• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT

TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

NIM : 080200219

HENDRIKA S R SINAGA

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT

TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

NIM : 080200219 HENDRIKA S R SINAGA

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen

NIP : 197501122005012002 Windha, SH., M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Ramli Siregar, SH.M.Hum Windha, SH.M.Hum NIP : 195303121983031002 NIP:197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat, rahmat, dan karunia-Nya Penulis mampu untuk menjalankan perkuliahan sampai tahap penyelesaian skripsi pada Jurusan Hukum Ekonomi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.

Skripsi ini berjudul “AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN”.

Judul ini diangkat karena ketertarikan Penulis untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum yang berlaku bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan dalam hal ditetapkan putusan pernyataan pailit, mengingat ada dua ketentuan hukum yang berbeda.

Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang banyak membantu Penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Untuk semua ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua, kakak, abang, dan adek-adek saya, serta seluruh anggota keluarga besar Penulis atas perhatian dan doanya selama ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

4. Bapak Syafruddin, SH, M.H. D.F.M., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Windha, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis selama proses penulisan skripsi ini.

7. Bapak Ramli Siregar, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan Penulis selama proses penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen, Staf administrasi, dan Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Rekan-rekan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu saya selama proses penulisan skripsi ini, dan yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.

Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, April 2012 Penulis,

(5)

DAFTAR ISI

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit 1. Syarat debitor mempunyai dua kreditor atau lebih Concursus Creditorum) ... 19

2. Syarat harus adanya utang ... 23

3. Syarat satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih ... 24

B. Permohonan Pernyataan Pailit 1. Tahap Pendaftaran Permohonan Pernyataan Pailit ... 25

2. Tahap Pemanggilan Para Pihak ... 29

3. Tahap Persidangan atas Permohonan Pernyataan Pailit .... 30

(6)

C. Hukum Putusan Pernyataan Pailit

1. Akibat Kepailitan Secara Umum ... 33

2. Akibat Kepailitan Secara Khusus ... 36

BAB III PENGATURAN HAK TANGGUNGAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA A. Pengertian Umum Hak Tanggungan ... 49

B. Hak Tanggungan dalam KUHPerdata ... 50

C. Hak Tanggungan Menurut UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ... 54

1. Asas-Asas Hak Tanggungan ... 57

2. Pemberi Hak Tanggungan ... 61

3. Pemegang Hak Tanggungan ... 63

4. Objek Hak Tanggungan ... 65

5. Pendaftaran Hak Tanggungan ... 66

6. Peralihan Hak Tanggungan... 68

7. Hapusnya Hak Tanggungan ... 70

8. Pencoretan (Roya) Hak Tanggungan ... 72

9. Sanksi Administratif ... 73

D. Eksekusi Hak Tanggungan Dalam Kepailitan ... 75

BAB IV AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN A. Kedudukan Kreditor Pemegang Hak Tanggungan dalam Kepailitan ... 79

(7)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 92 B. Saran ... 93

(8)

ABSTRAKSI

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN

Hendrika S R Sinaga1 Ramli Siregar2

Windha3

Kepailitan memiliki beberapa akibat hukum antara lain akibat hukum terhadap para kreditornya. Salah satu kreditor kepailitan adalah kreditor separatis. Kreditor separatis adalah kreditor yang mempunyai hak tanggungan dan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun terkait dengan kreditor pemegang hak tanggungan ini sering terjadi permasalahan terkait pemberesan harta pailit.

Oleh karena itu menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana akibat hukum putusan pernyataan pailit menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004, bagaimana pengaturan hak tanggungan dalam sistem hukum Indonesia dan terakhir bagaimana akibat hukum putusan pernyataan pailit terhadap kreditur pemegang hak tanggungan.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder serta mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis yang dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini misalnya buku-buku ilmiah, peraturan perundanag-undangan, jurnal hukum dari internet, dan lain-lain yang memiliki kaitan dengan skripsi ini.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa akibat hukum putusan pernyataan pailit mengakibatkan debitor kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya. Dalam keadaanya yang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo tersebut maka para debitor memberikan jaminan kebendaan pelunasan utang salah satunya berupa hak tanggungan atas seluruh utang-utangnya kepada kreditor. Pengaturan hak tanggungan dalam sistem hukum Indonesia ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan (bersifat parsial) dan setiap kreditor pemegang hak tanggungan tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam hal terkait penangguhan daripada hak eksekusi kreditor separatis.

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 1

(9)

ABSTRAKSI

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN

Hendrika S R Sinaga1 Ramli Siregar2

Windha3

Kepailitan memiliki beberapa akibat hukum antara lain akibat hukum terhadap para kreditornya. Salah satu kreditor kepailitan adalah kreditor separatis. Kreditor separatis adalah kreditor yang mempunyai hak tanggungan dan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun terkait dengan kreditor pemegang hak tanggungan ini sering terjadi permasalahan terkait pemberesan harta pailit.

Oleh karena itu menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana akibat hukum putusan pernyataan pailit menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004, bagaimana pengaturan hak tanggungan dalam sistem hukum Indonesia dan terakhir bagaimana akibat hukum putusan pernyataan pailit terhadap kreditur pemegang hak tanggungan.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder serta mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis yang dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini misalnya buku-buku ilmiah, peraturan perundanag-undangan, jurnal hukum dari internet, dan lain-lain yang memiliki kaitan dengan skripsi ini.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa akibat hukum putusan pernyataan pailit mengakibatkan debitor kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya. Dalam keadaanya yang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo tersebut maka para debitor memberikan jaminan kebendaan pelunasan utang salah satunya berupa hak tanggungan atas seluruh utang-utangnya kepada kreditor. Pengaturan hak tanggungan dalam sistem hukum Indonesia ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan (bersifat parsial) dan setiap kreditor pemegang hak tanggungan tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam hal terkait penangguhan daripada hak eksekusi kreditor separatis.

