• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU

MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM+ DENGAN

RTRW PROVINSI DKI JAKARTA

GEANISA VIANDA PUTRI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kesesuaian Klasifikasi

Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi

DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Geanisa Vianda Putri

(4)

ABSTRAK

GEANISA VIANDA PUTRI. Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing

oleh NINING PUSPANINGSIH.

Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta menetapkan luasan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 30% dari total luas daratan DKI Jakarta. Hal ini dituangkan dalam Rencana Tata Ruang (RTRW) Provinsi DKI Jakarta yang disahkan pada tahun 2012 dan berlaku hingga tahun 2030. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perubahan tutupan lahan hasil klasifikasi menggunakan citra Landsat ETM+ di Provinsi DKI Jakarta dan membandingkan hasil klasifikasi tersebut dengan tatanan lahan RTH pada RTRW DKI Jakarta antara tahun 2000 dan 2012. Hasil penelitian menunjukan perubahan tutupan lahan yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta sebagian besar terjadi pada jenis tutupan lahan ruang terbuka hijau yang mengalami penurunan luas sebesar 16.3%. Analisis kesesuaian tatanan lahan ruang terbuka hijau yang ditetapkan dalam RTRW dengan yang ada di lapangan menunjukan bahwa proporsi RTH yang ada di Jakarta pada tahun 2000 mencapai 36%, sedangkan untuk tahun 2004 dan tahun 2012 persentase RTH adalah sebesar 27.5% dan 25.5%, hasil ini tidak sesuai dengan standar RTH dalam RTRW Provinsi DKI Jakarta yang dijelaskan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012, yaitu sebesar 37.8%.

Kata kunci: pembangunan perkotaan, RTRW Provinsi DKI Jakarta, ruang terbuka hijau, tutupan lahan

ABSTRACT

GEANISA VIANDA PUTRI. The Suitability Classification of Green Open Space Using Landsat ETM+ to The Regional Spatial Plan of Jakarta. Supervised by NINING PUSPANINGSIH.

Jakarta Provincial Government determine that the proportion of green open space is as much as 30% Jakarta Province land area. It is stated in The Regional Spatial Plan of Jakarta that was enacted in 2012 and prevail to 2030. The objectives of this research are to analyze the results of land cover classification changes using Landsat ETM + imagery in Jakarta Province, and to compare the classification result toward the green open space area in The Regional Spatial Plan of Jakarta between 2000 and 2012. The result showed that land cover changes in Jakarta mostly happens on the green open space area, which declined by 16.3%. Land suitability analysis of green open space that set out in the Regional Spatial Plan of Jakarta compared to the classification results showed that the proportion of Jakarta green open space in 2000 reached 36%, while for 2004 and 2012 the precentage of green open space as much as 27.5% and 25.5% , this results is not in accordance with the standard of green open space in Jakarta Regional Spatial Plan described in DKI Jakarta Provincial Regulation No. 1 of 2012, that is equal to 37.8%.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen manajemen Hutan

KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU

MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM+ DENGAN

RTRW PROVINSI DKI JAKARTA

GEANISA VIANDA PUTRI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta

Nama : Geanisa Vianda Putri NIM : E14090123

Disetujui oleh

Dr Nining Puspaningsih, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc F Trop Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini ialah Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Nining Puspaningsih, Msi selaku dosen pembimbing, serta Ibu Dr Badriyah Rushayati, MSi dan Bapak Prof Dr Ir Lilik Prasetyo, MSc yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis haturkan kepada Dinas Pendidikan Nasional atas dukungannya melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Penghargaan turut penulis sampaikan kepada bapak Uus Saepul dan rekan- rekan Laboratorium Fisik Remote sensing dan GIS atas bantuan dan semangat yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, adik, dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu Penelitian 2

Alat dan Data 3

Analisis Perubahan Tutupan Lahan 4

Analisis Kesesuaian RTRW DKI Jakarta dengan Hasil Klasifikasi Tutupan

Lahan 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Klasifikasi Tutupan Lahan 11

Analisis Separabilitas dan Evaluasi Akurasi 15

Klasifikasi Tutupan Lahan pada Citra Landsat ETM+ 16

Analisis Perubahan Tutupan Lahan 18

Analisis Kesesuaian RTH pada RTRW dan RTH di Lapangan 23

SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 35

(10)

DAFTAR TABEL

1 Matriks kesalahan (confusion matrix) 7

2 Luas tutupan dan penggunaan lahan DKI Jakarta tahun 2000- 2012 18 3 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000- 2004 19 4 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2004- 2012 21 5 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2004- 2012 22

6 Land use DKI Jakarta dalam RTRW 2012- 2030 25

7 Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+

tahun 2000 26

8 Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+

tahun 2004 28

9 Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+

tahun 2012 30

10 Persentase kesesuaian RTH pada RTRW dan RTH di lapangan 32

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 3

2 Peta pengambilan contoh lapangan Provinsi DKI Jakarta 6

3 Citra Landsat ETM+ tahun 2000 area DKI Jakarta 9

4 Citra Landsat ETM+ tahun 2004 area DKI Jakarta 10 5 Citra Landsat ETM+ tahun 2012 area DKI Jakarta 10 6 Hutan kota di lapangan hutan kota pada citra 12

7 Sawah di lapangan sawah pada citra 12

8 Rumput di lapangan rumput pada citra 13

9 Rawa di lapangan rawa pada citra 13

10 Lahan terbangun di lapangan lahan terbangun pada citra 14

11 Badan air di lapangan badan air pada citra 14

12 Peta tutupan lahan tahun 2000 Provinsi DKI Jakarta 16

13 Peta tutupan lahan tahun 2004 Provinsi DKI Jakarta 17

14 Peta tutupan lahan tahun 2012 Provinsi DKI Jakarta 17

15 Grafik tutupan lahan tahun 2000, 2004 dan 2012 18 16 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun

2000-2004 20

17 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun

2004-2012 21

18 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun

2000-2012 23

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2000 35

2 Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2004 36

3 Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2012 37

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jumlah penduduk DKI Jakarta yang mencapai 9.04 juta jiwa (BAPPEDA Jakarta 2013) adalah salah satu faktor yang mendorong pembangunan fisik kota Jakarta. Pertumbuhan penduduk mengakibatkan kebutuhan akan lahan untuk permukiman, industri serta perkantoran di DKI Jakarta meningkat. Hal tersebut berdampak pada perubahan penutupan lahan termasuk luasan ruang terbuka hijau (RTH) di DKI Jakarta. Pembangunan fisik perkotaan memberikan dampak positif pada peningkatan kegiatan perekonomian. Walau demikian, pembangunan perkotaan mempengaruhi lingkungan dan mengubah keadaan fisik alam, kemungkinan terjadinya penurunan kualitas lingkungan menjadi perhatian utama dari dampak negatif pembangunan.

Pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) merupakan tanda dari degradasi kualitas lingkungan yang sedang terjadi di DKI Jakarta. Tantangan global ini membutuhkan aksi perubahan iklim, baik aksi adaptasi maupun aksi mitigasi yang perlu dituangkan dalam penataan ruang. Rencana tata ruang terbaru DKI Jakarta adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang disahkan pada tahun 2012, dan berlaku hingga tahun 2030. Penjelasan mengenai RTRW DKI Jakarta dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012.

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 menimbang, bahwa sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta harus dikelola secara bijaksana, berdaya guna, dan sesuai kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang DKI Jakarta terjaga keberlanjutannya untuk masa kini dan masa datang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya mengendalikan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang. Pemanfaatan dan pengendalian pemanfatan ruang DKI Jakarta dilaksanakan dengan mempertimbangkan daya dukung sumber daya alam serta daya tampung lingkungan hidup secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan kota serta keterpaduan antara pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, maka pada Pasal 6 Ayat 5 dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 ditetapkan kebijakan tentang pengembangan ruang terbuka hijau (RTH). Pengembangan RTH ditetapkan mencapai 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan Provinsi DKI Jakarta yang terdiri dari RTH publik seluas 20% dan RTH privat seluas 10%.

