• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep pemikiran idah bagi laki-laki serta relevansinya dengan perkembangan reformasi hukum keluarga di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep pemikiran idah bagi laki-laki serta relevansinya dengan perkembangan reformasi hukum keluarga di Indonesia"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN

REFORMASI HUKUM KELUARGA

DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Andini Hafizhotin Nida NIM : 107044102645

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

i

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Andini Hafizhotin Nida NIM : 107044102645

Di Bawah Bimbingan

Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)

ii

Skripsi berjudul KONSEP PEMIKIRAN IDAH BAGI LAKI-LAKI SERTA RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN REFORMASI HUKUM KELUARGA DI INDONESIA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA NIP. 196906102003122001

3. Pembimbing : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 195505051982031012

4. Penguji I : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA NIP. 19760807200312001

(4)

iii

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,1 Juni 2011

(5)

iv

Puji syukur ke hadirat Allah swt., yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga akhirnya penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Konsep Pemikiran Idah Bagi Laki-Laki Serta Relevansinya dengan

Perkembangan Reformasi Hukum Keluarga di Indonesia ". Salawat dan salam

semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah membimbing pada jalan kebenaran.

Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun tidak dapat menafikan motivasi dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sekaligus sebagai dosen pembimbing skripsi.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MH., Ketua Program Studi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sekaligus sebagai dosen penasehat Akademis.

3. Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(6)

v

penuh keikhlasan, membantu penulis baik moril maupun materil, adik dan kakak tercinta Noviyan Fajri dan Andika Irhamy, S.sos.I.

7. Keluarga tercinta yang senantiasa memberi motivasi dan dukungan kepada penulis Wa Titi, Wa Mpi yang tulus telah mendukung dengan segenap kasih sayang dan bantuan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini, kakek tercinta Kunyadi, Seluruh sepupu penulis Mba Erlyn, Mas Ari, Mas Erwyn, Mas Deny, Mba Nur, Ka Ipu, dan seluruh keponakan-keponakanku yang telah menghibur dengan senyuman manis dan canda tawanya.

8. Sahabat-sahabat penulis, Nurul Hikmah alias Ocet, Yossi Febrina (tante

mo’moi), teteh Ade Uswatul Jamiliyah, juga Sari Eka Lestari Putri (Tamara)

dan segenap teman-teman penulis yang selalu membantu dan memberikan motivasi.

9. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2007 khususnya kelas A, dan juga kelas B.

(7)

vi

dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan besar hati.

Harapan penulis semoga karya yang sederhana ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi para pihak dan penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik mereka diterima oleh Allah swt. Amin.

Billahi taufik wal hidayah

Wallahu a’lam bish-shawwab

(8)

vii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ... vii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG IDAH ... 14

A. Pengertian Idah ... 14

B. Dasar Hukum Idah ... 16

C. Macam-macam Idah ... 22

D. Tujuan dan Hikmah Idah ... 28

BAB III : BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KEMUNGKINAN IDAH BAGI LAKI-LAKI ... 32

A. Pendapat Ulama Tafsir dan Fikih Tentang Idah... 32

B. Pemikiran Idah Bagi Laki-Laki ... 48

C. Relevansi Idah Laki-Laki Dengan Reformasi Perkembangan Hukum Keluarga di Indonesia ... 55

(9)

viii

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 77

(10)

1

Islam merupakan perangkat aturan yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. yang di dalamnya terdapat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam dan hubungan dengan Allah. Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu dari ketentuan-ketentuan hukum Islam yaitu mengenai ikatan kekeluargaan dari awal terbentuknya sampai kepada tujuan ikatan pernikahan. Pernikahan merupakan proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh umat manusia, karena pada saat mereka lahir sampai tahap kedewasaan akan muncul untuk menjalin ikatan dengan lawan jenisnya sebagai tujuan dari keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 2 menyatakan bahwa

pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiizhan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah,1 dan tujuan pernikahan tertuang dalam pasal 3 yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. UU perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami

1

(11)

istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Dengan melihat maksud utama dari pernikahan itu sendiri, maka haruslah ada aturan main yang harus dijaga dan difahami akan makna dari pernikahan dan menjaga suatu hubungan yang dapat berimbas dan berpengaruh pada suatu hubungan yang telah dijaga atas nama cinta.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, setiap orang berhak melaksanakan suatu perbuatan dengan tentram, aman dan damai dengan tidak mendapat gangguan dari pihak manapun, maka perlu ada suatu tata (orde, ordenung) yaitu aturan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya. Dengan demikian, kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin, setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Tata atau aturan-aturan yang demikian itu lazim juga disebut kaidah atau norma.2

Adapun yang termasuk macam-macam norma ialah norma agama, hukum dan kesusilaan. Norma yang dimaksud dalam hal ini adalah norma hukum yang bersumber kepada: a). Undang-undang, b). Kebiasaan (custom), c). Keputusan-keputusan (yurisprudensi), d) Traktat (treaty).3

Dalam hal perkawinan, seorang muslim wajib berpedoman kepada hukum syarak yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan, dilarang dan

2

Mufti Wiriadihardja, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, cet.Pertama, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1972), h. 6.

3

(12)

dibolehkan. Pernikahan yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya dilakukan untuk selama-lamanya sampai matinya salah seorang suami atau istri, namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya pernikahan itu dalam arti bila hubungan pernikahan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini, Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan atau perceraian dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.4

Ajaran agama Islam mengajarkan bahwa ikatan perkawinan harus dipertahankan dan segala usaha harus dilakukan untuk menjaga agar keutuhan rumah tangga dapat dipertahankan. Namun, apabila semua harapan kasih sayang telah musnah, perkawinan menjadi suatu yang membahayakan sehingga timbul saling membenci, saling tidak mempercayai, dan saling tidak menyukai, maka untuk kepentingan kemaslahatan5 suami istri dan masyarakat disyariatkan adanya perceraian. Allah mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan.6

Konsekuensi dari putusnya suatu hubungan perkawinan tentunya mempunyai ketentuan yang berlaku bagi kedua pasangan tersebut, dalam hal ini, konsekuensi yang berlaku bagi seorang istri berupa idah, istilah idah itu sendiri berasal dari kata

4

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet.II (Jakarta: Kencana, 2007), h. 190.

5

Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’at, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 5. 6

(13)

kerja ‘adda ya’uddu yang artinya kurang lebih al-ihshâ`, hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung.7 Dari sudut bahasa, kata idah biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan.

Perempuan yang beridah dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, perempuan yang beridah karena ditinggal mati oleh suaminya. Kedua, perempuan yang beridah bukan karena ditinggal mati oleh suaminya, untuk lebih jelas dan terperinci, pembahasan mengenai hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya dalam penulisan skripsi ini.

Mengenai idah, aturan tersebut telah diatur dalam Alquran. Idah merupakan suatu perbuatan yang wajib di jalani oleh seorang istri ketika telah putus hubungan pernikahannya, baik di sebabkan perceraian ataupun kematian.8

Ketentuan Alquran tentang idah ini adalah suatu ketentuan yang mutlak harus diikuti, karena inilah syariat yang diturunkan kepada manusia untuk kemaslahatan mereka di dunia dan keselamatan mereka di akhirat kelak. Ketentuan-Nya ini tentu saja tidak dapat diubah.

