) dan adik-adik gizi masyarakat 47 dan 48 yang telah membantu selama pengumpulan data.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan bantuan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Tujuan Penelitian 2 

Kegunaan Penelitian 3

Hipotesis 3 

KERANGKA PEMIKIRAN 3 

METODE 5 

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 5 

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 5 

Jenis dan Cara Pengolahan Data 6

Pengolahan dan Analisis Data 7

Definisi Operasional 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 10 

Karakteristik Contoh 11 

Kejadian Osteoporosis 15

Pola Konsumsi Pangan 16

Tingkat Kecukupan Energi, Protein, Kalsium dan Fosfor 24

Aktivitas Fisik 27

Hubungan Antar Variabel 29

SIMPULAN DAN SARAN 37 

Simpulan 37 

Saran 38 

DAFTAR PUSTAKA 39 

LAMPIRAN 42

(13)

DAFTAR TABEL

1 Cara Pengumpulan Data Penelitian 6 

2 Jenis dan Kategori Variabel Pengolahan Data 8  3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan kejadian osteoporosis 13  4 Rata-rata, nilai minimum, maksimum status gizi (IMT) contoh 14  5 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT) 14  6 Rata-rata, nilai minimum, maksimum t score contoh 15  7 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai densitas tulang 16  8 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi makanan pokok 17  9 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi protein hewani dan nabati 17  10 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi sayur dan buah 19  11 Sebaran contoh menurut frekuensimakanan sumber kalsium 20  12 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan dan kebiasaan sarapan 21  13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum dan konsumsi susu 22  14 Sebaran contoh berdasarkan preferensi terhadap makanan dan  

kebiasaan jajan 24 

15 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein contoh 25  16 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan energi dan protein 25  17 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium dan fosfor contoh 26  18 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan kalsium dan fosfor 27  19 Rata-rata alokasi waktu aktivitas fisik 28  20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik (PAL) 29  21 Hasil analisis Odds Ratio (OR) antara usia dan tingkat pendidikan

dengankejadian osteoporosis 30 

22 Hasil analisis Odds ratio (OR) antara status pernikahan dan besar

keluarga dengan kejadian osteoporosis 31 

23 Hasil analisis Odds Ratio (OR) antara tingkat kecukupan energi dengan

kejadian osteoporosis 32

24 Hasil analisis Odds Ratio (OR) antara tingkat kecukupan protein

dengan kejadian osteoporosis 33

25 Hasil analisis Odds Ratio (OR) antara tingkat kecukupan kalsium dan

fosfor dengan kejadian osteoporosis 34

26 Hasil analisis Odds Ratio (OR) antara status gizi dengan kejadian

osteoporosis 35 

27 Hasil analisis Odds Ratio (OR) antara tingkat aktivitas fisik dengan

kejadian osteooporosis 36 

DAFTAR GAMBAR

1 Skema kerangka pemikiran hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis di Panti Werdha Bogor 4   

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner Penelitian 43 

2 Uji statistik hubungan antar variabel 52

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan kesejahteraan manusia tergantung dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Peningkatan SDM berhubungan langsung dengan fenomena terjadinya perbaikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran, transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit degeneratif, dan perbaikan status gizi. Status kesehatan yang baik berdampak pada peningkatan masa hidup manusia dan banyaknya lansia di Indonesia. Pada umumnya usia lanjut diartikan sebagai usia saat memasuki masa pensiun yang di Indonesia dapat berkisar antara usia di atas 55 tahun (Darmojo et al.2006). Namun, batasan lansia menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansiaadalah individu yang memiliki umur 60 tahun ke atas.

Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang sudah mencapai usia lanjut tersebut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihalangi (Stanley2006). Secara individu, pada usia diatas 55 tahun terjadi proses penuaan secara alamiah yang nantinya akan menimbulkan masalah fisik, mental, sosial, ekonomi dan psikologi (Nugroho2000).

Proporsi penduduk lanjut usia (lansia)Indonesia di atas 65 tahun meningkat dari 1.1% menjadi 6.3% dari total populasi. Peningkatan jumlah lansia mempengaruhi aspek kehidupan mereka seperti terjadinya perubahan fisik, biologis, psikologis, dan sosial sebagai akibat proses penuaan atau munculnya penyakit degeneratif akibat proses penuaan tersebut. Salah satu perubahan fisik yang terjadi seiring pertambahan usia adalah terjadinya penurunan massa tulang yang dapat merubah struktur tulang. Keadaan dimana penurunan massa tulang melampaui 2.5 kali standar deviasi massa tulang pada populasi usia muda disebut osteoporosis.

Osteoporosis merupakan kondisi yang ditandai dengantulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Osteoporosis ini merupakan salah satu masalah yang sering terjadi ketika wanita memasuki usia menopause. Tulang secara terus menerus mengalami perubahan(remodelling), yaitu tulang yang telah tua akan diresorpsioleh osteoklas dan diganti tulang baru oleh osteoblas. Pada usia menopausekadar estrogen yang mengakibatkan penurunan kemampuan usus untuk menyerap kalsium menyebabkanrendahnya kadar kalsium di dalam darah dan meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas. Kedua hal tersebut menyebabkan peningkatan turnover tulang dan merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan prevalensi osteoporosis pada populasi perempuan pascamenopause (Ariani 1998). Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya osteoporosis diantaranya adalah konsumsi pangan dan tingkat aktivitas fisik seseorang.

(16)

2

dan fosfor sebagai mineral mikro dalam tubuh merupakan salah satu faktor yang dapat memperlambat kejadian osteoporosis di masa lanjut usia. Selain memenuhi asupan zat gizi, perlu juga memperhatikan tingkat aktivitas fisik. Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot skeletal dan membutuhkan pengeluaran energi (Honger 2005). Menurut Gregg et.al (2000) individu dengan aktivitas fisik ringan di masa muda berkaitan dengan risiko osteoporosis dan farktur tulang 20-40% lebih besar dibandingkan dengan individu yang aktif.

Hasil analisis data Densitas Mineral Tulang (DMT) di 16 wilayah di Indonesia kerjasama antara Puslitbang Gizi Bogor dengan PT. Fonterra Brands Indonesia pada tahun 2005 terdapat 29.4% lansia berusia 60-64 tahun menderita osteoporosis, 65-69 tahun sebesar 36.4%, dan usia di atas 70 tahun sebesar 53.1%. Proporsi osteoporosis pada ketiga kelompok usia lansia wanita di atas lebih besar daripada lansia pria. Lansia wanita lebih berisiko terkena osteoporosis karena pada lansia wanita telah terjadi menopause dimana hormon estrogen mulai menurun dan berdampak pada penurunan penyerapan kalsium tubuh. Menurut hasil analisis data yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes (2005) pada penelitian mengenai prevalensi osteoporosis pada beberapa provinsi, menunjukkan bahwa prevalensi osteoporosis Indonesia sebesar 10.3%. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki persentasi lansia yang tinggi (7.09%) dan memiliki kemungkinan besar untuk terkena penyakit seperti osteoporosis.

Berdasarkan isu, faktor-faktor yang berpengaruh dan data-data diatas maka menarik bagi peneliti untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kejadian osteoporosis di Jawa Barat, terutama di kota Bogor. Penelitian dilakukan dengan melihat hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor.

Tujuan

Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor.

Tujuan Khusus :

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk :

1. Mengkaji karakteristik lansia di Panti Werdha Bogor (usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, besar keluarga).

