• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Dari Wanprestasi Dalam Perjanjian Konstruksi Yang Dilaksanakan Kontraktor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Akibat Hukum Dari Wanprestasi Dalam Perjanjian Konstruksi Yang Dilaksanakan Kontraktor"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

LAILA HAYATI AULIA

097011120/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

LAILA HAYATI AULIA

097011120/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nomor Pokok : 097011120 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLi)

Pembimbing

Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLi Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

(5)

Nama : LAILA HAYATI AULIA

Nim : 097011120

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : AKIBAT HUKUM DARI WANPRESTASI DALAM

PERJANJIAN KONSTRUKSI YANG DILAKSANAKAN KONTRAKTOR

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :LAILA HAYATI AULIA

(6)

pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan, namun terkadang perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi. Sehingga mengandung resiko terjadinya pemutusan kontrak secara sepihak, tetapi dalam praktek, para pihak sering mencantumkan suatu klausula dalam perjanjian bahwa mereka sepakat untuk melepaskan atau mengenyampingkan ketentuan pasal 1266 ayat 2 Kitab Undang-Undang hukum perdata, akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi maka perjanjian itu batal demi hukum. Ketentuan dan persyaratan dalam suatu perjanjian dapat menjadi tidak patut atau tidak adil bila perjanjian itu terbentuk dari suatu hubungan yang tidak seimbang. Adapun yang menjadi permasalahan bagaimana Prinsip Perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan dalam perjanjian konstruksi? dan Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Para Pihak apabila didalam kontrak terdapat klausula pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata?

Untuk membahas permasalahan tersebut diatas, maka penelitian yang dilakukan Deskriptif Analistisdengan menggambarkan dan melaporkan secara rinci, dan sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pekerjaan yang dilaksanakan oleh Kontraktor. dan jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatanYuridis Normatif, penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku sebagai landasan normatif,

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa dalam perjanjian konstruksi bila terjadi wanprestasi,maka kepada pihak yang dirugikan diberikan prinsip perlindungan, yaitu prinsip exceptio non adimpleti contractus yang artinya para pihak dapat menolak melakukan prestasinya atau menolak melakukan prestasi, Prinsip Penolakan Prestasi selanjutnya dari pihak lawan, Prinsip Menuntut Restitusi yang artinya bila pihak yang telah melakukan prestasi tersebut berhak untuk menuntut restitasi dari pihak lawan, yakni menuntut agar kepadanya diberikan kembali atau dibayar setiap prestasi yang telah dilakukannya. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui dua pola yaitu melalui pengadilan dan diluar pengadilan. Sesuai dengan kesepakatan para pihak dalam kontrak.

Disarankan dalam perjanjian konstruksi seharusnya sebaiknya Pembuatan Kontrak kerja konstruksi dapat dilakukan dengan dua arah, antara pihak pemberi kerja dan penerima kerja, untuk menghindari kesan bahwa hanya pihak pemberi kerja mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari penerima kerja sehingga terjadi hubungan yang seimbang.

(7)

set up. A construction agreement can be well-implemented if the parties involved have met their own achievements as agreed, but sometimes the agreement is not implemented well due to the breach of contract that can result in a unilateral termination of contract. However, in practice, both parties always include a clause in the agreement stating that they agree to waive the stipulation in Article 1266 paragraph 2 of The Indonesian Civil Codes. The legal consequence is that when the breach of contract occurs, this agreement is void by law. The terms and conditions of an agreement can be inappropriate or unfair if the agreement is made based on unbalanced relationship. The research questions of this study were how the Principle of Legal Protection for the injured party is implemented in the construction agreement, and how the Principle of Legal Protection for the parties involved in the contract with the clause waiving Article 1266 of the Indonesian Civil Codes.

This analytical descriptive study with normative juridical approach described, analyzed and reported in detail and systematic way anything related to the breach of contract in the implementation of construction agreement of the job conducted by the contractor by referring to the legal norms stated in the existing regulations of legislation as the normative basis.

The result of this study revealed that if the breach of contract occurs in the construction agreement, the injured party is given the principle of protection, namely, the principle of exception non adimpleti contractus meaning that the parties involved can refuse to do their achievement. The next principle of Achievement Refusal is from the other party, the Principle of Restitution Demanding which means that the party who has made achievement has the right to ask for the return or payment of the achievement he/she has done. The settlement of the dispute can be done in two ways; in or outside of the court of law based on the agreement agreed by both parties in the contract.

In construction agreement, the making of construction work contract is suggested to be done in two directions, between the employer and the work recipient, to avoid the impression that the employer has higher position than the work recipient, that a balanced relationship can be materialized.

(8)

Dengan rasa syukur penulis panjatkan doa dan kehadirat Allah SWT yang

senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “AKIBAT HUKUM DARI

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KONSTRUKSI YANG

DILAKSANAKAN KONTRAKTOR”. Tesis ini merupakan suatu persyaratan akademik untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Program

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam Penyusunan tesis ini penulis menyadari dengan sepenuh hati akan

kekurangan sempurnaan tulisan ini, meskipun demikian penulis dengan senang hati

menerima kritik serta saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis banyak menerima bantuan

dan dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc

(CTM), Sp.A (K) dan Para Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi

(9)

Program Magister Kenotariatan. Dan juga sebagai Anggota Komisi pembimbing

yang telah meluangkan waktunya untuk menyumbangkan pikiran dan

memberikan petunjuk dalam pengarahan materi ilmiah

4. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLi, sebagai Ketua Komisi

Pembimbing yang telah menyumbangkan waktunya untuk memberikan

bimbingan, saran maupun masukan dalam penyempurnaan penulisan tesis

ditengah tengah jadwalnya yang sangat padat.

5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, sebagai anggota komisi pembmbing yang

telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran maupun

masukan dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi

Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

sekaligus penguji yang telah memberikan bimbingan, dukungan, perhatian, dan

masukan kepada penulis.

7. Bapak Dr. Dedy Harianto, SH, MHum sebagai penguji mulai dari tahap proposal

tesis yang selalu memberikan arahan dan petunjuk dalam penyempurnaan tesis ini

(10)

9. Seluruh Staf Biro Pendidikan di Fakultas Hukum Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan dan melayani

dengan baik dalam penulisan tesis ini.

10. Pada Kesempatan yang baik ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada

Orang tua, suami, serta keluarga tercinta yang selalu memberikan do’a, dorongan

dan motivasi baik lahiriah dan bathiniah, serta pendidikan yang amat berguna

sehingga dapat menyelesaikan studi ini dengan baik.

