(SUATU KAJIAN FIQH SIYASAH)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
MEKKA MUKARROMAH NIM: 106045201532
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Metode Penelitian ... 7
E. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II DOKTRIN PEMILU DALAM FIQH SIYASAH A. Urgensi Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam ... 13
B. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Islam Dalam Pemilu ... 18
1. Prinsip Musyawarah... 18
2. Prinsip Keadilan ... 20
3. Prinsip Persamaan ... 21
4. Prinsip Kejujuran ... 22
5. Prinsip Pertanggungjawaban... 23
7. Prinsip Kebajikan ... 25
BAB III SISTEM PEMILU MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008
A. Latar Belakang Pembentukan UU No. 10 Tahun 2008... 28
B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No. 10 Tahun 2008 ... 29
C. Substansi UU No. 10 Tahun 2008 ... 45
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PEMILU MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008
A. Sistem Pemilu Dalam Islam ... 49
B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ... 58
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Sistem Pemilu menurut UU No
10 Tahun 2008 ... 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 82
B. Rekomendasi ... 88
KATA PENGANTAR
ﻢ ﺮﻟا
ﻦﻤ ﺮﻟا
ﷲا
ﻢ
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan berbagai nikmat dan karunia-Nya, sehingga alhamdulillah penulis dapat
merampungkan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana syari’ah.
Pada skripsi ini penulis memilih judul Sistem Pemilu Di Indonesia Menurut
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 (Suatu Kajian Fiqh Siyasah). Shalawat serta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah suri
tauladan bagi umat manusia didalam mengarungi bahtera hidup di alam fana ini.
Dalam penulisan skripsi ini, alhamdulillah penulis telah mendapatkan banyak
bimbingan, petunjuk, serta motivasi dari berbagai pihak. Maka selayaknya
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Ibu
Sri Hidayati M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah
memberikan petunjuk dan pengarahan khusus dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Asmawi M.Ag selaku pembimbing yang senantiasa mengarahkan
penulis kepada wawasan intelektual dan dunia ilmiah yang sangat bermanfaat
4. Segenap dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang memberikan berbagai macam
disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi
perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan.
6. Ayah dan Ibuku (H. Dadin Supriadi dan Hj. Nina Ernawati) serta kakek dan
neneku (H. Supandi dan Hj. Sholihat) yang telah memberikan tetesan air mata
do’a dan motivasi hidup yang berarti.
7. Suamiku tercinta yang selalu menuntunku agar terus berdo’a, berusaha, dan
bersabar.
8. Seluruh keluargaku yang selalu mendo’akanku disetiap waktu.
9. Teman-teman yang membantuku dalam suka maupun duka.
10.Dan kepada semua pihak yang telah mendoakan dan membantu penulis baik moril
maupun materil
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif.
Demikianlah semoga Allah SWT, senantiasa memberikan hidayah, taufik dan
inayah-Nya dan menjadikan skripsi ini sebagai karya ilmiah yang bermanfaat bagi penulis
dan bagi siapa pun yang membacanya.
Jakarta, 10 Juni 2010
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu
merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat dalam negara republik
Indonesia. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas pancasila dengan mengadakan
pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Pemilu diselenggarkan untuk
memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Perencanaan, penyelenggaraan, dan pelaksanaan pemilu dilaksanakan atas
asas-asas demokrasi yang dijiwai semangat pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Cara penangkalan yang paling efektif dalam kaitannya dengan pemilu adalah
meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat oleh pemerintah.
Pemilu di dalam sistem demokrasi terikat dengan prinsip dan sistem
demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil
rakyat yang memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan
kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang
pemilihan umum (Pemilu). Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan
1
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.”
Selain itu pemilu dalam negara demokratis merupakan mekanisme
pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekularistik.
Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008, tentang
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota, dalam bab I yaitu ketentuan umum yang menyatakan “Pemilihan
umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama yaitu
perkara yang diwakilkan yakni untuk melakukan aktivitas akad perwakilan yang
dilaksanakan. Dengan kata lain, aktivitas para wakil rakyat seharusnya sesuai dengan
syarî’ah Islam, jika sesuai dengan syarî’ah Islam maka wakâlah boleh dilakukan,
sebaliknya jika tidak sesuai maka wakâlah tersebut menjadi bâtil dan karenanya
haram dilakukan.
Dalam pandangan hukum Islam, pemilu merupakan cara untuk memilih wakil
rakyat dan merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakâlah). Hukum asal
‘wakâlah’ adalah mubah (boleh), dalilnya terdapat dalam hadits sahih dalam
ﺎ ﻬْﻋ
ﱠ ا
ﻲﺿر
ﱠ ا
ﺪْﻋ
ﻦْ
ﺮ ﺎﺟ
ْﻦﻋو
)
لﺎ
:
ﺮ ْﻴ
ﻰ إ
جوﺮ ْا
تْدرأ
,
ْﻴ ﺄﻓ
لﺎ ﻓ
و
ﻴ ﻋ
ﷲا
ﻰ ﺻ
ﱠﻲ ﱠ ا
:
ﺮ ْﻴ
ﻲ ﻴآو
ْﻴ أ
اذإ
,
ﺮﺸﻋ
ﺔ ْ
ْ
ْﺬ ﻓ
ﺎًْ و
(
دواد
ﻮ أ
اور
ﺤﱠﺤﺻو
Artinya : “Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi
SAW. Beliau kemudian bersabda: Jika engkau menemui wakilku di
Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq.” (HR. Abu Daud). 2
Adapun dalam sistem demokrasi, pemilu untuk memilih penguasa adalah
dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Maka status pemilu
legislatif tidak sama dengan pemilu eksekutif. Dalam konteks pemilu legislatif, status
pemilu merupakan akad wakâlah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun
dalam konteks pemilu eksekutif statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status
akad wakâlah, melainkan akad ta‘yîn wa tansib (memilih dan mengangkat) untuk
menjalankan hukum-hukum tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum
apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka
memilih penguasa bukan saja mubah atau boleh melainkan wajib.3 Menurut
Al-Farabi negara demokrasi adalah negara yang tujuan penduduknya menganut
kebebasan dan setiap penduduknya melakukan apa yang dikehendaki tanpa sedikit
pun yang mengekang kehendaknya.4
Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk
melanggengkan rezim demokratik-sekularistik yang jelas-jelas bertentangan dengan
2
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin Kramat Raya, 1984), h. 23.
3
Abdul Karim Zaidan., h. 28.
4
aqidah dan syarî’ah Islam. Akan tetapi Allah SWT Maha Tahu dan Maha Hakim
untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. Maka apapun
jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka hal itu merupakan bagian dari
agama dan tidak bertentangan dengan agama.
Dalam Islam apapun yang bisa melahirkan keadilan, maka dalam bagian dari
politik harus sesuai dengan syarî’ah. Tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat
sebuah kekuasaan harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syarî’ah Islam.
Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki
tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah menjadi yang lebih baik dan
berasaskan akan Islam, maka ini adalah suatu hal yang baik karena bertujuan untuk
mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian
kemaslahatan.
