• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DI LAPAS NARKOTIKA KLAS II A CIPINANG JAKARTA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DI LAPAS NARKOTIKA KLAS II A CIPINANG JAKARTA TIMUR"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi Ini Disusun Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Mendapatkan Gelar Sarjan Hokum Di Fakultas Hokum

Disusun Oleh :

Nama : Rohayati

Nim : 20120610237

FAKULTAS HOKUM MUHAMMADYAH YOGYAKARTA

(2)
(3)

Meninggalkan Narkoba adalah pilihan terbaik, dari pada hidup bersama Narkoba -R. Andika Dwi Prasetya,Bc.IP,S.Pd

(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, kupersembahkan karya kecil ini untuk orang-orang yang saya cintai :

o Ibu, yang tidak pernah lelah mendo’akan saya, menguatkan hati saya, dan

menyayangi saya.

o Ayah, yang tidak pernah berhenti mendukung saya dalam hal apapun, dan yang

selalu mengajarkan arti kesabaran dan keikhlasan.

(5)

berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah dari-Nya, penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa juga tercurahkan untuk baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Rehabilitasi Bagi Narapidana Narkotika Di Lapas Narkotika Klas II A Cipinang Jakarta Timur” ini penulis susun untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan tugas akhir ini hingga selesai. Secara khusus rasa terimakasih tersebut penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Trisno Rahardjo, S.H., M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sekaligus dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dukungan, hingga terciptalah penulisan hukum (skripsi) ini.

(6)

3. Bapak Mukhtar Zuhdy, S.H., M.H selaku ketua penguji sidang skripsi yang juga memberikan bimbingan kepada saya

4. Bapak/Ibu Dosen yang dengan senantiasa memberikan ilmu yang bermanfaat untuk kami, para mahasiswa.

5. Seluruh Karyawan di Fakultas Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

6. Bapak Maman, yang selalu dengan sabar dan penuh ikhlas membantu para mahasiswa, hingga semuanya Alhamdulillah berjalan dengan lancar.

Penulis sangat menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna, baik dari segi materi maupun dari segi penyajiannya. Tetapi Penulis berharap, semoga tugas akhir ini memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya untuk penulis juga.

Yogyakarta, April 2016 Penulis,

(7)

Persetujuan ... i

Pengesahan ... ii

Pernyataan ... iii

Motto ... iv

Persembahan ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi... viii

Abstrak ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 10

E. Metode Penelitian... 18

F. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II PEMBINAAN REHABILITASI BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA A. Tindak Pidana Narkotika... 25

B. Sistem Pemasyarakatan dan Pembinaan Narapidana Narkotika ... 34

C. Asas-asas Dalam Sistem Pembinaan Pemasyarakatan ... 48

(8)

BAB III REHABILITASI

A. Pengertian Rehabilitasi dan Tujuan Rehabilitasi ... 58

B. Bentuk Pelayanan Rehabilitasi ... 65

C. Metode Rehabilitasi ... 67

D. Ketentuan Rehabilitasi ... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Pelaksanaan Rehabilitasi Bagi Narapidana Narkotika ... 77

B. Kendala Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Di Lapas Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta Timur ... 101

BAB V PENUTUP Kesimpulan ... 113

Saran ... 114

(9)
(10)
(11)

pengobatan, perawatan pecandu dan ketergantunganterhadap narkotika. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika sebagaimana pada Pasal 56 Undang-Undang Nomor Tahun 2009 adalah sebagai instansi pemerintah dalam pelaksanaan rehabilitasi sebagai bagian dari pembinaan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan pembinaan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika di Lapas Narkotika Cipinang Jakarta Timur, serta apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaannya.

Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu di intreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa pelaksana-an pembinaan rehabilitasi bagi narapidana narkotika dilaksanakan untuk mengembalikan narapidana kemasyarakat dengan tidak melakukan tindak pidana lagi dan mengurangi tingkat penyalahgunaan narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Hambatan-hambatan yang menjadi penghalang untuk pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Narkotika Cipinang Jakarta Timur adalah adanya hambatan normatif sebagai pedoman pelaksanaan rehabilitasi, masalah Anggaran dan tingkat SDM petugas, kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya kepedulian dari lingkungan, masalah kapasitas dan masalah Warga Binaaan Pemasyarakatan itu sendiri.Pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta Timur sudah berjalan dengan efektif artinya sesuai dengan Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang No 12 tahun 1999 tentang Pemasyarakatan, akan tetapi belum maksimal karena terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Agar pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta Timur berjalan dengan maksimal, maka diperlukan suatu pola pembenahan baik dari segi peraturan, keamanan, dan tingkat SDM. Selain itu diperlukan revisi terhadap UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika agar penyalahguna narkotika tidak hanya diberikan sanksi pidana berupa pemenjaraan saja tetapi juga diberikan sanksi berupa pembinaan rehabilitasi medis dan sosial, guna meminimalisir penyalahgunaan narkotika.

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang mana larangan tersebut di sertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.1 Salah satu tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman pidana, yakni tindak pidana narkotika.

Tindak pidana narkotika selalu mendapat perhatian bagi masyarakat umum dan aparat penegak hukum. Mengingat jumlah pengguna yang semakin meningkat dan dampak yang di timbulkan dapat merusak generasi muda. Narkotika merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan kesehatan, ekonomi dan politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas. Narkotika merupakan ancaman terhadap generasi muda menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera.

Pembicaraan tentang penyalahgunaan narkotika seakan tidak ada putus-putusnya. Hal ini menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi saat ini, dimana penyalahguna dan pengedar gelap narkotika semakin marak terjadi didalam lapas narkotika.

1

(13)

Penyalahgunaan narkotika bukan lagi masalah baru di Indonesia. Mengingat penyalahgunaan narkotika di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor penghambat keberhasilan untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan sejahtera.

