TESIS
PERLINDUNGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
DIKAITKAN DENGAN KEPABEANAN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2006 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN
1995 TENTANG KEPABEANAN
Oleh :
ERWINSYAH DIMYATI LUBIS
087005068/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
(Meja Hijau)
Judul Tesis : PERLINDUNGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
DIKAITKAN DENGAN KEPABEANAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN
1995 TENTANG KEPABEANAN
N a m a : ERWINSYAH DIMYATI LUBIS
N I M : 087005068
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H. K e t u a
Prof. Dr.Suhaidi, S.H., M.H. Prof.Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum USU
ABSTRAK
Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)
Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai ketentuan border measure control / border enforcement yang termuat dalam Article 51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Bab X): ”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas Barang yang terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran HaKI yang melintasi daerah pabean (Border Cross Control).
Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia (tepatnya dalam Pasal 54 Sampai dengan 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan) dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia, karena disebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara atau menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia.
Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia adalah belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan sehingga menjadi hambatan terhadap pelaksanaan prosedur penangguhan pengeluaran barang yang melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dan menimbulkan terjadinya kejahatan Hak atas Kekayaan Intelektual yang tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dipenaguruhi oleh latar belakang masyarakat, misalnya latar belakang pendidikan, keadaan ekonomi, budaya, tingkat pengangguran yang tinggi dan sebagainya di dalam masyarakat
ABSTRACT
The Protection of IPR is a commitment that must be met as a consequence of
Indonesia became a member of the World Trade Organization (WTO) signed an agreement with Marrakech, Morocco in 1994 which was ratified through Law No. 7 of 1994 on Establishing the World Trade Organization within which also includes an agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) In his position as superintendent freight traffic officers both in and out of the territory of Indonesia, Directorate General of Customs and Excise (DGCE) are required to control the import-export of goods infringing intellectual property rights in Indonesia as a continuation of the ratification of the above rules concerning border measure control / border enforcement contained in Article 51 to Article 60 the TRIPs Agreement, precisely implemented in Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 concerning Amendment to Law Number 10 Year 1995 regarding Customs Affairs (Chapter X): "Prohibition and Restriction of Import or Export, Import or Export Suspension Violation of Intellectual Property Rights, and the taking of action on items related to terrorism and / or Transnational Crime". In the function DGCE expected to act effectively deter violations of IPR across the customs area (Cross Border Control).
The Implementation of the TRIPs Agreement in the legislation on customs in
Indonesia (precisely in Article 54 Up to 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs) may contribute to the protection of Intellectual Property Rights in Indonesia, because it is mentioned that the officials of Customs and Excise given the authority to suspend temporarily or terminate the import-export goods suspected of infringement of Trademark and Copyright protected in Indonesia, which means the Directorate General of Customs and Excise participate and help avoid the entry of counterfeit goods to Indonesia.
The obstacle faced by the Directorate General of Customs and Excise in
applying the legal protection of Intellectual Property Rights in Indonesia is the absence of government regulation clearly and in detail on the implementation of Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs so that it becomes barriers to implementation of the suspension procedures expenditures that violate the Intellectual Property Rights by the Directorate General of Customs and Excise, and there are factors that influence and cause the occurrence of crime on Intellectual Property Rights are not independent of environmental conditions dipenaguruhi by the background of society, such as background educational background, economic circumstances, culture, high unemployment and so on.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah Subhanahu
wata’ala atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Sekolah
Univesitas Sumatera Utara, Medan.
Adapun judul Tesis ini adalah: “Perlindungan Hak atas Kekayaan
Intelektual dikaitkan dengan Kepabeanan Berdasarkan Undang-undang
No. 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 10 tahun
1995 tentang Kepabeanan”
Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik
berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH,
Prof. Dr. Sunarmi, SH,M.Hum. dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM. Dimana
di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan
bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan
penulisan Tesis ini.
Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :
1. Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU
atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, sebagai Ketua Program studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU sekaligus sebagai Ketua Komisi
Pembimbing.
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH. sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh
4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh
perhatian memberikan arahan, bimbingan serta dorongan dalam penulisan
Tesis ini.
5. Kedua Orang Tua tercinta, Ayahanda Ridwan Alam Lubis, Ibunda Ratna Sari
Damanik yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi
pekerti yang luhur serta iman kepada Allah Swt serta kepada kedua mertuaku.
6. Kepada Istriku tercinta Novita Caturningtyas Susilowati, SH, anakku M.
Rezky Aulia Rahman Lubis, dan M.Aditya Nugraha Lubis, Saudara-saudara
ku, Kakak dan Adik yang Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya
serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan
penulisan Tesis ini.
7. Kepada Rekan-rekan di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
USU, dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah Swt membalas jasa, amal dan budi baik tersebut.
Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan
menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini, penulisan
Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima
kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan
penulisan Tesis ini.
Medan, Februari 2011
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... i
KATA PENGANTAR... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penulisan ... 9
F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 10
G. Metode Penelitian ... 18
BAB II : IMPLEMENTASI AGREEMENT ON TRADE RELATED ASPECTS OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS (THE TRIPS AGREEMENT) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEPABEANAN INDONESIA A. Tinjauan Tentang Perdagangan Internasional (GATT/WTO)... 21
B. Ketentuan Dan Prosedur Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan...35
INTELEKTUAL
A. Hukum Kepabeanan Di Indonesia... 59
B. Peranan Kepabeanan Dalam Perlindungan Hak Atas Kekayaan
Intelektual...68
BAB IV : KENDALA JURIDIS YANG DIHADAPI OLEH DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DALAM MENERAPKAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA DAN UPAYA UNTUK MENGATASINYA
A. Lingkup Tugas Dan Kewenangan Direktorat Jenderal Bea Dan
Cukai... 79
B. Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Oleh Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai... 93
C. Kendala Juridis yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dalam menerapkan Perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan
Intelektual di Indonesia dan upaya untuk mengatasinya... 98
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………. 100
B. Saran………. 101
ABSTRAK
Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)
Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai ketentuan border measure control / border enforcement yang termuat dalam Article 51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Bab X): ”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas Barang yang terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran HaKI yang melintasi daerah pabean (Border Cross Control).
Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia (tepatnya dalam Pasal 54 Sampai dengan 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan) dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia, karena disebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara atau menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia.
Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia adalah belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan sehingga menjadi hambatan terhadap pelaksanaan prosedur penangguhan pengeluaran barang yang melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dan menimbulkan terjadinya kejahatan Hak atas Kekayaan Intelektual yang tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dipenaguruhi oleh latar belakang masyarakat, misalnya latar belakang pendidikan, keadaan ekonomi, budaya, tingkat pengangguran yang tinggi dan sebagainya di dalam masyarakat
ABSTRACT
The Protection of IPR is a commitment that must be met as a consequence of
Indonesia became a member of the World Trade Organization (WTO) signed an agreement with Marrakech, Morocco in 1994 which was ratified through Law No. 7 of 1994 on Establishing the World Trade Organization within which also includes an agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) In his position as superintendent freight traffic officers both in and out of the territory of Indonesia, Directorate General of Customs and Excise (DGCE) are required to control the import-export of goods infringing intellectual property rights in Indonesia as a continuation of the ratification of the above rules concerning border measure control / border enforcement contained in Article 51 to Article 60 the TRIPs Agreement, precisely implemented in Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 concerning Amendment to Law Number 10 Year 1995 regarding Customs Affairs (Chapter X): "Prohibition and Restriction of Import or Export, Import or Export Suspension Violation of Intellectual Property Rights, and the taking of action on items related to terrorism and / or Transnational Crime". In the function DGCE expected to act effectively deter violations of IPR across the customs area (Cross Border Control).
The Implementation of the TRIPs Agreement in the legislation on customs in
Indonesia (precisely in Article 54 Up to 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs) may contribute to the protection of Intellectual Property Rights in Indonesia, because it is mentioned that the officials of Customs and Excise given the authority to suspend temporarily or terminate the import-export goods suspected of infringement of Trademark and Copyright protected in Indonesia, which means the Directorate General of Customs and Excise participate and help avoid the entry of counterfeit goods to Indonesia.
The obstacle faced by the Directorate General of Customs and Excise in
applying the legal protection of Intellectual Property Rights in Indonesia is the absence of government regulation clearly and in detail on the implementation of Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs so that it becomes barriers to implementation of the suspension procedures expenditures that violate the Intellectual Property Rights by the Directorate General of Customs and Excise, and there are factors that influence and cause the occurrence of crime on Intellectual Property Rights are not independent of environmental conditions dipenaguruhi by the background of society, such as background educational background, economic circumstances, culture, high unemployment and so on.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)1 adalah hak khusus (exclusive right)
baik yang bersifat sosial maupun ekonomi yang diberikan kepada seseorang atau
badan hukum berupa pengakuan dan penghargaan atas penemuan atau penciptaan
karya intelektual mereka.2 Pemilik hak mendapatkan hak khusus untuk
mengeksploitasi karya atau temuan tersebut, dan orang lain dilarang untuk
memanfaatkannya tanpa izin.3
HaKI (intellectual property rights), yang berkaitan dengan hak kepemilikan
atas karya-karya intelektual, pada dasarnya adalah hak-hak yang tidak berwujud
(intangible rights).4 Dalam sistem hukum, HaKI merupakan bagian dari hak
kekayaan atau hak kepemilikan (property) yang memiliki nilai ekonomi atau
1
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM RI, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual 2003, (Jakarta: 2003), hal. 3. Hak atas Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Right (IPR) yakni hak yang timbul bagi hasil olah piker otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. HKI secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) bagian: 1) Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup: Paten (Patent); Desain Industri (Industrial Design); Merek (Trademark); Penanggulangan Praktik Persaingan Curang (Repression of Unfair Competition); Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit); dan Rahasia Dagang (Trade Secret). 2) Hak Cipta (Copyright) yang mencakup pula Related Rights atau yang juga disebut Neighboring Rights.
2
Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Cet. 1, (Jakarta: Chandra Pratama, 1999), hal. 27.
3
Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-Obatan, Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 19.
4
“economic rights”, karena adanya hak eksklusif untuk mengeksploitasi tersebut.5
Sebagai asset yang bernilai ekonomi, maka HaKI memberikan keuntungan ekonomis
bagi pemilik hak atau pemegang hak (right owner/right holder). Namun sebagaimana
hak milik atau kekayaan lainnya, maka hak tersebut juga rawan terhadap pencurian
serta penggunaan oleh orang lain secara tidak sah, sehingga menimbulkan dampak
kerugian ekonomis (di samping kerugian moral) yang luas, baik ada pemilik hak
maupun bagi perekonomian nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, upaya-upaya untuk melaksanakan
perlindungan HaKI yang memadai (adequate intellectual property right protection)
dirasakan semakin meningkat, baik di kalangan industri, masyarakat luas, maupun
pemerintah. Hal ini terjadi, seiring dengan semakin berkembangnya peranan HaKI
dalam beberapa bidang kegiatan ekonomi, dan semakin meningkatnya pelanggaran
HaKI. Peningkatan perlindungan HaKI dianggap sebagai suatu hal yang sangat
penting dalam kerangka perdagangan internasional. Pentingnya peningkatan
perlindungan HaKI ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:6
1. Peranan dari produk-produk yang berbasiskan HaKI dalam perdagangan
(terutama dalam perdagangan internasional) meningkat secara tajam;
2. Kemajuan komunikasi dan hubungan internasional telah menciptakan suatu
Pasar Global;
5
Lihat Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 43. Harold F. Lusk memberikan batasan tentang hak milik atau ownership sebagai, “the exclusive right to possess, enjoy and dispose or rights having economic value”. Bahwa hak milik merupakan hak eksklusif untuk menguasai, menikmati dan mengatur suatu objek atau hak-hak yang memiliki nilai ekonomi.
6
3. Berkembangnya teknologi yang relatif murah dan tidak terlalu yang relatif murah dan tidak terlalu rumit, untuk melakukan reproduksi jenis-jenis barang tertentu;
4. Meningkatnya penelitian dan pengembangan dalam menciptakan
produk-produk baru;
5. Beberapa aspek teknologi yang baru belum dapat masuk secara tepat dalam
salah satu jenis perlindungan HaKI.
Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus
dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization
(WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang
telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing
World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).7
Persetujuan TRIPs ini memuat norma-norma dan standar perlindungan HaKI
secara ketat yang bertujuan untuk:8
1. Meningkatkan perlindungan terhadap HaKI dari produk-produk yang
diperdagangkan;
2. Menjamin prosedur pelaksanaan HaKI yang tidak menghambat kegiatan
perdagangan;
3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan
terhadap HaKI;
4. Mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme kerjasama
internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas HaKI.