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 1

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi dapat terjadi karena tersedianya beberapa faktor penunjang serta iklim berusaha yang bagus sebagai salah satu faktor yang dominan. Meskipun demikian terdapat satu faktor yang relatif sangat penting dan harus tersedia, yaitu tersedianya dana dan sumber dana, mengingat dana merupakan motor bagi kegiatan dunia usaha pada umumnya.

Setiap organisasi ekonomi dalam bentuk apapun atau dalam skala apapun selalu membutuhkan dana yang cukup agar laju kegiatan serta perkembangannya dapat diharapkan terwujud sesuai dengan perencanaannya. Kebutuhan dana, adakalanya dapat dipenuhi sendiri (secara internal) sesuai dengan kemampuan, tetapi adakalanya tidak dapat dipenuhi sendiri. Untuk itu dibutuhkan bantuan pihak lain (eksternal) yang bersedia membantu menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan dengan cara meminjam atau berutang kepada pihak lain.

(11)

Sebaliknya pelaku usaha yang sudah tidak bisa membayar utang-utangnya disebut “insolvable”, artinya tidak mampu membayar.

Suatu usaha tidak selalu berjalan dengan baik dan lancar, acap kali keadaan keuangan pelaku usaha tersebut sudah sedemikian rupa sehingga sampai pada suatu keadaan berhenti membayar, yaitu suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mampu lagi membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Dalam keadaanya yang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo tersebut maka para debitor memberikan jaminan kebendaan pelunasan utang salah satunya berupa hak tanggungan atas seluruh utang-utangnya kepada kreditor. Adapun yang dimaksud hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.

(12)

yang beritikad baik tersebut tidak terjamin pelunasannya. Tindakan tersebut merupakan perlakuan tidak adil oleh debitor terhadap kreditornya, keadaan ini dapat dicegah melalui lembaga kepailitan.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas Sri Redjeki Hartono mengatakan: “Lembaga kepailitan memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila Debitor dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan mencegah/menghindari dua hal berikut, yang keduanya merupakan tindakan-tindakan yang tidak adil dan dapat merugikan semua pihak, yaitu: menghindari eksekusi massal oleh debitor atau kreditor dan mencegah terjadinya kecurangan oleh debitor sendiri.”

Kepailitan pada dasarnya merupakan realisasi dari dua asas pokok yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.

Pasal 1131: “Segala kebendaan si berutang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

Pasal 1132: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

(13)

kekayaan debitor baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari.

Kepailitan pada hakekatnya akan menyangkut status hukum dari subjek hukum yang bersangkutan (baik subjek hukum pribadi maupun subjek hukum badan hukum/bukan badan hukum) maka harus mengikuti syarat dan prosedur tertentu sehingga dapat dinyatakan pailit dengan berdasarkan suatu keputusan hakim.

Salah satu syarat pengajuan perkara kepailitan adalah si debitor harus mempunyai dua atau lebih kreditor, yang mana salah satu utangnya telah jatuh tempo. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkara kepailitan bersumber pada masalah utang-piutang. Menurut Sutan Remy Sjahdeni pengertian utang terdapat 2 (dua) pendirian, yaitu pendirian yang menganut utang dalam arti sempit yang timbul dari perjanjian utang-piutang saja dan pendirian yang menganut utang dalam arti luas yang timbul karena perikatan apapun juga, baik yang timbul karena perjanjian utang-piutang maupun perjanjian lainnya maupun yang timbul karena undang-undang.

(14)

berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata secara otomatis kreditor mempunyai jaminan umum pembayaran utang dari harta benda milik debitor.

Kepailitan dapat diajukan atas permohonan debitor sendiri atau oleh seorang kreditor maupun beberapa orang kreditor, Kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia dalam hal Debitornya adalah Bank, Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian maupun oleh Menteri Keuangan dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Asurasi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.

Permohonan pernyataan pailit yang ditujukan oleh hakim kepada seorang debitor yang tidak dapat membayar utang akan dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi atau dengan kata lain dengan mekanisme pembuktian sederhana. Dalam pelaksanaan putusan banyak menimbulkan permasalahan hukum misalnya terkait dengan verifikasi kreditor dari si debitor pailit yang biasanya dalam verifikasi tersebut menimbulkan permasalahan tentang tingkatan kreditor apakah termasuk kreditor separatis, konkuren dan preferen. Selain itu permasalahan dalam pelaksanaan putusan pernyataan pailit juga sering timbul dalam eksekusi putusan pailit.

(15)

yang tidak memiliki benda jaminan sehingga kemungkinan diantara mereka terjadi perebutan harta debitor. Oleh karena itu, salah satu fungsi kepailitan adalah untuk memenuhi hak kreditor bersaing atau kreditor konkuren secara adil, sehingga tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang secara hukum tidak dibenarkan.

Pendapat Man S. Sastrawidjaja tersebut didasarkan pada prinsip hukum jaminan, berdasarkan prinsip hukum jaminan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan seperti pemegang hak gadai, hak tanggungan, pemegang jaminan fidusia, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (yang selanjutnya disebut UUK dan PKPU), yang berbunyi: ”Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, 57, dan 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”.

