• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PERMUKIMAN SEHAT DAN BERWAWASAN

LINGKUNGAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI

CIANJUR, KABUPATEN CIANJUR

PROVINSI JAWA BARAT

RACHMAT MULYANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2009

(3)

ABSTRACT

Landuse change from paddy field, dryland, mixed garden and forest into settlement and growth settlement uncontrolled in watershed cause in decreasing environment quality. The purpose of the research was to (1) analyze the settlement pattern; (2) analyze the settlement need and lifestyle (3) evaluate land suitability for settlement, and (4) formulate of health and sustainability settlement criteria. This research was conducted in June 2006 - Mei 2007 at 12 setllements in Cianjur watershed, West Java. Standard Statistic, Quality Function Deployment and GIS was used as a tool to analyze data. The result showed that: (1) settlements in the upper stream of Cianjur watershed has character the following as: settlement with medium size, the density of building is dense and included linear-1 settlement. In the middle stream of Cianjur watershed has character as follows: size small-medium and medium settlement, density of building is loose with linear-2 and streetplan settlements. Settlement in the downstream has character as small-medium and medium size, density of building is loose and dense with linear-1type; (2) the need of community to settlement product was strength of building construction, the price of sell, clean water available, and security system. The lifestyle of community in three zones used septic tank to manage their domestic sewage. At mostly the upper stream and the down stream area, respondents manage their garbage by burning, usually by open dumping. They usually used the piling site to plant crop, that representing sustainable management practices; (3) land suitability for settlement S1, S2, S3 covered 813 ha (10.9%) ,4 406.1 ha (59%), and 1 184.6 ha (15.9%) respectively. On the other hand, N1 suitability was found in the area of Mount Gede Pangrango and its surrounding. N1 area covered 1 063.5 ha (14.2%); and (4) The health and sustainability settlement criteria are: (a) located on land suitability for settlement very suitanable; (b) the settlement pattern agree with zone of watershed; (c) scaffolding construction has air and light circulation of 0.35% and 10% from floor wide, space wide of individual 9 m2, used the local material, and building coverage agree with zone of watershed; (d) available clean water, garbage management system, simple of waste management, and canal of close drainage. The community in Cianjur watershed has conserve the culture of local architecture.

(4)

RINGKASAN

RACHMAT MULYANA. Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, HADI SUSILO ARIFIN dan LILIK BUDI PRASETYO.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur merupakan salah satu DAS di wilayah Bopunjur, tepatnya berada di wilayah Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur yang terletak pada ketinggian antara 265 m dpl sampai dengan 2 950 m dpl merupakan salah satu sentra produksi pangan di wilayah Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Bencana longsor, banjir dan kekeringan yang terjadi di wilayah DAS Cianjur disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan didominasi oleh perubahan lahan sawah, tegalan, kebun campuran dan hutan menjadi lahan permukiman. Pertumbuhan permukiman selama tiga tahun terakhir ini secara nasional mengalami peningkatan, namun penyediaan rumah belum sepenuhnya terpenuhi. Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan mengakibatkan munculnya rumah-rumah secara tidak teratur membentuk pola permukiman sporadis dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Permukiman tumbuh dan berkembang tanpa memperhatikan tingkat kesesuaian lahan baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi. Perkembangan kebutuhan akan permukiman telah mengalami pergeseran menjadi suatu trend gaya hidup. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis pola sebaran permukiman di wilayah hulu, tengah, hilir DAS Cianjur; (2) menganalisis spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap permukiman di wilayah hulu, tengah, hilir DAS Cianjur; (3) mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman di daerah hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur; dan (4) merumuskan kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan.

Penelitian ini berlokasi di kawasan permukiman DAS Cianjur yang terletak di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi berdasarkan pada perkembangan di zona hulu DAS Cianjur yang telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan hutan ke lahan permukiman. Zona DAS hulu mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat dan merupakan daerah tujuan wisata. Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2006 sampai Mei 2007.

(5)

permukiman, ukuran permukiman diukur berdasarkan jumlah rumah dan penduduk, kepadatan bangunan rumah diukur berdasarkan jarak antara rumah-rumah, tipe permukiman dilihat dari susunan tata letak bangunan, dan jumlah permukiman. Analisis data kependudukan, spesifikasi konstruksi bangunan, dan prasarana dan sarana lingkungan permukiman dianalisis dengan SPSS versi 13. Data ukuran, tingkat kepadatan, dan tipe permukiman akan dianalisis berdasarkan kriteria dari masing-masing sub variabel pada aspek bentuk permukiman (Vander Zee, 1986).

Kajian kedua tentang spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap permukiman. Kajian ini menggunakan pendekatan Quality Function Deployment (QFD). Pengumpulan data diawali dengan penentuan atribut-atribut primer bagi konsumen berdasarkan bentuk, fungsi, dan nilai. Masing-masing atribut primer ini memiliki beberapa atribut sekunder. Data dikumpulkan menggunakan dua teknik yaitu: (1) wawancara dengan sales people dan konsumen ahli; dan (2) focus group ukuran kecil (Gargione, 1999). Focus group terdiri dari agent real estate, arsitek, engineer, pembeli potensial, dan pemilik.

Kajian ketiga tentang evaluasi kesesuaian lahan permukiman di DAS Cianjur ditinjau dari aspek bio-fisik, sosial, dan ekonomi. Pengumpulan data dilakukan melalui lembaga atau instansi terkait dan survai langsung. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) bio-fisik terdiri atas kemiringan lereng, elevasi, curah hujan, kepekaan tanah terhadap erosi, kedalaman efektif, kedalaman air tanah, penutupan lahan, bahaya banjir dan bahaya letusan gunung; (2) sosial terdiri atas besar anggota rumah tangga, dan tingkat pendidikan; dan (3) ekonomi terdiri atas tingkat pendapatan. Tahapan pengolahan dan analisis data meliputi: (1) penyiapan Peta Tematik; (2) pengklasifikasian citra; (3) pembangkitan parameter-parameter meliputi pembagian setiap parameter-parameter kedalam beberapa kelas dan diberi skor mulai dari kelas yang berpengaruh hingga kelas yang tidak berpengaruh. Setiap kelas akan memperoleh nilai akhir yang merupakan hasil perkalian antara skor kelas tersebut dengan bobot dari parameter dimana kelas tersebut berada. Penentuan kriteria, pemberian bobot dan skor ditentukan berdasarkan studi kepustakaan. Proses pemberian bobot dan skor dilakukan melalui pendekatan indeks overlay model untuk memperoleh urutan kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan hasil perkalian antara bobot dan skor dari masing-masing parameter. Kelas kesesuaian lahan dibedakan pada 4 kelas yaitu: sangat sesuai, cukup sesuai, sesuai marginal dan tidak sesuai; dan (4) proses tumpangsusun. Tahap pertama adalah menumpangsusunkan dari setiap parameter kesesuaian lahan permukiman sehingga menghasikan peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-1). Peta KLKim-1 selanjutnya ditumpangsusunkan dengan peta-peta yang menjadi constrain dalam kesesuaian lahan permukiman sehingga menghasilkan peta kesesuaian lahan permukiman berwawasan lingkungan (KLKim-bwl). Peta

KLKim-bwl digunakan untuk mengevaluasi kondisi eksisting permukiman yaitu

dengan menumpangsusunkan antara peta penggunaan lahan hasil interprestasi citra landsat dengan peta KLKim-bwl.

(6)

Perkembangan permukiman di zona DAS hulu secara umum selalu mengalami peningkatan dan cenderung berkembang secara memusat disepanjang jalur jalan regional dengan membentuk kawasan permukiman perdesaan. Permukiman di zona tengah dan hilir berkembang mengikuti pola jalan yang ada dan membentuk kawasan perkotaan. Pola permukiman tertata wilayah DAS Cianjur memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Pola permukiman tidak tertata di wilayah DAS Cianjur cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari jalan dan sumber air seperti sungai.

Permukiman di zona hulu DAS Cianjur sebagian besar (75%) memiliki karakter: permukiman ukuran sedang, kepadatan bangunan padat dan termasuk tipe linier-1. Di zona tengah memiliki karakter: permukiman ukuran kecil-sedang (50%) dan sedang (50%), kepadatan bangunan jarang dengan tipe streetplan dan linier-2. Di zona hilir memiliki karakter: permukiman ukuran kecil-sedang dan sedang, kepadatan bangunan jarang dan rapat dengan tipe linier-1. Permukiman tidak tertata di zona hulu memiliki karakteristik: (1) bangunan rumah terdiri dari rumah dengan konstruksi panggung (51.7%); (2) rata-rata luas rumah 47.1 m2; (3) luas rata-rata RTH 32.8 m2; dan (4) bahan bangunan sebagian besar menggunakan dinding tembok 46.7%, lantai papan 28.8%, dan plapond bilik 51.7%. Permukiman tidak tertata di zona tengah memiliki karakteristik: (1) bangunan rumah terdiri dari rumah dengan konstruksi permanen (93.3%); (2) rata-rata luas rumah 69.4 m2; (3) luas rata-rata RTH 21.5 m2; dan (4) bahan bangunan sebagian besar menggunakan dinding tembok 93.3%, lantai keramik 73.3%, dan plapond triplek 51.7%. Permukiman tidak tertata di zona hilir memiliki karakteristik: (1) bangunan rumah terdiri dari rumah dengan konstruksi panggung (53.3%); (2) rata-rata luas rumah 40.8 m2; (3) luas rata-rata RTH 19.9 m2; dan (4) bahan bangunan sebagian besar menggunakan dinding bilik 45%, lantai bilik 33.3%, dan plapond bilik 55%.

Gaya hidup sebagian besar masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman adalah: (1) di zona hulu dan hilir dalam pengelolaan sampah masih bersifat individual dengan cara penanganan dibakar di pekarangan rumah dan dibuang ke selokan atau sungai, sedangkan di zona tengah penanganan sampah dilakukan oleh petugas kebersihan dan diangkut ke TPA; (2) sebagian besar masyarakat di hulu menggunakan air bersih untuk keperluan minum dan MCK berasal dari mata air (75%), di tengah PDAM (75%), di hilir sumur gali (100%); dan (3)masyarakat di hulu, tengah dan hilir sebagian besar membuang limbah padat dan cair yang berasal dari kamar mandi ke septiktank.

Atribut harapan konsumen sebagai atribut primer terhadap produk permukiman tertata yaitu: kekokohan konstruksi bangunan, harga jual, ketersediaan air bersih, dan sistem keamanan. Aspek teknik produksi permukiman tertata yang perlu disempurnakan dalam rangka meningkatkan kepuasan pembeli rumah berturut-turut mulai dari prioritas pertama adalah: (1) desain konstruksi rumah dan rencana tapak; (2) pengerjaan konstruksi; (3) pengadaan bahan bangunan; (4) sistem kegiatan pemasaran; (5) pengerjaan infrastruktur dan fasum-fasos; (6) proses pematangan lahan permukiman.

(7)

Hasil analisis kesesuaian lahan untuk permukiman setelah dilakukan tumpangsusun antara peta kesesuaian lahan untuk permukiman (KLKim-1) dengan peta-peta yang menjadi constrain menunjukkan bahwa terjadi pergeseran kelas kesesuaian lahan di zona DAS hulu yaitu kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) menjadi kelas N1 (tidak sesuai) sebesar 1 033.1 ha sehingga total luas lahan permukiman yang tidak sesuai sebesar 1 063.4 ha.

Permukiman sehat dan berwawasan lingkungan (SEBERLING) di zona DAS hulu yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: (1) pola permukiman memiliki karakteristik yaitu: ukuran permukiman kecil-sedang, kepadatan bangunan jarang, dan tipe permukiman plaza; (2) bangunan rumah memiliki karakteristik yaitu: rumah panggung, memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai, memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2, menggunakan bahan bangunan lokal; Koefisien dasar bangunan (KDB) sebesar 15%; (3) permukiman memiliki sarana: air bersih, sistem pengelolaan sampah skala kampung, MCK umum yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan, dan saluran drainase tertutup untuk menyalurkan air buangan MCK umum dan rumah ke selokan atau sungai.

Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: (1) pola permukiman memiliki karakteristik yaitu: ukuran permukiman sedang, kepadatan bangunan jarang, dan tipe permukiman plaza atau streetplan; (2) bangunan rumah memiliki karakteristik yaitu: jenis konstruksi rumah panggung atau permanen, memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai, memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2, menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal, KDB sebesar 20%; (3) permukiman memiliki: sarana air bersih, sistem pengelolaan sampah pada skala kampung, sarana MCK yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan air dan saluran drainase tertutup.

Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: (1) pola permukiman memiliki karakteristik yaitu: ukuran permukiman sedang, kepadatan bangunan jarang, dan tipe permukiman plaza atau streetplan; (2) bangunan rumah memiliki karakteristik yaitu: jenis konstruksi rumah panggung atau permanen, memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai, luas rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2, menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal, dan KDB sebesar 30%; (3) permukiman memiliki sarana: air bersih, sistem pengelolaan sampah, MCK yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan air dan saluran drainase tertutup.

Konsep permukiman SEBERLING merupakan perwujudan dari tiga aspek dalam konsep lingkungan yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi yang dipadukan dengan permukiman.

(8)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

(9)

KONSEP PERMUKIMAN SEHAT DAN BERWAWASAN

LINGKUNGAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI

CIANJUR, KABUPATEN CIANJUR

PROVINSI JAWA BARAT

RACHMAT MULYANA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Rinekso Sukmadi

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Ruchyat Deni Djaka Permana, M.Eng

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah permukiman dengan judul “Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Bapak Dr. Ir.Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. sebagai pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional atas dukungan beasiswa BPPS selama tiga tahun dan Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) angkatan IV tahun 2006 – 2008 dengan tema ”Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa - Kota Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur)” atas dukungan dana penelitian.

Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Dr.Ir.Soekmana Soma (Departemen Pekerjaan Umum) dan Prof. Dr.Ir. Wahyu Qamara Munigsjah yang telah meluangkan waktunya berdiskusi dengan penulis; Bapak Uus selaku staf Lab Penginderaan Jauh Fakultas Kehutanan yang telah membantu dalam analisis data spasial. Ucapan terimakasih kepada Tim peneliti HPTP (Prof.Dr.Ir.Hadi Susilo Arifin, MS., Dr.Ir. Aris Munandar, MS., dan Dr.Ir. Nurhayati HSA); Tim Peneliti Pekarangan Departemen Arsitektur Lanskap dengan Rural Development Institute (Prof.Dr.Ir.Hadi Susilo Arifin, MS., Prof.Dr.Ir. Wahju Qamara Munigsjah, Dr.Ir. Aris Munandar, MS., Dr.Ir. Nurhayati HSA, Dr.Ir. Tati Budiarti, MS., Ir. Qodarian Pramukanto, MSc dan Ir. Kaswanto, MSi) yang telah memberikan pengalaman yang berharga; staf pengajar; staf administrasi PSL dan pascasarjana IPB serta teman-teman seperjuangan.

Terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda Oman Noerdin (alm), ibunda Suwarsih (almh), Teh Nani, Kang Asep, Teh Euis, Kang Dedi, Teh Doto, Teh Engkar dan Teh Eti atas kasih sayang, doa dan pengertian yang tulus selama penulis menyelesaikan disertasi ini. Kepada isteri Dr. Esi Emilia, MSi dan anak-anak tercinta Gania, Gyanca, Ghalda, Geraldr terimakasih atas pengorbanan, pengertian, kesabaran, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2009

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Oktober 1968 dari pasangan Oman Noerdin dan Suwarsih. Penulis merupakan putra bungsu dari delapan bersaudara. Pendidikan Dasar penulis tempuh di SDN Cipayung 2, SMPN Cisarua, dan STMN Bogor. Tahun 1987 penulis lulus dari STMN dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IKIP Padang pada Fakultas Pendidikan Teknik dan Kejuruan, Jurusan Teknik Bangunan melalui jalur PMDK. Setahun menjelang lulus, penulis mendapatkan beasiswa ikatan dinas dan pada tahun 1993 penulis ditempatkan di IKIP Medan sebagai staf pengajar pada jurusan yang sama.

Tahun 1995 sampai 1996 penulis mengikuti program Pra Pasca di IPB dan pada tahun 1996 diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2003 dengan beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Tahun 2006 sampai 2008 penulis mengikuti Hibah Penelitian Tim Pascasarjana dengan judul: Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa-Kota Kawasan Bogor Puncak Cianjur. Pada tahun 2006 penulis juga terlibat dalam penelitian pekarangan se Jawa berjudul: Homestead Plot Sample Survay: Java kerjasama antara Departemen Arsitektur Lanskap IPB dengan Rural Development Institute (RDI) Seattle, USA.