7
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 November 1994 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564. Lihat ketentuan pasal 65 TRIPs Agreement (1994). Ditandatangani pada tanggal 15 April 1994, dan berlaku Januari 1995. Lihat Pasal 11 ayat (2) Persetujuan WTO, persetujuan TRIPs mengikat seluruh anggota Persetujuan WTO.
8
Sebelum berlakunya perjanjian TRIPs, institusi kepabeanan (customs) di
berbagai negara umumnya tidak banyak terlibat dalam perlindungan HaKI. Dengan
meningkatnya perdagangan internasional dan semakin meluasnya pelanggaran HaKI
yang melintasi batas-batas negara, maka disadari pentingnya peran yang dapat
dilakukan oleh pihak pabean dalam melaksanakan perlindungan HaKI. Oleh karena
itu, dalam TRIPs diatur secara khusus ketentuan tentang ”border measure control /
border enforcement” yaitu pengawasan oleh pihak pabean (Customs Administration)
terhadap barang hasil pelanggaran HaKI. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka di
tiap negara, aparat border cross control dalam hal ini institusi kepabeanan (di
Indonesia adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai), harus ikut terlibat dalam
pelaksanaan perlindungan HaKI.9
Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk
maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
(DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di
bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai
ketentuan border measure control / border enforcement yang termuat dalam Article
51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal
54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan
9
atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan10 (Bab X):
”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor
Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas
Barang yang terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam
fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran
HaKI yang melintasi daerah pabean (Border Cross Control).
DJBC melaksanakan fungsi pengendalian tersebut dengan cara
menangguhkan pengeluaran barang impor/ekspor dari kawasan pabean untuk
memberikan kesempatan kepada yang berhak atas HaKI untuk mengambil tindakan
hukum. Penangguhan pengeluaran barang dilakukan dengan dua cara: Pertama,
penangguhan pengeluaran barang impor (atau ekspor) berdasarkan perintah tertulis
Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan pemilik / pemegang HaKI dengan
mengajukan bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI disertai
penempatan jaminan untuk dipertaruhkan (passive action procedure).11 Kedua,
penangguhan pengeluaran barang impor (atau ekspor) karena jabatan (secara ex
10
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612, berlaku tanggal 1 April 1996. Dengan berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi: 1) Indische Tarief Wet Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah; 2) Rechten Ordonnantie Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah; 3) Tarief Ordonnantie Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan ditambah. Dan sekarang telah diubah menjadi UU No. 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10 tahun1995 tentang Kepabeanan.
11
officio) berdasarkan bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI (active
action procedure).12
Masalahnya adalah, karena dengan belum adanya Peraturan Pemerintah
sebagai pendukung pelaksanaan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud, dapat
menimbulkan masalah dilematis terutama bagi pihak DJBC dan Ketua Pengadilan
Negeri atau Pengadilan Niaga dalam memutus perkara impor-ekspor barang hasil
pelanggaran HaKI tersebut.
Upaya penegakan hukum dan perlindungan terhadap HaKI ini perlu untuk
mendapatkan perhatian yang serius, karena pelanggaran HaKI, pembajakan dan
pemalsuan akan mengakibatkan berbagai macam kerugian, diantaranya:13
1. Kerugian Konsumen
Konsumen harus membayar mahal untuk barang palsu, berkualitas rendah,
mudah rusak dan mengakibatkan kerusakan materi serta bahaya terhadap
kesehatan dan keselamatan jiwa;
2. Kerugian Masyarakat Usaha, Pemegang Hak, Pencipta dan Penemu
Pelanggaran HaKI mengakibatkan turunnya nilai penjualan, kerugian
financial, kerugian moral, rusaknya reputasi, dan hilangnya insentif untuk
melakukan inovasi, terganggunya pengembangan teknologi;
3. Kerugian Pemerintah, Negara dan Perekonomian
12
Lihat Republik Indonesia, UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 62.
13
Kerugian lain ialah terganggunya perekonomian nasional, hilangnya
pendapatan pajak, hilangnya kepercayaan internasional, terhambatnya
akses pasar untuk komoditi ekspor, keengganan investor asing untuk
investasi, ancaman terhadap perdagangan internasional.
Atas dasar pemikiran diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji tulisan
dalam bentuk tesis dengan judul: ”Perlindungan HaKI dikaitkan dengan Kepabeanan
berdasarkan UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka
penulis merumuskan masalah yang diteliti adalah:
1. Bagaimana Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan
perundang-undangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi
terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia?
2. Bagaimana Peran kepabeanan (customs) dalam rangka perlindungan terhadap
Hak atas Kekayaan Intelektual?
3. Apa-apa saja Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian
ini bertujuan:
1.Untuk menganalisis implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan
perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia apakah dapat
memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual
di Indonesia
2. Untuk menganalisis peran kepabeanan (customs) dalam
rangka perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual.
3. Untuk menganalisis hambatan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan
Intelektual di Indonesia dan bagaimana mengatasinya.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi perkembangan hukum dan pembuatan peraturan kepabeanan yang
berkaitan dengan perlindungan HaKI, serta dapat melengkapi hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh pihak lain dalam bidang yang sama yaitu penelitian tentang
2. Secara Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
manfaat bagi: Pemerintah (khususnya pihak DJBC), para importir, eksportir, serta
pelaku bisnis atau praktisi di bidang HaKI dan masyarakat luas sebagai konsumen
produk HaKI.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang
“Perlindungan HaKI Dikaitkan dengan Kepabeanan berdasarkan UU No. 17 Tahun
2006 tentang Perubahan atas UU nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan” belum
pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun
ada beberapa topik penelitian tentang Perlindungan HaKI tapi jelas berbeda. Jadi
penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur,
rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan
serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Teori hukum alam atau adakalanya disebut juga sebagai hukum moral
biasanya digunakan sebagai landasan moral atau tuntutan untuk melindungi kekayaan
intelektual.14 Gagasan dasarnya adalah bahwa kekayaan intelektual merupakan milik
sang kreator. Oleh karena itu pengambilan dengan tidak memberikan kompensasi
bagi pemiliknya adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena melanggar
ajaran moral yang baik karena dalam ajaran moral biasanya diwujudkan dengan
doktrin: jangan mencuri atau jangan mengambil apa yang bukan milikmu.15
Disamping itu, karena pencipta telah memperkaya masyarakat melalui
ciptaannya, pencipta memiliki hak untuk mendapatkan imbalan yang sepadan dengan
nilai sumbangannya. Jadi hak cipta, memberi hak milik eksklusif atas suatu karya
pencipta. Hal ini berarti mempertahankan hukum alam dari individu untuk
mengawasi karya-karyanya dan mendapat kompensasi yang adil atas sumbangannya
kepada masyarakat.16 Individu yang menciptakan sebuah musik atau karya seni harus
memiliki hak untuk mengawasi penggunaannya dan mendapat kompensasi atas
penjualannya, tidak lebih dari seorang petani yang mendapat keuntungan dari
tanamannya.17
14
Lihat Agus Sardjono, loc.cit.
