DAN STRATEGI PENGENTASANNYA
DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA
SRI TJAHJORINI SUGIHARTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul :
”PROFIL ANAK JALANAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA”
Adalah benar merupakan karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2008
SRI TJAHJORINI SUGIHARTO, 2008 : Profiles of Street the Children and Strategies for Elimination in Bandung, Bogor and the Jakarta (THE ADVISORY TEAM ARE SUMARDJO AS CHAIRMAN : MARGONO SLAMET, DJOKO SUSANTO, and DARWIS S. GANI AS MEMBERS).
The street child problem, like iceberg phenomenon of which the regional pockets, the distribution and the age of the children are increasing. Since 1997 the government of Indonesia through the Social Department and the community have been carrying out efforts to overcome the problems, but up to now the efforts have not yet achieved the expected results because of the limited informations of the problem.
This study was carried out to provide informations on the profiles of the street children and strategies for elimination in Bandung, Bogor and Jakarta. Data were collected using structured interviews, focus group discussion and direct observation. The collected data were analysed using parametric and non-parametric statistics. Population were street children, 5-21 years old. Sample in each region was consisted of 75 respondent, 50 males and 25 famales, drawn using accidental sampling technique, and 25 parents of the respondens each of the regions as a cross check.
Street child profiles in Bandung, Bogor and Jakarta were not significantly different one to each other for family background, environmental background, physical, psychological, sociological characteristics and their behaviour as well. However, significant gender differences was indicated for such variables as physical and sociological characteristics and the family background. The influence of family background on the street children behaviour, direct or indirectly, was more obvious compared to that of environmental background. The latter was indirect through sociologic characteristics of the street children particularly on the non formal education.
Strategy for elimination of the street children phenomenon could be equally applied for the whole regions, except for its approach, which can use the Indonesian language, the local dialects, or the street children group dialects. TRIDAYA, which means Human Empowering, Environmental Empowering and Activity Empowering could be employed.
SRI TJAHJORINI SUGIHARTO, 2008 : Profil Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta. KOMISI PEMBIMBING : SUMARDJO (KETUA), MARGONO SLAMET, DJOKO SUSANTO dan DARWIS S. GANI (ANGGOTA).
Permasalahan anak jalanan, merupakan fenomena gunung es yang dari waktu ke waktu, kantong-kantong wilayah, penyebaran dan selang usianya semakin meningkat. Sejak tahun 1997 pemerintah melalui Departemen Sosial serta masyarakat telah melakukan upaya pengentasan anak jalanan, namun hingga kini upaya tersebut belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan, karena keterbatasan informasi tentang permasalahan terkait.
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang profil anak jalanan dan strategi pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta. Pengumpulan data menggunakan wawancara berstruktur, Focus Group Discussition, dan pengamatan langsung. Analisis data menggunakan statistik parametrik dan non parametrik. Populasi penelitian ini adalah anak jalanan yang berusia antara 5-21 tahun. Sampel di tiap wilayah 75 orang terdiri dari 50 laki-laki dan 25 perempuan, yang diambil menggunakan teknik accidental sampling, serta 25 orang tua responden di tiap wilayah sebagai bahan cross check.
Profil anak jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta tidak berbeda nyata, baik dalam latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan tempat tinggal, ciri fisik, ciri psikologik, ciri sosiologik maupun perilakunya. Namun, terdapat perbedaan nyata antara pria dan wanita, yaitu pada peubah ciri fisik, ciri sosiologik dan latar belakang keluarganya. Pengaruh latar belakang keluarga terhadap perilaku anak jalanan, baik langsung maupun tidak langsung lebih dominan, dibandingkan dengan pengaruh latar belakang lingkungan. Lingkungan berpengaruh tidak langsung terutama melalui ciri sosiologik anak jalanan khususnya pada pendidikan non formal.
Strategi pengentasan anak jalanan dapat diberlakukan cenderung sama baik di Bogor, Bandung dan Jakarta, kecuali dalam pendekatan, selain menggunakan bahasa Indonesia juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah setempat, dan bahasa kelompok anak jalanan, dengan menggunakan pendekatan TRIDAYA : Pemberdayaan Manusia, Pemberdayaan Lingkungan dan Pemberdayaan Kegiatan.
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2008. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB
DAN STRATEGI PENGENTASANNYA
DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA
SRI TJAHJORINI SUGIHARTO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Suprihatin Guharsa. MSi
(Staf Pengajar pada Departemen Giji Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. H. Pang S. Asngari
(Staf Pengajar Departemen Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Fakultas Ekologi Manusia IPB) 2. Dr. Makmur Sunusi
Nama Mahasiswa : Sri Tjahjorini Sugiharto. Nomor Pokok : P 061030 111
Program Mayor : Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
_________________ ________________________________ Dr. Ir. H. Sumardjo, MS Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, MSc
Ketua Anggota
_____________________________________ ___________________________ Prof.(Ris). Dr. Ig. Djoko Susanto,SKM,APU Prof. Dr. H. Darwis S. Gani, MA
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan Institut Pertanian Bogor
______________________ ______________________________________
Dr. Ir. Hj. Siti Amanah,MSc Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro,MS
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT, karena atas berkah
dan ridhoNya penulis dapat menyusun disertasi yang berjudul : ”Profil Anak
Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta.” Disertasi
ini disusun untuk memenuhi syarat bagi pencapaian gelar Doktor pada Program
Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Profil anak jalanan menjadi perhatian penulis, sesuai dengan bidang tugas
penulis sebagai salah satu pegawai di jajaran Departemen Sosial yang berupaya
melakukan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) bagi para Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS). Termasuk di dalamnya permasalahan yang terkait
dengan anak, salah satunya masalah anak jalanan. Meski penulis tidak terlibat
secara langsung dalam memberikan pelayanan kepada penyandang masalah
(direct services), karena penulis berkiprah di jajaran Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Kesejahteraan Sosial, namun perkembangan masalah sosial yang ada di
masyarakat tetap menjadi perhatian penulis. Termasuk di dalamnya permasalahan
sosial anak jalanan yang merupakan fenomena gunung es.
Dalam hal ini hasil penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat
menjadi masukan dan solusi bagi para pengambil kebijakan juga bagi masyarakat
(indirect services) yang peduli terhadap permasalahan anak jalanan, untuk dapat
melakukan upaya pengentasan dengan menggunakan strategi dan cara-cara yang
efektif secara konseptual dan empirik.
Sekaligus dengan hasil penelitian dapat diketahui sejauhmana pengaruh
latar belakang keluarga dan latar belakang lingkungan bagi seorang anak pada
masa pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini penting mengingat pada
akhir-akhir ini lembaga keluarga semakin rapuh dan fungsi-fungsinya semakin tidak
dapat dijalankan dengan baik dan seimbang. Demikian pula lembaga masyarakat
Prof. Dr. H. R. Margono Slamet, MSc ; Bapak Prof. (Ris). Dr. Ig. Djoko
Susanto, SKM, APU dan Prof. Dr. H. Darwis S. Gani, MA, masing-masing
selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah membimbing, mendorong
serta memberi masukan sehingga disertasi ini dapat terwujud.
(2) Ibu Dr. Hj. Suprihatin Guharsa, MSi sebagai Penguji pada Ujian Tertutup,
Bapak Prof. Dr. H. Pang S. Asngari dan Dr. Makmur Sanusi sebagai Penguji
pada Ujian Terbuka.
(3) Dinas Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta, Kepala Dinas
Sosial Propinsi Jawa Barat, serta kepada rekan-rakan satu angkatan yang telah
berjuang bersama, saling dorong, saling bantu dalam susah dan senang.
(4) Pimpinan di jajaran Departemen Sosial khususnya di lingkungan Badan
Pendidikan dan Penelitian serta Kapusdiklat Kesejahteraan Sosial yang telah
memberikan peluang dan kesempatan untuk mengikuti program Strata Tiga.
(5) Pada keluarga terutama Ibu Hj. Sugiarti dan Bapak Gofir Suharto (almarhum)
dan suami Drs. Budi Martono, MSi serta anggota keluarga lainnya.
(6) Pihak-pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan di sini, tetapi telah memberi
andil dalam proses pencapaian gelar Doktor yang saya peroleh.
Pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang
sempurna tanpa kesalahan, tak ada sesuatu yang baik tanpa kekurangan.
Karenanya, untuk kekurangan yang ada dalam Disertasi ini, penulis mengharap
kiranya berkenan memberikan saran konstruksif untuk perbaikan. Akhirnya,
semoga disertasi ini bermanfaat dan Alloh SWT ridho dengan hal-hal yang telah
kita lakukan dan hasilkan bagi kebaikan kita bersama di masa-masa yang akan
datang. Amin.
Bogor, Januari 2008
Penulis
Penulis lahir di Bandung pada tanggal 12 Agustus 1967 sebagai anak ke
tiga dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Gofir Suharto (almarhum) seorang
purnawirawan Perwira ABRI dan Ibu Hj. Sugiarti seorang Bidan di Kota
Kembang Bandung.
Jenjang pendidikan yang penulis ikuti hingga program Strata Satu secara
keseluruhan dilaksanakan di Bandung, yaitu SD Negeri Sukaraja I, SMP
Angkasa, SMAN 2 dan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung lulus tahun
1991. Pada tahun 1999 penulis mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan
ke jenjang Strata Dua di Insitut Pertanian Bogor lulus tahun 2001. Pada tahun
2003 penulis kembali mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang Strata Tiga di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan yang sama Ilmu
Penyuluhan Pembangunan, setelah tiga bulan sebelumnya penulis diangkat
sebagai Pejabat Fungsional Widyaiswara Muda. Selama mengikuti pendidikan
dari pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan Strata Tiga, meski tidak pernah
mendapat posisi nomor satu tetapi posisi lima besar selalu diraih penulis.
Setelah penulis lulus dari Strata Satu, pada tahun 1992 penulis bekerja di
swasta sebagai Cost Accounting. Pada tahun 1993 penulis diterima sebagai Calon
Pegawai Negeri Sipil dengan penempatan pertama di Pusat Rehabilitasi Sosial
Bina Grahita ’KARTINI’ Temanggung Jawa Tengah. Tahun 1996 penulis pindah
tugas ke Balai Diklat Profesi Pekerjaan Sosial Lembang Bandung Jawa Barat.
Pada tahun 2002 penulis pindah tugas ke Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Kesejahteraan Sosial Jakarta dan saat ini menjabat sebagai Widyaiswara Madya,
setelah menjalani kenaikan pangkat pada Bulan April 2007.
Diklat yang pernah diikuti penulis di antaranya Diklat : Metodologi
Pembelajaran, Metodologi Penelitian, Diklat Penyegaran Fasilitator Tenaga
Kesejahteran Sosial Masyarakat (TKSM), TOT Pelatihan Keahlian Pekerjaan
Pengalaman mengajar penulis di Balai Diklat Profesi Pekerjaan Sosial
Lembang Bandung, Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, Dinas Sosial Propinsi DKI,
Pusdiklat Departemen Dalam Negeri Jakarta, Pusdiklat Tenaga Kesejahteraan
Sosial Masyarakat dan Pusdiklat Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial.
Beberapa karya tulis yang telah dihasilkan penulis, diantaranya : Uji
Coba Model Pengembangan Profesionalisme Pelayanan Sosial di Panti Sosial
Percontohan, Kajian tentang Eksistensi Pekerja Sosial Pasca Otonomi Daerah,
Kajian tentang Pekerja Sosial Koreksional, Kajian tentang Kurikulum Diklat Bagi
Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kajian tentang Evaluasi
Kinerja Alumni Diklat dan Kajian tentang Pelatihan Keahlian Pekerjaan Sosial.
Karya tulis penulis yang sudah dipublikasikan, diantaranya : Komunikasi
dan Perubahan Sosial (Studi Kasus pada Suku Baduy Dalam), Istilah Penyuluhan
dan Implikasinya pada Penyuluhan Sosisl bagi Komunitas Adat Terpencil,
Komunikasi dalam Seminar, Teori Komunikasi dan Perubahan Sosial sebagai
Strategi perubahan Perilaku Anak jalanan, Masalah kemiskinan : Keluarga Miskin
dan Dampaknya pada Pekerja Anak dan Anak Jalanan, komunikasi yang Efektif
Sehingga Tidak Terputus, Pengukuran Hasil Belajar, Penyuluhan dan
Implikasinya pada Penyuluhan Sosial, Struktur dan Organisasi Masyarakat
Tihingan : Sebuah Desa di Bali, Persepsi Anak Jalanan terhadap Bimbingan
Sosial pada Rumah Singgah di Bandung, Implementasi teori motivasi dalam
pendidikan di lembaga diklat, dan lain-lain.
Penulis juga sebagai Anggota Tim Penyusun Pedoman dan Modul di
Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, Direktorat Pemberdayaan Keluarga,
Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Lingkungan Departemen
Sosial. Di samping Anggota Tim Penyusun Modul Diklat tentang Kesejahteraan
Sosial di Departemen Dalam Negeri Jakarta.
Bogor, Januari 2008
Penulis
Halaman Tujuan Penelitian ...……….. Manfaat Penelitian ……….……….….
TINJAUAN PUSTAKA ……… Tinjauan tentang Anak Jalanan ……… Pengertian tentang Anak dan Anak Jalanan ..……….………. Batasan Usia Anak Jalanan ……….. Penyebab Munculnya Anak Jalanan ….……… Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan ……….. Pola Hubungan Sosial Anak Jalanan ……… Sub Kultur Anak Jalanan ………..……….….. Kreativitas dan Kemandirian Anak Jalanan ………. Kebutuhan Anak Jalanan ………. Motivasi Anak Jalanan ………. Kelompok Anak Jalanan ……….. Perilaku Anak Jalanan ... Tinjauan tentang Keluarga ………... Tinjauan tentang Lingkungan ……….. Lingkungan atau Situasi Sosial Anak Jalanan ………. Tinjauan tentang Pemberdayaan ... Jenis Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak ... Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Anak Jalanan ...
KERANGKA BERPIKIR ... Kerangka Berpikir ………
Lokasi dan Waktu Penelitian …….………. Sampel Penelitian ……….. Pengumpulan Data ……… Validitas dan Reliabilitas ……….. Alat Analisis ………. Definisi Operasional dan Pengukuran ...
HASIL DAN PEMBAHASAN ... Profil Anak Jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta ... Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan ... Strategi Pengentasan Anak Jalanan ...
KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan ... Saran ...
73 73 75 76 76 78
94 94 123 134
164 165 166
Halaman
Ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan………...
Perilaku Sosial Anak yang Hidup di Jalanan dan Anak yang Bekerja di Jalanan ………..………...
Model Holistik-Komperhensif Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak ...
Identifikasi Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan …………...
Identifikasi Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan ...
Identifikasi Ciri Anak Jalanan ………...
Identifikasi Perilaku Anak Jalanan ………...
Jumlah Responden Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Kelamin ...
Jumlah Responden Orang Tua Anak Jalanan ………..…...
Definisi Operasional dan Pengukuran ...
Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian ...
Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan ...
Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian ...
Sebaran Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...
Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian ...
Sebaran Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...
18.
Sebaran Ciri Fisik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...
Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Psikologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian ...
Sebaran Ciri Psikologik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...
Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian ...
Sebaran Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...
Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Indikator Sub Peubah Perilaku Normal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian
Sebaran Perilaku Normal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...
Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Indikator Sub Peubah Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian ...
Sebaran Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...
Hasil Uji Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan..
Nilai Koefisien Regresi Berganda Peubah Bebas (X) yang Berpengartuh pada Perilaku Anak Jalanan ...
Hasil Uji SEM Nilai Pengaruh dan Hubungan Sub Peubah Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkungan, Ciri Fisik, Ciri Psikologik, Ciri Sosiologik Terhadap Perilaku Anak Jalanan ...
Penjabaran Tahapan ”Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan”...
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Anak Jalanan Dalam Situasi Sosial dan Pola Sosial ...……...
Anak Dalam Lingkungan Sosial………..………...
Profil Anak Jalanan (Anjal) dan Kaitannya dengan Beberapa Peubah .
Profil Anak Jalanan dan Kaitannya dengan Beberapa Peubah ……....
Model Hipotesis kesatu ...
