• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya Menyelamatkan Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya Menyelamatkan Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abidin, H. Zamhari, Pengertian dan Asas Hukum Pidana (Dalam Schema atau

Bagan dan Synopsis atau Catatan Singkat), (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1986).

Aperdoorn, L. J van, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1981). Atmasasmita, Romli, Pengantar HukumPidana Internasional Bagian II (Jakarta,

PT Hecca Mitra Utama: 2004).

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,

Pengkajian Hukum Pencegahan Korupsi Dan Hubungannya Dengan Transparansi Anggaran Pada Instansi Pemerintah, (Jakarta: BPHN,

2008).

Chaerudin, dan kawan-kawan , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum

Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008).

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil di Indonesia (Malang: Bayumedia Publishing, 2005).

Danil, Elwi, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014).

Djaja, Ermansjah, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (1) (Bandung: Mandar Maju, 2010).

---, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif UU

Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002 (2) (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

Effendy, Marwan, Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantas

-annya (1), (Jakarta: GP Press Group, 2013).

---, Kejaksaan dan Penegakan Hukum (2) (Jakarta: Timpani Publishing, 2010).

---, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, (3), (Jakarta: PT. Timpani Publishing, 2010).

(2)

Ekaputra, Mohammad, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2013). Hadin, Ahmad Fikri, Eksistensi Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan

Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Genta Press,2013).

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, (1), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994).

---, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik Dan Sarana

Hukum, (2), (Jakarta: Ghalia Indonesia,1984).

---, Hukum Acara Pidana Indonesia, (3), (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya, 1996).

Hamzah, Jur Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007).

Harahap,H. Chairuman , Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi

Hukum, (Bandung: Citra Pustaka Media, 2003).

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Penyidikan dan Penuntutan (1), (Jakarta: Sinar Grafika, Ed. Kedua, 2010).

---, Pembahasan , Permasalahan, dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (2),(Jakarta:

Sinar Grafika, 2006).

HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).

Indrayana, Denny, Indonesia Optimis (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2011). Karmin., Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persadaa, 2008).

Khair, Abul, Mohammad Ekaputra, Pemidaan, (Medan: USU Press, 2011).

Latumaerissa, Julius R., Bank dan Lembaga Keuangan Lain (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2011).

Makarao, Mohammad Taufik, dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori

dan Praktek, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010).

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Kencana, (Jakarta:2005).

(3)

Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy (Pendekatan IntegralPenal

PolicydanNon-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan), (Medan:

Pustaka Bangsa Press, 2008).

Mulyadi, Lilik, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Alumni, 2007).

Parthiana, I Wayan, Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Cv. Yrama Widya, 2006).

Pincus, Jonathan R., Jeffrey A. Winters, Membongkar Bank Dunia (Reinventing

the World Bank), (Jakarta: Cornell University Press, Ithaca and London,

Djambatan).

Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik

Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) (Bandung: Mandar

Maju, 2001).

Saidi, Muhammad Djafar, Hukum Keuangan Negara (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Rajawali Pers, 2008).

Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan

Singkat (Jakarta: Rajawali Press, 2007).

Soesilo, R., RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1985).

Surachmin, dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi (Mengetahui dan

Mencegah), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).

Suyatno, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005). Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).

Tim BEPEKA, Keuangan Negara Dan Badan Pemeriksa Keuangan, (Jakarta: Bepeka,1998).

Tjandra, W. Riawan, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: PT Grasindo, 2006). Wiryono, R., Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).

B. Peraturan Perundang-Undangan

(4)

Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia UU No. 7 Tahun 1950, LN 1950–56, d.u. 15 Ag 1950.

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

(5)

KUHP dan KUHAP Beserta Penjelasannya (Bandung: Citra Umbara), 2010. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Rancangan Undang-Undang KUHPidana Indonesia. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : X/Mpr/2001 Tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Oleh Lembaga Tinggi Negara Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001.

Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan.

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah .

Kebijakan Operasional Tahun 2011.

Peraturan Mahkamah Agung nomor 5 tahun 2014 Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 979 K/PID/2004.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor: 003/PUU-IV/2006.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor: 44/PUU-XI/2013

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor: 48/PUU-XI/2013.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor:: 77/PUU-XII/2014.

(6)

Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 17/PMK.01/2008 Tentang Jasa Akuntan Publik.

United Nations Against Coruuption (UNCAC 2003), Konvensi PBB Anti Korupsi

2003

C. Sumber lain

Anggadha, Arry, Purborini, MA: Pencekalan, kewenangan Spesial KPK, 11 September 2009, diakses dari November 2015, pukul 21:34 WIB).

ANNUAL REPORT 2010 (Laporan Tahunan 2010), diakses dari

blob:http%3A//www.antikorupsi.org/999df057-f83b-486f-8394-56872aa98a14, (diakses pada 13 Februari 2016, pukul 14:26 WIB).

ANNUAL REPORT 2012 (Laporan Tahunan 2012), diakses dari

blob:http%3A//www.antikorupsi.org/b5f59b97-3e8c-45ad-8d9d-30fc15c6008a, (diakses pada 13 Februari 2016, pukul 14:22 WIB).

Asian Development Bank, Anti Korupsi Dan Integritas, (diakses dari

22:07 WIB)

B, Narendra Aryo, Laporan Audit Investigasi Sebagai Bukti Permulaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Jurnal),Fakultas Hukum Universitas Brawijaya BPMigas Dan KPK Tanda Tangani Nota Kesepahaman Pemberantasan

Korupsi, diakses dari

(7)

blob:http%3A//www.antikorupsi.org/99f061fb-43f1-4d26-ba9f-077ee3bb17a8, (diakses pada tanggal 28 Januari 2016, pada pukul 22:24 WIB).

Indonesia Corruption Watch, Akibat Salah Urus Pengelolaan Keuangan Negara Rugi Rp 12,2 triliun (diakses dari /akibat-salah-urus-pengelolaan-keuangan-negara-rugi-rp-122-triliun, pada 13 Februari 2016, pukul 14:35 WIB).

Indonesia Corruption Watc

(diakses dari

2016, pukul 13:26 WIB).

Indonesia Corruption Watch, KPK dan Australia Teken Kerja Sama

Pengembalian Aset (diakses dari

Februari 2016, pukul 16:05 WIB).

Ismansyah , Penerapan dan Pelaksanaan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi (diakses dari 16:34 WIB).

Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK Tahun 2009 (diakses dari

Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK Tahun 2010 (diakses dari

Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK Tahun 2011 (diakses dari

Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK Tahun 2012 (diakses dari

Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK Tahun 2013 (diakses dari

(8)

Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK Tahun 2014 (diakses dari 5:45 WIB).

Muslim, Fithriadi & Edi Nasution, Menjerat Koruptor Dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (diakses dari http://acch.kpk.go.id /documents/10180/15170/Menjerat-koruptor-dg-TPPU_Fithriadi0Muslim. pdf/db01bea9-d24f-426a-b274-7aa789325b8b, pada tanggal 08 September 2015, pukul 20:35 WIB).

