• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Dikaitkan Dengan Kepabeanan Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Dikaitkan Dengan Kepabeanan Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PERLINDUNGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

DIKAITKAN DENGAN KEPABEANAN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2006 TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN

1995 TENTANG KEPABEANAN

Oleh :

ERWINSYAH DIMYATI LUBIS

087005068/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

(Meja Hijau)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

DIKAITKAN DENGAN KEPABEANAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN

1995 TENTANG KEPABEANAN

N a m a : ERWINSYAH DIMYATI LUBIS

N I M : 087005068

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H. K e t u a

Prof. Dr.Suhaidi, S.H., M.H. Prof.Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum USU

(3)

ABSTRAK

Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)

Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai ketentuan border measure control / border enforcement yang termuat dalam Article 51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Bab X): ”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas Barang yang terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran HaKI yang melintasi daerah pabean (Border Cross Control).

Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia (tepatnya dalam Pasal 54 Sampai dengan 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan) dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia, karena disebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara atau menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia.

Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia adalah belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan sehingga menjadi hambatan terhadap pelaksanaan prosedur penangguhan pengeluaran barang yang melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dan menimbulkan terjadinya kejahatan Hak atas Kekayaan Intelektual yang tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dipenaguruhi oleh latar belakang masyarakat, misalnya latar belakang pendidikan, keadaan ekonomi, budaya, tingkat pengangguran yang tinggi dan sebagainya di dalam masyarakat

(4)

ABSTRACT

The Protection of IPR is a commitment that must be met as a consequence of

Indonesia became a member of the World Trade Organization (WTO) signed an agreement with Marrakech, Morocco in 1994 which was ratified through Law No. 7 of 1994 on Establishing the World Trade Organization within which also includes an agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) In his position as superintendent freight traffic officers both in and out of the territory of Indonesia, Directorate General of Customs and Excise (DGCE) are required to control the import-export of goods infringing intellectual property rights in Indonesia as a continuation of the ratification of the above rules concerning border measure control / border enforcement contained in Article 51 to Article 60 the TRIPs Agreement, precisely implemented in Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 concerning Amendment to Law Number 10 Year 1995 regarding Customs Affairs (Chapter X): "Prohibition and Restriction of Import or Export, Import or Export Suspension Violation of Intellectual Property Rights, and the taking of action on items related to terrorism and / or Transnational Crime". In the function DGCE expected to act effectively deter violations of IPR across the customs area (Cross Border Control).

The Implementation of the TRIPs Agreement in the legislation on customs in

Indonesia (precisely in Article 54 Up to 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs) may contribute to the protection of Intellectual Property Rights in Indonesia, because it is mentioned that the officials of Customs and Excise given the authority to suspend temporarily or terminate the import-export goods suspected of infringement of Trademark and Copyright protected in Indonesia, which means the Directorate General of Customs and Excise participate and help avoid the entry of counterfeit goods to Indonesia.

The obstacle faced by the Directorate General of Customs and Excise in

applying the legal protection of Intellectual Property Rights in Indonesia is the absence of government regulation clearly and in detail on the implementation of Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs so that it becomes barriers to implementation of the suspension procedures expenditures that violate the Intellectual Property Rights by the Directorate General of Customs and Excise, and there are factors that influence and cause the occurrence of crime on Intellectual Property Rights are not independent of environmental conditions dipenaguruhi by the background of society, such as background educational background, economic circumstances, culture, high unemployment and so on.

(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah Subhanahu

wata’ala atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat

diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar

Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Sekolah

Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis ini adalah: “Perlindungan Hak atas Kekayaan

Intelektual dikaitkan dengan Kepabeanan Berdasarkan Undang-undang

No. 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 10 tahun

1995 tentang Kepabeanan”

Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik

berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya

kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH,

Prof. Dr. Sunarmi, SH,M.Hum. dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM. Dimana

di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan

bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan

penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :

1. Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU

atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, sebagai Ketua Program studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU sekaligus sebagai Ketua Komisi

Pembimbing.

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH. sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh

(6)

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh

perhatian memberikan arahan, bimbingan serta dorongan dalam penulisan

Tesis ini.

5. Kedua Orang Tua tercinta, Ayahanda Ridwan Alam Lubis, Ibunda Ratna Sari

Damanik yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi

pekerti yang luhur serta iman kepada Allah Swt serta kepada kedua mertuaku.

6. Kepada Istriku tercinta Novita Caturningtyas Susilowati, SH, anakku M.

Rezky Aulia Rahman Lubis, dan M.Aditya Nugraha Lubis, Saudara-saudara

ku, Kakak dan Adik yang Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya

serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan

penulisan Tesis ini.

7. Kepada Rekan-rekan di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

USU, dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah Swt membalas jasa, amal dan budi baik tersebut.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan

menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini, penulisan

Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima

kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan

penulisan Tesis ini.

Medan, Februari 2011

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 10

G. Metode Penelitian ... 18

BAB II : IMPLEMENTASI AGREEMENT ON TRADE RELATED ASPECTS OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS (THE TRIPS AGREEMENT) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEPABEANAN INDONESIA A. Tinjauan Tentang Perdagangan Internasional (GATT/WTO)... 21

B. Ketentuan Dan Prosedur Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan...35

(8)

INTELEKTUAL

A. Hukum Kepabeanan Di Indonesia... 59

B. Peranan Kepabeanan Dalam Perlindungan Hak Atas Kekayaan

Intelektual...68

BAB IV : KENDALA JURIDIS YANG DIHADAPI OLEH DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DALAM MENERAPKAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA DAN UPAYA UNTUK MENGATASINYA

A. Lingkup Tugas Dan Kewenangan Direktorat Jenderal Bea Dan

Cukai... 79

B. Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Oleh Direktorat Jenderal

Bea dan Cukai... 93

C. Kendala Juridis yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

dalam menerapkan Perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan

Intelektual di Indonesia dan upaya untuk mengatasinya... 98

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………. 100

B. Saran………. 101

(9)

ABSTRAK

Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)

Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai ketentuan border measure control / border enforcement yang termuat dalam Article 51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Bab X): ”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas Barang yang terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran HaKI yang melintasi daerah pabean (Border Cross Control).

Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia (tepatnya dalam Pasal 54 Sampai dengan 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan) dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia, karena disebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara atau menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia.

Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia adalah belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan sehingga menjadi hambatan terhadap pelaksanaan prosedur penangguhan pengeluaran barang yang melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dan menimbulkan terjadinya kejahatan Hak atas Kekayaan Intelektual yang tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dipenaguruhi oleh latar belakang masyarakat, misalnya latar belakang pendidikan, keadaan ekonomi, budaya, tingkat pengangguran yang tinggi dan sebagainya di dalam masyarakat

(10)

ABSTRACT

The Protection of IPR is a commitment that must be met as a consequence of

Indonesia became a member of the World Trade Organization (WTO) signed an agreement with Marrakech, Morocco in 1994 which was ratified through Law No. 7 of 1994 on Establishing the World Trade Organization within which also includes an agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) In his position as superintendent freight traffic officers both in and out of the territory of Indonesia, Directorate General of Customs and Excise (DGCE) are required to control the import-export of goods infringing intellectual property rights in Indonesia as a continuation of the ratification of the above rules concerning border measure control / border enforcement contained in Article 51 to Article 60 the TRIPs Agreement, precisely implemented in Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 concerning Amendment to Law Number 10 Year 1995 regarding Customs Affairs (Chapter X): "Prohibition and Restriction of Import or Export, Import or Export Suspension Violation of Intellectual Property Rights, and the taking of action on items related to terrorism and / or Transnational Crime". In the function DGCE expected to act effectively deter violations of IPR across the customs area (Cross Border Control).

The Implementation of the TRIPs Agreement in the legislation on customs in

Indonesia (precisely in Article 54 Up to 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs) may contribute to the protection of Intellectual Property Rights in Indonesia, because it is mentioned that the officials of Customs and Excise given the authority to suspend temporarily or terminate the import-export goods suspected of infringement of Trademark and Copyright protected in Indonesia, which means the Directorate General of Customs and Excise participate and help avoid the entry of counterfeit goods to Indonesia.

The obstacle faced by the Directorate General of Customs and Excise in

applying the legal protection of Intellectual Property Rights in Indonesia is the absence of government regulation clearly and in detail on the implementation of Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs so that it becomes barriers to implementation of the suspension procedures expenditures that violate the Intellectual Property Rights by the Directorate General of Customs and Excise, and there are factors that influence and cause the occurrence of crime on Intellectual Property Rights are not independent of environmental conditions dipenaguruhi by the background of society, such as background educational background, economic circumstances, culture, high unemployment and so on.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)1 adalah hak khusus (exclusive right)

baik yang bersifat sosial maupun ekonomi yang diberikan kepada seseorang atau

badan hukum berupa pengakuan dan penghargaan atas penemuan atau penciptaan

karya intelektual mereka.2 Pemilik hak mendapatkan hak khusus untuk

mengeksploitasi karya atau temuan tersebut, dan orang lain dilarang untuk

memanfaatkannya tanpa izin.3

HaKI (intellectual property rights), yang berkaitan dengan hak kepemilikan

atas karya-karya intelektual, pada dasarnya adalah hak-hak yang tidak berwujud

(intangible rights).4 Dalam sistem hukum, HaKI merupakan bagian dari hak

kekayaan atau hak kepemilikan (property) yang memiliki nilai ekonomi atau

1

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM RI, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual 2003, (Jakarta: 2003), hal. 3. Hak atas Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Right (IPR) yakni hak yang timbul bagi hasil olah piker otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. HKI secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) bagian: 1) Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup: Paten (Patent); Desain Industri (Industrial Design); Merek (Trademark); Penanggulangan Praktik Persaingan Curang (Repression of Unfair Competition); Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit); dan Rahasia Dagang (Trade Secret). 2) Hak Cipta (Copyright) yang mencakup pula Related Rights atau yang juga disebut Neighboring Rights.

2

Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Cet. 1, (Jakarta: Chandra Pratama, 1999), hal. 27.

3

Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-Obatan, Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 19.

4

(12)

“economic rights”, karena adanya hak eksklusif untuk mengeksploitasi tersebut.5

Sebagai asset yang bernilai ekonomi, maka HaKI memberikan keuntungan ekonomis

bagi pemilik hak atau pemegang hak (right owner/right holder). Namun sebagaimana

hak milik atau kekayaan lainnya, maka hak tersebut juga rawan terhadap pencurian

serta penggunaan oleh orang lain secara tidak sah, sehingga menimbulkan dampak

kerugian ekonomis (di samping kerugian moral) yang luas, baik ada pemilik hak

maupun bagi perekonomian nasional.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, upaya-upaya untuk melaksanakan

perlindungan HaKI yang memadai (adequate intellectual property right protection)

dirasakan semakin meningkat, baik di kalangan industri, masyarakat luas, maupun

pemerintah. Hal ini terjadi, seiring dengan semakin berkembangnya peranan HaKI

dalam beberapa bidang kegiatan ekonomi, dan semakin meningkatnya pelanggaran

HaKI. Peningkatan perlindungan HaKI dianggap sebagai suatu hal yang sangat

penting dalam kerangka perdagangan internasional. Pentingnya peningkatan

perlindungan HaKI ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:6

1. Peranan dari produk-produk yang berbasiskan HaKI dalam perdagangan

(terutama dalam perdagangan internasional) meningkat secara tajam;

2. Kemajuan komunikasi dan hubungan internasional telah menciptakan suatu

Pasar Global;

5

Lihat Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 43. Harold F. Lusk memberikan batasan tentang hak milik atau ownership sebagai, “the exclusive right to possess, enjoy and dispose or rights having economic value”. Bahwa hak milik merupakan hak eksklusif untuk menguasai, menikmati dan mengatur suatu objek atau hak-hak yang memiliki nilai ekonomi.

6

(13)

3. Berkembangnya teknologi yang relatif murah dan tidak terlalu yang relatif murah dan tidak terlalu rumit, untuk melakukan reproduksi jenis-jenis barang tertentu;

4. Meningkatnya penelitian dan pengembangan dalam menciptakan

produk-produk baru;

5. Beberapa aspek teknologi yang baru belum dapat masuk secara tepat dalam

salah satu jenis perlindungan HaKI.

Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus

dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization

(WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang

telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing

World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related

Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).7

Persetujuan TRIPs ini memuat norma-norma dan standar perlindungan HaKI

secara ketat yang bertujuan untuk:8

1. Meningkatkan perlindungan terhadap HaKI dari produk-produk yang

diperdagangkan;

2. Menjamin prosedur pelaksanaan HaKI yang tidak menghambat kegiatan

perdagangan;

3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan

terhadap HaKI;

4. Mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme kerjasama

internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas HaKI.

7

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 November 1994 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564. Lihat ketentuan pasal 65 TRIPs Agreement (1994). Ditandatangani pada tanggal 15 April 1994, dan berlaku Januari 1995. Lihat Pasal 11 ayat (2) Persetujuan WTO, persetujuan TRIPs mengikat seluruh anggota Persetujuan WTO.

