• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Antibodi Poliklonal Antiekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba Dan Kerbau Pada Kelinci

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi Antibodi Poliklonal Antiekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba Dan Kerbau Pada Kelinci"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI-

EKSKRETORI/SEKRETORI (E/S) Fasciola gigantica ISOLAT

ASAL DOMBA DAN KERBAU PADA KELINCI

RETNO SETYANINGSIH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana

pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalan teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Retno Setyaningsih

(3)

 

ABSTRACT

RETNO SETYANINGSIH. Production of Polyclonal Antibody Anti- Excretory/Secretory (E/S) of Fasciola gigantica Sheep and Buffalo Origins in Rabbit. Under direction FADJAR SATRIJA, SRI MURTINI.

The research was designed to study method of polyclonal antibody (Ig G) anti-Excretory/Secretory (E/S) Fasciola gigantica production in rabbit. Two antigens of E/S Fasciola gigantica (E/S Fasciola gigantica from buffalo and E/S Fasciola gigantica sheep) were immunized to rabbit, at dose level 150 µg/animal. Freund’s adjuvant added to antigen with the equal volume (1:1). The first immunization was done intravenous (i.v) without adjuvant. Second immunization were gave subcutaneous (s.c) with combination of antigen-Freund’s adjuvant complete. The third until sixth immunizations were done subcutaneous (s.c) with combination of antigen-Freund’s adjuvant incomplete. Blood samples were collecting every one week after the third immunization. To evaluated antibody anti Excretory/Secretory (E/S) Fasciola gigantica development, the sera tested using Agar Gel Precipitation Test (AGPT). The result showed that the rabbit immunized by E/S protein of Fasciola gigantica from sheep, able to develop antibody faster (4 weeks post infection) than the rabbit which immunized by E/S protein of Fasciola gigantica from buffalo (12 weeks post infection). In the same time, cross reactivity between antigens appear from the antibody that produced from each rabbit.

(4)

RINGKASAN

RETNO SETYANINGSIH. Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci. Dibawah bimbingan FADJAR SATRIJA, SRI MURTINI.

Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pembentukkan antibodi poliklonal (Ig G) anti E/S Fasciola gigantica hewan coba kelinci. Dua ekor kelinci masing-masing diimunisasi dengan 150 µg antigen Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica yang diisolasi dari domba dan kerbau yang disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi serta Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Empang-Kota Bogor. Imunisasi pertama dilakukan dengan rute intravena (i.v) tanpa tambahan adjuvant. Imunisasi kedua dilakukan dengan rute subkutan (s.c) dengan kombinasi antigen- adjuvant lengkap Freund. Imunisasi ketiga hingga kelima dilakukan dengan rute subkutan (s.c) dengan kombinasi antigen- adjuvant tak lengkap Freund. Sampel darah dikoleksi tiap seminggu sekali setelah penyuntikkan yang ketiga. Serum darah diuji menggunakan Agar Gel Pecipitation Test (AGPT) untuk mengevaluasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica yang terbentuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S F. gigantica asal domba, mampu membentuk antibodi lebih cepat (4 minggu pasca infeksi) dibandingkan kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S F. gigantica asal kerbau (12 minggu pasca infeksi). Pada waktu yang sama, reaksi silang diantara antigen antigen E/S F. gigantica muncul dari antibodi yang dihasilkan oleh masing-masing kelinci.

Kata kunci: antibodi poliklonal, antigen Ekskretori/Sekretori, Fasciola gigantica  

(5)

 

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(6)

 

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI

EKSKRETORI/SEKRETORI (ES) Fasciola gigantica PADA

KELINCI

RETNO SETYANINGSIH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

2011

Judul Skripsi : Produksi Antibodi Poliklonal Anti-Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci

Nama : Retno Setyaningsih

NIM : B04070041

 

 

Disetujui

drh. H. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph. D Pembimbing I

 

Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M. Si Pembimbing II

   

 

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

   

(8)
(9)

PRAKATA

 

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. H. Fadjar Satrija,

M.Sc, dan Ibu Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M.Si, selaku dosen pembimbing yang

telah memberi kesempatan, arahan, dan masukan, hingga selesainya skripsi ini.

Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Sulaeman dan Ibu Selin,

selaku laboran yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan

penelitian. Tak lupa ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Ibu Mayang,

Joko, Risma, dan Mega selaku rekan sepenelitian serta kepada Amalia dan Hadi

S. yang telah banyak membantu penulis dengan dorongan semangat, kasih sayang,

serta doa. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ayah, Mama, serta

seluruh keluarga atas dukungan baik moril maupun materil. Rekan-rekan angkatan

44’ “Gianuzzi” atas seluruh kebersamaan dan semangat serta seluruh pihak baik

secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis hingga

selesainya penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(10)

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………...  iii DAFTAR GAMBAR………...  iv 1. PENDAHULUAN……….

1.1Latar Belakang………... 1.2Tujuan………..  1.3Manfaat……… 

1 1 2 2

2. TINJAUAN PUSTAKA……… 2.1Kelinci………. 2.2 Cacing Fasciola gigantica……….. 2.3 Antigen Ekskretori/Sekretori……….. 2.4 Imunitas………... 2.5 Antibodi Poliklonal………. 2.6 Adjuvant……….. 2.7 Agar Gel Precipitation Test (AGPT)………...

3 3 3 5 6 7 9 9

3. BAHAN DAN METODE……….. 3.1Tempat dan Waktu Penelitian………. 3.2Metode Penelitian………

3.2.1 Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci

sebagai Hewan Coba………... 3.2.2 Persiapan Antigen E/S Fasciola gigantica... 3.2.3 Pengukuran Konsentrasi dengan Metode Bradford……… 3.2.4 Teknik Imunisasi………. 3.2.5 Teknik Pengambilan Darah………. 3.2.6 Teknik Pengumpulan Serum………... 3.2.7 Pembuatan Antigen Terlarut……… 3.2.8 Teknik Agar Gel Pecipitation Test (AGPT)……… 3.2.9 Pemurnian Immunoglobulin G (Ig G)……….   11 11 11 11 11 12 13 14 14 14 15 15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 17 5. SIMPULAN DAN SARAN………...

5.1Simpulan……….. 5.2Saran………... 

24 24 24

(11)

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tata cara pengisian larutan BSA dan Aquabides……….... 12

2 Tata cara penyuntikkan antigen... 13

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur Ig G pada mamalia……… 8

2 Hasil AGPT anti E/S Fasciola gigantica asal domba (KP) pada

minggu ke-4 dan ke-6………. 18

3 Hasil AGPT anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau (KH) pada

minggu ke-12 dan ke-14……….………… 18

4 Hasil AGPT antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba dengan

antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau………... 21

5 Penebalan presipitasi reaksi silang antibodi pada AGPT..………. 22

(13)

 

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fasciolosis adalah penyakit yang disebabkan cacing dari genus Fasciola.

Fasciolosis di Indonesia secara umum disebabkan oleh Fasciola gigantica.

Berbagai studi memperlihatkan bahwa Fasciola gigantica merupakan parasit yang

paling sering ditemukan pada ruminansia terutama ruminansia besar (sapi dan

kerbau) di Indonesia. Kurang lebih 80 persen ternak ruminansia terutama kerbau

di Indonesia terserang fasciolosis, sedangkan prevalensinya di Indonesia berkisar

antara 60-90%. Prevalensi penyakit ini pada sapi di beberapa daerah di Indonesia,

seperti di Jawa Barat dapat mencapai 90%, sedangkan prevalensi penyakit ini

pada domba belum diketahui (Estuningsih et al. 2004).

Infeksi Fasciola gigantica berpotensi dalam menimbulkan masalah

ekonomi dan kesehatan ternak. Hal tersebut dikarenakan infeksi Fasciola

gigantica menyebabkan penurunan bobot hidup, penurunan performa, reproduksi,

produksi susu, pengafkiran organ tubuh terutama hati sehingga hati terbuang

percuma, bahkan dapat menyebabkan kematian (Copeman dan Copland 2008). Di

Indonesia, secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai 439-525 juta Australian

Dollar (AUD) atau sekitar Rp. 3,512-4,200 triliun per tahun (1 AUD= Rp. 8000)

(Copeman dan Copland 2008).

Kerugian ekonomis akibat kecacingan dapat ditekan melalui program

pengendalian kecacingan yang didasarkan pada diagnosa dini infeksi cacing

sebelum menimbulkan perubahan patofisiologis dalam tubuh inang. Deteksi

antigen cacing yang dikeluarkan bersama dengan tinja (koproantigen) merupakan

salah satu metode deteksi dini infeksi cacing parasit. Beberapa penelitian

terdahulu membuktikan bahwa deteksi koproantigen akibat infeksi parasit baik

pada ternak maupun pada manusia bermanfaat untuk pengendalian dan

pencegahan dini (Charlier et al. 2008, Seres dan Cozma 2008, Guezala et al.