2. Mengkaji pola konsumsi pangan, status gizi, tingkat kecukupan energi, protein, kalsium dan fosfor lansia di Panti Werdha Bogor.

3. Mengkaji aktivitas fisik lansia di Panti Werdha Bogor. 4. Mengkaji nilai densitas tulang lansia di Panti Werdha Bogor.

(17)

3 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan menambah pengetahuan untuk pengelola panti khususnya di bidang gizi dan kesehatan serta memberikan gambaran umum mengenai pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik yang baik dilakukan dalam mengurangi dan memelihara agar tidak terjadi osteoporosis pada lansia di Panti Werdha.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

H0: Tidak terdapat hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas

fisikdengan kejadian osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor. H1: Terdapat hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas

fisikdengan kejadian osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor.

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik lansia (umur, pendidikan, status pernikahan, dan besar keluarga) berpengaruh terhadap konsumsi pangan lansia. Asupan zat gizi yang diterima oleh tubuh dipengaruhi oleh faktor pola konsumsi pangan dan tingkat kecukupan zat gizi. Kedua hal tersebut sangat berkaitan erat dengan keragaman jenispangan yang dikonsumsi. Pola konsumsi pangan yang seimbang antar sumber zat gizi berpengaruh pada kompleksitas zat gizi yang diterima oleh tubuh.

Tingkat kecukupan energi dan protein tercermin dari jumlah energi dan protein yang dikonsumsi oleh tubuh sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Tingkat kecukupan energi dan protein dapat mempengaruhi status gizi seorang individu (Sellmeyer 2001).Status gizi adalah hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk kedalam tubuhdengan kebutuhan tubuh akan zat gizi tersebut (Supriasa 2001). Status gizi dipengaruhi oleh riwayat kesehatan seseorang dimana konsumsi pangan seseorang yang mengalami gangguan kesehatan akan berubah karena terjadi perubahan metabolisme di dalam tubuh. Selain mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein, maka tingkat kecukupan kalsium dan fosfor juga penting diketahui untuk menentukan status kalsium dan fosfor dalam tubuh yang berpengaruh terhadap nilai densitas tulang lansia.

(18)

4

penurunan estrogen yang berfungsi melindungi tulang dan adanya faktor genetik yang mempengaruhi perubahan densitas tulang.Faktor genetik memiliki kontribusi terhadap masa tulang. Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki masa tulang yang lebih rendah dari normal usia mereka yaitu 3-7% lebih rendah. Skema kerangka pemikiran hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis di Panti Werdha Bogor dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis di Panti Werdha

Bogor.

Karakteristik Contoh -usia

-pendidikan -status pernikahan - besar keluarga Konsumsi Pangan

(Tingkat Kecukupan Energi, Protein, Kalsium dan Fosfor)

Riwayat Kesehatan (Data rekam medik) Status Gizi (IMT)

Status kalsium dan fosfor

Aktivitas Fisik (Nilai PAL) Faktor Genetik Densitas Tulang

(t score)

(19)

5

METODE

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai “Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia di Panti Werdha Bogor”menggunakan desain penelitian cross sectional, yaitu desain penelitian dengan melihat hubungan antara dua variabel yang diamati secara bersamaan pada populasi dan lokasi tertentu.Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, yaitu sesuai dengan tujuan penelitian di rumah perlindungan sosial Panti Werdha Tresna Sukmaraharja dan Panti Werdha Hanna, Bogor dengan mempertimbangkan lokasi, kemudahan perizinan, akses dan populasi yang memenuhi kriteria penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2013.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah lansia yang tinggal di rumah perlindungan sosial Panti Werdha Tresna Sukmaraharja dan Panti Werdha Hanna, Bogor. Contoh harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu sehat, dapat berkomunikasi dengan baik,masih dapatberaktivitas dengan baik, dan bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Kriteria eksklusi adalah contoh yang tidak sehat, sudah mengalami demensia, tidak dapat berkomunikasi dan beraktivitas dengan baik. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder.

Jumlah keseluruhan populasi adalah 71 orang dari kedua panti. Jumlah contohdalam penelitian ini sebanyak 37 orang yang diambil secara purposive dengan derajat kepercayaan sebesar 95%. Pengambilan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari contoh yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta dengan mempertimbangkan jika ada contoh yang drop out selama penelitian berlangsung. Jumlah contoh minimal yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan perhitungan minimal ukuran sampel dalam bidang kesehatan menurut software Lwanga & Lemeshow (1997), sebagai berikut.

n = z21-α/2p (1-p)

d2

n= (1.96)2 (0.103) (0.897) (0.1)2

n= 36 orang Keterangan :

n = Jumlah contoh minimal

p = Prevalensi Osteoporosis Indonesia 10.3% (Depkes 2005) d = Simpangan mutlak 10% (batas toleransi di bidang epidemiologi

kesehatan).

(20)

6

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang meliputi karakteristik contoh (nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan dan besar keluarga), konsumsi pangan, frekuensi dan kebiasaan makan contoh, status gizi (berat badan, tinggi badan, Indeks Massa Tubuh), dan nilai densitas tulang. Data primer konsumsi pangan diperoleh dengan menggunakanrecall 2x24 jamdanFood Frequency Quetionnaire (FFQ) untuk melihat frekuensi kebiasaan makan. Kebiasaan makan dan aktivitas fisik dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung, sedangkan data status gizi diperoleh dengan menggukur berat badan menggunakan timbangan bathroom scale merk camrydan mengukur tinggi badan dengan menggunakan microtoise. Kuesioner penelitian disajikan pada Lampiran 1. Untuk mengukur densitas tulang lansia maka menggunakan alat pengukur densitas tulangmilik Anlene Bone Health Check. Semua alat yang digunakan telah dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Data sekunder meliputi data profil panti, data lengkap penghuni panti, menu makanan, dan riwayat kesehatan penghuni rumah perlindungan sosial Panti Werdha Tresna Sukmaraharja dan Panti Werdha Hanna, Bogor. Data, jenis data, dan cara pengumpulan data ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Cara Pengumpulan Data Penelitian

Variabel Data Jenis Data

Cara - Frekuensi minum susu

Primer Kuesioner

Status Gizi Contoh

-Berat Badan (BB)

-Tinggi Badan (TB) Primer

Pengukuran Langsung Konsumsi

Pangan

- Jumlah pangan - Jenis pangan - Frekuensi makan

-Tingkat Kecukupan energi, protein, kalsium dan fosfor

Primer Aktivitas fisik - Durasi melakukan

akivitas fisik

- Kebiasaan Olahraga

Primer Kuesioner Densitas Tulang

Contoh

-Nilai Densitas Tulang

(t-score) Primer

(21)

7

Pengolahan dan Analisis Data

Data diolah dengan menggunakan program komputer. Proses pengolahan data meliputi pengeditan data, pemberian kode, entri data, cleaning data dan analisis data. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara deskriptif dan korelasi dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16.0 for Windows. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis inferensia.Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik contoh (umur, status pernikahan, tingkat pendidikan dan besar keluarga), kebiasaan makan, frekuensikonsumsi makan contoh, tingkat kecukupan gizi (energi, protein, kalsium dan fosfor), aktivitas fisik contoh, status gizi, dan densitas tulang untuk melihat resiko kejadian osteoporosis pada contoh.

