PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI
EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN
TERUMBU KARANG
IMAM BACHTIAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Indeks Resiliensi Ekosistem Dalam Pengelolaan Terumbu Karang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
IMAM BACHTIAR. Development of Ecosystem Resilience Index in Coral Reef Management. Under supervision of ARIO DAMAR, SUHARSONO, and NEVIATY P. ZAMANI.
Global climate change is predicted to increasingly expose coral reef ecosystem to thermal stress, disturbances, and surprises. Ecological resilience is therefore becoming a very important ecosystem component that needs to be identified in coral reef management. Knowing ecological state of an ecosystem is a first step in planning an ecosystem based management, but practical method to assess ecological resilience of coral reef ecosystem is yet to be available. The existing methods demand to high expertise or high cost that are not available on many districts in Indonesia. The aim of the study was to develop an index for measuring quantitatively ecological resilience of coral reef ecosystem. The index was developed from a soil community resilience index of the Orwin and Wardle, with modification on the reference community and in the number of variables. Instead of using a control community, the coral reef resilience index uses a super or ideal coral reef, i.e. coral reef that has maximum values on all of its indicator variables. More than 2250 data obtained from 10 meter line intercept transect (LIT), all over Indonesia, were extracted to construct the “super” coral reef of Indonesia, as the index reference. The resilience index of coral reef ecosystem contains six indicator variables, i.e. coral functional group (CFG), unsuitable settlement substrate cover (USS), number of small-size coral colony (CSN), coral habitat quality (CHQ), coral cover (COC), and algae and other fauna cover (AOF). The resilience index has been proven to perform well to determined differences of coral reef resilience both spatially and temporally. The resilience index could be used to assess coral reef resilience at a scale of hundred meters to thousands kilometers, and could potentially be used to compare coral reef resilience globally. As the index was developed based on LIT data, the uses of index are very practical that nearly all districts in Indonesia have capabilities to carry out resilience assessment of coral reefs on their jurisdictions. Resilience assessment using data collected from 15 districts in 2009 showed that coral reefs at western region had generally higher average resilience indices than those at eastern region, and Sunda Shelf reefs had higher average resilience indices than coral reefs at Indian Ocean, Sulawesi-Flores, or Pacific Ocean. Four districts were found to have coral reefs with highest resilience indices, i.e. Bintan and Natuna (western region), and Wakatobi and Buton (eastern region). Following major disturbance, e.g. bleaching-related coral mass mortality in 1998, coral reef resilience indices could recover at the average rate between 0.044-0.066 per year in Indonesia. The index could also be used to assess and predict coral reef recovery. Coral reefs with high resilience indices are more likely to experience larger impact from the same disturbance, but they also have higher rate of recovery.
IMAM BACHTIAR. Pengembangan Indeks Resiliensi dalam Pengelolaan Terumbu Karang. Dibimbing oleh ARIO DAMAR, SUHARSONO, dan NEVIATY P. ZAMANI.
Mengenali kondisi ekosistem merupakan langkah pertama dalam penyusunan rencana pengelolaan. Perubahan iklim global telah diprediksi akan mengakibatkan meningkatnya ancaman kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang. Pengelolaan terumbu karang tidak cukup lagi dengan memperbanyak wilayah inti tanpa penangkapan (no-take area), melainkan harus mampu memelihara kemampuan alami terumbu karang untuk pulih dari gangguan, yaitu resiliensi ekosistem.
Pada saat ini, metode penilaian resiliensi ekosistem masih dalam tahap awal pengembangan. Teori resiliensi ekosistem sudah lama dikembangkan oleh para peneliti terumbu karang, sejak tahun 1970-an, tetapi penilaian terhadap resiliensi ekosistem masih belum banyak berkembang, sehingga teori resiliensi belum banyak dapat membantu pengelolaan terumbu karang. Pada ekosistem hutan, danau, dan sungai, penggunaan teori resiliensi dalam pengelolaan juga belum berkembang.
Sekarang ada dua metode penilaian resiliensi terumbu karang, yaitu yang dikembangkan oleh Obura dan Grimsditch (2009) dan oleh Maynard et al. (2010). Kedua metode penilaian tersebut dianggap masih sulit diterapkan di Indonesia, karena kurangnya tenaga ahli dan dukungan finansial. Di Indonesia, banyak kabupaten yang memiliki terumbu karang luas tetapi tidak memiliki keahlian yang cukup untuk memahami kondisi terumbu karang di wilayah tersebut, dan tidak memiliki dana untuk melakukan kegiatan survei yang lengkap.
Penelitian ini dimaksudkan untuk membuat metode penilaian resiliensi terumbu karang, yang praktis dan reliabel, yang dapat digunakan di seluruh kabupaten di Indonesia. Penilaian resiliensi terumbu karang dilakukan dengan sebuah indeks, yang merupakan modifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle (2004). Modifikasi dilakukan dengan mengubah nilai yang digunakan sebagai acuan indeks dari komunitas kontrol menjadi komunitas super (ideal) dan menentukan peubah terumbu karang yang digunakan di dalam indeks. Penelitian ini menggunakan data multifaktor yang tersedia di P2O LIPI dari sekitar 2250 transek garis, panjang 10 meter, yang diambil di kawasan Samudra Hindia, Laut Natuna, Laut China Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Flores, serta Samudra Pasifik. Data tersebut memiliki rentang waktu 1992-2009.
Dengan menggunakan analisis multifaktor BEST (Biological Environmental Stepwise) didapatkan enam peubah yang berperan penting di dalam pemulihan terumbu karang sebagai peubah indikator indeks, yaitu:
a) Jumlah kelompok fungsional karang (CFG, coral functional group); b) Tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva karang (USS, unsuitable
settlement substrate);
c) Kualitas habitat karang (CHQ, coral habitat quality);
Keenam peubah tersebut diberi pembobotan berdasarkan sumbangan ragamnya terhadap ragam total. Besarnya sumbangan ragam ditentukan dengan menggunakan nilai pada komponen utama yang pertama (PC1) dari Principle Component Analysis (PCA).
Terumbu karang yang menjadi acuan indeks adalah terumbu karang “super” di Indonesia, yaitu terumbu yang memiliki nilai maksimum dari keenam peubah indikator indeks. Terumbu karang “super” tersebut didesain berdasarkan nilai maksimum dan minimum setiap peubah dari 2250 transek di Indonesia. Dengan demikian terumbu karang “super” yang menjadi acuan indeks mempunyai ciri khusus, yaitu CFG=13, USS=0, CHQ=50, CSN=25, COC=100, AOF=0. Terumbu karang dengan ciri demikian tidak pernah ada di alam.
Rumus indeks resiliensi (RI) yang diperoleh kemudian dikoreksi dengan konstanta tertentu sehingga secara teoritis akan menghasilkan indeks 0.000 dalam kondisi ideal terburuk dan menghasilkan indeks 2.130 dalam kondisi ideal terbaik. Rumus indeks resiliensi terumbu karang tersebut sebagai berikut:
Indeks resiliensi terumbu karang yang disusun di dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi terumbu karang dalam berbagai skala spasial. Penilaian indeks dapat dilakukan dari skala puluhan meter hingga puluhan ribu kilometer. Pengukuran resiliensi terumbu karang dapat dilakukan pada satuan transek, tetapi penilaian resiliensi suatu terumbu karang membutuhkan banyak transek. Proporsi transek yang memiliki indeks resiliensi 1.000 sebesar 0.403%. Penilaian indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia menunjukkan bahwa semua rata-rata (±SD) indeks resiliensi terumbu karang di suatu lokasi pengamatan antara 0.067±0.032 sampai 0.976±0.107.
(±1SD) indeks resiliensi tertinggi, yaitu Bintan (0.718±0.019), Natuna (0.697±0.078), Wakatobi (0.615±0.025), dan Buton (0.599±0.031).