2009). Metode diagnosa menggunakan koproantigen memiliki keunggulan dapat

mendeteksi keberadaan antigen parasit Echinococcus pada masa prepaten yang

berkorelasi dengan derajat infeksi parasit dalam tubuh inang (Seres dan Cozma

(14)

Keberadaan koproantigen dapat dideteksi dengan antibodi anti

koproantigen yang akan direaksikan dengan feses melalui uji serologis (Satrija

2009). Antibodi anti koproantigen dapat berupa monoklonal antibodi atau

poliklonal antibodi yang diproduksi dengan memanfaatkan protein whole worm

extract (WWE) cacing parasit (Guezala et al. 2009). Selain itu, antibodi anti

koproantigen juga dapat diproduksi dengan memanfaatkan Ekskretori/Sekretori

(E/S) dari produk metabolisme cacing parasit yang diimunisasikan kedalam tubuh

hewan coba.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pembentukan antibodi

poliklonal (Ig G) anti E/S Fasciola gigantica dari isolat asal domba dan kerbau

(15)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelinci

Kelinci merupakan hewan yang umum digunakan untuk penelitian dan

produksi bahan biologis. Penggunaan kelinci sebagai hewan coba pada penelitian

immunodiagnostik terhadap Fasciola sp. pernah dilakukan oleh Sewell (1964),

Schalch et al. (1979), Moazeni et al. (2005), dan Mahmoud et al. (2008).

Klasifikasi kelinci menurut Orr (1976) sebagai berikut:

Filum : Cordata

Subfilum : Craniata

Kelas : Mamalia

Subkelas : Theria

Ordo : Lagomorpha

Famili : Leporidae

Subfamili : Leporinae

Genus : Oryctolagus

Spesies : Oryctolagus sp.

Penggunaan kelinci sebagai hewan coba sangat menguntungkan karena

kelinci mudah dipelihara, relatif ekonomis, dan mudah diambil darahnya (Smith

1995). Secara anatomis, telinga kelinci yang panjang dan banyak mengandung

pembuluh darah memudahkan dalam pengambilan sampel darah. Pemilihan

kelinci sebagai hewan coba untuk produksi antibodi secara eksperimental di

laboratorium karena ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan hewan coba

laboratorium lain seperti tikus ataupun mencit, sehingga diperoleh darah lebih

banyak (IACUC 2010).

2.2 Cacing Fasciola gigantica

Fasciola gigantica merupakan salah satu spesies cacing dari genus

Fasciola yang termasuk ke dalam trematoda digenea. Habitat cacing ini ada di

dalam pembuluh empedu. Fasciola gigantica memiliki siklus hidup yang mirip

dengan Fasciola hepatica yang membutuhkan inang antara dan inang definitif.

Siput dari genus Lymnaea merupakan inang antara Fasciola gigantica yang

(16)

gigantica yaitu domba, sapi, dan kerbau serta mamalia lain seperti babi, kuda, dan

manusia. Fasciola gigantica secara morfologi memilki ukuran yang lebih besar

dibandingkan Fasciola hepatica. Panjang tubuhnya dapat mencapai 7,5 cm

dengan lebar 1,2 cm dan tidak memiliki “bahu” yang menonjol seperti Fasciola

hepatica. Ukuran telurnya mencapai 200x105 mikron, telurnya berkulit tipis dan

memiliki operkulum (Levine 1990). Menurut Levine (1990), trematoda ini

diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Trematoda

Subkelas : Digenea

Ordo : Echinostomorida

Subordo : Echinostomorina

Famili : Fasciolidae

Genus : Fasciola

Spesies : Fasciola gigantica

Secara umum, morfologi klasik trematoda memiliki tubuh dorsoventral,

dan tidak bersegmen seperti daun. Tubuh trematoda tidak memiliki rongga badan

dan semua organ berada di jaringan parenkim (Levine 1990). Trematoda memiliki

dua alat penghisap yang khas yaitu batil hisap mulut atau batil hisap anterior yang

mengelilingi mulut dan batil hisap posterior atau asetabulum yang terletak di

dekat pertengahan tubuh atau pada ujung posterior (Noble dan Noble 1989).

Trematoda secara seluler memiliki lapisan luar (epikutikula) yang tidak

berinti dan bersinsitial. Epikutikula dihubungkan oleh tabung-tabung sitoplasmik

sempit dengan bagian tegumen yang berinti melalui sitoplasma membrana

basalis dan lapisan otot-otot tubuh. Terdapat mikrovili dan vesikula pinositik pada

permukaan luar larva dan cacing dewasa. Struktur ini menimbulkan dugaan

adanya fungsi ekskretori dan sekretori (Noble dan Noble 1989). Kutikula atau

dinding luar (tegumen) trematoda kadang-kadang mengandung duri atau sisik

(Levine 1990).

Absorbsi glukosa berlangsung lewat tegumen yang membantu aktivasi

nutrisi secara umum pada cacing. Tegumen juga berkaitan dengan fungsi

(17)

karena asam-asam mukopolisakarida, polifenol, dan mucin (lendir). Resistensi

yang dimiliki merupakan suatu faktor utama dalam melindungi cacing terhadap

sistem pertahanan inang (Noble dan Noble 1989).

2.3 Antigen Ekskretori/Sekretori (E/S)

Antigen (antibody generations) adalah suatu senyawa atau substansi yang

dapat menggertak sistem imunitas dapatan pada inang atau individu. Antigen

dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti atau lipopolisakarida, maupun

lipoprotein (Guyton dan Hall 2007). Ciri pokok antigenisitas suatu bahan atau

senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard

2004). Limitasi fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa agar dapat bersifat

imunogenik yaitu ukuran molekul harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia

kompleks. Ciri pokok yang kedua yaitu derajat keasingan atau frekuensi paparan

suatu bahan atau senyawa di dalam tubuh. Antigenisitas suatu bahan atau senyawa

juga ditentukan oleh derajat suseptibilitas antigen di dalam tubuh (Kuby 2007).

Protein merupakan antigen yang terbaik karena ukuran dan kerumitan

strukturnya. Hampir semua protein yang berat molekulnya lebih besar dari 8000

dalton bersifat antigenik. Pembentukan sifat antigenik tergantung kepada

pengulangan kelompok molekul secara regular, yang disebut epitop (antigenik

determinan) pada permukaan molekul besar (Guyton dan Hall 2007).

Hewan, tumbuhan, serta parasit dapat menghasilkan substansi antigenik.

Substansi tersebut tidak hanya terkandung dalam jaringan tubuh, namun juga

terdapat dalam hasil metabolisme berupa Ekskretori/Sekretori (E/S) baik berasal

dari hewan, tanaman, maupun cacing parasit (Balqis 2006). Substansi antigenik

yang dihasilkan pada umumnya merupakan senyawa enzim. E/S Fasciola

hepatica telah diketahui mengandung enzim enolase, leucine aminopeptidase

(LAP), dan phosphoenolpyruvate carboxykinase (PEPCK) sebagai antigen yang

bersifat imunodominan. Selain Fasciola hepatica, PEPCK merupakan imunogen

utama yang diperoleh dari E/S telur Schistosoma mansoni (Marcilla et al. 2008).

Enzim cathepsin L1 merupakan imunogen dominan pada E/S Fasciola gigantica

yang telah dimanfaatkan sebagai kit diagnostik untuk mendeteksi antibodi (Ig G)

(18)

Transferase (GSTs) merupakan enzim yang terkandung baik dalam E/S maupun

ekstrak somatik Fasciola spp yang berperan dalam detoksifikasi anthelmentik

(Alirahmi et al. 2010). Sifat antigenik atau imunogenik E/S dari cacing golongan

nematoda dan trematoda telah diketahui berasal dari kutikula dan tegumen. E/S

yang dihasilkan oleh cacing parasitik berperan sebagai antigen yang memicu

kehadiran antibodi dalam tubuh inang (Lightowlers dan Rickard 1988).

2.4 Imunitas (Respon Kekebalan)

Imunitas berasal dari bahasa latin immunis yang berarti bebas. Imunitas

atau respon kekebalan merupakan kemampuan untuk mencegah terjadinya infeksi,

meniadakan kerja toksin dan faktor virulen lainnya yang bersifat antigenik

maupun imunogenik. Suatu bahan yang bersifat antigenik (antigen) artinya

mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap suatu senyawa.

Selain mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif

terhadap senyawa penginduksinya, antigen juga mampu meningkatkan respon

kekebalan seluler (Wibawan et al. 2003).

