• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi Dan Potensi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Buaya (Crocodylus sp.) Dalam Mendegradasi Keratin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Isolasi Dan Potensi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Buaya (Crocodylus sp.) Dalam Mendegradasi Keratin"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

ISOLASI DAN POTENSI BAKTERI KERATINOLITIK DARI

FESES BUAYA (Crocodylus sp.) DALAM MENDEGRADASI

LIMBAH KERATIN

SKRIPSI

OLEH

MAILANI QUANTI 100805041

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ISOLASI DAN POTENSI BAKTERI KERATINOLITIK DARI

FESES BUAYA (Crocodylus sp.) DALAM MENDEGRADASI

LIMBAH KERATIN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

OLEH

MAILANI QUANTI 100805041

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : Isolasi Dan Potensi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Buaya (Crocodylus sp.) Dalam Mendegradasi Keratin

Kategori : Skripsi

Nama : Mailani Quanti

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Nomor Induk Mahasiswa : 100805041

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, April 2015

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. NIP: 196511011991031002 NIP: 196404091994031003

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. NIP: 196301231990032001

(4)

PERNYATAAN

ISOLASI DAN POTENSI BAKTERI KERATINOLITIK DARI

FESES BUAYA (Crocodylus sp.) DALAM MENDEGRADASI

LIMBAH KERATIN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, April 2015

(5)

ISOLASI DAN POTENSI BAKTERI KERATINOLITIK DARI FESES BUAYA (Crocodylus sp.) DALAM MENDEGRADASI LIMBAH KERATIN

ABSTRAK

Keratin adalah protein yang dapat ditemukan pada bulu. Banyak mikroorganisme seperti fungi dan bakteri telah diisolasi untuk kemampuannya mendegradasi keratin. Mikroorganisme keratinolitik dapat ditemukan pada hewan pemakan burung seperti buaya. Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi dan mengetahui isolat keratinolitik potensial dalam mendegradasi keratin. Sebanyak 10 bakteri telah diisolasi untuk melihat kemampuannya dalam menghasilkan keratinase pada media feather meal agar. Dua isolat FB2 dan FB6 menunjukkan indeks keratinolitik tertinggi masing-masing yaitu 2,09 dan 1,96. Dua isolat bakteri ini digunakan untuk mendegradasi limbah keratin pada media cair dengan penambahan bulu ayam dan bulu kambing selama 25 hari inkubasi. Hasil menunjukkan bahwa isolat bakteri keratinolitik dapat mendegradasi limbah keratin. FB2 mendegradasi bulu ayam dan rambut kambing hingga 54,5 dan 51,9%, sedangkan FB6 mendegradasi masing-masing 71 dan 32,3%.

(6)

ISOLATION AND ASSAY OF POTENTIAL OF KERATINOLYTIC BACTERIA FROM CROCODILE FECES (Crocodylus sp.) TO DEGRADE

KERATIN WASTE

ABSTRACT

Keratin is an insoluble protein found in feather. Many microorganisms such as fungi and bacteria have been isolated for their ability to degrade keratin. Keratinolytic microorganism could be found in bird feeder animal such as crocodile. This study was conducted to isolate and to evaluate keratinolytic isolate potential in degrading keratin. A total of 10 bacteria were isolated and tested for their abilities to produce keratinase on feather meal agar. Two isolates, FB2 and FB6, showed to have the highest keratinolytic index of 2,09 and 1,96, respectively. These two bacterial isolates were used to degrade keratin waste in liquid medium with the addition of keratin waste (chicken feather and goat hair) for 25 days of incubation. The result showed that keratinolytic bacterial isolates degraded keratin waste. FB2 degraded chicken feather and goat hair by 54,4 and 51,9 %, repectively, while FB6 degraded both substrates by 71 and 32,3 %, respectively.

(7)

DAFTAR ISI

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Karakteristik Isolat Bakteri dari Feses Buaya 13 4.2Aktivitas Proteolitik Secara Kualitatif 16 4.3Aktivitas Keratinolitik Secara Kualitatif 18 4.4Potensi Bakteri Keratinolitik dari Feses Buaya Dalam

Mendegradasi Limbah Keratin

19

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Buaya (Crocodylus sp.) 4

2.2 Bulu Ayam 4

2.3 Kegunaan Bulu Ayam 6

2.4 Keratin

3.3 Isolasi dari Feses Buaya (Crocodylus sp.) 9 3.4 Uji Aktivitas Proteolitik Secara Kualitatif 10 3.5 Isolasi Bakteri Pada Media Feather Meal Agar 10 3.6 Uji Aktivitas Keratinolitik Secara Kualitatif

3.7 Pengukuran Potensi Bakteri Keratinolitik

(8)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 23

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

23

24

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Karakteristik Morfologi Bakteri Keratinolitik dari Feses Buaya

13

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

4.1 Indeks Proteolitik 17

4.2 Indeks Keratinolitik 18 4.3 Hasil Uji Degradasi Limbah Keratin setelah 25 Hari

Inkubasi

19

4.4 Peptida Terlarut yang DiukurPada (λ= 280nm) Setelah 25 Hari Inkubasi

21

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Komposisi dan Penyiapan Media Skim Milk Agar, Media Feather Meal Agar, Media Garam Cair

28

2. Alur Kerja Penelitian 29 3. Alur Kerja Isolasi Bakteri dari Feses Buaya (Crocodylus

sp.)

30

4. Alur Kerja Karakterisasi Morfologi dan Sifat Biokimia Isolat Bakteri dari Feses Buaya (Crocodylus sp.)

31

5. Alur Kerja Uji Aktivitas Proteolitik Secara Kualitatif 32 6. Alur Kerja Uji Aktivitas Keratinolitik Secara Kualitatif 33 7. Alur Kerja Uji Potensi Bakteri Keratinolitik dari Feses

Buaya (Crocodylus sp.) dalam Mendegradasi Limbah Sumber Keratin

34

8. Alur Kerja Perhitungan Optical Density (OD) 35 9.

10.

Alur Kerja Estimasi Jumlah Isolat Bakteri dengan Metode TPC

Foto Hasil Penelitian

36

37 11. Data Indeks Proteolitik Selama Inkubasi 38 12. Data Indeks Keratinolitik Selama Inkubasi 39 13. Data Pertumbuhan Bakteri Keratinolitik FB2 dan FB6

selama 25 Hari Inkubasi

(12)

ISOLASI DAN POTENSI BAKTERI KERATINOLITIK DARI FESES BUAYA (Crocodylus sp.) DALAM MENDEGRADASI LIMBAH KERATIN

ABSTRAK

Keratin adalah protein yang dapat ditemukan pada bulu. Banyak mikroorganisme seperti fungi dan bakteri telah diisolasi untuk kemampuannya mendegradasi keratin. Mikroorganisme keratinolitik dapat ditemukan pada hewan pemakan burung seperti buaya. Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi dan mengetahui isolat keratinolitik potensial dalam mendegradasi keratin. Sebanyak 10 bakteri telah diisolasi untuk melihat kemampuannya dalam menghasilkan keratinase pada media feather meal agar. Dua isolat FB2 dan FB6 menunjukkan indeks keratinolitik tertinggi masing-masing yaitu 2,09 dan 1,96. Dua isolat bakteri ini digunakan untuk mendegradasi limbah keratin pada media cair dengan penambahan bulu ayam dan bulu kambing selama 25 hari inkubasi. Hasil menunjukkan bahwa isolat bakteri keratinolitik dapat mendegradasi limbah keratin. FB2 mendegradasi bulu ayam dan rambut kambing hingga 54,5 dan 51,9%, sedangkan FB6 mendegradasi masing-masing 71 dan 32,3%.