Pada akhirnya yang paling dibutuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman yang
baik dan bijak akan nilai-nilai syarî’ah Allah, agar dapat melaksanakannya secara
tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT yang menurunkan
rahmat bagi alam semesta. Atas dasar itu, pengkajian hukum Islam dalam sistem
pemilu di Indonesia sangat relevan bila dikaitkan dengan doktrin dan teori hukum
Islam dan hukum nasional. Hal ini menarik untuk diteliti, sehingga penulis
menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “SISTEM PEMILU DI
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari masa ke masa pemilu selalu dilakukan, akan tetapi persoalan pemilu
selalu ada dan sangat luas permasalahannya. Maka sudah barang tentu penelitian
tentang pemilu tidak bisa diuraikan dalam penelitian yang sederhana.
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka penulis terfokus pada pemilu secara
normatif dari segi Islam. Maka dari uraian latar belakang masalah di atas, skripsi ini
menetapkan pokok masalah yaitu: Bagaimanakah sistem pemilu di Indonesia dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 menurut perspektif Islam?
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan dalam latar belakang, dan tentunya
agar penelitian ini terarah dan terfokus pada satu masalah kajian, maka penulis
membatasi batasan bahasan sekitar:
1. Bagaimana konsep dasar doktrin pemilu dalam fiqh siyasah yang berkaitan
dengan asas proporsionalitas dan keadilan dalam UU No. 10 tahun 2008?
2. Bagaimana sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia yang diatur oleh UU
No. 10 Tahun 2008, khususnya yang berkaitan dengan 3 pasal yang dianggap
kontroversial yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3 ?
3. Bagaimana relasi antara hukum Islam (pemilu dalam Islam) dengan sistem
pemilihan umum (pemilu) di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008?
Untuk lebih fokus pada pembahasan mengenai Undang-Undang No.10 Tahun
2008, maka penulis membatasi lingkup penelitian pada beberapa pasal yang dianggap
1. Pasal 205 ayat 4 yang berbunyi “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan
penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa
kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh
suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.”
2. Pasal 211 ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah
dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik
Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa
suara terbanyak satu persatu sampai habis.”
3. Pasal 212 ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah
dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi partai politik
peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa
suara terbanyak satu persatu sampai habis.”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Merujuk kepada pokok masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk menjelaskan sistem pemilu di Indonesia dalam Undang-Undang No. 10 Tahun
2008 dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam perspektif Islam
(kajian fiqh siyâsah). Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep dasar pemilu dalam fiqh siyâsah
3. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di
Indonesia
Adapun signifikansi penelitian ini terangkum dalam point berikut:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi positif dalam upaya
memecahkan masalah yang melingkupi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang pemilu.
b. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan pemikiran
politik Islam tentang pemilu yang ideal.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran dalam
khazanah intelektual terhadap kajian pemilu khususnya di jurusan siyâsah
syariyyah.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang akan diteliti, maka tentunya
penulis harus mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan isu yang
akan diteliti. Secara tipologis, penelitian penulis ini menggunakan studi kepustakaan,
dengan memperoleh dan mengumpulkan data untuk mendapatkan data sesuai harapan
jenis penelitian ini dapat juga disebut sebagai penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif-analitis 5.
Dengan demikian, pendekatan (approach) pada objek penelitian ini
menggunakan pendekatan normatif doktriner, yaitu berdasarkan pada norma
perspektif Islam dalam menganalisis Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang
pemilu.
Lebih dari itu, sifat dalam penelitian ini merupakan model penelitian
deskriptif analitis yang memaparkan apa adanya pemilu di Indonesia, yakni penelitian
yang menggambarkan dan menginformasikan yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan secara mendalam agar dapat memberikan informasi kepada pembaca
secara optimal. Kemudian dianalisis dan dikaji secara normatif, yaitu dengan fiqh
siyâsah sebagai tolak ukurnya.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data hukum menggunakan teknik studi
dokumenter dengan mengumpulkan bahan dari sumber-sumber data primer,
sekunder, dan tersier.
Bahan pustaka yang menjadi rujukan primer dalam penelitian ini adalah
Al-Qur’an dan Hadits, kitab-kitab yang berkaitan dengan fiqh siyâsah dalam siyâsah
syariyyah antara lain “Al-Ahkâm Al-Sultâniyyah” karya Al-Mawardy dan Ali ibn
5
Muhammad ibn Habib,“As-siyâsah As-syariyyah” karya Abdul Wahab Khalaf, serta
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu.
Adapun rujukan sekunder adalah beberapa buku yang fokus kajiannya
mengenai permasalahan tentang pemilu dan juga data pustaka lain yang berkaitan
dengan pemilu. Berbagai macam buku tersebut antara lain: karya Dr. Muhammad
Iqbal dalam bukunya “Fiqh Siyâsah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, karya
Prof. A. H. A. Dzajuli, SH. dalam bukunya “Fiqh Siyâsah Dalam Implemenatsi
Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syarî’ah”, karya T. M. Hasbi
As-Shiddieqy dalam bukunya “Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut syarî’ah Islam,
dan karya Djoko Prakoso dalam bukunya “Tindak Pidana Pemilu.” Selain yang
disebutkan diatas, penyusun juga menggunakan referensi lainnya yang bisa dijadikan
sumber acuan pelengkap yang terkait dengan skripsi ini.
Adapun rujukan tersier dalam penelitian ini adalah kamus ilmiah, kamus
hukum, dan buku pedoman penulisan skripsi fakultas syari’ah dan hukum Universitas
Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Hal ini sebagai penunjang
yang memberikan petunjuk terhadap data primer dan data sekunder.
Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari data-data hukum yang relevan
terhadap isu yang dihadapi. Karena didalam penelitian penulis menyebutkan
pendekatan undangan, maka peneliti harus mencari peraturan
perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu pemilu. Oleh karena itu untuk
memecahkan suatu isu pemilu peneliti harus menelusuri sekian banyak berbagai
dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003. Lebih dari itu, untuk mendapatkan
penjelasan mendalam (in-depth) tentang UU No. 10 tahun 2008, penulis melakukan
interview (open-ended interview) atau wawancara dengan beberapa pakar hukum
yang kompeten di bidangnya.
3. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dari berbagai sumber yang relevan dianalisis secara
kualitatif, dengan menggunakan penalaran deduktif induktif. Hal ini merupakan
hukum-hukum yang sesuai dengan perspektif Islam yang dijadikan landasan dan
kaidah umum untuk meninjau sistem pemilu dalam undang-undang No. 10 tahun
2008, kemudian disimpulkan apakah sesuai atau tidak sesuai.
Dalam menganalisis data hukum, diterapkan teknik analisis isi secara
kualitatif. Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan bahan-bahan tersebut
secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Kemudian
melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara sistematis bahan-bahan yang
telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu kesatuan yang utuh.
Penulis menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan
demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.
Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas syarî’ah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2009.”
Sebagaimana layaknya laporan hasil ilmiah yang standar dalam bentuk
skripsi, maka laporan ini menjelaskan secara teknis prosedural. Hal ini untuk
mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi
ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini,
maka penulis menyusun sistematika penulisan. Pembahasan skripsi ini terbagi
menjadi lima bab, dari setiap bab terdiri dari sub bab yaitu:
BAB I Pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika penulisan. Dari latar belakang masalah ini nantinya
akan muncul bahasan-bahasan yang menjadi kajian atau ulasan dari
skripsi ini.