Model Hipotesis kedua ………...…....
Model Analisis Jalur ...
Model Efektif Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan ...
Hasil Uji Structural Equation Model dari Profil Anak Jalanan ...
Hasil Uji Structural Equation Model Pengaruh Indikator Sub Peubah Pelaksanaan Fungsi Keluarga...
”Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan” ... 41
41
64
65
70
70
77
125
135
142
Halaman 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian ...
Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan ……….
Hasil Uji Structural Equation Model Profil Anak Jalanan ...
Hasil Uji Structural Equation Model Pelaksanaan Fungsi Keluarga Anak Jalanan …………...
Data Anak Jalanan Jawa Barat Tahun 2006 ...
Rekapitulasi Data Anak Terlantar Jawa Barat Tahun 2006 ...
Gambar Profil Anak Jalanan, Keluarga dan Lingkungannya ………...
Gambar Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan ………...
Gambar Pembinaan yang Dilakukan Pada Anak Jalanan …………... 174
176
178
190
194
195
196
197
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Akibat terjadinya bencana alam kekeringan serta krisis ekonomi yang
berkepanjangan pada akhir tahun 1997 permasalahan anak jalanan makin mencuat
kepermukaan. Hasil penelitian menunjukkan permasalahan anak jalanan
diakibatkan oleh adanya : ketidakserasian keluarga (33 persen), kekerasan dalam
keluarga (23 persen) dan kemiskinan atau ketidakmampuan keluarga (98 persen),
yang seringkali juga bersifat ganda (Tjahjorini, 2001). Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Sulistiati (2001) yang mengemukakan alasan anak berada di jalan
antara lain karena kemiskinan (membantu orang tua), broken home, tidak betah di
rumah/di sekolah dan ingin bebas di jalan serta budaya malas. Kedua hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa penyebab utama dari turunnya anak ke jalan
adalah kemiskinan atau ketidakmampuan keluarga. Akibat lebih lanjut dari
kondisi ini, orang tua melibatkan anak dalam upayanya mencukupi kebutuhan
keluarga.
Bila dikaji lebih jauh upaya penghapusan kemiskinan sesungguhnya
sudah merupakan komitmen dunia yang tertuang dalam Konferensi Tingkat
Tinggi Pembangunan Sosial di Kopenhagen 1995 yang menegaskan bahwa
pembangunan Bidang Sosial dilaksanakan sejalan dengan pembangunan bidang
lainnya. Tiga butir penting KTT Kopenhagen, yaitu : (1) Pengentasan kemiskinan,
(2) Perluasan lapangan kerja, dan (3) Integrasi sosial. Komitmen dunia lainnya
terkait dengan upaya penghapusan kemiskinan tertuang dalam Millenium
Development Goal yang ditandatangai oleh 189 negara di Geneva tahun 2000 dan
diperkirakan akan tercapai pada tahun 2015. Delapan butir yang disepakati untuk
dilakasanakan oleh negara yang turut serta menandatangani, termasuk Indonesia,
yaitu : (1) Penghapusan kemiskinan, (2) Pendidikan untuk semua, (3) Persamaan
gender, (4) Perlawanan terhadap penyakit, (5) Penurunan angka kematian anak,
(6) Peningkatan kesehatan ibu, (7) Pelestarian lingkungan hidup, (8) Kerjasama
Berdasarkan kenyataan di lapangan serta komitmen global di atas, upaya
penghapusan kemiskinan menjadi prioritas utama yang fatal dan vital untuk
sesegera mungkin dilaksanakan. Hal ini terkait dengan kondisi empirik bahwa
permasalahan sosial yang muncul seringkali bersumber pada masalah kemiskinan
atau ketidakmampuan keluarga, termasuk permasalahan sosial anak jalanan.
Berdasarkan hasil survei dan pemetaan sosial anak jalanan pada tahun
1999 yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial dengan
dukungan Asia Development Bank, jumlah anak jalanan adalah 39.861 orang,
yang tersebar di 12 kota besar. Pada tahun 2004, menurut Pusat Data dan
Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, jumlah anak jalanan sebesar
98.113 orang, yang tersebar di 30 provinsi. Khusus di wilayah Bandung kurang
lebih berjumlah 5.500 anak jalanan (Data Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat,
2006) ; di wilayah Bogor 3.023 orang (Data Dinas Sosial Pemda Bogor, 2006) ;
dan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta kurang lebih berjumlah 8.000 orang (Data
Dinas Sosial DKI Jakarta, 2006). .
Sangat boleh jadi keadaan nyata di lapangan jumlah anak jalanan jauh
lebih besar dari jumlah di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan
anak jalanan merupakan fenomena gunung es, yang dari tahun ke tahun terjadi
peningkatan baik dalam jumlah maupun wilayah penyebarannya. Disisi lain
masalah anak jalanan, merupakan patologi sosial yang mempengaruhi behavior
anak, dengan pola dan sub kultur yang berkembang di jalanan sebagai daya tarik
bagi anak yang masih tinggal di rumah tetapi rentan menjadi anak jalanan, untuk
turun ke jalanan. Kecenderungannya bila tidak ada upaya mengatasi bukan hanya
sekedar turun, tetapi lambat laun bekerja dan hidup di jalan menyatu dengan anak
jalanan lain.
Masalah sosial anak jalanan terkait pula dengan ketidakmampuan anak
memperoleh haknya. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Pasal 23 (1) yang mengamanatkan bahwa negara dan
pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang
untuk melakukan perlindungan anak melalui penanganan kasus anak yang
memerlukan perlindungan khusus. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa
perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak menjadi salah satu kewajiban
negara dan pemerintah untuk memujudkannya.
Hal tersebut dipertegas pada Pasal 59 Tahun 2002 yang mengamanatkan
bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan khusus kapada anak dalam situasi darurat,
anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan
dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang
menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Terkait dengan permasalahan sosial anak jalanan, Pemerintah dalam hal
ini Departemen Sosial telah melakukan upaya penanganan melalui kerjasama
dengan : Pesantren yang menitipkan beberapa anak jalanan (maksimal 10 orang di
pesantren-pesantren) dan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan
didirikannya rumah singgah-rumah singgah yang melakukan pembinaan pada
anak-anak jalanan serta Mobil Sahabat Anak (MSA).
Di sisi lain Pemerintah Daerah sudah melakukan upaya-upaya penertiban
pula. Seperti yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta berdasarkan Peraturan
Daerah (PERDA) DKI Jakarta Nomor 3 tahun 1972 yang bertujuan menegakkan
keamanan dan ketertiban di tempat-tempat umum, melakukan penggarukan dan
penertiban terhadap permasalahan sosial termasuk anak jalanan dari
tempat umum. Pada kenyataannya anak jalanan justru menggunakan
tempat-tempat umum sebagai lokasi kegiatannya, sehingga anak jalanan menjadi sorotan
dan dipermasalahkan bahkan dianggap sebagai pelanggaran. Demikian pula yang
terjadi di daerah lain dengan PERDA wilayahnya, seringkali terjadi hal yang
sifatnya dilematis.
Meski upaya telah dilakukan pemerintah, namun hingga kini upaya-upaya
belum dapat terentaskan dari jalanan. Demikian pula rumah perlindungan anak
yang tersedia baru satu milik Departemen Sosial yakni di Bambu Apus, Cipayung,
Jakarta Timur. Seperti disinyalir oleh Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan
Anak yang mendesak pemerintah daerah untuk menyediakan rumah perlindungan
bagi anak yang terlantar (Warta Kota, 22 November 2005).
Terkait dengan kondisi di atas serta keterbatasan pemerintah dan luasnya
permasalahan, upaya memahami dan mengatasi anak jalanan perlu melibatkan
seluruh komponen masyarakat sebagai bagian dari sistem. Masyarakat dalam hal
ini dipandang sebagai suatu sistem sosial yang secara fungsional terintegrasi
dalam suatu bentuk equilibrium. Upaya masyarakat mencapai Equilibrium hanya
mungkin terjadi apabila ada konsensus di antara para anggota masyarakat untuk
bersama-sama mengupayakannya.
