• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Lampiran 1. Pelaksanaan Penelitian

1. Pengukuran DO 2. Pengukuran suhu

3. Pengukuran pH 4. Pengambilan substrat

(3)

Lampiran 1. Sambungan

7. Pengambilan BOD5 8. Pengukuran BOD5

9. Pengukuran salinitas 10. Analisis substrat

(4)

Lampiran 2. Gambar Bahan dan Alat Penelitian

1. Botol sampel 2. Labu Erlenmeyer

3. Botol Winkler 4. Kuas

(5)

Lampiran 2. Sambungan

7. Pinset 8. Tisu

9. Plastik 10. Karet

(6)

Lampiran 2. Sambungan

13. Alat tulis 14. Alkohol

15. Aquadest 16. Cool box

(7)

Lampiran 2. Sambungan

19. Meteran 20. Termometer

21. Kaca pembesar 22. Surber net

(8)
(9)
(10)

Lampiran 4. Sambungan

(11)

Lampiran 4. Sambungan

Rumus perhitungan pasang surut metode admiralty :

F =

AK 1+ AO 1

AM 2+AS 2

= 1,0+ 0,7 0,9+1,3

= 1,7 2,2

= 0,7

Keterangan :

F : Form-zahl atau konstanta pasang surut.

AK1 : amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian tunggal rata-rata yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan matahari.

AO1 : amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian tunggal yang dipengaruhi oleh deklinasi matahari.

AM2 : amplitude dari anak gelombang pasang surut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh bulan.

AS2 : amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh matahari.

Nilai F Tipe Pasang Surut

0 < F < 0,25 harian ganda murni (semi diurnal)

0,25 < F < 1,50 campuran (mixed type) condong ke harian ganda

(12)

Lampiran 5. Makrozoobentos

Makrozoobentos Ciri-Ciri

Acetes serrulatus

- Ukuran tubuh kecil dan pipih

- Memiliki tungkai mata yang panjang

- Berwarna hijau gelap secara keseluruhan

- Memiliki kaki yang panjang.

Aristaeopsis edwardsiana

- Puncak rostrum sangat tajam dan menonjol - Antenulla bagian atas

sangat pendek.

(13)

Lampiran 5. Sambungan

Cardisoma hirtipes

- Permukaan karapas

halus,

- Berwarna biru gelap, - Kaki keras pendek dan

berbulu.

- Memiliki rostrum tidak

panjang namun bergerigi

- Antenulla yang panjang - Tungkai mata yang

panjang.

Planaria sp.

- Memiliki tubuh pipih - Mata yang hitam - Memiliki rib radial - Terdapat bulu di luar

(14)

Lampiran 5. Sambungan

Mactra fragilis

- Memiliki cangkang yang keras

- Permukaannya halus serta berwarna variasi.

Corbicula javanica

- Memiliki cangkang

yang keras

- Memiliki ruas dan berwarna hijau kehitaman.

Cerithidea cingulata

- Memiliki ukuran kecil - Cangkang memanjang

ke atas bercorak melingkar

- Berwarna variasi coklat - Permukaan cangkang yang ramping ke atas dan beruas

- berwarna coklat

(15)

Lampiran 5. Sambungan

Thiara scabra

- Berukuran kecil

- Memiliki gerigi runcing di sekeliling ruas

- Berwarna coklat.

Gyrineum gyrinum

- Berukuran 2-3 cm

- Permukaan cangkang keras bergerigi dan memiliki motif cincin

- Spesies dari golongan siput air asin ini memiliki cangkang keras berduri

(16)

Lampiran 5. Sambungan

Murex tribulus

- Memiliki duri lebih sedikit dan lebih kecil dari spesies M. trapa

- Memiliki cangkang

yang keras berwarna coklat abu-abu.

Nodilittorina pyramidalis

- Memiliki ukuran kecil - Cangkang setiap ruas

memiliki gerigi yang mengelilingi rib

- Berwarna coklat gelap.

Littorina sp. keras dan banyak ruas - ramping

(17)

Lampiran 5. Sambungan

Monodonta labio

- memiliki cangkang yang tebal keras serta berwarna hitam. - Memiliki motif garis Berwarna coklat horizontal.

- Berwarna lebih gelap.

Cerithium alveolum

- Memiliki kemiripan dengan cerithidea cingulata

- Spesies ini lebih ramping, bergerigi yang

(18)

Lampiran 5. Sambungan

- Bermotif segitiga yang menghiasi seluruh

- Bercangkang tebal

(19)

Lampiran 5. Sambungan

Pila ampullacea

- Memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan Pila scutata,

namun cangkang spesies ini lebih tebal dan gelap.

- Tectus conus memiliki garis yang membujur dan motif titik di seluruh permukaan cangkang luar.

Tectus triserialis

- Tidak memiliki motif - Berwarna pucat

- Bentuk yang ramping dan bawah cangkang yang datar.

Pheretima sp.

- Memiliki ukuran tubuh yang panjang

(20)

Lampiran 6. Contoh Perhitungan

Contoh perhitungan kepadatan populasi (K) spesies Pheretima sp. pada stasiun 1 adalah sebagai berikut:

Contoh perhitungan kepadatan relatif (KR) spesies Pheretima sp. pada stasiun 1 adalah sebagai berikut:

KR = Kepadatan suatu jenis

∑seluruh jenis x 100%

= 18

140 x 100% = 12,86%

Contoh perhitungan frekuensi kehadiran (FK) spesies Pheretima sp. pada stasiun 1 adalah sebagai berikut:

FK = Jumlah sub plot ditempati suatu jenis

Jumlah total sub plot x 100%

= 1

3 x 100% = 33,33%

(21)

Lampiran 6. Sambungan

Contoh perhitungan indeks keseragaman (E’) pada stasiun 1 adalah sebagai berikut :

Contoh perhitungan analisis komunitas (IS) pada stasiun 1 adalah sebagai berikut :

(22)

Lampiran 6. Sambungan

Contoh perhitungan indeks pencemaran pada setiap stasiun penelitian adalah sebagai berikut:

Rata-rata 0,6274 0,7252

Perhitungan DO :

DO merupakan paramater yang jika harga parameter rendah kualitas perairan akan menurun. DOmaks = 7 pada temperatur 25°C, sehingga diselesaikan dengan rumus:

Ci/Lij = (7− 4,2)/(7−4) = 3,8/3 = 0,93

Perhitungan pH, salinitas serta suhu :

(23)

Lampiran 6. Sambungan

Karena nilai Ci/Lij suhu >1 maka harus dicari Ci/Lijbaru dengan memasukkan rumus :

Kemudian tentukan nilai M (nilai maksimum dari kolom Ci/Lijbaru), kemudian cari nilai R (nilai rata-rata dari penjumlahan kolom Ci/Lijbaru). Sehingga selanjutnya dapat menenetukan nilai IP stasiun 1 sebagai berikut:

PIj =

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, F. 2011. Dampak Pencemaran Lingkungan Kota Praya Terhadap Kualitas Air Waduk Batujai. Buletin Geologi Tata Lingkungan. 21 (2) : 69 – 82.

Agustiningsih, D., Setia, B. S., Sudarno. 2012. Analisis Kualitas Air Dan Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Blukar Kabupaten Kendal. Jurnal Presipitasi. 9 (2).

Agustinus, Y., Arief, P., Dony, A. 2013. Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan di Pulau Lengkang Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. [Skripsi]. Batam : Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Asra, R. 2009. Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologi Dari Kualitas Air Di Sungai Kumpeh dan Danau Arang-Arang Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Jurnal Biospesies. 2 (1) : 23-25.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press. Medan.

Carpenter, K. E. dan Volker, H. N. 1998. FAO Species Identification Guide Fishery Purposes. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.

Daeli, F. F., Falmi, Y., Dony, A. 2013. Keanekaragaman Makrozoobentos Di Perairan Pulau Belakang Padang Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. [Skripsi]. Batam : Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P., Sitepu, M. J. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.

Damaianto, B. dan Ali, M. 2014. Indeks Pencemaran Air Laut Pantai Utara Kabupaten Tuban dengan Parameter Logam. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1) : 2301-9271

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesian Shells). PT Sarana Graha. Jakarta.

(25)

Firstyananda, P. 2012. Komposisi Dan Keanekaragaman Makrozoobentos Di Tiga Lokasi Aliran Sungai Sumber Kuluhan Jabung, Kabupaten Magetan. [Skripsi]. Surabaya : Departemen Biologi, Univeritas Airlangga.

Fitra, E. 2008. Analisis Kualitas Air dan Hubungannya dengan Keanekaragaman Vegetasi Akuatik Di Perairan Parapat Danau Toba. [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pasca Sarjana.

Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Jurnal Biodiversitas. 7 (1) : 67-72.

Indrawan, M., Primack, R. B., Supriatna, J. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Irwan, Z. J. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi Ekosistem Lingkungan dan Pelestariannya. Bumi Aksara. Jakarta.

Kasmini, L. 2014. Identifikasi Populasi Makrozoobentos Di Kawasan Ekosistem Mangrove Desa Ladong Aceh Besar . Jurnal. (1) : 47-56.

Kawuri, L. R., Mustofa, N. S., Suryanti. 2012. Kondisi Perairan Berdasarkan Bioindikator Makrobentos Di Sungai Seketak Tembalang Kota Semarang. Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan. 1 (1) : 1-7.

Manurung, M. E. H. 2012. Pengetahuan Masyarakat Tentang Kondisi Dan Manfaat Perairan Pesisir Di Kawasan Pesisir Dumai Provinsi Riau. Jurnal Visi. 20 (3) : 1132-1144.

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2003. Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Nomor 115. http://bplhd.jakarta.go.id (diakses 28 Maret 2014).

Murijal, A. 2012. Penilaian Kualitas Sungai Pesanggrahan Dari Bagian HULU (Bogor, Jawa Barat) Hingga Bagian Hilir (Kembangan, DKI Jakarta) Berdasarkan Indeks Biotik. [Skripsi]. Depok : Departemen Biologi, Universitas Indonesia.

Nanda, R., Mades, F., Irma, L. 2012. Struktur Komunitas Makrozoobentos Pada Laguna Hutan Mangrove Kanagarian Mangguang Kota Pariaman. [Skripsi]. Padang : Program Studi Pendidikan Biologi STIKIP PGRI Jurusan Biologi, Universitas Negeri Padang.

Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta.

(26)

Prakitri, K. N. 2008. Struktur Komunitas Meiobenthos Yang Dikaitkan Dengan Tingkat Pencemaran Sungai Jerambah Dan Sungai Buding, Kepulauan Bangka Belitung. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rakhmanda, R. K. A. 2011. Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta. Jurnal Ekologi Perairan. (1) : 1-7.

Ruswahyuni. 2008. Struktur Komunitas Makrozoobentos Yang Berasosiasi Dengan Lamun Pada Pantai Berpasir Di Jepara. Jurnal Saintek Perikanan. 3 (2) : 33 – 36.

Sembiring, H. 2008. Keanekaragaman Dan Distribusi Udang Serta Kaitannya Dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pasca Sarjana.

Shafa’atullah, F. F. 2012. Analisis Kualitas Air Sumur Dangkal Di Kecamatan Manggala Kota Makassar. [Jurnal Tugas Akhir]. Makassar : Jurusan Sipil Fakultas Teknik, Universitas Hassanudin.

Siahaan, R., Andry, I., Dedi, S., Lilik, B. P. 2012. Keanekaragaman Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Air Sungai Cisadane, Jawa Barat – Banten. Jurnal Bioslogos. 1 (2) : 1-9.

Simamora, D. R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi. [Skripsi]. Medan : Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Sinaga, T. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indicator Kualitas Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir. [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pasca Sarjana.

Sitorus, D. 2008. Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya Dengan Faktor Fisik-Kimia Di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pasca Sarjana.

Sitorus, H. 2013. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Berkelanjutan. Universitas Nommensen. Medan

Sulistianto, E. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Di Perairan Bontang Kota Bontang. Jurnal EPP. 7 (1) : 20-24.

(27)

Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton Dan Struktur Komunitas Fauna Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove Di Kawasan Konservasi Mangrove Dan Bekantan Kota Tarakan, Kalimantan Timur. [Tesis]. Semarang : Universitas Diponegoro, Program Pasca Sarjana.

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional. Surabaya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27. 2007. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. [Diakses melal 4 September 2010].

Vatria, B. 2010. Berbagai Kegiatan Manusia Yang Dapat Menyebabkan Terjadinya Degradasi Ekosistem Pantai Serta Dampak yang Ditimbulkannya. Jurnal Belian. 1 (9) : 47-54.

Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT. Gramedia. Jakarta.

Yeanny, M. S. 2007. Keanekaragaman Makrozoobentos Di Muara Sungai Belawan. Jurnal Biologi Sumatera. 2 (2) : 37- 41.

Yudianto, A. V. 2014. Ekosistem Pesisir Dan Pengelolaannya di Indonesia. Artikel. http://terangi.or.id. (diakses 1 Maret 2014).

Yudianto, A. V. 2014. Struktur Fungsional Ekosistem Pesisir. Artikel. http://terangi.or.id. (diakses 1 Maret 2014).

(28)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2014 di perairan pesisir Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan identifikasi makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Terpadu Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Analisis substrat sebagai satu dari beberapa sampel parameter kualitas air dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

(29)

Alat dan Bahan

Alat–alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah surber net, sekop, cool box, kantong plastik, botol sampel, botol Winkler, labu Erlenmeyer, saringan, pinset, kamera digital, alat tulis, GPS (Global Positioning System), termometer, refraktometer, pH meter, ember, botol alkohol, botol film, pipet tetes, lakban, meteran, tali plastik, kertas millimeter. Sedangkan bahan yang digunakan yakni alkohol 70%, akuades, kertas label, amilum, MnSO4, KOH-KI, H2SO3, Na2S2O3, tissue. Gambar alat maupun bahan dalam pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

Prosedur Penelitian

Penentuan Stasiun

Pertimbangan penentuan stasiun pengambilan sampel yakni berdasarkan pemanfaatan wilayah perairan pesisir Kecamatan Pantai Labu. Stasiun pengambilan sampel ditentukan dengan metode purposive sampling (sampel dengan maksud/pertimbangan) yaitu pengambilan sampel dilakukan hanya atas dasar pertimbangan peneliti. Penentuan stasiun tersebut diacu dari Daeli, dkk., (2013). Lokasi penelitian ditetapkan sebanyak 3 stasiun, pada setiap 1 stasiun terdiri dari 3 titik untuk pengambilan sampel.

Stasiun 1

(30)

sebagai lokasi kontrol karena tidak terdapat aktivitas. Stasiun tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Lokasi Stasiun 1 Stasiun 2

Lokasi stasiun 2 terletak di Desa Paluh Sibaji Dusun II Kecamatan Pantai Labu dengan posisi koordinat 3°39.565’N 98°54.299’E. Lokasi tersebut merupakan satu aliran sungai dari stasiun 1 dengan jarak 2 km. Stasiun 2 dipengaruhi oleh aktivitas wilayah yang padat pemukiman dan terdapat aktifitas perbaikan/perawatan kapal (docking). Seperti Stasiun 1, maka stasiun 2 juga akan dibagi menjadi 3 titik yaitu 2 titik diantaranya ditentukan di area tepi sungai dan 1 titik di area tengah. Lokasi stasiun 2 dapat dilihat pada Gambar 4.

(31)

Stasiun 3

Lokasi stasiun 3 merupakan daerah garis pantai yang dipengaruhi aktivitas pariwisata dan penangkapan ikan. Pantai tersebut bernama Pantai Serambi Deli yang terletak di Desa Paluh Sibaji Dusun IV Kecamatan Pantai Labu dengan posisi koordinat 3°40.791’N 98°54.557’E. Jarak dari stasiun 2 ke stasiun 3 adalah 3 km. Seperti stasiun 1 dan stasiun 2, stasiun 3 juga dibagi menjadi 3 titik. Ketiga titik tersebut dimulai dari tepi garis pantai mengarah ke laut. Hal ini diacu dari Ruswahyuni (2008). Jarak antar titik sejauh 5 meter. Lokasi stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Lokasi Stasiun 3

Metode Pengambilan Sampel Makrozoobentos

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode pengamatan langsung ke lapangan. Pengambilan sampel dilakukan pada waktu surut dengan alasan agar mempermudah dalam pengambilan sampel serta tidak terkendala dengan arus dan gelombang (Daeli dkk., 2013).

(32)

diletakkan di dasar perairan pantai maupun sungai, kemudian dilakukan pengerukan substrat sehingga makrozoobentos ikut terjaring didalam surber net. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan sebanyak 3 kali, setiap 16 hari sekali.

