OBAT DI POSBINDU CEMPAKA RW 06 KELURAHAN CEMPAKA PUTIH CIPUTAT
Skripsi Diajukan Sebagai Tugas Akhir Strata-1 (S-1) pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Oleh :
WENSIL OKTA PROMALIA
108104000017
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Proposal skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli karya saya atau
merupakan jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 1 Februari 2013
v
Nama : WENSIL OKTA PROMALIA
Tempat, Tanggal Lahir : Liwa, 13 Oktober 1990
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Jl. Mawar no.90 RT/RW 001/003 Pasar Liwa, Balik Bukit, Lampung Barat, Lampung
Anak ke : 3 dari 4 bersaudara
Telepon : 085768432853
E-mail : when_seal@yahoo.co.id
Riwayat Pendidikan :
1. SD Negeri 3 Liwa tahun 1996-2002
2. SMP Negeri 25 Bandar Lampung tahun 2002-2005
3. SMA Negeri 1 Bandar Lampung tahun 2005-2008
4. S1 Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008-2013
Pengalaman Organisasi :
1. Anggota Rohis SMP Negeri 25 Bandar Lampung tahun 2002-2005
2. Seketaris Bidang Seni OSIS SMA Negeri 1Bandar Lampung tahun 2006-2007
3. Anggota Modern Dance SMA Negeri 1 Bandar Lampung tahun 2005-2008 4. Anggota Seni Tari Tradisional SMA Negeri 1 Bandar Lampung tahun
2005-2008
5. Anggota KIR SMA Negeri 1 Bandar Lampung tahun 2005-2008
6. Staf Ahli Divisi Kesenian Olahraga dan Sosial BEMF Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan tahun 2008-2010.
7. Staf Ahli Divisi Kesenian dan Olahraga BEMF Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan tahun 2010-2012.
vi Skripsi, Februari 2013
Wensil Okta Promalia, NIM: 108104000017
Hubungan Pengetahuan dan Sikap Lansia Tentang Konsumsi Obat yang Aman Terhadap Perilaku Minum Obat di Posbindu Cempaka, RW 06, Kelurahan Cempaka Putih Ciputat
xvii + 93 halaman +11 tabel+ 2 gambar+ 6 lampiran
ABSTRAK
Seiring dengan bertambahnya jumlah lansia yaitu sekitar 12% dari populasi dan banyaknya keluhan lansia terkait kesehatan seperti penyakit-penyakit kronik serta gejala yang sering diderita menyebabkan kelompok usia ini menggunakan sekitar 25% dari semua obat-obatan. Lansia mengalami perubahan fisiologis, sehingga mudah mengalami reaksi dan interaksi yang merugikan. Kejadian efek samping pada lansia 3 sampai 7 kali lebih banyak daripada orang dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap lansia tentang konsumsi obat yang aman terhadap perilaku minum obat di Posbindu Cempaka, RW 06, Kelurahan Cempaka Putih Ciputat Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode cross sectional. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebesar 72, teknik purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, data dianalisis menggunakan uji chi square dengan SPSS versi 20. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang aman adalah berpengetahuan baik (87,5%), sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman adalah bersikap baik (58,3%), perilaku lansia dalam minum obat adalah berperilaku baik (55,6%), serta ada hubungan antara pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang aman dengan perilaku minum obat (p=0,021) dan tidak ada hubungan antara sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman dengan perilaku minum obat (p=0,128). Dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk memberikan penyuluhan kepada lansia agar pengetahuan dan sikap lansia tentang konsumsi obat yang aman serta perilaku minum obat bisa lebih baik lagi, penyuluhan ini bisa dilakukan oleh para kader Posbindu dan petugas kesehatan.
vii Undergraduate Thesis, February 2013
Wensil Okta Promalia, NIM: 108104000017
The Relationship between knowledge and attitudes about the elderly safe drug consumption toward medication behavior in Posbindu Cempaka, RW 06, Kelurahan Cempaka Putih, Ciputat
xvii + 93 pages + 11 tables + 2 pictures + 6 attachments
ABSTRACT
Along with the increasing number of elderly is about 12% of the population and many complaints related to health status of elderly such as chronic diseases with the symptoms that often affects to this age group using about 25% of all drugs. Elderly having physiological changes, so prone to adverse reactions and interactions. The incidence of adverse effects in elderly 3 to 7 times as many than in adults. The aim of this research to determine the relationship between knowledge and attitudes of the elderly in drug consumption safety toward medication behavior in Posbindu Cempaka, RW 06, Kelurahan Cempaka Putih, Ciputat. This research is quantitative research with cross sectional. The number of samples in this research was 72, with the technique of purposive sampling. The collection of data using questionnaires, then the data were analyzed using chi square test with SPSS version 20. The results showed that the elderly’s knowledge about a safe drug consumption is good (87.5%), attitudes of the elderly in safe reference to provide counseling to the elderly so that their knowledge and attitude of elderly about a safe drug consumption and medication behavior could be better. This counseling could be done by volunteers of Posbindu and healthcare workers.