Secara umum respon kekebalan tubuh terbagi dua yaitu kekebalan

non-spesifik dan kekebalan non-spesifik. Respon kekebalan non-non-spesifik berupa kekebalan

fisik-mekanik, kimiawi, serta seluler. Kekebalan fisik mekanik dilakukan oleh

kulit dan selaput lendir. Kekebalan kimiawi dilakukan oleh cairan tubuh yang

berupa keringat, air mata, cairan limfe, maupun lendir. Kekebalan seluler

non-spesifik dilakukan oleh makrofag dan mikrofag atau sel polimorf nuclear (PMN)

(Black 2005). Respon kekebalan spesifik berkaitan dengan sel limfosit B dan sel

limfosit T. Respon kekebalan spesifik terdiri atas respon imun berperantara

antibodi (respon humoral) dan respon imun berperantara sel (Wibawan et al.

2003).

Respon imun berperantara antibodi (respon humoral) melibatkan sel

limfosit B. Sel limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan

antibodi untuk menetralkan antigen interseluler. Selain sel plasma, sel limfosit B

juga berdiferensiasi menjadi sel memori. Respon imun berperantara sel

melibatkan sel limfosit T yang terdiri dari sel limfosit T sitotoksik dan sel limfosit

(19)

intraseluler sedangkan sel limfosit T helper berperan untuk membantu sel limfosit

B (Black 2005). Penyingkiran cacing dalam sistem pencernaan memerlukan

proses rumit yang melibatkan respon kekebalan humoral dan seluler (Patterson

1995).

2.5 Antibodi Poliklonal

Antibodi hasil hiperimunisasi disebut antibodi poliklonal. Hiperimunisasi

merupakan imunisasi yang dilakukan secara sengaja terhadap hewan dengan suatu

imunogen spesifik. Antibodi poliklonal memiliki campuran kompleks antibodi

dengan spesifitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda. Antibodi poliklonal memiliki

reaktivitas multipel yaitu bereaksi dengan sejumlah epitop (antigen determinan)

yang berbeda pada antigen. Reaktivitas multipel ini dapat mengakibatkan

terbentuknya kompleks antigen antibodi yang besar dalam bentuk presipitasi.

Selain itu, reaktivitas multipel antibodi poliklonal dapat menimbulkan reaksi

silang. Reaksi silang yang terjadi umumnya akibat adanya antibodi terhadap

antigen lain yang tidak berkaitan dan tidak relevan. Reaksi silang juga dapat

terjadi karena kesamaan epitop dari antigen yang berbeda atau karena kemiripan

struktur epitop antigen lain dengan epitop pembuat peka (priming epitop) yang

dikenali oleh antibodi (Smith 1995).

Antibodi terdiri dari unit dasar yang disebut imunoglobulin (Ig).

Imunoglobulin merupakan grup penyusun antibodi yang secara umum memiliki

dua karakteristik yaitu kimia dan biologi (Black 2005). Imunoglobulin secara

kimia memiliki struktur berupa rantai polipeptida (dua rantai ringan dan dua rantai

berat). Secara biologi, produksi imunoglobulin distimulasi oleh antigen dan

memiliki reaksi yang spesifik (Barriga 1981).

Imunoglobulin dapat dikelompokkan berdasarkan sifat-sifat dasarnya

(Guyton dan Hall 2007). Sifat dasar tersebut berupa derajat kelarutan dalam

larutan garam, muatan elektrostatik, berat molekul dan struktur antigeniknya

(Tizard 2004). Terdapat lima golongan immunoglobulin yaitu Ig M, Ig G, Ig A, Ig

E dan Ig D. Diantara lima golongan imunoglobulin tersebut, Ig G merupakan

imunoglobulin yang umum digunakan dalam produksi bahan biologis untuk

(20)

paling banyak yaitu 70-75% di dalam serum normal dibandingkan Ig M (antibodi

pertama yang muncul dalam respon primer), Ig A, Ig E dan Ig D. Ig G memiliki

struktur monomer dengan berat molekul 146.000 dalton serta merupakan antibodi

utama dari respon imun sekunder (De Buysscher dan Patterson 1995).

Secara struktural, Ig G memiliki empat rantai polipeptida yang terbagi atas

dua rantai berat identik serta dua rantai ringan (Gambar 1). Rantai berat dan rantai

ringan polipeptida dihubungkan oleh ikatan disulfida yang terdapat pada bagian

engsel (hinge region). Masing-masing rantai berat dan ringan dari Ig G memiliki

bagian konstan atau tetap dan bagian yang dapat berubah atau variabel (Guyton

dan Hall 2007).

Variabel (v) atau bagian yang dapat berubah pada struktur Ig G memiliki

fungsi khusus untuk melekat pada antigen, sedangkan bagian tetap atau konstan

menentukan sifat biologis Ig G dan beberapa faktor seperti penyebaran Ig G

dalam jaringan, pelekatan Ig G pada struktur spesifik jaringan, pelekatan pada

kompleks komplemen, serta kemudahan Ig G dalam melewati membran dan

beberapa sifat biologis Ig G yang lain (Guyton dan Hall 2007).

 

Gambar 1 Struktur Ig G pada mamalia (Mader 1997)

Bagian Konstan Bagian Variabel

Rantai Berat Rantai Ringan Tempat

Pelekatan Antigen

(21)

2.6 Adjuvant

Adjuvant merupakan senyawa yang berfungsi memperlambat pengeluaran

antigen didalam tubuh. Adjuvant dapat memodifikasi imunogen atau berkerja

pada tingkat sel dari respon kekebalan inang. Penambahan adjuvant dapat

meningkatkan imunogenisitas melalui perubahan struktural atau elektrostatik

antigen, meningkatkan agregasi molekul antigen, serta memodifikasi presentasi

antigen. Adjuvant mempengaruhi sistem kekebalan inang dengan membentuk

depot imunogen, menarik sel-sel mononuklear ke lokasi penyuntikan,

meningkatkan sirkulasi limfosit, memodifikasi membran sel (agen

aktif-dipermukaan), merangsang aktivitas sel yang terlibat dalam respon kekebalan, dan

menginduksi atau menghambat pembebasan molekul-molekul kecil yang

mengatur fungsi sel dalam system kekebalan (Smith 1995).

Emulsi air-dalam-minyak merupakan bentuk adjuvant paling awal.

Terdapat dua tipe adjuvant emulsi air-dalam-minyak. Tipe pertama yaitu adjuvant

tak lengkap Freund (Freund’s incomplete adjuvant) merupakan adjuvant tanpa

campuran mikobakteri. Tipe kedua yaitu adjuvant lengkap Freund (Freund’s

complete adjuvant) merupakan campuran minyak mineral dan pengemulsi dengan

mikobakteri (Smith 1995).

Adjuvant lengkap Freund merupakan adjuvant yang sangat kuat.

Aktivitasnya diperkuat oleh bagian aktif mikobakteri yaitu muramil dipeptida

(n-acetyl-muramyl-L-alanyl-D-isoglutamin). Muramil dipeptida merangsang fungsi

makrofag dan merangsang respon antibodi yang kuat dalam waktu lama. Rute

penyuntikkan terbaik yaitu subkutan atau intradermal. Adjuvant bertindak khusus

untuk merangsang fungsi sel T dan hanya meningkatkan reaksi antigen-tergantung

timus. Adjuvant meningkatkan produksi Ig G melebihi Ig M (Tizard 2004).

2.7 Agar Gel Precipitation Test (AGPT)

Uji presipitasi antigen-antibodi yang terlarut atau Agar gel precipitation

test (AGPT) merupakan salah satu teknik imunodiagnostik yang termasuk

kedalam jenis uji pengikatan sekunder yaitu mengukur hasil interaksi

antigen-antibodi (kompleks antigen-antigen-antibodi) secara in vitro (Tizard 2004). Uji presipitasi

(22)

digunakan untuk mendiagnosa fasciolosis pada kelompok ternak sapi ataupun

kerbau pada penelitian Linh et al. (2003). Jumlah antibodi minimal yang dapat

dideteksi pada uji AGPT yaitu 30 µg/ml antibodi. AGPT dapat digunakan untuk

mendeteksi antigen yang berbeda dengan satu jenis antibodi ataupun antibodi

yang berbeda dengan satu jenis antigen yang terdapat pada sampel serum (Black

2005).

Reaksi AGPT melibatkan keberadaan ion antigen divalent atau multivalent

dan sangat tergantung pada proporsi antigen terhadap antibodi (Barriga 1981).

Reaksi ini juga dipengaruhi oleh pH, temperatur, aviditas atau kestabilan

kompleks antigen-antibodi dan afinitas atau kekuatan ikatan kompleks

antibodi-antigen (Tizard 2004). Pembentukan presipitasi diinisiasi oleh pembentukkan

kompleks molekul antigen-antibodi yang saling bereaksi diikuti dengan proses

agregasi serta sedimentasi kompleks tersebut (Barriga 1981). Presipitasi yang

terbentuk mulai hitungan menit hingga jam terlihat sebagai suatu garis opaq

dalam suatu media agar semisolid. Garis opaque yang terbentuk disebut sebagai

(23)

3. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi,

Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan

Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari hingga Juli 2010.