Salah satu upaya pemerintah dalam penanganan penyalahgunaan narkotika adalah dengan membentuk peraturan perundang-undangan tentang narkotika. Peraturan dan Undang-Undang yang pertama dibuat Belanda pada tahun 1927 yaitu Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie) (Stbl. 1927 No. 278 Jo.No. 536). Akan tetapi peraturan ini dibuat hanya mengatur tentang penggunaan dan obat bius dan melegalkan penggunanya selama hanya dilakukan di tempat-tempat yang sudah ditetapkan. Akhirnya pada tahun 1976 dikeluarkanlah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 yang kemudian direvisi menjadi No 22 Tahun 1997 dan pada tahun 2009 direvisi kembali menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika guna meminimalisir tingginya angka penyalahgunaan narkotika di Indonesia.

(14)

hokum pidana khusus ialah perundang-undangan bukanlah yang bersanksi pidana yang disebut juga hokum administrasi.2

Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan UU hokum pidana khusus menerapkan ancaman atau sanksi pidana adalah pidana mati, pidana penjara dalam waktu tertentu/seumur hidup, dan pidana denda, juga menerapkan sanksi berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna narkotika baik yang berada dalam rutan/lapas. Hal ini menunjukan bahwa UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 yang dibentuk oleh pemerintah ini bersifat double track system.Dauble track system, dalam sistem pemidanaan adalah sanksi pidana dan sanksi tindakan, diterapkan dalam kedudukan yang setara karena sama-sama penting, karena pemidanaan sesungguhnya memiliki unsur pencelaan/penderitaan (lewat sanksi pidana) dan unsur pembinaan (lewat sanksi tindakan).3

Terdapat steatment dalam UU Narkotika No 35 Tahun 2009, bahwa pelaku tindak pidana narkotika dapat dijatuhi sanksi pidana dan juga rehabilitasi, akan tetapi ada juga yang hanya dikenakan sanksi rehabilitasi saja. Dalam Pasal 54 dijelaskan bahwa pecandu, penyalahguna maupun penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. UU Narkotika telah memberi kewenangan kepada hakim yang

2

Andi Hamzah, Asas-Asas Hokum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 1994, hlm. 12

3

(15)

memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/ atau perawatan apabila pelaku tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Pemakai Narkotika ke dalam Terapi dan Rehabilitasi bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana tersebut di atas sebagai masa menjalani pidana.

Perubahan UU Narkotika yang baru yaitu UU No 35 Tahun 2009 tentang Nakotika yang mengharuskan agar para terpidana pengguna narkotika dan korban penyalahguna narkotika dipulihkan dipusat rehabilitasi.Beberapa waktu lalu hakim-hakim masih banyak memutuskan menetapkan para pengguna dan penyalahguna narkotika ke Lembaga Pemasyarakatan, saat ini para terpidana bisa bebas meminta untuk merubah ketetapan itu, dari Lapas untuk di pindakahkan ke Pusat Rehabilitasi.4

Seiring dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mendukung pada saat ini karena dampak negatif keterpengaruhan prilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat, keadaan ini diperlakukan dengan perbedaan di Lembaga Pemasyarkaan Narkotika karena yang menjadi penghuni di Lembaga Pemasyarakatan

4

(16)

Narkotika secara khusus merupakan narapidana narkotika sehingga pola pembinaan di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika adalah pembinaan yang konfrehensif antara pemulihan dengan pemidanaan. Pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang Jakarta Timur selalu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Pelaksanaan SEMA RI No. 04 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi hakim tetap memperhatikan komposisi pemakaian sehingga pengguna dapat diputuskan untuk melaksanakan perawatan di tempat rehabilitasi. Arti penting penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah pengobatan, perawatan pecandu dan ketergantungan narkoba akan mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, disamping dapat mengurangi peredaran gelap narkotika, untuk itu kerangka yuridis yang telah ada di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 54 adalah sebagai dasar bagi hakim untuk dapat memutuskan pecandu narkotika dan korban

(17)

pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 127 ayat (3), yang menyatakan bahwa dalam hal ini penyalahguna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahguna Narkotika, penyalahguna tersebut wajib direhabilitasi.

Pelaksanaan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah-guna narkotika sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Menteri Republik Indonesia. Rehabilitasi medis diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2012 Tentang Teknis Pelaksanaan Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, Dan Korban Penyalahguna Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan. Kemudian dalam rehabilitas sosial diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahguna Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainya.

Rehabilitasi bagi narapidana yang terlibat dalam tindak pidana narkotika cara yang dilakukan Lapas agar narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan tidak mengulangi tindak pidananya atau residiv, yakni dengan melakukan pembinaan khusus, yang dapat memulihkan keadaan fisik dan mentalnya menjadi sehat atau baik.

(18)

kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab.

Konsep Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai tempat pembinaan dan pendidikan bagi orang yang bermasalah dengan hokum, khususnya terhadap kasus-kasus narkotika perlu dilakukan dan diadakan lapas sendiri secara khusus yang membedakan antara bandar atau orang yang terlibat sindikat peredaran gelap narkotika, pengedar maupun hanya sebatas pemakai atau pecandu yang tertangkap tangan. Diantara mereka yang sebaiknya dipisahkan agar pengawasan dapat dilakukan secara khusus terhadap masing-masing kategori. Dengan demikian kontrolpun akan dapat dilakukan secara maksimal serta khusus.