BAB II Doktrin Pemilu Dalam Fiqh Siyasah, membahas tentang: urgensi pemilu dalam ketatanegaraan Islam, lalu dilanjutkan dengan
pembahasan prinsip ketatanegaraan Islam dalam pemilu seperti prinsip
musyawarah, prinsip keadilan, prinsip persamaan, prinsip kejujuran,
prinsip pertanggung jawaban, prinsip kebebasan, prinsip kebajikan.
BAB III Sistem Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,
mendeskripsikan tentang: latar belakang pembentukan UU No. 10
tahun 2008, pandangan para pakar terhadap UU No. 10 tahun 2008,
dan substansi UU No. 10 tahun 2008.
penting seperti: sistem pemilu dalam Islam, pemilu dalam pandangan
ulama Islam kontemporer, dan pandangan hukum Islam terhadap
sistem pemilu menurut UU No. 10 tahun 2008.
BAB II
DOKTRIN PEMILU DALAM FIQH SIYASAH
A. Urgensi Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam
Dalam kepustakaan Islam telah lama dikenal terma fiqh politik (fiqh siyâsah),
yang menempatkan syarî’ah Islam disamping sebagai aturan tentang ketuhanan,
hubungan antara manusia dengan Tuhannya (masalah-masalah ibadah) serta akhlak,
tetapi juga mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan pemerintah),
atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa,
hubungan pejabat dengan penduduk, yang diatur dalam fiqh daulah.1 Politik menurut
perspektif syarî’ah, ialah menjadikan syarî’ah sebagai pangkal tolak, kembali dan
bersandar kepada-Nya, mengaplikasikannya dimuka bumi, menancapkan
ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip-Nya ditengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan
sasaran-Nya, sistem, dan jalan-Nya. Tujuannya berdasarkan syarî’ah dan sistem yang
dianut juga berdasarkan syarî’ah. Islam adalah aqidah dan syarî’ah, agama dan
daulah, kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan, mushaf dan perang.2.
Dalam kepustakaan modern bidang-bidang ini adalah termasuk dalam bidang
kenegaraan dan kebijakan publik, dan hukumnya adalah masuk dalam bidang hukum
1
Yusuf Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, Terjemahan dari judul Aslinya: As-siyâsah As-syariyyah, oleh Kathur Suhadi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999), Cet.I., h. 23.
2
Yusuf Al-Qardhawy., h. 35.
publik, yaitu hukum tata negara, administrasi negara, hukum pidana, dan hukum
acara.
Terdapat banyak kajian dalam masalah fiqhiyyah, ada yang masuk dalam
domain pembahasan fiqh secara umum, dan bahkan ada pula yang mengupasnya
dalam kitab-kitab fiqh secara khusus, seperti “Al-Ahkâm Al-Sultâniyyah” karangan
Al-Mawardî Asy-Syafi’y (wafat 450 H), Abul Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali (wafat
458 H.), “Ghayyatsul-Umam” karangan Al-Imam Al-Haramain Asy-Syafi’y (wafat
476 H), Kitab “As-Siyâsah As-Syariyyah Fi Al-Islâhi Ar-ra’yu wa Ar-Ra’iyyah”
karangan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), serta karangan dari murid dan sahabat Ibnu
Taimiyyah yaitu Ibnu Qayyim yang mengarang kitab “At-turûq Al-Hukmiyyah.”
Termasuk kitab klasik “Al-Kharaj” yang dikarang oleh Abu Yusuf (wafat 181 H),
salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah, serta banyak lagi kitab-kitab lainnya
termasuk yang ditulis pada awal abad ke-20.3
Pandangan dan pendapat para para fuqaha dan ulama klasik tentang politik
hampir sama dengan apa yang dikemukan oleh Al-Qordowi4 yaitu tidak
dipisahkannya politik dengan syarî’ah Islam. Politik adalah bagian dari syarî’ah Islam
yang diatur oleh syarî’ah dan tujuannya untuk tegaknya syarî’ah itu sendiri. Politik
dalam pandangan para ulama salaf diartikan dalam dua makna, yaitu: Pertama, dalam
makna umum yaitu untuk menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia
mereka berdasarkan syari’at agama. Kedua, politik dalam makna khusus yaitu
3
Al-Mawardy dan Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h.54
4
pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang dikeluarkannya
untuk menangkal kerusakan yang akan terjadi, mengatasi kerusakan yang telah terjadi
atau untuk memecahkan masalah-masalah khusus. Politik harus didasarkan pada fiqh
Islami, yang berasal dari segala mazhab fiqh yang ada serta praktek para sahabat dan
tabi’in. Dalam pelaksanaannya fiqh Islami itu berinteraksi dengan realitas kehidupan,
serta berbuat untuk memecahkan berbagai problem dengan merujuk kepada syarî’ah.
Syarî’ah tidak menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh kerena itu realitas juga
adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul.5
Banyak contoh dan tuntunan yang diberikan Rasulullah SAW, tentang
kelenturan syarî’ah Islam yang dihadapkan dengan realitas, dan inilah bidang politik,
yaitu antara lain suatu saat Rasululah pernah memerintahkan untuk memenjarakan
seorang tersangka, padahal pada sisi lain Rasulullah SAW bersabda tidak akan
menghukum seseorang kecuali dengan dua saksi. Begitu juga dengan sikap
Rasulullah SAW yang meringankan hukuman bagi pencuri yang diganti dengan
hukum dera, karena memperhatikan kondisi kehidupan pencuri itu. Serta mengambil
zakat dan mengembalikan sebagian kepada mereka sebagai keringanan. Khalîfah
Umar r.a. juga pernah menangguhkan hukum bagi pencuri karena kemiskinan.6
Setelah runtuhnya Khilâfah Islamiyah mulai berkembang perbedaan
pandangan diantara ummat Islam tentang Islam dan politik. Terutama dimulai dengan
5
Yusuf Al-Qardhawy., h. 38
6
pandangan seorang ulama Al-Azhar yaitu Ali Abdurraziq, dengan tulisan “Islam Wa
UUsûli Al-Hukmi“, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Islam adalah agama yang
tidak memiliki daulah, negara Islam adalah risalah rohani semata. Muhammad tidak
bermaksud mendirikan negara dan hal ini tidak termasuk risalah beliau. Beliau
hanyalah seorang rasûl yang bertugas melaksanakan dakwah agama secara murni
tidak dicampur kecenderungan terhadap kekuasaan dan seruan mendirikan negara,
karena memang beliau tidak memliki kekuasaan dan pemerintahan. Beliau bukan raja
dan bukan pula seorang pendiri daulah serta tidak mengajak kepada pembentukan
negara. Pandangan Ali Abdurraziq ini ditentang oleh seluruh ulama Al-Azhar dan
putusan dalam pertemuan format Saikh Al-Azhar beserta 24 anggota tetap, dan
memutuskan bahwa buku Ali Abdurraziq tersebut telah memuat berbagai masalah
yang bertentangan dengan agama. Pengarangnya dianggap telah melalui jalan yang
sama sekali tidak layak dilakukan seorang muslim, terlebih lagi seorang yang
berilmu. Pengarangnya dikeluarkan dari ulama Al-Azhar dan dicabut kepakarannya
serta diberhentikan dari jabatannya.
7
Pandangan yang lebih moderat disampaikan oleh Haikal,8 bahwa dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ditemukan aturan-aturan yang langsung dan rinci
mengenai masalah-masalah yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang dapat
dijadikan pedoman bagi pengaturan tingkah laku manusia dan kehidupan dan
7
Yusuf Al-Qardhawy., h, 29.