11. Untuk teman-teman yang setia berdialog kuantitaf, Kak Netty, Nida, Nez, Olif,

Rani, Mas Pudio, Dony, Rudiansyah, J.E.Melky Purba, Roy Verson, Bukler

Tarigan, Tesi dan kepada teman-teman Kelas A di Magister Kenotatariatan

Universitas Sumatera Utara atas perhatian, bantuan dan dorongan semangat

kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini, serta rekan–rekan Magister

Kenotatariatan Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu

persatu yang teah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

Medan, Januari 2012 Penulis

(11)

Nama : LAILA HAYATI AULIA

Tempat/Tanggal Lahir : Lubuk Pakam / 14 November 1982

Alamat : Jl. Pembangunan I No. 7A

Status Perkawinan : Kawin

Agama : Islam

II. DATA ORANG TUA

Nama Ayah : H. Arifin Urul, SE

Nama Ibu : Hj. Latifah Hanum

Nama Suami : Ali Yanuardi, ST

Nama Abang : Leonardo Aulia, ST

Sf. Fahmi Aulia, ST

Ali Ombo

Alm. Fadlie Hakim

Brigadir Hendro Susilo

Dhani Iskandar Aulia

Leily Dewani Aulia

Alm. Iqbal Tawakal Aulia

III. PENDIDIKAN

1. SD Negeri 101902 Tamat Tahun 1994

2. SMP Negeri 1 Lubuk Pakam Tamat Tahun 1997

3. SMA Negeri 1 Lubuk Pakam Tamat Tahun 2000

4. S1 Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Tamat Tahun 2004

(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian... 10

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi... 11

1. Kerangka Teori... 11

2. Kerangka Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian... 22

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 23

2. Sumber data Penelitian ... 24

3. Alat Pengumpulan Data ... 26

4. Analisis Data ... 27

BAB II PRINSIP PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PIHAK YANG DIRUGIKAN DALAM PERJANJIAN KONSTRUKSI . 28 1. Pengertian Tentang Perjanjian Borongan ... 28

2. Bentuk Perjanjian Pemborongan Pekerjaan... 31

3. Jenis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan ... 32

(13)

C. Ganti Kerugian... 47

D. Keadaan Memaksa (overmach) ... 48

E. Prinsip – Prinsip Hukum Dalam Perjanjian Konstruksi ... 52

F. Terminasi Suatu Kontrak... 60

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK APABILA DIDALAM KLAUSULA KONTRAK TERDAPAT PENYIMPANGAN PASAL 1266 KUH PERDATA ... 76

A. Penggunaan Penyenyampingan Pasal 1266 ... 76

B. Penyelesaian Perselisihan Antara Para Pihak ... 83

1. Konsultasi ... 86

2. Negosiasi... 87

3. Mediasi ... 90

4. Konsiliasi... 93

5. Arbitrase ... 94

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98

(14)

pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan, namun terkadang perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi. Sehingga mengandung resiko terjadinya pemutusan kontrak secara sepihak, tetapi dalam praktek, para pihak sering mencantumkan suatu klausula dalam perjanjian bahwa mereka sepakat untuk melepaskan atau mengenyampingkan ketentuan pasal 1266 ayat 2 Kitab Undang-Undang hukum perdata, akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi maka perjanjian itu batal demi hukum. Ketentuan dan persyaratan dalam suatu perjanjian dapat menjadi tidak patut atau tidak adil bila perjanjian itu terbentuk dari suatu hubungan yang tidak seimbang. Adapun yang menjadi permasalahan bagaimana Prinsip Perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan dalam perjanjian konstruksi? dan Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Para Pihak apabila didalam kontrak terdapat klausula pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata?

Untuk membahas permasalahan tersebut diatas, maka penelitian yang dilakukan Deskriptif Analistisdengan menggambarkan dan melaporkan secara rinci, dan sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pekerjaan yang dilaksanakan oleh Kontraktor. dan jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatanYuridis Normatif, penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku sebagai landasan normatif,

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa dalam perjanjian konstruksi bila terjadi wanprestasi,maka kepada pihak yang dirugikan diberikan prinsip perlindungan, yaitu prinsip exceptio non adimpleti contractus yang artinya para pihak dapat menolak melakukan prestasinya atau menolak melakukan prestasi, Prinsip Penolakan Prestasi selanjutnya dari pihak lawan, Prinsip Menuntut Restitusi yang artinya bila pihak yang telah melakukan prestasi tersebut berhak untuk menuntut restitasi dari pihak lawan, yakni menuntut agar kepadanya diberikan kembali atau dibayar setiap prestasi yang telah dilakukannya. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui dua pola yaitu melalui pengadilan dan diluar pengadilan. Sesuai dengan kesepakatan para pihak dalam kontrak.

Disarankan dalam perjanjian konstruksi seharusnya sebaiknya Pembuatan Kontrak kerja konstruksi dapat dilakukan dengan dua arah, antara pihak pemberi kerja dan penerima kerja, untuk menghindari kesan bahwa hanya pihak pemberi kerja mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari penerima kerja sehingga terjadi hubungan yang seimbang.

(15)

set up. A construction agreement can be well-implemented if the parties involved have met their own achievements as agreed, but sometimes the agreement is not implemented well due to the breach of contract that can result in a unilateral termination of contract. However, in practice, both parties always include a clause in the agreement stating that they agree to waive the stipulation in Article 1266 paragraph 2 of The Indonesian Civil Codes. The legal consequence is that when the breach of contract occurs, this agreement is void by law. The terms and conditions of an agreement can be inappropriate or unfair if the agreement is made based on unbalanced relationship. The research questions of this study were how the Principle of Legal Protection for the injured party is implemented in the construction agreement, and how the Principle of Legal Protection for the parties involved in the contract with the clause waiving Article 1266 of the Indonesian Civil Codes.

This analytical descriptive study with normative juridical approach described, analyzed and reported in detail and systematic way anything related to the breach of contract in the implementation of construction agreement of the job conducted by the contractor by referring to the legal norms stated in the existing regulations of legislation as the normative basis.

The result of this study revealed that if the breach of contract occurs in the construction agreement, the injured party is given the principle of protection, namely, the principle of exception non adimpleti contractus meaning that the parties involved can refuse to do their achievement. The next principle of Achievement Refusal is from the other party, the Principle of Restitution Demanding which means that the party who has made achievement has the right to ask for the return or payment of the achievement he/she has done. The settlement of the dispute can be done in two ways; in or outside of the court of law based on the agreement agreed by both parties in the contract.

In construction agreement, the making of construction work contract is suggested to be done in two directions, between the employer and the work recipient, to avoid the impression that the employer has higher position than the work recipient, that a balanced relationship can be materialized.

(16)

A. Latar Belakang

Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil pembangunan harus dapat dinikmati

seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan

makmur. Sebaliknya berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat,

yang berarti pembangunan harus dilaksanakan seluruh rakyat secara merata oleh

segenap lapisan masyarakat.

Dalam catatan sejarah yang berasal dari Babilonia, Kitab undang–undang

tertua disebut denganCode Hammurabi.1Sudah diatur tentang kontrak pemborongan dan konstruksi, dari contoh kesembilan belas Code Hammurabi yang menjelaskan bahwa, jika seorang pembangun membangun rumah untuk seseorang, dan tidak membangun dengan benar, dan rumah yang dibangun jatuh dan membunuh

pemiliknya, maka pembangun harus dihukum mati. Dengan demikian hukum

pemborongan dan konstruksi ini sebenarnya sudah tua, yakni setua peradaban

manusia.