Pola konsumsi pangan terdiri dari jenis, jumlah,frekuensi konsumsi pangan serta konsumsi dan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium dan fosfor contoh.Frekuensi konsumsi pangan diukur menggunakan metode Food Frequencies Questionnaires (FFQ) sedangkan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium dan fosfor contoh dihitung melalui perbandingan konsumsi energi, protein, kalsium dan fosfor yang didapat melalui Recall 2x24 jam dengan Angka Kecukupan energi, protein, kalsium, dan fosfor menurut WKNPG (2004). Data konsumsi pangan yang telah didapatkan dikonversikan ke dalam satuan energi (kkal), protein (g), kalsium (mg), dan fosfor (mg) merujuk pada Daftar Komposisi Bahan Makanan. Konversi dihitung dengan menggunakan rumus (Hardinsyah dan Briawan 1994) sebagai berikut:

Keterangan:

KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan

Setelah mengetahui zat-zat gizi dari pangan yang dikonsumsi contoh, maka tingkat kecukupan zat gizi dapat diketahui dengan cara membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan menurut AKG 2004. Penilaian untuk tingkat kecukupan kalsium dan fosfor dibagi menjadi dua kategori yaitu kurang jika memiliki nilai (<77% AKG) dancukup jika(≥ 77% AKG). Sedangkan penilaian untuk tingkat kecukupan energi dan protein menurut Gibson (2005) dibagi menjadi lima kategori yaitu: (1) Defisit tingkat berat: <70% AKG ; (2) Defisit tingkat sedang: 70-79% AKG ; (3) Defisit tingkat ringan: 80-89% AKG ; (4) Normal: 90-119%AKG dan (5) Kelebihan : >120% AKG.

Status gizi contoh dilihat dari Indeks Massa Tubuh (IMT). Nilai IMT didapatkan dari data berat badan dan tinggi badan yang sebelumnya diukur

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)

(22)

8

terlebih dahulu, kemudian IMT dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Hasil IMT diklasifikasikan berdasarkan WHO (2005) menyatakan bahwa sangat kurus(<14.9), kurus (15.0-18.4), normal (18.5-22.9), gemuk (23.0-27.5), obesitas I (27.6-40.0) dan obesitas II ( >40.0). Jenis data dan variabel data ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Jenis dan Kategori Variabel Pengolahan Data

No Variabel Kategori Pengukuran Sumber Data Data Primer

Tidak Tamat SD/Tidak sekolah

IMT<18.5 (underweight) IMT 18.5-22.9 (normal) IMT 23.0-27.5 (overweight) IMT >27.5 (obesitas)

WHO 2005 Osteoporosis (< -2.5) Severe Osteoporosis (< -2.5) Normal (> 2.5)

Osteoporosis (≤ 2.5)

WHO 1994

AnleneBone Health Check (Harvey

&Cooper 2004) 7 Aktivitas Fisik

- PAR & PAL - Frekuensi

melakukan olahraga

Nilai PAL

(23)

9

Lanjutan Tabel 2 Jenis dan Kategori Variabel Pengolahan Data No Variabel Kategori Pengukuran Sumber Data Data Primer

9 Tingkat Kecukupan kalsium dan fosfor

Kurang (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG)

Gibson 2005 Data Sekunder

10 Lokasi Penelitian, Menu Makanan Lansia, Data Lengkap dan Riwayat Kesehatan

Sesuai data yang tersedia di Panti Werdha

Profil Panti dan Profil Responden

Analisis statistik yang digunakan ditentukan berdasarkan pada normalitas data. Hubungan antara karakteristik contoh (usia, status pernikahan, tingkat pendidikan dan besar keluarga), tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, fosfor status gizi dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis dianalisis dengan uji epidemiologi menghitung nilai Odds Ratio (OR) menggunakan uji regresi Binary Logistik. Uji Binary Logistik digunakan untuk melihat seberapa besar peluang atau kecenderungan variabel independent berpengaruh terhadap variabel dependet. Uji Signifikansi dilakukan dengan mencari nilai p-value dan Confidence Interval (CI). Hubungan antar variabel dikatakan signifikan apabila nilai OR berada diantara selang lower-upper, nilai OR tidak sama dengan satu, nilai satu tidak ada diantara selang Confidence Interval (CI) dan nilai p<0.05. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian osteoporosispada lansia di Panti Werdha Bogor dianalisis dengan menggunakan uji Multiregresi Logistik.

DEFINISI OPERASIONAL

Aktivitas Fisik merupakan bentuk dari perilaku contoh yang menghasilkan pengeluaran energi serta jenis dan jumlah waktu yang diperlukan contoh untuk melakukan kegiatan yang dikelompokkan menjadi aktivitas ringan, sedang dan berat.

Berat badan adalah massa tubuh dalam satuan kilogram yang ditimbang

menggunakan timbangan bathroom scalemerk camry.

Contoh adalah orang yang berusia 55 tahun keatas, bersedia menjadi contoh, dapat diukur tinggi dan berat badannya, dapat beraktivitas dan berkomunikasi dengan baik.

Nilai Densitas tulang adalah jumlah kandungan mineral tulang dalam t score yangdiukur dengan alat bone densitometermilik Anlene Bone Health Check.

(24)

10

Osteoporosis merupakan kondisi menurunnya kepadatan tulang yang umumnya terjadi karena asupan makan, bertambahnya usia dan rendahnya aktivitas fisik. Osteoporosis dilihat dari nilai densitas tulang lansia (t score : ≤2.5). Pola Konsumsi Pangan adalah susunan jenis dan frekuensi konsumsi makan

yang dapat dilihat dari kebiasaan mengkonsumsi jenis-jenis pangan meliputi makanan pokok, pangan hewani, pangan nabati, sayur, buah, dan air putih dengan menggunakan Food Frequencies Questionnaries (FFQ), serta tingkat kecukupan energi, protein, kalsium dan fosfor contohyang di hitungmelalui perbandingan konsumsi yang didapat melalui Recall 2x24 jam dengan angkakecukupan zat gizi menurut WKNPG (2004). Status Gizi adalah keadaan kesehatan tubuh contoh yang dipengaruhi oleh

asupan zat gizi masa lampau yang ditentukan berdasarkan IMT (kg/m2) yang mengacu pada WHO (2005).

Tinggi Badan adalah pengukuran tinggi badan contoh dengan cara pengukuran tinggi badan dengan menggunakan microtoise ketelitian 0.1

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein adalah perbandingan antara konsumsi energi dan protein yang didapatkan dari pengamatan Recall 2x24 jam dengan Angka Kecukupan Energi dan Protein menurutWKNPG (2004). Tingkat Kecukupan Kalsium dan Fosfor adalah perbandingan antara konsumsi

kalsium dan fosfor yang didapatkan dari pengamatan Recall 2x24 jam dengan Angka Kecukupan Kalsium dan Fosformenurut WKNPG (2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

(25)

11 hiburan, pemeriksaan kesehatan oleh petugas kesehatan panti, pengajian umum dan keterampilan bagi penghuni yang mampu untuk melakukannya.

Panti Werdha Hanna adalah panti werdha milik GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat) Zebaoth yang terletak di Jalan Skip Gang Gedung Tujuh No. 19, Kelurahan Lawang Gintung Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Mempunyai tugas untuk melindungi para lanjut usia yang membutuhkan bantuan baik pada lansia dengan masalah sosial terlantar maupun yang dititipkan oleh pihak keluarga. Sumber dana Panti Werdha Hanna berasal dari iuran penghuni panti, donatur, yayasan Dharmais, dan sumbangan lainnya baik berupa uang, barang maupun makanan sebagai pendapatan tambahan panti. Panti Werdha Hanna memiliki fasilitas kamar tidur yang ditempati oleh satu orang dan ada yang ditempati oleh dua orang, aula yang dapat juga berfungsi sebagai Gereja, dapur, ruang makan, gudang, dan ruang keluarga yang berfungsi untuk berkumpul dan menonton televisi bersama. Petugas panti terdiri dari 1 orang kepala rumah tangga dan 5 orang petugas panti (juru masak, petugas kebersihan) yang selalu berada di Panti Werdha Hanna. Pada waktu penelitian, penghuni panti berjumlah 24 orang. Kegiatan yang biasa dilakukan adalah ibadah rutin pada hari minggu, keterampilan, acara hiburan, pemeriksaan kesehatan oleh petugas kesehatan dari puskesmas, dan senam lansia yang dilakukan 2 kali dalam seminggu.