(13)

ISOLATION AND ASSAY OF POTENTIAL OF KERATINOLYTIC BACTERIA FROM CROCODILE FECES (Crocodylus sp.) TO DEGRADE

KERATIN WASTE

ABSTRACT

Keratin is an insoluble protein found in feather. Many microorganisms such as fungi and bacteria have been isolated for their ability to degrade keratin. Keratinolytic microorganism could be found in bird feeder animal such as crocodile. This study was conducted to isolate and to evaluate keratinolytic isolate potential in degrading keratin. A total of 10 bacteria were isolated and tested for their abilities to produce keratinase on feather meal agar. Two isolates, FB2 and FB6, showed to have the highest keratinolytic index of 2,09 and 1,96, respectively. These two bacterial isolates were used to degrade keratin waste in liquid medium with the addition of keratin waste (chicken feather and goat hair) for 25 days of incubation. The result showed that keratinolytic bacterial isolates degraded keratin waste. FB2 degraded chicken feather and goat hair by 54,4 and 51,9 %, repectively, while FB6 degraded both substrates by 71 and 32,3 %, respectively.

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Limbah merupakan produk dari suatu proses produksi yang sebenarnya keberadaannya tidak diinginkan karena menimbulkan masalah di lingkungan. Salah satunya yaitu limbah peternakan seperti bulu ayam yang sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan. Ketersediaan bulu ayam terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap daging ayam. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS, 1999), produksi daging unggas sekitar 807,9 ribu ton dengan produksi bulu sekitar 80,79 ribu ton (sekitar 10% dari bobot ternak bulu) (Supriyati et al., 2001).

Tingginya persentase limbah bulu ayam di lingkungan akan menyebabkan pencemaran, karena sebagian besar limbah bulu ayam dibuang begitu saja ke lingkungan. Penanganan limbah bulu ayam di Indonesia sebagian kecil dimanfaatkan sebagai bahan komposit, dan sebagian besar lagi dimanfaatkan sebagai pakan ternak, atau terbuang karena tidak lolos seleksi. Adiati et al., (2004) melaporkan bahwa bulu ayam merupakan limbah yang memiliki kandungan protein yang sangat tinggi. Bulu ayam mempunyai kandungan protein kasar sebesar 80-91% dari bahan kering, melebihi kandungan protein kasar bungkil kedelai (42,5%), dan tepung ikan (66,2%).

(15)

2

pupuk, plastik, lem, biodegradable films atau untuk produksi asam amino serin, sistin, dan prolin (Rahayu, 2010).

Keratinase termasuk enzim protease yang merupakan enzim ekstraseluler. Enzim ini dihasilkan di dalam sel tetapi dikeluarkan ke dalam media untuk menghidrolisis dan mendegradasi komponen kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah larut. Enzim keratinase banyak digunakan pada kosmetik dan teknologi kulit. Secara komersial enzim tersebut dapat diekstraksi dari

Streptomyces frandiae dan Streptomyces mikrolavus. Enzim ini baik sekali untuk memecah ikatan disulfida keratin pada bulu (Winarno, 1983).

Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk meminimalisasi dampak limbah bulu ayam di lingkungan yaitu dengan mencari sumber mikroba baru yang dapat mendegradasi keratin yaitu dari feses buaya (Crocodylus sp.). Pada dasarnya, buaya merupakan hewan karnivor. Buaya memangsa korbannya hidup-hidup termasuk dengan bulunya kemudian hasil pencernaannya dikeluarkan dalam bentuk feses tanpa ada sisa bulu ayam ataupun burung (Megiandari, 2009).

1.2 Permasalahan

Buaya (Crocodylus sp.) merupakan hewan karnivor. Buaya memangsa korbannya hidup-hidup termasuk dengan bulunya kemudian hasil pencernaannya dikeluarkan dalam bentuk feses tanpa ada sisa bulu. Bulu ayam sangat sulit didegradasi dilingkungan karena kandungan bulu ayam 70-80% adalah protein keratin, yaitu protein yang tidak larut dan sangat stabil. Oleh sebab itu diduga pada feses buaya terdapat bakteri keratinolitik yang dapat mendegradasi keratin pada bulu ayam dan rambut kambing.

1.3 Tujuan

a. Untuk mendapatkan dan mengetahui karakter isolat bakteri keratinolitik dari feses buaya

(16)

3

1.4 Manfaat

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Buaya (Crocodylus sp.)

Buaya adalah jenis satwa yang sangat tergantung pada adanya air. Air berperan sebagai media hidup bagi buaya tersebut. Jenis Crocodilian di berbagai habitat akan memakan jenis mangsa apapun yang tersedia. Idealnya, dengan bertambahnya ukuran tubuh maka buaya tersebut akan memakan jenis mangsa berukuran besar. Namun buaya tersebut tetap tidak kehilangan kemampuannya dalam menangkap mangsa berukuran kecil (Ross, 1989). Buaya muda memakan jenis ikan-ikan kecil, burung, insekta, dan crustacea, sedangkan buaya dewasa memakan jenis ikan, kepiting, reptil, burung, dan mamalia (Elmir, 2008).

2.2 Bulu Ayam

Bulu ayam merupakan salah satu hasil samping ternak ayam (petelur, pedaging, dan buras) dari rumah potong dan tempat pemotongan ayam lainnya. Bulu ayam mengandung komposisi nutrien hidrolisat yaitu bahan kering (91,37%), protein kasar (79,88%), lemak kasar (3,77%), serat kasar (0,32%) (Ketaren, 2008). Bulu ayam yang merupakan produk samping dari pemotongan ayam sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Sebagian besar bulu ayam dibuang di sekitar tempat pemotongan dan sebagai akibatnya menyebabkan gangguan lingkungan (polusi). Hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat kemoceng, pengisi jok, pupuk tanaman atau kerajinan tangan/hiasan dan shuttle cock (Adiati et al., 2004).

(18)

5

2001). Protein hidrolisat bulu ayam kaya akan asam amino bercabang yaitu leusin, isoleusin, dan valin dengan kandungan masing-masing sebesar 4,88, 3,12, dan 4,4%, namun defisien akan asam amino metionin dan lisin (Siregar, 2006).

Bulu berperan penting dalam proses fisiologis dan banyak fungsional. Unggas yang paling dewasa seluruhnya ditutupi dengan bulu, kecuali pada paruh, mata, dan kaki. Bulu sangat teratur, struktur bercabang hirarkis. Dalam bidang industri pertenakan, bulu ayam akan menjadi limbah yang tidak digunakan. Limbah bulu ayam dapat menimbulkan dampak penurunan kualitas tanah karena bulu ayam sulit terdegradasi di lingkungan akibat adanya keratin atau protein fibrous berupa serat. Oleh sebab itu limbah bulu ayam resisten terhadap perombakkan atau degradasi dan merupakan masalah yang serius di lingkungan (Savitha et al., 2007).

