• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Keluarga Perokok Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Desa Pintu Batu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Keluarga Perokok Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Desa Pintu Batu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN KELUARGA PEROKOK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI DESA

PINTU BATU KECAMATAN SILAEN KABUPATEN TOBA SAMOSIR

TAHUN 2015.

Hari/TanggalWawancara : NomorUrutResponden : NamaPewawancara :

I. IDENTITAS

A. IdentitasResponden 1. NamaResponden :

2. Pendidikan : 1.Sarjana 2.SLTA 3.SMP 4.SD

3. Pekerjaan : 1.PNS

2.Petani 3.Wiraswasta B. Data Balita

1. Nama :

2. UmurBalita : 1.0-12 bulan

(2)

3. JenisKelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan LembarObservasiKarakteristikRumah Di

DesaPintuBatuKecamatanSilaenKabupaten Toba SamosirTahun 2016

No KondisiFisikRumah Kriteria Nilai Kategor

i

1 Ventilasi a. Luasventilasi ≥ 10-15 %luas

Lantai

1 MS

b. LuasVentilasi<10% atau>15%

2 TMS

c. Tidakada 2 TMS

2 Jenislantai

a. Ubin/keramik/Diplester 1 MS

b. Papan 2 TMS

c. Tanah 2 TMS

3 Pencahayaan a. ≥ 60-120 Lux 1 MS

b. <60 lux atau>120 lux 2 TMS

4 Langit-langit a. Triplek 1 MS

b. Asbes 2 TMS

(3)

7 KepadatanHunian a. Luasruangan ≥ 8m2untuk 2 orang

1 MS

b. Luasruangan< 8m2untuk 2 orang

2 TMS

 MS : MemenuhiSyarat

 TMS : TidakMemenuhiSyarat

II. DAFTAR PERTANYAAN (TambahanInformasi)

1. Apakahsatubulanterakhiranakibupernahmenderita ISPA?

1.Ya 2. Tidak

2. Apakahadaanggotakeluarga yang perokok? 1. Ya 2. Tidak

3. Apakahanggotakeluargamerokok di dalamrumah? 1. Iya 2. Tidak

4. Seberapaseringkahanggotakeluargamerokok di dalamrumah?

1. Sering 2. Jarang

5. Apajenisrokok yang dikonsumsi?

1. Rokokkretek 2. Rokok filter

5 kelembaban a. 40-70% 1 MS

b. <40% atau>70%) 2 TMS

6 Dinding a. Tembok/triplek 1 MS

(4)
(5)
(6)

Kepadatan Hunian

Merokok di Dalam Rumah

Frequency Percent

Frekuensi Merokok Di Dalam rumah

(7)

Kejadian ISPA Jenis Lantai * Kejadian

ISPA 66 100.0% 0 0.0% 66 100.0% Dalam rumah * Kejadian ISPA

47 71.2% 19 28.8% 66 100.0%

Jenis rokok * Kejadian

(8)

Ventilasi * Kejadian ISPA Odds Ratio for Ventilasi

(memenuhi syarat / tidak memenuhi syarat)

.338 .119 .963

For cohort Kejadian ISPA

= Ya .642 .399 1.032

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak 1.896 1.037 3.466

N of Valid Cases 66

Jenis Lantai * Kejadian ISPA

Crosstab

(9)

Chi-Square Tests

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.27. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Jenis

Lantai (Kedap Air / Tidak Kedap Air)

.804 .136 4.748

For cohort Kejadian ISPA

= Ya .925 .508 1.685

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak 1.150 .355 3.728

N of Valid Cases 66

Pencahayaan * Kejadian ISPA

(10)

Continuity Correctionb 4.863 1 .027

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.23. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate Syarat / tidak memenuhi syarat)

.276 .097 .785

For cohort Kejadian ISPA

= Ya .598 .377 .947

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak 2.167 1.152 4.076

N of Valid Cases 66

Langit-langit * Kejadian ISPA

(11)

Linear-by-Linear

Association .627 1 .428

N of Valid Cases 66

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.68. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for

Langit-langit (Memenuhi syarat / Tidak memenuhi syarat)

1.604 .500 5.146

For cohort Kejadian ISPA

= Ya 1.213 .725 2.030

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak .756 .392 1.458

N of Valid Cases 66

Kelembaban * Kejadian ISPA

(12)

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.98. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate syarat / Tidak memenuhi syarat)

.346 .124 .966

For cohort Kejadian ISPA

= Ya .662 .433 1.012

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak 1.914 1.014 3.613

N of Valid Cases 66

Dinding * Kejadian ISPA

Crosstab

(13)

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Dinding

(Memenuhi syarat / Tidak memenuhi syarat)

.410 .117 1.440

For cohort Kejadian ISPA

= Ya .747 .522 1.069

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak 1.821 .729 4.552

N of Valid Cases 66

Kepadatan Hunian * Kejadian ISPA

Crosstab

(14)

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Kepadatan

Hunian (Memenuhi syarat / Tidak memenuhi syarat)

1.842 .522 6.507

For cohort Kejadian ISPA

= Ya 1.296 .712 2.360

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak .704 .359 1.378

N of Valid Cases 66

Keluarga Perokok * Kejadian ISPA Crosstab

(15)

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Keluarga

Perokok (Ya / Tidak) 3.241 1.074 9.782 For cohort Kejadian ISPA

= Ya 1.668 .953 2.917

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak .515 .287 .922

N of Valid Cases 66

Merokok di Dalam Rumah * Kejadian ISPA Crosstab

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.06. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

(16)

Odds Ratio for Merokok di Dalam Rumah (Ya / Tidak)

5.625 1.455 21.750

For cohort Kejadian ISPA

= Ya 1.771 1.043 3.005

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak .315 .126 .788

N of Valid Cases 47

Frekuensi Merokok Di Dalam rumah * Kejadian ISPA Crosstab

(17)

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Frekuensi

Merokok Di Dalam rumah (Sering / Jarang)

5.625 1.455 21.750

For cohort Kejadian ISPA

= Ya 1.771 1.043 3.005

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak .315 .126 .788

N of Valid Cases 47

Jenis rokok * Kejadian ISPA Crosstab

(18)

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Jenis

rokok (Kretek / Filter) 1.154 .325 4.101 For cohort Kejadian ISPA

= Ya 1.044 .710 1.534

For cohort Kejadian ISPA

= Tidak .905 .374 2.190

(19)
(20)
(21)
(22)

Lampiran 7

Dokumentasi Penelitian

Gambar Lux Meter

(23)
(24)
(25)
(26)
(27)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, UF 2008, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Universitas Indonesia, Jakarta.

Anderson, J. 2006. Smoking. Edisi II. Smart Apple Media. United States. Azwar, A 2002, Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan

Masyarakat, Binarupa Aksara, Jakarta.