Hal di atas terkait dengan pernyataan Irwanto (1999) bahwa ”pemahaman
terhadap situasi anak jalanan saja tidak akan memberikan jalan keluar yang efektif
untuk mengatasi permasalahan anak jalanan. Agar sebuah intervensi efektif, maka
diperlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai masyarakat dan
keluarga-keluarga anak jalanan. Pemahaman makro (struktural) dan mikro (dinamika
keluarga) sangat dibutuhkan”. Intervensi efektif seyogyanya dilakukan dengan
melihat situasi dan kondisi di luar sistem terkait dengan (extra systemic system)
atau pemahaman secara makro dan di dalam sistem (intra sytemic system) atau
pemahaman secara mikro sebagai suatu kesatuan.
Diharapkan dengan hal di atas, model pendekatan yang di tawarkan guna
terjadinya perubahan perilaku ke arah yang dikehendaki pada diri anak jalanan,
dapat berjalan secara efektif dan efisien. Hal ini senada dengan yang dikemukakan
oleh Hurlock (1979) bahwa “sikap seseorang tidak hanya ditentukan oleh pribadi
orang yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan,
artinya sikap orang-orang di sekelilingnya terhadap diri orang yang
bersangkutan.”
Dalam hal ini perubahan perilaku anak jalanan tidak dapat terjadi bila
dapat muncul, manakala masyarakat tidak memahami profil anak jalanan dan
strategi pengentasannya yang efektif dan efisien.
Terkait dengan hal di atas diperlukan pemahaman lebih mendasar tentang
profil anak jalanan secara akurat. Kejelasan, kecermatan dan kebenaran penyajian
data tentang profil anak jalanan tersebut merupakan informasi dasar untuk
merencanakan suatu pendekatan. Termasuk pendekatan penyuluhan sebagai salah
satu strategi upaya pengentasan. Sekaligus menunjang keefektifan pelaksanaan
penanggulangan bagi pemerintah dan masyarakat yang terpanggil dan memiliki
kepedulian terhadap permasalahan anak jalanan.
Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, dapat dirumuskan masalah
pokok penelitian ini yaitu “Bagaimana Profil Anak Jalanan dan Strategi
Pengetasannya di Bandung, Bogor, dan Jakarta.” Adapun masalah khusus
penelitian, adalah :
(1) Bagaimana perbedaan profil anak jalanan dilihat dari daerah penelitian
(Bandung, Bogor, dan Jakarta) dan jenis kelamin terkait dengan peubah Latar
Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkungan, Ciri Fisik, Ciri Psikologik,
Ciri Sosiologik, dan Perilaku Anak Jalanan.
(2) Seberapa besar Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkungan, Ciri
Fisik, Ciri Psikologik, Ciri Sosiologik berpengaruh terhadap Perilaku Anak
Jalanan.
(3) Bagaimana strategi pengentasan anak jalanan berdasarkan hasil penelitian.
Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan masalah yang telah dikemukakan, maka secara umum
penelitian ini bertujuan menemukan profil anak jalanan khususnya di Bandung,
Bogor dan Jakarta, yang dapat memberikan “gambaran kecenderungan” kondisi
anak jalanan di Indonesia. Diharapkan dengan diketahuinya profil anak jalanan
secara jelas dan akurat, upaya penanggulangan dapat dilakukan oleh pemerintah
dan masyarakat yang berminat menangani dengan lebih terbuka, termasuk
hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan penyuluhan. Secara lebih rinci
tujuan khusus yang ingin dicapai adalah :
(1) Mengidentifikasi profil anak jalanan di tiga tempat yang berbeda (Bandung,
Bogor, dan Jakarta) dan perbedaan jenis kelamin dalam kaitannya dengan
penyebab, kondisi kini dan dampaknya bagi perilaku mereka.
(2) Mengkaji pengaruh latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan, ciri
fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik terhadap perilaku anak jalanan.
(3) Merumuskan unsur-unsur penting yang dapat digunakan untuk membangun
strategi pengentasan anak jalanan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu
penge-tahuan, dan bagi para praktisi yang berkecimpung dalam upaya mengatasi
permasalahan sosial, khususnya yang terkait dengan anak jalanan. Lebih khusus
diharapkan bermanfaat bagi :
(1) Pemerintah dan Pihak Terkait.
(a) Sebagai bahan pertimbangan penyusunan kebijakan dalam upaya
mening-katkan pelayanan dan pengaturan untuk mengembangkan kualitas perilaku
sumber daya anak jalanan.
(b) Memberikan kejelasan kepada pihak-pihak terkait untuk mengambil sikap
serta menentukan pilihan dan bertindak sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki, untuk berpartisipasi mengembangkan kualitas sumber daya anak
jalanan sesuai tuntutan pembangunan.
(c) Sebagai bahan acuan bagi petugas sosial yang bergerak dalam upaya
mengatasi masalah anak jalanan.
(2) Lembaga Swadaya Masyarakat.
Sebagai bahan acuan/pertimbangan bagi pendamping/petugas sosial dalam
upaya meningkatkan pelayanan dan mengatasi masalah anak jalanan.
(3) Perguruan Tinggi.
(a) Memberi sumbangan teoritis berupa tambahan khasanah keilmuan di
sistem, teori konflik maupun teori pertukaran dalam kelompok kecil anak
jalanan.
(b) Sebagai bahan pembanding bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya dalam mengembangkan perilaku sumber daya manusia anak
jalanan selaku subyek dalam pembangunan sektor sosial.
(c) Mendorong peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan yang terkait
TINJAUAN PUSTAKA
Upaya pengentasan masalah sosial anak jalanan tidak dapat dilakukan
hanya oleh pemerintah tanpa melibatkan peran serta masyarakat beserta
penyandang masalah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan pada dasarnya
masyarakat terintegrasi atas dasar kata sepakat dari para anggotanya akan
nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai suatu
sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium,
yang dikenal dengan teori struktural fungsional.
Menurut Berghe (Demerath, 1967), anggapan dasar dari teori fungsional
struktural adalah sebagai berikut :
(1) Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
(2) Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi antar bagian bersifat
ganda dan timbal balik.
(3) Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun
secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah
equilibrium yang bersifat dinamis ; menanggapi perubahan-perubahan yang
datang dari luar dengan kecenderungan mempertahankan agar
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem beserta akibatnya hanya akan
mencapai derajat yang minimal.
(4) Sekalipun disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senantiasa terjadi, akan
tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan
teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses
institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada
tingkatnya yang sempurna tidak pernah tercapai, tetapi setiap sistem sosial
akan senantiasa berproses ke arah tersebut.
(5) Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara
gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.
mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang
menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.
(6) Pada dasarnya, perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam
kemungkinan : penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut
terhadap perubahan yang datang dari luar (extra systemic change) ;
pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional ; serta
penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
(7) Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem
sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai
nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Di dalam setiap masyarakat, selalu terdapat
tujuan dan prinsip dasar, yang menjadi sistem nilai. Sistem nilai tersebut tidak
saja merupakan sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial,
akan tetapi sekaligus juga merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosial
budaya iu sendiri.
Hal di atas terkait dengan Teori Fungsional dari Parsons (Johnson, 1988;
Ritzer, et al, 2004) yang memuat empat fungsi yang diperlukan bagi kehidupan
semua sistem yang dikenal sebagai skema A G I L, yaitu :
“(A) adaptation, sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengakses lingkungan untuk dapat memenuhi kebutuhannya, (G) goal attaiment, atau pencapaian tujuan : sebuah sistem harus mendefenisikan dan mencapai tujuan utamanya, (I) integration, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem harus juga mengelola hubungan antara ketiga fungsi AGIL lainnya, (L), latensi, atau pemeliharaan pola : sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.”
Upaya masyarakat mencapai Equilibrium hanya mungkin terjadi apabila
ada konsensus di antara para anggota masyarakat untuk bersama-sama
menanggulangi dan mengupayakannya. Termasuk adanya konsensus anggota
Terkait dengan anggapan dasar teori struktural fungsional dan skema
AGIL di atas, keberadaan anak di jalanan menunjukkan adanya ketegangan,
penyimpangan, konflik dan disfungsi dari sub sistem yang ada di dalam
masyarakat. Dalam hal ini anggapan dasar teori konflik yang terkait dengan
perubahan sosial yang terjadi akibat faktor-faktor yang ada di dalam sistem sosial
(intra systemic change) (Dahrendorf, 1959) adalah sebagai berikut :
(1) Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak
pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan
gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
(2) Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan
perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap
masyarakat.
(3) Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi
terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial.
(4) Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah
orang atas sejumlah orang yang lain.
Berdasarkan anggapan dasar dari teori konflik di atas, kemunculan kasus
anak jalanan salah satunya juga disebabkan oleh adanya konflik, baik dalam diri
anak, keluarga, maupun lingkungan, sehingga memicu anak untuk turun ke jalan.
Konflik juga disebabkan adanya “penguasaan” orang tertentu yang kemudian
mengeksploitir tenaga anak untuk kepentingannya, dengan akibat lebih lanjut
muncul masalah-masalah sosial dalam masyarakat.
Masalah sosial (Kartono, 1992 ; Poplin 1978) adalah : (1) semua bentuk
tingkah laku yang melanggar atau memperkosa, mengancam ketenangan/
ketentraman masyarakat dan adat istiadat (dan adat istiadat tersebut diperlukan
untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama), (2) situasi sosial yang dianggap
oleh sebagian besar warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki,
berbahaya dan merugikan orang banyak. Boguslaw, et al (1977) dan Vembriarto
(1981) menjelaskan masalah sosial adalah suatu kondisi obyektif atau proses di
dalam masyarakat, yang dipandang oleh beberapa anggota masyarakat dari suatu
Akibat adanya kontak sosial dengan lingkungan, masalah sosial ini
kemudian berkembang menjadi patologi sosial. Vembriarto (1981) dan Asyari
(2000) mengartikan patologi sosial sebagai penyakit-penyakit masyarakat atau
keadaan abnormal pada suatu masyarakat. Kartono (1992) mengartikan patologi
sosial sebagai ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap ”sakit”, disebabkan
oleh faktor-faktor sosial.
Dalam hal ini patologi sosial muncul akibat adanya masalah sosial yang
mengenai individu sebagai anggota masyarakat. Akan tetapi karena keberadaan
individu sebagai anggota masyarakat tidak dapat dipisahkan dari interaksinya
dengan lingkungan sekitarnya, maka tingkah laku sosial yang salah tersebut
mempengaruhi nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat karena adanya saling
keterkaitan satu sama lain.
Tinjauan tentang Anak Jalanan
Pengertian Anak dan Anak Jalanan
Anak bukanlah manusia dalam bentuk mini. Anak adalah anak, mereka
bukan orang dewasa dalam bentuk mini ; mereka mempunyai pikiran, perasaan,
sikap dan minat yang berbeda dengan orang dewasa. Anak harus dianggap dan
diperlakukan sebagai anak. Selain itu setiap anak adalah unik, yang berbeda satu
dengan lainnya (Goode, 1985).
Pengertian di atas memperlihatkan bahwa setiap anak, selain ia sebagai
mahluk sosial yang keberadaannya terkait dengan lingkungannya, ia juga adalah
mahluk individual yang berbeda antara satu dengan yang lain. Akibatnya,
manakala orang dewasa akan berinteraksi dengan seorang anak, ia harus
memahami kondisi yang menyertainya.
Demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan, selain ia mahluk sosial,
ia juga adalah mahluk pribadi yang unik dan berbeda dari anak yang lain. Anak
jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari
nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Departemen
Lusk dalam Journal of Sociology & Social Welfare (Departemen Sosial,
1999) mengemukakan anak jalanan adalah ”. . . setiap anak perempuan atau
laki-laki . . . yang memanfaatkan jalanan, tempat umum, tempat kosong sebagai
tempat tinggal sementara dan atau sumber kehidupan, tidak mendapat
perlindungan, pendampingan ataupun penataan/pengaturan oleh orang dewasa
yang bertanggung jawab.”
Lebih lanjut Lusk mengemukan anak jalanan terbagi ke dalam tiga
kategori : anak yang mempunyai resiko tinggi, anak yang bekerja di jalan dan
anak yang hidup di jalan :
(1) Anak yang mempunyai resiko tinggi (chidren-at-high-risk) adalah anak yang
mempunyai resiko tinggi untuk menjadi anak jalanan. Mereka belum menjadi
anak jalanan murni, tetapi masih tinggal dengan orang tuanya. Kerentanan ini
bisa dilihat dari kondisi ekonomi orang tuanya yang rentan, sehingga suatu
saat bisa menjadi anak jalanan. Anak-anak seperti ini hidup di lingkungan
kemiskinan absolut atau daerah slum.
(2) Anak yang bekerja di jalan (children on the street) yaitu mereka yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau tempat-tempat umum
lainnya untuk bekerja, yang penghasilannya digunakan untuk membantu
keluarganya. Anak-anak tersebut mempunyai kegiatan ekonomi (sebagai
pekerja anak) di jalan dan masih berhubungan kuat dengan orang tua mereka.
Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya.
(3) Anak-anak yang hidup di jalan (children of the street) adalah mereka yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau di tempat-tempat
umum lainnya, tetapi hanya sedikit waktu yang digunakan untuk bekerja.
Mereka jarang berhubungan dengan keluarganya. Beberapa di antara mereka
tidak memiliki rumah tinggal (homeless), mereka hidup di sembarang tempat.
Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, lari atau
pergi dari rumah. Anak-anak ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik
secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.
Yohanes (1996) mengemukakan bahwa anak jalanan adalah anak yang
terdiri dari anak-anak yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga atau
terputus hubungannya dengan keluarga dan anak-anak yang hidup mandiri sejak
kecil karena kehilangan orang tua atau keluarga. Menurut UNICEF, anak jalanan
adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk
bekerja atau beraktivitas lain. Mereka tinggal di jalanan karena tercampakkan atau
dicampakkan oleh keluarga-keluarga yang tidak mampu menanggung beban
hidup, terdesak oleh kemiskinan dan kehancuran keluarga.
Pengertian tersebut memperlihatkan adanya gangguan terhadap fungsi
sosial (Social Functioning) anak. Konsep social functioning ini mengacu pada
situasi dan relasi anak-anak yang melahirkan tugas atau peranan tertentu. Dalam
hal ini seorang anak diharapkan berada dalam lingkungan rumah, sekolah, dan
lingkungan bermain, yang di dalamya berelasi dengan orang-orang dalam situasi
tersebut dan mempunyai peranan tertentu seperti belajar, mematuhi orang tua,
bermain, dan lain-lain. Akibatnya, keberadaan anak bekerja mencari nafkah atau
berkeliaran di jalanan jelas suatu kondisi yang tidak sesuai dengan social
functioning anak secara umum. Indikator yang jelas dari fungsi sosial ini adalah
kemampuan mengatur diri sendiri, kemampuan berhubungan dengan orang lain,
dan mengendalikan kesulitan. Dari sudut pandang ini, terlihat bahwa anak jalanan
bermasalah karena ada beberapa situasi, relasi dan peranan anak yang tidak dapat
dilakukan olehnya.
Penyimpangan lain terlihat dari adanya beberapa hak anak yang tidak
terpenuhi, di antaranya : hak akan pelayanan kesehatan, kehidupan yang standar
seperti makanan, air bersih, dan tempat untuk hidup, pendidikan, bermain dan
waktu luang, mempelajari kebudayaan, terlindung dari eksploitasi seks, terbebas
dari penggunaan dan peredaran obat bius, mendapat perlindungan hukum, bebas
berekspresi dan memperoleh informasi, bimbingan untuk memainkan peranan
pada masyarakat sesuai dengan tingkat usia dan kematangannya (Departemen
Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).
Penyimpangan-penyimpangan tersebut menjadi lebih berbahaya bagi
proses tumbuh kembang anak karena di jalanan mereka menghadapi berbagai
lalu lintas, ditangkap polisi, korban kejahatan dan penggunaan obat, konflik
dengan anak-anak lainnya, terlibat pelanggaran hukum baik sengaja maupun tidak
(Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).