3.2 Metode Penelitian

3.3.1 Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kelinci lokal

jantan sebanyak dua ekor, berumur 6 bulan dengan bobot badan masing-masing 1

kg, yang berasal dari Balai Penelitian Peternakan (Balitnak) Ciawi, Bogor. Lima

hari sebelum imunisasi aktif, kelinci dipastikan bebas dari koksidiosis dan scabies.

Preparat sulfa dengan dosis 30-60 mg/kgBB diberikan secara peroral yang

dilarutkan kedalam air minum disertai dengan pemeriksaan tinja selama maksimal

tiga hari untuk pencegahan koksidiosis. Ivomex® dengan dosis 0.2 µg/kgBB

diberikan melalui injeksi subkutan untuk mencegah infeksi agen parasit lain

terutama sarcoptes scabieii. Kelinci dipelihara secara individual dalam kandang

dan diberi pakan berupa pelet serta sayuran (wortel dan kangkung).

3.3.2 Persiapan Antigen E/S Fasciola gigantica

Antigen yang digunakan untuk imunisasi dalam penelitian ini merupakan

antigen E/S Fasciola gigantica asal domba dan kerbau dari hasil penelitian Satrija

(2009). Fasciola gigantica dewasa dikoleksi dari hati kerbau di Rumah Potong

Hewan (RPH) Kota Bekasi serta hati domba dari Tempat Pemotongan Hewan

(TPH) di Empang-Kota Bogor. Antigen berupa protein E/S F. gigantica

diproduksi dan diisolasi dari cacing dewasa menurut metode Satrija et al. (2007)

yang dimodifikasi.

Cacing hati (F. gigantica) dewasa yang telah dikoleksi dicuci tiga kali

dengan larutan NaCl fisiologis sebelum dicuci dengan larutan PBS steril. Untuk

menyiapkan antigen dari ES F. gigantica yang telah dicuci NaCl fisiologis, dalam

(24)

penisilin 1000 IU dan streptomisin 100 µg permililiter dalam larutan RPMI 1640

pada suhu 37oC selama 4-6 jam. Setiap tabung diisi dengan 10 ml RPMI 1640 dan

10 ekor cacing dewasa. Setelah inkubasi, protein ES dipanen dengan melakukan

sentrifugasi terhadap larutan RPMI dengan kecepatan 1500g pada suhu 4oC

selama 10 menit. Selanjutnya supernatant yang mengandung protein ES

dipisahkan dari endapanProtein E/S F. gigantica yang didapat selanjutnya

disimpan dalam tabung-tabung mikro volume 1,5 ml pada suhu -20oC sampai saat

digunakan sebagai antigen untuk imunisasi kelinci.

3.3.3 Pengukuran Konsentrasi Protein Antigen dengan Metode Bradford

Konsentrasi protein sampel antigen E/S Fasciola gigantica diukur

menggunakan metode Bradford (1976) sebelum digunakan untuk imunisasi.

Metode Bradford digunakan secara luas untuk penentuan protein secara kuantitatif

dengan menggunakan pereaksi Commasie Briliant Blue. Konsentrat Bradford

terdiri dari 100 mg Commasie Briliant Blue yang dilarutkan dalam 50 ml etanol

95% dan ditambahkan sebanyak 100 ml asam fosfat 85% (w/v) serta diencerkan

dengan aquabides hingga volume larutan mencapai 1 liter kemudian disaring

menggunakan kertas saring. Konsentrat Bradford tersebut diencerkan dengan dua

kali pengenceran menggunakan aquades dengan perbandingan 1:4 dan 1:9.

Larutan protein Bovine Serum Albumin (BSA) standar dibuat dengan

perbandingan 1:1 antara Bovine Serum Albumin (BSA) dengan aquabides (1 mg

dalam 1 ml) kemudian dihomogenkan. Kemudian sebanyak 11 tabung reaksi yang

telah disterilisasai disiapkan. Masing-masing tabung diisi dengan larutan BSA dan

aquabides (Tabel 1). Masing-masing larutan dihomogenkan dan diambil sebanyak

100 µl dari setiap tabung kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing tabung

baru yang sebelumnya telah dimasukkan 5 ml larutan Bradford sesuai urutan

(25)

 

Tabel 1 Tata cara pengisian larutan BSA dan Aquabides

Tabung Larutan BSA Aquabides

1 0 µl 1000 µl

2 100 µl 900 µl

3 200 µl 800 µl

4 300 µl 700 µl

5 400 µl 600 µl

6 500 µl 500 µl

7 600 µl 400 µl

8 700 µl 300 µl

9 800 µl 200 µl

10 900 µl 100 µl

11 1000 µl 0 µl

Larutan protein Bovine Serum Albumin (BSA) digunakan untuk membuat

grafik konsentrasi protein standar pada spektrofotometer yang diukur dengan

panjang gelombang (λ) 595 nm sebelum mengukur protein sampel antigen.

Setelah itu sampel berupa ES cacing yang akan diperiksa dibuat duplo.

Masing-masing sampel diambil sebanyak 100 µl yang dimasukkan ke dalam masing-masing tabung yang kemudian ditambahkan dengan larutan Bradford sebanyak 5

ml. Larutan Bradford dan sampel dilarutkan hingga homogen kemudian dilakukan

pembacaan konsentrasi menggunakan spektrofotometer dengan panjang

gelombang (λ) 595 nm.

3.3.4 Teknik Imunisasi

Dua ekor kelinci diimunisasi dengan antigen E/S Fasciola gigantica.

Dosis antigen yang diberikan adalah 150 µg/ekor. Antigen pada imunisasi

pertama diberikan tanpa adjuvant. Rute penyuntikkan dilakukan secara intravena

(i.v). Imunisasi kedua diberikan seminggu kemudian dengan rute subkutan (s.c).

Antigen pada imunisasi kedua ditambah adjuvant Freund lengkap (Freund’s

complete adjuvant) dengan perbandingan 1:1. Imunisasi ketiga hingga imunisasi

kelima masing-masing diberikan dengan selang dua minggu. Antigen pada

imunisasi ketiga hingga kelima ditambah adjuvant Freund tak lengkap (Freund’s

incomplete adjuvant) dengan perbandingan 1:1. Imunisasi diberikan dengan rute

(26)

Tabel 2 Tata cara penyuntikkan antigen

Kelinci Antigen Penyuntikkan (Minggu ke-)

0 1 3 5 7 1 (KP)

E/S F. gigantica asal Domba

Tanpa

Adjuvant FAC FAI FAI FAI

2 (KH)

E/S F. gigantica asal Kerbau

Tanpa

Adjuvant FAC FAI FAI FAI

Keterangan: Tanpa Adjuvant (Rute i.v)

FAC = Freund’s Adjuvant Complete (Rute s.c) FAI = Freund’s Adjuvant Incomplete (Rute s.c)

KP = Kelinci yang diimunisasi E/S F. gigantica asal domba KH = Kelinci yang diimunisasi E/S F. gigantica asal kerbau

3.3.5 Teknik Pengambilan Darah

Darah kelinci diambil sebanyak 1,5-2 ml melalui vena auricularis dengan

menggunakan disposable syringe 3 ml (IACUC 2010). Pengambilan darah

pertama dilakukan sebelum kelinci diimunisasi. Pengambilan darah kedua

dilakukan seminggu setelah pengambilan darah pertama dan pengambilan darah

ketiga dilakukan empat minggu setelah pengambilan darah kedua. Pengambilan

darah berikutnya dilakukan setiap seminggu sekali hingga minggu ke-14. Sampel

darah dimasukkan dalam tabung reaksi untuk diambil serumnya.

3.3.6 Teknik Pengumpulan Serum

Darah yang diambil dari kedua kelinci, dikumpulkan dalam tabung

terpisah yang dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37oC dengan posisi

miring selama 30 menit. Kemudian disimpan dalam refrigerator semalam pada

suhu 4oC. Serum yang didapat dikumpulkan menggunakan pipet mikro. Bila

perlu, darah disentrifus dengan kecepatan 2000g selama 15 menit. Serum yang

didapat dipisahkan kemudian dimasukkan ke dalam tabung mikro dan diberi

tanggal pengambilan darah serta kode kelinci.

3.3.7 Pembuatan Antigen Terlarut

Antigen dan antibodi harus dapat berdifusi dengan baik dalam uji

presipitasi menggunakan media agar. Antibodi dalam serum memiliki ukuran

(27)

memiliki molekul protein yang besar sehingga harus dipecah salah satunya

dengan menggunakan teknik sonikasi. Teknik sonikasi digunakan dalam

penelitian ini untuk membuat antigen E/S Fasciola gigantica menjadi terlarut

(solubel) dalam agar (Parimala dan Ishaq 2005). Antigen E/S Fasciola gigantica

dimasukkan dalam tabung sonikasi. Tabung sonikasi dimasukkan dalam sonikator

yang berisi air bersuhu 4oC. Hal ini bertujuan untuk mendinginkan tabung dan

mencegah kerusakan antigen karena panas yang ditimbulkan selama proses

berlangsung. Proses sonikasi dilakukan kurang lebih selama tiga menit dengan

frekuensi 50.000 Hz.

