• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kombinasi Hot Water Treatment (HWT) dan CaCl2 terhadap Mutu dan Umur Simpan Mangga Varietas Gedong Gincu (Mangifera indica, L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Kombinasi Hot Water Treatment (HWT) dan CaCl2 terhadap Mutu dan Umur Simpan Mangga Varietas Gedong Gincu (Mangifera indica, L.)"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

ii

STUDY ON COMBINATION OF HOT WATER TREATMENT AND CaCl

2

ON THE

QUALITY AND STORAGE PERIOD OF MANGO cv. GEDONG GINCU

(Mangifera indica, L.)

Bhekti Ayu Hidayati and Sutrisno

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone +62 857 3133 6067, e-mail: bhektiayu@gmail.com

ABSTRACT

Mango cv. gedong gincu is one of tropical fruit that has been a long time cultivated and have the commercial potention in Indonesia, but the export volume of this fruit is lower than the production volume. This is because of the quality, certification and limited of product supply. To increase the

amount and competitivness of mango cv. gedong gincu’s export, there are some postharvest treatment,

one of them is combination of hot water treatment (HWT) and CaCl2. General purpose of this research was to maintain tropical fruit quality starts from postharvest handling in the suply chain that already exist using the combination treatment. The research was divided into 4 main groups: preparation, treatment, observation and analysis the data. Through the research, treatment of HWT was significantly influencing the respiration rate, hardness, total soluble solids, weight losses and total acid; CaCl2’s soaking was not too influencing the changes of the fruit quality; and the combination treatment was significantly influencing the respiration rate, hardness, color changes and total acid of the fruit. From the visual, observation of quality changes and organoleptic test, sample of HWT 55oC

15’ (CaCl220’, 40’, 60’) have the most significant different value compared to another treatment. The longest storage period of the mango was sample with HWT 35oC; CaCl260’ and HWT 45

o

C 40; CaCl2

20’ that could be stored for 14 and 15 days based on respiration rate and total acid. The shortest storage period was sample with HWT 55oC 15’ (CaCl220’, 40’, 60’), 3 days.

(2)

iii

Bhekti Ayu Hidayati. Kajian Kombinasi Hot Water Treatment (HWT) dan CaCl2 terhadap Mutu

dan Umur Simpan Mangga Varietas Gedong Gincu (Mangifera indica, L.). Di bawah bimbingan Sutrisno. 2012.

RINGKASAN

Mangga gedong gincu adalah salah satu buah tropika yang sudah sangat lama dibudidayakan dan diperdagangkan karena buah ini berpotensi untuk dikembangkan secara komersial. Meskipun buah ini termasuk dalam tanaman dataran rendah, namun mangga gedong gincu dapat tumbuh di daerah berketinggian di atas 1300 m di atas permukaan laut. Selain memperhatikan ketinggian daerah tempat tumbuh, pada proses penanamannya juga harus diperhatikan suhu udara lingkungan dan curah hujan yang terjadi di daerah tersebut: suhu optimal yang cocok untuk tempat tumbuh dan kembang tanaman ini berkisar antara 24-27oC dengan curah hujan antara 750-2250 mm per tahun. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, mangga gedong gincu banyak ditemui di daerah Majalengka, Cirebon dan Indramayu. Buah yang berasal dari ketiga daerah penghasil utama mangga gedong gincu ini biasanya dipasarkan tidak hanya di dalam negeri namun juga sudah diekspor ke luar negeri, seperti sejumlah negara di Asia, Timur Tengah dan Eropa sebagai komoditas utama pertanian Indonesia.

Beberapa hal terkait dengan persyaratan mutu, sertifikasi dan ketersediaan produk sering menjadi hambatan bagi para pelaku ekspor, padahal Indonesia memiliki potensi volume dan jenis produksi buah-buahan yang lebih besar dibandingkan negara-negara eksportir lain. Oleh sebab itu, di samping harus terus dilakukan perbaikan manajemen produksi pada sisi on-farm menuju sertifikasi yang bisa diterima global, maka penelitian pada sisi off-farm khususnya perbaikan sistem penanganan pasca panen sudah sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu, daya saing dan nilai tambah produk, terutama untuk pasar global yang memiliki persyaratan yang sangat ketat.

Berdasarkan dari penelusuran aplikasi teknologi yang dilakukan, pengkombinasian aplikasi hot water treatment (HWT) dan CaCl2 pada buah mangga varietas gedong gincu belum banyak dilakukan, begitu pula penggunaan CaCl2. Padahal, masing-masing teknologi terapan tersebut secara terpisah telah terbukti secara signifikan dapat mengatasi permasalahan penyakit pasca panen pada buah-buahan untuk aplikasi HWT dan meningkatkan mutu untuk aplikasi pelarutan ke dalam CaCl2.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mempertahankan kualitas buah tropika yang dimulai saat penanganan pasca panen pada rantai pasok melalui teknologi terapan hot water treatment dan penggunaan larutan CaCl2.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah mangga varietas gedong gincu yang diperoleh dari kebun petani di Cirebon, Jawa Barat, dengan tingkat kematangan 80-85% atau berumur 95-120 hari setelah bunga mekar (mutu A atau B menurut standar mutu SNI-3164-1992), bobot berkisar antara 250-350 g dengan kondisi bebas cacat, bercak jamur atau penyakit secara visual dan tidak mengalami kerusakan mekanis. Sampel buah mangga gedong gincu tersebut, dibawa dari kebun ke laboratorium dengan kendaraan yang berpendingin selama 7 jam. Selain itu juga digunakan aquades dan aquabides untuk membersihkan peralatan serta larutan NaOH 0.1 N dan PP (fenoftalein) digunakan dalam pengujian total asam.

Berdasarkan pengamatan perubahan faktor mutu mangga gedong gincu, didapatkan bahwa perlakuan hot water treatment (HWT) berpengaruh nyata terhadap perubahan fisiologis dan faktor mutu buah mangga gedong gincu, seperti laju produksi CO2, laju konsumsi O2, kekerasan, total padatan terlarut, susut bobot dan total asam, sedangkan perlakuan perendaman terhadap CaCl2 tidak terlalu memperlihatkan pengaruh yang signifikan terhadap penyimpanan dan perubahan mutu buah mangga gedong gincu, namun di di beberapa hari pengamatan, perlakuan ini memperlihatkan pengaruh yang nyata di laju produksi CO2, laju konsumsi O2, perubahan kekerasan, perubahan warna, total padatan terlarut serta total asam. Kombinasi perlakuan antara HWT dan CaCl2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata di bagian laju produksi CO2, laju konsumsi O2, perubahan kekerasan, perubahan warna dan total asam buah mangga gedong gincu.

(3)

iv

organoleptik. Mangga gedong gincu dengan perlakuan HWT 35oC 60’; CaCl2 60’ dapat disimpan selama 14 hari berdasarkan laju respirasinya dan HWT 45oC 40’; CaCl220’ dapat disimpan selama 15 hari berdasarkan perubahan nilai total asam tertitrasi mangga gedong gincu.
(4)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mangga gedong gincu merupakan tanaman dataran rendah yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah dengan ketinggian 0-300 m di atas permukaan laut. Buah yang memiliki warna kuning kemerahan ketika tingkat kematangannya mencapai 90-100% ini merupakan komoditas ekspor utama Indonesia dari kelompok buah-buahan tropika. Selain dari warna kulit buahnya yang mencolok, mangga gedong gincu memiliki karakteristik unik lainnya seperti bentuknya yang bulat tanpa lekukan dengan kulit buahnya yang tipis, daging buah yang berwarna kuning kemerahan dan berserat halus, serta rasanya yang manis dan aromanya yang harum. Karakteristik fisik lainnya dari buah ini adalah ukurannya yang tidak terlalu besar, berkisar antara 10-12 cm dengan berat rata-rata 200 g per buahnya.

Mangga gedong gincu adalah salah satu buah tropika yang sudah sangat lama dibudidayakan dan diperdagangkan karena buah ini berpotensi untuk dikembangkan secara komersial. Meskipun buah ini termasuk dalam tanaman dataran rendah, namun mangga gedong gincu dapat tumbuh di daerah berketinggian di atas 1300 m di atas permukaan laut. Selain memperhatikan ketinggian daerah tempat tumbuh, pada proses penanamannya juga harus diperhatikan suhu udara lingkungan dan curah hujan yang terjadi di daerah tersebut: suhu optimal yang cocok untuk tempat tumbuh dan kembang tanaman ini berkisar antara 24-27oC dengan curah hujan antara 750-2250 mm per tahun. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, mangga gedong gincu banyak ditemui di daerah Majalengka, Cirebon dan Indramayu. Buah yang berasal dari ketiga daerah penghasil utama mangga gedong gincu ini biasanya dipasarkan tidak hanya di dalam negeri namun juga sudah diekspor ke luar negeri, seperti sejumlah negara di Asia, Timur Tengah dan Eropa sebagai komoditas utama pertanian Indonesia.

Mangga merupakan komoditas prioritas untuk diteliti dan dikembangkan, bahkan Departemen Pertanian RI telah menetapkan mangga sebagai komoditas andalan dalam pengembangan agribisnis holtikultura. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011, total produksi buah mangga di Indonesia menempati peringkat kedua terbesar setelah pisang, yaitu 12.10% dari total produksi buah nasional. BPS juga melaporkan bahwa dari total produksi mangga yang mencapai 2,131,139 ton pada tahun 2011, hanya sebesar 1.485 ton yang diekspor ke luar negeri dalam bentuk buah segar.