(14)

2

pertanian (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.

Mengingat pentingnya fungsi RTH dan amanah Peraturan Daerah engenai pencapaian luasan dari ruang terbuka hijau di Provinsi DKI Jakarta, maka kajian terkait dengan kondisi ketahanan tatanan lahan ruang terbuka hijau penting dilakukan. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi perubahan tutupan lahan melalui citra satelit Landsat 7 ETM+ antara tahun 2000 dan 2012. Trend perubahan tutupan lahan yang diteliti dititikberatkan pada perubahan tutupan lahan ruang terbuka hijau. Hasil dari klasifikasi tutupan lahan tersebut kemudian dibandingkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2012- 2030, sehingga proporsi ruang terbuka hijau sebelum dan setelah dicanangkannya RTRW DKI Jakarta 2030 dapat diuji kesesuaiannya.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perubahan tutupan lahan hasil klasifikasi menggunakan citra Landsat ETM+ di Provinsi DKI Jakarta antara tahun 2000 dan 2012. 2. Membandingkan dan menganalisis kesesuaian tatanan lahan ruang terbuka

hijau DKI Jakarta antara tahun 2000 dan 2012, dengan tatanan lahan ruang terbuka hijau pada RTRW DKI Jakarta 2030.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi mengenai kesesuaian proporsi ruang terbuka hijau sebelum dan setelah pencanangan RTRW DKI Jakarta 2030.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan ruang terbuka hijau agar tercipta kota dengan kualitas lingkungan yang baik.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta pada bulan Mei sampai dengan Juni 2013. Provinsi DKI Jakarta terletak pada 106° 49’35” Bujur Timur dan 06°10’37” Lintang Selatan, dengan luas wilayah 66377.45 ha. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

(15)

3

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Alat dan Data

Pengolahan dan analisis data spasial dan bukan spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) berupa laptop, printer, arcGIS version 9.3, ERDAS Imagine Software version 9.1, Frame and fill win 32, Global Mapper version 13.00, Microsoft Excel 2010 dan Microsoft Word 2010. Alat yang digunakan untuk survey lapang atau ground check meliputi, alat tulis, Global Positioning System (GPS) Garmin 76CSX, kamera saku, dan tally sheet.

(16)

4

Analisis Perubahan Tutupan Lahan

Untuk menganalisis perubahan tutupan lahan di DKI Jakarta antara tahun 2000, 2004, dan 2012 dibutuhkan peta tutupan lahan untuk setiap tahun yang diteliti. Peta klasifikasi tutupan lahan dihasilkan melalui beberapa tahapan, yaitu: pra pengolahan citra, pendahuluan (pra processing), interpretasi visual citra satelit, pengambilan data lapangan (ground check), pengolahan citra digital, uji ketelitian klasifikasi, penyamaan posisi awan dan bayangan awan pada citra multi waktu, dan analisis perubahan tutupan lahan. Pra pengolahan citra

Pra-pengolahan citra adalah pemprosesan awal sebelum dilakukan pengolahan citra lebih lanjut, dalam proses ini data mentah direstorasi atau dikoreksi terhadap gangguan-gangguan yang terjadi saat perekaman. Kegiatan pra pengolahan citra dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:

1. Perbaikan citra

Citra Landsat yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari situs resmi Landsat melalui http://usgs.glovis.gov. Sebelum diolah lebih lanjut citra Landsat dengan tahun perekaman 2004 dan 2012 terlebih dahulu diperbaiki dari masalah stripping yang terjadi akibat rusaknya Scan Line Corrector (SLC-OFF) Landsat 7. Stripping citra diperbaiki menggunakan software Frame and Fill Win 32. Software ini membantu memulihkan tampilan citra Landsat stripping menjadi serupa dengan citra Landsat tanpa stripping. Pemulihan tampilan citra Landsat dilakukan melalui proses gap filling atau pengisian pixel yang hilang akibat stripping dengan pixel dari citra lain yang memiliki stripping pada lokasi berbeda. Citra pengisi merupakan citra pada tahun yang sama namun berbeda bulan. 2. Pemotongan citra (Cropping)

Cropping citra (pemotongan citra) dilakukan pada citra Landsat tahun perekaman 2000, 2004, dan 2012 untuk memisahkan areal yang menjadi fokus penelitian yaitu area DKI Jakarta.

3. Koreksi geometrik (Geometric enhancement)

Koreksi geometrik dilakukan pada kesalahan geometrik yang terjadi pada saat perekaman. Koreksi geometrik bertujuan untuk merektifikasi atau membenarkan koordinat citra agar sesuai dengan koordinat geografi. Citra yang belum diolah (slave image) hasil perekaman tahun 2000 sampai dengan tahun 2012 yang digunakan sebagai bahan penelitian harus dikoreksi geometrik terlebih dahulu. Koreksi geometrik dilakukan menggunakan Citra Landsat ETM+ DKI Jakarta yang sudah terkoreksi (master image). Tahapan koreksi geometrik ini diawali dengan penentuan sistem koordinat, proyeksi dan datum. Sistem koordinat yang dipilih untuk koreksi ini adalah Universal Tranverse Mercator (UTM) dengan proyeksi yang digunakan adalah UTM zona 48, sedangkan datum yang digunakan adalah World Geographic System 84 (WGS 84).

(17)

5 dihitung akar dari kesalahan rata-rata kuadrat. RMSE dianjurkan untuk memiliki nilai lebih kecil dari 0.5 piksel (Jaya 2010).

4. Koreksi radiometrik (Radiometric enhancement)

Koreksi radiometrik dilakukan untuk mendapatkan citra multi waktu dengan kontras yang sama. Perbaikan ini memperbaiki kesalahan yang terjadi akibat gangguan energi elektromagnetik pada atmosfer, kesalahan pada sistem optik, dan kesalahan karena pengaruh elevasi matahari (Purwadhi 2001).

Teknik koreksi radiometrik penyamaan histogram (histogram matching) adalah metode penajaman kontras yang digunakan dalam penelitian ini. Jaya (2010) menyatakan “Penyamaan histogram adalah teknik penyamaan kontras yang tidak linier sehingga distribusi histogram dari pikselnya mendekati uniform, atau menghasilkan histogram yang mendekati datar. Kontras hasil penajaman ini akan menjadi merata di seluruh areal. Kontras meningkat pada puncak-puncak histogram dan menurun pada ujung-ujung histogram”.

Pendahuluan (Pra Processing)

Kegiatan pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara umum kondisi dan jumlah tutupan lahan di DKI Jakarta. Data yang digunakan adalah citra Landsat 7 ETM+ tahun 2012 dengan menampilkan warna komposit RGB (Red Green Blue) dengan komposisi band 543. Data ini kemudian digunakan dalam interpretasi visual.

Interpretasi visual citra satelit

Interpretasi visual citra satelit merupakan perbuatan mengkaji citra dengan maksud mengidentifikasi tutupan lahan yang tergambar di dalam citra. Karakteristik tutupan lahan dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti warna, bentuk, pola ukuran, letak dan asosiasi kenampakan objek. Citra yang digunakan untuk interpretasi visual adalah citra komposit 543 pada guns RGB (Red Green Blue) sehingga menghasilkan warna komposit. Hasil interpretasi visual tutupan lahan ini digunakan dalam penentuan titik observasi di lapangan. Pengambilan data lapangan (Ground check)

Pengambilan data lapangan (ground check) merupakan kegiatan pengukuran, pengamatan serta pencatatan informasi penting dari titik dan poligon yang telah ditentukan di lapangan. Pemilihan lokasi titik pengamatan dilakukan secara purposive. Titik pengamatan lapangan yang diamati berjumlah 44 titik yang tersebar di Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Timur.