3.3.8 Teknik Agar Gel Precipitation Test (AGPT)

Agar Gel Precipitation Test (AGPT) merupakan uji presipitasi antigen

yang terlarut. Teknik uji presipitasi dalam penelitian ini menggunakan metode

Ouchterlony (1953). Bahan untuk AGPT terdiri atas Phosphate Buffer Saline

(PBS) dengan pH 7,4, aquabides, agarose 1%, dan Na acide 0,001%. Campuran

tersebut dipanaskan dalam microwave atau dengan penangas air sampai agar larut

dan mendidih. Sebanyak 4 ml larutan agar dituang diatas gelas objek hingga

seluruh permukaan gelas objek tertutup dengan agar dan dibiarkan hingga

mengeras. Agar yang telah mengeras, dilubangi menggunakan puncher agar.

Lubang pada bagian tengah diisi dengan antigen yang telah disonikasi dan enam

lubang disekelilingnya diisi dengan serum antibodi yang akan diuji (Boulanger

1967). Agar disimpan di dalam wadah tertutup yang telah dialasi dengan kertas

atau tissue basah untuk menjaga kelembaban dan didiamkan selama 24 hingga 48

jam pada suhu ruang. Pengamatan dapat dilakukan dengan melihat garis

presipitasi yang terbentuk.

` 3.3.9 Pemurnian Immunoglobulin G (Ig G)

Serum kelinci positif mengandung antibodi dimurnikan menggunakan

metode pemurnian dari Montage® Antibody Purification Kit and Spin Columns

with PROSEP®-A Media. Media PROSEP®-A yang digunakan dipre-ekuilibrasi

menggunakan 10 ml Binding Buffer A dengan mensentrifus spin column dengan

(28)

Fasciola gigantica kerbau dan domba disaring menggunakan 0,2 µm Steriflip-GP

filter. Serum yang telah difiltrasi ditambahkan dengan Binding Buffer A dengan

volume yang sama banyak (perbandingan 1:1 v/v) kemudian disentrifus dengan

kecepatan 500g selama 30 menit pada suhu 4oC. Supernatan didasar tabung

dibuang kemudian spin column dibilas menggunakan 20 ml Binding Buffer A dan

disentrifus dengan kecepatan 500g selama 30 menit pada suhu 4oC untuk

menghilangkan kontaminan yang tidak terikat. Sepuluh ml Elution Buffer B2

ditambahkan langsung kedalam spin column dalam tabung steril baru yang telah

diisi 1,3 ml Neutralization Buffer C kemudian disentrifus dengan kecepatan 4500g

selama 40 menit pada suhu 4oC. Supernatan didasar tabung yang mengandung Ig

G diambil, kemudian difiltrasi menggunakan Amicon 30.000 dan disentrifus

dengan kecepatan 4500g selama 25 menit pada suhu 4oC. Konsentrasi Ig G

dihitung menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm dengan

metode Bradford (1976). Supernatan berupa Ig G yang tertinggal didalam filter

disimpan dalam tabung-tabung mikro volume 1,5 ml, disimpan dalam suhu -20oC.

Ig G yang telah dipurifikasi diuji kembali dengan AGPT menggunakan antigen

(29)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan konsentrasi antigen E/S Fasciola gigantica asal domba

dan kerbau masing-masing sebesar 6755 µg /ml dan 6420 µg/ml. Dosis protein

antigen untuk dapat menginduksi antibodi pada kelinci adalah 50–1000 µg

antigen(IACUC 2010). Dengan demikian, dosis yang digunakan dalam penelitian

ini (5x 150 µg/ekor) merupakan dosis yang cukup untuk menginduksi antibodi.

Berdasarkan pemeriksaan AGPT, kelinci yang diimunisasi dengan antigen

E/S Fasciola gigantica asal domba sudah menunjukkan adanya pembentukkan

antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal domba pada minggu ke-4. Berbeda

dengan kelinci yang disuntik antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau, antibodi

yang terbentuk terhadap E/S Fasciola gigantica asal kerbau, baru dapat dideteksi

pada minggu ke-12 (Tabel 3).

Tabel 3 Data hasil AGPT dilihat dari penebalan presipitasi

Antigen Hasil AGPT (Minggu ke-)

0 1 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

E/S FG Domba - - + ++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++

E/S FG Kerbau - - - + ++ +++

Keterangan: + = Presipitasi tipis

++ = Presipitasi sedang

+++ = Presipitasi tebal

 = Tidak terbentuk presipitasi

Garis presipitasi yang tebal mulai tampak dari serum yang mengandung

antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba pada minggu ke-6. Perbandingan

antara garis presipitasi awal yang terbentuk dan penebalan presipitasi antibodi anti

E/S Fasciola gigantica asal domba,dapat dilihat pada Gambar 2. Serum yang

mengandung antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau nampak tebal pada

minggu ke-14. Perbandingan antara garis presipitasi awal yang terbentuk dan

penebalan presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau, dapat

dilihat pada Gambar 3. Namun, deteksi garis presipitasi antibodi anti E/S Fasciola

gigantica asal kerbau yang terbentuk tidak setebal presipitasi antibodi anti E/S

(30)

 

[image:30.612.103.503.54.775.2]

Gambar 2 Hasil AGPT; (a) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba (KP) pada minggu ke-4 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba ditengah sumur); (b) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba (KP) pada minggu ke-6 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba ditengah sumur).

[image:30.612.310.488.327.450.2]

Gambar 3 Hasil AGPT; (a) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau (KH) pada minggu ke-12 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau ditengah sumur) terbentuk samar; (b) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau (KH) pada minggu ke-14 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau ditengah sumur).

Pemeriksaan terhadap adanya antibodi anti E/S Fasciola gigantica pada

masing-masing kelinci setelah dua kali penyuntikkan yaitu penyuntikkan pertama

(minggu ke-0) maupun kedua (minggu ke-1) belum menunjukkan adanya

presipitasi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya antibodi yang terbentuk

atau antibodi belum dibentuk pada saat itu. Pengujian keberadaan antibodi dengan

uji AGPT memerlukan konsentrasi yang cukup tinggi. Antibodi minimal dalam

serum yang dapat dideteksi oleh uji AGPT yaitu 30 µg/ml (Tizzard 2004). Ag. E/S FG Domba

Ag E/S FG Kerbau Ag E/S FG Kerbau

Ag. E/S FG Domba

KP4 KP4 KP4 KH4 KH4 KP3 KP2

KP1 KH

4 KH2 KH3 KH1 (a) (b) KH5 KH5 KH5 KH5 KH5 KH5 KH6 KH6 KH6 KH6 KH6 KH6

(31)

Penelitian lain menunjukkan respon pembentukkan antibodi pada kelinci yang

diinfeksi 20 metaserkaria Fasciola gigantica muncul setelah 2 minggu pasca

infeksi. Peningkatan level antibodi terjadi setelah 8-10 minggu pasca infeksi dan

menurun hingga mencapai level yang stabil setelah 12-14 minggu pasca infeksi

(Mahmoud et al. 2008).

Antibodi yang berperan dalam presipitasi antigen merupakan

imunoglobulin G (Ig G). Ig G merupakan imunoglobulin yang memiliki fungsi

untuk netralisasi toksin, antigen virus, serta presipitasi antigen terlarut (Allan

1980). Mekanisme produksi Ig G diinisiasi oleh limfokin yang disekresikan oleh

sel T helper. Limfokin akan menggertak proliferasi sel plasma dari limfosit B

untuk memproduksi Ig G ketika terdapat paparan antigen untuk pertama kalinya.

Sel plasma akan membentuk imunoglobulin M (Ig M) sebelum membentuk Ig G.

Ig M merupakan antibodi yang pertama kali dibentuk oleh sel plasma pada respon

primer setelah paparan antigen pertama. Produksi Ig M akan menurun dan

produksi Ig G meningkat (Black 2005).