Karakteristik Contoh

Usia

Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepadatan mineral tulang dan kejadian osteoporosis. Pada usia 30 tahun akan terjadi puncak massa tulang (peak bone mass) dan biasanya pada usia 40 tahun resorpsi tulang akan lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan tulang (Lane 2001). Usia lanjut berpengaruh pada proses penuaan yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel-sel tulang. Hal ini menunjukkan dengan bertambahnya umur maka pembentukan tulang berkurang secara relatif dibandingkan dengan resorpsi atau perusakan tulang. Keadaan tersebut dibuktikan dengan adanya rongga bekas resorpsi yang tidak sepenuhnya diisi oleh osteoblast setelah siklus remodelling (Sizer & Whitney 2000).

(26)

12

sebagian besar berada pada umur ≥ 65 tahun.Sebaran contohberdasarkan karakteristik dan kategori osteoporosis dapat dilihat pada Tabel 3.

Status Pernikahan

Wanita yang telah menikah umumnya akan mengalami masa kehamilan. Pada awal masa kehamilan, wanita akan mengalami perubahan metabolisme kalsium yang menyebabkan simpanan kalsium dalam tulang meningkat. Simpanan kalsium tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan kalsium pada seorang wanita yang hamil. Oleh karena itu, wanita hamil dan menyusui harus mengkonsumsi kalsium sesuai jumlah yang direkomendasikan agar tidak mengalami kekurangan kalsium yang akan menyebabkan pengeroprosan tulang. Pada masa mengandung dan menyusui, wanita juga mengalami fase tidak menstruasi (amenorrhea) dan kadar estrogen dalam tubuh menurun yang menyebabkan resorpsi tulang menjadi lebih tinggi daripada pembentukan tulang, dan berdampak pada penurunan massa tulang (Lane 2001).

Status pernikahan contoh dalam penelitian ini terlihat cukup bervariasi. Menurut status pernikahannya lebih dari separuh contoh (59.5%) cerai mati, sebesar 21.6% contoh tidak menikah, sebesar 13.5% contoh cerai hidup dan sebesar 5.4% contoh menikah. Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan pada contoh, sebagian besar contoh memilih untuk tinggal di Panti Werdha karena sudah tidak memiliki suami dan keluarga yang mampu untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari contoh. Hal ini tidak sejalan dengan BPS (2004) yang menyatakan bahwa status pernikahan penduduk lansia pada umumnya adalah menikah (61.2%), cerai mati (35.9%), cerai hidup (2.2%). dan belum menikah (0.7%). Berdasarkan kategori osteoporosis, sebagian besar contoh yang tidak osteoporosis (62.5%) dan yang osteoporosis (58.6%) adalah contoh dengan status pernikahan cerai mati.

Pendidikan

Pendidikan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan pada seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan dan tambahan informasi yang lebih luas dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Menurut Rizkiyah (2008), tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap kejadian osteoporosis. Wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi mempunyai peluang 5 kali untuk memiliki sikap mendukung pencegahan osteoporosis dibandingkan wanita dengan tingkat pendidikan rendah.

(27)

13 mereka pada saat itu dan terkait dengan kondisi ekonomi keluarga contoh, serta karena kurangnya kesadaran dalam keluarga contoh mengenai pentingnya pendidikan pada saat itu. Rata-rata contoh lebih berorientasi untuk membantu memenuhi kehidupan keluarga dengan ikut membantu bekerja dan tidak terlalu peduli dengan pendidikan.

Tabel 3 Sebarancontoh berdasarkan karakteristik dan kategori osteoporosis Variabel

Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

n % n % n % Usia (tahun)

55-64 tahun 3 37.5 6 20.7 9 24.3

≥ 65 tahun 5 62.5 23 79.3 28 75.7

Total 8 100 29 100 37 100

Status Pernikahan

Tidak menikah 1 12.5 7 24.1 8 21.6

Menikah 0 0.0 2 6.9 2 5.4

Cerai mati 5 62.5 17 58.6 22 59.5

Cerai hidup 2 25.0 3 10.3 5 13.5

Total 8 100 29 100 37 100

Pendidikan

Tidak sekolah/tidak tamat 3 37.5 9 31.0 12 32.4

SD 2 25.0 7 24.1 9 24.3

SMP 1 12.5 7 24.1 8 21.6

SMA 1 12.5 5 17.2 6 16.3

Perguruan tinggi 1 12.5 1 3.4 2 5.4

Total 8 100 29 100,0 37 100,0

Besar Keluarga

Kecil (≤ 4 orang ) 6 75.0 23 79.3 29 78.4

Sedang (5-7 orang) 2 25.0 4 13.8 6 16.2

Besar (>7 orang) 0 0.0 2 6.9 2 5.4

Total 8 100 29 100 37 100

Besar keluarga

(28)

14

Berdasarkan hasil penelitian dari keseluruhan contoh dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh memiliki keluarga dalam kategori kecil yaitu sebesar 78.4%, keluarga kategori sedang 16.2% dan keluarga dengan kategori besar sebanyak 5.4%. Hal ini disebabkan karena sebagian besar contoh sudah ditinggal suami sejak masih muda, sehingga contoh hanya memiliki 1-2 orang anak. Berdasarkan wawancara diketahui juga bahwa sebagian besar anak contoh tidak mampu untuk merawat contoh sehingga contoh dititipkan ke Panti Werdha.Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh yang tidak osteoporosis maupun yang sudah osteoporosismemiliki besar keluarga ≤4 orang atau juga dapat dikategorikan dalam keluarga kecil.

Status Gizi

Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat-zat gizi makanan. Status gizi juga diartikan sebagai keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Soekirman 2002). Pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mendapatkan status gizi contoh dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 3 . Tabel 4menunjukkan rata-rata, nilai minimumdan maksimum IMTcontoh.Rata-rata IMT contoh adalah 22.6±5.2. Nilai IMT minimumcontohsecara keseluruhan sebesar 13.7 kg/m2, dan nilai IMT maksimum adalah 34.6 kg/m2.