8
pergaulan dengan sesamanya yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi
pengaturan hidup kenegaraan. Tuntunan Al-Qur’an mengenai kehidupan bernegara
tidaklah menunjuk suatu model tertentu. Karena itu Haikal menyimpulkan bahwa
soal negara dan pemerintahan lebih banyak diserahkan kepada ijtihad ummat Islam.
Islam hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dipedomani dalam
mengelola negara. Prinsip-prinsip itu mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam bagi
pengelolaan hidup bermasyarakat, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan, dan
kebebasan.
Perbedaan pandangan diantara ummat Islam mengenai hubungan antara Islam
dan politik tersebut berkembang hingga saat sekarang ini, dan membawa kepada
perbedaan aliran politik yang dianut ummat Islam di seluruh dunia, termasuk yang
terjadi di Indonesia.
Disinilah titik temu antara Islam dan politik. Politik dalam Islam mempunyai
andil yang sangat besar, sehingga dapat dikatakan bahwa Islam menganjurkan adanya
kegiatan politik, karena dengan politik itu sendiri, Islam dapat bertahan dan tersebar
di dunia. Namun yang perlu diperhatikan adalah politik (siyâsah) dalam kontek ideal,
bukan pelakunya dan realitas politik Islam. Hal ini karena dalam Islam pun realitas
politiknya kadang tidak Islami, misalnya terjadi pembunuhan, fitnah, money politik,
dan lain-lain. Syekh Muhammad Abduh pernah berkata: “A‘ûdzu Billâhi Min
Asy-Syaitâni As-Siyâsah Wa Assasah” yang artinya saya berlindung kepada Allah dari
dengan nilai-nilai Islam. Berkaitan dengan ini Imam Syafi’i mengatakan “La Siyâsat
Al-illa Mâ Wafaqa Bihi Asy-Syar’u”, yang artinya tidak ada politik (syarî’ah) kecuali
sesuai dengan prinsip-prinsip agama.9
Salah satu pilar demokrasi suatu negara adalah terselenggaranya pemilihan
umum (Pemilu) yang jujur dan adil. Dalam sistem ketatanegaraan Islam, pemilu
mendapat legalitas dari ajaran Islam dan merupakan sebuah prosesi yang harus
dilaksanakan untuk memilih para pemimpin, baik sebagai wakil-wakil rakyat
dilembaga legislatif atau disebut dengan ahl halli wal aqd, maupun kepala negara atau
presiden dan wakilnya atau disebut dengan khilafah.
Untuk itu setiap warga negara wajib menggunakan hak pilihnya, dan khusus
bagi umat Islam wajib memilih orang-orang Islam yang terbaik sesuai pilihan hati
nurani masing-masing, tanpa ada pengaruh intimidasi dari orang lain.
B. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Islam yang Berhubungan dengan Pemilu 1. Prinsip Musyawarah
Padanan demokrasi dalam Islam adalah musyawarah (syûra) yang merupakan
kata turunan (derivasi) dari kata kerja “syâwara” yang berarti “meminta pendapat dan
mencari kebenaran”. Sedangkan secara terminologis, syûra bermakna “memunculkan
pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada
9
kesimpulan yang paling tepat”.10 Dengan demikian, demokrasi yang bermakna dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat dalam tataran idealnya sejalan
dengan prinsip syûra dalam Islam.
Di dalam Islam bermusyawarah untuk mencapai mufakat adalah hal yang
disyariatkan. Dalam Al-Qur’an surat As-Syura Allah mengatakan:
☺
)
ىرﻮﺸﻟا
/
16:42
(
Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka, dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
(QS. As-Syura/42: 38)
Dengan ayat ini, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan
musyawarah pada tempat yang agung. Syarî’ah Islam yang lapang ini telah
memberinya tempat yang besar dalam dasar-dasar tasyri’ (yurisprudensi).11 Ayat itu
memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syûra dan menghiasi diri dengan
adab syûra sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk
sifat-sifat mukmin sejati. Untuk lebih menegaskan urgensi syûra, ayat di atas
menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardu ‘ain yang tidaklah
10
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), edisi II, cet.III, h.111.
11
sempurna Islam seseorang dan tidak pula lengkap imannya kecuali dengan ibadah
yakni shalat, infak, dan menjauhi perbuatan keji.
Hal tersebut menunjukan bahwa Islam secara langsung menerapkan prinsip
pengambilan keputusan berlandaskan musyawarah yang menjadi sendi utama dalam
demokrasi modern yaitu dari, oleh, dan untuk kepentingan rakyat.
2. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental dalam kaitanya dengan
pelaksanaan sistem bernegara, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Menurut Abdurahman Wahid, ‘adl atau keadilan dalam perspektif
Al-Qur’an bisa diartikan sebagai “sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak,
penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan”.12
Definisi tersebut bisa dilihat dari beberapa ayat dalam Al-Quran tentang keadilan
yang bersinonim dengan kata lainya seperti qistu dan hukmu:
⌧
☺
☺
⌧
☺
⌧
)
ءﺎ ﻨﻟا
/
4
:
58
(
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
12
☺
)
ءﺎ ﻨﻟا
/
4
:
105
(
Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisa/4: 105)
Menurut Tahir Azhari, paling sedikit ada empat prinsip keadilan dalam
Al-Quran yang berkaitan dengan penegakan hukum. Pertama, keadilan harus
dilaksanakan dengan keihklasan karena Allah, bukan karena faktor lain seperti uang,
jabatan, atau kedudukan. Kedua, keadilan harus berpihak kepada kebenaran. Ketiga,
keadilan tidak boleh berdasarkan kepada kebencian. Keempat, keadilan berkorelasi
positif dengan ketakwaan yaitu keadilan yang berdasarkan perintah Allah dan
menjauhi larangan Nya.13
3. Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dalam Islam
terangkum dalam Al-Qur’an secara eksplisit:
⌧
13
)
تﺮﺠ ﻟا
/
49
:
13
(
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang palig bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat/49:13)
Konsepsi persamaan juga terdeskripsikan dalam Hadits Nabi dalam pidato
Nabi ketika haji wada tahun 10 H:
“Sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu Adam. Karena itu tidak ada perbedaan
antara orang Arab dan bukan Arab, antara orang yang berkulit merah dengan yang
berkulit hitam, kecuali karena takwa nya kepada Allah.”
Menurut Tahir Azhary14, prinsip persamaan dalam perspektif hukum Islam
merupakan perlakuan dan perlindungan yang sama terhadap semua orang di mata
hukum.
4. Prinsip Kejujuran
Prinsip kejujuran sebenarnya bersinergi dengan prinsip amanah dalam
memutuskan suatu perkara. Hakim yang amanah tentunya akan menghasilkan produk
14
hukum yang berkualitas. Menurut Tahir Azhary15, prinsip kejujuran merupakan
refleksi dari prinsip ketaatan rakyat, suatu relasi antara pemerintah dan rakyat, atau
ulil amri (penguasa) dan ummat (rakyat). Al-Qur’an menjelaskan konsep relasi ini:
⌧
⌧
)
ﻨﻟا
ءﺎ
/
4
:
59
(
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah kepada
Rasul Nya serta orang-orang yang berwenang diantara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul Nya (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibat nya”. (QS. An-Nisa/4:59)
Kejujuran merupakan sikap pemenuhan kepercayaan atas tanggung jawab
yang diberikan. Pada tahap inilah kejujuran dan amanah saling berkorelasi. Dalam
konteks bernegara, pemerintah yang diberi kepercayaan oleh rakyat harus mampu
memenuhi kepercayaan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Distorsi terhadap
amanah adalah ketidakjujuran dan penghianatan terhadap rakyat.