Praktek idah yang diatur dalam Islam sebenarnya dilakukan dan dikenal sejak masa jahiliah, pada saat itu, mereka hampir tidak pernah meninggalkannya, lalu

7

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, jilid.VII (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), h. 624.

8

(14)

ketika Islam datang, Islam mengakui dan menerapkan idah ini, melihat banyaknya maslahat yang tesimpan dalam pensyariatan idah itu sendiri.9

Mengenai idah yang berarti waktu menunggu bagi mantan istri yang telah diceraikan oleh mantan suaminya, baik itu karena talak atau diceraikannya. Ataupun karena suaminya meninggal dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri belum boleh melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain,10 idah merupakan suatu kewajiban bagi perempuan dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang termaktub pada pasal 153

yaitu “Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku masa idah, kecuali

qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”.11

Dalam perkembangan zaman yang terus berkembang dan ilmu pengetahuanpun begitu pesat perkembangannya, ternyata dewasa ini timbul suatu pemikiran yang dapat dikatakan baru, yaitu perlunya ada idah bagi laki-laki, hal ini lahir karena tujuan demi keadilan. Bukti nyata dari pemikiran tersebut yaitu dengan lahirnya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) yang merupakan tandingan Kompilasi Hukum Islam (KHI), di dalamnya membahas tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan.

9

Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid III. Penerjemah: M.Ali Nursydi, Hunainah dan M thohir Makmun. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), h. 7.

(15)

Perkembangan pemikiran tersebut tentunya hal yang wajar mengingat Indonesia yang merupakan negara mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, tentu harus memiliki suatu peraturan yang dapat memberikan kenyamanan bagi rakyatnya, oleh karena itu, maka tidak salah perkembangan pemikiran tentang hukum berkembang pesat sehingga terjadi suatu reformasi hukum dari masa ke masa, hal ini dapat dilihat dari upaya pembaharuan hukum keluarga yang sudah dimulai sejak 1950-an. Namun upaya kongkrit pembaharuan hukum keluarga di Indonesia dimulai kembali pada tahun 1960-an yang berujung dengan lahirnya Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, inilah UU pertama yang mengatur tentang perkawinan secara nasional. Pembaharuan hukum tentang keluarga kemudian mengalami perubahan dengan disahkannya KHI yang menjadi pedoman bagi umat Islam di Indonesia yang materinya mencakup perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Hal tersebut sesuai dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 dan digunakan sebagai pedoman resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama di seluruh Indonesia.12

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan timbulnya pembaharuan hukum di Indonesia, antara lain:

1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap masalah yang baru terjadi sangat mendesak untuk diterapkan.

12

(16)

2. Pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya. 3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang pada

hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.

4. Pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang dilakukan oleh para mujtahid baik tingkat nasional maupun tingkat Internasional.13

Perlu diingat bahwa perubahan hukum itu sendiri tidak terlepas dari adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu, perubahan ini sejalan dengan teori qaul qadim dan qaul jadid yang dibuat oleh Imam Syafi‟i. Dari hal ini, maka tidak heran belakangan ini reformasi hukum di Indonesia sesuai dengan waktu dan keadaan dapat berubah, tentunya pandangan tersebut dikuatkan dengan faktor sosial yang membutuhkan perubahan tersebut, maka tak heran berkembang pemikir-pemikir baru saat ini yang berusaha untuk mengamandemen KHI karena dalam KHI secara eksplisit menempatkan perempuan hanya objek seksual dan meneguhkan subortasi perempuan.14

Terjadinya pemikiran seperti itu mengakibatkan lahirnya suatu pemikiran yang baru dengan ditandai lahirnya gagasan untuk mengamandemen KHI sampai akhirnya lahirlah Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) sebagai bentuk pembaharuan hukum keluarga yang mengangkat hak dan martabat kaum

13

Ibid., h. 155. 14

(17)

perempuan. Dengan lahirnya CLD-KHI, maka hal tersebut menjadi satu titik perubahan hukum dalam tatanan hukum keluarga Islam yang kemudian pengaruh dari hal tersebut menjadi cita-cita untuk bisa dijadikan Undang-undang yang digunakan.

Di Indonesia sendiri tercatat salah satu ilmuan yang mengharapkan perubahan tatanan hukum keluarga, dalam hal ini adalah Siti Musdah Mulia yang berperan aktif memperjuangkan pembenahan hukum keluarga itu sendiri, hal ini terlihat dari usahanya membuat peraturan-peraturan hukum yang tertuang dalam CLD-KHI, tentu banyak tawaran dalam aturan tersebut, namun dalam skripsi ini hanya membahas yang berkaitan dengan idah bagi laki-laki yang dalam CLD-KHI diatur dalam pasal 88 yang dalam peraturan mengenai idah dijelaskan bahwasanya (1) bagi suami atau istri yang yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh pengadilan agama berlaku masa transisi atau idah.15

Dari penjelasan di atas, maka penulis akan membahas lebih dalam lagi mengenai pemikiran idah bagi laki-laki serta apakah pemikiran tersebut dapat mempengaruhi perkembangan hukum yang semakin mengalami kemajuan, khususnya hukum keluarga yang berlaku bagi setiap masyarakat muslim di Indonesia yang merupakan penduduk mayoritas di negara ini. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tuangkan pembahasan tersebut dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi yang berjudul “Konsep Pemikiran Idah Bagi Laki-Laki Serta

15

(18)

Relevansinya Dengan Perkembangan Reformasi Hukum Keluarga Di

Indonesia”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembahasan tentang idah sangatlah luas, oleh karena itu pembahasan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini terfokus hanya dalam pembahasan idah bagi laki-laki.

2. Rumusan Masalah

Idah yang di tetapkan bagi wanita tentunya telah diatur dalam undang-undang yang berlaku, khususnya di Indonesia yang termaktub dalam KHI, namun perkembangan pemikir dan ilmuan-ilmuan yang eksis di bidang hukum mengalami pergeseran pemikiran. Dalam hal ini, pemikiran tentang kewajiban idah bagi laki-laki tentunya merupakan pemikiran yang baru dan sangat menarik untuk dibahas, oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis akan mengangkat hal tersebut dan menggali lebih dalam akan permasalahan tersebut. Untuk memperjelas pemasalahan, penulis merincinya dengan mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah konsep idah bagi laki-laki?

(19)

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Untuk mendeskripsikan konsep idah bagi laki-laki

b. Untuk memberikan gambaran relevansi pemikiran idah bagi laki-laki dengan perkembangan reformasi hukum keluarga di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Menambah wawasan keilmuan dan lebih kritis dalam menerima ide-ide baru.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca, terutama para ahli hukum, terutama hukum Islam.

D. METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Metode Penelitian

(20)

diaplikasikan model pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis.16

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan adalah data primer, yaitu Kompilasi Hukum Islam dan referensi terkait dengan pembahasan, yaitu Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indoneis. Dalam Sulistyowati Irianto (ed) Perempuan dan Hukum menuju hukum yang berpersfektif kesetaraan dan keadilan.. Penulis juga mendapatkan data melalui studi kepustakaan dengan cara membaca kitab-kitab, buku-buku, dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, dan terakhir penulis juga menggunakan data tersier, yaitu pengumpulan data yang didapat dari internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan variabel yang akan diteliti, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah library research (penelitian pustaka). Data-data yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini didapat dari sumber-sumber yang terdapat di perpustakaan, penulis juga memperolehnya melalui data-data di internet, serta jurnal yang membahas penelitian terkait.