Indeks resilensi ini juga dapat digunakan untuk menilai perubahan tingkat resiliensi terumbu karang secara temporal. Uji coba dengan menggunakan data tahun 2006 hingga 2009 diperoleh hasil bahwa terumbu karang di Mentawai dan Nias Selatan sedang mengalami peningkatan indeks yang kontinyu, sedangkan di kabupaten lain hanya mengalami perubahan indeks yang fluktuatif. Peningkatan indeks dengan laju 0.044-0.066 per tahun dapat terjadi pada masa pemulihan, sedangkan laju 0.015-0.026 per tahun merupakan fluktuasi tahunan. Perubahan fluktuatif indeks dapat terjadi dalam skala enam bulan
Dengan menggunakan data pemantauan selama 13 tahun, di Kabupaten Sumbawa Barat, diketahui bahwa terumbu karang yang sedang dalam masa pemulihan, mengalami peningkatan indeks kontinyu dan lebih cepat daripada di luar masa pemulihan. Penelitian ini juga menemukan bahwa indeks resiliensi merupakan indikator ekologis yang sangat baik untuk menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan akut langsung, dengan = -0.693 + 1.323X. Indeks resiliensi ini juga dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang (indeks per tahun), dengan persamaan regresi = -0.280 + 0.492X.
Indeks resiliensi terumbu karang yang dikembangkan di dalam penelitian ini relatif sangat praktis karena menggunakan data dari transek garis. Di Indonesia ribuan orang telah dilatih menggunakan metode ini. Hampir semua kabupaten di Indonesia diperkirakan sudah dapat menilai resiliensi terumbu karang di wilayahnya masing-masing dengan menggunakan indeks ini.
Indeks resiliensi ini juga berpotensi digunakan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang antar negara, dan antar kawasan di seluruh dunia. Nilai acuan indeks adalah terumbu karang super di Indonesia, yang sudah dikenal sebagai pusat dari keanekaragaman karang dunia. Walaupun demikian, spekulasi ini masih harus dibuktikan.
Peningkatan resiliensi terumbu karang dapat dilakukan dengan meningkatkan peubah indikator dari indeks resiliensi tersebut. Tutupan karang, jumlah kelompok fungsional, dan kualitas habitat merupakan tiga peubah yang berkaitan dengan terumbu karang yang resiliensinya tinggi.
Penggunaan indeks resiliensi untuk tujuan penentuan prioritas pengelolaan sebaiknya dilengkapi dengan informasi tentang batas kedalaman maksimum pertumbuhan karang di lokasi tersebut. Terumbu karang yang hanya memiliki komunitas karang di tempat dangkal (<5 meter) tidak mencerminkan terumbu karang yang sehat sehingga menurunkan nilai proritas. Indeks resiliensi ini memiliki kekurangan dalam peubah CSN, jumlah koloni karang ukuran kecil. Penelitian mencari peubah untuk menduga potensi rekruitmen secara praktis di dalam transek garis sangat dibutuhkan untuk peningkatan akurasi dari indeks resiliensi ini.
©
Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI
EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN
TERUMBU KARANG
IMAM BACHTIAR
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. 2. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si.
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi : Pengembangan Indeks Resiliensi Ekosistem Dalam Pengelolaan Terumbu Karang
Nama : Imam Bachtiar
NRP : C262070051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. Ketua
Prof. (R) Dr. Suharsono Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.
Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
v
PRAKATA
Alhamdulillah, disertasi ini akhirnya berhasil diselesaikan. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya yang tak terhingga kepada penulis dan keluarga. Tema disertasi tentang resiliensi merupakan hasil kegiatan International Coral Reef Symposium (ICRS), di Florida, USA, tahun 2008. Kesiapan P2O LIPI menyediakan data merupakan pintu pembuka yang paling penting ke arah penelitian indeks resiliensi ini.
Penulis ingin berterima-kasih kepada Komisi Pembimbing: Dr. Ario Damar, Prof. Suharsono, dan Dr. Neviaty P. Zamani, serta Dr. Unggul Aktani (alm.), yang telah membimbing pelaksanaan penelitian ini. Prof. Mennofatria Boer memberikan keberanian kepada penulis untuk menyusun indeks resiliensi.
Selama kuliah, penulis mendapatkan bantuan fasilitas, inspirasi, dan teman diskusi dari rekan-rekan kerja dan ilmuwan senior. Penulis ingin berterima kasih kepada Dr. M. Fedi A. Sondita dan Dr. Fredinan Yulianda (IPB); Prof. Agil Alaydrus, Drs. Karnan, M.Si., dan Dr. Harry Supriyanto (Universitas Mataram); Dr. M. Kasim Moosa dan Dr. Soekarno (LIPI); Dr. Terry J. Done (AIMS Townsville, Australia); dan Dr. Sangeeta Mangubhai (TNC Bali). Penulis juga sangat berterima-kasih kepada semua peneliti yang menghadiri diskusi/seminar rencana penelitian ini di Florida, terutama Prof. Pamela Hallock-Muller (USF St Petersburg); Dr. Brian D. Keller (NOOA); Dr. Ilse Kuffner (USGS); Dr. Robert Muller, Dr. Robert Ruzicka, Dr. Mike Collela (Florida FWC); Dr. Walter Japp (LLC Tampa Bay); dan Dr. Chris Bergh (TNC Florida Keys).
Di dalam penelitian ini penulis mendapatkan sumbangan data dari P2O LIPI, CRITC COREMAP, Florida FWC, WCS Marine Program Bogor, dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Penulis sangat berterima-kasih kepada Prof. Suharsono (Kepala P2O); Ir. Anna Manuputty, M.Si. dan Djuwariah (CRITC COREMAP); Ir. Windy Prayogo dan Dr. Jorina Waworuntu (PT NNT). Semua mahasiswa S3 SPL angkatan 2007 merupakan teman diskusi dan pemberi semangat belajar, yaitu Dr. Amiruddin Taher, Dr. Nirmala A. Wijaya, Musaddun, Ahmad Bahar, Gladys Peuru, Riyadi Subur, Nurul Istiqomah, dan Abdul Syukur.
Penulis juga berterima-kasih pada Dra. Ani Mariani (istri); Jasmine C.U. Bachtiar dan Naila T. Bachtiar (anak); atas kesabarannya memberikan waktu belajar kepada penulis. Penulis juga berterima-kasih atas iringan doa Muchid Ichsan-Sri Utami (orangtua) dan M. Anwar, BA-Asiah Syafii (mertua) selama penulis kuliah. Tidak semua orang yang membantu penulis dalam penelitian ini dapat disebutkan. Penulis ingin berterima-kasih pada semua yang belum disebut di halaman ini.
Selama kuliah di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis mendapat dukungan finansial beasiswa BPPS (2007-2010) dan Sandwich-like Program (2009) dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, serta beasiswa penulisan disertasi (2010) dari COREMAP II Direktorat Jendral Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. PT NNT dan ISRS mensponsori kegiatan symposium ICRS di Florida.
Bogor, Juli 2011
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis, Imam Bachtiar, lahir di Jombang tanggal 17 Pebruari 1963 dari keluarga Muchid Ichsan-Sri Utami. Penulis mengalami pendidikan di SDN Mojoanyar (1969-1974), SMP Bhinandika Wonosalam (1975-1976), dan SMPP (SMAN2) Jombang (1978-1981). Pendidikan tinggi ditempuhnya di Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Surabaya (1981-1986), dan di Marine Biology Department, James Cook University of North Queensland, Townsville - Australia (1992-1994). Sejak tahun 1988, penulis menjadi dosen tetap di Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Mataram. Penulis pernah menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Biologi (1995-1997) dan menjadi Ketua Pusat Penelitian Pesisir dan Laut (P3L) Universitas Mataram (2007-sekarang).