Sampel yang didapat dari pengambilan kemudian disortir menggunakan metode hand sorting dengan bantuan saringan, selanjutnya dibersihkan dengan akuades dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah berisi alkohol 70% sebagai pengawet dan diberi label. Selanjutnya sampel diidentifikasi menggunakan buku identifikasi buku Carpenter dan Volker (1998) dan Dharma (1988) yang dilakukan di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Metode Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Teknis pengukuran parameter fisika dan kimia perairan akan dilakukan bersamaan dengan pengambilan makrozoobentos pada setiap lokasi penelitian. Parameter fisika kimia perairan diukur dengan 3 kali ulangan pada setiap stasiun. Metode yang digunakan untuk mengukur beberapa parameter fisika dan kimia perairan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Suhu Air

Pengukuran suhu menggunakan termometer yang akan dilakukan secara insitu pada setiap stasiun penelitian. Termometer dimasukkan ke dalam sampel air yang telah diambil pada daerah dasar perairan kemudian dibiarkan selama 3 menit. Kemudian dicatat nilai suhu yang tertera pada skala termometer tersebut. 2. Salinitas

(33)

dengan cara sampel air yang telah diambil, kemudian diteteskan ke permukaan kaca refraktometer yang bersih menggunakan pipet tetes, kemudian ditutup lalu dilihat nilai salinitas pada skala refraktometer.

3. pH

Pengukuran derajat keasaman (pH) perairan diukur secara insitu dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan elektroda pH meter ke dalam sampel air yang telah diambil, dilihat dan dicatat nilai yang tertera pada pH meter tersebut.

4. Substrat Dasar

Pengamatan tipe substrat dasar setiap stasiun dilakukan secara eksitu. Substrat dasar yang telah diambil bersamaan dengan pengambilan sampel makrozoobentos akan dianalisis di Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dapat dilihat pada Lampiran 3.

5. Oksigen Terlarut

(34)

berwarna bening. Banyaknya Na2S2O3 yang terpakai menunjukkan kadar oksigen terlarut.

1. Biological Oxygen Demand (BOD)

Sampel air dimasukkan ke dalam botol winkler diinkubasi pada suhu 20°C selama 5 hari. Setelah 5 hari dihitung kadar BOD dengan cara yang sama seperti perhitungan kadar oksigen terlarut. Kadar BOD dihasilkan dengan cara mengurangkan DO awal dan DO akhir. Brower, dkk., (1990) menyatakan nilai konsentrasi BOD5 menunjukkan kualitas suatu perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l.

2. Pasang Surut

Pengambilan data pasang surut melalui data sekunder yang diambil pada Majalah Maritim Laut Biru Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut I untuk data pasang surut terbaru dapat dilihat pada Lampiran 4.

Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menghitung kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks keseragaman, indeks keseragaman, analisis komunitas, analisis kelimpahan makrozoobentos dengan kualitas air, serta indeks pencemaran.

1. Kepadatan Populasi (K)

Data yang diperoleh dari hasil penelitian selanjutnya dianalisis kepadatan populasinya dengan menggunakan rumus Odum (1993) diacu oleh Pakpahan dkk., (2013) yaitu :

(35)

Keterangan :

K = Kepadatan makrozoobentos (ind/ m²) A = Jumlah makroozoobentos (individu) B = Luas bukaan surber

10000 = Konversi dari cm² ke m² 2. Kepadatan Relatif (KR)

Untuk menggunakan kepadatan relatif makrozoobentos, digunakan rumus Brower dkk., (1990 ) diacu oleh Firstyananda (2012) adalah :

KR = Kepadatan suatu jenis

∑seluruh jenis x 100%

3. Frekuensi Kehadiran (FK)

Frekuensi kehadiran dihitung untuk mengetahui spesies yang paling dominan ditemui saat penelitian, FK dapat dihitung dengan rumus Yeanny (2007) sebagai berikut :

FK = Jumlah sub plot ditempati suatu jenis

Jumlah total sub plot x 100 %

Dengan kriteria nilai FK:

0-25% (sangat jarang); 25-50% (jarang); 50-75% (sering); >75% (sangat sering) 4. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)

Untuk mengetahui struktur komunitas makrozoobentos maka dilakukan analisis indeks keanekaragaman, dengan menggunakan Indeks Diversitas Shannon – Wienner (1949) oleh (Odum, 1994) dalam Sembiring (2008) sebagai berikut:

H′= − �pi ln pi

s

i=1

Keterangan :

(36)

Pi = Proporsi spesies ke i (ni) terhadap jumlah total (N) dimana Pi = Σ ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan total keselurahan jenis)

5. Indeks Keseragaman

Jika terjadi penurunan keanekaragaman maka akan mencapai keseragaman, maka keseimbangan komunitas tersebar merata. Rumus yang digunakan untuk Indeks Keseragaman adalah Krebs (1978) diacu oleh Fitriana (2006) seperti di bawah ini:

E′= H′ Ln S

Keterangan :

J’ = indeks keseragaman (Evenness index) H’= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = jumlah spesies

6. Analisis Komunitas

Untuk mengetahui tingkat kesamaan komunitas antar dua stasiun penelitian, data makrozoobentos dianalisis menggunakan Indeks Sorensen (1948) diacu oleh Firstyananda (2012) yaitu:

IS = 2C

A + B x 100%

Keterangan :

IS = Indeks kesamaan

A = Jumlah spesies dalam lokasi A B = Jumlah spesies dalam lokasi B

(37)

Dengan kriteria :

Jika IS= 75-100: sangat mirip; 50-75: mirip; 25-50: tidak mirip; <25: sangat tidak mirip.

7. Hubungan Keanekaragaman Makrozoobentos dengan Kualitas Air

Analisis tersebut digunakan untuk mengetahui hubungan antara keanekaragaman makrozoobentos yang terdapat di perairan Kecamatan Pantai Labu dengan sifat fisika kimia airnya. Analisis dilakukan dengan uji korelasi Pearson.

8. Indeks Pencemaran

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, Indeks Pencemaran (Pollution Index) yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow, 1974). Indeks Pencemaran (IP) mencakup berbagai kelompok parameter kualitas yang independen dan bermakna. Metode ini dapat langsung menghubungkan tingkat ketercemaran dengan dapat atau tidaknya perairan dipakai untuk penggunaan tertentu dan dengan nilai parameter-parameter tertentu.

Menurut Shafa’atullah (2013) nilai IP ini dapat ditentukan dengan cara : a. Pilih parameter-parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas air

akan membaik.

b. Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang. c. Hitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan.

(38)

Cim (misal untuk DO, maka Cim merupakan nilai DO jenuh). Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij hasil perhitungan,

�Ci

- Jika nilai baku Lij memiliki rentang, untuk Ci ≤ Lij rata-rata:

- Keraguan timbul jika dua nilai (Ci/Lij) berdekatan dengan nilai acuan 1,0, misal C1/L1j = 0,9 dan C2/L2j = 1,1 atau perbedaan yang sangat besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0. Dalam contoh ini tingkat kerusakan badan air sulit ditentukan. Cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah :

a. Penggunaan nilai (Ci/Lij) hasil pengukuran kalau nilai ini lebih kecil dari 1,0. b. Penggunaan nilai (Ci/Lij) baru jika nilai (Ci/Lij) hasil pengukuran lebih besar

dari 1,0. (Ci/Lij) baru = 1,0 P.log(Ci/Lij) hasil pengukuran P adalah konstanta dan nilainya ditentukan dengan bebas dan disesuaikan dengan hasil pengamatan lingkungan dan atau persyaratan yang dikehendaki untuk suatu peruntukan (biasanya digunakan nilai 5).

(39)

d. Tentukan harga PIj:

PIj =

��LijCi�2M +�LijCi�

2

R

2

Keterangan:

Lij = konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Mutu Air Ci = konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis

percontoh air pada suatu lokasi penelitian

IPj = Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi Ci/ Lij M = nilai maksimum

R = nilai rata-rata (Achmad, 2011).

Damaianto dan Ali (2014) menyatakan bahwa hasil dari indeks pencemaran ini dapat memberikan masukan kepada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta dalam memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar.

Berikut evaluasi hubungan nilai IP dengan status mutu air menurut KepMenLH 115/2003 diacu oleh Agustiningsih dkk., (2012) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hubungan Nilai IP dengan Status Mutu Air

Indeks Pencemaran Mutu Perairan

0 ≤ Pij ≤ 1,0 Kondisi baik 1,0 < Pij ≤ 5,0 Cemar ringan 5,0 < Pij ≤ 10 Cemar sedang

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Parameter Fisika Kimia Perairan pada Setiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, nilai yang diperoleh dari beberapa parameter fisika kimia perairan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Parameter Fisika Kimia Air pada Setiap Stasiun Penelitian di Perairan Kecamatan Pantai Labu

Parameter Stasiun diperoleh setelah dilakukan pengamatan di laboratorium dapat dilihat pada Tabel 4 seperti di bawah ini serta pada Lampiran 3.

Tabel 4. Hasil Analisis Substrat pada Setiap Stasiun Penelitian di Perairan Kecamatan Pantai Labu

(41)

Keterangan :

Lp : Lempung Berpasir

Pl : Pasir Berlempung Llip : Lempung Liat Berpasir

Hasil parameter fisika yang diperoleh selanjutnya adalah pasang surut. Tipe

pasang surut pada perairan Kecamatan Pantai Labu adalah termasuk tipe campuran

condong harian ganda dengan nilai HW (High Water) 2,7 m dan LW (Low Water) 0,3

m. Sedangkan nilai MSL (Mean Sea Level) adalah 1,2 m. Pasang surut dapat

diketahui pada Gambar 6 yang akan disajikan berikut ini.

(42)

Klasifikasi Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

Makrozoobentos yang diidentifikasi dalam penelitian ini (Lampiran 5) terdiri dari 5 kelas yaitu: Crustacea terdiri dari 7 spesies, Turbellaria terdiri dari 1 spesies, Bivalvia terdiri dari 3 spesies, Gastropoda terdiri dari 25 spesies, Oligochaeta terdiri dari 1 spesies seperti disajikan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Komunitas Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian di Perairan Kecamatan Pantai Labu

Kelas Ordo Famili Genus Spesies Jumlah (individu) Kondisi St. 1 St. 2 St. 3

Crustacea Decapoda Sergestidae Acetes Acetes serrulatus - 2 - Hidup Portunidae Podophthalmus Podophthalmus

vigil

- 1 - Hidup Thalamita Thalamita crenata - - 1 Hidup Aristeidae Aristaeopsis Aristaeopsis

edwardsiana

- 9 - Hidup Gecarcinidae Cardisoma Cardisoma

hirtipes

- 2 - Hidup Cardisoma

rotundum

- 1 - Hidup Penaeidae Metapenaeus Metapenaeus

tenuipes

3 12 - Hidup Turbellaria Tricladida Planariidae Planaria Planaria sp. - - 7 Hidup Bivalvia Pteriomorpha Arcidae Anadara Anadara antiquata - - 9 Mati

Eulamellibranchia Mactridae Mactra Mactra fragilis - 4 241 Hidup Veneroida Corbiculidae Corbicula Corbicula

javanica

29 11 1 Hidup Gastropoda Sorbeoconcha Potamididae Cerithidea Cerithidea

cingulata Littorinidae Nodilittorina Nodilittorina

pyramidalis

2 33 - Hidup Littorina Littorina sp. 25 1391 - Hidup Turritellidae Turritella Turritella terebra - - 1 Mati Archaeogastropoda Haliotidae Haliotis Haliotis planata 1 - - Mati Trochidae Monodonta Monodonta labio - - 1 Mati Trochus Trochus radiatus - - 1 Mati

Trochus californicum

- - 1 Mati Neotaenioglossa Cerithiidae Cerithium Cerithium

alveolum

- - 1 Mati Planaxidae Quoyia Quoyia decollata 11 71 - Hidup Strombidae Strombus Strombus

microurceus

- - 1 Mati Neritopsina Neritidae Nerita Nerita chameleon - 1 - Hidup

Nerita albicilla - 78 - Hidup Architaenioglossa Ampullariidae Pila Pila scutata 11 - - Hidup Pila ampullacea 2 - - Hidup Vetigastropoda Trochidae Tectus Tectus conus - - 1 Mati

Tectus triserialis - - 1 Mati Oligochaeta Opisthopora Opisthidae Pheretima Pheretima sp. 18 - - Hidup

(43)

Kepadatan Populasi (K) Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran

(FK) Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

Hasil dari perhitungan K, KR, FK makrozoobentos yang didapat saat penelitian di stasiun 1 sampai dengan stasiun 3 dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini dan contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 6.

(44)

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Keseragaman

(E’) Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

Hasil dari perhitungan H’ dan E’ makrozoobentos yang didapat saat penelitian di stasiun 1 sampai dengan stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 7 sebagai berikut serta contoh perhitungan disajikan pada Lampiran 6.

Gambar 7. Diagram Nilai H’ dan E’ pada Setiap Stasiun Penelitian di Perairan Kecamatan Pantai Labu

Analisis Komunitas (IS) pada Setiap Stasiun Penelitian

Hasil dari perhitungan IS (Indeks Sorensen) makrozoobentos yang didapat saat penelitian di stasiun 1 sampai dengan stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah ini, contoh perhitungan pada Lampiran 6.

Gambar 8. Diagram Nilai IS pada Setiap Stasiun Penelitian di

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

H' E'

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(45)

Analisis Hubungan Keanekaragaman Makrozoobentos dengan Kualitas

Perairan pada Setiap Stasiun Penelitian

Hubungan nilai indeks keanekaragaman makrozoobentos dengan nilai beberapa parameter fisika kimia air yang telah diuji korelasi Pearson melalui SPSS 21.0 diketahui pada Tabel 7 yang akan disajikan berikut.

Tabel 7. Analisis Korelasi Indeks Keanakearagaman Makrozoobentos dengan Kualitas Air pada Stasiun Penelitian di Perairan Kecamatan Pantai Labu

Parameter R Korelasi

Suhu -0.429 Lemah

Salinitas -0.404 Lemah

DO 0.856 Kuat

pH 0.977 Kuat

BOD5 -0.856 Lemah

Hubungan Jenis Tekstur Substrat Perairan dengan Dominansi

Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

(46)

Gambar 9. Peta Hubungan Persentase Makrozoobentos dengan Tekstur Substrat pada Setiap Stasiun Penelitian di Perairan Kecamatan Pantai Labu

Indeks Pencemaran (IP) pada Setiap Stasiun Penelitian

Nilai IP yang diperoleh dari perhitungan KepMenLH No. 115 Tahun 2003 menggunakan parameter fisika kimia berupa DO, pH, BOD5, salinitas serta suhu. Dari perhitungan yang telah dilakukan hasil IP pada setiap stasiun penelitian dapat diketahui pada Tabel 8 di bawah ini, contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 8. Hasil Indeks Pencemaran (IP) pada Setiap Stasiun penelitian di Perairan Kecamatan Pantai Labu

Stasiun Nilai Indeks Pencemaran Evaluasi

1 0,855 Kondisi Baik

2 0,967 Kondisi Baik

3 1,005 Cemar Ringan

(47)

Pembahasan

Parameter Fisika Kimia Perairan pada Setiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, suhu yang paling tinggi adalah pada stasiun 3 yang berkisar antara 32-34°C. Hal ini disebabkan pada saat pengukuran di stasiun 3 dilakukan pada siang hari, sedangkan pada stasiun 1 berkisar antara 28-31°C dilakukan pada pagi dan stasiun 2 berkisar antara 30-31°C sore hari. Selain itu karena stasiun 3 merupakan pantai, stasiun 2 merupakan pertengahan badan sungai sedangkan stasiun 1 lebih menuju hulu sungai sehingga fluktuasi nilai suhu berbeda. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Barus (2004) yaitu daerah hulu mempunyai temperatur tahunan yang relatif paling konstan dan juga lebih rendah.

Dari penelitian yang dilakukan, salinitas juga diukur karena parameter fisika yang penting mengingat lokasi penelitian merupakan wilayah pesisir. Nilai salinitas yang tertinggi adalah di stasiun 3 berkisar antara 27-33‰. Hal ini disebabkan karena stasiun 3 merupakan daerah pantai yang berhubungan langsung dengan Selat Malaka. Lain halnya dengan stasiun 1 dan 2 yang bersalinitas dengan kisaran antara 0-3‰. Sehingga stasiun 1 dan 2 digolongkan menjadi perairan payau. Hal tersebut dinyatakan dalam Wibisono (2005) yaitu perairan payau umumnya mempunyai golongan salinitas antara oligo haline sampai meso haline. Oligo haline memiliki kisaran salinitas 0,5-3,0‰ dan meso haline memiliki kisaran 3,0-10,0‰. Sedangkan stasiun 3 digolongkan menjadi poly haline dengan kisaran 17,0-30,0‰ dan ultra haline dengan nilai lebih dari 30‰.

(48)

di stasiun 1 berkisar antara 3,8-5 mg/l karena stasiun 1 merupakan daerah kontrol sehingga tidak mengalami pencemaran di perairan yang akan mempengaruhi kandungan oksigennya. Selain itu pengukuran DO di stasiun 1 dilakukan di pagi hari sehingga suhu juga masih rendah sehingga kandungan oksigen tinggi. Hal ini sesuai dengan Barus (2004) yang menyatakan bahwa kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada temperature 0°C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatur air. Sedangkan nilai DO terendah yaitu pada stasiun 2 berkisar antara 2,6-4 mg/l.

Dari penelitian yang dilakukan nilai pH yang tertinggi diperoleh dari stasiun 1 berkisar antara 6,7-7,2 sedangkan nilai pH terendah di peroleh dari stasiun 2 yaitu 6,2-6,8. Hal ini karena stasiun 2 merupakan daerah dengan aktivitas docking kapal nelayan sehingga banyak tumpahan minyak mesin kapal serta tercemar limbah domestik dari pemukiman masyarakat pesisir. pH yang rendah tersebut diduga akibat limbah yang mencemari badan sungai. Hal tersebut sesuai dengan Giere (1993) dalam Prakitri (2008) yang menyatakan bahwa kisaran pH yang sangat rendah akan menyebabkan toksisitas berbagai senyawa logam berat semakin tinggi. Sedangkan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Pencemaran kimia maupun organik (eutrof) sering menjadi penyebab fluktuasi drastis terhadap nilai pH.

(49)

dengan pernyataan Sitorus (2008) yaitu angka BOD yang tinggi menunjukkan terjadi pencemaran organik di perairan. Namun, Brower dkk., (1990) dalam Sitorus (2008) menyatakan bahwa nilai kosentrasi BOD5 menunjukkan suatu kualitas perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O2 selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l. Hal ini dibuktikan dengan masih dijumpainya organisme perairan yang dapat bertahan hidup di stasiun 2.

Sedangkan analisis substrat yang telah dilakukan diperoleh hasil tekstur substrat yang berbeda-beda. Pada pelaksanaannya jenis substrat yang dianalisis merupakan dari 3 titik di setiap stasiun. Stasiun 1 memiliki jenis tekstur substrat yang berbeda yaitu pada titik 1 merupakan lempung berpasir, sedangkan titik 2 dan titik 3 merupakan pasir berlempung. Stasiun 2 pada ketiga titiknya memiliki jenis tekstur substrat yang sama dengan stasiun 1, hal ini disebabkan karena kedua stasiun tersebut merupakan 1 aliran sungai sehingga akan menmpengaruhi hasil jenis substrat yang sama. Sedangkan pada stasiun 3, titik 1 memiliki jenis tekstur substrat pasir berlempung, hal tersebut karena pada titik 1 merupakan tepi pantai berpasir sehingga jenis substrat dasar perairan di titik 1 pasir yang mendominasi. Pada titik 2 dan titik 3 memiliki jenis tekstur substrat dasar perairan yang sama yaitu lempung liat berpasir. Hasil tersebut sangat dipengaruhi oleh lokasi stasiun 3 merupakan wilayah pantai yang berhubungan langsung dengan Selat Malaka yang memiliki tingginya endapan sedimen sehingga titik 2 dan titik 3 memiliki dasar yang berlumpur.

(50)

tersebut diolah dengan metode admiralty. Dari pengolahan data tersebut didapatlah hasil merupakan perhitungan (Lampiran 5). Hasil perhitungan diketahui nilai F (pasang surut) adalah 0,2 maka tipe pasang surut pada stasiun lokasi penelitian di perairan Kecamatan Pantai Labu merupakan tipe pasang surut campuran yang condong ke harian ganda. Menurut Taqwa (2010) secara umum tipe pasang-surut adalah semi-diurnal (dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari) fenomena pasang surut sebanyak dua kali sehari selama 14-18 hari sebulan. Makrozoobentos dari penelitian sebelumnya yang memiliki tipe pasang surut yang sama dengan penelitian ini juga memiliki kesamaan yaitu dari genus cerithidea dan nerita. Tipe pasang surut penting diketahui untuk studi lingkungan mengingat bila suatu lokasi dengan tipe pasut harian tunggal atau campuran condong harian tunggal terjadi pencemaran maka dalam waktu kurang dari 24 jam, pencemar diharapkan akan tersapu bersih dari lokasi. Berbeda dengan lokasi dengan tipe harian ganda atau tipe campuran condong harian ganda, maka pencemar tidak akan segera tergelontor keluar (Wibisono, 2005). Dari penelitian pasut ini termasuk tipe campuran condong harian ganda, maka lambat laun perairan ini akan tercemar jika tidak dilakukan pengelolaan pencemaran.

Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

(51)

Pada stasiun 2 terdapat 16 spesies yaitu Plesiopenaeus edwardsianus, Nerita chameleon, Nerita albicilla, Quoiya decollata, Littorina sp., Nodilittorina pyramidalis, Corbicula javanica, Mactra fragilis, Metapenaeus tenuipes, Podothalmus vigil, Cardisoma hirtipes, Cardisoma rotundum, Acetes serrulatus, Murex tribulus, Murex trapa, Pisania truncata.

Sedangkan pada stasiun 3 terdapat 16 spesies yaitu Mactra fragilis, Corbicula javanica, Cerithidea cingulata, Gyrineum gyrinum, Anadara antiquata, Trochus californicum, Trochus radiatus, Pisania crocata, Cerithium alveolum, Turritella terebra, Thalamita crenata, Planaria sp., Monodonta labio, Strombus microurieus, Tectus triserialis, Tectus conus.

Kepadatan Populasi (K) Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran

(FK) Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

(52)

dalam kategori sangat jarang ditemukan. Hal tersebut karena keempat spesies tersebut hanya ditemukan pada 1 titik di stasiun 1.

Dari penelitian yang telah dilakukan pada stasiun 2, kepadatan populasi yang tertinggi adalah Littorina sp. sebanyak 139,1 atau 139 ind/m² sedangkan yang terendah ada beberapa spesies yaitu Nerita chameleon, Podopthamlus vigil, Cardisoma rotundum, Murex trapa, Murex tribulus, Pisania truncata memperoleh 0,1 ind/m². Kepadatan relatif tertinggi pada stasiun ini juga diperoleh Littorina sp. sebanyak 85,92% sedangkan kepadatan relatif terendah juga diperoleh Nerita chameleon, Podopthalmus vigil, Cardisoma rotundum, Murex trapa, Murex tribulus, Pisania truncata yaitu 0,06%. Frekuensi kehadiran tertinggi juga diperoleh 4 spesies yaitu Quoiya decollata, Littorina sp., Nodilittorina pyramidalis, Nerita albicilla sebesar 100% sedangkan yang terendah diperoleh Plesipenaeus edwardsianus, Nerita chameleon, Podopthalmus vigil, Cardisoma rotundum, Murex trapa, Murex tribulus, Pisania truncata, Cardisoma hirtipes, Acetes serrulatus yaitu sebesar 33,33%.

(53)

kehadiran tertinggi diperoleh 3 spesies yaitu Mactra fragilis, Gyrineum gyrinum, Anadara antiquata sebesar 100% sedangkan yang terendah Corbicula javanica, Trochus californicum, Trochus radiatus, Planaria sp., Cerithium alveolum, Thalamita crenata, Turritella terebra, Tectus conus, Tectus triserialis, Strombus microurieus, Monodonta labio sebesar 33,33%.

Berdasarkan penelitian ini keberadaan dari kelas Gastropoda serta Bivalvia yang paling banyak dan sering ditemukan pada setiap stasiun seperti Littorina sp., Mactra fragilis, Quoiya decollata, Corbicula javanica, Anadara antiquata, Gyrineum gyrinum, Nodilittorina pyramidalis serta Nerita albicilla. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Suwignyo dkk., (1998) dalam Kasmini (2014) menyatakan bahwa Gastropoda adalah kelas yang paling sukses dan mempunyai penyebaran yang sangat luas, mulai dari wilayah pasang surut sampai pada kedalaman 8.200 m dan Nybakken (1992) bahwa kelas Gastropoda mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap kekeringan dan perubahan salinitas serta derajat keasaman (pH) dari tanah akibat pengaruh air laut dan air tawar. Kepadatan yang tinggi suatu spesies mempengaruhi keberadaan spesies lainnya.

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) Makrozoobentos pada Setiap

Stasiun Penelitian

(54)

disebabkan jenis dan jumlah makrozoobentos yang diperoleh di stasiun ini lebih merata jumlah tiap spesiesnya dibandingkan stasiun 2 dan stasiun 3.

Berdasarkan nilai H’ pada setiap stasiun tersebut, pada stasiun 1 memiliki keanekaragaman yang tinggi dengan kesuburan perairan dapat dimanfaatkan serta perairan yang tergolong tercemar ringan bahkan belum tercemar, stasiun 2 dan stasiun 3 memiliki keanekaragaman yang sangat rendah dalam kondisi perairan yang tidak subur serta tergolong kondisi perairan yang mengalami pencemaran berat. Kategori tersebut diketahui dari Tabel 1.

Hal tersebut diperjelas dengan hasil yang diperoleh bahwa pada stasiun 2 ada 1 spesies yang berjumlah sangat banyak dibandingkan dengan spesies lainnya yaitu Littorina sp. berjumlah 1.391 spesies. Sehingga Littorina sp. dikategorikan sebagai bioindikator pencemaran perairan berat sesuai dengan penelitian sebelumnya Yusuf (2011) juga mengindikasikan Littorina sp. sebagai biondikator perairan yang tercemar berat. Stasiun 3 juga memiliki spesies yang melimpah daripada spesies lainnya yaitu Mactra fragilis sebanyak 241, hal ini tidak bagus dalam keanekaragaman hayati yang sesuai dengan literatur Siahaan dkk., (2012) bahwa perairan yang berkualitas baik akan memiliki keanekaragaman makrozoobentos yang tinggi dan tidak ditemukan taksa yang memiliki kepadatan yang tinggi.

(55)

Indeks Keseragaman (E’) Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

Dari penelitian telah dihitung indeks keseragaman sehingga diperoleh nilai yang tertinggi pada stasiun 1 yaitu 0,863 kemudian pada stasiun 3 yaitu 0,297 dan yang terendah pada stasiun 2 yaitu 0,229. Hal ini karena ada beberapa spesies yang jumlahnya terlalu banyak jika dibandingkan spesies lainnya. Sedangkan pada stasiun 1 jumlah setiap spesiesnya merata.

Hasil penelitian tersebut didukung oleh pernyataan Krebs (1985) dalam Sembiring (2008) nilai keseragaman berkisar antara 0 – 1, jika nilai keseragaman mendekati 0 berarti keseragaman suatu populasi rendah dan penyebaran jenis tidak merata serta ada kecenderungan dominasi suatu jenis pada populasi, dan bila mendekati 1 keseragaman tinggi yang menunjukkan tidak ada jenis yang mendominasi. Sehingga stasiun 1 digolongkan memiliki keseragaman yang tinggi karena nilai E’ cenderung mendekati nilai 1, sedangkan stasiun 2 dan stasiun 3 digolongkan memiliki keseragaman yang rendah karena nilai E’ cenderung mendekati nilai 0.

(56)

halnya dengan Mactra fragilis yang resisten pada salinitas yang tinggi di stasiun 3.

Analisis Komunitas (IS) pada Setiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan diagram (Gambar 8) telah diketahui hasil perhitungan analisis komunitas pada setiap stasiun penelitian di perairan Kecamatan Pantai Labu. Stasiun 1 memperoleh nilai 30,77% sehingga dikategorikan tidak memiliki kemiripan karena dari total spesies yang diperoleh setiap titik di stasiun 1 hanya 4 spesies yang memiliki kesamaan antar titik. Stasiun 2 memiliki nilai IS yang tertinggi karena memiliki 5 spesies yang sama pada setiap titik yaitu 35,71% yang dikategorikan tidak mirip. Sedangkan pada stasiun 3 sebesar 32% dikategorikan tidak mirip karena hanya memiliki 4 spesies yang sama. Hal ini disebabkan karena jenis tekstur substrat pada titik di setiap stasiun berbeda sehingga mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di stasiun tersebut.

Analisis Hubungan Keanekaragaman Makrozoobentos dengan Kualitas

Perairan pada Setiap Stasiun Penelitian

(57)

perairan dengan nilai H’, artinya semakin besar nilai salah satu parameter fisika kimia, maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin kecil dan sebaliknya.

(58)

Hubungan Jenis Tekstur Substrat dengan Dominansi Makrozoobentos pada

Setiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan hasil (Gambar 9) hubungan parameter fisika perairan berupa jenis tekstur substrat dasar pada setiap stasiun penelitian dapat dikaitkan dengan dominansi makrozoobentos melalui persentase nilai KR. Stasiun 1 titik 1 memiliki tekstur substrat lempung berpasir sehingga makrozoobentos yang paling banyak ditemukan adalah Pheretima sp.. Hal ini sesuai dengan morfologi tubuh Pheretima sp. yang lunak sehingga cocok dengan tekstur substrat yang halus seperti lumpur berupa lempung berpasir ini. Sedangkan pada titik 2 memiliki tekstur pasir berlempung sehingga makrozoobentos yang mendominasi adalah Corbicula javanica dan Pila scutata, hal tersebut sesuai dengan cangkang kedua spesies tersebut yang keras sehingga tahan akan butiran substrat yang kasar karena jenis pasir yang mendominasi. Pada titik 3 juga memiliki tekstur pasir berlempung, makrozoobentos yang paling banyak ditemukan adalah Littorina sp. dan Thiara scabra, tekstur pada stasiun ini juga cocok dengan keberadaan kedua spesies tersebut karena cangkang yang tebal akan tahan pada persentase pasir yang cukup tinggi yaitu 90,12%. Dari ketiga titik pada stasiun ini jenis tekstur yang mendominasi adalah pasir berlempung sehingga makrozoobentos yang paling mendominasi pada stasiun ini adalah Corbiula javanica dengan nilai persentase KR tertinggi yaitu 20,71%.

(59)

udang-udangan yang tidak memiliki cangkang begitu keras sehingga sesuai dengan jenis substratnya. Pada titik 2 dan 3 memiliki tekstur yang sama yaitu pasir berlempung yang memiliki persentase pasir yang lebih tinggi sehingga memiliki tekstur yang agak kasar hal tersebut sesuai dengan makrozoobentos yang dominan di kedua titik tersebut yaitu kelas gastropoda dan crustacea berupa kepiting yang terdiri dari Nerita albicilla, Quoiya decollata, Littorina sp., Nodilittorina pyramidalis, Cardisoma sp.. Dari ketiga titik pada stasiun ini jenis tekstur yang mendominasi adalah pasir berlempung sehingga makrozoobentos yang paling mendominasi pada stasiun ini adalah Littorina sp. dengan nilai persentase KR tertinggi yaitu 85,92%.

(60)

yang lunak sehingga sesuai dengan tekstur lempung liat berpasir yang halus. Dari ketiga titik tersebut jenis substrat terdiri dari 2 jenis yaitu pasir berlempung yang mendominasi adalah Mactra fragilis dengan nilai persentase KR 82,25%, sedangkan spesies yang mendominasi untuk jenis substrat lempung liat berpasir adalah Planaria sp. dengan nilai persentase KR 2,40%.

Berdasarkan penelitian tersebut diperjelas dengan pernyataan Nybakken (1992) yaitu adanya substrat dasar yang berbeda-beda menyebabkan perbedaan fauna dan struktur komunitas makrozoobentos serta adanya perbedaan ukuran patikel memiliki hubungan dengan kandungan bahan organik, dimana perairan dengan sedimen yang halus cenderung memiliki persentase bahan organik yang tinggi sedangkan sedimen yang kasar memiliki kandungan bahan organik yang lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak dapat mengendap.

Dari uraian beberapa paragraf di atas berdasarkan hasil dari penelitian bahwa tekstur yang berbeda akan menghasilkan makrozoobentos yang berbeda, namun ada beberapa organisme yang toleran bahkan resisten di habitat tertentu yang bukan habitat lainnya tetapi tidak mengalami kepadatan yang maksimal. Brower dkk., (1990) dalam Fajri (2013) mengemukakan bahwa jenis substrat sangat menentukan komposisi dan kepadatan bentos.

Indeks Pencemaran (IP) pada Setiap Stasiun Penelitian

(61)

ringan. Hal ini diperoleh dari klasifikasi status mutu air oleh KepMenLH No. 115 Tahun 2003 yaitu 0 ≤ Pij ≤ 1,0 dan 1,0 < Pij ≤ 5,0.

Nilai indeks pencemaran yang digunakan adalah baku mutu air laut untuk biota, dan menggunakan parameter fisika kimia berupa BOD5, DO, pH, salinitas, serta suhu. Walaupun pada stasiun 2 dan 3 terdapat aktivitas masyarakat yang mempengaruhi perairan, namun parameter fisika kimia masih dapat ditolerir oleh organisme. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian ini yang ditemukan beberapa makrozoobentos pada kedua stasiun tersebut.

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan nilai H’ dan nilai IP memiliki hasil yang sedikit berbeda pada kategori kualitas air. Hal tersebut diperjelas dengan pernyataan Barus (2004) yaitu klasifikasi pencemaran dengan menggunakan indeks diversitas harus dengan hati-hati karena tidak selamanya suatu perairan yang tidak tercemar mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi dan sebaliknya tidak selamanya perairan yang keanekaragaman spesiesnya rendah telah mengalami pencemaran yang berat, serta Odum (1994) menerangkan bahwa baik buruknya kondisi suatu ekosistem tidak dapat ditentukan hanya dari

(62)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 37 spesies makrozoobentos yang terdiri dari 5 kelas yaitu: Crustacea terdiri dari 7 spesies, Turbellaria terdiri dari 1 spesies, Bivalvia terdiri dari 3 spesies, Gastropoda terdiri dari 25 spesies, Oligochaeta terdiri dari 1 spesies.

2. Nilai indeks keanekaragaman (H’) stasiun 1 memiliki keanekaragaman yang tinggi yaitu 2,215 sehingga mengindikasikan perairan tercemar sangat ringan. Stasiun 2 dan stasiun 3 memiliki keanekaragaman yang rendah sehingga dikategorikan sebagai perairan yang tercemar berat.

3. Berdasarkan diagram analisis komunitas, setiap stasiun tidak memiliki kemiripan spesies antar titik.

4. Berdasarkan nilai indeks pencemaran status baku mutu air KepMenLH No. 115 Tahun 2003 parameter fisika kimia perairan stasiun 1 dan stasiun 2 lokasi penelitian Kecamatan Pantai Labu masih tergolong kondisi baik sedangkan stasiun 3 digolongkan cemar ringan.

Saran

(63)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Perairan Pesisir

Kawasan pesisir (coastal zone) merupakan suatu ekosistem (ke arah darat dan laut) yang di dalamnya terjadi interaksi yang kompleks baik faktor fisik, ekologi, biologi, sosial ekonomi dan budaya, sehingga timbul masalah yang kompleks dan memerlukan pemecahan secara holistik. Kawasan pesisir semakin penting karena di dalammnya terdapat sumberdaya yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan kawasan pesisir yang semakin meningkat dengan orientasi ekonomi (economy oriented) dan mengabaikan keberlanjutan ekologi (sustainable ecology) menyebabkan ekosistem pesisir dan laut menjadi rusak. Kondisi perairan pesisir semakin memburuk yang disebabkan oleh berbagai pencemar karena aktivitas di kawasan pesisir (Manurung, 2011 diacu oleh Manurung, 2012 ).

(64)

Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Karakteristik dari ekosistem pesisir adalah mempunyai beberapa jumlah ekosistem yang berada di daerah pesisir. Contoh ekosistem lain yang ikut kedalam wilayah ekosistem pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun (seagrass), dan ekosistem terumbu karang. Dari ekosistem pesisir ini, masing masing ekosistem mempunyai sifat- sifat dan karakteristik yang berbeda beda (Yudianto, 2014).

Menurut Yudianto (2014) secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan. Komponen abiotik dari suatu ekosistem pesisir terbagi atas tiga komponen utama:

1. Unsur dan senyawa anorganik, karbon, nitrogen dan air yang terlibat dalam siklus materi di suatu ekosistem,

2. Bahan organik, karbohidrat, protein dan lemak yang mengikat komponen abiotik dan biotik, dan

(65)

Ancaman terhadap sumberdaya pesisir, antara lain adalah sedimentasi, pecemaran, degradasi habitat serta degradasi sumberdaya dan keanekaragaman hayati. Dahuri (1996) dalam Tuwo (2011) menguraikan bahwa ada lima belas ekosistem yang saling terkait di wilayah pesisir dan laut, yaitu: tujuh ekosistem daerah daratan, yakni ekosistem pertanian, air tawar, rawa-rawa, danau, sungai, anak sungai, dan kolam serta empat ekosistem daerah laut yakni ekosistem padang lamun, karang, pelagis, dan demersal. Selain itu juga empat ekosistem daerah pantai yakni hutan pantai, rawa pasang surut, mangrove, dan estuaria.

Menurut Irwan (2007) selain ekosistem mangrove dan estuaria, ekosistem pantai yang sering dijumpai adalah :

1. Formasi pes-caprae, yaitu vegetasi pantai yang sedang mengalami peninggian. 2. Formasi Barringtonia, yaitu vegetasi pantai yang sedang mengalami proses

pengikisan formasi.

3. Dunes, yaitu perbukitan pasir. 4. Pantai yang berbatu-batu. 5. Hutan air payau.

Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Ekosistem Pesisir

(66)

Padahal kalau dilihat dari dampak kerusakan tersebut sebagai besar akan berdampak kepada aktivitas manusia dan lingkungan, seperti rusaknya biota laut, terancamnya pemukiman nelayan, terancamnya mata pencaharian nelayan dan sebagainya. Oleh sebab itu apabila hal ini tidak secepatnya ditanggulangi dengan optimal maka dikhawatirkan sumber daya pesisir dan laut akan semakin terdegradasi. Selain itu juga aktivitas masyarakat pesisir akan semakin terancam (Vatria, 2013).

Akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang (UU No. 27, 2007).

(67)

kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk, kawasan industri dan juga pertanian (Vatria, 2013).

Kondisi perairan pesisir yang tercemar akan menyebabkan terganggunya kelangsungan hidup biota yang ada di sekitarnya, seperti sumberdaya perikanan dan ekosistem pesisir dan laut (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) dan pada akhirnya akan berdampak luas terhadap penurunan pendapatan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada produktivitas hayati di wilayah pesisir dan laut. Pencemaran yang disebabkan oleh logam dapat mengubah struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi (Racmansyah dkk., 1998 diacu oleh Damaianto dan Ali, 2014).

Pantai Labu

Pantai Labu merupakan kecamatan yang terletak di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, berada di 3°40’44,9”LU dan 98°54’30,7”BT. Sebelah utara Pantai Labu berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Beringin, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis/Kecamatan percut Sei Tuan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, 2005 dalam Sembiring, 2008).

(68)

estuari dengan zona transisi antara dua lingkungan perairan yakni air asin dari Selat Malaka dan air tawar dari sungai. Kawasan di sekitar Pantai Labu terdiri dari vegetasi mangrove dan pada daerah tertentu di muara Pantai Labu ada dijumpai pemukiman penduduk yang sebagian mata pencahariannya sebagai nelayan (Sitorus, 2008).

Makrozoobentos

Bentos merupakan organisme air hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu perairan baik bersifat sesil maupun vagil. Berdasarkan sifat hidupnya bentos dibedakan menjadi fitobentos yang bersifat tumbuhan serta zoobentos yang bersifat hewan (Barus, 2004).

Di antara bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam invertebrate makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos. Ukuran tubuh makrozoobentos dapat mencapai sekurang-kurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. Makrozoobentos, terutama yang bersifat herbivora dan detrivora dapat menghancurkan makrofit akuatif yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga memudahkan mikroba untuk menguraikan menjadi nutrien bagi produsen perairan. Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah Oligochaeta, Mollusca, Nematoda, Annelida, dan beberapa ordo dari kelas Crustacea seperti ordo Isopoda, Decapoda, Copepoda, Ostracoda dan Amphipoda. (Nugroho, 2006).

(69)

di dalam perairan terdiri dari kelompok Crustacea, Amphipoda, Decapoda, Oligocheata, Mollusca, Nematoda (Cummins, 1975), Komposisi dan struktur komunitas makrozoobentos ditentukan oleh lingkungannya. Oleh karena itu makrozoobentos dapat digunakan sebagai indikator pencemaran di perairan (Handayani dkk., 2011 diacu oleh Nanda dkk., 2012).

Kelimpahan makrozoobentos pada ekosistem pantai sangat penting pengaruhnya terhadap struktur rantai makanan. Makrozoobentos bersifat relatif menetap pada dasar perairan. Tekanan ekologis yang berlebihan dapat mengurangi kelimpahan organisme ini sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Penyebaran makrozoobentos erat sekali hubungannya dengan kondisi perairan dimana organisme ini ditemukan. Sumber bahan organik pada sedimen adalah lamun dan tinja biota bentik. Gangguan lingkungan di daerah pesisir akan mempengaruhi secara langsung organisme-organisme yang menjadi sumber bahan organik dalam sedimen tersebut (Hutabarat, 2000 diacu oleh Ruswahyuni, 2008).

(70)

Parameter Fisika Kimia Pendukung Kehidupan Makrozoobentos

Kehidupan organisme bentik dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya baik fisik, kimia maupun biologi (suhu, salinitas, pH, tekstur sedimen dan kandungan bahan organik pada sedimen). Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat (Nybakken, 1988). Kelas Polychaeta akan melakukan adaptasi terhadap kenaikan suhu atau salinitas dengan aktivitas membuat lubang dalam lumpur dan membenamkan diri di bawah permukaan substrat. Peningkatan suhu perairan akan meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup didalamnya, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi (Taqwa, 2010).

Sifat fisik perairan seperti kedalaman, kecepatan arus, warna, kecerahan dan suhu air. Sifat kimia perairan antara lain, kandungan gas terlarut, bahan organik, pH, kandungan hara dan faktor biologi yang berpengaruh adalah komposisi jenis hewan dalam perairan diantaranya adalah produsen yang merupakan sumber makanan bagi hewan bentos dan hewan predator yang akan mempengaruhi kelimpahan bentos (Setyobudiandi, 1997 diacu oleh Rakhmanda, 2011).

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan bivalvia menurut Sitorus (2008) adalah sebagai berikut:

1. Suhu Air

(71)

aktivitas enzim dan konsumsi okesigen, pertumbuhan dan repdroduksi serta morfologi. Suhu yang baik untuk kelangsungan hidup tiram mutiara berkisar 25-30°C.

2. Salinitas

Salinitas acapkali disebut kadar garam yang artinya adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air. Salinitas menunjukkan jumlah ion-ion terlarut. Perubahan salinitas berpengaruh pada proses difusi dan osmotik. Variasi salinitas di estuari berkisar antara 15-32‰. 3. pH

pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan air. Selain itu ikan dan makhluk-makhluk akuatik lainnya hidup pada selang pH antar 7-8,5. Adanya penambahan kadar organik ke dalam perairan akan menurunkan nilai air pH yang disebabkan pengurairan bahan organik tersebut menghasilkan CO2. pH air laut permukaan Indonesia pada umumnya bervariasi dari lokaso ke lokasi antara 6,0-8,5. Perubahan ph dapat mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut. 4. Substrat Dasar

Susunan substrat dasar sangat penting bagi organisme yang hidup di zona dasar, baik di air dalam maupun pada air mengalir. Dasar perairan yang berbatu dan partikel tanah halus akan memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan dasar perairan yang berpasir.

5. Oksigen Terlarut

(72)

termasuk bentos, karena digunakan untuk respirasi. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mg/l. jumlah oksigen terlarut meningkat sejalan dengan menurunnya suhu dan menurun dengan naiknya salinitas.

6. Biological Oxygen Demand (BOD)

Pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik. Pengukuran yang umumnya dilakukan oleh mikroorganisme dalam air untuk memecah bahan organic yang ada di dalam air lingkungan tersebut (Wardhana, 1995). Manahan (1984) diacu oleh Wargadinata (1995) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen oleh hidrobiota akan meningkat bila oksigen terlarut dalam perairan kecil, hal ini dapat diakibatkan karena banyaknya substansi yang terlarut dalam air. Angka BOD yang tinggi menunjukkan terjadinya pencemaran organik di perairan.

Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan

(73)

1. Mudah ditemukan di habitat perairan

2. Jumlahnya sangat banyak pada lingkungan yang berbeda jenis bentos yang hidup berbeda pula.

3. Perairan yang kecil kadang-kadang tidak dapat menjadi tempat hidup ikan, tetapi dapat menjadi tempat hidup bentos.

4. Perpindahannya sangat terbatas sehingga mudah diawasi.

5. Ukurannya kecil tetapi mudah dikumpulkan dikoleksi dan diidentifikasi. 6. Pengamatan dapat dilakukan lebih cepat dengan peralatan sederhana.

7. Bentos adalah konsumsi sebagian besar ikan, sehingga perubahan komunitas bentos dapat mempengaruhi jaring-jaring makanan di perairan tersebut.

Makrozoobentos umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan perairan yang ditempatinya, karena itulah makroinvertebrata ini sering dijadikan sebagai indikator ekologi di suatu perairan dikarenakan cara hidup, ukuran tubuh, dan perbedaan kisaran toleransi di antara spesies di dalam lingkungan perairan. Menurut Ravera (1979) diacu oleh Sinaga (2009) daya toleransi bentos terhadap pencemaran bahan organik dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

1. Jenis Intoleran

Jenis intoleran memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap pencemaran dan tidak tahan terhadap tekanan lingkungan, sehingga hanya hidup dan berkembang di perairan yang belum atau sedikit tercemar.

2. Jenis Toleran

(74)

3. Jenis Fakultatif

Jenis fakultatif dapat bertahan hidup lingkungan yang agak lebar, antara perairan yang belum tercemar sampai dengan tercemar sedang dan masih dapat hidup pada perairan yang tercemar berat.

Kriteria tingkat kondisi perairan berdasarkan indeks keanekaragaman jenis tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Tingkat Kondisi Perairan Berdasarkan Bioindikator Makrobentos

H’ Indikasi

<1,0 - Keanekaragaman biota sangat rendah - Pencemaran berat

- Kesuburan sulit dimanfaatkan 1 – 1,5 - Keanekaragaman biota rendah

- Pencemaran sedang sampai berat - Kesuburan sulit dimanfaatkan 1,5 – 2 - Keanekaragaman biota sedang

- Pencemaran ringan sampai sedang - Kesuburan dapat dimanfaatkan >2,0 - Keanekaragaman biota tinggi

- Pencemaran ringan atau belum tercemar

- Kesuburan dapat dimanfaatkan

Sumber : Anggoro (1988) diacu oleh Kawuri dkk., (2012) modifikasi Lee dkk., (1978) dalam Taqwa (2010).

(75)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pantai Labu merupakan kecamatan yang terletak di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, berada di 3°40’44,9”LU dan 98°54’30,7”BT. Daerah ini merupakan daerah estuari dengan zona transisi antara dua lingkungan perairan, yakni air asin dari Selat Malaka dan air tawar yang mengalir dari sungai. Menurut Supriharyono (2000) bahwa kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi.

Daerah pesisir Pantai Labu pada saat ini merupakan daerah yang telah mengalami penurunan keseimbangan ekosistem, ditandai dengan terjadinya penurunan tangkapan biota yang bernilai ekonomis bagi nelayan di daerah ini. Hal ini disebabkan karena kawasan Pantai Labu telah mengalami perkembangan pemanfaatannya oleh berbagai aktifitas manusia, seperti areal pemukiman, pertambakan, dan juga pemanfaatan potensi pariwisata pantai (Sembiring, 2008).

Dalam suatu perairan wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sumber daya pesisir. Ekosistem alami wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta (Dahuri dkk., 2004).

(76)

spesies yang ditemukan di bumi. Mengenali dan menklasifikasikan spesies adalah salah satu tujuan utama biologi konservasi.

Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti dengan analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisis fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran kualitas perairan yang sesungguhnya dan dapat memberikan penyimpangan- penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi keadaan sesaat. Lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi perairan. Faktor yang mendasari penggunaan bentos sebagai organisme indikator kualitas perairan adalah karena sifat bentos yang relatif diam atau memiliki mobilitas yang rendah sehingga sangat banyak mendapat pengaruh dari lingkungan (Hawkes, 1979 diacu oleh Agustinus dkk., 2007).

Gambar

Gambar 2.  Peta Lokasi Penelitian
Gambar 3.  Lokasi Stasiun 1
Gambar 5. Lokasi Stasiun 3
Tabel 2.  Hubungan Nilai IP dengan Status Mutu Air
+7

Referensi

Dokumen terkait

Studi Kualitas Lingkungan Disekitar Pelabuhan Bongkar Muat Nikel (Ni) dan Hubungannya Dengan Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Desa Motui Kabupaten Konawe Utara..

Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan Perairan Hilir Sungai Musi.. Institut

Total kelimpahan makrozoobenthos terkecil yaitu 622 individu/m 3 yang terdapat pada stasiun A dimana stasiun A memiliki substrat dasar perairan dengan komposisi farksi liat

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kualitas Fisika-Kimia Sedimen dan Hubungannya Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos di Estuari Percut Sei Tuan Kabupaten

Untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur komunitas makrozoobentos pada 18 stasiun lokasi penelitian di perairan Sungai Musi bagian hilir maka dilakukan analisa data yang

berkisar antara 0,24 – 0,25. Nilai Indeks Keseragaman dan nilai Indeks Dominansi makrozoobentos pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 4. Parameter fisika dan

Sungai adalah suatu sistem yang dinamis dengan segala aktivitas yang berlangsung antara komponen-komponen lingkungan yang terdapat didalam nya, sehinggga sungai merupakan salah satu

[r]