Maka sesuai dengan perkembangan pembangunan maka yang diperlukan

untuk memperlancar bidang usaha termasuk adalah perjanjian pemborongan, yang

terus berkembang hingga sekarang, dimana hukum bidang ini sudah sangat kompleks,

1

(17)

dengan masih memberlakukan dan mengandalkan peraturan-peraturan zaman belanda

yaitu Burgerlijke Wetboek, khususnya Buku ketiga atau peraturan bangunan yang disebut Algemene Voormaden voor de uitvoring bij aannmening van openbare werken in Indonesia atau yang lebih dikenal dengan AV 1941, artinya syarat–syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia.2 yang diatur

dalam Pasal 1601 huruf b KUH Perdata yang berbunyi : Perjanjian pemborongan

kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri

untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan

harga yang telah ditentukan.

KUH Perdata Indonesia tidak banyak mengatur tentang kontrak pemborongan

pekerjaan, yaitu hanya terdapat dalam 14 pasal saja, mulai dari pasal 1604 sampai

dengan dan termasuk pasal 1617, walaupun demikian singkat dan sederhana, tentunya

KUHPerdata tersebut berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.

Perjanjian pemborongan dapat dibuat dalam bentuk tertulis maupun lisan. Jika

unsur sahnya perjanjian tersebut dipenuhi, maka para pihak yang membuat kontrak,

kemudian juga akan tunduk pada pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata,

persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua

belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang–Undang dinyatakan cukup

itu, dengan demikian orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas

menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu atau

(18)

tidak dan bebas memilih jenis perjanjian yang akan dipakai untuk perjanjian itu dan

inilah yang disebut kebebasan berkontrak

Prinsip bahwa orang terikat pada persetujuan mengasumsikan adanya suatu

kebebasan tertentu didalam masyarakat untuk turut serta dalam lalu lintas yuridis dan

hal ini mengimplementasikan pula prinsip kebebasan berkontrak.3 Artinya

pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya

maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak

Namun kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya,

yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan

kesusilaan. Hal inilah yang memberi wewenang kepada hakim untuk mengawasi

pelaksanaan perjanjian supaya tidak bertentangan dengan rasa keadilan.

Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud meliputi isi perjanjian, bentuk

perjanjian berupa kata sepakat (consensus) saja sudah cukup, dan apabila dituangkan dalam suatu akta (surat) hanyalah dimaksud sekedar sebagai alat pembuktian semata

saja. Sedangkan mengenai isinya, para pihak yang pada dasarnya bebas menentukan

sendiri apa yang mereka inginkan.4

Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka

perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk

memberikan sepakatnya.

3

Richard Burton Simatupang,Aspek Hukum dalam Bisnis, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 99

(19)

Sepakat yang diberikan dengan paksa adalahContradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain

adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri

pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian

dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana(take it or leave it).5

Perjanjian atau kontrak yang mengatur kesepakatan-kesepakatan para pihak

dalam hal ini adalah, pihak yang mengerjakan disebut pemborong (Penyedia

Barang/Jasa), dengan pihak yang memborongkan pekerjaan disebut pengguna

barang/jasa (Owner), inilah yang disebut pemborongan pekerjaan.6

Untuk memberikan kesempatan berpartisipasi serta memberikan kesempatan

berusaha bagi swasta maka dapat dibedakan darimana asal pekerjaan tersebut :7

1. Perjanjian pemborongan Pekerjaan yang berasal dari pemerintah untuk

Pengadaan barang dan jasa dilakukan melalui proses lelang

2. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang berasal dari swasta yang diperoleh

langsung sebagai hasil perundingan antara pemberi tugas (swasta) dengan

pemborong (swasta).

Para pihak dalam perjanjian pemborongan dalam tulisan ini salah satu pihak

pemerintah adalah sebagai pihak yang memberikan pekerjaan atau pihak yang

memborongkan sedangkan pihak lainnya adalah pemborong atau kontraktor dalam

5

http://www.legal.akses/wanprestasi diakses tanggal 12 Oktober 2011 6

Munir Fuady, Op.cit ,hal. 6

(20)

hal ini adalah pihak swasta yang membuat suatu perjanjian atau kontrak yang

mengikat kedua belah pihak dalam perjanjian konstruksi.

Dari definisi yang diberikan KUH Perdata tersebut terlihat bahwa

Undang-Undang secara keliru memandang kepada kontrak konstruksi sebagaimana suatu jenis

kontrakunilateral, dimana seolah–olah hanya pihak kontrak (rekanan) yang harus

mengikatkan diri dan harus berprestasi.8

Jika debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana

mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa

debitur wanprestasi, kemungkinan adanya wanprestasi karena kelalaian atau

kegagalan dalam melaksanakan kewajiban atau kontrak perjanjian pemborongan yang

terjadi akibat waktu penyelesaian yang sedikit, harga bahan yang melonjak terjadinya

overmacht atau forcemajeur yaitu sesuatu keadaan memaksa diluar kekuasaan manusia, yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tidak dapat

memenuhi prestasinya

Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” (overmacht/forcemejeur), selain keadaan itu “diluar kekuasan kontraktor dan memaksa”, keadaan yang timbul

itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian

itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul resikonya oleh kontraktor yang

mempengaruhi jalannya pelaksanaan pekerjaan yaitu:

a. Bencana alam (yang dinyatakan oleh pemerintah setempat), yaitu gempa

bumi, angin topan, tanah longsor, banjir dan kebakaran.

(21)

b. Peperangan, pemberontakan dan kerusuhan masal.

c. Peraturan Pemerintah di bidang moneter yang berkaitan dengan pekerjaan ini

yaitu kenaikan BBM, perubahan nilai rupiah.

Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa9:

1. Tidak dipenuhi prestasi, karena suatu peristiwa yang membinasakan atau

memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan, ini selalu bersifat tetap.

2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi

perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.

3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu

membuat perikatan, baik oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan karena

kesalahan pihak-pihak khususya debitur.10

Bila kontraktor berhasil dalam membuktikan adanya keadaan yang demikian

itu, tuntutan pemberi tugas akan ditolak oleh hakim dan sikontraktor terluput dari

penghukuman, baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian maupun

untuk membayar penggantian kerugian.

Dalam keadaan yang demikian permasalahan yang akan timbul adalah

masalah resiko, terjadinya risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada

suatu kejadian diluar kesalahan satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan

dalam kontrak. Disini berarti beban memikul tanggung jawab dari risiko itu hanyalah

kepada salah satu pihak saja, alangkah baiknya dalam setiap resiko diletakkan dan

9

KUH Perdata tidak memuat suatu ketentuan umum mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan memaksa itu. Pasal 1244 KUH Perdata menamakan keadaan memaksa itu sebab yang halal.

(22)

menjadi tanggung jawab kedua belah pihak akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat

dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan resiko maupun

membayar biaya perkara,dalam hal demikian maka dapat terjadi perselisihan diantara

para pihak.

Tidak ada ketegasan dalam pasal pasal KUH Perdata mengenai kontrak

pemborongan ini apakah bersifat hukum memaksa (Mandatory Law) atau hanya hukum mengatur.11Sebagaimana umumnya pasal-pasal dalam KUH Perdata, maka

kebanyakan tentang hukum pemborongan tersebut bersifat hukum mengatur, jadi

umumnya dapat dikesampingkan oleh para pihak.