(18)

6

Gambar 2 Peta pengambilan contoh lapangan Provinsi DKI Jakarta Pengolahan citra digital

Analisis ini merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, atau pengelompokkan suatu piksel citra digital multi-spektral ke dalam beberapa kelas berdasarkan kategori objek. Pengolahan Citra Digital dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:

1. Penentuan area contoh (Training area)

Penentuan dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh dilakukan berdasarkan interpretasi citra secara visual, Peta Rupa Bumi dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh (training area). Pengambilan informasi statistik (nilai digital number) dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh piksel dari setiap kelas tutupan lahan dan ditentukan lokasinya pada citra. Informasi statistik dari setiap kelas tutupan lahan ini digunakan untuk menjalankan fungsi separabilitas dan fungsi akurasi.

2. Analisis separabilitas

Sebelum melakukan klasifikasi terhadap kelas-kelas tutupan lahan dari area contoh yang telah dibuat, maka terlebih dahulu dilakukan analisis separabilitas. Analisis separabilitas adalah analisis kuantitatif yang memberikan informasi mengenai evaluasi keterpisahan area contoh dari setiap kelas. Metode analisis separabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Tranformasi Divergensi (TD). Menurut Jaya (2010), metode ini digunakan untuk mengukur tingkat keterpisahan antar kelas dengan menggunakan semua elemen dalam matrik.

(19)

7 menunjukan keterpisahan antar kelas yang sangat baik. Nilai di atas 1900 mencerminkan tingkat keterpisahan yang baik, sedangkan nilai di bawah 1700 dapat dikatakan buruk.

3. Klasifikasi terbimbing (Supervised classification)

Metode yang digunakan dalam kegiatan klasifikasi citra ini adalah metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood method). Pada metode ini terdapat pertimbangan berbagai faktor, diantaranya adalah peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Klasifikasi menggunakan maximum likelihood method menyangkut beberapa dimensi, sehingga pengelompokkan jenis tutupan lahan dilakukan pada jenis tutupan lahan yang memiliki nilai piksel yang sama dan identik pada citra yang diklasifikasi (Purwadhi 2001).

Uji ketelitian klasifikasi

Uji ketelitian klasifikasi digunakan untuk melihat tingkat kesalahan yang terjadi pada klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan besarnya persentase ketelitian pemetaan. Evaluasi ini menguji tingkat keakuratan secara visual dari klasifikasi terbimbing. Akurasi ketelitian pemetaan dilakukan dengan membuat matrik kontingensi atau matrik kesalahan (confusion matrix) seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Matriks kesalahan (confusion matrix) Data acuan

(training area)

Diklasifikasikan ke dalam kelas

(data kelas di peta) Total baris Producer’s accuracy

Akurasi yang bisa dihitung berdasarkan tabel di atas antara lain, User’s

accuracy, Producer’s Accuracy dan Overall accuracy. Secara matematis akurasi

di atas dapat dinyatakan sebagai berikut:

User’s accuracy kk

Xkk = Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i Xk+ = Jumlah piksel dalam kolom ke-i

X+i = Jumlah piksel dalam baris ke-i

(20)

8

Keterangan : N : Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan Ki : ∑ ij (jumlah semua kolom pada baris ke-i)

K+j : ∑ ij (jumlah semua kolom pada lajur ke-j) Penyamaan posisi awan dan bayangan awan pada citra multi waktu

Posisi awan yang berbeda pada citra tahun 2000, 2004, dan 2012 akan mengganggu hasil perhitungan perubahan luas jenis tutupan lahan pada rangkaian tahun yang diamati. Untuk mereduksi gangguan ini maka posisi awan dan bayangan awan harus disamakan pada semua tahun. Awan dan bayangan awan pada tahun 2012 dihilangkan menggunakan fungsi Update Polligon pada ArcGIS, proses ini berkerja dengan mengganti poligon awan beserta bayangan awan dengan poligon hasil ground check yang tutupan lahannya telah diketahui dengan pasti. Selanjutnya poligon citra tahun 2012 yang tidak memiliki tutupan awan dan bayangan awan kembali diupdate dengan poligon awan dan bayangan awan dari tahun 2000 yang sebelumnya telah diekspor. Proses ini menghasilkan citra tahun 2012 yang memiliki tutupan awan dan bayangan awan yang berlokasi sama dengan citra tahun 2000. Citra tahun 2004 pada dasarnya merupakan citra yang tampilannya tanpa awan, sehingga perlakuan yang dikenakan terhadap citra tahun 2004 adalah pemberian poligon awan dan bayangan awan dari tahun 2000, melalui fungsi update polligon yang terdapat pada ArcGIS.

Analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan

Analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan dilakukan dengan menumpang tindihkan (overlay) dua citra yang telah diklasifikasi secara terpisah. Proses ini dilakukan menggunakan menu identify. Selanjutnya dengan menggunakan model perubahan land cover, luas perubahan tutupan lahan dan arah perubahan penutupan lahan yang terjadi dapat diidentifikasi dan dianalisis.

Analisis Kesesuaian RTRW DKI Jakarta dengan Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan

Analisis kondisi dan kesesuaian Rencana Tata Ruang DKI Jakarta dengan hasil klasifikasi tutupan lahan tahun 2000, 2004, dan 2012 dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:

Pengolahan awal peta RTRW DKI Jakarta

(21)

9 Peta RTRW yang telah dikoreksi geometrik tersebut belum memiliki data atribut berupa jenis land cover, sehingga atribut berupa jenis penggunaan lahan harus diinput terlebih dahulu. Setelah data atribut selesai diinput maka data siap untuk ditumpang tindihkan dengan peta hasil klasifikasi dalam format vektor.

Analisis kesesuaian RTRW DKI Jakarta dengan hasil klasifikasi tutupan lahan

Analisis kesesuaian antara land cover DKI Jakarta dengan land use yang sesungguhnya di lapangan ini dilakukan dengan menumpang tindihkan (overlay) dua data tersebut. Melalui proses overlay dan penggunaan model perubahan tutupan lahan, kondisi antara perencanaan tata kota DKI jakarta dengan kondisi aktual dapat dibandingkan dan dianalisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Citra Landsat yang digunakan untuk analisis tutupan lahan terlebih dahulu dipotong untuk membatasi area penelitian dan mengurangi beban kerja komputer dalam processing data. Area penelitian tidak serta merta dipotong dengan batas administrasi DKI Jakarta, melainkan dipotong dengan bentuk area of interest berupa persegi. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terpotongnya piksel saat klasifikasi tutupan lahan dilakukan. Setelah area penelitian pada citra disekat, kemudian citra diperbaiki secara geometrik dan radiometrik agar memiliki proyeksi koordinat yang tepat dan tampilan yang sama pada tiap tahunnya. Gambar 3, 4 dan 5 merupakan citra tahun 2000, 2004 dan 2012 yang telah dibatasi sesuai area penelitian dan dikoreksi secara geometrik dan radiometrik.

(22)

10

Gambar 4 Citra Landsat ETM+ tahun 2004 area DKI Jakarta

Gambar 5 Citra Landsat ETM+ tahun 2012 area DKI Jakarta

Ketiga citra tersebut menjadi data dasar dalam klasifikasi tutupan lahan di DKI Jakarta. Pada Gambar 3 dan Gambar 5 dapat dilihat kondisi citra yang banyak mengandung awan dan bayangan awan, sehingga daerah yang tertutupi tersebut tidak dapat diklasifikasi. Selanjutnya, perbedaan posisi awan setiap tahunnya akan menghasilkan luas tutupan lahan multi waktu yang tidak akurat, karena itu posisi awan setiap tahun yang diteliti harus disamakan.

(23)

11

Klasifikasi Tutupan Lahan

Klasifikasi penggunaan dan penutupan lahan di DKI Jakarta yang dilakukan berdasarkan hasil cek lapangan menghasilkan 6 kelas tutupan lahan yaitu hutan kota, sawah, rumput, rawa, lahan terbangun, dan badan air. Selanjutnya, kelas adalah suatu hamparan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang.