Bulu ayam mengandung protein keratin dengan struktur α-helik, material lain yang kaya akan protein α-keratin adalah rambut, wool, sayap, kuku, cakar, duri, sisik, tanduk, kulit penyu, dan lapisan kulit sebelah luar, sedangkan material yang kaya dengan protein β-keratin adalah sutera, bulu, dan jaring laba-laba (Lehninger, 2005). Bulu ayam tersebut perlu diproses terlebih dahulu sehingga dinamakan tepung bulu terhidrolisis atau terproses. Tepung bulu memiliki kandungan leusin dan isoleusin yang baik, tetapi miskin akan metionin dan triptopan. Bulu ayam mengandung 90% protein dengan komponen β-keratin, fibrous dan struktur protein yang kokoh dari sulfida (Savitha et al., 2007).

Kandungan asam amino tepung bulu ayam sangat mirip dengan kandungan asam amino pada keratin, seperti jumlah asam amino serin, arginin dan prolin. Keratin pada bulu ayam mengandung beberapa nutrisi yang terdiri atas 81% protein kasar, 7% lemak kasar, 1% serat kasar, 0,33% kalsium dan 0,55% posfor. Tingginya kandungan nutrisi pada bulu ayam dianggap sebagai kandungan makanan yang baik bagi ternak (Lintang, 2003).

2.3 Kegunaan Bulu Ayam

(19)

6

kimia untuk memudahkan daya cerna hewan, tapi proses pembuatannya membutuhkan perlakuan dan energi yang signifikan. Sementara itu, penggunaan mikroorganisme merupakan salah satu metode alternatif untuk meningkatkan nilai nutrisi dari bulu ayam tersebut (Kim et al., 2001). Perlakuan biologis dengan fermentasi menggunakan mikroba berupa bakteri atau jamur dapat meningkatkan kecernaan suatu bahan ransum, karena dalam fermentasi terjadi suatu proses perombakan atau perubahan kimia dari senyawa organik (karbohidrat, lemak, protein, dan bahan organik lainnya) kompleks, baik dalam keadaan ada udara (aerob) maupun tanpa udara (anaerob) melalui bantuan enzim yang berasal dari mikroba menjadi komponen yang lebih sederhana dan memiliki tingkat kecernaan yang lebih tinggi (Nurhayani et al., 2001).

Pemrosesan bulu ayam pada prinsipnya untuk melemahkan atau memutuskan ikatan dalam keratin melalui proses hidrolisis. Berbagai metode pemrosesan telah diteliti untuk meningkatkan kecernaan dari bulu ayam. Ada empat metode pemrosesan bulu ayam, yaitu secara fisik dengan tekanan dan temperatur tinggi, secara kimiawi dengan asam, basa atau karbonasi dan secara enzimatis serta secara mikrobiologis melalui fermentasi oleh mikroorganisme (Achmad, 2001). Pemrosesan bulu dengan tekanan dan suhu tinggi telah dilakukan pada skala industri, yaitu dengan tekanan 3 bar, suhu 105°C dan kadar air 40% selama 8 jam. Pemrosesan ini menghasilkan kadar protein bulu ayam sebanyak 76% (Adiati et al., 2004).

2.4 Keratin

(20)

7

1992).Menurut Lehninger (2005), α-keratin kaya residu sistin yang dapat memberikan jembatan disulfida di antara rantai polipeptida yang berdekatan. Sistin terdiri atas dua molekul sistein. Keratin memiliki daya tahan yang baik dan tahan terhadap degradasi. Metode yang paling umum untuk melarutkan bulu keratin adalah dengan pemotongan ikatan peptida bersamaan melalui hidrolisis asam dan alkali, pengurangan ikatan disulfida dengan larutan natrium sulfida (Na2S). Teknik ini efektif untuk mengekstraksi keratin 75 % (Kock, 2006).

Protein struktural keratin dapat terdegradasi oleh beberapa spesies dari Saprophylic dan jamur parasit, beberapa Actinomycetes, Bacillus strain, dan bakteri termofil Fervidobacterium pennavoran. Stabilitas mekanik keratin dan ketahanan terhadap degradasi mikroba tergantung pada ikatan dari rantai protein α-helix (α-keratin) atau struktur β-sheet (β-keratin). Enzim keratinolitik disebut keratinase yang telah dimurnikan dari berbagai mikroorganisme dan karakterisasinya sampai saat ini. Bertindak sebagai proteinase dan memiliki aktivitas yang sangat tinggi, larut dalam protein substrat seperti keratin. Protein keratinolitik berperan penting dalam aplikasi bioteknologi seperti peningkatan degradasi enzimatik bulu ayam dan produksi asam amino atau molekul peptida yang tinggi dari substrat atau dalam industri kulit (Bockle et al., 1995).

2.5 Degradasi Keratin

Degradasi merupakan proses perombakan zat-zat yang ada di lingkungan dengan bantuan pengurai berupa mikroba. Keratin merupakan protein serat yang membentuk rambut, bulu, dan kuku, serta kaya akan sistein dan sistin. Degradasi keratin menjadi molekul yang lebih sederhana merupakan proses yang kompleks dan memerlukan kerja sinergis enzim-enzim keratinolitik. Menurut Bockle & Muller (1997), keratin memiliki struktur yang kaku dan sulit dicerna oleh protease hewan dan manusia. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan silang yang intensif dari jembatan sistin, dimana sistein merupakan asam amino penyusun keratin.

(21)

8

sederhana yang mudah larut dan diserap oleh mikroorganisme. Enzim intraseluler dihasilkan di dalam sel dan melakukan aktivitasnya juga didalam sel. Protease berdasarkan cara kerjanya dapat digolongkan dalam dua kelompok besar yaitu endopeptidase dan eksopeptidase. Enzim keratinase banyak digunakan pada kosmetik dan teknologi kulit. Secara komersial enzim tersebut dapat diekstraksi dari Streptomyces frandiae dan Streptomyces microflavus. Enzim ini baik sekali untuk memecah ikatan disulfida pada keratin (Winarno, 1983).

Keratinase atau enzim keratinolitik adalah sebutan bagi enzim protease spesifik yang dapat memecah substrat protease keratin (EC 3.4.21 atau EC 3.4.24 atau EC 3.4.99). Keratinase dihasilkan oleh mikroba baik secara intraseluler maupun ekstraseluler. Sebagian besar protease yang dihasilkan oleh mikroba tergolong protease serin yang memerlukan kofaktor kation Mg dan Ca untuk aktivitasnya dan sebagian lagi merupakan protease alkalin. Protease keratinolitik yang tidak memiliki aktivitas kolagenase namun mempunyai cukup aktivitas elastase dapat membantu proses dehairing dengan memutus secara selektif jaringan keratin pada folikel kulit sehingga rambut akan terlepas tanpa mempengaruhi kekuatan kulit. Penggunaan enzim dalam proses dehairing kulit selain menghasilkan kulit dengan kualitas baik juga dapat mengurangi polutan (Macedo et al., 2004).