Tabel 4 Rata-rata, nilai minimum, maksimum status gizi (IMT) contoh Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

Rata-rata ± SD 22.6±5.0 22.8±6.0 22.7±5.5

Nilai IMT minimum 13.7 15.9 13.7

Nilai IMT maksimum 33.1 34.6 34.6

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari keseluruhan contoh sebagian besar (40.5%) memiliki status gizi lebih (>22.9). Sebagian besar contohyang tidak mengalami osteoporosis memiliki status gizi lebih (50.0%), sedangkan yang berstatus gizi normal dan kurus masing-masing sebesar 25%. Contoh yang osteoporosis sebagian besar memiliki status gizi normal (41.4%), sebesar 37.9% memiliki status gizi lebih dan 20.7% memiliki status gizi kurang. Contoh yang berada pada kategori gizi lebih cenderung disebabkan karena mengkonsumsi pangan dalam jumlah banyak dan tidak melakukan aktivitas fisik. Sebaliknya, contoh yang berada pada kategori gizikurang cenderung mengkonsumsi pangan dalam jumlah sedikit dan juga karena ada gangguan kesehatan yang menyebabkan penurunan nafsu makan. Menurut Bray (1991),untuk mencapai status gizi yang baik diperlukan pangan yang mengandung cukup zat gizi, aman untuk dikonsumsi dan dapat memenuhi kebutuhan seseorang.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT)

Status Gizi Kategori Osteoporosis

(29)

15 Osteoporosis

n % n % n %

Kurang 2 25.0 6 20.7 8 21.6

Normal 2 25.0 12 41.4 14 37.8

Lebih 4 50.0 11 37.9 15 40.5

Total 8 100 29 100 37 100

Kejadian Osteoporosis

Osteoporosis merupakan suatu keadaan dimana tulang menjadi keropos, tanpa merubah bentuk atau struktur luar tulang, namun daerah dalam menjadi berlubang dan mudah patah (Roesma 2006). Menurut Harvey & Cooper (2004), osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan mikroarsitektur jaringan tulang yang berakibat menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang serta risiko terjadinya patah tulang. Risiko osteoporosis dapat diketahui dengan memeriksakan kepadatan tulang atau yang lebih dikenal dengan densitas tulang. Menurut Broto (2004), pemeriksaan kepadatan tulang dengan bone densitometer merupakan pemeriksaan akurat dan presisi untuk menilai kepadatan tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur dan diagnosis osteoporosis.Pengukuran kepadatan tulang digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis osteoporosis dan memprediksi risiko fraktur di masa yang akan datang. Kepadatan tulang memiliki hubungan terbalik terhadap risiko fraktur tulang, semakin rendah kepadatan mineral tulang maka semakin besar risiko fraktur (NOF 2008).

Pengukuran densitas tulang pada penelitian ini menggunakan alat dari Anlene Bone Health Checkyang merupakan jenis ultrasound yang menunjukkan nilai t score. Individu yang melakukan pengukuran densitas tulang dengan umur diatas 19 tahun menggunakan alat ultrasound akan menghasilkan nilai t score. Kategori penilaian nilai t score ini disesuaikan dengan WHO (1994).

Tabel 6 menunjukkan rata-rata, nilai minimum, dan maksimum nilai t score densitas tulang contoh. Rata-rata nilai t score contoh adalah -2.9±0.7. Nilai minimum pada contoh secara keseluruhan adalah -5.6, sedangkan nilai t score maksimum adalah -0.7. Nilai t score contoh terlihat tidak terlalu heterogen (bervariasi), hal ini diduga karena contoh berada pada rentang umur yang tidak terlalu jauh berbeda. Pada contoh yang osteoporosis nilai t score densitas tulang berada pada rentang -2.8 hingga -5.6, sedangkan pada contoh dengan nilai t score densitas tulang normal berada di rentang -0.7 hingga -2.2.

Tabel 6 Rata-rata, nilai minimum, maksimum t score contoh Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

Rata-rata ± SD -1.7±0.6 -4.0±0.7 -2.9±0.7

Nilai t-score minimum -2.2 -5.6 -5.6

Nilai t-score maksimum -0.7 -2.8 -0.7

(30)

16

SD<-1), osteoporosis (<-2.5) dan severe osteoporosis dengan adanya fracture. Hasil pengukuran densitas tulang contoh menunjukkan bahwa sebanyak 5.4% contoh memiliki nilai densitas tulang normal, sebesar 16.2% memiliki nilai densitas tulang pada risiko osteopenia, dan 78.4% mengalami osteoporosis. Berdasarkan Anlene Bone Health Check diketahui bahwa bagi individu yang berusia lanjut, nilai normal densitas tulang berada pada rentang -1≤SD<2.5, sehingga contoh yang memiliki nilai densitas tulang >-2.5 tergolong dalam kategori tidak osteoporosis (normal) dan contoh dengan nilai densitas tulang ≤-2.5 tergolong dalam kategori osteoporosis atau telah berisiko mengalami osteoporosis. Anlene Bone Health Checkjuga memperkuat penyataan Harvey dan Cooper (2004) yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan dalam pengelompokan angka standar deviasi osteoporosis lansia. Pada lansia terdapat penggolongan standar deviasi tertentu yang berbeda dengan orang-orang muda dan sehat.

Tabel 7 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan kategori nilait score Anlene Bone Health Check. Sebagian besar contoh (78.4%) mengalami osteoporosis karena nilai densitas tulang contoh ≤-2.5. Hanya sebesar 21.6% contoh yang tidak osteoporosis (t score > -2.5). Keadaan osteoporosis antara lain diduga disebabkan oleh kebiasaan konsumsi kalsium harian sejak masa muda yang kurang dari kecukupan dan kurangnya melakukan aktivitas fisik sehingga mengakibatkan contoh mengalami osteoporosis di masa lanjut usia.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai densitas tulang (t score) Kategori

WHO 1994 n %

Kategori Anlene Bone Health

Check

Pola Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah dan Martianto 1988). Pola konsumsi pangan adalah jenis dan frekuensi beragam pangan yang biasa dikonsumsi, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang.Pada penelitian ini, pola konsumsi pangan terdiri dari tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, fosfor, serta jenis dan frekuensi pangan yang paling sering dikonsumsi oleh contoh sehingga sudah menjadi kebiasaan makan contoh.

(31)

17 Tabel 8 memperlihatkan frekuensi konsumsi pangan contoh yang telah di kelompokkan menurut jenis kelompok pangan dan dihitung frekuensi makanan yang dikonsumsi oleh contoh dalam satu minggu. Makanan sumber karbohidrat yang paling sering dikonsumsi oleh contoh adalah nasi yang merupakan makanan pokok di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terlihat bahwa contoh yang osteoporosis mengkonsumsi nasi sebesar 20.5 kali/minggu, dan contoh yang tidak osteoporosis rata-rata mengkonsumsi nasi sebesar 21 kali/minggu, dimana ini menunjukkan bahwa rata-rata keseluruhan contoh mengkonsumsi nasi 2-3 kali per hari. Frekuensi konsumsi makanan pokok dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi makanan pokok

Jenis Pangan

Rataan Frekuensi (kali/minggu) Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

Makanan Pokok Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata-rata±stdev beserta frekuensi

minimal;maksimal

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein

Tabel 9 menunjukkan jenis pangan sumber protein (protein hewani dan nabati) yang paling sering dikonsumsi oleh contoh. Pada keseluruhan contoh sumber protein hewani yang paling sering di konsumsi adalah telur (5.5±3.3) atau 5-6 kali dalam seminggu. Konsumsi telur ini baik karena mengandung protein hewani yang memiliki mutu cerna dan daya manfaat yang baik bagi tubuh. Dalam 1 butir telur mengandung 7 gr protein (DKBM 2004).Contoh paling sering mengkonsumsi telur karena hampir setiap hari dari pihak panti menyediakan makanan olahan telur, namun terdapat beberapa contoh yang tidak menyukai telur karena alergi dan merasa sudah bosan. Selain telur, jenis pangan hewani yang sering dikonsumsi oleh contoh adalah susu yaitu rata-rata 3.1 kali dalam seminggu.

