• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor, dan Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor, dan Jakarta"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

DAN STRATEGI PENGENTASANNYA

DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA

SRI TJAHJORINI SUGIHARTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul :

”PROFIL ANAK JALANAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA”

Adalah benar merupakan karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2008

(3)

SRI TJAHJORINI SUGIHARTO, 2008 : Profiles of Street the Children and Strategies for Elimination in Bandung, Bogor and the Jakarta (THE ADVISORY TEAM ARE SUMARDJO AS CHAIRMAN : MARGONO SLAMET, DJOKO SUSANTO, and DARWIS S. GANI AS MEMBERS).

The street child problem, like iceberg phenomenon of which the regional pockets, the distribution and the age of the children are increasing. Since 1997 the government of Indonesia through the Social Department and the community have been carrying out efforts to overcome the problems, but up to now the efforts have not yet achieved the expected results because of the limited informations of the problem.

This study was carried out to provide informations on the profiles of the street children and strategies for elimination in Bandung, Bogor and Jakarta. Data were collected using structured interviews, focus group discussion and direct observation. The collected data were analysed using parametric and non-parametric statistics. Population were street children, 5-21 years old. Sample in each region was consisted of 75 respondent, 50 males and 25 famales, drawn using accidental sampling technique, and 25 parents of the respondens each of the regions as a cross check.

Street child profiles in Bandung, Bogor and Jakarta were not significantly different one to each other for family background, environmental background, physical, psychological, sociological characteristics and their behaviour as well. However, significant gender differences was indicated for such variables as physical and sociological characteristics and the family background. The influence of family background on the street children behaviour, direct or indirectly, was more obvious compared to that of environmental background. The latter was indirect through sociologic characteristics of the street children particularly on the non formal education.

Strategy for elimination of the street children phenomenon could be equally applied for the whole regions, except for its approach, which can use the Indonesian language, the local dialects, or the street children group dialects. TRIDAYA, which means Human Empowering, Environmental Empowering and Activity Empowering could be employed.

(4)

SRI TJAHJORINI SUGIHARTO, 2008 : Profil Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta. KOMISI PEMBIMBING : SUMARDJO (KETUA), MARGONO SLAMET, DJOKO SUSANTO dan DARWIS S. GANI (ANGGOTA).

Permasalahan anak jalanan, merupakan fenomena gunung es yang dari waktu ke waktu, kantong-kantong wilayah, penyebaran dan selang usianya semakin meningkat. Sejak tahun 1997 pemerintah melalui Departemen Sosial serta masyarakat telah melakukan upaya pengentasan anak jalanan, namun hingga kini upaya tersebut belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan, karena keterbatasan informasi tentang permasalahan terkait.

Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang profil anak jalanan dan strategi pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta. Pengumpulan data menggunakan wawancara berstruktur, Focus Group Discussition, dan pengamatan langsung. Analisis data menggunakan statistik parametrik dan non parametrik. Populasi penelitian ini adalah anak jalanan yang berusia antara 5-21 tahun. Sampel di tiap wilayah 75 orang terdiri dari 50 laki-laki dan 25 perempuan, yang diambil menggunakan teknik accidental sampling, serta 25 orang tua responden di tiap wilayah sebagai bahan cross check.

Profil anak jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta tidak berbeda nyata, baik dalam latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan tempat tinggal, ciri fisik, ciri psikologik, ciri sosiologik maupun perilakunya. Namun, terdapat perbedaan nyata antara pria dan wanita, yaitu pada peubah ciri fisik, ciri sosiologik dan latar belakang keluarganya. Pengaruh latar belakang keluarga terhadap perilaku anak jalanan, baik langsung maupun tidak langsung lebih dominan, dibandingkan dengan pengaruh latar belakang lingkungan. Lingkungan berpengaruh tidak langsung terutama melalui ciri sosiologik anak jalanan khususnya pada pendidikan non formal.

Strategi pengentasan anak jalanan dapat diberlakukan cenderung sama baik di Bogor, Bandung dan Jakarta, kecuali dalam pendekatan, selain menggunakan bahasa Indonesia juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah setempat, dan bahasa kelompok anak jalanan, dengan menggunakan pendekatan TRIDAYA : Pemberdayaan Manusia, Pemberdayaan Lingkungan dan Pemberdayaan Kegiatan.

(5)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2008. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar

IPB

(6)

DAN STRATEGI PENGENTASANNYA

DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA

SRI TJAHJORINI SUGIHARTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Suprihatin Guharsa. MSi

(Staf Pengajar pada Departemen Giji Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. H. Pang S. Asngari

(Staf Pengajar Departemen Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Fakultas Ekologi Manusia IPB) 2. Dr. Makmur Sunusi

(8)

Nama Mahasiswa : Sri Tjahjorini Sugiharto. Nomor Pokok : P 061030 111

Program Mayor : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

_________________ ________________________________ Dr. Ir. H. Sumardjo, MS Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, MSc

Ketua Anggota

_____________________________________ ___________________________ Prof.(Ris). Dr. Ig. Djoko Susanto,SKM,APU Prof. Dr. H. Darwis S. Gani, MA

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan Institut Pertanian Bogor

______________________ ______________________________________

Dr. Ir. Hj. Siti Amanah,MSc Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro,MS

(9)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT, karena atas berkah

dan ridhoNya penulis dapat menyusun disertasi yang berjudul : ”Profil Anak

Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta.” Disertasi

ini disusun untuk memenuhi syarat bagi pencapaian gelar Doktor pada Program

Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor.

Profil anak jalanan menjadi perhatian penulis, sesuai dengan bidang tugas

penulis sebagai salah satu pegawai di jajaran Departemen Sosial yang berupaya

melakukan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) bagi para Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS). Termasuk di dalamnya permasalahan yang terkait

dengan anak, salah satunya masalah anak jalanan. Meski penulis tidak terlibat

secara langsung dalam memberikan pelayanan kepada penyandang masalah

(direct services), karena penulis berkiprah di jajaran Pusat Pendidikan dan

Pelatihan Kesejahteraan Sosial, namun perkembangan masalah sosial yang ada di

masyarakat tetap menjadi perhatian penulis. Termasuk di dalamnya permasalahan

sosial anak jalanan yang merupakan fenomena gunung es.

Dalam hal ini hasil penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat

menjadi masukan dan solusi bagi para pengambil kebijakan juga bagi masyarakat

(indirect services) yang peduli terhadap permasalahan anak jalanan, untuk dapat

melakukan upaya pengentasan dengan menggunakan strategi dan cara-cara yang

efektif secara konseptual dan empirik.

Sekaligus dengan hasil penelitian dapat diketahui sejauhmana pengaruh

latar belakang keluarga dan latar belakang lingkungan bagi seorang anak pada

masa pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini penting mengingat pada

akhir-akhir ini lembaga keluarga semakin rapuh dan fungsi-fungsinya semakin tidak

dapat dijalankan dengan baik dan seimbang. Demikian pula lembaga masyarakat

(10)

Prof. Dr. H. R. Margono Slamet, MSc ; Bapak Prof. (Ris). Dr. Ig. Djoko

Susanto, SKM, APU dan Prof. Dr. H. Darwis S. Gani, MA, masing-masing

selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah membimbing, mendorong

serta memberi masukan sehingga disertasi ini dapat terwujud.

(2) Ibu Dr. Hj. Suprihatin Guharsa, MSi sebagai Penguji pada Ujian Tertutup,

Bapak Prof. Dr. H. Pang S. Asngari dan Dr. Makmur Sanusi sebagai Penguji

pada Ujian Terbuka.

(3) Dinas Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta, Kepala Dinas

Sosial Propinsi Jawa Barat, serta kepada rekan-rakan satu angkatan yang telah

berjuang bersama, saling dorong, saling bantu dalam susah dan senang.

(4) Pimpinan di jajaran Departemen Sosial khususnya di lingkungan Badan

Pendidikan dan Penelitian serta Kapusdiklat Kesejahteraan Sosial yang telah

memberikan peluang dan kesempatan untuk mengikuti program Strata Tiga.

(5) Pada keluarga terutama Ibu Hj. Sugiarti dan Bapak Gofir Suharto (almarhum)

dan suami Drs. Budi Martono, MSi serta anggota keluarga lainnya.

(6) Pihak-pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan di sini, tetapi telah memberi

andil dalam proses pencapaian gelar Doktor yang saya peroleh.

Pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang

sempurna tanpa kesalahan, tak ada sesuatu yang baik tanpa kekurangan.