Boyle, P., Gray, N., Henningfield, J., Seffrin, J. & Zatonski, W. 2010. Tobacco: Science, Policy, and Public Health. Ed. II. Oxford University Press. New York.

Budiarto, E.A. 2001. Pengantar Epidemologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Bandung.

Chandra, B 2007, Pengantar Kesehatan Lingkungan, EGC, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI 2002, Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut, Ditjen PPM dan PLP, http:/www.depkes.go.id, 10 November 2015 (11.20).

__________. 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta.

__________, 2007, Profil Kesehatan Indonesia 2007, http:/www.depkes.go.id, 10 November 2015 (02.45).

Depkes RI. 2009. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2007a. Jakarta.

Desi 2015, Hubungan Kualitas Fisik Rumah Terhadap Kejadian Ispa Pasca Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket Karo Sematera Utara, Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Farid, M 2001, Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Desa Kalampaian Ilir Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar-Kalimantan Selatan, Tesis Diponegoro University, Semarang.

Hartono, R & Rahmawati, D, ISPA, 2012, Gangguan Pernapasan pada Anak,

Nuha Medika, Yogyakarta.

(28)

Maryani, R.D., 2012. Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah Dengan dan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga Dengan Kejadian Ispa pada Balita Di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. Skripsi, Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Muhammad, A, Hood, A & Toyib, SW 2005, Pengantar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, Surabaya.

Mukono, HJ 2006, Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan, Airlangga, Surabaya. Oktaviani, VA 2009, Hubungan Antara Sanitasi Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita di Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Skripsi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077 Tahun 2011. Pedoman Penyehatan Udara Dalam Rumah. 27 Mei 2011. Jakarta. Permenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999, tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.

_____________ No.1077/Menkes/PER/V/2011, tentang Pedoman Penyahatan UdaraDalam Ruang Rumah.

Prasetya, BY, 2005, Mendesain Rumah Tropis, PT. Trubus Agriwidya, Semarang. Rasmaliah 2004, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan

Penanggulangannya, Universitas Sumatera Utara, http://www.usu.ac.id, 22 Oktober 2015 (10.45).

Raja 2014, Hubungan Karakteristik Rumah Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Dalam Keluarga Perokok Di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo, Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Saryono 2008, Metodologi Penelitian Kesehatan, Mitra Cendekia, Yogyakarta. Sastra, SM & Marlina, E 2006, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan,

ANDI, Yogyakarta.

Slamet, JS 2009, Kesehatan Lingkungan, Gajah Mada, Yogyakarta.

Suryanto 2003, Hubungan Sanitasi Rumah dan Faktor Intern Anak Balita dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya.

(29)

Pemberantasannya, Erlangga, Jakarta.

WHO, 2007, Infection prevention and control of epidemic and pandemic prone acute respiratory diseases in health care, http://www.who.int, 25 Oktober 2015 (05.55).

WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemic dan pandemic di fasilitas pelayanan kesehatan. Trust Indonesia. Jakarta.

WHO. 2008. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi.

WHO. 2011. Making Cities Smoke-Free. WHO Document Production Sevices. Switzerland.

Zhang, Y. (ed). 2008. Encyclopedia Of Global Health: Environmental Tobacco Smoke. Vol. 2. P901-903. SAGE Publication, Inc. Thousand Oaks, CA. http://callisto10.ggimg.com/imgsrv/FastPDF/UBERI/RangeFetch=content Set=UBERI=prefix=eglh_0001_0002_0_=startPage=00651=suffix=-p=npages=2=dl=Environmental_Tobacco_Smoke=PDF.pdf?dl=Environ

mental_Tobacco_Smoke.PDF, 4 November 2015 (02.21).

__________. 2008. Encyclopedia Of Global Health: Smoking. Vol. 4.P608-609. SAGE Publication, Inc. Thousand Oaks, CA. http://callisto10.ggimg.com/imgsrv/FastPDF/UBERI/RangeFetch=content Set=UBERI=prefix=eglh_0001_0004_0_=startPage=00606=suffix=-p=npages=4=dl=Environmental_Tobacco_Smoke=PDF.pdf?dl=Environ

(30)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat obsevasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional yaitu mempelajari hubungan penyakit dan paparan dengan melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Pintu Batu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir. Lokasi ini menjadi pilihan dikarenakan oleh :

1. Terdapat kasus ISPA pada balita di Desa Pintu Batu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir.

2. Kondisi fisik rumah di desa ini masih banyak yang belum memenuhi syarat kesehatan.

3. Tingginya tingkat perokok yang ada di desa Pintu Batu, Kecamatan Silaen. 3.3. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai dari bulan April 2016 sampai Mei 2016 di Desa Pintu Batu, Kecamatan Silaen.

3.4. Populasi dan Sampel 3.4.1. Populasi

(31)

3.4.2. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh populasi ( total sampling), yaitu 66 balita.

3.5. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas

2. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kondisi fisik rumah meliputi ventilasi, jenis lantai, pencahayaan, langit-langit, kelembaban, jenis dingding rumah, kepadatan hunian dan keluarga perokok.

3. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA pada balita. 3.6. Instrumen Penelitian

Instrument yang dipakai dalam penelitian ini adalah kuesioner, pedoman observasi, formulir isian pengukuran, rollmeter, luxmeter, hygrometer, dan alat tulis.

3.7. Metode Pengumpulan Data 1. Sumber data.

a. Data primer

(32)

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari puskesmas Silaen dan Bidan Desa Pintu batu yaitu data mengenai penyakit ISPA pada usia balita, data dari kepala desa, meliputi gambaran umum lokasi penelitian, dan studi kepustakaan.

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan pengukuran. Wawancara secara langsung ditujukan kepada ibu yang memiliki balita dengan menggunankan pedoman wawancara, observasi, kuesioner dan pengukuran mengenai kondisi fisik rumah dilakukan dengan menggunakan peralatan untuk mengukur luas ventilasi, jenis lantai, pencahayaan, langit-langit, kelembaban, jenis dingding rumah, dan kepadatan hunian.

3.8. Definisi Operasional 1. Variabel Terikat

a. Balita adalah anak yang berada pada golongan umur 12-59 bulan.

b. Kejadian ISPA adalah Balita yang mengalami ISPA yang tercatat di data Puskesmas Silaen.