4. Pedoman Penelitian

(21)

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi

tahun 2008” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dengan beberapa pengecualian sebagai berikut:

a. Dalam daftar pustaka, Alquran ditempatkan pada urutan pertama

b. Terjemahan Alquran dan Hadis ditulis 1/2 spasi walaupun kurang dari enam baris.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah pembahasan skripsi dan agar lebih sistematis dan konprehensif sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB Pertama Berisi pendahuluan sebagai pengantar yang mengarahkan pembahasan. Memuat latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB Kedua Berisi arah pembahasan, maka tahapan selanjutnya penulis mengenalkan lebih dekat tentang objek dari pembahasan ini. Pada bab ini memuat tentang pengertian idah, dasar hukum idah, macam-macam idah serta hikmah dari idah itu sendiri.

(22)

dengan membahas mengenai pemikiran idah bagi laki-laki, relevansi idah bagi laki-laki dengan reformasi perkembangan hukum keluarga di Indonesia dan diakhiri dengan penolakan terhadap gagasan idah bagi laki-laki.

(23)

14

TINJAUAN UMUM TENTANG IDAH

A. Pengertian Idah

Idah merupakan keharusan menunggu bagi seorang istri yang diakibatkan oleh putusnya suatu hubungan perkawinan dengan suaminya atau karena ditalak dan karena ditinggal mati oleh suaminya. Keharusan idah bagi wanita yang telah ditalak atau ditinggal mati oleh suami merupakan perintah Allah yang wajib dijalani oleh para wanita.

Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai pengertian idah ini, maka penulis mencoba mengungkapkan dan menyajikan dari dua segi, yaitu segi bahasa dan segi istilah.

1. Dari Segi Bahasa

Sebelum membahas lebih jauh mengenai idah tersebut, maka terlebih dahulu penulis mengemukakan pengertian idah ditinjau dari segi bahasa, secara bahasa idah

merupakan jamak dari

(

ٌدَدَع

)

yang mempunyai arti jumlah atau sejumlah.1

1

(24)

Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, idah berasal dari kata (

ّدع

) yang berarti menghitung.

2 Dengan demikian, jika ditinjau dari segi bahasa,

maka kata idah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada wanita.3

2. Dari Segi Istilah

Mengenai pengertian idah dari segi istilah, para ulama telah mendefinisikan hal tersebut ke dalam beberapa definisi, antara lain:

Menurut Utsman bin Muhammad Satta dalam kitabnya Hasiyat i‟anat al -talibin mendefinisikan pengertian idah secara istilah sebagai berikut:

“ Idah menurut istilah ialah sesuatu yang maknanya tidak bisa di logikakan, apakah

sebagai ibadah atau yang lain dan karena kedukacitaan istri atas suami yang

meninggal”

Sayyid Sabiq mendefinisikan idah secara istilah dalam kitab Fiqh Sunnah, sebagai berikut:

5

2

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzuriyah,1989), h. 256.

3

Chuzaemah Tahido Yanggo, dkk, Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.Pertama (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), h. 149.

(25)

“ Nama untuk masa wanita untuk menunggu dan terlarang untuk menikah setelah

suaminya meninggal atau bercerai”

B. Dasar Hukum Idah

Setelah membahas masalah idah dari segi pengertian, maka di bawah ini penulis akan membahas dasar hukum idah yang mengacu pada dalil naqli guna memperjelas tentang idah itu sendiri.

1. Dasar dari Al Qur'an

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah (2): 228)

2. Dasar dari Hadis

(26)

Artinya :“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Saibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar ia berkata : aku mentalak isteriku dalam keadaan haid kemudian Umar menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda

“Perintahkan kepadanya (Ibnu Umar) supaya kembali kepada isterinya sehingga suci kemudian haid kemudian suci lagi, kemudian apabila ia ingin mentalaknya hendaklah ia mentalak sebelum berhubungan dengannya, apabila tetap ingin bersamanya, maka hendaklah bersamanya. Itulah idah yang diperintahkan oleh Allah”. (HR Ibn Majah).

Dasar hukum yang bersumber dari hadis Rasul saw. tentang idah bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya yaitu:

Artinya: “Telah bercerita kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata : aku membacakan hadis dihadapan Malik dari Abdullah bin Abi bakr dari Humaid bin

Nafi’ dari Zainab binti Abi Salamah bahwa Zainab telah meriwayatkan hadis ini.

Humaid bin Nafi’ berkata bahwa Zainab pernah berkata “aku bertemu dengan Umi

6

Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwini Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz.I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 651.

7

(27)

Haibah isteri Nabi ketika ayahnya meninggal ayahnya (Abu Tsufyan)dst. Kemudian

Umi Habibah berkata “aku mendengar Rasulullah bersabda di atas mimbar “tidak

halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir meratapi mayit

lebi dari tiga hari kecuali atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari”. (HR Muslim)

8

Artinya : Telah bercerita kepada kami Yahya ibn Khaza’ah: telah bercerita kepada kami Malik dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya, dari Miswar putera Makhramah:

“Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra. melahirkan setelah suaminya meninggal dunia

beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin untuk kawin,

maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” (HR. Bukhari).

Dari beberapa dasar diwajibkannya idah di atas menjadi suatu pijakan dalam memahami dan menjalankan aturan sesuai dengan aturan yang berlaku. Di Indonesia sendiri aturan mengenai idah tersebut telah diatur dalam suatu peraturan formal yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan tentunya aturan tersebut bersumber dari dalil-dalil Alquran ataupun Hadis, peraturan tersebut penulis akan bahas lebih lanjut pada bahasan di bawah ini.

3. Dasar Hukum Positif

Perundang-undangan hukum Indonesia, khususnya dalam Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Telah

8

(28)

memberikan klasifikasi dengan tidak menyebut suatu istilah tertentu yang dipergunakan, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa materi dari Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya merupakan cuplikan yang diambil dari norma masing-masing agama di Indonesia yang didominasi oleh aturan-aturan yang digariskan dalam syariat Islam.

Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinan.9 Selanjutnya atas dasar pasal 11 Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditetapkan waktu tunggu sebagai berikut:

Ayat (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.10

Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab VII pasal 39. Pada pasal 153 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan dalam menentukan waktu tunggu sebagai berikut :

Ayat (1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau idah kecuali qobla dhukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

9

K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet.IV, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1978), h. 20.

10

(29)

Sama halnya dengan yang di atur dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu idah. Sementara itu, apabila perkawinan putus karena khulu, fasakh, atau li‟an11, maka waktu tunggu seperti idah talak. Sedangkan apabila seorang istri tertalak raj‟i kemudian di dalam menjalani masa idahnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 153 ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) ditinggal mati oleh suaminya, maka idahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai penghitungannya pada pada saat matinya mantan suaminya tersebut. Adapun masa idah yang telah berjalan pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung pada saat kematian. Karena hal tersebut dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami masih berhak merujuknya selama masih dalam masa idah. Karakteristik masa idah tersebut, merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa idah dalam hukum perkawinan Islam.12

4. Keharaman Untuk Melakukan Perkawinan Selama Masa Idah

Untuk memperjelas pengertian tersebut di atas, dapat dikemukakan hasil Tim Departemen Agama RI yang merumuskan bahwa idah menurut pengertian hukum Islam ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syarak. Hukum syarak yang dimaksud disini adalah pengertian hukum syarak menurut istilah fuqaha, yaitu:

11

Khulu adalah cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri. Sedangkan fasakh adalah putus karena salah satu dari salah satu istri atau suami murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak

dibenarkan kawin dan li‟an yaitu menuduh istri melakukan perzinaan.