Batasan hutan kota yang digunakan dalam klasifikasi adalah seluruh kenampakan area dengan tegakan pohon yang dominan dan terlihat pada citra. Hutan kota ini meliputi ruang terbuka hijau privat dan ruang terbuka hijau publik dengan ketentuan memiliki tegakan pohon yang kompak di atasnya. Ruang terbuka hijau privat dalam penelitian ini terdiri atas halaman rumah, halaman kantor, dan kebun warga. Ruang terbuka hijau publik terdiri atas jalur hijau, makam, taman kota, hutan lindung, kawasan konservasi, dan hutan kota yang disahkan pemerintah. Jenis vegetasi dominan yang berada di hutan kota DKI Jakarta adalah Mahoni (Swietenia mahagoni), Ketapang (Terminalia cattapa), Trembesi (Samanea saman), Flamboyan (Delonix regia) dan Akasia (Acacia auriculiformis).

Menurut BPLHD Provinsi DKI Jakarta (2012), jumlah hutan kota di DKI Jakarta yang telah disahkan oleh pemerintah adalah 59 hutan kota yang tersebar di 5 Kotamadya. Hutan kota terbanyak berada di Kotamadya Jakarta Timur dengan jumlah 20, kemudian disusul oleh Jakarta Selatan 19 hutan kota, Jakarta Utara

(24)

12

(a) (b)

Gambar 6 Hutan kota di lapangan (a) hutan kota pada citra (b) Keterangan:

: Deliniasi hutan kota Sawah

Jenis tutupan lahan sawah memiliki batasan, yaitu kenampakan semua aktivitas pertanian lahan basah. Klasifikasi ini meliputi sawah dengan padi di dalamnya dan sawah yang telah mengalami kegiatan panen sehingga memiliki warna kekuningan pada citra. Jenis tutupan lahan sawah paling banyak ditemui di daerah Kotamadya Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Tampilan tutupan lahan sawah di lapangan dan pada citra disajikan pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7 Sawah di lapangan (a) sawah pada citra (b) Keterangan:

: Deliniasi sawah Rumput

(25)

13

(a) (b)

Gambar 8 Rumput di lapangan (a) dan rumput pada citra (b) Keterangan:

: Deliniasi rumput Rawa

Rawa adalah genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri- ciri yang khusus secara fisik, kimiawi, dan biologi (Perda Provinsi DKI Jakarta 2012: 17). Melalui hasil cek lapang diketahui lokasi rawa pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta berada di Jakarta Utara, khususnya di sekitar daerah Pantai Indah. Jenis tutupan lahan rawa yang cukup luas juga dapat diamati dari Jalan Tol Airport Prof. Sedyatmo.

Citra dengan komposit band 543 mempunyai kelebihan dalam membedakan obyek yang mempunyai kandungan air atau kelembapan tinggi. Obyek dengan tingkat kelembapan atau kandungan air tinggi akan dipresentasikan dengan rona yang lebih gelap. Tampilan jenis tutupan rawa pada citra menyerupai badan air yaitu hitam kebiruan dengan pola kotak teratur dan terdapat rona hijau di dalamnya. Kenampakan rawa di lapangan dan pada citra disajikan pada Gambar 9.

(a) (b) Gambar 9 Rawa di lapangan (a) rawa pada citra (b) Keterangan:

: Deliniasi rawa Lahan terbangun

(26)

14

permukiman pada citra tidak memiliki pola bangunan yang jelas. Di lapangan lahan terbangun diobservasi dengan menggunakan 2 titik. Kenampakan lahan terbangun berupa permukiman di lapangan dan lahan terbangun berupa permukiman pada citra ditampilkan pada Gambar 10.

(a) (b)

Gambar 10 Lahan terbangun di lapangan (a) lahan terbangun pada citra (b)

Badan air

Jenis tutupan lahan badan air dalam wilayah DKI Jakarta terdiri atas sungai, danau, situ, dan waduk. Kotamadya Jakarta Utara memiliki badan air terluas dibandingkan dengan Kotamadya lain di Jakarta, beberapa waduk dan sungai berada pada wilayah Kotamadya ini. Pada citra badan air dicirikan dengan warna hitam kebiruan, hal ini disebabkan pada citra dengan komposit band 543, jenis tutupan lahan badan air akan dipresentasikan dengan rona yang gelap. Gambar 11 menunjukan tampilan badan air di lapangan dan badan air pada citra.

(a) (b)

Gambar 11 Badan air di lapangan (a) badan air pada citra (b) Keterangan:

(27)

15 Analisis Separabilitas dan Evaluasi Akurasi

Evaluasi separabilitas dan evaluasi akurasi hasil klasifikasi adalah tahapan yang perlu dilakukan sebelum hasil klasifikasi tutupan dan penggunaan lahan yang valid didapatkan. Menurut Jensen (2005) nilai minimum separabilitas yang diperbolehkan adalah 1700, sedangkan nilai separabilitas di bawah 1700 dapat dikatakan buruk. Nilai separabilitas yang buruk menunjukan kemungkinan pertampalan antar kelas jenis tutupan lahan, atau dengan kata lain terdapat kelas- kelas yang tidak dapat dibedakan nilai spektralnya. Analisis separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2000 menggunakan kombinasi band 543 memiliki nilai keterpisahan yang bernilai sangat baik dan baik. Nilai separabilitas sebagian dari masing-masing kelas mencapai 2000, sedangkan sebagian lagi berada di atas 1900. Jensen (2005) menyatakan bahwa nilai separabilitas di atas 1900, memiliki makna bahwa nilai spektral kelas tersebut dapat dibedakan dengan kelas yang lainnya. Matriks separabilitas citra Landsat tahun 2000 disajikan pada Lampiran 1.

Nilai analisis separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2004 menggunakan kombinasi band 543 memberikan nilai separabilitas dominan yang sangat baik, yaitu bernilai 2000. Separabilitas terendah sebesar 1904.5 berada antara kelas tutupan lahan hutan kota dan rumput karena, warna di antara kedua kelas tersebut relatif serupa. Walaupun demikian, hasil analisis separabilitas ini dapat dikatakan bernilai baik. Matriks separabilitas citra Landsat ETM+ dengan kombinasi band 543 ini ditampilkan pada Lampiran 2.

Hasil analisis separabilitas citra Landsat tahun 2012 menunjukan nilai rata- rata yang sangat baik yaitu 2000. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada kelas dengan nilai spektral yang bertampalan. Terdapat pula nilai separabilitas sebesar 1999.9 yang mencerminkan perbedaan antara kelas hutan kota dan rawa, serta lahan terbangun dan sawah. Nilai-nilai separabilitas tersebut menunjukan bahwa semua kelas jenis tutupan lahan dapat dibedakan dengan baik dan tidak ada kelas tutupan lahan yang nilai spektralnya tidak dapat dibedakan. Matriks separabilitas citra Landsat untuk tahun 2012 disajikan pada Lampiran 3.

(28)

16

Klasifikasi Tutupan Lahan pada Citra Landsat ETM+

Citra Landsat ETM+ tahun 2000, 2004 dan 2012 diolah secara digital menggunakan metode klasifikasi terselia atau metode supervised. Klasifikasi citra secara digital akan mengkategorisasi semua piksel ke dalam kelas tutupan lahan atau suatu tema tertentu secara otomatis (Purwadhi 2001). Perbedaan kenampakan klasifikasi tutupan lahan menunjukan perbedaan kombinasi dasar nilai digital piksel pada sifat pantulan dan pancaran spektral yang dimiliki masing-masing jenis tutupan lahan. Hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ tahun 2000 disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Peta tutupan lahan tahun 2000 Provinsi DKI Jakarta

Tahun 2003 Scan Line Corrector pada Landsat 7 ETM+ mengalami kerusakan dan mengakibatkan timbulnya stripping pada citra Landsat. Stripping adalah area pada citra yang berbentuk garis dan kehilangan nilai pikselnya, sehingga nilai piksel pada bagian stripping tersebut adalah 0. Stripping pada citra Landsat dapat diperbaiki melalui proses gapfill.