Untuk menyelesaikan masalah perselisihan ini, suatu perjanjian seringkali

memuat suatu klausula yang mengatur bagaimana perselisihan tersebut diselesaikan.

Misalnya hukum mana yang akan digunakan dan peradilan mana yang dipilih untuk

menyelesaikan perselisihan tersebut, tetapi dalam praktek, para pihak sering

mencantumkan suatu klausula dalam perjanjian bahwa mereka sepakat untuk

melepaskan atau mengenyampingkan ketentuan pasal 1266 ayat 2 Kitab

Undang-Undang hukum perdata, akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi maka perjanjian

itu batal demi hukum.

Ada ketentuan dalam KUH Perdata, dalam hal ini pasal 1266, yang

memberikan ruang yang besar bagi intervensi pengadilan dalam hal pemutusan suatu

kontrak. Selengkapnya pasal 1266 KUH Perdata menyebutkan : Syarat batal dianggap

selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala

(23)

salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian

persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada

hakim. Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai

tidakdipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian. Jika syarat batal tidak

dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas

permintaan tergugat, memberikan sesuatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi

kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.

Ada beberapa alasan yang mendukung pencantuman klausula ini berdasarkan

pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, sehingga pencantuman klausula yang melepaskan

ketentuan Pasal 1266 Ayat 2 KUH Perdata, harus ditaati oleh para pihak, selain itu

jalan yang ditempuh melalui pengadilan akan membutuhkan biaya yang besar dan

waktu yang lama sehingga hal ini tidak efesien bagi pelaku bisnis. Ketentuan dan

persyaratan dalam suatu perjanjian dapat menjadi tidak patut atau tidak adil bila

perjanjian itu terbentuk dari suatu hubungan yang tidak seimbang.12

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka dapat

dirumuskan permasalahanya sebagai berikut :

1. Bagaimana prinsip Perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan dalam

perjanjian pekerjaan konstruksi?

12

(24)

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak apabila didalam klausula

kontrak mengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Prinsip Perlindungan kepada pihak yang dirugikan akibat

adanya wanprestasi dari pihak lain dalam kontrak yang bersangkutan.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan oleh hakim apabila

didalam klausal kontrak mengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata Terhadap

para pihak.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapakan akan memberikan manfaat :

1. Secara teoretis

a. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh ujian untuk meraih

gelar Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana, Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

b. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan cakrawala berpikir dalam bidang

hukum kontrak khususnya Perjanjian Kerja, Wanprestasi, Para Pihak dan

perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan.

(25)

Diharapkan agar penulisan yang dilakukan dapat memberikan kontribusi

kepada pihak yang berkepentingan, khusus pada masyarakat. Memberikan informasi

bagi masyarakat mengenai khususnya Perjanjian Kerja, Wanprestasi, Para Pihak dan

perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan. Agar masyarakat tahu, bahwa ada

upaya hukum yang dapat dilakukan bila terjadinya wanprestasi yang dilaksanakan

kontraktor ataupun pihak pemberi kerja.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan data yang dimiliki serta penelusuran yang

dilakukan di kepustakaan di Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas

Sumatera Utara Medan, judul yang diangkat ini belum ada yang melakukan penelitian

sebelumnya.

Meskipun ada judul tesis terdahulu melakukan penelitian tentang Akibat

Hukum dari Wanprestasi dalam Perjanjian pekerjaan Konstruksi yang dilaksanakan

kontraktor, tetapi dalam hal ini berbeda materi penelitian dan permasalahannya:

1. Aspek hukum pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Dalam Usaha jasa

Konstruksi oleh Khairani Nim 943105012.

2. Kedudukan Para Pihak Dalam Kontrak Pemborongan Bidang Konstruksi

Proyek Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu oleh Indra SB Simatupang

(26)

Oleh sebab itu proposal penelitian yang diajukan ini adalah asli dan aktual

serta orisinil, maka oleh karena itu penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara

akademik

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi.13 Dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta–fakta yang dapat menunjukan ketidak benarannya.14 Kerangka teori

adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu

kasus permasalah (Problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis.15

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

membangun dan memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Suatu

konsep terkait dengan kewajiban hukum adalah konsep Tanggung jawab Hukum

(liability).16

Teori yang digunakan dalam penelitian tesis adalah teori Hans Kelsen tentang

tanggung jawab hukum. “Bahwa seseorang bertanggung jawab atas suatu perbuatan

13

J.J.J M.Wuisman dalam M.Hisyam, Penelitian ilmu – ilmu Sosial,Asas – Asas, FE-UI, Jakarta, 1966, hal. 203. M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV.Mandar Maju Bandung 1994 hal 27 menyebutkan bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris, artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan. Suatu penjelasan biar bagaimanapun menyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

14

Ibid, hal. 16. 15

M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian.Op.cit,hal. 80

(27)

tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia

bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.17

Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa “Kegagalan untuk Melakukan Kehati–hatian yang diharuskan oleh Hukum disebut Khilapan(Negligence),dan khilapan biasanya dipandang sebagai salah satu jenis lain dari kesalahan(fault),

walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan”.18

Perbedaan terminologis antara kewajiban hukum dan tangggung jawab

diperlukan ketika sanksi tidak atau tidak hanya dikenakan terhadap deliguent tetapi juga terhadap ditentukan oleh aturan hukum.

Suatu sanksi dapat dikenakan terhadap individu yang melakukan sendiri suatu

delik tetapi berposisi dalam suatu hubungan hukum tertentu dengan pelaku delik,

dalam bahasa hukum, Korporasi atau Negara dipersonifikasikan, mereka adalah

juristicperson sebagai lawan dari natural person.19

Prinsip pemberian sanksi terhadap tindakan invidu hanya karena akibat

perbuatan tersebut telah direncanakan dan dengan maksud yang salah tidak

sepenuhnya diterima dalam hukum modern.

Fungsi suatu perjanjian menjadi sama dengan peraturan atau perundang –

undangan, akan tetapi hanya berlaku bagi para pembuat perjanjian tersebut, hukum

memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran atau ingkar janji (wanprestasi).20

17

Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh Soemardi ,General Teori Of Law and State, Teori umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik,BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 81.

18

Jimly Asshiddigie,Op Cit, hal. 83. 19Ibid

, hal.63

(28)

Peristiwa tersebutlah yang melahirkan suatu hubungan yang terjadi antara dua

belah pihak yang dinamakan perikatan. Pada dasarnya perikatan adalah kewajiban

untuk melakukan prestasi sesuai dengan pasal 1234 KUH Perdata, jika ada salah satu

pihak yang melanggar klausula–klausula yang terkandung didalamnya, maka pihak

yang melanggar dapat dimintai pertanggung jawaban dari akibat yang ditimbulkannya

baik itu berupa ganti rugi, pemenuhan perjanjian atau batalnya perjanjian tersebut.

Prestasi dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal –

hal yang tertulis dalam suatu oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu,

pelaksaan mana sesuai dengan “term“ dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.21

Jadi, dalam suatu perjanjian/kontrak dianggap sah oleh hukum sehingga

mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat

tertentu. Syarat- syarat sahnya kontrak tersebut dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Syarat sah yang umum, yang terdiri dari :

a. Syarat sah umum berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata yang terdiri dari

1. Kesepakatan para pihak

Persetujuan kehendak yang diberikan sifatnya harus bebas dan murni

artinya betul-betul atas kemauan sendiri tidak ada paksaan dari pihak

manapun dalam persetujuan dan tidak ada kekhilafan dan penipuan.