Dari isi pasal tersebut, maka meski terjadi kepailitan pemegang hak jaminan kebendaan tetap dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Jadi terjadi atau tidak kepailitan tidak menghalangi hak pemegang hak jaminan kebendaan untuk mengeksekusi haknya.

(16)

penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, kreditor pemegang hak tanggungan tidak dapat langsung mengeksekusi haknya, tetapi harus ditangguhkan pelaksanaannya dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan pailit ditetapkan. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa UUK dan PKPU tidak konsisten dalam mengatur kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, disatu sisi berdasarkan Pasal 55 ayat (1) kreditor tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, di sisi lain menurut Pasal 56 ayat (1) pelaksanaan hak atau eksekusi dari kreditor harus menunggu selama jangka waktu stay, yaitu paling lama 90 hari sejak debitor dinyatakan pailit.

Akibat dari ketidakjelasan tersebut yang menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama bagi kreditor pemegang hak tanggungan maka penulis mengangkat dalam suatu penelitian dengan judul “AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN”

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka pokok permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah akibat hukum putusan pernyataan pailit menurut UU No.37 Tahun 2004?

(17)

3. Bagaimanakah akibat hukum putusan pernyataan pailit terhadap kreditur pemegang hak tanggungan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang dapat dijadikan tujuan dari pembahasan dalam skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum putusan pernyataan pailit menurut UU No.37 Tahun 2004.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hak tanggungan dalam sistem hukum Indonesia sehubungan dengan adanya dua ketentuan yang berbeda tersebut.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum yang timbul terhadap kreditor pemegang hak tanggungan karena putusan pernyataan pailit debitor pemberi hak tanggungan oleh Pengadilan Niaga. Hal ini sangat penting agar tercipta suatu kepastian hukum bagi kreditor pemegang hak tanggungan.

Manfaat penulisan yang dapat di kutip dari skripsi ini antara lain : 1. Secara Teoritis

Secara teoritis, diharapkan pembahasan terhadap masalah yang diangkat dan dibahas mampu melahirkan pemahaman mengenai akibat hukum dari putusan pernyataan pailit tersebut.

2. Secara Praktis

(18)

pelaksanaan putusan pernyataan pailit terhadap kreditur pemegang hak tanggungan. Juga sebagai kajian bagi para pihak akademis dalam menambah wawasan pengetahuan terutama di bidang hukum kepailitan.

D. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul “Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan”, penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum / Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU melalui surat tertanggal 17 September 2011 (terlampir) menyatakan bahwa “Tidak ada Judul yang sama”.

Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain :

1. Perlindungan hukum terhadap kreditor pemegang jaminan fidusia karena debitornya dinyatakan pailit

2. Akibat hukum putusan pailit terhadap utang pajak perseroan ditinjau dari hukum kepailitan dan hukum pajak

(19)

4. Tinjauan hukum tentang akibat putusan pernyataan pailit pada perseroan terbatas (studi kasus pada pernyataan pailit pengadilan niaga Jakarta)

5. Tinjauan yuridis terhadap putusan permohonan pernyataan pailit (studi pada Pengadilan Niaga Medan, PT. Bahtera Lestari Sejahtera terhadap PT. Duta Sahabat Abadi)

Surat dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum / Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Windha,SH,M.Hum (Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) untuk menerima judul yang diajukan penulis.

(20)

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam UUK dan PKPU menyebutkan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.1

1. Debitor sendiri;

Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan, jika persyaratan kepailitan tersebut telah terpenuhi, antara lain: debitor tersebut mempunyai dua atau lebih kreditor, dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Yang dapat dinyatakan pailit adalah: “orang perorangan, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah menikah maupun belum menikah; perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya; perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum; dan harta peninggalan.”

Permohonan pernyataan pailit tersebut dapat diajukan oleh :

2. Atas permintaan seorang atau lebih kreditornya; 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;

4. Dalam hal menyangkut debitor yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia;

5. Dalam hal menyangkut debitor yang merupakan perusahaan efek, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

1

(21)

Dalam hal pengadilan yang berwenang untuk mengadilinya maka apabila diperhatikan Pasal 3 UUK dan PKPU, walaupun tidak secara eksplisit ditentukan namun diketahui bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor.

Ketentuannya adalah sebagai berikut :2

1. Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan atau diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor.

2. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor.

3. Dalam hal debitor adalah pesero adalah pesero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan firma tersebut juga berwenang untuk memutuskan.

(22)

5. Dalam hal debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya.

Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga. Panitera Pengadilan Niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

Dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Dalam Pasal 10 ayat (1) UUK dan PKPU dinyatakan bahwa selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :

1. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor; atau

2. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi : a. pengelolaan usaha debitor; dan

(23)

Yang disebut dengan harta pailit adalah harta milik debitor yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan. Harta benda yang dikecualikan dari harta pailit menurut ketentuan Pasal 22 UUK dan PKPU adalah: 1. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutukan oleh debitor sehubungan

dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitor dan keluarganya;

2. segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan hakim pengawas; atau

3. uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.

Mengenai masalah hak yang dimiliki oleh seorang istri atas kepailitan suaminya, di mana dikatakan bahwa dalam hal seorang suami dinyatakan pailit, maka istri dibolehkan untuk mengambil kembali semua barang bergerak dan tak bergerak yang menjadi kepunyaannya, yang tidak jatuh dalam persatuan harta. Dan jika suami atau istri, pada waktu perkawinan dilangsungkan membawa barang-barang yang hendak ditaruhnya di luar persatuan, maka yang demikian itu harus dibuktikan sebagaimana ditentukan.

