i
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
FAJRIATIN WAHYUNINGSIH 1110101000005
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
ii
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juli 2014
Fajriatin Wahyuningsih
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, 7 Juli 2014
Fajriatin Wahyuningsih, NIM: 1110101000005
ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENGASINAN KOTA BEKASI TAHUN 2011-2013
XIII+ 88 halaman, 11 tabel, 8 gambar, 6 lampiran
ABSTRAK
Latar Belakang: Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi cenderung meningkat selama tahun 2011-2013. Tahun 2011 terdapat 49 kejadian DBD, tahun 2012 terdapat 42 kejadian dan tahun 2013 terdapat 139 kejadian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi spasial penyebaran kejadian DBD dan distribusi frekuensi kepadatan penduduk, kepadatan jentik vektor, penyelidikan epidemiologi DBD serta fogging fokus di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan ecological study. Populasi penelitian ini ialah seluruh kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 dengan kriteria memiliki alamat jelas dengan jumlah yaitu 216 kejadian DBD. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang meliputi data kejadian DBD dari Puskesmas Pengasinan serta data jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi pada tahun 2011-2013 dan data primer terkait lokasi geografis kejadian DBD. Adapun instrumen penelitian yang digunakan ialah tabel checklist dokumen, lembar observasi kejadian DBD dan Global Positiong System (GPS) Garmin tipe Ex-Trex 30.
Hasil Penelitian: Hasil penelitian didapatkan bahwa pola penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 berpola mengelompok dengan nilai Nearest Neighbour Index (NNI) yang semakin menurun, yakni 0,86 tahun 2011, 0,78 tahun 2012, dan 0,64 tahun 2013. Adapun luas penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 semakin meluas, yakni 509,838 Ha tahun 2011; 535,316 Ha tahun 2012; dan 570,869 Ha tahun 2013. Tahun 2011-2013 Incidence Rate (IR) DBD, penyelidikan epidemiologi dan fogging fokus mengalami peningkatan akan tetapi kepadatan penduduk dan kepadatan jentik vektor mengalami penurunan.
Simpulan: Kejadian DBD dari tahun 2011-2013 di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan paling banyak berada di Kelurahan Pengasinan. Berdasarkan penelitian tersebut diharapkan program intervensi kesehatan dapat dilakukan di sekitar wilayah penyebaran kejadian DBD dengan menyesuaikan luas wilayah sebaran kejadian DBD untuk mencegah terjadinya KLB DBD.
iv
Undergraduated Thesis, 7 July 2014
Fajriatin Wahyuningsih, NIM: 1110101000005
SPATIAL ANALYSIS THE INCIDENCE OF DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER IN HEALTH CENTER PENGASINAN AREA BEKASI 2011-2013
XIII+ 88 pages, 11 tables, 8 pictures, 6 appendixs
ABSTRACT
Introduction : Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) in health center Pengasinan area has increased during 2011-2013. There was been 49 cases of DHF in 2011, 42 cases in 2012 and 139 cases in 2013. This study was conducted to determine the spread of DHF incidence through spatial analysis and to describe incidence of DHF with population and larvae density, epidemiological investigations and fogging focus.
Methods: This study was epidemiological study with ecological. The population study was all of the case DHF in health center Pengasinan area from 2011-2013 with the criteria data should have a legal address, and the amount is 216 the cases of DHF. This study used secondary and primary data. The primary data was related to the geographic location of the incidence of DHF. The research instrument used a document checklist table, observation sheets and Global Positiong System (GPS) Garmin Ex-Trex type 30.
Results: The results showed that the spread pattern of DHF incidence in health center Pengasinan at 2011-2013 were clustered pattern, and the value of NNI is decreased 0.86 in 2011, 0.78 in 2012 and 0.64 in 2013. Wide spread of DHF has increased in health center Pengasinan area from 2011-2013, 509,838 Ha in 2011; 535,316 Ha in 2012; and 570,869 Ha in 2013. From 2011-2013 Incidence Rate of DHF, epidemiological investigations and fogging focus have increased, but population and larvae density has decreased.
Conclusion: Pengasinan village has higher incidence of DHF compare to Sepanjang Jaya village during 2011-2013 in health center Pengasian area. The health intervention programs are expected to do in the area around the incident spread of DHF through adjusting the spreading area of DHF to prevent outbreaks.
v
ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENGASINAN KOTA BEKASI TAHUN
2011-2013
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Juli 2014
Mengetahui
Pembimbing I
Ratri Ciptaningtyas, S. Sn. Kes
NIP. 19840404 200912 2 007
Pembimbing II
Minsarnawati, S. KM, M.Kes
vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Jakarta, Juli 2014
Mengetahui
Penguji I
Hoirun Nisa, Ph. D
NIP. 19790427 200501 2 005
Penguji II
dr. Sholah Imari, M. Sc
Penguji III
Catur Rosidati, MKM
vii
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Bekasi, 30 Desember 1992
Warganegara : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jalan Narogong Permai XIII no 8 A RT 04 RW 02
Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi Provinsi Jawa
Barat
Telepon : 085888232723
E-mail : fajriatinwahyuningsih@gmail.com
Pendidikan Formal : 1. TK Bani Saleh 2 Bekasi (1997-1998)
2. SD Bani Saleh 2 Bekasi (1998-2004)
3. SMP Bani Saleh 2 Bekasi (2004-2007)
4. MA Negeri 2 Kota Bekasi (2007-2010)
5. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Program Studi Kesehtaan Masyarakat, Peminatan
viii
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulisan skripsi ini dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelar S1 Sarjana Kesehatan Masyarakat. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangat sulit untuk menyelesaikan penelitian ini, oleh sebab itu saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua saya Drs. H Sariban, M.Pd dan Hj. Gunarti, S. Pdi yang
telah memberikan dukungan penuh dan memberikan motivasi serta do’a
yang tiada henti.
2. Bapak Prof.Dr.(HC).dr.MK.Tadjudin,Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.
3. Ibu Febrianti, M. Si selaku Kepala Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta dan dosen pembimbing akademik.
4. Ibu Ratri Ciptaningtyas, S. Sn. Kes. selaku dosen pembimbing 1 dan Ibu Minsarnawati, S. KM, M. Kes. selaku dosen pembimbing 2 sekaligus PJ Peminatan Epidemiologi yang senantiasa memberikan motivasi dan bimbingannya.
5. Bapak Fajar Nugraha, S. Si, M. Si selaku dosen mata kuliah Sistem Informasi Geografis dan membantu dalam analisis spasial.
6. Ibu dr. Anne Nur Chandrani MARS selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
7. Bapak Andi Widyo Suryono, S. Sos selaku Lurah Kelurahan Pengasinan dan Bapak Faizal Alang, S. Sos selaku Lurah Kelurahan Sepanjang Jaya yang telah memberikan izin untuk penelitian dan pengambilan data.
8. Ibu dr. Krisadriyani Ratnawati selaku Kepala Puskesmas Pengasinan yang telah memberikan izin untuk penelitian di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dan pengambilan data dan Ibu Goyi Rahmawati Putri, A. Md selaku pemegang program DBD di Puskesmas Pengasinan yang telah membantu pengumpulan data.
9. Adinda Oktisya Puji dan Hasna Tsanyfitri yang telah membantu pengumpulan data di lapangan.
10.Seluruh teman mahasiswa epidemiologi angkatan 2010 dan 2011 yang senantiasa memberi motivasi dan dukungan kepada saya.