2. Wewenang berbuat

(29)

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap

untuk membuat suatu perikatan, jika oleh Undang-Undang tidak dikatakan

tidak cakap. Mengenai orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

Undang-Undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. (Surat Edaran

Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 yang menyatakan bahwa istri cakap

berbuat dengan mencabut Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata.

3. Perihal tertentu

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan “hal tertentu”

(cenbepaaldonderwer), perlu kita lihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1333 KUHPerdata, yang mengatakan bahwa:“Suatu perjanjian harus

mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan

jenisnya”. Maksudnya adalah bahwa objek perjanjian harus tertentu sekalipun

masing-masing objek tidak harus secara individual tertentu.22Objek perjanjian

itu sendiri adalah isi dari prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang

bersangkutan. Sedang prestasi itu sendiri adalah suatu perilaku (handeling) tertentu yang dapat berupa memberi sesuatu. Melakukan sesuatu atau tidak

(30)

melakukan sesuatu.23Dari hal tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan “suatu hal tertentu” dalam suatu perjanjian adalah objek

prestasi perjanjian. Suatu pokok untuk mana diadakan suatu perjanjian.

Ditinjau dari kreditur dan debitur, “hal tertentu” tidak lain merupakan isi dari

perikatan utama, yaitu prestasi pokok daripada perikatan utama yang muncul

dari perjanjian tersebut

4. Kausa yang legal

Perjanjian tanpa sebab yang halal akan berakibat bahwa perjanjian

tersebut akan batal demi hukum. Sedangkan pengertian sebab (causa) disini adalah tujuan daripada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya

suatu perjanjian. KUH Perdata menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian,

selain harus ada causa yang halal (justa causa), undang-undang tidak memberikan perumusan yang jelas.

Keempat syarat dari perjanjian itu jika digolongkan maka akan terbagi

menjadi dua yaitu :

a. Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkutkan subyek dari perjanjian, yaitu

pihak yang mengadakan perjanjian. Termasuk dalam syarat ini adalah:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

(31)

Bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dimintakan

pembatalan.Pihak yang dapat memintakan pembatalan itu adalah pihak yang tidak

cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas.

Dalam hukum perjanjian berlaku beberapa asas. Asas-asas hukum perjanjian

terdapat dalam buku III KUH Perdata, sebagai berikut:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sistem terbuka

adalah Asas yang mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian

apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Asas ini sering

juga disebut “asas kebebasan berkontrak” (freedom of making contract). Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak

dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak

bertentangan dengan ketertiban umum.24

Penegasan mengenai adanya asas kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua yang dibuat

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga dimaksudkan

untuk menyatakan kekuatan tentang perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan

suatu undang-undang, kekuatan seperti itu diberikan kepada semua

perjanjian yang dibuat secara sah.

(32)

Dari asas “kebebasan berkontrak” itu juga dapat dilihat unsur-unsur yang

terkandung didalamnya meliputi :25

1. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian

2. Kebebasan untuk tidak mengadakan perjanjian

3. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun

4. Kebebasan untuk menentukan sendiri isi maupun syarat-syarat perjanjiannya

b. Asas Konsensualisme

Yakni perjanjian sudah dapat dikatakan ada atau lahir dengan adanya kata

sepakat dari pihak yang membuat perjanjian. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320

KUH Perdata yang menyebutkan adanya empat syarat sah perjanjian, salah satunya

adalah kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.

c. Asas Kekuatan mengikat / Asas Pacta Sunt Servanda

Yakni bahwa setiap perjanjian yang dibuat adalah mengikat para pihak yang

membuat dan berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Asas ini berarti bahwa

perjanjian hanya belaku bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini terdapat dalam

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat”.

25

(33)

d. Asas Itikad Baik

Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan

bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas itikad baik ini

ada yang subyektif dan ada yang obyektif.

e. Asas Kepribadian (Personalitas)

Pada prinsipnya asas ini menentukan bahwa suatu perjanjian berlaku bagi

para pihak yang membuatnya saja. Ketentuan mengenai asas ini tercantum dalam

Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi:

Pada umumnya seseorang yang tidak mengadakan perikatan atau perjanjian selain

untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan

perjanjian hanya untuk dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi:

1. Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

2. Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.

Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan

dasar mengikatnya suatu perjanjian dalam hukum kontrak, kehendak itu dapat

dinyatakan dengan berbagai cara lisan maupun tertulis dan mengikat para pihak

dengan segala akibat hukumnya.26

a. Syarat sah umum diluar pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri dari

1. Syarat Itikad Baik

2. Syarat sesuai dengan kebiasaan

3. Syarat Sesuai dengan kepatuhan

(34)

4. Syarat sesuai dengan kepentingan umum

b. Syarat sah yang khusus yang terdiri dari :

1. Syarat tertulis untuk kontrak tertentu

Kebanyakan yurisdiksi menisyaratkan agar kontrak dibuat tertulis

sehingga bisa ditegakkan. Hukum biasanya mengharuskan dibuat kontrak

tertulis untuk penjualan barang dengan nilai tertentu atau lebih, sehingga bisa

dilakukan penegakan. Meskipun pihak yang menjalin kontrak sengaja

membuat kontrak secara lisan dan suka rela melaksanakan persyaratan yang

ada dengan lengkap, hak-hak kontraktual mereka sulit ditegakkan jika muncul

persengketaan.

Menurut hukum yang berlaku kedudukan syarat tertulis bagi suatu kontrak

adalah sebagai berikut27:

a. Ketentuan umum tidak mengisyaratkan. Dengan dibuatnya suatu kontrak secara tertulis maka hal tersebut akan memudahkan dari segi pembuktian dalam praktek di samping mengurangi timbulnya perselisihan tentang isi kontrak yang bersangkutan.

b. Dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak tertentu. Kadangkala untuk suatu kontrak tertentu Undang-Undang mempersyaratkan harus dibuat secara tertulis dengan ancaman batal. Contoh untuk kontrak hibah, bahkan tidak hanya dengan tertulis saja tetapi harus dengan akta notaris (dengan ancaman batal) kecuali untuk hibah berupa hadiah barang bergerak berwujud dari tangan ke tangan maka tidak perlu akta notaris. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1682 juncto Pasal 1687 KUH Perdata.

c. Dipersyaratkan untuk kontrak atas barang-barang tertentu. Selain untuk kontrak-kontrak tertentu, undang-undang juga mengisyaratkan kontrak-kontrak tertulis untuk barang-barang tertentu. contoh kontrak yang bertalian dengan pengalihan tanah.

