• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Tax Planning Untuk Meminimalkan Pajak Pertambahan Nilai Terutang Pada PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera Utara Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Tax Planning Untuk Meminimalkan Pajak Pertambahan Nilai Terutang Pada PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera Utara Medan"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

MEDAN

S K R I P S I

PENERAPAN TAX PLANNING UNTUK MEMINIMALKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERUTANG PADA PT. WIJAYA KARYA BETON

WILAYAH PENJUALAN I SUMATERA UTARA MEDAN

O l e h :

NAMA

: CINDY MEGASARI

NIM

: 050522027

DEPARTEMEN : AKUNTANSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

(2)

i

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

“Penerapan Tax Planning Untuk Meminimalkan Pajak Pertambahan Nilai Terutang Pada PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera Utara Medan.”

Adalah benar hasil kerja saya sendiri dan judul yang dimaksud belum pernah dimuat, dipublikasikan atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi Program Ekstensi S1 Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Semua sumber data dan informasi yang diperoleh, telah dinyatakan dengan jelas, benar apa adanya. Dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh pihak Universitas.

Medan, 05 Maret 2008 Yang Membuat Pernyataan,

(3)

ii

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia – Nya, shalawat beriring salam juga penulis persembahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan Judul “ Penerapan Tax Planning Untuk Meminimalkan Pajak Pertambahan Nilai Terutang Pada PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera Utara Medan”, guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, yang disebabkan adanya keterbatasan kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan penulis baik memngenai materi, teknik penyusunan, maupun analisisnya. Oleh karenanya, dengan hati terbuka penulis menerima setiap saran dan kritik dari pembaca untuk penyempurnaan pada masa yang akan datang.

(4)

iii

Teristimewa juga penulis ucapkan terima kasih kepada adik – adikku yang tersayang Lusi, Rizal dan Bayu yang telah memberikan doa dan motivasinya kepada

penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga buat Belahan Hatiku “ Bang Didit” yang paling kucintai dan kusayangi yang saat ini ada di Bekasi, terima

kasih atas doa dan dukungannya selalu yang diberikan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga menghaturkan terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada : 1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak selaku Ketua Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc, Ak selaku Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Arifin Lubis, MM, Ak selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan sumbangan pemikirannya dalam mengarahkan dan membimbing penulis serta dengan sabarnya menghadapi penulis hingga penulis dapat menyelesaikan penilisan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Hotmal Ja’far, MM, Ak selaku Dosen Pembanding dan Penguji I yang bersedia memberikan sumbangan saran dan pemikiran dalam penyusunan skripsi ini.

(5)

iv

8. Staff PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera Utara, Bapak Agus Rivai, SE sebagai Kasi Keuangan dan Personalia, Ibu Wiwik Rustiani yang telah memberikan izin kepada penulis dan telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan bantuan kepada penulis dalam melakukan studi kasus skripsi ini. 9. Teman – teman Stambuk ’05 (Akuntansi) : Kak Ruth, Kak Ikma , Mega dan

masih banyak lagi yang tidak mungkin penulis sebutkan satu – persatu. Thanks yah Fren

Semoga penulisan skripsi ini akan berguna dan bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak terkira kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, 04 Maret 2008 Penulis

(6)

v

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan Tax Planning (perencanaan pajak) yang tepat dalam rangka melakukan efisiensi serta untuk meminimalkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai Terutang pada PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera Utara Medan sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No 18 Tahun 2000.

Metode analisis yang digunakan adalah metode kuantitatif, dimana penulis mengambil data-data yang berhubungan dengan transaksi Pajak Pertambahan Nilai, antara lain yaitu laporan keuangan tahun 2005 kemudian menganalisa komponen-komponen yang berhubungan dengan pajak masukan dan pajak keluaran yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan apakah sudah diterapkan secara benar oleh perusahaan. Komponen-komponen yang dimaksud adalah pembelian barang modal, pembelian kepada Pengusaha Kena Pajak, maupun komponen-komponen lain yang behubungan dengan pajak masukan dan pajak keluaran yang dapat dikreditkan. Penulis menganalisa apakah perusahaan sudah mengkreditkan pajak masukan atas pajak keluaran yang sebenarnya dapat dikreditkan. Jenis data yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang diperoleh dari objek penelitian yang dalam hal ini adalah PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera Utara Medan secara langsung melalui teknik wawancara langsung kepada pihak perusahaan dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari perusahaan dan data tersebut sudah diolah seperti sejarah singkat perusahaan, stuktur organisasi perusahaan dan laporan keuangan perusahaan.

Setelah melakukan penganalisaan, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya Tax Planning ini maka laba bersih perusahaan menjadi lebih besar yaitu Rp 3.606.208.274 dan hutang PPN berkurang menjadi Rp 23.295.708. Dengan demikian penerapan Tax Planning pada PT. Wijaya Karya Beton akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yaitu adanya penghematan pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan peningkatan laba bersih perusahaan. Saran-saran yang dapat dikemukakan antara lain sebaiknya perusahaan lebih memahami Ketentuan Perpajakan yang berlaku terutama mengenai Pajak Pertambahan Nilai yang diatur dalam Undang-Undang PPN Nomor 18 Tahun 2000.

(7)

vi

The objective of this research is to determine the right Tax Planning on the Value Added Tax for efficiency and also to minimize the value of payable Value Added Tax in PT. Wijaya Karya Beton, Sale Region I North Sumatera Medan according to the Regulation Value Added Tax No 18 of the 2000.

The method of the analysis used is quantitative method, ini which the writer takes the data related to transaction of Value Added Tax, including financial statement 2005 and then analysed whether the components which were related to input tax and output tax that can be credited and that can’t be credited, whether it has been applied well by the company. The components included are purchase of capital goods, the purchase to Taxpayer businessmen or another components related to input tax and output tax that can be credited. The writer analyzes whether the company has credited the input tax over output tax that actually can be credited. The type of data used is primary data, i.e., data gained from object of research, in this case PT. Wijaya Karya Beton, Sale Region I North Sumatera Medan directly through technic of interview to side of company and secoundary data, i.e., the data gained from company and the data is already processed such as brief history of company, organizational structure of company and financial statement of company.

After analyzing, it can be concluded that with the Tax Planning, net profit of company can be larger, i.e., Rp 3.606.208.274 and the debt of PPN declines to Rp 23.295.708. This application of Tax Planning in PT. Wijaya Karya Beton will give the profit to company, i.e., there is saved tax particularly the Value Added Tax in debt and increase in net profit of company. The suggestions are, organization should better understand the provision of Tax particularly regarding the Value Added Tax as regulated in PPN Law 18 of the 2000.

(8)

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya suatu perusahaan didirikan karena memiliki tujuan-tujuan tertentu. Tujuan perusahaan dapat dibagi menjadi 2 yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek perusahaan adalah untuk memaksimalkan laba atau keuntungan yang akan diperolehnya, sedangkan tujuan jangka panjang perusahaan yaitu untuk going concern. Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, seringkali perusahaan menekan biaya produksi dan menekan biaya- biaya lain sehingga dapat memperkecil atau meminimalkan pengeluaran-pengeluaran perusahaan sehingga laba atau keuntungan yang diperoleh perusahaan semakin besar dan meningkat.

Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, suatu perusahaan membutuhkan adanya Tax Planning (perencanaan pajak) untuk meminimalkan jumlah pembayaran pajaknya dan untuk meningkatkan laba / keuntungannya. Salah satu contoh perencanaan pajak yang digunakan perusahaan adalah perencanaan pajak untuk meminimalkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Terutang.

(9)

penjualan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang pembayarannya belum diterima, selambat-lambatnya akhir bulan setelah Masa Pajak berakhir.

Pajak masukan yang dapat dikreditkan ini dapat dilakukan misalnya dengan melakukan ekspor Barang Kena Pajak (BKP). Pengusaha Kena Pajak (PKP) juga dapat meminimalkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Terutangnya dari penggunaan barang modal serta pembelian bahan baku yang berhubungan dengan hasil usahanya. Penggunaan barang modal oleh perusahaan antara lain adalah penggunaan mesin-mesin untuk menghasilkan barang baik untuk ekspor maupun untuk barang-barang yang akan dijual di dalam negeri. Atas perolehan mesin-mesin tersebut maka pajak masukannya dapat dikreditkan.

Dengan melakukan ekspor, perusahaan dapat meminimalkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Terutangnya dengan cara meminta kembali pajaknya (restitusi) atau mengkompensasikan pajaknya untuk pembayaran pajak masa berikutnya, karena dalam ekspor ditentukan tarif 0 %.

(10)

PT. Wijaya Karya Beton merupakan salah satu anak perusahaan PT. Wijaya Karya yang bidang usahanya sebagai produsen industri beton. PT. Wijaya Karya Beton telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sehingga wajib untuk memunggut Pajak Pertambahan Nilai dari pembeli saat menjual barang dagangan yaitu yang disebut dengan pajak keluaran. Pada saat membeli barang dagangan maupun bukan merupakan barang dagangan, perusahaan juga akan dipunggut Pajak Pertambahan Nilai yaitu yang disebut pajak masukan. Untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai Terutang, maka PT. Wijaya Karya Beton perlu melakukan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran.

Menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 18 Tahun 2000, maka seluruh pembelian barang yang berhubungan dengan usaha, maka seluruh pajak masukannya dapat dikreditkan, namun ada beberapa pembelian untuk kepentingan usaha yang tidak dikreditkan oleh PT. Wijaya Karya Beton sehingga menyebabkan hutang PPN Tahun 2005 sebesar Rp 62.591.199 dan Laba Bersih sebesar Rp 3.605.893.944. Untuk dapat meminimalkan jumlah Pajak Pertambahan Nilainya atau paling tidak berguna untuk menunda pembayaran PPN Terutang, PT. Wijaya Karya Beton perlu untuk menerapkan Tax Planning (perencanaan pajak) yang tepat untuk melakukan efisiensi dan untuk meminimalkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh perusahaan.

(11)

judul : “ Penerapan Tax Planning Untuk Meminimalkan Pajak Pertambahan Nilai Terutang pada PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera Utara Medan.”

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi perumusan masalah sehubungan dengan judul tersebut diatas adalah sebagai berikut :

Bagaimana Tax Planning (perencanaan pajak) yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan efisiensi terhadap pembayaran Pajak Pertambahan Nilainya serta untuk meminimalkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai Terutangnya sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan?

C. Batasan Masalah

Sehubungan dengan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis mencoba membuat batasan masalah dalam penulisan skripsi ini, yaitu :

(12)

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah : untuk menentukan Tax Planning (Perencanaan Pajak) yang tepat dalam rangka untuk melakukan efisiensi

terhadap pembayaran Pajak Pertambahan Nilai serta untuk meminimalkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai Terutang pada PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera Utara Medan.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi banyak pihak antara lain:

a. Bagi penulis, dapat mengetahui perhitungan Pajak Pertambahan Nilai yang benar dalam suatu perusahaan dan memberi pengalaman belajar demi menumbuhkan kemampuan dan keterampilan dalam bidang perpajakan. b. Bagi perusahaan, diharapkan dapat menjadi bahan masukan kepada

perusahaan untuk dapat melakukan Tax Planning (perencanaan pajak) yang tepat dalam meminimalkan Pajak Pertambahan Nilai Terutang sesuai dengan Undang – Undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

(13)

E. Kerangka Konseptual

Penerapan

Tax Planning

PT. Wijaya Karya

Beton

UU No. 18 Tahun

2000 Tentang PPN

dan PPnBM

Analisa

(14)
(15)

A. Dasar Perpajakan 1. Pengertian Pajak

Banyak definisi pajak yang telah dikemukakan oleh para pakar, namun semuanya itu memiliki maksud dan tujuan yang sama, perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pihak dalam merumuskan pengertian pajak. Beberapa definisi tersebut antara lain yang dikemukakan oleh P. J. A. Adriani (Waluyo, 2003 : 4), yaitu :

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.

Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa pajak memiliki unsur-unsur atau ciri-ciri antara lain :

a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.

b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi secara individu oleh pemerintah.

(16)

d. Pajak diperuntukkan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah dan apabila pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai “public investment.”

Keempat unsur pajak di atas hanya mengambarkan bahwa fungsi pajak semata-mata sebagai sarana untuk memasukkan uang sebagai pendapatan negara (fungsi budgetair), sedangkan masih terdapat satu lagi fungsi pajak yaitu fungsi mengatur (reguler). Atas dasar kelima unsur tersebut, maka dalam buku “Pajak dan Pembangunan”, Rochmat Soemitro, SH (Suandy, 2005 : 11) merumuskan definisi pajak sebagai berikut “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk simpanan publik yang merupakan sumber utama untuk membiayai investasi publik”

2. Fungsi Pajak

Menurut Waluyo (2003 : 8), pajak mempunyai dua fungsi yaitu : a. Fungsi Budgeter

Yaitu pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik yang bersifat rutin maupun untuk pembangunan. Sebagai contoh dengan dimasukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.

b. Fungsi Reguler

(17)

3. Pembedaan dan Pembagian Jenis Pajak

Pembedaan dan pembagian jenis pajak mempunyai fungsi antara lain untuk memudahkan pekerjaan di dalam praktik, yaitu sebagai alat untuk menunjukkan terhadap pajak-pajak yang mana saja yang diperlakukan peraturan-peraturan tertentu dalam sebuah Undang-Undang. Berikut ini merupakan pembedaan pembagian jenis pajak berdasarkan golongan, sifat dan lembaga pemungutnya menurut Waluyo (2003 : 13); yaitu :

a. Menurut Golongannya

Menurut golongannya, pajak dapat dibedakan menjadi 2 yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung.

1. Pajak Langsung

Dalam pengertian ekonomis pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, dan tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Dalam pengertian administratif, pajak langsung adalah pajak yang dipungut secara berkala.

Contohnya : Pajak Penghasilan 2. Pajak Tidak Langsung

Dalam pengertian ekonomis, pajak tidak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain. Dalam pengertian administratif, pajak tidak langsung adalah pajak yang dipungut setiap kali terjadi peristiwa atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak.

Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai. b. Menurut Sifatnya

Menurut sifatnya, pajak dapat dibagi menjadi 2 yaitu pajak subjektif dan pajak objektif.

1. Pajak Subjektif (bersifat perorangan)

Pajak Subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contohnya : Pajak Penghasilan 2. Pajak Objektif (bersifat kebendaan)

Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya baik itu berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar, tanpa memperhatikan keadan diri Wajib Pajak.

(18)

c. Menurut Lembaga Pemunggutnya

Menurut lembaga pemunggutnya, pajak dapat dibagi menjadi 2 yaitu pajak pusat dan pajak daerah.

1. Pajak Pusat

Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dan hasilya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada umumnya.

Contohnya : Pajak Penghasilan, PPN, PPnBM, PBB 2. Pajak Daerah

Pajak Derah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah seperi Propinsi, Kabupaten dan Kotamadya berdasarkan peraturan daerah masing-masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah masing-masing.

Pajak Daerah terdiri atas :

 Pajak Propinsi

Contonya : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

 Pajak Kabupaten / Kota

Contonya : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan.

4. Sistem Pemungutan Pajak dan Asas Pemungutan Pajak

Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2002 : 15), ada 3 sistem pemungutan dalam pajak, yaitu antara lain :

a. Official Assessment System

Merupakan sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak yang harus dilunasi atau pajak yang terutang oleh wajib Pajak ditentukan oleh fiskus (dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif).

b. Self Assessment System

Merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Sedangkan fiskus hanya bertugas memberikan penerangan dan pengawasan. c. With Holding System

(19)

Asas Pemungutan Pajak

Asas-asas pemungutan pajak pada dasarnya harus mencerminkan keadilan sehingga masyarakat tidak dibedakan. Keadilan dalam perpajakan dapat diwujudkan dengan memenuhi prinsip pengenaan yang baik sehingga tidak bertentangan dengan falsafah negara, karena juga merupakan falsafah pajak.

Menurut Rochmat Soemitro, SH dalam buku Waluyo ( 2003 : 17), asas pemungutan pajak yang selama ini dipakai di negara RI adalah :

a. Asas Domisili (asas tempat tinggal)

Asas Domisili adalah asas dimana negara mempunyai hak untuk mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak baik Orang Pribadi atau Badan yang bertempat tinggal di negara Indonesia dengan tidak memandang apakah memperoleh penghasilan dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

b. Asas Sumber

Asas Sumber adalah asas dimana negara mempunyai hak untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di negara Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak baik yang bertemapt tinggal di Indonesia maupun di luar negeri.

c. Asas Kebangsaan

(20)

B. Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen.

1. Objek Pajak dan Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai

Objek Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Undang – Undang PPN NO. 18 Tahun 2000 Pasal 4, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas objek pajak yang berupa :

a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

b. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

c. Impor Barang Kena Pajak.

d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud / JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

e. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Menurut Djuanda (2002 : 10) yang termasuk dalam penyerahan Barang Kena Pajak adalah :

(21)

Yang dimaksud dengan perjanjian di atas adalah meliputi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan atas barang.

2) Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing.

Perjanjian Leasing yang dimaksud adalah perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi, maka saat timbulnya objek pajak adalah pada saat terjadi pengalihan penguasaan Barang Kena Pajak dari lessor kepada lessee.

3) Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pedagang Perantara atau melalui Juru Lelang.

Adapun yang dimaksud dengan pedagang perantara adalah orang pribadi atau badan yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjianatau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.

4) Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-Cuma.

Pemakaian Sendiri mengandung pengertian Barang Kena Pajak yang merupakan barang dagangan atau hasil produksi digunakan untuk kepentingan Pengusaha Kena Pajak sendiri yang meliputi direksi, dewan komisaris, karyawan atau pemegang saham.

(22)

Pemindahtanganan aktiva perusahaan yang menuntut tujuan semulatidak untuk diperjualbelikan, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

6) Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke Cabang atau Sebaliknya dan Penyerahan Barang Kena Pajak Antar Cabang.

Ketentuan inimerupakan akibat dari prinsip desentralisasi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Dengan prinsip ini, maka baik kantor pusat maupun cabang dengan nama dan dalam bentuk apapun, masing-masing dikukuhkan olek Kantor Pelayanan Pajak setempat. Karena masing-masing berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak maka penyerahan Barang Kena Pajak antar mereka dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

7) Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.

Penyerahan barang secara konsinyasi termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga merupakan penyerahan yang

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Sukardji (2002 : 15), Pajak Pertambahan Nilai mempunyai beberapa karakteristik antara lain, yaitu :

a. Pajak Tidak Langsung

Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak dengan penanggung pajak atas pembayaran pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak secara nyata berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, sedangkan penanggung jawab atas pembayaran ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku penjual Barang Kena Pajak atau pengusaha Jasa Kena Pajak.

(23)

• Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak.

• Sudut pandang yutridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas negara tidak berada di tangan phak yang memikul beban pajak.

b. Pajak Objektif

Sebagai Pajak Objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan. Pajak Pertambahan Nilai tidak membedakan antara konsumen berupa orang atau badan, antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama.

c. Multi Stage Tax

Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan, kemudian di tingkat pedagang, dalam berbagi bentuk atau nama samapi tingkat pedagang pengecer dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

d. Pajak Pertambahan Nilai Terutang untuk dibayar ke kas negara dihitung dengan menggunakan Indirect Substration Method / Credit Method / Invoice Method.

Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada PKP lain yang dinamakan Pajak Masukan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan Pajak Keluaran. Pola ini dinamakan metode pengurangan tidak langsung (Indirect Substration Method). Pajak yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayar ke kas negara dinamakan Tax Credit. Oleh karena itu pola ini dinamakan juga metode pengkreditan (Credit Method). Untuk mendeteksi kebenaran jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti. Dokumen penunjang ini dinamakan Faktur Pajak (Tax Invoice), sehingga metode ini dinamakan juga metode faktur (Invoice Method).

e. Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri

(24)

f. Tidak Menimbulkan Dampak Pengenaan Pajak Berganda

Pajak Pertambahan Nilai tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda karena pajak ini dipunggut berdasarkan nilai tambah saja. Selain itu dalam PPN transaksi didasarkan pada selisih antara pajak masukan dan pajak keluaran.

2. Mekanisme dan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan

Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan

Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa pajak yang sama. Selain itu, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan (Undang-Undang PPN No. 18 Tahun 2000 Pasal 9 Ayat 9).

(25)

pada waktu perolehan Barang Kena Pajak, atau penerimaan Jasa Kena Pajak, atau pemanfaatan Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah pabean, atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud, atau impor Barang Kena Pajak tetap dapat dikreditkan sesuai dengan pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 9 ayat (8).

Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan

Berdasarkan Undang-Undang PPN No. 18 Tahun 2000 Pasal 9 ayat 6, maka Pedoman penghitungan pengkreditkan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Barang Modal dalam kegiatan usaha, yaitu : (Siti Resmi, 2007 : 33)

1. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak telah mengkreditkan seluruh Pajak Masukan atas barang modal tersebut, maka bagian Pajak Masukan untuk kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan menggunakan rumus :

P’ x PM T

Dengan ketentuan :

(26)

dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam suatu tahun buku.

• PM adalah Pajak masukan atas perolehan dan atau pemeliharaan barang modal yang telah dikreditkan.

• T adalah masa manfaat barang modal yang ditentukan sebagai berikut : 1) Untuk bangunan adalah 10 tahun.

2) Untuk barang Modal lainnya adalah 5 tahun.

2. Dalam hal barang modal yang digunakan baik untuk kegiatan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka cara penghitungan Pajak Masukan yang harus harus dibayar kembali didasarkan pada persentase rata-rata penggunaan barang modal untuk kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan jumlah Pajak Masukan yang telah dikreditkan dengan masa manfaat barang modal yang bersangkutan.

Contoh:

Generator listrik dibeli bulan Januari 2005 dengan maksud digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik.

Nilai Perolehan Rp 50.000.000 PPN (Pajak Masukan) Rp 5.000.000

(27)

Selama tahun 2005 ternyata diketahui : Untuk masa 6 bulan I digunakan :

a. 30 % untuk perumahan karyawan dan direksi. b. 70 % untuk kegiatan pabrik.

Untuk masa 6 bulan II digunakan :

a. 20 % untuk perumahan karyawan dan direksi. b. 80 % untuk kegiatan pabrik.

Rata-rata penggunaan di luar kegiatan usaha yang berhubungan langsung dengan usaha (P’) adalah :

30 % + 20 % = 25 % 2

Masa manfaat barang modal adalah 5 tahun (meskipun masa manfaat barang modal tersebut 8 tahun, tetapi untuk penghitungan kembali Pajak masukan ini masa manfaat ditetapkan 5 tahun).

Besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali untuk tahun 2005 : 25 % x Rp 5.000.000 = Rp 250.000

5

Untuk tahun selanjutnya dipakai rumus tersebut, dengan penyesuaian atas P”.

(28)

X x PM Y T

Dengan ketentuan :

• X adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai selama satu tahun buku.

• Y adalah jumlah peredaran selama satu tahun buku.

Contoh penghitungan kembali Pajak Masukan untuk barang modal adalah : a. Pajak Masukan atas perolehan truk yang digunakan baik untuk

perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung pada bulan Januari 2005 Rp 200.000.000 (sudah dikreditkan seluruhnya melalui SPT Masa Pajak Januari 2005).

b. Total omset 2005 (Y) Rp 60.000.000.000, diantaranya Rp 6.000.000.000 berasal dari penjualan jagung (X).

c. Masa manfaat Barang Modal 5 tahun (meskipun masa manfaat barang modal tersebut 4 tahun, tetapi untuk penghitungan kembali Pajak Masukan ini masa manfaat ditetapkan 5 tahun).

d. Pajak Masukan atas truk yang harus dibayar kembali adalah : Rp 6 milyar x Rp 200 Juta = Rp 4 Juta

(29)

4. Untuk bukan Barang Modal, PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya sebagaimana yang dimaksud dalam no 2.

X x PM Y

Contoh penghitungan kembali Pajak Masukan untuk barang modal adalah : a. Pajak Masukan untuk pembelian solar untuk truk-truk yang digunakan

untuk dua tujuan, yaitu untuk sektor perkebunan dan distribusi jagung serta sektor pabrikasi dan distribusi minyak jagung = Rp 50.000.000. b. Total omset (Y) 2005 Rp 60.000.000.000 diantaranya

Rp 6.000.000.000, berasal dari penjualan jagung. Jadi Pajak Masukannya adalah :

Rp 6 milyar x Rp 50 Juta = Rp 5 Juta Rp 60 milyar

3. Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan

Pasal 9 ayat 8 Undang-Undang PPN No. 18 Tahun 2000 mengatur tentang Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluran bagi pengeluaran untuk :

a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

(30)

c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana.

f. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).

g. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6).

h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.

(31)

4. Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut / Dibebaskan

Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut

Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipunggut Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tetapi tidak dipungut artinya bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus tetap dapat dikreditkan, dengan demikian Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang tetapi tidak dipungut.

Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan

Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.

Adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebaskan tersebut tidak dapat dikreditkan.

5. Fungsi Faktur Pajak dan Saat Pembuatan Faktur Pajak

Fungsi Faktur Pajak

Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha

(32)

pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. (Siti Resmi, 2007 : 45)

Faktur Pajak memiliki beberapa fungsi, antara lain yaitu :

1) Bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan juga bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

2) Bukti pembayaran pajak ditinjau dari atas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak.

3) Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.

Saat Pembuatan Faktur Pajak

Faktur Pajak harus dibuat paling lambat :

1) Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan keseluruhan Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah bulan dilakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan keseluruhan Jasa Kena Pajak, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran.

(33)

3) Pada saat penerimaan pembayaran termin, dalam hal terdapat penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

4) Pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

6. Tarif, Dasar Pengenaan Pajak, dan Metode Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai

Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan Undang-Undang PPN No. 18 Tahun 2000 Pasal 7, maka untuk tarif Pajak Pertambahan Nilai terbagi dua, yaitu :

1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah 10 % (sepuluh persen).

2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0 % (nol persen).

Dengan Peraturan Pemerintah, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5 % (lima persen) dan setinggi-tingginya 15 % (lima belas persen).

Dasar Pengenaan Pajak

Berdasarkan Undang-Undang PPN No. 18 Tahun 2000 Pasal 9 Ayat 1, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

(34)

Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.

Metode Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Sukardji (2002 : 30), Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan menggunakan beberapa metode, antara lain yaitu :

1. Addition Method

PPN = Tarif yang berlaku x Nilai Tambah

Contoh : Pembelian :

Bahan Baku Rp 4.000 Bahan Pembantu 1.500 Suku Cadang dll 1.000

Jumlah Rp 6.500

Biaya :

Penyusutan Rp 500

Bunga Modal 300

Gaji / Upah 450

Biaya manajemen 500

Laba Usaha 750

Jumlah Rp 2.500

(35)

Besarnya Pajak Pertambahan Nilai di atas adalah : = 10 % x Rp 2.500 = Rp 250.

2. Substraction Method

PPN = Tarif yang berlaku x (Harga Jual – Harga Beli)

Contoh :

Harga Jual Rp 9.000 Harga Beli 6.500

Selisih Rp 2.500  merupakan nilai tambah. Pajak Pertambahan Nilai = 10 % x Rp 2.500 = Rp 250. 3. Inderect Substraction / Credit / Invoice Method

PPN = Pajak yang dipungut saat penjualan – Pajak yang dipungut saat pembelian

Contoh 1 :

Dengan asumsi bahwa tarif PPN adalah 10 %, maka apabila seorang pengusaha yang telah membeli bahan baku sebesar Rp 6.500, maka pengusaha tersebut telah membayar PPN sebesar 10 % x Rp 6.500 = Rp 650, sedangkan ketika penjual tersebut menjual dengan harga Rp 9.000, maka pengusaha tersebut telah mengenakan PPN sebesar 10 % x Rp 9.000 = Rp 900. Dengan demikian PPN yang wajib disetor ke kas negara dalam suatu Masa Pajak adalah Rp 900 – Rp 650 = Rp 250.

(36)

maka hasil penghitungan PPN Terutang berdasarkan Credit Method akan lebih akurat dibandingkan dengan Substraction Method.

Contoh 2 :

Apabila dalam contoh 1 di atas merupakan Pengusaha pabrik minyak kelapa. Bahan baku berupa kelapa tersebut dibeli dari petani, dan kelapa hasil perkebunan yang diserahkan oleh petani ini dibebaskan dari PPN. Jika kelapa ini menempati 60 % dalam proses produksi, maka penghitungan PPN yang terutang adalah sebagai berikut :

Harga Jual Minyak Kelapa = Rp 9.000

PPN Terutang = 10 % x Rp 9.000 = Rp 900 Hagra Beli bahan dan lain-lain = Rp 6.500

Bahan baku berupa kelapa 60 % = 3.900 Bagian harga beli yang terutang PPN = Rp 2.600

(37)

C. Manajemen Pajak

Secara umum manajemen pajak menurut Sophar Lumbantoruan (Suandy, 2003 : 7) dapat didefinisikan sebagai berikut “Manajemen Pajak

adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.”

Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak merupakan kewajiban yang harus dijalankan sebagai warga negara dengan mendasarkan legalitas dari pelaksanaannya atas dasar Undang-Undang yang menurut ketentuan sanksi dan denda yang dikenakan terhadap Wajib Pajak yang melalaikan pelaksanaan kewajibannya. Dan dalam melaksanakan kewajibannya, Wajib Pajak selalu berusaha membayar pajak yang terutang sekecil mungkin, sepanjang hal tersebut dimungkinkan dalam Undang-Undang.

Sedangkan menurut Achmad Tjahjono definisi manajemen pajak ( Zain, 2005 : 5 ), yaitu :

Secara umum manajemen pajak adalah suatu proses mengorganisasikan usaha Wajib Pajak atau kelompok Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya berada dalam posisi seminimal mungkin, sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku.

Tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu : a. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar.

(38)

1. Perencanaan Pajak (Tax Planning)

Menurut Suandy (2003 : 7) “Tax Planning adalah langkah awal dalam manajemen pajak, dimana dalam tahap ini dilakukan penelitian dan pengumpulan ketentuan peraturan perpajakan, dengan maksud dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan.”

Perencanaan perpajakan umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak yang dimaksud dapat ditunda pembayarannya dan lain sebagainya.

(39)

Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak, yaitu : a. Tidak melanggar ketentuan perpajakan. Apabila suatu perencanaan pajak

ingin dipaksakan dengan melanggar ketentuan perpajakan, buat wajib Pajak merupakan resiko (tax risk) yang berbahaya dan mengancam keberhasilan perencanaan pajak. Karena itu, sebaiknya wajib Pajak menghindari hal tersebut karena dapat sangat merugikan Wajib Pajak sendiri.

b. Secara bisnis masuk akal, karena perencanaan pajak yang dibuat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan menyeluruh (global strategy) perusahaan baik jangka panjang maupun jangka pendek, maka

perencanaan pajak yang tidak masuk akal akan memperlemah perencanaan itu sendiri.

c. Bukti-bukti pendukungnya memadai, misalnya dukungan perjanjian (agreement), faktur (invoice) dan juga perlakuan akuntansinya (accounting treatment).

2. Motivasi Dilakukannya Tax Planning

Menurut Suandy (2003 : 11) banyak motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak, namun semua itu bersumber dari adanya 3 unsur perpajakan yaitu :

a. Kebijaksanaan Perpajakan (Tax Policy)

Dari berbagai aspek kebijaksanaan pajak, maka faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak (tax planning), yaitu :

1) Pajak yang akan dipungut

(40)

2) Siapa yang akan dijadikan subjek pajak ?

Adanya perbedaan perlakuan perpajakan atas pembayaran dividen dari Badan Usaha kepada pemegang saham perorangan dan kepada pemegang saham berbentuk badan usaha maka di sini akan menimbulkan usaha untuk perencanaan pajak dengan baik agar beban pajaknya rendah dan meringankan arus kas (cashflow) perusahaan sehingga bisa dimanfaatkan untuk tujuan lain. Di samping itu adanya pertimbangan untuk menunda pembayaran dividen dengan cara meningkatkan jumlah laba ditahan (retained earnings) bagi perusahaan juga akan menimbulkan penundaan pembayaran pajak.

3) Apa saja yang merupakan objek pajak ?

Adanya perlakuan perpajakan yang berbeda atas objek pajak yang secara ekonomis hakikatnya sama akan menimbulkan usaha perencanaan pajak agar beban pajaknya rendah. Oleh karena itu, objek pajak merupakan basis perhitungan besarnya pajak (tax bases), maka dalam rangka optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pajak yang tidak lebih (bisa mengurangi optimalisasi alokasi sumber daya) dan tidak kurang (kuatir harus membayar transaksi bersifat pemborosan dana).

4) Berapa besarnya tarif pajak ?

Dengan adanya penerapan shedular taxation tariff yang diterapkan di Indonesia mengakibatkan seorang perencana pajak akan berusaha sedapat mungkin dikenakan tarif yang paling rendah.

5) Bagaimana prosedurnya ?

Adanya Self Assessment System dan Payment System mengharuskan seorang perencana pajak untuk melakukan perencanaan pajak dengan baik. Self Assessment System merupakan kebebasan dan kepercayaan penuh untuk menghitung, memungut, dan melaporkan pajak terutang dari penghasilan usahanya, sedangkan Payment System (sistem pembayaran) yang berlaku adalah sistem pembayaran yang dapat dilakukan sendiri oleh wajib Pajak maupun melalui pemotongan oleh pihak ketiga ( with holding system). b. Undang-Undang Perpajakan (Tax Law)

Dalam kenyataannya, tidak ada Undang-Undang yang mengatur setiap permasalahan dengan sempurna, maka dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijaksanaan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Keadaan ini menyebabkan munculnya celah bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk digunakan perencanaan pajak yang baik.

c. Administrasi Perpajakan (Tax Administration)

(41)

perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan Wajib Pajak dari begitu luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif.

3. Langkah-Langkah dalam Tax Planning

Dalam membuat suatu perencanaan pajak harus memperhatikan strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan (global company strategy) agar tax planning dapat berhasil sesuai yang diharapkan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam perencanaan pajak adalah :

a. Menganalisis Laporan Keuangan

Tahap pertama dari proses tax planning adalah menganalisis komponen-komponen dari laporan keuangan sehingga dapat diketahui apa saja yang mempengaruhi besarnya pajak.

b. Memperkirakan Besarnya Pajak Terhutang

Memperkirakan besarnya pajak terhutang kemudian memahami undang-undang yang berlaku untuk memanfaatkan pengecualian-pengecualian yang diperbolehkan dalam undang-undang untuk dapat memaksimalkan penghasilan yang dikecualikan dan sehingga dapat meminimalkan besarnya pajak terhutang.

c. Melaksanakan Perencanaan Pajak

Melaksanakan perencanaan pajak dengan memanfaatkan celah-celah dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Mengevaluasi Pelaksanaan Perencanaan Pajak

(42)

• Jika rencana tersebut tidak dilaksanakan.

• Jika rencana tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan baik. • Jika rencana tersebut dilaksanakan tetapi gagal.

Ketiga hal di atas pastilah memiliki hasil yang berbeda, kemudian dari hasil tersebut barulah ditentukan apakah perencanaan pajak layak untuk dilaksanakan atau tidak. Contohnya :

• Tidak melaksanakan perencanaan pajak, maka pajak yang ditanggung Rp 100.000.000.

• Melaksanakan perencanaan pajak dan berhasil, maka pajak yang

ditanggung Rp 75.000.000.

• Melaksanakan perencanaan pajak dan gagal, maka pajak yang harus

ditanggung Rp 125.000.000

Apabila melihat ketiga hasil yang dicapai, tentunya perusahaan memilih dilaksanakannya perencanaan pajak karena ia bisa menghemat pajak sebesar Rp 25.000.000 jika perencanaan pajak yang dilakukan berhasil. Karena itu dalam melakukan tax planning harus dilakukan dengan benar dan sesuai aturan yang berlaku, karena apabila tidak malah akan semakin merugikan perusahaan.

e. Mencari Kelemahan dan Memperbaiki Kembali Rencana Pajak

(43)

walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilan yang sangat kecil. Sepanjang masih besar penghematan pajak (tax saving) yang bisa diperoleh, rencana tersebut harus tetap dijalankan, karena bagaimanapun juga kerugian yang ditanggung merupakan kerugian minimal. f. Memantapkan Perencanaan Pajak

Meskipun suatu rencana pajak sudah dijalankan dan proyek sudah berjalan, masih perlu mempertimbangkan setiap perubahan yang terjadi termasuk perubahan undang-undang. Pemantafan suatu perencanaan pajak adalah konsekuensi yang perlu dilakukan. Dengan memperhatikan keadaan saat ini dan perkembangan-perkembangan yang mungkin terjadi, seorang manager akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan tersebut, dan saat bersamaan dapat mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.

4. Penerapan Tax Planning untuk Pajak Pertambahan Nilai

Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai dapat dilakukan antara lain, yaitu : 1. Memaksimalkan pajak masukan yang dapat dikreditkan, perusahaan

sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak, supaya pajak masukannya dapat dikreditkan. Perusahaan perlu mengamati dengan cermat jangan sampai terdapat pajak masukan yang belum dikreditkan lagi.