8

(14)

Sebelum berlakunya perjanjian TRIPs, institusi kepabeanan (customs) di

berbagai negara umumnya tidak banyak terlibat dalam perlindungan HaKI. Dengan

meningkatnya perdagangan internasional dan semakin meluasnya pelanggaran HaKI

yang melintasi batas-batas negara, maka disadari pentingnya peran yang dapat

dilakukan oleh pihak pabean dalam melaksanakan perlindungan HaKI. Oleh karena

itu, dalam TRIPs diatur secara khusus ketentuan tentang ”border measure control /

border enforcement” yaitu pengawasan oleh pihak pabean (Customs Administration)

terhadap barang hasil pelanggaran HaKI. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka di

tiap negara, aparat border cross control dalam hal ini institusi kepabeanan (di

Indonesia adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai), harus ikut terlibat dalam

pelaksanaan perlindungan HaKI.9

Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk

maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

(DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di

bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai

ketentuan border measure control / border enforcement yang termuat dalam Article

51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal

54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan

9

(15)

atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan10 (Bab X):

”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor

Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas

Barang yang terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam

fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran

HaKI yang melintasi daerah pabean (Border Cross Control).

DJBC melaksanakan fungsi pengendalian tersebut dengan cara

menangguhkan pengeluaran barang impor/ekspor dari kawasan pabean untuk

memberikan kesempatan kepada yang berhak atas HaKI untuk mengambil tindakan

hukum. Penangguhan pengeluaran barang dilakukan dengan dua cara: Pertama,

penangguhan pengeluaran barang impor (atau ekspor) berdasarkan perintah tertulis

Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan pemilik / pemegang HaKI dengan

mengajukan bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI disertai

penempatan jaminan untuk dipertaruhkan (passive action procedure).11 Kedua,

penangguhan pengeluaran barang impor (atau ekspor) karena jabatan (secara ex

10

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612, berlaku tanggal 1 April 1996. Dengan berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi: 1) Indische Tarief Wet Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah; 2) Rechten Ordonnantie Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah; 3) Tarief Ordonnantie Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan ditambah. Dan sekarang telah diubah menjadi UU No. 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10 tahun1995 tentang Kepabeanan.

11

(16)

officio) berdasarkan bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI (active

action procedure).12

Masalahnya adalah, karena dengan belum adanya Peraturan Pemerintah

sebagai pendukung pelaksanaan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud, dapat

menimbulkan masalah dilematis terutama bagi pihak DJBC dan Ketua Pengadilan

Negeri atau Pengadilan Niaga dalam memutus perkara impor-ekspor barang hasil

pelanggaran HaKI tersebut.

Upaya penegakan hukum dan perlindungan terhadap HaKI ini perlu untuk

mendapatkan perhatian yang serius, karena pelanggaran HaKI, pembajakan dan

pemalsuan akan mengakibatkan berbagai macam kerugian, diantaranya:13

1. Kerugian Konsumen

Konsumen harus membayar mahal untuk barang palsu, berkualitas rendah,

mudah rusak dan mengakibatkan kerusakan materi serta bahaya terhadap

kesehatan dan keselamatan jiwa;

2. Kerugian Masyarakat Usaha, Pemegang Hak, Pencipta dan Penemu

Pelanggaran HaKI mengakibatkan turunnya nilai penjualan, kerugian

financial, kerugian moral, rusaknya reputasi, dan hilangnya insentif untuk

melakukan inovasi, terganggunya pengembangan teknologi;

3. Kerugian Pemerintah, Negara dan Perekonomian

12

Lihat Republik Indonesia, UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 62.

13

(17)

Kerugian lain ialah terganggunya perekonomian nasional, hilangnya

pendapatan pajak, hilangnya kepercayaan internasional, terhambatnya

akses pasar untuk komoditi ekspor, keengganan investor asing untuk

investasi, ancaman terhadap perdagangan internasional.

Atas dasar pemikiran diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji tulisan

dalam bentuk tesis dengan judul: ”Perlindungan HaKI dikaitkan dengan Kepabeanan

berdasarkan UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU nomor 10 Tahun

1995 tentang Kepabeanan”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka

penulis merumuskan masalah yang diteliti adalah:

1. Bagaimana Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan

perundang-undangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi

terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia?

2. Bagaimana Peran kepabeanan (customs) dalam rangka perlindungan terhadap

Hak atas Kekayaan Intelektual?

3. Apa-apa saja Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan

(18)

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian

ini bertujuan:

1.Untuk menganalisis implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan

perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia apakah dapat

memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual

di Indonesia

2. Untuk menganalisis peran kepabeanan (customs) dalam

rangka perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual.

3. Untuk menganalisis hambatan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan

Intelektual di Indonesia dan bagaimana mengatasinya.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran bagi perkembangan hukum dan pembuatan peraturan kepabeanan yang

berkaitan dengan perlindungan HaKI, serta dapat melengkapi hasil penelitian yang

telah dilakukan oleh pihak lain dalam bidang yang sama yaitu penelitian tentang

(19)

2. Secara Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan

manfaat bagi: Pemerintah (khususnya pihak DJBC), para importir, eksportir, serta

pelaku bisnis atau praktisi di bidang HaKI dan masyarakat luas sebagai konsumen

produk HaKI.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di

perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang

“Perlindungan HaKI Dikaitkan dengan Kepabeanan berdasarkan UU No. 17 Tahun

2006 tentang Perubahan atas UU nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan” belum

pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun

ada beberapa topik penelitian tentang Perlindungan HaKI tapi jelas berbeda. Jadi

penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur,

rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan

serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan

(20)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Teori hukum alam atau adakalanya disebut juga sebagai hukum moral

biasanya digunakan sebagai landasan moral atau tuntutan untuk melindungi kekayaan

intelektual.14 Gagasan dasarnya adalah bahwa kekayaan intelektual merupakan milik

sang kreator. Oleh karena itu pengambilan dengan tidak memberikan kompensasi

bagi pemiliknya adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena melanggar

ajaran moral yang baik karena dalam ajaran moral biasanya diwujudkan dengan

doktrin: jangan mencuri atau jangan mengambil apa yang bukan milikmu.15

Disamping itu, karena pencipta telah memperkaya masyarakat melalui

ciptaannya, pencipta memiliki hak untuk mendapatkan imbalan yang sepadan dengan

nilai sumbangannya. Jadi hak cipta, memberi hak milik eksklusif atas suatu karya

pencipta. Hal ini berarti mempertahankan hukum alam dari individu untuk

mengawasi karya-karyanya dan mendapat kompensasi yang adil atas sumbangannya

kepada masyarakat.16 Individu yang menciptakan sebuah musik atau karya seni harus

memiliki hak untuk mengawasi penggunaannya dan mendapat kompensasi atas

penjualannya, tidak lebih dari seorang petani yang mendapat keuntungan dari

tanamannya.17

14

Lihat Agus Sardjono, loc.cit.