Berdasarkan tingkat kemudahan hidrolisis, keratin digolongkan menjadi

(22)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2014 hingga Maret 2015 di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, cawan petri, erlenmeyer, pipet serologi, pro pipet, mikropipet, tabung reaksi, botol, cling wrap,

alumunium foil, spatula, hot plate, mancis, bunsen, alu dan mortal, hockey stick, rak tabung, jarum ose, oven, inkubator, kulkas, laminar, penangas air, sentrifus, spektrofotometer UV dan autoklaf.

Bahan yang digunakan adalah feses buaya, bulu ayam, rambut kambing, aseton, akuades, skim milk, agar, yeast ekstract, KH2PO4, K2HPO4, MgSO4, NaCl, skim milk, Strach Agar (SA), Simon Citrat Agar (SCA), Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Sulfit Indol Motility (SIM), gelatin, iodin, pewarna kristal violet, safranin, alkohol 70%, spiritus, dan kertas saring.

3.3 Isolasi Bakteri dari Feses Buaya (Crocodylus sp.)

Sampel feses buaya (Crocodylus sp.) diambil dari Penangkaran Buaya Asam Kumbang, Sunggal. Sampel feses yang sudah kering dimasukkan ke dalam wadah sampel. Selanjutnya sampel dibawa ke Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran USU untuk diisolasi.

Untuk isolasi bakteri dari feses buaya disediakan dua erlenmeyer. Media

(23)
(24)

10

10¯4, 10¯5, 10¯6 dan 10¯7. Suspensi diinokulasikan sebanyak 0,1 ml dari masing-masing pengenceran dan disebar ke media SMA. Kultur diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 30 ºC. Uji positif ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni (Lampiran 3 halaman 30). Koloni yang membentuk zona bening diamati dan dikarakterisasi warna, bentuk, tepi dan elevasi koloni (Lampiran 4 halaman 31). Kemudian dimurnikan di dalam media SMA miring di dalam tabung reaksi dan disimpan sebagai stok kultur isolat (Widyaastuti & Dewi, 2001). Uji biokimia dilakukan terhadap isolat mencakup uji pati, uji sitrat, uji gelatin, uji motilitas, uji sulfida, dan uji katalase serta pewarnaan sifat gram (Cappucino & Sherman, 1983).

3.4 Uji Aktivitas Proteolitik Secara Kualitatif

Suspensi bakteri yang memiliki nilai OD600nm=0,5 dipipet sebanyak 10 µl di atas kertas cakram steril lalu dipindahkan ke media SMA. Isolat diinkubasi pada suhu 30 ºC selama tiga hari dan dilakukan pengukuran setiap harinya. Aktivitas proteolitik diukur sebagai indeks proteolitik dengan membandingkan diameter zona bening dengan diameter koloni bakteri (Lampiran 5 halaman 32).

3.5 Isolasi Bakteri Pada Media Feather Meal Agar

(25)

11

3.6 Uji Aktivitas Keratinolitik Secara Kualitatif

Suspensi bakteri yang memiliki nilai OD600nm=0,5 dipipet sebanyak 10 µl diatas kertas cakram steril lalu dipindahkan ke media FMA. Isolat diinkubasi pada suhu 30 ºC selama satu minggu dan dilakukan pengukuran setiap harinya. Aktivitas keratinolitik diukur sebagai indeks keratinolitik dengan membandingkan diameter zona bening dengan diameter koloni bakteri (Lampiran 6 halaman 33).

3.7 Pengukuran Potensi Bakteri Keratinolitik

Bulu ayam dan rambut kambing sebagai limbah keratin yang telah dipotong-potong kecil ditimbang masing-masing sebanyak 0,5 g, dimasukkan ke dalam botol yang telah berisi 45 ml media garam cair (NaCl 0,25 g, K2HPO4 0,7 g, KH2PO4 0,35 g, MgSO4 0,05 g dan yeast ekstract 0,5 g dalam 500 ml akuades) sebanyak 45 ml (Lampiran 1 halaman 28), kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121 ºC selama 20 menit. Sebanyak 5 ml suspensi bakteri keratinolitik hasil isolasi dengan OD 0,5 (OD600=0,5) diinokulasikan ke dalam botol yang berisi limbah keratin dan media garam cair yang sudah disterilkan, kemudian diinkubasi selama 25 hari pada suhu 30 ºC dan setiap harinya botol diguncang. Pada hari terakhir inkubasi, kultur disaring dengan kertas saring dan dikeringkan selama 24 jam di dalam oven. Kontrol disiapkan dengan perlakuan yang sama, pada botol yang berisi limbah keratin dan media garam cair tetapi tanpa penambahan isolat bakteri. Kemampuan isolat dalam mendegradasi keratin dievaluasi dengan menimbang berat kering keratin sisa degradasi (hari ke-25) dan berat kering keratin awal (hari ke-0), dengan menggunakan rumus persentase penurunan berat kering sebagai berikut:(Lampiran 7 halaman 34)

BK awal – BK akhir

% Penurunan berat kering = x 100% Bk awal

(26)

12

35). Pertumbuhan isolat selama pengamatan diukur dengan metode Total Plate Count (TPC) pada hari pengamatan (0 hari), hari ke-10 dan hari terakhir (25 hari). Pengulangan dilakukan sebanyak 2 kali untuk setiap perlakuan isolat bakteri. Untuk perhitungan estimasi jumlah sel dapat dihitung dengan rumus: (Lampiran 9 halaman 36)

1

(27)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Isolat Bakteri Keratinolitik dari Feses Buaya

Isolasi bakteri dari feses buaya didapatkan 12 isolat bakteri berbeda yang diinkubasi dengan menggunakan media SMA. Sepuluh isolat bakteri menunjukkan aktivitas keratinolitik pada media FMA, sedangkan dua isolat bakteri lainnya tidak menunjukkan aktivitas keratinolitik. Isolat bakteri keratinolitik yaitu isolat yang memiliki kemampuan mendegradasi keratin ditunjukkan dengan adanya zona bening pada media FMA. Sepuluh isolat bakteri keratinolitik terlihat berbeda berdasarkan karakteristik morfologi (Tabel 1) dan karakteristik sifat biokimia (Tabel 2).

Tabel 1. Karakteristik Morfologi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Buaya Kode

Isolat Morfologi Koloni

Sifat Gram

Bentuk Tepi Elevasi Warna

FB1 Akar Berlekuk Cembung Putih +

FB2 Tidak Beraturan Berombak Cembung Kuning +

FB5 Bulat Berombak Cembung Putih +

FB6 Tidak Beraturan Berlekuk Cembung Putih kekuningan +

FB7 Akar Berlekuk Cembung Putih +

FB8 Akar Berombak Cembung Putih +

FB9 Bulat Rata Cembung Putih +

FB10 Bulat Berombak Datar Putih +

FB11 Bercabang Bercabang Terangkat Putih +

FB12 Tidak Beraturan Berombak Cembung Putih +

Keterangan: FB = Feses Buaya

(28)

14

koloni bakteri tepi bercabang. Terdapat 8 koloni bakteri elevasi cembung, 1 koloni bakteri elevasi datar, dan 1 koloni bakteri elevasi terangkat. Sebagian besar koloni isolat bakteri berwarna putih, 1 koloni bakteri berwarna kuning, dan 1 koloni bakteri berwarna putih kekuningan. Semua menunjukkan bakteri aerob dan termasuk bakteri gram positif.