12

(30)

13 .

Artinya: Adapun hukum syarak menurut istilah fuqaha ialah pengaruh yang dikehendaki oleh kitab Syari' (Tuhan) terhadap suatu perbuatan seperti kewajiban,

larangan dan kebolehan.

Bertolak dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas dapat dirumuskan bahwa idah menurut pengertian dalam hukum Islam adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syarak bagi wanita (istri) untuk tidak melakukan akad nikah baru dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pengaruh akibat hubungan antara mantan suaminya itu serta sebagai nilai ibadah kepada Allah swt.

Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 akan kita ambil pengertian yang sifatnya sudah cukup tegas. Hal ini disebabkan karena definisi waktu tunggu idah itu sendiri sudah diulas secara konkrit dan jelas.

Idah yang berarti tenggang waktu di mana janda bersangkutan tidak boleh kawin bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan tujuan untuk menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil. Dan juga sebagai masa berkabung bila suami yang meninggal dunia dan untuk menentukan masa rujuk bagi

13

(31)

suami bila talak itu berupa talak raj‟i.14 Pemahaman ini diinspirasikan secara implisit oleh pasal-pasal yang berhubungan dengan masalah idah itu sendiri, yaitu pasal 11 Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dengan demikian, pengertian idah adalah masa tenggang waktu atau tunggu sesudah jatuhnnya talak. Di dalam waktu idah itu, bekas suami diperbolehkan untuk merujuk kepada bekas istrinya. Atas dasar inilah istri tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.15

C. Macam-macam Idah

Mengenai macam-macam idah atau waktu tunggu secara spesifikasi, maka macam-macam idah itu antara lain ialah :

1.Idah Perempuan yang Haid

Jika perempuannya bisa haid, maka idahnya tiga kali quru. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 228. Secara zahir, ayat tersebut dengan tegas mengatur tentang idah bagi istri yang diceraikan oleh suaminya. Sedangkan bagi istri yang belum pernah disetubuhi oleh suami yang mentalaknya, maka bagi istri tersebut tidak mempunyai masa idah. Sedangkan istri yang ditinggal suami dan pernah bersetubuh, maka ia harus beridah seperti idah orang yang disetubuhi, hal ini berdasar firman Allah swt. yang berbunyi sebagai berikut :

14 Arso Sostroatmodjo,

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.III (Jakarta: Bulan Bintang 1981), h. 80.

15

(32)

Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al Baqarah (2): 234)

Wajib idah bagi istri tersebut dimaksudkan untuk menghormati bekas suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq sebagai berikut : istri yang ditinggal karena kematian suaminya wajib idah sekalipun belum pernah disetubuhi, hal ini untuk menyempurnakan dan juga untuk menghargai hak suami yang meninggal dunia.16 Istri yang telah dicerai dalam keadaan masih haid harus menjalani idah (waktu tunggu) selama 3 (tiga) kali suci dan bila di harikan minimal 90 (sembilan puluh) hari. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975.

2. Idah istri yang tidak berhaid

Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya atau ditinggal mati oleh suaminya, maka mereka (istri) beridah selama 3 bulan. Ketentuan ini berlaku bagi perempuan yang belum baligh dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid sebelumnya atau kemudian berhaid

16

(33)

akan tetapi putus haidnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :

Artinya: Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga

bulan; dan begitu juga perempuan-perempuan yang tidak haid.(QS:at-Talaq (45): 4) Sedangkan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, aturan idah bagi wanita yang tidak haid, maka idah yang harus dijalani bagi wanita tersebut (istri) masa tunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Ini sejalan dengan pasal 153 Kompilasi Hukum Islam bagian kedua mengenai pengaturan masa tunggu ayat (2) sub (b) yang berbunyi sebagai berikut :

“Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu yang masih haid ditetapkan tiga (3) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilanpuluh) hari, dan bagi yang tidak haid di tetapkan 90 (sembilanpuluh) hari ”.17

3. Idah istri yang telah disetubuhi

Idah istri yang telah disetubuhi masih haid dan ada kalanya tidak berhaid lagi. Masa idah yang masih haid adalah selama 3 kali quru sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surat al-Baqoroh ayat 228 yang telah disebutkan di atas.

17

(34)

4.

Idah perempuan hamil

Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suami dan sedang hamil, idahnya sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat at-Talaq ayat 4 sebagaimana yang telah ditulis di atas. Istri tersebut harus menjalani masa tunggu yakni sampai ia melahirkan bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 135, ayat (2), sub (c), yang berbunyi sebagai berikut :

“Apabila perkawinan putus karena perkawinan sedang janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”.18

5. Idah perempuan yang suaminya meninggal dunia

Idah wanita yang ditinggal mati suaminya dan ia dalam keadaan tidak hamil, maka lama idahnya ialah 4 bulan 10 hari, ini berdasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 234 yang telah disebutkan di atas.

6. Idah Perempuan Yang Suaminya Hilang

Jika seorang istri yang ditinggal pergi oleh suaminya dan tidak pernah kembali serta tidak pula ada kabar yang jelas mengenai keberadaan suaminya, maka wanita itu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain sampai wanita tersebut benar-benar meyakini kematian suaminya tersebut, atau meyakini bahwa talak telah dijatuhkan oleh suaminya.19

Mengenai pembahasan tentang masalah ini, para ulama mazhab berbeda pendapat. Berikut penulis uraikan beberapa perbedaan mengenai penjelasan tentang suami hilang yang dalam istilah fikih disebut dengan suami mafqud.

18

Ibid., h. 47. 19

(35)

Ada dua macam hilangnya suami. Pertama, ketidak beradaannya tidak terputus (hubungan dengan istri) sama sekali, artinya suami tersebut diketahui tempatnya dan masih diketahui kabar beritanya. Dalam hal ini, seluruh ulama mazhab sepakat bagi wanita tidak boleh menikah dengan lelaki lain. Kedua, suami tidak diketahui kabar beritanya dan tidak diketahui tempat tinggalnya. Mengenai pendapat yang kedua, para ulama berbeda pendapat dalam kaitannya dengan istri, pendapat-pendapat para Imam Mazhab mengenai hal tersebut antara lain:

 Imam Abu Hanifah mengatakan istri laki-laki yang tidak ada kabar beritanya

tersebut tidak halal kawin lagi sampai ia melewati waktu yang lazimnya suaminya dinyatakan tidak mungkin masih hidup yang dibatasi dengan waktu seratus dua puluh tahun lagi. Apabila suaminya muncul kembali, sedangkan wanita tersebut sudah bersuami lagi, maka perkawinannya dengan suami yang kedua menjadi batal dan statusnya kembali menjadi istri dari suami yang pertama.