Penulis mulai meneliti terumbu karang pada tahun 1988. Sejak tahun 1995, penulis menjadi anggota International Society for Reef Studies (ISRS). Penulis juga terdaftar sebagai kontributor dari beberapa buku UNEP (United Nations Environment Programme) berkaitan dengan Global International Waters Assessment (GIWA). Penulis pernah mengikuti sejumlah kegiatan ilmiah internasional, yaitu seminar, workshop, visiting scholar, dan short-course, ke luar negeri termasuk: Australia, Amerika Serikat, Canada, Thailand, dan Vietnam.
ix
DAFTAR ISTILAH
akar cirri : suatu akar dari persamaan ciri dari matriks.
suatu skalar yang berkaitan dengan transformasi linear dari vektor ruang, yang mempunyai ciri matriks tida sama dengan nol, yang jika dikalikan dengan skalar sama dengan vektor yang diperoleh dari transformasi vektor tersebut (Merriam-Webster).
suatu faktor yang mana eigenvektor (vektor ciri) berubah jika dikalikan dengan matriks kuadrat (Wikipedia).
domain atraksi : ranah dari struktur komunitas yang dapat menjamin keberlanjutan fungsi ekosistem
fisiografi laut : gambaran fisik dasar laut, yang berkaitan dengan proses geologis terjadinya laut.
gangguan : puncak dari perubahan lingkungan yang melebihi variasi normal dari operasi ekosistem dan biasanya berasal dari luar ekosistem.
herbivore : proses pemakanan makroalgae yang tumbuh di terumbu karang.
indeks : suatu angka yang menunjukkan tingkatan relatif suatu kondisi (Oxford)
suatu angka (rasio) yang berasal dari sejumlah observasi dan digunakan sebagai indikator atau ukuran (Merriam-Webster)
koefisien : suatu angka yang berfungsi sebagai ukuran dari suatu karakter atau ciri (bahan, alat, proses) (Meriam-Webster)
suatu ukuran dari ciri khusus suatu benda dalam kondisi tertentu (Oxford)
suatu angka yang terletak di depan dan mengalikan suatu kuantitas (Oxford)
peubah indicator : peubah yang digunakan sebagai petunjuk tinggi rendahnya tingkat resiliensi.
pergantian fase : perubahan komunitas terumbu karang secara (semi) permanen dari komunitas yang didominasi oleh karang menjadi komunitas yang didominasi oleh makroalgae, karang lunak, anemone atau lainnya.
resistensi : kemampuan ekosistem untuk bertahan (tidak berubah) ketika terjadi gangguan.
tekanan (stress) : perubahan lingkungan secara perlahan dan kontinyu, yang masih dalam rentangan variasi yang normal dan biasanya berasal dari dalam ekosistem.
xi
DAFTAR SINGKATAN
AMC : algae macro cover; tutupan makro-algae, kelimpahan algae berdaging.
ALC : algae (total) cover; tutupan seluruh algae yang meliputi makroalgae, turf algae, dan algae berkapur.
AOF : algae and other fauna; tutupan algae total ditambah tutupan fauna lain.
BNT : Bintan
BTM : Batam
BTN : Buton
CAC : coral Acroporidae cover; tutupan karang Acroporidae.
CFG : coral functional group; jumlah kelompok fungsional karang, yang dihitung berdasarkan jumlah bentuk tumbuh (life-form) karang dalam transek.
CGR : coral genera richness; kekayaan genus karang, yang dihitung berdasarkan jumlah genus karang dalam transek.
CMC : coral massive cover; tutupan karang bentuk massif, misalnya Porites lobata, Goniastrea aspera, Montastrea annularis. CMS : coral massive and submassive; tutupan karang masif ditambah
tutupan karang sub-masif.
COC : coral cover, tutupan karang (total).
COREMAP : coral reef rehabilitation and management programe.
COT : crown of thorns; bintang laut mahkota berduri, pemangsa karang.
CRITC : coral reef information and training center, pusat informasi dan pelatihan terumbu karang.
CSC : coral submassive cover; tutupan karang bentuk sub-masif, misalnya Psamocora digitata, Pavona clavus, Pocillopora verrucosa.
GBR : the Great Barrier Reef; gugusan terumbu karang yang terdapat di pesisir timur Australia.
IUCN : The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources, sebuah lembaga konservasi internasional
LGG : Lingga
MTW : Mentawai
NISEL : Nias Selatan
NOAA : National Oceanic and Atmospheric Administration
NTN : Natuna
OTF : other fauna; tutupan fauna lain yang biasanya terdiri atas echinodermata, karang lunak, kima dan molluska lain, zooanthidae, anemone, dan gorgonian.
P2O LIPI : Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
PKP : Pangkep
RJP : Raja Ampat
SHINDIA : Samudra Hindia
SLY : Selayar
SPASIFIK : Samudra Pasifik
SUFLO : Sulawesi-Flores
SUND : Sunda
TPT : Tapanuli Tengah (Tapteng)
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR LAMPIRAN xix
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 8
1.3 Manfaat Penelitian 8
1.4 Hipotesis 10
1.5 Kebaruan 10
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 12
1.7 Rancangan Penelitian 12
2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI 15
2.1 Pendahuluan 15
2.2 Metode Penelitian 16
2.2.1 Penentuan peubah indikator 16
2.2.2 Pengumpulan data 23
2.2.3 Analisis data 25
2.3 Hasil-hasil Penelitian 27
2.3.1 Penentuan peubah indikator 27
2.3.2 Perumusuan indeks 29
2.3.3 Indeks resiliensi dan tutupan karang 33
2.3.4 Klasifikasi indeks 35
2.4 Pembahasan 36
2.5 Kesimpulan 38
3 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM PENILAIAN SPASIAL RESILIENSI TERUMBU KARANG
39
3.1 Pendahuluan 39
3.2 Metode penelitian 41
3.2.1 Pengumpulan data 41
3.2.2 Analisis data 42
3.3 Hasil-hasil Penelitian 43
3.3.1 Indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia 43 3.3.2 Perbandingan peubah indikator indeks resiliensi 49
3.4 Pembahasan 53
Halaman
4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG
61
4.1 Pendahuluan 61
4.2 Metode Penelitian 62
4.2.1 Pengambilan data 62
4.2.2 Analisis data 63
4.3 4.3 Hasil-hasil Penelitian 64
4.3.1 Dinamika temporal indeks resiliensi 64 4.3.2 Dinamika temporal peubah indikator indeks 70
4.4 Pembahasan 76
4.5 Kesimpulan 79
5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG
81
5.1 Pendahuluan 81
5.2 Metode Penelitian 82
5.2.1 Pengumpulan data 82
5.2.2 Analisis data 85
5.3 Hasil-hasil Penelitian 86
5.3.1 Pemulihan terumbu karang dalam skala puluhan meter 86 5.3.2 Pemulihan terumbu karang dalam skala puluhan
kilometer
92
5.4 Pembahasan 95
5.5 Kesimpulan 100
6 PEMBAHASAN UMUM 103
6.1 Indeks Resiliensi Terumbu Karang 103
6.2 Penggunaan Indeks dalam Pengelolaan Terumbu Karang 107 6.3 Kekurangan Indeks dan Arahan Pengembangannya 112
7 KESIMPULAN 115
7.1 Kesimpulan Umum 115
7.2 Saran-saran 116
DAFTAR PUSTAKA 117
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Daftar pengujian hipotesis nol dan statistik yang digunakan 11
2 Daftar 11 calon peubah indikator resiliensi terumbu karang yang diperoleh dari kajian pustaka
17
3 Indeks korelasi antar calon peubah indikator resiliensi terumbu karang.
27
4 Hasil analisis BEST untuk pengurangan jumlah peubah indikator indikator
28
5 Nilai maksimum terumbu karang “super” yang menjadi acuan penghitungan indeks resiliensi terumbu karang
30
6 Hasil penggunaan PCA pada enam indikator resiliensi terumbu karang
31
7 Pembobotan indikator resiliensi terumbu karang dengan menggunakan nilai komponen pertama dari PCA
32
8 Klasifikasi indeks resiliensi terumbu karang ke dalam lima kategori
35
9 Perubahan rata-rata indikator indeks selama dua kurun waktu di kawasan timur Indonesia
74
10 Perubahan rata-rata indikator indeks selama dua kurun waktu di kawasan Indonesia Barat
75
11 Indeks resiliensi dan pemulihan terumbu karang di Sumbawa Barat
88
12 Tutupan karang dan pemulihan terumbu karang di Sumbawa Barat
91
13 Kebijakan pengelolaan untuk meningkatkan indeks resiliensi terumbu karang.
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram alir rancangan penelitian 13
2 Peta lokasi pengambilan data CRITC-COREMAP pada tahun 2009 (lingkaran merah), dan lokasi pengambilan data di luar COREMAP pada periode 1992-1998 (lingkaran kuning).
24
3 Indeks resiliensi terumbu karang dan hubungannya dengan tutupan karang (COC), tutupan makroalga dan fauna lain (AOF), serta tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva secara permanen (USS).
34
4 Perbandingan rata-rata indeks resiliensi terumbu karang antar formasi geologis.
44
5 Perbandingan rata-rata indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Timur.
46
6 Perbandingan kelas indeks resiliensi antar terumbu karang di kawasan Indonesia Timur.
47
7 Perbandingan rata-rata indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Barat.
48
8 Perbandingan proporsi indeks resiliensi antar terumbu karang di kawasan Indonesia Barat.
49
9 Perbandingan peubah indikator indeks resiliensi antar sub-kawasan (formasi geologis).
50
10 Perbandingan tiga peubah (CFG, USS, CHQ) indikator indeks resiliensi antar kabupaten, di kawasan timur dan barat Indonesia.
52
11 Perbandingan tiga peubah (CSN, COC, AOF) indikator indeks resiliensi antar kabupaten, di kawasan timur dan barat Indonesia.
53
12 Dinamika temporal rata-rata indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Timur.
65
13 Perubahan proporsi status resiliensi terumbu karang selama empat tahun di kawasan Indonesia Timur.
66
14 Perbedaan pola perubahan indeks antara terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi kategori baik dan baik sekali dengan yang kategori kurang dan buruk, di kawasan Indonesia Timur.
Halaman
15 Dinamika indeks resiliensi terumbu karang di empat kabupaten di kawasan barat Indonesia.
68
16 Perubahan proporsi status resiliensi terumbu karang di empat kabupaten selama empat tahun, di kawasan Indonesia Timur.
69
17 Perbedaan pola perubahan indeks antara terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi awal kategori baik dan baik sekali dengan yang kategori kurang dan buruk, di kawasan Indonesia Timur.
70
18 Perbandingan dinamika peubah indikator indeks resiliensi dalam skala ribuan kilometer, atau antara kawasan timur dan barat Indonesia.
71
19 Dinamika rata-rata peubah indikator indeks resiliensi terumbu karang, di empat kabupaten kawasan Indonesia Timur, dalam empat tahun pengamatan.
72
20 Dinamika peubah indikator indeks resiliensi di empat kabupaten kawasan Indonesia Barat, dalam tiga tahun pengamatan.
73
21 Peta lokasi pengambilan data terumbu karang PT NNT, yang datanya digunakan di dalam penelitian ini.
83
22 Dinamika indeks resiliensi pada terumbu karang di perairan Sumbawa Barat.
87
23 Dinamika perubahan tutupan karang di lokasi penelitian, dalam periode Oktober 1997-April 2010.
90
24 Rekaman suhu air laut bulanan di Teluk Benete, dalam periode September 1999-September 2007.
90
25 Hasil analisis MDS terhadap indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat.
92
26 Dinamika rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat, April 1997 sampai April 2010.
93
27 Hasil analisis MDS terhadap tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat.
94
28 Dinamika rata-rata (±1SE) tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat, tahun 1997-2010.
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Penyusunan Rumus: Menghitung Nilai Faktor Koreksi (CF) 129
2 Analisis Statistik Bab 2 131
3 Protokol Penilaian Indeks Resiliensi Terumbu Karang 133
4 Analisis Statistik Bab 3 137
5 Analisis Statistik Bab 4 147
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim global telah menempatkan terumbu karang berhadapan
dengan sederet gangguan besar yang tidak dapat dihindari. Pemutihan karang
karena suhu air laut yang meningkat diperkirakan akan semakin pendek siklusnya,
dan akan menjadi peristiwa tahunan di kawasan Phuket dan the Great Barrier Reef
(GBR) pada tahun 2030 (Hoegh-Guldberg 1999). Dengan frekuensi pemutihan
karang secepat itu, sebagian besar populasi karang tidak cukup waktu untuk pulih
kembali. Karang yang mampu berevolusi dengan cepat akan segera berhadapan
dengan air laut yang suhunya tinggi dan semakin asam (Kleypas et al. 1999; Hoegh-Guldberg et al. 2007). Perubahan iklim global yang terjadi sekarang ini dikhawatirkan akan menjadi peristiwa kepunahan masal atau kiamat yang keenam
di muka bumi (Veron 2010). Peningkatan dan pemeliharaan resiliensi ekosistem
terumbu karang (ecosystem resilience), yaitu kemampuan ekosistem terumbu karang untuk menghadapi (mengabsorpsi) gangguan dan membangun kembali
sistem yang didominasi karang (Hughes et al. 2007), merupakan satu-satunya upaya dalam pengelolaan terumbu karang untuk menghadapi gangguan yang
terkait perubahan iklim global (Bellwood et al. 2004; Hoegh-Guldberg et al. 2007; Nystrom et al. 2008). Pengelolaan terumbu karang dapat mengurangi gangguan insani, sehingga resiliensi terumbu karang dapat ditingkatkan dan dijaga
untuk menghadapi gangguan alami.
Sebagai ekosistem alami, gangguan (disturbance, perturbation) merupakan bagian dari faktor yang telah membentuk dan meningkatkan ketahanan terumbu
karang, sehingga pengelolaan terumbu karang perlu memahami tanggapan
terumbu karang terhadap gangguan. Secara alami, terumbu karang memiliki
resiliensi yang tinggi terhadap semua gangguan yang ada (Done 1992; Connell
1997), sehingga telah mampu bertahan selama ratusan juta tahun (Grig 1994).
Tetapi dampak negatif kehadiran manusia di bumi dalam dua abad terakhir telah
menyebabkan resiliensi terumbu karang terhadap gangguan yang ada semakin
ekosistem. Sebaliknya, gangguan yang skalanya besar, dengan frekuensi kejadian
yang tinggi, atau yang bersifat kronis akan lebih sulit untuk dihadapi oleh
ekosistem terumbu karang (Connell 1997). Jika gangguan insani yang kronis
bersinergi dengan gangguan alami dengan frekuensi dan skala yang besar, maka
dapat menyebabkan ekosistem kehilangan resiliensinya dan mengalami pergantian
fase atau phase shift (sensu Done 1992; Hughes 1994), yaitu terumbu karang yang secara alami didominasi oleh komunitas karang berubah menjadi didominasi oleh
komunitas makroalgae.
Definisi resiliensi pertama kali dinyatakan oleh Holling (1973) sebagai
ukuran ketahanan sistem dan kemampuannya mengabsorbsi perubahan dan
gangguan dengan tetap menjaga hubungan antar populasi atau antar peubah pada
kondisi yang sama. Holling dan Gunderson (2002) memberikan definisi resiliensi
ekosistem sebagai besarnya gangguan yang dapat diterima sebelum sistem
berubah strukturnya dengan berubahnya variabel dan proses yang mengendalikan
perilakunya. Dengan mengadopsi definisi Holling, Folke et al. (2004) memberikan definisi umum resiliensi ekosistem sebagai ukuran besarnya
gangguan yang dapat diterima oleh suatu sistem sebelum terjadi perubahan
menjadi suatu kondisi (kestabilan) baru yang berbeda pengendalian struktur dan
fungsinya. Holing juga membedakan antara resiliensi ekologis dengan resiliensi
rekayasa (engineering). Definisi yang tersebut sebelumnya adalah resiliensi ekologis. Resiliensi rekayasa merupakan ukuran laju suatu sistem mencapai
keseimbangan setelah gangguan berlalu. Resiliensi rekayasa ini dianggap tidak
tepat untuk ekosistem yang memiliki kondisi keseimbangan yang banyak.
Hughes et al. (2007) memberikan definisi yang khusus untuk resiliensi terumbu karang, yaitu kemampuan terumbu karang untuk menghadapi (mengabsorpsi)
gangguan dan membangun kembali sistem yang didominasi karang. Walaupun
semua definisi tersebut dapat menjelaskan arti dari resiliensi, teori resiliensi yang
sudah terakumulasi belum dapat digunakan di dalam pengelolaan terumbu karang
(Nystrom et al. 2008).
Banyak penelitian mengungkapkan bahwa resiliensi ekosistem sangat
berkaitan dengan kenakeragaman hayati. Keanekaragaman yang tinggi
ketahanan suatu ekosistem terhadap gangguan, dan sulit dipisahkan dari resiliensi.
Keanekaragaman hayati di tingkat genetik memberikan variasi tanggapan dari
spesies yang sama terhadap gangguan yang sama. Karang yang bersimbiosis
dengan zooxanthellae galur D dilaporkan lebih resisten terhadap pemutihan
karang daripada yang bersimbiosis dengan galur A, B dan C (Glyn et al. 2001). Keanekaragaman hayati di tingkat spesies memberikan kekuatan kepada
komunitas karang terhadap gangguan pemutihan karang dan pemangsaan oleh
Achanthaster plancii atau Drupella. Kedua pemangsa karang tersebut memiliki preferensi terhadap karang jenis Acroporidae and Pocilloporidae (Moran 1990;
Cumming 1999), sehingga dalam intensitas gangguan yang sedang anggota
komunitas karang lainnya tidak terganggu oleh pemangsa karang tersebut. Karang
Acroporidae dan Pocilloporidae juga mempunyai resistensi yang lebih rendah
terhadap pemutihan karang dibandingkan karang dari famili yang lainnya (Brown
& Suharsono 1990; Feingold et al. 2001; dan yang lainnya). Jika resistensi komunitas karang tinggi maka keanekaragaman dan kelimpahan karang yang
tersisa setelah gangguan juga tinggi, sehingga pemulihan komunitas menyerupai
kondisi sebelumnya juga lebih cepat.