(44)

jumlah ekspor karena berdasarkan ketentuan atas transaksi ekspor dikenakan tarif sebesar 0 %, dengan demikian apabila perusahaan membeli barang untuk diekspor maka pajak masukannya akan lebih besar daripada pajak keluarannya sehingga kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau dikompensasikan untuk masa pajak berikutnya.

Perusahaan juga dapat mengkreditkan pajak masukannya atas perolehan barang modal seperti misalnya pembelian mesin-mesin pabrik untuk memproduksi barang-barang yang akan diekspor maupun yang akan dijual di dalam negeri, juga pembelian bahan baku untuk proses produksinya.

2. Dalam hal penjualan Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak yang pembayarannya belum diterima, pembuatan faktur pajak dapat ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah penyerahan Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak.

(45)

3. Melaporkan pajak masukannya dalam Surat Pemberitahuan Masa

Apabila perusahaan membeli bahan baku untuk keperluan proses produksinya, perusahaan sebaiknya melaporkan pajak masukannya dalam Surat Pemberitahuan Masa karena apabila hal ini tidak dilakukan maka pajak masukan atas pembelian bahan baku tersebut tidak dapat dikreditkan. 4. Melakukan Impor Inden pada Importir yang telah memiliki NPWP

Adapun yang dimaksud dengan impor inden adalah suatu kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh importir untuk dan atas nama pemesan (indentor) berdasarkan perjanjian pemasukan barang impor antara importir dengan indentor, yang segala pembiayaan impor antara lain L/C, bea, pajak, maupun biaya yang berhubungan dengan impor sepenuhnya menjadi beban indentor dan sebagai balas jasa importir memperoleh komisi dari indentor.

Berdasarkan ketentuan mengenai Impor Inden ini maka atas barang yang diberikan dari Importir ke Indentor tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sedangkan komisi yang diberikan kepada Importir oleh Indentor dikenakan atau terutang Pajak Pertambahan Nilai dan dapat dikreditkan.

(46)

5. Membuat faktur pajak dengan lengkap serta melaporkannya tepat waktu Salah satu kriteria umum bahwa suatu pajak masukan dapat dikreditkan adalah tercantum dalam Faktur Pajak Standar atau dalam dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Seorang pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak membuat faktur pajak dengan lengkap dan melaporkannya dengan tepat waktu, maka akan dikenai sanksi sebesar 2 % dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Hal ini akan merugikan perusahaan karena akan menambah beban pajaknya sehingga bertambah besar.

Contoh Tax Planning untuk Pajak Pertambahan Nilai :

PT. A merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri sepatu. Adapun data-data perusahaan tersebut pada tahun 2005 adalah sebagai berikut : Penjualan dalam negeri Rp 235.000.000

Penjualan ekspor Rp 325.000.000 Pembelian mesin pabrik (dalam negeri) Rp 40.000.000 Pembelian bahan baku Rp 150.000.000

(47)

Dari contoh dapatlah diketahui jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang dan jumlah pajak yang direncanakan untuk meminimalkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang.

Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang : Jumlah Pajak Masukan = 10 % x Total Pembelian

= 10% x (Rp 150.000.000 + Rp 40.000.000) = 10 % x Rp 190.000.000

= Rp 19.000.000

Jumlah Pajak Keluaran = 10 % x Total Penjualan

= 10 % x (Rp 235.000.000 + Rp 325.000.000) = 10 % x Rp 560.000.000

= Rp 56.000.000

Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang = Jumlah Pajak Keluaran – Jumlah Pajak Masukan = Rp 56.000.000 – Rp 19.000.000

= Rp 37.000.000

Perhitungan Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dapat direncanakan :

(48)

1. Penjualan Ekspor

Dari penjualan ekspor ini, PT. A dapat mengkreditkan semua pajak masukannya yaitu sebesar 10 % x Rp 325.000.000 = Rp 32.500.000 karena dalam ekspor dikenakan tarif 0 % sehingga PT. A dapat meminta kembali atau mengkompensasi pembayaran pajaknya untuk masa pajak berikutnya. 2. Pembelian Mesin Pabrik

PT. A juga dapat mengkreditkan pajak masukannya atas penbelian mesin pabrik ini sebesar Rp 10 % x Rp 40.000.000 = Rp 4.000.0000.

3. Pembelian Bahan Baku Dalam Negeri

Untuk pembelian bahan baku dalam negeri ini, dapat mengkreditkan pajak masukannya sebesar Rp 10 % x Rp 150.000.000 = Rp 15.000.000 karena jumlah tersebut merupakan pembelian dari Pengusaha Kena Pajak. 4. Pembelian dengan Impor Inden

Dengan adanya impor inden ini, maka atas penyerahan barang dari Importir ke PT.A tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, tetapi komisi yang diberikan PT. A kepada Importir terutang Pajak Pertambahan Nilai dan dapat dikreditkan. Dengan demikian, pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah sebesar 10 % x Rp 5.000.000 = Rp 500.000.

Jadi, Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang setelah diterapkan Tax Planning adalah:

Jumlah Pajak Masukan setelah Tax Planning

(49)

Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang setelah Tax Planning = Jumlah Pajak Keluaran – Jumlah Pajak Masukan

= Rp 32.500.000 – Rp 19.500.000 = Rp 13.000.000

Dengan penerapan tax planning tersebut maka terjadi penghematan Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang sebesar :

(50)

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera utara yang berlokasi di Jalan Gunung Krakatau No. 15 Medan dan waktu penelitian dimulai pada bulan November 2007 sampai dengan selesainya skripsi ini.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan dalam bentuk bentuk studi kasus yang dilakukan secara langsung mendatangi objek penelitian yaitu PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera Utara Medan guna memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan. Dimana hasil yang didapatkan dari penelitian ini bertujuan untuk disarankan agar diterapkan dalam perusahaan untuk dapat menerapkan Tax Planning (Perencanaan Pajak) yang tepat sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

C. Jenis dan Sunber Data 1. Jenis Data

(51)

yang dapat diukur dan dihitung berupa laporan keuangan yaitu laporan laba/rugi dan neraca.

2. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Data Primer , yaitu data yang diperoleh dari objek penelitian yang dalam hal ini adalah PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I Sumatera utara Medan secara langsung melalui teknik wawancara langsung kepada pihak perusahaan, berupa data-data mengenai kebijakan perusahaan dalam melakukan penjualan dan pembelian. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari perusahaan dan data

tersebut sudah diolah yang diperoleh dari penulusuran catatan dan dokumen resmi perusahaan seperti sejarah singkat perusahaan, stuktur organisasi perusahaan dan laporan keuangan perusahaan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut :

a. Teknik Wawancara, yaitu penulis melakukan serangkaian tanya jawab atau wawancara secara langsung dengan manajer perusahaan serta karyawan-karyawan lainnya yang bersangkutan sehingga dapat memberikan informasi bagi peneliti.

(52)

E. Metode Analisis Data

Tahap-tahap analisis data antara lain:

a. Teknik analisis yang digunakan adalah metode kuantitatif, dimana penulis mengambil data-data yang berhubungan dengan transaksi Pajak Pertambahan Nilai, antara lain yaitu laporan keuangan tahun 2005.

b. Penulis kemudian menganalisa komponen-komponen yang berhubungan dengan pajak masukan dan pajak keluaran yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan apakah sudah diterapkan secara benar oleh perusahaan. Komponen-komponen yang dimaksud adalah pembelian barang modal, pembelian kepada Pengusaha Kena Pajak, maupun komponen-komponen lain yang behubungan dengan pajak masukan dan pajak keluaran yang dapat dikreditkan. Penulis menganalisa apakah perusahaan sudah mengkreditkan pajak masukan atas pajak keluaran yang sebenarnya dapat dikreditkan.

(53)

d. Membandingkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai Terutang sebelum dan sesudah dilakukannya Tax Planning.

(54)

A. Gambaran Umum PT. Wijaya Karya Beton 1. Sejarah Singkat Perusahaan

PT. Wijaya Karya Beton resmi didirikan tanggal 11 Maret 1997 di Jakarta berdasarkan akta pendiri dari Notaris Imah Fatimah, SH Nomor 44 tanggal 11

Maret 1997.

PT. Wijaya Karya Beton merupakan salah satu anak perusahaan PT. Wijaya

Karya yang bidang usahanya sebagai produsen industri beton. Bidang usaha beton

ini diilhami oleh perkembangan kemajuan teknologi khususnya di industri

konstruksi. Disusul oleh semakin cepatnya kemajuan teknologi dibidang

komunikasi dan transportasi. Dengan semakin pesatnya perkembangan

pembangunan dibidang konstruksi telah mendorong ide dan gagasan baru dari

pakar teknologi PT. Wijaya Karya untuk membuat produk beton yang dapat

menggantikan produk lain yang menghasilkan mutu yang lebih baik, usia yang

lebih panjang, waktu yang lebih singkat dan harga yang bersaing.

Pada tahun 1978, dibawah pengelolaan Divisi Perdagangan (DPD) mendapat

peluang yaitu proyek rumah sederhana yang merupakan awal pembuatan produk

beton yang diawali dengan produk rekayasa panel beton. Kemudian oleh

manajemen PT. Wijaya Karya Pusat DPD satu bidang industri sehingga menjadi

(55)

Sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan listrik baik untuk

industri, property, dan rumah tangga, maka PLN meningkatkan pembangunan

dibidang kelistrikan mulai dari pembangkit sampai jaringan transmisi dan

distribusi guna mengimbangi kebutuhan listrik tersebut. Oleh karena itu pada

tahun 1979 dirintis pula rekayasa tiang listrik beton yang diproduksi dengan

sistem sentrifugal yang menghasilkan bentuk bulat beronga dan tirus. Sebenarnya

pada tahun 1970 telah dilakukan percobaan pembuatan secara konvensional tiang

listrik beton dengan bentuk persegi oleh Cabang VII Kalimantan Barat yang

dipasang pada Sungai Durian di depan Universitas Tanjung Pura sampai Bandara

Supadio Pontianak. PT. PLN yang sat itu telah terbiasa menggunakan tiang besi

dari pipa dan kayu yang masih diimpor, dan masih belum bisa menerima saat

PT. Wijaya Karya menawarkan tiang listrik beton sebagai pengguna pertama.

Dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh PT. Wijaya Karya akhirnya PT. PLN

mencoba memberikan pesanan perdana yang hanya puluhan batang dan Jawa

Tengah sebagai daerah uji coba. Akhirnya pada tahun 1980 dibawah pengelolaan

DPI, dibangun pabrik pertama di Cileungsi Bogor Jawa Barat. Berkat usaha keras

yang dilakukan PT. Wijaya Karya akhirnya PT. PLN memutuskan bahwa tiang

listrik beton digunakan sebagai pengganti tiang besi dan mendapat porsi yang

lebih banyak sepanjang lokasinya terjangkau.

Adapun proyek-proyek yang pernah ditangani oleh PT. Wijaya Karya apada

kurum waktu 1980 sampai dengan 1996 diantaranya adalah proyek PT. PAL

Surabaya, proyek Asahanas yang menggunakan pra tegang bulat berongga, proyek

(56)

pada proyek pupuk Sriwijaya Kabat Meneng Banyuwangi serta untuk proyek

jalan rel kereta api baik daerah jawa maupun daerah Sumatera. Proyek lain yang

ditangani PT. Wijaya Karya dengan rekayasa panel pra cetak untuk gedung

bertingkat adalah tower BDN Jakarta sampai proyek Bank Pembangunan Derah

Surabaya. Untuk wilayah Sumatera tepatnya di daerah Sumatera Utara

diperolehnya tender power XVIII Asian Development Bank (ADB) dengan

volume yang cukup besar, sedangkan untuk daerah Sumatera Selatan ditangani

proyek Sungai Cempaka yang menggunakan rekayasa Concreat Sheet Pile Type

Corrugated (CCSP) dan proyek jaringan transmisi 150 KV yang memakai

rekayasa tiang beton segitiga guna mendukung tiang transmisi serta proyek

lainnya yang memerlukan penanganan yang serius.

Berbekal motto “Prestasi Melalui Inovasi Dan Teknologi” dan untuk

memenuhi permintaan produk beton yang semakin banyak maka dibangun Pabrik

Produk Beton (PBB) lainnya, antara lain di Kejapenan Pasuruan, Mojosongo

Boyolali, Jatilawang Purwokerto dan Jatilawang Majalengka. Pabrik lainnya yang

dibangun adalah pabrik di Jimbaran Bali, pabrik Natar di Lampung, serta pabrik

temporer di Padang Sidempuan yang kemudian dipindahkan ke Binjai Sumatera

Utara. Kemudian satu pabrik lagi dibangun di kawasan industri Makasar-Sulawesi

Selatan yang menggunakan System Ubro Press Centifugal.

Sema kurun waktu tahun 1980 s/d 1996 manajemen PT. Wijaya Karya

melakukan beberapa kali perubahan divisi antara lain DPI dibagi menjadi dua

divisi yaitu DPI dan Divisi Produk Beton dan Metal (DPBM) yang memproduksi

(57)

Hal ini dilakukan mengingat meningkatnya pengguna produk beton dan tentu saja

hal ini menyebabkan semakin sibuknya DPI.

Pada tahun 1981 DPBM dibagi menjadi dua divisi yaitu Divisi Komponen

Konstruksi (DKK) dan Divisi Perlengkapan Industri (DPI). Hal ini dipengaruhi

karena berkembangnya Strategic Business Unit (SBU) produk beton, meluasnya

pasar sehingga dipandang perlu memisahkan bidang industri beton dan metal.

Pada tahun 1989 s/d 1991 terjadi lagi perubahan nama divisi serta pengalihan

tugas yaitu Divisi Komponen Konstruksi (DKK) berubah menjadi Divisi Produk

Beton (DPB).

Pada tahun 1994, manajemen PT. Wijaya Karya Pusat membagi dua wilayah

jaringan pemasaran yaitu Indonesia Bagian Baratoleh DPB I sedangkan Indonesia

Bagian Timur oleh DPB II. Masing-masing wilayah memiliki dan mengelola Unit

Penjualan Produk Beton (UPPB) dan Pabrik Produk Beton (PBB)

sebagai berikut :

1. DPB I (Wilayah Barat) terdiri dari :

a. UPPB Sumatera Utara dan PBB Sumatera Utara

b. UPPB Sumatera Selatan dan PBB Sumatera Selatan

c. UPPB DKI Jakarta dan PBB Bogor dan Majalengka

2. DPB II (Wilayah Timur) terdiri dari :

a. UPPB Jawa Tengah dan PBB Boyolali

b. UPPB Jawa Timur dan PBB Pasuruan

(58)

Sesuai dengan Surat Keputusan Direksi SK.01.01/A.DIR.0950/96 tanggal

24 Desember 1996 DPB I dan DPB II statusnya menjadi anak perusahaan dengan

nama PT. Wijaya Karya Beton (PT. Wika Beton), hal ini dipandang perlu

mengingat bidang usaha produk beton merupakan bidang usaha yang semakin

komperatif sehingga perlu ditingkatkan pengembangan manajemen, teknologi,

dan pengelolahan aspek komersial secara terarah. Sedangkan pendirian

PT. Wijaya Karya Beton itu sendiri resmi pada tanggal 11 Maret 1997 dengan

akta notaris No. 44. Jaringan wilayah pemasaran dan pabrik masih sama pada saat

DPB I dan DPB II hanya berubah istilah menjadi sebagai berikut :

1. Pemasaran

a. Wilayah Penjualan I berkedudukan di Medan

b. Wilayah Penjualan II berkedudukan di Palembang

c. Wilayah Penjualan III berkedudukan di DKI Jakarta

d. Wilayah Penjualan IV berkedudukan di Semarang

e. Wilayah Penjualan V berkedudukan di Surabaya

f. Wilayah Penjualan VI berkedudukan di Makasar

2. Pabrik Produk Beton (PBB)

a. Pabrik Produk Beton (PBB) Sumut berada di Binjai

b. Pabrik Produk Beton (PBB) Lampung berada di Natarn

c. Pabrik Produk Beton (PBB) Bogor berada di Cileungsi

d. Pabrik Produk Beton (PBB) Majalengka berada di Majalengka

(59)

f. Pabrik Produk Beton (PBB) Pasuruan berada di Pasuruan

g. Pabrik Produk Beton (PBB) Sulawesi Selatan berada di Makasar

Sementara hasil produksi dari PT. Wijaya Karya Beton adalah :

1. Tiang Listrik beton

Bentuk bulat berongga dan tirus type 9 m / 100 m, 9 m / 200 m dan

11 m / 200 m untuk lokasi pemasaran dengan tingkat kesulitan yang

tinggi yang diproduksi dengan sistem sentrifugal, tiang telepon serta

tiang listrik jalan raya.

2. Tiang Pancang Beton (TPB)

Disebut juga tiang pancang bulat berongga.

3. Komponen Jembatan dan Dermaga

4. Bantalan Beton Prategang

Disebut juga bantalan jalan rel yang terdiri dari BJR kereta api dan BJR

Lorry.

5. Sheet Pile Beton

Produk ini dipakai sebagai penahan pinggiran atau pun bendungan.

6. Komponen Pracetak lainnya

7. Panel atau Pagar Beton

8. Pipa Beton berdiameter beasr

(60)

2. Struktur Organisasi Perusahaan

Struktur organisasi perusahaan yang berlaku pada PT. Wijaya Karya Beton

Wilayah Penjualan I Medan adalah berbentuk garis lurus dan staf, sebagai

pembantu pimpinan dan bertanggung jawab kepada pimpinan serta adanya

wewenang dan bertanggung jawab yang mengalir dalam suatu garis lurus dan

masing-masing Kasi atau Kepala Seksi bertanggung jawab atas bagian yang

dibawahinya.

Adapun struktur organisasi PT. Wijaya Karya Beton Wilayah Penjualan I

Medan dapat dikemukan tata kerja atau tugas dan wewenang serta tanggung jawab

yang terdapat pada bagian atau departemen yang ada di perusahaan yakni sebagai

berikut :

1. Manajer Wilayah Penjualan I

a. Memjamin bahwa manajemen mutu dan kebijakan mutu perusahaan

dipahami dan dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh seluruh pegawai

di PPU yang menjadi tanggung jawabnya.

b. Menjabarkan atau menjelaskan sistem manajemen mutu yang terkait

dengan unit kerjanya dan kebijakan mutu perusahaan kepada seluruh

pegawai yang berada di bawah tanggung jawabnya.

c. Merumuskan secara mutu sesuai dengan persyaratan kontrak atau sistem

produksi dan sistem manajemen mutu, serta merekomendasikan kepada

(61)

d. Melaksanakan produksi / penyerahan atas produk yang menjadi

tanggung jawabnya sesuai persyaratan pelanggan / kontrak atau sistem

produksi yang diberlakukan perusahaan.

e. Merumuskan uraian tugas, persyaratan jabatan di unit kerjanya dan

merekomendasikannya kepada direksi.

f. Memimpin pertemuan ditingkat PPU secara berkala (sekurangnya

diadakan 1 kali dalam 3 bulan) untuk meninjau efektifitas dan efisiensi

penerapan sistem manajemen mutu.

g. Mengusulkan kemungkinan perubahan atau penyesuaian isi elemen

sistem manajemen mutu yang menjadi tanggung jawabnya.

h. Melaksanakan tertib administrasi / penyimpanan rekaman mutu di unit

kerja yang menjadi tanggung jawabnya.

i. Melaksanakan kegiatan rutin di unit kerja yang dipimpinnya

sebagaimana yang ditetapkan dalam surat keputusan direksi tentang

susunan organisasi di PT. Wijaya Karya Beton.

2. Kepala Seksi Perencanaan Evaluasi Distribusi dan Mutu (PEDM)

a. Bertanggung jawab atas terlaksananya ISO 9000 elemen 4.04, 4.06,

4.07, 4.15, 4.16.

b. Mengkoordinir tersedianya produk yang harus dipenuhi sesuai

konfirmasi pesanan / surat perintah kerja atau surat perjanjian antara PT.

Wijaya Karya Beton denggan pelanggan.

(62)

d. Bersama-sama Pelud menyusun rencana distribusi produk secara

konfirmasi pesanan atau perintah kerja atau surat perjanjian antara

PT. Wijaya Karya Beton dengan pelanggan.

e. Mengkoordinir tersedianya sumber daya pengangkutan yang dibutuhkan.

f. Mengevaluasi tersedianya hasil pelaksanaan dan hasil distribusi sesuai

persyaratan mutu yang telah ditentukan.

g. Mengkoordinasikan pelaksanaan penilaian untuk kerja sub kontraktor.

h. Menyelenggarakan kegiatan rutin sesuai SK Manajer DPB I mengatur

susunan organisasi sub pusat laba DPB I.

3. Kepala Seksi Administrasi Keuangan dan Personalia (K & P)

a. Bertanggung jawab atas pelaksanaan ISO 9000 sesuai matrik tanggung

jawabnya.

b. Menyelenggarakan tertib administrasi dan fungsi yang menjadi

tugasnya.

c. Melaksanakan fungsi manajemen keuangan dan personalia serta

memberikan / menyampaikan saran pengambilan keputusan kepada

manajer penjualan.

d. Melaksanakan kegiatan rutin sesuai SK manajer DPB I yang mengatur

susunan organisasi sub pusat laba DPB I.

4. Kepala Seksi Pelaksana Utama Distribusi (PELUD)

a. Bertanggung jawab atas pelaksana ISO 9000 sesuai matrik tanggung

Gambar

TABEL 4.1. LAPORAN LABA RUGI PT. WIJAYA KARYA BETON TAHUN 2005
TABEL 4.2. NERACA PT. WIJAYA KARYA BETON
TABEL 4.3 PT. WIJAYA KARYA BETON
TABEL 4.4 PT. WIJAYA KARYA BETON
+4

Referensi

Dokumen terkait

NO-121/PMK.011/2013 atas pajak pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terhadap daya beli konsumen barang elektronika. Bapak/Ibu/Sdr dapat

Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar barang dengan barang, atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pungutan yang dikenakan atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib

“Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau

Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar barang dengan barang atau uang dengan barang, dengan jalan melepaskan hak milik dari satu dengan yang lain atas dasar saling

Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar barang dengan barang atau uang dengan barang, dengan jalan melepaskan hak milik dari satu dengan yang lain atas dasar saling