NCB Interpol Indonesia, KPK Tandatangani MoU Dengan Polri Tentang Jaringan Interpol (diakses dari WIB).

Nugroho, Anto Widi, Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya Dan/Atau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi (diakses dari

Rekapitulasi Koordinasi Dan Supervisi, diakses dari

Republika, ICW: Kerugian Negara Menurun Akibat Kinerja KPK Melemah (diakses dari

RUU Nomor 30 Tahun 2002, Pembahasan, diakses dari http://acch.kpk.go.id /documents/10180/36745/RUUNo30-2002 pembahasan.pdf/ aebb0a1c-040d-4468-8074-999fd9aff281, (diakses pada tanggal 11 Februari 2016, pada pukul 00:08 WIB).

Santoso Topo, Rosalita Chandra, dan kawan-kawan, e-book Panduan Investigasi dan Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu, diakses dari

(9)

Soepardi, Eddy Mulyadi, Dalam Ceramah Ilmiah, Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Unsur Tindak Pidana Korupsi, diakses dari (diakses pada tanggal 05 Februari 2016, pukul 19:22 WIB).

Tempo Nasional (diakses dari 2016, pukul 16:24).

Tim IT, Pengadilan Negeri Kayagung, Sumatera Selatan, Pemahaman Unsur Memperkaya, Dan Atau Menguntungkan Pada Tindak Pidana Korupsi, diakses dari 2016, pukul 23:59 WIB).

Tribun News, ICW: Kerugian Negara Tahun 2014 Akibat Korupsi Rp 5,29 Triliun (diakses dari Februari 2016, pukul 16:23 WIB)

Waldy, Romi Tri, Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, diakses dari WIB.)

Yamin, Fuad Akbar, Tinjauan Yuridis Terhadap Uang Pengganti Untuk Pengembalian Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Universitas Hasanuddin Makassar, diakses dari http://repository. unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/6760/FUAD% 20AKBAR, (diakses pada tanggal 12 Maret 2016, pukul 15:21 WIB).

Yuntho, Emerson, dan kawan-kawan, Indonesia Corruption Watch, Hasil PenelitianPenerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik

Tindak Pidana Korupsi,

(10)

BAB III

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DARI

TINDAK PIDANA KORUPSI

Berbicara mengenai kewenangan lembaga KPK dalam pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi, akan diuraikan terlebih dahulu pentingnya dilaksanakan kewenangan ini sebagai salah satu bukti keinginan pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam memberantas korupsi. Seperti yang tertuang dalam poin konsideran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 bahwa:

“Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional; dan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.”

Tindak pidana korupsi yang dinobatkan sebagai kejahatan transnasional (transnational crime) atau dalam sebutan lain sebagai white collar crime, extra

ordinary crime, dan sebagainya tidak bisa ditanggulangi dengan instrumen hukum

(11)

sekumpulan orang atau badan hukum, melainkan seluruh masyarakat yang hidup dalam sebuah negara. Patutlah pemerintah beserta seluruh masyarakat bekerja sama untuk memberantas kejahatan ini dengan usaha yang semaksimal mungkin.

Perlunya instrumen hukum pidana dalam pemberantasan kejahatan yang luar biasa didasari oleh tujuan hukum pidana itu sendiri. Fungsi dibentuknya hukum menurut Mohammad Ekaputra, adalah untuk mengatur kehidupan manusia.173 Sedangkan, tujuannya dibedakan berdasarkan dua aliran:174

1. Aliran klasik (de klassieke school/ de klassieke richting), oleh Markies van Beccaria, bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa. Beccaria memandang perlunya aturan hukum pidana itu dibuat secara tertulis. Hal ini disebabkan pada jamannya, sebagian besar hukum pidana tidak dituangkan secara tertulis. Kekuasaan penguasa yang absolut bahkan merambah sampai penyelenggaraan pengadilan yang sewenang-wenangnya. Sehingga perlu dibuat batasan yang jelas agar tidak merugikan masyarakat.

2. Aliran modern (de moderne school/ de moderne richting), tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan.

Lebih lanjut mengenai tujuan pemidanaan175

173 Mohammad Ekaputra, op.cit, hal. 10 174 Ibid, hal. 11-12.

175Abul Khair, Mohammad Ekaputra, Pemidaan, (Medan: USU Press, 2011), hal. 7,

bahwa menurut Sudarto, pemidaan itu kerap kali sinonim dengan penghukuman. Penghukuman berasal dari kata hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukuman atau memutuskan tentang hukumnya. Penghukuman dalam perkara pidana sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.

(12)

orang lain menjadi jera melakukan kejahatan dan membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain.176

KUHP sendiri tidak merumuskan secara tegas dan jelas apa yang menjadi tujuan pemidanaan itu. Muhari Agus Santoso yang dikutip Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, menyebutkan tujuan pemidanaan dapat dilihat dari :

Tujuan pemidanaan ini apabila dikaitkan dengan tujuan pemberantasan korupsi memiliki keselarasan. Pemberantasan tindak pidana korupsi tentu akan sama dengan penanggulangan kejahatan lainnya, yaitu memberikan efek jera baik kepada pelaku maupun masyarakat dengan memberikan pidana yang cukup berat dan dijalankan sesuai aturan yang berlaku dengan mengingat hak-hak para terpidana. Tujuan berikutnya berkaitan dengan upaya preventif bagi kejahatan berikutnya, dimana tindak pidana korupsi sebagai predicate crime dari suatu tindak pidana lain, misalnya pencucian uang atau money laundering.

177

1. Memorie Van Toelichting (M.v.T), bahwa dalam menentukan tinggi

rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejahatan harus memperhatikan keadaan objektif dan subyektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya, hak-hak apa saja yang dilanggar dan kerugian apa saja yang ditimbulkannya;

2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 tanggal 3 September 1973, yang meminta hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, agar dalam menjatuhkan pidana hendaknya benar-benar setimpal dengan kejahatan dan sifat setiap kejahatan.

176 Ibid, hal. 54

(13)

Dengan perkembangan yang ada, RUU KUHPidana Indonesia telah menuangkan tujuan pemidanaan dalam draftnya pada Pasal 54, yaitu :

“Pemidanaan bertujuan:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.”

Pada poin c, yaitu memulihkan keseimbangan menjadi satu garis lurus dengan kewenangan para aparat penegak hukum untuk berusaha mengembalikan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Mengembalikan apa yang menjadi milik masyarakat dengan berbagai instrumen hukum yang dimodifikasi dan diperbaiki senantiasa mengikuti perkembangan jaman yang ada, terutama dengan adanya hubungan internasional yang seolah-olah telah mengikis pembatas perbedaan dan pemisah dengan negara lain. Kemudahan informasi dan transportasi telah sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat. Semakin berkembang dan canggihnya alat teknologi juga mendukung perkembangan kejahatan yang tidak ada habisnya, salah satunya korupsi.