15

Ibid. Glenn P. Butterton menggunakan kalimat: “you should not take the property of another without permission”. Kalimat tersebut dikemukakan oleh Butterton dalam mengawali pembicaraan mengenai norma hubungan antara norma sosial dengan HaKI.

16

Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta Musik Atau Lagu, Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 19.

17

(21)

John Locke, seorang filsuf Inggris terkemuka abad ke-18, di mulai dengan

asumsi bahwa ”every Man has a Property in his own Person”, mengantarnya kepada

suatu pemikiran, bahwa kerja individu juga menjadi milik individu itu sendiri.18

Dengan alasan apa orang memperoleh hak milik melalui kerja? Jawabannya terletak

pada tujuan dari Tuhan. Tuhan memerintahkan orang-orang untuk bekerja agar

mereka dapat menikmati kesenangan hidup: menikmati makanan, papan, sandang dan

cara hidup yang nyaman. Locke tidak berasumsi bahwa semua orang tertarik akan

kerja; kerja hanya ditujukan bagi mereka ”yang rajin dan yang rasional saja”, yang

diberikan Tuhan kepada mereka.19 Locke mengusulkan bahwa hak milik merupakan

imbalan yang adil untuk orang-orang yang rajin. Argumentasi ini menjadi titik awal

dari justifikasi utilitarian.20

Untuk kebanyakan orang teori hukum alam hanya semata-mata sebagai titik

awal dan merupakan justifikasi terbatas untuk HaKI. Sebagai alternatif bagi proposisi

terhadap hukum alam orang harus bergantung pada justifikasi utilitarian dalam hal

perlindungan hak-hak kekayaan tidak berwujud.21 Dalam teori pembangunan

ekonomi, teori utilitarian dikembangkan menjadi reward theory. Teori yang berakhir

ini mendalilkan bahwa apabila individu-individu yang kreatif diberi insentif berupa

hak eksklusif, maka hal ini akan merangsang individu-individu lainnya untuk

18

(22)

berkreasi.22 Sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan

sosial yang akan semakin meningkat pula.

Selain teori-teori mengenai hak kekayaan intelektual yang telah disebutkan

diatas, yaitu teori hukum alam dan teori utilitarian, maka ada empat teori lainnya

yang juga mempengaruhi perkembangan hukum HaKI:23

1. The exchange-for-secrecy rationale, menyebutkan bahwa tanpa hak yang sah

(legal right) yang dapat mencegah pihak lain melakukan peniruan terhadap

penemuan atau ciptaannya, maka pencipta akan tergoda untuk berupaya

merahasiakan ciptaannya. Jika hal ini dilakukannya, maka akan ada

pihak-pihak tertentu secara diam-diam berupaya untuk meniru atau menjiplaknya,

dan kemudian memperbanyak penemuan dan ciptaan tersebut. Di samping itu,

tak satu orang pun yang dapat menggunakan idenya untuk mendorong batas

pengetahuan lebih lanjut. Meskipun hak eksklusif telah mengorbankan banyak

biaya, tetapi biaya yang besar itu dengan sendirinya akan terkompensasi

dengan terungkapnya inovasi atau ciptaan tersebut.

2. The quality-control principle,menurut prinsip ini, hak eksklusif dianggap

sebagai metode untuk melindungi inovasi dan ciptaan begitu diedarkan.

Dengan memberikan kekuasaan kepada pemegang hak untuk mengontrol

penggunaan inovasi atau ciptaan tersebut, hak eksklusif memungkinkan

22

Agus Sardjono. op.cit., hal. 26. Lihat juga Atmadja, ibid., hal. 24. David Bainbrige mengatakan bahwa seseorang yang mencurahkan waktu dan usaha untuk mencipta suatu karya harus diberikan kesempatan untuk mendapat imbalan secara ekonomis, dengan demikian akan mendorong orang-orang itu menjadi kreatif. Bagi seorang pencipta, keahlian mencipta bukan saja merupakan kelebihan atau anugerah dari Tuhan, melainkan keahlian itu menjadi sumber penghidupannya.

23

(23)

pemegang hak mempertahankan integritas. Pemegang hak dapat, misalnya

menggunakan haknya untuk pihak-pihak lain melakukan penyimpangan atau

perusakan terhadap karyanya, yang menurunkan kredibilitas dan kualitas

karya tersebut.

3. The prospecting theory, memiliki beberapa elemen untuk mempromosi

kualitas. Teori ini menganjurkan satu nilai dalam sistem hak eksklusif adalah

yang berpusat pada penelitian. seperti seorang penambang yang mempunyai

klaim atas tambangnya; hak eksklusif yang dimiliki pemegang hak memiliki

insentif untuk sepenuhnya mengembangkan ide-idenya. Dan karena ada

pihak lain ingin mendapatkan karya tersebut, ia harus mendapat otoritasi

terlebih dahulu. Pemegang hak memperoleh pengetahuan yang komprehensif

tentang bagaimana karya itu dikembangkan, dan sekaligus membantu

memelihara “pasar yang teratur” dalam pertumbuhan lebih lanjut.

4. The profit-incentive theory, telah memberi pengaruh yang sangat dominan

terhadap pembentukan hukum hak kekayaan intelektual, terutama di Amerika

Serikat, karena telah mengambil pendekatan utilitarian. Teori ini ingin

membuktikan bahwa eksklusivitas diperlukan untuk melindungi para

innovator dan pencipta dari serangan penjiplak atau peniru. Perlindungan ini

perlu diberikan, karena biaya peniruan atau penjiplakan jauh lebih rendah

dibandingkan dengan biaya, waktu dan tenaga yang telah dikorbankan untuk

mencipta. Demikian juga dengan para penjiplak atau pembonceng gelap

(24)

produk-produk tersebut, dan mencegah pencipta atau innovator mendapatkan kembali

biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka menghasilkan penemuan dan

penciptaan tersebut. Karena kebanyakan inventor atau pencipta tidak dapat

memberikan pelayanan (servis) mereka kepada masyarakat, sehingga inovasi

dan penciptaan tidak dapat mencapai hasil yang optimal tanpa adanya

eksklusivitas tersebut. Tentu saja, pemerintah dapat memberikan solusi

terhadap masalah pemboncengan gelap (freerider) itu dengan cara mensubsidi

usaha-usaha inovatif tersebut, namun, karya-karya eksklusif biasanya lebih

unggul, karena mekanisme pasar memberikan imbalan, banyak atau sedikit,

yang memberi manfaat kepada masyarakat melalui penemuan tersebut.

Dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia juga ditekankan

bahwa setiap individu berhak untuk turut serta dengan bebas dalam kehidupan

kebudayaan masyarakat serta menikmati kesenian dan kemajuan ilmu pengetahuan

dan sekaligus mendapatkan manfaatnya. Seiring dengan hak tersebut diatas, tercermin

adanya suatu pengakuan universal atas hak dari setiap individu terutama terhadap

kepentingan-kepentingannya yang perlu diberi perlindungan baik yang bersifat moral

maupun yang bersifat materi yang diperoleh dari ilmu pengetahuan dan seni, dimana

ia menjadi penciptanya.24

24

(25)

2. Konsepsional

Untuk memudahkan dalam memahami tulisan ini maka dibuatlah definisi

operasional, sebagai berikut:

Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta

untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis

setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut

perundang-undangan yang berlaku.25

Untuk kepastian hukum, hak cipta dianggap lahir atau timbul sejak suatu

karya cipta diumumkan, yaitu tersedia untuk dinikmati oleh umum. Pada prinsipnya

Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa di

pengadilan mengenai Ciptaan yang terdaftar serta apabila pihak-pihak yang

berkepentingan dapat membuktikan kebenarannya, hakim dapat menentukan Pencipta

yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.26

Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak

yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut

dari pihak yang menerima hak tersebut,27 antara lain berdasarkan pewarisan, hibah,

wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan

25

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Pasal 2 ayat (1).

26

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Penjelasan Pasal 5 ayat (2)

27

(26)

perundang-undangan.28 Hak khusus tersebut meliputi hak-hak untuk mengumumkan

atau memperbanyak, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi,

mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan,

mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada public, menyiarkan, merekam

dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.29

Maka pelanggaran hak cipta muncul manakala terjadi penggunaan hak khusus

tersebut oleh pihak yang tidak memiliki hak. Sanksi atas pelanggaran tersebut berupa

hukuman badan dan/atau denda serta pemusnahan barang bukti, disamping ganti rugi

berdasarkan gugatan perdata. Ciptaan yang dilindungi di Indonesia sebagaimana

diuraikan dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup:

1. buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis

yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

2. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

3. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

4. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

5. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pentonim;

28

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Pasal 3 ayat (2).

29

(27)

6. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni

kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

7. arsitektur;

8. peta;

9. seni batik;

10. fotografi;

11. sinematografi;

12. terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai. Database, dan karya seni

dari hasil pengalihwujudan.

Sementara itu yang dimaksudkan dengan Merek adalah tanda yang berupa

gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka susunan warna, atau kombinasi dari

unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan

perdagangan barang atau jasa.30

Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemilik

merek yang didaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dan

menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau

beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.31

Berbeda dengan hak cipta, hak atas merek lahir/timbul karena diberikan oleh Negara

dan berdasarkan pendaftaran. Hak atas merek yang dilindungi di Indonesia adalah

30

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, Pasal 1 ayat (1).

31

(28)

yang terdaftar dan/atau yang belum terdaftar tetapi merupakan merek terkenal.

Pelanggaran merek (Trademark Infringement) adalah pemakaian secara tidak sah

suatu merek yang menyerupai merek dari pemilik yang sah, termasuk merek dagang,

merek jasa, merek kolektif dan sertifikat merek dengan menciptakan suatu persamaan

yang membingungkan bagi para konsumen.32 Sanksi atas pelanggaran tersebut adalah

berupa hukuman badan dan denda, serta pemusnahan barang bukti. Disamping itu

ganti rugi berdasarkan gugatan perdata.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang berarti

bahwa penelitian ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengn permasalahan yang dibahas dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder. Digunakannya pendekatan yuridis normatif, dengan pertimbangan masalah

yang diteliti berkisar pada keterkaitan suatu peraturan dengan peraturan lainnya dan

bagaimana aplikasinya dalam masyarakat.

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu membuat perencanaan secara

sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta.33 Penelitian ini memberikan

gambaran situasi perlindungan impor-ekspor barang hasil pelanggaran HaKI di

Indonesia, kemudian dilakukan analisis terhadap permasalahan tersebut berdasarkan

32

Hasibuan, op.cit., hal. 22.

33

(29)

peraturan perundang-undangan yang berkaitan, TRIPs dan pendapat-pendapat para

ahli yang digunakan sebagai pisau analisis.

2. Sumber Data Penelitian

Data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research):34

1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan

Perundang-undangan, dan Yurisprudensi;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku teks, laporan penelitian, artikel ilmiah,

makalah, jurnal dan laporan penelitian;

3. Bahan hukum tersier, yaitu sebagai pedoman untuk mengkaji bahan primer

dan sekunder yang diperoleh dari kamus, bibliogragi, dan ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan

oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu

kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat

dilihatkan penggunaannya melalui angket, wawancara, pengamatan, ujian,

dokumen dan lainnya.35

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data

34

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Wali Press, 1990), hal. 14-15.

35

(30)

sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,

literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan

putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif

dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan

kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam

kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum

tersebut.36 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa

peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dan studi

wawancara dengan beberapa informan/narasumber di Kantor Bea dan Cukai di

Medan, dan data juga diperoleh dari dokumen-dokumen atau arsip-arsip dari

para narasumber di Kantor Bea dan Cukai di Medan tersebut serta hasil

wawancara diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif.

36

(31)

BAB II

IMPLEMENTASI AGREEMENT ON TRADE RELATED ASPECTS OF

INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS (THE TRIPS AGREEMENT) DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEPABEANAN

INDONESIA

A. Tinjauan tentang Perdagangan Internasional (GATT/WTO)

1. Pengertian Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional timbul akibat dari interpendensi atau

kesaling-tergantungan antara satu negara dengan negara lainnya. Namun bukan berarti suatu

negara yang berdaulat tergantung sepenuhnya pada negara berdaulat lainnya,

melainkan suatu situasi dan kondisi dimana semuanya saling membutuhkan, saling

memerlukan untuk mempertahankan keseimbangan politis dan ekonomis, dan tentu

pula dalam rangka pemenuhan kepentingan masing-masing negara.37 Satu negara

mungkin mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage), terhadap

negara lain atau bahkan keunggulan mutlak (absolute advantage)¸untuk itu

diperlukan hubungan hukum antar negara yang meliputi individu-individu,

perusahaan-perusahaan, dan atau pemerintah. Pendapat ini adalah salah satu alasan

yang menjelaskan mengapa penting perdagangan internasional.