(24)

sedangkan kepailitan tersebut adalah untuk kepentingan semua kreditor yang berhak meminta pembayaran dari harta persatuan.

Kepailitan mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. “Pembekuan” hak perdata ini diberlakukan sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini juga berlaku bagi suami atau istri dari debitor pailit yang kawin dalam persatuan harta kekayaan.

F. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder.3

2. Sumber Data

Data sekunder dalam skripsi ini adalah kajian yang digunakan terhadap peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan, melalui peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, dan kamus serta data lain yang terdiri atas:4 a. Bahan hukum primer, yaitu : Norma atau kaedah dasar seperti Pembukaan

UUD 1945, Peraturan Dasar seperti Peraturan Perundang-undangan yang meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri,

3

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) , hal. 24.

4

(25)

yaitu : Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu : buku-buku yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tertier, yaitu : kamus, bahan dari internet, dan lain-lain yang nerupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum tertier.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik mengumpulkan data untuk penulisan merupakan studi kepustakaan atau penggunaan data secara studi pustaka (Library Research). Metode studi pustaka (Library Research) mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Sumber-sumber ini antara lain dari buku-buku ilmiah, artikel, internet, bahan seminar, skripsi, thesis, disertasi, dan lain-lain yang memiliki keterkaitan dengan skripsi ini. 4. Analisis Data

(26)

gejala yang diteliti.5

G. Sistematika Penulisan

Maka dalam skripsi ini digunakan metode analisis kualitatif agar lebih fokus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan dari internet, kamus, dan lain-lain yang berhubungan dengan judul skripsi yang dapat digunakan untuk menjawab persoalan yang dihadapi.

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya diuraikan secara sistematis dan diperlukan suatu sistematika penulisan yang teratur. Di mana penulis membagi menjadi bab per bab dan masing-masing bab ini saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan, dimana pada bab ini dipaparkan hal-hal yang umum sebagai langkah awal dari penulisan skripsi. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II : AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO.37 TAHUN 2004

5

(27)

Pada bab ini dipaparkan tentang bagaimana akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitor pailit, akibat kepailitan terhadap suami/istri debitor pailit, akibat kepailitan terhadap seluruh perikatan yang dibuat debitor pailit, serta akibat kepailitan terhadap seluruh perbuatan hukum debitor yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

BAB III : PENGATURAN HAK TANGGUNGAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Pada bab ini dipaparkan tentang pengertian umum hak tanggungan, hak tanggungan dalam KUHPerdata maupun dalam UU No.4 Tahun 1996 dan tata cara eksekusi hak tanggungan dalam kepailitan.

BAB IV : AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN

Pada bab ini dipaparkan bagaimana kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam kepailitan dan akibat hukum putusan pernyataan pailit terhadap kreditur pemegang hak tanggungan.

BAB V : PENUTUP

(28)

BAB II

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU

NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit

Dalam UUK dan PKPU disebutkan bahwa : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.6

1. Syarat debitor mempunyai dua kreditor atau lebih (Concursus Creditorum) Syarat-syarat permohonan pernyataan pailit sebagaimana ditentukan dalam pasal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.7 Sedangkan kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.8

Dalam kepailitan ada 3 (tiga) golongan kreditor yaitu : 9

a. Kreditor konkuren/bersaing, yaitu kreditor-kreditor yang tidak termasuk golongan khusus dan golongan istimewa. Piutang mereka dibayar dengan

6

(29)

sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan kreditor separatis dan kreditor preferen. Sisa penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditor konkuren (Pasal 1132 KUHPerdata).

b. Kreditor yang mempunyai privilege atau hak istimewa sering disebut kreditor preferen, adalah kreditor yang mempunyai hak untuk didahulukan pembayaran piutangnya dari kreditor lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya yang diistimewakan. Hal tersebut dapat mengenai benda-benda tertentu saja atau dapat mengenai semua benda-benda bergerak pada umumnya. Mereka ini menerima pelunasan terlebih dahulu dari penjualan barang yang bersangkutan.

Untuk mengetahui piutang-piutang mana yang diistimewakan dapat dilihat dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata. Menurut Pasal 1139, piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu, antara lain:

1) biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari semua piutang lainnya yang diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula daripada gadai dan hipotek;

(30)

3) harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar; 4) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang; 5) biaya untuk melakukan pekerjaan pada suatu barang, yang masih harus

dibayar kepada seorang tukang;

6) apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan sebagai demikian kepada seorang tamu;

7) upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan;

8) apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan lain-lain tukang untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan benda-benda tidak bergerak, asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si berutang; 9) penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai yang

memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.

Adapun Pasal 1149 KUHPerdata menentukan bahwa piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya adalah yang disebutkan di bawah ini, piutang-piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu menurut urutan sebagai berikut :

(31)

2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi.

3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan. 4) Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar

dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah menurut Pasal 1602 q.

5) Piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan yang dilakukan kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam bulan yang terakhir.

6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun yang penghabisan.

7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka.

(32)

Kreditor separatis mempunyai ikatan tertentu dan hak-haknya dijamin dengan perjanjian tertentu, oleh karenanya kedudukan mereka diluar kepailitan. Artinya mereka tidak diverifikasikan tetapi dimasukkan ke dalam daftar pembagian dan didaftarkan pada kurator. Sedangkan yang termasuk kreditor preferen dan kreditor konkuren harus diverifikasikan dalam rapat verifikasi serta masuk dalam daftar pembagian.