Meski demikian, ada beberapa anak yang mampu menyerap kehidupan
positif jalanan, seperti pandai membaca peluang, tahan kerja keras karena terbiasa
panas dan hujan, mempunyai solidaritas yang tinggi sesama teman, belajar
bekerja, menempa kesabaran, mudah belajar membuat sesuatu (ketrampilan)
bersikap terbuka dan percaya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan
Anak Indonesia, 1999). Hasil pengamatan, banyak orang yang sekarang ini
sukses, di masa kecilnya lebih banyak di jalanan. Pada beberapa bagian kehidupan
di jalanan juga menyediakan kegiatan usaha bagi anak seperti pedagang atau
pengemudi kendaraan.
Kecenderungan yang terdapat pada anak jalanan, mereka memiliki ciri
fisik dan psikis yang berbeda dengan anak-anak lain pada umunya (Departemen
Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999), ciri tersebut disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan
Bersifat Fisik Bersifat Psikis
Warna kulit kusam Mobilitas tinggi Rambut kemerah-merahan Acuh tak acuh Kebanyakan berbadan kurus Penuh curiga Pakaian tidak terurus Berwatak keras
Kreatif
Semangat hidup tinggi
Berani menanggung resiko
Mandiri
Interaksi terbatas
Memunculkan istilah sendiri
Mengembangkan jaringan antar anak jalanan Sumber : Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999).
Penjelasan tentang anak jalanan yang terkait dengan keberadaannya di
jalanan, selain ada dampak negatif yang ditimbulkannya, juga ada dampat positif
yang bisa diperoleh anak dalam masa perkembangannya. Hal ini menjadi
pengalaman berharga bagi tumbuh kembang anak selanjutnya, sekaligus menjadi
Batasan Usia Anak Jalanan
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979, tentang
Kesejahteraan Anak, yang dimaksud dengan “anak adalah seseorang yang belum
mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin”. Faktor usia anak dalam
masalah anak jalanan berkisar antara 6-18 tahun. Rentang usia ini dianggap rawan
karena mereka belum mampu berdiri sendiri, labil, mudah terpengaruh, dan belum
mempunyai bekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup untuk hidup di
jalanan, yang berarti masih membutuhkan pendampingan dari orang lain
(Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).
Di jalanan terdapat anak-anak berusia di bawah 5 tahun, tetapi mereka
biasanya dibawa oleh orang tua atau disewakan untuk mengemis. Memasuki usia
6 tahun biasanya dilepas atau mengikuti temannya yang lebih besar, sedangkan
anak yang berusia 18-21 tahun dianggap pandai bekerja dan mengontrak rumah
sendiri maupun bersama teman-temannya. Meskipun demikian ada beberapa
rentang usia yang berbeda yang disesuaikan dengan kepentingan analisis masalah
atau program (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia,
1999).
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa dalam menentukan batasan usia
anak jalanan, seringkali masih dipengaruhi oleh tujuan analisis masalah atau
tujuan program. Akibatnya antara satu program dengan program lainnya
seringkali berbeda. Namun demikian, dalam penelitian ini usia anak jalanan yang
diteliti (menjadi objek penelitian) dibatasi pada kisaran usia antara 5-21 tahun,
mengacu pada Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 seperti dikemukakan di
atas, dengan pertimbangan bahwa anak jalanan yang berusia remaja semakin
meningkat jumlahnya.
Penyebab Munculnya Anak Jalanan
Dalam berbagai penelitian anak jalanan, faktor “salah asuh” di rumah
sangat berperan dalam mendorong anak keluar dari rumah dan hidup di jalanan
serta mencari makan sendiri sebagai tukang koran, menyemir sepatu,
peminta-minta dan lain-lain (Irwanto, 1996). Akan tetapi, selain faktor salah asuh dalam
Akibat lebih lanjut mereka menjadikan hidup di jalanan sebagai tempat penyaluran
rasa ketidakpuasan mereka terhadap kondisi yang dialaminya. Oleh karenanya masalah anak jalanan cenderung mempunyai banyak dimensi, sehingga
memerlukan penanganan yang multi disipliner dan lintas sektoral.
Secara umum ada tiga tingkatan sebab masalah anak jalanan (Departemen
Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999), yakni :
(1) Tingkat Mikro (Immediate causes) yakni faktor yang berhubungan dengan
anak dan keluarganya bisa saling terkait tetapi bisa juga berdiri sendiri. Sebab
yang dapat diidentifikasi, yaitu :
(a) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik masih sekolah maupun sudah
putus sekolah, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.
(b) Sebab dari keluarga adalah terlantar, katidakmampuan orang tua
menyediakan kebutuhan dasar, penolakan, salah perawatan atau kekerasan
di rumah, kesulitan berhubungan atau terpisah dengan keluarga, sikap
salah terhadap anak, yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik,
psikologis dan sosial.
(2) Tingkat Mezzo (Underlying causes) yakni faktor di masyarakat. Sebab yang
dapat diidentifikasi, yaitu :
(a) Pada masyarakat miskin, anak adalah asset untuk membantu peningkatan
penghasilan keluarga, anak diajarkan bekerja yang berakibat drop out dari
sekolah.
(b) Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anak
mengikuti
(c) Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon
kriminalis.
(3) Tingkat makro (Basic causes) yakni faktor yang berhubungan dengan struktur
makro. Sebab yang dapat diidentifikasikan, yaitu :
(a) Faktor ekonomi yakni adanya peluang pekerjaan sektor informal yang
tidak terlalu membutuhkkan modal dan keahlian, ketimpangan desa dan
(b) Faktor pendidikan yakni adanya biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru
yang diskriminatif, dan ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan
kesempatan belajar.
(c) Belum seragamnya unsur pemerintah memandang anak jalanan sebagai
kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan
yang menganggap anak jalanan sebagai troublemaker/pembuat masalah
(security approach/pendekatan keamanan).
Hal di atas senada dengan yang dikemukakan Sudrajat (1996) tentang tiga
tingkatan penyebab permasalahan anak jalanan, yaitu :
(1) Tingkat Mikro (immadiate cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak
dan keluarga. Sebab yang diidentifikasi adalah lari dari rumah, disuruh bekerja
baik masih sekolah maupun sudah putus sekolah, berpetualang, bermain-main
atau diajak teman. Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan
orang tua memenuhi kebutuhan pokok, kondisi psikologis serta ditolak orang
tua, kekerasan rumah, terpisah dari orang tua.
(2) Tingkat Messo (underlying cause) yaitu faktor di masyarakat. Sebab yang
diidentifikasi yaitu anak adalah asset untuk membantu meningkatkan
pendapatan keluarga. Karenanya anak diajarkan untuk bekerja sehingga
meninggalkan sekolah. Ada juga masyarakat yang menolak anak jalanan
berada di lingkungannya karena dianggap kriminalis.
(3) Tingkat makro (basic cause) yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur
makro. Sebab yang diidentifikasi secara ekonomi adalah adanya peluang
pekerjaan sektor informal yang tidak memerlukan modal dan keahlian yang
banyak.
Faktor penyebab timbulnya anak jalanan adalah : (1) Terkait dengan
adanya kekerasan dalam keluarga 23 persen, kadang terjadi kekerasaan dalam
keluarga 32 persen, dan tidak terjadi kekerasan dalam keluarga 45 persen ; (2)
Terkait dengan adanya ketidakserasian dalam keluarga 33 perssen, kadang terjadi
ketidakserasian dalam keluarga 22 persen, dan tidak terjadi ketidakserasian dalam
kekurangmampuan keluarga 2 persen dan 1 persen menyatakan dari keluarga
mampu (Tjahjorini, 2001).
Dari kenyataan di atas, terlihat bahwa hal yang mendorong anak turun ke
jalanan seringkali disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus, dan bukan hanya
disebabkan oleh salah satu faktor semata. Namun demikian, kecenderungannya
faktor yang utama menyebabkan anak turun ke jalanan adalah ketidakmampuan
ekonomi keluarga (Departemen Sosial, 1999 ; Tjahjorini, 2001 ; Sulistiati, 2001).
Ketidakmampuan keluarga secara tidak langsung menjadi pemicu utama
anak turun ke jalanan atau tempat umum lainnya di wilayah perkotaan. Akan
tetapi bila ketidakmampuan keluarga ini terjadi dalam masyarakat perdesaan,
sangat boleh jadi dengan terlaksananya dengan baik fungsi keluarga dan kuatnya
nilai yang dimiliki masyarakat perdesaan, hal ini tidak akan menjadi pemicu anak
turun ke jalanan dan berkembang menjadi masalah sosial.
Dapat diasumsikan bahwa fenomena turunnya anak ke jalanan, terutama
terjadi karena orang dewasa termasuk orang tua anak jalanan dalam keluarga, tidak
memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh karena,
masalah anak jalanan tidak disebabkan semata-mata oleh faktor ekonomi, maka
upaya mengatasi tidak semata-mata dengan cara meningkatkan perekonomian
keluarga, melainkan melalui social capital keluarga dan lingkungan di sekitar anak
yang perlu dibenahi.
Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan
Aktivitas adalah kegiatan yang dilakukan individu dalam rangka
meme-nuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hal ini aktivitas anak jalanan yang terkait
dengan faktor sosial ekonominya dapat dikaji dari sudut pandang kelompok. Di
mana hampir semua anak jalanan melakukan pekerjaan secara berkelompok atau
meski sendiri-sendiri, teman-teman kelompoknya melakukan pekerjaan yang
sama (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).
Pekerjaan anak jalanan secara umum terbagi dua, yakni pekerjaan yang
memerlukan modal dan jasa. Jenis pekerjaan yang memerlukan modal adalah
memerlukan bahan. Jenis pekerjaan jasa meliputi mengamen, mengemis,
pemulung, parkir, ”polisi cepek”, pengelap/pencuci bis, dan pekerjaan lainnya
yang memerlukan tenaga (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia, 1999).
Dari bentuk keduanya sering kali terjadi sistem patron-klien atau adanya
hubungan antara atasan dan bawahan, antara “Bos” dan anggota. Dari bentuk
keduanya terdapat eksploitas, bentuk pertama anak diberi/dipinjami modal oleh
Bos dan setor padanya, lalu jatah anak seenaknya diatur Bos dengan keuntungan
besar tetap pada Bos. Eksploitasi bentuk kedua adalah Bos memegang wilayah
serta jenis pekerjaan dan anak-anak menjual jasa padanya seperti pada pengemis
dan pemulung atau pengelap/pencuci Bis.
Bagi anak jalanan yang telah mampu bekerja sendiri tanpa bergantung
pada si Bos, lebih dapat mengatur pekerjaannya juga pendapatannya. Mereka
umumnya bisa menabung dan pada periode tertentu diberikan pada orang tuanya
atau digunakan sendiri. Bagi anak yang berada dalam kungkungan Bos,
pendapatan lebih terbatas dan tidak dapat menabung (Departemen Sosial dan
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).
Cara menggunakan dan menyimpan uang merupakan masalah yang
penting bagi anak jalanan. Hal ini disebabkan jarang ada anak jalanan yang secara
konsisten menabung terus menerus karena meskipun penghasilannya besar, terjadi
fluktuasi dan tidak tetap. Akibatnya uang yang disimpan tidak lama diambil lagi
untuk membeli kebutuhannya. Sebagian anak jalanan bahkan menghabiskan uang
untuk berjudi baik remi maupun karambol atau menonton film di bioskop kelas
murah. Mereka seperti halnya orang-orang dewasa jalanan, yang menghabiskan
uang untuk judi atau pelacuran, menganggap uang dapat segera di dapat di jalanan
(Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).
Jalanan juga menyediakan suatu “karir” bagi anak jalanan. Tersedianya
suatu “karir” di jalanan merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam
kehidupan mereka. Anak yang sejak kecil sudah di jalanan menjadi penyemir
sepatu, pengelap/pencuci bis, kemudian seiring dengan bertambahnya usia mereka
yang telah dewasa. Kelompoknya itu yang kemudian memberikan kesempatan
kepada anggotanya untuk mencoba memperbaiki kendaraan, mengemudikan dan
meminjamkan. Hal yang sama dapat terjadi pada para pengasong atau penjual
koran. Jika sungguh-sungguh, mereka dapat menjadi sub agen dan agen, yang
dapat mengkoordinir beberapa anak jalanan lain (Departemen Sosial dan Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).
Penjelasan di atas memperlihatkan, bahwa kehidupan di jalanan membuka
peluang dan kesempatan bagi anak jalanan untuk dapat menjadi seseorang yang
mungkin lebih baik kondisinya di masa datang. Dibandingkan bila mereka tidak
pernah menjalani kehidupan tersebut sebelumnya. Hal ini disebabkan jalanan
selain menempa anak dengan nilai-nilai negatif, jalanan juga menempa anak
dengan nilai-nilai positif, sehingga mereka dapat lebih survive dalam menjalani
kehidupannya yang keras.
Pola Hubungan Sosial Anak Jalanan
Pola hubungan sosial yang terjadi dalam situasi sosial anak jalanan
(Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999) dapat
dilihat sebagai berikut :
(1) Tinggal dengan orang tua sampai putus hubungan dengan orang tua :
Terdapat tiga hubungan anak jalanan dengan orang tuanya, yang dapat
mengelompokan anak jalanan, yaitu sebagai berikut :
(a) Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan
tinggal di jalanan, disebut anak yang hidup di jalanan atau Children of the
Street. Berada selama 24 jam sehari di jalanan atau fasilitas umum, serta
memiliki latar belakang non ekonomi sehingga menyebabkan mereka
turun ke jalanan, aktivitas ekonomi sering berganti serta dilakukan agar
mereka tetap hidup di jalanan, serta berpindah-pindah.
(b) Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya. Tidak sekolah,
sewaktu-waktu kembali ke orang tuanya disebut anak yang bekerja di
(c) Anak masih tinggal dengan orang tua, mereka sekali waktu turun ke
jalanan dan bekerja di jalanan. Tiap hari pulang ke rumah. Masih atau
sudah putus sekolah, disebut anak yang rentan menjadi anak jalanan atau
Vulnerable to be Street Children.
Pengelompokan anak jalanan dapat menunjukan tingkat kesulitan
penanganannya. Anak jalanan yang hidup di jalanan apalagi sudah lama di
jalanan sangat sulit ditangani dan memakan waktu lama karena tiada
kelompok pendamping dan sudah terinternalisasinya nilai-nilai jalanan dalam
sikap dan perilaku mereka.
Dalam hal ini terdapat perbedaan sikap dan perilaku sosial antara anak yang
hidup dan anak yang bekerja di jalanan (Departemen Sosial dan Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999), disajikan pada Tabel 2.
(2) Kesadaran membantu ekonomi orang tua sampai eksploitasi oleh orang tua :
Hubungan anak dengan orang tua dapat pula dilihat dari latar belakang anak
di jalanan. Beberapa latar belakang yang muncul adalah :
(a) Kesadaran anak sendiri menolong orang tua dan dirinya.
(b) Anak disuruh bekerja dengan kewajiban menyerahkan hasilnya pada orang
tua. Jika tidak, mereka memperoleh hukuman (Child Abuse).
(c) Anak meninggalkan rumah karena orang tua bercerai atau tidak tahan
dengan tindak kekerasan atau anak ditolak atau diusir dari rumah.
Dari aspek tersebut terlihat tingkat eksploitasi orang tua terhadap anak yang
menunjukan pula tingkat kesulitan pelibatan keluarga dalam mengatasi
Tabel 2. Perilaku Sosial Anak yang Hidup dan Anak yang Bekerja di Jalanan. No Aspek-aspek Anak yang Hidup di
Jalanan
Anak yang Bekerja di Jalanan
1 Waktu 24 jam penuh Temporal menurut jam kerja 2 Ruang hidup Semua fasilitas jalan dan
public places
Tertentu menurut tempat ker-ja
3 Tempat tinggal Jalanan dan public places Orang tua, mengontrak, atau di tempat kerja
4 Hubungan dengan orang tua
Terputus Pulang ke rumah tiap hari atau secara periodik
5 Latar belakang Non ekonomi di antaranya : kekerasan, penolakan, pe-nyiksaan, perceraian
Ekonomi : mencari uang, membantu keluarga, meme-nuhi kebutuhan sendiri 6 Aktivitas Berkeliaran dan
berganti-ganti pekerjaan diantaranya : mengamen, mengemis, me-nyemir sepatu
Aktivitas ekonomi cenderung tetap : menyemir sepatu, me-ngasong, mengamen, menjual koran, mencuci bus dll 7 Sifat hidup Berpindah-pindah (nomaden) Menetap
8 Sikap Curiga, susah diatur, liar, re-aktif, sensitif, tertutup, bebas
Lebih lunak 9 Perilaku norma Mengembangkan nilai sub
kultur jalanan untuk survival
Masih normative 10 Jenis masalah Diantaranya : Eksploitasi
pe-kerjaan, seksual, kriminalitas, kesehatan, napza
Biaya sekolah, kebutuhan & eksploitasi keluarga, biaya hidup, pengaruh teman.