(19)

Departemen Hokum dan HAM Daerah Ibu Kota Jakarta, Berlokasi Jalan Raya Bekasi Timur, No. 170 A, Jakarta Timur 13410.5

Pada prinsipnya, tugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yakni dengan sistem pemasyarakatan yang diselenggarakan memiliki fungsi :

1. Melaksanakan pembinaan narapidana/anak didik kasus narkotika

2. Memberikan bimbingan, terapi dan rehabilitasi narapidana/ anak didik kasus narkotika.

3. Melakukan bimbingan sosial/ kerohanian.

4. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib lapas. 5. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.6

Bertujuan agar narapidana tersebut menyadari kesalahannya dengan memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Meskipun segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Permasalahan narkotika masih terus terjadi bahkan semakin marak terjadi khusunya didalam lapas Klas IIA Cipinang Jakarta Timur dimana para pecandu dan korban penyalahguna narkotika disatukan dengan para pengedar gelap dan para sindikat yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan baru, selain itu melihat jumlah narapidana di LP Cipinang telah mencapai 3038 orang sedangkan kapasitas LP Cipinang hanya 1084 orang, artinya melebihi kapasitas (overload), masalah lain seperti kematian dan

5

Jakarta.kemenkumham.go.id

6

(20)

peredaran gelap narkotika di dalam lapas sering terjadi bahkan petugas lapas sendiri terjaring peredaran gelap narkotika oleh salah satu narapidana dan masalah anggaran atau SDM di LP Cipinang yang merupakan salah satu pendukung terlaksananya rehabilitasi, masih kurang. Hal inilah yang menjadi permasalahan seperti apa pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta timur, apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan hal ini peneliti ingin mengkaji lebih lanjut mengenai Pelaksanaan Rehabilitas Bagi Narapidana Di Lapas Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta Timur”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi bagi narapidana narkotika di Lapas Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta Timur?

2. Apa kendala dalam pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta Timur?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penyusunan penulisan hokum ini, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut :

(21)

2. Untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan rehabilitas oleh petugas pemasyarakatan yang merupakan pejabat fungsional penegak hokum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbing-an Warga Binapembimbing-an Pemasyarakatpembimbing-an.

D. Tinjauan Pustaka

1. Pelaksanaan Rehabilitasi. a. Pengertian Pelaksanaan

Pelaksanaan atau implementasi merupakan salah satu tahap penting dalam proses kebijakan publik.7Dalam kamus Webster dirumuskan secara singkat tentang pelaksanaan atau implentasi, yaitu to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carryng out (menyediakan sarana untuk melakukan sesuatu) to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).8 Secara sederhana pelaksanaan atau implementasi bisa diartikan sebagai penerapan.Majone dan Wildavsky mengemukakan pelaksanaan sebagai evaluasi.Sedangkan Browne dan Wildavsky mengemukakan bahwa Pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan.9

Pengertian diatas memperlihatkan bahwa pelaksanaan bermuara pada aktivitas, adanya aksi, atau mekanisme suatu sistem. Mekanisme

7

http://id.scribe.com/doc/84917286/Beberapa-Teori-Tentang-Implementasi-Program-Atau-Kebijakan.

8

Wahyudi Setya. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.Yogyakarta : PT. Genta Publishing, hlm. 13

9

(22)

mengandung arti bahwa pelaksanaan bukan sekedar aktivitas, tetapi juga merupakan suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan norma tertentu. Salah satu aktivitas atau program kegiatan yang terencana oleh pemerintah adalah pelaksanaan rehabilitasi bagi narapidana narkotika, bertujuan menanggulangi penyalahgunaan narkotika.

Program rehabilitasi bagi narapidana narkotika merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medis, bimbingan mental, psikososial, keagamaan dan pendidikan untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki baik fisik, mental,sosial dan ekonomi.10 b. Pengertian Rehabilitasi.

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1988, rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan) yang dahulu (semula) perbaikan individu, pasien rumah sakit, atau korban bencana, supaya menjadi manusia yang lebih berguna dan memiliki tempat di masyarakat.

Rehabilitasi atau treatment merupakan tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksud adalah memberi tindakan perawatan

10

(23)

(treatment) dan perbaikan (rehabilitasi) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.11

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi merupakan suatu upaya pengobatan bertujuan agar seseorang mendapat-kan hak dan kedudumendapat-kannya kembali untuk dapat hidup normal di dalam masyarakat.

2. Jenis-Jenis Rehabilitasi.

Pada dasarnya, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotikadikenal 2 (dua) macam rehabilitasi narkotika,12 yaitu: a. Rehabilitasi Medis

Menurut pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, rehabilitasi medis adalah : suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ke-tergantungan Narkotika.”

Sedangkan Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 378/Menkes/SK/IV/2008 tentang pedoman pelayanan rehabilitasi medis di rumahsakit disebutkan bahwa pelayanan rehabilitasi medis merupakan pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsi yang diakibatkan oleh keadaan atau kondisi sakit. Rehabilitasi medis dapat dilakukan

11

Usu Law Journal, Vol.3No.1 (April 2015), hlm. 45

12

(24)

dirumah sakit yang ditunjukan oleh menteri kesehatan, yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. b. Rehabilitasi Sosial

Menurut pasal 1 angka 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Rehabilitasi sosial adalah

“Suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial agar pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial dapat dilakukan di lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri Sosial.”

Ketentuan mengenai rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika diatur dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 59.13 Dalam Pasal 54 menjelaskan bahwa Pecandu narkotika, penyalahguna dan korban penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis menurut Pasal 1 angka 13 UU No 35 Tahun 2009.

Dalam pelaksanaan rehabilitasi, diatur pula oleh Mahkamah Agung dalam Surat Edaran No 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dalam pelaksanaan

13

(25)

rehabilitasi diatur juga dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna Dan Korban Penyalahguna Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan, Dan Peraturan Menteri Sosial No 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahguna Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainnya.

3. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Bagi Narapidana Narkotika. a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Bagi Narapidana Terhadap

Tindak Pidana Narkotika

Dalam sistem hokum pidana mengenal istilah Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Dengan kata lain rutan adalah bagian dari Lembaga Tahanan/Lembaga Penahanan, secara umum keduanya merupakan lembaga yang memiliki fungsi yang berbeda.

Lembaga pemasyarakatan atau yang disingkat dengan Lapas merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.14 Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi.15

14

www.hukumonline.com. Sutrisno.Puluhulawa tanggal 13 Januari 2010.