2. Syarat harus adanya utang

Di bawah ini beberapa pendapat para pakar hukum mengenai pengertian utang, yaitu :

a. Menurut Kartini dan Gunawan Widjaja, utang adalah perikatan, yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitor dan bila tidak dipenuhi, kreditor berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitor. Pada dasarnya UUK dan PKPU tidak hanya membatasi utang sebagai suatu bentuk utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja.11

b. Menurut Setiawan, utang seyogianya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu.12

11

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hal. 11.

12

(33)

Kontroversi mengenai pengertian utang, akhirnya dapat disatuartikan dalam UUK dan PKPU, yaitu : Dari definisi utang yang diberikan oleh UUK & PKPU jelaslah bahwa definisi utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya meliputi utang yang timbul dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam-meminjam, tetapi juga utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang.

3. Syarat satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

(34)

B. Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit

1. Tahap Pendaftaran Permohonan Pernyataan Pailit

Pasal 1 angka (7) UUK dan PKPU secara tegas menentukan bahwa : “Pengadilan adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan umum.” Apabila diperhatikan Pasal 3, walaupun tidak secara eksplisit ditentukan namun diketahui bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor.

Ketentuannya adalah sebagai berikut :13

a. Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan atau diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor.

b. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor.

c. Dalam hal debitor adalah pesero yakni pesero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan firma tersebut juga berwenang untuk memutuskan.

d. Dalam hal debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah negara Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang memutuskan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliput i tempat

13

(35)

kedudukan atau kantor pusat debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.

e. Dalam hal debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.

Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan niaga. Panitera pengadilan niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

Pasal 6 ayat (3) UUK dan PKPU mewajibkan panitera untuk menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. Pasal 6 ayat (3) UUK dan PKPU ini pernah diajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 001-002/PUU.III/2005 telah menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta penjelasannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain :

(36)

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, ditentukan bahwa tugas pokok panitera adalah menangani administrasi perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan dan tidak berkaitan dengan fungsi peradilan, yang merupakan kewenangan hakim. Menolak pendaftaran suatu permohonan pada hakikatnya termasuk ranah yustisial. Panitera diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan fungsi yustisial, hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta penegakan hukum dan keadilan;14

b. Menimbang pula bahwa sejak lama telah diakui asas hukum yang berbunyi bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Asas ini dicantumkan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan mengadili suatu perkara yang hukumnya jelas mengatur perkara yang diajukan kepada pengadilan;

c. Apabila panitera diberikan wewenang untuk menolak mendaftarkan permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan asuransi, hal tersebut dapat diartikan penitera telah mengambil alih kewenangan hakim untuk memberi keputusan atas suatu permohonan. Kewenangan demikian menghilangkan hak pemohon untuk mendapatkan penyelesaian sengketa

14

(37)

hukum dalam suatu proses yang adil dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan dengan prinsip due process of law dan access to courts yang merupakan pilar utama bagi tegaknya rule of law;15

d. Meskipun hasil akhir atas permohonan yang bersangkutan boleh jadi sama, yaitu tidak dapat diterimanya permohonan yang bersangkutan, karena tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang a quo, yang menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD 1945, keputusan demikian harus dituangkan dalam putusan yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ;

e. Menimbang bahwa karena penjelasan Pasal 6 ayat (3) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari pasal yang dijelaskan, dengan sendirinya penjelasan pasal tersebut diperlakukan sama dengan pasal yang dijelaskannya.

Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, panitera pengadilan niaga menjadi tidak berwenang untuk menolak setiap perkara yang masuk. Setelah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit, panitera menyampaikan permohonan tersebut kepada ketua pengadilan niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan didaftarkan. 16

15

(38)

2. Tahap Pemanggilan Para Pihak

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan kepailitan, sebagai berikut:

a. Debitor sendiri, dengan syarat bahwa debitor tersebut mempunyai minimal 2 (dua) kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;

b. kreditor yang mempunyai piutang kepada debitor yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat 1);

c. Kejaksaan atau jaksa demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat 2) ;

d. Bank Indonesia dalam hal menyangkut debitor yang merupakan bank (Pasal 2 ayat 3);

e. Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal menyangkut debitor yang merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 2 ayat 4); f. Menteri Keuangan dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat 5). UUK dan PKPU memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengajukan pailit Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik ini merupakan sesuatu yang baru yang tidak dijumpai dalam UU No.4 Tahun 1998.17

17

(39)

Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita melakukan pemanggilan para pihak, antara lain :18

a. wajib memanggil debitor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan;

b. dapat memanggil kreditor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU telah terpenuhi.

Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan.

3. Tahap Persidangan atas Permohonan Pernyataan Pailit

(40)

Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :19

a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor; atau

b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi : 1) pengelolaan usaha debitor; dan

2) pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitor yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator.

Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditor.20 Selanjutnya dikatakan bahwa dalam hal permohonan meletakkan sita jaminan tersebut dikabulkan, maka pengadilan dapat menetapkan syarat agar kreditor pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh pengadilan.21

“... Namun demikian, untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan debitor dan kreditor, pengadilan dapat mempersyaratkan agar kreditor memberikan uang jaminan dalam jumlah yang wajar apabila upaya pengamanan tersebut dikabulkan. Dalam menetapkan persyaratan tentang uang jaminan atas keseluruhan kekayaan debitor, jenis kekayaan debitor dan besarnya uang jaminan yang harus diberikan sebanding dengan

Kemudian dalam penjelasannya dijelaskan :

(41)

kemungkinan besarnya kerugian yang diderita oleh debitor, apabila permohonan pernyataan pailit ditolak oleh pengadilan”.

Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa jaminan hanya diperlukan apabila pemohonnya adalah kreditor, sedangkan jika BI, Bapepam, dan Menteri Keuangan yang bertindak sebagai pemohon, jaminan tersebut tidak diperlukan. 22

4. Tahap Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang dialihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhinya putusan pernyataan pailit.

(42)

yaitu 2 (dua) bulan di mana pengadilan wajib memberikan putusan, terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat pula :

a. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan

b. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.23

Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitor, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.

C. Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit

Setelah putusan permohonan pernyataan pailit diucapkan oleh hakim pengadilan niaga, maka timbullah sejumlah akibat hukum terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor, antara lain sebagai berikut.

1. Akibat Kepailitan Secara Umum

a. Akibat Kepailitan Terhadap Harta Kekayaan Debitor Pailit

23

(43)

Kepailitan mengakibatkan seluruh kekayaan debitor serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan, kecuali :

1) benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutukan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitor dan keluarganya;

2) segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan hakim pengawas; atau

3) uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.

Tanggal putusan tersebut dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit tersebut diucapkan, debitor pailit demi hukum tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya. Dalam arti, debitor hanya kehilangan haknya dalam lapangan hukum harta kekayaan.

(44)

menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitor pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.25 Selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.26

c. Akibat Kepailitan Terhadap Seluruh Perbuatan Hukum Debitor Yang Dilakukan Sebelum Putusan Pernyataan Pailit Diucapkan

Untuk kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan kepada pengadilan.27

1) bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit;

Kemudian dalam Pasal 42 UUK dan PKPU diberikan batasan mengenai perbuatan hukum debitor tersebut, antara lain:

2) bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitor, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya;

3) bahwa debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor;

(45)

4) bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa :

a) merupakan perjanjian di mana kewajiban debitor jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat;

b) merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih; c) merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor

perorangan, dengan atau untuk kepentingan:

(1)suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga;

(2)suatu badan hukum di mana debitor atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka (1) adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.

2. Akibat Kepailitan Secara Khusus

a. Akibat Kepailitan terhadap Perjanjian Timbal Balik

Prof. Subekti menerjemahkan istilah overeenkomst dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia, yaitu “Perjanjian”. Pasal 1313 KUHPerdata memberikan definisi perjanjian, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.28

28

(46)

perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri atas satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri atas satu atau lebih badan hukum.29

1) suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Pasal 1314 KUHPerdata berbunyi :

2) suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

3) suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Dari rumusan Pasal 1314 KUHPerdata di atas, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian dapat bersifat sepihak dan perjanjian yang bersifat timbal balik. Perjanjian yang bersifat sepihak, yaitu suatu perjanjian di mana hanya ada satu pihak yang mempunyai kewajiban atas prestasi terhadap pihak lain. Contohnya perjanjian hibah. Adapun perjanjian yang bersifat timbal balik, yaitu suatu perjanjian di mana kedua belah pihak saling berprestasi. Dalam perjanjian timbal balik, selalu ada hak dan kewajiban di satu pihak yang saling berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak

29

(47)

lain.30

Pasal 36 ayat (1) UUK dan PKPU menentukan bahwa dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut. Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu tersebut tidak tercapai, hakim pengawas menetapkan jangka waktu tersebut.

Contohnya: perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian kerja, dan lain-lain.

31

Apabila dalam jangka waktu tersebut, kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak dalam perjanjian tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren.32

30

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Cet. III, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 239.

31

Pasal 36 ayat (2) UUK dan PKPU.

(48)

b. Akibat Kepailitan terhadap Berbagai Jenis Perjanjian 1) Perjanjian hibah

Hibah diatur dalam Bab ke-10 mulai dari Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUHPerdata. Pasal 1666 KUHPerdata mendefinisikan hibah sebagai berikut : Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-Undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup.

Dari pasal di atas, dapat diketahui bahwa hibah merupakan suatu perjanjian yang bersifat sepihak, yang prestasinya berupa menyerahkan sesuatu, serta antara penghibah dan penerima hibah adalah orang-orang yang masih hidup.

(49)

Dari kedua pasal tersebut, dapat diketahui bahwa hibah yang dilakukan oleh debitor (pailit) yang akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, maka hibah semacam itu dapat dimintai pembatalan oleh kurator kepada pengadilan. Untuk melakukan pembatalan perjanjian hibah tersebut, perlu dibuktikan terlebih dahulu bahwa debitor mengetahui atau patut mengetahui perjanjian hibah tersebut mengakibatkan kerugian bagi kreditor.

Menurut Pasal 43 dan Pasal 44 UUK dan PKPU, dikatakan bahwa ada dua sistem pembuktian yang dipakai dalam hal ini, yaitu:

a) sistem pembuktian terbalik, jika perjanjian hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Jadi di sini, pihak debitor (penghibah) yang harus membuktikan bahwa hibah tersebut tidak merugikan kreditor.

b) sistem pembuktian biasa (sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata), jika perjanjian hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Di sini, kurator yang harus membuktikan bahwa hibah yang dilakukan debitor (pailit) telah mengakibatkan kerugian bagi kreditor.