5. Prinsip Pertanggungjawaban
Prinsip pertanggungjawaban merupakan prinsip akuntabilitas dan transparansi
dari suatu pelaksanaan amanah. Karena kekuasaan adalah amanah yang harus
15
dipertanggungjawabkan, maka prinsip akuntabilitas wajib dilaksanakan. Al-Qur’an
menjelaskan:
⌧
☺
☺
⌧
☺ ⌧
)
ءﺎ ﻨﻟا
/
4
:
58
(
Artinya : “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah
kepada yang berhak menerimanya, dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat” (QS. An-Nisa/4: 58)
Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa: “Kullukum Râ’in Wa Kullukum
‘an Ro’iyatihi” Artinya : “Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin, dan
setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban nya kelak. Seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyat nya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban
mengenai rakyat nya“. (HR Bukhari)
Menurut Tahir Azhary, hadist tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa
setiap muslim adalah pemimpin baik formal maupun informal. Secara formal,
pemimpin adalah seseorang yang memiliki kedudukan ataupun jabatan dalam struktur
pemerintahan. Sedangkan secara informal, pemimpin adalah setiap orang yang
memegang pimpinan, baik sebagai kepala rumah tangga (ayah atau suami), atau pun
sebagai pemimpin masyarakat (kelompok atau sejumlah orang yang berkumpul
secara tidak resmi).16
16
Sistem akuntabilitas dan transparansi dalam perspektif hukum Islam
merupakan bentuk pertanggungjawaban penguasa, karena ia memegang kewajiban
dan kewenangan (otoritas). Dalam konteks ini, kekuasaan bukan hanya sekedar
otoritas semata, tetapi lebih dari itu mengandung kewajiban disamping kewenangan.
Pada pelaksanaannya kewajiban harus dikedepankan dari kewenangan yang
merupakan hak penguasa.17
6. Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan (freedom of decision) dalam penetapan hukum Islam bisa
dimaknai sebagai kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur tangan
penguasa, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim menjatuhkan
putusannya pada seorang penguasa apabila melanggar hak-hak rakyat”.18
Menurut Tahir Azhary, prinsip peradilan bebas dalam perspektif hukum Islam
harus sejalan dengan tujuan hukum Islam, spirit Al-Qur’an dan As-Sunah. Tujuan
hukum Islam dalam konteks ini terangkum dalam “ad-doruriyyah al-Khamsah” yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Tahir Azhari menggaris bawahi bahwa
prinsip kebebasan dalam penentuan hukum Islam harus menjunjung tinggi prinsip
amanah, karena kekuasaan qâdi atau hakim merupakan amanah dari ummat yang
harus dijaga dengan baik. Lebih dari itu, seorang sebelum memutuskan suatu perkara
harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan qâdi lainnya agar tercapai keputusan
17
Muhammad Tahir Azhary., h. 110
18
yang bijak dan adil, karena keputusan hukum yang adil merupakan tujuan utama dari
kekuasaan kehakiman yang bebas dari intevensi dan interes penguasa.19
7. Prinsip Kebajikan
Prinsip kebajikan dalam menjalankan amanah bisa diartikan juga sebagai
prinsip kesejahteraan. Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam mengandung
pengertian yang lebih luas yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan
ekonomi bagi seluruh ummat. Pengertian keadilan sosial bukan hanya pemenuhan
kebutuhan materi semata, tetapi lebih dari itu mencakup pemenuhan kebutuhan
spiritual. Dengan kata lain, keadilan sosial harus memenuhi unsur lahir dan bathin.
Al-Qur’an menjabarkan konsep keadilan sosial ke dalam sejumlah aktivitas ekonomi
yang akan menjamin kesejahteraan masyarakat luas seperti adanya kewajiban zakat,
infaq, shadaqah, hibah, dan wakaf dalam surat Al-Ma’arij dan Adz-Zariyat sebagai
berikut:
)
جرﺎ ﻤﻟا
/
70
:
24
(
Artinya : “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.
(QS. Al-Ma’arij/70: 24) ☺
)
جرﺎ ﻤﻟا
/
70
:
25
(
Artinya : “Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai
apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij/70: 25)
)
ﺖ راﺬﻟا
/
51
:
19
(
19Artinya : “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
(QS. Az-Zariyat/51: 19).20
Konsepsi kebajikan (baca: kesejahteraan) terdeskripsikan dalam Al-Qur’an
sebagai terbentuknya suatu negara yang makmur dan subur:
⌦
⌧
)
ﺄ
/
:
(
Artinya : “....(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah
Tuhan yang Maha Pengampun". (QS. Saba’/34: 15)
Menurut Tahir Azhary, negara berkewajiban untuk mengatur, mengelola
sumber daya alam, dan mengalokasikan pendapatan negara untuk kesejahteraan
rakyatnya dalam bentuk jaminan sosial. Jaminan sosial yang dimaksud adalah adanya
tunjangan pengangguran, tunjangan masa depan, beasiswa, tunjangan pensiun, dan
sebagainya. Prinsip kebajikan harus sejalan dengan doktrin Islam “Hablu Min
Al-Allah Wa Hablu Min An-Nâs”, yaitu aspek ibadah (vertical) dan aspek mu’amalah
(horizontal). Untuk mewujudkan kebajikan dan kesejahteraan tersebut, maka harus
berdasarkan prinsip keadilan sosial yang sesuai dengan anjuran dan perintah Allah
swt dalam Al-Qur’an.21
20
Muhammad Tahir Azharys., h. 150-151
21
BAB III
SISTEM PEMILU MENURUT UU NO 10 TAHUN 2008
A. Latar Belakang Pembentukan UU No. 10 Tahun 2008
Pemilu dapat dikatakan sebagai sebuah “pesta demokrasi” bagi rakyat.
Suksesnya pemilu menjadi salah satu wujud suksesnya penerapan demokrasi di suatu
negara. Persiapan pelaksanaan pemilu bukan hanya sekedar persiapan logistik
semata, tetapi lebih dari itu, persiapan landasan hukum berikut Undang-Undang
Pemilu yang mengikat. UU No. 10 Tahun 2008, misalnya merupakan penyempurnaan
aturan pemilu sebelumnya.1
Secara umum diduga Undang-Undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 terdapat
beberapa pasal yang tidak sinkron dengan Undang-Undang lain seperti UU No. 22
Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu.2 Di antaranya terkait tentang
pembentukan penetapan daftar pemilih sementara dalam UU No. 22 Tahun 2007
dengan penetapan daftar pemilih tetap yang dilakukan Petugas Pemutahiran Data
Pemilih (PPDP). Terdapat beberapa hal yang jauh dari harapan publik, misalnya
semangat penyederhanaan jumlah partai tidak didukung dengan peraturan yang tepat.
Ditetapkannya Parlementary Threshold tidak terkait dengan penyederhanaan partai,
tetapi hanya mekanisme dalam penempatan “kursi” yang diperoleh Partai. Hal ini
1
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
2
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)
juga terkait dengan aturan peralihan yang membolehkan semua partai yang duduk di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ikut pemilu 2009, yang sudah dibatalkan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), namun menjadi tidak berarti karena tahap
verifikasi telah dilalui.3
Ada sejumlah catatan penting dari kecacatan pemilu 2009 secara sistemik.