Paparan antigen baru yang sama untuk kedua kalinya (booster), akan

mengaktivasi sel memori dan menimbulkan respon antibodi kedua kali yang jauh

lebih cepat dan kuat dalam respon sekunder (Guyton dan Hall 2007). Hal ini

disebabkan sel memori berproliferasi dengan cepat membentuk sel plasma yang

menghasilkan antibodi dalam jumlah besar. Pada respon sekunder, Ig M

diproduksi dalam jumlah kecil dan dengan waktu yang singkat untuk kemudian Ig

G diproduksi dalam jumlah besar (Black 2005). Ig G merupakan antibodi

dominan yang jumlahnya mencapai 75% dari total serum darah normal (Guyton

dan Hall 2007). Ig G mencapai konsentrasi yang signifikan pada vaskular dan

ruang ekstravaskular, dan memiliki masa hidup yang cukup panjang yaitu 23 hari

(Jackson 1978). Ig G juga berkontribusi dalam aktivitas antibodi di jaringan

tubuh. Pemaparan berulang antigen dilakukan untuk mempertahankan keberadaan

antibodi spesifik berupa Ig G dalam darah (Barriga 1981).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antibodi anti E/S Fasciola

gigantica asal domba terbentuk lebih cepat dibandingkan antibodi terhadap E/S

Fasciola gigantica asal kerbau. Perbedaan waktu untuk menimbulkan respon

(32)

bervariasi dan tergantung pada imunogenisitas, bentuk dan stabilitas stimulant,

spesies hewan, rute injeksi, serta sensitivitas uji yang digunakan untuk mendeteksi

antibodi pertama yang terbentuk (Herscowitz 1978). Respon inang terhadap

imunogen yang diberikan tidak hanya ditentukan oleh sifat fisikokimia imunogen,

namun juga ditentukan oleh beberapa faktor terkait inang, termasuk kedalamnya

yaitu genetik, umur, status nutrisi, dan efek sekunder yang diturunkan dari suatu

proses penyakit (Jackson 1978). Kelinci yang digunakan pada penelitian ini

memiliki rataan umur, bobot badan, jenis kelamin, dosis injeksi, nutrisi, serta rute

injeksi yang sama, sehingga perbedaan waktu pembentukkan antibodi antara

kedua kelinci dapat disebabkan karena adanya perbedaan karakter antigen protein

E/S Fasciola gigantica.

Perbedaan antara karakter E/S Fasciola gigantica dapat memengaruhi

respon pembentukkan antibodi. Kedua jenis antigen tersebut merupakan protein

yang berasal dari spesies cacing yang sama, namun E/S Fasciola gigantica yang

dihasilkan dapat memiliki karakter protein yang berbeda. Morfologi inang asal

Fasciola yang berbeda akan memengaruhi profil protein E/S yang dihasilkan.

Perbedaan morfologi Fasciola tergantung pada inang definitifnya (Ashour et al.

1999). Berdasarkan elektroforesis menggunakan SDS-PAGE, antigen E/S

Fasciola gigantica dari isolat asal kerbau memiliki sembilan pita protein dengan

berat molekul berkisar antara 14-80 kDa (14, 25, 40, 43, 47, 56, 69, 73, dan 80

kDa) pada penelitian Satrija (2009), sedangkan E/S Fasciola gigantica dari isolat

asal sapi memiliki 6 pita protein dengan berat molekul berkisar antara 15-42 kDa

(15, 16, 20, 24, 33, dan 42 kDa) pada penelitian Meshgi et al. (2008b). Profil

protein whole worm dan produk E/S Fasciola yang dihasilkan akan berbeda antara

isolat Fasciola yang berasal dari domba dan isolat Fasciola yang berasal dari sapi

(Meshgi et al. 2008a).

Antigen somatik Fasciola gigantica dan E/S Fasciola hepatica dari isolat

asal sapi memiliki jumlah pita protein yang berbeda. Antigen somatik Fasciola

hepatica memiliki delapan pita protein dengan berat molekul berkisar antara

18-62 kDa (18, 22, 24, 33, 36, 42, 46, dan 18-62 kDa), sedangkan antigen somatik F.

gigantica memiliki 11 pita protein dengan berat molekul berkisar antara 18-68

(33)

Perbedaan karakter protein Fasciola disebabkan oleh spesies cacing yang sama

dari inang yang berbeda, spesies cacing yang berbeda dari inang yang sama,

ataupun karena variasi geografis (Ashour et al. 1999; Karimi 2008; Meshgi et al.

2008a).

Pembentukan antibodi kelinci dipengaruhi oleh antigenisitas protein E/S

Fasciola gigantica yang disuntikkan. Ciri pokok antigenisitas suatu bahan atau

senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard

2004). Limitasi fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa yaitu ukuran molekul

antigen harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia kompleks (Kuby 2007).

Struktur kimia protein E/S Fasciola gigantica yang besar dan kompleks, akan

menghasilkan antibodi yang semakin cepat. Sifat antigenik atau imunogenik E/S

dari cacing golongan nematoda dan trematoda berasal dari kutikula dan tegumen

(Lightowlers dan Rickard 1988).

Hasil AGPT menunjukkan bahwa antibodi yang terbentuk juga dapat

mendeteksi antigen lain dari jenis cacing yang sama namun berasal dari hewan

yang berbeda. Antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal domba dapat

membentuk presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau.

Demikian juga dengan antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal kerbau yang

membentuk presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal domba.

Presipitasi hasil reaksi antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal

domba dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau terbentuk pada minggu

ke-4 (Gambar 4a). Presipitasi hasil reaksi antibodi terhadap E/S Fasciola

gigantica kerbau dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba terbentuk

secara samar-samar pada minggu ke-12 (Gambar 4b). Masing-masing presipitasi

(34)
[image:34.612.369.488.82.213.2]

Gambar 4 Hasil AGPT; (a) serum kelinci yang dinjeksi E/S Fasciola gigantica asal domba membentuk presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau; (b) presipitasi terbentuk terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal domba terhadap serum kelinci yang diinjeksi E/S Fasciola gigantica asal kerbau .

Gambar 5 Hasil AGPT; (a) Serum kelinci yang dinjeksi E/S Fasciola gigantica asal domba membentuk penebalan presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau pada minggu ke-6; (b) Presipitasi mengalami penebalan terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal domba terhadap serum kelinci yang diinjeksi E/S Fasciola gigantica asal kerbau pada minggu ke-14.

Antibodi poliklonal yang terdapat dalam serum kelinci menyebabkan

reaksi silang dengan pembentukan presipitasi terhadap antigen yang berbeda.

Antibodi poliklonal merupakan antibodi yang memiliki campuran kompleks

antibodi dengan spesifitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda (Smith 1995).

Antibodi poliklonal memiliki fungsi untuk mengikat berbagai epitop pada

permukaan molekul antigen penginduksi (Frank 2002).

Antibodi poliklonal bereaksi dengan sejumlah epitop (antigen determinan)

berbeda pada antigen sehingga menimbulkan multireaktivitas yang menyebabkan

reaksi silang. Reaksi silang dapat terjadi karena epitop yang sama dimiliki oleh

(a) (b)

KP1 KH

1 Ag E/S FG Kerbau

KP2 KP3 KH2 KH3 KH5 KH5 KH5 KH5 KH5 KH5

Ag E/S FG Domba

(a)  (b) 

KP4 KP4 KP4 KH4 KH4 KH4

KH6 KH6 KH6 KH6 KH6

KH6

[image:34.612.382.504.302.442.2]
(35)

antigen berbeda atau epitop yang secara struktur mirip atau memiliki keserupaan

dengan epitop pembuat peka (priming epitop), dikenali oleh antibodi (Smith 1995;

Kuby 2007). Prinsip tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan derajat

hubungan diantara molekul antigen (Tizzard 2004).

Antigen somatik F. gigantica asal kerbau, sapi dan domba memiliki

karakter protein dengan berat molekul yang sama yaitu 34 dan 28 kDa (Yocananth

et al. 2005). Tiga pita protein dengan berat molekul yang sama juga ditemukan

pada E/S dan antigen somatik dari F. hepatica and F. gigantica yaitu 24, 33, dan

42 kDa (Meshgi et al. 2008b). Hal tersebut dapat menjelaskan respon

pembentukkan antibodi silang terhadap antigen yang berbeda. Reaksi silang juga

terjadi diantara protein whole worm F. gigantica, Toxocara vitulorum dan

Moneizia expansa. Reaksi silang yang terjadi disebabkan polipeptida yang berasal

dari protein whole worm F. gigantica, Toxocara vitulorum dan Moneizia expansa

memiliki kesamaan struktur (Eman dan Kadria 2000).

Antibodi poliklonal (Ig G) anti Fasciola gigantica hasil pemurnian dengan

filtrasi kolom diuji kembali dengan AGPT menggunakan antigen E/S Fasciola

gigantica. Presipitasi pada hasil AGPT menunjukkan bahwa Ig G yang dihasilkan

mampu mengikat antigen E/S Fasciola gigantica (Gambar 6). Presipitasi yang

terbentuk ada uji AGPT menunjukkan bahwa Ig G yang dihasilkan dari serum

kelinci pada penelitian ini, dapat menjadi sumber bahan diagnostik untuk menguji

antigen E/S Fasciola gigantica baik pada kerbau maupun domba.

[image:35.612.363.488.493.624.2]

Gambar 6 Hasil AGPT; (a) Presipitasi Ig G dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau (antigen E/S terletak ditengah sumur); (b) Presipitasi Ig G dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba (antigen E/S terletak ditengah sumur).