11 Frekuensi masalah
Sering dan banyak terjadi. Kurang kontrol orang tua/ LSM
Jarang dan sedikit terjadi. Masih ada kontrol orang tua/ LSM
12 Motivasi kerja Untuk terus hidup Untuk memperoleh uang 13 Minat kembali
pada keluarga
Umumnya tidak berminat Masih tinggal dengan orang tua
Sumber : Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999).
(3) Peduli anak jalanan sampai eksploitasi :
Beberapa bentuk hubungan sosial antara anak jalanan dengan
kelompok-kelompok lainnya dapat dilihat sebagai berikut :
(a) Ada yang peduli dan mau melindungi anak secara baik.
(b) Ada yang menganggap mereka sebagai calon kriminal sehingga perlu
digaruk dan diberi hukuman dengan kekerasan jika mereka mencuri atau
dirazia, sedangkan barang-barangnya dirampas serta harus membayar
denda bila akan dilepas.
(c) Ada yang menganggap sebagai sumber nafkah sehingga mereka dikuasai
sehingga anak jalanan secara tetap setiap hari harus setor demi keamanan
dan perlindungan.
(d) Ada penguasaan bersifat pekerjaan, yakni pekerjaan milik seseorang
(pemulung) dan anak jalanan dipekerjakan dengan pembagian, lebih besar
bagi si pemilik. Ada juga penguasaan bersifat mutlak yakni modal dan
bahan pekerjaan dari Bos bahkan tempat tinggal, anak memperoleh jatah
semaunya Bos.
Meskipun demikian, ada anak jalanan yang telah mandiri dan lepas dari
penguasaan pihak lain. Sebagian juga berteman dengan aparat polisi sehingga
lepas dari garukan.
(4) Dari pertemanan hingga penggarukan :
Anak jalanan masih dipandang secara dikotomi, disatu pihak, diwakili
Lembaga Swadaya Masyarakat memandang sebagai kelompok yang
memerlukan perlindungan dan wajib dipenuhi hak-haknya. Pihak lainnya,
seperti ditunjukan petugas keamanan dan ketertiban memandang mereka
sebagai calon kriminalitas yang menganggu. Keduanya merefleksikan potret
kehidupan anak jalanan dengan kepentingan yang berbeda.
Dari penjelasan di atas dapat diformulasikan, bahwa pola hubungan sosial
anak jalanan berada dalam suatu kontinum. Mulai dari tinggal dengan orang tua
sampai putus hubungan dengan orang tua, menolong orang tua sampai dengan
eksploitasi orang tua. Serta mulai dari peduli hingga eksploitasi lingkungan, dan
pertemanan hingga penggarukan. Oleh karena pola hubungan sosial anak jalanan
tidak hanya berada dalam satu titik kontinum, maka upaya penangananpun
seyogyanya menyesuaikan dengan keadaannya.
Sub Kultur Anak Jalanan
Salah satu fenomena penting anak jalanan adalah adanya sub kultur di
antara mereka. Sebagian ciri sub kultur terdapat pada penjelasan tentang
kelompok anak jalanan, serta terdapat ciri yang lainnya, di samping adanya
faktor-faktor pembentuk sub kultur dan konsekuensi dari sub kultur (Departemen Sosial
Ciri-ciri sub kultur :
(1) Uang yang diperoleh biasanya habis saat itu juga untuk ngelem (menghisap
aibon, atau yang lain, yang dapat timbulkan efek melayang atau fly), nonton
film, atau main dengan WTS. Kalau tersisa disimpan rapat-rapat untuk
menghindari perampasan dari teman atau preman.
(2) Interaksi / bergaul terbatas dengan sesamanya.
(3) Mengembangkan sikap curiga kepada orang yang baru dikenal.
(4) Memunculkan istilah-istilah sendiri untuk pergaulan seperti ngelem, ngebong,
dan lain-lain.
(5) Mempunyai gagasan kreatif yang lahir dari mekanisme hidup di jalanan dan
sekat-sekat sosial yang tidak atau sedikit menyentuh mereka.
(6) Mengembangkan jaringan-jaringan diantara mereka.
Faktor-faktor pembentuk sub kultur :
(1) Fungsi keluarga yang tidak berjalan.
(2) Penolakan masyarakat.
(3) Keengganan anak untuk pulang ke rumah karena lebih senang di jalanan.
(4) Tekanan kekerasan hidup di jalanan, sehingga mereka perlu cara untuk lebih
“save” hidup di jalanan.
(5) Peluang pekerjaan sektor informal yang terus meningkat yang juga melibatkan
partisipasi anak-anak.
(6) Keberanian anak untuk hidup di jalanan dan terpisah dari orang tua.
(7) Tekanan di jalanan masih lebih enak dibandingkan dengan di rumah, karena
jalanan masih memberikan kebebasan kepada anak.
(8) Kompensasi karena frustrasi dengan kondisi masyarakat secara umum dan
pelecehan yang diterima.
Konsekuensi sub kultur anak jalanan :
(1) Terbentuknya peluang untuk hidup dan mempertahankan kebebasan dan liar
di jalan yang mengarah pada kriminalitas sehingga muncul ‘stigma’ atau
penilaian negatif mereka calon kriminalis.
(2) Bisa dimanfaatkan secara negatif oleh kelompok tertentu.
(4) Ada kecenderungan jalanan menjadi lembaga pengganti dan mengundang
anak-anak bermasalah lainnya dalam keluarga untuk lari ke jalanan.
(5) Tercipta kelompok baru pada masyarakat kota yang dapat menambah
permasalahan.
(6) Bisa mengarah pada munculnya keluarga-keluarga jalanan.
(7) Menjauhkan mereka dari masyarakat umum.
Dari penjelasan di atas dapat diformulasikan bahwa sub kultur yang
muncul dan terbentuk dalam lingkungan anak jalanan, dengan ciri dan
konsekuensi yang ditimbulkannya lebih bersifat negatif. Hal ini terkait dengan
kurangnya filtersystem yang dimiliki anak jalanan. Terkait pula dengan ketiadaan
aturan, nilai dan norma yang ditanamkan orang dewasa, yang bertujuan
mengarahkan perilaku yang pantas dan kurang pantas bagi anak. Akibatnya, anak
jalanan menjadi hidup bebas dengan sub kultur yang mereka kembangkan sendiri
dalam kelompok-kelompoknya.
Bila kondisi tersebut tidak segera ditangani secara komprehensif, dapat
menyebabkan rusaknya sendi-sendi nilai dan norma masyarakat. Lebih dari itu,
juga dapat menarik anak rumahan yang tertekan dan terkekang di rumah untuk
turun ke jalan dan menjadi anak jalanan.
Kreativitas dan Kemandirian Anak Jalanan
Anak jalanan memiliki potensi yang potensial untuk menjadi sumberdaya,
apabila dilakukan sentuhan dengan pendekatan yang tepat. Potensi tersebut bisa
menjadi modal sosial atau social capital bagi anak jalanan dalam menghadapi
berbagai dinamika kehidupannya di masa mendatang. Potensi tersebut terlihat
pada persentase responden yang memiliki tingkat kreativitas yang tinggi (53
persen) dan tingkat kemandirian juga tinggi 63 persen (Tjahjorini, 2001). Hal ini
salah satunya disebabkan mereka harus lebih “survive” hidup di jalanan dengan
jumlah tantangan yang tidak lebih kecil dibandingkan dengan jumlah tantangan
bila mereka hidup di rumahan seperti anak-anak lain pada umumnya.
Dalam hal ini kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan ide-ide