Salah satu akar dari "cacat" pemilu 2009, baik yang terjadi pada pemilu legislatif
maupun pemilihan presiden, adalah distorsi dan bias politik sistem proporsional yang
dianut. Sistem proporsional telah "terselewengkan" oleh oligarki parlemen dalam
menyusun Undang-Undang No. 10 tahun 2008. Beragam tafsir, kualitas
penyelenggaraan dan banyaknya kepentingan menyebabkan kualitas Pemilu 2009
diragukan oleh banyak pihak.
B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No 10 Tahun 2008
Menurut Relfy Harun,4 dilihat dari segi sejarahnya UU ini dibuat pada bulan
Mei 2007 dan selesai dirumusukan pada 3 Maret 2008, kemudian disahkan pada 28
Maret 2008. Sedangkan pemilu ini dilakukan pada 5 April 2009. UU ini dianggap
sangat terburu-buru karena terlambat diundangkan atau disahkan, terbukti adanya
judicial review yang terkait dengan penentuan calon terpilih berdasarkan pemilih
yang mendapatkan suara 30 persen. Menurutnya, MK membatalkan pasal 214 yang
menyatakan harus memperoleh suara terbanyak. Terlebih, Refly menegaskan bahwa
3
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
4
perubahan UU No. 10 tahun 2008 sangat luar biasa dengan banyaknya perubahan dari
UU sebelumnya yang membuat pemilu mengalami banyak permasalahan.
Terkait dengan pasal yang dianggap kontroversi, Refly menggaris bawahi
bahwa sebenarnya pasal-pasal tersebut terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945,
dikarenakan banyak pihak yang ingin mengambil kesempatan, khususnya yang tidak
mendapatkan kursi di DPR. Perhitungan kursi pada UU No. 10 tahun 2008, misalnya
partai A mendapat 70 suara dan partai B mendapat 40 suara. Pada tahap pertama
partai A mendapat 1 kursi dari perhitungan 50 suara sedangkan partai B tidak
mendapatkan kursi karena tidak memenuhi penentuan suara yaitu 40 suara. Pada
tahap kedua partai A tidak mendapat kursi karena kurangnya jumlah sisa suara yaitu
20 kursi, sedangkan partai B dalam tahap kedua mendapat 1 kursi karena sisa suara
lebih banyak dari partai A yaitu 40 suara. Dalam hal ini, banyak pihak yang
menganggap tidak adanya keadilan, seharusnya pada perhitungan penentuan kursi
pada tahap pertama, kedua, dan ketiga harus tetap diberikan kepada partai yang
mendapat suara terbanyak.5
Refly menegaskan bahwa menurut sistem yang disepakati dalam segi
perundang-undangan sebenarnya jelas perhitungan suara dianggap adil, hal ini
terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945 tentang pelaksanaan pemilu. Akan tetapi,
karena ada pihak tertentu yang kalah dan mengupayakan agar menang, maka mereka
kemudian mengajukan judicial review. Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun
5
dianggap adil sesuai dengan UUD 1945, akan tetapi tetap ada persoalan penentuan
calon terpilih yang bermasalah dalam tahap ketiga yaitu penentuan yang diangkat
dalam DPRD Provinsi atau penentuan Dapil (Daerah Pemilihan), dapil mana yang
berhak mendapat kursi.6
Refly menandaskan bahwa banyak politisi yang melakukan Judicial review,
hal ini dikarenakan adanya ketidakjelasan UU No. 10 tahun 2008 terutama terkait
dengan penetapan atau pengaturan kursi dalam partai politik dan penentuan calon
terpilih, ditambah dengan rumitnya sistem pemilu yang diadopsi. Dalam sistem
pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tapi dengan suara terbanyak hal
ini ditambah dengan pemilihan dapil, sehingga perhitungan suara dalam jumlah kursi
atau calon terpilih menjadi rumit dan sangat sulit. Karena sistem proporsional terbuka
sebenarnya tidak punya dapil, yang sebenarnya dikenal dengan distrik. Kemudian
ketidak jelasan dalam UU No. 10 tahun 2008 yang dipersoalkan adalah mental para
calon DPR yang mengupayakan segala cara agar dapat terpilih dan mengupayakan
agar celah hukum yang ada agar terpilih menjadi anggota DPR.7
Refly menjelaskan bahwa UU No.10 tahun 2008 bukanlah penyempurnaan
terhadap UU sebelumnya, akan tetapi perubahan terjadi karena konteks isi atau
bahasa didalamnya dirubah secara keseluruhan yang dianggap tidak penting dalam
UU No. 12 tahun 2003. Kecuali hubungan antara UU No. 10 tahun 2008 dengan UU
6
wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
7
No.12 tahun 2003 dan masih dipertahankan. Hal ini mengacu pada kebutuhan zaman
pada masa tersebut.8
Refly menambahkan bahwa relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan
hukum tata negara terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 E perubahan ketiga UUD 1945
dalam BAB VIIB tentang pemilihan umum yang isinya (ayat 1); Pemilu dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (ayat
2); Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden
dan DPRD. (ayat 3); Peserta pemilu untuk memilih DPR dan anggota DPRD adalah
partai politik. (ayat 4); Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah
perseorangan. (ayat 5); Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (ayat 6); Ketentaun lebih lanjut tentang pemilu
diatur dengan undang-undang.9
Menurut KH. Yan Hasanudin Malik10, berdasarkan UU No.10 tahun 2008
anggota dewan dicalonkan oleh partai maka proses pencalonan harus melalui partai
politik. Menurut nya, relasi antara UU No.12 tahun 2003 dengan UU No. 10 tahun
2008, yang menjadi amandemen dari UU sebelumnya, sebenarnya tidak jauh berbeda,
hanya saja perhitungan suara pada tahap pertama, kedua, dan ketiga sebagai sisa,
sedangkan dalam UU No.12 tahun 2003 perhitungan suara hanya terdapat dalam
8
wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
9
wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
10
tahap pertama dan tahap sisa. Orang yang terpilih merupakan orang yang mewakili
rakyat. Sistem pemilu tidak sesuai karena di Indonesia menganut perkawinan sistem
distrik dan sistem proporsional.
KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan beberapa pasal yang kontroversial.