2) Perjanjian Sewa-Menyewa

(50)

perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Untuk itu harus diindahkan pemberitahuan penghentian menurut perjanjian atau menurut kelaziman dalam jangka waktu paling singkat 90 (sembilan puluh) hari. Bila uang telah dibayar di muka maka perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, uang sewa merupakan utang harta pailit.33

3) Perjanjian dengan Prestasi Berupa Penyerahan Suatu Benda Dagangan Apabila dalam perjanjian timbal balik telah diperjanjikan penyerahan benda dagangan yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu, kemudian pihak yang harus menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi. Akan tetapi, dalam hal harta pailit dirugikan karena penghapusan perjanjian tersebut, maka pihak lawan wajib membayar ganti kerugian tersebut.34

33

Pasal 38 UUK dan PKPU.

34

(51)

4) Perjanjian terhadap harta warisan

Warisan yang selama kepailitan jatuh kepada debitor pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila menguntungkan harta pailit. Untuk itu kurator memerlukan izin dari hakim pengawas.35

5) Perjanjian terhadap Penjualan Surat Berharga

Pembayaran yang telah diterima oleh pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk yang karena hubungan hukum dengan pemegang terdahulu wajib menerima pembayaran, maka pembayaran tersebut tidak dapat diminta kembali. Bila pembayaran tidak dapat diminta kembali, orang yang mendapat keuntungan akibat diterbitkannya surat pengganti atau surat atas tunjuk, wajib mengembalikan kepada harta pailit jumlah uang yang telah dibayar oleh debitor apabila :

a) dapat dibuktikan bahwa pada waktu penerbitan surat tersebut yang bersangkutan mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit debitor sudah didaftarkan; atau

b) penerbitan surat tersebut merupakan akibat dari persengkongkolan antara debitor dan pemegang pertama.36

c. Akibat Kepailitan terhadap Pemegang Hak Tanggungan, Hak Gadai, dan Hak Retens

Putusan pernyataan pailit oleh hakim tidak mempunyai pengaruh terhadap pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek,

35

(52)

atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan hak retensi. 37

1) ganti rugi atas penurunan nilai harta pailit;

Pemegang hak tanggungan dapat melaksanakan haknya sebagai yang ditetapkan pada Pasal 1178 KUHPerdata, yaitu menjual benda jaminan. Pasal 55 menentukan : “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 137 maka mereka hanya dapat berbuat demikian setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui dalam penagihan tersebut.

Harta pailit yang dapat dijual oleh kurator terbatas pada barang persediaan (inventory) dan atau benda bergerak (current assets), meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas kebendaan. Yang dimaksud dengan “perlindungan yang wajar” adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi kepentingan kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan. Dengan pengalihan harta yang bersangkutan, hak kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum. Perlindungan dimaksud, antara lain dapat berupa:

2) hasil penjualan bersih;

3) hak kebendaan pengganti; atau

37

(53)

4) imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya. (Penjelasan Pasal 56 UUK dan PKPU).

Jangka waktu penangguhan berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi. Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut.

Apabila kurator menolak permohonan, kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada hakim pengawas. Hakim pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan diterima, wajib memerintahkan kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, kreditor dan pihak ketiga untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Hakim pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan diajukan kepada hakim pengawas. Dalam memutuskan permohonan mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan, hakim pengawas mempertimbangkan : 1) lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung; 2) perlindungan kepentingan kreditor dan pihak ketiga dimaksud; 3) kemungkinan terjadinya perdamaian;

(54)

Yang dimaksud dengan “insolvensi” adalah keadaan tidak mampu membayar.39

UUK dan PKPU mengakui eksistensi hak retensi atau hak menahan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 61 UUK dan PKPU, antara lain: kreditor yang mempunyai hak untuk menahan benda milik debitor, tidak kehilangan hak karena ada putusan pernyataan pailit. Kemudian dalam bagian penjelasan Pasal 61 UUK dan PKPU dikatakan: “Hak untuk menahan atas benda milik debitor berlangsung sampai utangnya dilunasinya”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun adanya putusan kepailitan, kreditor yang mempunyai hak retensi atau hak menahan terhadap benda milik debitor pailit tetap diakui keberadaan hak retensinya, sepanjang utangnya debitor pailit belum dibayar lunas. UUK Selanjutnya Penjelasan Pasal 57 ayat (6) menguraikan bahwa hal-hal perlu dipertimbangkan oleh hakim pengawas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini tidak menutup kemungkinan bagi hakim pengawas untuk mempertimbangkan hal-hal lain sepanjang memang perlu untuk mengamankan dan mengoptimalkan nilai harta pailit.

Hak retens adalah hak untuk tetap memegang benda milik orang lain sampai piutang si pemegang mengenai benda tersebut telah lunas. Aturan yang umum dalam KUHPerdata mengenai hak retensi ini tidak ada, melainkan diatur dalam pasal-pasal yang tercerai-berai, yaitu dalam Pasal-Pasal 567, 575, 576, 579, 834, 715, 1159, 1756, 1616, 1729, 1812 KUHPerdata.