Keanekaragaman yang tinggi diperlukan untuk berlangsungnya
proses-proses ekologis, tetapi resiliensi ekosistem tidak ditentukan oleh keanekaragaman
spesies melainkan keanekaragaman fungsional (Peterson et al. 1998). Peran ekologis setiap anggota komunitas di dalam ekosistem dapat dikelompokkan ke
dalam sejumlah kelompok fungsional. Kelompok fungsional komunitas karang
dapat ditunjukkan oleh bentuk tumbuh koloninya. Secara konvensional, bentuk
tumbuh karang dikelompokkan ke dalam 13 macam (English et al. 1994, 39). Walaupun masing-masing bentuk tumbuh dapat menyediakan fasilitas yang sama
sebagai habitat, bentuk tumbuh tersebut mencerminkan derajat kompleksitas
habitat yang berbeda-beda, sehingga merupakan kelompok fungsional yang
berbeda. Suatu ekosistem dapat memiliki keanekaragaman spesies tinggi, tetapi
jika ada satu kelompok fungsional penting yang tidak dapat berjalan fungsinya
akan menyebabkan fungsi ekosistem terganggu. Dampak positif dari
keanekaragaman di dalam fungsi ekologis terhadap fungsi ekosistem adalah
tanpa diikuti penurunan pada fungsi ekosistem (review in Srivastava & Vellend
2004). Di dalam kasus terumbu karang di Jamaica, misalnya, menghilangnya
populasi penyu dan duyung tidak menyebabkan terjadinya pergantian fase, karena
fungsi ekologisnya dapat digantikan oleh ikan herbivora (Jackson 1997).
Resiliensi ekologis juga sangat ditentukan oleh keselingkupan atau
redundansi spesies dalam suatu skala dan redundansi fungsi ekologis antar skala
(Peterson et al. 1998). Redundansi di dalam (intra) skala ditunjukkan oleh banyaknya spesies yang menjalankan fungsi ekologis yang sama, misalnya karang
berbentuk massif. Koloni karang berbentuk masif menyediakan habitat yang dapat
dihuni oleh ikan-ikan Serannidae dan Lutjanidae yang berukuran besar. Karang
masif tersebut dapat berasal dari Faviidae, Poritidae, atau yang lainnya.
Sedangkan masing-masing famili karang tersebut terdiri atas banyak spesies.
Redundansi antar skala ditunjukkan oleh adanya sejumlah spesies dengan ukuran
koloni yang berbeda tetapi menjalankan fungsi yang hampir sama. Karang masif
kecil dan karang masif besar berfungsi sama sebagai tempat sembunyi ikan-ikan
dari pemangsanya dengan skala yang berbeda.
Pemulihan ekosistem terumbu karang setelah berlalunya gangguan sangat
tergantung pada memori ekologis ekosistem tersebut. Memori ekologis adalah
komposisi dan distribusi organisme serta interaksinya dalam ruang dan waktu,
termasuk pengalaman ‘life history’ dengan fluktuasi lingkungan (Nystrom & Folke 2001). Memori ekologis tersebut terdiri atas tiga komponen, yaitu warisan
biologis dan struktural yang selamat dari gangguan (biological and structural legacy), organisme penghubung bergerak (mobile link), dan daerah pendukung (support area). Komponen pertama berfungsi sebagai memori internal, sedangkan komponen kedua dan ketiga berfungsi sebagai memori eksternal di dalam proses
reorganisasi dan rekonstruksi ekosistem tersebut setelah gangguan.
Komponen biologis dan struktural yang selamat dapat menjadi komponen
yang paling penting dalam reorganisasi ekosistem terumbu karang. Ketika suatu
ekosistem mengalami gangguan, maka kemampuan reorganisasi dan rekonstruksi
sistem tersebut sangat tergantung pada keanekaragaman spesies yang masih
tersisa. Komunitas yang tersisa menentukan arah suksesi komunitas baru yang
maupun komunitas biota lainnya. Semakin tinggi keanekaragaman komunitas
yang tersisa akan semakin mirip struktur dan komposisi komunitas baru tersebut
dengan komunitas sebelumnya. Struktur yang selamat dari terumbu karang
memberikan dua fasilitas dalam suksesi terumbu karang. Pertama, struktur karang
mati dapat menjadi tempat penempelan larva karang atau benthos yang lainnya.
Jika struktur tersebut stabil, maka kolonisasi karang dan benthos lainnya dapat
berjalan lebih cepat dan komunitas karang yang baru lebih cepat terbentuk.
Kedua, struktur terumbu karang menyediakan habitat bagi ikan-ikan karang.
Ikan-ikan herbivora dan invertivora merupakan komponen ekosistem yang penting
dalam menentukan arah suksesi terumbu karang (Bellwood et al. 2004).
Memori eksternal ekosistem, yaitu organisme penghubung yang bergerak
(mobile link), dapat dibedakan sebagai kelompok yang bergerak pasif dan yang bergerak aktif (Nystrom & Folke 2001). Larva-larva karang, ikan, atau biota
lainnya yang bergerak secara pasif dari satu terumbu ke terumbu lainnya
merupakan komponen penghubung yang pasif. Komponen ini menyediakan suplai
larva yang akan mengkolonisasi ruang terbuka akibat gangguan. Rekolonisasi
terumbu karang melalui proses penyebaran larva ini sangat penting (Pearson
1981), karena ekosistem terumbu karang bersifat terbuka. Rekolonisasi akan
memperkaya keanekaragaman hayati dan meningkatkan kelimpahan populasi.
Pemulihan suatu terumbu karang sangat tergantung pada terumbu karang di
sekitarnya, terutama bagi terumbu karang hilir (sink reef). Di dalam ekosistem yang bersifat terbuka, seperti terumbu karang, peranan organisme penghubung
sangatlah besar. Hanya sebagian kecil larva karang yang diproduksi di suatu
terumbu karang akan hidup menetap di habitat induknya. Larva karang
mempunyai umur 23-244 hari (Graham et al. 2008), sehingga sebagian besar dari larva tersebut berpotensi hanyut oleh arus air laut dan kemudian hidup menetap di
suatu terumbu karang yang lain. Penelitian genetika pada karang Goniastrea aspera menunjukkan bahwa karang di Okinawa Islands menerima larva dari karang di Kerama Islands, yang berjarak sekitar 50 km (Nishikawa & Sakai
2005). Kehadiran ikan herbivora dari terumbu lain juga sangat penting dalam
proses suksesi terumbu karang. Intensitas herbivori yang rendah menyebabkan
Ikan-ikan herbivora di terumbu karang terdiri atas empat famili, yaitu
Achanthuridae, Scaridae, Siganidae dan Kyphosidae. Dari keempat famili
tersebut, tiga famili yang pertama merupakan ikan herbivora utama. Russ (1984)
yang melakukan survei herbivori pada sembilan terumbu karang di GBR,
Australia, membatasi ikan herbivora pada famili Achanthuridae, Scaridae dan
Siganidae. Di Lizard Island, GBR, dan sekitarnya, kelimpahan ketiga ikan
herbivora utama masing-masing adalah Achanthuridae (54%), Scaridae (31%) dan
Siganidae (14%) (Meekan & Choat 1997). Di San Blas Islands, Panama, Meekan
& Choat juga melaporkan pola yang serupa, walaupun ada satu lokasi dimana
Kyphosidae menunjukkan proporsi kelimpahan yang sebanding dengan
Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Ambergris Caye, Belize, komposisi
biomassa ikan herbivora berbeda dari Lizard Island dan San Blas Islands tersebut
dengan Scaridae (65,4%) paling dominan diikuti oleh Acanthuridae (30,1%) dan
Pomacentridae (4,5%) (Williams et al. 2001). Dalam skala puluhan atau ratusan kilometer, hewan herbivora yang berperan penting dalam herbivori dapat berbeda.