Isolat bakteri keratinolitik yang telah dikarakterisasi berdasarkan morfologinya kemudian dikarakterisasi sifat biokimianya. Hasil pengamatan uji biokimia dapat dilihat pada (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil Uji Biokimia Bakteri Keratinolitik Dari Feses Buaya

Isolat

Uji Biokimia

Hidro

lisa Pati

Sitrat Gelatin Katalase Mo

tilitas

(29)

15

Uji sitrat digunakan untuk melihat kemampuan bakteri dalam menggunakan sitrat sebagai sumber energi bagi metabolisme sel. Media yang digunakan untuk uji ini adalah Simmons citrate yang merupakan media sintetik dengan Na-sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon dan NH4+ sebagai sumber N. Bila mikroorganisme mampu menggunakan sitrat, asam akan dihilangkan dari media, sehingga menyebabkan peningkatan pH dan mengubah warna media dari hijau menjadi biru (Cappuccino & Sherman, 1983). Hasil uji sitrat pada media Simon Citrat Agar menunjukkan 1 dari 10 isolat bakteri keratinolitik dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbonnya.

Hasil uji gelatinase dengan media gelatin agar, semua isolat bakteri keratinolitik dari feses buaya positif dapat menghidrolisis gelatin. Hal ini tampak dari bentuk media gelatin yang sudah diinokulasi dan diinkubasi selama 3 hari lalu sesudah itu disimpan di kulkas selama 30 menit ternyata tetap cair. Uji katalase digunakan untuk mengetahui adanya enzim katalase pada isolat bakteri. Hasil uji katalase menunjukkan bahwa seluruh isolat bakteri memiliki enzim katalase. Hal ini tampak pada gelembung-gelembung gas yang dihasilkan di atas

object glass yang sebelumnya telah diinokulasikan isolat bakteri kemudian ditetesi dengan reagen katalase. Gelembung-gelembung gas tersebut berasal dari hidrogen peroksida yang terurai menjadi air dan oksigen oleh aktivitas enzim katalase yang dimiliki oleh semua isolat bakteri (Cappuccino & Sherman, 1983).

(30)

16

Koloni Bacillus sp. memiliki karakteristik umum yaitu memiliki warna krem keputihan serta dapat berbentuk bulat dan tidak beraturan pada masa inkubasi 24-48 jam (Corbin, 2004). Koloni Bacillus spp. yang diamati berbentuk bulat, berlendir, tepi rata, dan tidak tembus cahaya. Sel bakteri berbentuk batang dengan ukuran sel yang bervariasi (Arwiyanto et al., 2007). Berdasarkan penelitian Pakpahan (2009), tiga isolat yang diisolasi dari sumber air panas memiliki bentuk bulat, tepi rata dan elevasi cembung. Perbedaan ditemukan pada warna koloni, warna koloni SP1 dan SP2 putih dan SP3 bewarna krem.

Pada penelitian yang telah dilakukan (Pissuwan, 2001) bakteri FK 28 yang diisolasi dari tanah di Bangkok merupakan bakteri gram positif yang bersifat motil, aerobik, katalase positif dan diduga mendekati ciri dari jenis Bacillus.

Agrahari & Wadhawa (2010) berhasil mengisolasi 3 isolat Bacillus yang potensial dalam mendegradasi keratin, yaitu B. pumilis, B. thuringiensis, B. megaterium

yang masing-masing berbentuk batang, gram positif, dengan karakteristik biokimia yang berbeda.

4.2 Aktivitas Proteolitik Secara Kualitatif

Aktivitas hidrolisis secara kualitatif merupakan gambaran dari kemampuan isolat bakteri proteolitik merombak protein dengan membentuk zona bening di sekitar isolat yang ditumbuhkan dalam media SMA. Zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri merupakan tanda hilangnya partikel kasein di media susu skim. Hasil pengamatan aktivitas proteolitik secara kualitatif diukur sebagai Indeks Proteolitik (IP) dapat dilihat pada (Gambar 1).

(31)

17

2011). Semakin banyak protein yang terhidrolisis maka luas zona bening yang terbentuk akan semakin besar dan menandakan aktivitas enzim yang terjadi juga besar. Berdasarkan penelitian Naiola & Widhiastuti (2007), penurunan aktivitas protease dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pH, suhu dan waktu inkubasi.

Gambar 1. Indeks Proteolitik

(32)

18

4.3 Aktivitas Keratinolitik Secara Kualitatif

Isolat bakteri keratinolitik yang mampu mendegradasi keratin ditunjukkan dengan terdapatnya zona bening pada media FMA di sekitar koloni bakteri. Kemampuan isolat bakteri membentuk zona bening diakibatkan adanya enzim keratinase yang disekresikan keluar sel untuk mendegradasi substrat keratin pada media tersebut. Enzim keratinase akan mendegradasi keratin sebagai sumber karbon, energi, nitrogen, dan sulfur yang digunakan untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel bakteri tersebut. Hasil aktivitas keratinolitik secara kualitatif diukur sebagai Indeks Keratinolitik (IK) dapat dilihat pada (Gambar 2).

Gambar 2.Indeks Keratinolitik

Berdasarkan hasil pengamatan, aktivitas keratinolitik secara kualitatif selama 6 hari bervariasi antara 1,12 sampai 2,09. Dua isolat bakteri yang paling besar nilai IK yaitu FB2 sebesar 2,09 dan FB6 sebesar 1,96. Data selengkapnya dapat dilihat pada (Lampiran 12 halaman 39). Perbedaan nilai indeks keratinolitik dikarenakan bakteri memiliki aktivitas enzim dan sifat fisiologi yang berbeda dari masing-masing. Pembentukan zona bening pada setiap isolat sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pH, konsentrasi enzim dan substrat, suhu serta adanya aktivator dan inhibitor (Lehninger, 2005). Dari penelitian Yue et al.

(2011), bakteri Bacillus sp. 50-3 yang diisolasi dari feses kadal Calotes versicolor

(33)

19

diameter koloni pada media FMA. Terbentuknya zona bening di sekitar koloni mikroorganisme pada medium padat yang mengandung keratin disebabkan oleh mikroorganisme yang menghasilkan keratinase. Keratinase disekresikan pada medium kemudian menghidrolisis substrat keratin sehingga menyebabkan medium di sekitar koloni kelihatan bening (Friedrich et al., 1999).

4.4 Potensi Bakteri Keratinolitik dari Feses Buaya dalam Mendegradasi Limbah Keratin

Isolat potensial ditandai dengan besarnya IK. Dua isolat diuji kemampuannya dalam mendegradasi limbah keratin bulu ayam dan rambut kambing. Hasil degradasi limbah keratin dapat dilihat pada (Gambar 3).

Gambar 3. Hasil Uji Degradasi Limbah Keratin Setelah 25 Hari Inkubasi

(34)

20

mendegradasi substrat dengan kecepatan masing-masing enzim keratinase yang diproduksinya dan pengaruh lingkungan lainnya.