Hubungan ini membutuhkan instrumen hukum yang bersifat supra nasional

yang dibuat oleh dua negara atau lebih dan masing-masing negara tidak saja menaati

37

(32)

aturan tersebut dengan sukarela, tetapi sekaligus memaksa dengan maksud untuk

menjamin persamaan hukum (equality) serta hak dan kewajiban masing-masing

pihak. Carolyn Hotchkiss memberikan contoh:

“Suppose that an American buyer for a clothing store in Virginia goes to

Italy and purchases 100 men’s swits. He returns to United States, and Italian

seller ships the swits to Virginia one week later. Even if the transaction work

perfectly, both national and international law influence the business deal.

When the buyer travels, he will need a passport from the U.S. government. He

will have to pass the border checks for compliance with Italian and U.S.

customs regulations. The purchase of suits is a contractual obligation, which

may be governed by a treaty drafted by United nations, call the Convention

for the International Sale of Goods. In this instance, both Italy and U.S. have

rativied treaty. The shipment of good must clesr customs and is subject to

tariff. Here, the tariff status in the suits is the determined by U.S. law is

stuctureed within the frame work of another set of treaties and agreements

known as General Agreement on tariff and Trade (GATT).”38

Atas dasar pemikiran di atas dan keinginan yang dilatar belakangi bahwa salah

satu faktor pendorong pecahnya perang dunia II adalah faktor ekonomi, dimana

hubungan antar negara diwarnai dengan kebijaksanaan proteksionisme yang

berlebihan atas industri masing-masing negara, juga faktor politis maupun

institusional di negara-negara pendukung perdagangan internasional39 maka

negara-negara industri atau negara-negara-negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa berusaha

38

Carolyn Hotchkiss, International Law for Business, Internatioal ed., (Singapore: McGraw-Hill Co., 1994), hal.24-45, dalam Hikmahanto Juwana, Hukum Perdagangan Internasional, Kumpulan Bahan Kuliah Hukum Ekonomi, Pascasarjana FHUI, hal. 1.

39

(33)

menciptakan suatu otoritas internasional yang bertugas mengawasi perdagangan

internasional. The idea that tariff should be reduced through bilateral and

multilateral negotiations become part of Atlantic charter, the declaration issued by

President Roosevelt and British Prime Minister Winston Churchill in 1941 as a

rallying cry for nations opposing military and economic aggression of fascist

Germany, Italy, and Japan.40 Sebagai upaya mewujudkan keinginan tersebut, maka

Amerika Serikat memelopori diselenggarakannya konferensi internasional

multilateral yang diadakan di Bretton Woods, New Hamphsire, Amerika Serikat.

Konferensi ini berlangsung cukup lama dan berakhir di tahun 1947 dengan

menghasilkan perjanjian-perjanjian internasional pembentukan Internatioanl

Monetery Fund (IMF), International Labour Organization (ILO), dan General

Agreement on tariff and Trade (GATT). Terbentuknya GATT ini bukanlah menjadi

tujuan utama konferensi tersebut.41

Pada awalnya organisasi yang ingin dibentuk oleh negara-negara peserta

konferensi di Bretton Woods adalah International Trade Organization (ITO) yang

akan mengatur lalu lintas perdagangan internasional. Secara bersamaan disepakati

juga persetujuan internasional tentang negosiasi tarif impor serta larangan

penggunaan hambatan perdagangan non-tarif yang akan dinamai GATT.

Pembentukan ITO gagal karena kongres Amerika Serikat menolak mengesahkan

piagam yang dikenal dengan nama Havana Charter. Karena pembentukan ITO gagal

40

Ibid.,hal. 355.

41

(34)

dan kebutuhan akan adanya organisasi internasional di bidang perdagangan sangatlah

mendesak, maka disepakatilah untuk mengesahkan dan memberlakukan saja

GATT.

i bebrapa perubahan dan penambahan

ikut:

47;

;

Uruguay Round, tidak berfokus pada hambatan tarif (tarrif barrier) atau non-tarif saja,

42

Pada proses selanjutnya yang diiringi dengan perundingan-perundingan

dagang multilateral (Multilateral Trade Negotiations/ MTN) ketentuan-ketentuan

hukum dalam GATT tahun 1947 mengalam

melalui 8 putaran (Rounds), sebagai ber

a. Geneva, Switzerland,19

b. Annecy, France, 1948;

c. Torquay, England, 1950;

d. Geneva, Switzerland, 1956;

e. Dillon Round, Geneva, 1960-1961;

f. Kennedy Round, Geneva, 1964-1967

g. Tokyo Round, Geneva, 1973-1979;

h. Uruguay Round, Marrakesh, 1986-1994.

Putaran terakhir berhasil menyelesaikan seluruh agendanya dan ditutup di ibu

kota Maroko tanggal 15 April 1994 yang dikenal dengan nama Final Act 1994, salah

satu hasil perundingan itu adalah terbentuknya World Trade Organization sebagai

penerus GATT, sehingga keseluruhan dokumen hukum tersebut dinamakan juga

sebagai WTO Agreements. Disapmping itu juga putaran terakhir yang dikenal dengan

42

(35)

melainkan di perluas dengan memasukkan materi perundingan berupa

investasi, perdagangan jasa, hak milik intelektual, dan juga prosedur penyelesaian

sengketa dagang antar negara.

WTO dibentuk untuk menggantikan ide ITO yang gagal dibentuk tahun 1947.

Dengan terbentuknya WTO maka GATT menjadi tidak ada lagi, namun tidak berarti

semua kesepakatan atau persetujuan-persetujuan yang pernah dibuat dalam rangka

GATT dahulu mejadi tidak berlaku melainkan mengintegrasikian persetujuan GATT

berikut hasil-hasil putaran dagang sebelumnya ke dalam kewenangan organisatoris

WTO.43

Transaksi perdagangan internasional tidaklah semata-mata membutuhkan

ilmu ekonomi saja, tetapi juga menyangkut seperangkat instrumen hukum yang

berfungsi sebagai alat untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak serta

memperlancar arus ekspor-impor barang dan jasa antar negara sekaligus memberikan

perlindungan dan kepastian hukum atas transaksi tersebut. Oleh karena itu GATT

harus mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menjamin kepentingan para pihak atau

pelaku usaha antar negara maupun dalam negeri sendiri.