(29)

17

Gambar 13 Peta tutupan lahan tahun 2004 Provinsi DKI Jakarta

Gambar 14 Peta tutupan lahan tahun 2012 Provinsi DKI Jakarta

(30)

18

hutan kota. Lahan terbangun menunjukan pola perkembangan yang positif, pola ini ditunjukan oleh peningkatan luasan yang terjadi antara tahun 2000, 2004 dan 2012. Pola sebaliknya terjadi pada jenis tutupan lahan hutan kota yang luasannya berkurang antara tahun 2000, 2004 dan 2012. Gambaran dari penutupan dan penggunaan lahan di DKI Jakarta pada tahun 2000, 2004 dan 2012 disajikan pada Gambar 15.

Tabel 2 Luas tutupan dan penggunaan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2012

Kelas tutupan

Awan 911.00 1.37 911.00 1.37 911.00 1.37

Badan air 477.34 0.71 638.47 0.96 541.86 0.81

Bayangan awan 1109.70 1.67 1109.70 1.67 1109.70 1.67

Lahan

terbangun 39026.54 58.79 45179.15 68.06 46404.76 69.91

Rawa 616.76 0.93 455.28 0.68 460.93 0.69

Hutan kota 21769.26 32.79 14222.82 21.42 10939.56 16.48

Rumput 1518.15 2.28 2676.61 4.03 4926.04 7.42

Sawah 948.33 1.43 1184.39 1.78 1083.65 1.63

Total luas 66377.45 100.00 66377.45 100.00 66377.45 100.00

Gambar 15 Tutupan lahan tahun 2000, 2004 dan 2012

Analisis Perubahan Tutupan Lahan

Analisis perubahan tutupan lahan pada tahun 2000-2004, 2004-2012 dan 2000-2012 dihitung menggunakan matrik perubahan tutupan lahan. Matrik ini dapat memberikan informasi luas dan arah dari perubahan suatu tutupan lahan ke tutupan lahan lainnya.

(31)

19 DKI Jakarta yang semakin meningkat. Selain itu, kedudukannya yang khas sebagai ibukota negara membuat DKI Jakarta mengemban tugas sebagai pusat pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, pusat kegiatan sosial dan budaya, dengan sarana terbaik dalam bidang pendidikan, budaya dan kesehatan. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Irwan (2005) bahwa pembangunan yang terjadi di DKI Jakarta berjalan beriringan dengan menyusutnya luasan hutan kota dan ruang terbuka hijau.

Hutan kota di DKI Jakarta juga mengalami penurunan fungsi ekologis dengan berubah menjadi rumput pada rentang tahun 2000 hingga 2004, perubahan yang terjadi sebesar 1277.4 ha (Tabel 3). Selain perubahan negatif, terdapat juga perubahan positif terhadap luasan hutan kota melalui kegiatan penghijauan, sebanyak 3135.9 ha lahan terbangun berubah menjadi hutan kota selama tahun selama 4 tahun pengamatan. Sebanyak 61.3 ha badan air mengalami perubahan menjadi lahan terbangun antara tahun 2000 dan 2004, perubahan ini terjadi di Kotamadya Jakarta Utara melalui kegiatan pengerukan badan air oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Perubahan tutupan lahan antara tahun 2000 dan 2004 di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2004 Tahun

Luas hutan kota yang terus berkurang dari tahun ke tahun dan pembangunan fisik perkotaan yang semakin pesat menjadikan 2 jenis tutupan lahan ini sebagai highlight of change dari perubahan tutupan lahan di DKI Jakarta. Kekhawatiran terhadap ketidakseimbangan ekosistem timbul ketika pembangunan yang dilaksanakan tidak berpihak pada lingkungan. Irwan (2005) menyatakan bahwa perkembangan kota menyebabkan suhu di kawasan kota naik sekitar 0.4-2.1 °C. Selain itu meningkatnya gas polutan di udara, debu, dan kebisingan juga merupakan bagian dari kerugian yang dihadapi masyarakat karena hilangnya ruang terbuka hijau.

(32)

20

dan/mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan definisi tersebut maka jenis tutupan lahan yang termasuk dalam ruang terbuka hijau pada hasil klasifikasi adalah hutan kota, sawah, dan rumput. Peta degradasi ruang terbuka hijau tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun 2000-2004

Gambar 16 menunjukan bahwa ruang terbuka hijau dengan jenis tutupan lahan hutan kota mengalami konversi menjadi lahan terbangun dengan luasan terbesar dan menyebar di 5 Kotamadya DKI Jakarta. Ruang terbuka hijau berbentuk rumput di DKI Jakarta yang berada pada lokasi perumahan adalah jenis area berumput yang termudah untuk dikonversi. Berdasarkan kenampakan pada citra tahun 2000, area paling barat dan timur dari Kotamadya Jakarta Utara adalah area yang masih memiliki vegetasi dan memiliki persawahan yang luas, namun seiring berjalannya tahun 2000-2004 area tersebut banyak yang dikonversi menjadi lahan terbangun.

(33)

21 dan 518.5 ha (Tabel 4). Perubahan tutupan lahan antara tahun 2004 dan 2012 di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2004-2012 Tahun

2004

2012 Tutupan

Lahan (Ha) 1 2 3 4 5 6 Total

Badan air (1) 541.9 96.5 - - - - 638.4

Lahan

terbangun (2) - 39757.7 3498.3 1519.7 403.5 45179.2

Rawa (3) - 55.1 356.7 31.1 12.4 - 455.3

Hutan kota (4) - 5069.7 98.7 6666.4 2132.9 255.1 14222.8

Rumput (5) - 907.2 5.1 522.5 1093.1 148.7 2676.6

Sawah (6) - 518.5 0.4 221.2 167.9 276.4 1184.4

Total 541.9 46404.8 460.9 10939.6 4926.0 1083.7 64356.8

Selama periode 2004 sampai dengan 2012, sebanyak 518.5 ha tutupan lahan sawah mengalami konversi menjadi lahan terbangun, dan sebanyak 221.2 ha sawah berubah menjadi hutan kota. Gambar 17 menunjukan konversi jenis tutupan lahan rumput menjadi lahan terbangun terjadi di wilayah Jakarta Utara, begitu pun dengan kelas tutupan lahan sawah di Jakarta Utara yang mengalami pengurangan akibat pembangunan fisik kota. Perubahan hutan kota antara tahun 2004 dan 2012 lebih menuju kepada penurunan fungsi, karena sebagian besar hutan kota berubah menjadi tutupan lahan rumput pada rentang waktu tersebut.

(34)

22

Pada interval waktu penelitian 12 tahun jenis tutupan lahan rawa, hutan kota, rumput, dan sawah mengalami konversi menjadi lahan terbangun. Hutan kota adalah jenis tutupan lahan dengan luasan terbesar yang terkonversi menjadi lahan terbangun, yaitu seluas 9344.0 ha. (Tabel 5). Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun antara tahun 2000 dan 2012 disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2012 Tahun

Pemerintah DKI Jakarta berusaha untuk menyeimbangkan antara pembangunan dan aspek ekologis melalui kegiatan penghijauan. Hal ini terlihat pada luasan lahan terbangun dan rumput yang berubah menjadi hutan kota selama 2000 sampai dengan 2012. Penghijauan ini belum seimbang dengan pembangunan yang telah dilakukan, karena luas wilayah yang dikonversi menjadi hutan kota lahan belum sebanyak luas wilayah yang dikonversi menjadi perkotaan Kegiatan pembangunan yang kurang melihat aspek ekologis ini terjadi akibat pemberian ijin dalam penggunaan lahan yang tidak melihat aspek ekologis oleh pemerintah, dan lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan lahan. Selain itu, hutan kota yang belum disahkan oleh pemerintah juga memiliki posisi yang rentan untuk dikonversi menjadi penggunaan lahan lain. Peta degradasi ruang terbuka hijau tahun 2000 sampai dengan tahun 2012 disajikan pada Gambar 18.

(35)

23

Gambar 18 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun 2000-2012

Analisis Kesesuaian RTH pada RTRW dan RTH di Lapangan

Luasan ruang terbuka hijau di Provinsi DKI Jakarta yang terus berkurang antara tahun 2000 dan 2012 memberi dampak terhadap naiknya suhu secara global dan perubahan iklim, 2 masalah yang saat ini telah menjadi tantangan global. Tantangan ini membutuhkan aksi adaptasi dan mitigasi yang dituangkan dalam sebuah rencana tata ruang yang berwawasan lingkungan. Peruntukan lahan perlu dialokasikan berdasar atas potensi dan kesesuaiannya. Fandeli dan Muhammad (2009) berpendapat bahwa penggunaan lahan pada suatu tempat secara langsung disesuaikan dengan masalah yang ditimbulkannya, dan bagaimana seharusnya suatu area dikembangkan.

(36)

24

Rencana tata ruang terbaru DKI Jakarta adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang disahkan pada tahun 2012, dan berlaku hingga tahun 2030. Zoning ordinance dari RTRW ini dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012. Pasal 5E dalam peraturan daerah ini menyatakan bahwa pemanfaatan ruang harus terkendali dan sesuai dengan daya tampung lingkungan hidup secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan Pasal 5E tersebut pemerintah DKI Jakarta menetapkan bahwa 30% dari luas daratan Provinsi DKI Jakarta harus merupakan ruang terbuka hijau, yang terdiri atas RTH publik seluas 20% dan RTH privat seluas 10%. Pembangunan ruang terbuka hijau akan membantu Provinsi DKI Jakarta untuk memenuhi syarat- syarat kota dan daerah untuk hunian yang memenuhi dari segi kesehatan, keamanan, dan ketentraman umum penduduk. Rencana tata ruang DKI Jakarta tahun 2012 sampai dengan 2030 disajikan dalam Gambar 19.

(37)

25

Tabel 6 Land use DKI Jakarta dalam RTRW 2012-2030

Land use DKI Jakarta Luas (ha) %

Fasilitas umum 493.3 0.7

Karya taman 1069.5 1.6

Kawasan industri dan pergudangan 3692.0 5.6

Kawasan pemerintahan 675.6 1.0

Kawasan perkantoran, perdagangan, dan jasa 7633.6 11.5

Kawasan permukiman 258416 38.9

Kawasan permukiman taman 3954.4 6.0

Kawasan pertanian 123.6 0.2

Kawasan terbuka biru 1904.5 2.9

Kawasan terbuka hijau budi daya 20685.1 31.2

Kawasan terbuka hijau lindung 304.5 0.5

Total 66377.5 100.0

Kawasan permukiman memiliki proporsi terbesar dalam pembagian land use di DKI Jakarta, disusul oleh proporsi kawasan terbuka hijau budi daya. Kawasan karya taman adalah kawasan dengan fungsi perkantoran, perdagangan dan jasa yang berwawasan lingkungan, sedangkan kawasan permukiman taman merupakan kawasan permukiman yang memperhatikan aspek ekologis. Di dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 diterangkan bahwa kawasan karya taman dan permukiman taman hanya diperbolehkan memiliki koefisien dasar bangunan maksimal 20%, sehingga dapat dikatakan bahwa 80% dari area tersebut merupakan ruang terbuka hijau.

Pencapaian luasan dari ruang terbuka hijau di Provinsi DKI Jakarta yang merupakan amanah Peraturan Daerah membuat kajian kesesuaian tatanan lahan ruang terbuka hijau di lapangan dan ruang terbuka hijau pada RTRW penting dilakukan. Analisis kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dengan di lapangan berdasarkan intreprestasi citra Landsat tahun 2000, 2004 dan 2012 dilakukan menggunakan kelas tutupan lahan yang sama. Tutupan lahan pada RTRW dan hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ direklasifikasi untuk mendapatkan kelas tutupan lahan yang sama. Jenis land use pada RTRW yang dapat dikelompokan ke dalam kategori lahan terbangun adalah fasilitas umum, kawasan industri dan pergudangan, kawasan pemerintahan, kawasan perkantoran, perdagangan dan jasa, kawasan permukiman, 20% dari wilayah permukiman taman dan 20% dari wilayah karya taman. Sedangkan jenis penggunaan lahan kawasan fungsi lindung, kawasan pertanian, kawasan hijau budi daya, 80% dari wilayah permukiman taman dan 80% dari wilayah karya taman dikategorikan sebagai ruang terbuka hijau. Berdasarkan pengelompokan tersebut maka diketahui bahwa target ruang terbuka hijau yang ingin dibangun di Provinsi DKI Jakarta adalah sebesar 37.8%. Target ini lebih besar dari persentase minimal ruang terbuka hijau yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012, yaitu sebesar 30%.

(38)

26

untuk tutupan lahan rawa dan badan air dikelompokan sebagai kawasan terbuka biru.

Tatanan lahan pada tahun 2000 dan 2004 adalah kondisi saat RTRW Provinsi DKI Jakarta 2030 belum disahkan. Pada tahun 2000 dan 2004 pemerintah DKI Jakarta masih menggunakan rencana umum tata ruang tahun 1985-2005. Berdasarkan rencana induk pada RTRW tahun 1985 diketahui bahwa terget pembangunan ruang terbuka hijau sebesar 37.2% dari luas daratan DKI Jakarta, target ini serupa dengan target pada RTRW DKI Jakarta terbaru, yaitu sebesar 37.8%. Dikarenakan oleh data peta elektronik RTRW tahun 1985 sudah tidak beredar dan terdapat kesamaan persentase antara target pembagunan RTH pada RTRW tahun 1985 dan tahun 2012, maka analisis kesesuaian lahan lahan pada tahun 2000 dan 2004 dilakukan dengan membandingkan tutupan lahan tersebut dengan RTRW DKI Jakarta terbaru, yaitu tahun 2012-2030. Matrik kesesuaian tatanan lahan pada RTRW DKI Jakarta dan citra Landsat tahun 2000 disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+ tahun 2000

(39)

27 Kedua luasan lahan di lapangan tersebut tidak memenuhi syarat dalam Perda DKI Jakarta tahun 2012.

Tutupan lahan ruang terbuka hijau dalam RTRW seluas 20922.4 ha berubah menjadi 11038.2 ha lahan terbangun pada tahun 2000, sehingga ruang terbuka hijau yang tetap menjadi ruang terbuka hijau adalah seluas 9884.2 ha, tetapi peristiwa ini diimbangi dengan perubahan lahan terbangun pada RTRW yang berubah menjadi lahan terbangun dengan ruang tebuka hijau di dalamnya. Sebanyak 10591.6 ha area dengan peruntukan lahan terbangun pada RTRW berubah menjadi area dengan ruang terbuka hijau di dalamnya pada tahun 2000.

Area dengan peruntukan sebagai ruang terbuka hijau dalam RTRW sedangkan di lapangan berubah fungsi menjadi lahan terbangun di Kotamadya DKI Jakarta pada tahun 2000, berada pada lokasi sekitar Danau Sunter, di sekitar Waduk Sunter, dan area jalan Martadinata. Sempadan Danau Sunter tidak mengalami gangguan pada tahun 2000, namun terdapat pula daerah yang diperuntukan menjadi RTH di sekitar danau dan sempadannya, namun daerah ini telah terkonversi menjadi lahan terbangun (Gambar 20).