Atas bantuan dari semua pihak tersebut saya tidak bisa membalas apa-apa, dan
hanya bisa berdo’a semoga Allah SWT membalas kebaikannya. Semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.
ix
1.3 Pertanyaan Penelitian ... 5
1.4 Tujuan Penelitian ... 5
1.4.1 Tujuan Umum ... 5
1.4.2 Tujuan Khusus ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
1.5.1 Bagi Puskesmas Pengasinan ... 6
1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi... 6
1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ... 7
1.5.4 Bagi Peneliti ... 7
1.5.5 Bagi Peneliti Lain ... 7
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 9
2.1.1 Pengertian ... 9
2.1.2 Etiologi DBD ... 9
2.1.3 Penularan DBD ... 11
2.1.4 Riwayat Alamiah Penyakit DBD ... 11
2.2 Epidemiologi DBD ... 14
2.2.1 Karakteristik Host ... 14
2.2.2 Karakteristik Perilaku... 17
2.2.3 Karakteristik Lingkungan... 19
2.2.4 Karakteristik Vektor ... 22
2.2.5 Pelayanan Kesehatan ... 24
2.3 Analisis Spasial ... 28
2.3.1 Manfaat Analisis Spasial Bagi Informasi Kesehatan ... 28
2.4 Kerangka Teori ... 32
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 33
3.1 Kerangka Konsep ... 33
x
BAB 1V ... 38
METODE PENELITIAN ... 38
4.1 Desain Penelitian ... 38
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38
4.3 Populasi Penelitian ... 39
4.4 Instrumen Penelitian ... 39
5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian ... 46
5.1.1 Peta Wilayah ... 46
5.1.2 Kependudukan ... 47
5.2 Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan ... 49
5.2.1 Morbiditas dan Mortalitas Kejadian DBD ... 49
5.2.2 Pola Penyebaran Kejadian DBD ... 51
5.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan ... 57
Kelompok Umur ... 57
5.2.4 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk ... 58
dan Kepadatan Jentik Vektor ... 58
5.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan ... 60
Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus ... 60
BAB VI ... 62
PEMBAHASAN ... 62
6.1 Keterbatasan Penelitian ... 62
6.2 Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan ... 62
6.2.1 Pola Penyebaran Kejadian DBD ... 64
6.2.2 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur ... 67
6.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk dan Kepadatan Jentik Vektor ... 71
6.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan ... 76
Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus ... 76
BAB VII ... 81
SIMPULAN DAN SARAN ... 81
7.1 Simpulan ... 81
7.2 Saran ... 82
7.2.1 Bagi Puskesmas ... 82
7.2.2 Bagi Peneliti Lain ... 83
xi
Tabel 2.1 Penelitian Analisis Spasial DBD ...30
Tabel 3.1 Definisi Operasional ...35
Tabel 4.1 Jadual Penelitian ... 39
Tabel 4.2 Sumber Data ... 40
Tabel 5.1 Jumlah Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013 ... 48
Tabel 5.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013 ... 49
Tabel 5.3 Morbiditas dan Mortalitas DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013 ... 50
Tabel 5.4 Analisis Pola Penyebaran ...53
Tabel 5.5 Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Tahun 2011-2013..58
Tabel 5.6 Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk dan Kepadatan Jentik Vektor di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013 ...59
xii
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 34
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan ...47
Gambar 5.2 Peta Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun
2011-2013 ...51
Gambar 5.3 Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2011 ...53
Gambar 5.4 Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2012 ...54
Gambar 5.5 Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasinan Tahun 2013 ...55
Gambar 5.6 Polygon Peta Penyebaran Kejadian DBD di Wilayah Kerja
Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013 Melalui Analisis Convex
xiii
DAFTAR SINGKATAN
ABJ : Angka Bebas Jentik
CFR : Case Fatality Rate (%)
DBD/ DHF : Demam Berdarah Dengue/ Dengue Haemorrhagic Fever
Dinkes : Dinas Kesehatan
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
GPS : Global Positiong System
IR : Insidens Rate (per 100.000 penduduk)
Jumantik : Juru Pemantau Jentik
Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
KLB : Kejadian Luar Biasa
NNI : Nearest Neighbor Index
P2PDBD : Program Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue
P2PL : Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
PE DBD : Penyelidikan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
PJB : Pemantauan Jentik Berkala
PSN 3 M : Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menutup Menguras Mengubur
SKD-KLB : Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa
1 1.1 Latar Belakang
Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan
di Indonesia. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(2009), masalah DBD di Indonesia mengalami peningkatan khususnya tahun
2008-2009, yaitu Incidence Rate (IR) sebesar 59,02 per 100.000 penduduk dan
Case Fatality Rate (CFR) 0,86% di tahun 2008 menjadi 68,2 per 100.000
penduduk dan 0,89% di tahun 2009 . Pada tahun yang sama, Jawa Barat
merupakan provinsi dengan kasus kematian karena DBD terbanyak di Indonesia
dengan CFR sebesar 0,83%.
Berdasarkan data Profil Kesehatan Republik Indonesia (2011) diketahui
ternyata kejadian DBD menjadi masalah di Jawa Barat dengan IR sebesar 31,87
per 100.000 penduduk, dan mengakibatkan 26% wilayah Jawa Barat terjangkit
DBD. Sedangkan, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
(2011) diketahui bahwa Kota Bekasi menempati urutan ke lima dengan kejadian
DBD paling tinggi se- Jawa Barat dengan CFR sebesar 1,43% pada tahun 2011.
Sampai saat ini, penyakit DBD masih menjadi masalah kesehatan di Kota
Bekasi. Berdasarkan laporan Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas
Kesehatan Kota Bekasi (2013), telah terjadi peningkatan kejadian DBD dari tahun
2011-2013. Pada tahun 2011 IR DBD sebesar 27 per 100.000 penduduk, tahun
penduduk serta telah melewati indikator IR DBD nasional tahun 2013 sebesar 52
per 100.000 penduduk.
Terdapat beberapa wilayah di Kota Bekasi yang menjadi wilayah endemis
DBD selama tahun 2011-2013, salah satunya Kecamatan Rawalumbu. Puskesmas
Pengasinan merupakan Puskesmas dengan wilayah kerja yang berada di
Kecamatan Rawalumbu dan memiliki jumlah kejadian DBD paling tinggi di
antara wilayah kerja puskesmas lain di Kecamatan Rawalumbu dengan 139
kejadian dari jumlah 149 kejadian DBD di Kecamatan Rawalumbu pada tahun
2013.
Kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan cenderung
meningkat dari tahun 2011-2013. Pada tahun 2011 terdapat 49 kejadian DBD
dengan 2 kejadian meninggal. Tahun 2012 terdapat 42 kejadian dengan 2 kejadian
meninggal. Tahun 2013 kejadian DBD mengalami peningkatan 3 kali lipat dari
dua tahun sebelumnya yakni 139 kejadian.
Kejadian DBD dapat menimbulkan kematian dan Kejadian Luar Biasa
(KLB), oleh karena itu kejadian DBD perlu diatasi berdasarkan faktor yang dapat
berhubungan dengan kejadian DBD. Kejadian DBD yang tinggi dapat dipengaruhi
oleh mobilitas serta kepadatan penduduk (Putri, 2008).
