• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Tingkat Ketuaan Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya genotipe IPB 1 selama Penyimpanan dan Pematangan Buatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Tingkat Ketuaan Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya genotipe IPB 1 selama Penyimpanan dan Pematangan Buatan"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

GENOTIPE IPB 1 SELAMA PROSES PENYIMPANAN DAN

PEMATANGAN BUATAN

ATIKA HAMAISA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Tingkat Ketuaan Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.) Genotipe IPB 1 selama Proses Penyimpanan dan Pematangan Buatan adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalm bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2008

Atika Hamaisa

(3)

ATIKA HAMAISA. Effect of Maturity Stage to Quality of Papaya (Carica papaya L.) IPB 1 genotype during Storage and Artificial Ripening Process. Under the supervision of SUTRISNO and Y. ARIS PURWANTO

Papaya (Carica Papaya L.) is one of famous tropical fruits and consumed by people because of its softness, interesting color, sweetness, and high nutrition contents. The main problem of papaya fruit is very perishable characteristic because of the thin peel to be very sensitive of wounds and collision, which caused microorganism activities. Storage at low temperature is one of the method to maintain the shelf life of papaya fruit. The objectives of this study were to determine the effects of maturation stages and storage temperature on the shelf life and to evaluate the quality changes during storage and after ripening process of papaya fruit. Papaya IPB 1 genotype used in this study was harvested from Center for Tropical Fruit Studies (PKBT-IPB). The results indicated that the papaya IPB 1 genotype harvested at 0% maturity stage and stored at 10°C has the longest shelf life of 20 day, while the shortest shelf life of 14 day was occurred for papaya IPB 1 genotype harvested at maturity stage of 10% and stored in storage temperature of 15°C. Papaya IPB 1 genotype harvested at 0% maturity stage and stored at 10°C had better quality than other treatments.

(4)

ATIKA HAMAISA. Pengaruh Tingkat Ketuaan Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.) genotipe IPB 1 selama Penyimpanan dan Pematangan Buatan. Dibimbing oleh SUTRISNO dan Y. ARIS PURWANTO.

Penyimpanan dingin diperlukan untuk mempertahankan mutu dan kesegaran buah pepaya hingga sampai ke tangan konsumen dalam keadaan baik. Untuk meningkatkan mutu juga dilakukan dengan pematangan buatan (artificial ripening) dengan menggunakan etilen sebagai trigger pada konsentrasi optimum agar diperoleh kecerahan warna, keseragaman kematangan dan menghindari rasa pahit pada saat buah berwarna merah. Selain itu, mutu buah pepaya juga ditentukan oleh stadia kematangan buah pada saat buah dipanen. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat ketuaan terhadap mutu buah pepaya genotipe IPB 1 selama penyimpanan dan pematangan buatan, menganalisis pengaruh suhu terhadap perubahan mutu buah pepaya selama penyimpanan dan pematangan buatan, menganalisis pengaruh lama penyimpanan terhadap mutu buah pepaya selama perlakuan penyimpanan dingin dan pematangan buatan, dan mengkaji perubahan fisik maupun kimia buah pepaya selama pematangan buatan.

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2007 sampai September 2007 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian terdiri 3 faktor dengan 2 ulangan. Faktor pertama (A) yaitu lama penyimpanan dengan 3 taraf: 10 hari penyimpanan, 12 hari penyimpanan, dan 14 hari penyimpanan. Faktor kedua (B) yaitu tingkat ketuaan dengan 2 taraf: tingkat ketuaan 0% dan tingkat ketuaan 10%. Sedangkan faktor ketiga (C) yaitu suhu penyimpanan dengan 2 taraf: suhu 10°C, dan suhu 15°C. Pematangan buatan pada pepaya dengan tingkat ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 10°C dilakukan setelah penyimpanan selama 10, 12, 14, 16, 18 dan 20 hari dan suhu 15°C setelah penyimpanan selama 10, 12, 14, dan 16 hari. Sedangkan pematangan buatan pada pepaya dengan tingkat ketuaan 10% yang disimpan pada suhu 10°C dilakukan setelah penyimpanan selama 10, 12, 14, 16, dan 18 hari dan suhu 15°C setelah penyimpanan selama 10, 12, dan 14 hari. Buah pepaya dimasukkan ke dalam stoples dan disuntikkan etilen 100 ppm dengan perlakuan suhu pemeraman 20°C selama 24 jam. Selanjutnya, pepaya dibiarkan di udara terbuka dan dilakukan pengamatan parameter mutu.

(5)
(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

GENOTIPE IPB 1 SELAMA PROSES PENYIMPANAN DAN

PEMATANGAN BUATAN

ATIKA HAMAISA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama : Atika Hamaisa NRP : F051050021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pasca Panen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(9)

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya kepada penulis sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga September 2007 ini adalah penyimpanan, dengan judul Pengaruh Tingkat Ketuaan Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.) genotipe IPB 1 selama Penyimpanan dan Pematangan Buatan

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr dan Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc selaku pembimbing serta Ibu Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S selaku penguji yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar/dosen serta seluruh staf pegawai atas ilmu, bantuan dan kerjasamanya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman TPP 2005, TEP 2005, dan semua anggota tim proyek Program Insentif Riset Terapan Ristek, 2007 atas bantuan dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada papa, mama, ombai, adik-adikku dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2008

Atika Hamaisa

(10)

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 29 Januari 1982 dari ayah Kosasih Achyar, SH dan ibu Dra. Asmiati. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2005. pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Teknologi Pascapanen.

(11)

x II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Pepaya ... 3

III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat ... 13

(12)

xi

2. Derajat Warna Kuning (b*) ... 45

G. Pembahasan umum ... 47

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 52

A. Simpulan ... 52

B. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

(13)

xii

DAFTAR TABEL

(14)

xiii 4 Laju Produksi CO2 buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 24

5 Laju Produksi CO2 buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 25

6 Gejala penyakit yang terdapat pada permukaan kulit buah pepaya

IPB 1 setelah pematangan buatan ... 28 7 Susut bobot buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0%

selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,

(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 30

8 Susut Bobot buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,

(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 31

9 Total Padatan Terlarut buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 35

10 Total Padatan Terlarut buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 36

11 Kekerasan buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,

(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 40

12 Kekerasan buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,

(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 41

13 Nilai perbandingan derajat kecerahan (L*), derajat warna hijau (a*),

(15)

xiv 14 Derajat warna hijau (a*) buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat

ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C... 44

15 Derajat warna hijau (a*) buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 44

16 Derajat warna kuning (b*) buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C... 46

17 Derajat warna kuning (b*) buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang,(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 46

18 Produksi CO2 kumulatif dan kekerasan buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan ... 49

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1a Sidik ragam laju produksi CO2 (ml/kg jam) rata-rata buah pepaya

genotipe IPB 1 ... 58

1b Hasil uji lanjut Duncan untuk perlakuan tingkat ketuaan terhadap

laju produksi CO2 (ml/kg jam) rata-rata buah pepaya genotipe IPB 1 ... 58

2a Sidik ragam susut bobot (%) rata-rata buah pepaya genotipe IPB 1 ... 59

2b Hasil uji lanjut Duncan untuk perlakuan lama penyimpanan terhadap

Susut bobot rata-rata (%) buah pepaya genotipe IPB 1 ... 59

2c Hasil uji lanjut Duncan untuk perlakuan suhu penyimpanan terhadap

Susut bobot rata-rata (%) buah pepaya genotipe IPB 1 ... 59

3 Sidik ragam total padatan terlarut (°Brix) buah pepaya genotipe IPB 1 .... 60

4 Sidik ragam kekerasan (kgf) buah pepaya genotipe IPB 1 ... 60

5 Sidik ragam derajat warna hijau (a*) rata-rata buah pepaya genotipe

IPB 1 ... 61

6a Sidik ragam dan uji lanjut derajat warna kuning (b*) rata-rata buah

pepaya genotipe IPB 1 ... 61

2c Hasil uji lanjut Duncan untuk perlakuan suhu penyimpanan terhadap

derajat warna kuning (*b) rata-rata buah pepaya genotipe IPB 1 ... 61

7 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama penyimpanan ... 62

8 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 10% selama penyimpanan ... 63

9 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama pematangan buatan ... 64

10 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama pematangan buatan ... 65

(17)
(18)

A. Latar belakang

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu buah tropis yang sangat

digemari sehingga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Buah ini disukai

karena tekstur buah yang lunak, warna yang menarik, rasa yang manis, dan

kandungan vitaminnya yang cukup tinggi. Di Indonesia, permintaan masyarakat

terhadap buah pepaya cukup tinggi. Banyaknya permintaan terhadap buah pepaya

diikuti dengan meningkatnya produksi buah tersebut. Menurut data BPS (2007),

produksi pepaya di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2000

hingga 2004 yaitu 429 207 ton pada tahun 2000, 605 194 ton pada tahun 2002,

dan 732 611 ton pada tahun 2004. Penurunan produksi terjadi pada tahun 2005

yaitu hingga mencapai 548 657 ton dan kembali mengalami peningkatan yaitu 643

451 ton pada tahun 2006.