15
Ibid. Glenn P. Butterton menggunakan kalimat: “you should not take the property of another without permission”. Kalimat tersebut dikemukakan oleh Butterton dalam mengawali pembicaraan mengenai norma hubungan antara norma sosial dengan HaKI.
16
Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta Musik Atau Lagu, Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 19.
17
John Locke, seorang filsuf Inggris terkemuka abad ke-18, di mulai dengan
asumsi bahwa ”every Man has a Property in his own Person”, mengantarnya kepada
suatu pemikiran, bahwa kerja individu juga menjadi milik individu itu sendiri.18
Dengan alasan apa orang memperoleh hak milik melalui kerja? Jawabannya terletak
pada tujuan dari Tuhan. Tuhan memerintahkan orang-orang untuk bekerja agar
mereka dapat menikmati kesenangan hidup: menikmati makanan, papan, sandang dan
cara hidup yang nyaman. Locke tidak berasumsi bahwa semua orang tertarik akan
kerja; kerja hanya ditujukan bagi mereka ”yang rajin dan yang rasional saja”, yang
diberikan Tuhan kepada mereka.19 Locke mengusulkan bahwa hak milik merupakan
imbalan yang adil untuk orang-orang yang rajin. Argumentasi ini menjadi titik awal
dari justifikasi utilitarian.20
Untuk kebanyakan orang teori hukum alam hanya semata-mata sebagai titik
awal dan merupakan justifikasi terbatas untuk HaKI. Sebagai alternatif bagi proposisi
terhadap hukum alam orang harus bergantung pada justifikasi utilitarian dalam hal
perlindungan hak-hak kekayaan tidak berwujud.21 Dalam teori pembangunan
ekonomi, teori utilitarian dikembangkan menjadi reward theory. Teori yang berakhir
ini mendalilkan bahwa apabila individu-individu yang kreatif diberi insentif berupa
hak eksklusif, maka hal ini akan merangsang individu-individu lainnya untuk
18
berkreasi.22 Sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
sosial yang akan semakin meningkat pula.
Selain teori-teori mengenai hak kekayaan intelektual yang telah disebutkan
diatas, yaitu teori hukum alam dan teori utilitarian, maka ada empat teori lainnya
yang juga mempengaruhi perkembangan hukum HaKI:23
1. The exchange-for-secrecy rationale, menyebutkan bahwa tanpa hak yang sah
(legal right) yang dapat mencegah pihak lain melakukan peniruan terhadap
penemuan atau ciptaannya, maka pencipta akan tergoda untuk berupaya
merahasiakan ciptaannya. Jika hal ini dilakukannya, maka akan ada
pihak-pihak tertentu secara diam-diam berupaya untuk meniru atau menjiplaknya,
dan kemudian memperbanyak penemuan dan ciptaan tersebut. Di samping itu,
tak satu orang pun yang dapat menggunakan idenya untuk mendorong batas
pengetahuan lebih lanjut. Meskipun hak eksklusif telah mengorbankan banyak
biaya, tetapi biaya yang besar itu dengan sendirinya akan terkompensasi
dengan terungkapnya inovasi atau ciptaan tersebut.
2. The quality-control principle,menurut prinsip ini, hak eksklusif dianggap
sebagai metode untuk melindungi inovasi dan ciptaan begitu diedarkan.
Dengan memberikan kekuasaan kepada pemegang hak untuk mengontrol
penggunaan inovasi atau ciptaan tersebut, hak eksklusif memungkinkan
22
Agus Sardjono. op.cit., hal. 26. Lihat juga Atmadja, ibid., hal. 24. David Bainbrige mengatakan bahwa seseorang yang mencurahkan waktu dan usaha untuk mencipta suatu karya harus diberikan kesempatan untuk mendapat imbalan secara ekonomis, dengan demikian akan mendorong orang-orang itu menjadi kreatif. Bagi seorang pencipta, keahlian mencipta bukan saja merupakan kelebihan atau anugerah dari Tuhan, melainkan keahlian itu menjadi sumber penghidupannya.
23
pemegang hak mempertahankan integritas. Pemegang hak dapat, misalnya
menggunakan haknya untuk pihak-pihak lain melakukan penyimpangan atau
perusakan terhadap karyanya, yang menurunkan kredibilitas dan kualitas
karya tersebut.
3. The prospecting theory, memiliki beberapa elemen untuk mempromosi
kualitas. Teori ini menganjurkan satu nilai dalam sistem hak eksklusif adalah
yang berpusat pada penelitian. seperti seorang penambang yang mempunyai
klaim atas tambangnya; hak eksklusif yang dimiliki pemegang hak memiliki
insentif untuk sepenuhnya mengembangkan ide-idenya. Dan karena ada
pihak lain ingin mendapatkan karya tersebut, ia harus mendapat otoritasi
terlebih dahulu. Pemegang hak memperoleh pengetahuan yang komprehensif
tentang bagaimana karya itu dikembangkan, dan sekaligus membantu
memelihara “pasar yang teratur” dalam pertumbuhan lebih lanjut.
4. The profit-incentive theory, telah memberi pengaruh yang sangat dominan
terhadap pembentukan hukum hak kekayaan intelektual, terutama di Amerika
Serikat, karena telah mengambil pendekatan utilitarian. Teori ini ingin
membuktikan bahwa eksklusivitas diperlukan untuk melindungi para
innovator dan pencipta dari serangan penjiplak atau peniru. Perlindungan ini
perlu diberikan, karena biaya peniruan atau penjiplakan jauh lebih rendah
dibandingkan dengan biaya, waktu dan tenaga yang telah dikorbankan untuk
mencipta. Demikian juga dengan para penjiplak atau pembonceng gelap
produk-produk tersebut, dan mencegah pencipta atau innovator mendapatkan kembali
biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka menghasilkan penemuan dan
penciptaan tersebut. Karena kebanyakan inventor atau pencipta tidak dapat
memberikan pelayanan (servis) mereka kepada masyarakat, sehingga inovasi
dan penciptaan tidak dapat mencapai hasil yang optimal tanpa adanya
eksklusivitas tersebut. Tentu saja, pemerintah dapat memberikan solusi
terhadap masalah pemboncengan gelap (freerider) itu dengan cara mensubsidi
usaha-usaha inovatif tersebut, namun, karya-karya eksklusif biasanya lebih
unggul, karena mekanisme pasar memberikan imbalan, banyak atau sedikit,
yang memberi manfaat kepada masyarakat melalui penemuan tersebut.
Dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia juga ditekankan
bahwa setiap individu berhak untuk turut serta dengan bebas dalam kehidupan
kebudayaan masyarakat serta menikmati kesenian dan kemajuan ilmu pengetahuan
dan sekaligus mendapatkan manfaatnya. Seiring dengan hak tersebut diatas, tercermin
adanya suatu pengakuan universal atas hak dari setiap individu terutama terhadap
kepentingan-kepentingannya yang perlu diberi perlindungan baik yang bersifat moral
maupun yang bersifat materi yang diperoleh dari ilmu pengetahuan dan seni, dimana
ia menjadi penciptanya.24
24
2. Konsepsional
Untuk memudahkan dalam memahami tulisan ini maka dibuatlah definisi
operasional, sebagai berikut:
Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
perundang-undangan yang berlaku.25
Untuk kepastian hukum, hak cipta dianggap lahir atau timbul sejak suatu
karya cipta diumumkan, yaitu tersedia untuk dinikmati oleh umum. Pada prinsipnya
Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa di
pengadilan mengenai Ciptaan yang terdaftar serta apabila pihak-pihak yang
berkepentingan dapat membuktikan kebenarannya, hakim dapat menentukan Pencipta
yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.26
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak
yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut
dari pihak yang menerima hak tersebut,27 antara lain berdasarkan pewarisan, hibah,
wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan
25
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Pasal 2 ayat (1).
26
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Penjelasan Pasal 5 ayat (2)
27
perundang-undangan.28 Hak khusus tersebut meliputi hak-hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi,
mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan,
mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada public, menyiarkan, merekam
dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.29
Maka pelanggaran hak cipta muncul manakala terjadi penggunaan hak khusus
tersebut oleh pihak yang tidak memiliki hak. Sanksi atas pelanggaran tersebut berupa
hukuman badan dan/atau denda serta pemusnahan barang bukti, disamping ganti rugi
berdasarkan gugatan perdata. Ciptaan yang dilindungi di Indonesia sebagaimana
diuraikan dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup:
1. buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis
yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
2. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
3. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
4. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
5. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pentonim;
28
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Pasal 3 ayat (2).
29
6. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
7. arsitektur;
8. peta;
9. seni batik;
10. fotografi;
11. sinematografi;
12. terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai. Database, dan karya seni
dari hasil pengalihwujudan.
Sementara itu yang dimaksudkan dengan Merek adalah tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka susunan warna, atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa.30
Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemilik
merek yang didaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dan
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.31
Berbeda dengan hak cipta, hak atas merek lahir/timbul karena diberikan oleh Negara
dan berdasarkan pendaftaran. Hak atas merek yang dilindungi di Indonesia adalah
30
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, Pasal 1 ayat (1).
31
yang terdaftar dan/atau yang belum terdaftar tetapi merupakan merek terkenal.
Pelanggaran merek (Trademark Infringement) adalah pemakaian secara tidak sah
suatu merek yang menyerupai merek dari pemilik yang sah, termasuk merek dagang,
merek jasa, merek kolektif dan sertifikat merek dengan menciptakan suatu persamaan
yang membingungkan bagi para konsumen.32 Sanksi atas pelanggaran tersebut adalah
berupa hukuman badan dan denda, serta pemusnahan barang bukti. Disamping itu
ganti rugi berdasarkan gugatan perdata.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang berarti
bahwa penelitian ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengn permasalahan yang dibahas dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder. Digunakannya pendekatan yuridis normatif, dengan pertimbangan masalah
yang diteliti berkisar pada keterkaitan suatu peraturan dengan peraturan lainnya dan
bagaimana aplikasinya dalam masyarakat.
1. Tipe atau Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu membuat perencanaan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta.33 Penelitian ini memberikan
gambaran situasi perlindungan impor-ekspor barang hasil pelanggaran HaKI di
Indonesia, kemudian dilakukan analisis terhadap permasalahan tersebut berdasarkan
32
Hasibuan, op.cit., hal. 22.
33
peraturan perundang-undangan yang berkaitan, TRIPs dan pendapat-pendapat para
ahli yang digunakan sebagai pisau analisis.
2. Sumber Data Penelitian
Data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research):34
1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan
Perundang-undangan, dan Yurisprudensi;
2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku teks, laporan penelitian, artikel ilmiah,
makalah, jurnal dan laporan penelitian;
3. Bahan hukum tersier, yaitu sebagai pedoman untuk mengkaji bahan primer
dan sekunder yang diperoleh dari kamus, bibliogragi, dan ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan
oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu
kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat
dilihatkan penggunaannya melalui angket, wawancara, pengamatan, ujian,
dokumen dan lainnya.35
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data
34
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Wali Press, 1990), hal. 14-15.
35
sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan
putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Analisis Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif
dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan
kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam
kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum
tersebut.36 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa
peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dan studi
wawancara dengan beberapa informan/narasumber di Kantor Bea dan Cukai di
Medan, dan data juga diperoleh dari dokumen-dokumen atau arsip-arsip dari
para narasumber di Kantor Bea dan Cukai di Medan tersebut serta hasil
wawancara diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif.
36
BAB II
IMPLEMENTASI AGREEMENT ON TRADE RELATED ASPECTS OF
INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS (THE TRIPS AGREEMENT) DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEPABEANAN
INDONESIA
A. Tinjauan tentang Perdagangan Internasional (GATT/WTO)
1. Pengertian Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional timbul akibat dari interpendensi atau
kesaling-tergantungan antara satu negara dengan negara lainnya. Namun bukan berarti suatu
negara yang berdaulat tergantung sepenuhnya pada negara berdaulat lainnya,
melainkan suatu situasi dan kondisi dimana semuanya saling membutuhkan, saling
memerlukan untuk mempertahankan keseimbangan politis dan ekonomis, dan tentu
pula dalam rangka pemenuhan kepentingan masing-masing negara.37 Satu negara
mungkin mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage), terhadap
negara lain atau bahkan keunggulan mutlak (absolute advantage)¸untuk itu
diperlukan hubungan hukum antar negara yang meliputi individu-individu,
perusahaan-perusahaan, dan atau pemerintah. Pendapat ini adalah salah satu alasan
yang menjelaskan mengapa penting perdagangan internasional.
Hubungan ini membutuhkan instrumen hukum yang bersifat supra nasional
yang dibuat oleh dua negara atau lebih dan masing-masing negara tidak saja menaati
37
aturan tersebut dengan sukarela, tetapi sekaligus memaksa dengan maksud untuk
menjamin persamaan hukum (equality) serta hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Carolyn Hotchkiss memberikan contoh:
“Suppose that an American buyer for a clothing store in Virginia goes to
Italy and purchases 100 men’s swits. He returns to United States, and Italian
seller ships the swits to Virginia one week later. Even if the transaction work
perfectly, both national and international law influence the business deal.
When the buyer travels, he will need a passport from the U.S. government. He
will have to pass the border checks for compliance with Italian and U.S.
customs regulations. The purchase of suits is a contractual obligation, which
may be governed by a treaty drafted by United nations, call the Convention
for the International Sale of Goods. In this instance, both Italy and U.S. have
rativied treaty. The shipment of good must clesr customs and is subject to
tariff. Here, the tariff status in the suits is the determined by U.S. law is
stuctureed within the frame work of another set of treaties and agreements
known as General Agreement on tariff and Trade (GATT).”38
Atas dasar pemikiran di atas dan keinginan yang dilatar belakangi bahwa salah
satu faktor pendorong pecahnya perang dunia II adalah faktor ekonomi, dimana
hubungan antar negara diwarnai dengan kebijaksanaan proteksionisme yang
berlebihan atas industri masing-masing negara, juga faktor politis maupun
institusional di negara-negara pendukung perdagangan internasional39 maka
negara-negara industri atau negara-negara-negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa berusaha
38
Carolyn Hotchkiss, International Law for Business, Internatioal ed., (Singapore: McGraw-Hill Co., 1994), hal.24-45, dalam Hikmahanto Juwana, Hukum Perdagangan Internasional, Kumpulan Bahan Kuliah Hukum Ekonomi, Pascasarjana FHUI, hal. 1.
39
menciptakan suatu otoritas internasional yang bertugas mengawasi perdagangan
internasional. The idea that tariff should be reduced through bilateral and
multilateral negotiations become part of Atlantic charter, the declaration issued by
President Roosevelt and British Prime Minister Winston Churchill in 1941 as a
rallying cry for nations opposing military and economic aggression of fascist
Germany, Italy, and Japan.40 Sebagai upaya mewujudkan keinginan tersebut, maka
Amerika Serikat memelopori diselenggarakannya konferensi internasional
multilateral yang diadakan di Bretton Woods, New Hamphsire, Amerika Serikat.
Konferensi ini berlangsung cukup lama dan berakhir di tahun 1947 dengan
menghasilkan perjanjian-perjanjian internasional pembentukan Internatioanl
Monetery Fund (IMF), International Labour Organization (ILO), dan General
Agreement on tariff and Trade (GATT). Terbentuknya GATT ini bukanlah menjadi
tujuan utama konferensi tersebut.41
Pada awalnya organisasi yang ingin dibentuk oleh negara-negara peserta
konferensi di Bretton Woods adalah International Trade Organization (ITO) yang
akan mengatur lalu lintas perdagangan internasional. Secara bersamaan disepakati
juga persetujuan internasional tentang negosiasi tarif impor serta larangan
penggunaan hambatan perdagangan non-tarif yang akan dinamai GATT.
Pembentukan ITO gagal karena kongres Amerika Serikat menolak mengesahkan
piagam yang dikenal dengan nama Havana Charter. Karena pembentukan ITO gagal
40
Ibid.,hal. 355.
41
dan kebutuhan akan adanya organisasi internasional di bidang perdagangan sangatlah
mendesak, maka disepakatilah untuk mengesahkan dan memberlakukan saja
GATT.
i bebrapa perubahan dan penambahan
ikut:
47;
;
Uruguay Round, tidak berfokus pada hambatan tarif (tarrif barrier) atau non-tarif saja,
42
Pada proses selanjutnya yang diiringi dengan perundingan-perundingan
dagang multilateral (Multilateral Trade Negotiations/ MTN) ketentuan-ketentuan
hukum dalam GATT tahun 1947 mengalam
melalui 8 putaran (Rounds), sebagai ber
a. Geneva, Switzerland,19
b. Annecy, France, 1948;
c. Torquay, England, 1950;
d. Geneva, Switzerland, 1956;
e. Dillon Round, Geneva, 1960-1961;
f. Kennedy Round, Geneva, 1964-1967
g. Tokyo Round, Geneva, 1973-1979;
h. Uruguay Round, Marrakesh, 1986-1994.
Putaran terakhir berhasil menyelesaikan seluruh agendanya dan ditutup di ibu
kota Maroko tanggal 15 April 1994 yang dikenal dengan nama Final Act 1994, salah
satu hasil perundingan itu adalah terbentuknya World Trade Organization sebagai
penerus GATT, sehingga keseluruhan dokumen hukum tersebut dinamakan juga
sebagai WTO Agreements. Disapmping itu juga putaran terakhir yang dikenal dengan
42
melainkan di perluas dengan memasukkan materi perundingan berupa
investasi, perdagangan jasa, hak milik intelektual, dan juga prosedur penyelesaian
sengketa dagang antar negara.
WTO dibentuk untuk menggantikan ide ITO yang gagal dibentuk tahun 1947.
Dengan terbentuknya WTO maka GATT menjadi tidak ada lagi, namun tidak berarti
semua kesepakatan atau persetujuan-persetujuan yang pernah dibuat dalam rangka
GATT dahulu mejadi tidak berlaku melainkan mengintegrasikian persetujuan GATT
berikut hasil-hasil putaran dagang sebelumnya ke dalam kewenangan organisatoris
WTO.43
Transaksi perdagangan internasional tidaklah semata-mata membutuhkan
ilmu ekonomi saja, tetapi juga menyangkut seperangkat instrumen hukum yang
berfungsi sebagai alat untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak serta
memperlancar arus ekspor-impor barang dan jasa antar negara sekaligus memberikan
perlindungan dan kepastian hukum atas transaksi tersebut. Oleh karena itu GATT
harus mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menjamin kepentingan para pihak atau
pelaku usaha antar negara maupun dalam negeri sendiri.