2. Variabel Bebas

(33)

b. Ventilasi adalah lubang angin untuk proses pergantian udara ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan.

c. Jenis lantai Lantai rumah adalah bagaian bawah (alas, dasar) suatu ruangan atau bangunan.

d. Pencahayaaan alami adalah penerangan rumah secara alami oleh sinar matahari.

e. Langit-langit rumah merupakan daerah pembatas antara atap dan ruangan. f. Kelembaban adalah kandungan uap air yang dapat dipengaruhi oleh

sirkulasi udara dalam rumah dan pencahayaan yang masuk dalam rumah. g. Dinding rumah adalah salah satu elemen vertikal/tegak bangunan dan

berfungsi sebagai penutup atau pembatas ruangan.

h. Kepadatan hunian minimal 8m2 untuk 2 orang anggota keluarga dan tidak boleh lebih.

i. Keluarga perokok adalah suatu rutinitas mengkonsumsi rokok yang sering dilakukan penghuni rumah, terdiri dari :

1. Perokok 2. Tidak perokok

3. Jumlah perokok di dalam rumah 3.9. Aspek Pengukuran

Variabel bebas a) Ventilasi

(34)

Dengan kategori :

1. Memenuhi Syarat (≥10% dari luas lantai)

2. Tidak Memenuhi Syarat (<10% atau >15% dari luas lantai) b) Lantai

Alat ukur : lembar observasi Dengan kategori :

1. Memenuhi Syarat : kedap air dan tidak lembab (diplester/semen, keramik dan ubin).

2. Tidak Memenuhi Syarat : tidak kedap air (tanah, papan/kayu) c) Pencahayaan alami

Alat ukur : lux meter Dengan kategori :

1. Memenuhi Syarat (60-120 lux)

2. Tidak Memenuhi Syarat (<60 lux atau >120 lux) Tata cara pengukuran :

1. Hidupkan luxmeter yang telah dikalibrasi dan tutup sensor dibuka. 2. Bawa alat ke tempat pengukuran.

3. Tunggu beberapa saat sampai hasil pengukuran pada layar monitor stabil. 4. Catat hasil pengukuran yang tampak pada layar monitor.

5. Matikan luxmeter setelah selesai dilakukan pengukuran. d) Langit-langit

(35)

1. Memenuhi Syarat : ada langit-langit, rapat

2. Tidak Memenuhi Syarat : tidak rapat, tidak ada langit-langit e) Kelembaban

Alat ukur : hygrometer Dengan kategori :

1. Memenuhi Syarat (40-70%)

2. Tidak Memenuhi Syarat (<40% atau >70%) Tata cara pengukuran :

1. Hidupkan hygrometer

2. Bawa alat kedalam ruangan yang akan diukur kelembabannya. 3. Tunggu hasil pengukuran pada display monitor.

4. Catat hasil pengukuran yang tertera pada monitor. f) Dinding

Alat ukur : lembar observasi Dengan kategori :

1. Memenuhi Syarat : kedap air (tembok/diplester, batu)

2. Tidak Memenuhi Syarat : tidak kedap air (bambu, tepas, papan/kayu) g) Kepadatan Hunian

Alat ukur : meteran Dengan kategori :

(36)

3. Variabel terikat

Kejadian ISPA pada Balita 3.11. Pengolahan Data

Menurut Anwar (2002), kegiatan dalam proses pengolahan data meliputi entry, editing, coding, dan tabulating data.

1. Entry, memasukkan data untuk diolah menggunakan komputer.

2. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan, kesinambungan data, kejelasan makna jawaban, konsistensi maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner. a Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses

pengolahan data.

b Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti gunamemudahkan analisis data.

3.12. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan bantuan komputer. Analisis data meliputi :

1. Analisis univariat

Analisis univariat (analisis persentase) dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing, baik variabel bebas (independen), variabel terikat (dependen) maupun deskripsi karakteristik responden.

2. Analisis bivariat

(37)

variable terikat.

Menurut Azwar (2002), dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis dengan tingkat kepercayaan 95% :

a. Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima berarti tidak ada hubungan antara variabel independen dengan dependen.

b. Jika nilai sig p ≤ 0,05 ditolak berarti maka ada hubungan hipotesis antara

(38)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Pintu Batu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Desa Pintu Batu Memiliki luas wilayah ± 2900 Ha, dengan batas-batas desa sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lumban Dolok

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Parsambilan 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pardomuan 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan sigumpar

Berdasarkan data penduduk tahun 2015, jumlah penduduk Desa Pintubatu adalah 1091 jiwa, dengan rincian sebagai berikur :

1. 0-11 bulan berjumlah 14 jiwa 2. 12-59 bulan berjumlah 66 jiwa 3. 5-14 tahun berjumlah 275 jiwa 4. 14-44 tahun berjumlah 375 jiwa 5. 45-59 tahun berjumlah 220 jiwa 6. Diatas 60 tahun berjumlah 141 jiwa

Masyarakat di Desa Pintubatu sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani padi. Mayoritas rumah warga desa ini adalah semi permanen.

4.2.Analisi Univariat

(39)

4.2.1. Karakteristik Responden

Gambaran karakteristik responden pada penelitian ini dapat dilihat pada table 4.1. dibawah ini.

Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan di Desa kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

No Karakteristik Responden

Jumlah

Responden %

1 Tingkat Pendidikan a. Sarjana

2 Jenis Pekerjaan a. PNS

Berdasarkan tabel 4.1. di atas diperoleh bahwa jumlah responden menurut

tingkat pendidikan di Desa Pintubatu, persentase paling besar adalah SLTA, yaitu sebanyak 41 orang(62,1%) dan yang paling kecil adalah SMP yaitu

(40)

orang(65,2%) dan yang paling kecil adalah wiraswasta yaitu sebanyak 5 orang (7,6%).

4.2.2. Karakteristik Balita

Gambaran karakteristik balita berdasarkan jenis kelamin dan umur dapat dilihat pada table 4.3. dibawah ini.

Tabel 4.2. Distribusi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur di DesaPintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten

Toba Samosir Tahun 2016. No Karakteristik

(41)

4.2.3. Kondisi Fisik Rumah

Gambaran distribusi frekuensi kondisi fisik rumah responden di Desa Pintubatu dapat dilihat pada tabel 4.3. berikut ini.

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Kondisi Fisik Rumah di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

No Kondisi Fisik Rumah Jumlah %

1 Ventilasi

a. Memenuhi syarat (≥ 10-15% luas lantai) b. Tidak memenuhi syarat (<10% luas lantai

dan >15% luas lantai)

24

a. Memenuhi syarat (ubin, keramik) b. Tidak memenuhi syarat (papan, tanah)

60

b. Tidak memenuhi syarat (<60 lux atau >120 lux

a. Memenuhi syarat (triplek)

b. Tidak memenuhi syarat (tidak ada/asbes)

51

a. Memenuhi syarat (40-70%)

b. Tidak memenuhi syarat (<40% atau >70%)

29

a. Memenuhi syarat (tembok/triplek) b. Tidak memenuhi syarat (papan/bambu)

49 17

(42)

Total 66 100 7 Kepadatan Hunian

a. Memenuhi syarat (≥ 8m2 untuk 2 orang) b. Tidak memenuhi syarat (< 8m2 untuk 2

orang )