Karenanya, untuk kekurangan yang ada dalam Disertasi ini, penulis mengharap

kiranya berkenan memberikan saran konstruksif untuk perbaikan. Akhirnya,

semoga disertasi ini bermanfaat dan Alloh SWT ridho dengan hal-hal yang telah

kita lakukan dan hasilkan bagi kebaikan kita bersama di masa-masa yang akan

datang. Amin.

Bogor, Januari 2008

Penulis

(11)

Penulis lahir di Bandung pada tanggal 12 Agustus 1967 sebagai anak ke

tiga dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Gofir Suharto (almarhum) seorang

purnawirawan Perwira ABRI dan Ibu Hj. Sugiarti seorang Bidan di Kota

Kembang Bandung.

Jenjang pendidikan yang penulis ikuti hingga program Strata Satu secara

keseluruhan dilaksanakan di Bandung, yaitu SD Negeri Sukaraja I, SMP

Angkasa, SMAN 2 dan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung lulus tahun

1991. Pada tahun 1999 penulis mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan

ke jenjang Strata Dua di Insitut Pertanian Bogor lulus tahun 2001. Pada tahun

2003 penulis kembali mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke

jenjang Strata Tiga di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan yang sama Ilmu

Penyuluhan Pembangunan, setelah tiga bulan sebelumnya penulis diangkat

sebagai Pejabat Fungsional Widyaiswara Muda. Selama mengikuti pendidikan

dari pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan Strata Tiga, meski tidak pernah

mendapat posisi nomor satu tetapi posisi lima besar selalu diraih penulis.

Setelah penulis lulus dari Strata Satu, pada tahun 1992 penulis bekerja di

swasta sebagai Cost Accounting. Pada tahun 1993 penulis diterima sebagai Calon

Pegawai Negeri Sipil dengan penempatan pertama di Pusat Rehabilitasi Sosial

Bina Grahita ’KARTINI’ Temanggung Jawa Tengah. Tahun 1996 penulis pindah

tugas ke Balai Diklat Profesi Pekerjaan Sosial Lembang Bandung Jawa Barat.

Pada tahun 2002 penulis pindah tugas ke Pusat Pendidikan dan Pelatihan

Kesejahteraan Sosial Jakarta dan saat ini menjabat sebagai Widyaiswara Madya,

setelah menjalani kenaikan pangkat pada Bulan April 2007.

Diklat yang pernah diikuti penulis di antaranya Diklat : Metodologi

Pembelajaran, Metodologi Penelitian, Diklat Penyegaran Fasilitator Tenaga

Kesejahteran Sosial Masyarakat (TKSM), TOT Pelatihan Keahlian Pekerjaan

(12)

Pengalaman mengajar penulis di Balai Diklat Profesi Pekerjaan Sosial

Lembang Bandung, Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, Dinas Sosial Propinsi DKI,

Pusdiklat Departemen Dalam Negeri Jakarta, Pusdiklat Tenaga Kesejahteraan

Sosial Masyarakat dan Pusdiklat Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial.

Beberapa karya tulis yang telah dihasilkan penulis, diantaranya : Uji

Coba Model Pengembangan Profesionalisme Pelayanan Sosial di Panti Sosial

Percontohan, Kajian tentang Eksistensi Pekerja Sosial Pasca Otonomi Daerah,

Kajian tentang Pekerja Sosial Koreksional, Kajian tentang Kurikulum Diklat Bagi

Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kajian tentang Evaluasi

Kinerja Alumni Diklat dan Kajian tentang Pelatihan Keahlian Pekerjaan Sosial.

Karya tulis penulis yang sudah dipublikasikan, diantaranya : Komunikasi

dan Perubahan Sosial (Studi Kasus pada Suku Baduy Dalam), Istilah Penyuluhan

dan Implikasinya pada Penyuluhan Sosisl bagi Komunitas Adat Terpencil,

Komunikasi dalam Seminar, Teori Komunikasi dan Perubahan Sosial sebagai

Strategi perubahan Perilaku Anak jalanan, Masalah kemiskinan : Keluarga Miskin

dan Dampaknya pada Pekerja Anak dan Anak Jalanan, komunikasi yang Efektif

Sehingga Tidak Terputus, Pengukuran Hasil Belajar, Penyuluhan dan

Implikasinya pada Penyuluhan Sosial, Struktur dan Organisasi Masyarakat

Tihingan : Sebuah Desa di Bali, Persepsi Anak Jalanan terhadap Bimbingan

Sosial pada Rumah Singgah di Bandung, Implementasi teori motivasi dalam

pendidikan di lembaga diklat, dan lain-lain.

Penulis juga sebagai Anggota Tim Penyusun Pedoman dan Modul di

Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, Direktorat Pemberdayaan Keluarga,

Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Lingkungan Departemen

Sosial. Di samping Anggota Tim Penyusun Modul Diklat tentang Kesejahteraan

Sosial di Departemen Dalam Negeri Jakarta.

Bogor, Januari 2008

Penulis

(13)

Halaman Tujuan Penelitian ...……….. Manfaat Penelitian ……….……….….

TINJAUAN PUSTAKA ……… Tinjauan tentang Anak Jalanan ……… Pengertian tentang Anak dan Anak Jalanan ..……….………. Batasan Usia Anak Jalanan ……….. Penyebab Munculnya Anak Jalanan ….……… Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan ……….. Pola Hubungan Sosial Anak Jalanan ……… Sub Kultur Anak Jalanan ………..……….….. Kreativitas dan Kemandirian Anak Jalanan ………. Kebutuhan Anak Jalanan ………. Motivasi Anak Jalanan ………. Kelompok Anak Jalanan ……….. Perilaku Anak Jalanan ... Tinjauan tentang Keluarga ………... Tinjauan tentang Lingkungan ……….. Lingkungan atau Situasi Sosial Anak Jalanan ………. Tinjauan tentang Pemberdayaan ... Jenis Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak ... Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Anak Jalanan ...

KERANGKA BERPIKIR ... Kerangka Berpikir ………

(14)

Lokasi dan Waktu Penelitian …….………. Sampel Penelitian ……….. Pengumpulan Data ……… Validitas dan Reliabilitas ……….. Alat Analisis ………. Definisi Operasional dan Pengukuran ...

HASIL DAN PEMBAHASAN ... Profil Anak Jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta ... Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan ... Strategi Pengentasan Anak Jalanan ...

KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan ... Saran ...

73 73 75 76 76 78

94 94 123 134

164 165 166

(15)

Halaman

Ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan………...

Perilaku Sosial Anak yang Hidup di Jalanan dan Anak yang Bekerja di Jalanan ………..………...

Model Holistik-Komperhensif Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak ...

Identifikasi Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan …………...

Identifikasi Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan ...

Identifikasi Ciri Anak Jalanan ………...

Identifikasi Perilaku Anak Jalanan ………...

Jumlah Responden Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Kelamin ...

Jumlah Responden Orang Tua Anak Jalanan ………..…...

Definisi Operasional dan Pengukuran ...

Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian ...

Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan ...

Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian ...

Sebaran Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...

Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian ...

Sebaran Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...

(16)

18.

Sebaran Ciri Fisik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...

Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Psikologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian ...

Sebaran Ciri Psikologik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...

Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian ...

Sebaran Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...

Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Indikator Sub Peubah Perilaku Normal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian

Sebaran Perilaku Normal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...

Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Indikator Sub Peubah Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian ...

Sebaran Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian ...

Hasil Uji Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan..

Nilai Koefisien Regresi Berganda Peubah Bebas (X) yang Berpengartuh pada Perilaku Anak Jalanan ...

Hasil Uji SEM Nilai Pengaruh dan Hubungan Sub Peubah Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkungan, Ciri Fisik, Ciri Psikologik, Ciri Sosiologik Terhadap Perilaku Anak Jalanan ...

Penjabaran Tahapan ”Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan”...

(17)

Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Anak Jalanan Dalam Situasi Sosial dan Pola Sosial ...……...

Anak Dalam Lingkungan Sosial………..………...

Profil Anak Jalanan (Anjal) dan Kaitannya dengan Beberapa Peubah .

Profil Anak Jalanan dan Kaitannya dengan Beberapa Peubah ……....

Model Hipotesis kesatu ...

Model Hipotesis kedua ………...…....

Model Analisis Jalur ...

Model Efektif Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan ...

Hasil Uji Structural Equation Model dari Profil Anak Jalanan ...

Hasil Uji Structural Equation Model Pengaruh Indikator Sub Peubah Pelaksanaan Fungsi Keluarga...

”Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan” ... 41

41

64

65

70

70

77

125

135

142

(18)

Halaman 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian ...

Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan ……….

Hasil Uji Structural Equation Model Profil Anak Jalanan ...

Hasil Uji Structural Equation Model Pelaksanaan Fungsi Keluarga Anak Jalanan …………...

Data Anak Jalanan Jawa Barat Tahun 2006 ...

Rekapitulasi Data Anak Terlantar Jawa Barat Tahun 2006 ...

Gambar Profil Anak Jalanan, Keluarga dan Lingkungannya ………...

Gambar Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan ………...

Gambar Pembinaan yang Dilakukan Pada Anak Jalanan …………... 174

176

178

190

194

195

196

197

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Akibat terjadinya bencana alam kekeringan serta krisis ekonomi yang

berkepanjangan pada akhir tahun 1997 permasalahan anak jalanan makin mencuat

kepermukaan. Hasil penelitian menunjukkan permasalahan anak jalanan

diakibatkan oleh adanya : ketidakserasian keluarga (33 persen), kekerasan dalam

keluarga (23 persen) dan kemiskinan atau ketidakmampuan keluarga (98 persen),

yang seringkali juga bersifat ganda (Tjahjorini, 2001). Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Sulistiati (2001) yang mengemukakan alasan anak berada di jalan

antara lain karena kemiskinan (membantu orang tua), broken home, tidak betah di

rumah/di sekolah dan ingin bebas di jalan serta budaya malas. Kedua hasil

penelitian ini memperlihatkan bahwa penyebab utama dari turunnya anak ke jalan

adalah kemiskinan atau ketidakmampuan keluarga. Akibat lebih lanjut dari

kondisi ini, orang tua melibatkan anak dalam upayanya mencukupi kebutuhan

keluarga.

Bila dikaji lebih jauh upaya penghapusan kemiskinan sesungguhnya

sudah merupakan komitmen dunia yang tertuang dalam Konferensi Tingkat

Tinggi Pembangunan Sosial di Kopenhagen 1995 yang menegaskan bahwa

pembangunan Bidang Sosial dilaksanakan sejalan dengan pembangunan bidang

lainnya. Tiga butir penting KTT Kopenhagen, yaitu : (1) Pengentasan kemiskinan,

(2) Perluasan lapangan kerja, dan (3) Integrasi sosial. Komitmen dunia lainnya

terkait dengan upaya penghapusan kemiskinan tertuang dalam Millenium

Development Goal yang ditandatangai oleh 189 negara di Geneva tahun 2000 dan

diperkirakan akan tercapai pada tahun 2015. Delapan butir yang disepakati untuk

dilakasanakan oleh negara yang turut serta menandatangani, termasuk Indonesia,

yaitu : (1) Penghapusan kemiskinan, (2) Pendidikan untuk semua, (3) Persamaan

gender, (4) Perlawanan terhadap penyakit, (5) Penurunan angka kematian anak,

(6) Peningkatan kesehatan ibu, (7) Pelestarian lingkungan hidup, (8) Kerjasama

(20)

Berdasarkan kenyataan di lapangan serta komitmen global di atas, upaya

penghapusan kemiskinan menjadi prioritas utama yang fatal dan vital untuk

sesegera mungkin dilaksanakan. Hal ini terkait dengan kondisi empirik bahwa

permasalahan sosial yang muncul seringkali bersumber pada masalah kemiskinan

atau ketidakmampuan keluarga, termasuk permasalahan sosial anak jalanan.

Berdasarkan hasil survei dan pemetaan sosial anak jalanan pada tahun

1999 yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial dengan

dukungan Asia Development Bank, jumlah anak jalanan adalah 39.861 orang,

yang tersebar di 12 kota besar. Pada tahun 2004, menurut Pusat Data dan

Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, jumlah anak jalanan sebesar

98.113 orang, yang tersebar di 30 provinsi. Khusus di wilayah Bandung kurang

lebih berjumlah 5.500 anak jalanan (Data Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat,

2006) ; di wilayah Bogor 3.023 orang (Data Dinas Sosial Pemda Bogor, 2006) ;

dan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta kurang lebih berjumlah 8.000 orang (Data

Dinas Sosial DKI Jakarta, 2006). .

Sangat boleh jadi keadaan nyata di lapangan jumlah anak jalanan jauh

lebih besar dari jumlah di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan

anak jalanan merupakan fenomena gunung es, yang dari tahun ke tahun terjadi

peningkatan baik dalam jumlah maupun wilayah penyebarannya. Disisi lain

masalah anak jalanan, merupakan patologi sosial yang mempengaruhi behavior

anak, dengan pola dan sub kultur yang berkembang di jalanan sebagai daya tarik

bagi anak yang masih tinggal di rumah tetapi rentan menjadi anak jalanan, untuk

turun ke jalanan. Kecenderungannya bila tidak ada upaya mengatasi bukan hanya

sekedar turun, tetapi lambat laun bekerja dan hidup di jalan menyatu dengan anak

jalanan lain.

Masalah sosial anak jalanan terkait pula dengan ketidakmampuan anak

memperoleh haknya. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, Pasal 23 (1) yang mengamanatkan bahwa negara dan

pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang

(21)

untuk melakukan perlindungan anak melalui penanganan kasus anak yang

memerlukan perlindungan khusus. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa

perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak menjadi salah satu kewajiban

negara dan pemerintah untuk memujudkannya.

Hal tersebut dipertegas pada Pasal 59 Tahun 2002 yang mengamanatkan

bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung

jawab untuk memberikan perlindungan khusus kapada anak dalam situasi darurat,

anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan

terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang

diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alkohol,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan

dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang

menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Terkait dengan permasalahan sosial anak jalanan, Pemerintah dalam hal

ini Departemen Sosial telah melakukan upaya penanganan melalui kerjasama

dengan : Pesantren yang menitipkan beberapa anak jalanan (maksimal 10 orang di

pesantren-pesantren) dan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan

didirikannya rumah singgah-rumah singgah yang melakukan pembinaan pada

anak-anak jalanan serta Mobil Sahabat Anak (MSA).

Di sisi lain Pemerintah Daerah sudah melakukan upaya-upaya penertiban

pula. Seperti yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta berdasarkan Peraturan

Daerah (PERDA) DKI Jakarta Nomor 3 tahun 1972 yang bertujuan menegakkan

keamanan dan ketertiban di tempat-tempat umum, melakukan penggarukan dan

penertiban terhadap permasalahan sosial termasuk anak jalanan dari

tempat umum. Pada kenyataannya anak jalanan justru menggunakan

tempat-tempat umum sebagai lokasi kegiatannya, sehingga anak jalanan menjadi sorotan

dan dipermasalahkan bahkan dianggap sebagai pelanggaran. Demikian pula yang

terjadi di daerah lain dengan PERDA wilayahnya, seringkali terjadi hal yang

sifatnya dilematis.

Meski upaya telah dilakukan pemerintah, namun hingga kini upaya-upaya

(22)

belum dapat terentaskan dari jalanan. Demikian pula rumah perlindungan anak

yang tersedia baru satu milik Departemen Sosial yakni di Bambu Apus, Cipayung,

Jakarta Timur. Seperti disinyalir oleh Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan

Anak yang mendesak pemerintah daerah untuk menyediakan rumah perlindungan

bagi anak yang terlantar (Warta Kota, 22 November 2005).

Terkait dengan kondisi di atas serta keterbatasan pemerintah dan luasnya

permasalahan, upaya memahami dan mengatasi anak jalanan perlu melibatkan

seluruh komponen masyarakat sebagai bagian dari sistem. Masyarakat dalam hal

ini dipandang sebagai suatu sistem sosial yang secara fungsional terintegrasi

dalam suatu bentuk equilibrium. Upaya masyarakat mencapai Equilibrium hanya

mungkin terjadi apabila ada konsensus di antara para anggota masyarakat untuk

bersama-sama mengupayakannya.

Hal di atas terkait dengan pernyataan Irwanto (1999) bahwa ”pemahaman

terhadap situasi anak jalanan saja tidak akan memberikan jalan keluar yang efektif

untuk mengatasi permasalahan anak jalanan. Agar sebuah intervensi efektif, maka

diperlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai masyarakat dan

keluarga-keluarga anak jalanan. Pemahaman makro (struktural) dan mikro (dinamika

keluarga) sangat dibutuhkan”. Intervensi efektif seyogyanya dilakukan dengan

melihat situasi dan kondisi di luar sistem terkait dengan (extra systemic system)

atau pemahaman secara makro dan di dalam sistem (intra sytemic system) atau

pemahaman secara mikro sebagai suatu kesatuan.

Diharapkan dengan hal di atas, model pendekatan yang di tawarkan guna

terjadinya perubahan perilaku ke arah yang dikehendaki pada diri anak jalanan,

dapat berjalan secara efektif dan efisien. Hal ini senada dengan yang dikemukakan

oleh Hurlock (1979) bahwa “sikap seseorang tidak hanya ditentukan oleh pribadi

orang yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan,

artinya sikap orang-orang di sekelilingnya terhadap diri orang yang

bersangkutan.”

Dalam hal ini perubahan perilaku anak jalanan tidak dapat terjadi bila

(23)

dapat muncul, manakala masyarakat tidak memahami profil anak jalanan dan

strategi pengentasannya yang efektif dan efisien.

Terkait dengan hal di atas diperlukan pemahaman lebih mendasar tentang

profil anak jalanan secara akurat. Kejelasan, kecermatan dan kebenaran penyajian

data tentang profil anak jalanan tersebut merupakan informasi dasar untuk

merencanakan suatu pendekatan. Termasuk pendekatan penyuluhan sebagai salah

satu strategi upaya pengentasan. Sekaligus menunjang keefektifan pelaksanaan

penanggulangan bagi pemerintah dan masyarakat yang terpanggil dan memiliki

kepedulian terhadap permasalahan anak jalanan.

Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, dapat dirumuskan masalah

pokok penelitian ini yaitu “Bagaimana Profil Anak Jalanan dan Strategi

Pengetasannya di Bandung, Bogor, dan Jakarta.” Adapun masalah khusus

penelitian, adalah :

(1) Bagaimana perbedaan profil anak jalanan dilihat dari daerah penelitian

(Bandung, Bogor, dan Jakarta) dan jenis kelamin terkait dengan peubah Latar

Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkungan, Ciri Fisik, Ciri Psikologik,

Ciri Sosiologik, dan Perilaku Anak Jalanan.

(2) Seberapa besar Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkungan, Ciri

Fisik, Ciri Psikologik, Ciri Sosiologik berpengaruh terhadap Perilaku Anak

Jalanan.

(3) Bagaimana strategi pengentasan anak jalanan berdasarkan hasil penelitian.

Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan masalah yang telah dikemukakan, maka secara umum

penelitian ini bertujuan menemukan profil anak jalanan khususnya di Bandung,

Bogor dan Jakarta, yang dapat memberikan “gambaran kecenderungan” kondisi

anak jalanan di Indonesia. Diharapkan dengan diketahuinya profil anak jalanan

secara jelas dan akurat, upaya penanggulangan dapat dilakukan oleh pemerintah

dan masyarakat yang berminat menangani dengan lebih terbuka, termasuk

(24)

hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan penyuluhan. Secara lebih rinci

tujuan khusus yang ingin dicapai adalah :

(1) Mengidentifikasi profil anak jalanan di tiga tempat yang berbeda (Bandung,

Bogor, dan Jakarta) dan perbedaan jenis kelamin dalam kaitannya dengan

penyebab, kondisi kini dan dampaknya bagi perilaku mereka.

(2) Mengkaji pengaruh latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan, ciri

fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik terhadap perilaku anak jalanan.

(3) Merumuskan unsur-unsur penting yang dapat digunakan untuk membangun

strategi pengentasan anak jalanan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu

penge-tahuan, dan bagi para praktisi yang berkecimpung dalam upaya mengatasi

permasalahan sosial, khususnya yang terkait dengan anak jalanan. Lebih khusus

diharapkan bermanfaat bagi :

(1) Pemerintah dan Pihak Terkait.

(a) Sebagai bahan pertimbangan penyusunan kebijakan dalam upaya

mening-katkan pelayanan dan pengaturan untuk mengembangkan kualitas perilaku

sumber daya anak jalanan.

(b) Memberikan kejelasan kepada pihak-pihak terkait untuk mengambil sikap

serta menentukan pilihan dan bertindak sesuai dengan kemampuan yang

dimiliki, untuk berpartisipasi mengembangkan kualitas sumber daya anak

jalanan sesuai tuntutan pembangunan.

(c) Sebagai bahan acuan bagi petugas sosial yang bergerak dalam upaya

mengatasi masalah anak jalanan.

(2) Lembaga Swadaya Masyarakat.

Sebagai bahan acuan/pertimbangan bagi pendamping/petugas sosial dalam

upaya meningkatkan pelayanan dan mengatasi masalah anak jalanan.

(3) Perguruan Tinggi.

(a) Memberi sumbangan teoritis berupa tambahan khasanah keilmuan di

(25)

sistem, teori konflik maupun teori pertukaran dalam kelompok kecil anak

jalanan.

(b) Sebagai bahan pembanding bagi pengembangan ilmu pengetahuan,

khususnya dalam mengembangkan perilaku sumber daya manusia anak

jalanan selaku subyek dalam pembangunan sektor sosial.

(c) Mendorong peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan yang terkait

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Upaya pengentasan masalah sosial anak jalanan tidak dapat dilakukan

hanya oleh pemerintah tanpa melibatkan peran serta masyarakat beserta

penyandang masalah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan pada dasarnya

masyarakat terintegrasi atas dasar kata sepakat dari para anggotanya akan

nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai suatu

sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium,

yang dikenal dengan teori struktural fungsional.

Menurut Berghe (Demerath, 1967), anggapan dasar dari teori fungsional

struktural adalah sebagai berikut :

(1) Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari

bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.

(2) Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi antar bagian bersifat

ganda dan timbal balik.

(3) Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun

secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah

equilibrium yang bersifat dinamis ; menanggapi perubahan-perubahan yang

datang dari luar dengan kecenderungan mempertahankan agar

perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem beserta akibatnya hanya akan

mencapai derajat yang minimal.

(4) Sekalipun disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senantiasa terjadi, akan

tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan

teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses

institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada

tingkatnya yang sempurna tidak pernah tercapai, tetapi setiap sistem sosial

akan senantiasa berproses ke arah tersebut.

(5) Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara

gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.

(27)

mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang

menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.

(6) Pada dasarnya, perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam

kemungkinan : penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut

terhadap perubahan yang datang dari luar (extra systemic change) ;

pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional ; serta

penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.

(7) Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem

sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai

nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Di dalam setiap masyarakat, selalu terdapat

tujuan dan prinsip dasar, yang menjadi sistem nilai. Sistem nilai tersebut tidak

saja merupakan sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial,

akan tetapi sekaligus juga merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosial

budaya iu sendiri.

Hal di atas terkait dengan Teori Fungsional dari Parsons (Johnson, 1988;

Ritzer, et al, 2004) yang memuat empat fungsi yang diperlukan bagi kehidupan

semua sistem yang dikenal sebagai skema A G I L, yaitu :

(A) adaptation, sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengakses lingkungan untuk dapat memenuhi kebutuhannya, (G) goal attaiment, atau pencapaian tujuan : sebuah sistem harus mendefenisikan dan mencapai tujuan utamanya, (I) integration, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem harus juga mengelola hubungan antara ketiga fungsi AGIL lainnya, (L), latensi, atau pemeliharaan pola : sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.”

Upaya masyarakat mencapai Equilibrium hanya mungkin terjadi apabila

ada konsensus di antara para anggota masyarakat untuk bersama-sama

menanggulangi dan mengupayakannya. Termasuk adanya konsensus anggota

(28)

Terkait dengan anggapan dasar teori struktural fungsional dan skema

AGIL di atas, keberadaan anak di jalanan menunjukkan adanya ketegangan,

penyimpangan, konflik dan disfungsi dari sub sistem yang ada di dalam

masyarakat. Dalam hal ini anggapan dasar teori konflik yang terkait dengan

perubahan sosial yang terjadi akibat faktor-faktor yang ada di dalam sistem sosial

(intra systemic change) (Dahrendorf, 1959) adalah sebagai berikut :

(1) Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak

pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan

gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.

(2) Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan

perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap

masyarakat.

(3) Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi

terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial.

(4) Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah

orang atas sejumlah orang yang lain.

Berdasarkan anggapan dasar dari teori konflik di atas, kemunculan kasus

anak jalanan salah satunya juga disebabkan oleh adanya konflik, baik dalam diri

anak, keluarga, maupun lingkungan, sehingga memicu anak untuk turun ke jalan.

Konflik juga disebabkan adanya “penguasaan” orang tertentu yang kemudian

mengeksploitir tenaga anak untuk kepentingannya, dengan akibat lebih lanjut

muncul masalah-masalah sosial dalam masyarakat.

Masalah sosial (Kartono, 1992 ; Poplin 1978) adalah : (1) semua bentuk

tingkah laku yang melanggar atau memperkosa, mengancam ketenangan/

ketentraman masyarakat dan adat istiadat (dan adat istiadat tersebut diperlukan

untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama), (2) situasi sosial yang dianggap

oleh sebagian besar warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki,

berbahaya dan merugikan orang banyak. Boguslaw, et al (1977) dan Vembriarto

(1981) menjelaskan masalah sosial adalah suatu kondisi obyektif atau proses di

dalam masyarakat, yang dipandang oleh beberapa anggota masyarakat dari suatu

(29)

Akibat adanya kontak sosial dengan lingkungan, masalah sosial ini

kemudian berkembang menjadi patologi sosial. Vembriarto (1981) dan Asyari

(2000) mengartikan patologi sosial sebagai penyakit-penyakit masyarakat atau

keadaan abnormal pada suatu masyarakat. Kartono (1992) mengartikan patologi

sosial sebagai ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap ”sakit”, disebabkan

oleh faktor-faktor sosial.

Dalam hal ini patologi sosial muncul akibat adanya masalah sosial yang

mengenai individu sebagai anggota masyarakat. Akan tetapi karena keberadaan

individu sebagai anggota masyarakat tidak dapat dipisahkan dari interaksinya

dengan lingkungan sekitarnya, maka tingkah laku sosial yang salah tersebut

mempengaruhi nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat karena adanya saling

keterkaitan satu sama lain.

Tinjauan tentang Anak Jalanan

Pengertian Anak dan Anak Jalanan

Anak bukanlah manusia dalam bentuk mini. Anak adalah anak, mereka

bukan orang dewasa dalam bentuk mini ; mereka mempunyai pikiran, perasaan,

sikap dan minat yang berbeda dengan orang dewasa. Anak harus dianggap dan

diperlakukan sebagai anak. Selain itu setiap anak adalah unik, yang berbeda satu

dengan lainnya (Goode, 1985).

Pengertian di atas memperlihatkan bahwa setiap anak, selain ia sebagai

mahluk sosial yang keberadaannya terkait dengan lingkungannya, ia juga adalah

mahluk individual yang berbeda antara satu dengan yang lain. Akibatnya,

manakala orang dewasa akan berinteraksi dengan seorang anak, ia harus

memahami kondisi yang menyertainya.

Demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan, selain ia mahluk sosial,

ia juga adalah mahluk pribadi yang unik dan berbeda dari anak yang lain. Anak

jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari

nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Departemen

(30)

Lusk dalam Journal of Sociology & Social Welfare (Departemen Sosial,

1999) mengemukakan anak jalanan adalah ”. . . setiap anak perempuan atau

laki-laki . . . yang memanfaatkan jalanan, tempat umum, tempat kosong sebagai

tempat tinggal sementara dan atau sumber kehidupan, tidak mendapat

perlindungan, pendampingan ataupun penataan/pengaturan oleh orang dewasa

yang bertanggung jawab.”

Lebih lanjut Lusk mengemukan anak jalanan terbagi ke dalam tiga

kategori : anak yang mempunyai resiko tinggi, anak yang bekerja di jalan dan

anak yang hidup di jalan :

(1) Anak yang mempunyai resiko tinggi (chidren-at-high-risk) adalah anak yang

mempunyai resiko tinggi untuk menjadi anak jalanan. Mereka belum menjadi

anak jalanan murni, tetapi masih tinggal dengan orang tuanya. Kerentanan ini

bisa dilihat dari kondisi ekonomi orang tuanya yang rentan, sehingga suatu

saat bisa menjadi anak jalanan. Anak-anak seperti ini hidup di lingkungan

kemiskinan absolut atau daerah slum.

(2) Anak yang bekerja di jalan (children on the street) yaitu mereka yang

menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau tempat-tempat umum

lainnya untuk bekerja, yang penghasilannya digunakan untuk membantu

keluarganya. Anak-anak tersebut mempunyai kegiatan ekonomi (sebagai

pekerja anak) di jalan dan masih berhubungan kuat dengan orang tua mereka.

Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya.

(3) Anak-anak yang hidup di jalan (children of the street) adalah mereka yang

menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau di tempat-tempat

umum lainnya, tetapi hanya sedikit waktu yang digunakan untuk bekerja.

Mereka jarang berhubungan dengan keluarganya. Beberapa di antara mereka

tidak memiliki rumah tinggal (homeless), mereka hidup di sembarang tempat.

Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, lari atau

pergi dari rumah. Anak-anak ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik

secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.

Yohanes (1996) mengemukakan bahwa anak jalanan adalah anak yang

(31)

terdiri dari anak-anak yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga atau

terputus hubungannya dengan keluarga dan anak-anak yang hidup mandiri sejak

kecil karena kehilangan orang tua atau keluarga. Menurut UNICEF, anak jalanan

adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk

bekerja atau beraktivitas lain. Mereka tinggal di jalanan karena tercampakkan atau

dicampakkan oleh keluarga-keluarga yang tidak mampu menanggung beban

hidup, terdesak oleh kemiskinan dan kehancuran keluarga.

Pengertian tersebut memperlihatkan adanya gangguan terhadap fungsi

sosial (Social Functioning) anak. Konsep social functioning ini mengacu pada

situasi dan relasi anak-anak yang melahirkan tugas atau peranan tertentu. Dalam

hal ini seorang anak diharapkan berada dalam lingkungan rumah, sekolah, dan

lingkungan bermain, yang di dalamya berelasi dengan orang-orang dalam situasi

tersebut dan mempunyai peranan tertentu seperti belajar, mematuhi orang tua,

bermain, dan lain-lain. Akibatnya, keberadaan anak bekerja mencari nafkah atau

berkeliaran di jalanan jelas suatu kondisi yang tidak sesuai dengan social

functioning anak secara umum. Indikator yang jelas dari fungsi sosial ini adalah

kemampuan mengatur diri sendiri, kemampuan berhubungan dengan orang lain,

dan mengendalikan kesulitan. Dari sudut pandang ini, terlihat bahwa anak jalanan

bermasalah karena ada beberapa situasi, relasi dan peranan anak yang tidak dapat

dilakukan olehnya.

Penyimpangan lain terlihat dari adanya beberapa hak anak yang tidak

terpenuhi, di antaranya : hak akan pelayanan kesehatan, kehidupan yang standar

seperti makanan, air bersih, dan tempat untuk hidup, pendidikan, bermain dan

waktu luang, mempelajari kebudayaan, terlindung dari eksploitasi seks, terbebas

dari penggunaan dan peredaran obat bius, mendapat perlindungan hukum, bebas

berekspresi dan memperoleh informasi, bimbingan untuk memainkan peranan

pada masyarakat sesuai dengan tingkat usia dan kematangannya (Departemen

Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

Penyimpangan-penyimpangan tersebut menjadi lebih berbahaya bagi

proses tumbuh kembang anak karena di jalanan mereka menghadapi berbagai

(32)

lalu lintas, ditangkap polisi, korban kejahatan dan penggunaan obat, konflik

dengan anak-anak lainnya, terlibat pelanggaran hukum baik sengaja maupun tidak

(Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

Meski demikian, ada beberapa anak yang mampu menyerap kehidupan

positif jalanan, seperti pandai membaca peluang, tahan kerja keras karena terbiasa

panas dan hujan, mempunyai solidaritas yang tinggi sesama teman, belajar

bekerja, menempa kesabaran, mudah belajar membuat sesuatu (ketrampilan)

bersikap terbuka dan percaya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan

Anak Indonesia, 1999). Hasil pengamatan, banyak orang yang sekarang ini

sukses, di masa kecilnya lebih banyak di jalanan. Pada beberapa bagian kehidupan

di jalanan juga menyediakan kegiatan usaha bagi anak seperti pedagang atau

pengemudi kendaraan.

Kecenderungan yang terdapat pada anak jalanan, mereka memiliki ciri

fisik dan psikis yang berbeda dengan anak-anak lain pada umunya (Departemen

Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999), ciri tersebut disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan

Bersifat Fisik Bersifat Psikis

Warna kulit kusam Mobilitas tinggi Rambut kemerah-merahan Acuh tak acuh Kebanyakan berbadan kurus Penuh curiga Pakaian tidak terurus Berwatak keras

Kreatif

Semangat hidup tinggi

Berani menanggung resiko

Mandiri

Interaksi terbatas

Memunculkan istilah sendiri

Mengembangkan jaringan antar anak jalanan Sumber : Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999).

Penjelasan tentang anak jalanan yang terkait dengan keberadaannya di

jalanan, selain ada dampak negatif yang ditimbulkannya, juga ada dampat positif

yang bisa diperoleh anak dalam masa perkembangannya. Hal ini menjadi

pengalaman berharga bagi tumbuh kembang anak selanjutnya, sekaligus menjadi

(33)

Batasan Usia Anak Jalanan

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979, tentang

Kesejahteraan Anak, yang dimaksud dengan “anak adalah seseorang yang belum

mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin”. Faktor usia anak dalam

masalah anak jalanan berkisar antara 6-18 tahun. Rentang usia ini dianggap rawan

karena mereka belum mampu berdiri sendiri, labil, mudah terpengaruh, dan belum

mempunyai bekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup untuk hidup di

jalanan, yang berarti masih membutuhkan pendampingan dari orang lain

(Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

Di jalanan terdapat anak-anak berusia di bawah 5 tahun, tetapi mereka

biasanya dibawa oleh orang tua atau disewakan untuk mengemis. Memasuki usia

6 tahun biasanya dilepas atau mengikuti temannya yang lebih besar, sedangkan

anak yang berusia 18-21 tahun dianggap pandai bekerja dan mengontrak rumah

sendiri maupun bersama teman-temannya. Meskipun demikian ada beberapa

rentang usia yang berbeda yang disesuaikan dengan kepentingan analisis masalah

atau program (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia,

1999).

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa dalam menentukan batasan usia

anak jalanan, seringkali masih dipengaruhi oleh tujuan analisis masalah atau

tujuan program. Akibatnya antara satu program dengan program lainnya

seringkali berbeda. Namun demikian, dalam penelitian ini usia anak jalanan yang

diteliti (menjadi objek penelitian) dibatasi pada kisaran usia antara 5-21 tahun,

mengacu pada Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 seperti dikemukakan di

atas, dengan pertimbangan bahwa anak jalanan yang berusia remaja semakin

meningkat jumlahnya.

Penyebab Munculnya Anak Jalanan

Dalam berbagai penelitian anak jalanan, faktor “salah asuh” di rumah

sangat berperan dalam mendorong anak keluar dari rumah dan hidup di jalanan

serta mencari makan sendiri sebagai tukang koran, menyemir sepatu,

peminta-minta dan lain-lain (Irwanto, 1996). Akan tetapi, selain faktor salah asuh dalam

(34)

Akibat lebih lanjut mereka menjadikan hidup di jalanan sebagai tempat penyaluran

rasa ketidakpuasan mereka terhadap kondisi yang dialaminya. Oleh karenanya masalah anak jalanan cenderung mempunyai banyak dimensi, sehingga

memerlukan penanganan yang multi disipliner dan lintas sektoral.

Secara umum ada tiga tingkatan sebab masalah anak jalanan (Departemen

Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999), yakni :

(1) Tingkat Mikro (Immediate causes) yakni faktor yang berhubungan dengan

anak dan keluarganya bisa saling terkait tetapi bisa juga berdiri sendiri. Sebab

yang dapat diidentifikasi, yaitu :

(a) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik masih sekolah maupun sudah

putus sekolah, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.

(b) Sebab dari keluarga adalah terlantar, katidakmampuan orang tua

menyediakan kebutuhan dasar, penolakan, salah perawatan atau kekerasan

di rumah, kesulitan berhubungan atau terpisah dengan keluarga, sikap

salah terhadap anak, yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik,

psikologis dan sosial.

(2) Tingkat Mezzo (Underlying causes) yakni faktor di masyarakat. Sebab yang

dapat diidentifikasi, yaitu :

(a) Pada masyarakat miskin, anak adalah asset untuk membantu peningkatan

penghasilan keluarga, anak diajarkan bekerja yang berakibat drop out dari

sekolah.

(b) Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anak

mengikuti

(c) Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon

kriminalis.

(3) Tingkat makro (Basic causes) yakni faktor yang berhubungan dengan struktur

makro. Sebab yang dapat diidentifikasikan, yaitu :

(a) Faktor ekonomi yakni adanya peluang pekerjaan sektor informal yang

tidak terlalu membutuhkkan modal dan keahlian, ketimpangan desa dan

(35)

(b) Faktor pendidikan yakni adanya biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru

yang diskriminatif, dan ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan

kesempatan belajar.

(c) Belum seragamnya unsur pemerintah memandang anak jalanan sebagai

kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan

yang menganggap anak jalanan sebagai troublemaker/pembuat masalah

(security approach/pendekatan keamanan).

Hal di atas senada dengan yang dikemukakan Sudrajat (1996) tentang tiga

tingkatan penyebab permasalahan anak jalanan, yaitu :

(1) Tingkat Mikro (immadiate cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak

dan keluarga. Sebab yang diidentifikasi adalah lari dari rumah, disuruh bekerja

baik masih sekolah maupun sudah putus sekolah, berpetualang, bermain-main

atau diajak teman. Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan

orang tua memenuhi kebutuhan pokok, kondisi psikologis serta ditolak orang

tua, kekerasan rumah, terpisah dari orang tua.

(2) Tingkat Messo (underlying cause) yaitu faktor di masyarakat. Sebab yang

diidentifikasi yaitu anak adalah asset untuk membantu meningkatkan

pendapatan keluarga. Karenanya anak diajarkan untuk bekerja sehingga

meninggalkan sekolah. Ada juga masyarakat yang menolak anak jalanan

berada di lingkungannya karena dianggap kriminalis.

(3) Tingkat makro (basic cause) yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur

makro. Sebab yang diidentifikasi secara ekonomi adalah adanya peluang

pekerjaan sektor informal yang tidak memerlukan modal dan keahlian yang

banyak.

Faktor penyebab timbulnya anak jalanan adalah : (1) Terkait dengan

adanya kekerasan dalam keluarga 23 persen, kadang terjadi kekerasaan dalam

keluarga 32 persen, dan tidak terjadi kekerasan dalam keluarga 45 persen ; (2)

Terkait dengan adanya ketidakserasian dalam keluarga 33 perssen, kadang terjadi

ketidakserasian dalam keluarga 22 persen, dan tidak terjadi ketidakserasian dalam

(36)

kekurangmampuan keluarga 2 persen dan 1 persen menyatakan dari keluarga

mampu (Tjahjorini, 2001).

Dari kenyataan di atas, terlihat bahwa hal yang mendorong anak turun ke

jalanan seringkali disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus, dan bukan hanya

disebabkan oleh salah satu faktor semata. Namun demikian, kecenderungannya

faktor yang utama menyebabkan anak turun ke jalanan adalah ketidakmampuan

ekonomi keluarga (Departemen Sosial, 1999 ; Tjahjorini, 2001 ; Sulistiati, 2001).

Ketidakmampuan keluarga secara tidak langsung menjadi pemicu utama

anak turun ke jalanan atau tempat umum lainnya di wilayah perkotaan. Akan

tetapi bila ketidakmampuan keluarga ini terjadi dalam masyarakat perdesaan,

sangat boleh jadi dengan terlaksananya dengan baik fungsi keluarga dan kuatnya

nilai yang dimiliki masyarakat perdesaan, hal ini tidak akan menjadi pemicu anak

turun ke jalanan dan berkembang menjadi masalah sosial.

Dapat diasumsikan bahwa fenomena turunnya anak ke jalanan, terutama

terjadi karena orang dewasa termasuk orang tua anak jalanan dalam keluarga, tidak

memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh karena,

masalah anak jalanan tidak disebabkan semata-mata oleh faktor ekonomi, maka

upaya mengatasi tidak semata-mata dengan cara meningkatkan perekonomian

keluarga, melainkan melalui social capital keluarga dan lingkungan di sekitar anak

yang perlu dibenahi.

Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan

Aktivitas adalah kegiatan yang dilakukan individu dalam rangka

meme-nuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hal ini aktivitas anak jalanan yang terkait

dengan faktor sosial ekonominya dapat dikaji dari sudut pandang kelompok. Di

mana hampir semua anak jalanan melakukan pekerjaan secara berkelompok atau

meski sendiri-sendiri, teman-teman kelompoknya melakukan pekerjaan yang

sama (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

Pekerjaan anak jalanan secara umum terbagi dua, yakni pekerjaan yang

memerlukan modal dan jasa. Jenis pekerjaan yang memerlukan modal adalah

(37)

memerlukan bahan. Jenis pekerjaan jasa meliputi mengamen, mengemis,

pemulung, parkir, ”polisi cepek”, pengelap/pencuci bis, dan pekerjaan lainnya

yang memerlukan tenaga (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak

Indonesia, 1999).

Dari bentuk keduanya sering kali terjadi sistem patron-klien atau adanya

hubungan antara atasan dan bawahan, antara “Bos” dan anggota. Dari bentuk

keduanya terdapat eksploitas, bentuk pertama anak diberi/dipinjami modal oleh

Bos dan setor padanya, lalu jatah anak seenaknya diatur Bos dengan keuntungan

besar tetap pada Bos. Eksploitasi bentuk kedua adalah Bos memegang wilayah

serta jenis pekerjaan dan anak-anak menjual jasa padanya seperti pada pengemis

dan pemulung atau pengelap/pencuci Bis.

Bagi anak jalanan yang telah mampu bekerja sendiri tanpa bergantung

pada si Bos, lebih dapat mengatur pekerjaannya juga pendapatannya. Mereka

umumnya bisa menabung dan pada periode tertentu diberikan pada orang tuanya

atau digunakan sendiri. Bagi anak yang berada dalam kungkungan Bos,

pendapatan lebih terbatas dan tidak dapat menabung (Departemen Sosial dan

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

Cara menggunakan dan menyimpan uang merupakan masalah yang

penting bagi anak jalanan. Hal ini disebabkan jarang ada anak jalanan yang secara

konsisten menabung terus menerus karena meskipun penghasilannya besar, terjadi

fluktuasi dan tidak tetap. Akibatnya uang yang disimpan tidak lama diambil lagi

untuk membeli kebutuhannya. Sebagian anak jalanan bahkan menghabiskan uang

untuk berjudi baik remi maupun karambol atau menonton film di bioskop kelas

murah. Mereka seperti halnya orang-orang dewasa jalanan, yang menghabiskan

uang untuk judi atau pelacuran, menganggap uang dapat segera di dapat di jalanan

(Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

Jalanan juga menyediakan suatu “karir” bagi anak jalanan. Tersedianya

suatu “karir” di jalanan merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam

kehidupan mereka. Anak yang sejak kecil sudah di jalanan menjadi penyemir

sepatu, pengelap/pencuci bis, kemudian seiring dengan bertambahnya usia mereka

(38)

yang telah dewasa. Kelompoknya itu yang kemudian memberikan kesempatan

kepada anggotanya untuk mencoba memperbaiki kendaraan, mengemudikan dan

meminjamkan. Hal yang sama dapat terjadi pada para pengasong atau penjual

koran. Jika sungguh-sungguh, mereka dapat menjadi sub agen dan agen, yang

dapat mengkoordinir beberapa anak jalanan lain (Departemen Sosial dan Yayasan

Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

Penjelasan di atas memperlihatkan, bahwa kehidupan di jalanan membuka

peluang dan kesempatan bagi anak jalanan untuk dapat menjadi seseorang yang

mungkin lebih baik kondisinya di masa datang. Dibandingkan bila mereka tidak

pernah menjalani kehidupan tersebut sebelumnya. Hal ini disebabkan jalanan

selain menempa anak dengan nilai-nilai negatif, jalanan juga menempa anak

dengan nilai-nilai positif, sehingga mereka dapat lebih survive dalam menjalani

kehidupannya yang keras.

Pola Hubungan Sosial Anak Jalanan

Pola hubungan sosial yang terjadi dalam situasi sosial anak jalanan

(Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999) dapat

dilihat sebagai berikut :

(1) Tinggal dengan orang tua sampai putus hubungan dengan orang tua :

Terdapat tiga hubungan anak jalanan dengan orang tuanya, yang dapat

mengelompokan anak jalanan, yaitu sebagai berikut :

(a) Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan

tinggal di jalanan, disebut anak yang hidup di jalanan atau Children of the

Street. Berada selama 24 jam sehari di jalanan atau fasilitas umum, serta

memiliki latar belakang non ekonomi sehingga menyebabkan mereka

turun ke jalanan, aktivitas ekonomi sering berganti serta dilakukan agar

mereka tetap hidup di jalanan, serta berpindah-pindah.

(b) Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya. Tidak sekolah,

sewaktu-waktu kembali ke orang tuanya disebut anak yang bekerja di

(39)

(c) Anak masih tinggal dengan orang tua, mereka sekali waktu turun ke

jalanan dan bekerja di jalanan. Tiap hari pulang ke rumah. Masih atau

sudah putus sekolah, disebut anak yang rentan menjadi anak jalanan atau

Vulnerable to be Street Children.

Pengelompokan anak jalanan dapat menunjukan tingkat kesulitan

penanganannya. Anak jalanan yang hidup di jalanan apalagi sudah lama di

jalanan sangat sulit ditangani dan memakan waktu lama karena tiada

kelompok pendamping dan sudah terinternalisasinya nilai-nilai jalanan dalam

sikap dan perilaku mereka.

Dalam hal ini terdapat perbedaan sikap dan perilaku sosial antara anak yang

hidup dan anak yang bekerja di jalanan (Departemen Sosial dan Yayasan

Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999), disajikan pada Tabel 2.

(2) Kesadaran membantu ekonomi orang tua sampai eksploitasi oleh orang tua :

Hubungan anak dengan orang tua dapat pula dilihat dari latar belakang anak

di jalanan. Beberapa latar belakang yang muncul adalah :

(a) Kesadaran anak sendiri menolong orang tua dan dirinya.

(b) Anak disuruh bekerja dengan kewajiban menyerahkan hasilnya pada orang

tua. Jika tidak, mereka memperoleh hukuman (Child Abuse).

(c) Anak meninggalkan rumah karena orang tua bercerai atau tidak tahan

dengan tindak kekerasan atau anak ditolak atau diusir dari rumah.

Dari aspek tersebut terlihat tingkat eksploitasi orang tua terhadap anak yang

menunjukan pula tingkat kesulitan pelibatan keluarga dalam mengatasi

(40)

Tabel 2. Perilaku Sosial Anak yang Hidup dan Anak yang Bekerja di Jalanan. No Aspek-aspek Anak yang Hidup di

Jalanan

Anak yang Bekerja di Jalanan

1 Waktu 24 jam penuh Temporal menurut jam kerja 2 Ruang hidup Semua fasilitas jalan dan

public places

Tertentu menurut tempat ker-ja

3 Tempat tinggal Jalanan dan public places Orang tua, mengontrak, atau di tempat kerja

4 Hubungan dengan orang tua

Terputus Pulang ke rumah tiap hari atau secara periodik

5 Latar belakang Non ekonomi di antaranya : kekerasan, penolakan, pe-nyiksaan, perceraian

Ekonomi : mencari uang, membantu keluarga, meme-nuhi kebutuhan sendiri 6 Aktivitas Berkeliaran dan

berganti-ganti pekerjaan diantaranya : mengamen, mengemis, me-nyemir sepatu

Aktivitas ekonomi cenderung tetap : menyemir sepatu, me-ngasong, mengamen, menjual koran, mencuci bus dll 7 Sifat hidup Berpindah-pindah (nomaden) Menetap

8 Sikap Curiga, susah diatur, liar, re-aktif, sensitif, tertutup, bebas

Lebih lunak 9 Perilaku norma Mengembangkan nilai sub

kultur jalanan untuk survival

Masih normative 10 Jenis masalah Diantaranya : Eksploitasi

pe-kerjaan, seksual, kriminalitas, kesehatan, napza

Biaya sekolah, kebutuhan & eksploitasi keluarga, biaya hidup, pengaruh teman.

11 Frekuensi masalah

Sering dan banyak terjadi. Kurang kontrol orang tua/ LSM

Jarang dan sedikit terjadi. Masih ada kontrol orang tua/ LSM

12 Motivasi kerja Untuk terus hidup Untuk memperoleh uang 13 Minat kembali

pada keluarga

Umumnya tidak berminat Masih tinggal dengan orang tua

Sumber : Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999).

(3) Peduli anak jalanan sampai eksploitasi :

Beberapa bentuk hubungan sosial antara anak jalanan dengan

kelompok-kelompok lainnya dapat dilihat sebagai berikut :

(a) Ada yang peduli dan mau melindungi anak secara baik.

(b) Ada yang menganggap mereka sebagai calon kriminal sehingga perlu

digaruk dan diberi hukuman dengan kekerasan jika mereka mencuri atau

dirazia, sedangkan barang-barangnya dirampas serta harus membayar

denda bila akan dilepas.

(c) Ada yang menganggap sebagai sumber nafkah sehingga mereka dikuasai

(41)

sehingga anak jalanan secara tetap setiap hari harus setor demi keamanan

dan perlindungan.

(d) Ada penguasaan bersifat pekerjaan, yakni pekerjaan milik seseorang

(pemulung) dan anak jalanan dipekerjakan dengan pembagian, lebih besar

bagi si pemilik. Ada juga penguasaan bersifat mutlak yakni modal dan

bahan pekerjaan dari Bos bahkan tempat tinggal, anak memperoleh jatah

semaunya Bos.

Meskipun demikian, ada anak jalanan yang telah mandiri dan lepas dari

penguasaan pihak lain. Sebagian juga berteman dengan aparat polisi sehingga

lepas dari garukan.

(4) Dari pertemanan hingga penggarukan :

Anak jalanan masih dipandang secara dikotomi, disatu pihak, diwakili

Lembaga Swadaya Masyarakat memandang sebagai kelompok yang

memerlukan perlindungan dan wajib dipenuhi hak-haknya. Pihak lainnya,

seperti ditunjukan petugas keamanan dan ketertiban memandang mereka

sebagai calon kriminalitas yang menganggu. Keduanya merefleksikan potret

kehidupan anak jalanan dengan kepentingan yang berbeda.

Dari penjelasan di atas dapat diformulasikan, bahwa pola hubungan sosial

anak jalanan berada dalam suatu kontinum. Mulai dari tinggal dengan orang tua

sampai putus hubungan dengan orang tua, menolong orang tua sampai dengan

eksploitasi orang tua. Serta mulai dari peduli hingga eksploitasi lingkungan, dan

pertemanan hingga penggarukan. Oleh karena pola hubungan sosial anak jalanan

tidak hanya berada dalam satu titik kontinum, maka upaya penangananpun

seyogyanya menyesuaikan dengan keadaannya.

Sub Kultur Anak Jalanan

Salah satu fenomena penting anak jalanan adalah adanya sub kultur di

antara mereka. Sebagian ciri sub kultur terdapat pada penjelasan tentang

kelompok anak jalanan, serta terdapat ciri yang lainnya, di samping adanya

faktor-faktor pembentuk sub kultur dan konsekuensi dari sub kultur (Departemen Sosial

(42)

Ciri-ciri sub kultur :

(1) Uang yang diperoleh biasanya habis saat itu juga untuk ngelem (menghisap

aibon, atau yang lain, yang dapat timbulkan efek melayang atau fly), nonton

film, atau main dengan WTS. Kalau tersisa disimpan rapat-rapat untuk

menghindari perampasan dari teman atau preman.

(2) Interaksi / bergaul terbatas dengan sesamanya.

(3) Mengembangkan sikap curiga kepada orang yang baru dikenal.

(4) Memunculkan istilah-istilah sendiri untuk pergaulan seperti ngelem, ngebong,

dan lain-lain.

(5) Mempunyai gagasan kreatif yang lahir dari mekanisme hidup di jalanan dan

sekat-sekat sosial yang tidak atau sedikit menyentuh mereka.

(6) Mengembangkan jaringan-jaringan diantara mereka.

Faktor-faktor pembentuk sub kultur :

(1) Fungsi keluarga yang tidak berjalan.

(2) Penolakan masyarakat.

(3) Keengganan anak untuk pulang ke rumah karena lebih senang di jalanan.

(4) Tekanan kekerasan hidup di jalanan, sehingga mereka perlu cara untuk lebih

“save” hidup di jalanan.

(5) Peluang pekerjaan sektor informal yang terus meningkat yang juga melibatkan

partisipasi anak-anak.

(6) Keberanian anak untuk hidup di jalanan dan terpisah dari orang tua.

(7) Tekanan di jalanan masih lebih enak dibandingkan dengan di rumah, karena

jalanan masih memberikan kebebasan kepada anak.

(8) Kompensasi karena frustrasi dengan kondisi masyarakat secara umum dan

pelecehan yang diterima.

Konsekuensi sub kultur anak jalanan :

(1) Terbentuknya peluang untuk hidup dan mempertahankan kebebasan dan liar

di jalan yang mengarah pada kriminalitas sehingga muncul ‘stigma’ atau

penilaian negatif mereka calon kriminalis.

(2) Bisa dimanfaatkan secara negatif oleh kelompok tertentu.

(43)

(4) Ada kecenderungan jalanan menjadi lembaga pengganti dan mengundang

anak-anak bermasalah lainnya dalam keluarga untuk lari ke jalanan.

(5) Tercipta kelompok baru pada masyarakat kota yang dapat menambah

permasalahan.

(6) Bisa mengarah pada munculnya keluarga-keluarga jalanan.

(7) Menjauhkan mereka dari masyarakat umum.

Dari penjelasan di atas dapat diformulasikan bahwa sub kultur yang

muncul dan terbentuk dalam lingkungan anak jalanan, dengan ciri dan

konsekuensi yang ditimbulkannya lebih bersifat negatif. Hal ini terkait dengan

kurangnya filtersystem yang dimiliki anak jalanan. Terkait pula dengan ketiadaan

aturan, nilai dan norma yang ditanamkan orang dewasa, yang bertujuan

mengarahkan perilaku yang pantas dan kurang pantas bagi anak. Akibatnya, anak

jalanan menjadi hidup bebas dengan sub kultur yang mereka kembangkan sendiri

dalam kelompok-kelompoknya.

Bila kondisi tersebut tidak segera ditangani secara komprehensif, dapat

menyebabkan rusaknya sendi-sendi nilai dan norma masyarakat. Lebih dari itu,

juga dapat menarik anak rumahan yang tertekan dan terkekang di rumah untuk

turun ke jalan dan menjadi anak jalanan.

Kreativitas dan Kemandirian Anak Jalanan

Anak jalanan memiliki potensi yang potensial untuk menjadi sumberdaya,

apabila dilakukan sentuhan dengan pendekatan yang tepat. Potensi tersebut bisa

menjadi modal sosial atau social capital bagi anak jalanan dalam menghadapi

berbagai dinamika kehidupannya di masa mendatang. Potensi tersebut terlihat

pada persentase responden yang memiliki tingkat kreativitas yang tinggi (53

persen) dan tingkat kemandirian juga tinggi 63 persen (Tjahjorini, 2001). Hal ini

salah satunya disebabkan mereka harus lebih “survive” hidup di jalanan dengan

jumlah tantangan yang tidak lebih kecil dibandingkan dengan jumlah tantangan

bila mereka hidup di rumahan seperti anak-anak lain pada umumnya.

Dalam hal ini kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan ide-ide

Gambar

Tabel 2. Perilaku Sosial Anak yang Hidup dan Anak yang Bekerja di Jalanan.
Gambar 2 : Anak Dalam Lingkungan Sosial Sumber : Francois Doamekpor, Dokumen Proyek UNDP-Depsos (1999)
Tabel 3. Model Holistik-Komprehensif Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak
Gambar  3.  Profil Anak Jalanan (Anjal) Kaitannya dengan Beberapa Peubah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada sampel B terjadi perubahan warna menjadi jingga yang sama dengan perubahan pada kontrol positif karena kedua senyawa adalah sama memiliki amin aromatik. 

[r]

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah

İ mdi, dervî ş -i tâlib dahi öyledir ki, kendi vücûdunda tabîat-i mahz olup, gizli olan s ı fât- ı zemîmeleri te ş hîs edip, hiç iz‘ânda hatâ etmeyip, her birin

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian asupan gizi seimbang terhadap terhadap tumbuh dan perkembangan anak di pos PAUD

SINKRONISASI PENDIDIKAN DAN PELAYANAN TOT dosen dan widyaiswara Pendidikan non reguler (6 bln) bagi dokter puskesmas wahana pendidikan Pendidikan non reguler (6 bln) bagi

Melalui Lembaga Pengkajian, Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP4), pada tahun 2013 ITB akan memberikan penghargaan kepada para dosen

[r]