Masalah utama buah pepaya adalah sifatnya yang mudah rusak

(perishable) karena kulit yang dimilikinya tipis sehingga sangat rentan terhadap

benturan dan luka yang memungkinkan terjadinya aktivitas mikroorganisme. Hal

ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas buah bahkan dapat

menyebabkan kerugian yang sangat besar. Sifat perishable pada buah pepaya ini

juga mengakibatkan singkatnya selang waktu antara saat panen dan konsumsi

apabila tidak mendapat perlakuan untuk memperpanjang masa simpannya (

shelf-life).

Salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan

memberikan perlakuan penyimpanan pada ruang dingin (cold storage).

Penyimpanan dingin yang dilakukan juga harus memenuhi persyaratan suhu

rendah optimal untuk buah yang akan disimpan karena penggunaan suhu rendah

yang tidak sesuai dapat menyebabkan kerusakan. Pantastico (1986) menyatakan

kerusakan karena pendinginan merupakan penyebab kerugian-kerugian ekonomis

yang besar bagi buah-buahan selama penyimpanan dan pengangkutan, terutama

bila waktu pengangkutannya diperpanjang dari semestinya. Penyimpanan dingin

diperlukan untuk mempertahankan mutu dan kesegaran buah pepaya hingga

(19)

pematangan buatan (artificial ripening) dengan menggunakan etilen pada

konsentrasi optimum untuk mendapatkan kecerahan warna, kematangan seragam

dan menghindari rasa pahit pada saat buah berwarna merah.

Selain perlakuan penyimpanan pada suhu rendah dan pematangan buatan,

kualitas buah pepaya juga ditentukan oleh stadia kematangan buah pada saat buah

dipanen. Kays (1991) menyatakan bahwa stadia kematangan buah pada saat buah

dipanen merupakan faktor penting yang menentukan ketahanan buah dari

kerusakan-kerusakan setelah panen. Mutu yang baik akan diperoleh jika

pemanenan dilakukan pada tingkat kematangan yang tepat. Penundaan waktu

pemanenan buah akan meningkatkan kepekaan buah terhadap proses pembusukan

sehingga mutu dan nilai jualnya rendah (Pantastico, 1986).

B. Hipotesis

Tingkat ketuaan, suhu dan lama penyimpanan buah pepaya genotipe IPB 1

dapat berpengaruh terhadap mutu buah setelah proses pematangan buatan baik

secara fisik maupun kimia.

C. Tujuan

Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengkaji tingkat ketuaan

terhadap mutu buah pepaya genotipe IPB 1 selama penyimpanan dan pematangan

buatan. Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Menganalisis pengaruh suhu terhadap perubahan mutu buah pepaya selama

penyimpanan dan pematangan buatan

(2) Menganalisis pengaruh lama penyimpanan terhadap mutu buah pepaya

selama perlakuan penyimpanan dingin dan pematangan buatan, dan

(3) Mengkaji perubahan fisik maupun kimia buah pepaya selama pematangan

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Pepaya

Papaya (Carica papaya L.) berasal dari Amerika tropik, kemudian dibawa

ke kepulauan Karibia dan Asia Tenggara semasa penjelajahan orang-orang

Spanyol pada abad ke-16, dan dengan cepat menyebar ke India, Oseania, dan

Afrika, serta kini tersebar ke seluruh daerah tropik dan subtropik hangat di dunia

(Villegas, 1997). Pepaya dapat ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 700

m di atas permukaan laut. Suhu udara optimum 22-26°C, curah hujan 1 000-2

000 mm/tahun. Tanaman pepaya dapat hidup dan berkembang di segala tipe

tanah, namun tanah yang subur, remah (gembur), drainase baik dan pH tanah

sekitar netral (6-7) lebih sesuai untuk tanaman pepaya (Ashari, 1995).

Pepaya tergolong tanaman yang memerlukan cahaya penuh, bila mendapat

cahaya matahari penuh atau diproduksi pada musim kemarau akan menghasilkan

produk yang menarik: warnanya kuning cerah dan penampilannya mulus. Hal

tersebut akan berbeda dengan buah yang dihasilkan dari pohon yang ditanam

secara terlindung atau dihasilkan pada musim hujan. Begitu pula buah pepaya

yang dihasilkan dari dataran tinggi, warnanya tidak akan secerah atau sekuning

buah yang ditanam di daerah dataran rendah (Kalie, 2007).

Pepaya merupakan tanaman yang tumbuhnya cepat, tingginya 2-10 m,

umumnya tidak bercabang, kadang-kadang bercabang karena terjadi pelukaan,

mengandung getah putih pada seluruh batangnya. Batangnya berbentuk silinder,

berdiameter 10-30 cm, berongga, memiliki lampang (scar) daun yang jelas serta

jaringan serat berbunga karang. Daun-daunnya tersusun spiral, berkelompok

dekat dengan ujung batang; tangkai daunnya mencapai panjang 1 m, berongga,

kehijau-hijauan atau hijau kelembayungan; lembaran daunnya berbentuk bundar,

berdiameter 25-75 cm, bercuping 7-11 cm, menjari dalam, tidak berbulu, bervena

menonjol, cuping-cupingnya bergerigi dalam dan lebar. Memiliki bunga jantan,

bunga betina, atau bunga hermafrodit, berada di ketiak daun dan terdapat pada

pohon yang terpisah.

Buahnya bertipe buah buni berdaging, berbentuk bulat telur-lonjong

(21)

panjangnya 7-30 cm, bobotnya mencapai 10 kg; kulit buahnya tipis, halus, jika

matang berwarna kuningan atau jingga; dagingnya berwarna

kekuning-kuningan sampai jingga-merah, dapat dimakan, rasanya manis, dengan aroma

yang lembut dan sedap; rongga tengahnya bersudut 5, bijinya bulat, berdiameter

5 mm, berwarna hitam atau kehijau-hijauan, jumlahnya banyak, melekat di

dinding dalam bakal buah, tersusun dalam 5 baris, terbungkus oleh sarkotesta

yang berlendir (Villegas, 1997).

B. Pepaya genotipe IPB 1

Pepaya genotipe IPB 1 merupakan salah satu pepaya hasil pemuliaan Pusat

Kajian Buah Tropik (PKBT) IPB.

Tabel 1. Deskripsi pepaya genotipe IPB 1

No. Deskripsi

1. Bentuk buah lonjong

2. Warna daging buah jingga

3. Ukuran buah kecil

4. Panjang buah : 17 ± 2 cm

5. Diameter buah : 8.75 ± 1 cm

6. Bobot per buah : 630 ± 199 g

7. Kadar air : 88 ± 2 %

8. Kadar vitamin C : 122 ± 30 mg/100 g

9. Rasa daging buah : 11-12 °Brix (sangat manis)

10. Umur berbunga : 138 ± 9 hst (hari setelah tanam)

11. Umur petik : ± 140 hsa (hari setelah anthesis)

Sumber: Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (2004)

Wilayah pemasaran buah pepaya IPB 1 saat ini hanya sebatas wilayah

Jakarta dan sekitar Bogor karena produksinya masih terbatas dan lebih banyak

(22)

Gambar 1. Buah pepaya genotipe IPB 1.

C. Kandungan Kimia dan Gizi Buah Pepaya

Rata-rata 60% dari buah pepaya matang dapat dimakan. Kandungan

rata-rata per 100 g bagian yang dapat dimakan adalah 86.6 g air, 0.5 g protein, 0.3 g

lemak, 12.1 g karbohidrat, 0.7 g serat, 0.5 g abu, 204 mg kalium, 34 mg kalsium,

11 mg fosfor, 1 mg besi, 450 mg vitamin A, 74 g vitamin C, 0.03 mg tiamin, 0.5

mg niasin, dan 0.04 mg riboflavin. Nilai energinya 200 kJ/100 g. Gula-gula

utamanya ialah sukrosa (48.3%), glukosa (29.8%), dan fruktosa (21.9%)

(Villegas, 1997).

D. Tingkat Ketuaan Buah Pepaya

Tingkat kematangan buah merupakan faktor penting yang mempengaruhi

ketahanan buah dari kerusakan mekanik. Beberapa jenis buah mengalami

(23)

buah menjadi semakin lunak yang menyebabkan semakin besar potensi terjadinya

kerusakan mekanis. Karena itu, beberapa jenis buah dipanen sebelum

buah-buahan tersebut mencapai tingkat kematangan yang sempurna (Kays, 1991).

Namun pemanenan pada buah juga perlu memperhatikan tingkat ketuaan

yang tepat karena dapat mempengaruhi mutunya. Pantastico et al. (1986)

menyatakan bahwa buah-buahan yang belum masak, bila dipanen akan

menghasilkan mutu jelek dan proses pematangan yang salah. Sebaliknya

penundaan waktu panen dapat meningkatkan kepekaan buah-buahan itu terhadap

pembusukan yang mengakibatkan mutu dan nilai jualnya rendah.