15

(26)

Dalam sistem pemasyarakatan, narapidana, anak didik pe-masyarakatan berhak mendapatkan pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya.16

Tujuan di selenggarakannya sistem pemasyarakatan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak me-nanggulangi tindak pidana sehigga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.17

Fungsi sistem pemasyarakatan menyiapkan Warga Binaan Pe-masyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota bebas dan bertanggung jawab.

b. Pengertian Narapidana Narkotika

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Menurut kamus besar bahasa Indonesia narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana.18 Sementara itu, menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan bahwa narapidana adalah orang hukuman; orang buaian. Selanjutnya berdasarkan kamus hukum narapidana diartikan sebagai berikut:

16

Ibid, hlm. 104

17

Ibid, hlm. 106

18

(27)

Narapidana adalah orang yang menjalani pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan.19

Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah seseorang terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di lembaga pemasyarakatan dimana sebagaian kemerdekaanya hilang.

c. Pengertian Narkotika

Istilah narkotika bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya berita, baik dari media cetak maupun elektronik yang memberitakan tentang pengguna narkotika dan bagaimana korban dari berbagai kalangan usia berjatuhan akibat penggunaannya.20

Menurut AR. Sujono dan Bony Daniel kata narkotika pada

dasarnya berasal dari bahasa yunani “narkoun” yang berarti membuat lumpuh atau mati rasa. Kemudian, Makarau mengemukakan bahwa

19

Soraya Andi Tenrisoji Amirudin, Pemenuhan Hak Narapidana Hal Mendapatkan Pendidikan Pelatihan Anak. 2013, hlm. 10

20

(28)

narkotika adalah jenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang kepada terdakwa tidak melanggar kepentingan hokum yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang meskipun semua bagian tertulis dari rumusan delik terpenuhi.21

Sementara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 joUndang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pengertian narkotika adalah :

“zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penuruan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang, yang kemudian ditetapkan dengan keputusan menteri kesehatan”.

Meriam-webster memberi definisi sebagai berikut :

A drug (as opium or morphine) that in moderate doses dulls the senses, relives pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes stupor, coma, or convulsions;sebuah obat (seperti opinium atau morfin) yang dalam dosis tertentu dapat menumpulkan indra, mengurangi rasa sakit, dan mendorong tidur, tetapi dalam dosis berlebihan menyebabkan pingsan, koma atau kejang.22

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa narkotika terdapat dua macam yaitu narkotika sintesis dan narkotika non sintesis. Narkotika

21

AR. Sujono & Bony Daniel dalam, Ardillah Rahman, Implementasi Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika 2013, hlm. 40

22

(29)

non sintesis ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein, dan cocaine. Narkotika non sinstesis masuk dalam pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintesis yang termasuk didalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu : Hallucinogen, Depressant, Dan Stimulant. Narkotika bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Bahwa dalam pengertian narkotika di sini adalah mencakup obat-obat bius dan obat-obat narcotic and dangerous drugs.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini Penulis menggunakan Penelitian Yuridis Empiris.Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.23 Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian lapangan (penelitian terhadap data primer) yaitu suatu penelitian meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian di gabungkan dengan data dan prilaku yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Data/materi pokok dalam

23

(30)

penelitian ini diperoleh secara langsung dari para responden melalui penelitian lapangan, yaitu para tahanan narkotika di LP Cipinang.

2. Sumber Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data yang bersifat primer dan bersifat sekunder. Data primer dalam penelitian ini langsung diperoleh dari sumber data di lapangan (field research), meliputi sejumlah narasumber yang menyangkut tentang informasi pelaksanaan rehabilitasi, berupa wawancara, angket kuesioner.

Dalam penelitian ini untuk pengambilan narasumber dan responden menggunakan teknik purposive sampling, yaitu menentukan sampel dengan berbagai pertimbangan atau alasan. Teknik ini digunakan untuk menggunakan narasumber dan responden berdasarkan jenis/bidang dalam hal ini narasumber yang dalam penelitian ini adalah Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS) dan Petugas Lapas yang bertugas sebagai Konselor/Psikolog dalam pembinaan rehabilitasi di LP Cipinang. Sementara responden yang akan mengisi kuisioner/angket dalam penelitian ini adalah narapidana narkotika.

(31)

berkaitan dengan masalah atau penelitian yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yang mencakup peraturan perundang-undangan terkait dengan topik masalah yang dibahas yaitu :

1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan

Dan Pembimbinga Warga Binaan Pemasyarakatan.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

5) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, Dan Korban Penyalahguna Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan.

6) Peraturan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainnya.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer24 meliputi buku-buku teks,

24

(32)

bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur, jurnal ilmiah, dan Putusan MA. RI No. 279/Pid/Sus/2014/PN/Jkt.Tim, yang relevan dengan materi penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder25 seperti kamus hukum, kamus besar Bahasa Indonesia, ensiklopedia, surat kabar, tabloid dan artikel-artikel dari internet yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. 3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta Timur, berlokasi di Jalan Raya Bekasi Timur, No 170 A, Jakarta Timur 13410.

4. Teknik Pengumpulan Data : a. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah;

1) Studi kepustakaan/dokumen, yaitu dengan mengumpulkan, mengidentifikasi, dan menganalisis bahan-bahan hukum primer dan sekunder maupun bahan hukum tersier yang berkaitan dengan permasalahan/penelitian.

25

(33)

2) Studi lapangan, yaitu dengan cara mengumpulkan data secara langsung ke lapangan dengan teknik melakukan wawancara kepada beberapa narasumber, dan memberikan angket/kuisioner kepada responden. Teknik pengumpulan data ini melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara peneliti dengan narasumber maupun dengan responden. Untuk angket/kuisioner akan diberikan kepada responden yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, Bapak R. andhika Dwi Prasetya Bc,IP,S.PD selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Jakarta, Ibu Winarti S. Psi selaku Psikolog/konselor dan Sigit Karyadi selaku Program Manager di Lembaga Pemasyarakatan. Sementara Narapidana berinisial F, Z, A dan M sebagai responden. b. Pengolahan Data

Dalam rangka pengolahan data dalam penelitian ini meliputi;

1) Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.

(34)

3) Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian ini sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

5. Analisis Data

Untuk mengolah data Primer dan juga data Sekunder seperti yang telah dijabarkan diatas, agar menjadi sebuah karya ilmiah yang terpadu dan sistematika diperlukan suatu teknik analisis yang dikenal dengan analisis Deskriptif Kualitatif yaitu dengan cara mengambil data dilapangan kemudian menyelaraskan atau menggambarkan keadaan yang nyata dengan peraturan perundang-undangan.

F. SISTEMATIKA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN pada Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

(35)

BAB III REHABILITASI dalam bab ini menjelaskan mengenai pengertian rehabilitasi dan tujuan rehabilitasi, bentuk pelayanan rehabilitasi, metode rehabilitasi dan ketentuan rehabilitasi.

(36)

BAB II

PEMBINAAN BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN

A. Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap Warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.26

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

26

(37)

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.27 Sedangkan menurut Poernomo perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.28

Pada umumnya, orang diancam pidana kerena melakukan suatu perbuataan (act). Namun bisa juga karena “tidak berbuat” (omission), orang diancam dengan pidana.29 Seseorang dapat dipersalahkan melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam delik atau tindak pidana narkotika yang diatur dialam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika apabila dapat dibuktikan berdasarkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sahyang karenanya dapat meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur delik yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (1).

Ketentuan Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disanksikan lagi bahwa semua tindak pidana di dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan.

27

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm 54

28

Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hlm 130

29

(38)

Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.30

Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi kepentingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman Papaver, Koka Dan Ganja.

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jenis narkotika di bagi dalam 3 (tiga) kelompok , yaitu Golongan I, II dan III.Narkotika Golongan I adalah narkotika paling berbahaya, daya adiktifnya sangat tinggi untuk golongan ini tidak diperbolehkan untuk kepentingan apapun kecuali untuk kepentingan penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya adalah Ganja, Kokain Heroin, Morfin dll. Sementara narkotika Golongan II memiliki daya adiktif yang kuat akan tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian contohnya adalah Petidin, dan turunannya. Dan untuk Golongan III adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bemanfaat untuk penelitian, contohnya adalah Kodein dan keturunannya.

30

(39)

Pada dasarnya seseorang melakukan perbuatan tindak pidana narkotika dengan cara menyalahgunakan narkotika di sebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor intern maupun ektern. Menurut Graham Bline, penyalahgunaan narkotika dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu :31 1. Faktor intern (dari dalam dirinya)

a. Sebagai proses untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau instansi berwenang,

b. Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual,

c. Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan penuh resiko,

d. Berusaha mendapatkan atau mencari arti dari pada hidup,

e. Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman sensasional dan emosional,

f. Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, disebabkan kurang kesibukan,

g. Mengikuti kemauan teman dan untuk memupuk rasa solidaritas dan setia kawan,

h. Didorong rasa ingin tahu dan karena iseng.

31

(40)

2. Faktor Ekstern

a. Adanya usaha-usaha subversi untuk menyeret generasi muda ke lembah siksa narkotika,

b. Adanya situasi yang diharmoniskan (broken home) dalam keluarga, tidak ada rasa kasih sayang (emosional), renggangnya hubungan antara ayah dan ibu, orang tua dan anak serta antara anak-anaknya sendiri, c. Karena politik yang ingin mendiskreditkan lawannya dengan

menjerumuskan generasi muda atau remaja.

(41)

narkotika dalam masa pengobatan dan mengadakan pengawasan terhadap pecandu narkotika.32

Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah terdapat kategorisasi tindakan melawan hokum yang dilarang oleh Undang-Undang dan dapat di ancam dengan sanksi pidana, yakni; 33

1. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika ;

2. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika;

3. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika;

4. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika ;

Ketentuan kebijakan sanksi pidana dan pemidaan dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam tabel sebagai berikut : (lihat Tabel 1)

32

AW Widjaja,Masalah Kenakalan Remaja Dan Penyalahgunaan Narkotika, Armico, Bandung,1985,hlm 18

33

(42)

Tabel 1 Perbutan melawan

hokum Kategori I Kategori II Kategori III Kategori IV Jenis pidana

Pidana mati/ seumur hidup

Narkotika Gol. I Berat lebih 1 kg/lebih 5 btg

Narkotika Gol. I 4-12 tahun 5-20 tahun

Narkotika Gol.III x Denda 400JT-3M

denda max + 1/3

Jenis-jenis perbuatan tanpa hak melawan hokum yang diatur dalam tindak pidana narkotika, dibedakan dalam 4 (empat) kategori, yakni;

Kategori I : menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyedia- kan;

Kategori II : memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan;

Kategori III : menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan;

(43)

Sistem pemidanaan seumur hidup atau mati, diterapkan kepada pelanggaran narkotika golongan I, dan golongan II, dengan syarat tertentu. Pengenaan pidana penjara untuk narkotika golongan I, golongan II golongan III, paling minimal 2 (dua) tahun dan paling maksimal 20 tahun penjara. Pengenaan denda diberlakukan bagi semua golongan narkotika, dengan denda minimal 400 juta rupiah dan paling maksimal 8 (delapan) miliar rupiah. Untuk jenis-jenis pelanggaran terhadap narkotika dengan unsur pemberatan maka penerapan denda maksimum dari tiap-tiap Pasal yang dilanggar ditambah 1/3 (satu pertiga).34

Jenis sanksi pidana dalam UU Narkotika berupa pidana seumur hidup/mati, penjara dalam waktu tertentu, dan denda. Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan seumur hidup. Penerapan pidana penjara dan denda menurut undang-undang ini besifat kumulatif terutama penjara dan denda. Dengan penerapan ini, para pelaku tindak pidana penyalahguna dan pengedar gelap narkotika tidak ada pilihan alternatif dalam penetapan pidana penjara atau denda.

Kebijakan kriminalisasi dari undang-undang narkotika tidak terlepas dari tujuan dibuatnya undang-undang itu, terutama tujuan :

1. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika/psikotropika, dan

34

(44)

2. Memberantas peredaran gelap narkotika/psikotropika35

Semua perumusan delik dalam Undang-Undang Narkotika terfokus pada penyalahgunaan dari peredara narkobanya (mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya, termasuk pemakaian pribadi, bukan pada kekayaan (property/assets) yang diperoleh dari tindak pidana “narkotika” itu sendiri).

Menurutilmu hukum pidana, orang telah berusaha memberikan penjelasan tentang siapa yang harus dipandang sebagai pelaku suatu tindak pidana. Van Hamel telah mengartikan pelaku dari suatu tindak pidana dengan membuat suatu definisi yaitu “Pelaku tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan secara tegas, jadi pelaku itu adalah orang yang dengan seseorang diri telah melakukan sendiri

tindak pidana yang bersangkutan”36

35

Barda NawawiArief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, hlm 28

36

(45)

B. Sistem Pemasyarakatan Dan Pembinaan Narapidana Narkotika 1. Sistem Pemasyarakatan dan Pembinaan

a) Pemasyarakatan

Menurut ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat (1), Pemasyarakatan adalah;

“Kegiatan untuk melakukan pembinaanWarga Binaan Pe-masyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistempemidanaan dalam tata peradilan

pidana”.

Menurut Dwidja Priyatno, sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hokum pidana.37 Berdasarkan ketentuan UU No 15 Tahun 1995 Tentang Pemasyrakatan Pasal 1 ayat (2), sistem pemasyarakatan adalah;

“Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, danmasyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.

Menurut Sudarto istilah pemasyarakatan dapat disamakan dengan

“resosialisasi” dengan pengertian bahwa segala sesuatunya ditempatkan

37

(46)

dalam tata budaya Indonesia.38 Resosialisasi menurut Roeslan Saleh adalah, suatu usaha dengan tujuan terpidana akan kembali kedalam masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa dia dapat hidup kembali dalam masyarakat tanpa mengulangi perbuatan tindak pidana.39 Romli Atmasasmita memberi batasan tentang resosialisasi bahwa, suatu proses interaksi antara narapidana, petugas Lembaga Pemasyarakat dan masyarakat, dan kedalam proses interaksi dimaksud dengan mengubah sistem, nilai-nilai dari pada narapidana, sehingga dengan baik dan efektif dapat mereadaptasikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Inti dari resosialisasi adalah mengubah tingkah laku narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dengan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan motivasi narapidana sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.40

Dalam Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyaraktan No.K.P.10.13/3/1, Tanggal 8 Februari 1985, disampaikan suatu konsepsi pemasyarakatan sebagai berikut:

“Pemasyarakatan adalah suatu proses, proses therapeutic dimana narapidana pada waktu masuk Lembaga pemasyarakatan berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan masyarakat, sejauh itu narapidana mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam

38

Sudarto, Hendro purba, PengertianTentang Sistem Pemasyarakatan , di akses pada tanggal 2 februari 2015, available from : Http://online-hukum-blogspot.com/2011/01/pengertian-tentang-sistem.html1#

39

ibid

40

(47)

masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhirnya narapidana dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian hidup dan penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang merugikan (negative).”

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pemasyarakatan Pasal 2 dan Pasal 3 bahwa ;

Pasal 2

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Pasal 3

“Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga BinaanPemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebasdan bertanggung jawab.”

(48)

melalui assosiasinya sendiri menyesuaikan dengan integritas kehidupan dan penghidupan.41

b) Pembinaan

Di tinjau dari segi bahasa, Pembinaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan membina, kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.42 Menurut Poernomo pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik.43 Pembinaan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) berupa bimbingan.Menurut Ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan, pembinaan adalah ;

“Pembinaan meliputi tahanan, pelayanan tahanan, sistem pembinaan narapidana dan bimbingan klien.”44

Pembinaan narapidana merupakan salah satu upaya yang bersifat Ultimum Remidium (upaya terakhir) yang lebih tertuju kepada alat agar narapidana sadar akan perbuatannya sehingga pada saat kembali ke dalam masyarakat ia akan menjadi baik, baik dari segi keagaman, sosial budaya

41

Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Denga Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta 1986, hlm 186

42

http://kbbi.web.id/bina

43

Poernomo dalam, Taufik Hidayat, Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Ketrampilan Bagi Narapidana, 2011, http://lib.unnes.ac.id/5873/1/7582.pdf

44

(49)

maupun moral sehingga akan tercipta keserasian dan keseimbangan di tengah-tengah masyarakat.

Upaya pembinaan atau bimbingan menjadi inti dari kegiatan sistem pemasyarakatan, merupakan sarana perlakuan cara baru terhadap narapidana untuk mendukung pola upaya baru pelaksanaan pidana penjara agar mencapai keberhasilan peranan Negara mengeluarkan kembali menjadi anggota masyarakat.

Kegiatan pembinaan dapat disajikan berupa pembimbingan dan kegiatan lainya. Wujud bimbingan dan kegiatan lainnya akan disesuaikan dengan kemampuan para pembimbing dan kebutuhan bagi para narapidana. Pembinaan dengan bimbingan dan kegiatan lainnya yang diprogramkan terhadap narapidana dapat dilakukan dengan cara pelaksnaan;

1) Bimbingan mental, yang diselenggarakan dengan pendidikan agama, kepribadian dan budi pekerti, dan pendidikan umum yang diarahkan untuk membangkitkan sikap mental baru sesudah menyadari akan kesalahan masa lalu;

(50)

3) Bimbingan keterampilan, yang dapat diselenggarakan dengan kursus, latihan kecakapan tertentu sesuai dengan bakatnya, yang nantinya menjadi bekal hidup untuk mencari nafkah dikemudian hari;

4) Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai, untuk hidup dengan teratur dan belajar mentaati peraturan;

5) Bimbingan-bimbingan lainnya yang menyangkut perawatan kesehatan, seni budaya dan sedapatnya diperkenalkan kepada segala aspek kehidupan bermasyarakat yang dalam bentuk tiruan masyarakat kecil selaras dengan lingkungan sosial yang terjadi di luarnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembinaan merupakan inti kegiatan dari sistem pemasyarakatan, dan pembinaan merupakan bentuk corak model kegiatan yang dilakukan dengan cara efektif dan efisien guna memperoleh hasil yang maksimal.

b. Pembinaan Bagi Narapidana Narkotika

(51)

orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan narapidana, keluarga narapidana, dan Pembina/ Pemerintah.45

Menurut Ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990, menyatakan bahwa dasar pemikiran pembinaan Narapidana tertuang dalam 10 prinsip pemasyarakatan, yaitu:

1) Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

2) Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam Negara. Artinya tidak adanya penyiksaan terhadap narapidana pada umumnya, baik yang berupa tindakan, ucapan, cara penempatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami narapidana adalah hanya dibatasi kemerdekannya untuk leluasa bergerak di dalam masyarakat bebas. 3) Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.

4) Negara tidak berhak membuat mereka menjadi buruk atau lebih jahat dari pada sebelum dijatuhi pidana.

5) Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidana tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi

45

(52)

keperluan jabatan atau kepentingan negara kecuali pada waktu tertentu.

7) Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana adalah berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka harus ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi disamping meningkatkan pemberian pendidikan rohani kepada mereka disertai dorongan untuk menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut.

8) Narapidana bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak diri, keluarga dan lingkungan, kemudian dibina/dibimbing ke jalan yang benar. Selain itu mereka harus diperlukan sebagai manusia yang memiliki harga diri akan tumbuh kembali kepribadiannya yang percaya akan kekuatan dirinya sendiri.

9) Narapidana hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekannya dalam waktu tertentu.

10)Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.46

Sebagai suatu program, maka pembinaan yang dilaksanakan dilakukan melalui beberapa tahapan. Pembinaan yang dilaksanakan

46

(53)

berdasarkan Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan sebagai proses, maka pembinaan dilaksanakan melalui empat (4) tahapan sebagai suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu, yaitu :47

1) Tahap Pertama : Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam LAPAS dan pengawasannya maksimum security. 2) Tahap kedua : Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang

bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada LAPAS melalui pengawasan medium security.

47

(54)

3) Tahap ketiga : Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut tim TPP telah dicapai cukup kemajuan, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian yaitu yang pertama dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa pidananya, tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 dari masa pidananya. Dalam tahap ini dapat diberikan Pembebasan Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan minimum security. 4) Tahap keempat : Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang

memenuhi syarat diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar LAPAS oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang kemudian disebut Pembimbingan Klien Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan pembinaan, terdapat acuan program yang harus diikuti.

(55)

bagi narapidana, dimana berdasarkan tahapan pembinaan, hak CMK bisa diperoleh oleh narapidana apabila telah memasuki tahap pembinaan ketiga dengan pengamanan minimum security.48

Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 mengemukakan suatu gagasan

“Sistem Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara. Sehubungan dengan ini maka sistem kepenjaraan telah ditinggalkan dan memakai system pemasyarakatanyang mengedepankan hak-hak narapidana.49

Hak narapidana tersebut antara lain terdapat pada Pasal 114 Ayat(1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu :

1) Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya 2) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani 3) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

4) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak menyampaikan keluhan

5) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

6) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

7) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya

48

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan, Cetakan 1 Tahun 1990, hlm 10

49

(56)

8) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

9) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga

10)Mendapatkan pembebasan bersyarat 11)Mendapat cuti menjelang bebas

12)Mendapat hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terpenuhinya hak-hak bagi narapidana memberikan dampak positif terhadap perikehidupan di Lembaga Pemasyarakatan. Terwujudnya tata kehidupan yang aman dan tertib, dan mampu mewujudkan narapidana yang telah siap kembali ke masyarakat sebagai manusia yang bermartabat, siap menjalankan perannya sebagai masyarakat dan berbakti pada bangsa dan Negara.

Dalam sistem baru pembinaan narapidana, perlakuan narapidana diterapkan sebagai subyek sekaligus obyek. Subyek disini sebagai kesamaan, kesejajaran, sama-sama sebagai manusia, sama-sama sebagai makhluk Tuhan, sama-sama sebagai makhluk yang spesifik, yang mampu berfikir dan mampu membuat keputusan. Sebagai obyek karena pada dasarnya ada perbedaan kedudukan dalam pembinaan, perbedaan dalam pembinaan dan bukan sebagai manusianya.50

Perbedaan dalam pembinaan salah satu contohnya adalah dengan penggolongan narapidana. Penggolongan narapidana mempermudah

50

(57)

proses pembinaan karena sering kali pembinaan bukan dari Pembina tetapi narapidana sendiri atau sekelompok narapidana. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar :

1) Umur;

2) Jenis kelamin;

3) Lama pidana yang dijatuhkan; 4) Jenis kejahatan; dan

5) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

(58)

kesehatan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) nartkotika antara lain:51

1) Kegiatan perawatan kesehatan umum, yaitu perawatan kesehatan terhadap para narapidana narkoba yang merupakan kelompok resiko tinggi tertularnya berbagai macam penyakit infeksi terutama melalui pemakaian jarum suntik bersama yang tidak steril.

2) Kegiatan perawatan ketergantungan narkoba, yang meliputi: a) Skrining keterlibatan narapidana terhadap narkoba dan alkohol b) Pelayanan detoksifasi

c) Indentifikasi ketergantungan narkotika Pada saat narapidana narkotika memasuki Lapas, perlu dilaksanakan identifikasi ketergantungan narkoba guna mengantisipasi terjadinya penyalah-gunaan narkoba di dalam Rutan/Lapas.

d) Perawatan opiat substitusi oral, yaitu perawatan dengan pengganti opiat yang diminum atau terapi Substitusi Metadone.

e) Perawatan keadaaan emergency/ darurat yaitu tindakan segera bagi para tahanan atau narapidana penyalahgunaan narkoba yang mengalami overdosis.

f) Terapi rehabilitasi, antara lain Teraputic Community, Criminon, Narcotuc Anonimous, Cognitive Behaviour Therapy (CBT), Terapi

51

Pedoman Perawatan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga

(59)

Religi dan lain-lain yang bertujuan mengubah perilaku, menimbulkan rasa percaya diri, mengatasi kecanduan dan meningkatkan iman dan taqwa.

3) Kegiatan perawatan kesehatan jasmani, antara lain berupa perawatan makanan narapidana narkotika, kebersihan perseorangan, kegiatan olah raga, penyuluhan kesehatan dan upaya pencegahan penularan penyakit.