Ag E/S FG Domba

(a) (b)

Ig G

Ig G

Ig G

Ig G

Ig G

Ig G

Ig G Ig G

Ig G Ig G

Ig G

Ag E/S FG Kerbau

(36)

5.

SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara lain:

1. Penyuntikkan antigen E/S Fasciola gigantica pada kelinci, dengan dosis

150 µg/ekor mampu menginduksi produksi antibodi anti E/S Fasciola

gigantica asal domba setelah tiga kali penyuntikkan, sedangkan antibodi

anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau terbentuk setelah lima kali

penyuntikkan.

2. Karakteristik antigen E/S Fasciola gigantica yang disuntikkan pada

kelinci pada penelitian ini, mempengaruhi perbedaaan waktu

pembentukkan antibodi anti E/S Fasciola gigantica.

5.2Saran

Penelitian yang lebih dalam dapat dilakukan untuk mengetahui spesifisitas dan

sensitivitas Ig G antibodi poliklonal terhadap Fasciola gigantica dalam

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Alirahmi H, Farahnak A, Golmohamadi T, Esharghian MR. 2010. Comparative assay of glutathione s-transferase (GSTs) activity of excretory/secretory materials and somatic extract of Fasciola spp parasites. Acta Med Iran 48 (6):367-370.

Allan D. 1980. Outlines Of Animal Immunobiology. London: Balliere Tindall.

Ashour AA, Zakiya E, Abeer AK, Elham AN. 1999. Studies on the liver fluke Fasciola in Egypt: I- morphological and morphometrical studies. J Egypt Soc Parasitol 29 (3):979-996.

Balqis U. 2006. Karakterisasi Protease dari Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Barriga OO. 1981. The Immunology of Parasitic Infections. Baltimore: University Park Press. hlm 1-16.

Black JG. 2005. Microbiology: Principles and Explorations 6th Ed. Virginia: John Wiley & Sons, Inc. hlm 470-492.

Boulanger P, Bannister GL, Gray DP, Ruckerbauer GM, Willis NG. 1967. The use of the agar double-diffusion precipitation test for the detection of the virus in swine tissue. Can J Comp Med Vet Sci 30.

Bradford MM. 1976. A Rapid and Sensitive Method for The Quantitation of Microgram Quantities of Protein Utilizing The Principle of Protein Dye Binding. Anal Biochem 72: 248-254.

Charlier J, De Meulemeester L, Claerebout E, Williams D, Vercruysse J. 2008. Qualitative and quantitative evaluation of coprological and serological techniques for the diagnosis of fasciolosis in cattle. Vet Parasitol 153:44– 51.

Copeman DB, Copland RS. 2008. Importance and Potential Impact of Liver Fluke in Cattle and Buffalo. Di dalam: Gray GD, Copland RS, Copeman DB, editor. Overcoming Liver Fluke as a Constraint to Ruminant Production in South-East Asia. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR).

(38)

Eman HA, Kadria NA. 2000. Molecular identity of major cross-reactive adult antigens in Fasciola gigantica, Toxocara vitulorum, and Monieizia expansa. J Egypt Soc Parasitol 30 (2):561–571.

Estuningsih SE, Adiwinata G, Widjajanti S, Piedrafita D. 2004. Pengaruh infestasi cacing hati Fasciola gigantica terhadap gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba. J ITV 9 (3):191-196.

Frank SA. 2002. Immunology and Evolution of Infectious Disease. Princeton (NJ): Princeton University Press. 

 

Guezala MC, Rodriguez S, Zamora H, Garcia HH, Gonzalez AE, Tembo A, Allan JC, Craig PS. 2009. Development of a species-specific coproantigen ELISA for human Taenia solium taeniasis. Am J Trop Med Hyg 81(3):33– 437.

Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-11. Irawati et al., penerjemah; Rachman LY, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physology 11th Edition.

Herscowitz HB. 1978. Immunophysiology: Cell Function and Cellular Interactions. Di dalam: Bellanti, Joseph A, editor. Immunology II. Philadelphia: W.B. Saunders Company. hlm 151-199.

[IACUC] Institutional Animal Care and Use Committee. 2010. Guidelines for Polyclonal Antibody Production in Laboratory Animal. http://www.iacuc.ucsf.edu/Proc/awRabColl.asp [ 25 Juni 2011].

Jackson AL. 1978. Antigens and Immunogenicity. Di dalam Bellanti, Joseph A, Editor. Immunology II. Philadelphia: W.B. Saunders Company. hlm 101-150.

Karimi A. 2008. Genetic diagnosis of Fasciola species based on 18s ribosomal DNA sequences. J Biol Sci 8 (7):1166-1173.

Kuby J. 2007. Immunology 6th Ed. New York: W.H Freeman Company.

Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah; Wardiato, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Parasitology.

Lightowlers MW, Rickard MD. 1988. Excretory/secretory products of helminth parasites: effects on host immune responses [abstrak]. J Parasitol 96; Suppl:S123-66.

(39)

Mader SS. 1997. Struktur Ig G [gambar]. [Di dalam]: Inquiry Into Life 8th Ed. [terhubung berkala]. http://www.mhhe.com/biosci/ap [20 Mei 2011].

Mahmoud MS, Abou-El-Dobal S, Soliman K. 2008. Immune response in Fasciola gigantica experimentally infected rabbits treated with either carnosine or Mirazid®. J Parasitol 3:40-49.

Marcilla A, De la Rubia JE, Sotillo J, Bernal D, Carmona C, Villavicencio Z, Acosta D,

Tort J, Bornay FJ, Esteban JG, Toledo R. 2008. Leucine aminopeptidase is an

immunodominant antigen of Fasciola hepatica excretory and secretory products in human infections. J Clin Vacc Immunol 15 (1):95-100.

Meshgi B, Eslami A, Hemmatzadeh F. 2008a. Determination of somatic and excretory/secretory antigens of Fasciola hepatica and Fasciola gigantica using SDS-PAGE. Iran J Vet Res 9 (1):22.

Meshgi B, Karimi A, Shayan P. 2008b. Genetic variation of Fasciola Hepatica from sheep, cattle, and buffalo. J Parasitol 3 (2):71-78.

Moazeni M, Gaur SN, Shahangian A. 2005. Cross reactivity between E/S and somatic antigens of Fasciola spp of enzyme linked immunosorbant assay [Short Paper]. Iran J Vet Res 6 (2):12.

Nobel RE, Nobel GA. 1989. Biologi Parasit Hewan. Edisi ke-5. Wardiato, penerjemah; Soeripto N, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: The Biology of Animal Parasites.

Orr RT. 1976. Vertebrate Biology. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Ouchterlony O. 1953. Antigen-antibody reactions in gels IV: types of reactions in co-ordinated systems of diffusion. Acta Path Microbiol Scand 32:231.

Parimala N, Ishaq M. 2005. Efficacy of sonicated and acid-extractable antigens in the serodiagnosis of H. Pylori infection in peptic ulcer patients. Indi J Med Microbiol 23 (2):117-119.

Patterson RM. 1995. Respon Imun Terhadap Parasit Cacing. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.

(40)

Satrija F, Murtini S, Retnani EB, Ridwan Y. 2007. Pengembangan Uji ELISA untuk Mendeteksi Koproantigen sebagai Metode Diagnosa Infeksi Cacing Pita pada Ayam. Makalah Seminar Hasil Penelitian LPPM IPB.

Schalch W, Wright JK, Rodkey LS, Braun DG. 1979. Distinct functions of monoclonal IgG antibody depend on antigen-site specificities. J Exp Med 149:923-937.

Seres S, Cozma V. 2008. Detection of Echinococcus coproantigens by ezyme-linked immunosorbent assay in foxes from the North – West of Romania. Luc Stii Med Vet (XLI):Timisoara 388.

Sewell MMH. 1964. The immunology of fascioliasis (qualitative studies on the precipitin reaction). J Immunol 7:671.

Smith JR. 1995. Produksi Serum Hiperimun. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.

Tizard IR. 2004. an Introduction to Veterinary Immunology 7th Ed. Elsevier: Philadelphia.

Wibawan IWT, Retno DS, Damayanti CS, Tauffani TB. 2003. Imunologi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Wongkham C, Tantrawatpan C, Intapan PM, Maleewong W, Wongkham S, Nakashima K. 2005. Evaluation of immunoglobulin G subclass antibodies against recombinant Fasciola gigantica Cathepsin L1 in an enzyme-linked immunosorbent assay for serodiagnosis of human fasciolosis. J Clin Vacc Immunol 12 (10):1152-1156.