Menurut Rahayu (2014), proses fermentasi oleh bakteri penghasil enzim keratinase dan reduktase mampu menghidrolisis ikatan peptida dan disulfida pada protein keratin. Perbedaan persentase kemampuan isolat dalam mendegradasi limbah sumber keratin disebabkan karena kandungan sistin pada jenis limbah keratin yang digunakan berbeda. Kandungan sistin pada bulu ayam 7,63% sedangkan kandungan sistin pada rambut kambing 9,5% (Kunert, 2000).

Beberapa peneliti melaporkan bahwa hanya protease keratinase saja yang berperan dalam degradasi keratin, namun dewasa ini peneliti lain melaporkan adanya peran enzim lain yaitu disulfida reduktase yang meningkatkan efisiensi dan menyempurnakan proses degradasi tersebut (Rahayu, 2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Yue et al. (2011) diperoleh isolat bakteri keratinolitik

Bacillus sp. 50-3 dari feses kadal Calotes versicolor yang dapat mendegradasi bulu ayam utuh sebagai sumber karbon dan nitrogen setelah 36 jam diinkubasi pada suhu 37°C.

Keratin adalah serat utama yang memberikan perlindungan eksternal bagi vertebrata (Panuju, 2003). Berdasarkan tingkat kemudahan hidrolisis, keratin digolongkan menjadi soft keratin dan hard keratin. Kuku, sisik, bulu, atau wool lebih mudah dihidrolisis dibanding rambut manusia, kemudahan tersebut berkaitan dengan kandungan sistinnya (Kunert, 2000). Menurut Harde et al.

(2011), isolat Bacillus merupakan salah satu bakteri penghasil enzim keratinase. Enzim tersebut akan memutuskan ikatan disulfida pada protein keratin. Keratin merupakan protein yang terdapat pada bulu, rambut, kulit, kuku, tanduk, sisik dan berbagai bagian tubuh makhluk hidup lainnya yang bersifat tidak larut dalam air (insoluble). Keratinase merupakan enzim yang dapat melarutkan keratin dengan memutus ikatan disulfidanya.

Hasil degradasi keratin oleh bakteri keratinolitik berupa senyawa polipeptida dan asam-asam amino yang larut dalam medium cair. Filtrat dari hasil masing-masing penyaringan diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan diukur protein terlarut sebagai optical density

(35)

21

Gambar 4. Peptida Terlarut yang Diukur Pada (λ= 280 nm) Setelah 25 Hari Inkubasi

Berdasarkan hasil pengamatan, OD dari masing – masing supernatan meningkat dibanding dengan kontrol. OD pada supernatan FB2 bulu ayam adalah 0,7395 dan rambut kambing 0,633, sedangkan OD FB6 bulu ayam adalah 0,941 dan rambut kambing 0,7555. Hasil serapan OD perlakuan setelah 25 hari inkubasi lebih tinggi dari pada kontrol Hal ini menunjukkan bahwa selama pengkulturan sebagian asam amino terlarut, dibuktikan dengan hasil penurunan degradasi.

Absorbansi cahaya 280 nm dapat digunakan untuk estimasi konsentrasi protein dalam larutan. Peningkatan absorbansi memperlihatkan peningkatan jumlah senyawa yang dikeluarkan oleh sel. Hal ini terutama untuk mengidentifikasi adanya asam amino, seperti tirosin, triptofan dan fenilalanin yang mempunyai gugus aromatik. Asam amino tersebut merupakan asam amino yang dihasilkan dari pemecahan protein keratin (Tiwary & Gupta, 2012).

(36)

22

ke-25 sebanyak 19,47 Log CFU/ml, sedangkan jumlah populasi sel awal isolat bakteri FB2 pada rambut kambing sebanyak sebanyak 11,87 Log CFU/ml, meningkat pada hari ke-10 menjadi 17,74 Log CFU/ml, dan pada hari ke-25 sebanyak 19,77 Log CFU/ml. Data selengkapnya dapat dilihat pada (Lampiran 13 halaman 40). Peningkatan jumlah sel selama pengkulturan disebabkan karena jumlah asam amino yang terlarut tinggi sehingga isolat bakteri memanfaatkan asam amino tersebut sebagai sumber nutrisi.

Gambar 5. Pertumbuhan FB2 dan FB6 Selama Inkubasi

(37)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Hasil penelitian isolasi dan potensi bakteri keratinolitik dari feses buaya (Crocodylus sp.) dalam mendegradasi limbah sumber keratin diperoleh 10 isolat bakteri keratinolitik. Dua isolat yang paling potensial dalam mendegradasi limbah sumber keratin yaitu FB2 dan FB6. Isolat FB2 mampu mendegradasi bulu ayam sebesar 59,4% dan rambut kambing sebesar 51,9%, sedangkan isolat FB6 mampu mendegradasi bulu ayam sebesar 71% dan rambut kambing sebesar 32,3%.

5.2 Saran

(38)

29

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, W. 2001. Potensial Limbah Agroindustri Sebagai Pakan Sapi Perah. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Adiati, U., Puastuti, W., Mathius, I-W. 2004. Peluang Pemanfaatan Tepung Bulu Ayam Sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak Bogor.

Agrahari, S., Wadhwa, N. 2010. Degradation of Chicken Feather a Poultry Waste Product by Keratinolytic Bacteria Isolated from Dumping Site at Ghazipur Poultry Processing Plant. International Journal of Poultry Science. 9(5): 482-489.

Arwiyanto,T., Y.M.S. Maryudani., Agus, E.P. 2007. Karakterisasi dan Uji Aktivitas Bacillus sp. Sebagai Agensia Pengendalian Hayati Penyakit Lincat pada Tembakau Temanggung. Jurnal Berkala Penelitian Hayati.

12 (1) : 93-98.

Baehaki, A., Rinto, Arif, B. 2011. Isolasi dan Karakterisasi Protease dari Bakteri Tanah Rawa Indralaya. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 22(1): 10-16.

Bockle, B., Galunsky, B., Muller, R. 1995. Characterization of A Keratinolytic Serine Proteinase From Streptomyces Pactum DSM 40530. Applied and Environmental Microbiology 3705-3110.

Bockle, B., Muller, R. 1997. Reduction of Disulfide Bonds by Streptomyces pactum during Growth on Chicken Feathers. Applied Environmental Microbiology 63(2): 790–792.

BPS, 1999. Statistik Perunggasan Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia.

Cappuccino, J.G., Sherman, N. 1983. Microbiology a Laboratory Manual. Fourth Edition. Menlo Park: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

Cappuccino, J.G., Sherman, N. 2001. Microbiology a Laboratory Manual. Sixth Edition. Benjamin-Cummings Publishing Company. San Fransisco.

(39)

25

Elmir, Y.M. 2008. Studi Pengaruh Pemberian Makanan Terhadap Pertumbuhan Buaya Muara (Cocodylus porosus) Pada Penangkaran PT. Ekanindya Karsa Di Cikande Kabupaten Serang. IPB. Bogor.

Friedrich, A.B., Antranikian, G. 1996. Keratin Degradation by Fervidobacterium pennavorans, a Novel Thermophilic Anaerobic Species of the Order

Thermotogales. Applied and Environmental Microbiology. 62(8): 2875-2876.

Friedrich, J., Gradisar, H., Mandin, D., Chaumont, J.P. 1999. Screening Fungi for Synthesis of Keratinolytic Enzymes. Letters in Applied Microbiology.