(14)

A. Tugas Dan Kewenangan KPK

Dalam bab yang sebelumnya telah dituangkan sedikit beberapa hal yang dimiliki oleh lembaga KPK. Mengenai tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, undang-undang juga memuat poin-poin tersebut dalam Bab II tentang Tugas, Wewenang dan Kewajiban. Kewenangan KPK sendiri ada berdasarkan tugas yang diamanatkan dalam Pasal 6, yaitu:

“Pasal 6

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi178

b. supervisi

dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

179

c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.” Dalam melaksanakan tugas diatas, KPK diberi kewenangan sesuai dengan pembagian tugasnya masing-masing, yang dijabarkan dalam Pasal selanjutnya, diantaranya:

1. Untuk tugas koordinasi, dalam Pasal 7 UU KPK memberikan kewenangan:

178 Mengenai kewenangan koordinasi ini, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan penjelasan secara langsung defenisi kewenangan koordinasi ini. Tetapi berdasarkan Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan "koordinasi" adalah bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan pengarahan, pedoman, petunjuk, atau melakukan kerja sama dengan instansi yang terkait dengan kegiatan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi (diakses dari tanggal 11 Februari 2016, pada pukul 00:08 WIB).

179

(15)

“a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.”

Berdasarkan sebuah Laporan Penelitian tentang “Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi KPK”, oleh Febri Diansyah, Emerson Yuntho, dan Donal Fariz dari Indonesia Corruption

Watch, bahwa lahirnya tugas koordinasi KPK tidak terlepas dari tekad pembuat

undang-undang untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kondisi dimana pembentukan suatu lembaga baru berakibat mandulnya peranan lembaga penegak hukum lainnya. Bila KPK diberikan tugas yang persis sama dengan lembaga penegak hukum lain tanpa ada pembedaan, tentunya akan terjadi tumpang tindih kewenangan yang dapat memandulkan salah satu lembaga. Sehingga bila sebuah lembaga penegakan hukum dibentuk, maka mesti ada spesifikasi tugas yang diberikan padanya. Hal ini ditujukan agar:180

a. Tidak terjadi tumpang tindih kewenangan;

b. Lembaga yang satu tidak mereduksi keberadaan yang lain, melainkan harus saling mendukung;

c. Jangan sampai terjadi konflik atau tarik menarik kewenangan.

180

(16)

2. Untuk tugas supervisi, berdasarkan Pasal 8 UU KPK memberikan kewenangan yang diantaranya:181

a. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik;

b. Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 9 UU KPK, bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:

“1) Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

2) Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; 3) Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi

pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

4) Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; 5) Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan

dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

6) Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.”

Enam alasan di atas menurut Febri Diansyah dan kawan-kawan dapat dikelompok menjadi dua bagian, yaitu:182

a. KPK dapat mengambil alih perkara bila kepolisian dan kejaksaan dinilai tidak mampu melaksanakannya. Ketidakmampuan tersebut bisa saja

181 Ibid.

(17)

disebabkan hambatan internal lembaga terkait atau bisa juga karena adanya intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kepolisian dan kejaksaan;

b. KPK dapat mengambil alih perkara karena kepolisian dan kejaksaan dinilai tidak mau menjalankan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketidakmauan bisa saja karena alasan penanganannya mengandung unsur korupsi atau dapat juga karena secara internal tidak ada niat baik untuk menindaklanjuti perkara tertentu.

Febri Diansyah dan kawan-kawan, berpandangan bila dua alasan tersebut terjadi, maka KPK dapat melaksanakan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU KPK. Namun bila KPK menilai kepolisian dan kejaksaan dapat menjalankan penindakan perkara korupsi, maka KPK hanya akan melakukan supervisi, yaitu memastikan proses hukum yang dijalankan sesuai dengan aturan hukum dan strategi pemberantasan korupsi. Untuk tugas supervisi, KPK mengelompokkannya menjadi dua macam, yaitu supervisi umum dan supervisi khusus. Supervisi umum terhadap kepolisian dan kejaksaan dilakukan bersamaan dengan waktu pelaksanaan koordinasi. Sedangkan supervisi khusus terhadap perkara-perkara yang ditangani kejaksaan dan kepolisian dilakukan atas permintaan kepolisian atau kejaksaan dan/atau atas inisiatif dari KPK yang didasarkan atas pertimbangan pimpinan KPK. Adapun pertimbangan pimpinan tersebut tersebut didasarkan pada:183

a. Perkara-perkara yang melibatkan aparat penegak hukum dan/atau penyelenggara negara;

(18)

b. Perkara-perkara yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; c. Perkara-perkara yang menyangkut kerugian negara sangat besar, atau; d. Pertimbangan lainnya.

3. Untuk tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam Pasal 12 UU KPK memberikan kewenangan :

“a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara

lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.”

4. Untuk tugas pencegahan, dalam Pasal 13 UU KPK, memberikan kewenangan dalam langkah dan upaya untuk:

“a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;

b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;

d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;

(19)

f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.”

5. Untuk tugas monitor, dalam Pasal 14 UU KPK memberikan kewenangan: “a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di

semua lembaga negara dan pemerintah;

b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;

c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.”

Mengutip pendapat Marwan Effendy dalam bukunya “Kejaksaan Dan Penegakan Hukum”, bahwa letak keberhasilan pemberantasan korupsi tidak terletak pada banyaknya pelaku korupsi (koruptor) yang dibawa ke pengadilan untuk diadili atas tindak pidana korupsi, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengajak orang untuk tidak berperilaku koruptif serta mengembalikan kerugian negara melalui uang pengganti, harta yang disita dan dirampas untuk negara serta denda yang dijatuhkan sebagai pidana diharapkan akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan salah satu motif dasar pelaku korupsi maupun calon pelaku tindak pidana yaitu untuk mendapatkan keuntungan yang ekonomis. Namun, penyitaan dan perampasan terhadap harta pelaku tersebut hendaknya disertai dengan langkah-langkah yang konstruktif untuk menjaga kestabilan nilai dan harta atau barang yang telah disita/dirampas sehungga tujuan semula untuk mengembalikan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan si koruptor dapat tercapai.184

Berkaitan dengan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, mengutip sebuah jurnal berjudul “Penerapan dan Pelaksanaan Pidana Uang Pengganti

(20)

Dalam Tindak Pidana Korupsi” oleh Ismansyah, diadopsinya pidana uang pengganti ke dalam sistem hukum pidana yang pada awalnya hanya dikenal dalam instrumen hukum perdata pada dasarnya dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera.185

Mengutip dari sebuah tesis karya Romi Tri Waldy, dengan judul “Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi”, bahwa konsep pidana uang pengganti menurut ahli hukum pidana Romli Atmasasmita dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera. Menilik sistem pemidanaan yang dianut undang-undang korupsi baik yang lama maupun yang baru, setiap orang memang sudah sepatutnya takut untuk melakukan korupsi. Pertimbangan lain yang melatarbelakangi munculnya konsep pidana uang pengganti adalah dalam rangka mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu tindak pidana korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi dari korupsi itu sendiri. Menurut undang-undang, salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya tindakan yang merugikan keuangan negara. Dengan adanya unsur ini maka setiap terjadi suatu tindak pidana korupsi akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara.186

185

Ismansyah , Penerapan dan Pelaksanaan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi (diakses dari

pada tanggal 12 Maret 2016, pukul 16:34 WIB).