Prinsip-prinsipGATT menurut pendapat beberapa ahli adalah berbeda-beda,

namun substansinya adalah sama dan masih dalam konteks ruang lingkup Agreement

GATT, antara lain:

43

(36)

a. Prinsip National Treatment

Prinsip National Treatment eperti yang tercantum dalam pasal 3 TRIPs44,

melarang perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestic yang

berarti pada suatu barang impor telah masuk ke pasaran dalam negeri suatu

anggota, dan setelah melalui pabean serta membayar bea masuk, maka barang

impor tersebut harus diperlakukan tidak lebih buruk daripada hasil dalam

negeri45

Berkaitan dengan HaKI, mewajibkan setiap anggota untuk memberikan

perlindungan yang sama terhadap pemilik HaKI warga negara lain yang

menjadi anggota seperti perlindungan yang diberikan kepada warga negaranya

sendiri dengan memperhatikan beberapa pengecualian yang telah ada

berdasarkan Konvensi Paris (1967) tentang Perlindungan terhadap Kekayaan

Industrial. Konvensi Borne (1971) tentang Perlindungan terhadap Karya

Sastra dan Seni versi 24 Juli 1971, Konvensi Roma (1961) tentang

Perlindungan terhadap Pelaku Pertunjukan, Produser Rekaman Musik, dan

Organisai Siaran yang di sepakati pada tanggal 26 Oktober 1961, dan

44

Each member shall accord to the nationals of other Members treatment no less fafourable than that it accords to its own nationals with regard to the protection of intellectual property, subject to the exceptions already provided in, respectively, the Paris Convention (1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention (1971) and the Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circiuts. In respect of performers, producers of phonograms and broadcasting organizations,this obligation only applies and respect of the rights provided under this Agreement. Any member availing it self of the possibilities provided in Article 6 of the Berne Convention and paragraph 1 (b) of Article 16 of the Rome Convention shall make a notification as foressen in those provisions to the Council for Trade-Releated Aspect of of Intellectual Property Rights.

45

(37)

perjanjian tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual atas Rangkaian Elektronik

Terpadu yang disepakati di Washington 26 Mei 1989.

b. Prinsip Most Favored Nation (MFN) atau Nondiskriminasi

Prinsip utama yang menjadi dasar GATT adalah prinsip nondiskriminasi

yang dalam GATT dikenal sebagai Most Favored Nation (MFN) seperti yang

tercantum dalam pasal 4 TRIPs46. Menurut prinsip ini bahwa perdagangan

internasional antara anggota GATT harus dilakukan secara nondiskriminatif.47

Dikatakan lebih lanjut bahwa konsesi yang diberikan kepada satu negara mitra

dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Satu negara tidak boleh

diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk lagi.48

Berkaitan dengan HaKI, maka semua negara harus diperlakukan atas dasar

yang sama dan semua negara menikmati keuntungan, kemanfaatan atau

perlakuan istimewa yang diberikan Anggota tertentu kepada negara lain harus

seketika dan tanpa syarat diberikan pula kepada anggota lain.

46

With regard to the protection of intellectual property, any advantage, favour, privilege, or immunity granded by a Member to the nationals of any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the nationals of all other Members. Exempted from the obligation are any advantage, favour priviege or immunity accorded by a member:

(a) Deriving from international agreements on judicial assistance and law enforcement of

the general nature and not particulary confined to the protection of intellectual property;

(b) Granded any accordance with the provisions of the Berne Convention (1971 or the

Rome Convention authorizing that the treatment accorded be a function not of national treatment accorded in another country;

(c) In respect of the rights of performers, producers of phonograms and broadcasting

organizations not provided under this Agreement;

(d) Deriving from international agreements related to the protection of intellectual property which entered into force prior to the entry into force of the Agreement Establishing the MTQ, provided that such agreement are notified to the Council for Trade-Related Aspects of intellectual property Rights and do not constitute an arbitrary or unjustifiable discrimination against nationals of other Members.

47

Kartadjoemena, loc. Cit.

48

(38)

c. Prinsip Reprioritas

Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini

tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan

tariff yang didasarkan atas dasar timbal balik (resiprioritas) dan saling

menguntungkan kedua belah pihak.49

Meskipun uraian di atas adalah suatu prinsip, namun GATT memberikan

dispensasi atau pengecualian untuk suatu negara atas kondisi perekonomian

tertentu. Pengecualian tersebut dapat terjadi apabila memang secara objektif

kondisi atau situasi perekonomian benar-benar membutuhkan penyimpangan

dari prinsip-prinsip dasar tersebut. Pada prinsipnya terdpat lima kelompok

pengecualian atas kewajiban negara atas anggota WTO (GATT), yaitu:50

(1)Karena negara memiliki kesulitan neraca pembayaran, maka diizinkan

membatasi impor produk dengan menggunakan kuota (Pasal XII-XIV

GATT 1947).

(2)Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang

serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara

tersebut boleh mengenakan pembatasan impor untuk sementara

waktu. Pengecualian ini dikenal dengan istilah ‘escape clause’ yang

diatur olh Pasal XIX GATT 1974.

49

Huala Adof & A. Chandrawulan, Masalah-masalah hukum dalam Perdagangan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 18-19.

50

(39)

(3)Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan

nasional negara pengimpor, maka negara itu diizinkan untuk

membebaskan diri dari kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh

GATT. Dasar hukum pengecualian ini terdapat dalam Pasal XX dan

XXI GATT 1947 dan disebut dengan ‘general exeptions clauses’.

(4)Perlakuan MFN tak berlaku untuk hubungan ekonomi antara negara

anggota kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area) dan customs

union dengan negara yang bukan anggota.

(5)Seluruh negara anggota dapat bertindak secara bersama-sama atau

serentak untuk menghapuskan kewajiban apapun yang diperintahkan

oleh GATT sesuai mandat pasal XXV.

Terlihat bahwa GATT tidak rigid dalam memberlakukan semua ketentuan

kepada negara-negara anggotanya. Di samping pengecualian tersebut di atas ada lagi

pengecualian dalam hubungan dagang antara negara berkembang dan negara maju

melalui program Generalized System of Preferences (GSP).51 Artinya bahwa negara

maju boleh saja memberikan berbagai kemudahan atau fasilitas terhadap

barang-barang yang berasal dari negara tertentu tanpa ada keharusan untuk memberikan

kemudahan serupa terhadap produk serupa dari negara maju (menyimpang dari

prinsip MFN) dan negara berkembang tersebut tidak wajib memberikan kemudahan

serupa kepada negara pemberi kemudahan tersebut.52

51

Ibid.