Prinsip-prinsipGATT menurut pendapat beberapa ahli adalah berbeda-beda,
namun substansinya adalah sama dan masih dalam konteks ruang lingkup Agreement
GATT, antara lain:
43
a. Prinsip National Treatment
Prinsip National Treatment eperti yang tercantum dalam pasal 3 TRIPs44,
melarang perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestic yang
berarti pada suatu barang impor telah masuk ke pasaran dalam negeri suatu
anggota, dan setelah melalui pabean serta membayar bea masuk, maka barang
impor tersebut harus diperlakukan tidak lebih buruk daripada hasil dalam
negeri45
Berkaitan dengan HaKI, mewajibkan setiap anggota untuk memberikan
perlindungan yang sama terhadap pemilik HaKI warga negara lain yang
menjadi anggota seperti perlindungan yang diberikan kepada warga negaranya
sendiri dengan memperhatikan beberapa pengecualian yang telah ada
berdasarkan Konvensi Paris (1967) tentang Perlindungan terhadap Kekayaan
Industrial. Konvensi Borne (1971) tentang Perlindungan terhadap Karya
Sastra dan Seni versi 24 Juli 1971, Konvensi Roma (1961) tentang
Perlindungan terhadap Pelaku Pertunjukan, Produser Rekaman Musik, dan
Organisai Siaran yang di sepakati pada tanggal 26 Oktober 1961, dan
44
Each member shall accord to the nationals of other Members treatment no less fafourable than that it accords to its own nationals with regard to the protection of intellectual property, subject to the exceptions already provided in, respectively, the Paris Convention (1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention (1971) and the Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circiuts. In respect of performers, producers of phonograms and broadcasting organizations,this obligation only applies and respect of the rights provided under this Agreement. Any member availing it self of the possibilities provided in Article 6 of the Berne Convention and paragraph 1 (b) of Article 16 of the Rome Convention shall make a notification as foressen in those provisions to the Council for Trade-Releated Aspect of of Intellectual Property Rights.
45
perjanjian tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual atas Rangkaian Elektronik
Terpadu yang disepakati di Washington 26 Mei 1989.
b. Prinsip Most Favored Nation (MFN) atau Nondiskriminasi
Prinsip utama yang menjadi dasar GATT adalah prinsip nondiskriminasi
yang dalam GATT dikenal sebagai Most Favored Nation (MFN) seperti yang
tercantum dalam pasal 4 TRIPs46. Menurut prinsip ini bahwa perdagangan
internasional antara anggota GATT harus dilakukan secara nondiskriminatif.47
Dikatakan lebih lanjut bahwa konsesi yang diberikan kepada satu negara mitra
dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Satu negara tidak boleh
diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk lagi.48
Berkaitan dengan HaKI, maka semua negara harus diperlakukan atas dasar
yang sama dan semua negara menikmati keuntungan, kemanfaatan atau
perlakuan istimewa yang diberikan Anggota tertentu kepada negara lain harus
seketika dan tanpa syarat diberikan pula kepada anggota lain.
46
With regard to the protection of intellectual property, any advantage, favour, privilege, or immunity granded by a Member to the nationals of any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the nationals of all other Members. Exempted from the obligation are any advantage, favour priviege or immunity accorded by a member:
(a) Deriving from international agreements on judicial assistance and law enforcement of
the general nature and not particulary confined to the protection of intellectual property;
(b) Granded any accordance with the provisions of the Berne Convention (1971 or the
Rome Convention authorizing that the treatment accorded be a function not of national treatment accorded in another country;
(c) In respect of the rights of performers, producers of phonograms and broadcasting
organizations not provided under this Agreement;
(d) Deriving from international agreements related to the protection of intellectual property which entered into force prior to the entry into force of the Agreement Establishing the MTQ, provided that such agreement are notified to the Council for Trade-Related Aspects of intellectual property Rights and do not constitute an arbitrary or unjustifiable discrimination against nationals of other Members.
47
Kartadjoemena, loc. Cit.
48
c. Prinsip Reprioritas
Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini
tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan
tariff yang didasarkan atas dasar timbal balik (resiprioritas) dan saling
menguntungkan kedua belah pihak.49
Meskipun uraian di atas adalah suatu prinsip, namun GATT memberikan
dispensasi atau pengecualian untuk suatu negara atas kondisi perekonomian
tertentu. Pengecualian tersebut dapat terjadi apabila memang secara objektif
kondisi atau situasi perekonomian benar-benar membutuhkan penyimpangan
dari prinsip-prinsip dasar tersebut. Pada prinsipnya terdpat lima kelompok
pengecualian atas kewajiban negara atas anggota WTO (GATT), yaitu:50
(1)Karena negara memiliki kesulitan neraca pembayaran, maka diizinkan
membatasi impor produk dengan menggunakan kuota (Pasal XII-XIV
GATT 1947).
(2)Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang
serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara
tersebut boleh mengenakan pembatasan impor untuk sementara
waktu. Pengecualian ini dikenal dengan istilah ‘escape clause’ yang
diatur olh Pasal XIX GATT 1974.
49
Huala Adof & A. Chandrawulan, Masalah-masalah hukum dalam Perdagangan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 18-19.
50
(3)Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan
nasional negara pengimpor, maka negara itu diizinkan untuk
membebaskan diri dari kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh
GATT. Dasar hukum pengecualian ini terdapat dalam Pasal XX dan
XXI GATT 1947 dan disebut dengan ‘general exeptions clauses’.
(4)Perlakuan MFN tak berlaku untuk hubungan ekonomi antara negara
anggota kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area) dan customs
union dengan negara yang bukan anggota.
(5)Seluruh negara anggota dapat bertindak secara bersama-sama atau
serentak untuk menghapuskan kewajiban apapun yang diperintahkan
oleh GATT sesuai mandat pasal XXV.
Terlihat bahwa GATT tidak rigid dalam memberlakukan semua ketentuan
kepada negara-negara anggotanya. Di samping pengecualian tersebut di atas ada lagi
pengecualian dalam hubungan dagang antara negara berkembang dan negara maju
melalui program Generalized System of Preferences (GSP).51 Artinya bahwa negara
maju boleh saja memberikan berbagai kemudahan atau fasilitas terhadap
barang-barang yang berasal dari negara tertentu tanpa ada keharusan untuk memberikan
kemudahan serupa terhadap produk serupa dari negara maju (menyimpang dari
prinsip MFN) dan negara berkembang tersebut tidak wajib memberikan kemudahan
serupa kepada negara pemberi kemudahan tersebut.52
51
Ibid.
52
2. The TRIPs Agreement dan Pengaruhnya Terhadap Perlindungan Hak
Atas Kekayaan Intelektual Oleh Institusi Kepabeanan
Salah satu lampiran dari persetujuan GATT adalah persetujuan tentang
Aspek-aspek Dagang HaKI (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights) disingkat TRIPs, yang merupakan standar Internasional yang harus
dipakai berkenaan dengan HaKI. Keterkaitan TRIPs yang erat dengan perdagangan
internasional, maka TRIPs memuat dan menekankan dalam derajat yang tinggi
mekanisme penegakan hukum yang dikaitkan dengan kemungkinan pembalasan
silang atau cross-retaliation.53 Apabila satu negara tidak melindungi secara efektif
HaKI milik warga negara yang lain, baik dalam pengaturan maupun penegakan
hukumnya, akan memberi hak kepada negara yang merasa dirugikan untuk
mengambil tindakan balasan dengan menghambat impor komoditi apapun dari negara
yang di tuduh, peniadaan GSP, pengenaan tarif yang lebih tinggi, dan lain-lain.
Dalam tahun-tahun belakangan ini, isu mengenai perlindungan HaKI telah
disatukan dengan perdagangan HaKI. Bahkan untuk beberapa negara hal tersebut
telah mengubah HaKI menjadi konfrontasi perdagangan. Persetujuan TRIPs ini lahir
karena adanya keinginan untuk mengurangi distorsi dan rintangan-rintangan dalam
perdagangan internasional,
dan pentingnya memajukan perlindungan secara efektif dan memadai terhadap HaKI,
serta untuk menjamin bahwa langkah-langkah dan prosedur untuk melaksanakan
53
perlindungan terhadap HaKI tidak mengalami hambatan bagi perdagangan yang
sah.54
Amerika Serikat sebagai negara maju menghendaki negara-negara
berkembang untuk mengefektifkan pengaturan tentang HaKI, dan menjadikan kondisi
demikian sebagai konsesi timbal balik dalam pembuatan perjanjian ekonomi.55
Di bidang TRIPs, Indonesia, seperti juga negara berkembang lainnya,
Tentunya bukanlah hal yang mudah untuk mengefektifkan pengaturan tentang HaKI
karena banyak faktor yang mempengaruhi Indonesia dalam memberikan
perlindungan terhadap HaKI sebagaimana dikehendaki oleh negara maju sebagai
imbalan kesediaan negara maju memberikan akses ke pasar mereka.56
Diterimanya the TRIPs Agreement telah menjadikan peranan institusi
kepabeanan dalam perlindungan HaKI sebagai suatu keharusan. Ketentuan yang
diatur dalam Part III TRIPs: ‘Enforcement of Intellectual Property Rights’, mencakup
‘Special Requirement Related to Border Measures’ (ketentuan yang mengatur
mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan aparat kepabeanan dalam pengawasan
terhadap impor-ekspor barang yang melanggar HaKI) dalam section 4, diantaranya
memuat mengenai ‘Suspension of Release by Customs Authorities’ (penangguhan
pengeluaran barang dari kawasan pabean), yang merupakan ketentuan standar yang
harus diformulasikan dan diatur dalam ketentuan nasional masing-masing negara
54
Ibid., hal. 3.
55
Ibid., hal. 4.
56
penandatanganan WTO Agreements / TRIPs. Dengan adanyaketentuan tersebut, maka
di tiap-tiap negara, institusi kepabeanan harus ikut telibat dalam pelaksanaan
perlindungan HaKI.
Perlindungan HaKI merupakan unsur terpenting bagi perkembangan teknologi
baru dan perdagangan internasional. Keyakinan dan dorongan bagi para penemu/
peneliti untuk melakukan inovasi dan penemuan-penemuan, hanya akan terjadi
apabila ada jaminan perlindungan HaKI yang baik.
Di tingkat internasional, Paris Convention dan Berne Convention sebelumnya
telah mengatur mengenai standar perlindungan minimum yang harus diberikan
terhadap HaKI. Selanjutnya, TRIPs yang diterima sebagai bagian dari Persetujuan
Pembentukan WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization) pada
akhir Putaran Uruguay di Marakesh tahun 1994, memperluas scope perlindungan
tersebut, dengan menetapkan standar perlindungan, aturan-aturan mengenai
penegakan hukumnya (enforcement), dan aturan-aturan mengenai penyelesaian
perselisihan (antar negara anggota WTO). Sejumlah kewajiban yang diatur dalam
TRIPs menghendaki agar negara-negara mengatur dalam perundang-undangan
nasional masing-masing prosedur dan tindakan-tindakan yang diperlukan sehingga
penegakan hukum dapat terlaksana secara efektif. TRIPs diakui sebagai suatu
dokumen yang sangat berpengaruh dalam terjadinya reformasi peraturan
perundang-undangan di bidang HaKI bagi negara-negara anggota WTO.
Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember
Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan
semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi
nasional. Menjadi anggota WTO berarti terikat dengan adanya hak dan kewajiban.
Disamping itu pula , WTO bukan hanya menciptakan peluang (opportunity), tetapi
juga ancaman (threat).
Dengan berlakunya TRIPs, negara-negara anggota WTO, termasuk sejumlah
negara industri maju, harus melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian
undang-undang nasional masing-masing di bidang HaKI. Demikian juga di Indonesia,
pada Tahun 1997 beberapa perundangan di bidang HaKI mengalami perubahan agar
sesuai dengan ketentuan standar yang diatur dalam TRIPs. Undang-undang Nomor 17
Tahun 2006 tentang Kepabeanan sebagai perubahan atas UU No.10 tahun 1995 yang
lahir pada masa itu, juga mengintrodusir dan mengakomodasikan ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam WTO Agreement, termasuk pengaturan mengenai prosedur
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam pengendalian impor atau ekspor barang
hasil pelanggaran HaKI, dalam pasal 54 sampai dengan pasal 64.
Part III Persetujuan TRIPs, mengatur mengenai penegakan hukum di Bidang
HaKI (Enforcement of IPR), dimana didalamnya diatur mengenai standar prosedur
berkaitan dengan impor dan ekspor barang yang diduga melanggar HaKI (Part III
Section 4: Special Requirement Related to Border Measures). Part III Section 4 ini
mengatur mengenai prosedur penangguhan pengeluaran barang oleh kepabeanan.
Sesuai dengan kewajiban ‘compliance’ dengan TRIPs, maka ketentuan standar