Hasil penelitian Dasuki (1992) pada buah pisang Ambon Buai menyatakan

bahwa buah pisang Ambon Buai yang dipetik pada derajat ketuaan 2 minggu

setelah derajat ketuaan komersial memberikan nilai mutu yang terbaik

dibandingkan dengan buah yang dipetik pada derajat ketuaan yang lebih muda,

hal ini dikarenakan buah yang dipanen lebih tua kandungan karbohidrat hasil

asimilasi yang terjadi adalah optimal. Buah pisang Ambon Buai yang dipanen

pada derajat ketuaan lebih muda mempunyai tingkat respirasi yang lebih rendah,

hal ini disebabkan karena buah masih dalam proses pertumbuhan, translokasi

karbohidrat dari daun masih berlangsung dan biasanya puncak klimakteriknya

akan terjadi lebih lama.

Hasil sidik ragam penelitian Warda et al., (1993) pada buah pisang

Barangan menunjukkan bahwa umur panen buah pisang Barangan (75, 90, dan

105 hari setelah buah mekar) berpengaruh nyata terhadap warna kulit, warna

daging, tekstur, rasa manis dan asam. Namun tidak berpengaruh nyata terhadap

rasa sepat, flavor, dan kegemaran.

Pemanenan buah pepaya pada umumnya dilakukan dengan melihat warna

kulit buah. Munculnya garis berwarna kuning pada kulit buah pepaya

memberikan indikasi bahwa buah siap dipanen. Buah diputar sampai tangkainya

lepas atau tangkai dikerat dengan pisau tajam. Diperlukan galah panjang atau

tangga untuk memanen buah di pohon yang tinggi (Villegas, 1997).

Penelitian mengenai umur panen buah pepaya sudah banyak dilakukan.

Selvaraj et al. (1982) menyatakan bahwa perkembangan buah dari penyerbukan

(24)

Pink Flesh Sweet, dan Sunrise; 140-145 hari untuk Thailand dan 150-155 hari

untuk varietas Washington pada kondisi iklim sejuk di India. Di Indonesia,

perkembangan buah dari bunga mekar penuh (anthesis) adalah 140.2-148.8 hari

untuk kultivar Solo, 133.4-142.6 hari untuk kultivar Eksotika II, 140.3-149.1 hari

untuk kultivar Redking, dan 133.8 -141.2 hari untuk kultivar pakuan (Aisyah,

2002).

Pada buah pepaya genotipe IPB 1, mutu fisik dan kimia yang baik

diperoleh pada saat buah pepaya dipetik pada 130, 135, dan 140 hari setelah

anthesis (Rafikasari, 2006). Suparno (2005) menyatakan bahwa kelompok umur

petik buah pepaya genotipe IPB 1 yang lebih baik yaitu pada umur petik 120 hari

dari bunga mekar sempurna karena memiliki sifat-sifat fisik dan kimia terbaik

dengan cita rasa dan warna yang lebih disukai daripada buah yang lebih tua atau

yang lebih muda.

Umur panen buah pepaya dapat ditentukan oleh jumlah hari setelah

anthesis, jumlah warna kuning pada kulit buah dan letak buah yang biasanya

terletak pada urutan paling bawah dari pucuk pohon. Reninda (2006) menyatakan

bahwa panen berdasarkan jumlah warna kuning pada kulit buah dapat dilakukan.

Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Priyono (2005) yaitu umur panen buah

pepaya genotipe IPB 1 dari mekar penuh sampai panen (10% kuning) berkisar

antara 120-130 hari. Mardiana (2003) menambahkan bahwa waktu yang

dibutuhkan dari mekar penuh hingga buah mencapai semburat (25% kuning)

adalah sekitar 128-161 hari.

E. Penyimpanan

Penyimpanan adalah salah satu tahap penting dalam rantai penanganan

pascapanen produk hortikultura. Penyimpanan yang tepat dapat mempertahankan

kondisi segar produk hortikultura dan memperpanjang masa simpannya sehingga

dapat menjaga ketersediaannya sepanjang tahun. Tujuan utama penyimpanan

adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi penyakit, dan

mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen

(25)

Hingga saat ini pendinginan merupakan satu-satunya cara yang ekonomis

untuk penyimpanan jangka panjang bagi buah-buahan segar. Cara-cara lain untuk

mengendalikan pematangan dan kerusakan, paling banyak hanya merupakan

pelengkap bagi suhu yang rendah. Pendinginan merupakan proses menurunkan

dan mempertahankan suhu suatu bahan di bawah suhu lingkungan dan di atas titik

beku bahan tersebut. Suhu pendinginan merupakan faktor yang penting karena

berhubungan dengan kerusakan bahan makanan akibat mikroba, perubahan fisik

akibat pendinginan dan mempengaruhi kelembaban udara dalam ruang pendingin

(Purwadaria, 1973).

Penyimpanan buah manggis dengan menghamparkan buah di suhu ruang

dan AC menyebabkan buah hanya dapat bertahan dari kerusakan hingga 15 hari

sedangkan penyimpanan dengan menggunakan kantong plastik dan berbagai suhu

rendah (5, 10 dan 15°C) dapat mempertahankan buah dari kerusakan hingga 19-26

hari (Setyadjit dan Sjaifullah, 1994).

Proses pematangan dan laju resirasi buah-buahan yang disimpan pada

penyimpanan dingin dapat dihambat namun tetap mengalami susut bobot.

Arcbold dan Pomper (2003) menyatakan bahwa penyimpanan dingin pada buah

pawpaw (Asimina triloba (L.) Dunal) yang dipanen pada dua tingkat kematangan

berdasarkan kelunakan yaitu buah belum matang dengan kelunakan minimal dan

buah matang dengan sedikit kelunakan dapat menghambat proses pematangan.

Buah yang dipanen pada tingkat belum matang menunjukkan nilai respirasi CO2

dan etilenpada puncak klimakterik 4 hari setelah dipindahkan dari penyimpanan

4°C yaitu masing-masing 82 mg kg-1 h-1 dan 9.8 µg kg-1 h-1. Sedangkan pada buah

yang dipanen pada tingkat matang menunjukkan puncak klimakterik yaitu pada

nilai respirasi 90 mg kg-1 h-1 CO2 4 hari setelah dipindahkan dari pendingin 4°C

dan 14.4 µg kg-1 h-1 C2H4 7 hari setelah dipindahkan dari pendingin 4°C. Buah

pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan MG (matang hijau) dan QY

(sebagian kuning) mengalami susut bobot rata-rata 5.0% dan 6.2% selama

penyimpanan. Susut bobot dipengaruhi oleh suhu penyimpanan; buah yang

matang pada 25°C, atau disimpan pada 10,12, atau 15°C dan kemudian

dimatangkan, masing-masing mengalami penurunan susut bobot sebesar 4.1%,

(26)

Penggunaan suhu rendah pada penyimpanan berbeda untuk setiap jenis

buah. Suhu yang lebih rendah dari suhu optimum dapat menyebabkan kerusakan

karena pendinginan (chilling injury). Berdasarkan penelitian Camara et al. (1993)

didapat bahwa suhu optimum untuk penyimpanan buah pepaya Solo (Carica

papaya Solo) adalah 8-12°C, sedangkan penyimpanan dibawah suhu 7°C dapat

mengakibatkan chilling injury.

Buah pepaya Solo varietas H-5 dengan tingkat kematangan 10% yang

disimpan pada suhu ruang (24-25°C) mempunyai daya simpan selama 6 hari,

sedangkan buah pepaya yang disimpan pada suhu dingin (15-18°C) mempunyai

daya simpan mencapai 9.9 hari (Dominica, 1998). Penelitian lain dilakukan

Fitradesi (1999) pada buah pepaya Solo cv. Tainung 3 yang disimpan pada suhu

ruang (27-31°C) mempunyai daya simpan 5.3 hari, sedangkan buah pepaya yang

disimpan pada suhu dingin (18-20°C) mempunyai daya simpan 8.7 hari.

Buah pepaya IPB 1 yang dipanen pada umur yang berbeda yaitu 130 HSA,

135 HSA, 140 HSA dan disimpan pada suhu ruang mempunyai daya simpan

masing-masing yaitu 7-9 hari, 6-8 hari, dan 6-7 hari (Purba, 2006). Sedangkan

Priyono (2005) menyatakan bahwa buah pepaya IPB 1 yang dipanen pada

120-130 HSA dan disimpan pada suhu dingin (16-20°C) akan masak pada 9 HSP (hari

setelah panen).

F. Pematangan Buatan

Pematangan buatan (artificial ripening) dapat diartikan sebagai suatu

usaha mengatur proses pematangan sehingga tidak hanya mengandalkan proses

pematangan alami. Pematangan buatan dilakukan secara komersial untuk dapat

memenuhi permintaan pasar terhadap buah yang masak optimum pada saat yang

terjadwal, bisa mempercepat atau memperlambat proses pematangan tersebut.