52

(40)

2. The TRIPs Agreement dan Pengaruhnya Terhadap Perlindungan Hak

Atas Kekayaan Intelektual Oleh Institusi Kepabeanan

Salah satu lampiran dari persetujuan GATT adalah persetujuan tentang

Aspek-aspek Dagang HaKI (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights) disingkat TRIPs, yang merupakan standar Internasional yang harus

dipakai berkenaan dengan HaKI. Keterkaitan TRIPs yang erat dengan perdagangan

internasional, maka TRIPs memuat dan menekankan dalam derajat yang tinggi

mekanisme penegakan hukum yang dikaitkan dengan kemungkinan pembalasan

silang atau cross-retaliation.53 Apabila satu negara tidak melindungi secara efektif

HaKI milik warga negara yang lain, baik dalam pengaturan maupun penegakan

hukumnya, akan memberi hak kepada negara yang merasa dirugikan untuk

mengambil tindakan balasan dengan menghambat impor komoditi apapun dari negara

yang di tuduh, peniadaan GSP, pengenaan tarif yang lebih tinggi, dan lain-lain.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, isu mengenai perlindungan HaKI telah

disatukan dengan perdagangan HaKI. Bahkan untuk beberapa negara hal tersebut

telah mengubah HaKI menjadi konfrontasi perdagangan. Persetujuan TRIPs ini lahir

karena adanya keinginan untuk mengurangi distorsi dan rintangan-rintangan dalam

perdagangan internasional,

dan pentingnya memajukan perlindungan secara efektif dan memadai terhadap HaKI,

serta untuk menjamin bahwa langkah-langkah dan prosedur untuk melaksanakan

53

(41)

perlindungan terhadap HaKI tidak mengalami hambatan bagi perdagangan yang

sah.54

Amerika Serikat sebagai negara maju menghendaki negara-negara

berkembang untuk mengefektifkan pengaturan tentang HaKI, dan menjadikan kondisi

demikian sebagai konsesi timbal balik dalam pembuatan perjanjian ekonomi.55

Di bidang TRIPs, Indonesia, seperti juga negara berkembang lainnya,

Tentunya bukanlah hal yang mudah untuk mengefektifkan pengaturan tentang HaKI

karena banyak faktor yang mempengaruhi Indonesia dalam memberikan

perlindungan terhadap HaKI sebagaimana dikehendaki oleh negara maju sebagai

imbalan kesediaan negara maju memberikan akses ke pasar mereka.56

Diterimanya the TRIPs Agreement telah menjadikan peranan institusi

kepabeanan dalam perlindungan HaKI sebagai suatu keharusan. Ketentuan yang

diatur dalam Part III TRIPs: ‘Enforcement of Intellectual Property Rights’, mencakup

‘Special Requirement Related to Border Measures’ (ketentuan yang mengatur

mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan aparat kepabeanan dalam pengawasan

terhadap impor-ekspor barang yang melanggar HaKI) dalam section 4, diantaranya

memuat mengenai ‘Suspension of Release by Customs Authorities’ (penangguhan

pengeluaran barang dari kawasan pabean), yang merupakan ketentuan standar yang

harus diformulasikan dan diatur dalam ketentuan nasional masing-masing negara

54

Ibid., hal. 3.

55

Ibid., hal. 4.

56

(42)

penandatanganan WTO Agreements / TRIPs. Dengan adanyaketentuan tersebut, maka

di tiap-tiap negara, institusi kepabeanan harus ikut telibat dalam pelaksanaan

perlindungan HaKI.

Perlindungan HaKI merupakan unsur terpenting bagi perkembangan teknologi

baru dan perdagangan internasional. Keyakinan dan dorongan bagi para penemu/

peneliti untuk melakukan inovasi dan penemuan-penemuan, hanya akan terjadi

apabila ada jaminan perlindungan HaKI yang baik.

Di tingkat internasional, Paris Convention dan Berne Convention sebelumnya

telah mengatur mengenai standar perlindungan minimum yang harus diberikan

terhadap HaKI. Selanjutnya, TRIPs yang diterima sebagai bagian dari Persetujuan

Pembentukan WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization) pada

akhir Putaran Uruguay di Marakesh tahun 1994, memperluas scope perlindungan

tersebut, dengan menetapkan standar perlindungan, aturan-aturan mengenai

penegakan hukumnya (enforcement), dan aturan-aturan mengenai penyelesaian

perselisihan (antar negara anggota WTO). Sejumlah kewajiban yang diatur dalam

TRIPs menghendaki agar negara-negara mengatur dalam perundang-undangan

nasional masing-masing prosedur dan tindakan-tindakan yang diperlukan sehingga

penegakan hukum dapat terlaksana secara efektif. TRIPs diakui sebagai suatu

dokumen yang sangat berpengaruh dalam terjadinya reformasi peraturan

perundang-undangan di bidang HaKI bagi negara-negara anggota WTO.

Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember

(43)

Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan

semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi

nasional. Menjadi anggota WTO berarti terikat dengan adanya hak dan kewajiban.

Disamping itu pula , WTO bukan hanya menciptakan peluang (opportunity), tetapi

juga ancaman (threat).

Dengan berlakunya TRIPs, negara-negara anggota WTO, termasuk sejumlah

negara industri maju, harus melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian

undang-undang nasional masing-masing di bidang HaKI. Demikian juga di Indonesia,

pada Tahun 1997 beberapa perundangan di bidang HaKI mengalami perubahan agar

sesuai dengan ketentuan standar yang diatur dalam TRIPs. Undang-undang Nomor 17

Tahun 2006 tentang Kepabeanan sebagai perubahan atas UU No.10 tahun 1995 yang

lahir pada masa itu, juga mengintrodusir dan mengakomodasikan ketentuan-ketentuan

yang diatur dalam WTO Agreement, termasuk pengaturan mengenai prosedur

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam pengendalian impor atau ekspor barang

hasil pelanggaran HaKI, dalam pasal 54 sampai dengan pasal 64.

Part III Persetujuan TRIPs, mengatur mengenai penegakan hukum di Bidang

HaKI (Enforcement of IPR), dimana didalamnya diatur mengenai standar prosedur

berkaitan dengan impor dan ekspor barang yang diduga melanggar HaKI (Part III

Section 4: Special Requirement Related to Border Measures). Part III Section 4 ini

mengatur mengenai prosedur penangguhan pengeluaran barang oleh kepabeanan.

Sesuai dengan kewajiban ‘compliance’ dengan TRIPs, maka ketentuan standar

Gambar

Tabel 1
Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Yang dimaksud dalam hal tertentu yaitu apabila penimbunan di tempat penimbunan sementara tidak dapat dilakukan seperti kongesti, kendala teknis penimbunan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kendala yang dihadapi dan upaya yang dilakukan oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Surakarta

Maka secara otomatis larangan pungutan bea masuk impor terhadap umat Islam menjadi tidak berdasar dan tak ada landasan dalil yang mendukung dalam hal ini sehingga negara

(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 Ayat (1), pejabat Bea dan Cukai tidak menerima pemberitahuan dari

(1) Apabila dalam jangka waktu sepuluh hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan

Berkenaan dengan kinerja Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal secara berkala 5 (lima) tahun sekali melakukan evaluasi kinerja Konsultan Hak

Pengawasan mutu barang produksi dalam negeri yang akan diperdagangkan yang telah diberlakukan SNI wajib, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dilakukan oleh Direktorat