28(2): 127-130.

Harde, I.B., Bajaj, R.S., Singha. 2011. Optimization of Fermentative Production of Keratinase from Bacillus subtilis NCIM 2724. Agriculture and Food Bacteriology.

Ketaren, N. 2008. Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Sebagai Sumber Protein Ayam Pedaging Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. USU. Medan.

Kim, J.M., Lim, W.J., Suh, H.J. 2001. Feather-Degrading Bacillus Species from Poultry Waste. Process Biochemistry. 37(3): 287-291.

Kock, J.W. 2006. Physical and Mechanical Properties of Chicken Feather Materials. Georgia Institute of Technology. Georgia.

Kumar, M.D.J., Priya, P., Balasundari, N.S., Devi, N.D.S.G. 2012. Production and Optimization of Feather Protein Hydrolysate from Bacillus sp. MPTK6 and Its Antioxidant Potential. Middle-East Journal of Scientific Research. 11(7): 900-907.

Kunert, J. 2000. Physiology of Keratinophilic Fungi. Palacky University. Czech.

Lee H., Suh D.B., Hwang J.H., Suh H.J. 2002. Characterization of Keratinolytic Metalloprotease from Bacillus sp. SCB-3. Application Biochemistry and Biotechnology. 97(2): 123-133.

Lehninger, A.L. 2005. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Lin, X., Lee, C.G., Casale, E.S., Shih, J.C.H. 1992. Purification and Characterization of a Keratinase from a Feather-DegradingBacillus licheniformis Strain. Applied and Environmental Microbiology. 58(10): 3271-3275.

(40)

26

Macedo, A.J., Beys da Silva, W.O., Gava, R., Driemeier, D., Henriques, J.A.P., Termignoni, C. 2005. Novel Keratinase from Bacillus subtilis S14 Exhibiting Remarkable Dehairing Capabilities. Applied and Environmental Microbiology. 71(1): 594-596.

Matikeviciene, V., Msiliuniene, D., Griskis, S. 2009. Degradation of Keratin Containing Wastes by Bacteria with Keratinolytic Activity. Rezeknes Augstskola.

Megiandari, A. 2009. Isolasi dan Pencirian Enzim Protease Keratinolitik dari Usus Biawak Air. IPB. Bogor.

Moran, E.T., Summers, J.D., Linger, S.J. 1966. Keratin as a Source for The Growing Chick. 1. Amino acid imbalance as the cause for inferior performance of feather meal and the implication of disulfide bounding in raw feather as the reason for poor digestibility. International Journal of Poultry Science. 45 : 1257-1264.

Naiola, E., Widhyastuti. 2007. Semi Purifikasi dan Karakterisasi Enzim Protease

Bacillus sp. Jurnal Berkala Penelitian Hayati. 13(1) : 51- 56.

Nurhayani, H.M., Nurjati, J., Nyoman, I.P.A. 2000. Peningkatan Kandungan Protein Kulit Umbi Kayu Melalui Proses Fermentasi. Departemen Biologi, Fakultas MIPA. ITB.

Pakpahan, R. 2009. Isolasi Bakteri dan Uji Aktivitas Protease Termofilik dari Sumber Air Panas Sipoholon Tapanuli Utara, Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara. Medan.

Panuju, S. 2003. Isolasi Dan Pemilihan Mikroba Termofilik Penghasil Enzim Hidrolase. Bogor. IPB.

Pissuwan, D., Suntornsuk, W. 2001. Production of Keratinase by Bacillus sp. FK 28 Isolated in Thailand. Kasetsart Journal 35(2): 171-178.

Rahayu, S. 2010. Mempelajari Aktivitas Keratinase Dan Disulfida Reduktase Dari Bacillus sp. Mts Dalam Degradasi Keratin. IPB. Bogor.

Rahayu, S. 2014. Substitusi Konsentrasi Protein Menggunakan Tepung Bulu Ayam yang Diolah Secara Fisiko – Kimia dan Fermentasi Menggunakan

Bacillus sp. Mts. Agripet. 14(1): 31 – 36.

Ross, C. A. 1989. Crocodiles and Alligators. Oxford. New York.

(41)

27

Siregar, Z. 2006. Pengaruh Suplementasi Hidrolisat Bulu Ayam Dan Mineral Esesnsial Dalam Ransum Berbasis Limbah Perkebunan Terhadap Deposisi Protein Tubuh Dan Lemak Tubuh Pada Domba. Fakultas Pertanian. USU. Medan.

Supriyati, M.T.Purwadaria., I.P.Kompiang. 2001. Isolasi Galur Mikroba Selektif Pemecah Keratin Pada Bulu Ayam. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Sutardi, T. 2001. Revitalisasi Peternakan Sapi Perah Melalui Penggunaan Ransum Berbasis Limbah Perkebunan Dan Suplemen Mineral Organik.

Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu (RUT) VII. I. Kantor Menteri Negara Dan Teknologi Dan Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Tiwary, E., Gupta, R. 2012. Rapid Conversion of Chicken Feather to Feather Meal Using Dimeric Keratinase from Bacillus licheniformis ER-15.

Journal of Bioprocessing and Biotechniques. 2(4): 1-5.

Widhyastuti, N., Dewi, R.M. 2001. Isolasi Bakteri Proteolitik dan Optimalisasi Produksi Protease. Puslit Biologi-LIPI. Bogor..

Winarno, F.G. 1983. Enzim Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yue, X.Y., Zhang, B., Jiang, D.D., Liu, Y.J., Niu, G.T. 2011. Characterization of a New Feather-Degrading Bacterium from Calotes versicolor Feces.

(42)

LAMPIRAN

Lampiran 1: Komposisi dan Penyiapan Media Skim Milk Agar, Komposisi Media Feather Meal Agar, Komposisi Media Garam Cair.

a. Komposisi media skim milk agar (Widhyastuti & Dewi, 2001) yang telah di modifikasi, yaitu media agar skim milk mengandung 20 g susu skim dan 24 g agar per liter. Sebanyak 20 g susu skim dilarutkan dalam 400 ml akuades kemudian dipasteurisasi (63οC selama 30 menit). 24 g agar dilarutkan dalam 600 ml akuades steril. Dicampurkan hingga homogen.

b. Komposisi media feather meal agar (Agrahari & Wadhwa, 2010) yang telah dimodifikasi, yaitu bulu ayam yang telah direndam selama 1 malam dengan aseton kemudian dikeringkan. Bulu ayam ditumbuk halus hingga teksturnya menjadi bubuk. Bubuk bulu ayam sebanyak 5 g, agar 10 g, NaCl 0,25 g, KH2PO4 0,35 g, K2HPO4 0,7 g, MgSO4 0,05 g, ekstrak yeast 0,5 g, dilarutkan dalam 500 ml akuades. Media feather meal agar dipanaskan di atas hot plate

hingga homogen dan disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 20 menit.

(43)

29

Lampiran 2: Alur Kerja Penelitian

Isolasi Mikroba dari Feses

Crocodylus sp.

Karakterisasi Morfologi, Uji Biokimia dan Pewarnaan Gram

Uji Aktivitas Proteolitik Secara Kualitatif

Uji Aktivitas Keratinolitik Secara Kualitatif

UjiPotensi Bakteri Keratinolitik dari Feses Buaya (Crocodylus sp.) dalam Mendegradasi Limbah Sumber Keratin

Perhitungan Optical Density (OD)

(44)

30

Lampiran 3: Alur Kerja Isolasi Bakteri dari Feses Buaya (Crocodylus sp.)

Feses Buaya

Ditimbang sebanyak 1 gram Dilarutkan dalam 10 ml akuades

Dilakukan pengenceran dengan perbandingan 10-3, 10-4, 10-5, 10-6, dan 10-7

Diinokulasikan sebanyak 0,1 ml dari masing-masing pengenceran ke media skim milk

Disebar menggunakan hockey stick

Diinkubasi selama 24 – 48 jam pada suhu 30 οC

(45)

31

Lampiran 4: Alur Kerja Karakterisasi Morfologi dan Sifat Biokimia Isolat Bakteri dari Feses Buaya (Crocodylus sp.)

Isolat Bakteri

Karakterisasi

Uji Biokimia Morfologi Pewarnaan gram

• Uji pati • Bentuk koloni

• Uji gelatin • Warna koloni

• Uji nitrat • Elevasi koloni

• Uji sulfida • Tepi koloni

• Uji motilitas

(46)

32

Lampiran 5: Alur Kerja Uji Aktivitas Proteolitik Secara Kualitatif

Suspensi Bakteri

Diteteskan di atas kertas cakram sebanyak 10 µl

Diletakkan pada bagian tengah petri yang berisi media

Skim Milk Agar

Diinkubasi pada suhu 30°C

Diukur diameter zona bening dengan diameter koloni bakteri

(47)

33

Lampiran 6: Alur Kerja Uji Aktivitas Keratinolitik Secara Kualitatif

Suspensi Bakteri

Diteteskan di atas kertas cakram sebanyak 10 µl

Diletakkan pada bagian tengah petri yang berisi media

Feather Meal Agar

Diinkubasi pada suhu 30°C

Diukur diameter zona bening dengan diameter koloni bakteri

(48)

34

Lampiran 7: Alur Kerja Uji Potensi Bakteri Keratinolitik dari Feses Buaya

(Crocodylus sp.) dalam Mendegradasi Limbah Keratin

Limbah Keratin

Ditimbang sebanyak 0,5 gram Dimasukkan kedalam botol

Ditambahkan media garam cair yang berisi NaCl, KH2PO4, K2HPO4 , MgSO4, ekstrak yeast sebanyak 45 ml

Disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 20 menit

Ditambahkan suspensi bakteri sebanyak 5 ml Diinkubasi selama 25 hari pada suhu 30°C Disaring dan dikeringkan hasil penyaringan

Ditimbang dan dihitung berat kering sisa degradasi

BK awal – BK akhir

% Penurunan Berat Kering = x 100% Bk awal

(49)

35

Lampiran 8: Alur Kerja Perhitungan Optical Density (OD)

Filtrat Hasil Penyaringan

Disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit

Supernatan

Dimasukkan ke dalam kuvet

Dispektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm

(50)

36

Lampiran 9: Alur Kerja Estimasi Jumlah Isolat Bakteri dengan Metode TPC

1 ml Media Biakan

Diencerkan hingga konsentrasi 10-8

Diinokulasikan ke media skim milk agar dengan metode cawan sebar

Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30οC Dihitung jumlah koloni yang terbentuk

(51)

37

Lampiran 10: Foto Hasil Penelitian

Uji Sitrat: 1 isolat positif mampu menggunakan sitrat sebagai sumber karbon

Uji TSIA: isolat menunjukkan hasil negatif

FB2 FB6

Indeks Keratinolitik (Zona Bening pada Media FMA) setelah 6 hari inkubasi

Hasil Degradasi Limbah Bulu Ayam (Isolat FB6) setelah 25 hari inkubasi

Hasil Degradasi Limbah Rambut Kambing (Isolat FB6) setelah 25 hari

(52)

38

Lampiran 11: Data Indeks Proteolitik Selama Inkubasi

Isolat Hari ke-

0 1 2 3

FB1 - 2,62 2,61 2,17

FB2 - 2,50 1,75 1,58

FB5 - 2,00 2,57 2,70

FB6 - 1,00 1,93 1,90

FB7 - 2,25 1,71 1,64

FB8 - 1,40 1,34 1,00

FB9 - 2,40 1,74 1,86

FB10 - 1,50 2,00 1,15

FB11 - 1,10 1,57 1,14

(53)

39

Lampiran 12: Data Indeks Keratinolitik Selama Inkubasi

Isolat Hari ke-

0 1 2 3 4 5 6 7

FB1 - - - 1,07 1,20 1,11 1,12 1,08

FB2 - - - 1,33 1,29 1,93 2,09 1,90

FB5 - - - 1,17 1,17 1,48 1,53 1,42

FB6 - - - 1.09 1,18 1,65 1,96 2,06

FB7 - - - 1,37 1,21 1,01 1,13 1,28

FB8 - - - - 0,21 1,12 0,98 1,11

FB9 - - - 1,27 1,78 1,47 1,87 1,49

FB10 - - - - 1,47 1,72 1,72 1,72

FB11 - - - 1,28 1,46 1,19 1,16 1,01

(54)

40

Lampiran 13: Data Jumlah Sel Bakteri Selama Inkubasi

Isolat

Bulu Ayam Rambut kambing

Hari ke- Hari ke-

0 10 25 0 10 25

FB2 6,8 x 109 8,6 x 1015 3 x 1017 7,5 x 109 5,6 x 1015 4 x 1017

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Morfologi Bakteri Keratinolitik Dari Feses Buaya
Tabel 2. Hasil Uji Biokimia Bakteri Keratinolitik Dari Feses Buaya
Gambar 1. Indeks Proteolitik
Gambar 2. Indeks Keratinolitik
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang potensi isolat bakteri penghasil biosurfaktan asal laut Tanjung Balai dan Sibolga Sumatera Utara dalam mendegradasi glifosat telah dilakukan di

Isolat bakteri yang dapat mendegradasi pestisida diazinon terbaik yaitu isolat PTA 5 dengan persentase degradasi sebesar 54,18%.. Isolat PTA 5 termasuk dalam

Penelitian tentang potensi isolat bakteri penghasil biosurfaktan asal laut Tanjung Balai dan Sibolga Sumatera Utara dalam mendegradasi glifosat telah dilakukan di

Isolasi dan Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Pestisida Berbahan Aktif Karbofuran pada Tanah.. Medan:

Adanya ikatan silang yang terbelit dalam bentuk heliks dan saling berhubungan melalui ikatan disulfida, ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik, menyebabkan keratin sangat

Isolasi dan Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan Asal Laut Belawan Sumatera Utara Dalam Mendegradasi Pestisida Karbosulfan.. Medan: Universitas

ISOLASI BAKTERI ENDOFIT DARI AKAR TANAMAN TOMAT (Solanum lycopersicumL.) DAN UJI KEMAMPUANNYA DALAM MENDEGRADASI INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF

Dari hasil penelitian tentang isolasi dan uji potensi bakteri tanah pertanian Berastagi, Sumatera Utara dalam mendegradasi fungisida antracol berbahan aktif propineb dapat