39

(55)

dan PKPU mewajibkan kurator untuk menembus benda yang ditahan oleh kreditor tersebut dengan membayar piutang kreditor tersebut. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 185 ayat (4) UUK dan PKPU, antara lain bahwa kurator berkewajiban membayar piutang kreditor yang mempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan menguntungkan harta pailit.

d. Akibat Kepailitan terhadap Suami atau Istri

Pasal 23 UUK dan PKPU menentukan bahwa : “Apabila seseorang dinyatakan pailit, maka pailit tersebut termasuk juga istri atau suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta. Ketentuan pasal ini membawa konsekwensi yang cukup berat terhadap harta kekayaan.” Suami atau istri yang kawin dengan persatuan harta artinya bahwa seluruh harta istri atau suami yang termasuk dalam persatuan harta perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk ke dalam boedel pailit.

Meskipun Pasal 23 UUK dan PKPU menentukan bahwa kepailitan itu meliputi seluruh harta persatuan perkawinan, namun Pasal 62 mengatur beberapa hal yang cukup penting yang berkaitan dengan barang-barang yang tidak jatuh dalam prsatuan harta. Ketentuan tersebut adalah :

(56)

2)Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil tersebut.

3)Untuk tagihan yang bersifat pribadi terhadap istri atau suami maka kreditor terhadap harta pailit adalah suami atau istri.40

Istri atau suami tidak berhak menuntut atas keuntungan yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan kepada harta pailit suami atau istri yang dinyatakan pailit, demikian juga kreditor suami atau istri yang dinyatakan pailit tidak berhak menuntut keuntungan yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan kepada istri atau suami yang dinyatakan pailit.

Kepailitan suami atau istri yang kawin dalam suatu persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut. Dengan tidak mengurangi pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UUK dan PKPU, maka kepailitan tersebut meliputi semua benda yang termasuk dalam persatuan, sedangkan kepailitan tersebut adalah untuk kepentingan semua kreditor yang berhak meminta pembayaran dari harta persatuan. Bila suami atau istri yang dinyatakan pailit mempunyai benda yang tidak termasuk persatuan harta maka benda maka benda tersebut termasuk harta

40

(57)
(58)

BAB III

PENGATURAN HAK TANGGUNGAN DALAM SISTEM HUKUM

INDONESIA

A. Pengertian Umum Hak Tanggungan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima.42

Prof. Budi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah : Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitor kepadanya. 43

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;

Esensi dari definisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono adalah pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah merupakan wewenang untuk menguasai hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh kreditor bukan untuk menguasai secara fisik namun untuk menjualnya jika debitor cedera janji.

Dari uraian dan paparan di atas, dapatlah dikemukakan ciri hak tanggungan antara lain :

42

Sudarsono,Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 154.

43

(59)

2. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu berada atau disebut dengan Droit de Suit. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, yang selanjutnya disebut UUHT. Biarpun objek hak tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditor pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitor cedera janji;

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan; dan

4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam UUHT memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditor dalam pelaksanaan eksekusi.

Selain ciri-ciri di atas, keistimewaan kedudukan hukum kreditor pemegang hak tanggungan juga dijamin melalui ketentuan yaitu apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, objek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan sebelum kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek hak tanggungan itu.44

B. Hak Tanggungan dalam KUHPerdata

Perlindungan yang diberikan oleh undang-undang untuk kreditor, selain yang ditentukan di dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, juga terdapat suatu perlindungan khusus yang hanya dapat diberikan apabila memenuhi

44

(60)

ketentuan-ketentuantertentu dan menempuh proses tertentu yang ditentukan oleh undang-undang

.

Perlindungan khusus tersebut dapat diberikan apabila kreditor tersebut memegang hak jaminan atas benda tertentu milik debitor atau milik pihak ketiga yang bersedia tampil menjadi penjamin. Pasal 1132 KUHPerdata menyebutkan bahwa seorang kreditor dapat diberi hak untuk mendahului atau didahulukan dari kreditor-kreditor lainnya. Pasal 1133 KUHPerdata, hak untuk didahulukan diantara para kreditor muncul dari:

1. Hak istimewa 2. Gadai

3. Hipotek

Dengan ditetapkan UUHT dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, maka selain gadai dan hipotek, juga hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dan hak jaminan fidusia merupakan hak jaminan.

Kedudukan hak jaminan lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.45

45

Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata.

(61)

Terhadap hak jaminan dikenal beberapa asas yang berlaku yaitu:

1. Hak jaminan memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditor pemegang hak jaminan terhadap para kreditor lainnya .

2. Hak jaminan merupakan hak accesoir terhadap perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan tersebut. Perjanjian pokok yang dijamin itu ialah perjanjian utang-piutang antara kreditor dan debitor. Perjanjian hak jaminan akan berakhir secara otomatis apabila perjanjian pokoknya berakhir.

3. Hak Jaminan memberikan hak separatis bagi kreditor pemegang hak jaminan. Artinya, benda yang dibebani dengan hak jaminan itu bukan merupakan harta pailit dalam hal debitor dinyatakan pailit.

4. Hak jaminan merupakan hak kebendaan. Artinya hak jaminan itu akan selalu melekat di atas benda tersebut (atau selalu mengikuti benda tersebut) kepada siapa pun juga benda beralih kepemilikannya.46

6. Karena hak jaminan merupakan hak kebendaan, maka hak jaminan berlaku bagi pihak ketiga, oleh karena hak jaminan berlaku bagi pihak ketiga, maka

Referensi

Dokumen terkait

Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah.. sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

”Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pasal 1 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 tahun 1960, berikut atau tidak berikut benda- benda

Menurut Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak

Menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT disebutkan pengertian Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

Menurut Pasal 1 ayat 1 definisi Hak Tanggungan adalah : “Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan