• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

DI KAWASAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU

DASMINTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengelolaan

Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam,

Provinsi Kepulauan Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan

dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan

dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2006

(3)

DASMINTO. Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh RICHARDUS KASWADJI dan FREDINAN YULIANDA.

Posisi geografis Batam yang sangat strategis menjadikan daerah ini dikembangkan oleh Pemerintah menjadi daerah industri yang mempunyai arti penting bagi kehidupan ekonomi nasional. Pengembangan daerah industri ini ternyata membawa dampak ikutan terhadap tumbuhnya sektor-sektor lainnya di daerah ini. Namun pada sisi lain, adanya pengembangan industri berdampak terhadap terjadinya degradasi sumberdaya pesisir dan laut, seperti terjadinya pencemaran air laut dan kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya produktivitas perikanan. Terjadinya degradsi lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam diperkirakan akan semakin parah dengan dipicu oleh adanya perusahaan-perusahaan yang secara komersial hanya mengedepankan keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk itu diperlukan adanya pengelolaan yang baik dengan memperhatikan semua aspek terkait agar dampak negatif dari pengembangan industri di Kota Batam terhadap lingkungan pesisir dan laut dapat diminimalisasi sekecil mungkin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan pesisir dan laut, mengidentifikasi isu dan permasalahan yang ada, serta menyusun strategi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut berdasarkan pada kajian dampak dari kegiatan industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lingkungan pesisir Kota Batam.

Berdasarkan analisis data dapat digambarkan bahwa secara umum kondisi perairan pesisir Kota Batam dalam keadaan sangat memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan buruknya kualitas air laut serta terancamnya keberadaan ekosistem pesisir serta sumberdaya perikanan. Beberapa kegiatan yang menonjol dan mempengaruhi kondisi tersebut diantaranya pembuangan limbah industri, adanya pembukaan lahan dengan merusak kawasan hutan dan perbukitan, reklamasi pantai dengan mengkonversi kawasan mangrove bagi peruntukkan lainnya.

(4)

DASMINTO. Coastal Environmental Management in the Industrial Development Area of Batam City, Province of Kepulauan Riau. Under the direction of RICHARDUS KASWADJI and FREDINAN YULIANDA.

The strategic geographical location of Batam has geared this region be developed by the government to be an industrial area which has an important value for the national economic aspect of life. This development of industrial area in fact has created an impact to other growing sectors in the region. However, from another side, the existence of the industrial development has resulted degradation to the coastal and marine resources, such as marine pollution and coastal ecosystem destruction (mangrove, coral reef and sea-grasses) including the decrease in fisheries productivity. The environmental degradation in the coastal and marine environment of Batam City was estimated to be more severe which have been triggered by certain agencies that commercially having only depending on short term benefits without taking care of environmental negative impacts. Therefore a proper management is needed taking into account all related aspects in order to minimize the negative impacts towards the minimum limits on the industrial development of Batam City in the coastal and marine environment. The purpose of this study is to know the quality of the coastal and marine environment, identification of issues and available problems, and to set up strategic coastal and marine environmental management based on impact analysis of industrial activities and its development on the water quality in the coastal environment of Batam City.

Based on data analysis it could be put forward that in general the condition of the coastal waters of Batam City are not in a favourable situation. This is due to the worst values of the marine water quality and also the threats to the existence of coastal ecosystem and fishery resources. Some profound activities which impacted the condition are, among others, discharge of industrial waste, land clearing through destruction of forest areas and hills, coastal reclamation by way of mangrove area conversion for other purposes.

(5)

DI KAWASAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU

DASMINTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Nama : Dasminto

NRP : C225010311

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(7)

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmat dan hidayah-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program

Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)-Departemen Manajemen

Sumberdaya Perairan-Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tesis dengan judul “Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan

Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau” disusun

berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dari bulan April 2003

sampai dengan Desember 2004. Tujuan dari tesis ini adalah untuk menyusun

arahan kebijakan sebagai masukan khususnya bagi pemerintah Kota Batam dalam

pengelolaan lingkungan pesisir berdasarkan kajian dampak industri dan

pengembangannya terhadap kualitas perairan pesisir Kota Batam.

Pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan ucapan terima

kasih kepada Bapak Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Fredinan

Yulianda, M.Sc. selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang secara

substansial telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan

tesisi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA yang sejak awal telah mengarahkan

penulis dari mulai usulan sampai dengan pelaksanaan penelitian untuk tesis ini

serta menjadi komisi pembimbing tetapi kemudian karena masalah teknis tidak

dapat melanjutkan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Sigid

Hariyadi, M.Sc. selaku penguji tamu yang telah banyak memberikan masukan

untuk penyempurnaan Tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak

Drs. Sudariyono, Bapak Ir. Henk Uktolseya, M.Sc., Ibu Ir. Wahyu Indraningsih,

Ibu Ir. Zulhasni, M.Sc. serta teman-teman dari Kementerian Negara Lingkungan

Hidup RI. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Yunelhas Basri

dan staf Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam yang

telah banyak memberikan dorongan dan bantuannya khususnya selama

(8)

mendampingi penulis dalam berbagi tugas selama penelitian di lapangan. Kepada

teman-teman, staf dan dosen SPL serta semua pihak yang telah membantu baik

dalam penelitian maupun penyelesaian tesis ini penulis juga mengucapkan terima

kasih.

Secara khusus ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada istriku

tercinta dr. Farida Sulistyowati, anak-anakku tersayang Via Afini Salsabila

(ALSA) dan Moh. Naufal Syauqi (AUFAL) serta keponakan dan

saudara-saudaraku yang secara tulus senantiasa memberikan semangat dan doa serta

dorongan mental kepada penulis.

Akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis sampaikan tesis ini

dengan harapan semoga bermanfaat khususnya bagi yang membaca serta

pihak-pihak lain yang mau memanfaatkannya. Sebagai penutup penulis menyampaikan

permohonan maaf apabila tesis ini belum sempurna karena keterbatasan penulis

sehingga adanya saran-saran yang konstruktif sangat diharapkan.

Bogor, April 2006

(9)

Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 7 Desember 1966 sebagai anak

ketiga dari pasangan Rahmudi B. Kasmali (almarhum) dan Sani Bt. Rahmah

(almarhumah). Pendidikan sarjana (S1) diperoleh melalui Penelusuran Minat dan

Bakat (PMDK) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas

Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2001,

penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

(S2 SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan

pascasarjana diperoleh dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH)

Republik Indonesia.

Penulis bekerja di KLH sejak tahun 1992 dan pada tahun 2005 penulis

dipercaya sebagai Kepala Sub-bidang Pengembangan pada Bidang Perlindungan

Ekosistem-Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut.

Selama mengikuti program S2 SPL, bersama teman-teman mahasiswa S2

dan S3 serta dosen SPL IPB, penulis telah merintis berdirinya sebuah organisasi

mahasiswa yang pertama pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Dan Lautan-Program Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor (Wacana Pesisir

IPB) dan untuk masa kepengurusan periode pertama (Masa Bakti 2002-2003),

(10)

Halaman Dampak Pengembangan Industri ... 9

Kegiatan Industri... 9

Pertanian ... 10

Permukiman ... 10

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ... 11

METODE PENELITIAN

Analisis kondisi kualitas air laut ... 22

Analisis kondisi ekosistem pesisir ... 23

Mangrove... 24

Terumbu Karang... 27

Padang Lamun ... 28

Analisis untuk Menentukan Strategi Pengelolaan Lingkungan Pesisir ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 30

Letak Geografis... 30

Penduduk ... 32

Industri ... 33

Kondisi Perairan Pesisir Kota Batam... 41

Arus Air Laut ... 42

Gelombang Air Laut ... 47

Pasang Air Laut... 47

Kualitas Perairan Pesisir ... 49

(11)

DI KAWASAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU

DASMINTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengelolaan

Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam,

Provinsi Kepulauan Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan

dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan

dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2006

(13)

DASMINTO. Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh RICHARDUS KASWADJI dan FREDINAN YULIANDA.

Posisi geografis Batam yang sangat strategis menjadikan daerah ini dikembangkan oleh Pemerintah menjadi daerah industri yang mempunyai arti penting bagi kehidupan ekonomi nasional. Pengembangan daerah industri ini ternyata membawa dampak ikutan terhadap tumbuhnya sektor-sektor lainnya di daerah ini. Namun pada sisi lain, adanya pengembangan industri berdampak terhadap terjadinya degradasi sumberdaya pesisir dan laut, seperti terjadinya pencemaran air laut dan kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya produktivitas perikanan. Terjadinya degradsi lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam diperkirakan akan semakin parah dengan dipicu oleh adanya perusahaan-perusahaan yang secara komersial hanya mengedepankan keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk itu diperlukan adanya pengelolaan yang baik dengan memperhatikan semua aspek terkait agar dampak negatif dari pengembangan industri di Kota Batam terhadap lingkungan pesisir dan laut dapat diminimalisasi sekecil mungkin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan pesisir dan laut, mengidentifikasi isu dan permasalahan yang ada, serta menyusun strategi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut berdasarkan pada kajian dampak dari kegiatan industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lingkungan pesisir Kota Batam.

Berdasarkan analisis data dapat digambarkan bahwa secara umum kondisi perairan pesisir Kota Batam dalam keadaan sangat memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan buruknya kualitas air laut serta terancamnya keberadaan ekosistem pesisir serta sumberdaya perikanan. Beberapa kegiatan yang menonjol dan mempengaruhi kondisi tersebut diantaranya pembuangan limbah industri, adanya pembukaan lahan dengan merusak kawasan hutan dan perbukitan, reklamasi pantai dengan mengkonversi kawasan mangrove bagi peruntukkan lainnya.

(14)

DASMINTO. Coastal Environmental Management in the Industrial Development Area of Batam City, Province of Kepulauan Riau. Under the direction of RICHARDUS KASWADJI and FREDINAN YULIANDA.

The strategic geographical location of Batam has geared this region be developed by the government to be an industrial area which has an important value for the national economic aspect of life. This development of industrial area in fact has created an impact to other growing sectors in the region. However, from another side, the existence of the industrial development has resulted degradation to the coastal and marine resources, such as marine pollution and coastal ecosystem destruction (mangrove, coral reef and sea-grasses) including the decrease in fisheries productivity. The environmental degradation in the coastal and marine environment of Batam City was estimated to be more severe which have been triggered by certain agencies that commercially having only depending on short term benefits without taking care of environmental negative impacts. Therefore a proper management is needed taking into account all related aspects in order to minimize the negative impacts towards the minimum limits on the industrial development of Batam City in the coastal and marine environment. The purpose of this study is to know the quality of the coastal and marine environment, identification of issues and available problems, and to set up strategic coastal and marine environmental management based on impact analysis of industrial activities and its development on the water quality in the coastal environment of Batam City.

Based on data analysis it could be put forward that in general the condition of the coastal waters of Batam City are not in a favourable situation. This is due to the worst values of the marine water quality and also the threats to the existence of coastal ecosystem and fishery resources. Some profound activities which impacted the condition are, among others, discharge of industrial waste, land clearing through destruction of forest areas and hills, coastal reclamation by way of mangrove area conversion for other purposes.

(15)

DI KAWASAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU

DASMINTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Nama : Dasminto

NRP : C225010311

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(17)

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmat dan hidayah-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program

Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)-Departemen Manajemen

Sumberdaya Perairan-Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tesis dengan judul “Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan

Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau” disusun

berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dari bulan April 2003

sampai dengan Desember 2004. Tujuan dari tesis ini adalah untuk menyusun

arahan kebijakan sebagai masukan khususnya bagi pemerintah Kota Batam dalam

pengelolaan lingkungan pesisir berdasarkan kajian dampak industri dan

pengembangannya terhadap kualitas perairan pesisir Kota Batam.

Pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan ucapan terima

kasih kepada Bapak Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Fredinan

Yulianda, M.Sc. selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang secara

substansial telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan

tesisi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA yang sejak awal telah mengarahkan

penulis dari mulai usulan sampai dengan pelaksanaan penelitian untuk tesis ini

serta menjadi komisi pembimbing tetapi kemudian karena masalah teknis tidak

dapat melanjutkan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Sigid

Hariyadi, M.Sc. selaku penguji tamu yang telah banyak memberikan masukan

untuk penyempurnaan Tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak

Drs. Sudariyono, Bapak Ir. Henk Uktolseya, M.Sc., Ibu Ir. Wahyu Indraningsih,

Ibu Ir. Zulhasni, M.Sc. serta teman-teman dari Kementerian Negara Lingkungan

Hidup RI. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Yunelhas Basri

dan staf Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam yang

telah banyak memberikan dorongan dan bantuannya khususnya selama

(18)

mendampingi penulis dalam berbagi tugas selama penelitian di lapangan. Kepada

teman-teman, staf dan dosen SPL serta semua pihak yang telah membantu baik

dalam penelitian maupun penyelesaian tesis ini penulis juga mengucapkan terima

kasih.

Secara khusus ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada istriku

tercinta dr. Farida Sulistyowati, anak-anakku tersayang Via Afini Salsabila

(ALSA) dan Moh. Naufal Syauqi (AUFAL) serta keponakan dan

saudara-saudaraku yang secara tulus senantiasa memberikan semangat dan doa serta

dorongan mental kepada penulis.

Akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis sampaikan tesis ini

dengan harapan semoga bermanfaat khususnya bagi yang membaca serta

pihak-pihak lain yang mau memanfaatkannya. Sebagai penutup penulis menyampaikan

permohonan maaf apabila tesis ini belum sempurna karena keterbatasan penulis

sehingga adanya saran-saran yang konstruktif sangat diharapkan.

Bogor, April 2006

(19)

Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 7 Desember 1966 sebagai anak

ketiga dari pasangan Rahmudi B. Kasmali (almarhum) dan Sani Bt. Rahmah

(almarhumah). Pendidikan sarjana (S1) diperoleh melalui Penelusuran Minat dan

Bakat (PMDK) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas

Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2001,

penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

(S2 SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan

pascasarjana diperoleh dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH)

Republik Indonesia.

Penulis bekerja di KLH sejak tahun 1992 dan pada tahun 2005 penulis

dipercaya sebagai Kepala Sub-bidang Pengembangan pada Bidang Perlindungan

Ekosistem-Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut.

Selama mengikuti program S2 SPL, bersama teman-teman mahasiswa S2

dan S3 serta dosen SPL IPB, penulis telah merintis berdirinya sebuah organisasi

mahasiswa yang pertama pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Dan Lautan-Program Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor (Wacana Pesisir

IPB) dan untuk masa kepengurusan periode pertama (Masa Bakti 2002-2003),

(20)

Halaman Dampak Pengembangan Industri ... 9

Kegiatan Industri... 9

Pertanian ... 10

Permukiman ... 10

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ... 11

METODE PENELITIAN

Analisis kondisi kualitas air laut ... 22

Analisis kondisi ekosistem pesisir ... 23

Mangrove... 24

Terumbu Karang... 27

Padang Lamun ... 28

Analisis untuk Menentukan Strategi Pengelolaan Lingkungan Pesisir ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 30

Letak Geografis... 30

Penduduk ... 32

Industri ... 33

Kondisi Perairan Pesisir Kota Batam... 41

Arus Air Laut ... 42

Gelombang Air Laut ... 47

Pasang Air Laut... 47

Kualitas Perairan Pesisir ... 49

(21)

Terumbu karang... 82

Padang Lamun ... 93

Sumberdaya Perikanan ... 98

Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan... 111

Dampak Pembangunan di Kota Batam ... 111

Kebijakan Pemerintah Kota Batam... 115

Arahan Kebijakan Umum ... 117

Arahan Kebijakan Penanggulangan Dampak Pembangunan... 118

Arahan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pesisir Kota Batam... 120

Arahan Strategi Pengelolaan... 123

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 141

Saran ... 143

DAFTAR PUSTAKA ... 145

LAMPIRAN... 151

(22)

Halaman 4. Jenis data dan tingkat keragaman jenis mangrove ... 25 5. Kriteria baku kerusakan terumbu karang ... 27 6. Kriteria baku kerusakan padang lamun... 28 7. Status padang lamun ... 28 8. Matrik analisis SWOT ... 29 9. Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2003 menurut kecamatan... 32 10. Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Batam dari tahun 1993-2004... 34 11. Luas kawasan industri sesuai RTRW Kota Batam ... 36 12. Banyaknya perusahaan Sektor Industri Pengolahan menurut

golongannya ... 37 13. Kecepatan dan arah arus di perairan Batam... 43 14. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara

wilayah Kota Batam pada April 1998... 50 15.Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 ... 52 16. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara

wilayah Kota Batam pada April 1998... 53 17. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 ... 54 18. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan

Nongsa, Kota Batam pada 6 Mei 2003 ... 56 19. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja, Kota Batam pada 2003... 58 20. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air laut di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Lubuk Baja dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002... 59 21. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan

Sekupang dan Belakang Padang, Kota Batam pada 2003... 61

(23)

Nopember 2002... 62 23. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei

Beduk-Kota Batam pada 19 Januari 2001... 64 24. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota Batam pada 14 Maret 2001... 65 25. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata

berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan

Galang, Kota Batam pada 3 Mei 2003 ... 67 26. Rekapitulasi kondisi kualitas air laut di sekitar daerah industri dan di

luar daerah industri di Kota Batam ... 68 27. Kandungan rata-rata logam berat pada dua organisme laut di Batam ... 69 28. Penyebaran dan luasan mangrove di Kota Batam pada tahun 1996 ... 73 29. Luasan mangrove pada masing-masing pulau di Kota Batam

tahun 2002... 74 30. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan dan kerapatannya tahun 2003 ... 78 31. Luas terumbu karang di Barelang, 1998 ... 82 32. Persen penutupan biota penyusun terumbu karang di lokasi pengamatan

perairan Barelang, 1998 ... 85 33. Kondisi karang pada kedalaman perairan 3 meter tahun 2003 ... 87 34. Kondisi karang pada kedalaman perairan 10 meter tahun 2003 ... 90 35. Data hasil tangkapan ikan di sekitar terumbu karang di Barelang, 1996.. 92 36. Luas padang lamun di wilayah pesisir Barelang, 2002... 97 37. Data hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun Batam, 1996... 98 38. Daftar nama-nama pulau yang teridentifikasi berpenghuni di Kota

Batam ... 99 39. Nama ikan yang tertangkap nelayan dari Kota Batam dan Kabupaten

Kepulauan Riau (Khusus Pulau Bintan) (PKSPL-IPB, 1998) ... 102 40. Jenis-jenis ikan dan udang yang sering ditangkap oleh nelayan Kota

Batam dan memiliki nilai ekonomis tinggi ... 103 41. Jumlah rumah tangga perikanan, jumlah anggota keluarga dan jumlah

penduduk Kota Batam per kecamatan... 104 42. Jumlah RTP, jumlah perikanan tangkap dan budidaya laut di Kota

Batam tahun 2003 ... 105 43. Jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan Gross Ton (GT)

di Kota Batam tahun 2003 ... 106 44. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan pada setiap kecamatan di Kota

Batam ... 107 45. Jumlah RTP, jumlah hasil tangkapan ikan dan nilai produksinya di Kota

Batam tahun 2003 ... 108 46. Produksi budidaya perikanan laut di Kota Batam pada tahun 2003 ... 110 47. Pembobotan faktor internal dengan analisis SWOT ... 130 48. Pembobotan faktor eksternal dengan analisis SWOT... 131

(24)
(25)

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 7 2. Peta lokasi pengambilan sampel kualitas air laut, pengamatan mangrove

dan terumbu karang di Kota Batam ... 19 3. Peta Kota Batam dengan batas-batas administrasinya (Pemerintah Kota

Batam, 2000)... ... 31 4. Peta penyebaran industri di Kota Batam (Pemerintah Kota Batam,

2000)... ... 35 5. Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya pada bulan

Januari - Juni (PT Bumimas Batamjaya, 2001) ... 44 6. Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya pada bulan

Juli - Desember (PT Bumimas Batamjaya, 2001)... 45 7. Pergerakan arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya (Chia et al,

1988)... ... 46 8. Ramalan pasang di perairan Batu Ampar pada tanggal 20 Mei (atas)

dan 11 Juni (bawah) tahun 2003 (Dishidros, 2003) ... 48 9. Distribusi mangrove di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of

State for Environment, 2000)… ... 71 10.Distribusi terumbu karang (coral reef) di Pesisir Kota Batam dan

sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000) ... 84 11.Distribusi lamun (seagrass) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya

(Ministry of State for Environment, 2000) ... 95 12.Daerah penangkapan ikan (fishing ground), budidaya udang (shrimp

culture), budidaya ikan (fish culture) dan budidaya rumput laut (seaweed

culture) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for

Environment, 2000)... ... 101

(26)

Halaman

1. Kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998 ... 151 2. Kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan

perbatasan Singapura pada Maret 2000 ... 152 3. Kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota

Batam pada April 1998 ... 153 4. Kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan

perbatasan Singapura pada Maret 2000 ... 154

dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002... 157 8. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sekupang dan

Belakang Padang, Kota Batam pada 2003 ... 158 9. Kualitas air laut di Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Belakang Padang

dan Kec. Sekupang) Kota Batam pada Nopember 2002... 159 10. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk, Kota

Batam pada 19 Januari 2001 ... 160 11. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota

Batam pada 14 Maret 2001 ... 161 12. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota

Batam pada 3 Mei 2003 ... 162 13. Gambaran pembukaan lahan di Kota Batam berdasarkan citra satelit

tahun 1996-2002 (Bapedal Kota Batam, 2003) ... 163 14. Contoh kegiatan pembukaan lahan dengan reklamasi pantai untuk

kepentingan pengembangan industri di Kecamatan Nongsa, Kota Batam tahun 2003 ... 166 15. Gambaran perusakan kawasan mangrove yang di konversi bagi

peruntukkan lainnya di Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)... 167 16. Gambaran pembuangan limbah industri ke perairan pantai di Kota

Batam (Bapedal Kota Batam, 2003) ... 169 17. Gambaran pencemaran perairan pantai di Kecamatan Batu Ampar,

Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)... 171

(27)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan pesisir dan laut Indonesia dengan potensi sumberdaya alamnya

termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil, memiliki peranan yang sangat penting

dalam pembangunan nasional. Demikian halnya dengan sumberdaya pesisir dan

laut di Kota Batam yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Daerah ini terdiri dari tiga pulau utama,

yaitu Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang atau sering disebut dengan

Barelang. Ketiga pulau tersebut mempunyai luasan yang lebih besar

dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya yang ada di Kota Batam.

Kota Batam merupakan wilayah yang sangat strategis karena terletak

berdampingan dengan negara-negara tetangga Indonesia, bahkan pada bagian

utara wilayahnya berbatasan dengan Singapura/Malaysia. Melihat pada potensi

yang ada serta letak geografis Batam yang sangat strategis, yaitu berada di Selat

Singapura yang dilalui oleh jalur pelayaran yang sangat ramai maka Pemerintah

mengembangkan daerah Batam menjadi daerah industri, yang akan mempunyai

arti penting bagi kehidupan ekonomi nasional pada umumnya. Kawasan ini

menjadi sangat penting menjelang diberlakukannya Kawasan Perdagangan Bebas

(Free Trade Zone) dan Pelabuhan Bebas Batam.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 yang kemudian

dirubah dengan Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2000, Pemerintah

Republik Indonesia menetapkan seluruh wilayah Pulau Batam dikembangkan

menjadi kawasan pengembangan industri dibawah suatu lembaga otorita, yaitu

Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau (OPDIP) Batam atau Otorita Batam.

Sejak Pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya dikembangkan

menjadi daerah industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata serta dengan

terbentuknya Kotamadya Batam berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34

tahun 1983 yang kemudian menjadi Kota Batam sesuai Undang-undang Nomor

53 tahun 1999, laju pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan. Laju

(28)

periode 1990-2000 sebesar 12,87%. Penduduk Kota Batam jumlahnya terus

meningkat, terutama dengan datangnya orang-orang dari daerah lain di Indonesia

maupun dari negara lain ke daerah ini dan pada tahun 2003 penduduk Kota Batam

tercatat 562 661 jiwa. Sejalan itu pula dari tahun 1999-2003 sektor industri besar

(dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih) terus mengalami peningkatan, yaitu

pada tahun 1999 tercatat jumlah industri besar 108 buah dan pada tahun 2003

bertambah menjadi 138 buah. Hal ini membuktikan bahwa Batam mempunyai

daya tarik tersendiri bagai para investor untuk melakukan investasi serta bagi para

pendatang yang ingin mendapatkan lapangan pekerjaan di daerah ini.

Pada sisi lain, berbagai kegiatan industri dan pengembangannya yang

dilakukan di Kota Batam diperkirakan akan menimbulkan dampak terjadinya

degradasi sumberdaya pesisir dan laut. Kondisi kerusakan lingkungan

diperkirakan semakin parah dengan dipicu oleh semakin meningkatnya kebutuhan

masyarakat sejalan dengan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, kemiskinan,

kurangnya alternatif usaha, adanya perusahaan-perusahaan yang pada umumnya

hanya mengedepankan keuntungan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek

tanpa memperdulikan dampak negatif yang timbul terhadap lingkungan,

terjadinyaa konflik pemanfaatan ruang sebagai akibat adanya berbagai

kepentingan serta masih belum tumbuhnya kesadaran untuk mewujudkan dan

menjaga kualitas lingkungan yang baik dalam hubungannya dengan

pengembangan suatu wilayah, khususnya dalam upaya mewujudkan pertumbuhan

ekonomi wilayah yang tinggi.

Pengembangan suatu wilayah untuk kepentingan industri seperti Kota

Batam bila dilakukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata tanpa

memperdulikan aspek lingkungan hidup maka akan menimbulkan dampak negatif

berupa turunnya kualitas lingkungan, khususnya lingkungan pesisir dan laut.

Kondisi lingkungan akan menjadi semakin parah dengan adanya anggapan bahwa

perairan pesisir dan laut sebagai tempat pembuangan limbah yang mudah dan

murah (bahkan tidak dikenakan biaya) sehingga akan menimbulkan semakin

buruknya kualitas perairan sebagai akibat terjadinya pencemaran perairan pesisir

(29)

tidak segera diantisipasi mengingat Kota Batam dengan luas 1 570.35 km2

termasuk dalam kriteria pulau kecil.

Sebagai kawasan yang termasuk dalam kriteria pulau kecil, Kota Batam

tentunya memiliki banyak keterbatasan yang harus diperhatikan oleh segenap

stakeholder dalam melakukan pemanfaatan wilayah tersebut. Menurut Bengen et

al (2002), yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas

area kurang dari atau sama dengan 2 000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km.

Pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol, di antaranya

sumberdaya air tawar yang terbatas dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil serta peka

dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan

manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran (Griffith dan

Inniss, 1992; United Nations, 1994 dalam Bengen et al, 2002).

Pulau-pulau kecil merupakan kasus khusus pembangunan, karena

memiliki ciri khusus yang meliputi sumberdaya alam, ekonomi, dan aspek sosial

budaya yang spesifik. Pulau-pulau kecil mempunyai potensi untuk dikembangkan

dengan mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan baik

secara ekologi maupun secara ekonomi (Hein, 1990 dalam Bengen et al, 2002).

Sehubungan dengan itu maka manajemen lingkungan merupakan prasyarat

pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan manajemen

pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sinergi dengan manajemen

lingkungan (Bengen et al, 2002).

Perumusan Masalah

Dengan dijadikannya Pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya

menjadi daerah industri ternyata menimbulkan dampak negatif berupa

menurunnya kualitas lingkungan, baik yang terjadi di daratan maupun di kawasan

pesisir dan laut. Khusus penurun kualitas lingkungan di kawasan pesisir dan laut

di Kota Batam terjadi karena degradasi lingkungan pesisir dan laut. Menurut

Bapedal (2003), terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut karena hal-hal

(30)

a. Adanya pembukaan lahan (land clearing) yang tak terkendali di wilayah

daratan, dimana tercatat sekitar 2 731.60 hektar kawasan hutan lindung dan

hutan wisata dikonversi dan beralih fungsi serta adanya reklamasi pantai yang

dilakukan secara terus-menerus untuk pengembangan Sektor Industri dan

sektor-sektor pendukung lainnya dapat memberikan kontribusi terhadap

peningkatan partikel sedimen di perairan pantai apabila terkena aliran air

hujan. Hal ini akan dapat mengganggu proses fotosintesis dan menutupi

padang lamun dan karang hidup serta mengakibatkan turunnya produktivitas

perikanan pantai.

b. Adanya perusakan hutan mangrove yang dikonversi bagi peruntukkan

lainnya.

c. Dari sekitar 575 perusahaan industri, pariwisata dan sebagainya yang ada di

Batam memberikan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan yang cukup

tinggi, apalagi baru sekitar 139 perusahaan yang melakukan kegiatannya

dilengkapi dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

(AMDAL)/Upaya Pengengelolaan Lingkungan maupun Upaya Pemantauan

Lingkungan.

d. Terindikasi baru sekitar 25% industri yang melakukan pengelolaan

lingkungan hidupnya dengan baik.

e. Dari sekitar 24 kawasan industri, baru sekitar 4 kawasan industri yang

dilengkapi studi AMDAL dan hanya satu kawasan industri yang memiliki

Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sehingga rawan terhadap terjadinya

pencemaran.

f. Masih banyak ditemui pembuangan limbah cair dari industri langsung ke

perairan pantai atau media lingkungan lainnya tanpa melalui proses

pengelolaan limbah terlebih dahulu.

g. Adanya perusakan terumbu karang untuk dijadikan bahan bangunan dan

penangkapan ikan karang dengan bahan peledak.

Hal lain yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut

adalah adanya orientasi jangka pendek dari kalangan industri yang hanya

mengejar keuntungan dari aspek ekonomi semata tanpa memperdulikan aspek

(31)

polutan dari negara-negara sekitarnya (terutama dari Singapura dan Malaysia)

yang disebabkan oleh pergerakan arus air laut turut andil terhadap terjadinya

degradasi lingkunga perairan pesisir dan laut Kota Batam.

Pengembangan industri di Kota Batam hendaknya harus disertai adanya

prinsip kehati-hatian dan pengambilan keputusan yang bijaksana dengan perhatian

yang serius aspek lingkungan hidup, khususnya lingkungan perairan pesisir. Hal

ini karena telah banyak kasus pencemaran lingkungan terjadi di daerah lain yang

disebabkan oleh pengembangan dan aktivitas industri, yang membuang limbahnya

dengan tidak mengikuti peraturan yang telah ditentukan. Dampak yang lebih

serius dan ekstrem dapat terjadi bila kegiatan industri dikembangkan di

pulau-pulau kecil seperti di Kota Batam, hal ini karena pulau-pulau-pulau-pulau kecil memiliki

tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap perubahan lingkungan. Dampak

dari perubahan lingkungan berupa turunnya kualitas lingkungan khususnya

kualitas perairan pantai/pesisir sebagai akibat dipacunya kawasan pertumbuhan

industri akan menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan yang dapat

mengancam kelestarian sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut.

Beberapa permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Pulau Batam dan

pulau-pulau di sekitarnya sebagai dampak dari pengembangan industri yang juga

memberikan kontribusi terhadap terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut

diantaranya disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

a. Masih rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat industri dalam

menjaga kualitas lingkungan dengan mengikuti dan melaksanakan peraturan

yang telah ditentukan.

b. Adanya konflik kepentingan antara Otorita Pengembangan Daerah Industri

Pulau Batam dengan Pemerintah Kota Batam. Munculnya dualisme

kekuasaan pemerintahan di daerah ini menyebabkan ketidak-jelasan institusi

mana yang bertanggung-jawab dalam melakukan pengendalian pencemaran

dan kerusakan lingkungan hidup di kawasan tersebut, termasuk menyangkut

pengawasan dan pembinaan. Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau

Batam menganggap sebagai lembaga yang memiliki otoritas dan secara

historis merasa sebagai institusi yang telah merintis Pulau Batam menjadi

(32)

Pemerintah Kota Batam merasa yang bertanggung jawab terhadap

kewenangan yang ada di Pulau Batam sekalipun daerah ini telah dijadikan

kawasan otorita.

Apabila hal-hal tersebut tidak segera ditanggulangi maka permasalahan

lingkungan hidup di Kota Batam akan terus meningkat, khususnya yang berkaitan

dengan terjadinya degradasi kualitas perairan pesisir dan laut sebagai dampak dari

pengembangan industri. Dampak negatif terhadap lingkungan hidup yang

ditimbulkan oleh industri-industri di Kota Batam bukan hanya bersifat lokal atau

nasional, tetapi juga akan berdampak secara regional atau lintas negara mengingat

letak Kota Batam berbatasan dengan negara-negara tetangga khususnya Singapura

atau Malaysia. Berdasarkan pergerakan arus laut secara regional, penurunan

kualitas perairan yang terjadi di Kota Batam akan berdampak lebih luas yang

diperkirakan dapat mempengaruhi kondisi perairan Laut Cina Selatan. Padahal

secara regional banyak negara-negara berkepentingan terhadap kondisi perairan

tersebut khususnya negara-negara yang terletak atau berbatasan langsung dengan

perairan Laut Cina Selatan, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina,

Vietnam, Thailand, Kamboja dan Cina. Sehubungan dengan itu perlu segera

dicarikan beberapa alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi berbagai

permasalahan yang terjadi. Untuk itu, sebagai salah satu altenatif dalam rangka

mengatasi berbagai permasalahan penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut

tersebut perlu disusun strategi pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam.

Kerangka Pemikiran

Kebijaksanaan pemerintah dalam mengembangkan Pulau Batam dan

beberapa pulau di sekitarnya menjadi daerah industri membuat sektor industri di

Kota Batam terus tumbuh dan berkembang. Pengembangan Batam sebagai

kawasan industri selain berdampak sosial-ekonomi, juga berdampak ekologi.

Dampak sosial-ekonomi dapat dilihat dari peningkatan sektor industri yang akan

memacu pertumbuhan ekonomi khususnya di Kota Batam. Sejalan dengan itu,

terjadi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pada

(33)

negatif terhadap lingkungan hidup di Kota Batam khususnya terhadap lingkungan

pesisir dan laut, seperti timbulnya pencemaran pantai/laut, kerusakan ekosistem

pesisir (ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya

produktivitas sumberdaya hayati laut (perikanan laut). Untuk itu diperlukan

adanya strategi pengelolaan yang dapat menekan sekecil mungkin dampak negatif

yang ditimbulkan oleh kegiatan industri dan pengembangannya di Kota Batam.

Kerangka pemikiran sebagai pendekatan dari penelitian ini yang akan

melihat secara utuh dan menyeluruh (komprehensif) dari komponen-komponen

yang terkait dalam rangka untuk mendapatkan solusi terbaik, khususnya dalam

kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir di Kota Batam disajikan dalam

Gambar 1.

Batam sebagai kawasan industri

Kebijakan Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam

Penurunan kualitas perairan pantai

Dampak ekologi

ANALISIS Sosial-ekonomi

Strategi pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam

(34)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan pesisir dan

laut, mengidentifikasi isu dan permasalahan yang ada serta menyusun strategi

pengelolaan lingkungan pesisir berdasarkan pada kajian dampak dari kegiatan

industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lingkungan pesisir

(35)

TINJAUAN PUSTAKA

Dampak Pengembangan Industri

Penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut di wilayah Kota Batam

seperti pencemaran perairan pantai terjadi baik karena gangguan alam maupun

sebagai akibat aktivitas manusia, seperti adanya aktivitas industri yang tidak atau

kurang memperdulikan aspek lingkungan hidup. Banyak aktivitas-aktivitas

manusia yang dilakukan di bagian atas (up stream) baik secara langsung maupun

tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya degradasi lingkungan yang ada di

bagian bawah (down stream), yaitu wilayah pesisir dan laut. Dalam KLH (1993)

disebutkan bahwa pncemaran yang terjadi di perairan pesisir dan laut dapat

bersumber dari limbah berbagai kegiatan manusia di darat (land-based pollution),

yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kegiatan Industri

Dalam kegiatan industri, untuk memproses bahan baku menjadi produk jadi

diperlukan air untuk berbagai keperluan. Air yang sudah tidak terpakai umumnya

tidak dibuang melalui saluran-saluran yang terpisah, akan tetapi semuanya keluar

melalui satu saluran menuju laut. Di Pulau Jawa, industri (besar dan sedang)

merupakan penyebab utama penurunan kualitas sumber daya air. Limbah industri

merupakan 50% dari beban pencemaran daerah aliran sungai yang pada akhirnya

merupakan pula beban pencemaran bagi perairan pantai.

Pencemaran karena kegiatan industri terjadi karena banyaknya industri yang

sampai saat ini belum menggunakan unit pengolahan limbah atau dalam penggunaan

unit pengolahan limbah yang telah ada kurang optimal, sehingga limbahnya masih

mengalir masuk ke sungai dan pada akhirnya ke laut.

Jenis-jenis bahan tambang yang terdapat di Indonesia dan berpotensi

menimbulkan pencemaran sebagai akibat dari penggaliannya dan pengolahannya

antara lain: minyak bumi, batu bara, besi, mangan, timah hitam, timah putih,

(36)

menghasilkan bahan pencemar berupa residu minyak dan bahan-bahan kimia lain.

Selain itu penambangan pasir dan bahan bangunan lainnya mengakibatkan

kerusakan lingkungan fisik pada perairan pantai. Seperti kegiatan pengeboran

minyak selama 20 tahun terakhir ini terjadi 4 kali blow out.

Pertanian

Kegiatan pertanian yang dapat secara langsung menyebabkan pencemaran

adalah penggunaan berbagai macam pestisida. Sisa pestisida dapat terbawa air hujan

dan drainage sawah menuju saluran pengairan, sungai, dan akhirnya bermuara ke

laut.

Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sektor pertanian umumnya

berkisar pada kegiatan pembukaan lahan (land-clearing) dan penggunaan pupuk

serta pestisida yang tidak sesuai dengan ukuran pemakaian yang sebenarnya.

Kegiatan pembukaan lahan dapat mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi di

sungai. Begitu juga penggunaan bahan kimia dalam intensifikasi pertanian sangat

berpengaruh terhadap perubahan populasi biota perairan, yang pada ahkirnya juga

akan berpengaruh pada biota perairan laut karena adanya beberapa jenis kandungan

yang sukar terurai.

Permukiman

Besarnya jumlah penduduk, tingginya tingkat kepadatan penduduk, dan

keanekaragaman intensitas kegiatan penduduk telah memberikan kontribusi cukup

besar terhadap pencemaran lingkungan. Limbah terbesar yang berasal dari

permukiman adalah limbah rumah tangga baik padat maupun cair.

Limbah domestik dari kawasan permukiman pada saat ini merupakan salah

satu sumber pencemar air terbesar di Indonesia, yang disebabkan oleh masih sangat

terbatasnya upaya pengolahan limbah penduduk. Beban pencemaran yang berasal

dari permukiman tergantung kepada pola konsumsi penduduk yang pada akhirnya

(37)

permukiman terjadi karena sampai saat ini belum ada sewage management system

bagi buangan rumah tangga.

Pencemaran yang terjadi di perairan pesisir dan laut Indonesia selain bersal

dari limbah berbagai kegiatan manusia di darat, juga disebabkan oleh pencemaran

yang bersumber dari laut. Adanya kegiatan di perairan Indonesia yang semakin

meningkat seirama dengan pembangunan nasional ditambah dengan tingkat

perkembangan kegiatan pelayaran internasional yang melewati perairan Indonesia

akan memacu terjadinya pencemaran laut. Peningkatan kegiatan ini ditambah

dengan peningkatan kegiatan pembuangan (dumping) di laut merupakan peningkatan

ancaman pencemaran terhadap lingkungan laut baik oleh akibat kegiatan-kegiatan

rutin, kesalahan-kesalahan operasional maupun karena kecelakaan.

Menurut Gesamp (1993) dalam Anna (1999) disebutkan bahwa persentase

terbesar sumber pencemar yang masuk ke laut adalah dari run off yang berasal

dari lahan bagian atas sekitar 44%, emisi pesawat terbang dari lahan atas sebesar

33%, pelayaran/perkapalan dan peristiwa tumpahan minyak sebesar 12%,

pembuangan limbah ke laut sebesar 10% dan kegiatan penambangan minyak dan

gas bumi di lepas pantai sebesar 1%. Sedangkan berdasarkan laporan dari

UNDP/GEF/IMO (1988) diungkapkan bahwa sekitar 60-85% sumber pencemaran

berasal dari kegiatan manusia di daratan dan sisanya berasal dari kegiatan di laut.

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Dalam melakukan pemanfaatan wilayah di kawasan pesisir dan

pulau-pulau kecil seperti di Kota Batam yang dikembangkan menjadi kawasan industri

harus benar-benar memperhitungkan faktor-faktor pembatas yang ada. Menurut

Griffith dan Inniss, 1992; United Nations, 1994 dalam Bengen et al (2002), pulau

kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol, yaitu:

♦ Terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular.

♦ Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil.

♦ Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran.

(38)

♦ Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di batas

luar suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang

sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara.

♦ Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.

Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugus pulau kecil, pemerintah

melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif

yang luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan

pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2 000 km2

hanya dapat digunakan untuk keperluan konservasi, budidaya laut,

kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari,

pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi

non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengolahan

sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen et al,

2002).

Sebagai entitas yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus,

pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah

regional lain khususnya yang ada di daratan pulau besar (mainland) (Bengen et al,

2002).

Dalam hal pemanfaatan pulau-pulau kecil terdapat 2 pandangan yang

antagonistik. Pandangan pertama yang mewakili pihak konservasionis (deep

ecologist), pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi karena

memiliki fungsi ekologis yang penting. Menurut pihak pertama ini, hal paling

utama dari keberadaan pulau-pulau kecil adalah fungsi dan peranan ekosistem

pesisir dan lautan dari pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus

hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nuftah dan sistem

penunjang kehidupan lainnya. Sementara pandangan kedua mewakili pihak yang

mendukung pertumbuhan ekonomi, melihat pulau-pulau kecil sebagai kawasan

yang potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi

kawasan, misalnya pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk perikanan (Bengen et al,

(39)

Terlepas dari dua pihak yang bertentangan di atas, seringkali penentuan

kebijakan pemanfaatan wilayah pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan

menghasilkan dua kemungkinan dampak negatif, yakni 1) tidak berkembangnya

kawasan pulau-pulau kecil akibat kebijakan yang terlalu protektif dan 2) rusaknya

kawasan pulau-pulau kecil akibat terlalu banyak area pulau-pulau kecil yang

dikonversikan menjadi lokasi usaha seperti tambak dan permukiman. Dalam hal

ini penting diambil jalan tengah dimana usaha pengembangan pulau-pulau kecil

dapat ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan pulau-pulau kecil

masih terjaga. Untuk itulah pengetahuan mengenai seberapa besar daya dukung

dari pulau-pulau kecil menjadi hal penting untuk diketahui sehingga konsep

kebijakan pengembangan wilayah dan ekonomi kawasan yang direncanakan,

hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan daya dukung lingkungan

pulau-pulau kecil (Bengen et al, 2002).

Pendekatan arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil secara

berkelanjutan dan berbasis masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pedoman

Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil (SK Menteri Kelautan dan Perikanan

Nomor 41 Tahun 2000) mengkombinasikan tiga pendekatan, yaitu hak, ekosistem

dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugus pulau serta pengelolaan yang sesuai

dengan latar setempat (Bengen et al, 2002).

Pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari akan terwujud

apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu (1) keharmonisan spasial, (2)

kapasiatas asimilasi atau daya dukung lingkungan, dan (3) pemanfaatan potensi

sesuai daya dukungnya. Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana

menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi peruntukan pembangunan

(pemanfaatan sumberdaya) berdasarkan kesesuaian (suitability) lahan (pesisir dan

laut) dan keharmonisan antar pemanfaatan. Keharmonisan spasial mensyaratkan

suatu kawasan pulau-pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi zona

pemanfaatan tetapi juga harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi.

Keharmonisan spasial juga menuntut penataan dan pengelolaan pembangunan

dalam zona pemanfaatan dilakukan secara bijaksana. Artinya suatu kegiatan

pembangunan harus ditempatkan pada kawasan yang secara biofisik sesuai

(40)

suatu analisis kesesuaian lahan bagi setiap peruntukan pesisir dan laut pulau kecil

(Bengen et al, 2002).

Dalam konteks arahan pengelolaan pulau-pulau kecil, kegiatan

pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya diperuntukkan bagi kegiatan berbasis

konservasi. Artinya, pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk berbagai kegiatan yang

bersifat eksploitatif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan di pulau-pulau

kecil. Hal ini mengingat bahwa pulau-pulau kecil memiliki sejumlah kendala dan

karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau-pulau besar

(daratan). Atas dasar karakteristik pulau-pulau kecil maka arahan peruntukan dan

pemanfaatan pulau-pulau kecil adalah kegiatan konservasi, kegiatan perikanan

(budidaya dan tangkap), pariwisata bahari dan pertanian (Bengen et al, 2002).

Dengan melihat pada kondisi wialayah Kota Batam yang terdiri dari

pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kerentanan sangat besar terhadap

perubahan lingkungan maka dalam hal pemanfaatan wilayahnya perlu dilakukan

pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan segenap aspek terkait dari

mulai perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

Konsep pengelolaan wilayah secara terpadu merupakan salah satu syarat

untuk mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Selain itu juga

terdapat kaidah-kaidah yang harus diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan

laut untuk mencapai pembagunan yang optimal dan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu paradigma pemanfaatan

sumberdaya alam yang dapat dijadikan konsep dasar dalam pemanfaatan

sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam Costanza (1991)

disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai

pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa

mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.

Pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh

membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.

Secara garis besar konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut secara

berkelanjutan menurut Bengen (2001) memiliki empat dimensi, yaitu : (1) ekologis,

(41)

a. Dimensi ekologis

Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana

mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang

berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi total

kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah memiliki 4 fungsi pokok bagi

kehidupan manusia, yaitu :

♦ Sebagai jasa-jasa pendukung kehidupan, mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia seperti udara dan air bersih

serta ruang bagi segenap kegiatan manusia.

♦ Penyedia jasa-jasa kenyamanan, berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta

pemulihan kedamaian jiwa.

♦ Penyedia sumberdaya alam, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun sebagai masukan dalam proses produksi.

♦ Penerima limbah, utamanya dari kegiatan manusia hingga terdapat suatu kondisi yang aman dan bersih.

♦ Berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas maka secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan,

yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan

berkelanjutan.

b. Dimensi sosial ekonomi

Mensyaratkan bahwa manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari

kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus

diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk terutama mereka yang

ekonomi lemah guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah.

c. Dimensi sosial politik

Pada umumnya permasalahan lingkungan hidup bersifat eksternalitas,

(42)

kerusakan lingkungan bukanlah pembuat kebijakan melainkan pihak lain serta

permasalahan tersebut biasanya muncul setelah beberapa waktu, tidak langsung

pada waktu itu. Mengingat karakteristik permasalahan tersebut maka

pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana

politik yang demokratis dan transparan yang didukung oleh political will

pemerintah.

d. Dimensi hukum dan kelembagaan

Mensyaratkan adanya pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk

tidak merusak lingkungan. Hal ini dapat tercapai melalui penerapan sistem

peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten serta

penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga negara.

Salah satu syarat utama pembangunan berkelanjutan adalah dilakukan

secara terpadu, rasional dan optimal melalui perencanaan yang matang dengan

memperhatikan daya dukung lingkungan serta kesesuaian wilayah (ruang),

termasuk adanya antisipasi terhadap dampak yang mungkin terjadi.

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki

pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir

dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive

assessment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta

mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang

optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara

kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan

aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik

kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.

Untuk mengetahui langkah-langkah apa yang perlu dilakukan dalam rangka

pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu diantaranya dapat digunakan analisis

SWOT sebagai alat penyusun rencana pengelolaan. Menurut Rangkuti (2004),

analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan

(Strengths) dan peluang (Opportunities), tetapi secara bersamaan dapat

(43)

dilakukan dengan membandingkan faktor-faktor strategis eksternal yang terdiri

dari peluang dan ancaman dengan faktor-faktor strategis internal yang berupa

kekuatan dan kelemahan. Dengan analisis ini, perencanaan pengelolaan dalam

jangka panjang pun dapat disusun dengan menentukan analisis terhadap

strategi-strategi yang dipilih sehingga arah dan tujuan dapat dicapai dengan jelas dan

(44)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2003-Desember 2004di wilayah pesisir Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 2)

Lingkup Kegiatan

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendukung penelitian ini adalah sebagai berikut :

(a) Melakukan pengumpulan data

(b) Mengumpulkan masukan dari beberapa pakar yang berkompeten serta

stakeholder lainnya yang terkait dengan penelitian yang dilakukan;

(c) Melakukan analisis data.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang dilakukan dengan cara berikut:

Data primer

(45)
(46)

Data kualitas air pantai/laut

Data primer kualitas air pada perairan pesisir (pantai) Kota Batam diperoleh dengan melakukan pengambilan sampel kualitas air laut pada stasiun pengambilan yang lokasinya dekat dengan daerah industri serta stasiun yang jauh dari industri untuk mengetahui distribusi pencemaran air laut. Sampel kualitas air laut diambil sekali pada beberapa titik yang dianggap dapat mewakili dari lokasi masing-masing, yaitu di sekitar daerah industri dan jauh dari industri). Beberapa parameter kualitas air laut yang diamati merujuk pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KEPMEN LH) Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (KLH, 2004a) dan KEPMEN LH Nomor 179 Tahun 2004 tentang Ralat atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut (KLH, 2004b).

Data mangrove

Data primer mengenai kondisi mangrove diperoleh melalui pengukuran dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line Transect Plot) yang dilakukan dengan membuat petak contoh. Pada masing-masing lokasi dibuat beberapa petak contoh berupa segi-empat yang masing-masing berukuran 10 m x 10 m. Metode ini dipilih karena menurut KLH (2004c) dinyatakan sebagai salah satu metode pengukuran yang paling mudah dilakukan, namun memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang baik (akurat).

Data terumbu karang

(47)

dengan mengikuti kontur kedalaman. Transek garis diletakkan di atas koloni karang dan dicatat panjang jenis karang yang tepat di bawah roll meter

berdasarkan bentuk pertumbuhannya (life form).

Metode transek garis ini memiliki kelebihan antara lain: akurasi data dapat diperoleh dengan baik, kualitas data lebih baik dan lebih banyak, penyajian struktur komunitas seperti persentase tutupan karang hidup ataupun karang mati, ukuran koloni dan keanekaragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh serta dapat menyajikan secara baik data struktur komunitas biota yang berasosiasi dengan terumbu karang.

Untuk data penunjang lainnya diperoleh baik melalui pertemuan-pertemuan, wawancara dengan pihak-pihak terkait maupun dengan melihat secara visual keadaan di lapangan yang dilakukan pada saat pengambilan data primer di lokasi penelitian.

Data sekunder

Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui beberapa literatur baik dari jurnal, hasil penelitian, hasil survey instansi pemerintah, swasta dan lain-lain. Data yang dikumpulkan meliputi data kualitas air laut, ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang), sumberdaya ikan, sosial-ekonomi masyarakat nelayan, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundang-undangan terkait.

Analisis Data

(48)

perlindungan terhadap mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut. Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut (Bapedal, 2001).

Analisis kondisi kualitas air laut

Analisis kondisi kualitas air laut dilakukan berdasarkan data primer dan data sekunder. Untuk mengetahui nilai dari masing-masing parameter kualitas air laut yang diamati, khususnya dari data primer yang diperoleh dari contoh (sample) kualitas air yang diambil dari perairan pantai/laut Kota Batam, terlebih dahulu dilakukan analisis di laboratorium Sucofindo Batam. Selanjutnya untuk mengetahui kondisi kualitas air di perairan tersebut digunakan analisis kualitas air/laut dengan metode STORET (Canter, 1977), dengan mengacu pada KEPMEN LH Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air (KLH, 2003).

(49)

Tabel 1 Penentuan skor untuk tiap parameter kualitas air dengan metode STORET

Jumlah keseluruhan dari skor yang diperoleh (untuk seluruh parameter yang diamati) akan menunjukkan tingkat kualitas air, kemudian dengan menggunakan sistem nilai dari US-EPA (Environmental Protection Agency) diklasifikasikan tingkat kualitas air dalam empat kelas (Tabel 2).

Tabel 2 Klasifikasi tingkat kualitas air beserta kelasnya berdasarkan sistem nilai dari US-EPA.

Total skor Tingkat Kualitas Kelas Keterangan

0 Baik sekali A Memenuhi baku mutu

-1 sampai dengan -10 Baik B Tercemar ringan

-11 sampai dengan -30 Sedang C Tercemar sedang

< -30 Buruk D Tercemar berat

Sumber: KLH (2003)

Analisis kondisi ekosistem pesisir

Kondisi ekosistem pesisir dibedakan dalam 2 (dua) kategori berdasarkan status mutunya sebagai berikut:

♦ Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan

sebagai lingkungan laut yang status mutunya pada tingkatan baik.

(50)

Untuk mengetahui kondisi ekosistem pesisir dilakukan analisis berdasarkan data primer dan data sekunder untuk mangrove dan terumbu karang, sedangkan untuk padang lamun hanya dilakukan berdasarkan data sekunder karena pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan langsung.

Mangrove

Status kondisi mangrove menggambarkan tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove, dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot), yang merupakan metode pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan pada beberapa petak contoh berupa segi-empat yang masing-masing berukuran 10 m x 10 m.

Analisis data mangrove menggunakan metode yang dijelaskan dalam English et al (1994) dan untuk menentukan kondisi mangrove dilakukan berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove (KLH, 2004c). Kriteria Baku Kerusakan Mangrove adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati mangrove yang dapat ditenggang.

Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ditetapkan berdasarkan persentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup, dimana kriteria ini merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam kategori baik (sedang-sangat padat) dan rusak (jarang) seperti disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria baku kerusakan mangrove

Gambar

Gambar 1.
Tabel 4  Jenis data dan tingkat keragaman jenis mangrove
Tabel 8 Matrik analisis SWOT
Tabel 10  Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Batam dari tahun 1993-2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tahapan pelaksanaan program kampung tematik di Kota Semarang dimulai dari tahun 2016 (32 kelurahan, Tahun 2017 (80 kelurahan) dan Tahun 2018 (65 kelurahan) dengan

Rumah Sakit Daerah Sibuhuan merupakan salah satu rumah sakit milik pemerintah kota Sibuhuan, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Sebagai institusi yang menyediakan

Begitu juga dalam peringkat yang kedua, di mana persepsi pelajar serta kepuasan pelajar telah mempengaruhi perubahan tingkah laku pelajar untuk terus menggunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Hasil uji sitotoksisitas memperlihatkan bahwa ekstrak metanol tidak bersifat

Visi pembangunan nasional seperti dirumuskan dalam GBHN adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera, yang

Bilangan yang tepat untuk mengisi titik-titik di atas adalah.. Di dalam keranjang ada 11 buah mangga dan 6

[r]

4 004/KJ/13 JHONSON RADIANTO Lulus A PT CHEVRON INDONESIA COMPANY Sudah Jadi.. 5