4) Kegiatan perawatan kesehatan mental dan rohani yang meliputi dua pendekatan yaitu perawatan kesehatan mental melalui pendekatan psikologis atau kejiwaan dan melalui pendekatan spiritual atau keagamaan. Kedua pendekatan tersebut bertujuan untuk memperbaiki pola pikir dan perilaku menyimpang, dilihat dari norma agama maupun norma hukum yang tidak tertulis.

C. Asas-Asas Dalam Sistem Pembinaan Pemasyarakatan

Menurut Pasal 5 Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

(60)

bekal hidupnya kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyrakat.

2. “Persamaan perlakuan dan pelayanan” adalah pemberian perlakuan dari pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.

3. “Pendidikan” adalah bahwa penyalenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan pancasila, antara lain penanaman jiwa ke-keluargaan, keterampilan , pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

4. “Penghormatan harkat dan martabat manusia” adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlukan sebagai manusia.

5. “Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan” adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama LAPAS, (Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan, keterampilan, olahraga, atau rekreasi).

6. “Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang

(61)

LAPAS, tetap harus didekatkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam kunjungan.52

D. Tujuan Dan Fungsi Pembinaan Bagi Narapidana Narkotika 1. Tujuan Pembinaan

Tujuan dari pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan adalah agar narapidana tidak mengulangi lagi perbuatan-nya dan bisa menemukan kembali kepercayaan diriperbuatan-nya serta dapat diterima menjadi bagian dari anggota masyarakat. Selain itu pembinaan juga dilakukan terhadap pribadi dari narapidana itu sendiri. Tujuannya agar narapidana mampu mengenal dirinya sendiri dan Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata cara peradilan pidana, yang dikenal sebagai bagian integrasi dari tata peradilan terpadu (Integrated Criminal Justice System).

Tujuan pembinaan terhadap narapidana di Indonesia mulai tampak sejak tahun 1964 setelah Sahardjo mengemukakan dalam konferensi kepenjaraan di Lembaga, bahwa tujuan pemidanaan adalah pemasyarakat-an, narapidana bukan lagi dibuat jera tetapi dibina untuk kemudian dimasyarakatkan.

52

(62)

Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat dibagi dalam tiga hal yaitu :

a. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana.

b. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya.

c. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat

Tujuan pembinaan adalah kesadaran (consciousness). Untuk memperoleh kesadaran dalam diri seseorang, maka seseorang harus mengenal diri sendiri. Ada 4 (empat) komponen penting dalam pembinaan narapidana :

a. Diri sendiri, yaitu Narapidana itu sendiri

b. Keluarga, adalah anggota keluarga inti atau keluarga dekat

c. Masyarakat, adalah orang-orang yang berada disekeliling narapidana pada saat masih diluar Lembaga Pemasyarakatan dapat masyarakat biasa atau pejabat setempat.

d. Petugas, dapat berupa kepolisian, pengacara, petugas keamanan, petugas sosial, petugas lembaga pemasyarakatan, rutan, hakim, dll53

Persoalan mengenai hakikat dan tujuan pembinaan telah menimbulkan beberapa teori pemidanaan. Pada dasarnya teori tentang

53

(63)

fungsi dan tujuan diadakannya institusi hukuman atau pidana itu sama, yaitu untuk mengembalikan ketertiban hokum, untuk mengembalikan ketentuan dan keamanan hidup masyarakat serta terlindunginya semua kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing anggota masyarakat. Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam 3 golongan pokok yaitu : a. Teori Absolut Atau Teori Pembalasan (retributive/vergeldings

theorieen)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.54

Dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johannes Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan

keadilan “(to satisfy the claim of justice)”.55

b. Teori Relative Atau Teori Tujuan (Ultilatarian/Doeltheorieen) Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.

54

Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung P.T Alumni, 2010, hlm.10

55

(64)

Menurut J. Andanaes, teori ini disebut sebagai “teori perlindungan

masyarakat” (the theory of social defence)”.56

Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the “reductive” point of view).57 Dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Tujuan dari teori ini adalah mencegah atau menghindari (prevensi) dilakukannya pelanggaran hokum.

Sifat prevensi sendiri terdiri dari prevensi sepecial dan prevensi general.Prevensi special dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi.Sedangkan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pada umumnya. Artinya, pencegahan dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori ini dikenal dengan sebutan teori Detterence yang artinya menekankan pada tujuan untuk mempengaruhi atau mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan.58

c. Teori Gabungan (verenigings theorieen)

Menurut teori ini pidana hendak berdasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Menurut aliran

56

Muladi, Op.Cit, hlm. 16

57

Muladi, Op.Cit, hlm.

58

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+4

Referensi

Dokumen terkait

Produk kosmetik tanpa label halal pada intinya tidak menjadi kendala bagi konsumen muslim lainnya, karena mereka telah menganggap produk kosmetik tanpa label

pengelolaan datanya terdapat beberapa permasalahan yaitu proses pengisian data klien kurang valid, pencarian data lama, data sering hilang, pengelolaan laporan

Tujuan dari penelitian adalah Menganalisis biaya produksi, pendapatan, dan efisiensi usahatani padi sawah petani kooperator, dan menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi

Pada siklus III ini, hasil evaluasinya menunjukkan peningkatan yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari hasil yang diperoleh seluruh siswa sudah tuntas dalam

Perlakuan K1W2 lebih efektif untuk menghasilkan tanaman poliploid, walaupun hasil flow cytometry menunjukkan tanaman jahe tersebut masih moxiploid (2n=2x+4x) tetapi

Berbeda dengan Desa Air Sulau yang terletak di pulau Sumatera dengan masih luasnya lahan yang berpotensi sebagai sumber hijauan pakan memungkinkan dilakukan peningkatan jumlah

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.. Tesis Pengaruh Keterampilan

Hal ini senada dengan hasil penelitian Astatin & Nurcahyo (2016) yang menjelaskan bahwa penggunaan media pembelajaran pada pembelajaran biologi bermanfaat untuk