Tabel 9 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi protein hewani dan nabati

Jenis Pangan

Rataan Frekuensi (kali/minggu) Kategori Osteoporosis Tidak

(32)

18

Protein Hewani dan Nabati Ayam Tabel 9 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi protein hewani dan nabati

Jenis Pangan

Rataan Frekuensi (kali/minggu) Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

Protein Hewani dan Nabati Ikan Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata-rata±stdev beserta frekuensi

minimal;maksimal

Tahu dan tempe adalah pangan sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi oleh keseluruhan contoh. Rata-rata frekuensi tahu dan tempe pada contoh yangosteoporosis dan tidak osteoporosis adalah sebanyak 8.8±4.1 dan 8.8±4.1 kali dalam seminggu. Rata-rata frekuensi konsumsi tahu dan tempe pada keseluruhan contoh memiliki nilai yang sama karena setiap hari disediakan tahu dan tempe dari pihak panti. Alasan contoh sering diberikan tahu dan tempe untuk dikonsumsi karena sebagian besar contoh sangat menyukai tahu dan tempe, harganya yang murah dan selalu tersedia di pasar. Selain itu juga terdapat beberapa contoh yang alergi terhadap pangan hewani, sehingga contoh lebih memilih mengkonsumsi pangan nabati.

Frekuensi Konsumsi Sayur dan Buah

(33)

19 kali dalam seminggu. Konsumsi sayur penting karena sayur juga mengandung pro-vitamin A dan vitamin C yang berfungsi sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas dan mengatasi efek dari stres. Buah yang sering dikonsumsi oleh keseluruhan contoh adalah jeruk. Contoh yang osteoporosis mengkonsumsi jeruk rata-rata sebanyak 2.3 kali dalam seminggu, sedangkan contoh yang tidak osteoporosis atau yang memiliki kepadatan tulang normal mengkonsumsi buah jeruk sebanyak 2.8 kali dalam seminggu. Berdasarkan penelitian dan wawancara mendalam, jeruk merupakan buah yang paling sering diberikan oleh pihak panti dan mudah untuk didapatkan di pasar sehingga beberapa contoh membeli buah jeruk untuk dikonsumsi sendiri.

Tabel 10 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi sayur dan buah

Jenis Pangan

Rataan Frekuensi (kali/minggu) Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

Sayur dan Buah Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata-rata±stdev beserta frekuensi

minimal;maksimal

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Kalsium

Kalsium adalah zat gizi yang penting, yang terlibat dalam banyak proses metabolisme dan memberikan kekuatan mekanis pada tulang dan gigi. Keseimbangan kalsium negatif disebabkan oleh kurangnya asupan makanan, penyerapan yang lemah atau pengeluaran yang berlebihan akan mengakibatkan kehilangan kalsium dari tulang dan selanjutnya dapat meningkatkan kejadian patah tulang. Dalam hal ini terdapat data secara epidemiologis yang menunjukkan adanya hubungan positif antara asupan kalsium dengan kepadatan tulang (Wimalawansa 2004).

(34)

20

terutama ikan duri halus, kacang-kacangan, dan makanan jadi yangdifortifikasi dengan kalsium seperti jus, dan sereal (Setyorini 2009).

Pangan sumber kalsium pada Tabel 11 terbagi menjadi kelompok pangan susu dan non susu. Kelompok pangan susu adalah jenis susu yang dikonsumsi contoh, namun tidak terdapat kelompok pangan olahan susu yang dikonsumsi contoh seperti yoghurt dan keju. Kelompok pangan non susu terdiri dari pangan hewani, kacang-kacangan dan olahan, serta sayuran.Tabel 11 menunjukkan nilai rata-rata frekuensi konsumsi susu keseluruhan contoh sebesar 3.1±2.7 kali dalam seminggu. Frekuensi konsumsi susu merupakan konsumsi yang terbesar kedua setelah pangan dari kacang-kacangan dan olahannya.Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2006) susu baik untuk dikonsumsi oleh semua usia terutama kelompok lansia karena mengandung zat-zat gizi yang penting untuk melengkapi kebutuhan zat gizi untuk menjaga kesehatan tubuh. Kandungan kalsium dan fosfor pada susu baik untuk menjaga kesehatan tulang serta menghindari terjadinya pengeroposan.

Tabel 11 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi makanan sumber kalsium

Jenis Pangan

Rataan Frekuensi (kali/minggu) Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis

Osteoporosis Total

Pangan sumber kalsium

Susu 3.0±2.5 3.1±2.8 3.1±2.7

Non susu

Pangan Hewani 2.5±1.5 2.6±1.6 2.6±1.6

Kacang-kacangan dan olahannya

5.0±2.7 5.2±2.4 5.2±2.5

Sayuran 2.2±1.4 2.5±1.2 2.4±1.4

Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata-rata±stdev

Rata-rata frekuensi konsumsi pangan hewani (non susu) contoh sebesar 2.6±1.6kali per minggu, ini lebih rendah dibandingkan konsumsi kacang-kacangan dan olahanyaitu 5.2±2.5 kali per minggu. Hal ini disebabkan keseluruhan contoh hampir setiap hari mengkonsumsi tahu dan tempe yang merupakan olahan dari kacang-kacangan. Dengan demikian frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium yang paling tinggi pada contoh dalam penelitian ini adalah dari kacangan dan olahannya. Menurut Almatsier (2006), kacang-kacangandan olahannya memiliki kandungan kalsium yang cukup tinggi sehingga baik untuk dikonsumsi bagi individu untuk mencukupi kadar kalsium tubuh. Rata-rata frekuensi konsumsi sayuran keseluruhan contoh memiliki nilai yang paling kecil yaitu 2.4±1.4 kali per minggu, sehingga absorpsi kalsium tidak terlalu dihambat oleh konsumsi sayur, karena menurut Almatsier (2006), asam oksalat dalam bayam dan sayuran lain dapat membentuk garam kalsium oksalat yang tidak larut sehingga menghambat absorbsi kalsium.

(35)

21 Kebiasaan makan merupakan cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih dan mengkonsumsi pangan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya, serta ekonomi. Kebiasaan makan contoh penting untuk diketahui karena berkaitan dengan preferensi makan contoh. Preferensi makan diasumsikan sebagai sikap suka atau tidak suka terhadap makanan yang dapat mempengaruhi konsumsi dan kebiasaan makan seseorang. Frekuensi makan per hari merupakan salah satu aspek dari kebiasaan makan. Frekuensi makan tersebut dapat dijadikan penduga tingkat kecukupan gizi, dimana semakin tinggi frekuensi makan maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi akan semakin besar (Khomsan 2003).

Susanto (1993), menyebutkan bahwa kebiasaan makan yang baik adalah makan sebanyak dua atau tiga kali setiap hari dengan makanan yang lengkap. Pada penelitian ini rata-rata contoh memiliki kebiasaan makan yang baik. Tabel 12menunjukkan bahwa sebagian besar dari keseluruhan contoh memiliki frekuensi makan rata-rata sebanyak 3 kali sehari (81.1%), sebesar 13.5% contoh makan dua kali dalam sehari dan sebesar 5.4% contoh makan lebih dari 3 kali dalam sehari.Sarapan merupakan kegiatan awal yang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum memulai aktivitas sehari-hari. Sarapan sangat dianjurkan untuk semua kelompok umur, baik anak-anak, remaja, dewasa dan lansia (Hartoyo 2006). Tabel 12 memperlihatkan bahwa keseluruhan contoh sebagian besar selalu sarapan pagi (89.2%) karena pihak panti menyediakan makan sebanyak 3 kali sehari dan semua penghuni panti diwajibkan untuk sarapan pagi. Namun, terdapat beberapa contoh yang tidak selalu sarapan pagi (10.8%) dengan penyebab karena ada gangguan kesehatan sehingga contoh merasakan mual jika sudah makan di pagi hari. Waktu sarapan contoh berkisar pada rentang pukul 05.00-09.00 WIB, dimana sebagian besar contoh (81.1%) sudah sarapan pada pukul 05.00-06.30. Menurut Hartoyo (2006), sarapan dilakukan paling tidak satu jam sebelum melakukan aktivitas karena organ pencernaan manusia memerlukan waktu agar makanan dapat dicerna dengan sempurna. Makanan yang biasa dikonsumsi keseluruhan contoh pada saat sarapan adalah nasi dan lauk pauk (97.3%) yang menunjukkan bahwa sarapan pagi contoh terdiri dari makanan sumber zat tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur.