186

(21)

Dalam persfektif politik kriminal, maka pidana pembayaran uang pengganti dipandang sebagai suatu usaha rasional untuk menekan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi.187

Eti Laila Kholis, dalam bukunya “Pembayaran uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi”, yang dikutip dari Romi Tri Waldy, bahwa tujuan adanya pidana uang pengganti sebagai alat untuk memidana seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi. Tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang negara yang hilang akibat suatu perbuatan korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi tindak pidana korupsi. Menurut undang-undang, salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya tindakan yang merugikan negara. Dengan adanya unsur ini, maka setiap terjadi suatu tindak pidana korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam undang-undang untuk mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi (tipikor).188

“Dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan.”

Mengenai jumlah uang pengganti, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung nomor 5 tahun 2014 Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 1:

Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (diakses dari http://repository.usu. ac.id/bitstream/123456789/43871/4/Chapter%20I.pdf, pada 09 Februari 2016, pukul 13:56 WIB).

(22)

Dalam penjelasannya Pasal 1 diatas dinyatakan:

“Sesuai dengan pasal 18 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 1999 yang pada intinya mengatakan bahwa besaran harta benda terpidana yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tersebut. Oleh karenanya, dalam peraturan Mahkamah Agung ini, parameter perhitungan besaran uang pengganti ialah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian, pemahaman bahwa parameter perhitungan besaran uang pengganti ditinjau dari besaran kerugian sudah tidak dapat diterapkan dalam suatu persidangan tindak pidana korupsi.”

“Bahwa dengan adanya pemahaman besar uang pengganti dilihat dari harta benda yang diperoleh terdakwa, maka para hakim pada tingkat judex factie diharuskan dapat menggali keterangan mengenai besarnya jumlah harta benda yang diperoleh terdakwa dari suatu tindak pidana korupsi.”

Dalam jurnal Ismansyah tersebut, bahwa pada prakteknya dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam menentukan besaran uang pengganti, diantaranya:189

1. Hakim akan sulit memilah-milah mana aset yang berasal tipikor dan mana yang bukan. Dalam jaman yang serba canggih ini, sangat mudah bagi para koruptor untuk melakukan metamorfosa aset-aset hasil korupsinya (asset

tracing) melalui jasa transaksi keuangan dan perbankan. Selain itu, untuk

melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan informasi yang lengkap. Belum lagi kalau berbicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika harta yang akan dihitung berada di luar negeri sehingga membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit dan memakan waktu;

2. Perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset terdakwa yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang

(23)

berdasarkan sifatnya mempunyai nilai yang fluktuatif, seperti aset properti, perhiasan, saham dan sebagainya;

3. Belum terciptanya kesamaan persepsi dan koordinasi yang terpadu di antara aparat penegak hukum yang ada dalam usaha untuk mencegah dan menangani tidak pidana korupsi. Akibatnya dalam beberapa kasus terjadi kebuntuan komunikasi dan mispersepsi diantara penegak hukum yang ada.

(24)

pengganti hanyalah pidana tambahan, namun adalah sangat tidak bijaksana apabila membiarkan terdakwa tidak membayar uang pengganti sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara. Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terbebas dari kewajiban untuk membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat dikompensasikan dengan kekayaan terdakwa yang dinyatakan dirampas untuk negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati uang tersebut, atau telah ada terdakwa lain yang telah dihukum membayar uang pengganti, atau kerugian negara masih dapat ditagih dari pihak lain..190

Berkaitan dengan hal mekanisme pengembalian kerugian keuangan negara yang disebutkan oleh Marwan Effendy diatas (uang pengganti, denda, dan penyitaan harta), tugas dan kewenangan KPK yang paling dominan dalam hal ini tentu akan mengarah kepada tugasnya yang ketiga dalam Pasal 6, yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tetapi Apabila dikaitkan dengan kewenangan penuntutan dari penuntut umum untuk melakukan tuntutan atas uang pengganti yang dihubungkan dengan kerugian negara yang diakibatkan, maka penuntut umum dalam hal ini akan berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Se-003/A/Ja/02/2010 Tahun 2010 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi, yang diterbitkan sebagai dasar untuk mencegah atau meminimalkan disparitas tuntutan pidana.

190

(25)

bukan berarti kewenangan koordinasi, supervisi, pencegahan dan monitor tidak memiliki kaitan dengan mekanisme ini. Kewenangan koordinasi dan supervisi akan sangat membantu KPK dalam melaksanakan proses pengembalian kerugian keuangan negara. Sebab dari sisi aturan hukum yang mengatur tugas dan wewenang KPK, terlihat jelas bahwa tugas koordinasi dan supervisi KPK tampak sangat besar, yang mana KPK adalah komandan di antara lembaga penegak hukum yang ada dalam proses pemberantasan korupsi.

Hal diatas dikaitkan dengan mengingat bahwa proses penyitaan dilakukan selama proses penyidikan sesuai hukum acara pidana Indonesia yang tertuang dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP:

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”

Sedangkan mengenai denda dan uang pengganti diperoleh dari putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Mengenai kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan telah dijabarkan diatas.

(26)

Bagan 1: Struktur Organisasi KPK191

191

(27)

Khusus untuk Bidang Penindakan, yang memiliki tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Penindakan Tindak Pidana Korupsi (TPK). Deputi Bidang Penindakan menyelenggarakan fungsi :192

1. Perumusan kebijakan untuk sub bidang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK oleh penegak hukum lain;

2. Pelaksanaan penyelidikan dugaan TPK dan bekerjasama dalam kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain;

3. Pelaksanaan penyidikan perkara TPK dan bekerjasama dalam kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain;

4. Pelaksanaan penuntutan, pengajuan upaya hukum, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pelaksanaan tindakan hukum lainnya dalam penanganan perkara TPK sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum lain yang melaksanakan kegiatan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara TPK;

6. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan, pembinaan sumbe rdaya dan dukungan operasional di lingkungan Deputi Bidang Penindakan;

7. Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan serta

192 Deputi Penindakan KPK (diakses dari

(28)

Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK oleh penegak hukum lain; dan

8. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya.