54 12

81,8 18,2

Total 66 100

Berdasarkan tabel 4.3. di atas dapat dilihat bahwa jumlah ventilasi rumah responden di Desa Pintubatu, persentase paling besar adalah tidak memenuhi syarat dengan hasil ukur <10% luas lantai dan >15% luas lantai, yaitu sebanyak 42 rumah (63,6%). Jumlah lantai rumah responden di Desa Pintubatu, persentase paling besar memenuhi syarat yaitu sebanyak 60 rumah (90,1%). Pencahayaan rumah responden di Desa Pintubatu, persentase paling besar tidak memenuhi syarat (<60 lux atau >120 lux) yaitu sebanyak 39 rumah (59,1%). Langit-langit rumah responden di Desa Pintubatu, persentase paling besar memenuhi syarat (memiliki langit-langit dan terbuat dari triplek) yaitu sebanyak 51 rumah (77,3%). Kelembaban rumah responden di Desa Pintubatu, persentase paling besar tidak memenuhi syarat (<40% atau >70%) yaitu sebanyak 37 rumah (56,1%). Dinding rumah responden di Desa Pintubatu, persentase paling besar memenuhi syarat (terbuat dari tembok/triplek) yaitu sebanyak 49 rumah (74,2%). Kepadatan hunian rumah responden di Desa Pintubatu, persentase paling besar memenuhi syarat (≥ 8m2 untuk 2 orang) yaitu sebanyak 54 rumah (81,8%).

4.2.4. Keluarga Perokok

(43)

dalam rumah, frekuensi merokok didalam rumah, dan jenis rokok. Distribusi variabel keluarga perokok dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Keluarga Perokok di Desa Pintubatu Tahun 2016.

No Variabel Rokok Jumlah %

1 Keluarga Perokok a. Ya

(44)

paling banyak dikonsusmsi adalah rokok jenis krekek yaitu sebanyak 28 orang perokok (59,6%).

4.2.5. Kejadian ISPA pada Balita

Gambaran kejadian kejadian ISPA pada balita di Desa Pintubatu dapat dilihat pada tabel 4.5. berikut ini.

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016. balita di Desa Pintubatu, persentase paling besar adalah balita menderita ISPA yaitu sebanyak 41 orang (62,1%).

4.3. Analisi Bivariat

Analisi ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel yang diteliti dengan kejadian ISPA pada balita. Uji statistik yang digunakan pada analisi ini adalah chi square dengan tingkat kepercayaan 95% (α=5%). Berdasarkan uji

statistik yang dilakukan akan diperoleh nilai P. untuk nilai p <0,05, dapat dikatakan terdapat sebuah hubungan yang memiliki makna antara variabel yang diteliti dengan variabel kejadial ISPA pada balita.

(45)

Hubungan ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.6. berikut ini.

Tabel 4.6. Hasil Analisis Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

Berdasarkan tabel 4.6. dapat diketahui bahwa hasil penelitian yang didapatkan dari variabel ventilasi dari 24 rumah yang memiliki ventilasi memenuhi syarat sebanyak 11 orang (45,8%) yang mengalami kejadian ISPA dan 23 orang (54,2%) yang tidak mengalami kejadian ISPA, sedangkan dari 42 rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat sebanyak 30 orang (71,4%) mengalami kejadian ISPA dan 12 orang (28,6%) yang tidak mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil analisis statistik Chi Square diperoleh nilai p = 0,039, jika dibandingkan dengan derajat kemaknaan (p<0,05) maka dapat dinyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA.

(46)

Hubungan lantai rumah dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.7. berikut ini

Tabel 4.7. Hasil Analisis Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

(47)

4.3.3. Hubungan Pencahayaan Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

Hubungan Pecahayaan rumah dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.8. berikut ini.

Tabel 4.8. Hasil Analisis Pencahayaan Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

(48)

4.3.4. Hubungan Langit-Langit Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

Hubungan langit-langit rumah dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.9. berikut ini.

(49)

4.3.5. Hubungan Kelembaban Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

Hubungan Kelembaban rumah dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.10. berikut ini.

Tabel 4.10. Hasil Analisis Kelembaban Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

(50)

4.3.6. Hubungan Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

Hubungan dinding rumah dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.11. berikut ini.

Tabel 4.11. Hasil Analisis Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

(51)

4.3.7. Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

Hubungan kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.12. berikut ini

Tabel 4.12. Hasil Analisis Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

No Kepadatan

(52)

4.3.8. Hubungan Keluarga Perokok dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

Hubungan keluarga perokok dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.13. berikut ini.

Tabel 4.13. Hasil Analisis Keluarga Perokok dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

Berdasarkan tabel 4.13. dapat diketahui bahwa hasil penelitian yang didapatkan dari variabel keluarga perokok dari 47 yang merupakan keluarga perokok sebanyak 33 orang (70,2%) yang mengalami kejadian ISPA dan 14 orang (29,8%) yang tidak mengalami kejadian ISPA, sedangkan dari 19 yang tidak keluarga perokok sebanyak 8 orang (42,1%) mengalami kejadian ISPA dan 11 orang (57,9%) yang tidak mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil analisis statistik chi square diperoleh nilai p = 0,033, jika dibandingkan dengan derajat kemaknaan (p<0,05) maka dapat dinyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara keluarga perokok dengan kejadian ISPA.

(53)

Hubungan merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.14. berikut ini.

Tabel 4.14. Hasil Analisis Merokok di dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

No Merokok dalam

Berdasarkan tabel 4.14. dapat diketahui bahwa hasil penelitian yang didapatkan dari variabel merokok di dalam rumah dari 30 yang merokok di dalam rumah sebanyak 25 orang (83,3%) yang mengalami kejadian ISPA dan 5 orang (19,7%) yang tidak mengalami kejadian ISPA, sedangkan dari 17 yang tidak merokok di dalam rumah sebanyak 8 orang (47,1%) mengalami kejadian ISPA dan 9 orang (52,9%) yang tidak mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil analisis statistik chi square diperoleh nilai p = 0,009, jika dibandingkan dengan derajat kemaknaan (p<0,05) maka dapat dinyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA.

4.3.8.2. Hubungan Frekuensi Merokok di dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

(54)

Tabel 4.15. Hasil Analisis Frekuensi Merokok di dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

No

Berdasarkan tabel 4.15. dapat diketahui bahwa hasil penelitian yang didapatkan dari variabel frekuensi merokok di dalam rumah dari 30 yang sering merokok di dalam rumah sebanyak 25 orang (83,3%) yang mengalami kejadian ISPA dan 5 orang (19,7%) yang tidak mengalami kejadian ISPA, sedangkan dari 17 yang jarang merokok di dalam rumah sebanyak 8 orang (47,1%) mengalami kejadian ISPA dan 9 orang (52,9%) yang tidak mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil analisis statistik chi square diperoleh nilai p = 0,009, jika dibandingkan dengan derajat kemaknaan (p<0,05) maka dapat dinyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara sering merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA.

4.3.8.3. Hubungan Jenis Rokok dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

(55)

Tabel 4.16. Hasil Analisis Jenis Rokok dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pintubatu Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir Tahun 2016.

(56)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan hasil analisis penelitian dengan uji Chi Square didapatkan nilai p = 0,039 lebih kecil dari nilai (α=0,05), maka dapat diketahui bahwa ada

hubungan bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada pada balita di Desa Pintubatu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir.

Responden dalam penelitian ini sebagian besar memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat. Hal Ini terlihat dari data hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 63,6% rumah di Desa Pintubatu tidak memenuhi syarat. Iklim yang cukup dingin di daerah ini membuat masyarakat memilih membuat ventilasi rumah yang tidak lebar. selain ventilasi yang tidak memenuhi syarat, warga di desa ini jarang membuka jendela rumah karena cuaca yang dingin, akibatnya pertukaran udara di dalam rumah tidak lancar. Hal ini tentu dapat mengakibatkan ISPA pada penghuni rumah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Putri (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA di Desa Tanjung mulia.

(57)

5.2. Hubungan Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian dengan Chi Square didapat nilai p=0,59 lebih besar dari nilai(α=0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pintubatu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dapat terjadi karena hasil penelitian yang menunjukkan 90,1% lantai rumah di desa ini memenuhi syarat.

Sebagian besar responden dalam penelitian ini memilik lantai yang memenuhi syarat yaitu terbuat dari keramik dan semen yang diplester. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan 90,1% lantai rumah di desa ini memenuhi syarat. Pada penelitian di lapangan peneliti menemukan beberapa rumah yang lantainya pecah-pecah, lembab dan berdebu, akan tetapi tidak memberikan perbedaan berarti pada analisis data yang dilakukan. Sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pintubatu.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Suryatno (2003), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita.

(58)

5.3. Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian ISPA pada Balita.

Berdasarkan hasil analisi penelitian dengan uji Chi Square didapatkan nilai p=0,014 lebih kecil dari nilai (α=0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan antara pencahayaan rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pintubatu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dapat terjadi karena dari hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu <60 Lux. Sementara pencahayaan yang memenuhi syarat adalah ≥ 60-120 Lux.

Pencahayaan dalam rumah tentu berhubungan dengan ventilasi rumah. Ventilasi yang terlalu kecil akan menghambat masuknya cahaya ke dalam rumah, sebaliknya jika terlalu lebar akan mengakibatkan cahaya masuk berlebihan ke dalam rumah. Di desa Pintubatu banyak ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu terlalu kecil dibandingkan luas lantai rumah, sehingga pencahayaan didalam rumah terhambat. Selain ventilasi yang sebagian besar tidak memenuhi syarat, rumah rumah warga banyak dikelilingi pohon-pohon rindang dan jaraknya terlalu dekat dengan rumah sehingga menghambat masuknya cahaya matahari kedalam rumah. Kesimpulan pada penelitian ini sejalan dengan penelitian Oktaviani (2009), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA.

(59)

dalam rumah adalah terhalang atau tidaknya cahaya matahari ke dalam ruangan (Azwar 2007).

5.4. Hubungan Langit-langit dengan Kejadian ISPA pada Balita.

Berdasarkan hasil penelitian dengan uji Chi Square didapatkan nilai p=0,547 lebih besar dari nilai (α=0.05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara langit-langit dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pintubatu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dapat terjadi karena hasil penelitian menunjukkan 77,3% rumah di Desa ini memiliki langit-langit rumah yang memenuhi syarat.

Sebagian besar responden dalam penelitian ini memilki langit-langit rumah yang memenuhi syarat dan terbuat dari triplek. Namun, ada juga beberapa rumah yang langit-langitnya terlihat lembab karena rembesan hujan dan ada yang sudah rusak. Akan tetapi, beberapa rumah yang langit-langitnya lembab dan rusak ini tidak memberikan perbedaan bermakna terhadap kejadian ISPA pada balita di Desa ini.

Hal ini sejalan dengan penelitian Putri (2013) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara langit-langit rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Namun pada penelitian tersebut ditemukan bahwa rumah yang tidak memiliki langit-langit dapat mempermudah debu masuk melalui atap rumah.

(60)

5.5. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA pada Balita.

Berdasarkan hasil penelitian dengan Uji Chi Square didapatkan nilai p=0,04 lebih kecil dari nilai (α=0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pintubatu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dapat terjadi karena hasil penelitian menunjukkan 56,1% rumah di Desa ini memiliki kelembaban yang tidak memenuhi syarat.

Sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki kelembaban yang tidak memenuhi syarat yaitu, <40% atau >70. Cuaca yang dingin di Desa Pintubatu merupakan salah satu faktor penyebab kelembaban di Desa ini cukup tinggi. kelembaban bertimbal balik dengan suhu, semakin rendah suhu maka semakin tinggi kelembaban dan sebaliknya. Selain itu, mayoritas rumah yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat serta pohon-pohon yang mengelilingi rumah menjadi penghalang masuk cahaya matahari, sehingga kelembaban ruangan pun semakin tinggi dikarenakan cahaya matahari yang sangat minim masuk ke dalam rumah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Farid, M (2001), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita.

(61)

5.6. Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita.

Berdasarkan hasil penelitian dengan uji Chi Square didapatkan nilai p=0,157 lebih besar dari nilai (α=0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pintubatu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dapat terjadi karena mayoritas rumah di Desa ini memiliki dinding rumah yang sudah memenuhi syarat.

74,2% rumah di Desa Pintubatu memiliki dinding rumah yang memenuhi syarat. Rumah-rumah ini memiliki dinding yang terbuat dari tembok. Akan tetapi, ada juga beberapa rumah warga yang memilikik dinding rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu dinding rumah yang terbuat dari papan/ anyaman bambu. Namun beberapa rumah yang memiliki dinding yang tidak memenuhi syarat ini tidak memberikan perbedaan bermakna trehadap kejadian ISPA pada balita di Desa Pintubatu.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Desi (2015), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA.

Hal yang sama disampaikan oleh raja (2014) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita. 5.7. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA pada Balita.

Berdasarkan hasil penelitian dengan uji Chi Square didapatkan nilai p=0,339 lebih besar dari nilai (α=0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada

(62)

Pintubatu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dapat terjadi karena 81,8% rumah di Desa Pintubatu memiliki kepadatan hunian yang memenuhi syarat.

Sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki kepadatan hunian yang memenuhi syarat (≥ 8m2 untuk 2 orang). Kepadatan hunian yang memenuhi syarat menurut Kemenkes RI No 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah luas kamar minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan untuk dihuni lebih dari 2 orang dewasa, kecuali anak dibawah usia 5 tahun). Kepadatan hunian yang memenuhi syarat ini tentu membuat sirkulasi udara dalam rumah tidak terganggu.

Penularan penyakit berbanding lurus dengan kepadatan hunian suatu rumah. Dengan kata lain semaikin tinggi tingkat kepadatan hunian suatu rumah maka penularan penyakit melalui udara akan semakin cepat. Hal ini akan menyebabkan penyakit saluran pernapasan khususnya yang disebabkan oleh virus (Achmadi,2008).

Hasil penelelitian ini sejalan dengan penelitian Desi (2015) yang menyakan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita.

Hal berbeda disampaikan oleh Maryani (2012), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA.

5.8. Hubungan Keluarga Perokok dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian dengan uji Chi Square didapatkan nilai p=0,033 lebih kecil dari nilai (α=0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada

(63)

Desa Pintubatu, Kecamatan Silaen, kabupaten toba Samosir. Hal ini dapat terjadi karena mayoritas balita yang terkena ISPA adalah berasal dari keluarga perokok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah keluarga perokok. Hal ini terlihat dari data hasil penelitian yang menunjukkan 71,2% responden adalah keluarga perokok.

Hasil analisis hubungan antara merokok dalam rumah dengan kejadian ISPA menggunakan Chi Square didapat nilai p=0,009 lebih kecil dari nilai (α=0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara

merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita.

Kebiasaan merokok di dalam rumah sangat berpengaruh terhadap kesehatan pernapasan, terutama balita yang menjadi perokok pasif. Perokok pasif akan menghirup asap rokok yang dapat menyebabkan kanker paru dan penyakit lainnya karena asap rokok mengandung bahan bahan kimia berbahaya. Hasil analisis hubungan frekuensi merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita didapat nilai p=0,009 lebih kecil dari nilai α=0,05, maka dapat disimpulkan

bahwa frekueensi merokok dalam rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita.

(64)

Hasil analisis hubungan jenis rokok dengan kejadian ISPA pada balita didapat nilai p=0,825 lebih besar dari nilai (α=0,05), maka dapat disimpulkan

bahwa jenis rokok tidak berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita.

Jenis rokok terbagi 2 yaitu kretek dan filter. Setiap rokok baik filter maupun kretek mengandung zat-zat beracun berbahaya terrhadap kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis rokok tidak memiliki pengaruh bermakna dengan kejadian ISPA. Ini berarti bahwa apapun jenis rokok yang dikonsumsi akan tetap mengakibatkan ISPA pada balita.

(65)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Kondisi fisik rumah di Desa Pintubatu yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu, ventilasi 63,6%, lantai 9,1%, pencahayaan 59,1%, langit-langit 22,7%, kelembaban 56,1%, dinding 25,8%), dan kepadatan hunian18,2%. Balita yang terkena ISPA adalah sebanyak 62,1%.

2. Ada hubungan antara ventilasi, pencahayaan dan kelembaban dengan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di Desa Pintubatu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir, Tahun 2016.

3. Tidak ada hubungan antara lantai, langit-langit, dinding, dan kepadatan hunian dengan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di Desa Pintubatu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir, Tahun 2016.

4. Ada hubungan antara keluarga perokok, merokok di dalam rumah, dan frekuensi merokok di dalam rumah dengan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di Desa Pintubatu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir, Tahun 2016.

(66)

6.2. Saran

1. Bagi masyarakat

a. Masyarakat sebaiknya memperhatikan kondisi ventilasi rumah, agar sirkulasi udara lancar, cahaya matahari masuk ke dalam rumah dan suhu ruangan terjaga.

b. Masyarakat sebaiknya menjaga kebersihan rumah, seperti menyapu rumah, membersihkan dinding dan langit-langit rumah dari debu agar tidak menjadi tempat berkembangbiakan kuman dan bakteri.

c. Masyarakat menghentikan kebiasaan merokok, dan merokok di dalam rumah agar anggota keluarga lainnya tidak menjadi perokok pasif.

2. Bagi Puskesmas Silaen

Puskesmas berperan aktif memberikan penyuluhan tentang syarat rumah sehat dan bahaya asap rokok kepada seluruh masyarata, agar terhindar dari penyakit ISPA pada balita.

3. Bagi peneliti lain

(67)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumah Sehat

2.1.1. Defenisi Rumah Sehat

Rumah sehat merupakan bangunan tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan yaitu rumah yang memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang baik, kepadatan hunian yang sesuai dan lantai rumah yang tidak terbuat dari tanah (Depkes RI, 2003).

Menurut Winslow dalam Chandra (2007), rumah sehat adalah suatu tempat untuk tinggal permanen, berfungsi sebagai tempat bermukim, beristirahat, berekreasi (bersantai) dan sebagai tempat perlindungan dari pengaruh lingkungan yang memenuhi syarat fisiologis, psikologis, dan bebas dari penularan penyakit.

(68)

2.1.2. Kriteria Rumah Sehat

Kriteria rumah sehat yang tercantum dalam residental environment dari WHO (1974), antara lain :

1. Dapat melindungi dari hujan, panas, dingin, dan berfungsi sebagai tempat istirahat.

2. Mempunyai tempat-tempat untuk tidur, masak, mandi, mencuci, kakus dan kamar mandi.

3. Dapat melindungi dari bahaya kebisingan dan pencemaran. 4. Bebas dari bahan bangunan yang berbahaya.

5. Terbuat dari bahan bangunan yang kokoh dan dapat melindungi penghuninya dari gempa, keruntuhan dan penyakit menular.

6. Memberi rasa aman dan lingkungan tetangga yang serasi.

Sementara menurut Mukono (2006) kriteria rumah sehat harus menjamin kesehatan penghuninya dalam arti luas. Maka diperlukan syarat perumahan yaitu : 1. Memenuhi kebutuhan fisiologis

Secara fisik kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan suhu dalam rumah yang optimal, pencahayaan yang optimal, perlindungan terhadap kebisingan, ventilasi memenuhi syarat, dan tersedianya ruang yang optimal untuk bermain anak.

(69)

Pencahayan harus cukup baik waktu siang maupun malam hari. Pada malah hari pencahayaan yang ideal adalah penerangan listrik. Pada waktu pagi hari diharapkan semua ruangan mendapatkan sinar matahari. Intensitas penerangan minimal tidak boleh kurang dari 60 Lux.

Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus cukup. Berdasarkan Peraturan Bangunan Nasional, lubang hawa suatu bangunan harus memenuhi aturan sebagai berikut luas bersih jendela/lubang hawa sekurang-kurangnya 1/10 dari luas lantai. Pengaruh buruk kurang luas ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar gas CO2, adanya pengap, suhu udara naik, dan kelembaban udara bertambah.

2. Memenuhi Kebutuhan Psikologis

Kebutuhan psikologis berfungsi untuk menjamin “privacy” bagi penghuni

rumah. Perlu adanya kebebasan untuk kehidupan keluarga yang tinggal dirumah tersebut secara normal. Keadaan rumah dan sekitarnya diatur agar memenuhi rasa keindahan. Adanya ruangan tersendiri bagi remaha dan ruangan untuk berkumpulnya keluarga serta ruang tamu.

3. Perlindungan Terhadap Penularan Penyakit

Untuk mencegah penularan penyakit diperlukan sarana air bersih, fasilitas pembuangan air kotor, fasilitas penyimpanan makanan, menghindari intervensi dari serangga dan hama atau hewan lain yang dapat menularkan penyakit.

(70)

Agar terhindar dari kecelakaan makan konstruksi rumah harus kuat dan memenuhi syarat bangunan, desain pencegahan terjadinya kebakaran dan tersedianya alat pemadam kebakaran, pencegahan kecelakan jatuh, dan kecelakaan mekanis lainnya.

2.1.3. Syarat Kesehatan Rumah Tinggal

Menurut Kepmenkes No.829/menkes/SK/VII/1999, syarat kesehatan rumah tinggal adalah sebagai berikut :

1. Bahan Bangunan

a. Tidak terbuat dari bahan yang dapa melepaskan bahan yang membahayakan kesehatan, antara lain : asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per jam, timbal kurang dari 300 mg/kg bahan.

b. Tidak terbuat dari bahan yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya pathogen.

2. Komponen dan Penataan Ruangan.

a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.

b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan di kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan.

c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. d. Bumbungan rumah 10 m da nada penangkal petir.

(71)

3. Pencahayaan

Pencahayaan alami/buatan , langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 Lux dan tidak menyilaukan mata.

4. Kualitas udara

a. Suhu udara nyaman antara 18-300C. b. Kelembaban antara 40-70%.

c. Gas SO2 kurang dari 0,1 ppm/24jam. d. Pertukaran udara 5 kaki3/menit/pernghuni. e. Gas CO kurang dari 100 ppm/8jam. f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3. 5. Ventilasi

Luas lubang ventilasi alami yang permanen minimal 10% luas lantai. 6. Vektor Penyakit

Tidak ada lalat, nyamuk, ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. 7. Penyediaan Air

a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/orang/hari.

b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.

8. Sarana penyimpanan makanan

(72)

9. Pembuangan Limbah

a. Limbah cair yang berasal dari rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah.

b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.

c. Kepadatan Hunian

Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan untuk tidak lebih dari 2 orang.

2.1.4. Kondisi Fisik Rumah

Kondisi fisik rumah adalah keadaan rumah secara fisik dimana orang menggunakan untuk tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Penyakit atau gangguan saluran pernapasan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang buruk. Lingkungan yang buruk tersebut dapat berupa kondisi fisik perumahan yang tidak mempunyai syarat seperti ventilasi, kepadatan penghuni, suhu, kelembaba. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit saluran pernapasan (Slamet, 2009).

2.1.4.1. Ventilasi

(73)

kenyamanan udara seperti dimaksud di atas diperlukan adanya ventilasi yang baik. Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : 1) Ventilasi Alam

Ventilasi alam berdasarkan pada 3 kekuatan yaitu : daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara kelembabannya. Ventilasi alam yaitu jendela, pintu, lubang angin. Ventilasi yang baik minimal 10% dari luas lantai; 5% ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) dan 5% ventilasi permanen (tetap).

2) Ventilasi Buatan

Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut adalah kipas angin, exhauter dan AC (air conditioner).

Tidak tersedianya ventilasi yang baik pada suatu ruangan akan membahayakan kesehatan karena dapat menyebabkan pencemaran oleh bakteri ataupun berbagai zat kimia. Adanya bakteri di udara umumnya disebakan debu, uap air dan sebagainya yang akan menyebabkan penyakti pernapasan (Azrul, 2002).

(74)

2.1.4.2. Jenis Lantai

Menurut Achmadi (2008) lantai yang baik harus selalu kering, tinggi lantai harus disesuaikan dengan kondisi setempat, lantai harus lebih tinggi dari muka tanah. Ubin atau semen adalah baik. Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan, sehingga dapat mencegah terjadinya penularan penyakit terhadap penghuninya.

Lantai rumah sangat penting untuk diperhatikan terutama dari segi kebersihan dan persyaratan. Lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi karena jika musim hujan akan menjadi lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap penghuninya dan merupakan tempat yang baik untuk berkembangbiaknya kuman penyakit, termasuk bakteri penyebab ISPA. Sebaiknya lantai rumah tersebut dari bahan yang kedap air dan mudah dibersihkan. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, sebaiknya lantai dinaikkan kira-kira 25 cm dari permukaan tanah (Prasetya, 2005).

Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air, mudah dibersihkan dan tidak menghasilkan debu (Ditjen PPM dan PL, 2002).

Menurut Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan; komponen dan penataan ruangan rumah sehat dimana lantai kedap air, mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.

2.1.4.3. Pencahayaan

(75)

matahari juga dapat mengurangi kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh kuman penyakit tertentu seperti ISPA, TBC, influenza, penyakit mata dan lain-lain.

Cahaya, berperan sebagai gemercid (pembunuh kuman atau bakteri). Cahaya matahari banyak dimanfaatkan oleh manusia dalam rangka menciptakan kesehatan yang lebih sempurna, seperti membiarkan cahaya matahari pagi masuk ke dalam rumah, karena cahaya matahari pagi tersebut banyak megandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman (Azwar, 2002).

Agar dapat memperoleh cahaya yang cukup, setiap ruang harus memiliki lubang cahaya yang memungkinkan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedikitnya setiap rumah harus mempunyai lubang cahaya yang dapat berhubungan langsung dengan cahaya matahari, minimal 10% dari luas lantai rumah; 5% dapat dibuka (Prasetya, 2005).

Menurut Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan; pencahayaan alami dianggap baik jika besarnya antara 60-120 Lux dan buruk jika kurang dari 60 Lux atau lebih dari 120 Lux.

2.1.4.4. Langit-Langit

(76)

ruang atap ditahan oleh langit-langit sehingga tidak langsung mengalir ke ruang di bawahnya sehingga suhu ruang dibawahnya tetap terjaga.

Selain menjaga kondisi suhu ruang dibawahnya, langit-langit juga berfungsi untuk melindungi ruangan-ruangan di dalam rumah dari rembesan air yang masuk dari atas atap, menetralkan bunyi atau suara yang bising pada atap pada saat hujan. Selain itu juga langit-langit dapat membantu menutup dan menyembunyikan benda-benda (seperti: kabel instalasi listrik, telfon, pipa hawa) dan struktur atap sehingga interior ruangan tampak lebih indah.

Pemilihan bahan langit-langit sebaiknya yang bisa menyerap panas, sehingga suhu dan kenyamanan udara dalam ruangan tetap terjaga. Langit-langit dapat menahan rembesan air dari atap dan menahan debu yang jatuh dari atap rumah (Prasetya, 2005).

Menurut Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan; bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan dan langit-langit harus mudah dibersihkan.

2.1.4.5. Kelembaban

Menurut Kepmenkes Nomor 829/menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70%.

(77)

ricketsia, dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk kedalam tubuh melalui udara. (Achmadi, 2008).

Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Bakteri pneumokokus seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk >80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Selain itu jika udara terlalu banyak mengandung uap air, maka udara basah yang dihirup berlebihan akan mengganggu pula fungsi paru (Azwar, 2002).

2.1.4.6. Dinding

Dinding adalah pembatas, baik antara ruangan dalam dengan ruang luar ataupun ruang dalam dengan ruang dalam yang lain. Bahan dinding dapat terbuat dari papan, triplek, batu merah, batako, dan lain-lain (Prasetya, 2005).

Dinding berfungsi sebagai pendukung atau penyangga atap, untuk melindungi ruangan rumah dari gangguan serangga, hujan dan angin, serta melindungi dari pengaruh panas dan angin dari luar. Bahan dinding yang paling baik adalah batu, tembok, sedangkan kayu, papan, bambu kurang baik.

Menurut Suryatno (2003) rumah yang berdinding tidak rapat seperti bambu,

papan atau kayu dapat menyebabkan ISPA, karena angin malam langsung masuk ke

dalam rumah. Jenis dinding yang mempengaruhi terjadinya ISPA, selain itu dinding

yang sulit dibersihkan dan penumpukan debu pada dinding, merupakan media yang

(78)

Menurut Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan; komponen dan penataan ruangan rumah sehat dimana dinding rumah sehat harus memiliki ventilasi, kedap air dan mudah dibersihkan.

2.1.4.7. Kepadatan Hunian

Luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan untuk lebih dari 2 orang dalam satu ruang tidur.

2.2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

2.2.1. Defenisi ISPA

Infeksi Saluran Pernapasa Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spectrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (WHO,2008).

Menurut Unicef, ISPA disebut sebagai pandemic yang terlupakan atau The Forgotten killer of Children. Hal ini diduga karena ISPA merupakan penyakit yang akut dan kualitas pelaksannaan pencegahannya belum memadai, ISPA terjadi dalam beberapa variasi, ISPA dapat menyebar secara cepat dan berdampak besar bagi kesehatan masyarakat.

(79)

Menurut Hartono (2012) terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa faktor. Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan:

a. kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota keluarga), kelembaban, kebersihan, musim, temperatur

b. ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya, vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi).

c. faktor pejamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan umum. d. karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi

(misalnya, gen penyandi toksin), dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran inokulum).

Menurut Depkes RI (2007) ISPA adalah infeksi saluran pernapasan akut, istilah ini meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut:

i. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikro organisme kedalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

ii. Saluran pernapasan adalah organ dari hidung hingga alvioli serta organ adneksanya seperti sinus-sinus rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan atas.

(80)

dalam ISPA proses ini berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes, RI 2007).

ISPA adalah infeksi saluran pernapasan akut yang berlangsung sampai 14 hari yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ dari hidung sampai gelembung paru. Beserta organ-organ disekitarnya: sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek (Rasmaliah, 2007).

Menurut Muhammad, Hood & Taib (2005), ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus , maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru. 2.2.2. Etilogi ISPA

Menurut WHO (2007), ISPA dapat menimbulkan berbagai spectrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada pathogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu.

Menurut WHO, berdasarkan penelitian di berbagai Negara juga menunjukkan bahwa di Negara berkembang streptococcus pneumonia dan

Haemofilus influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan.

Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis penyakit bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Beberapa diantaranya :

Bakteri : Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Haemophilus, Influenza, dan lain-lain. Virus : Influenza, Adenovirus, Sitomegalovirus

(81)

Aspirasi : makan, asap kendaraan bermotor, bahan bakar minyak biasanya tanah, cairan amnion, pada saat lahir, benda asing ( Widoyono, 2008).

2.2.3. Patogenesis ISPA

Menurut Muhammad, Hood & Taib (2005) ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke saluran pernapasannya.

3 cara penyebaran infeksi pernapasan :

1. Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk-batuk

2. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk-batuk dan bersin-bersin

3. Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda-benda yang telah dicemari jasad renik.

2.2.4. Klasifikasi ISPA

Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut :

a. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :

1) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya penarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya nafas cepat, frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih.

(82)

b. Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan atas :

1) Pneumonia berat : Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam.

2) Pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, adanya nafas cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 – <12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan – <5 tahun.

3) Bukan pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, tidak ada nafas cepat, frekuensi nafas kurang dari 50 kali per menit pada anak umur 2 – <12 bulan dan kurang dari 40 kali permenit 12 bulan – <5 tahun.

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) : 1) ISPA ringan

Apabila seseorang yang menderita ISPA ringan ditemukan gejala pilek dan sesak tanpa/disertai demam.

2) ISPA sedang

Apabila timbul gejala sesak napas, suhu tubuh lebih dari 39oC dan bila

bernapas mengeluarkan suara seperti mengorok 3) ISPA berat

Apabila kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.

Menurut Widoyono (2008) klasifikasi penyakit ISPA terdiri dari :

(83)

b. Pneumonia : didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas. Diagnosis gejala ini berdasarkan umur. Batas frekuensi napas cepat pada anak berusia dua bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali per menit dan untuk anak usia 1 sampai < 5 tahun adalah 40 kali per menit.

c. Pneumonia berat : didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai sesak napas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (chest indrawing) pada anak berusia dua bulan sampai <5 tahun. Untuk anak berusia <2 bulan, diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah kea rah dalam (severe chestindrawing).

2.2.5. Gejala ISPA

Menurut WHO (2007) tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernafasan dapat berupa:

a. Batuk

b. Kesulitan bernafas c. Sakit tenggorokan d. Pilek

e. Demam f. Sakit kepala

Gambar

Gambar Lux Meter
Gambar Mengukur Luas Ventilasi
Gambar Mengukur Pencahayaan Rumah
Gambar Mengukur Kelembaban Rumah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini, Kamis tanggal Dua puluh satu bulan April tahun Dua ribu enam belas, Kami Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Daerah Kementerian Keuangan

Paket Pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum

[r]

telah diadakan Rapat Penjelasan Pekerjaan (aanwijzing) dengan e-procurement Pemilihan Penyedia Barang/Jasa untuk Pekerjaan Renovasi Ruang Bidang Mutasi, Ruang Sriwijaya

Pada hari ini, Senin tanggal Delapan Belas bulan April tahun Dua Ribu Enam Belas (18-04-2016), telah dilaksanakan pembukaan surat penawaran harga sehubungan dengan

H.A Bastari Seberang Ulu I - Palembang, Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Kantor / Pokja ULP Regional VII BKN Palembang Tahun Anggaran 2016, telah diadakan rapat evaluasi penawaran

Alat dan Bahan : Halaman TK, bola, karton spidol, gunting, bambu/kayu, sesuaic.

Laboratory measurements included Weende constituents (crude protein, CP; crude fiber, CF; ether extract, EE; and ash), pepsin±cellulase digestible organic matter (CDOM, %),