Pematangan buatan atau pemeraman bertujuan untuk mempercepat dan

menyeragamkan kematangan buah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi

mutu hasil pemeraman diantaranya tingkat kematangan buah, suhu dan

kelembaban ruang pemeraman serta pemeraman dengan pemberian gas etilen.

Etilen terkenal mampu menstimulasi proses pematangan buah dan sayuran.

(27)

bermakna, tetapi menjadi penting perannya pada suhu yang lebih tinggi. Efek

pemberian gas etilen pada buah nonklimakterik yaitu menaikkan laju respirasi

yang mengakibatkan meningkatnya laju pematangan buah, selain itu berhubungan

juga dengan jumlah konsentrasi gas yang diberikan serta tidak berpengaruh

terhadap waktu terjadinya puncak klimakterik. Pada buah klimakterik pemberian

etilen akan mempercepat tercapainya puncak klimakterik tetapi tidak

mempengaruhi laju respirasi (Winarno, 2002).

Konsentrasi etilen juga dapat mempengaruhi mutu buah setelah

pemeraman. Buah sirsak yang dipanen pada 9, 10 dan 11 minggu sesudah

pembuahan dan diperam dengan gas asetilen 0, 2 500 dan 5 000 ppm untuk

pematangannya menunjukkan bahwa buah sirsak yang masak penuh dan bermutu

pascapanen terbaik diberikan oleh buah sirsak pada tingkat ketuaan 11 minggu

sesudah pembuahan dan diperam dengan 2 500 ppm gas asetilen. Buah tersebut

mampu masak secara merata, tidak mengalami kerusakan selama pemeraman dan

mengandung 71.40% sari buah (Sjaifullah et al., 1996). Hal ini juga diperkuat

oleh hasil penelitian Syska (2006) pada buah pepaya IPB1 yang menyatakan

bahwa konsentrasi etilen dan suhu pematangan berpengaruh terhadap buah pepaya

selama pematangan. Pematangan pada suhu 20°C dengan konsentrasi etilen 50

ppm cukup efektif untuk memicu pematangan dan mempertahankan mutu buah

pepaya secara fisik dan kimia (warna kulit, kekerasan, padatan terlarut total, dan

susut bobot) hingga hari ke-4 setelah pematangan buatan.

Suhu dan kelembaban ruang pemeraman sangat berpengaruh terhadap

mutu buah yang diperam. Suhu ruang yang tinggi dapat mengakibatkan kelainan

fisiologis pada buah. Kelainan ini dapat ditandai dengan terjadinya fermentasi.

Tanda-tanda kelainan fisiologis pada buah ialah warna kulit dan daging buah tidak

sempurna. Buah yang diperam pada suhu tinggi menghasilkan warna kusam dan

tidak cerah serta daging buah rusak. Semakin tinggi suhu ruang pemeraman

semakin parah kerusakan fisiologisnya. Pemeraman pada suhu rendah dapat

menghasilkan warna lebih menarik dibandingkan pada suhu lebih tinggi. Warna

kuning pada pisang misalnya, timbul lebih cerah dan lebih menarik. Di daerah

Puncak buah pisang diperam dalam suhu ruang yang rendah, berkisar antara

(28)

Kelembaban ruang pemeraman sangat berpengaruh terhadap mutu buah

yang diperam, terutama terhadap warna dan tekstur. Kelembaban yang baik

berkisar antara 85-90%. Kelembapan tinggi dapat memperlambat terbentuknya

wama kuning pada kulit buah dan menghambat laju respirasi serta produksi etilen

dari buah tersebut. Pada pemeraman buah pisang kelembaban yang tinggi dapat

menyebabkan buah menjadi lunak, kulit buah mudah robek dan buah mudah lepas

(rontok) dari tangkainya. Kelembaban terlalu rendah dapat menyebabkan

tingginya kehilangan bobot selama pemeraman dan wama buah kurang menarik.

Kadang-kadang buah gagal menjadi matang, wama kulit menjadi hitam, dan kulit

buah mengerut akibat penguapan berlebihan (Satuhu, 1995).

G. Teknologi Near Infra Red (NIR)

Spektrum pada infra merah dekat merupakan gelombang eletromagnetik

yang radiasi spektrumnya berada pada rentang panjang gelombang 700 sampai

3000 nm ( 0,7- 3 µm). Karena itu disebut sebagai “near IR” karena mendekati

spektrum cahaya IR (3 – 300 µm). Daerah gelombang NIR sudah lama dipelajari

dan digunakan sebagai metode analitik untuk menganalisis berbagai material baik

organik maupun anorganik. Tujuan metode ini adalah mengukur kandungan

kimia bahan, minyak, minuman, biji-bijian maupun bahan campuran. Metode ini

sangat menarik karena bahan yang dianalisis cepat tanpa persiapan dan tidak

merusak (non destruktif).

Kelebihan penggunaan metode NIR antara lain adalah karena banyak

komposisi kimia dari bahan pertanian/pangan yang menyerap (absorbsi) atau

memantulkan (reflektan) cahaya pada rentang panjang gelombang 0,7 – 3 µm.

Protein, air, asam, lemak, gula dan senyawa-senyawa kimia lainnya memiliki pola

serapan yang khas dan berbeda satu dengan lainnya pada setiap panjang

gelombang cahaya yang diberikan.

Perbedaan pola serapan tersebut disebabkan berbedanya geometri maupun

jumlah atom yang terletak pada ikatan C-H, O-H, C-H-O atau N-H. Tiga ikatan

kimia ini merupakan ikatan dasar dari semua ikatan kimia dan organik.

Penyerapan terjadi jika energi yang diradiasikan cahaya berkorespondensi dengan

(29)

oleh ikatan kimia tersebut. Energi yang tidak berkorespondensi dengan frekuensi

tersebut akan dipantulkan. Karena setiap CH,NH dan OH memiliki frekuensi

vibrasi tertentu, informasi penyerapan dapat dijelaskan dengan tiga parameter

tersebut.

Parameter ini dijelaskan oleh panjang gelombang dalam nanometer,

amplitude dengan tinggi puncak gelombang menjelaskan intensitasnya. Dengan

tiga parameter ini seluruh informasi penyerapan dari suatu bahan dapat dijelaskan.

Setiap bahan organik mengandung ribuan jenis ikatan CH, OH, dan NH akibatnya

setiap bahan memiliki spektrum pantulan atau absorbsi cahaya infra merah dekat

yang unik. Informasi ini tersimpan dalam daerah gelombang eletromagnetik yang

sempit antara 800 - 2500 nm.

Aplikasi teknologi NIR telah banyak diterapkan dalam menganalisis

kandungan suatu bahan atau pakan karena lebih mudah, sangat cepat, tidak

menimbulkan polusi dan tidak merusak. Budiastra et al. (1995)

mengklasifikasikan mangga kedalam tiga jenis rasa manis, manis asam dan asam

yang diukur dengan teknologi NIR pada 200 contoh mangga dengan kisaran

panjang gelombang 1400-1975 nm. Metode stepwise dari regresi berganda

digunakan untuk memilih panjang gelombang optimal untuk menduga konsentrasi

sukrosa dan asam malat. Validasi dilakukan dengan hasil pengukuran HPLC.

Teknologi NIR pada panjang gelombang 900 – 2000 nm dapat digunakan

cukup akurat untuk menduga kadar karbohidrat, protein, lemak dan air tepung

jagung (Zea mays) secara cepat dan simultan (Rochimawati, 2004). Penelitian

yang dilakukan Ratnawati (2004) juga membuktikan bahwa teknologi NIR pada

panjang gelombang 900-2000 nm dapat digunakan dalam menduga kadar asam

amino jagung (Zea mays) secara cepat, akurat, simultan dan non-destruktif,

(30)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai September 2007 di

Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP),

Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat

Bahan penelitian adalah buah Pepaya Arum Bogor (genotipe IPB 1) yang

diperoleh dari kebun percobaan Tajur dan Pasir Kuda. Buah dipanen pada tingkat

ketuaan 0% dan 10% (dilihat dari semburat yang terdapat pada bagian ujung

buah), bobot buah seragam yaitu rata-rata 250-950 g dan utuh tanpa cacat.

Kemudian buah yang telah dipetik dibungkus dengan kertas koran dan diletakkan

ke dalam kotak kardus dengan hati-hati agar tidak terjadi benturan yang dapat

mengakibatkan luka dan memar pada buah. Buah pepaya dibawa ke laboratorium

dengan menggunakan mobil. Bahan lainnya adalah thiobendazole (fungisida),

alkohol, lilin (malam) dan gas etilen untuk proses pematangan.

Peralatan yang digunakan adalah sistem pengukuran gelombang cahaya

infra merah dekat untuk mengukur kekerasan dan padatan terlarut total (PTT)

secara nondestruktif, sistem peralatan NIR (Budiastra et al., 1995) terdiri atas

beberapa komponen yakni lampu halogen 150 watt (AT-100 HG), sebuah chopper

(AT- 100 CH), tiga filter interferensi, monokromator (SPG-100 IR), bola

integrating berdiameter 60 mm (ISR-260), probe sensor jenis Pbs, lensa, amplifier

(AT-100 AM), sebuah interface, motor pengontrol pulsa (sanyo), dan CPU.

Peralatan lain yang digunakan adalah continous gas analyzer merk Shimadzu tipe

IRA-107 untuk mengukur konsentrasi gas CO2 dan Shimadzu tipe POT-101 untuk

mengukur konsentrasi gas O2, pengukur suhu dan kelembaban merk Hygrotherm,

timbangan digital merk Mettler tipe PM 4800 untuk mengukur bobot buah dan

rangkaian peralatan analisis citra digital untuk menentukan warna kulit buah

pepaya. Selain itu alat-alat pendukung yang digunakan adalah stoples, alat

(31)

(a) (b)

Gambar 2. Buah pepaya genotipe IPB 1: (a) tingkat ketuaan 0% dan (b) tingkat ketuaan 10%

C. Persiapan bahan

Buah pepaya yang telah dipanen dibersihkan kemudian dibungkus dengan

kertas koran dan dimasukkan ke dalam kotak kardus kemudian diangkut ke

Laboratorium TPPHP IPB. Setelah tiba di laboratorium, buah pepaya disortasi

terlebih dahulu untuk mendapatkan buah yang seragam dan tidak memar atau

luka. Lalu buah dicuci pada air mengalir dan dibersihkan dari getah dan kotoran

yang menempel pada kulit buah dan kemudian dikering-anginkan. Buah pepaya

yang telah bersih disterilisasi dengan cara dicelupkan kedalam larutan

Thiabendazole dengan dosis 1 mg/liter selama 1 menit, kemudian ditiriskan.

D. Tahapan Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan perkiraan lama

penyimpanan buah pepaya genotipe IPB 1. Pengamatan yang dilakukan adalah

secara visual yaitu berdasarkan perubahan warna dan kondisi fisik buah pepaya.

Buah pepaya yang digunakan pada penelitian pendahuluan ini adalah sebanyak 16

buah. Penelitian terdiri dari 2 faktor dengan 2 ulangan. Faktor pertama yaitu

tingkat ketuaan buah pepaya dengan 2 taraf: tingkat ketuaan 0% dan tingkat

ketuaan 10%, dan faktor kedua yaitu suhu penyimpanan dengan 3 taraf: suhu

(32)

2. Penyimpanan dingin

Penyimpanan dingin bertujuan untuk memperpanjang masa simpan pepaya

sebelum dilakukan proses pemeraman. Buah pepaya dengan tingkat ketuaan 0%

dan 10% dimasukkan ke dalam lemari pendingin yang masing-masing bersuhu

10°C dan 15°C dengan kelembapan (RH 90 – 95%). Lama penyimpanan

berdasarkan hasil penelitian pendahuluan. Buah pepaya dengan tingkat ketuaan

0% disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 hari, sedangkan

buah yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, 14, dan 16 hari. Buah

pepaya dengan tingkat ketuaan 10% disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14,

16, dan 18 hari, sedangkan buah yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12,

dan 14 hari.

Gambar 3. Diagram alir pelaksanaan penelitian

Pepaya genotipe IPB 1

Pencucian dan Perendaman dalam larutan thiobendazole

Penelitian Pendahuluan:

Buah papaya disimpan pada suhu 10°C dan 15°C dan suhu ruang

Pengukuran awal terhadap parameter bobot, warna, TPT, dan kekerasan

Penyimpanan pada suhu ruang, 10°C dan 15°C

Pengukuran laju respirasi setiap 24 jam, bobot, warna, TPT dan kekerasan setiap 3 hari

Perlakuan pematangan buatan:

konsentrasi etilen 100 ppm pada suhu 20°C selama 24 jam

(33)

3. Pematangan buatan

Pematangan buatan buah pepaya bertujuan agar pepaya matang seragam

dengan kondisi yang baik. Buah pepaya yang telah disimpan pada suhu 10°C dan

15°C dimasukkan ke dalam stoples dan disuntikkan etilen dengan konsentrasi 100

ppm. Perlakuan pematangan buatan pada suhu 20°C selama 24 jam. Selanjutnya,

pepaya dibiarkan di udara terbuka dan dilakukan pengamatan parameter mutu.

E. Pengamatan

Parameter yang akan diamati adalah laju respirasi, warna kulit buah, susut

bobot buah, total padatan terlarut (TPT) dan kekerasan.

1. Laju Respirasi

Penentuan laju respirasi dilakukan selama penyimpanan dan pematangan

buatan. Pengukuran laju respirasi bertujuan untuk menentukan pola respirasi

sampai terjadinya klimakterik Untuk mengukur laju respirasi selama

penyimpanan, buah dimasukkan ke dalam stoples dan disimpan dalam lemari

pendingin masing-masing bersuhu 10°C, 15°C dan suhu ruang. Pengukuran laju

respirasi selama penyimpanan dilakukan secara periodik yaitu setiap 24 jam

sekali, sedangkan setelah pematangan buatan dilakukan setiap 6 jam sekali hingga

tercapai puncak respirasi (klimakterik). Buah pepaya yang digunakan untuk

pengukuran respirasi pada penyimpanan dan pematangan buatan adalah buah yang

berbeda. Dua buah slang dihubungkan dengan alat pengukur gas Analyzer

Shimadzu dimasukkan ke dalam stoples untuk melewatkan gas CO2 dan O2.

Pada alat akan terbaca persen gas CO2 dan Q2.

Data laju respirasi yang diperoleh kemudian diplotkan dalam suatu kurva

berupa kurva pola respirasi. Laju produksi gas CO2 atau O2 (ml/kg jam) selama

(34)

dimana: R adalah laju respirasi (ml/kg.jam), T adalah suhu (°C), W adalah berat

segar produk (kg), V adalah volume bebas ruangan (dm3), dan Mgas adalah

molekul gas (g).

2. Susut bobot

Pengukuran susut bobot dihitung berdasarkan persentase penurunan bobot

buah sejak awal sampai akhir penyimpanan, dinyatakan dengan persamaan:

%

dimana: Wi = bobot bahan awal penyimpanan (g) dan Wa = bobot bahan akhir

setelah penyimpanan (g).

Pengukuran susut bobot selama penyimpanan dilakukan setiap 3 hari

sekali dan setelah pematangan buatan dilakukan setiap hari.

3. Warna kulit buah

Pengukuran warna berdasarkan nilai RGB dari keseluruhan pixel buah

pepaya dengan menggunakan pengolahan citra (image processing). Citra buah

pepaya diambil dengan kamera digital Pentax Optio A10 dengan jarak

pengambilan 34 cm dari buah pepaya, penyangga kamera, 4 buah lampu neon

(100 W, 220 V, 50 Hz), luxmeter, kain putih, seperangkat computer, dan

perangkat lunak dalam bahasa Delphi. Nilai RGB dikonversi menjadi nilai

L*a*b* dan diplotkan dalam grafik warna Munsell.

Nilai R, G, B objek (buah pepaya IPB 1) dikonversi menjadi nilai L*, a*,

dan b* dengan persamaan sebagai berikut:

X = 0.607*R + 0.174*G + 0.201*B ..………. (3)

Y = 0.299*R + 0.587*G + 0.114*B ..………. (4)

Z = 0.066*G + 1.117*B ...(5)

Penentuan warna buah papaya dilakukan dengan mengukur bagian

pangkal, tengah, dan ujung buah, kemudian dihitung nilai rata-ratanya pada setiap

kode warna tersebut dan dibandingkan dengan kode warna buah berdasarkan hasil

pengukuran dengan chromameter Minolta CR-200. Alat ini menunjukkan nilai Y,

y, dan x yang kemudian melalui perhitungan dengan rumus diperoleh nilai L*, a*,

(35)

menunjukkan warna merah bila nilainya positif, abu-abu bilai nilai nol dan hijau

apabila nilainya negatif, sedangkan nilai Hunter b apabila positif menunjukkan

warna kuning, nol menunjukkan abu-abu, dan nilai negatif menunjukkan warna

biru. Persamaan konversi nilai L*, a*, dan b* (MacDougall,2002) adalah sebagai

berikut:

4. Kekerasan dan Total Padatan Terlarut

Pengukuran kekerasan dan TPT secara nondestruktif dilakukan dengan

menggunakan sistem pengukuran gelombang cahaya infra merah dekat. Sebelum

dilakukan pengukuran, alat NIR dinyalakan terlebih dahulu kurang lebih 30 menit

untuk mendapatkan sinyal analog yang stabil. Celah masuk pada monokromator

diatur sebesar 500 µm, gain sebesar 200, chopper dan sensor PbS dalam keadaan

aktif, waktu tanggap (respons) adalah smooth (1 ms). Filter yang digunakan untuk

menyaring cahaya masuk dalam chopper yaitu filter dengan kode 046 untuk

panjang gelombang 900 nm - 1400 nm. Pengukuran pantulan dilakukan dengan

cara mengukur standar putih terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan

pengukuran sampel dengan cara menempatkan buah pepaya pada unit deteksi.

Cahaya dari lampu halogen pertama dipotong pada laju sebesar 270 Hz oleh

pemutus cahaya (chopper) dan cahaya disaring oleh penyaring gangguan

(inference) sebelum masuk ke dalam monochromator dan mengenai buah pepaya.

Pantulan cahaya dari buah pepaya akan dikumpulkan oleh integrating sphere,

(36)

oleh A/D Converter. Selanjutnya komputer mengirim sinyal digital ke motor

untuk melakukan pemindaian gelombang NIR dan pengukuran pantulan

dilakukan lagi dan seterusnya sampai pemindaian gelombang NIR selesai.

Kemudian sifat pantulan dihitung, grafik spektrum diperagakan dan data direkam.

Reflektan (pemantulan) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai

berikut:

Keterangan: V Sampel adalah tegangan pantulan sampel (volt) V Standar adalah tegangan pantulan standar putih (volt)

Pantulan (R) didapatkan dari perbandingan intensitas pantulan dari buah pepaya

dengan intensitas pantulan standar putih. Sedangkan data absorbansi diperoleh

dengan cara mentransformasikan nilai reflektan/pantulan kedalam bentuk log

(1/R).

Panjang gelombang reflaktan buah pepaya yang dihasilkan dari sistem

pengukuran non-destruktif dibandingkan dengan nilai adsorban menggunakan

metode Stepwise Multiple Linier Regression (SMLR). Persamaan kalibrasi yang

digunakan pada pendugaan TPT adalah hasil penelitian Susilowati (2007) yaitu :

TPT = 15.6 + 54.7 [A1120] - 73.9 [A970] + 46.1 [A1110] + 104 [A1060] - 9.55

[A900] + 98.0 [A1000] - 96.2 [A1025] - 42.5 [A1115] - 65.8 [A1150] +

33.7 [A1175] - 24.2 [A1230] + 33.5 [A1315] + 32.8 [A935] - 54.4 [A1130]

- 24.5 [A985] - 49.5 [A1010] + 30.2 [A1080] ... (12)

dimana : A adalah absorbansi pada panjang gelombang terpilih.

Persamaan kalibrasi untuk menduga kekerasan buah pepaya IPB 1 (Susilowati,

2007) adalah sebagai berikut :

KGF = - 2.46 + 46.0 [A1235] - 94.3 [A1175] - 69.8 [A1260] + 71.2 [A1230] –

98.1 [A1160] + 84.4 [A1215] - 50.2 [A1340] + 26.4 [A900] - 29.1 [A925]

+ 32.0 [A1270] + 106 [A1040] - 78.0 [A1080] + 29.6 [A1325] - 33.4

[A945] + 38.2 [A1025] + 40.3 [A1210] - 18.8 [A1185] ... (13)

(37)

F. Rancangan Percobaan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri dari 3

faktor dengan 2 ulangan. Faktor pertama (A) yaitu lama penyimpanan dengan 3

taraf: 10 hari penyimpanan, 12 hari penyimpanan, dan 14 hari penyimpanan.

Faktor kedua (B) yaitu tingkat ketuaan dengan 2 taraf: tingkat ketuaan 0% dan

tingkat ketuaan 10%. Faktor ketiga (C) yaitu suhu penyimpanan dengan 2 taraf:

suhu 10°C, dan suhu 15°C. Model linier aditif untuk rancangan acak lengkap 3

faktor adalah sebagai berikut:

( ) ( ) ( )

ij ik jk

(

)

ijk ijkl k

j i ijkl

Y =μ+α +β +γ + αβ + αγ + βγ + αβγ +ε ... (14)

Dimana: Yijk = Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j,

faktor C taraf ke-k, ulangan ke-l μ = Rataan umum

αi = Pengaruh utama faktor A

βj = Pengaruh utama faktor B

γk = Pengaruh utama faktor C

( )

αβ ij = Komponen interaksi dari faktor A dan faktor B

( )

αγ ik = Komponen interaksi dari faktor A dan faktor C

( )

βγ jk = Komponen interaksi dari faktor B dan faktor C

(

αβγ

)

ijk = Komponen interaksi dari faktor A, faktor B, dan faktor C

εijk = Pengaruh acak yang menyebar normal

(

0,σ2

)

Analisis data menggunakan sidik ragam. Jika hasil sidik ragam berbeda

(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Lama Penyimpanan

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% dan

10% dan disimpan pada suhu 10°C, 15°C dan suhu ruang (27-30°C) mempunyai

lama simpan yang berbeda (Tabel 2). Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan

didapat bahwa buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% yang

disimpan pada suhu 10°C, 15°C dan suhu ruang mempunyai lama simpan

masing-masing yaitu 20, 16, dan 9 hari. Sedangkan buah pepaya IPB 1 dengan tingkat

ketuaan 10% dan disimpan pada suhu 10°C, 15°C dan suhu ruang mempunyai

lama simpan yaitu 18, 14, dan 7 hari.

Tabel 2. Lama penyimpanan buah pepaya genotipe IPB 1

Tingkat Ketuaan Suhu Simpan (°C) Lama Penyimpanan (hari)

0% 27-30 (ruang) 9

10 20

15 16

10% 27-30 (ruang) 7

10 18

15 14

Buah pepaya dengan tingkat ketuaan 0% mempunyai daya simpan yang

lebih lama dibanding buah dengan tingkat ketuaan 10%. Hal ini dikarenakan

buah pepaya yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% mengalami proses

pematangan yang lebih lambat dibandingkan buah pepaya yang dipanen pada

tingkat ketuaan 10%. Semakin tinggi tingkat ketuaan buah pepaya pada saat

dipanen maka semakin rendah daya simpan buah pepaya tersebut. Purba (2006)

menyatakan bahwa buah pepaya genotype IPB 1 yang dipanen pada umur yang

berbeda yaitu 130 HSA, 135 HSA, 140 HSA dan disimpan pada suhu ruang

mempunyai daya simpan masing-masing yaitu 7-9 hari, 6-8 hari, dan 6-7 hari.

Lama penyimpanan buah papaya genotipe IPB 1 juga dipengaruhi oleh

(39)

terjadi. Hal ini terlihat pada buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan

0% dan 10% yang disimpan pada suhu 10°C memiliki daya simpan yang lebih

lama dibanding buah pepaya yang disimpan pada suhu 15°C dan suhu ruang. Ali

et al. (1992) dalam Yon (1994) menyatakan bahwa pepaya cv. Eksotika yang

disimpan pada suhu ruang (28-30°C) hanya dapat bertahan selama 1 minggu.

Buah pepaya yang disimpan pada suhu 10°C dan 15°C masing-masing memiliki

lama penyimpanan 22 hari dan 12 hari.

B. Laju respirasi

Respirasi merupakan proses pemecahan secara oksidatif substrat kompleks

yang secara normal terdapat didalam sel untuk menghasilkan molekul-molekul

sederhana (CO2 dan H2O) serta energi yang akan digunakan oleh sel dalam proses

metabolisme. Laju respirasi pada buah pepaya setelah panen dapat dihitung dari

laju produksi CO2 dan konsumsi O2. Laju respirasi merupakan petunjuk yang

baik untuk daya simpan buah sesudah dipanen. Laju respirasi yang semakin tinggi

biasanya menunjukkan daya simpan buah pepaya semakin rendah dan sebaliknya.

Laju respirasi buah pepaya genotipe IPB 1 selama penyimpanan dan

setelah pematangan buatan berdasarkan laju produksi CO2. Perubahan laju

produksi CO2 buah pepaya IPB 1 selama penyimpanan dan setelah pematangan

buatan ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 4. Perhitungan laju respirasi

selama penyimpanan dilakukan setiap 24 jam sekali dimulai pada jam ke-24

penyimpanan. Perhitungan laju respirasi setelah pematangan buatan dilakukan

setiap 6 jam sekali dimulai pada jam ke-6 setelah buah pepaya dikeluarkan dari

ruang inkubasi selama pematangan buatan ke ruang terbuka.

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% dan

disimpan di suhu 10°C memiliki laju produksi CO2 yang lebih rendah dibanding

15°C selama proses penyimpanan. Rata-rata laju produksi CO2 yang disimpan

pada suhu 10°C dan 15 °C masing-masing adalah 4.46 dan 10.68 ml/kg jam. Hal

ini juga terjadi pada buah pepaya IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 10%.

Rata-rata laju produksi CO2 yang disimpan pada suhu 10°C dan 15°C

masing-masing adalah 6.60 dan 10.26 ml/kg jam. Perbedaan laju produksi CO2 selama

(40)

perbedaan laju respirasi pada penyimpanan suhu 10 dan 15°C menunjukkan

bahwa penyimpanan pada suhu 10°C dapat menghambat laju respirasi, aktifitas

enzim, reaksi-reaksi kimia-biokimia maupun pertumbuhan mikroorganisme pada

buah pepaya (Syska, 2006).

Buah pepaya adalah buah tropis yang termasuk golongan buah

klimakterik, yaitu buah-buahan yang memperlihatkan produksi CO2 yang

mendadak meningkat tinggi pada saat matang (Satuhu, 1995). Oleh karena itu

pada Gambar 4 dan 5 terlihat produksi CO2 yang mendadak meningkat selama

penyimpanan pada buah yang disimpan di suhu ruang maupun selama

pematangan buatan setelah pemberian etilen 100 ppm pada buah yang disimpan di

suhu 10 dan 15°C.

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu ruang tidak diberi

perlakuan pematangan buatan karena buah mengalami proses pematangan selama

penyimpanan dan telah layak untuk dikonsumsi. Puncak klimakterik pepaya

genotipe IPB 1 yang dipanen dengan tingkat ketuaan 0% dan disimpan pada suhu

ruang adalah 27.27 ml CO2/kg jam pada hari ke-7 penyimpanan (Gambar 4a).

Pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen dengan tingkat ketuaan 10% dan disimpan

pada suhu ruang mengalami puncak klimakterik pada hari ke-4 yaitu sebesar

29.35 ml CO2/kg jam (Gambar 5a).

Puncak klimakterik pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen dengan tingkat

ketuaan 0% dan disimpan di suhu 10°C pada lama penyimpanan 10, 12, 14, 16, 18

dan 20 hari adalah 47.16 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen,

45.87 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen, 49.63 ml CO2/kg

jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen, 51.55 ml CO2/kg jam pada jam

ke-12 setelah pemberian etilen, 56.55 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah

pemberian etilen, dan 50.29 ml CO2/kg jam pada jam ke-6 setelah pemberian

(41)

0

10 hari 12 hari 14 hari 16 hari 18 hari 20 hari

(b)

Gambar 4. Laju produksi CO2 buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat

ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,(b) suhu10°C dan (c) suhu 15°C.

Puncak klimakterik

Puncak klimakterik

(42)

0

Gambar 5. Laju produksi CO2 buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat

(43)

Puncak klimakterik pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% dan

disimpan di suhu 15°C pada lama penyimpanan 10, 12, 14, dan 16 hari adalah

50.94 ml CO2/kg jam pada jam ke-18 setelah pemberian etilen, 38.10 ml CO2/kg

jam pada jam ke-18 setelah pemberian etilen, 48.24 ml CO2/kg jam pada jam ke

12 setelah pemberian etilen, dan 77.40 ml CO2/kg jam pada jam ke-6 setelah

pemberian etilen (Gambar 4c).

Puncak klimakterik pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen dengan tingkat

ketuaan 10% dan disimpan di suhu 10°C pada lama penyimpanan 10, 12, 14, 16

dan 18 hari adalah 70.71 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen,

53.89 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen, 55.37 ml CO2/kg

jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen, 97.77 ml CO2/kg jam pada jam

ke-18 setelah pemberian etilen, dan 51.40 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah

pemberian etilen (Gambar 5b). Puncak klimakterik pepaya genotipe IPB 1

dengan tingkat ketuaan 10% dan disimpan di suhu 15°C pada lama penyimpanan

10, 12, dan 14 hari adalah 45.48 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian

etilen, 71.11 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen, dan 52.49

ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen (Gambar 5c).

Puncak klimakterik buah pepaya genotipe IPB 1 setelah diberi perlakuan

pematangan buatan umumnya terjadi semakin cepat seiring dengan lama

penyimpanan. Semakin lama buah pepaya disimpan maka puncak klimakterik

terjadi lebih cepat. Hal ini dikarenakan substrat karbohidrat (terutama glukosa)

yang terdapat didalam buah semakin berkurang. Setelah dipanen buah tetap

melakukan proses metabolisme yang membutuhkan substrat karbohidrat tersebut.

Muchtadi (1992) menyatakan bahwa respirasi adalah proses oksidasi enzimatis

substrat karbohidrat (terutama glukosa) yang menghasilkan gas karbondioksida

dan air serta energi. Energi yang dihasilkan digunakan oleh buah untuk

melangsungkan proses-proses metabolisme didalam selnya. Secara sederhana

reaksinya dapat digambarkan sebagai berikut:

C6H12O6 + 6O2 Enzim-enzim 6 CO2 + 6 H2O + E

Faktor penting yang mempengaruhi respirasi pasca panen pada buah antara

(44)

cepat memiliki laju respirasi yang lebih tinggi dibanding buah yang dipanen lebih

lama. Semakin meningkat umur tanaman atau organ tanaman maka laju

respirasinya semakin menurun. Selain tingkat ketuaan, klimakterik respirasi pada

buah pepaya juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu penyimpanan yang rendah dapat

memperpanjang daya simpan dan menekan terjadinya puncak klimakterik.

Oksigen yang rendah dan karbondioksida yang tinggi dapat memperpanjang

waktu untuk terjadinya puncak klimakterik pada beberapa jenis buah, serta

memperlama daya simpannya (Kays, 1991). Hasil penelitian Alique dan

Zamorano (2000) membuktikan bahwa interaksi antara waktu panen yang berbeda

dan penyimpanan dingin dapat mempengaruhi nilai dan waktu terjadinya laju

respirasi maksimum pada buah cherimoya (Annona cherimoya Mill.).

Pematangan buatan yang dilakukan adalah dengan memberikan perlakuan

etilen dengan konsentrasi 100 ppm pada buah pepaya genotipe IPB 1 dan

diinkubasi pada suhu 20°C selama 24 jam. Laju respirasi buah pepaya genotipe

IPB 1 cenderung meningkat setelah diberi perlakuan pematangan buatan.

Kartasapoetra (1994) menyatakan bahwa perlakuan etilen dari luar sampai 100

ppm dapat meningkatkan respirasi. Hal ini juga diperkuat oleh Alkamine dan

Goo (1977) dalam Winarno (2002) yang memberikan indikasi suatu hubungan

antara etilen dan dimulainya trigger klimakterik. Pada umumnya buah pepaya

dapat ditrigger proses pematangannya. Pada suhu 25°C, RH 85-95% dengan

etilen 1000 ppm, buah pepaya akan menjadi matang setelah 6-7 hari. Hasil

penelitian Syska (2006) menyatakan bahwa pematangan pada suhu 20°C dengan

konsentrasi etilen 50 ppm selama 24 jam cukup efektif untuk memicu

pematangan.

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 1) terlihat bahwa suhu

penyimpanan berpengaruh nyata (nilai p ≤ 0.05) terhadap laju respirasi selama penyimpanan dan pematangan buatan. Setelah diuji lanjut Duncan pada taraf 5%

terlihat bahwa buah pepaya IPB 1 yang disimpan pada suhu 10°C berbeda nyata

dengan buah pepaya IPB 1 yang disimpan pada suhu 15°C.

Laju produksi CO2 yang sangat tinggi pada buah pepaya genotipe IPB 1

dengan tingkat ketuaan 0%, disimpan pada suhu 15°C selama 16 hari dan buah

(45)

hari kemungkinan dikarenakan pada permukaan kulit buah telah ditumbuhi

cendawan. Peningkatan laju produksi CO2 tersebut dikarenakan adanya

degradasi bahan organik oleh cendawan yang tumbuh pada kulit buah. Cendawan

dapat menginfeksi buah ketika masih berada di pohon namun pada stadium

tak-bergerak. Ketika buah mengalami proses pemasakan, cendawan akan menjadi

aktif dan mulai dengan kegiatannya (Soesanto, 2006).

Pada Gambar 6 terlihat bahwa permukaan kulit buah pepaya genotipe IPB

1 terdapat gejala penyakit antraknosa yang disebabkan cendawan Colletotrichum

gloeosporioides yaitu berupa bercak coklat dan tenggelam atau cekung, dengan

bagian tepi berwarna cokelat muda atau hitam. Cendawan menghasilkan massa

konidium di bagia pusat bercak, berwarna oranye muda sampai merah muda.

Jaringan buah dibawah daerah terinfeksi menjadi keras, dan terjadi perubahan

warna menjadi putih keabu-abuan yang kemudian menjadi berwarna coklat

(Soesanto, 2006). Colletotrichum menyebabkan dua tipe gejala yaitu antraknosa

dan bercak coklat. Gejala awal yang terlihat pada permukaan buah adalah

keluarnya lateks pada titik kecil yang kemudian meluas menjadi bercak-bercak

coklat (Turang dan Tuju, 2004). Penelitian Purba (2006) menemukan penyebab

utama kebusukan pada buah pepaya yang disimpan hingga busuk adalah akibat

serangan cendawan Colletotrichum, bahkan ada juga yang terkena cendawan

Colletotrichum dan Fusarium sekaligus.

Gambar 6. Gejala penyakit yang terdapat pada permukaan kulit buah pepaya genotipe IPB 1 setelah pematangan buatan.

Gejala penyakit pada buah pepaya genotipe IPB 1 mulai terlihat setelah

proses pematangan buatan yaitu ketika buah berada pada suhu ruang. Selama

(46)

Hal ini disebabkan selama penyimpanan buah berada pada suhu rendah sehingga

proses pematangan terhambat. Menurut Kartasapoetra (1994) perkembangbiakan

cendawan banyak ditunjang oleh temperatur, pada temperatur optimal untuk

kehidupannya ternyata perkembangbiakannya lebih cepat sedangkan pada

temperatur rendah perkembangannya akan terhambat. Ketika buah matang maka

substrat-substrat yang dibutuhkan cendawan untuk melakukan proses

metabolisme tersedia sehingga cendawan dapat berkembangbiak dengan baik.

Oleh karena itu, semakin matang buah pepaya maka cendawan yang terdapat pada

buah tersebut semakin memenuhi permukaan kulit buah pepaya.

C. Susut bobot

Susut bobot pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan terjadi

karena adanya kehilangan air yang disebabkan proses transpirasi. Kehilangan air

ini tidak hanya berpengaruh langsung pada kehilangan kuantitatif (bobot) tetapi

juga menyebabkan kehilangan kualitas dalam penampilan (layu dan pengkerutan),

tekstur, dan kandungan gizi (Kader, 1992).

Kelembaban udara yang digunakan pada suhu ruang adalah berkisar antara

65-70% sedangkan untuk suhu penyimpanan 10 dan 15°C masing-masing berkisar

antara 90-95% dan 85-95%. Menurut Winarno (2002), kelembaban udara dalam

suatu ruang penyimpanan scara langsung berpengaruh terhadap masa simpan

produk yang disimpan di dalamnya. Bila RH (Relative Humidity) terlalu rendah,

akan terjadi pengkeriputan kulit produk dan bila RH terlalu tinggi, akan

menciptakan kondisi yang memungkinkan mikroba pembusuk tumbuh dan

berkembangbiak.

Peningkatan persentase susut bobot buah pepaya genotipe IPB 1 selama

penyimpanan dan pematangan buatan terlihat pada Gambar 7 dan 8. Buah

pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0 dan 10% yang disimpan pada

suhu ruang mengalami peningkatan persentase susut bobot yang lebih tinggi

dibanding buah pepaya yang disimpan pada suhu 10 dan 15°C. Persentase susut

(47)

0

10 hari 12 hari 14 hari

16 hari 18 hari 20 hari

(b)

Gambar 7. Susut bobot buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang, (b) suhu10°C dan (c) suhu 15°C.

(48)

0

10 hari 12 hari 14 hari

16 hari 18 hari

10 hari 12 hari 14 hari

(c)

(49)

pada suhu ruang masing-masing adalah 11.3 dan 12.9%. Buah pepaya dengan

tingkat ketuaan 0% memiliki persentase susut bobot rata-rata yang lebih rendah

dibanding buah pepaya dengan tingkat ketuaan 10%. Buah pepaya yang dipanen

pada tingkat kematangan MG (matang hijau) dan QY (sebagian kuning)

mengalami susut bobot rata-rata 5.0% dan 6.2% selama penyimpanan (Miller dan

McDonald, 1999). Menurut Ben-Yehoshua (1987) dalam Weichmann (1987),

laju transpirasi dapat dipengaruhi oleh proses pematangan dan pemasakan pada

buah. Laju transpirasi sebelum klimakterik meningkat tinggi dan cenderung

konstan setelah klimakterik.

Peningkatan persentase susut bobot juga terjadi pada buah pepaya genotipe

IPB 1 yang disimpan pada suhu 10 dan 15°C. Buah pepaya genotipe IPB 1

dengan tingkat ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16,

18, dan 20 hari memiliki persentase susut bobot rata-rata sebesar 2.9, 2.7, 3.9,

4.3, 5.3, dan 6.4% (Gambar 7b). Buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat

ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, 14, dan 16 hari

memiliki persentase susut bobot rata-rata sebesar 4.6, 5.4, 5.8, dan 7.5% (Gambar

7c).

Buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% yang disimpan

pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, dan 18 hari memiliki persentase susut

bobot rata-rata sebesar 2.8, 3.2, 4.1, 5.3, dan 4.1% (Gambar 8b). Sementara itu

buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% yang disimpan pada

suhu 15°C selama 10, 12, dan 14 hari memiliki persentase susut bobot rata-rata

sebesar 5.6, 5.9, dan 6.7% (Gambar 8c).

Hal ini menunjukkan bahwa umumnya peningkatan persentase susut bobot

buah pepaya yang disimpan pada suhu 15°C lebih tinggi dibanding buah pepaya

yang disimpan pada suhu 10°C. Menurut Winarno (2002), laju penguapan air

sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan uap air antar buah dan lingkungan luar

yang ditentukan oleh suhu dan RH. Semakin tinggi suhu semakin besar

kemampuan ruang penerima uap air dari produk. Penelitian Miller dan McDonald

(1999) menyatakan bahwa susut bobot dipengaruhi oleh suhu penyimpanan; buah

(50)

dimatangkan, masing-masing mengalami penurunan susut bobot sebesar 4.1%,

5.8%, 6.0%, dan 6.7%.

Faktor lain yang mempengaruhi transpirasi adalah proses respirasi.

Respirasi mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap transpirasi karena

menghasilkan CO2, air dan panas. Air yang dihasilkan tetap tinggal didalam

jaringan buah sedangkan CO2 terlepas ke lingkungan dan menyebabkan susut

bobot pada buah. Panas yang dihasilkan oleh proses transpirasi juga dapat

meningkatkan susut bobot buah karena dapat menaikkan temperatur jaringan buah

sehingga transpirasi buah meningkat (Ben-Yehoshua, 1987 dalam Weichmann,

1987).

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 2) terlihat bahwa lama

penyimpanan dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata (nilai p ≤ 0.05) terhadap susut bobot buah pepaya selama penyimpanan dan pematangan buatan. Setelah

diuji lanjut Duncan pada taraf 5% terlihat bahwa buah pepaya genotipe IPB 1

yang disimpan pada suhu 10°C berbeda nyata dengan buah pepaya genotipe IPB 1

yang disimpan pada suhu 15°C. Buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan

selama 10 hari tidak berbeda nyata dengan yang disimpan selama 12 hari namun

berbeda nyata dengan yang disimpan selama 14 hari.

D. Total Padatan Terlarut (TPT)

Perubahan kuantitatif yang berkaitan dengan pemasakan umumnya

pemecahan polimer karbohidrat, khususnya perubahan pati menjadi gula (Santoso

dan Purwoko, 1995). Hal ini mempengaruhi perubahan rasa pada buah.

Peningkatan gula cenderung menyebabkan rasa manis pada buah. Hasil

pengukuran total padatan terlarut dapat digunakan sebagai indikator rasa manis

pada buah. Semakin tinggi kandungan TPT pada buah maka semakin manis rasa

buah tersebut.

Total padatan terlarut buah pepaya genotipe IPB 1 selama di penyimpanan

umumnya mengalami peningkatan. Buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen

pada tingkat ketuaan 0% dan disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, 18,

dan 20 hari mengalami peningkatan TPT yaitu sebagai berikut: 9.4-9.9°brix,

Gambar

Tabel 1.  Deskripsi pepaya genotipe IPB 1
Gambar 2.  Buah pepaya genotipe IPB 1: (a) tingkat ketuaan 0% dan (b) tingkat                      ketuaan 10%
Tabel 2. Lama penyimpanan buah pepaya genotipe IPB 1
Gambar 4. Laju produksi CO2                  ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:   buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat                  (a) suhu ruang,(b) suhu10°C dan (c) suhu 15°C
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan secara umum penulisan bahan ajar ini adalah untuk memudahkan pengajaran Bahasa Indonesia bagi siswa Jepang khususnya di SJS karena model bahan ajar ini dirancang khusus

Keterangan: U : Kemampuan awal P : Post-test X : Kelompok yang diberi perlakuan dengan menggunakan pembelajaran matematika berbasis e-learning Berdasarkan desain yang

Berdasarakan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Faktor yang Berhubungan dengan Kenyamanan Kerja di

STRATEGI MANAJEMEN MEDIA OLEH HUMAS PEMERINTAH DAERAH (Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Strategi Humas Pemkab Sragen Dalam Mengelola Media).. Skripsi Prodi Ilmu

Secara garis besar, volume banjir yang terjadi akan sama dengan volume hidrograf yang memiliki debit lebih besar dari kapasitas saluran.Besarnya debit yang masuk akan ditentukan

Berdasarkan penelitian, saran yang dapat peneliti berikan yaitu sebaiknya guru menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa sehingga siswa merasa

Selain itu, kakak Ibu Ni Nyoman Bukit yaitu Luh Made Bukit juga memiliki riwayat gangguan mental dan sudah dua kali masuk-keluar RSJ Provinsi Bali sehingga terdapat kemungkinan

Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai pada domain fuzzy yang memiliki nilai keanggotaan setengah dari. jumlah total nilai