 Imam Malik mengatakan wanita itu harus menahan diri selama empat tahun,

(36)

mahar pada suami pertama. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik yaitu:

20

Artinya: “Dari Umar r.a. tentang seorang istri yang kehilangan suaminya “ia harus

menunggu selama empat tahun, kemudian ia menjalani masa idah selama empat

bulan sepuluh hari.” (HR.Malik dan asy-Syafi‟i)

 Sementara itu menurut Imam Syafi‟i dalam qaul jadidnya mengatakan, istri

laki-laki yang tidak ada kabar beritanya tersebut tidak halal kawin lagi sampai dia melewati waktu yang lazimnya suaminya dinyatakan tidak mungkin masih hidup, dalam hal ini Imam Syafi‟i membatasi dalam hitungan waktu sepuluh tahun. Apabila suaminya muncul kembali, sedangkan wanita tersebut sudah bersuami lagi, maka perkawinan dengan suami yang kedua menjadi batal dan statusnya kembali menjadi istri dari suami yang pertama. Pendapat Imam Syafi‟i ini sesuai dengan sabda Rasullulluah saw. sebagai berikut:

.

21

Artinya: “Istri orang yang hilang adalah istrinya sehingga datang penjelasan

tentangnya”.

Imam Ahmad bin Hambal mengatakan istri laki-laki yang tidak ada kabar

beritanya tersebut tidak halal kawin lagi sampai dia melewati waktu yang

20

Ibnu Hajar al-Asqalani. Terjemah lengkap Bulugul Maram, cet.Pertama. Penerjemah: Abdul Rosyad Siddiq (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2007), h. 511.

21Hadis dari Mughirah bin Syu‟bah r.a. hadist ini diriwayatkan oleh ad

(37)

lazim yang dinyatakan suaminya masih hidup, Imam Ahmad bin Hambal memberikan batasan waktu sepuluh tahun. Apabila wanita itu belum dicampuri oleh suami barunya, maka ia masih tetap istri suaminya yang pertama, tapi apabila sudah dicampuri maka persoalannya berada ditangan suaminya. Bila suami pertama mau dia dapat mengambilnya dari suami barunya, tapi dia dapat mengambil mahar dari suami baru itu.22

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai suami mafkud atau hilang, hal tersebut diatur pula dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengatur dan menjelaskan apabila hal tersebut terjadi, maka wanita dapat menggugat cerai suaminya, sebagaimana yang tertera dalam pasal 116 huruf (b) yaitu:

“Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.”23

D. TUJUAN DAN HIKMAH IDAH

Dalam menetapkan suatu aturan bagi manusia, Allah menciptakan segala sesuatu tentu ada manfaat dan ada hikmah dibalik aturan tersebut, begitu juga dengan idah, kewajiban bagi wanita (istri) untuk beridah didalamnya terkandung manfaat dan hikmah bagi wanita tersebut, berikut adalah manfaat dan hikmah idah:

22

Muhammad Jawad Mughiyah, Fiqih Lima Mazhab, Cet. XV (Jakarta: Lentera, 2005), h. 474.

23

(38)

Salah satu tujuan dalam beridah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari bibit yang ditinggalkan mantan suamiya. Pendapat ini telah disepakati oleh para ulama. Para ulama berpendapat demikian berdasarkan dua alur pikir yaiyu:

1. Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit orang yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan tentang anak yang akan dikandung oleh wanita tersebut (istri), untuk menghindarkan pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih dari peninggalan suaminya.

2. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak kecuali haid dalam masa itu. Untuk itu diperlukan masa tunggu.24

Tujuan idah yang kedua yaitu memberikan kesempatan kepada kedua suami istri untuk membangun rumah tangga kembali (rujuk), bila menurut mereka hal itu lebih baik.25

Apabila seseorang bercerai dengan suami atau istrinya, maka ia akan merasakan adanya berbagai perubahan dalam kebiasaan hidupnya. Sebelumnya

24

Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 305.

25

(39)

seorang laki-laki senantiasa dilayani, tetapi ketika ia berpisah dengan istrinya, kebiasaan-kebiasaan itu tidak didapatkan atau ditemukannya lagi, begitu pula bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya. Sehingga saat-saat inilah yang dapat digunakan untuk berpikir keras, menimbang-nimbang buruk baiknya bercerai itu.

Seorang janda dapat lebih leluasa menyatakan kemauannya untuk bisa kawin lagi, karena dalam hal ini janda lebih berhak atas dirinya sendiri terhadap adanya perceraian, janda juga perlu memikirkan positif dan negatifnya rujuk kembali. Baik pengaruhnya terhadap dirinya sendiri, anak-anak, keluarga, kerabat, handai-taulan, dan lain-lain. Dampak negatif tentunya perlu ditekan semaksimal mungkin.

Hikmah dari adanya idah merupakan kesempatan untuk berpikir lebih jauh, serta diharapkan dengan masa itu, pasangan suami istri yang bercerai akan menemukan jalan yang terbaik untuk kehidupan mereka selanjutnya. Di samping tujuan idah untuk memastikan kekosongan rahim dan untuk membuka peluang agar dapat rujuk kembali, lebih dari itu idah mempunyai tujuan yang bernilai ibadah26 Pelaksanaan beridah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan Khaliknya, yakni Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu, merupakan kewajiban bagi wanita muslim untuk mentaatinya.

Apabila wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai hidup atau mati. Di sana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah lagi

26

(40)

dengan laki-laki lain. Kemauan untuk mentaati aturan beridah inilah yang merupakan gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung nilai

ta‟abbudi itu. Pelaksanaan nilai ta‟abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat

(41)

32

BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KEMUNGKINAN IDAH BAGI

LAKI-LAKI

A. Pendapat Ulama Tafsir dan Fikih Tentang Idah

Dalam pembahasan ini akan dibahas beberapa pandangan mufasirin dalam menafsirkan ayat tentang idah, hal ini bertujuan untuk memahami lebih dalam apakah konsep idah bagi laki-laki menjadi suatu yang dibolehkan atau sesuatu yang tidak dibenarkan atau bertentangan dengan nash, berdasarkan hal tersebut, maka penulis akan memaparkan padangan mufasir dengan merujuk dan memahami penafsiran ayat tersebut, untuk lebih lanjut penulis akan mengemukakan beberapa pandangan mufasirin dalam menafsirkan ayat tentang idah.

Sebelum membahas pandangan mufasir dalam menafsirkan ayat tentang idah, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan asbabun nuzul surat al-Baqarah, hal ini dinilai penting, seperti halnya pendapat Manna Khalil al-Qattan, bahwa untuk menafsirkan Alquran, ilmu asbabun nuzuldi perlukan sekali. Baginya, asbabun nuzul merupakan sebab diturunkannya Alquran.1 Termasuk juga Hasbi Ashiddieqy, ia secara terminologis mengartikan asbabun nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Alquran untuk menerangkan hukum-hukumnya di hari munculnya

1

(42)

kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya Alquran diturunkan serta membicarakan hal tersebut, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu atau kemudian, lantaran suatu hikmah.2 Bahkan, Al-Wahidi memandang bahwa memahami ayat tanpa asbabun nuzul adalah tidak mungkin.3

Berdasarkan pendapat dari beberapa ulama tersebut, maka penulis akan membahas asbabun nuzul surat al-Baqoroh (2) ayat 228 yang menjadi dalil akan keharusan beridah bagi wanita.

Ayat tersebut turun bahwasanya Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Asma binti Yazid ibnu Sakan al-Anshariyyah, dia berkata, “Saya dicerai pada zaman Rasulullah dan ketika itu belum ditetapkan idah untuk para wanita yang dicerai”. Maka Allah menurunkan idah untuk wanita-wanita yang dicerai, yaitu firman-Nya,“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri

mereka (menunggu) tiga kali quru”.