Deputi Bidang Penindakan dipimpin oleh Deputi Bidang Penindakan dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK. Deputi Bidang Penindakan membawahkan:193

1. Direktorat Penyelidikan;

2. Direktorat Penyidikan;

3. Direktorat Penuntutan;

4. Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi; dan

5. Sekretariat Deputi Bidang Penindakan.

Dari rincian fungsi deputi penindakan diatas, KPK tentunya tidak berjalan sendiri. Untuk memaksimalkan kinerja dan mencapai tujuannya, KPK menggandeng institusi-institusi terkait dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara. Untuk melihat kondisi sebenarnya yang ada di lembaga KPK mengenai penanganan kasus-kasus dan kerja sama dengan Kejaksaan dan Kepolisian, berikut disajikan rekapitulasi koordinasi dan supervisi lembaga KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan selama tahun kerja 2004 sampai 2015 (per 31 Desember 2015).

(29)

Rekapitulasi Koordinasi dan Supervisi

Koordinasi-Supervisi dengan Kepolisian & Kejaksaan.

Fungsi koordinasi dan supervisi antara KPK dengan POLRI dan Kejaksaan Agung terus diperkuat dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Penguatan kerja sama dan koordinasi dilakukan salah satunya adalah saling tukar informasi berkenaan dengan proses penyidikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Tercatat per 31 Desember 2015, di tahun 2015 KPK menerima SPDP dari Kepolisian sebanyak 196 perkara, sedangkan dari Kejaksaan sebanyak 876 perkara.

Tabulasi Data SPDP dari Kepolisian dan Kejaksaan Tahun 2004-2015 (per 31 Desember 2015) (Dalam Tabel 3: Rekapitulasi Koordinasi dan Supervisi)

Jabatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Jumlah Kepolisian 120 171 520 169 191 92 196 220 200 234 273 196 2.582 Kejaksaan 297 582 644 437 446 558 1.176 1.131 767 923 911 876 8.748 Jumlah 417 753 1.164 606 637 650 1.372 1.351 967 1.157 1.184 1072 11.330

(Dalam Grafik 1: Rekapitulasi Koordinasi dan Supervisi)

Sumber :

0,0 500,0 1.000,0 1.500,0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

(30)

B. Kerja Sama KPK Dengan Instansi Atau Lembaga Lain Yang Terkait

Meskipun KPK merupakan lembaga khusus yang memiliki kewenangan yang cukup luas, berdasarkan tugas yang dimilikinya, KPK tidak dapat bergerak sendiri dan mengabaikan kedudukan lembaga atau institusi lain. Kewenangan sebagai koordinator dan pengawas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, tentu menuntut KPK untuk menjalin kerja sama baik skala nasional maupun internasional dalam pemberantasan korupsi yang bersifat integral. Seperti dalam Pasal 13 huruf f, bahwa KPK dalam melaksanakan tugas pencegahan berwenang melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 41 bahwa KPK dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Beberapa lembaga yang dimaksud dalam skala nasional seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, PPATK, BPK, BPKP, LHKPN, Kementerian dan BUMN, serta pihak lain yang ikut serta. Kerja sama tersebut melalui nota kesepahaman maupun perjanjian baik dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah, beberapa diantaranya:

(31)

2011, Nomor KEP/259/A/JA/12 2011, Nomor KEPB-01/01- 55/11/2011, Nomor M.HH-10.HM.03.02 Tahun 2011, Nomor 199/KMA/SKB/XII/2011, Nomor 219/PMK.04/2011, Tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Pengelolaan, Benda Sitaan Negara Dan Barang Rampasan Negara.

2. BPMIGAS dan KPK menandatangani nota kesepahaman di Auditorium KPK. Kepala BPMIGAS R. Priyono mengemukakan, kerja sama ini dilakukan untuk memperbaiki wajah industri hulu migas Indonesia supaya benar-benar transparan. Ruang lingkup nota kesepahaman:194

a. Mencakup kajian terhadap kegiatan yang akan dititikberatkan pada kajian pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan operasional KKKS dan kajian lainnya yang disepakati oleh KPK dan BPMIGAS terkait kegiatan usaha hulu migas;

b. Pendidikan dan pelatihan dengan meningkatkan SDM dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing secara bersama-sama serta melakukan sosialisasi dalam upaya peningkatan tindak pidana korupsi; c. Pertukaran informasi dan data;

d. Penerapan tata kelola yang baik meliputi diseminasi dan perluasan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), penerapan pola pengendalian gratifikasi, penerapan whistle blower system, pelaksanaan Program Anti Korupsi dan kegiatan lainnya;

194

(32)

e. sosialisasi terkait upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di lingkungan kegiatan usaha hulu migas.

3. Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP- 1 11212005; Nomor : KEP- IAIJ.A11212005 Tentang Kerjasama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Dengan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Komisi Pemberantasan Korupsi menandatangani nota kesepahaman dengan tiga lembaga di Australia untuk saling membantu pengembalian aset maupun buron kasus korupsi. Tiga lembaga tersebut adalah The Attorney General

Department, The Australian Commission for Law Enforcement Integrity, dan

Australian Public Service Commission di Canberra, Australia.195

5. Nota Kesepahaman Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor : SPJ-36/01/12/2010; Nomor: NKB-07/LKPP/XII/2010 Tentang Kerja Sama Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6. Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor : KEP-049 /A/J.A/03/2012; Nomor : B/23/III/2012; Nomor : Spj-39/01/03/2012, Tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

195

(33)

7. Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan Nomor: 42/KPK-BPKP/IV/2007; Nomor : Kep-501/K/D6/2007 Tentang Kerjasama Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

8. Pada tanggal 22 Oktober 2010 telah ditandatangani MoU antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri mengenai pemanfaatan jaringan Interpol dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi. Penandatanganan dilaksanakan oleh Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Pol. Drs. Halba Rubis Nugroho, MM. yang mewakili Kapolri dan Plt Deputi Informasi dan Data KPK, Bapak Ade Rahardja yang mewakili pimpinan KPK.196

9. Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) bersama antara KPK dan BPKP pada tahun 2014 dilaksanakan melalui Perjanjian Kerjasama antara KPK dan BPKP Nomor SPJ-83/10/02/2014 dan PRJ-01/D4/2014 tanggal 19 Februari 2014 tentang Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi.

10. Berdasarkan Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK Tahun 2010, beberapa penyusunan perjanjian/produk hukum dengan lembaga atau instansi lain seperti:197

a. Perjanjian PBJ

Penyusunan dan review perjanjian Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) yang telah dilakukan Biro Hukum sebanyak 275 Perjanjian.

b. Perjanjian lainnya

196 NCB Interpol Indonesia,KPK Tandatangani MoU Dengan Polri Tentang Jaringan

Interpol (diakses dari,

pukul 15:58 WIB).