Pada terumbu karang di Nymph Island dan Turtle Group, GBR, ikan Scarus rivulatus dilaporkan merupakan herbivora yang paling penting (Hoey and Bellwood 2008), sedangkan ikan Siganus canaliculatus dilaporkan merupakan ikan herbivora penting pada terumbu karang di Pioneer Bay, Orphues Island (Fox
and Bellwood 2008). Jarak antara kedua lokasi tersebut ratusan kilometer.
Sudah lama peneliti terumbu karang mencoba memahami resiliensi
ekosistem terumbu karang. Pada saat ini pengetahuan tentang resiliensi terumbu
karang seharusnya sudah cukup untuk melakukan sesuatu (Nystrom et al. 2008), sehingga teori resiliensi dapat segera digunakan di dalam praktek pengelolan
terumbu karang. Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan tingkat
resiliensi terumbu karang tersebut dibutuhkan kemampuan untuk mengenali lebih
awal tingkat resiliensi terumbu karang. Pengukuran resiliensi terumbu karang
merupakan langkah awal dalam penggunaan teori resiliensi di dalam pengelolaan
terumbu karang.
Metode untuk mengukur tingkat resiliensi terumbu karang, sayangnya,
masih dalam tahap awal pengembangannya. Pada saat ini, tersedia dua metode
membuat panduan penilaian resiliensi terumbu karang, yang dipublikasikan oleh
IUCN (the International Union for the Conservation of Nature and Natural
Resources). Maynard et al. (2010) juga mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang. Kedua metode tersebut masih sulit diterapkan dalam
skala besar di Indonesia, karena kurangnya dukungan financial dan kepakaran.
Metode penilaian lain yang lebih mudah (praktis) dan murah sangat dibutuhkan
agar dapat dilakukan oleh sebagian besar kabupaten di Indonesia.
Di Indonesia, sebagian besar penilaian kondisi terumbu karang dilakukan
dengan metode transek garis, atau line intercept transect (LIT). Metode ini dikembangkan oleh Loya (1972, 1978) dan dibakukan oleh para peneliti terumbu
karang ASEAN dan Australia sejak awal dekade 1990-an, misalnya P2O (Pusat
Penelitian Oseanografi) LIPI di Indonesia dan PMBC (Phuket Marine Biological
Center) di Thailand. Di Australia, metode LIT sudah diganti dengan metode
transek video, video transect (VT). Metode LIT juga menjadi metode standar pada Proyek COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program).
Ribuan orang telah dilatih untuk menggunakan metode LIT tersebut, karena dapat
digunakan baik untuk tujuan yang bersifat praktis (manajemen) maupun untuk
tujuan publikasi ilmiah.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan metode penilaian
resiliensi terumbu karang dengan menggunakan LIT. Banyak data yang
sebenarnya dapat diinterpretasikan dari metode LIT (Marsh et al. 1984) bahkan dalam bentuknya yang paling sederhana, tetapi jarang dilakukan oleh peneliti
terumbu karang. Pada saat ini, data yang diinterpretasikan dari metode LIT pada
umumnya hanya tutupan karang, tutupan makroalgae, dan kekayaan spesies
karang. Tutupan karang yang tinggi menunjukkan kondisi terumbu karang yang
baik. Kondisi sebaliknya diinterpretasikan pada tutupan makroalgae yang tinggi.
Di dalam penelitian ini, data yang dikoleksi dari metode LIT dimanfaatkan secara
maksimal untuk menilai resiliensi terumbu karang. Data tentang jumlah
bentuk-tumbuh (life form) dan ukuran koloni karang, misalnya, selama ini sulit diinterpretasikan untuk keperluan pengelolaan terumbu karang. Demikian juga
Acroporidae. Keempat data tersebut akan terintegrasikan di dalam sebuah indeks
untuk menilai resiliensi terumbu karang.
Penelitian ini menjadi yang pertama mengembangkan metode penilaian
resiliensi terumbu karang dengan data dari transek garis. Belum ada penilaian
resiliensi terumbu karang yang menggunakan data dari transek garis, suatu
metode penilaian terumbu karang yang paling umum digunakan di Indonesia dan
kawasan negara-negara ASEAN (Association of South East Asian Nations).
1.2 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan indeks
resiliensi ekosistem dalam pengelolaan terumbu karang. Tujuan umum tersebut
dicapai melalui 4 (empat) tahap penelitian, yaitu:
a) Penyusunan rumus (formulasi) indeks resiliensi ekosistem terumbu karang
dengan menggunakan data dari transek garis (LIT).
b) Uji coba penggunaan indeks untuk menilai resiliensi terumbu karang di
Indonesia
c) Uji coba penggunaan indeks untuk mengukur laju perubahan temporal
indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia.
d) Uji coba penggunaan indeks resiliensi untuk menilai dan memprediksi
pemulihan terumbu karang dari gangguan yang bersifat akut dan
berdampak langsung.
1.3. Manfaat Penelitian
Penilaian resiliensi terumbu karang merupakan langkah penting dalam
pengelolaan pesisir terpadu (ICZM, Integrated Coastal Zone Management; atau ICM, Integrated Coastal Management). Pengukuran resiliensi terumbu karang menjadi salah satu alat dalam analisis resiko lingkungan (ERA, Environmental
Risk Analysis) untuk implementasi pengelolaan yang berbasis ekosistem (EBM,
Ecosystem-Based Management). Pendekatan EBM merupakan salah satu prinsip dasar di dalam penerapan ICM (Chua 2006, 94). Penelitian ini memiliki posisi
yang sangat penting karena sudah waktunya teori resiliensi digunakan dalam
Perencanaan pengelolaan terumbu karang seharusnya didasarkan pada 3
(tiga) kriteria (Done 1995), yaitu: 1) penilaian kawasan yang memiliki resiko
tinggi, 2) penilaian resiko kehilangan (kerugian) secara kuantitatif, dan 3)
penilaian kemampuan terumbu untuk pulih dalam arti suksesi dan biokonstruksi.
Terumbu karang yang mempunyai nilai tinggi dan resiko tinggi mendapatkan
prioritas yang tinggi dalam pengelolaan. Terumbu karang yang kerusakannya sulit
tergantikan juga lebih diprioritaskan. Terumbu karang yang peluang
pemulihannya tinggi akan mendapat prioritas yang tinggi pula dalam pengelolaan.
Jika terumbu karang memiliki peluang pemulihan rendah, maka sulit untuk
memberikan jaminan bahwa upaya dan biaya yang dicurahkan di dalam
pengelolaan akan membuahkan hasil yang sepadan. Penilaian tingkat resiliensi
terumbu karang merupakan kriteria ketiga dari perencanaan pengelolaan terumbu
karang, yaitu penilaian peluang pemulihan terumbu karang.
Tingkat resiliensi terumbu karang hendaknya merupakan salah satu
komponen yang penting dalam pemilihan kawasan konservasi terumbu karang.
Terumbu karang yang memiliki tingkat resiliensi lebih tinggi lebih berharga untuk
dikonservasi daripada yang resiliensinya rendah. Sayangnya hingga saat ini belum
ditemukan bagaimana resiliensi ekologis terumbu karang dapat dikenali atau
diukur secara praktis. Pemilihan kawasan konservasi terumbu karang sebagian
besar masih dilakukan secara konvensional didasarkan pada kelimpahan dan
keanekaragaman komunitas karang dan komunitas ikan. Tetapi terumbu karang
yang tutupannya baik dan jumlah spesies karang tinggi belum tentu
mencerminkan resiliensi yang tinggi.
Manfaat dari penelitian ini secara umum sebagai berikut:
a) Indeks resiliensi terumbu karang sangat bermanfaat dalam pemilihan
lokasi kawasan konservasi terumbu karang, dan penentuan zonasi dalam
pengelolaan terumbu karang. Indeks resiliensi yang didapatkan dari
penelitian ini akan menjadi salah satu indikator penentu di dalam
perencanaan zonasi.
b) Indeks resiliensi terumbu karang juga bermanfaat di dalam memilih
pendekatan pengelolaan yang diperlukan untuk memelihara atau
yang memiliki kontribusi besar terhadap indeks merupakan faktor yang
harus ditingkatkan dalam memelihara atau meningkatkan resiliensi
terumbu karang.
c) Indeks resiliensi terumbu karang sangat penting untuk melakukan ERA
(Environmental Risk Assessment) dalam kerangka ICM. Terumbu karang yang indeks resiliensinya rendah memiliki resiko yang lebih besar
daripada yang resiliensinya tinggi. Terumbu karang di kawasan Asia
Tenggara memiliki ancaman gangguan insani dan alami yang sangat besar
(Burke et al. 2002).
1.4 Hipotesis
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan metode penilaian
terumbu karang, khususnya indeks resiliensi terumbu karang. Tidak ada hipotesis
yang akan diuji secara khusus. Penggunaan sejumlah statistik dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk mengkonfirmasi adanya perbedaan antara dua atau lebih
kondisi dari penerapan indeks resiliensi (Tabel 1).
1.5 Kebaruan (Novelty)
a) Rumus indeks resiliensi yang dikembangkan di dalam penelitian ini
merupakan rumus yang baru untuk menilai resiliensi terumbu karang.
Rumus yang dimodifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah dari
Orwin dan Wardle (2004) tersebut memiliki karakteristik yang jauh
berbeda dari rumus awalnya, misalnya perubahan nilai acuan peubah
indikator indeks dari komunitas kontrol dengan komunitas super dan
ditambahkannya faktor koreksi.
b) Penggunaan indeks resiliensi ekosistem untuk menilai dan memprediksi
pemulihan terumbu karang juga belum pernah dilakukan sebelumnya.
Baik Obura dan Grimsditch (2009) maupun Maynard et al. (2010) keduanya tidak merumuskan model persamaan regresi untuk memprediksi
Tabel 1 Daftar pengujian hipotesis nol dan satistik yang digunakan.
Hipotesis nol yang diuji Statistik Bab
1) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antara kawasan Indonesia Barat dan Indonesia Timur.
Uji t 3
2) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antar-fisiografi laut.
Anova satu faktor
3
3) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur.
Anova satu faktor
3
4) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Barat.
Anova satu faktor
3
5) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator indeks resiliensi antar-fisiografi laut.
Anosim 3
6) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur.
Anosim 3
7) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Barat.
Anosim 3
8) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks antar-waktu dan antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur.
Anova dua faktor
4
9) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks antar-waktu dan antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur.
Anova dua faktor
4
10) Tidak ada hubungan regresi antara nilai awal indeks dengan dampak gangguan.
Anova satu faktor
5
11) Tidak ada hubungan regresi antara nilai awal indeks dengan pemulihan indeks.
Anova satu faktor
5
12) Tidak ada hubungan regresi antara tutupan karang awal dengan dampak gangguan.
Anova satu faktor
5
13) Tidak ada hubungan regresi antara tutupan karang awal indeks dengan pemulihan tutupan karang.
Anova satu faktor
5
c) Peubah CHQ, USS, dan AOF yang digunakan di dalam indeks juga
merupakan peubah baru yang belum pernah digunakan peneliti lain untuk
tujuan penilaian indeks resiliensi maupun untuk tujuan penilaian kondisi
terumbu karang lainnya.
d) Penggunaan data dari transek garis di dalam penilaian resiliensi terumbu
karang juga belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian lain
menggunakan penilaian pakar dan praktisi (Maynard et al. 2010), atau menggabungkan metode foto kuadrat dan transek titik dengan lima metode
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun indeks resiliensi terumbu karang
yang menggunakan data transek garis. Penggunaan transek garis dalam penilaian
resiliensi terumbu karang sangat penting karena metode transek garis merupakan
metode penilaian kondisi terumbu karang yang paling populer di Indonesia dan
Asia Tenggara. Untuk memvalidasi kegunaan indeks, tiga uji coba indeks
dilakukan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial dan
temporal.
Hasil utama yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
(1) Rumus penilaian indeks resiliensi terumbu karang.
(2) Protokol penilaian indeks resiliensi terumbu karang.
(3) Persamaan regresi untuk memprediksi pemulihan terumbu karang.
1.7. Rancangan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) tahapan, yang masing-masing dibahas
di dalam bab yang terpisah. Tahapan yang paling lama waktunya adalah tahapan
pertama, yang dapat dibagi lagi dalam lima sub-tahapan, yaitu: (a) penyaringan
data, (b) modifikasi rumus indeks, (c) penentuan calon peubah indikator, (d)
pemilihan peubah indikator, serta (e) pembobotan peubah indikator dan (f)
penentuan faktor koreksi dan konstanta. Tahapan kedua hingga keempat
merupakan validasi dari kegunaan indeks di dalam pengelolaan terumbu karang.
Secara umum rancangan penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.
Tahapan pertama adalah penyusunan rumus atau formulasi indeks
resi-liensi, yang akan disajikan pada bab 2. Di dalam formulasi indeks tersebut
digunakan data yang telah dikoleksi sebelumnya oleh P2O LIPI. Dalam tahapan
ini digunakan data 1240 transek, yang berasal dari 540 transek di luar COREMAP
Tahapan kedua adalah uji coba penggunaan rumus indeks untuk
membandingkan resiliensi terumbu karang di 15 kabupaten, yang menjadi lokasi
proyek COREMAP. Penelitian ini merupakan validasi kegunaan indeks untuk
membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial. Penelitian tahap kedua
ini juga menggunakan data dari P2O LIPI yang dikoleksi untuk proyek
COREMAP pada tahun 2009, yang berjumlah 649 transek. Penelitian tahap kedua
ini ditulis di dalam bab 3.
Tahapan ketiga yang disajikan pada bab 4 menggunakan sumber data yang
sama dengan penelitian tahap kedua. Karena pada tahap ketiga ini bertujuan untuk
melihat perubahan indeks resiliensi secara temporal, maka selain digunakan data
COREMAP tahun 2009 juga digunakan data tahun 2008, 2007, dan 2006.
Sebenarnya COREMAP pernah mengambil data pada tahun-tahun sebelumnya,
tetapi yang tersedia dalam bentuk LFT (life form table) dan TLT (taxon length table) paling awal adalah tahun 2006.
Pada penelitian tahap keempat bertujuan mengkaji perilaku indeks dalam
proses pemulihan terumbu karang. Kebutuhan akan data terumbu karang runut
waktu dari transek permanen dengan kurun waktu lama, lebih dari 10 tahun,
merupakan hal yang sulit dipenuhi oleh lembaga penelitian dan universitas di
Indonesia. Kegiatan seperti itu mungkin pernah dilakukan oleh lembaga penelitian
dan universitas, tetapi penyimpanan data yang baik masih menjadi masalah utama.
Data dengan sifat demikian hanya dapat dipenuhi oleh perusahaan multinasional
PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Penelitian tahap keempat disajikan dalam
15
2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI
2.1. Pendahuluan
Pengukuran kualitas suatu ekosistem merupakan tahapan yang sangat
penting di dalam pengelolaan. Mengenali karakteristik dari suatu ekosistem
merupakan langkah awal di dalam membuat rencana pengelolaan yang efektif.
Salah satu komponen kualitas ekosistem terumbu karang adalah resiliensi, yaitu
potensi pemulihan terumbu karang jika terjadi gangguan. Semakin tingginya
ancaman terhadap kerusakan terumbu karang di era perubahan iklim global,
membuat posisi resiliensi ekosistem semakin penting. Sayangnya, metode
pengukuran resiliensi ekosistem tersebut masih dalam proses pengembangan.
Di dalam awal bab ini perlu diklarifikasikan lebih dahulu tentang
penggunaan kata ‘indeks’, ‘indikator’, dan‘peubah (variabel)’, yang akan banyak
digunakan di dalam disertasi ini. Penggunaan istilah ‘indeks’ dan ‘indikator’ yang
sangat bervariasi di dalam ekologi telah membingungkan dan multi-tafsir (Heink
& Korawik 2010). Indeks dapat didefinisikan sebagai sebuah indikator ekologis
yang secara kuantitatif mendeskripsikan kondisi dari suatu lingkungan atau
ekosistem (Lin et al. 2009). Kompleksitas ekosistem yang disederhanakan di dalam sebuah indeks menuntut formulasi indeks tidak cukup hanya melibatkan
sebuah peubah. Sebuah indeks disusun menggunakan sejumlah peubah yang
terintegrasi di dalam sebuah rumus penghitungan indeks. Peubah yang digunakan
di dalam penghitungan suatu indeks disebut sebagai peubah indikator indeks atau
peubah indikator.
Secara konvensional kondisi terumbu karang dinilai berdasarkan tutupan
dan keanekaragaman spesies karang, serta kelimpahan dan keanekaragaman ikan
terumbu karang (English et al. 1994). Data keanekaragaman karang seringkali kurang meyakinkan karena sedikitnya ahli taksonomi karang di Indonesia.
Keanekaragaman spesies karang juga tidak dapat dianggap sebagai jaminan dari
resiliensi terumbu karang. Keanekaragaman fungsional dapat lebih penting untuk
menjalankan fungsi ekosistem daripada keanekaragaman komposisional (Peru &
Doledec 2010). Pentingnya keanekaragaman fungsional memungkinkan
Tutupan karang sebagai indikator kondisi terumbu karang sudah lama
mendapat keluhan, misalnya Pearson (1981) dan Done (1988), tetapi belum ada
penggantinya yang lebih baik. Kekurangan dari tutupan karang sebagai
satu-satunya indikator ekologis adalah tidak mencerminkan struktur komunitas dan
kompleksitas habitat. Conservation International (CI) telah mengembangkan
sebuah indeks untuk mengukur kualitas atau “kesehatan” terumbu karang yang
disebut Reef Condition Index (RCI). RCI dihitung berdasarkan 10 peubah kerusakan terumbu karang dan tutupan karang. Kesebelas peubah tersebut
diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) kategori dan masing-masing diberi bobot,
sebagai bonus atau penalti (Mckenna et al. 2002, p. 68). Penghitungan ini menghasilkan sebuah angka yang dianggap mencerminkan kondisi umum
terumbu karang. Pengelompokan data tutupan karang dan penilaian peubah lain
dilakukan dengan menggunakan skor skala 1-4. Pembulatan nilai peubah dengan
skor membuat RCI menjadi indeks yang kurang sensitif terhadap perubahan
komunitas.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menyusun suatu rumus matematis yang
dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi terumbu karang. Tingkat
resiliensi terumbu karang dalam arti kecepatan komunitas karang pulih kembali
dari gangguan, tidak dapat dinilai hanya dari tutupan karang. Indeks resiliensi
yang akan dikembangkan didasarkan pada metode transek garis, sebuah metode
yang sudah sangat popular digunakan di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
2.2 Metode Penelitian
2.2.1 Penentuan peubah indikator
Berdasarkan kajian pustaka diperoleh 11 peubah yang dapat menjadi calon
peubah indikator resiliensi terumbu karang. Kesebelas peubah tersebut mewakili 6
(enam) komponen atau faktor yang berperan besar di dalam pemulihan terumbu
karang (Tabel 2), jika terjadi gangguan yang berdampak akut dan berkaitan
langsung dengan kelulushidupan karang.
Indeks resiliensi yang dikembangkan dirancang untuk mengukur secara
kuantitatif kemampuan terumbu karang pulih kembali ketika mengalami
merupakan komponen utama pembentuk ekosistem terumbu karang, sehingga
pemulihan komunitas karang merupakan indikator utama dari pemulihan terumbu
[image:47.612.100.506.196.485.2]karang.
Tabel 2 Daftar 11 peubah indikator resiliensi terumbu karang yang diperoleh dari kajian pustaka.
Komponen Peubah indikator Unit/penjelasan
A. Warisan biologis (Biodiversity)
1) Kekayaan genus (CGR: coral genera richness)
2) Kekayaan kelompok fungsional (CFG: coral functional group)
jumlah genus
jumlah bentuk tumbuh (life form)
B. Warisan struktural (Habitat complexity and substrate)
3) Karang masif dan submasif (CMC dan CSC: coral massive and sub-massive covers) 4) Susbtrat yang tidak dapat dihuni
(USS: unsuitable settlement substrate)
% tutupan CMC+CSC
% tutupan pasir (S) dan lumpur (SI)
C. Biota yang datang (Mobile link,
Recruitment)
5) Jumlah kelas ukuran koloni (CSC: coral size classes) 6) Jumlah karang ukuran kecil
(CSN: coral small-size number)
jumlah kelas, dengan interval 10 cm jumlah koloni kecil D. Produktivitas
(Regimes)
7) Karang (CCO: coral cover) 8) Algae (ALC: algal cover) 9) Fauna lain (OTF: other fauna
cover)
% tutupan karang % tutupan algae % tutupan OTF E. Herbivori
(Herbivory)
10)Algae berdaging (AMC: macroalgal cover)
% tutupan makroalgae (MA)
F. Kualitas perairan (Water quality)
11)Karang Acropora (CAC: coral Acropora cover)
% tutupan karang Acropora
Proses pemulihan kembali terumbu karang tersebut tergantung pada:
(a) Warisan biologis, berupa karang yang selamat dari gangguan. Besar kecilnya
warisan biologis tersebut ditentukan oleh keanekaragaaman hayati komunitas
karang saat ini. Karang dari spesies tertentu, genus tertentu, atau dengan
bentuk tumbuh tertentu lebih tahan terhadap gangguan daripada yang lainnya
(Brown & Suharsono 1990; Gleason 1993; Marshall & Baird 2000; Ninio &
Meekan 2002). Karang yang selamat dari gangguan dapat mempercepat
rekolonisasi ruang yang terbuka, baik dari larva yang dihasilkan (Miller &
Mundy 2003; Starger et al. 2010), dari rekruitmen secara vegetatif (Williams
Peubah indikator dari keanekaragaman hayati karang yang digunakan adalah
keanekaragaman genus (CGR, coral genera richness), dan keanekaragaman
bentuk tumbuh atau kelompok fungsional karang (CFG, coral functional
groups). Keanekaragaman spesies tidak digunakan karena tingginya tingkat
kesulitan identifikasi karang ke tingkat spesies di dalam air, dan kurangnya
ahli taksonomi karang di Indonesia (Erdinger & Risk 2000).
(b) Warisan struktural adalah bentuk fisik terumbu karang yang akan bertahan
ketika terjadi gangguan. Warisan struktural ini berupa kompleksitas habitat
dan substrat yang dapat ditumbuhi karang. Habitat yang kompleks dapat
menjaga keanekaragaman ikan (Wilson et al. 2007) dan kelangsungan proses
herbivori (Ledlie et al. 2007), serta meningkatkan rekruitmen karang (Petersen
et al. 2005), sehingga sangat penting dalam pemulihan komunitas karang.
Kompleksitas habitat terumbu karang biasanya diukur dengan indeks spasial
(Rogers et al. 1983), indeks permukaan (Roberts & Ormond 1987), atau
penilaian visual (Wilson et al. 2007). Di dalam penelitian ini, yang
menggunakan data transek garis, ukuran kompleksitas habitat diperkirakan
berdasarkan tutupan karang masif (CMC, coral massive cover) dan submasif
(CSC, coral submassive cover). Keduanya dapat dijadikan satu peubah
sebagai CMS (coral massive submassive). CMS, disamping memiliki
kepadatan kerangka yang tinggi juga banyak dilaporkan merupakan kelompok
yang tahan (resistant) terhadap gangguan (Gleason 1993; Ninio & Meekan
2002). Pada terumbu karang yang mengalami kematian masal, semua bentuk
tumbuh karang yang lain akan segera menjadi pecahan karang (rubble) karena
memiliki kepadatan kerangka kapur yang jauh lebih rendah. Kelimpahan CMS
yang tinggi dapat menjamin ketersediaan habitat yang kompleks ketika terjadi
gangguan kematian karang secara masal. Sayangnya kelimpahan CMS tidak
hanya menunjukkan kompleksitas habitat yang tinggi tetapi juga berkaitan
dengan kualitas air yang buruk, misalnya dekat sumber polusi dari daratan
(Erdinger & Risk 2000). Hubungan antara kelimpahan CMS dengan resiliensi
menjadi tidak linier, melainkan seperti parabola (kuadratis), sehingga tidak
dapat secara langsung dijadikan sebagai peubah indikator dari resiliensi
Sebagian struktur terumbu karang merupakan substrat keras yang stabil
sehingga dapat ditumbuhi larva karang, tetapi sebagian lainnya tidak.
Besarnya jumlah substrat yang dapat ditumbuhi oleh karang sulit diukur pada
transek, karena sebagian substrat stabil tersebut sedang ditumbuhi dan tertutup
oleh karang atau oleh biota lainnya. Di dalam penelitian ini peubah indikator
yang digunakan adalah besarnya substrat yang tidak dapat digunakan larva
karang untuk menempel dan tumbuh (USS, unsuitable settlement subsrate),
sehingga tidak ditumbuhi karang atau benthos lainnya, yaitu tutupan pasir dan
lumpur. Peubah indikator USS tersebut bersifat negatif terhadap