Ats-Tsa‟labi, Hibbatullah bin Salamah dalam kitab an-Naasikh dan Muqatil meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah, Ismail bin Abdullah al-Ghifari menceraikan istrinya, Qatilah, dan dia tidak tahu bahwa istrinya sedang hamil. Kemudian setelah beberapa waktu dia baru tahu bahwa istrinya sedang hamil, maka dia pun merujuknya kembali. Lalu istrinya tersebut melahirkan, namun anaknya

2

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantara Ilmu Al-Qur’an Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 69.

3

(43)

meninggal dunia. Maka turunlah firman Allah, “dan para istri yang diceraikan (wajib)

menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru.”4

Penafsiran ayat 228 surat al-Baqoroh, dalam menafsirkan ayat ini Al-Imam Muhammad Usman Abdullah Al-Mirgani dalam bukunya yang berjudul Tajut Tafasir

menafsirkan

تقلطملا

(Wanita-wanita yang ditalak) yang telah disetubuhi

sebelumnya dari kalangan wanita yang berhaid,

ن سفناب نصب رتي

(hendaklah menahan

diri) menunggu dan tidak boleh bersetubuh

ء رق ةثلث

(tiga kali quru‟) yang dijalaninya

sejak talak dijatuhkan atas dirinya. Adapun wanita yang belum disetubuhi, maka tidak ada mada idah baginya karena Allah swt. Telah berfirman dalam ayat lainnya:

Artinya:“wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi

perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu

mencampurinya, maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu

perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (Al-Ahzab (33): 49)

Dan masa idah bagi wanita yang tidak berhaid lagi dan wanita yang belum baligh adalah tiga bulan, karena ada firman Allah swt. dalam surat at-Thalaq (65) ayat 4 yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

4

(44)

Sebelum ayat ini diturunkan ) QS.At-Talaq (65): 4), idah bagi semua wanita

yang diceraikan oleh suaminya adalah tiga kali quru‟, termasuk di dalamnya idah bagi

wanita hamil mutlak atau wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, tetapi setelah turunnya ayat ini, maka ditentukan bahwa wanita yang tidak mengalami haid lagi baik karena tua (menopouse) atau wanita yang belum berhaid adalah tiga bulan sedang bagi wanita hamil iddahnya adalah setelah melahirkan .5

Kembali pada pembahasan surat Baqoroh, dalam menafsirkan surah al-Baqoroh (2) ayat 228, dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan kalimat “quru”, dalam menafsirkan kalimat quru tersebut para ulama ada yang

mengartikannya dengan “suci” dan ada pula yang mengartikannya dengan “haid”.

Sehingga dengan pengertian yang berbeda itu dapat mengakibatkan perbedaan lama beridah. Quru dengan pengertian suci akan mengakibatkan masa idah lebih pendek dari quru dengan pengertian haid. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis akan membahas mengenai hal tersebut dengan pendekatan tafsir ayat dan merujuk kepada beberapa pendapat tentang perbedaan tersebut.

Pendapat para ulama yang mengartikan kata quru dengan makana haid, pendapat tersebut bersumber pada sabda Nabi Muhammad saw.

5

Usia menopause menurut al-Maraghi adalah 55 tahun (al-khamisah wa al-khamsin), Lihat

(45)

Artinya: Tinggalkan salat di hari engkau quru yaitu diwaktu engkau haid.

6

Artinya: Dari Ibnu Umar ra, Talak sahaya perempuan (amah) adalah duakali dan idahnya adalah dua kali.

Golongan yang kedua yang mengartikan kata quru dengan arti suci, pendapat tersebut berdasarkan firman Allah,

Artinya: …Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu merka dapat

(menghadapi) idahnya yang wajar….”

Sekalian ulama telah sepakat menerangkan bahwa mentalak perempuan itu hendaklah di waktu sucinya. Lagi pula Nabi Muhammad telah berkata kepada Umar bin Khattab:

6

Hadis dari ibnu Umar, yang diriwayatkan oleh ad-Daruqutni. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani,

(46)

7

Maksudnya ialah supaya perempuan itu ditalak ketika ia suci. Jangan ketika sedang membawa kotoran. Abu Bakar bin Abd. Rahman menjelaskan, “tidak kami

dapatkan seorangpun dari fukaha kami, melainkan semuanya berkata bahwa quru‟ itu

bermakana suci.” Selain hadis di atas sebagai alasan terkuat, mereka juga mengatakan

bahwa quru‟ adalah bentuk jama‟ khusus untuk kata qur‟un yang berarti suci karena

kata qur‟un yang berarti haid dijama‟kan menjadi aqra‟, bentuk jama‟ ini

diriwayatkan oleh Ibnu al Anbari.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya di waktu perempuan itu suci dan belum lagi di campurinya pada waktu sucinya itu, maka terhitunglah itu satu kali suci, walaupun waktu suci itu hanya sesaat atau sekejap saja. Kemudian datang suci yang kedua sesudah ia membawa haid. Apabila ia melihat darah pada haidnya yang ketiga, maka keluarlah ia dari masa idah.

Di antara sahabat yang menyebutkan quru itu dengan makna haid ialah, Umar,

Ali, Ibnu Mas‟ud, Abu Musa, Ubidah bin Shamir dan Abu Darda. Sedangkan dari

kalangan tabiin ialah Ikrimah, Dhahhaq, Suddi, Auza‟i, Sufyan Tsauri dan Abu

Hanifah. Ahmad bin Hambal berkata, “pada mulanya kusebutkan quru dengan makna

7

(47)

suci, dan hari ini kusebutkan dengan makna haid.”8 Alasan yang paling kuat bagi golongan ini adalah bahwa idah di adakan untuk mengetahui kosongnya rahim wanita, sedang kosongnya rahim ini hanya dapat diketahui dengan haid bukan dengan masa suci.

Sedangkan pendapat yang mengartikan quru sebagai masa suci (tidak haid) mereka adalah Syafi‟i, Maliki dan Imamiyah menginterpretasikan quru dengan masa suci, sehingga bila wanita tersebut dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa tersebut dihitung sebagai bagian dari masa idah, yang kemudian disempurnakan dua masa suci sesudahnya.9

Dari kedua perbedaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa menurut golongan yang memaknai quru adalah masa suci, maka suami tidak boleh merujuk istrinya pada haid yang ketiga dan istri halal bagi lelaki lain. Sedangkan golongan yang memaknai

quru‟ adalah haid, maka istri baru menjadi halal bagi pria lain setelah lewat masa haid

yang ketiga.

Kemudian penjelasan lain mengenai idah yang termaktub dalam surah al-Baqoroh (2) ayat 234 secara zahir ayat, ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban idah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya dengan menjalankan idahnya selama empat bulan sepuluh hari. Dalam menafsirka ayat tersebut, Sayyid Quthb

8

Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, cet. Pertama (Jakarta: Kencana, 2006), h. 107. 9

(48)

dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran menjelaskan, sebelum Islam datang, tradisi bangsa Arab dalam memperlakukan wanita yang ditinggal mati suaminya, wanita tersebut harus masuk pada tempat yang hina, harus menggunakan pakaian yang sangat buruk, tidak boleh memakai parfum dan sebagainya selama satu tahun. Setelah itu ia boleh keluar dengan menggunakan lambang-lambang jahiliah yang hina sesuai denga kerendahan jahiliah, seperti mengambil dan membuang kotoran binatang, serta naik keledai atau kambing. Ketika Islam datang diringankanlah penderitaan itu, bahkan dihilangkan dari pundaknya. Tidak boleh dilipatgandakan kesusahannya yang berupa kehilangan (kematian) suami dengan kesewenang-wenangan keluarga, sesudah itu dan ditutupnya semua jalan baginya untuk hidup yang terhormat dan kehidupan keluarga yang tentram.

Islam menetapkan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya menjalankan idah selama empat bulan sepuluh hari, kecuali idah wanita yang hamil yang idahnya sampai melahirkan yang lebih panjang daripada idah wanita yang ditalak. Dalam masa idah ini, dia membersihkan rahimnya. Keluarga suami tidak boleh menyakiti perasaannya dan mengusirnya.

(49)

kandungannya.”(QS.Ath-Thalaq (65): 4). Dua ayat tersebut termasuk ke dalam

pembahasan ta‟arudh al a‟main (bertentangan dua keumuman), dan secara teori usul

fikih harus dilakukan tarjih (mencari yang lebih kuat) antara keduanya. Dan yang rajih (yang kuat) adalah yang bersifat khusus diantara keduanya, sedangkan yang keduanya itu marjuh (dikalahkan).

Berdasarkan hadist Nabi saw. yang shahih, bahwa firman Allah, “ Dan perempuan-perempuan yang hamil.” (QS.Ath-Thalaq (65): 4) mengkhususkan

(takhshish) firman Allah, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan

meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu).”( QS. al-Baqoroh (2): 234). Hal ini diperkuat dengan pendapat ulama usul fikih yang berpendapat bahwa jama yang nakirah seperti al-ahmaal tidak bersifat umum.10

Dalam menetapakan idah bagi wanita yang di tinggal mati oleh suaminya menurut Ibnu Abbas apabila seorang wanita yang berada dalam posisi demikian, hendaknya ia memilih antara dua waktu yang paling lama antara sampai melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari. Hal ini merupakan jalan tengah untuk mensinkronkan dua ayat di atas.11

10

Syaikh Asy-Syanqithti, Adhwaul Bayan, cet.Pertama. Penerjemah Fathurazi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h.439.

11

(50)

Setelah menelusuri beberapa referensi dari berbagai tafsir, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa ketentuan idah yang telah ditetapkan dalam Alquran merupakan suatu kewajiban yang harus dijalani oleh wanita.

Hukum Islam secara garis besar mengenal dua macam sumber hukum, pertama, sumber hukum yang bersifat “naqli” dan sumber hukum yang bersifat

“aqli”. Sumber hukum naqli ialah Alquran dan sunah, sedangkan sumber hukum aqli

ialah usaha menemukan hukum dengan mengutamakan olah pikir dengan beragam metodenya.12

Fikih merupakan hasil olah pikir (ijtihad) ulama dengan menggali lebih dalam tentang hukum Islam (syariah) dalam memahami teks-teks keagamaan (nash) untuk menyelesaikan segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Yang dimaksud dengan syariah secara harfiah berarti jalan, maksudnya yaitu suatu norma yang di syariatkan oleh Allah agar manusia mendapatkan kebaikan dalam hubungan dirinya dengan Allah, hubungan dengan sesama muslim, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan kehidupan.13

Fikih dan syariah mempunyai keterkaitan yang sangat kuat, syariah merupakan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang tingkah laku manusia untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di Akhirat. Semua tindakan manusia di dunia harus senantiasa tunduk kepada kehendak Allah dan Rasul, sementara itu untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah tentang tingkah

(51)

laku manusia itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syariah sehingga secara amaliah syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi bagaimanapun. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci tentang tingkah laku manusia atau mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fikih.14

Fikih sebagai formulasi pemahaman terhadap syariah, selain dimaksudkan agar setiap muslim dapat membangun pribadi dan prilakunya berdasarkan akidah, syariah dan akhlak, juga dalam kehidupan sosial dengan dimotori oleh pemimpin (imamah) dapat mewujudkan suatu kehidupan sosial masyarakat yang memiliki jati diri keadilan, persamaan dan kemitraan. Maka, dalam pembidangan fikih pun, terbagi menjadi kedalam beberapa disiplin pembahasan mengenai ketentuan hukum. Pembidangan itu seperti Fikih Ibadah, Fikih Muamalah, Fikih Siyasah, Fikih Jinayah, Fikih Dauliyah, Fikih Munakahat, dan lain-lain. Yang menjadi persoalan disini adalah artikulasi dan aplikasi fikih tersebut ketika berhadapan dengan sistem hukum yang beragam di Indonesia, hukum Barat dan hukum adat, rambu-rambu fikih mengalami marginalisasi. Selain itu, disatu sisi, adanya sikap yang cenderung apriori dari sebagian masyarakat terhadap fikih yang dianggap selalu ketinggalan zaman yang menjadi kendala tersendiri.15

14

Amir Syarifuddin, Usul Fiqh,jilid I, Cet.III (Jakarta: Kencana, 2008), h.5.

15

(52)

Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa salah satu disiplin kajian fikih adalah tentang munakahat, oleh karena itu dalam penulisan skripsi ini akan membahas tentang pandangan ulama fikih klasik dan kontemporer tentang bidang munakahat, pembahasan difokuskan mengenai idah.

Pembahasan mengenai idah, umumnya ulama-ulama terdahulu (klasik) lebih mewajibkan pelaksanaan mengenai hal itu kepada wanita baik yang ditinggal mati oleh suaminya, karena talak, fasakh (pembatalan nikah), pisah setelah pernikahan yang rusak atau setelah terjadi hubungan badan secara syubhat.16 dalam penentuan idah, para ulama berlandaskan pada dalil al-Quran seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Tak ada perbedaan yang begitu signifikan dalam penetapan tentang pelaksanaan idah, mayoritas ulama menetapkannya pada wanita.

Dalam kaitannya dengan ketentuan idah bagi wanita, salah satu dalil yang menunjukan kewajiban idah tersebut yaitu ketetapan yang telah diatur dalam hadist Nabi saw. yaitu:

17

Artinya: Itulah idah yang diperintahkan Allah kepada perempuan-perempuan

Redaksi hadis ini memberikan gambaran bahwa ketentuan idah diwajibkan pada wanita, adapun idah bagi laki-laki pembahasan mengenai hal tersebut memang

16

Abd al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 126. 17

(53)

sempat menjadi perdebatan dikalangan ulama fikih klasik waktu itu, sekalipun hanya terbatas pada dua kondisi. Pertama, jika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan

talak raj‟i. Kemudian dia ingin menikahi seorang yang tidak boleh dikumpulinya,

seperti saudara perempuan, maka dia tidak diperkenankan sehingga idah istri pertama yang termasuk dalam ikatan mahram dengan calon istri yang kedua selesai. Kondisi

kedua, jika seorang suami mempunyai empat istri, dan dia mentalak raj‟i salah

satunya untuk menikah yang kelima, maka dia tidak diperkenankan menikah dengan yang kelima sehingga idah istri yang ditalak selesai.18

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan masa penantian yang harus dijalani seorang laki-laki dalam dua kondisi di atas. Ulama dari kalangan

Hanafiyah berpendapat bahwa penantian tersebut tidak dikatakan idah secara syar‟i,19

pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwasanya seorang laki-laki tidak mempunyai masa idah,

penantian tersebut hanyalah penantian wajib yang harus dilalui di sebabkan ada mani‟

syar‟i.20

Dua pendapat ini senada dengan sebagian ulama Malikiyah dengan dalih bahwa idah adalah masa sebagai indikator terhadap bersihnya rahim.21 Ini dapat

18 Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati, I’anah al

-Tholibin, juz IV ( Libanon: Darul Ihya al-Turas al-Arabi, t. th), h. 59.

19

Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba’, juz IV(Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), h. 452.

20

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Libanon: Darl Fikr, 2006), h. 71.

Maksud dari mani‟ syar‟i tersebut karena ada ketetapan hukum yang melarang menikahi saudara atau mahram dan juga tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat, sebagaimana surat an-Nisa ayat 3, 22, dan 23.

21

(54)

difahami secara pasti bahwa laki-laki tidak mempunyai rahim, sehingga tidak ada idah baginya.

Sedangkan sebagian ulama kalangan Malikiyah yang lain, sebagaimana dikutip oleh al-Jaziri, bahwa penantian seorang laki-laki tersebut dikatakan idah. Ini senada dengan pendapat yang dikeluarkan al-Syafi‟iyah yang dikutip oleh al-Dimyati dalam “I’anatu al-Thalibin”. Argumentasi pengakuan idah bagi suami yang diungkapkan al-Dimyati dengan memakai kalimat eksepsi )اا(. 22 Wahbah Zuhaili menambahkan satu kondisi seorang laki-laki tidak boleh langsung menikahi perempuan yaitu perempuan yang tertalak tiga kali sebelum adanya tahlil23 atau sebelum adanya laki-laki lain yang menikahinya yang dikenal dengan sebutan

muhalllil.24

Terlepas dari pendapat kontradiktif di kalangan ulama mengenai masa penantian laki-laki dikatakan idah atau-pun tidak, setidaknya ini sebagai pijakan awal yang membuka cakrawala berpikir hadirnya penerapan idah bagi laki-laki. Idah bagi laki-laki yang diperkenalkan oleh ulama-ulama salaf adalah sebagai bentuk kemajuan dan elastisitas hukum Islam. Padahal secara terminologis, definisi yang dikembangkan oleh mereka bahwa idah hanya berlaku untuk perempuan. Alasan pemberlakuan idah bagi laki-laki tersebut yang dikemukakan oleh para pemikir salaf

22

Mengenai masalah idah yang harus dijalani oleh seorang laki-laki dianggap idah wajib atau tidak, ini masih terjadi khilaf, secara pasti ia harus menunggu sampai masa penantian yang dilakukan oleh istri selesai: Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati.I’anah al-Tholibin, juz IV, h. 45.

23

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 68. 24

(55)

adalah adanya mani’ syar’i, yaitu tidak boleh menikahi mahram dan memberi batasan menikahi perempuan dengan empat orang saja, sebagaimana disebut dalam Q.S. al-Nisa (4): 22-23 dan 3). Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh kalangan Hanafiyah yang dikutip oleh al-Jaziri mengenai wajibnya menunggu bagi suami yang ingin menikahi saudara perempuan yang tertalak adalah untuk menenangkan gejolak cemburu yang dialaminya.25

Pembahasan mengenai idah bagi laki-laki tidak hanya terjadi pada masa ulama salaf, dewasa ini pemikiran tersebut hadir kembali, ketentuan idah dibebankan tidak hanya kepada perempuan saja, bagi sekelompok ilmuan muslim berpendapat bahwa ketentuan mengenai idah harus dibebankan pada laki-laki juga, sebagaimana pendapat Muhammad Zain dan Mukhtar al-Shodiq26 yang termasuk dalam kalangan yang menghendaki idah bagi laki-laki, mengatakan bahwa idah adalah masa transisi bagi mantan suami dan mantan istri akibat perceraian, baik cerai mati maupun talak dan telah mempunyai kekuatan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. Gagasan ini tidak hanya terbatas pada tiga ketentuan yang telah diwacanakan oleh ulama-ulama salaf, akan tetapi juga ada wacana pemberlakuan idah bagi suami secara general. Gagasan semacam ini tidak lepas dari konteks sosial yang telah berubah. Perubahan

25

Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba’, juz IV, h. 452. 26

(56)

ini juga berimbas pada perubahan tatanan hukum semisal hadis yang berbunyi

Mengenai idah bagi laki-laki, Siti Musdah Mulia berpendapat idah sejatinya mengandung makna yang dalam, berkaitan dengan selain seksualitas dan kehamilan, juga mempertimbangkan soal psikologis, tenggang rasa, solidaritas pada anak dan keluarga pasangan. Lebih lanjut menurutnya, idah merupakan masa transisi di mana salah satu pasangan (idah karena cerai mati) atau kedua pasangan (idah karena cerai hidup) dapat berpikir jernih dan bijaksana untuk mengambil keputusan selanjutnya. Berdasarkan hal tersebut suami pun harus mempunyai masa idah.28

Dalam kajian ilmu fikih, idah ditetapkan bagi perempuan salah satunya yaitu untuk mengetahui apakah dalam janin si istri terdapat bibit bayi yang dikandungnya untuk itu dalam fikih idah bertujuan untuk menentukan bersih atau tidaknya janin tersebut. Alasan seperti ini memang untuk masa sekarang yang diiringi oleh kemajuan teknologi yang semakin modern tentunya hal tersebut dapat ditentukan dalam waktu beberapa jam saja atau mungkin dalam hitungan menit kondisi janin si

27

Derajat hadis ini marfu‟ bunyi hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dari Amirul Mu‟minin Ali radiya alllah anhu. Lihat Muhammad bin Ali Assaukani, Nailu al-Awthar Jilid IV,

(Libanon: Darl al- Fikr, 2000), h. 87. 28

Siti Musdah Mulia, Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia

Gambar

gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung nilai

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian Keseluruhan Tempe Rata-rata skor penilaian keseluruhan (hedonik) terhadap tempe yang dihasilkan setelah diuji lanjut dengan menggunakan DNMRT pada taraf 5%

Abstrak: Bagaimana upaya peningkatan hasil belajar mahasiswa dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik melalui penggunaan metode diskusi Pada Prodi Bahasa Inggris

Penilaian Tes Wawancara minimal 40 dan maksimal 80 Nilai hasil Wawancara dari setiap calon adalah nilai angka rerata dari 6 (enam) aspek penilaian (pertanyaan) yang diajukan

Sebaran Bahan galian sirtu yang merupakan salah satu potensi sumberdaya mineral dan batubara di Kabupaten Kampar yang telah dimanfaatkan oleh pertambangan rakyat

Namun CMV- satRNA juga tidak menunjukkan adanya reksi antagonis dengan TMV maupun PVY karena infeksi masing-masing virus tidak menghambat perkembangan virus lain yang diamati

menyelesaikannya dengan baik. Pemecahan masalah itu suatu ketika menggunakan ketekunan, di lain waktu menggunakan pendekatan pemecahan yang baru. Mahasiswa menetapkan

Menyampaikan cara pembuatan kerangka untuk menulis dan presentasi Memperhatikan Membuat catatan Bertanya Papan Tulis Spidol Laptop Layar LCD Modul Penyajian

Begitu juga dengan Tindakan Komunikatif yang terjadi pada saat pernikahan Adat Batak Toba, Dalam setiap tindakan yang dilakukan dalam Upacara Pernikahan Adata