Karya ilmiah berupa poster berjudul “Karakteristik, bentuk dan perilaku penghuni permukiman di DAS Cianjur, Jawa Barat” telah disajikan pada Symposium of JSPS Core University Program in Applied Biosciences 28-29 February 2008,

di University of Tokyo, Jepang. Satu buah artikel telah diterbitkan pada jurnal EMAS

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Kerangka Pemikiran... 5

1.6 Novelty... 8

II TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1 Permukiman ... 10

2.2Gaya Hidup Pengelolaan Lingkungan Permukiman... 29

2.3 Konsep Evaluasi dan Kesesuaian Lahan... 30

2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 36

2.5 Kebijakan ... 41

2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 45

III BAHAN DAN METODE ... 52

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 52

3.2 Bahan dan Alat Penelitian... 53

3.3 Rancangan Penelitian... 53

3.3.1 Kajian Analisis Pola Sebaran Permukiman di Wilayah DAS Cianjur.. 53

3.3.2 Kajian Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya Hidup Masyarakat terhadap Permukiman di DAS Cianjur ... 56

3.3.3 Kajian Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman di DAS Cianjur ... 58

3.3.4 Merumuskan Kriteria Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan Berbasis DAS ... 68

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71

4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 71

4.1.1 Karakteristik Geografi ... 71

4.1.2 Karakteristik Topografi... 73

4.1.3 Karakteristik Iklim ... 73

4.1.4 Karakteristik Hidrogeologi ... 74

4.1.5 Karakteristik Tanah... 79

4.1.6 Karakteristik Daerah Rawan Bencana ... 79

4.1.7 Penggunaan Lahan Aktual ... 82

4.1.8 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kependudukan ... 82

(15)

4.2.1 Ukuran Permukiman ... 84

4.2.2 Kepadatan Bangunan ... 85

4.2.3 Tipe Permukiman... 87

4.2.4 Karakteristik Permukiman Tidak Tertata... 88

4.2.5 Karakteristik Permukiman Tertata ... 96

4.3 Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya Hidup Masyarakat terhadap Permukiman . 97 4.3.1 Karakteristik Gaya Hidup Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Permukiman ... 97

4.3.2 Gaya Hidup Konsumen dalam Memilih Permukiman ... 101

4.3.3 Penilaian Kinerja Kualitas Produk Permukiman Tertata ... 107

4.4 Kesesuaian Lahan Permukiman ... 115

4.4.1 Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim-1) ... 115

4.4.2 Kesesuaian Lahan Permukiman dengan Constrain (KLKim-bwl) ... 117

4.4.3 Penyediaan Lahan dan Kesesuaian Lahan Permukiman... 119

4.4.4 Penyebaran Permukiman Existing pada Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim-bwl)... 122

4.5 Rumusan Kriteria Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan ... 128

4.5.1 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sangat Sesuai... 129

4.5.2 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Cukup Sesuai ... 135

4.5.3 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sesuai Marginal ... 141

4.6 Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan... 147

V KESIMPULAN DAN SARAN... 151

5.1 Kesimpulan ... 151

5.2 Saran ... 152

DAFTAR PUSTAKA ... 153

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kebutuhan luas minimumbangunan dan lahan untukrumah sederhana

sehat (Rs Sehat)... 16

2 Kelas kesesuaian lahan... 31

3 Hubungan antara kualitas dan karakteristik lahan yang dipakai pada metode evaluasi lahan... 32

4 Kriteria kesesuaian lahan untuk pembuatan gedung tanpa ruang bawah tanah ... 33

5 Klasifikasi tanah unified dan kesesuaian sebagai subgrade untuk pembuatan jalan dan pondasi ... 34

6 Klasifikasi keberlanjutan untuk permukiman ... 35

7 Kriteria pada masing-masing subvariabel bentuk permukiman... 55

8 Skor parameter kemiringan lereng dalam kesesuaian lahan permukiman... 61

9 Skor parameter elevasi dalam kesesuaian lahan permukiman ... 62

10 Skor parameter curah hujan dalam kesesuaian lahan permukiman ... 62

11 Skor parameter kedalaman efektif tanah dalam kesesuaian lahan permukiman ... 63

12 Skor parameter kepekaan erosi dalam kesesuaian lahan permukiman ... 63

13 Skor parameter kedalaman air tanah dalam kesesuaian lahan permukiman ... 64

14 Skor parameter penutupan lahan dalam kesesuaian lahan permukiman... 64

15 Skor parameter bahaya letusan gunung merapi dalam kesesuaian lahan permukiman ... 65

16 Skor parameter bahaya banjir dalam kesesuaian lahan permukiman ... 65

17 Skor parameter pendapatan (PDRB) dalam kesesuaian lahan permukiman... 66

18 Skor parameter jumlah anggota keluarga dalam kesesuaian lahan permukiman ... 67

19 Skor parameter tingkat pendidikan dalam kesesuaian lahan permukiman ... 67

20 Klasifikasi kesesuaian lahan permukiman ... 68

21 Pembobotan parameter untuk kesesuian lahan permukiman ... 69

22 Persentase luas wilayah DAS Cianjur terhadap luas administratif ... 71

23 Data iklim DAS Cianjur tahun 2005 - 2007 ... 74

(17)

25 Ukuran permukiman ... 85

26 Tipe kepadatan bangunan ... 86

27 Jenis konstruksi rumah responden ... 89

28 Rata-rata luas per-orang penghuni rumah di DAS Cianjur... 91

29 Kelengkapan elemen ruang... 92

30 Jumlah rumah menurut luas lantai ... 92

31 Tingkat penghunian rumah di DAS Cianjur ... 93

32 Sistem pengelolaan dan penanganan sampah ... 98

33 Sumber air minum, kamar mandi pribadi dan MCK umum ... 99

34 Tempat pembuangan limbah padat dan cair ... 100

35 Fasilitas umum di permukiman... 100

36 Kegiatan pertemuan warga permukiman ... 101

37 Jenis kebutuhan konsumen permukiman ... 102

38 Persentase tingkat kepuasan terhadap bentuk permukiman tertata... 105

39 Persentase faktor terpenting dalam memilih rumah... 106

40 Atribut kebutuhan konsumen permukiman tertata... 108

41 Ukuran tangki septiktank dan frekuensi pengurasan ... 114

42 Luas lahan berdasarkan kelas kesesuaian lahan permukiman di wilayah DAS Cianjur... 116

43 Luas lahan pada kelas kesesuaian lahan permukiman(KLKim- bwl) ... 120

44 Luas permukiman existing pada kesesuaian lahan permukiman ... 123

45 Lahan-lahan yang dilarang dibangun menurut masyarakat Sunda ... 125

46 Bentuk rehabilitasi yang diusulkan ... 128

47 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman sangat sesuai ... 132

48 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman cukup sesuai... 139

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran konsep permukimann sehat dan

berwawasan lingkungan berbasis DAS... 9

2 Komponen-komponen dari tapak rumah atau perkarangan rumah... 11

3 Kelompok-kelompok dan Komplek dari rumah-rumah atau perkarangan rumah... 11

4 Konsep Recharge-reuse sumberdaya air dalam DAS... 40

5 Contoh representasi objek titik untuk data posisi rumah ... 46

6 Contoh representasi objek garis untuk data lokasi jalan dan atributnya ... 46

7 Contoh representasi objek poligon untuk data landuse... 47

8 Lokasi penelitian ... 52

9 Lokasi Kecamatan di kawasan DAS Cianjur menurut ketinggian... 54

10 Rumah Kualitas... 57

11 Tahapan tumpang susun analisis kesesuaian lahan permukiman... 70

12 Peta Batas Kecamatan dalam Wilayah DAS Cianjur... 72

13 Peta kelas elevasi DAS Cianjur ... 76

14 Peta kelas kemiringan lereng DAS Cianjur ... 77

15 Peta curah hujan DAS Cianjur ... 78

16 Peta jenis tanah DAS Cianjur ... 80

17 Peta rawan letusan gunung di DAS Cianjur ... 81

18 Peta penggunaan lahan di DAS Cianjur... 83

19 Persentase tipe permukiman di wilayah DAS Cianjur... 87

20 Persentase penggunaan bahan dinding... 94

21 Persentase penggunaan bahan lantai ... 95

22 Persentase penggunaan bahan plapond ... 95

23 Sumur resapan air pada pekarangan rumah ... 104

24 Kebutuhan konsumen, prioritas dan analisis competitive benchmaking... 109

25 Rumah kualitas permukiman tertata di DAS Cianjur ... 111

26 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-1) ... 118

27 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) ... 121

28 Peta penyebaran permukiman existing pada kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) ... 124

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Beberapa hasil penelitian permukiman dan DAS ... 163

2 Lahan yang diusulkan dapat dikonversi... 168

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka

akibat tingkat eksploitasi yang berlebihan dan kurang memperhatikan aspek

keberlanjutan (Wahyudin 2005). Meskipun secara ekonomi dapat meningkatkan

nilai jual, namun di sisi lain menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh

lebih besar, seperti hilangnya lahan, banjir tahunan yang semakin besar dan

meluas, erosi, tanah longsor, sedimentasi sungai dan danau, serta kelangkaan air

(Mawardi 2008). Peningkatan jumlah permukiman merupakan faktor yang

memiliki keterkaitan erat dengan kerusakan lingkungan.

Pertumbuhan permukiman selama tiga tahun terakhir ini secara nasional

mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada angka rata-rata kebutuhan rumah

secara nasional yang masih tinggi pertahunnya yaitu sebesar 800 000 unit. Tahun

2001 tercatat sebesar 1 110 000 unit, tahun 2004 sebanyak 1 150 633 unit dan

tahun 2007 sebesar 1 227 000 unit (Witoelar 2001; Shaphira 2008). Di sisi lain

penyediaan rumah belum terpenuhi, sehingga setiap tahun terjadi kekurangan

rumah. Secara kumulatif rumah yang belum terpenuhi sampai tahun 2001

sebanyak 4.3 juta unit, tahun 2004 sebanyak 5.3 juta unit dan tahun 2007

sebanyak 7.4 juta unit (Sugandhy 2002; Shaphira 2008). Di wilayah Kabupaten

Cianjur backlog sebanyak 122 413 unit (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006).

Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan permukiman

mengakibatkan: 1) terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian

dan hutan menjadi permukiman, dan 2) munculnya rumah-rumah secara tidak

teratur membentuk pola permukiman sporadis dengan tingkat kepadatan yang

tinggi. Pola permukiman yang sporadis menyebabkan menurunnya kualitas

permukiman seperti peningkatan jumlah rumah tidak layak huni mencapai 14.5

juta unit dan kawasan kumuh mencapai 47 500 hektar tersebar di lebih 10 000

lokasi (Kirmanto 2002). Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan

hutan menjadi lahan permukiman di wilayah DAS menyebabkan terjadi degradasi

DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam yang

(21)

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur merupakan salah satu DAS di wilayah

Bopunjur, tepatnya berada di wilayah Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur yang

terletak pada ketinggian antara 265 m dpl sampai dengan 2 950 m dpl merupakan

salah satu sentra produksi pangan di wilayah Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Zona

hulu DAS Cianjur mengalami perkembangan pesat dari segi pembangunan fisik

maupun ekonomi karena merupakan wilayah pengembangan wisata. Hasil

penelitian Syartinilia (2001) menemukan bahwa pertumbuhan pesat permukiman

dan perumahan baru di zona DAS hulu disebabkan oleh kecenderungan tingkat

urbanisasi yang tinggi. Perkembangan tersebut mengakibatkan terjadinya

perubahan penggunaan lahan di zona hulu DAS Cianjur. Perubahan penggunaan

lahan didominasi oleh perubahan lahan sawah, tegalan, kebun campuran dan

hutan menjadi permukiman tipe menengah hingga mewah serta villa. Di sisi lain,

pertumbuhan permukiman perdesaan yang cenderung tidak terkendali

mengakibatkan bentuk, ukuran dan tingkat kepadatan permukiman yang tidak

layak dari segi kesehatan maupun ekologis.

Perubahan penggunaan lahan tersebut juga mengakibatkan berkurangnya

jumlah dan jenis tanaman yang berfungsi sebagai media untuk meresapkan air.

Hasil penelitian Arifin (1998) menemukan bahwa tingkat urbanisasi

mengakibatkan penurunan ukuran luas pekarangan, penurunan spesies tanaman

non ornamental dan penurunan pada stratifikasi struktur tanaman. Berkuranganya

luas pekarangan dan stratifikasi struktur tanaman mengakibatkan berkuranganya

lahan dan media untuk meresapakan air. Hal ini mengakibatkan terganggunya

sistem tata air berupa meningkatnya aliran permukaan dan menurunnya

permukaan air tanah sebagai akibat meluasnya lahan kedap air (Sabar, 2001).

DAS Cianjur merupakan DAS lokal, secara administratif berada di wilayah

Kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur merupakan satu wilayah yang termasuk

kawasan Jabodetabek-Punjur. Kawasan Jabodetabek-Punjur dikategorikan sebagai

“kawasan tertentu” dalam Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang

RTRWN. “Kawasan tertentu” pengelolaannya menjadi satu kesatuan integral,

yang diwujudkan dalam pola pemanfaatan ruang kawasan baik berupa kawasan

lindung maupun kawasan budidaya dan struktur ruang kawasan (Akil 2002;

(22)

satuan manajemen “kawasan tertentu” harus didasarkan atas pertimbangan satuan

daerah aliran sungai. Sehubungan dengan itu penelitian ini berbasis DAS yang

merupakan satu kesatuan ekosistem hulu, tengah dan hilir.

Berbagai kajian wilayah menyebutkan bahwa penyelamatan DAS dari

bahaya erosi, banjir dan kekeringan menjadi amat penting bagi kesejahteraan

penduduk di sekitarnya (Haeruman 2002). Salah satu bentuk usaha yang

dikembangkan untuk menyelamatkan DAS ke arah pencegahan erosi yaitu

melalui penataan permukiman (Basso et al. 2000). Penataan permukiman skala

DAS diperlukan mengingat satuan DAS memadukan satu kesatuan ekosistem

yang memiliki keterkaitan secara biofisik antara zona hulu, tengah dan hilir. Oleh

karena itu diperlukan suatu penelitian tentang pencegahan kerusakan lingkungan

melalui penataan arahan lokasi pengembangan permukiman sesuai dengan tingkat

kesesuaian lahan untuk permukiman. Sehubungan dengan itu, penelitian ini

diharapkan akan dapat menjawab permasalahan sebagai berikut: (1) bagaimana

pola sebaran permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur, (2) bagaimana

spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap kualitas permukiman

di zona hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur?, (3) bagaimana kesesuaian lahan

permukiman di zona hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur ?, dan (4) bagaimana

kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan?

1.2 Perumusan Masalah

Kebutuhan rumah sejalan dengan perkembangan pertambahan jumlah

penduduk, yang mana peningkatan jumlah penduduk akan berdampak pada

peningkatan kebutuhan rumah. Pembangunan permukiman merupakan solusi

sekaligus prioritas pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok

masyarakat. Hal ini berdampak pada alih fungsi lahan yang terus-menerus

dilakukan guna memenuhi kebutuhan lahan untuk lokasi pembangunan

permukiman. Alih fungsi lahan baik dari lahan pertanian, perkebunan maupun

hutan menjadi lahan permukiman akan berdampak negatif terhadap lingkungan,

apalagi proses alih fungsi lahan tersebut tidak memperhatikan tingkat kesesuaian

(23)

Perkembangan permukiman yang cenderung tidak memperhatikan tingkat

kesesuaian lahan berdampak pada kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan

yang terjadi diantaranya adalah terganggunya sistem tata air. Ketika turun hujan

akan mudah banjir dan ketika musim kemarau terjadi kekeringan. Kerusakan

lingkungan juga dapat terjadi sebagai akibat pola perkembangan permukiman

yang melebihi daya dukung lingkungan seperti tingkat kepadatan, ukuran dan

bentuk permukiman.

Agenda permukiman yang dicanangkan secara global adalah perumahan

yang layak dan permukiman yang berkelanjutan. Agenda tersebut, sepenuhnya

belum diimplementasikan oleh para stakeholder sehingga pembangunan permukiman memiliki kecenderungan berdampak negatif terhadap lingkungan.

Oleh sebab itu perlu dibangun kesepahaman antara masyarakat selaku pengguna

dan penghuni permukiman dan para stakeholder, khususnya para developer sebagai penyedia permukiman.

Pembangunan permukiman seharusnya tidak hanya berorientasi pada aspek

ekonomi, tetapi juga ekologi dan sosial (Camant 2001) dengan demikian akan

terbentuk suatu kawasan permukiman berkelanjutan. Permukiman berkelanjutan

akan memiliki karakter: (1) layak dari segi kesehatan; (2) hubungan sosial

penghuni yang harmonis; (3) dan serasi dengan alam. Masalah dalam penelitian

ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Bagaimana pola sebaran permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur

2) Bagaimana spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap

kualitas permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur ?

3) Bagaimana kesesuaian lahan permukiman di zona hulu, tengah, dan hilir DAS

Cianjur ?

4) Bagaimana kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membangun konsep

permukiman sehat dan berwawasan lingkungan yang berbasis DAS. Secara

(24)

1) Menganalisis pola sebaran permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS

Cianjur

2) Menganalisis spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap

permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur

3) Mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman di zona hulu, tengah, dan hilir

DAS Cianjur

4) Merumuskan kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat untuk :

1) Pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam membangun kriteria

permukiman sehat berwawasan lingkungan.

2) Pengembangan akademis bagi peneliti khususnya dan ilmuwan yang konsen

terhadap pengembangan permukiman.

3) Masyarakat, pengembang (developer) dan pemerintah daerah dalam pengembangan permukiman yang sehat dan berwawasan lingkungan

1.5 Kerangka Pemikiran

Peningkatan kebutuhan rumah sejalan dengan pertumbuhan jumlah

penduduk. Pertumbuhan kebutuhan rumah terus mengalami kenaikan dan

kebutuhan tersebut setiap tahunnya belum dapat sepenuhnya terpenuhi. Hal ini

mengakibatkan terjadinya: (1) ketidakteraturan pola permukiman; (2) perubahan

dinamika trend kebutuhan; dan (3) permukiman tumbuh dan berkembang secara

sporadis tanpa memperhatikan tingkat kesesuaian lahannya.

Permukiman yang ada tumbuh dan berkembang secara sporadis dengan pola

yang tidak teratur di sepanjang sungai atau jalan. Permukiman berkembang tanpa

pola sehingga menimbulkan rumah-rumah tumbuh berhimpitan tanpa pekarangan

dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Permukiman dengan tingkat kepadatan

yang tinggi memiliki kecenderungan tidak memenuhi syarat kesehatan karena

keterbatasan pola sirkulasi udara dan cahaya yang dibutuhkan dan sistem drainase

yang buruk. Kondisi ini memicu terjadinya permukiman kumuh yang tidak

(25)

Pertumbuhan kebutuhan permukiman juga berpengaruh pada perubahan

dinamika trend kebutuhan dan gaya hidup dari segi desain rumah, pemilihan

lokasi, dan nuansa lingkungan permukiman. Perubahan trend dipengaruhi

gencarnya media elektronik maupun cetak yang mengekspos iklan-iklan tentang

permukiman. Permukiman dengan berbagai nuasa ditawarkan dalam menarik

minat konsumen sehingga pertumbuhan permukiman dengan berbagai desain dan

nuansa arsitekur ke “barat-baratan” menjamur tidak hanya di wilayah perkotaaan,

pinggiran kota, tetapi sudah sampai ke wilayah perdesaan bahkan sampai ke

wilayah perbukitan atau pegunungan. Perubahan trend kebutuhan rumah dengan

nuasa arsitektur ke “barat-baratan”, akan menimbulkan degradasi budaya baik

dari segi arsitektur lokal dan gaya hidup.

Permukiman yang ada tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan pertanian

yang potensial hingga merambah dipinggiran perbukitan dan hutan. Permukiman

tumbuh dan berkembang tanpa memperhatikan tingkat kesesuaian lahan.

Kesesuaian lahan permukiman menunjukkan sesuai tidaknya lahan yang akan

digunakan untuk permukiman baik dari segi keamanan, kenyamanan, dan

kesehatan bagi penghuni berdasarkan beberapa parameter kesesuaian lahan untuk

permukiman. Kesesuaian lahan permukiman berhubungan erat dengan kondisi

lahan yang akan dialihfungsikan. Kondisi lahan yang akan dialihfungsikan

menjadi lahan untuk permukiman memiliki pengaruh yang berbeda untuk

masing-masing tata guna lahan, sehingga diperlukan perlakuan yang berbeda untuk

masing-masing kondisi lahan tersebut. Permukiman yang tidak memperhatikan

tingkat kesesuaian lahan akan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.

Permukiman yang tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan tidak sesuai

dan memiliki kecenderungan tumbuh dan berkembang secara tidak teratur

membentuk permukiman kumuh yang tidak layak dari kesehatan serta terjadinya

perubahan trend kebutuhan rumah yang mengarah pada degradasi budaya,

mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang

terjadi dari aspek ekologi yaitu terganggunya sistem tata air di wilayah DAS

berupa terjadinya longsor, banjir dan kekeringan. Kerusakan lingkungan dari

aspek sosial dan budaya berupa perubahan perilaku gaya hidup masyarakat baik

(26)

kebutuhan permukiman. Guna meminimalkan kerusakan lingkungan yang terjadi

di wilayah DAS diperlukan kajian yang terpadu dari segi pola permukiman, trend

gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman, dan

kesesuaian lahan untuk permukiman.

Kajian pola permukiman ditujukan guna melihat kondisi permukiman

existing di wilayah DAS. Unit permukiman yang ditinjau adalah kampung yang meliputi aspek ukuran permukiman, kepadatan bangunan, dan tipe permukiman

(Van der Zee 1986) pada masing-masing zona DAS. Ukuran permukiman

mengkaji tentang kapasitas kampung dalam hal jumlah rumah dan penghuninya.

Kepadatan bangunan mengkaji tingkat kepadatan bangunan rumah dalam satu

wilayah kampung. Tipe permukiman mengkaji posisi-posisi rumah dalam satu

wilayah kampung. Berdasarkan kajian ini akan dirumuskan pola permukiman

yang sehat dan berwawasan lingkungan pada masing-masing sub DAS.

Kajian spesifikasi kebutuhan masyarakat terhadap kualitas permukiman

diperlukan guna menganalisis perilaku dan gaya hidup masyarakat dalam

pengelolaan lingkungan permukiman maupun dalam pemilihan kualitas

permukiman. Perilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan meliputi

pengelolaan sampah, limbah padat dan cair, serta pemamfaatan sumberdaya alam

berupa air bersih, air sungai, dan bahan bangunan untuk kebutuhan permukiman.

Gaya hidup masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan permukiman

didasarkan pada kajian tentang pemilihan, penampilan dan penataan rumah (Yoga

2007) meliputi: bentuk bangunan, keamanan, dan kebersihan. Analisis yang

digunakan pada kajian ini adalah quality function deployment dan SPSS.

Kajian kesesuaian lahan permukiman dibangun berdasarkan konsep

permukiman berwawasan lingkungan yaitu dengan memperhatikan aspek ekologi,

ekonomi dan sosial (Camant 2001). Aspek ekologi dibangun berdasarkan

beberapa parameter biofisik yaitu: kemiringan lereng, elevasi, curah hujan,

kepekaan tanah terhadap erosi, kedalaman efektif, kedalaman air tanah, penutupan

lahan, bahaya banjir dan bahaya letusan gunung (Van der Zee 1990; Basso et.al 2000; Sugiarti 2000; Kelarestaghi 2003; Sani 2006; Hardjowigeno 2007; dan

Ritung dkk 2007;). Aspek sosial terdiri atas besar keluarga, dan tingkat

(27)

pendapatan berupa PDRB perkapita (Rustiandi 2007). Kajian ini dianalisis

menggunakan GIS untuk memetakan tingkat kesesuaian lahan permukiman

diwilayah DAS.

Berdasarkan ketiga kajian tersebut, selanjutnya dibangun rumusan kriteria

permukiman sehat berwawasan lingkungan untuk masing-masing zona DAS.

Rumusan kriteria ini merupakan bentuk hubungan antara kelas kesesuaian lahan

permukiman pada masing-masing zona DAS dengan pola permukiman dan

perilaku atau gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan permukiman. Rumusan

kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan selanjutnya dijadikan dasar

dalam menyusun konsep permukiman sehat berwawasan lingkungan (Gambar 1).

1.6 Novelty

Kajian terhadap permukiman telah banyak dilakukan baik di wilayah

perkotaan maupun perdesaaan. Kajian yang sudah dilakukan tersebut bersifat luas

dalam ruang lingkup wilayah administratif. Penelitian ini mengkaji permukiman

di zona DAS hulu, tengah dan hilir yang merupakan satu kesatuan ekosistem DAS.

Sehubungan dengan itu, pembaharuan (novelty) dalam penelitian ini adalah konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan berbasis DAS yang

dibangun berdasarkan tools evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman, pola permukiman, dan spesifikasi kebutuhan serta gaya hidup masyarakat dalam

(28)

Peningkatan kebutuhan

rumah

Ketidakteraturan Pola permukiman

Dinamika trend kebutuhan Permukiman berada pada

lahan tidak sesuai

Spesifikasi kebutuhan penghuni permukiman -Gaya Hidup pengelolaan lingkungan Permukiman -Gaya Hidup Memilih Permukiman

Kriteria Permukiman

sehat berwawasan

lingkungan Kerusakan

lingkungan Di wilayah

DAS

Gambar 1 Kerangka pemikiran konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan

Pola permukiman -Ukuran Permukiman -Kepadatan Bangunan -Tipe Permukiman

Kesesuaian lahan permukiman: -Biofisik -Ekonomi -Sosial

Konsep Permukiman

Sehat Berwawasan

Lingkungan Van der

Zee & SPSS

GIS

Quality Function Devlopment & SPSS

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Permukiman

2.1.1 Konsep Permukiman

Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.4 tahun 1992

adalah sebagai suatu kelompok yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian

yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Menurut Koestoer

(1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep lingkungan hidup

dan penataan ruang. Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai

lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang

mendukung peri kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar

kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan.

Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim

manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang

jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada penghuninya. Permukiman

(Settlement) merupakan suatu proses seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah (Van der Zee 1986). Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak

hanya untuk menyediakan tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi

juga menyediakan fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.

Menurut Parwata (2004) permukiman terdiri dari: (1) isi, yaitu manusia

sendiri maupun masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang terdiri dari

alam dan elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permukiman tersebut,

selanjutnya dapat dibagi ke dalam lima elemen yaitu: (1) alam yang meliputi:

topografi, geologi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2) manusia

yang meliputi: kebutuhan biologi (ruang,udara, temperatur, dsb), perasaan dan

persepsi, kebutuhan emosional, dan nilai moral; (3) masyarakat yang meliputi:

kepadatan dan komposisi penduduk, kelompok sosial, kebudayaan,

pengembangan ekonomi, pendidikan, hukum dan administrasi; (4) fisik bangunan

yang meliputi: rumah, pelayanan masyarakat (sekolah, rumah sakit, dsb), fasilitas

rekreasi, pusat perbelanjaan dan pemerintahan, industri, kesehatan, hukum dan

(30)

sistem jaringan listrik, sistem transportasi, sistem komunikasi, sistem manajemen

kepemilikan, drainase dan air kotor, dan tata letak fisik.

2.1.2 Bentuk-bentuk Permukiman

Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar yaitu: (1)

rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah dan ruang tanah

beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan rumah (Gambar 2).

Kapling rumah atau ruang

perkarangan Rumah

Kebun Tanah dan Kebun Tanah dan Rumah rumah

a.Tanah kapling rumah atau b.Rumah dan struktur c. Perkarangan rumah ruang perkarangan lainnya

Gambar 2 Komponen-komponen dari tapak rumah atau perkarangan rumah (Sumber: Van der zee 1986)

Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam

kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula

dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk

sebuah komplek (Gambar 3). Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk

tempat dan bentuk perencanaan tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh

kelompok-kelompok dan komplek-komplek dari tempat rumah dan perkarangan

rumah.

a. Rumah-rumah tunggal b.Kelompok-kelompok c. Komplek rumah-rumah dan perkarangan rumah rumah dan perkarangan dan perkarangan rumah rumah

(31)

2.1.3 Konsep Perumahan

Budihardjo (1998) membedakan antara rumah dan perumahan. Rumah

adalah suatu bangunan dimana manusia tinggal dan melangsungkan

kehidupannya. Disamping itu juga rumah merupakan tempat dimana

berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan

kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku didalam suatu masyarakat. Secara

umum rumah memiliki kegunaan sebagai: (1) tempat berlindung yaitu melindungi

penghuninya dari pengaruh luar seperti hujan, sinar matahari, binatang, dan

sebagainya; (2) tempat pembinaan dan kegiatan keluarga sebagai tempat yang

aman dan nyaman untuk melakukan berbagai kegiatan bersama, membina

kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga (Sukamto 2004).

Perumahan merupakan daerah dimana terdapat sekelompok rumah. Setiap

perumahan memiliki sistem nilai dan kebiasaan yang berlaku bagi setiap

warganya. Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan perumahan

lainnya. Perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia adalah

pengejawatahan diri manusia, baik bersifat pribadi maupun dalam satu kesatuan

dan kebersamaan dengan lingkungan alamnya (Sutrisna 1996). Dalam kaitan ini,

alam dengan unsur utamanya tanah sebagai tempat tinggal dan sekaligus sarana

yang memberikan kehidupan, menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk

kelestarian dan pengembangan dirinya setelah melalui pengolahan sesuai dengan

fungsinya bagi manusia. Lebih lanjut Mills (1987) menyatakan bahwa perumahan

tidak hanya sekedar tempat berlindung tetapi juga merupakan sebidang lahan

tempat tinggal dengan pelayanan yang ada di lokasi tersebut (air bersih, listrik,

telepon, tempat sampah dan lain-lain) dan kemudahan yang memungkinkan ke

pelayanan di luar lokasi (pendidikan, pusat kesehatan dan sebagainya) tempat

bekerja dan fasilitas lainnya. Secara luas perumahan adalah elemen penting dari

pertumbuhan kesejahteraan dan ekonomi.

Kaidah perencanaan kawasan perumahan yang harus mendapat perhatian

dan pertimbangan (Silas 2001), yaitu: (1) penggunaan lahan yang efisien – efektif

dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas; (2) orientasi bangunan perlu

memperhatikan arah angin disamping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan

(32)

menjaga kesejukan lingkungan; (3) jalan mobil hanya disediakan sebatas

kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya

terpusat sehingga jalan/lorong dapat dijadikan sebagai taman komunal; (4)

Tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal,

termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan

kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan

system kota yang lebih besar; dan (5) ada penghijauan dan badan air yang cukup

serta menyebar untuk menjaga mutu dan keajegan iklim mikro yang baik. Ini

perlu sebagai kompensasi dari perumahan warga berpendapatan rendah yang

cenderung dengan kepadatan tinggi.

Lebih lanjut menurut Silas (2001), kaidah yang mendasar yang perlu

diperhatikan dalam perencanaan rumah adalah: (1) ada fleksibilitas penataan

ruang, utamanya bagi masyarakat berpenghasilan rendah; 2) memilih bahan

bangunan yang mudah diperoleh di daerah setempat dan sudah akrab digunakan

oleh warga dengan kesulitan konstruksi yang mudah diatasi oleh keahlian

setempat; (3) penataan ruang yang dilakukan fleksibel dan multi guna serta tidak

terkotak-kotak kecil, berguna untuk menjamin kedinamisan gerak dan berbagai

aktivitas lain dari penghuni serta untuk memberi keleluasaan aliran udara dan

cahaya yang tinggi; dan (4) tampilan bangunan harus serasi dengan tampilan

bangunan yang lazim di sekitarnya. Prinsip bangunan tropis dengan teritis yang

lebar, teduh dan angin mudah lewat serta tidak tempias oleh terpaan hujan lebat

merupakan dasar yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh. Perlu

memberi muatan local yang diambil dari prinsip unsur arsitektur tradisional

setempat.

Batasan mengenai tipe rumah dalam pedoman pembangunan perumahan dan

permukiman sesuai dengan Keputusan Menpera No.4/KPTS/BKP4N/1995 tentang

klasifikasi rumah tidak bersusun terdiri dari karakteristik fisik dan non fisik.

Karakteristik fisik/ bangunan rumah, yaitu sebagai berikut:

1) Rumah sangat sederhana (RSS) adalah rumah tidak bersusun yang pada tahap

awalnya menggunakan bahan bangunan berkualitas sangat sederhana dan

(33)

2) Rumah sederhana (RS) adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai

bangunan tidak lebih dari 70 m2 yang dibangun dengan luas kavling 54 m2 sampai dengan 200 m2 dan biaya pembangunan per m2 tidak melebihi dari harga per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah di atas tipe C yang berlaku, yang meliputi rumah sampai dengan tipe besar, rumah sederhana dan kavling

siap bangun.

3) Rumah menengah adalah bangunan tidak bersusun dengan luas lantai

bangunan diatas 70 m2 sampai dengan 150 m2 dengan luas kavling 200 m2 sampai dengan 600 m2 dan atau biaya pembangunan per m2 di atas harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas kelas C sampai kelas A yang berlaku.

4) Rumah mewah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling

antara 600 m2 sampai 2000 m2 dan atau biaya pembangunan per m2 diatas harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas kelas A yang berlaku.

Karakteristik non fisik/bangunan pada umumnya meliputi: (1) penyediaan

fasilitas umum (seperti saluran air minum, listrik, telepon, pelayanan kesehatan,

jalan yang memadai); (2) komposisi sosial ekonomi (tingkat pendapatan,

pendidikan, dan sebagainya); dan (3) komposisi demografi (kepadatan penduduk,

kepadatan bangunan).

2.1.4 Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman

Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah desa

kota menurut Koestoer (1995), pembentukkannya berakar dari pola campuran

antara ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan mendasar pola pembangunan

permukiman di perkotaan dan perdesaan. Wilayah permukiman di perkotaan

sering disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara

fisik. Artinya sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka

jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding

tembok dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannyapun ditata

secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau

(34)

Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai terutama

oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung

berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air,

misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih sangat tradisional banyak

mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai disamping sebagai sumber

kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai jalur transportasi antar wilayah.

Perumahan di tepi kota (desa dekat dengan kota) membentuk pola yang

spesifik di wilayah desa kota. Pada saat pengaruh perumahan kota menjangkau

wilayah ini, pola permukiman cenderung lebih teratur dari pola sebelumnya.

Selanjutnya pembangunan jalan di wilayah perbatasan kota banyak

mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya

permukiman perdesaan berubah menjadi pola campuran. Ada bagian kelompok

perumahan yang tertata baik menurut kerangka jalan baru yang terbentuk, tetapi

dibagian lain masih ada pula yang tetap berpola seperti sediakala yang tidak

teratur dengan bangunan semi permanen.

2.1.5 Rumah Sehat dan Berwawasan Lingkungan 2.1.5.1 Rumah Sehat

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang vital,

disamping kebutuhan sandang dan pangan. Menurut World Health Organization (WHO), rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung,

dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan

sosialnya baik untuk kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO Mengenai

Kesehatan dan Lingkungan 2001). Sejalan dengan itu, maka rumah sehat

didefinisikan sebagai bangunan tempat berlindung dan beristirahat serta sebagai

sarana pembinaan keluarga yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik,

mental dan sosial, sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara

produktif. Keberadaan perumahan yang sehat, aman, serasi, teratur sangat

diperlukan agar fungsi dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik (Keman

(35)

Lebih lanjut menurut Sukamto (2004) rumah harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

1) Memenuhi segi kesehatan

(1) Memiliki penerangan dan peranginan yang cukup

(2) Memiliki sarana penyediaan air bersih

(3) Memiliki sarana pengaturan pembuangan air limbah

(4) Dinding dan lantai tidak lembab

(5) Tidak terpengaruh oleh gangguan pencemaran seperti bau, rembesan air

kotor, udara kotor

2) Memenuhi segi kekuatan bangunan

3) Memenuhi segi kenyamanan

(1) Tersedia ruang yang cukup

(2) Ukuran ruang sesuai dengan kebutuhan, minimal 9 m2 per orang dengan ketinggian minimal 2,80 m. Salah satu contoh kebutuhan luas minimum

untuk rumah sederhana sehat adalah 27 m2 (Tabel 1).

Tabel 1 Kebutuhan luas minimum bangunan dan lahan untuk rumah sederhana sehat

Luas (m2) untuk 3 jiwa Luas (m2) untuk 4 jiwa

Lahan Luas Standar

Per jiwa (m2 )

Unit Rumah

Min Efektif Ideal Unit Rumah

Mi n

Efekti f

Ideal

(Ambang batas) 7,2

21,6 60 72– 90 200 28,8 60 72-90 200

(Indonesia) 9,0

27,0 60 72-90 200 36,0 60 72-90 200

(Internasional) 12,0

36,0 60 - - 48,0 60 -- --

(Sumber: Kantor Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah 2002)

(3) Penataan ruang yang serasi

(4) Dekorasi dan warna yang sesuai

(5) Penghijauan di pekarangan rumah

4) Dapat terjangkau

Sehubungan dengan itu, standar kebutuhan ruang untuk rumah sehat adalah

(36)

kaitannya dengan standar rumah sehat, menurut Mangunwijaya (1994) diperlukan

guna memenuhi kenyamanan fisik dan kenyamanan psikologis penghuni.

Kenyamanan fisik dimaksudkan sebagai kenyamanan yang menyangkut segi-segi

fisik biologis manusia yang secara hakiki memerlukan perlindungan terhadap

gangguan alam, cuaca dan makhluk-makhluk lain. Sedangkan kenyamanan

psikologis merupakan sesuatu yang diakibatkan oleh faktor-faktor sosial.

Perumahan sehat merupakan konsep dari perumahan sebagai faktor yang

dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan

pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor risiko dan berorientasi pada

lokasi, bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan

rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur apakah rumah tersebut

memiliki penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak,

mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia maupun

limbah lainnya (Komisi WHO mengenai Kesehatan dan Lingkungan 2001).

Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila : (1) memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih

rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang

nyaman, dan kebisingan 45-55 dB.A.; (2) memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3)

melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki

penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air

limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan; serta (4) melindungi

penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran,

seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran

karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas

(Sanropie 1992; Azwar 1996).

Komponen yang harus dimiliki rumah sehat (Ditjen Cipta Karya 1997)

adalah: (1) fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah dasar

sehingga memberi kestabilan bangunan dan merupakan konstruksi penghubung

antara bangunan dengan tanah; (2) lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi

minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air,

untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu; (3)

(37)

matahari dengan luas minimum 10% luas lantai; (4)dinding rumah kedap air yang

berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan angin dan air hujan,

melindungi dari panas dan debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan ( privacy)

penghuninya; (5) langit-langit untuk menahan dan menyerap panas terik matahari,

minimum 2,4 m dari lantai, bisa dari bahan papan, anyaman bambu, tripleks atau

gipsum; serta (6) atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari

serta melindungi masuknya debu, angin dan air hujan

Perumahan sehat harus memenuhi syarat kesehatan lingkungan, ketertiban,

keserasian lingkungan, prasarana dan sarana, serta keamanan. Persyaratan tersebut

di antaranya:

1) Memenuhi segi kesehatan lingkungan

Artinya komponen-komponen perumahan yang mempengaruhi kesehatan

masyarakat hendaknya dilengkapi sesuai dengan kebutuhan, seperti: (1)

penyediaan prasarana lingkungan; (2) penyediaan fasilitas lingkungan; (3)

pengamanan lingkungan terhadap pencemaran.

2) Memenuhi segi ketertiban

Perumahan akan berada pada kondisi aman dan tertib, apabila: (1) mematuhi

peraturan tata letak bangunan dan perumahan agar terhindar dari berbagai

bencana seperti kebakaran dan longsor; dan (2) dilengkapi dengan penerangan

jalan yang cukup dan warga bertanggungjawab terhadap pemeliharaannya.

3) Memperhatikan keserasian lingkungan

Untuk dapat tinggal dengan aman dan nyaman dalam suatu perumahan, perlu

diusahakan hal-hal sebagai berikut: (1) melestarikan pohon pelindung dan

taman untuk menguatkan tanah dan penyimpanan air dan penyegaran udara

serta memberikan pemandangan indah; (2) memberi penerangan alami dan

buatan yang mencukupi; (3) mengatur tata letak perumahan sehingga cukup

serasi; (4) cukup jauh jaraknya dengan komplek industri yang mengeluarkan

banyak asap kotor dan mengandung racun atau debu atau dapat

menyakibatkan pencemaran udara atau air dan tanah; dan (5) cukup jauh dari

tempat-tempat yang dapat mengganggu kesehatan, kesejahteraan dan moral

(38)

4) Terpenuhi sarana lingkungan yang lengkap sesuai dengan jumlah dan

kebutuhan penduduknya: (1) fasilitas keagamaan; (2) fasilitas kesehatan; (3)

fasilitas ekonomi; (4) fasilitas pendidikan; (5) fasilitas sosial; (6) fasilitas

keamanan; dan (7) fasilitas rekreasi.

5) Terpenuhi prasarana lingkungan yang lengkap sesuai dengan jumlah dan

kebutuhan penduduknya: (1) jaringan jalan dan jembatan; (2) sistem

pemberian air minum atau air bersih; (3) jaringan listrik; (4) jaringan telepon;

(5) sitem pembuangan air hujan (saluran terbuka atau tertutup dan air kotor

atau limbah rumah tangga); dan (6) sistem pengangkutan dan pembuangan

sampah dan kotoran lainnya.

6) Adanya pengamanan lingkungan terhadap pencemaran seperti pemeliharaan

sumber-sumber air bersih, usaha untuk konservasi air, pencegahan banjir,

pembuangan sampah dan limbah yang mengganggu (Sukamto 2004).

Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman menurut

Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/Menkes/SK/VII/1999

meliputi parameter sebagai berikut :

1) Lokasi

(1) Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai,

aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan

sebagainya;

(2) Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah

atau bekas tambang;

(3) Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti

jalur pendaratan penerbangan.

2) Kualitas udara

Kualitas udara ambien di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan

gas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan sebagai berikut :

(1) Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi;

(2) Debu dengan diameter kurang dari 10 g/m3 maksimum 150g/m3; (3) Gas SO2 maksimum 0,10 ppm;

(39)

3) Kebisingan dan getaran

(1) Kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A;

(2) Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik .

4) Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman

(1) Kandungan timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg

(2) Kandungan arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg

(3) Kandungan cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg

(4) Kandungan benzo(a)pyrene maksimum 1 mg/kg

5) Prasarana dan sarana lingkungan

(1) Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan

konstruksi yang aman dari kecelakaan;

(2) Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor

penyakit;

(3) Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak

mengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan

kaki dan penyandang cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman,

lampu penerangan jalan tidak menyilaukan mata;

(4) Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang

memenuhi persyaratan kesehatan;

(5) Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi

persyaratan kesehatan;

(6) Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat

kesehatan;

(7) Memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat

kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya;

(8) Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya;

(9) Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi

kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan.

6) Vektor penyakit

(1) Indeks lalat harus memenuhi syarat;

(40)

7) Penghijauan

Pepohonan untuk penghijauan lingkungan pemukiman merupakan pelindung

dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan dan kelestarian alam.

2.1.5.2 Rumah Berwawasan Lingkungan

Pergeseran fungsi rumah yang tidak hanya sekedar sebagai tempat

berlindung tetapi juga sebagai tempat bersosialisasi antar keluarga, istirahat

dengan nuansa kenyamanan, menemukan inspirasi dan berkreasi, dan memperoleh

nuasa alami. Kebutuhan memperoleh nilai dan fungsi lebih dari sebuah rumah,

membuat perkembangan perumahan menuju ke arah pembangunan nuansa

ekologis. Guna mewujudkan pembangunan secara ekologis harus memperhatikan

arsitektur dari tiga tingkatan, yaitu: perencanaan secara ekologis, pembangunan

kesehatan manusia dan lingkungan, dan bahan bangunan yang sehat (Frick dan

Suskiyatno 1998).

Pembangunan secara ekologis berarti pemanfaatan prinsip-prinsip ekologis

pada perencanaan lingkungan buatan. Pada pembangunan biasa seluruh gedung

berfungsi sebagai sistem yang memintas, yang mengurangi kualitas lingkungan.

Akan tetapi, baik rumah maupun pedesaan harus dianggap sebagai ekosistem yang

berhubungan erat pada hukum alam.

Pembangunan rumah atau tempat tinggal sebagai kebutuhan kehidupan

manusia dalam hubungan timbal balik dengan lingkungan alamnya dinamakan

arsitektur ekologis atau eko-arsitektur. Eko-arsitektur mengandung dimensi

seperti waktu, lingkungan alam, sosio-kultural, ruang, dan teknik bangunan.

Menurut Frick dan Suskiyatno (1998) perencanaan eko-arsitektur berpedoman

pada alam sebagai polanya, sehingga suatu perencanaan harus memenuhi

persyaratan berikut ini:

1) Penyesuaian pada lingkungan alam

2) Menghemat sumber energi yang tidak dapat diperbarui dan mengirit

penggunaan energi.

3) Memelihara sumber lingkungan (udara, tanah, dan air)

(41)

5) Mengurangi ketergantungan pada sistem pusat energi (listrik, air) dan limbah

(air limbah, sampah).

6) Penghuni ikut serta secara aktif pada perencanaan pembangunan dan

pemeliharaan perumahan.

7) Tempat kerja dan permukiman dekat

8) Kemungkinan penghuni menghasilkan sendiri kebutuhannya sehari-hari

9) Menggunakan teknologi sederhana.

Reintegrasi kebiasaan kehidupan yang makin lama makin terpisah-pisah

(permukiman, produksi, konsumsi, hiburan, dan peristirahatan) pada permukiman

atau daerah perumahan harus ditingkatkan. Akibat reintegrasi tersebut di atas

adalah perkembangan baru, dalam tata kemasyarakatan maupun dalam

perencanaan ruang.

Nuansa ekologis dari sebuah hunian mulai dikembangkan dari mulai unit

desain rumah (ecohousing), kawasan perumahan sampai pada suatu desa berwawasan lingkungan (ecovillage). Ecohousing atau cohousing merupakan suatu istilah yang diciptakan oleh dua arsitek Amerika, yaitu Kathryn Mc Camant

dan Charles Durret guna menjelaskan sebuah rencana perumahan yang

dikembangkan di Denmark kurang lebih 30 tahun yang lalu dan sekarang semakin

banyak diadopsi di seluruh Eropa dan Amerika Utara. Pengembangan dan

pengelolaan tempat tinggal dilakukan oleh mereka sendiri yang merupakan

kombinasi anatomi dari rumah tinggal pribadi dengan keuntungan hidup

bermasyarakat.

Gambaran nilai dari sebuah cohousing adalah rumah tinggal individu didesai

Gambar

Tabel 3  Hubungan antara kualitas dan karakteristik lahan yang dipakai pada                    metode evaluasi lahan
Tabel 4  Kriteria kesesuaian lahan untuk pembuatan gedung tanpa                             ruang bawah tanah
Tabel 5  Klasifikasi tanah unified dan kesesuaian sebagai subgrade untuk                      pembuatan jalan dan pondasi
Gambar 4  Konsep recharge-reuse sumberdaya air dalam DAS                                (Sumber: Irianto  2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Mengkaji pola spasial perkembangan permukiman di kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu pada periode tahun 198 1,1985, 1990, 1994, dan

05" Kerusakan Hulu Daerah Aliran Sungai Citanduy dan Akibatnya di Hilir (Studi Penilaian Ekonomi di Sub DAS Citanduy Hulu Jawa baratdan Sub DAS Segara Anakan Jawa Tengah).

Perhitungan Indeks Kualitas Lingkunan (IKL) DAS Cimandiri Hulu dari tiga komponen bioisik (fBE, SDR, dan TFD) menghasilkan nilai 1.63 yang diinterpretasikan bahwa

Dengan terbentuknya kelembagaan partisipatoris maka upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) menjadi lebih cepat karena seluruh pihak baik pemerintah,

Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan aktual dan potensial tanaman jati (Tectona grandis L.F) di DAS Tirtomoyo bagian hulu, dan (2)

Di DAS Cikapundung jenis gulma dominan yang terdapat di hulu, tengah, dan hilir sungai Cikapundung lebih beragam dan bervariasi dibandingkan dengan jenis gulma yang ditemukan di

Konsentrasi nitrat di lingkungan perairan hulu DAS Tondano meningkat pada tahun 2014, dan 2015, konsentrasi nitrit meningkat pada tahun 2014 melebihi baku mutu sesuai PP No 82/2001,

dapat dibedakan atas penggunaan lahan semusim, tahunan, dan permanen. Penggunaan lahansemusim diarahkan untuk tanaman semusim. Pola tanaman yang diterapkan dapat berupa