Menurut analisanya, pasal-pasal tersebut mengandung kontroversi pada masalah
perhitungan sisa suara, banyak orang yang terpilih tapi karena tidak masuk dalam
BPP maka dianggap hangus dan tidak berarti. Banyak kelemahan dalam UU No. 10
tahun 2008 pertama yaitu suara partai yang dihitung, jika ketentuan perhitungan
dalam BPP misalnya 300 orang mendapatkan 1 kursi maka jika partai A memiliki
suara sah 1000 orang maka partai A mendapatkan 3 kursi hal ini merupakan
perhitungan tahap kedua, sedangkan partai B memiliki 500 orang maka partai B
mendapatkan 1 kursi. Sedangkan sisa suara partai A adalah 100 dan sisa suara partai
B adalah 200 hal ini merupakan perhitungan tahap kedua. Sedangkan dalam tahap
ketiga sisa suara dari perhitungan setiap partai kecil diberikan pada partai yang
memenangkan suara terbesar yaitu memenuhi suara 2,5 %. Hal ini menjadi
kontroversi jika ada suara sisa, maka BPP membagi kursi yang masih ada sampai
habis. Suara yang kurang dari ketentuan BPP diberikan kepada partai yang
mendapatkan suara terbanyak.11
KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa penentuan suara terbesar
menjadi masalah dalam pemilihan tahap ketiga, suara partai yang tidak mendapatkan
11
kursi kemudian dilimpahkan kepada partai pemenang yang paling besar. Jatah partai
kecil yang tidak memenuhi dilimpahkan pada partai yang menang, maka orang yang
memilih satu partai karena tidak mencukupi dianggap hangus. Ia menambahkan
bahwa isu sentral dalam UU No. 10 tahun 2008 terkait dengan parlementary
thershold dan elektoral threshold.12
KH. Yan Hasanudin Malik mengelaborasi perbedaan sisitem pemilu dalam
Islam dan sistem pemilu konvensional secara komprehensif. Menurut nya, dalam
Islam tidak mengenal pemilu karena pemilu dalam Islam ukuran atau dasarnya adalah
kebenaran, sedangkan dalam pemilu demokrasi ukuran atau dasarnya adalah suara
mayoritas yang paling banyak suara sah atau pendukungnya maka dialah yang
terpilih. Nilai kebenaran selama sesuai dengan prinsip Islam yaitu calon mempunyai
kapabilitas, intelektual, moralitas, dan dinilai cakap untuk menjalankan syariat Islam
hal itu sah saja. Di Indonesia menganut sistem demokrasi menurut jumlah suara, jika
dalam demokrasi yang paling penting adalah suara pendukung, maka manusia bisa
dimanipulasi misalnya money politik itulah perbedaan antara pemilu Islam dengan
pemilu di Indonesia. Adapun persamaan antara pemilu dalam Islam dan pemilu di
indonesia mempunyai semangat yang sama.13
KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa Ahl halli wal aqd merupakan
wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu harus dilihat keturunan, moralitas,
12
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010
13
muamalah, jadi moralitas seseorang mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam
Islam. Sama seperti halnya DPR sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini
dipilih melalui pemilu, sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat
akan tetapi dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat
mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat.14
KH. Yan Hasanudin Malik berpendapat bahwa terdapat korelasi positif antara
pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No. 10 tahun
2008. Menurut nya, pemilu untuk mengurus masalah teknis dalam menerjemahkan
perintah Allah dan Rasul dalam hidup berbangsa dan bernegara berarti pemilu boleh
saja. Misalnya Allah memerintahkan seseorang berlaku adil, maka kewajiban
masyarakat muslim melakukan keadilan, hal itu perlu diprogramkan maka diperlukan
lembaga yang perlu untuk menjalankan perintah tersebut yaitu keadilan. Maka
legalitas dan dukungan rakyat adalah dalam bentuk pemilu, maka sah saja tapi tidak
boleh merubah dari ketentuan syariat Islam. Hal ini harus merupakan pengaturan atau
regulasi ketetapan dari Allah dan nabi dapat terlaksana, untuk bisa mencapai hal itu
harus dibuat dengan perencanaan kemudian dipilih orang yang dapat menjalankan
tugas tersebut, agar pemilu dapat dipertanggungjawabkan maka harus dipilih. Yang
berbeda dalam hal ini adalah substansi antara Islam dan demokrasi.15
14
wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
15
KH. Yan Hasanudin Malik menggarisbawahi bahwa dalam UU No. 10 tahun
2008 suara rakyat tidak terakomodir sepenuhnya karena ada sistem parlementary
threshold, maka sebagian wakil rakyat di DPR tidak semua dipilih oleh rakyat
dianggap hangus dan diberikan kepada partai pemenang. Dalam Islam prinsipnya
lebih kepada ukuran kebenaran tapi perlu diperjuangkan maka harus ada program,
perencanaan, dan evaluasi. Maka jika hal itu menghasilkan keadilan maka hali itu adil
saja selama tidak bertentangan dengan syariat Islam dan konsep dalam HAM.16
KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan bahwa ahlu halli wal aqd yaitu
sesorang yang mempunyai kemampuan teknis dan dapat menerjemahkan Islam dalam
kehidupan sehari-hari sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Hal ini
dibentuk oleh majlis syuro yang berasal dari kata syawaro yang berarti madu dan
terasa manis dan menyehatkan sehingga dapat mewakili rakyat dalam kebenaran.
KH. Yan Hasanudin Malik lebih jauh menjelaskan tentang adanya hubungan
atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan pemilu di Indonesia menurut UU
No.10 tahun 2008 yaitu dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat dengan memilih
orang-orang yang mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan keinginan untuk
memenuhi kebutuhan rakyat sebagai wakil rakyat walaupun berbeda dalam segi
substansi jika dalam Islam berdasarkan akan kebenaran sedangkan dalam pemilu
16
demokrasi ukurannya memanjangkan UUD untuk mendapatkan pendukung dalam
pemilihan suara.17
Menurut Mochammad Nurhasim18, peneliti bidang politik LIPI,
Undang-Undang paket politik yang meliputi hampir enam Undang-Undang-Undang-Undang, tampaknya
memang memiliki kekacauan substansial yang sistemik. Misalnya, Undang-Undang
paket politik itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilihan Presiden, Undang-Undnag Nomor 32 Tahun
2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, serta
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Nurhasim menegaskan bahwa salah satu faktor determinan dari kekacauan itu
adalah tidak saling sinkron antara satu undang-undang dengan undang-undang yang
lain. Bahkan ada gejala saling menegasikan dan tidak saling menunjang. Sebagai
contoh, prinsip multipartai yang menjadi inti dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, seakan-akan berdiri sendiri sebagai suatu undang-undang,
tanpa terkait dengan undang-undang pemilu.19 Upaya penyederhanaan partai yang
dianut pada sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 ternyata
17
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
18
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.
19
tidak ditunjang oleh undang-undang kepartaian, yang justru memberikan keleluasaan
orang untuk mendirikan partai politik.20
Demikian pula dengan masalah pilihan presiden dan bahkan undang-undang
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru saja disahkan oleh DPR yang
ditambah dengan Nurhasim. Dari segi prinsip, yang paling parah secara substansial
adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang ini mengandung beberapa kelemahan
mendasar, karena undang-undang tersebut telah menisbikan sebagian prinsip sistem
proporsional. Kelemahan itu terletak pada dan di antaranya ialah bertingkatnya
koefisien bilangan untuk penentuan kursi bagi anggota DPR.21
Nurhasim menggaris bawahi bahwa aturan tiga tahap dalam penentuan kursi
bukanlah suatu kewajaran, tetapi merupakan penyimpangan substansial dari sistem
proporsional. Hadirnya Pasal 205 dapat dianggap sebagai "akal-akalan" politik partai.
Dalam sistem proporsional sejatinya jika suatu suara tidak sebanding dengan
koefisien nilai kursi, maka suara tersebut disebut sebagai sisa. Undang-Undnag
Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengenal dan tidak menjelaskan sama sekali tentang
20
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone. com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.