27

(35)

d. Dipersyaratkan karena kebutuhan praktek. Walaupun dalam banyak hal, undang-undang tidak mensyaratkan bahwa suatu kontrak harus dibuat tertulis, tetapi kebutuhan praktek ternyata menyatakan lain. Hal ini dibuat dengan maksud : 1. Untuk kepentingan pembuktian

2. Untuk kepentingan kepastian hukum

3. Untuk kontrak-kontrak yang canggih dianggap tidak pantas jika hanya dilakukan secara lisan.

2. Syarat akta notaris untuk kontrak – kontrak tertentu

Selain dari syarat tertulis terhadap kontrak-kontrak tertentu, untuk kontrak

kontrak tertentu dipersyaratkan pula bahwa kontrak tertulis harus dibuat

oleh/di hadapan pejabat tertentu (dengan ancaman batal). Contoh: hibah

harus dibuat di hadapan notaris (Pasal 1682 KUH Perdata) atau jual beli

tanah harus dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan

undang-undang pertanahan.

3. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak

tertentu.

4. Syarat izin yang berwenang

Terhadap kontrak tertentu campur tangan pihak ketiga diperlukan dalam

bentuk keharusan mendapatkan ijin. Misal kontrak peralihan objek tertentu, seperti

kontrak peralihan hak guna usaha atau kontrak peralihan penguasaan hutan, dalam hal

ini diperlukan ijin dari pejabat yang berwenang untuk itu.

2. Kerangka Konsepsi

Dalam pemberian suatu konsep atau pengertian merupakan salah satu unsur

pokok yang penting dalam suatu penelitian, pentingnya konsepsional untuk

(36)

Maka perlu diuraikan beberapa konsep yang menjadi pegangan dalam proses

penelitian yaitu :

a. Subjek Hukum adalah segala Pendukung hak dan kewajiban,28 yang terdiri dari

manusia alamiah(Natural Persoon)dan badan hukum(Recht Persoon).

b. Kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (Promissory Agreement)

diantara dua atau lebih pihak yang menimbulkan, memodifikasi atau

menghilangkan hubungan hukum.29

c. Penyedia barang/jasa adalah Badan usaha atau orang perseorangan yang

menyediakan barang /pekerjaan konstruksi/ jasa konsultasi/ jasa lainnya.30

d. Pengguna Barang/Jasa adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan

barang dan/atau jasa milik negara/daerah dimasing masing

Lembaga/Daerah/Instansi.31

e. Penyedia barang/jasa adalah Badan usaha atau orang perseorangan yang

menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/ jasa konsultasi/ jasa lainnya.

f. Pekerjaan konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan

pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya.

g. Prestasi dalam kontrak adalah sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang ada dalam

suatu kontrak oleh pihak yang mengikatkan dirinya dalam kontrak tersebut.

Prestasi ini ketentuannya bisa dilihat dalam Pasal 1234 KUH Perdata yaitu:

28

Ningrum Natasya Sirait,Modul I Penghantar Hukum Bisnis Medan : Universitas Sumatera Utara

29

Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum BisnisOp.Cithal 4 30

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 TentangPengadaan Barang / Jasa Pemerintah

(37)

”Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,

atau untuk tidak berbuat sesuatu.

h. Sementara itu yang dimaksud dengan wanprestasi adalah kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati atau tidak melakukan kewajibannya dalam perjanjian atau tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebgaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.32

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana

(ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi

penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan

yang menjadi induknya. Hal ini tidaklah selalu berarti metodologi penelitian yang

dipergunakan berbagai ilmu pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Ilmu

pengetahuan pada hakekatnya timbul karena adanya hasrat ingin tahu dalam diri

manusia, yang mana hasrat keingintahuan tentang hal-hal ataupun aspek-aspek

kehidupan yang masih gelap bagi manusia, sehingga manusia itu sendiri ada rasa

ingin tahu tentang kebenaran dari pada kegelapan tersebut sehingga diadakanlah

suatu penelitian akan hal tersebut.33 Jadi penelitian pada intinya merupakan sarana

yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan

32

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. KansilIstilah Aneka Hukum, Cet. 1 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) hal. 195

33

(38)

Ilmu pengetahuan di segala bidang. Sehubungan dengan hal tersebut di atas didalam

penulisan tesis ini, penulis menggunakan metodologi tulisan sebagai berikut:

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat

didalam tujuan penyusunan bahan analisis, maka jenis Penelitian yang diterapkan

adalah didalam penulisan tesis ini menggunakan metode pendekatan secara Yuridis Normatif (penelitian hukum normatif). Yuridis Normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku sebagai landasan nomatif, yang berawal dari premis umum

kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus.

Pendekatan yuridis normatif merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian

dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang – undangan

yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Sifat penelitian dalam penulisan tesis ini berupa penelitian deskriptif analistis:

a. Deskriptif adalah Menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum baik dalam teori maupun praktek pelaksanaan dari

hasil penelitian dilapangan,34 dalam hal ini Perlindungan Hukum atas

Perjanjian Pekerjaan yang dilakukan para pihak bila terjadi wanprestasi

(39)

b. Analistis adalah data dari sampel digeneralisasi kan menuju ke data populasi.35

Deskriptif Analistis adalah menggambarkan dan melaporkan secara rinci, dan sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan

wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pekerjaan yang dilaksanakan oleh

Kontraktor.

2. Sumber data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian data sekunder, data sekunder

dalam penelitian ini adalah bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.36

Dalam penelitian ini bahan hukum yang dijadikan rujukan adalah data

sekunder, antara lain :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan dan mengikat,

yakni :

1. Norma atau kaidah dasar, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945

2. Peraturan perundang-undangan yang terkait, yakni :

a. Kitab Kitab Undang-Undang Perdata.

b. Undang-Undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

35Bambang Sunggono. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada ,

1997,hal 18.

36

(40)

c. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran

Masyarakat Jasa Konstruksi

d. Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa

Konstruksi

e. Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 Tentang pedoman Pengadaan

Barang dan Jasa

f. Peraturan Menteri No.43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman

Pengadaan Jasa Konstruksi sebagai pengganti dari Kepmen nomor

257/KPTS/M/2004. Peraturan ini meliputi jasa pemborongan dan jasa

konsultansi

g. Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan

Pembinaan Jasa Konstruksi.

h. Peraturan Pemerintah No. 140 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Dari

Usaha Jasa Konstruksi.

i. Keputusan Menteri Keuangan No. 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Lelang.

j. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 tahun 2006 tentang Standarisasi

Sarana

k. Peratuan Menteri Dalam Negeri No. 5 tahun 2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan di

(41)

l. Keputusan Menteri Keuangan No. 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat

Lelang Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah.

m. Peraturan Menteri Keuangan No. 02/PMK.02/2006 tentang Persyaratan

Administratif Dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja

Instansi Pemerintah Untuk Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan

Badan : Layanan Umum.

b. Bahan Hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti, hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah

dari kalangan hukum, yang berkaitan dengan wanprestasi dalam perjanjian

konstruksi yang dilaksanakan kontraktor.

c. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberi penjelasan dan petunjuk

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk

melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu kamus umum, kamus hukum,

majalah, internet, serta data pendukung diluar bidang hukum yang berkaitan

dengan tesis ini guna melengkapi data

3. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan satu alat pengumpulan data yakni :

a. Studi dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan

permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian

dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan Kontrak,

(42)

dan perlindungan hukumnya sebagai sumber data yang bermanfaat untuk menguji,

mengkaji, menafsirkan.

4. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan tekhnik analisis kualitatif, yaitu melakukan

analisis terhadap peraturan-peraturan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan

dengan masalah yang akan dibahas, adapun langkah-langkah yang dilakukan dengan

cara menginterprestasikan semua peraturan perundangan-undangan yang sesuai

masalah yang dibahas, menelaah dan menilai bahan hukum yang berkaitan dengan

masalah yang dibahas, mengevaluasi perundang–undangan yang berhubungan

masalah yang dibahas dalam tesis ini, sehingga pada tahap akhir akan ditemukan

hukum secara konkritnya, sehingga penarikan kesimpulan dilakukan dengan

menggunakan logika berpikir secara deduktif yaitu dari yang bersifat umum ke

(43)

BAB II

PRINSIP PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PIHAK YANG DIRUGIKAN DALAM PERJANJIAN KONSTRUKSI

1. Pengertian Tentang Perjanjian Borongan

Sumber hukum kontrak di Indonesia yang berbentuk perundang-undangan

adalah KUH Perdata, khususnya buku III. Bagian-bagian buku III yang berkaitan

dengan kontrak adalah sebagai berikut:37

a. Pengaturan tentang perikatan perdata. Pengaturan ini merupakan pengaturan pada umumnya, yakni yang berlaku baik untuk perikatan yang berasal dari kontrak maupun yang berlaku karena undang-undang.

b. Pengaturan tentang perikatan yang timbul dari kontrak. Pengaturan perikatan yang timbul dari kontrak ini menurut KUH Perdata diatur dalam Bab II Buku III.

c. Pengaturan tentang hapusnya perikatan. Pengaturan ini terdapat dalam Bab IV Buku III.

d. Pengaturan tentang kontrak-kontrak tertentu. Pengaturan ini terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Buku III.

Sebagai bentuk perjanjian tertentu, maka perjanjian pemborongan tidak

terlepas dari ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam title I sampai

dengan IV Buku III KUH Perdata. Dalam Buku III KUH Perdata, diatur mengenai

ketentuan-ketentuan umum yang berlaku terhadap semua perjanjian yaitu

perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata maupun jenis perjanjian-perjanjian baru yang belum

ada aturannya dalam Undang-undang. Sebagai dasar perjanjian pemborongan

bangunan KUHPerdata mengatur dalam Pasal 1601 butir (b).

(44)

Menurut Subekti, pemborongan pekerjaan (aanneming van werk) ialah suatu perjanjian, dimana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya,

melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula.38

Pemborongan pekerjaan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak yang

menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lainnya, atas

pembayaran sejumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan. Disini tidaklah penting

bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaimana pihak yang memborong

pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil dari pekerjaan

tersebut, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik (mutu dan

kwalitas/kwantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.

Perjanjian pemborongan bangunan dapat dilaksanakan secara tertutup, yaitu

antar pemberi tugas dan kontraktor atau terbuka yaitu melalui pelelangan umum atau

tender. Lain halnya dengan pemborongan bangunan milik pemerintah dimana harus

diadakan pelelangan. Kontrak kerja dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu:39

1. Kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, sedangkan bahan-bahannya disediakan oleh pemberi tugas.

2. Kontraktor melakukan pekerjaan dan juga menyediakan bahan-bahan bangunan. Dalam hal kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, jika barangnya musnah sebelum pekerjaan diserahkan, maka ia bertanggung jawab dan tidak dapat menuntut harga yang diperjanjikan kecuali musnahnya barang itu, karena suatu cacat yang terdapat di dalam bahan yang disediakan oleh pemberi tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1606 dan 1607 KUH Perdata.

38

(45)

Menurut Subekti, Undang – Undang Membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan

dalam tiga macam yaitu :40

a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu:

Adalah perjanjian dimana satu pihak menghendaki dari pihak lainnya dilakukan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali tergantung pada pihak lainnya.

b. Perjanjian kerja / perburuhan

Adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lainnya yaitu si majikan, untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.

c. Perjanjian pemborongan pekerjaan

Adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.

Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip dengan

perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa, yaitu sama sama

menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan

pihak lain dengan pembayaran tertentu. Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah

bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan antara

buruh dengan majikan. Pada pemborongan bangunan dan perjanjian melakukan jasa

tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya

secara mandiri.41

Ketentuan pemborongan pada umumnya diatur dalam Pasal 1601 sampai

dengan Pasal 1617 KUH Perdata. Perjanjian pemborongan bangunan juga

memperhatikan berlakunya ketentuan-ketentuan perjanjian untuk melakukan

40

R. Subekti,Aneka Perjanjian, Op.Cit, hal 57 41

(46)

pekerjaan, khususnya bagi bangunan yang diatur dalam KUH Perdata yang berlaku

sebagai hukum pelengkap peraturan tersebut pada umumnya mengatur tentang

hak-hak dan kewajiban pemborong yang harus diperhatikan baik pada pelaksanaan

perjanjian, dan berakhirnya perjanjian. Pemborong bertanggungjawab dalam jangka

waktu tertentu, pada masa ini pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti

adanya cacat ataupun kegagalan bangunan. Dalam prakteknya pemborong

bertanggungjawab sampai masa pemeliharaan sesuai dengan yang tertulis dikontrak.

Menurut Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 Tentang

Jasa Konstruksi: kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir

pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

2. Bentuk Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil, artinya perjanjian pemborongan

lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, yaitu pihak yang

memborongkan dengan pihak pemborong mengenai suatu karya dan harga

borongan/kontrak. Dengan adanya kata sepakat tersebut, perjanjian pemborongan

mengikat kedua belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian

tanpa persetujuan pihak lainnya. Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian pemborongan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Dalam

prakteknya, apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil,

(47)

pemborongan dengan biaya agak besar maupun besar, perjanjian pemborongan dibuat

secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik (akta

notaris).

3. Jenis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Menurut cara terjadinya perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dibedakan

dalam:42

a. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil pelelangan atas

dasar penawaran yang diajukan

b. Perjanjian pemborongan pekerjaan atas dasar penunjukkan

c. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil perundingan

antara pemberi tugas dengan pemborong.

Sedangkan menurut cara penentuan harganya perjanjian pelaksanaan

pemborongan itu dapat dibedakan atas 4 bentuk utama sebagai berikut:43

1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Disini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, ialah baik mengenai harga

kontrak maupun harga satuan.

2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Disini harga

borongan diperhitungkan secara keseluruhan.

42

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 TentangPengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(48)

3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar satuan (unit price), yaitu harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Disini luas pekerjaan ditentukan menurut

jumlah perkiraan jumlah unit.

4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost plus fee). Disini pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya.