Faktor kepadatan penduduk dapat berhubungan dengan kejadian DBD di
suatu wilayah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Daud (2005) di
Kota Palu dengan desain cross sectional melalui analisis spasial diketahui bahwa
Suyasa et al (2007) di Kota Denpasar juga menunjukkan bahwa kepadatan
penduduk berhubungan dengan kejadian DBD.
Program penanggulangan DBD seperti penyelidikan epidemiologi DBD
dan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) DBD berdampak pada angka kejadian
DBD. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Hairani (2009) di Kota
Depok dengan desain ecological study melalui analisis spasial, diketahui bahwa
semakin besar cakupan penyelidikan epidemiologi DBD maka semakin rendah
angka kejadian DBD. Adapun kegiatan PJB dapat mengetahui kepadatan jentik
vektor di suatu lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erliyanti
(2008) di Kota Metro Provinsi Lampung, diketahui bahwa kepadatan jentik vektor
berhubungan dengan angka kejadian DBD.
Penyelesaian masalah DBD dapat dilakukan dengan teknik analisis
manajemen penyakit berbasis wilayah dengan analisis spasial (Achmadi, 2005).
Pemanfaatan analisis spasial kejadian DBD diharapkan dapat memberikan
manfaat untuk mengetahui pola penyebaran penyakit DBD sehingga dapat
menyelesaikan masalah DBD berdasarkan luas wilayah. Sebagaimana
pemanfaatan analisis spasial yang telah dilakukan di Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Selatan oleh Hasyim (2009), dapat memperlihatkan pola penyebaran
DBD melalui pemetaan dan dihubungkan dengan determinan lain seperti kegiatan
upaya pengendalian DBD yang telah dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan.
Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Faiz et al (2013) di Kota Semarang,
penyebaran DBD cenderung berkelompok di Kota Semarang dan dapat digunakan
untuk upaya pengendalian berdasarkan wilayah sebaran di Kota Semarang.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada bulan Februari 2014
diketahui bahwa pemanfaatan analisis spasial belum digunakan di Dinas
Kesehatan Kota Bekasi dan Puskesmas Pengasinan. Diketahui juga bahwa tidak
adanya penelitian sebelumnya mengenai faktor yang berhubungan dengan
kejadian DBD di Puskesmas Pengasinan. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti
bagaimana penyebaran kejadian DBD dengan analisis spasial dan mengamati
faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD, karena sampai saat ini kejadian
DBD masih tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
Kejadian DBD di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan dari tahun
2011-2013. Puskesmas Pengasinan merupakan Puskesmas dengan jumlah
kejadian DBD yang tinggi di Kota Bekasi. Berdasarkan pengamatan sebelumnya,
diketahui bahwa belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor yang
berhubungan dengan kejadian DBD dan penyebaran DBD melalui analisis spasial
di Puskesmas Pengasinan. Analisis spasial diharapkan dapat mengidentifikasi
distribusi pola penyebaran penyakit DBD di Puskesmas Pengasinan. Oleh karena
itu, peneliti ingin meneliti bagaimana penyebaran kejadian DBD di wilayah
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi spasial terhadap pola dan luas penyebaran kejadian
DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun
2011-2013?
2. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian DBD menurut kelompok umur
dan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi
tahun 2011-2013?
3. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan kepadatan
penduduk dan kepadatan jentik vektor di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013?
4. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan penyelidikan
epidemiologi DBD dan fogging fokus di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi spasial terhadap pola dan luas penyebaran
kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi
2. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD menurut kelompok
umur dan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota
Bekasi tahun 2011-2013.
3. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan
kepadatan penduduk dan kepadatan jentik vektor di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.
4. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan
penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Puskesmas Pengasinan
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi terkait wilayah
rentan dengan mengetahui penyebaran DBD serta bahan untuk
pelaksanaan program pengendalian DBD di Puskesmas Pengasinan Kota
Bekasi.
1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi untuk mengevaluasi
dan meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya bagi program
pengendalian dan pemberantasan penyakit DBD di Kota Bekasi melalui
1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan dokumentasi
yang dapat digunakan untuk data dalam penelitian serupa di masa
mendatang, serta menjadi informasi berbasis bukti yang menjadi dasar
advokasi dalam upaya peningkatan program pengendalian DBD.
1.5.4 Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan sarana untuk memenuhi persyaratan guna
mendapat gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dan mendalami
pengetahuan ilmu kesehatan masyarakat khususnya bidang epidemiologi.
1.5.5 Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi, informasi dan
pertimbangan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran
spasial kejadian DBD dan upaya program pengendalian serta
pemberantasannya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi deskriptif dengan
ecological study. Analisis spasial digunakan untuk mengetahui pola dan luas
penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan tahun
2011-2013. Adapun variabel dalam penelitian ini ialah umur, jenis kelamin, kepadatan
penduduk, kepadatan jentik vektor, fogging fokus, penyelidikan epidemiologi
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang meliputi data kejadian
DBD dari Puskesmas Pengasinan serta data jumlah penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi pada tahun 2011-2013 dan data primer terkait
lokasi geografis kejadian DBD. Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian
seperti tabel checklist dokumen, lembar observasi kejadian DBD dan Global
Positiong System (GPS) Garmin tipe Ex-Trex 30. Penelitian ini dilaksanakan
9 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1 Pengertian
DBD merupakan jenis penyakit menular yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak pertama kali dilaporkan
pada tahun 1968 jumlah kejadian DBD cenderung meningkat, demikian
juga penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan
peningkatan mobilitas penduduk dan majunya teknologi melalui
transportasi sehingga memudahkan penyebaran virus dengue dan vektor
penularnya ke berbagai wilayah.
DBD adalah penyakit yang ditandai dengan beberapa gejala klinis
seperti: demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung
terus menerus selama 2-7 hari, terjadi manifestasi perdarahan (petekie,
purpura, pendarahan konjungtiva, epistkasis, ekimosis, melena dan
hematuri), uji Tourniqet positif, Trombositopeni (100.000/ µl atau kurang),
terjadi peningkatan hematokrit 20% atau lebih, bila status lanjut dapat
disertai pembesaran hati (Kemenkes RI, 2011a).
2.1.2 Etiologi DBD
Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue. Virus Dengue dapat
ditularkan oleh vektor Aedes aegypti. Aedes aegypti adalah spesies
350 LU dan 350 LS, kira-kira berhubungan dengan musim dingin isoterm
100 C. Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi oleh ketinggian dan biasanya
tidak ditemukan di atas ketinggian 1000 m, akan tetapi pernah dilaporkan
distribusi nyamuk ini pada ketinggian 2121 m di India, pada 2200 m di
Kolombia dan pada ketinggian 2400 m di Eritrea (WHO dan Depkes RI,
2003).
Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat
serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2. DEN-3, DEN-4) dapat dibedakan
dengan metode serologi. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe
menghasilkan imunitas seumur hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe
yang jenisnya sama, tetapi hanya memberikan perlindungan sementara
terhadap serotipe yang lain.