Kondisi di atas terlihat berlawanan dengan permintaan buah-buahan tropika dari negara-negara maju pada beberapa tahun terakhir ini yang menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini sebenarnya bisa menjadi peluang yang sangat besar bagi negara produsen buah-buahan eksotika tropika di Indonesia, namun ditemui beberapa kendala baik dari sisi on-farm hingga off-farm yang menjadi hambatan utama bagi mutu produk buah tropika Indonesia. Persyaratan ekspor yang ketat, shelf life produk yang pendek, serta standar mutu konsumen di wilayah negara-negara pengimpor yang tinggi menjadi tantangan yang harus dihadapi untuk dapat memanfaatkan peluang yang sangat besar ini.

(5)

2

Indonesia terlihat naik, namun total kontribusi pasokan buah tropis terhadap pangsa pasar dunia tidak lebih dari 1%. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah losses selama pasca panen yang masih cukup besar sehingga maksimum hanya 20%-30% yang memenuhi standar ekspor.

Peningkatan daya saing buah mangga segar dapat dilakukan melalui peningkatan mutu khususnya pada penampakan mutu visual dan organoleptiknya serta mereduksi perkembangan penyakit pasca panen, karena penyakit pasca panen inilah yang menjadi penyebab penolakan Jepang pada buah mangga produksi Indonesia. Manajemen rantai pendinginan yang efektif sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit pasca panen (Lizada, 1993 dalam Prusky et al., 2009). Pendinginan yang tidak tepat atau fluktuasi suhu simpan selama pendistribusian dapat meningkatkan perkembangan mikroba yang menyebabkan kebusukan (Prusky et al., 2009).

Beberapa hal terkait dengan persyaratan mutu, sertifikasi dan ketersediaan produk sering menjadi hambatan bagi para pelaku ekspor, padahal Indonesia memiliki potensi volume dan jenis produksi buah-buahan yang lebih besar dibandingkan negara-negara eksportir lain. Oleh sebab itu, di samping harus terus dilakukan perbaikan manajemen produksi pada sisi on-farm menuju sertifikasi yang bisa diterima global, maka penelitian pada sisi off-farm khususnya perbaikan sistem penanganan pasca panen sudah sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu, daya saing dan nilai tambah produk, terutama untuk pasar global yang memiliki persyaratan yang sangat ketat.

Berdasarkan dari penelusuran aplikasi teknologi yang dilakukan, pengkombinasian aplikasi hot water treatment (HWT) dan CaCl2 pada buah mangga varietas gedong gincu belum banyak dilakukan, begitu pula penggunaan CaCl2. Padahal, masing-masing teknologi terapan tersebut secara terpisah telah terbukti secara signifikan dapat mengatasi permasalahan penyakit pasca panen pada buah-buahan untuk aplikasi HWT dan meningkatkan mutu untuk aplikasi pelarutan ke dalam CaCl2. Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini yang mengkombinasikan antara perlakuan HWT dengan perendaman pada CaCl2 pada buah mangga gedong gincu yang menjadi primadona ekspor buah-buahan tropis Indonesia.

1.2 Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mempertahankan kualitas buah tropika yang dimulai saat penanganan pasca panen pada rantai pasok melalui teknologi terapan hot water treatment dan penggunaan larutan CaCl2.

Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui pengaruh hot water treatment (HWT), penggunaan larutan CaCl2 dan kombinasinya terhadap mutu mangga gedong gincu selama penyimpanan.

2. Mengetahui kombinasi HWT dan CaCl2 yang memberikan penurunan mutu minimal terhadap mangga gedong gincu selama penyimpanan.

3. Mengamati tingkat penerimaan panelis terhadap perubahan mutu mangga gedong gincu hasil perlakuan.

(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangga Gedong Gincu

Tanaman mangga memiliki kelompok keluarga yang sama dengan jambu monyet dan kedondong. Beberapa peneliti terdahulu telah menemukan 62 spesies dari keluarga Anacardieceae yang berasal dari Asia Tenggara dan 16 spesies diantaranya merupakan buah yang dapat dikonsumsi. Tetapi hanya spesies Mangifera caesia, Jack., Mangifera foetida, Lour., Mangifera odorata, Griff., dan Mangifera indica, L. yang biasa dikonsumsi. Di antara keempatnya, spesies Mangifera indica, L. adalah yang memiliki jenis paling banyak dan salah satunya adalah mangga gedong gincu. Berikut merupakan ringkasan klasifikasi mangga: Famili : Anacardiaceae

Genus : Mangifera

Spesies : Mangifera indica L.

Pohon mangga termasuk tumbuhan tingkat tinggi yang struktur batangnya termasuk kelompok arboreus, yaitu tumbuhan berkayu yang mempunyai tinggi batang lebih dari 5 meter. Berdasarkan SK.Mentan.No.28/Kpts/TP.240/1/1995 dalam Broto (2003), mangga varietas gedong dapat dideskripsikan bahwa tanaman varietas ini memiliki bentuk pohon tegak dengan ketinggian 9-15 meter. Kusumo et al. (1975) dalam Broto (2003) memilihkan bentuk tajuk pohon mangga menjadi lima macam, yakni bulat, jorong ke atas, jorong ke samping, piramida lancip dan piramida tumpul. Menurut hasil kajian Kusumo, bentuk tajuk pohon mangga yang paling banyak adalah yang berbentuk bulat seperti yang dimiliki oleh pohon mangga arumanis, kencono, cengkir, gedong, golek, manalagi, kweni, budidaya dan buaya. Pohon-pohon ini memiliki tajuk berbentuk bulat dengan diameter tajuk sebesar 7.3-14.5 m. Daun mangga terletak di sepanjang ranting, bergantian dan jaraknya tidak teratur, serta memiliki tangkai dengan bentuk jorong meruncing, kaku pada kedua permukaannya halus, bagian atas berwarna hijau kekuningan.

Buah mangga termasuk kelompok buah batu (drupa) yang berdaging, dengan ukuran dan bentuk yang sangat berubah-ubah bergantung pada macamnya. Bentuk buah mangga gedong adalah bulat dengan pangkal buah agak datar dan sedikit berlekuk serta tangkai buah yang kuat terletak pada bagian tengah buah dengan bobot buah matang berkisar antara 200-240 g per buah dan berukuran 5-6 x 3 x 2-3 cm (Broto, 2003).

(7)

4

Gambar 1. Mangga gedong gincu

Selain mangga gedong gincu, di Indonesia dijumpai beberapa varietas mangga komersial yang sudah terbukti mutunya dan banyak menjadi incaran para konsumen dalam maupun luar negeri, beberapa diantaranya adalah mangga arumanis, cengkir, manalagi dan golek. Karakteristik fisik dan ukuran bobot beberapa varietas mangga komersial dapat dilihat pada Tabel 1, 2 dan 3 di bawah ini.

Tabel 1. Karakteristik fisik beberapa varietas mangga komersial

Kultivar Utuh

Berat (g/buah)

Panjang (cm)

Lebar (cm)

Tebal (cm)

Aroma Buah

Warna Daging

Arumanis 450 15.10 7.80 5.50 Harum Kuning Oranye Manalagi 560 16.00 8.20 7.30 Harum Kuning

Golek 456-512 15.70 7.90 6.20 Segar Kuning Harum

Cengkir 400-500 13.00 9.00 8.00 Sedikit Kuning Harum

Sumber: Broto (2003) dan Pracaya (2007)

Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu buah mangga berdasarkan bobot

Kode ukuran Bobot (g)

1 >450

2 351-450

3 251-350

4 151-250

5 <150

Sumber : SNI-01-3164-2009

(8)

5

rasa manis yang dikandung dan warna yang memikat dari buah ini semakin menunjukkan

“kecantikannya”.

Gambar 2. Bagian-bagian mangga gedong gincu

Dalam penentuan standar kualitas mangga gedong gincu yang baik biasanya didasarkan pada (Broto, 2003):

 Bobot buah 200-240 g/buah.

 Warna ketika matang adalah pada pangkal buah merah keunguan, pucuk buah hijau tua.

 Bentuk pucuk dan pangkal buah bulat dan sedikit berlekuk pada pangkal.

 Terdapat sedikit bintik pada kulit buah dan warnanya jelas.

 Kulit buahnya tebal dan berlilin.

Tabel 3. Spesifikasi persyaratan mutu buah mangga berdasarkan karakteristik buah

Karakteristik Syarat Mutu Cara Pengujian Mutu I Mutu II

Keseragaman varietas Seragam Seragam Organoleptik

Tingkat ketuaan Tua, tak matang Tua, tak matang Organoleptik

Kekerasan Keras Cukup keras Organoleptik

Keseragaman ukuran Seragam Kurang SP-SNP-309-1981

Cacat (% maksimum) 0 0 SP-SNV-212-1977

Kadar kotoran (% maksimum) Bebas Bebas SP-SNP-383-1981

Busuk (% maksimum) 0 0 SP-SNP-212-1981

Panjang tangkai (cm maksimum) 1.0 1.0 SP-SNP-214-1977

Sumber: SNI 01-3164-1992 dalam Broto, 2003

Secara umum buah mangga mempunyai komposisi kimia yang terdiri dari air, karbohidrat dan berbagai macam asam, protein, lemak, mineral, zat warna, tanin, vitamin serta

Pangkal buah

Daging buah

Kulit buah Ujung buah

(9)

6

zat-zat yang mudah menguap dan berbau harum, dimana komposisi yang paling banyak adalah air dan karbohidrat. Adapun susunan komposisi fisika, kimia dan nilai gizi makanan buah mangga dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Nilai kandungan gizi mangga per 100 g

Komponen gizi Nilai

Energi 272 kJ (65 kkal)

Karbohidrat 17.00 g

Gula 14.80 g

Diet serat 1.80 g

Lemak 0.27 g

Protein 0.51 g

Vitamin A - Beta-karoten

38 mg (4 %) 445 mg (4 %) Thiamine (Vitamin B1) 0.058 mg (4 %) Riboflavin (Vitamin B2) 0.057 mg (4 %) Niacin (Vitamin B3) 0.584 mg (4 %) Asam pantotenat (B5) 0.160 mg (3 %)

Vitamin C 27.7 mg (46 %)

Kalsium 10 mg (1 %)

Besi 0.13 mg (1 %)

Magnesium 9 mg (2 %)

Fosfor 11 mg (2 %)

Kalium 156 mg (3 %)

Seng 0.04 mg (0 %)

Persentase yang relatif ke US rekomendasi untuk orang dewasa

Sumber: USDA Nutrient database

Tabel 5. Sifat fisika dan kimia daging buah beberapa varietas mangga

Sifat Fisika dan Kimia Varietas Mangga

Arumanis Cengkir Gadung Gedong

Padatan terlarut total (oBrix) 14.8-16.6 13.0-15.0 20.8-21.2 16.0-17.8 Asam total (%) 0.22-0.56 0.26-0.88 0.18-0.47 0.12-0.49 Vitamin C (mg/100g) 22.0-46.9 37.8-58.2 20.0-21.5 36.2-96.2

Kadar air (%) +/- 81.1 +/- 84.3 +/- 80.34 +/- 82.9

Bobot utuh (g) +/- 376.2 +/- 320.1 +/- 411.1 +/- 232.4 Bagian yang dapat dimakan (%) +/- 66.0 +/- 65.8 +/- 66.0 +/- 59.0

Warna daging buah Kuning Kekuningan Kuning Jingga

Sumber: Yulianingsih & Iteksmi, 1988; Yuniani & Suhardi, 1989; Dondy & Sabari, 1989; Sanuki dan Asiatika

Rini, 1990; Wisnu Broto et al., 1996a, 1996b; Sjaifullah et al., 1998 dalam Broto, 2003

2.2 Panen dan Penanganan Pasca Panen Mangga Gedong Gincu

(10)

7

Mangga gedong gincu biasanya dipanen setelah memasuki tingkat kematangan optimal, masih sedikit keras dan warna merahnya sudah mulai tampak. Tingkat kematangan terbaik adalah apabila buah mangga dapat dipanen pada umur 90-100 hari setelah bunga mekar karena jika pemanenan dilakukan sebelum hari ke-90 setelah bunga mekar, maka warna merah yang menjadi ciri khasnya tidak akan tampak dan buah ini hanya akan tergolong menjadi buah mangga gedong. Karena buah mangga gedong gincu adalah buah mangga yang sengaja dibiarkan matang di pohonnya, maka buah ini juga mudah memar dan tertusuk, sehingga harus ditangani secara hati-hati. Tanda yang menunjukkan mangga gedong gincu telah masak dapat ditandai dengan daging buah yang mudah melunak jika ditekan dengan jari. Pada kondisi ini, buah dapat disimpan selama 2-3 hari dalam lemari pendingin dengan kondisi kulit buah akan menghitam sementara daging buah tetap baik untuk dimakan. Indeks ketuaan beberapa jenis mangga dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Indeks ketuaan beberapa kultivar mangga yang siap panen

Kultivar Indeks Ketuaan

Arumanis PTT = 8-9oBrix

75-80 hari dari bunga mekar Gedong PTT => 10oBrix

80-90 hari dari bunga mekar Golek 78-85 hari dari bunga mekar Manalagi 90 hari dari bunga mekar Carabao 82-88 hari dari bunga mekar

PTT => 6.5oBrix

Nam Dokmai 110-120 hari dari bunga mekar

Sumber: Bautista, 1990 dan Wisnu Broto, 1993 dalam Broto, 2003

(11)

8

Tabel 7. Indeks kematangan mangga gedong gincu

No. Indeks Keterangan

1. Kematangan 70% Umur buah Warna kulit buah Rasa buah Ketahanan simpan

: 95-100 hsbm (hari setelah bunga mekar) : Seluruh bagian bunga masih berwarna hijau : Asam segar

: 21-25 hari

2.

Kematangan 80%

Umur buah Warna kulit buah

Rasa buah Ketahanan simpan

: 95-100 hsbm (hari setelah bunga mekar) : Pada bagian ujung atas buah berwarna hijau tua dan pangkal buah berwarna oranye : Manis – asam segar

: 21-25 hari

3. Kematangan 85% Umur buah Warna kulit buah

Rasa buah Ketahanan simpan

: 110-120 hsbm (hari setelah bunga mekar) : Pada bagian ujung atas buah berwarna hijau tua dan pangkal buah berwarna merah : Manis segar

: 14-17 hari

4. Kematangan 95% (siap konsumsi)

Umur buah Warna kulit buah

Rasa buah Ketahanan simpan

: 125 hsbm (hari setelah bunga mekar)

: Pada bagian ujung dan tengah buah berwarna kuning dan pangkal buah berwarna merah : Manis segar

: 5 hari

5. Kematangan 100% (over ripe)

Umur buah Warna kulit buah

Rasa buah Ketahanan simpan

: 130 hsbm (hari setelah bunga mekar)

: Pada bagian ujung dan tengah buah berwarna kuning kemerahan dan pangkal buah berwarna merah

: Manis segar : 1 hari

Sumber : Dirjen Hortikultura, 2009

(12)

9

Tabel 8. Klasifikasi mangga

Besar (g) Sedang (g) Kecil (g) Sangat kecil (g)

Arumanis >400 350-400 300-349 250-299

Golek >500 450-500 400-449 350-399

Gedong >250 200-250 150-199 100-149

Manalagi >400 350-400 300-349 250-299

Sumber: BPP Teknologi, 2000

Selama proses penyimpanan, mangga akan mengalami kebusukan/penurunan mutu yang disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah karena serangan penyakit pasca panen yang bisa disebabkan pula oleh berbagai faktor baik yang berasal dari masa pra-panen, panen ataupun pada saat pasca panen itu sendiri. Mangga termasuk tanaman yang rentan terhadap penyakit yang bisa menyerang buah, bunga dan pentil (buah muda), daun serta batang dan cabang. Untuk menghindari serangan penyakit dan hama pada buah mangga yang umumnya disebabkan karena cendawan dan bakteri, harus diketahui cara pencegahan dan pengendaliannya agar tidak menyebabkan kebusukan pada buah.

Penyakit dapat muncul saat masa prapanen maupun pascapanen. Penyakit pascapanen pada mangga ini bisa mengakibatkan hal yang lebih buruk dibandingkan ketika buah masih berada di pohon karena kerusakan karena penyakit pascapanen pada mangga dapat menimbulkan kerugian dan kehilangan hasil antara 30-50%. Hal ini akan lebih besar lagi jika tidak segera dilakukan penanggulangan, karena kondisi di daerah tropis sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan patogen pascapanen, misalnya suhu dan kelembapan yang tinggi serta keberadaan patogen tanaman di daerah tropis yang selalu ada di sepanjang musim dan terdapat berlimpah di alam (Soesanto, 2006).

Serangan busuk buah bisa terjadi pada mangga yang dibawa ke tempat penjualan maupun yang disimpan di ruang sejuk bersuhu 7-10oC. Mangga yang dibawa ke tempat penjualan seringkali terserang busuk dengan ciri-ciri berkerut hitam yang disebabkan oleh cendawan Phomopsis sp., busuk ring yang keras dan hitam disebabkan oleh cendawan Dothiorella mangiferae Cheerna & Dani, busuk pangkal buah disebabkan oleh cendawan Colleto-qloeosporiodes, dan busuk lunak disebabkan oleh cendawan Bohydplodia theobromae Pat. Selain itu, penyakit ini juga disebabkan oleh cendawan Gloeosporium mangifera P. Henn, Cladosporium herbarum Lk., dan Penicillium galucum Lk (Pracaya, 2011).

(13)

10

Menurut Pracaya (2011), serangan busuk buah dapat dicegah dan dikendalikan dengan cara sebagai berikut:

a. Lakukan penanganan buah secara hati-hati dan pastikan tidak ada luka/memar.

b. Infeksi cendawan pembusuk bersifat laten. Untuk mengendalikannya, sejak buah mangga masih muda perlu dilindungi dengan penyemprotan fungisida alami, misalnya cairan kunyit.

c. Bila ada buah yang menunjukkan gejala busuk, jangan dicampur degan area yang sehat. d. Mangga dapat awet disimpan si tempat dengan suh rendah, yakni 7-10oC. Hanya saja cara

ini bisa membuat mangga terluka, terutama buah yang berkulit tipis. Lukanya berupa bercak (lingkaran kecil) cokelat. Kalau disimpan pada suhu 1oC, warnanya akan berubah dari hijau menjadi suram. Setelah dikeluarkan dari ruang dingin, buah akan cepat busuk pada suhu kamar.

2.3

Hot Water Treatment

(HWT) dan Penggunaan Larutan CaCl

2

Teknik perlakuan panas (heat treatment) merupakan satu alternatif baru yang digunakan dalam proses ekspor buah-buahan untuk proses disinfestasi hama dan pengendalian penyakit. Perlakuan panas yang seringkali digunakan antara lain dengan menggunakan air panas (hot water treatment, HWT), uap panas (vapor heat treatment, VHT) dan udara panas (hot air treatment, HAT) (Lurie, 1998). Sebelum penerapan teknologi perlakuan panas ini, biasanya buah-buahan dikenai perlakuan fumigasi menggunakan etilen dibromida (EDB) atau metil bromida (MB). Penggunaan bahan kimia tersebut cukup efektif untuk disinfestasi lalat buah, namun residu kimia pada buah-buahan dikhawatirkan dapat membahayakan kesehatan konsumen. Kini penggunaan senyawa kimia untuk fumigasi buah-buahan/sayuran telah dilarang oleh USDA sejak tahun 1984 (Kader, 1992).