Pada umumnya pemborongan pekerjaan dikenal dua prosedur pemilihan

pemborongan, yaitu44:

a. Pemilihan kontraktor secara negosiasi (Penunjukan Langsung)

Melalui sistem negosiasi, pemilihan kontraktor tidak dilakukan dengan suatu

tender tertentu, akan tetapi pihak pemilik pekerjaan bernegosiasi langsung dengan

pihak pemborong untuk memastikan apakah kontraktor tersebut dapat dipilih untuk

mengerjakan proyek yang bersangkutan. Sehingga prosedur negosiasi ini praktis

lebih bersifat informal. Dalam hal ini pihak pemilik pekerjaan mengontak satu atau

lebih pemborong yang menurut penilaiannya mampu mengerjakan pekerjaan

dimaksud, sambil menginformasikan persyaratan-persyaratan untuk itu. Biasanya

pihak pemilik pekerjaan memintakan pihak pemborong untuk memasukkan juga

penawaran kepada pihak pemilik pekerjaan.

b. Pemilihan Kontraktor secara tender (Pemilihan Umum)

44

(49)

Ada dua macam tender yang lazim dilakukan dalam praktek, yaitu pertama

sistem tender terbuka, pada sistem ini tender mengundang semua pihak yang

berkepentingan untuk berpartisipasi dalam tender tersebut, dalam hal ini dapat

diumumkan dengan cara pemasangan iklan dimedia massa, internet. Kemudian tender

terbatas, yaitu hanya beberapa pihak tertentu saja untuk berpartisipasi dalam tender

tersebut. Tentu saja sungguh pun sistem tender ini terkesan formal dengan

dokumentasi yang lebih rumit akan tetapi sistem ini mengandung manfaat yang lebih

nyata, antara lain dengan semakin banyaknya pihak yang berpartisipasi dalam tender

tersebut, tentu akan dikemukakan semakin banyak pilihan yang pada akhirnya akan

menemukan kontraktor yang terbaik.

4. Isi Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Isi perjanjian pemborongan pada umumnya adalah sebagai berikut:45

a. Luasnya pekerjaan yang harus dilaksanakan dan memuat uraian tentang pekerjaan dan syarat-syarat pekerjaan yang disertai dengan gambar (bestek) dilengkapi dengan uraian tentang bahan material, alat-alat, dan tenaga kerja yang dibutuhkan.

b. Penentuan tentang harga pemborongan.

c. Mengenai jangka waktu penyelesaian sengketa d. Mengenai sanksi dalam hal terjadinya wanprestasi e. Tentang resiko dalam hal terjadiOvermacht

f. Penyelesaian jika terjadi perselisihan

g. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan

5. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Dengan adanya perjanjian pemborongan selalu ada pihak-pihak yang terkait

dalam perjanjian pemborongan. Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah:46

45

Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Op.cit, hal 62

(50)

a. Pemberi Tugas (Bouwheer)

Pemberi tugas dapat berupa perorangan, badan hukum, instansi pemerintah

ataupun swasta. Sipemberi tugaslah yang mempunyai prakarsa memborongkan

bangunan sesuai dengan kontrak dan apa yang tercantum dalam bestek dan

syarat-syarat. Dalam pemborongan pekerjaan umum dilakukan oleh instansi

pemerintah, direksi lazim ditunjuk dari instansi yang berwenang, biasanya dari

instansi pekerjaan umum atas dasar penugasan ataupun perjanjian kerja.47

Adapun hubungan antara pemberi tugas dengan perencana jika pemberi

tugas adalah pemerintah dan perencana juga dari pemerintah maka terdapat

hubungan kedinasan. Jika pemberi tugas dari pemerintah dan atau swasta,

perencana adalah pihak swasta yang bertindak sebagai penasihat pemberi tugas,

maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal.

Sedangkan apabila pemberi tugas dari pemerintah atau swasta dengan perencana

dari phak swasta yang bertindak sebagai wakil pemberi tugas (sebagai direksi)

maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa (Pasal

1792-1819 KUH Perdata).

b. Pemborong (kontraktor)

(51)

Pemborong adalah perseorangan atau badan hukum, swasta maupun

pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan pemborongan

bangunan sesuai dengan bestek.48

Penunjukan sebagai pelaksana bangunan oleh pemberi tugas dapat terjadi

karena pemborong menang dalam pelelangan atau memang ditetapkan sebagai

pelaksana oleh pemberi tugas. Dalam perjanjian pemborongan, pemborong

dimungkinkan menyerahkan sebagian pekerjaan tersebut kepada pemborong lain

yang merupakan subkontraktor berdasarkan perjanjian khusus.

c. Perencana (arsitek)

Arsitek adalah perseorangan atau badan hukum yang berdasarkan

keahliannya mengerjakan perencanaan, pengawasan, penaksiran harga bangunan,

memberi nasehat, persiapan dan melaksanakan proyek dibidang teknik

pembangunan untuk pemberi tugas.

d. Pengawas (Direksi)

Direksi bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan pemborong.

Disini pengawas memberi petunjuk-petunjuk memborongkan pekerjaan,

memeriksa bahan-bahan, waktu pembangunan berlangsung dan akhirnya

membuat penilaian opname dari pekerjaan. Selain itu, pada waktu pelelangan

yaitu: mengadakan pengumuman pelelangan yaitu: Mengadakan pengumuman

pelelangan yang akan dilaksanakan, memberikan penjelasan mengenai RKS

48

(52)

(Rencana Kerja dan Syarat-syarat) untuk pemborongan-pemborongan/pembelian

dan membuat berita acara penjelasan, melaksanakan pembukuan surat

penawaran,mengadakan penilaian dan menetapan calon pemenang serta

membuat berita acara hasil pelelangan dan sebagainya.49

Fungsi mewakili yang terbanyak dari direksi adalah pada fase pelaksana

pekerjaan dimana direksi bertindak sebagai pengawas terhadap pekerjaan

pemborong. Jadi kewenangan mewakili dari direksi ini ada selama tidak

ditentukan sebaliknya oleh pemberi tugas secara tertulis dalam perjanjian yang

bersangkutan bahwa dalam hal-hal tertentu hanya pemberi tugas yang berwenang

menangani.50

6. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan.51

a. Pihak Pemberi Pekerjaan Pemborongan Bangunan

1. Hak pemberi tugas dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu :

a. Hak utama yaitu menerima hasil pekerjaan secara utuh dan sesuai

ketentuan yang dibuat dalam perjanjian diterima sesuai dengan keinginan

pihak pemberi tugas dan diselesaikan sesuai jadwal waktunya.

b. Hak tambahan adalah :

1. Mengetahui jalannya pekerjaan pemborongan di lapangan

49

Ibid, hal 12 50

Ibid,hal 53 51

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Selain itu produk informasi yang dihasilkan pada bagian receiving juga termasuk dalam Management Support System (MSS), dari data receiving report manajemen dapat

Penyusunan Tugas Akhir ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi akhir jurusan Teknik Informatika program studi Strata 1 pada Fakultas Ilmu

Dubalctl, O.H ., HuSan

Hasil penelitian ini adalah: (1) penggunaan media pembelajaran Teka-teki Dadu Kata dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar materi Calistung pada peserta didik kelas I

a) Pada tahap ini peneliti melakukan observasi ke sekolah yang menjadi subjek penelitian yakni SD Negeri 3 Cibodas. Dari hasil observasi terhadap situasi kelas kemudian

a) The men as the costumer of sex trafficking. The men who purchase the trafficked women from sex trafficking are usually without any identities. They can use the

Penelitian ini menunjukkan bahwa menguras TPA (p=0.000) dan menutup TPA (p=0.000) berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti , sedangkan mengubur barang bekas yang