Tabel 12Sebaran contoh berdasarkan frekuensimakan dan kebiasaan sarapan

Variabel

Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

n % n % n %

Waktu sarapan 05.00-06.30 8 100.0 22 75.9 30 81.1

(36)

22

Total 8 100.0 29 100.0 37 100.0

Sarapan

Total 8 100.0 29 100.0 37 100.0

Tabel 13 menunjukkan bahwa dari keseluruhan contoh (35.1%) hanya minum air putih setiap harinya dan tidak mengkonsumsi minuman seperti teh, kopi maupun minuman lainnya. Hal ini dikarenakan banyak dari contoh yang memiliki pantangan untuk mengkonsumsi minuman selain air putih yang terkait dengan kondisi kesehatan contoh. Selain air putih, sebanyak 27.0% dari keseluruhan contoh sering mengkonsumsi susu, karena di Panti Werdha Hanna mewajibkan bagi seluruh penghuni panti untuk mengkonsumsi susu setiap harinya, sedangkan contoh yang berada di Panti Werdha Tresna diberikan susu sebanyak 2-3 kali dalam seminggu. Susu adalah sumber kalsium danfosfor yang sangat penting untuk pembentukan tulang (Khomsan 2004). MenurutWattiaux (2005), kalsium dan fosfor dari susu lebih mudah dicerna, hal initerutama dihubungkan dengan adanya kasein yang merupakan protein utama susu,yang dapat membantu meningkatkan daya serap kalsium.

Sebagian besar contoh sudah terbiasa minum susu sejak balita (45.9%) baik itu contoh yangmengalami osteoporosis maupun contoh yang tidak osteoporosis. Contoh yang memiliki kepadatan tulang yang normal atau yang tidak osteoporosis sebesar 75.0% sudah terbiasa minum susu sejak balita hingga sekarang. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan kepadatan tulang contoh lansia masih baik (normal) dan tidak mengindikasikan osteoporosis hinga saat ini. Contoh yang mengalami osteoporosis rata-rata memiliki kebiasaan minum susu dalam waktu baru-baru ini(34.9%) sehingga berdampak pada risiko kejadian osteoporosis dimana sejak kecil dan masa muda mineral tulang tidak tercukupi terutama kalsium dari susu. Menurut Heaney dan Whiting (2004), usia muda adalah saat untuk memaksimalkan kemampuan genetis dalam pencapaian massa puncak pertumbuhan tulang, dan usia lanjut adalah saat untuk memelihara massa tulang dan meminimalkan kehilangan massa tulang seiring dengan bertambahnya usia.

Menurut WKNPG (2004), kebutuhan air bagi lansia adalah 1500 ml atau berkisar 6 gelas per hari. Jadi dengan mengkonsumsi air <6 gelas per hari maka kebutuhan lansia akan air belum terpenuhi. Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh yang tidak osteoporosis (75.0%) mengkonsumsi air putih sebanyak 6-8gelas dalam sehari. Hal ini berbeda dengan contoh yang mengalami osteoporosis, sebagian besarnya mengkonsumsi air putih sebanyak <6 gelas sehari yaitu sebesar 75.9%. Dari data tersebut terlihat bahwa rata-rata keseluruhan contoh (64.9%) mengkonsumsi air putih dalam jumlah yang lebih kecil dari yang disarankan yaitu <6 gelas dalam sehari.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minumdan konsumsi susu

Variabel

Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

(37)

23

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minumdan konsumsi susu

Variabel

Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

n % n % n %

Tabel 14memperlihatkan bahwa dari contoh yang tidak osteoporosis, sebagian besar contoh menyukai lauk hewani (37.5%). Lauk hewani merupakan sumber mineral yang baik, karena mineral yang berasal dari lauk hewani memiliki nilai biologis yang tinggi (Almatsier 2004). Hal ini menunjukkan bahwa pada contoh yang tidak osteoporosis kemungkinan besar banyak mendapatkan asupan mineral kalsium dan fosfor dari lauk hewani yang dikonsumsi. Pada contoh yang mengalami osteoporosis memiliki persentase kesukaan terbesar pada makanan dari luar panti (jajanan) yaitu sebesar 34.5%.

(38)

24

contoh berdasarkan preferensi terhadap makanan dan kebiasaan jajan dapat dilihat pada Tabel 14 berikut.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan preferensi terhadap makanan dan kebiasaan jajan

Variabel

Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

n % n % n %

Total 8 100.0 29 100.0 37 100.0

Kebiasaan

Total 8 100.0 29 100.0 37 100.0

Kebiasaan

Total 8 100.0 29 100.0 37 100.0

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein

Energi dan protein merupakan dua faktor penentu kesehatan yang penting. Energi digunakan oleh seluruh tubuh sebagai bahan bakar untuk kegiatan yang berkaitan dengan kehidupan. Protein berfungsi utama sebagai zat gizi yang bertugas untuk membentuk dan memperbaiki jaringan tubuh. Di samping fungsi utamanya, protein juga membantu sebagai sumber energi. Setiap gram protein menghasilkan rata-rata 4 kilo kalori. Energi dari protein dibutuhkanterutama apabila tubuh memerlukan energi lebih banyak serta apabila kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak dalam makanan belum mencukupi (Suryono 2007).

(39)

25 Tabel 15 menunjukkan rata-rata konsumsi energi dan protein contoh. Rata-rata konsumsi energi dan protein dari keseluruhan contoh adalah 1648 kkal dan 51 gram. Kecukupan energi dan protein contoh dilihat dari ketetapan dalam Angka Kecukupan Gizi sesuai dengan kelompok umur contoh. Tingkat kecukupan energi dan protein didapatkan dari perbandingan antara konsumsi dengan kecukupan gizi. Pada keseluruhancontoh, tingkat kecukupan energi dan protein rata-rata adalah 100.7% dan 102.3% yang berada pada kategori normal (Depkes1996). Berdasarkan kategori osteoporosis, contoh yang tidak osteoporosis memiliki rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein sebesar 97.3% dan 95.9%, sedangkan tingkat kecukupan energi dan protein contoh yang osteoporosis adalah 101.6% dan 104.0%, dimana keduanya masih berada kategori normal.

Tabel 15 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein contoh Variabel

Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

Energi (kkal)

Asupan/Konsumsi 1612 1658 1648

Kecukupan (50-64 tahun) 1750 1750 1750

( ≥ 65 tahun ) 1600 1600 1600

Tingkat Kecukupan (%) 97.3 101.6 100.7

Protein (g)

Asupan/Konsumsi 48 52 51

Kecukupan 50 50 50

Tingkat Kecukupan (%) 95.9 104.0 102.3

Sebesar 62.2% dari keseluruhan contoh barada pada kategori tingkat kecukupan energi normal, dimana sebagian besar contoh yang tidak osteoporosis dan osteoporosis berada dalam kategori normal dengan persentase masing-masing sebesar 50.0% dan 65.5%. Pada tingkat kecukupan protein keseluruhan contoh sebagian besar dalam kategori defisit (43.2%), sebesar 32.4% dalam kategori lebih dan sebesar 24.3% dalam kategori normal.Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini.