(34)

1) Nota Kesepahaman (MoU) antara KPK dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP);

2) Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) antara KPK dengan Kementerian BUMN;

3) Nota Kesepahaman (MoU) antara KPK dengan Kementerian Dalam Negeri, BPKP, Kementerian Keuangan, LKPP;

4) Perjanjian Kerahasiaan antara KPK dengan pegawai vendor aplikasi PJKAKI;

5) Perjanjian Kerahasiaan antara KPK dengan pegawai vendor aplikasi Pinda;

6) Draft Nota Kesepahaman (MoU) antara KPK dengan PPATK; 7) PKS KPK dengan BAPETEN tentang Pengelolaan LHKPN; c. Perjanjian atau MoU dengan Pihak Luar Negeri

1) MoU SFO;

2) Perjanjian Pengadaan Peralatan dengan Pihak Luar;

3) Rencana Pembahasan Perjanjian Kerjasama dengan Blackberry; 4) Perjanjian Kerjasama dengan World Bank.

11. Dan beberapa pengembangan jaringan kerja sama KPK dengan lembaga maupun non lembaga nasional dan internasional disajikan dalam tabel berikut (Berdasarkan Laporan Akuntabilitas198

198

Laporan akuntabilitas kinerja disusun sebagai pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan dan memenuhi Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang mengamanatkan setiap instansi pemerintah/lembaga negara yang dibiayai anggaran negara agar menyampaikan laporan dimaksud. Laporan ini merinci

(35)

Tabel 4: Pengembangan Jaringan Dan Kerja Sama Kerja Sama Strategis Nasional199

No. Nama Kegiatan Waktu

1 Pertemuan/Workshop dengan 11 (sebelas) Penyedia Jasa Telekomunikasi (PJT) yang ada di Indonesia terkait

pembahasan kerja sama penyediaan informasi data

1 Januari 2014

2 Penguatan Jaringan Kerja di Provinsi Kalimantan Timur terkait dengan implementasi NKB, Minerba, dan IMH

12-14 Maret2014 3 Penguatan jaringan kerja di Provinsi Kalimantan Selatan

terkait dengan implementasi NKB, Minerba, dan IMH

24-28 Maret 2014 4 Penguatan jaringan kerja di Provinsi Kalimantan Tengah

terkait dengan implementasi NKB, Minerba, dan IMH 31

Maret-4 April 2014 5 Pertemuan KPK dan Ditjen Imigrasi-Kemenkumham

terkait reviu kerja sama pertukaran informasi data

17 April 2014 6 Adendum nota kesepahaman antara Kemenkeu dan KPK

tentang Kerjasama dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana lainnya

22 April 2014

7 Penguatan Jaringan Kerja di Provinsi Kalimantan Barat terkait dengan implementasi NKB, Minerba, dan IMH

16-17 April 2014 8 Penguatan jaringan kerja di Provinsi Sumatera Selatan

terkait dengan implementasi NKB, Minerba, dan IMH

28 April-1 Mei 2014 9 Penguatan jaringan kerja di Provinsi Jambi terkait dengan

implementasi NKB, Minerba dan IMH

5-9 Mei 2014 10 Penguatan jaringan kerja di Provinsi Kalimantan Selatan

berupa FGD bersama simpul IMH dan NKB

12-14 Mei 2014 11 Workshop MLA bersama Central Authority, Ditjen

HIOP-Kumham RI

12-14 Mei 2014 12 Penguatan jaringan kerja di Provinsi Kalimantan Barat

terkait dengan implementasi NKB, Minerba, dan IMH

19-23 Mei 2014 13 Workshop KPK- Association of the Indonesian Tours &

Travel Agencies (ASITA) dalam rangka pemberantasan

dan pencegahan tindak pidana korupsi

4 Juni 2014

14 Penguatan jaringan kerja di Provinsi Maluku Utara terkait dengan implementasi NKB, Minerba, dan IMH

8-11 Juni 2014 15 Penguatan jaringan kerja di Provinsi Sulawesi Tenggara

terkait dengan implementasi NKB, Minerba, dan IMH

17-21 Juni 2014

pertanggungjawaban organisasi dan tanggung jawab pemakaian sumber daya untuk menjalankan misi organisasi.

199 Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK Tahun 2014 (diakses dari http://www.kpk.go.id

(36)

16 Pertemuan teknis pembahasan implementasi Perjanjian Kerja Sama (PKS) KPK-BKN

1 Juni 2014 17 Penguatan jaringan kerja di Provinsi Sulawesi Selatan

terkait implementasi NKB, Minerba, dan IMH

24-28 Juni 2014 18 Implementasi kegiatan berupa koordinasi penyusunan draf

laporan evaluasi pelaksanaan Strakom PBAK di K/L tahun 2013

24-25 Juli 2014

19 Implementasi kegiatan berupa meeting NKB dengan 12 kementerian/lembaga

4 September 2014 20 Pertemuan dengan perbankan dalam rangka apresiasi atas

dukungan dalam pemberantasan korupsi

10 September 2014 21 Pertemuan dengan PPATK dalam rangka evaluasi

pertukaran informasi dan data

30 September 2014 22 Menerima kunjungan dari NCCC Thailand yang belajar

mengenai penuntutan kasus korupsi di Indonesia, yang dilakukan oleh Jaksa KPK dan aturan-aturan yang ada.

09 September 2014

23 Workshop Penyusunan Modul untuk Komunitas. Tujuan

dari kegiatan FGD ini adalah menghasilkan pedoman pengetahuan yang cukup tentang seluk-beluk Korupsi dan

pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai antikorupsi.

18 November 2014

24 Implementasi kegiatan berupa penyelenggaraan KNPK dengan tema “Peningkatan Transparansi dan Partisipasi

Masyarakat dalam Upaya Pemberantasan Korupsi”

2 Desember 2014

25 Implementasi kegiatan berupa pembahasan hasil dan komitmen pencegahan korupsi di bidang minerba, bekerja

sama dengan Kementerian ESDM dan seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesiam, serta FGD dengan CSO terkait advokasi masalah reklamasi Benoa dan kasus

penetapan kawasan hutan di Aceh

2-4 Desember 2014

Tabel 5: Pengembangan Jaringan Dan Kerja Sama Strategis Internasional200

No. Nama Kegiatan Tanggal Lokasi

1 Kunjungan Anti-Corruption Kuwait dalam rangka

benchmark and capacity building mengenai “Human Resources Management, Anti Corruption Education

& Public Campaign, Asset Disclosure dan Whistle Blowing Systems”

24-25 Februari

2014

KPK

2 Menghadiri Pertemuan “2nd Annual Meeting

Economic Crime Agencies Network (ECAN)”, yakni

(37)

a. City of London Police-Inggris;

b. Corrupt Practices Investigation Bureau-Singapura;

c. European Anti-Fraud Office (OLAF)-Uni Eropa;

d. Federal Bureau of Investigation-Amerika;

e. Malaysian Anti-Corruption Commision-Malaysia;

f. Serious Fraud Office-New Zealand;

g. Serious Fraud Office-Inggris;

h. Komisi Pemberantasan Korupsi-KPK 3 Kunjungan Direktur Kantor Pengembangan

Penegakan Hukum Luar Negeri, Bantuan dan Pelatihan-OPDAT pada Departemen Kehakiman