Menurut Hasbullah (2002), metode pencelupan dengan air panas lebih efisien sebagai wadah pemindah panas daripada udara panas atau semprotan air panas sebab dapat menghantarkan panas dari air yang bersuhu tinggi ke seluruh bahan secara total bukan hanya pada permukaan saja dengan waktu pencelupan dapat dilakukan 1 jam atau lebih dengan suhu dibawah 50oC. Air panas merupakan medium penghantar panas yang paling baik karena mudah diperoleh dan tidak adanya residu pada buah. Khusus untuk pencegahan kebusukan akibat jamur dapat dilakukan dalam hitungan menit dan suhu diatas 50oC. Menurut Padieu (2002), HWT menunjukkan beberapa dampak positif sanitasi terhadap beberapa jenis penyakit, hama dan serangga (termasuk telurnya) yang biasanya muncul pada bahan berkayu tanpa adanya perubahan pada susunan vegetatif tumbuhan. Uap panas juga sebenarnya merupakan medium penghantar panas yang efisien, karena panas laten akan diteruskan kepada komoditi saat air mengembun di permukaan, tetapi persoalan yang muncul adalah pada pengaturan suhunya yang sangat sukar. Udara panas tidak bermanfaat untuk kebanyakan hasil-hasil segar, karena dapat menimbulkan kehilangan air yang terlalu banyak dari komoditi.

(14)

11

sebaiknya tidak melebihi batas ketentuan, karena hal ini dapat merusak tampilan maupun kandungan produk tersebut. Ketika kondisi udara lebih lembab daripada biasanya, maka suhu perendaman harus diturunkan karena kerentanan kulit buah lebih rentan.

Menurut Schirra et al. (2000); Fallik (2004) dalam Zong et al. (2010), HWT dilaporkan cukup efektif dalam mengontrol penyakit pasca panen pada buah-buahan. Dalam penelitian sebelumnya, telah ditemukan bahwa perlakuan HWT selama 20 dan 40 menit secara signifikan mereduksi penyakit dan mengurangi diameter bercak penyakit pada buah tomat yang disebabkan oleh Botrytis cinerea, sedangkan perlakuan selama 60 menit secara signifikan hanya dapat mengurangi diameter bercak penyakit. Hal ini mengindikasikan bahwa waktu perlakuan HWT berhubungan erat dengan efisiensi pengontrolan penyakit. Hasil yang serupa juga diperoleh oleh Zhang et al. (2008) dalam Zong et al. (2010), yang melaporkan bahwa dengan perlakuan HWT pada suhu 46oC selama 15 menit menunjukkan efisiensi yang lebih baik pada Penicillium expansum di buah pir daripada perlakuan selama 5, 10 atau 20 menit.

Kalsium klorida adalah senyawa ionik yang terdiri dari unsur kalsium dan klorin yang bersifat tidak berbau, tidak berwarna, tidak beracun yang digunakan secara ekstensif di berbagai industri dan aplikasinya di seluruh dunia. Sebagai senyawa yang terjadi secara alami, kalsium klorida cair dapat ditemukan paling sering dalam air laut dan mata air mineral. Kalsium klorida, sebagai bahan, terdaftar sebagai makanan aditif yang diizinkan di Uni Eropa untuk digunakan sebagai sequestrant (senyawa yang akan menonaktifkan ion logam dengan membentuk suatu senyawa kompleks yang larut dalam air) dan agen pengencangan dengan nomor E509 E dan dianggap aman (GRAS) oleh Foo and Drug Administration. Dalam sehari, rata-rata konsumsi kalsium klorida sebagai bahan tambahan pangan telah diperkirakan 160-345 mg/hari untuk individu. Dalam aplikasinya, kalsium klorida ini biasanya digunakan sebagai elektrolit dalam minuman olahraga, meningkatkan rasa asin pada acar tanpa meningkatkan kandungan natrium pada makanan tersebut.

Menurut Soesanto (2006), kandungan kalsium di dalam buah berhubungan negatif dengan kerusakan, baik karena proses fisiologis maupun karena patogen pascapanen penyebab busuk buah yang juga dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya peneduh. Pohon yang berpeneduh dan hanya menerima sebagian sinar matahari memiliki ukuran buah yang lebih kecil jika dibandingkan dengan pohon yang menerima sinar matahari secara penuh. Ukuran buah sangat berpengaruh terhadap kecepatan busuk suatu buah, karena besar-kecilnya ukuran buah ini berhubungan dengan ukuran dan jumlah sel per buah. Jadi, ketika suatu buah memiliki ukuran yang lebih kecil, maka buah tersebut memiliki kandungan kalsium yang lebih tinggi dan tingkat kebusukan buahnya rendah dibandingkan dengan buah yang memiliki ukuran lebih besar. Kondisi ini disebabkan oleh jumlah kalsium lebih banyak di bagian dinding sel pada buah yang berukuran kecil jika dibandingkan dengan jumlah sel yang sama pada buah berukuran lebih besar. Adanya kandungan kalsium yang lebih tinggi tersebut menyebabkan tekstur buah menjadi lebih kompak dan tegar serta lebih tahan terhadap serangan patogen pascapanen, permeabilitas dan pembusukan selaput sel. Sebaliknya ketika suatu buah memiliki kandungan kalsium yang rendah, selaput sel akan berkurang permeabilitas atau daya lenturnya yang dapat menyebabkan mudah terurainya ikatan selaput lamela tengah pada dinding sel. Peruraian selaput lamela tengah juga dapat disebabkan oleh pemasakan buah dan karena serangan patogen pascapanen.

(15)

12

komoditas tersebut yang disebabkan oleh rendahnya kandungan kalsium pada lapisan membrannya. Menurut Winarno (1997), kalsium, umumnya garam Ca (kalsium klorida, kalsium sitrat, kalsium laktat, kalsium sulfat dan kalsium monofosfat) dapat mempertinggi kekerasan gel karena adanya ikatan kalsium dengan gugus karboksil melalui jembatan kalsium. Kalsium klorida banyak digunakan sebagai bahan pengeras tekstur karena terbentuknya ikatan antara kalsium dengan pektat membentuk kalsium pektat yang tidak larut dalam air (Winarno, 1997). Selain itu, aplikasi kalsium klorida (CaCl2) yaitu untuk menghambat penuaan atau pematangan, mengurangi laju pembusukan pasca panen, mengendalikan perkembangan gangguan fisiologi, meningkatkan kandungan kalsium sehingga akan meningkatkan kandungan nutrisinya.

Dalam penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, kedua metode ini telah banyak dilakukan namun hanya dilakukan secara terpisah. Belum banyak peneliti yang mengkombinasikan kedua metode perlakuan pasca panen ini dalam penerapan rantai pasok buah-buahan/sayuran. Perlakuan kombinasi HWT dan CaCl2 ini dipilih karena diharapkan lebih optimal menurunkan resiko terserang hama dan penyaki serta menjaga kualitas mutu buah.

2.4 Faktor Mutu Buah-buahan Tropika

1.

Laju Respirasi

Menurut Susanto (1994), respirasi merupakan perombakan bahan yang lebih kompleks di dalam sel seperti, pati, gula dan asam organik dengan bantuan oksigen (oksidatif) menjadi molekul yang lebih sederhana, seperti karbondioksida, air, sekaligus energi dan molekul lainnya yang bisa digunakan sel dalam reaksi sintesa. Respirasi juga merupakan proses penggabungan O2 dari udara dengan unsur karbon di dalam jaringan terutama gula. Kegiatan respirasi ini merupakan metabolisme yang penting, karena selama proses respirasi terjadi perubahan secara fisik, kimia dan biologi pada produk segar yang disimpan. Laju respirasi dapat digunakan sebagai ukuran aktifitas fisiologis buah (Wills, et al., 1981).

Buah mangga merupakan kelompok buah klimakterik yang menunjukkan perubahan secara mendadak yang khas pada mutu buahnya meskipun sudah dipetik dari pohonnya. Perubahan yang dapat menjadi tolak ukur suatu produk pertanian termasuk pada kelompok klimakterik/non klimakterik biasanya didasarkan pada peningkatan nilai respirasi yang cepat selama proses pematangan. Selain dari proses pernafasan atau yang biasa disebut dengan laju pengukuran konsumsi O2 atau laju pengkuran produksi CO2, terdapat beberapa tanda pematangan pada buah khususnya buah klimakterik.

(16)

13

produk. Selama ritel, pengendalian laju respirasi menjadi penting karena terkait dengan seberapa lama buah dapat dipajang dan dijual.

Menurut Pantastico (1986), laju respirasi dipengaruhi oleh faktor internal buah, diantaranya yaitu tingkat perkembangan, ukuran produk dan pelapis alami. Variasi dalam laju respirasi terjadi selama perkembangan organ, misalnya dengan makin besarnya buah, jumlah CO2 yang dikeluarkan bertambah juga. Untuk buah-buah pada puncak perkembangannya, laju respirasinya minimal pada tingkat kemasakan dan setelah itu boleh dikatakan konstan, demikian pula setelah pemanenan. Hanya bila proses pematangan akan dimulai, laju respirasinya akan meningkat sampai puncak klimakterik, sesudah itu akan berkurang dengan perlahan-lahan. Selain faktor diatas, laju respirasi juga dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari luar buah, misalnya suhu penyimpanan, oksigen yang tersedia, karbon dioksida, zat pengatur pertumbuhan serta tingkat kerusakan buah.

2.

Kekerasan

Salah satu proses yang terjadi selama pemasakan buah (komoditi hortikultura) setelah panen adalah penurunan kekerasan buah (buah semakin lunak) yang disebabkan oleh degradasi komponen-komponen penyusun dinding sel. Kekerasan atau kelunakan suatu buah dapat berhubungan dengan tingkat kematangan atau tingkat kebusukan buah tersebut. Buah yang masih mentah mempunyai tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang masak. Kekerasan juga dapat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Menurut Sugiarti (2012), perubahan kekerasan mangga gedong yang disimpan pada masing-masing suhu yang berbeda semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan dan kenaikan terjadi lebih cepat pada suhu penyimoanan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kematangan pada buah mangga berlangsung pada bagian pangkal buah, kemudian disusul pada bagian tengah buah dan ujung buah. Nilai kekerasan buah menunjukkan kedalaman jarum yang ditusukkan ke dalam buah, semakin dalam tusukan jarum ke dalam buah maka buah tersebut semakin lunak.

Menurut Apandi (1984) perubahan tekstur yang terjadi pada buah yaitu dari keras menjadi lunak sebagai akibat terjadinya proses kelayuan karena respirasi dan transpirasi. Proses kelayuan ini merupakan masa senescence atau penuaan yang disusul dengan kerusakan buah karena adanya proses respirasi dan transpirasi menyebabkan buah dan sayur kehilangan air akibat berkurangnya karbon dalam proses respirasi.

(17)

14

Pada metode penusukan, probe ditekan oleh besaran gaya yang konstan sehingga dapat menusuk buah diukur pada kedalam dan waktu tertentu serta dalam keadaan yang telah ditentukan sebelumnya. Besarnya gaya yang diperlukan untuk menusuk sampel menunjukkan derajat kekerasan (hardness) atau kesegaran (firmness) sampel tersebut. Metode ini digunakan untuk menguji kesegaran pada buah-buahan, sayuran dan keju serta menguji kekerasan pada permen, coklat dan margarin atau bloom test untuk gelatin (Fauzi, 2012).

3.

Susut Bobot

Susut bobot merupakan salah satu parameter mutu yang mencerminkan tingkat kesegaran buah. Kader (1992) menjelaskan bahwa terjadinya susut bobot disebabkan oleh hilangnya air dalam buah oleh respirasi yang mengubah gula menjadi CO2 dan H2O. Hal ini juga dijelaskan oleh Muchtadi (1992) bahwa kehilangan bobot pada buah dan sayuran selama penyimpanan disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi sehingga menimbulkan kerusakan dan menurunkan mutu produk tersebut. Pantastico (1986) menjelaskan bahwa penurunan bobot dapat disebabkan oleh terurainya glukosa menjadi CO2 dan air selama proses respirasi walaupun jumlahnya kecil. Selain itu kehilangan bobot juga dihubungkan dengan adanya penurunan kekerasan, sehingga ikatan antar sel di dalam buah menjadi lebih lemah dan jaraknya meregang sehingga air-air bebas yang terdapat di dalam buah menjadi mudah teruapkan. Dikatakan pula oleh Wills et al. (1981), faktor lain yang mempengaruhi kehilangan air pada buah dan sayuran antara lain adalah luas/volume permukaan buah dan sayur itu sendiri, lapisan alami permukaan buah serta kerusakan mekanik pada buah dan sayur itu. Di samping itu, Syarief dan Halid (1991) menjelaskan bahwa salah satu penyebab susut bobot adalah proses respirasi dan proses transpirasi. Transpirasi merupakan faktor dominan penyebab susut bobot dan proses transpirasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu suhu dan kelembaban. Pelapisan lilin juga dapat menekan respirasi dan transpirasi sehingga komoditi tersebut memiliki umur simpan yang lebih lama dan nilai jualnya dapat dipertahankan.

(18)

15

dipertahankan stabil. Produk pertanian terutama buah-buahan memang memerlukan penanganan khusus sehingga susut bobot dan susut mutu dapat dihindari.

4.

Total Padatan Terlarut (TPT)

Gula adalah kandungan padatan terlarut terbesar yang terdapat pada sari buah, oleh karena itu total padatan terlarut (total soluble solids) dapat digunakan untuk menentukan jumlah gula yang terkandung dalam suatu buah. Selain kandungan gula itu sendiri, asam organik, asam amino dan pektin terlarut juga dapat diukur dengan metode ini (Verma dan Joshi, 2000). Menurut Apandi (1984), selama pematangan kandungan gula bertambah akibat adanya proses hidrolisa pati, sedangkan jika terjadi penurunan TPT buah mangga selama penyimpanan mungkin disebabkan oleh adanya penguraian sukrosa oleh enzim invertase menjadi gula-gula sederhana seperti glukosa, fruktosa, sakarosa dan monosakarida lainnya seperti dikemukakan oleh Pantastico (1986).

5.

Perubahan Warna

Warna merupakan hal yang sangat penting bagi penampakan karena merupakan indikator kematangan yang sangat dikenal oleh konsumen, karena konsumen umumnya mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam tentang korelasi antara warna dan tingkat kematangan buah dan sayuran. Warna merupakan kriteria mutu pokok karena merupakan kriteria mutu pertama yang dikaji konsumen. Kenyataannya, hubungan antara persepsi konsumen atas warna dan mutu tidak selamanya benar.

Warna dapat terlihat ketika suatu cahaya dipantulkan oleh permukaan suatu komoditas dan jatuh tepat pada retina mata penerima. Penerimaan jenis warna bergantung pada intensitas cahaya, karakteristik fisik dan kimia suatu produk dan kemampuan seseorang untuk mengenali berbagai macam warna. Penilaian terhadap warna bisa menjadi penilaian yang subjektif, bergantung pada kemampuan individu masing-masing (Verma dan Joshi, 2000).

Untuk kebanyakan buah, tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau karena kandungan klorofil buah yang sedang masak lambat laun berkurang. Pada umumnya sejumlah zat warna hijau tetap terdapat dalam buah, terutama dalam jaringan bagian-bagian dalam buah. Proses perubahan kulit mangga dari warna hijau menjadi kuning disebabkan terdegradasinya klorofil tanpa atau dengan sedikit pembentukan karatenoid. Pigmen karoten adalah pigmen yang stabil pada kulit buah mangga tetapi penampakannya tertutup oleh klorofil. Dengan terdegradasinya klorofil selama pematangan, maka pigmen karoten nampak sehingga menyebabkan mangga berwarna kuning (Wills et al., 1981).

(19)

16

menggunakan kamera CCD dan kamera digital (visible). Untuk pengukuran subjektif warna dapat menggunakan tabel warna Munsell, Hunter, XYZ, Chromaticity CIE 1931 dan NTSC.

Prinsip pengukuran pada spektrophotometer adalah dengan mengukur parameter optik (R, T) pada setiap panjang gelombang mulai dari 400 sampai dengan 700 nm (visible) atau 700 sampai dengan 2500 nm (NIR) dengan interval panjang gelombang tertentu. Untuk prinsip pengukuran colorimeter/chromameter adalah dengan mengukur parameter/tristimulus warna (XYZ) dengan menggunakan 3 buah filter X (merah), Y (hijau) dan Z (biru).

Pada pengukuran warna secara subjektif menggunakan tabel warna Munsell dengan cara mencocokkan warna munsell secara visual menggunakan indera penglihatan, yaitu pada parameter warna yang terdapat di sistem Munsell adalah hue, value dan chroma. Untuk sistem warna Hunter terdiri atas 3 parameter, yaitu L, a dan b. Metode ini memiliki ketepatan dan kecepatan yang lebih baik dibandingkan metode pengukuran warna lainnya (Nurmawati, 2011). Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan metode pengukuran warna menggunakan sistem Hunter dan Munsell.

6.

Total Asam

Buah segar seperti juga bagian tanaman yang lain, masih tetap hidup dan menjalankan aktivitas biologisnya meski telag dipanen atau dipisahkan dari tanaman induknya. Pada saat buah telah memasuki masa matang, buah akan mengalami beberapa perubahan yang terjadi, yaitu respirasi dan produksi etilen yang meningkat diiringi dengan peningkatan kadar gula, pektin terlarut dan senyawa flavor yang sejalan dengan penurunan keasaman, kadar pati dan pektin tak larut (Prabawati, 2003 dalam Broto, 2003).

Pengukuran nilai total asam yang dilakukan bertujuan untuk mengukur kandungan asam yang terkandung di dalam suatu produk pertanian selama masa penyimpanan karena pada umumnya kandungan asam yang terkandung di dalam suatu produk pertanian dari waktu ke waktu biasanya akan terus menurun. Kays (1991) dalam Marlisa (2007) menjelaskan bahwa kandungan asam pada buah akan mengalami penurunan setelah dipanen. Hal serupa dijelaskan juga oleh Pantastico (1986) bahwa kandungan asam pada buah akan mencapai maksimum selama pertumbuhan dan perkembangan dan akan menurun selama penyimpanan karena penurunan kandungan asam pada buah terjadi karena digunakan sebagai substrat pada respirasi. Menurut Prabawati (2003) dalam Broto (2003), laju respirasi sangat karakteristik pada setiap buah, yaitu adanya buah yang memiliki laju respirasi yang cepat, semakin tinggi laju respirasi, semakin cepat pula terjadinya perombakan substrat maka semakin cepat pula berlangsungnya kemunduran kualitas dan kesegaran buah.

(20)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada bulan Juni-Juli 2012.

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah mangga varietas gedong gincu yang diperoleh dari kebun petani di Cirebon, Jawa Barat, dengan tingkat kematangan 80-85% atau berumur 95-120 hari setelah bunga mekar (mutu A atau B menurut standar mutu SNI-3164-1992), bobot berkisar antara 250-350 g dengan kondisi bebas cacat, bercak jamur atau penyakit secara visual dan tidak mengalami kerusakan mekanis. Sampel buah mangga gedong gincu tersebut, dibawa dari kebun ke laboratorium dengan kendaraan yang berpendingin selama 7 jam. Selain itu juga digunakan larutan CaCl2 4%, aquades dan aquabides untuk membersihkan peralatan serta larutan NaOH 0.1 N, PP (fenoftalein), digunakan dalam pengujian total asam.

3.2.2 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah: water bath untuk perlakuan HWT, lemari pendingin yang diatur pada suhu 13oC, continous gas analyzer untuk mengukur laju respirasi, refractometer (model PR 201) untuk mengukur total padatan terlarut bahan, rheometer (model CR-300) untuk mengetahui tingkat kekerasan, timbangan digital (Mettler PM-4800), chromameter (tipe Minolta CR 310), kamera digital, buret, tabung erlenmeyer dan pipet tetes.

3.3 Tahapan Penelitian

(21)

18

buah dan laju respirasi selama penyimpanan tersebut. Untuk setiap pengamatan juga dilakukan uji organoleptik oleh beberapa panelis.

Gambar 3. Diagram alir penelitian

P

er

lak

u

an

P

er

siap

an

b

ah

an

Penyimpanan (13oC)

Pengamatan: - Laju respirasi - Susut bobot - Kekerasan

- Warna kulit dan daging buah - Warna daging buah

- Total padatan terlarut - Total asam

- Organoleptik

Pencelupan ke CaCl2 (konsentrasi 4%)

Penirisan Mangga

Pembersihan

Penyortiran

Pengeringan (diangin-anginkan)

Hot water treatment (HWT)

Penirisan

Mangga gedong gincu kontrol

30 oC 65’ 35 oC 60’ 45oC 40’ 55oC 15’

20’ 40’ 40’

(22)

19

3.4 Pengamatan

1. Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi dilakukan pada 2 buah mangga yang diletakkan di dalam toples dengan membuat dua lubang pada toples kemudian dipasang selang pengukur konsentrasi gas CO2 dan O2 yang dihubungkan dengan continous gas analyzer (Gambar 4). Tutup stoples dilubangi sebesar ¼ inchi untuk memasukkan selang plastik. Celah antara selang dan tutup botol dilapisi lilin (malam) agar tidak ada aliran udara keluar-masuk stoples. Penggunaan mangga yang berjumlah 2 buah lebih didasarkan pada ukuran berat minimal yang digunakan untuk mengukur laju respirasi, yaitu minimal 500 gr.

Pengukuran konsentrasi gas CO2 dan O2 dilakukan setiap 3 jam pada hari pertama, 6 jam pada hari kedua, 9 jam pada hari ketiga, 12 jam pada hari keempat, dan 24 jam pada hari selanjutnya sampai 28 hari. Data pengukuran yang diperoleh selama penyimpanan pada suhu 13oC berupa perubahan konsentrasi gas CO2 dan O2. Sedangkan perhitungan laju respirasi dengan menggunakan persamaan berikut ini (Mannaperumma dan Singh, 1989).

Dimana : R = laju respirasi (ml/kg/jam) V = volume bebas (ml) W = berat sampel (kg)

dx/dt = perubahan konsentrasi gas terhadap waktu (%/jam)

(23)

20

2. Warna

Pengukuran perubahan warna sampel buah dilakukan dengan menggunakan chromameter Minolta tipe CR 310 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5(a). Pengujian menggunakan chromameter Minolta tipe CR 310 (Gambar 5). Dalam pengukuran tersebut diperoleh data nilai Hunter L yang menunjukkan kecerahan atau kegelapan obyek, dimana L bernilai 100 menyatakan warna putih dan bernilai 0 untuk warna hitam. Selain itu, juga diperoleh nilai a dan nilai b yang menyatakan warna tampak dari obyek. Nilai a merupakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai rentang nilai +a dari 0 sampai +80 yang menunjukkan warna merah dan nilai –a dengan rentang nilai 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai b merupakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai b+ dengan rentang nilai dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b dari 0 sampai -70 yang menyatakan warna biru. Menurut Mohsenin (1984) dalam Sugiarti (2012), metode Munsell merupakan metode berdasarkan pada tiga notasi Munsell yaitu Hueo (hijau, merah, biru, kuning), value (nilai L atau kecerahan yang bergerak dari dark atau gelap sampai light/bright atau cerah) dan chroma (saturasi atau tingkat kandungan warna yang bergerak dari weak atau muda sampai vivid/strong atau tua). Nilai dari notasi tersebut kemudian diplotkan pada tabel warna Munsell.

Pengukuran warna dilakukan pada 4 titik yang berbeda, yaitu di ujung, tengah, pangkal dan bagian dalam buah (daging buah). Pada pengukuran perubahan warna kulit buah yang dilakukan di bagian ujung, tengah dan pangkal, digunakan sampel buah mangga yang sama sejak hari ke-0 hingga hari terakhir penyimpanan, sedangkan untuk pengamatan perubahan warna daging buah digunakan buah mangga yang berbeda (pengujian secara destruktif). Pengambilan data perubahan warna ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan dengan selang pengamatan 3 hari sekali.

(24)

21

Gambar 6. Bagian buah mangga yang diamati

3. Kekerasan

Kekerasan sampel buah mangga diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap jarum penusuk dari rheometer Shimadzu model CR 300 (Gambar 6) yang diatur pada mode 20, kedalaman penekanan 10 mm, beban maksimum 10 kg, kecepatan penurunan beban 60 mm/m dan diameter jarum 5 mm. Pengujian kekerasan dilakukan pada tiga titik yang berbeda, yaitu bagian pangkal buah, tengah dan ujung dengan dua kali pengulangan pada masing-masing sampelnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Buah yang digunakan setiap kali pengujian adalah buah yang berbeda karena pengujian dilakukan secara destruktif.

Gambar 7. Rheometer Shimadzu model CR 300

4. Total Padatan Terlarut

(25)

22

Gambar 8. Refraktometer model PR 201

5. Susut Bobot

Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan digital (Gambar 9) dan sampel buah mangga digunakan berupa sampel yang sama dengan pengukuran warna. Penurunan susut bobot ditentukan berdasarkan persentase perubahan berat sampel selama penyimpanan yang diukur sebanyak 2 kali ulangan untuk setiap perlakuan. Perhitungan susut bobot selama pengamatan digunakan sebagai berikut:

Dimana : W = bobot bahan awal penyimpanan (g) Wa = bobot bahan akhir penyimpanan (g)

Gambar 9. Timbangan digital Mettler PM-4800

6. Total Asam

Penentuan total asam tertitrasi umumnya menggunakan sistem perubahan warna yang proses pengubahannya menggunakan metode titrasi dengan larutan fenoftalein sehingga dapat mengubah warna larutan menjadi merah muda. Pengukuran faktor mutu total asam ditentukan menggunakan prinsip titrasi asam basa (AOAC, 1995).

(26)

23

Dimana : ml NaOH = volume NaOH yang terpakai pada titrasi

N = formalitas NaOH (0.1 N) Fp = faktor pengenceran (100/25) Mg contoh = 10 000 mg

Persiapan sampel buah untuk pengukuran total asam diperoleh dari penghancuran 10 g buah mangga dengan 100 ml aquades hingga menjadi bubur buah. Kemudian campuran bubur buah tersebut disaring dan diambil bagian cairannya sebanyak 25 ml untuk kemudian ditetesi dengan 2-3 tetes cairan indikator PP. Setelah itu, campuran tersebut ditetesi dengan NaOH hingga warna campuran yang awalnya kuning cerah berubah menjadi kemerahan stabil.

Gambar 10. Metode titrasi untuk total asam

7. Uji Organoleptik (warna, rasa, tekstur dan aroma)

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap perubahan mutu buah mangga. Pengujian dilakukan selama penyimpanan pada suhu 13oC untuk parameter warna, rasa, tekstur dan aroma. Skor hedonik yang digunakan dengan skala 1-5 dimana skor 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (biasa), 4 (suka) dan 5 (sangat suka). Panelis yang digunakan sebanyak 15 orang yang merupakan panelis umum yang tidak terlatih dan bertugas untuk menilai kriteria-kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan pengalaman dan kesukaan masing-masing terhadap buah mangga gedong gincu.

Dalam pengolahan data organoleptik, digunakan uji Kruskal-Wallis, yaitu metode pengembangan dari model Mann Whitney Test yang digunakan untuk membandingkan dua atau lebih sampel yang tidak terikat/berhubungan satu sama lain secara bersama-sama. Analisis ini untuk menguji kesamaan nilai variansi dari sampel-sampel yang digunakan. Parameter yang ekuivalen dengan uji ini adalah one-way analysis of variance (ANOVA). Pengujian Kruskal-Wallis merupakan salah satu alat untuk melihat variansi sampel, sehingga setidaknya sampel yang digunakan harus memiliki distribusi normal, memiliki nilai standar deviasi yang sama, sampel yang diambil dari populasinya bersifat saling bebas serta random variabel Xij kontinu dan paling tidak merupakan data ordinal (Supangat, 2010).

(3)

(27)

24

Pada saat uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang signifikan dan minimal terdapat salah satu sampel yang berbeda dari yang lainnya, maka pengujian belum tentu dapat mengidentifikasi letak perbedaannya bahkan juga belum dapat menganalisis seberapa banyak perbedaan yang ada. Untuk mengidentifikasi jenis perbedaan yang ditimbulkan di antara sampel-sampel yang ada, harus digunakan sampel yang berbeda atau uji post hoc untuk menganalisis sampel sehingga didapatkan perbedaan yang signifikan (Corder dan Foreman, 2009).

3.5 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktorial. Faktor perlakuan yang digunakan adalah HWT dengan kondisi suhu 30oC selama 65 menit, 35oC selama 60 menit, 45oC selama 40 menit dan 55oC selama 15 menit serta perendaman pada CaCl2 4% pada taraf 20 menit, 40 menit dan 60 menit.

Hipotesis yang digunakan dalam analisis rancangan acak lengkap berikut ini:

 Pengaruh perlakuan HWT

H1 : HWT berpengaruh terhadap perubahan mutu Mangga Gedong Gincu Ho : HWT tidak berpengaruh terhadap perubahan mutu Mangga Gedong Gincu

 Pengaruh perlakuan CaCl2

H1 : CaCl2 berpengaruh terhadap perubahan mutu Mangga Gedong Gincu Ho : CaCl2 tidak berpengaruh terhadap perubahan mutu Mangga Gedong Gincu

 Pengaruh interaksi antara HWT dan CaCl2

H1 : Interaksi antara HWT dan CaCl2 berpengaruh terhadap perubahan mutu Mangga Gedong Gincu

Ho : Interaksi antara HWT dan CaCl2 tidak berpengaruh terhadap perubahan mutu Mangga Gedong Gincu

Model umum dari rancangan percobaan tersebut adalah:

Yijk= μ + Ai + Bj + ABij + Cijk

Dimana : Yijk = Pengamatan faktor A taraf ke-i, Faktor B taraf ke-j dan Ulangan ke-k

μ = Rataan umum

Ai = Pengaruh Faktor A pada taraf ke-i Bj = Pengaruh Faktor B pada taraf ke-j

ABij = Interaksi antara Faktor A dengan Faktor B pada taraf (i,j) Cijk = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan HWT ke-i dan CaCl2

ke-j pada ulangan ke k i = 1 (jenis perlakuan HWT) j = 1, 2 (jenis perlakuan CaCl2) k = 1, 2 (ulangan)

(28)

25

0.05. Uji ini untuk mengetahui kondisi HWT dan pencelupan pada larutan CaCl2 terbaik maupun kombinasi keduanya terhadap perubahan mutu buah mangga.

Uji Duncan didasarkan pada sekumpulan nilai beda nyata yang ukurannya semakin besar, tergantung pada jarak di antara pangkat-pangkat dari dua nilai tengah (faktor A dan faktor B) yang dibandingkan. Dapat digunakan untuk menguji perbedaan di antara semua pasangan perlakuan yang mungkin tanpa memperhatikan jumlah perlakuan.

Pada uji Duncan ini terdapat beberapa langkah perhitungan yang dilakukan, yaitu: 1. Mengurutkan nilai tengah perlakuan (biasanya urutan menaik)

2. Hitung wilayah nyata terpendek untuk wilayah dari berbagai nilai tengah dengan menggunakan formula

R

p

= r

α, p, v

s

γ

(5)

Rp = r

α, p, v

(6)

Dimana:

KTG = Kuadrat Tengah Galat r = ulangan

rα, p, v = nilai wilayah nyata Duncan α = taraf nyata

p = jarak relatif antara perlakuan tertentu dengan peringkat berikutnya (2, 3, dst)

v = derajat bebas galat

3. Kriteria nilai mutlak selisih kedua rata-rata yang akan dilihat perbedaannya dengan nilai wilayah nyata terpendek (Rp) dengan kriteria pengujian sebagai berikut:

Jika | μi–μj | : > Rp Tolak Ho (berbeda nyata) < Rp Terima Ho (tidak berbeda nyata)

Hipotesis yang digunakan dalam uji Duncan ini dengan asumsi semua perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon, maka:

H1 : Nilai tengah kedua perlakuan berbeda nyata Ho : Nilai tengah kedua perlakuan tidak berbeda nyata

Prosedur pengujian Nonparametrik Kruskal-Wallis yang dikembangkan oleh Kruskal dan Wallis (1952) biasanya digunakan dalam rancangan percobaan yang menggunakan RAL (rancangan acak lengkap). Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis:

Ho : nilai tengah perlakuan sama

(29)

26

Statistik uji yang digunakan dalam pengujian ini adalah:

dengan:

ri = banyaknya ulangan pada perlakuan ke-i N = jumlah pengamatan

Ri = jumlah peringkat (rank) dari perlakuan ke-i dan

[∑ ∑ ]

Rij adalah peringkat dari pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j. Kaidah keputusan uji ini:

Jika H > χ2

∝, t-1 maka tolak Ho, selainnya terima Ho.

(7)

(8)

(30)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Kombinasi Perlakuan terhadap Perubahan Mutu Mangga

1. Laju Respirasi

Secara umum, respirasi dapat diartikan sebagai proses menghirup oksigen dari udara serta mengeluarkan karbon dioksida dan uap air (Saktiyono, 2004). Begitu juga dengan buah yang terus mengalami proses respirasi meskipun telah dipanen dan disimpan selama beberapa saat. Proses respirasi yang dialami oleh buah mangga gedong gincu ini dapat diamati dan diukur dengan menggunakan metode laju respirasi ini.

Buah mangga gedong gincu termasuk ke dalam kelompok buah klimakterik yang memiliki fase yang khas dalam perubahan laju respirasinya yang dinyatakan dalam laju konsumsi O2 dan produksi CO2 seperti yang disajikan dalam Gambar 11 dan 12. Jika dilihat dari laju konsumsi O2 dan laju produksi CO2 per perlakuan, perlakuan HWT 30oC 65’ dan 45oC 40’ dengan semua perlakuan CaCl2(20’, 40’, 60’) mengalami puncak klimakteriknya pada hari ke-13 yaitu rata-rata bernilai 14.66 ml/kg.jam (HWT 30oC 65’) dan 15.59 ml/kg.jam (HWT 45oC 40’) berdasarkan laju produksi CO2nya. Pada kelompok perlakuan HWT 35oC 60’ dengan perlakuan perendaman pada CaCl220’, 40’ dan 60’ masing-masing mengalami puncak klimakterik pada hari penyimpanan ke-12, 13 dan 14. Pada kelompok perlakuan HWT 55oC 15’ dengan semua perlakuan CaCl2 (20’, 40’ dan 60’) mengalami puncak klimakterik paling cepat, yaitu pada hari penyimpanan ke-9 jika dilihat dari laju konsumsi CO2, sedangkan untuk kontrol, mengalami masa puncak klimakterik pada hari penyimpanan ke-13.

Berdasarkan hasil sidik ragam laju produksi CO2, kombinasi antara HWT dan CaCl2 terlihat pada hari ke-1 dan 25, sedangkan pada laju konsumsi O2 terlihat di hari ke-8, 12, 14, dan 25. Namun, umumnya yang memberikan banyak pengaruh terhadap laju respirasi mangga ini adalah perlakuan HWT, yaitu tampak pada hari ke-1, 3 dan 4 pada laju produksi CO2 dan pada hari ke-2, 3, 7 dan 14 berdasarkan laju konsumsi O2. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan HWT 55oC 15’; CaCl2 60’ menunjukkan hasil yang signifikan dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan kontrol yang terlihat di hari penyimpanan ke-1 berdasarkan laju produksi CO2 (Lampiran 1-4).

Tabel 9. Uji Duncan laju respirasi CO2 mangga gedong gincu hari penyimpanan ke-1 KA 30 oC 65’ 35 oC 60’ 45 oC 40’ 55 oC 15’

KB 13.9900 abcd - - - -

20’ - 12.5050 ab 13.8450 abc 16.1500 e 13.2850 abc

40’ - 12.5000 ab 12.0800 A 13.7650 abc 21.9900 f

(31)

28

Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk daya simpan buah setelah panen karena intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme dan sering dianggap sebagai petunjuk mengenai potensi daya simpan buah. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai oleh umur simpan pendek sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk laju kemunduran mutu dan nilainya sebagai bahan makanan (Pantastico, 1986). Jika dilihat dari laju respirasi buah mangga gedong gincu pada penelitian ini, maka yang memiliki umur simpan lebih lama adalah sampel dengan perlakuan HWT 35oC 60’; CaCl2 [image:31.595.148.512.529.734.2]

60’ selama 14 hari, disusul oleh kelompok perlakuan HWT 30oC 65’, HWT 45oC 40’ dengan semua jenis perlakuan CaCl2 (20’, 40’, 40’) dan HWT 35oC 60’; CaCl240’ yaitu selama 13 hari.

Gambar 11. Laju konsumsi O2 mangga gedong gincu selama penyimpanan

Gambar 12. Laju produksi CO2 mangga gedong gincu selama penyimpanan

0 5 10 15 20

0 5 10 15 20 25 30

L

a

ju

Resp

ira

si

O2

(

m

l/

k

g

.j

a

m

)

Waktu (hari)

30*65' - 20' 30*65' - 40' 30*65' - 60' 35*60' - 20' 35*60' - 40'

35*60' - 60' 45*40' - 20' 45*40' - 40' 45*40' - 60' 55*15' - 20'

55*15' - 40' 55*15' - 60' kontrol

0 5 10 15 20

0 5 10 15 20 25 30

L

a

ju Re

spira

si

CO

2

(

m

l/k

g

.j

a

m

)

Waktu (hari)

30*65' - 20' 30*65' - 40' 30*65' - 60' 35*60' - 20' 35*60' - 40'

35*60' - 60' 45*40' - 20' 45*40' - 40' 45*40' - 60' 55*15' - 20'

(32)

29

Jika dilihat dari perubahan konsentrasi gas O2 maupun CO2 selama masa penyimpanan, umumnya buah mangga hasil perlakuan memiliki nilai perubahan konsentrasi gas CO2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Namun pada grafik perubahan konsentrasi gas O2, terdapat beberapa sampel buah mangga yang mengalami penurunan lebih lambat dibandingkan dengan kontrol yaitu pada perlakuan HWT 30oC 65’; CaCl2 60’, HWT 35oC 60’; CaCl2 20’, HWT 45oC 45’; CaCl220’ dan 60’ serta HWT 55oC

15’; CaCl2 40’.

Konsentrasi awal pada gas CO2 adalah 0.03% dan 21% untuk konsentrasi awal gas O2, konsentrasi ini disesuaikan dengan konsentrasi gas O2 dan CO2 yang ada di alam. Untuk menjaga mutu buah mangga gedong gincu tetap stabil, perubahan yang dibutuhkan berkaitan dengan konsentrasi gas adalah semakin kecil perubahan gas O2 maupun CO2 berarti mutu buah yang disimpan semakin baik. Pada grafik perubahan konsentrasi CO2 (Gambar 13), perubahan yang paling minimal terlihat dari sampel kontrol, sedangkan dari Gambar 14 yang menunjukkan grafik perubahan konsentrasi gas O2 yang paling minimal adalah pada perlakuan HWT 35oC 60’; CaCl220’. Selain dilihat dari perubahan konsentrasi gas selama penyimpanan, perlu diperhatikan juga nilai R2 karena nilai ini merupakan patokan bahwa semakin besar nilai R2 maka model tersebut semakin mampu menerangkan perilaku peubah Y. Dalam grafik perubahan konsentrasi gas CO2, perlakuan yang memiliki nilai R2 tinggi adalah perlakuan HWT 30oC 65’; CaCl240’, HWT 45

oC 40’; CaCl

240’ serta kontrol. Sedangkan pada perubahan konsentrasi gas O2, sampel kontrol memiliki nilai R2 tertinggi.

Gambar 13. Perubahan konsentrasi gas CO2 mangga gedong gincu selama penyimpanan 0

2 4 6 8 10 12

0 5 10 15 20 25 30

K

o

ns

ent

ra

si g

a

s

CO

2

(

%)

Waktu (hari)

30*65' - 20' 30*65' - 40' 30*65' - 60' 35*60' - 20' 35*65' - 40' 35*60' - 60' 45*40' - 20' 45*40' - 40' 45*40' - 60' 55*15' - 20'

(33)
[image:33.595.159.516.85.347.2]

30

Gambar 14. Perubahan konsentrasi gas O2 mangga gedong gincu selama penyimpanan

2. Perubahan Warna

Warna merupakan salah satu indeks mutu bahan pangan yang memiliki peran dan perlu diperhatikan karena pada umumnya konsumen sebelum mempertimbangkan parameter lain terlebih dahulu tertarik pada warna bahan (Muchtadi et al., 2010). Perubahan warna pada buah mangga hasil perlakuan dan kontrol dilakukan pada 3 titik yang berbeda di bagian kulit serta perubahan warna bagian daging buah. Untuk kecerahan dari buah mangga baik pada bagian kulit dan daging buahnya, digunakan nilai L sebagai penentu tingkat kecerahan buah sedangkan untuk nilai a dan b ditransformasikan ke dalam bentuk chroma dan dicocokkan dengan diagram warna Munsell yang terlihat pada Gambar 19 di bawah.

Pada buah yang mengalami fase kematangan, biasanya kandungan klorofilnya akan semakin berkurang. Oleh sebab itu, perubahan tingkat kecerahan buah mangga gedong gincu cenderung mengalami peningkatan pada bagian ujung dan tengah buah dan cenderung stabil pada bagian pangkal serta menunjukkan hasil yang menurun pada bagian daging buah. Peningkatan kecerahan warna kulit buah mangga gedong gincu ini disebabkan karena adanya perubahan warna kulit buah dari hijau menjadi kekuningan atau bahkan memerah, warna khas buah mangga gedong gincu, sedangkan pada bagian pangkal tetap stabil karena umumnya mangga gedong gincu yang dipetik dan digunakan dalam penelitian ini sudah memiliki warna semburat merah di bagian pangkalnya. Perubahan warna daging buah mangga gedong gincu mengalami penurunan dikarenakan warna daging buah yang semakin matang akan menjadi semakin kuning tua/oranye sebagaimana hasil perubahan tingkat kecerahan kulit buah mangga gedong gincu di bagian ujung, tengah, pangkal maupun bagian daging buah yang ditunjukkan pada Gambar 15 hingga 18 di bawah ini.

12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

0 5 10 15 20 25 30

K

o

ns

ent

ra

si g

a

s

O2

(

%)

Waktu (hari)

(34)
[image:34.595.160.524.83.350.2]

31

Gambar 15. Grafik perubahan warna L bagian ujung mangga gedong gincu

Gambar 16. Grafik perubahan warna L bagian tengah buah mangga gedong gincu 50

55 60 65 70 75

0 5 10 15 20 25

N

il

a

i

L

Waktu (hari)

30*65' - 20' 30*65' - 40' 30*65' - 60' 35*60' - 20' 35*60' - 40' 35*60' - 60' 45*40' - 20' 45*40' - 40' 45*40' - 60' 55*15' - 20' 55*15' - 40' 55*15' - 60' kontrol

50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70

0 5 10 15 20 25

Nil

a

i L

Waktu (hari)

30*65' - 20' 30*65' - 40' 30*65' - 60' 35*60' - 20' 35*60' - 40'

35*60' - 60' 45*40' - 20' 45*40' - 40' 45*40' - 60' 55*15' - 20'

[image:34.595.145.509.407.667.2]
(35)
[image:35.595.155.509.89.362.2]

32

Gambar 17. Grafik perubahan warna L bagian pangkal mangga gedong gincu

Gambar 18. Grafik perubahan warna L bagian daging buah mangga gedong gincu 50

55 60 65 70 75

0 5 10 15 20 25

Nila

i

L

Waktu (hari)

30*65' - 20' 30*65' - 40' 30*65' - 60' 35*60' - 20' 35*60' - 40'

35*60' - 60' 45*40' - 20' 45*40' - 40' 45*40' - 60' 55*15' - 20'

55*15' - 40' 55*15' - 60' kontrol

50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70

0 5 10 15 20 25

Nila

i L

Waktu (hari)

30*65' - 20' 30*65' - 40' 30*65' - 60' 35*60' - 20' 35*60' - 40'

35*60' - 60' 45*40' - 20' 45*40' - 40' 45*40' - 60' 55*15' - 20'

[image:35.595.135.524.404.700.2]
(36)
[image:36.595.151.525.84.459.2]

33

Gambar 19. Grafik warna Munsell pangkal perlakuan HWT 55oC 15’; CaCl220’

(p) Hari penyimpanan ke-18 (q) Hari penyimpanan ke-24 (r) Hari penyimpanan ke-21

Berdasarkan uji sidik ragam yang dilakukan pada nilai L, a, b dan chroma buah mangga gedong gincu, umumnya yang berpengaruh secara signifikan adalah perlakuan perendaman pada larutan CaCl2 4% yang banyak terlihat pada bagian pangkal buah dan nilai perubahan chroma. Pada bagian pangkal, tidak hanya pengaruh perendaman CaCl2 yang nampak, tetapi juga kombinasi antara perlakuan HWT dan CaCl2. Uji lanjut Duncan menunjukkan kombinasi perlakuan HWT 55oC 15’; CaCl2 20’ adalah perlakuan yang menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya dan kontrol sebagaimana yang terlihat pada Lampiran 5 hingga Lampiran 14.

Tabel 10. Uji Duncan perubahan chroma buah mangga gedong gincu bagian pangkal buah hari ke-21

KA 30 oC 65’ 35 oC 60’ 45 oC 40’ 55 oC 15’

KB 42.5300 b - - - -

20’ - 38.2950 b 42.4650 b 42.9850 b 26.4550 a

40’ - 42.9200 b 40.5900 b 42.4450 b 43.7400 b

60’ - 37.9050 b 40.5150 b 38.6850 b 43.1600 b

(37)

34

Tabel 11. Uji Duncan perubahan chroma buah man

Gambar

Gambar 11. Laju konsumsi O2 mangga gedong gincu selama penyimpanan
Gambar 14. Perubahan konsentrasi gas O2 mangga gedong gincu selama penyimpanan
Gambar 15. Grafik perubahan warna L bagian ujung mangga gedong gincu
Gambar 17. Grafik perubahan warna L bagian pangkal mangga gedong gincu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji organoleptik penyimpanan buah kontrol pada suhu 13 °C Gambar 17 memperlihatkan bahwa dari hasil uji organoleptik penyimpanan buah kontrol pada suhu 13 °C

Pencucian buah mangga dengan bahan pencuci yang ditambah dengan fungisida atau khamir efektif digunakan untuk meningkatkan kualitas visual mangga, mengurangi persentase luka bakar

Berdasarkan analisis Multiatribut Fishbein, atribut yang paling dipertimbangkan konsumen dalam keputusan pembelian buah mangga Gedong Gincu di Pasar Tradisional Kota

Identifikasi buah Mangga Gedong Gincu Cirebon berdasarkan citra RGB menggunakan JST mendapatkan akurasi sebesar 66,6% pada epoch 2500 dengan jumlah variasi neuron 2

Hasil analisis statistik terhadap indeks warna kulit buah mangga Gedong 21 hari setelah penyimpanan (HSP) (Tabel 1) memperlihatkan bahwa pada suhu penyimpanan, perlakuan

Buah mangga gedong gincu yang disimpan pada suhu 8˚C menunjukkan gejala kerusakan dingin (chilling injury) yang terjadi pada hari ke-4 sebagai puncak tertinggi meningkatnya

mangga terbesar di Provinsi Jawa barat tetapi hanya 11% saja produksi mangga gedong gincunya, varietas yang mendominasi adalah varietas jenis mangga dermayu

Gambar 3, menunjukkan bahwa perubahan susut bobot mangga gedong gincu yang disimpan pada dua suhu berbeda yang semakin meningkat dengan semakin lama penyimpanan dan