Tabel 16 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan energi dan protein

Variabel

Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

n % n % n % Tingkat Kecukupan Energi

Defisit (<90%) 3 37.5 6 20.7 9 24.3

Normal (90-119%) 4 50.0 19 65.5 23 62.2

Kelebihan (≥120%) 1 12.5 4 13.8 5 13.5

Total 8 100.0 29 100.0 37 100.0

(40)

26

Defisit (<90%) 4 50.0 12 41.4 16 43.2

Normal (90-119%) 1 12.5 8 27.6 9 24.3

Kelebihan (≥120%) 3 37.5 9 31.0 12 32.4

Total 8 100.0 29 100.0 37 100.0

Pada Tabel 16 terlihat tingkat kecukupan protein contoh yang mengalami osteoporosis maupun yang tidak osteoporosis sebagian besar tergolong defisit. Protein terbagi menjadi dua jenis yaitu protein hewani dan protein nabati. Pada umumnya pangan nabati mempunyai kandungan protein lebih rendah dibandingkan dengan pangan hewani. Pada penelitian ini diperoleh data konsumsi protein nabati lebih tinggi dibandingkan dengan protein hewani. Rendahnya konsumsi protein hewani diduga karena dari keseluruhan contoh banyak yang tidak menyukai makanan sumber protein hewani sejak kecil dan sebagian besar kelompok usia lanjut memiliki kecenderungan untuk menghindari protein hewani dengan alasan kesehatan tertentu.

Tingkat Kecukupan Kalsium dan Fosfor

Kalsium dan fosfor merupakan mineral yang termasuk zat gizi yangpenting dalam pembentukan tulang. Dalam matriks tulang, kalsium merupakankomponen yang terbesar. Untuk membentuk struktur tulang dan metabolismekalsium, mineral-mineral lain juga diperlukan seperti halnya fosfor dan zat besi. Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium yangterdapat dalam tubuh dan bersama-sama dengan kalsium terikat dalam kerangkatulang (Illich dan Kerstetter 2000).Kecukupan asupan kalsium sangat penting untuk mencapai massa tulang puncak optimal dan mengurangi laju kehilangan tulang karena bertambahnya usia (National Institute of Health 1994).

Tabel 17 menunjukkan rata-rata konsumsi kalsium dan fosfor contoh. Rata-rata konsumsi kalsium dan fosfor dari keseluruhan contoh adalah 595 mg dan 838 mg. Kecukupan kalsium dan fosfor contoh dilihat dari ketetapan dalam Angka Kecukupan Gizi sesuai dengan kelompok umur, yaitu kalsium 800 mg/hari dan fosfor 600 mg/hari. Tingkat kecukupan kalsium rata-rata keseluruhan contoh masih berada dalam kategori kurang yaitu 74.4%, sedangkan tingkat kecukupan fosfor rata-rata keseluruhan contoh adalah 139.7% yang sudah berada dalam kategori cukup (Gibson 2005).Berdasarkan kategori osteoporosis, contoh yang tidak osteoporosis memiliki rata-rata tingkat kecukupan kalsium dan fosfor sebesar 72.2% dan 139.7%, sedangkan tingkat kecukupan kalsium dan fosfor contoh yang osteoporosis adalah 75.0% dan 139.7%.

Tabel 17 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium dan fosfor contoh Variabel

Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

Kalsium (mg)

Asupan/Konsumsi 577 600 595

(41)

27

Tingkat Kecukupan (%) 72.2 75.0 74.4

Fosfor (mg)

Asupan/Konsumsi 838 838 838

Kecukupan 600 600 600

Tingkat Kecukupan (%) 139.7 139.7 139.7

Tabel 18menunjukkan bahwa tingkat kecukupan kalsium pada contoh yang mengalami osteoporosis sebagian besar(75.9%)berada pada kategori defisit, sedangkan pada contoh yang tidak osteoporosis sebagian besar berada pada kategori normal (75.0%). Hal ini sesuai dengan data secara epidemiologis yang menunjukkan adanya hubungan positif antara asupan kalsium dan kepadatan tulang (Wimalawansa 2004). Selain itu juga dari hasil-hasil tersebut diperlihatkan bahwa peningkatan asupan kalsium dari makanan yang biasa dikonsumsi mempunyai keuntungan untuk perkembangan dan pemeliharaan tulang dan dapat mengurangi risiko osteoporosis pada saat usia lanjut (Flynn dan Cashman 1999). Pada tingkat kecukupan fosfor sebagian besar contoh yang mengalami osteoporosis dan contoh yang tidak osteoporosis berada dalam kategori normal yaitu masing-masing 93.1% dan 62.5%. Almatsier (2004) menyatakan bahwa fosfor banyak terdapat di dalam makanan, sehingga jarang bagi seorang individu mengalami kekurangan fosfor. Rata-rata tingkat kecukupan fosfor tergolong cukup pada individu yang normal dan tidak mengalami penyakit tertentu.

Tabel 18 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan kalsium dan fosfor

Variabel

Kategori Osteoporosis Tidak

Osteoporosis Osteoporosis Total

n % n % n %

Tingkat Kecukupan Kalsium

Defisit 2 25.0 22 75.9 24 64.9

Normal 6 75.0 7 24.1 13 35.1

Total 8 100.0 29 100.0 37 100.0

Tingkat Kecukupan Fosfor

Defisit 2 25.0 2 6.9 4 10.8

Normal 6 75.0 27 93.1 33 89.2

Total 8 100.0 29 100.0 37 100.0

Aktivitas Fisik

Gambar

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran hubungan antara pola konsumsi pangan
Tabel 1 Cara Pengumpulan Data Penelitian
Tabel 2 Jenis dan Kategori Variabel Pengolahan Data
Tabel 3 Sebarancontoh berdasarkan karakteristik dan kategori osteoporosis
+7

Referensi

Dokumen terkait

vandalisme yang dilakukan oleh mereka terutama pada saat proses kegiatan. pemebelajaran berlangsung merupakan perilaku yang salah dan

Secara khusus telah terjadi enam pergeseran dalam pengelolaan APBD, yakni dalam akuntabilitas (dari akuntabilitas vertikal menjadi horizontal), penyusunan anggaran

Juara 2 VIETNAM OPEN 2012, HO CHI MINH CITY, VIETNAM ( Lempar cakram )1. Pengalaman sebagai

Injection) MELALUI MULTIMEDIA DENGAN METODE TUTOR SEBAYA SISWA KELAS 3 MO1 SMK NEGERI 4 SEMARANG TAHUN AJARAN 2010/2011. Program : Hibah I-MHERE Tahun : 2010 Status :

Demikianlah surat keterangan Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Jakarta, 28

• Tercatat sebagai Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program. Studi Matematika Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Judul : Studi Komparasi tentang Prestasi Belajar Sub Bidang Studi Seni Rupa antara Murid SMA Negeri dengan Murid SMA Swasta di Kotamadya Sewmarang. Program : Dosen Muda Tahun :

Padasuka Cibatu Jayabakti Banjarwangi Purbajaya Peundeuy Cisangkal Cihurip Cikondang Cisompet Bojong Pameungpeuk Linggarjati Pamulihan Talagawangi Pakenjeng Gunamekar Bungbulang