Amerika Serikat terkait Potensi Kerjasama dan Program Pemberantasan Korupsi dengan KPK

6 Maret 2014

KPK

4 Implementasi kegiatan kerja sama terkait “Review

and Comparing Asset Disclosure” antara KPK dan

GIV Vietnam

10-14 Maret 2014

KPK

5 Implementasi Nota Kesepahaman dengan Attorney

General’s Department (AGD) Australia

Maret,

6 Kunjungan Duta Besar Amerika Serikat dalam rangka perkenalan dan pembahasan potensi kerja

sama dalam pemberantasan korupsi

11 April 2014

KPK

7 Kunjungan delegasi Kementerian Kehakiman Jepang ke KPK dalam rangka memaparkan dan mendiskusikan seputar situasi, tantangan dan langkah-langkah penguatan kerja sama tentang investigasi kejahatan keuangan dan ekonomi di

Indonesia

21 April 2014

KPK

8 Implementasi kerja sama antara KPK dengan UNAFEI

2 Juli 2014 KPK 9 Implementasi kegiatan APEC ACT WG & ACT NET 21-14 Juli

2014 10 Implementasi kerja sama antara KPK dengan ACRC

Korea berupa Coordination and Cooperation

Committee yang rutin diselenggarakan tiap tahun

16-22 Agustus

2014

ACRC, Korea 11 Partisipasi Aktif dalam Forum G20- Anti Corruption

(38)

Leste terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi serta penguatan kelembagaan

2014 Lantai 3 13 Pertemuan dan diskusi dengan Financial Service

Volunteer Corps

4 November

2014

C. Konsep Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi

Marwan Effendy mengemukakan bahwa strategi pemberantasan korupsi di Indonesia meliputi tindakan pencegahan, penindakan dan pengembalian kerugian keuangan negara. Ketiganya merupakan condition sine qua non bagi keberhasilan pemberantasan korupsi secara menyeluruh, sejalan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (United Nation Against Corruption/ UNCAC) tahun 2003, di Merida, Meksiko, pada tanggal 9-11 Desember 2003 yang telah diratifikasi201

201 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Cv. Yrama Widya,

2006), hal. 84, bahwa kaidah-kaidah hukum pidana internasional yang berupa perjanjian-perjanjian internasional tentang masalah-masalah pidana yang diratifikasi oleh negara, menjadikan negara-negara yang bersangkutan tunduk dan terikat pada perjan jian tersebut pada tatanan internasional bersama-sama dengan negara lain yang sudah sudah meratifikasinya. Sebagai konsekuensi dari kedudukan dan keterikatannya pada perjanjian internasional, maka pada tatanan nasional atau domestik, negara-negara tersebut akan memberlakukan (melalui prosedur pengesahan dan pengundangan perjanjian internasional yang sudah diratifikasainya itu ke dalam dan menjadi bagian dari hukum nasionalnya. Dengan demikian, tidak perlu diragukan lagi keabsahan dari perjanjian itu berlaku sebagai bagian dari hukum nasional negara yang bersangkutan.

(39)

berkesinambungan, diharapkan pemberantasan korupsi akan memberikan kontribusi signifikan di dalam membantu kondisi keuangan negara.202

Dengan mempergunakan terminologi pengembalian aset

Sejalan dengan hal diatas, maka harus dipahami terlebih dahulu dasar-dasar dari pengembalian kerugian keuangan negara, manakah harta atau bagian yang dapat disita oleh negara dari pelaku korupsi dan mekanisme pengembalian harta atau aset dari pelaku tindak pidana korupsi, yang harus diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan agar tidak melanggar hak asasi manusia, khususnya terdakwa atau terpidana jika telah dijatuhi putusan hakim.

203

202 Marwan Effendy, (2), op.cit, hal. 41.

203 Ibid, hal. 46, Marwan Effendy mengutip pendapat Matthew H. Fleming, dalam dunia

internasional tidak ada defenisi pengembalian aset yang disepakati bersama. Fleming sendiri tidak merumuskan defenisi pengembalian aset, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan yang dicabut, dirampas dan dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana. Fleming melihat pengembalian aset sebagai: 1. Proses pencabutan, perampasan, penghilanga; 2. Yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; 3. Salah satu tujuan pencabutan, perampasan dan penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.

untuk menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dalam Pasal 51 ayat (1), pengertian aset:

“Aset yang dimaksud pada ayat ini adalah sumber daya, yang antara lain meliputi uang, tagihan, investasi, dan barang, yang dapat diukur dalam satuan uang, serta dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah dan diharapkan memberi manfaat ekonomi/sosial di masa depan.”

Dalam UNCAC Pasal 2 huruf (d), menggunakan istilah kekayaan, yaitu:

(40)

Dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan:

“Aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai ekonomis.”

Melihat pengertian diatas, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, pada Pasal 1 angka 13, tidak menyebutkan kata aset, namun menggunakan istilah harta kekayaan, yaitu:

“Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.”

(41)

pengembalian aset tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berbicara mekanisme penyitaan aset dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara, instrumen yang digunakan tentu tidak hanya terbatas pada hukum nasional saja, tapi juga hukum internasional. Hal ini disebabkan bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian, sehingga penting adanya kerja sama internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya, termasuk pemulihan dan pengembalian aset-aset hasil korupsi.204

Berkaitan dengan hal diatas, perlu dilakukan kebijakan dalam hukum pidana205

204

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 196.

205 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy (Pendekatan IntegralPenal PolicydanNon-Penal

Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan), (Medan: Pustaka Press, 2008), hal 65 dan 66. bahwa istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yaitu policy, atau bahasa Belanda politiek. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata politik, oleh karena itu, kebijakan hukum pidana biasa disebut politik hukum pidana. Politik hukum pidana merupakan upaya untuk menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini.

(42)

Menurut M. Yahya Harahap, pengertian penyitaan sebagai upaya paksa dalam KUHAP yang dilakukan penyidik untuk mengambil alih atau merampas sesuatu barang tertentu dari seorang tersangka, pemegang atau penyimpan yang dilaksanakan sesuai dengan hukum dan dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan.206

1. Pengaturan Hukum Dalam Lingkup Hukum nasional

Melalui proses penyitaan yang dilakukan, hasil dari tindak pidana korupsi dijadikan barang bukti dan jika telah dijatuhkan putusan pemidanaan maka akan dieksekusi dan dikembalikan kepada negara.

Penyitaan dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana di Indonesia diantaranya:

Penyitaan dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana di Indonesia diantaranya:

a. KUHAP

Pasal 1 butir 16 KUHAP:

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda-benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”

Andi Hamzah, dalam bukunya “Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik Dan Sarana Hukum” menarik kesimpulan unsur-unsur penyitaan dari defenisi KUHAP tersebut, menjadi:207

1) Penyitaan termasuk dalam tahap penyidikan karena dikatakan “....serangkaian tindakan penyidik untuk..”;

206 M. Yahya Harahap, (1), op.cit, hal. 265.

207 Andi Hamzah, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik Dan Sarana

(43)

2) Penyitaan bersifat pengambilalihan atau penyimpanan dibawah penguasaan penyidik suatu benda milik orang lain;

3) Benda yang disita itu berupa benda bergerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud;

4) Penyitaan itu untuk tujuan kepentingan pembuktian. Disini terdapat kekurangan ketentuan KUHAP ini, karena sesungguhnya penyitaan seharusnya dapat dilakukan bukan saja untuk kepentingan pembuktian, tetapi juga untuk benda-benda yang dapat dirampas.

Berkaitan dengan hal tersebut, Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, dalam buku “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek” mengemukakan tata cara penyitaan agar tidak melanggar hak asasi manusia, diantaranya:208

1) Berdasarkan surat ijin ketua pengadilan negeri kecuali tertangkap tangan hanya atas benda bergerak. Pasal 38 KUHAP menentukan:

“(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat ijin ketua pengadilan negeri setempat;

(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat ijin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1), penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda-benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.”

Dengan keadaan yang sangat perlu dan mendesak ini dapat dianalogikan dengan penjelasan pasal 34 ayat (1) KUHAP, sehingga penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak ialah bilamana ditempat yang akan disita diduga keras terdapat benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau

208 Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan

(44)

dipindahkan, sedangkan surat ijin dari ketua pengadilan negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara layak dan dalam waktu yang singkat. Dalam hal tertangkap tangan, penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 KUHAP, Pasal 89 UU Peradilan Militer). Dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan tanda penerimaan (Pasal 41 KUHAP dan Pasal 90 UU Peradilan Militer);

2) Penyitaan oleh penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenal. Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita (Pasal 128 KUHAP);

3) Penyitaan disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan dan dua orang saksi. Dalam Pasal 129 ayat (1) KUHAP diterangkan, penyidik memperlihatkan benda yang akan disita atau kepada keluarganya dan dapat diminta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepada desa atau kepala lingkungan dengan dua orang saksi;

(45)

dan kepala desa. Dalam Pasal 129 ayat (2), (3), (4) KUHAP dikatakan, penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau kepala lingkungan dengan dua orang saksi. Dalam hal orang darimana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya. Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang darimana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa;

5) Benda sitaan dibungkus, dirawat, dijaga, serta dilak dan dicap jabatan. Menurut Pasal 130 KUHAP benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khasnya, tempat, hari, tanggal penyitaan, identitas orang darimana benda itu disita, dan lain-lain yang kemudian diberi lak dan dicap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik. Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.

Mengenai benda yang dapat disita, diantaranya dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP:

“a) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan delik atau untuk mempersiapkannya;

(46)

d) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.”

KUHAP juga mengatur ketentuan bahwa benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit209

Andi Hamzah, menyatakan bahwa jika penyitaan dihubungkan dengan perampasan sebagai pidana tambahan

dapat disita juga untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, jika dipenuhi persyaratan butir 1 sampai 5 (Pasal 39 ayat (2) KUHAP).

210

melalui putusan hakim, maka harus diperhatikan Pasal 39 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa yang dapat dirampas adalah:211

1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan;

2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang dengan sengaja telah dipakai untuk melakukan kejahatan.

Menurut Andi Hamzah, pembatasan Pasal 39 ayat (1) KUHP tersebut bahwa dengan sengaja telah dipakai untuk melakukan kejahatan, diperluas oleh

209 Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang-Undang-Undang, pengertian pailit merujuk pada Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu untuk ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, defenisi kepailitan merujuk pada Pasal 1 ayat (1), sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

210

KUHAP, op.cit, dalam Pasal 10 menyebutkan jenis pidana tambahan yaitu: 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim. Sedang dalam RUU KUHP pada Pasal Pasal 67 ayat (1) Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

(47)

ayat (2) yang memungkinkan delik yang dilakukan tidak dengan sengaja atau pelanggaran, pidana perampasan dapat dijatuhkan asal ditentukan oleh undang-undang. Yang dimaksud dengan undang-undang tersebut adalah perundang-undangan khusus, seperti Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang-Undang-Undang Narkotika dan sebagainya.212

1) Penyitaan dapat berakhir sebelum ada putusan hakim:

Penyitaan berakhir menurut hukum acara pidana disebabkan dalam : “Pasal 46 KUHAP:

a) Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b) Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau tidak merupakan delik;

c) Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali benda tersebut diperoleh dari suatu delik atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu delik. 2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut keputusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti untuk perkara lain.”

Selain itu, penyitaan juga diatur dalam perundang-undangan lain. Hal ini dibenarkan oleh Pasal 284 KUHP.

b. Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

Pasal 18 ayat (1):

“Pegawai-pegawai pengusut setiap waktu berwenang mensita atau menuntut penyerahan untuk disita semua barang yang dapat dipergunakan untuk mendapat keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan menurut ketentuan undang-undang.”

212 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (3), (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,

Gambar

Tabel 4: Pengembangan Jaringan Dan Kerja Sama Kerja Sama Strategis
Tabel 5: Pengembangan Jaringan Dan Kerja Sama Strategis Internasional200
Tabel 6: Rekap PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)  Dari Hasil Kasus Tindak Pidana Korupsi Dan Gratifikasi Yang Telah Disetor Ke Kas Negara/ Kas Daerah Tahun 2009.246
Tabel 7: Rekap PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)  Dari Hasil Kasus Tindak Pidana Korupsi Dan Gratifikasi Yang Telah Disetor Ke Kas Negara/ Kas Daerah Tahun 2010247
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam mencegah dan memberantas

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2014.. Judul : Pengembalian Kerugian Keuangan Negara melalui Penjatuhan Sanksi Pembayaran Uang Pengganti dalam Tindak Pidana

Untuk menganalisis data tentang hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi..

Hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, tidak ada aturan yang secara spesifik mengatur mengenai siapa yang

Diperlukan pengaturan yang disepakati bersama untuk menghilangkan anggapan adanya tumpang tindih kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk melakukan penuntutan

Untuk memerangi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa ( extra ordinary crime ), maka KPK diberi tam- bahan kewenangan yang tidak dimiliki

Metode penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk mengkaji norma dan kaidah- kaidah hukum yang berlaku, berkaitan dengan arti pentingnya kewenangan lembaga negara

Apabila ditinjau kembali maka pada kenyataannya berdasarkan rumusan dalam undang-undang timbul permasalahan dalam hal dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan