• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN EKOLOGI UNGKO (Hylobates agilis agilis)

DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS

SUMATERA UTARA

TUAH MALEM BANGUN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Tuah Malem Bangun

(3)

RINGKASAN

TUAH MALEM BANGUN. Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara. Dibimbing oleh SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan M. BISMARK

Ungko (Hylobates agilis) merupakan salah satu satwa primata Indonesia yang terancam keadaannya. Kawasan Taman Nasional Batang Gadis merupakan salah satu habitat penyebaran Ungko (H.agilis agilis) di Sumatera Utara yang dijadikan oleh pemerintah sebagai daerah konservasi. Informasi populasi ungko di alam saat ini masih sangat terbatas dan bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik populasi (kepadatan kelompok/individu, ukuran dan komposisi kelompok), karakteristik habitat (vegetasi dan sumber pakan) dan perilaku masyarakat terhadap ungko dan habitatnya di TN. Batang Gadis.

Metode yang digunakan untuk melakukan survei populasi adalah line transect sampling sebanyak 2 jalur dengan panjang masing-masing 2,3 dan 2,35 km dan lebar 100 m. Analisis vegetasi dilakukan di sepanjang jalur penelitian populasi dengan menggunakan metode garis berpetak. Wawancara kepada masyarakat sekitar kawasan juga dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan ungko. Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2005 sampai dengan September 2005

Hasil pengamatan menunjukkan ungko jantan dan betina dewasa mudah dibedakan dari rambut yang tumbuh pada muka atau pipi jantan berwarna putih dan pada betina menyerupai warna tubuh, alis pada betina putih melengkung sedangkan jantan putih bersambung. Ukuran tubuh jantan dewasa lebih besar dari betina dewasa. Hasil estimasi kepadatan populasi pada setiap jalur, dengan luas daerah survey 4,65 km2, menunjukkan bahwa kepadatan kelompok di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yaitu 2,60 kelompok/km2 dengan kepadatan individu berkisar 8,82 ekor/km2. Berdasarkan kepadatan populasi di kedua jalur didapat estimasi populasi keseluruhan sebesar 2.240 kelompok dan 7.620 individu. Vegetasi tingkat pohon didominasi oleh

Geunsia farinosa Blume, Mallotus sp, danLitsea elliptica (Blume) Boerl. Jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan ungko Geunsia farinosa Blume, Craton laevifolius Blume, Myristica iners Blume dan Syzygium sp. Aktivitas masyarakat sekitar kawasan masih sangat mempengaruhi keberadaan ungko dan kelestarian habitatnya di TN. Batang Gadis. Pembukaan areal perkebunan dan sisa eksplorasi hutan masih ditemukan di kawasan ini. Pengelolaan terhadap kawasan yang kurang baik akan memperburuk kondisi kawasan. Oleh sebab itu, perlu disusun program penyelamatan habitat dan populasi ungko yang sifatnya partisipatif antara masyarakat sekitar kawasan dan komponen terkait lainnya dan dilakukan secara berkelanjutan, agar keberadaan satwa primata ini dapat terus dipertahankan.

(4)

ABSTRACT

TUAH MALEM BANGUN. Ecology Study of The Mountain Agile Gibbon (Hylobates agilis-agilis) At Batang Gadis National Park, Nort Sumatera. Under supervision of SRI SUPRAPTINI MANSJOER and M. BISMARK.

Ungko/mountain agile gibbon (Hylobates agilis agilis) is one of Sumatera endemic gibbon and is considered a near threatened spesies. The aim of this research was to study the ecology of mountain agile gibbon (ungko) at Batang Gadis National Park. Surveyed on characteristic, population of ungko, habitat condition and interactions between ungko and local people around the national park, were conducted three-months period (July-September 2005). Methods used were line transect for population estimation, ungko habitat was analysed by block line method and interview for interaction between ungko local people. The average group size density for ungko at the study area was 2.60 groups/km2, group size was estimated at 3.41 animals, and the population density was estimated 8.82 individuals/km2. There were 2,240 groups, and 7,620 individuals in Batang Gadis National Park. The vegetation was dominated by Geunsia farinosa Blume, Mallotus sp, and Litsea elliptica (Blume) Boerl . Food sources for the ungko was dominated by Geunsia farinosa Blume, Craton laevifolius Blume, Myristica iners Blumeand Syzygium sp. Social activity around areals still very influence existence of ungko and sustainable habitat in Batang Gadis National Park. Opening areal plantation and rest of eksplorasi forest still be found in this area. Management to unfavourable area will make wart area condition. On that account, require to be compiled by a population ungko and habitat saving program which partisipative between society about other relevant component and area and done on an ongoing basis, in order to this animal primate existence can be non-stoped to be defended

(5)

© Hak cipta milik IPB, 2007 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

KAJIAN EKOLOGI UNGKO (

Hylobates agilis agilis

)

DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS

SUMATERA UTARA

TUAH MALEM BANGUN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara Nama : Tuah Malem Bangun

NRP : P057030051 Program Studi : Primatologi (PRM)

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer. Prof. Dr. M. Bismark, APU Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas kasih dan anugerah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara ini berjudul Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera utara

Terima kasih dan penghargaan tak terhingga penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Prof.Dr. M. Bismark,MS selaku ketua dan anggota tim pembimbing atas segala waktu, bimbingan dan perhatian yang diberikan sejak awal sampai selesainya karya ilmiah ini.

2. drh. R.P. Agus Lelana, Sp.MP,M.Si selaku penguji luar komisi, atas segala saran dan masukan untuk penyempurnaan thesis ini.

3. Prof.drh. Dondin Sajuthi, MST, Phd selaku Ketua Program Studi Primatologi atas fasilitas dan bimbingan dalam perkuliahan.

4. Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc selaku Kepala Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) beserta staf, yang telah memberikan fasilitas selama perkuliahan.

5. Dirjen DIKTI DEPDIKNAS yang telah memberikan dana penelitian melalui hibah Pasca

6. Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) II SUMUT

7. Conservation International Indonesia (CII) Medan dan staf, yang telah membantu dalam pemberian fasilitas selama penelitian

8. Semua rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Primatologi, rekan-rekan PERMATA Bogor dan rekan-rekan-rekan-rekan Perwira 12 atas kebersamaan dan bantuan yang diberikan selama studi.

9. Teman-teman yang membantu selama pengambilan data di lapangan: Pak Jabbar, Keni Sultan dan kepala Desa Aek Nangali terima kasih untuk bantuan dan kebersamaannya. Yang terkasih wina, untuk segala bantuan, perhatian, kasih dan kesetiaan yang diberikan sejak awal penelitian sampai selesainya tesis ini.

10. Dr. Ir. Entang Iskandar dan Dr. drh. Heri Wijayanto atas bantuan yang diberikan 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Terima kasih yang tak ternilai sekalipun kecil artinya dibandingkan dengan tetesan keringat dan air mata kedua orang tua Ayahanda J. Bangun dan Ibunda N. Sembiring, adik-adik tercinta Desi Anita Bangun, SPd dan Oktavianita Bangun serta seluruh keluarga yang selalu melimpahkan kasih sayang dan tiada henti-hentinya berdoa untuk penulis.

Bogor, Agustus 2007

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Berastagi pada tanggal 2 Juni 1979 dari ayah Jiwa Bangun, BA dan ibu Nurhayati Sembiring, BA. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………..xi

DAFTAR GAMBAR………..xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 12

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN... 21

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Deskripsi karakteristik kualitatif ungko ... 22

2. Persentase pewarisan warna rambut ungko ... 24

3. Estimasi kepadatan populasi ungko, lokasi dan luas pengamatan ... 26

4. Komposisi kelompok ungko (H. agilis agilis) di TN Batang Gadis... 28

5.Parameter vegetasi, habitat dan populasi ... 31

6. Sepuluh nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon ... 32

7. Sepuluh nilai INP tertinggi vegetasi tingkat tiang ... 33

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ... 5

2. Ungko (Hylobates agilis agilis) Jantan... 6

3. Peta penyebaran ungko (H.agilis agilis) (Geisman 2006) ... 10

4. Peta lokasi penelitian di TNBG (BKSDA Sumut II 2004) ... 12

5. Disain line transect sampling... 16

6. Skema analisis vegetasi dengan jalur petak... 17

7. Pola warna rambut ungko di TNBG ... 21

8. Ungko betina dan bayi (a) dan ungko jantan (b) (foto: Mootnick. A 2004)... 23

9. Posisi ungko sedang tidur ... 25

10.Gambaran habitat di lokasi penelitian di TN Batang Gadis ... 30

11 Jalur transek analisis vegetasi dan pengamatan populasi ... 31

12.Jenis vegetasi yang menjadi sumber pakan ungko ... 35

13.Persentase jenis pekerjaan masyarakat di Desa Aek Nangali... 36

14.Aktivitas pertanian dan perkebunan masyarakat di sekitar areal TNBG... 37

15.Sisa bekas penebangan kayu di areal penelitian ... 39

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar nama vegetasi yang ditemukan di areal penelitian di TNBG ... 48 2. Daftar inventarisasi vegetasi berdasarkan penelitian Kuswata et.al. (2004)

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwaliar yang tinggi, dan tersebar di beberapa tipe habitat dalam ekosistem hutan. Jenis satwaliar ini merupakan sumberdaya hutan non kayu yang dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, meliputi berbagai aspek kehidupan baik untuk kepentingan ekologis, ekonomis, sosial maupun budaya. pemanfaatan yang tidak memperhatikan aspek ekologis akan menyebabkan penurunan populasi satwa dialam, bahkan untuk jenis yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan habitat dapat menyebabkan jenis satwa liar terancam kepunahan, diantaranya satwa primata di Indonesia terutama jenis-jenis dalam suku Hylobatidae

Penurunan populasi yang diakibatkan oleh penurunan kualitas, kuantitas habitat maupun perburuan liar merupakan permasalahan umum terjadi di Indonesia. Sedikitnya 32 jenis satwa primata yang telah dimasukkan dalam daftar satwa primata yang dilindungi memerlukan upaya-upaya konservasi habitat, penangkaran untuk peningkatan populasi, termasuk pemanfaatan jasa dan penelitian (Supriatna dan Wahyono 2000).

Ungko (Hylobates agilis agilis) merupakan salah satu dari satwa primata Indonesia yang terancam. Penurunan populasi ungko yang drastis telah mendorong IUCN pada tahun 1994 mengkatagorikannya sebagai spesies nyaris terancam (Near Threatened nt = LR) (Eudey & Members of the Primate Specialist Group 2006), sedangkan CITES mencantumkannya dalam Appendix I (Soehartono dan Mardiastuti 2000). Ungko (H.agilis) dan spesies Hylobates lainnya adalah satwa dilindungi negara berdasarkan Dierenbeschermingsverordening 1935, No. 513 as Hylobatidae, Surat Keputusan Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991 (Colin dan Muchtar 2002). Peraturan ini diperkuat oleh Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Hylobatidae.

(17)

strategi konservasi yang tepat. Informasi tersebut dapat diperoleh dengan melakukan penelitian seperti penelitian ekologi satwa tersebut berada.

Penetapan kawasan konservasi oleh pemerintah di berbagai daerah, terutama di daerah penyebaran satwa atau biodiversitas yang menjadi kunci konservasi area merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menanggulangi penurunan populasi ungko. Taman Nasional Batang Gadis merupakan salah satu habitat penyebaran Ungko (H.agilis) di Sumatera Utara yang dijadikan oleh pemerintah sebagai daerah konservasi. Namun, informasi mengenai spesies ungko seperti struktur umur, ukuran populasi, penyebaran, sumber pakan dan sikap mayarakat sekitar masih belum memadai. Informasi ini sangat diperlukan untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan kawasan taman nasional, khususnya dalam pelestarian spesies ungko. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu penelitian mengenai ekologi ungko sebagai dasar dalam memberikan rekomendasi dalam penggelolaan dan konservasi kawasan.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan informasi karakteristik populasi (kepadatan kelompok dan individu, ukuran dan komposisi kelompok) H. agilis agilis.

2. Mendapatkan informasi karakteristik habitat (vegetasi dan sumber pakan). 3. Mendapatkan informasi persepsi masyarakat terhadap pelestarian ungko dan

habitatnya.

Manfaat

1. Bahan acuan penyusunan rekomendasi manajemen pengelolaan ungko.

2. Memberi landasan pemilihan pakan ungko di lokasi penangkaran dan restorasi habitat.

(18)

Kerangka Pemikiran

Ungko (Hylobates agilis) merupakan salah satu jenis satwa primata Indonesia yang keberadaannya terancam dan perlu mendapat perhatian khusus. Mungkin salah satu alasannya karena informasi yang akurat tentang keberadaanya dan nasibnya di alam tidak tersedia untuk masyarakat umum, sehingga banyak tekanan terhadap hutan sebagai habitat yang sangat mempengaruhi kehidupan ungko tidak mendapat perhatian

Keberadaan ungko saat ini di alam bebas sudah sangat memperihatinkan. Kerusakan ekologi merupakan salah satu penyebab makin berkurangnya populasi ungko dialam. Kerusakan ekologi dapat terjadi akibat faktor manusia maupun alam sendiri. Pemaanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh manusia merupakan salah satu faktor yang paling cepat merusak ekologi ungko, sehingga berpengaruh terhadap populasi dan kelangsungan hidup satwa ini sendiri.

Perambahan secara legal atau illegal loging telah mengakibatkan fragmentasi hutan yang sangat serius. Penebangan hutan untuk industri (industrial logging) yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan tropis dalam skala masif. Kecepatan penyusutan hutan alam antara tahun 1984 dan 1998 adalah sebesar 1,6 juta hektar per tahun, dan saat ini telah melampaui 2,4 juta hektar per tahun; salah satu angka kerusakan hutan tertinggi di dunia (Walhi 2007). Fragmentasi hutan menurunkan kualitas habitat akibat berkurangnya vegetasi, pohon tidur dan pohon sumber pakan yang merupakan ancaman bagi populasi ungko di alam. Disamping perusakan habitat perburuan terhadap satwa yang dilindungi juga mengakibatkan penurunan populasi. Perburuan terjadi akibat kurangnya kesadaran masyarakat akan nilai-nilai konservasi. Kurangnya informasi mengenai karakteristik biologi ungko bagi sejumlah peneliti dan masyarakat umumnya mengakibatkan pengembangan ungko secara in-situ maupun ex-situ menjadi kurang maksimal.

(19)
(20)

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Ungko (Hylobates agilis)

Ungko (Hylobates agilis) dimasukkan kedalam jenis kera kecil yang klasifikasinya menurut Napier dan Napier (1985) dimasukkan ke dalam: ordo Primata, famili Hylobatidae, genus Hylobates, spesies Hylobates agilis. Spesies

Hylobates agilis dikelompokkan lagi kedalam tiga subspesies, yaitu Hylobates agilis ungko, Hylobates agilis agilis dan Hylobates albibarbis (Supriatna dan Wahyono 2000).

Tubuh ungko ditutupi oleh rambut berwarna abu-abu, kecoklatan hingga hitam. Pada ungko jantan, rambut yang tumbuh di sekitar pipi serta alis berwarna putih, sedangkan pada betina dewasa hanya bagian alis yang berwarna putih. Ungko memiliki warna pergelangan dan jari tangan serta kaki berwarna hitam dan biasanya warna bagian tubuh ini lebih gelap jika dibandingkan dengan warna bagian tubuh lainya (Gambar 2). Bobot badan ungko dewasa antara 5-7 kg dan panjang tubuh antara 450-500 mm (Supriatna dan Wahyono 2000). Biasanya bobot tubuh jantan lebih besar dari betina (Animal Diversity 2004). Ciri lainnya, ungko tidak berekor dengan tangan lebih panjang daripada kaki dan tidak dapat berenang (Bismark,1984). Menurut Napier and Napier (1967), struktur tangan, kaki dan jari yang panjang memungkinkan ungko dapat menjangkau dahan-dahan yang jauh dan efisien untuk berayun atau menggantung di tajuk-tajuk pohon dalam hutan.

(22)

Ungko memiliki kantong tenggorokan yang berperan dalam vokalisasi (Fleagle 1988). Suara yang dikeluarkan ungko sangat keras mencapai 1 K Hertz yang mempunyai beberapa arti (Supriatna dan Wahyono 2000). Pada pagi hari dapat diartikan sebagai tanda keberadaan dan peringatan kepada pasangan lain. Suara ini biasanya ditanggapi oleh pasangan lain yang berdekatan. Suaranya juga mempunyai arti kontak dengan pasangan lain, baik kontak sahabat ataupun kontak saling menyerang.

Famili hylobates (gibbon) menurut Fleagle (1988) merupakan satwa primata yang sangat tangkas dan akrobatik dalam melakukan pergerakan, gibbon

menghabiskan kebanyakan waktunya di tajuk pepohonan hal ini karena gibbon

merupakan satwa arboreal. Gibbon berpindah dan bergerak dengan berayun dari cabang ke cabang yang disebut brachiating. Ketika sedang melakukan brachiate,

gibbon menggunakan empat jari tangannya menjadi suatu sangkutan (bukan ibu jari).

Gibbon juga dapat berjalan-jalan dicabang kecil yang tinggi seperti berjalan kaki dengan membentangkan lengannya untuk membantu keseimbangannya. Gibbon

dapat juga melompat dangan akrobatik untuk menyeberang diatas tajuk dari cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Gibbon diketahui dapat melompat dalam sekali lompatan sejauh 30 kaki atau 9 m.

Menurut Gittins dan Raemaekers (1980), famili hylobatidae hidup dalam kelompok sosial monogami yang kecil yang terdiri dari sepasang jantan dan betina dewasa dengan 1-2 anak. Pasangan hylobates umumnya melahirkan seekor anak dengan selang waktu 2-3 tahun sekali. Dewasa kelamin pada famili hylobatidae

biasanya ketika berumur 12-13 tahun. Masa prenatal pada hylobates betina sekitar 7 bulan,dan biasanya melahirkan satu anak saja, sangat jarang terjadi anak kembar pada keluarga hylobates. Bayi yang baru lahir biasanya akan selalu digendong oleh induknya dan akan tinggal bersama-sama keluarganya sampai berumur 6 tahun sebelum membentuk keluarga yang baru.

Berdasarkan ukuran tubuh dan perkembangan perilakunya, tingkatan kelas umur ungko dibagi menjadi :

(23)

b ) anakkan (juvenile-1); berumur 2-4 tahun, badanya kecil, berjalan sendiri tapi cenderung selalu dekat induknya;

c ) remaja/muda (juvenile-2); berumur 4-6 tahun ukuran badan sedang, sering berjalan dan melakukan aktivitas makan sendiri;

d ) hampir dewasa (sub-adult); mulai umur 6 tahun, ukuran badan hampir sama dengan dewasa tetapi belum matang seksual, tetap dalam kelompok tapi lebih sering memisahkan diri dan

e ) dewasa (adult); mempunyai ukuran tubuh maksimal dan hidup berpasangan Populasi Ungko

Menurut Alikodra (2002) populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Anggota kelompok ini tidak atau jarang melakukan hubungan dengan spesies yang sama dari kelompok lainnya. Suatu populasi dapat menempati wilayah yang sempit sampai luas, tergantung pada spesies dan daya dukung habitatnya.

Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), diperkirakan populasi ungko yang tersedia di alam pada tahun 1986 hanya berkisar 30 ribu ekor yang hanya dapat ditemukan di kawasan konservasi di Kalimantan dan Sumatera. Satwa ini telah kehilangan 66% habitatnya yang semula cukup luas yaitu sekitar 500.000 km2, sekarangtersisa hanya sekitar 170.000 km2 saja. Bertentangan dengan pernyataan diatas di Taman Nasional Kerinci Seblat yang luasnya 1,3 juta hektar diperkirakan saat ini terdapat ungko sekitar 150 ribu ekor yang mendiami hutan perbukitan dataran tinggi 500-800 m dpl (Tempointeraktif 2004). Kepadatan pupulasi ungko di Taman Nasional Kerinci Seblat adalah 0,283-0,567 kelompok/km2 (Kehati 2004).

Berdasarkan hasil penelitian Apriadi (2001), dikawasan lindung HPHTI PT. RAPP Sektor Baserah, Riau diperoleh kepadatan populasi ungko di KPPN sebesar 17,45 ± 5,61 ekor/km2 dan sempadan sungai 4,26 ± 0,67 ekor/km2 dengan kepadatan kelompok masing-masing 7,47 ± 0,52 kelompok/km2 dan 1,89 ± 0,02 kelompok/km2.

Habitat dan Penyebaran Ungko

(24)

hutan rawa. Sebaran habitat ungko dalam memilih habitat cenderung dipengaruhi oleh ketinggian tempat dari permukaan laut (Kehati 2004). Selain itu, mereka sering ditemukan di daerah batas antara hutan rawa dan tanah kering. Hylobates agilis

merupakan primata arboreal murni. Di habitat hutan, primata ini jarang sekali turun ke tanah, kebiasaanya bergelantung dari cabang pohon yang tinggi ke cabang pohon yang lain dengan kecepatan mencapai 60 km/jam, sehingga fragmentasi hutan menjadi ancaman populasi ungko akibat penebangan liar.

Penebangan secara selektif melebihi 8-12 pohon per ha akan mengganggu perjalanan Hylobates dan akan mengakibatkan kera tersebut turun ke lantai hutan sehingga mudah tertangkap oleh predator. Walaupun demikian, jenis kera ini dapat beradaptasi terhadap berbagai bentuk perubahan lingkungan habitatnya (Curtin dan Chivers 1979). Menurut Wilson dan Wilson (1975), hutan primer tetap mempunyai peranan yang besar terhadap berbagai jenis Hylobates. Walaupun mereka makan dan mencari makan dihutan sekunder, tetapi untuk tidur tetap di hutan primer.

Sebaran ungko (H.agilis) meliputi hutan hujan tropis di Thailand, Malaysia dan Indonesia (Sumatera dan Kalimantan), hidup di kanopi atas hutan, memakan buah-buahan, dauan-daunan dan serangga (Animal Diversity 2004). Ungko biasanya memakan buah yang mengandung kalori yang tinggi

Penyebaran H.agilis berdasarkan tiga subspesies menurut (Supriatna dan Wahyono 2000; Geisman 2006) yaitu

a ) H. a. albibarbis, tersebar di bagian barat Kalimantan dan Kalimantan Tengah, ke arah utara dibatasi oleh sungai Kapuas sedangkan ke timur dibatasi oleh sungai Barito, hingga ke utara di hulu sungai Barito;

b ) H. a. agilis, tersebar di bagian barat Sumatera, khususnya di bagian pegunungan; c ) H. a. ungko, tersebar di bagian timur Sumatera, khususnya di daerah dataran

(25)

Gambar 3 Peta penyebaran ungko (H.agilis agilis) (Geisman 2006)

Lebih lanjut, Supriatna dan Wahyono (2000) dan Indonesia Primate Camp (2001), mengemukakan bahwa pada saat ini ungko dapat ditemui di Taman Nasional Tanjung Puting yang merupakan tempat terbaik satwa primata ini di Kalimantan. Di Sumatera, ungko dapat dijumpai di Taman Nasional Way Kambas, Bukit Barisan selatan dan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera Barat.

Sumber Pakan

(26)

memanfaatkan jenis pakan yang berbeda sesuai dengan yang jenis pakan yang disukai, penggunaan stratifikasi tajuk hutan dan pola pergerakannya (Curtin dan Chivers 1979). Keragaman jenis tumbuhan yang tinggi dihabitat satwa primata, terutama satwa primata simpatrik akan memungkinkan tingginya keragaman jenis pakan menurut ruang dan waktu. Walaupun di hutan primer banyak terdapat pohon besar dan tinggi, pada umumnya kehidupan satwa lebih banyak berkisar pada ketinggian antara 25-35 m dan 15-30 m kecuali pada habitat tertentu, seperti di tepi sungai (Curtin dan Chivers 1979).

(27)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) secara administratif berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Propinsi Sumatera Utara yang meliputi 13 wilayah kecamatan dan bersinggungan dengan 68 desa. Secara geografis, TNBG terletak diantara 99° 12' 45" sampai dengan 99° 47' 10" BT dan 0° 27' 15" sampai dengan 1° Or 57" LU. Nama taman nasional berasal dari nama sungai utama yang membelah Kabupaten Madina, yaitu Batang Gadis. TNBG meliputi kawasan seluas 108.000 hektar atau 26% dari total luas hutan di Kabupaten Madina dan terletak pada kisaran ketinggian 300 sampai 2.145 m di atas permukaan laut dengan titik tertingginya di puncak gunung berapi Sorik Merapi. Kawasan TNBG seluas 108.000 hektar ini terbentuk dari Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap. Hutan Lindung yang dialihfungsikan menjadi taman nasional seluas 101.500 hektar (Departemen Kehutanan 2004). TNBG berbatasan langsung dengan 68 desa yang berada di 13 kecamatan. Desa yang berbatasan langsung dan merupakan pintu masuk ke lokasi penelitian adalah Desa Aek Nangali yang berjarak sekitar delapan kilometer dari lokasi penelitian yang akan dilakukan (Gambar 4)

(28)

Keanekaragaman flora dan fauna yang terdapat di TNBG sangat tinggi. Dalam petak penelitian seluas 200 meter persegi terdapat 242 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) atau sekitar 1% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh yang ada di Indonesia). Selain itu, ditemukan juga bunga langka dan dilindungi yaitu bunga Padma (Rafflesia sp.) jenis baru. Potensi satwa langka yang ditemukan di TNBG seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), kucing hutan (Catopuma temminckii), kancil (Tragulus javanicus), binturong (Arctitis binturong) beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac) dan landak (Hystix brachyura) serta amfibi tak berkaki (Ichtyopis glutinosa) yang merupakan jenis satwa purba dan katak bertanduk tiga (Megophyris nasuta) yang sudah langka dan merupakan jenis yang hanya dapat dijumpai (endemik) di Sumatera. Jenis-jenis satwa primata yang dapat ditemukan, seperti Siamang (Sympahalangus syndactylus), Lutung (Presbytis cristata), Ungko (Hylobates agilis), Beruk (Macaca nemestrina) dan Monyet Ekor Panjang (Macaca facscicularis) (Departemen Kehutanan 2004).

Jumlah burung di kawasan TNBG yang dapat ditemukan sampai saat ini ada 242 jenis. Dari 242 jenis tersebut, 45 merupakan jenis burung yang dilindungi di Indonesia, delapan jenis secara global terancam punah, 11 jenis mendekati terancam punah, seperti jenis-jenis Sunda groundcuckoo, Salvadori pheasant, Sumatran cochoa. Crested fireback dan March finfoot. Dua jenis burung yang selama ini dikategorikan sebagai 'kekurangan data' (data defisien) oleh IUCN karena sedikitnya catatan, juga ditemukan. Kawasan TNBG juga merupakan salah satu lokasi transit burung-burung migran yang datang dari belahan bumi utara. Burung Lophura inornata (salvadori pheasant) dan Pitta schneiderii (schneider's pitta) adalah jenis langka dan endemik untuk Sumatera (Departemen Kehutanan 2004).

(29)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Lama waktu penelitian tiga bulan, mulai dari Juli sampai dengan September 2005.

Bahan dan Alat

Bahan (ungko dan vegetasi di daerah penelitian) dan peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini peta lokasi, lembaran kerja, binokuler, kompas, altimeter, pita, meteran, termometer, higrometer, kamera, tenda dum, ransel (tas punggung), GPS (global positioning system), tali plastik, kantong plastik, kertas koran, alkohol 70%, gunting, pisau, kertas label serta lembaran borang.

Metode

Penentuan lokasi penelitian

Informasi awal tentang lokasi penelitian (data sekunder) diperoleh dari peta topografi dan penutupan lahan yang diperoleh dari Bakosurtanal dan Departemen Kehutanan/Perkebunan. Informasi tentang keberadaan kelompok ungko di lokasi penelitian diperoleh berdasarkan survei pendahuluan pada tahun 2004 dan informasi dari petugas taman nasional serta masyarakat sekitar lokasi. Berdasarkan informasi-informasi diatas, kemudian dibuat overlay-nya untuk menentukan titik-titik pengamatan dan pengambilan sampel di lapangan.

Koleksi Data

(30)

Karakteristik Morfologi Ungko

Pengamatan karakteristik dilakukan secara kualitatif meliputi pola warna rambut, perbedaan antara jantan betina, perbedaan berdasarkan stratifikasi umur, pola tubuh dan pola wajah serta ekstrimitas. Data akan dianalisis secara dekskiptif. Pengamatan karakteristik kuantitatif tidak dapat dilakukan karena ungko di lokasi penelitian tidak boleh ditangkap, tetapi ukuran-ukuran tubuh ungko didapat dari kilik masyarakat di Sumatera Barat sebanyak jantan 2 ekor dan betina 1 ekor. Pengamatan secara kualitatif terhadap 12 kelompok ungko di lapangan dapat diketahui ukuran jantan lebih besar dibanding betina dengan menggunakan penciri kualitatif.

Populasi Ungko

(31)

---

Gambar 5 Disain line transect sampling populasi

Pengamatan dilakukan setiap hari, dimulai pukul 07.00 WIB. Peneliti berjalan sepanjang jalur yang telah di tentukan dan bila menemukan ungko, dilakukan pencatatan: posisi kuadrat perjumpaan dengan menggunakan GPS, jumlah kelompok, jumlah individu dalam kelompok, jarak antara pengamat dan kelompok target, waktu perjumpaan serta panjang jalur yang telah ditempuh. Peneliti akan mengidentifikasi kelompok atau individu ungko yang ditemukan selama 10 menit (Mouria et al.2003)

Peubah ukuran populasi adalah komposisi kelompok meliputi jumlah individu dan kelas umur setiap individu dalam kelompok ungko yang ditemukan. Analisis data kepadatan populasi dihitung dengan membandingkan besarnya kelompok dengan luas jelajahnya. Penentuan estimasi kepadatan (D) populasi ungko dilakukan dengan cara sebagai berikut:

D = jumlah individu/ total areal penelitian Habitat

(32)

Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan dengan metode jalur berpetak yang dibuat dalam jalur sensus populasi dengan panjang masing-masing 2,3 km dan 2,35 km. Jalur I terletak pada ketinggian 637-764 m dpl, sedangkan Jalur II terletak pada ketinggain 791-967 m dpl. Cara pengambilan dilakukan dengan menggunakan plot yang berbentuk empat persegi (bujur sangkar) petak yang besar mengandung petak-petak yang lebih kecil yang disebut nested sampling. Plot dibuat di tempat ungko berada dan mengikuti kontur lahan. Data yang dikumpulkan pada setiap plot bujursangkar meliputi: tingkat pohon (diameter > 35 cm), tingkat tiang (diameter antara 10 cm dan 35 cm), tingkat pancang (tinggi > 1,5 m dan diameter paling besar 10 cm), dan tingkat anakan (tinggi mencapai 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm). Tingkat pohon ditentukan dari petak berukuran 20x20 m, tingkat tiang dan pancang ditentukan dari bujur sangkar 10x10 m dan 5x5 m, dan tingkat semai ditentukan dari bujur sangkar dengan luas 2x2 m yang dibuat di dalam petak utama (Gambar 6) (Soerianegara dan Indrawan 2002). Pada setiap lokasi penelitian dibuat dua plot

vegetasi berukuran 20x 100 m (5 plot ukuran 20x20), sehingga jumlah keseluruhan 4 plot. Pengukuran diameter untuk tingkat pohon, tiang, dan pancang diukur pada batang setinggi dada.

B

Gambar 6 Skema analisis vegetasi dengan jalur petak Keterangan :

A. petak ukur 20x20 m untuk pengamatan tingkat pohon;

(33)

D. petak ukur 2x2 m untuk pengamatan tumbuhan tingkat semai dan tumbuhan bawah, herba dan semak.

Pada setiap petak peubah yang diamati adalah 1) nama jenis (untuk jenis yang belum diketahui dibuat herbarium), 2) jumlah individu per jenis dalam petak pengamatan, 3) frekuensi (jumlah individu pada setiap petak contoh), dan 4) pendugaan tinggi pohon dan keliling/ diameter pohon. Dari hasil pengukuran akan dihitung kerapatan, kerapatan relatif, dominansi, dominansi relatif dan indeks nilai penting.

Analisis ini memerlukan tiga parameter kuantitatif, yaitu kerapatan, dominansi dan frekuensi. Total nilai relatif dari ketiga parameter tersebut disebut Indeks Nilai Penting (Soerianegara dan Indrawan, 2002). Adapun ukuran-ukuran vegetasi ditentukan menurut rumus-rumus (Soerianegara dan Indrawan, 2002), sebagai berikut:

Jumlah plot diketemukannya suatu spesies/jenis e ) Frekuensi =

Jumlah seluruh plot Frekuensi dari suatu jenis

f ) Frekuensi relatif (%) = x 100% Frekuensi dari seluruh jenis

(34)

Kerapatan (K) merupakan banyaknya batang (batang = individu) per satuan luas, seperti banyaknya (bilangan) per ha, maka nilai itu disebut kerapatan (density). Untuk menetapkan nilai penting atau dominansi suatu jenis terhadap jenis lain dalam tegakan maka diperlukan nilai kerapatan relatif (KR) yaitu persentase jumlah

individu dari suatu jenis yang ada.

Frekuensi (F), yaitu perbandingan banyaknya petak yang terisi oleh suatu jenis terhadap jumlah petak-petak seluruhnya, yang biasanya dinyatakan dalam persen, adalah ukuran dari uniformitas atau regularitas terdapatnya jenis itu di dalam tegakan. Untuk menghitung nilai penting atau dominansi diperlukan pula besaran frekuensi relatif (FR) yaitu persen frekuensi suatu jenis terhadap jumlah frekuensi semua jenis.

Dominansi (D) suatu jenis terhadap jenis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan berdasarkan banyaknya batang dan kerapatan (density), persen penutupan (cover precentage) dan luasnya bidang dasar (basal area), volume, biomasss dan indeks nilai penting (importance value index). Di dalam tegakkan hutan dominan harus ditetapkan menurut masing-masing lapisan, yaitu untuk pohon-pohon dan tumbuhan –tumbuhan bawah. Dominansi relatif (DR) yaitu persen dominansi suatu jenis terhadap dominansi seluruh jenis

Indeks Nilai Penting (INP) merupakan hasil penjumlahan kerapatan relatif, frekuaensi relatif dan dominansi relatif.

Pengamatan sumber pakan dilakukan dengan mencatat keanekaragaman spesies pakan yang terdapat pada plot analisis vegetasi dan juga berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar. Dalam pelaksanaannya peneliti akan mencatat jenis dan bagian tumbuhan yang dimakan seperti buah, daun, bunga, jamur dan pakan lainnya seperti serangga.

Aspek Konservasi

(35)
(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Ungko

Sifat kualitatif

Pengamatan karakteristik dilakukan secara kualitatif terhadap pola warna rambut dan ukuran tubuh ungko di TNBG melalui pengamatan jarak jauh serta secara kuantitatif terhadap ungko yang berasal dari Sumatera Barat. Berdasarkan pengamatan diperoleh penyebaran pola warna rambut ungko di TNBG yang berbeda-beda yaitu hitam, kuning, coklat dan gelap (hitam kecoklatan/abu-abu) (Gambar 7).

Gambar 7. Pola warna rambut ungko di TNBG

(37)

gelap walaupun pada seluruh tubuhnya dipenuhi warna yang lain seperti kuning atau coklat (Tabel 1)

Tabel 1. Deskripsi karakteristik ungko secara kualitatif Ungko .Bagian tubuh

Jantan Betina Rambut kepala Hitam/kuning Hitam/kuning

Wajah Hitam Hitam

Alis Putih bersambung Putih melengkung

Dagu Hitam Hitam

Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa tidak terlihat perbedaan bentuk morfologi kualitatif yang jelas antara jantan dan betina, dalam hal ini pola warna rambut yang menutupi seluruh tubuh. Semua bentuk warna rambut dan kulit pada jantan hampir bisa dipastikan terdapat juga pada betina. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa antara jantan dan betina tidak ada perbedaan penyebaran warna rambut yang disebabkan oleh pengaruh hormon (dimorfisma seks) kecuali pada rambut yang tumbuh di sekitar pipi jantan dan bentuk alis yang berbeda dengan betina.

Pola warna rambut ungko tidak terkait dengan perbedaan jenis kelamin (dimorfisma seks) karena perbedaan jenis warna rambut tersebut dapat ditemui pada setiap individu jantan atau betina dewasa, remaja atau anak sehingga dapat dikatakan perbedaan pola warna rambut bukan karena umur (tingkat kedewasaan).

Pewarisan pola warna rambut pada ungko di Taman Nasional Batang Gadis ini belum diketahui apakah terkait faktor genetik atau kerena adanya persilangan antara H agilis agilis dengan H.agilis ungko bahkan dengan Hylobates lar hal ini terkait letak TNBG sendiri yang merupakan daerah perbatasan penyebaran H.aglis agilis, H.agilis ungko dan H.lar. Berdasarkan penyebaran H.agilis agilis terdapat disepanjang pegunungan disebelah Barat Sumatera khususnya didaerah pegunungan,

(38)

sangat mungkin hidup di TN Batang Gadis. Hal ini dapat dilihat dari letak geografis dan topografi kawasan TN Batang Gadis sendiri yang terdapat diketinggian 300-2.145 m dpl dan terletak di perbatasan Sumatera bagian utara dan Sumatera bagian barat (Gambar 3 peta penyebaran ungko; Geismann (2006)).

Menurut Geismann (2006) di daerah Thailand dan semenanjung Malaya ditemukan adanya persilangan antara H. Lar dengan H. agilis ungko (Lowland agile gibbon). Adapun warna rambut tubuh ungko hasil persilangan tersebut hampir sama dengan ungko yang terdapat di TNBG, yaitu berwarna hitam, kuning dan coklat. Persilangan H. agilis tidak hanya terjadi di daerah Thailand dan Malaysia saja, Geismann (2006) juga melaporkan adanya persilangan antara H. agilis albibarbis

dengan H. Muelleri di daerah Barito kalimantan. Mengacu pada pernyataan-pernyaan tersebut makan tidak tertutup kemungkinan bahwa ungko yang terdapat di TNBG juga merupakan hasil persilangan antar spesies maupun subspesies Hylobates yang terdapat di Sumatera.

Karakteristik kualitatif (pola dan warna rambut) ungko dapat dilihat pada Gambar 7 diatas dan Gambar 8 berikut .

a b

(39)

berwarna putih, sedangkan pada betina ditumbuhi rambut yang sama dengan warna tubuhnya. Alis pada jantan berwarna putih bersambung dan betina putih melengkung.

Persentase perbandingan karakteristik warna rambut ungko yang berwarna kuning (termasuk coklat) dan warna hitam pada ungko yang tercatat selama penelitian disajikan pada Tabel 2 berikut ini

Tabel 2. Persentase pewarisan warna rambut ungko dewasa Remaja/

Tabel 2 menunujukkan bahwa sebagian besar ungko yang ditemui berwarna kuning, yaitu sebesar 58,54%, sedangkan yang berwarna hitam hanya 41,46%. Hal ini menunjukkan ungko tidak dapat diidentikkan dengan warna rambut hitam yang mendominasi seluruh tubuhnya. Hanya ungko yang masih bayi dan digendong induk yang lebih dominan berwarna hitam, hal ini menuntut penelitian yang lebih lanjut tentang pewarisan warna rambut pada ungko ini terkait akan faktor umur, sedangkan pada ungko yang telah memasuki usia anak sampai dewasa lebih didominasi rambut warna kuning pada sekujur tubuh ungko.

Selama pengamatan, ungko (H.agilis) biasanya melakukan morning call pada mulai pagi hari sekitar pukul 05.00 wib-08.00 wib. Biasanya ungko bernyanyi sahut-sahutan untuk menandakan batas teritori maupun untuk membangunkan anggota kelompoknya. Menurut Geissmann (1993), pada spesies Hylobates betina dewasa memiliki great call yang lebih besar dibanding dengan jantan dewasa. Pada siang hari sekitar pukul 11.00-15.00 wib, tidak terdengar lagi suara ungko karena ungko biasanya istirahat.

(40)

yang percabangannya persis diatas sungai maka sisa defikasi ungko akan jatuh ke sungai sehingga jejaknya terhidar dari predator.

.

Gambar 9. Posisi ungko sedang tidur

Informasi yang diperoleh dari masyarakat mengidikasikan bahwa ungko dan siamang mempunyai predator yang sama yaitu Binturong (Arctictis binturong) yang biasa disebut Guliman oleh masyarakat setempat. Ular juga merupakan salah satu musuh/predator ungko dan siamang. Pada umumnya ungko diareal penelitian masih cenderung bersifat liar, hal ini disebabkan belum terhabituasi dengan baik. Cukup sulit untuk bisa mendekati ungko dari jarak yang dekat, sehingga pengamatan hanya dapat dilakukan dari jarak yang agak jauh dan dalam waktu yang singkat.

Pada saat survei populasi, sebagian besar ungko ditemukan sedang makan dan sisanya sedang lokomosi dan bermain. Ungko akan segera lari dan membuat kegaduhan atau membuat bunyi alarm call apabila menyadari ada manusia atau bahaya yang mengancam kelompok mereka. Biasanya untuk bisa melihat ungko dalam jarak yang dekat bisa dilakukan dengan menunggui dan bersembunyi disekitar dipohon pakan yang sering didatangi oleh kelompok ungko.

Sifat Kuantitatif

Berdasarkan pengukuran tubuh ungko secara kuantitatif, ungko jantan (2 ekor) memiliki bobot badan yang lebih besar dibanding betina 4,35±0,49 kg

(41)

dewasa lebih besar dibanding betina dewasa, jadi dengan melihat karakteristiknya dapat dibedakan dengan mudah jantan dan betina dewasa

Populasi

Populasi menurut Tarumingkeng (1994) adalah sebagai suatu himpunan individu atau kelompok suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam suatu spesies dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah tertentu. Kepadatan populasi adalah ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per satuan luas atau per satuan volume (Suin 2003). Kepadatan populasi jenis kera atau monyet tergantung penggunaan dan tipe habitat, bentuk sosial kelompok maupun home range dan teritorialnya (Harianto 1988).

Ukuran dan estimasi kepadatan populasi ungko di Taman Nasional Batang Gadis pada setiap jalur sensus disajikan pada Tabel 3

Tabel 3. Estimasi kepadatan populasi ungko, lokasi dan luas daerah pengamatan, Juli sampai September 2005

Lokasi Luas daerah

Hasil estimasi kepadatan populasi pada setiap jalur, dengan luas total areal survei 4,65 km2 (Tabel 3), menunjukkan bahwa kepadatan kelompok di Taman Nasional Batang Gadis yaitu 2,6 kel/km2 dengan kepadatan individu berkisar 8,82 ekor/km2. Pada Jalur I, survei dilakukan ulangan sebanyak 10 kali teridentifikasi 5 kelompok ungko, dan jumlah individu yang teramati sebanyak 19 ekor. Estimasi kepadatan kelompok dan individu masing-masing 2,18 kel/km2 dan 8,26 ekor/km2 dengan rerata ukuran setiap kelompok 3,8 ekor/kelompok.

(42)

Perjumpaan dengan individu atau kelompok ungko pada kedua jalur disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) kemampuan individu populasi untuk melakukan pergerakan, (2) adanya penghalang-penghalang baik fisik maupun biologis, (3) pengaruh kegiatan manusia dan (4) kemampuan suatu wilayah untuk mendukung dan merangsang satwa liar untuk datang (Alikodra 1997). Kepadatan populasi ungko pada Jalur II lebih tinggi dibandingkan denga Jalur I, hal ini disebabkan jenis pohon pakan pada Jalur II lebih banyak, dan ketika penelitian berlangsung pohon pakan yang berada diJalur II sebagian besar sedang berbuah. Pohon pakan yang sedang berbuah merupakan daerah yang paling sering dikunjungi ungko untuk memenuhi kebutuhan akan makanannya, hal ini sesuai dengan sifat ungko yang selektif terhadap makanan dimana jika ada pohon yang berbuah pada daerah teritorialnya, ungko berusaha untuk mengunjungi semua pohon tersebut dan sebagian dari waktu makan berorientasi sekitar makanan utama (Bismark 1984). Menurut Whitten (1982), untuk satwa primata, pergerakan didalam wilayah jelajahnya sangat ditentukan oleh sumberdaya makanan, pohon-pohon yang dipergunakan untuk bersuara/bernyanyi.

Kepadatan populasi ungko di Taman Nasional Batang Gadis lebih rendah jika dibandingkan dengan kawasan lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp&Paper sektor Baserah dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan sempadan sungai propinsi Riau seperti yang dilaporkan Apriadi (2001) yaitu kepadatan populasi ungko dikawasan tersebut masing-masing berkisar 17,45 ± 5,61 ekor/km2 4,26 ± 0,67 ekor/km2 dengan kepadatan kelompok masing-masing 7,47±0,52 kelompok/km2 dan 1,89±0,02 kelompok/km2. Secara umum kepadatan populasi ungko di Taman Nasional Batang Gadis cukup tinggi, jika dibandingkan dengan kepadatan pupulasi ungko diareal penelitian Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu berkisar 0,283-0,567 kelompok/km2 (Kehati 2004).

(43)

ungko yang tersedia di alam pada tahun 1986 hanya berkisar 30 ribu ekor yang hanya dapat ditemukan di daerah-daerah konservasi di Kalimantan dan Sumatera. Jika dibandingkan dengan kepadatan populasi H.a. albibarbis di Taman Nasional Sebangau yaitu 8,72 individu/km2 (Duma 2007) dan kepadatan owa jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Halimun-Salak yaitu 8,2 individu/km2 (Iskandar 2007), maka kepadatan populasi H. agilis agilis di TNBG lebih tinggi. Tingginya populasi ungko di TNBG menunjukkan bahwa TNBG merupakan salah satu kawasan terbaik yang dapat mendukung keberlangsungan hidup dan kelestarian ungko di alam.

Dari pengamatan yang dilakukan ukuran kelompok berkisar 2-5 individu/kelompok. Komposisi kelompok disajikan pada Tabel 4

Tabel 4. Komposisi kelompok ungko (H.agilis-agilis) di TN Batang Gadis Dewasa Pradewasa Remaja/

Keterangan: (-) = tidak teridentifikasi

Ukuran kelompok pada jalur I (3,8 individu) lebih tinggi dibanding pada Jalur II (3,14), melihat pada Jalur I semua pasangan induk (kelompok) mempunyai anak, bahkan ada pasangan yang memiliki jumlah anggota kelompoknya lebih dari dua anak. Pada Jalur II terdapat pasangan induk yang tidak memiliki anak, diduga merupakan pasangan induk yang baru terbentuk

(44)

komposisi kelompok ungko yang terdapat di TNBG, maka dapat dilihat keberhasilan reproduksi dan regenerasi yang tinggi di kawasan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ukuran kelompoknya yang mencapai 5 individu. Dua kelompok memiliki anggota pradewasa betina. Betina ini sudah mendekati morfologi dewasa, namun belum keluar dari kelompok mengingat tidak ditemukan pradewasa jantan dari kelompok sekitarnya untuk membentuk kelompok baru. Selain itu dapat diperkirakan bahwa betina pradewasa masih membutuhkan perlindungan dari kelompok induk untuk menghindari ancaman predator .Hampir setiap pasangan induk memiliki keturunan (anak) dan hanya satu kelompok yang terdiri dari sepasang induk, hal ini diduga karena kelompok tersebut baru terbentuk dan masih membutuhkan waktu yang lama untuk bereproduksi dan memiliki anak.

Seperti jenis owa lainya, ungko juga hidup berpasangan dengan keluarga yang monogamus. Tabel 4 menunjukkan bahwa perbandingan jantan dengan betina 1:1 yang mengidentifikasikan bahwa di TNBG ungko jantan hanya memiliki satu pasangan ungko betina saja, Napier (1972) menyatakan bahwa jumlah jantan dan betina dewasa pada famili Hylobates adalah sama. Pada Tabel 4 dapat dilihat 2 kelompok yang memiliki 1 jantan berbanding 2 betina dewasa, hal ini diduga mungkinkan karena salah satu betina dewasa tersebut adalah anggota keluarga tersebut yang sudah dewasa tetapi belum membentuk kelompok yang baru.

Habitat

(45)

Gambar 10. Gambaran habitat di lokasi penelitian di TN Batang Gadis

Berdasarkan letak topografi dan ketinggian serta jenis kayu yang terdapat di di kawasan hutan tersebut maka TNBG dapat digolongkan kedalam formasi hutan hujan tropika dataran rendah yaitu formasi hutan dengan ketinggian 0-900 m dpl (Bratawinata 2001). Hal ini dapat dilihat dari ketinggian lokasi penelitian di TNBG yang berkisar 637-967 m dpl dan tumbuhan yang banyak didominasi dari suku

Euphorbiaceae, Myrtaceae, Lauraceae dan Dipterocarpaceae. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Anwar et al. (1984) bahwa hutan-hutan dataran rendah Sumatera didominasi oleh pohon-pohon dari suku Euphorbiaceae, Myrtaceae, Lauraceae, Sapotaceae, Burseraccaea, Rubiaceae dan Dipterocarpaceae.

Menurut Forest Watch Indonesia (2000) tipe-tipe hutan utama di Indonesia berkisar dari hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan. keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan dataran rendah yang juga sumber pakan untuk satwa liar merupakan habitat yang paling baik. Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia.

Vegetasi

(46)

hasil analisis vegetasi di lokasi penelitian, selanjutnya diidentifikasi jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan. Jalur yang digunakan sebagai petak contoh analisis vegetasi dan pengamatan populasi dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Jalur transek analisis vegetasi dan pengamatan populasi Terdapat 97 jenis tumbuhan yang diidentifikasi pada areal penelitian yang jumlahnya lebih rendah dibanding plot 1 ha di hutan primer Aek Nangali yang dilaporkan Kartawinata et al. (2004) sebanyak 184 jenis tumbuhan dalam 41 suku. Tabel 5 menunjukkan hubungan antar vegetasi, habitat dan populasi ungko

Tabel 5. Parameter vegetasi, habitat dan populasi ungko Jumlah jenis

Habitat

pohon tiang pancang semai Jumlah pohon/ha

Populasi (individu/km2)

Bekas tebangan 24 13 17 27 220 8,26

Hutan primer 31 12 27 32 295 9,36

(47)

Tabel 6. Sepuluh nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon

Tabel 6 menunjukkan tinggi pohon pada Jalur I mempunyai rerata 24,976±9,718 m dan lebih tinggi dibanding Jalur II yang mempunyai rerata 22,318±6,613 m. Berdasarkan analisis vegetasi, oteng (Litsea elliptica Blume Boerl), marambong (Geunsia farinosa Blume) dan ndolok (Ixora sp.) adalah jenis vegetasi tingkat pohon yang mendominasi plot pada Jalur I dengan INP berturut-turut 35,99; 26,72 dan 22,61. Pada Jalur II vegetasi didominasi oleh tapa-tapa (Mallotus sp) dari suku Euphorbiaceae, langsat hutan (Craton laevifolius Blume) dan marambong (Geunsia farinosa Blume) dengan INP berturut-turut 49,52; 23,87 dan 19,99

(48)

Tabel 7. Sepuluh nilai INP tertinggi vegetasi tingkat tiang

goring-goring (belum teridentifikasi) 5,26 7,69 11,22 24,17 10,5

gumbot (Ficus padana Blume) 5,26 7,69 8,99 21,94 8 *

medang (Litsea sp) 5,26 7,69 6,04 18,99 11,5

cimpedak (Artocarpus integer Merr) 5,26 7,69 4,85 17,81 6 * abo (Archidendron fagifolium (Blume en Miq)

Nielsen) 5,26 7,69 3,59 16,55 20

Tinggi tiang pada Jalur I dan II berdasarkan Tabel 7 masing-masing 13,54 ± 5,98 m

dan 19,42 ± 7,34 m. Hasil ini menunujukkan bahwa tinggi tingkat tiang pada Jalur II lebih tinggi dibanding jalur I yang artinya ungko akan lebih senang berada pada Jalur II mengingat ungko merupakan satwa yang arboreal dan cenderung berada pada tajuk strata A yaitu ketinggian lebih dari 15 m.

Pada tingkat tiang vegetasi Jalur I didominasi oleh kayu air (Saurauia) dari suku Actinidiaceae, marambong (Geunsia farinosa Blume) dari suku Verbenaceae

dan tandiang (Chistella parasitica) dari suku Thelipteridaceae dengan INP berturut turut yaitu 40,50; 31, 34 dan 29,58. Jalur II vegetasi tingkat tiang didominasi oleh tapa-tapa

(49)

Sumber Pakan

Pohon pakan merupakan jenis tumbuhan yang buah, daun, bunga atau bagian lainnya dimakan oleh ungko. Hasil pengamatan menunjukkan jenis pohon pakan yang mendominasi habitat di TNBG adalah Marambong (Geunsia farinosa Blume),langsat hutan (Craton laevifolius Blume) dan darah-darah(Myristica iners Blume) serta jambu-jambu (Syzygium sp). Secara keseluruhan ditemukan sebanyak 15 jenis pohon pakan ungko yang dikelompokkan ke dalam 6 famili di areal penelitian. Jumlah pohon pakan yang ditemukan dapat dikategorikan tinggi karena jumlah keseluruhan jenis vegetasi untuk tingkat pohon hanya 33 jenis dan 15 jenis merupakan pohon pakan untuk ungko. Tabel 8 menunjukkan daftar nama vegetasi yang menjadi sumber pakan ungko di lokasi penelitian di TNBG.

Tabel 8. Nama tumbuhan sumber pakan dominan ungko dari Juli sampai September 2005 1 batang riman belum dapat diidentifikasi belum dapat

diidentifikasi

*

2 cimpedak Artocarpus integer Merr Myristacaceae * *

3 darah-darah Myristica iners Blume Myristacaceae * *

4 dondong Ficus vagiageta Blume Moraceae * *

5 gitan Cheiocarpus sp Apycinaceae * *

6 gumbot Ficus padana Blume Moraceae * *

7 jambu-jambu Syzygium polyanthum (Wight) Walp

Myrtaceae *

8 langsat hutan Craton laevifolius Blume Euphorbiaceae *

9 lempayang Antthocephalus cadamba Miq Rubiaceae *

10 marambong Geunsia farinosa Blume Verbenaceae * *

11 mobi Ficus sp Moraceae *

12 monton Antidesma stipuilare Euphorbiacea *

13 rambutan hutan Knema latericia Elmer Myristacaceae * *

14 rube Ficus sp Moraceae *

15 tampang Artocarpus dadah Miq Moraceae * *

(50)

paling sering dikunjungi ungko. Hal ini disebabkan tingkat kesukaan ungko terhadap buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut sangat tinggi.

Jenis pohon pakan ungko bervariasi menurut musim sehingga musim tertentu jumlahnya berbeda dengan jumlah musim yang lain. Sumber pohon pakan owa jawa sepanjang tahun (musin kemarau dan penghujan) di areal Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terdapat 33 jenis pohon pakan yang dikelompokkan ke dalam 11 famili (Iskandar 2007). Persentase terbesar sumber pakan owa jawa tersebut berasal dari famili Moraceae, Fagaceae, Myrtaceae, Euphorbiacea dan Meliaceae. Hal ini tidak jauh berbeda dengan sumber pakan ungko di TNBG yang sebagian besar berasal dari famili Moraceae, Myristacaceae, Euphorbiacea dan Myrtaceae. Jenis sumber pakan yang dikonsumsi Ungko di TNBG ini pada umumnya berupa buah-buahan (Gambar 12).

Gambar 12. Jenis vegetasi yang menjadi sumber pakan ungko

(51)

besar disamping dedaunan dan insekta dalam jumlah yang relatif sedikit. Carpenter (1978) dalam PIKA (2007) menemukan bahwa buah dari berbagai jenis Ficus merupakan makanan terpenting dari H. lar di Siam dan menaksir bahwa buah ini mencapai 80% dari makanannya, sisanya yang 20% terdiri dari daun, kuncup, bunga; tetapi juga termasuk telur burung, anak burung dan serangga.

Potensi pakan yang terdapat disetiap kawasan hutan merupakan salah satu variabel daya dukung habitat terhadap keberadaan ungko. Iskandar (2007) menambahkan bahwa jenis pohon yang digunakan sebagai pohon tempat tidur owa jawa adalah jenis pohon yang pada umumnya dimanfaatkan sebagai pohon pakan. Keberadaan pohon yang berpotensi sebagai sumber pakan akan sangat menentukan tingkat kepadatan populasi ungko di suatu kawasan hutan, disamping faktor-faktor pendukung lainnya. Dengan demikian dibutuhkan perlindungan dan konservasi sumber pakan yang ada di kawasan tersebut agar keberadaan ungko tidak terancam.

Aspek Konservasi

Sosial Ekonomi Masyarakat

Pada umumnya penduduk Desa Aek Nangali beragama Islam. Mayoritas penduduk desa ini bermata pencaharian sebagai petani sawah, ladang maupun berkebun. Penggolongan jenis pekerjaan ditentukan oleh hasil wawancara dengan responden (n=30). Aktivitas masyarakat di Desa Aek Nangali dapat dilihat pada Gambar 13.

Petani 67% Swasta

10% PNS

3% lain-lain

20%

(52)

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa sekitar 67% masyarakat berprofesi sebagai petani, PNS yaitu guru 3%, swasta merupakan para pedagang kecil yang membuka warung sekitar 10% dan sisanya sekitar 20% adalah buruh, supir angkutan pedesaan dan sebagainya. Selain pekerjaan utama penduduk juga mempunyai pekerjaan tambahan. pekerjaan tersebut adalah berburu, mencari rotan, mencari getah damar ke kawasan hutan terutama petani hutan. Petani akan melakukan pekerjaan pengumpulan damar atau rotan dari hutan pada waktu pekerjaan di ladang dan hasil kebun sudah dipanen. Responden yang pekerjaan utamanya sebagai PNS akan melakukan pekerjaan tambahan sebagai peternak. Para responden beranggapan bahwa mereka harus siap melakukan pekerjaan apa saja pada waktu senggang untuk memenuhi kebutuhannya termasuk upaya transportasi ojek.

Bertani merupakan budaya masyarakat desa hutan, pada umumnya masyarakat mempunyai lahan pertanian sendiri dan melakukan kegiatan bertani masih dengan cara yang tradisional. Disamping itu masih ada yang melakukan sistem perladangan dengan sistem berpindah-pindah, menanam tanpa pemakaian pupuk dan pestisida (Gambar 14).

(53)

Padi dan sayur mayur lainnya merupakan tanaman yang sering ditemukan di ladang-ladang maupun sawah masyarakat setempat sebagai tanaman pokok, sedangkan karet dan coklat merupakan hasil dari perkebunan warga yang banyak ditanam dipinggiran desa atau sekitar hutan. Warga pada umumnya membuka lahan perkebunan disekitar hutan taman nasional bahkan ada juga yang sudah masuk ke dalam wilayah taman nasional untuk kemudian ditanami pohon karet atau yang disebut pohon rambong oleh masyarakat setempat.

Gangguan utama yang sering menimpa tanaman pertanian dan perkebunan warga adalah serangan hama. Hama yang sering mengganggu yaitu burung, tikus, monyet ekor panjang, beruk, lutung hitam (cek-cek), babi hutan dan tapir. Menurut responden mereka membuat jerat atau memagari ladang atau kebun mereka untuk menghidari gangguan dari hama tersebut. Hampir semua masyarakat mengenal dan mengetahui ungko, yang oleh masyarakat setempat biasa disebut sarudung. menurut responden ungko bukan termasuk hama yang mengganggu tanaman mereka, karena ungko selalu berada dibagian atas pohon (tajuk) dan hampir tidak pernah turun ke bawah untuk mencari makan (arboreal).

Sebagian besar masyarakat yang diwawancarai (86,67%) menyebutkan aktivitas mereka sering keluar masuk hutan untuk mencari berbagai hasil hutan untuk keperluan hidup dan sebagian lagi (80%) karena mempunyai lahan pertanian/kebun diareal hutan. Kayu, rotan dan getah damar merupakan hasil hutan yang paling sering diambil warga untuk memenuhi kebutuhannya. Kayu dan rotan biasanya diambil untuk kebutuhan sendiri (untuk kayu bakar, anyaman dan lain sebagainya) dan ada juga sebagian dijual (30%), sedangkan dan getah damar untuk dijual kepada pengumpul.

Kerusakan Habitat

(54)

yang dilakukan pada saat survei awal penelitian ini dilakukan setahun sebelumnya, hampir setiap hari diareal penelitian didengar suara aktivitas dengan chain saw

menebang pohon.

Ukuran pohon yang diambil bervariasi, tergantung kegunaannya, pohon berukuran kecil biasanya diambil untuk keperluan sendiri saja seperti untuk kayu bakar (biasanya diambil oleh masyarat sendiri). pohon untuk dijual biasanya berukuran besar dengan diameter lebih dari 1,5 m. Kayu olahan biasanya diangkut dengan menggunakan truk-truk yang telah disediakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Jenis-jenis kayu yang diambil sebagian besar jenis meranti (Shorea sp) dan medang.

Gambar 15. Sisa bekas penebangan kayu di areal penelitian.

(55)

penebangan ini sangat merugikan karena akan merusak hutan dan menurunkan kualitas habitat ungko.

Penurunan kualitas habitat tentunya sangat mempengaruhi satwa yang ada dihutan tersebut, terutama satwa yang membutuhkan wilayah jelajah yang luas dan arboreal seperti ungko. Curtin dan Chivers (1979) menyatakan bahwa penebangan secara selektif yang melampaui batas jumlah tebangan sebanyak 8-12 batang per ha akan menggangu perjalanan Hylobates. Hal ini akan mengakibatkan kera turun ke lantai hutan,dengan demikian mudah tertangkap predator. Walaupun demikian, jenis kera ini mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap berbagai bentuk perubahan lingkungan habitatnya

Secara umum, eksploitasi hutan alam mencakup kegiatan perubahan ekosistem yang menyebabkan perubahan komposisi dan potensi flora dan fauna. Di Malaysia Jhons (1983) dalam Meijaard et al. (2006) hanya dengan laju penebangan pohon 3.3%, tebang pilih yang ada menyebabkan pengaruh yang serius terhadap satwa primata yang hidup di hutan tersebut. Pengaruh tersebut adalah terjadinya penurunan biomassa satwa primata secara drastis, kematian langsung, penurunan tingkat kelahiran, perubahan pola makan, perubahan perilaku bersuara terutama owa dan kematian bayi satwa primata.

Selanjutnya Rijksen (1978) menemukan bahwa tiga dari spesies satwa primata (2 spesies owa dan beruk (Macaca nemestrina)) di bagian utara Sumatera lebih sedikit ditemui di hutan dengan gangguan ringan dibandingkan dengan hutan utuh. Spesies tersebut sama sekali tidak dapat dijumpai di hutan yang sedang ditebang. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa aktivitas masyarakat yang menebang hutan sangat berpengaruh terhadap kepadatan populasi satwa primata yang ada terutama ungko (Tabel 5).

Persepsi Masyarakat

(56)

dimana tidak semua orang bebas keluar masuk kawasan. Tujuan pembentukan taman nasional adalah untuk menyelamatkan satwa dan habitat alam, TNBG juga sebagai simbol pengakuan nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola hutan (Wikipedia Indonesia 2006).

Selama pengamatan berlangsung, masih ditemukan beberapa masyarakat sekitar yang masih berburu burung, mereka menangkap burung dengan cara memikatnya dengan burung yang sudah terlatih. Biasanya burung yang mereka pikat adalah jenis burung murai daun yang berwarna hijau. Ketika survei populasi dilakukan masih banyak dijumpai bekas jerat yang dipasang oleh masyarakat untuk menangkap binatang-binatang liar. Berdasarkan pengakuan sebagian responden jerat-jerat tersebut dipasang untuk menangkap binatang-binatang buruan seperti rusa, kijang, kancil atau landak. Hasil dari buruan ini biasanya untuk konsumsi sendiri dan sisanya untuk dijual.

Responden mengaku tidak pernah melihat dan melakukan perburuan terhadap ungko, karena satwa ini tidak mengganggu ladang dan perkebunan mereka. Masyarakat juga percaya bahwa bunyi ungko sebagai indikasi datangnya hujan dalam musim kemarau. Pernah ada masyarakat desa sekitar yang memelihara seekor ungko sebagai hewan peliharaan (pets) tetapi tidak ada lagi ketika penelitian ini dilakukan, dalam pemeliharaannya ungko tersebut hanya diberi nasi dan makanan yang dikonsumsi oleh pemelihara. Hal ini dilakukan karena sulit untuk mendapatkan buah-buahan asli makanan ungko dari di hutan.

(57)

Perlu dilindungi;

87% Tidak perlu

dilindungi; 13%

Gambar 16. Persentase tanggapan masyarakat terhadap pelestarian ungko di TN Batang Gadis

Meskipun masyarakat sekitar mengaku tidak melakukan perburuan terhadap

ungko, masih sangat diperlukan usaha pihak terkait untuk terus memberikan penyuluhan

kepada masyarakat, penting menjaga keberadaan satwa liar khususnya di alam,

mengingat masih ada kemungkinan permintaan terhadap ungko sebagai satwa peliharaan

dari daerah lain maupun manca negara. Hal lain yang harus diperhatikan adalah usaha

patroli terhadap hewan buruan, jangan sampai kegiatan perburuan mendapatkan ungko

dan satwa lainnya dari daerah ini berkembang menjadi mata pencaharian masyarakat.

Kesadaran masyarakat terhadap kegiatan konservasi sangat perlu untuk terus

ditingkatkan terutaman tentang pentingnya hutan, tidak hanya sebagai habitat ungko dan

satwa-satwa lainnya tetapi juga untuk keberlangsungan hidup dan kesejahteraan manusia

secara luas. Perusakaan (fragmentasi) hutan akan mengakibatkan malapetaka bagi

manusia khususnya masyarakat sekitar karena akan mengakibatkan bencana seperti

banjir akibat sungai yang meluap pada musim hujan dan kekeringan pada musim

kemarau, tanah longsor, dan bencana alam lainnya akibat ketidakseimbangan ekosistem

Program pelestarian dan penyelamatan ungko akan dapat terwujud, apabila

dilakukan secara bersama-sama dengan seluruh pihak terkait. Peran petugas polisi

kehutan, pemerintah kabupaten Mandailing-Natal serta pihak terkait lainya seperti LSM,

swasta, serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk mewujudkan perlindungan ungko dan

kawasan Taman Nasional Batang Gadis pada umumnya, tentunya tanpa melupakan

(58)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Karakteristik morfologi ungko dapat dijadikan penciri spesies jantan dan betina dewasa, jambang (rambut yang tumbuh pada muka atau pipi jantan) berwarna putih, sedangkan pada betina menyerupai warna tubuh. Alis pada jantan putih bersambung sedangkan pada betina putih melengkung terpisah. Bobot badan jantan dewasa 4,35±0,49 kg lebih besar dibanding bobot betina dewasa 2,6 kg Populasi ungko 41,6% berwarna hitam dan 58,54 berwarna kuning.

2. Estimasi populasi ungko di TN Batang Gadis berkisar 2.240 kelompok yang terdiri dari 7.620 individu, dengan rerata kepadatan kelompok 2,6 kelompok/km2 dan kepadatan populasi 8,82 individu/km2 dan. Ukuran kelompok berkisar 2-5 individu/kelompok. Populasi ungko menunjukkan jumlah yang masih dapat terus bertahan sepanjang tidak ada degradasi habitat dan perburuan.

3. Terdapat enam famili dan 15 jenis pohon pakan di kawasan TN Batang Gadis yang merupakan sumber pakan utama bagi ungko.

4. Persepsi masyarakat terhadap kawasan dan satwa liar sangat dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam pemanfaatan lahan dan vegetasi hutan sebagai sumber ekonomi maupun sosial budaya sebagai masyarakat petani hutan. Sebanyak 87% responden mempunyai persepsi terhadap pelestarian ungko, yang artinya akan mendukung dan memudahkan penyuluhan konservasi ungko.

Saran

1. Disarankan dilakukan penelitian lagi tentang populasi ungko pada lokasi yang berbeda tetapi masih di kawasan Taman Nasional. Selain itu waktu pelaksanaan penelitian diperpanjang selama satu tahun untuk mendapatkan pengaruh musim hujan dan kemarau terhadap kepadatan populasi, serta perlu dilakukan penelitian secara mendalam untuk mendapatkan spesifikasi ungko yang berasal dari TN. Batang Gadis secara genetis.

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar, Jilid I. Bogor. Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor

Alikodra HS.1997. Teknik Pengelolaan Satwa Liar: dalam rangka mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia. Bogor. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB

Animal Diversity. 2004. Hylobathes. http://www.animaldiversity.

Ummz.umich.edu/site/accounts/information/Hylobates_agilis.html. [8 oktober 2004].

Anwar J, Damanik SJ, Hisyam N, Whitten AJ. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada university Press

Apriadi ST. 2001. Studi Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis F. Cuvier 1821) di Kawasan Lindung HPHTI PT. Riau andalan Pulp dan paper Propinsi Riau. Bogor. Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Bismark M. 1984. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[BKSDA Sumut] Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara. 2004. Peta Taman Nasional Batang Gadis. Departemen Kehutanan

Bratawinata. 2001. Ekologi hutan hujan Tropis dan Metode Analisis Hutan. Samarinda. Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Badan kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur.

Colin dan Muchtar. 2002. Indonesian Primates – Protected.

http://www.nature-conservation.or.id/primates/primates.html. [24 april 2007]

Curtin SH, Chivers DJ 1979. Leaf eating primate of Peninsular Malaysia, the siamang and the disky leaf monkey, p. 441-464. In : The Ecology of Arboreal Folivores. Smithsonian Institution Press, washington, D.C.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Taman Nasional Batang Gadis Mutiara Hutan Tropis di Bumi Mandailing. Departemen Kehutanan.

Duma Y. 2007. Kajian Habitat, Tingkah Laku, dan Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Bogor. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Eudey, A. & Members of the Primate Specialist Group 2000. Hylobates agilis. In: IUCN 2006. 2006 IUCN Red List of Threatened Species.

<www.iucnredlist.org>. [25 May 2007].

Gambar

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2  Ungko (H. agilis agilis) jantan (Rowe 1996).
Gambar 3 Peta penyebaran ungko (H.agilis agilis) (Geisman 2006)
Gambar 4 Peta lokasi penelitian di TNBG (BKSDA Sumut II 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengamatan dan informasi yang diperoleh peneliti, ki- nerja kepala sekolah belum maksimal dalam meningkatkan mutu sekolah ka- rena program dan kegiatan yang

Pembahasan yang dilakukan pada penelitian ini merujuk pada penelitian- penelitian sebelumnya akan tetapi dipusatkan pada kasus Pengaruh Kualitas Layanan, Nilai yang

Aspek internal adalah analisis terhadap kekuatan dan kelemahan yang ada dalam organisasi pelaksanaan program yaitu : kekuatan (Peran pihak yang terlibat dalam pengembangan

Perubahan ketinggian atap pada gambar tersebut adalah ketinggian atap pada semua sampel yang diteliti ditentukan berdasarkan sudut kemiringan dan tidak berdasarkan ketinggian

Berdasarkan permasalahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi, tahu konsep, dan

terhadap tugas buku gambar dan 4-5 kali pada laporan praktikum, kualitas tugas- tugas tersebut meningkat dengan indikator: pada tugas buku gambar, mahasiswa dapat menggambar

Menimbang : bahwa guna memberdayakan peran dan fungsi Masjid Agung Jawa Tengah sebagai tempat Ibadah bagi Umat Islam, kegiatan-kegiatan keagamaan dan ketaqwaan kepada Allah

Indonesia Tahun 2OAZ Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Repubiik Indonesia Nomor a7 J2l;.. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 20Os. tentang Pengeloiaan Keuangan Badan