Virus dengue berbagai serotipe sekarang menjadi endemis
dibanyak negara tropis (Chin, 2000). Akan tetapi, pada setiap wilayah
memiliki karakteristik serotipe DBD yang berbeda dengan wilayah lain
seperti di Indonesia. Berdasarkan penelitian epidemiologi yang dilakukan
oleh Prasetyowati dan Astuti (2010) menemukan bahwa virus DEN-2
adalah serotipe yang dominan di Jawa Barat. Studi epidemiologi lain juga
dilakukan oleh Yamanaka et al (2009) diketahui bahwa pada penderita
Demam Dengue (DD) dan DBD justru ditemukan virus DEN-1 genotip IV
2.1.3 Penularan DBD
Penyakit DBD merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui
gigitan nyamuk yang infektif, terutama Aedes aegypti. Bila terinfeksi,
nyamuk tetap akan terinfeksi seumur hidupnya, menularkan virus ke
individu rentan selama menggigit dan menghisap darah. Nyamuk betina
yang terinfeksi juga dapat menurunkan virus ke generasi nyamuk dengan
penularan transovarian, tetapi ini jarang terjadi dan kemungkinan tidak
memperberat penularan yang signifikan pada manusia.
Manusia adalah penjamu utama yang dikenai virus, meskipun
beberapa studi menunjukkan bahwa monyet pada beberapa bagian dunia
dapat terinfeksi dan mungkin bertindak sebagai sumber virus untuk
nyamuk penggigit. Virus bersirkulasi dalam darah manusia terinfeksi pada
kurang lebih waktu dimana mereka mengalami demam, dan nyamuk yang
tak terinfeksi bisa mendapatkan virus apabila mereka menggigit individu
saat keadaan viraemik. Virus kemudian berkembang di dalam nyamuk
selama periode 8 – 10 hari, setelah itu nyamuk dapat menularkan ke
manusia lain selama menggigit atau menghisap darah berikutnya. Lama
waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik ini tergantung pada
kondisi lingkungan, khususnya suhu sekitar (WHO, 2004).
2.1.4 Riwayat Alamiah Penyakit DBD
Perjalanan penyakit DBD sering susah diramalkan, karena gejala
renjatan berat dapat disembuhkan walaupun hanya dengan pengobatan
yang sederhana. Penjelasan tentang riwayat alamiah penyakit DBD dapat
dibagi menjadi beberapa fase, yaitu fase suseptibel (rentan), subklinis,
klinis dan akhir.
Fase suseptibel dimulai pada saat nyamuk Aedes aegypti yang tidak
infektif kemudian menjadi infektif setelah menggigit manusia yang sakit
atau dalam keadaan viremia (WHO, 2004). Nyamuk Aedes aegypti yang
telah menghisap virus dengue dapat menjadi penular DBD seumur
hidupnya.
Fase subklinis merupakan tahapan yang dimulai dari paparan agen
penyebab DBD hingga timbulnya manifestasi klinis disebut dengan masa
inkubasi DBD. Pada fase ini penyakit belum menampakkan tanda dan
gejala klinis, atau disebut dengan fase subklinis (asimtomatis). Masa
inkubasi ini dapat berlangsung dalam hitungan detik pada reaksi toksik
atau hipersensitivitas.
Fase subklinis DBD ialah waktu setelah virus Dengue masuk
bersama air liur nyamuk ke dalam tubuh, virus tersebut kemudian
memperbanyak diri dan menginfeksi sel-sel darah putih serta kelenjar
getah bening untuk kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi darah.
Virus ini berada di dalam darah hanya selama 3 hari sejak ditularkan oleh
nyamuk (Lestari, 2007).
Pada fase subklinis ini, jumlah trombosit dalam tubuh masih dalam
sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan
terbentuk kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai
antigennya. Kompleks antigen-antibodi ini akan melepaskan zat-zat yang
merusak sel-sel pembuluh darah, yang disebut dengan proses autoimun.
Proses autoimun menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah
satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler
dan dapat mengakibatkan bocornya sel-sel darah seperti trombosit dan
eritrosit (Widoyono, 2008). Jika hal ini terjadi, maka penyakit DBD akan
memasuki fase klinis dimana sudah mulai ditemukan gejala dan tanda
secara klinis adanya suatu penyakit.
WHO (2004) membagi menjadi 4 (empat) tingkatan derajat berat
penyakit DBD, antara lain:
a. Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan ialah uji tourniqet.
b. Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan
atau perdarahan lain. Terjadi hemokonsentrasi yaitu peningkatan
hematokrit di atas atau sama dengan 20% karena perembesan plasma.
c. Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan darah menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis dengan tanda kebiruan di sekitar mulut, kulit dingin dan
lembap dan anak tampak gelisah.
d. Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
Fase terakhir dalam perjalan penyakit DBD ialah tahap pemulihan
atau kematian jika tidak tertangani dengan baik. Tahap pemulihan
bergantung pada penderita dalam melewati fase kritisnya. Tahap
pemulihan dapat dilakukan dengan pemberian infus atau transfer
trombosit. Bila penderita dapat melewati masa kritisnya maka pada hari
keenam dan ketujuh penderita akan berangsur membaik dan kembali
normal pada hari ketujuh dan kedelapan, namun apabila penderita tidak
dapat melewati masa kritisnya maka akan menimbulkan kematian (Lestari,
2007).
2.2 Epidemiologi DBD
Komponen penyebab kejadian suatu penyakit dapat diklasifikasikan
berdasarkan karakteristik host, agent¸dan environment (Gertsman, 2003).
Sedangkan berdasarkan paradigma sehat oleh Hl. Blum (1974) dalam
Notoadmodjo (2007) terdapat empat faktor determinan yang berkontribusi
terhadap status kesehatan yakni faktor genetik, perilaku, lingkungan dan
pelayanan kesehatan.
2.2.1 Karakteristik Host
2.2.1.1 Umur dan Jenis Kelamin
Penyakit DBD dapat terjadi pada semua orang, namun ada
beberapa kecenderungan kejadian DBD pada karakteristik
mengalami kenaikan proporsi pada kelompok umur dewasa
dibandingkan usia 5-14 tahun. Adapun kejadian DBD
berdasarkan jenis kelamin hampir sama, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki persentase sebesar 53,78% dan 46,23%
untuk terkena DBD pada tahun 2008 (Kemenkes RI, 2010).
Adapun kejadian DBD di wilayah Kota Bekasi
berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi tahun 2013
diketahui bahwa kejadian DBD paling banyak diderita oleh
laki-laki sebesar 55% dibandingkan perempuan sebesar 45%.
Sedangkan kejadian DBD menurut kelompok umur di Kota
Bekasi paling banyak terjadi pada kelompok umur di atas 15
tahun sebesar 70%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dardjito et al
(2008) di Banyumas dengan desain case control dan sampel
sebanyak 100 penderita DBD (50 kasus dan 50 kontrol) diketahui
bahwa usia (p=0,024, OR= 19,056, CI=1,418-128,022) dan jenis
kelamin (p=0,002, OR=4,896, CI= 1,864-17,252) memiliki
hubungan dengan kejadian DBD. Akan tetapi berdasarkan
penelitian oleh Djati et al (2012) di Kabupaten Gunung Kidul
dengan desain case control dan sampel sebanyak 70 penderita
DBD (35 kasus dan 35 kontrol) diketahui bahwa usia memiliki
kelamin tidak memiliki hubungan dengan kejadian DBD
(p>0,05).
2.2.1.2 Pengetahuan
Pengetahuan seseorang biasanya dapat mempengaruhi
kondisi kesehatan seseorang melalui perilaku, karena merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (Notoadmodjo, 2007). Sebagaimana penelitian yang
telah dilakukan oleh Fatma (2006) di Demak dengan desain case
control dan sampel sebanyak 104 (52 kasus dan 52 kontrol)
diketahui bahwa tingkat pengetahuan memiliki hubungan dengan
kejadian DBD. Penelitian lain juga dilakukan oleh Suhardiono
(2005) di Kota Medan dengan desain cross sectional dan sampel
berjumlah 100 orang, diketahui bahwa tingkat pengetahuan
mengenai DBD memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=
0,015, OR= 3,077, CI= 1,218-7,776).
2.2.1.3 Imunitas dan Status Gizi
Menurut Soegijanto (2003) dalam Candra (2010) imunitas
individu dapat mempengaruhi derajat infeksi DBD. Secara
invitro, antibodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi
biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody
perannya, terdiri dari antibodi netralisasi atau neutralizing
antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah
infeksi virus, dan antibody non netralising serotype yang
mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi
yang berperan dalam patogenesis DBD dan Dengue Shock
Syndroem (DSS).
Kekebalan host terhadap infeksi juga dipengaruhi oleh
faktor lain, antara lain: usia dan status gizi, usia lanjut akan
menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Status gizi dapat
menyebabkan tingkat keparahan kejadian penyakit infeksi.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Hakim L dan
Kusnandar. J. A (2012) dengan desain cross sectional dan sampel
berjumlah 200 orang penderita DBD, diketahui bahwa status gizi
memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=0,004). Penelitian
lain juga dilakukan oleh Nelli (2007) dengan desain cross
sectional dan sampel berjumlah 94 orang penderita DBD,
diketahui 63,6% renjatan DBD lebih banyak dialami oleh
penderita dengan status gizi kurang.
2.2.2 Karakteristik Perilaku
Perilaku kesehatan menurut Notoadmodjo (2007) ialah suatu
respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan
(1979) dalam Notoadmodjo (2007) mengklasifikasikan perilaku yang
dapat berhubungan dengan kesehatan, yaitu:
a. Perilaku kesehatan, yaiu hal – hal yang berkaitan dengan tindakan
atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan mengingkatkan
kesehatannya, seperti mencegah penyakit.
b. Perilaku sakit, yaitu tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh
individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal rasa
sakitnya.
c. Perilaku peran sakit, yaitu segala tindakan atau kegiatan yang
dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh
kesembuhan.
Perilaku sehat individu pada kejadian DBD dapat dilihat dari
perilaku mencegah penyakit DBD seperti penggunaan kelambu,
penggunaan obat nyamuk dan penggunaan kassa nyamuk. Penggunaan
kelambu dan penggunaan obat nyamuk memiliki hubungan dengan
kejadian DBD pada seseorang. Sebagaimana penelitian yang telah
dilakukan oleh Ratag et al (2013) di Manado dengan desain case control
dan sampel berjumlah 96 (48 kasus dan 48 kontrol), diketahui bahwa
penggunaan kelambu (p=0,000, OR=8,2, CI=2,22-30,48) dan penggunaan
obat nyamuk (p=0,000, OR= 30,3, CI=9,88-93,07) memiliki hubungan
dengan kejadian DBD. Penelitian lain juga dilakukan oleh Kusnadi (2010)
di Lombok Timur, diketahui bahwa penggunaan kelambu memiliki
oleh Widodo (2012) di Kota Mataram dengan desain case control dan
sampel berjumlah 198 orang, diketahui bahwa penggunaan kassa nyamuk
memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=0,011, OR= 0,41
CI=0,206-0,815) .
Perilaku kesehatan seseorang dapat disadari secara langsung
maupun tidak bahwa perilaku mereka dapat mempengaruhi kesehatan,
seperti perilaku mobilisasi. Mobilisasi penduduk akan mendorong
terjadinya KLB penyakit infeksi (Wilder dan Gubler, 2008). Sebagaimana
penelitian yang telah dilakukan oleh Roose (2008) di Pekanbaru dengan
desain case control dan sampel berjumlah 170 (85 kasus dan 85 kontrol),
diketahui bahwa mobilisasi merupakan faktor dominan yang berhubungan
dengan kejadian DBD (OR=20,90). Penelitian serupa juga dilakukan
Rahayuningsih (2012) dan diketahui bahwa ada hubungan antara
mobilisasi dengan kejadian DBD (p=0,006, OR= 0,5,371) .
2.2.3 Karakteristik Lingkungan 2.2.3.1 Lingkungan Fisik
Kondisi lingkungan erat kaitannya dengan kehidupan
manusia. Virus membutuhkan tempat dengan kondisi yang sesuai
agar bisa bertahan hidup dan menginfeksi kepada host.
Lingkungan fisik maupun non fisik memiliki sejumlah
karakteristik tertentu yang dapat mempengaruhi kondisi
Virus dengue dapat berkembang dengan baik berdasarkan
kondisi wilayah tertentu. Penyakit DBD dapat menyebar pada
semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000
meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan
suhu yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak
sempurna.
Kondisi faktor lingkungan fisik seperti unsur iklim yang
terdiri dari: curah hujan, kelembaban nisbi, suhu udara dapat
mempengaruhi kejadian DBD melalui keberadaan vektor.
Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu rata-rata
dapat mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti
dengan memperpendek waktu yang diperlukan untuk berkembang
dari fase telur menjadi nyamuk dewasa sehingga potensi penular
DBD tinggi (Dudiarto dan Anggraeni, 2001; Mangguang, 2010).
Kondisi iklim dapat berhubungan dengan kejadian DBD.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Wirayoga (2013) di
kota Semarang dengan desain correlation study dan diketahui
bahwa faktor iklim khususnya curah hujan dan kelembaban udara
berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,001, r=0,403 dan
2.2.3.2 Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang
berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi seperti arus
urbanisasi. Urbanisasi dapat menimbulkan masalah sosial yaitu
kepadatan penduduk (Dudiarto dan Anggraeni, 2001). Kepadatan
penduduk juga dapat menyebabkan masalah kesehatan.
Wilayah dengan kepadatan dan mobilitas penduduk yang
tinggi biasanya juga memiliki kejadian DBD yang tinggi
(Kemenkes RI, 2010). Mobilitas penduduk yang tinggi berakibat
pada pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat, hal tersebut
bisa disebabkan karena membaiknya sarana dan prasarana
transportasi sehingga pengendalian populasi menjadi lemah dan
memungkinkan terjadinya KLB DBD (Candra, 2010).
Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Daud
(2005) dengan desain cross sectional melalui analisis spasial dan
sampel berjumlah 545 kejadian DBD, diketahui bahwa kepadatan
penduduk memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=0,004) .
Penelitian lain yang dilakukan oleh Suyasa et al (2007) dengan
sampel berjumlah 90 penderita dan desain cross sectional,
diketahui bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan
kejadian DBD (p= 0,024).
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak terkendali
dan kemiskinan. Faktor kemiskinan dapat mengakibatkan orang
tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang
layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah
yang benar, sehingga kesehatan dapat terganggu.
2.2.4 Karakteristik Vektor
Kejadian DBD dapat dipengaruhi oleh keberadaan vektor dan jenis
vektor, sebagaimana penjelasan yang telah tertera pada bagian sub bab
etiologi DBD. Tidak semua jenis vektor dapat menularkan penyakit DBD.
Keberadaan dan perkembangbiakan vektor DBD dipengaruhi oleh
karakteristik fisik dan geografis lingkungan.
Aedes aegypti sebagai vektor penular DBD mengalami
metamorfosis lengkap/ metamorfosis sempurna yaitu dengan bentuk siklus
hidup berupa telur, larva, pupa dan dewasa. Larva nyamuk akan
menggantungkan dirinya pada permukaan air untuk mendapatkan oksigen
dari udara. Pupa nyamuk akan berenang naik turun dari bagian dasar ke
permukaan air. Dalam waktu dua atau tiga hari perkembangan pupa sudah
sempurna dan siap menjadi nyamuk dewasa (Palgunadi et al, 2013).
Nyamuk dewasa siap mengisap darah dan memiliki pola aktivitas
gigitan. Hanya nyamuk betina yang mengisap darah dan kebiasaan
mengisap darah pada Aedes aegypti umumnya pada waktu siang hari
sampai sore hari. Kegiatan menggigit dapat berbeda menurut umur, waktu
Upaya penanggulangan DBD dapat dilakukan dengan pengendalian
vektor sebelum menjadi nyamuk dewasa yakni dengan mengidentifkasi
keberadaan jentik vektor. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan
oleh Erliyanti (2008) di Kota Metro Provinsi Lampung diketahui bahwa
keberadaan jentik vektor memiliki hubungan dengan kejadian DBD
(p=0,000, OR=9,796, CI=4,304-22,299). Keberadaan jentik vektor dapat
juga diidentifikasi dari kepadatan jentik vektor.
Kepadatan jentik vektor biasanya dinyakatan oleh Angka Bebas
Jentik (ABJ). Perhitungan ABJ dapat dilakukan dengan cara (Kemenkes
RI, 2011a):
a. ABJ
Jumlah rumah/bangunan yang bebas jentik X 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
b. Container Index:
Jumlah container ada jentik
X 100%
Jumlah container yang diperiksa
c. House Index:
Jumlah rumah yang ditemukan jentik
X 100%
Jumlah rumah yang diperiksa
d. Breteau Index:
Jumlah container dengan jentik
X 100%
2.2.5 Pelayanan Kesehatan 2.2.5.1 Tata Laksana Kasus
Sampai saat ini belum ada obat ataupun vaksin DBD.
Adapun prinsip dasar pengobatan DBD ialah penggantian cairan
tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Kemenkes RI, 2010).
Di samping itu, pengobatan DBD dapat dikelompokkan menjadi
pengobatan simptomatif dan suportif. Pengobatan DBD yang sesuai
diharapkan dapat menurunkan tingkat keparahan dan penyebab
kematian DBD.
DBD merupakan penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah. Berdasarkan UU No 4 tahun 1984 tentang
wabah penyakit menular dan Peraturan Menteri Kesehatan No.
1501 tahun 2010, setiap penderita yang termasuk tersangka DBD
harus segera dilaporkan selambat-lambatnya 24 jam oleh unit
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas.
2.2.5.2 Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Penyakit DBD berpotensi mengakibatkan KLB bila tidak
ditanggulangi dengan tepat. Pemerintah Republik Indonesia telah
membuat suatu program kesehatan untuk mencegah terjadinya
KLB DBD melalui program penanggulangan DBD. Program
a. Penemuan dan Pelaporan Penderita
Petugas kesehatan di unit-unit pelayanan kesehatan harus
segera melaporkan penemuan penderita DBD. Penemuan dan
pelaporan penderita untuk mencegah terjadinya KLB disebut
dengan Penyelidikan Epidemiologi DBD. Penyelidikan
Epidemiologi DBD dilakukan dengan pencarian penderita atau
tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik ditempat tinggal
penderita dan rumah/ bangunan sekitarnya, termasuk
tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter
(Kemenkes RI, 2011a). Penemuan penderita DBD dengan cepat
diharapkan dapat mengurangi kejadian DBD, dan kegiatan tata
laksana kasus dapat segera diterapkan.
b. Penanggulangan Fokus
Penanggulangan fokus dapat dilakukan dengan
penyemprotan insektisida atau disebut dengan fogging fokus,
jika dari penyelidikan epidemiologi ditemukan penderita atau
tersangka DBD sekurang-kurangnya 3 orang dengan tanda
demam tanpa sebab yang jelas dan terdapat hasil jentik di
wilayah tersebut (Kemenkes RI, 2011a). Penyemprotan
insektisida dapat diikuti dengan kegiatan penyuluhan dan
gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh masyarakat.
Pelaksanaan penanggulangan fokus yang tepat
penelitian yang telah dilakukan oleh Rahayani (2010) di Kota
Surabaya dengan pendekatan analisis spasial, diketahui bahwa
kegiatan penanggulangan fokus dapat mempengaruhi kejadian
DBD (p= 0,001, r=0,206) .
c. Pemberantasan Vektor Intensif
Pemberantasan vektor intensif dapat dilakukan melalui
kegiatan pengendalian vektor dan gerakan PSN. Pengendalian
vektor dapat dilakukan secara biologi, kimiawi dan manajemen
lingkungan (Kemenkes RI, 2011a). Sedangkan gerakan PSN
dapat dilakukan dengan kegiatan seperti pemberantasan sarang
nyamuk melalui peran aktif masyarakat melalui langkah 3 M,
yaitu:
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur
paling sedikit seminggu sekali atau menaburkan bubuk
abate ke dalamnya.
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
3. Mengubur atau menyingkirkan barang bekas yang dapat
menampung air hujan seperti kaleng-kaleng bekas dan
plastik (Depkes, 2007).
Pelaksanaan pemberantasan vektor diharapkan dapat
mencegah terjadinya KLB DBD melalui kegiatan PSN dengan
menilai keberadaan jentik vektor. Sebagaimana penelitian yang
Palembang dengan desain cross sectional dan sampel berjumlah
606 orang, diketahui bahwa gerakan PSN mempengaruhi
keberadaan jentik vektor DBD. Penelitian serupa juga
dilakukan oleh Harya et al (2013) di Kota Bengkulu dengan
sampel berjumlah 280 orang, dan diketahui bahwa memang ada
hubungan antara gerakan PSN dengan keberadaan jentik vektor
(p=0,002) .
d. Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang
dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan
keyakinan, sehingga diharapkan dapat merubah perilaku
kesehatan seseorang. Dalam hal ini, kegiatan penyuluhan terkait
informasi penularan dan pencegahan DBD dapat disebarluaskan
ke masyarakat agar masyarakat dapat melakukan kegiatan
penanggulangan dan pengendalian DBD secara mandiri.
e. Pemantauan Jentik Berkala
Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dapat
dilakukan oleh juru pemantau jentik (jumantik) (Kemenkes RI,
2011a). Kegiatan ini bertujuan untuk memantau tingkat
kepadatan jentik dari hasil pemeriksaan rumah-rumah dan
tempat-tempat umum. Keberadaan jumantik diharapkan dapat
menurunkan kejadian DBD melalui peran aktif masyarakat.
(2011) di Kabupaten Sleman, diketahui bahwa adanya hubungan
antara keberadaan jumantik dengan kejadian DBD.
2.3 Analisis Spasial
Analisis spasial merupakan teknik atau proses yang melibatkan sejumlah
hitungan dan evaluasi logika (matematis) yang dilakukan dalam rangka mencari
atau menemukan (potensi) hubungan yang terdapat di antara unsur-unsur
geografis (Prahasta, 2009). Adapun sistem informasi geografis menurut Chrisman
(1997) dalam Prahasta (2009) terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data,
manusia, organisasi dan lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan,
menyimpan dan menganalisis serta menyebarluaskan informasi mengenai
daerah-daerah di permukaan bumi.
Pemanfaatan analisis spasial harus didukung dengan data spasial. Data
spasial adalah data yang berkaitan dengan lokasi berdasarkan geografi yang terdiri
dari lintang-bujur dan wilayah. Menurut Pfeiffer et al (2008) dalam Faiz (2013)
data spasial menerapkan prinsip distribusi geografis berupa fenomena fisikal
seperti iklim, kepadatan penduduk atau permasalahan kesehatan sesuai lokasi
sebenarnya.
2.3.1 Manfaat Analisis Spasial Bagi Informasi Kesehatan
Analisis spasial dengan sistem informasi geografis, memiliki
analisis spasial memberikan kontribusi dalam bidang kesehatan seperti
(Nuckols et All, 2004):
a) Memonitor status kesehatan untuk mengidentifikasi status kesehatan
yang ada di masyarakat.
b) Menentukan studi populasi dalam studi epidemiologi.
c) Mengidentifikasi sumber dan rute infeksi penularan penyakit.
d) Memperkirakan terinfeksinya suatu lingkungan karena paparan
tertentu.
e) Mengukur masalah kesehatan masyarakat di suatu wilayah.
Pemanfaatan analisis spasial juga dapat memperkirakan paparan
penyakit pada wilayah tertentu (Yu et al, 2006) serta untuk monitoring
kesehatan dengan identifikasi sumber paparan dalam studi epidemiologi
tertentu (Nukcols, 2004). Analisis spasial dapat dilakukan dengan
melakukan geocoding alamat di area studi selama periode waktu yang
relevan dengan penyakit. Hal tersebut dilakukan untuk memonitor dan
mengontrol penyebaran penyakit melalui langkah pengawasan.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh beberapa
peneliti lain, diketahui bahwa pemanfaatan analisis spasial dapat
digunakan untuk penelitian penyakit DBD. Berikut ialah tabel terkait
penelitian terdahulu tentang pemanfaatan analisis spasial pada kejadian
Tabel 2.1
Penelitian Analisis Spasial DBD
Nama
Peneliti Tahun Desain
Populasi dan Febriyetti 2010 Ecological
Study primer terkait titik lokasi geografi Hairani L.K 2009 Ecological
di Kotamadya Jakarta Timur tahun 2004-2006 Sampel: Seluruh data populasi
layar dengan
menggunakan data sekunder
dapat memberikan informasi daerah penyebaran DBD
di Kotamadya
2.4 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber: HL. Blum (1974) dalam Notoadmodjo (2007); Gertsman (2003); Kemenkes RI (2011)
33
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya diketahui ada beberapa faktor
yang dapat berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD).
Peneliti memilih kepadatan penduduk, kepadatan jentik vektor, fogging fokus,
penyelidikan epidemiologi DBD, jenis kelamin, umur dan kejadian DBD sebagai
variabel penelitian.
Namun terdapat faktor yang tidak menjadi variabel penelitian ini, hal ini
terjadi karena pertimbangan khususnya terkait kondisi data sekunder yang
tersedia. Berdasarkan pendahuluan yang telah dilakukan pada Februari 2014,
diketahui bahwa data terkait status gizi, status imunitas dan pendidikan tidak
tersedia di institusi penelitian. Sedangkan jenis nyamuk yang menggigit,
kebiasaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), penggunaan kelambu,
penggunaan kassa, penggunaan obat nyamuk dan mobilisasi tidak dijadikan
variabel, karena peneliti akan melakukan penelitian pada satu waktu saja.
Sedangkan faktor tersebut membutuhkan informasi tentang komponen perilaku
dan pengamatan untuk waktu tiga tahun dan jika diukur sesaat dikhawatirkan
terjadi bias informasi.
Suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, curah hujan, ketinggian tempat
dan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) tidak dijadikan variabel penelitian oleh
peneliti. Hal tersebut dikarenakan telah ada penelitian sebelumnya terkait
dengan kejadian DBD di kota Bekasi oleh Zainudin (2005) melalui analisis
spasial, dan didapatkan informasi bahwa tidak ada hubungan antara iklim dengan
kejadian DBD. Di samping itu iklim, ketinggian tempat, dan PJB pada wilayah
yang akan diteliti tidak memiliki variasi nilai dan terlalu homogen. Peneliti juga
mendapatkan informasi bahwa wilayah yang akan diteliti semuanya telah
mengikuti pembinaan Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan Penyakit
DBD (Pokjanal DBD) dan terbentuk tim juru pemantau jentik (jumantik) di setiap
kelurahan untuk melakukan PJB.
Oleh karena itu, kerangka konsep yang dipakai dalam penelitian dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Kejadian DBD Jenis Kelamin
Umur
Kepadatan Penduduk
Kepadatan Jentik Vektor
Penyelidikan Epidemiologi DBD
3.2 Definisi Operasional kerja Puskesmas Pengasinan dan tercatat oleh petugas Puskesmas Pengasinan pada buku register Puskesmas dengan alamat jelas yang dapat diobservasi melalui lintang geografi serta dijadikan data spasial
1. Telaah dokumen dihitung dengan: Jumlah kejadian baru DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun 2011-2013
Jumlah Penduduk di wilayah kerja
Puskesmmas Pengasinan pada tahun yang sama
2. Observasi langsung terhadap titik lokasi lintang geografis menggunakan alat GPS dan tabel observasi dimiliki oleh penderita DBD yang tertera dalam buku register DBD Puskesmas Pengasinan
Telaah dokumen 1. 0-4 tahun
tahun 5. > 50 tahun 3 Jenis
Kelamin
Karakteristik identitas berupa jenis kelamin penderita yang tertera dalam buku register DBD Puskesmas Pengasinan
Telaah dokumen 1. Laki-laki
2. Perempuan
Ordinal
4 Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dibagi satuan luas wilayah tersebut
Telaah dokumen dan dihitung dengan: Jumlah penduduk
Luas wilayah
Jiwa/ km2 Rasio
5 Kepadatan Jentik Vektor
Persentase jumlah jentik vektor penular DBD yang diambil dari nilai Angka Bebas Jentik (ABJ) dari setiap kelurahan yang telah dilakukan oleh petugas Puskesmas Pengasinan
Telaah dokumen dan dihitung dengan: Mencari rata-rata nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013, nilai ABJ didapat dengan menghitung:
Jumlah rumah di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan yang bebas jentik
Kegiatan pelacakan penderita lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular penyakit DBD
Telaah dokumen Jumlah
penyelidikan epidemiologi
di rumah penderita/tersangka dan rumah-rumah sekitarnya dalam radius sekurang-kuranya 100 meter, serta tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penyebaran penyakit lebih lanjut yang dilakukan oleh petugas Puskesmas Pengasinan 7 Fogging
Fokus
Kegiatan penanggulangan fokus dengan penyemprotan memakai insektisida di wilayah Puskesmas Pengasinan yang terdapat penderita DBD
Telaah dokumen Jumlah fogging
fokus
38
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi deskriptif
dengan ecological study. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
penyebaran kejadian Demam Beradarah Dengue (DBD) di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan tahun 2011-2013. Desain ecological study dipakai
karena pada penelitian ini menggunakan data sekunder berbasis populasi.
Kelemahan penelitian ini ialah kemungkinan adanya data kejadian
DBD yang tidak terlaporkan ke Puskesmas karena penelitian ini hanya
menggunakan data sekunder yang bersumber dari Puskesmas. Adapun
variabel yang diukur pada penelitian ini ialah, umur, jenis kelamin,
kepadatan penduduk, kepadatan jentik vektor, pelaksanaan fogging fokus
dan pelaksanaan penyelidikan epidemiologi DBD dan kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan
yang terdiri dari dua kelurahan yakni: Kelurahan Pengasinan dan
Kelurahan Sepanjang Jaya. Pengumpulan data telah dilakukan selama
bulan April-Mei tahun 2014. Adapun jadual penelitian yang telah
Tabel 4.1 Jadual Penelitian
Kegiatan
Bulan
April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Revisi Proposal Penelitian Pengambilan data sekunder Observasi lapangan Analisis data Penyusunan laporan
Bimbingan
4.3 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi dari tahun 2011-2013
yang berhasil tercatat di Puskesmas Pengasinan pada buku register DBD
dengan kriteria memiliki alamat jelas yaitu berjumlah 216 kejadian DBD
sedangkan 14 kejadian lainnya tidak memiliki alamat jelas sehingga tidak
diteliti.
4.4 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa tabel ceklist data,
tabel observasi plotting kejadian DBD dan alat Global Positiong System
(GPS) Garmin tipe Ex-Trex 30.
4.5 Manajemen Data
4.5.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui dua teknik, yaitu
sekunder dilakukan untuk mendapatkan data kejadian DBD,
kepadatan penduduk, pelaksanaan penyelidikan epidemiologi
(PE) DBD, pelaksanaan fogging fokus dan kepadatan jentik
vektor. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini telah diperoleh dari berbagai instansi seperti:
Tabel 4.2 Sumber Data
No Sumber Data
1 Data kejadian DBD dari Puskesmas Pengasinan
2 Data kepadatan penduduk dari Kelurahan Sepanjang Jaya dan Kelurahan Pengasinan
3 Data cakupan PE DBD dari Puskesmas Pengasinan 4 Data cakupan fogging fokus dari Puskesmas Pengasinan
5 Data kepadatan jentik vektor/ ABJ dari Puskesmas Pengasinan
Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan
observasi ke tempat tinggal penderita DBD untuk mendapatkan
data spasial DBD melalui alat GPS Garmin tipe Ex-Trex 30 dan
lembar observasi plotting kejadian DBD. Adapun tahapan
pengumpulan data spasial dilakukan sebagai berikut:
a. Collecting, merupakan tahapan pengumpulan data kejadian
DBD dari laporan Puskesmas tahun 2011-2013, dan
berdasarkan laporan kejadian DBD yang berhasil tercatat
pada buku register DBD jumlah kejadian DBD selama
b. Cleaning, merupakan tahapan pemilihan data terkait kejadian
DBD yang memiliki alamat jelas agar dapat dijadikan data
spasial dan berdasarkan hasil telaah dokumen dari keterangan
pada buku register DBD diketahui bahwa jumlah kejadian
DBD selama 2011-2013 adalah 220 kejadian.
c. Plotting, merupakan tahapan obbservasi dengan perekaman
dan pencatatan lokasi penderita DBD melalui alat GPS dan
berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan diketahui
bahwa jumlah kejadian DBD selama 2011-2013 yang dapat
ditemukan sesuai dengan lokasi rumah penderita adalah 216
kejadian.
4.5.2 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan.
Pengolahan data menggunakan beberapa software pendukung seperti
software pengolah data dan software pengolah khusus data spasial
seperti Quantum GIS liboa versi 1.8.0. dan Easy GPS. Tahapan
pengolahan data dilakukan berdasarkan analisis yang akan digunakan
yakni analisis spasial dan analisis statistik. Adapun tahapan pengolahan
data untuk analisis spasial ialah:
a. Transferring, merupakan proses memindahkan data waypoint
kejadian DBD dari alat GPS ke komputer melalui kabel usb dan
b. Processing, merupakan proses perubahan data waypoint menjadi
data spasial kejadian DBD menjadi bentuk shapefile ke
Quantum GIS versi 1.8.0
c. Cleaning, merupakan pembersihan data atau pengecekan data
dengan melihat jumlah titik lokasi kejadian DBD dengan tabel
observasi plotting kasus untuk menghindari kesalahan.
Sedangkan tahapan pengolahan data statistik untuk analisis
univariat ialah:
a. Processing, merupakan proses memasukkan data ke dalam
software pengolah data statistik dengan template yang sudah
dipersiapkan sebelumnya.
b. Cleaning, merupakan pembersihan data atau pengecekan data yang
berhasil dikumpulkan dengan memperhatikan tujuan dan definisi
operasional penelitian untuk menghindari kesalahan.
c. Editting, merupakan tahapan menyusun data setelah tahapan
cleaning agar siap untuk dianalisis.
4.6 Analisis Data
4.6.1 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi
frekuensi kejadian DBD berdasarkan kelompok umur dan jenis
kelamin, kepadatan penduduk, kepadatan jentik vektor, penyelidikan
4.6.2 Analisis Spasial
Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan point pattern methode. Point pattern methode dalam
epidemiologi spasial merupakan penampilan distribusi kejadian
penyakit berdasarkan ruang (Lai et al, 2009). Adapun point pattern
methode yang digunakan pada penelitian ini memakai analisis spasial
elementary analaysis of disease, Nearest Neighbour Index (NNI) dan
Convex hulls.
Elementary analysis of disease digunakan untuk mengetahui,
penyebaran penyakit di masyarakat yang terungkap melalui plotting
kejadian penyakit (di lokasi rumah individu yang terinfeksi) yang aktif
dengan geocoding atau alamat yang sesuai (Lai et al, 2009).
Elementary analysis of disease digunakan untuk mengetahui
penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan
berdasarkan titik kejadian DBD yang tergambarkan pada peta.
Analisis NNI digunakan untuk mengetahui pola penyebaran
kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan tahun
2011-2013. Menurut Rosli et al (2010) nilai NNI dapat dihitung dengan
Keterangan:
: rata-rata jarak observasi antara masing-masing kejadian dan
tetangga terdekatnya,
: expected NNI
: jarak antara kejadian i dan kejadian tetangga terdekatnya,
m : jumlah kejadian
A : luas daerah.
Analisis convex hulls digunakan untuk mengetahui luas
wilayah penyebaran dari lokasi terjauh kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Pengasinan. Convex hulls menurut Prahasta (2009)
dilakukan dengan cara membuat unsur spasial baru bertipe poligon
yang mempersentasikan domain horizontal dari titik-titik yang saling
terhubung.
Pada penelitian ini, nilai NNI dan convex hulls diketahui dari
perhitungan lokasi geografis kejadian DBD yang dihasilkan melalui
software Quantum GIS lisboa versi 1.8. Adapun nilai NNI yang akan
dihasilkan antara lain (Cromley dan McLafferty, 2002):
a. NNI = 1 berarti kejadian DBD di wilayah pengamatan berpola