(40)

28

Gambar 20 Peta kesesuaian RTRW dan RTH tahun 2000 Provinsi DKI Jakarta Pada tahun 2004 Pemda Provinsi DKI Jakarta melakukan pengerukan badan air dan rawa di area Jakarta Utara, untuk dijadikan lahan terbangun. Hal ini menyebabkan luas kawasan terbuka biru di Jakarta menyusut dan berbeda denga RTRW. Seluas 1060.6 ha kawasan terbuka biru berubah menjadi lahan terbangun di lapangan (Tabel 8).

(41)

29 Berdasarkan matrik kesesuaian tatanan lahan pada RTRW DKI Jakarta dan citra Landsat tahun 2004 yang disajikan pada Tabel 8, diketahui bahwa kawasan karya taman dan permukiman taman masing-masing memiliki koefisien dasar bangunan 59.5% dan 58.8%, persentase ini didapatkan dari hasil perbandingan antara luasan bagian karya taman dan permukiman taman yang menjadi lahan terbangun, dengan luas total dari masing-masing kawasan tersebut. Nilai ini menjadi lebih mengkhawatirkan apabila dibandingkan dengan tahun 2000. Kemajuan pembangunan ruang terbuka hijau pun lebih kecil pada tahun 2004. Sebanyak 3677.1 ha lahan terbangun pada RTRW memiliki ruang terbuka hijau di dalamnya, tetapi hal ini tidak sebanding dengan 8618.3 ha ruang terbuka hijau pada RTRW yang berubah tutupannya menjadi lahan terbangun di lapangan. Kesesuaian tatanan lahan RTH pada RTRW dengan RTH dilapangan tahun 2004 disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21 Peta kesesuaian RTRW dan RTH tahun 2004 Provinsi DKI Jakarta

Gambar 21 menunjukan bahwa pada Kotamadya Jakarta Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Barat terdapat tutupan lahan yang direncanakan sebagai lahan terbangun namun pada kondisi di lapangan berwujud ruang terbuka hijau. Pada Jakarta Barat, perubahan ini terjadi di daerah Kebon Jeruk, dengan bentuk ruang terbuka hijau di lapangan berupa rumput dan kota. Sedangkan pada Jakarta Utara daerah Marunda, dan Jakarta Timur daerah Cilangkap RTH ini berbentuk sawah, rumput dan hutan kota.

(42)

30

dengan bentuk kawasan hijau budaya dan kawasan pertanian, namun kondisi di lapangan pada tahun 2004 sebagian besar kawasan ini mengalami konversi menjadi lahan terbangun. Hal serupa juga terjadi pada Hutan kota Monas yang pada tahun 2004 luasannya berkurang karena telah dikonversi menjadi lahan terbangun.

Tatanan tutupan lahan pada lapangan berdasarkan intrepretasi citra Landsat tahun 2012 dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta menunjukan perbedaan yang signifkan. Matrik kesesuaian tatanan lahan pada RTRW DKI Jakarta dan citra Landsat tahun 2012 disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+ tahun 2012 menjadi lahan terbangun dan ruang terbuka hijau di lapangan, apabila dilakukan perhitungan nilai koefisien dasar bangunan (KDB) maka didapatkan KDB dari kawasan karya taman dan permukiman taman adalah sebesar 64.2% dan 60.5%. Kedua nilai koefisien dasar bangunan ini telah jauh melampaui batasan KDB yang diperbolehkan yaitu sebesar 20%. Penyimpangan lainnya terjadi pada jenis lahan ruang terbuka hijau yang berubah menjadi lahan terbangun seluas 13167.7 ha, penyimpangan ini mencapai 63% dari total luas ruang terbuka hijau yang telah direncanakan. Luasan lahan terbangun juga dapat dikatakan sangat tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan dalam RTRW Provinsi DKI Jakarta.

(43)

31

Gambar 22 Peta kesesuaian RTRW dan RTH tahun 2012 Provinsi DKI Jakarta Gambar 22 menunjukan bahwa terdapat pelanggaran dalam pemanfaatan ruang terbuka hijau di lapangan, lahan yang seharusnya merupakan ruang terbuka hijau dikonversi menjadi lahan terbangun, peristiwa ini banyak terjadi pada ruang terbuka hijau yang berbentuk jalur hijau. Selanjutnya, sebagian besar ruang terbuka hijau di daerah Gambir juga telah dikonversi menjadi lahan terbangun. Sempadan Waduk Sunter yang merupakan daerah tangkapan air di Jakarta Utara sebagian besar telah berubah pula menjadi lahan terbangun, hal ini tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang mengatakan bahwa seluruh sempadan Waduk Sunter didedikasikan untuk menjadi RTH.

Jenis tutupan lahan karya taman dan permukiman taman yang 80% dari luas areanya meupakan ruang terbuka hijau juga berada dalam kondisi yang tidak sesuai. Sebagian besar karya taman di Jakarta Barat berubah menjadi lahan terbangun padat, contohnya adalah di sekitar jalan Kapuk Raya dan jalan Kamal Muara. Begitu pula pada permukiman taman di daerah Pejaten yang seharusnya merupakan permukiman taman, namun di lapangan berubah menjadi permukiman padat.

(44)

32

Bumi Perkemahan Cibubur dan Arboretum Cipayung. Sedangkan, di Kotamadya Jakarta Utara ruang terbuka hijau yang dimanfaatkan sesuai dengan rencana tata ruang di lapangan adalah Hutan Lindung Muara Angke, Suaka Marga Satwa Muara Angke dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk di daerah Pantai Indah. Untuk Kotamadya Jakarta Barat, terdapat kesesuaian RTH pada RTRW dan di lapangan yang berada pada lokasi Srengseng. Pada lokasi Srengseng, terdapat Hutan Kota Srengseng yang hingga saat ini masih terjaga kelestariannya. Selain Srengseng, terdaapat daerah Kelapa Gading Raya juga memiliki kesesuaian klasifikasi RTH. RTH yang terdapat di daerah ini berupa hamparan sawah, namun sebagian dari sawah telah dikonversi menjadi lahan terbangun. Sehingga ada sebagian ketidaksesuaian RTH di daerah Kelapa Gading Raya.

Apabila persentase luasan ruang terbuka hijau pada tahun 2000, 2004 dan 2012 dibandingkan dengan persentase ruang terbuka hijau yang direncanakan dalam RTRW DKI Jakarta, maka diketahui bahwa pada tahun 2000 persentase RTH di lapangan telah mencukupi standar persentase luasan RTH yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 yaitu sebesar 30% (Tabel 10). Tetapi hasil ini masih belum dapat memenuhi target pengembangan RTH yang mencapai 37%. Persentase kesesuaian RTH pada RTRW dan RTH di lapangan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Persentase kesesuaian RTH pada RTRW dan RTH di lapangan

Kesesuaian luas dan persentase ruang terbuka hijau RTRW

25132.3 24236.4 18289.9 16949.3

Persentase dari wilayah DKI Jakarta (%)

37.8 36.5 27.5 25.5

Persentase ruang terbuka hijau yang terus menurun setiap tahun, membuat luasan dan persentase RTH semakin jauh dari standar yang telah ditetapkan, dan semakin lebih jauh dari target yang dicanangkan. Sejak tahun 2004, persentase dari luasan lahan terbangun sudah melebihi standar yang ditetapkan dalam RTRW yang disahkan tahun 2012, persentasenya terus naik hingga tahun 2012. Hal ini menandakan bahwa pemerintah Pemprov DKI harus bekerja keras dalam memperbaiki penyelewengan penggunaan lahan yang sudah terjadi. Pengendalian pemanfaatan ruang sebagai upaya mengendalikan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang harus ditegakkan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(45)

33 terbangun, dan badan air. Perubahan tutupan lahan yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta sebagian besar terjadi pada jenis tutupan lahan ruang terbuka hijau yang dalam hasil klasifikasi menggunakan citra Landsat UTM+ terdiri atas hutan kota, sawah, dan rumput. Perubahan tutupan lahan pada ruang terbuka hijau ini bersifat negatif. Hal sebaliknya terjadi pada lahan terbangun, jenis tutupan lahan ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan terbesar terdapat pada rentang waktu 4 tahun, yaitu tahun 2000 sampai dengan 2014 sebesar 6152.61 ha. Analisis tatanan lahan ruang terbuka hijau yang ditetapkan dalam RTRW 2030 dengan yang ada di lapangan menunjukan bahwa proporsi ruang terbuka hijau yang ada di Jakarta dari tahun 2000 sampai dengan 2012 tidak pernah mencapai target yang ditentukan, baik target dalam RTRW 2030 maupun target rencana umum tata ruang tahun 1985-2005. Target yang ditentukan pada kedua rencana tata ruang tersebut relatif sama, yaitu sebesar 37%. Apabila melihat dari Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012, maka sesungguhnya persentase ruang terbuka hijau pada tahun 2000 telah melewati ambang batas 30%, namun belum bisa mencapai target yang ditentukan pada awal rencana. Sedangkan untuk tahun 2004 dan tahun 2012 dengan persentase RTH sebanyak 27.5% dan 25.5%, belum dapat dikatakan memenuhi standar dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012, terlebih lagi jauh dari target pengembangan RTH yang mencapai 37%.

Saran

Pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang DKI Jakarta sangat dibutuhkan untuk menghasilkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Diharapkan melalui RTRW baru yang berlaku hingga tahun 2030 pemerintah DKI jakarta dapat memperbaiki kesalahan dan penyelewengan penggunaan lahan yang selama ini terus berkembang. Selain itu dibutuhkan penelitian menggunakan citra resolusi tinggi untuk mengklasifikasi terbuka hijau privat dan ruang terbuka hijau publik sehingga proporsi keduanya dapat diketahui dengan pasti dan perhitungan mengenai persentase ruang terbuka hijau di DKI Jakarta dapat dilakukan dengan lebih detail.

DAFTAR PUSTAKA

[BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. 2013. Jakarta Kini [Internet].[Diunduh 2013 September 27]. Tersedia pada: http://bappedajakarta.go.id/sekilas-jakarta/jakarta-kini/.

[BPLHD] Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah. 2013. Status Lingkungan Hidup DKI Jakarta 2012 [Internet].[Diunduh 2013 September 28]. Tersedia pada: bplhd.jakarta.go.id/.

Bruce C, Hilbert D. 2004. Pre- Processing to Landsat TM/ETM+ Imagery of the Wet Tropics. Australia (AU): Rainforest CRC.

(46)

34

dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60 Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum; 2005 November 30; Bogor, Indonesia. Jakarta (ID): Departemen PU. hlm 3-4.

Fandeli C, Muhammad. 2009. Prinsip- prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap. Yogyakarta (ID): UGM Press.

Irwan ZD. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

Jaya INS. 2010. Perspektif Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan

Sumberdaya Alam. Teori dan Praktik menggunakan Erdas Image. Bogor (ID): Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Jensen J. 2005. Introductory Digital Image Processing a Remote Sensing Perspective. United States (US): Pearson Prentice Hall.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2012. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Jakarta (ID): Sekertariat Provinsi DKI Jakarta.

Purwadhi F. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana.

(47)

35 Lampiran 1 Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2000

Kelas 1 2 3 4 5 6 7 8

Awan (1) 0 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 Badan air (2) 0 2000 1912.7 2000 2000 2000 2000 Bayangan

awan (3)

0 1998.1 2000 2000 2000 2000

Rawa (4) 0 2000 2000 2000 1997.5

Lahan

terbangun (5)

0 1999.8 1999.9 1977.0

Rumput (6) 0 1994.6 1937.7

Sawah (7) 0 1998.9

Hutan kota (8)

(48)

36

Lampiran 2 Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2004

Kelas 1 2 3 4 5 6

Badan air (1) 0 1957.4 2000 2000 2000 2000

Rawa (2) 0 2000 2000 2000 2000

Sawah (3) 0 2000 2000 2000

Hutan kota (4) 0 2000 1904.5

Lahan

terbangun (5) 0 2000

(49)

37 Lampiran 3 Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2012

Kelas 1 2 3 4 5 6 7 8

Awan (1) 0 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 Badan air (2) 0 2000 2000 2000 2000 2000 1999.8 Bayangan

awan (3)

0 2000 2000 2000 2000 2000 Lahan

terbangun (4)

0 2000 2000 1999.9 2000

Hutan kota (5) 0 2000 2000 1999.9

Rumput (6) 0 1997.7 2000

Sawah (7) 0 2000

(50)

38

Lampiran 4 Matrik kontingensi tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2012

Kelas tutupan

dan penggunaan lahan

User’s

accuracy (%)

Producer’s

accuracy (%)

Awan 99.6 100,0

Badan air 99.4 85.5

Bayangan awan 83.1 100.0

Lahan terbangun 99.4 98.8

Hutan kota 98.8 88.6

Rumput 84.8 98.0

Sawah 96.8 83.8

(51)

39

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Oktober 1991 di DKI Jakarta sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan (Alm) Bapak Didi Supriadi dan Ibu Farah Mulyati. Selepas penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMU Negeri 2 Cibinong pada tahun 2009, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan jalur Sancang Tmur-Papandayan (2011), Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi (2012), serta Praktek Kerja Lapang di PT. Roda Mas Timber Kalimantan, Kalimantan Timur (2013).

Selain kegiatan akademis penulis juga terlibat aktif pada kegiatan organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai anggota departemen human resource and development di IAAS (International Association of students in Agricultural and Related Sciences) Local Committee-IPB tahun 2009-2010 dan Bendahara Umum IFSA (International Forestry Student Association) Local Committee-IPB tahun 2011-2012. Melalui IFSA LC-IPB penulis berkesempatan menjadi salah satu delegasi untuk The 3rd IFSA Asia Regional Meeting di DI Yogyakarta. Pada tahun 2013 penulis mewakili Indonesia dalam The 2nd Asia Pacific Youth Parliament for Water di Kota Sejong dan Seoul, Korea Selatan. Penulis juga bergabung sebagai sekertaris divisi acara untuk South East Asia Forest Youth Meeting yang diadakan di Indonesia (2012).

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Gambar 2 Peta pengambilan contoh lapangan Provinsi DKI Jakarta
Gambar 3 Citra Landsat ETM+ tahun 2000 area DKI Jakarta
Gambar 4 Citra Landsat ETM+ tahun 2004 area DKI Jakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

peserta Musrenbang Kelurahan. Pada dasarnya, hampir seluruh penduduk Kelurahan Sei Putih Tengah mendukung adanya sistem partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Hal

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa pada materi keanekaragaman hayati yang diajarkan dengan model pembelajaran

9 10 11 12 13 14 15 16 17 PEMANFAATAN PEKARANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA JML. PENYULUHAN WARUNG

bentuk biner dalam fungsi aktivasi sigmoid, untuk dapat diproses kedalam algoritma Neural network untuk mendapatkan jaringan terbaik dari Neural network yang

dengan anda melakukannya karena tersugesti mengikuti tulisan ini. Meditasi ini isa dilakukan dengan cara duduk di kursi, atau duduk Meditasi ini isa dilakukan dengan cara duduk

Dalam Bahan Ajar ini anda akan mempelajari kompetensi dasar Perwajahan serta memperhatikan dasar-dasar pokok perwajahan serta membuat desain secara manual sebagai salah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Maeda (2004), salah satu bakteri agen biokontrol diterapkan pada pemeliharaan larva kepiting (Portunus trituberculatus) dan hasilnya

Dengan kedudukan dan kelembagaan yang lebih kuat berdasarkan Undang-Undang, maka kewenangan Pengadilan TIPIKOR tidak lagi terbatas pada perkara-perkara melibatkan