21
istilah sisa suara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 205 adalah pasal karet yang bukan
saja multitafsir, tapi sekaligus tidak memiliki dasar secara teoritik.22
Alhasil, Nurhasim menegaskan bahwa hal itu berdampak pada perbedaan nilai
satu kursi dalam suatu daerah pemilihan, antara tahap pertama, kedua, dan ketiga
dalam penghitungan kursi partai. Sistem proporsional yang "hibrida", suatu
perkawinan antara sebagian sistem distrik dengan sistem proporsional, idealnya
pengawinan substansi itu tidak mengacaukan sistem utamanya. Indonesia sebenarnya
terjebak pada sistem proporsional hibrida yang kacau balau. Kekacauan itu terletak
pada inkonsisten prinsip-prinsip utama sistem proporsional yang digunakan.
Lebih dari itu, Nurhasim meyakini bahwa teknis pembagian kursi yang dianut
pada Pemilu 2004 justru lebih bagus ketimbang Pemilu 2009.23 Pembagian kursi
yang hanya pada dua tahap (tahap pertama dan tahap sisa) lebih mencerminkan
keadilan substansial yang meminjam istilah Mahkamah Konstitusi (MK) daripada
tiga tahap seperti yang berlaku saat ini. Kekacauan lainnya terletak pada desain
undang-undang yang dirancang setengah proporsional terbuka, menjadi terbuka
penuh. Ini terjadi karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan
permohonan suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih anggota DPR dan
DPRD.
22
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
23
Nurhasim menjelaskan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak
dirancang untuk proporsional terbuka penuh, hanya setengahnya.24 Kenapa setengah?
karena adanya percampuran antara peran partai dan peran pemilih pada saat
penentuan calon terpilih. Percampuran itu berimbas pada beberapa teknis lainnya,
khususnya cara memilih dan sah tidaknya sebuah pilihan rakyat. Dalam sistem
proporsional dengan daftar tertutup pemilih akan memilih gambar partai. Sementara
dalam sistem proporsional "setengah terbuka" seperti yang berlaku pada pemilu tahun
2004, pemilih dapat memilih partai dan atau nama calon.
Idealnya, Nurhasim menambahkan dalam sistem proporsional yang
benar-benar terbuka penuh, pemilih hanya memilih nama calon. Akan tetapi, kekacauan
ketika Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
meletakkan fungsi dan peran anggota DPRD terpilih justru di bawah bayang-bayang
peran dan oligarki partai politik.25
Nurhasim menegaskan bahwa sebuah undang-undang pemilu tidaklah berdiri
sendirian. Undang-Undang Pemilu akan melandasi tiga hal secara mendasar, pertama
sistem kepartaian yang kita anut, kedua susunan dan kedudukan DPR, DPD dan
DPRD, dan ketiga adalah pihak penyelenggara dan pengawasnya. Meletakkan
hubungan yang saling berhubungan antara satu undang dengan
undang-undang lainnya merupakan keniscayaan.
24
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
25
Prinsip tersebut relatif diabaikan dalam penyusunan paket Undang-Undang
Politik (Undang-Undang Pemilu, Kepartaian, Susunan DPR, DPD dan DPRD serta
penyelenggara pemilu). Upaya para akademisi yang tergabung dalam tim perancang
Paket Undang-Undang Politik usulan pemerintah yang mencoba merangkai kaitan
paket Undang-Undang Politik yang diacak-acak pada saat pembahasan RUU di DPR.
Berbagai kerancuan yang telah disebut di atas adalah contoh dari proses pembahasan
RUU Politik yang kental kepentingan politik.26
Ironinya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 200827 Tentang Pemilihan
Anggota Legislatif DPR, DPD, dan DPRD banyak menuai gugatan uji materiil di
Mahkamah Konstitusi (MK). Baik oleh lembaga maupun perorangan. Padahal,
dengan Undang-Undang inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan
Pemilihan Umum 2009. Benarkah materi Undang-Undang ini sebenarnya masih
lemah, atau pemberlakuannya masih belum banyak dipahami akibat minimnya
sosialisasi?
Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD28, banyaknya
gugatan masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 200829 ini
26
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone. com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.
27
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
28 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008
'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010.
29
menunjukan bahwa Undnag-Undang ini belum kuat untuk dijadikan dasar hukum
bagi KPU untuk melaksanakan pemilu legislatif. Hal tersebut merupakan
konsekwensi sekaligus kenyataan bahwa undang-undang ini produk politik. Di sinilah
letak fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji apakah undang-undang itu
sudah kuat atau belum. Hasilnya, dari enam pengujian, ada beberapa yang dikabulkan
dan ada yang ditolak.
Mahfudz MD berharap bahwa masyarakat dapat memahami bahwa Mahkamah
Konstitusi (MK) tidak boleh sewenang-wenang. Karena Mahkamah Konstitusi (MK)
hanya bisa membatalkan undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan
konstitusi sehingga tidak bisa didorong untuk membuat putusan yang bertentangan
dengan konstitusi.30
Seperti misalnya calon perseorangan yang sudah ditolak gugatannya itu. Jika
mengacu ke konstitusi isinya sudah jelas kebutuhan politis dan sosiologisnya, jadi
tidak ada tafsir lain. Bahwa dalam persidangan ada tiga hakim yang dissenting
opinion, sebenarnya esensi yang mereka sampaikan sama. Menghendaki dilaksanakan
tapi baru bisa tahun 2014 karena masih memerlukan perubahan konstitusi lagi.
Pembatalan Pasal 214 Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 200831 oleh
Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfudz MD menegaskan kemungkinan intensitas
saling gugat antar calon legislatif akan meningkat tajam. Walaupun demikinan dalam
30
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010
31
undang-undang yang mengaturnya, Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengadili
sengketa hasil pemilu, termasuk juga jika partai politik menggugat KPU. 32
Sementara itu, tokoh-tokoh pers baik akademisi maupun praktisi media massa
merasa "kecolongan" dengan munculnya sejumlah produk undang-undang yang
secara eksplisit maupun implisit "mengebiri" kebebasan pers di negeri ini. Kita sebut
saja keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Isi Undang-Undang ini jelas-jelas mengekang kebebasan
pers dan berlawanan dengan hakikat dan fungsi media massa.33
Pasal 91 Ayat 2, misalnya berisikan ketentuan bagi media cetak dan penyiaran
yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan
berimbang kepada semua peserta pemilu. Pasal 93 ayat 3 menegaskan: media massa
wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan
dan penayangan iklan kampanye. Pasal 97 menyatakan pula bahwa media massa
menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan
wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu. Pasal 94
ayat 1 bahwa media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual "blocking
segment" dan atau "blocking time" untuk kampanye Pemilu. Pasal 94 ayat 2 bahwa
media massa dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun
32
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010
33
yang dapat dikategorikan iklan kampanye. Pasal 94 ayat 3 bahwa iklan yang tidak
dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu dilarang dijual kepada pihak lain.34
Selain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 200835 tentang pemilu, masih
banyak produk Undang-Undang maupun Rancangan Undang-Undang lainnya yang
berlawanan dengan kebebasan pers. Misalnya, Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers
dan kemerdekaan berekspresi masyarakat, karena ancamannya sangat berat
sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi
informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau
pencemaran nama baik. Ancaman atau sanksi lainnya pada pasal 28 ayat (2)
menyebutkan: jika sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan, maka setiap orang yang melanggar
tiap-tiap pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar.36
Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi media massa untuk memuat berita
pemilu. Yang diatur dalam undang-undang adalah media massa wajib memberitakan
berita yang benar sesuai fakta. Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi
34
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Me