Yocananth S, Gosh S, Gupta SC, Sures MG, Saravanan D. 2005. Characterization of spesific and cross-reacting antigens of Fasciola gigantica by immunoblotting. J Parasitol Res 97:41-48

(41)

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI-

EKSKRETORI/SEKRETORI (E/S) Fasciola gigantica ISOLAT

ASAL DOMBA DAN KERBAU PADA KELINCI

RETNO SETYANINGSIH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(42)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana

pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalan teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Retno Setyaningsih

(43)

 

ABSTRACT

RETNO SETYANINGSIH. Production of Polyclonal Antibody Anti- Excretory/Secretory (E/S) of Fasciola gigantica Sheep and Buffalo Origins in Rabbit. Under direction FADJAR SATRIJA, SRI MURTINI.

The research was designed to study method of polyclonal antibody (Ig G) anti-Excretory/Secretory (E/S) Fasciola gigantica production in rabbit. Two antigens of E/S Fasciola gigantica (E/S Fasciola gigantica from buffalo and E/S Fasciola gigantica sheep) were immunized to rabbit, at dose level 150 µg/animal. Freund’s adjuvant added to antigen with the equal volume (1:1). The first immunization was done intravenous (i.v) without adjuvant. Second immunization were gave subcutaneous (s.c) with combination of antigen-Freund’s adjuvant complete. The third until sixth immunizations were done subcutaneous (s.c) with combination of antigen-Freund’s adjuvant incomplete. Blood samples were collecting every one week after the third immunization. To evaluated antibody anti Excretory/Secretory (E/S) Fasciola gigantica development, the sera tested using Agar Gel Precipitation Test (AGPT). The result showed that the rabbit immunized by E/S protein of Fasciola gigantica from sheep, able to develop antibody faster (4 weeks post infection) than the rabbit which immunized by E/S protein of Fasciola gigantica from buffalo (12 weeks post infection). In the same time, cross reactivity between antigens appear from the antibody that produced from each rabbit.

(44)

RINGKASAN

RETNO SETYANINGSIH. Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci. Dibawah bimbingan FADJAR SATRIJA, SRI MURTINI.

Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pembentukkan antibodi poliklonal (Ig G) anti E/S Fasciola gigantica hewan coba kelinci. Dua ekor kelinci masing-masing diimunisasi dengan 150 µg antigen Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica yang diisolasi dari domba dan kerbau yang disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi serta Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Empang-Kota Bogor. Imunisasi pertama dilakukan dengan rute intravena (i.v) tanpa tambahan adjuvant. Imunisasi kedua dilakukan dengan rute subkutan (s.c) dengan kombinasi antigen- adjuvant lengkap Freund. Imunisasi ketiga hingga kelima dilakukan dengan rute subkutan (s.c) dengan kombinasi antigen- adjuvant tak lengkap Freund. Sampel darah dikoleksi tiap seminggu sekali setelah penyuntikkan yang ketiga. Serum darah diuji menggunakan Agar Gel Pecipitation Test (AGPT) untuk mengevaluasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica yang terbentuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S F. gigantica asal domba, mampu membentuk antibodi lebih cepat (4 minggu pasca infeksi) dibandingkan kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S F. gigantica asal kerbau (12 minggu pasca infeksi). Pada waktu yang sama, reaksi silang diantara antigen antigen E/S F. gigantica muncul dari antibodi yang dihasilkan oleh masing-masing kelinci.

Kata kunci: antibodi poliklonal, antigen Ekskretori/Sekretori, Fasciola gigantica  

(45)

 

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(46)

 

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI

EKSKRETORI/SEKRETORI (ES) Fasciola gigantica PADA

KELINCI

RETNO SETYANINGSIH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(47)

2011

Judul Skripsi : Produksi Antibodi Poliklonal Anti-Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci

Nama : Retno Setyaningsih

NIM : B04070041

 

 

Disetujui

drh. H. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph. D Pembimbing I

 

Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M. Si Pembimbing II

   

 

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

   

(48)

PRAKATA

 

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. H. Fadjar Satrija,

M.Sc, dan Ibu Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M.Si, selaku dosen pembimbing yang

telah memberi kesempatan, arahan, dan masukan, hingga selesainya skripsi ini.

Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Sulaeman dan Ibu Selin,

selaku laboran yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan

penelitian. Tak lupa ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Ibu Mayang,

Joko, Risma, dan Mega selaku rekan sepenelitian serta kepada Amalia dan Hadi

S. yang telah banyak membantu penulis dengan dorongan semangat, kasih sayang,

serta doa. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ayah, Mama, serta

seluruh keluarga atas dukungan baik moril maupun materil. Rekan-rekan angkatan

44’ “Gianuzzi” atas seluruh kebersamaan dan semangat serta seluruh pihak baik

secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis hingga

selesainya penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(49)

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………...  iii DAFTAR GAMBAR………...  iv 1. PENDAHULUAN……….

1.1Latar Belakang………... 1.2Tujuan………..  1.3Manfaat……… 

1 1 2 2

2. TINJAUAN PUSTAKA……… 2.1Kelinci………. 2.2 Cacing Fasciola gigantica……….. 2.3 Antigen Ekskretori/Sekretori……….. 2.4 Imunitas………... 2.5 Antibodi Poliklonal………. 2.6 Adjuvant……….. 2.7 Agar Gel Precipitation Test (AGPT)………...

3 3 3 5 6 7 9 9

3. BAHAN DAN METODE……….. 3.1Tempat dan Waktu Penelitian………. 3.2Metode Penelitian………

3.2.1 Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci

sebagai Hewan Coba………... 3.2.2 Persiapan Antigen E/S Fasciola gigantica... 3.2.3 Pengukuran Konsentrasi dengan Metode Bradford……… 3.2.4 Teknik Imunisasi………. 3.2.5 Teknik Pengambilan Darah………. 3.2.6 Teknik Pengumpulan Serum………... 3.2.7 Pembuatan Antigen Terlarut……… 3.2.8 Teknik Agar Gel Pecipitation Test (AGPT)……… 3.2.9 Pemurnian Immunoglobulin G (Ig G)……….   11 11 11 11 11 12 13 14 14 14 15 15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 17 5. SIMPULAN DAN SARAN………...

5.1Simpulan……….. 5.2Saran………... 

24 24 24

(50)

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tata cara pengisian larutan BSA dan Aquabides……….... 12

2 Tata cara penyuntikkan antigen... 13

(51)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur Ig G pada mamalia……… 8

2 Hasil AGPT anti E/S Fasciola gigantica asal domba (KP) pada

minggu ke-4 dan ke-6………. 18

3 Hasil AGPT anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau (KH) pada

minggu ke-12 dan ke-14……….………… 18

4 Hasil AGPT antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba dengan

antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau………... 21

5 Penebalan presipitasi reaksi silang antibodi pada AGPT..………. 22

(52)

 

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fasciolosis adalah penyakit yang disebabkan cacing dari genus Fasciola.

Fasciolosis di Indonesia secara umum disebabkan oleh Fasciola gigantica.

Berbagai studi memperlihatkan bahwa Fasciola gigantica merupakan parasit yang

paling sering ditemukan pada ruminansia terutama ruminansia besar (sapi dan

kerbau) di Indonesia. Kurang lebih 80 persen ternak ruminansia terutama kerbau

di Indonesia terserang fasciolosis, sedangkan prevalensinya di Indonesia berkisar

Gambar

Gambar  1 Struktur Ig G pada mamalia
Tabel 1 Tata cara pengisian larutan BSA dan Aquabides
Tabel 2 Tata cara penyuntikkan antigen
Tabel 3  Data hasil AGPT dilihat dari penebalan presipitasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kontribusi yang dicapai dalam penelitian ini adalah jenis pembelajaran NMF dengan perbandingan konstrain linier dan non-linier yang dilakukan tanpa secara eksplisit

Hasil dari pengukuran ini akan dapat diketahui pola kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan kepala bidang dan sekretariat di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga kabupaten

Tuliskan materi yang telah Ananda pelajari dan materi yang baru Ananda pelajari tentang Struktur Penyusun Tubuh Makhluk Hidup pada kolom-kolom berikut.. Yang sudah saya pelajari

Apabila terdapat persamaan nilai akhir pada penentuan pemenang untuk unsur Field Commander, maka untuk menentukan pemenangnya caranya adalah sama dengan cara penentuan pemenang

atau tamu tidak menjawab,kirim permintaan maaf dari Exeutive Housekeeper bahwa Room Boy berniat membersihkan kamar tapi status DD dan jam berapa kira-kira kamar

adalah siswa kelas X-2 sebagai kelas eksperimen dan X-3 sebagai kelas kontrol yang tidak diberi perlakuan, sedangkan kelas X-1 digunakan untuk uji coba

Dari analisis data ditemukan beberapa hal pada atlet futsal SMPIT Thariq Bin Ziyad, diantaranya tingkat anxiety atlet futsal SMPIT Thariq Bin Ziyad pada saat mengikuti

Mekanisme kerja WLS yaitu apabila varian variabel gangguan tidak diketahui maka untuk menyelesaikan masalah heteroskedasti- sitas adalah dengan mengetahui pola