viii Assalamu’alaikum wr.wb
Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Hubungan pengetahuan dan sikap lanjut usia tentang
konsumsi obat yang aman terhadap perilaku minum obat di Posbindu Cempaka,
RW 06, Kelurahan Cempaka Putih Ciputat”.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan besar Nabi
Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan sehingga penulis tetap
semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam penyelesaian skipsi, penulis
sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. DR (hc). dr. Muhammad Kamil Tadjuddin, Sp. And, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djauhari, selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Pembantu Dekan Bidang
Administrasi Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dra. Farida Hamid, Mpd, selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
ix
pembimbing akademik penulis selama kuliah..
6. Ibu Tien Gartinah, MN, selaku pembimbing I dan Ibu Ns. Uswatun khasanah,
S.Kep, MNS, selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan
mencurahkan pikirannya untuk memberikan masukan, nasihat, petunjuk dan
arahan serta motivasi kepada penulis dalam menyusun skripsi ini..
7. Bapak dan ibu dosen Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan dan membimbing penulis, serta
staff akademik (Bapak azib Rosyidi S. Psi dan Ibu Syamsiah) atas bantuannya
yang telah memudahkan penulis dalam proses belajar di PSIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
8. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN yang telah banyak membantu dalam menyediakan
referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
9. Orang tua tercinta (Bapak Akim, S. Pd dan Ibu Rita Erpenda, S. Pd SD) yang
telah memberikan kasih sayang tulus dan selalu mendoakan serta memberikan
motivasi tiada hentinya kepada penulis.
10.Kakak – kakak dan adik tersayang (Sefri Martika, S. Pd, Nevi Tensilia, S.T.P
dan Lisa Merlinta) yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun
materiil serta doa yang tiada henti.
11.Teman-teman seluruh angkatan 2008 yang telah bersama-sama dengan penulis
melewati hari-hari baik suka maupun duka dalam menyelesaikan kuliah di
x Wassalamu’alaikum wr.wb
Ciputat , 1 Februari 2013
xii
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... v
RIWAYAT HIDUP ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACK ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Pertanyaan Penelitian ... 9
D. Tujuan Penelitian ... 9
1. Tujuan Umum ... 9
2. Tujuan Khusus ... 9
xiii
3. Bagi Peneliti ... 11
4. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 11
F. Ruang Lingkup ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12
A. Lansia ... 12
1. Definisi lansia ... 12
2. Karakteristik lansia ... 12
3. Konsep menua ... 13
4. Perubahan fisiologis pada lansia ... 14
B. Masalah Obat Pada Lansia ... 16
1. Pengertian Obat ... 16
2. Obat Yang Sering Diminum Lansia ... 17
3. Masalah Peresepan Obat Pada Lansia ... 21
4. Interaksi Obat Pada Lansia ... 22
5. Polifarmasi Pada Lansia ... 24
6. Dampak Masalah Polifarmasi Pada Lansia ... 25
7. Reaksi Obat Yang Tidak Diharapkan ... 28
8. Fisiologis Dan Penimbunan Obat Pada Lansia ... 30
C. Prinsip-Prinsip Umum Penggunaan Obat Pada Lansia ... 33
D. Pengetahuan ... 37
E. Sikap ... 42
xiv
OPERASIONAL ... 53
A. Kerangka Konsep ... 53
B. Hipotesis ... 54
C. Definisi Operasional ... 55
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 57
A. Desain Penelitian ... 57
B. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 57
C. Populasi Dan Sampel ... 57
1. Populasi ... 57
2. Sampel ... 57
3. Besar Sampel ... 58
D. Pengumpulan Data ... 59
1. Metode Dan Instrumen ... 59
2. Instrumen Penelitian ... 59
3. Uji Instrumen ... 64
E. Pengolahan Data... 65
F. Analisis Data ... 67
1. Analisis Univariat ... 67
2. Analisis Bivariat ... 67
G. Etika Penelitian ... 68
BAB V HASIL PENELITIAN ... 70
xv
1. Keluhan yang sering dirasakan ... 71
2. Penyakit yang sedang diderita ... 71
3. Jenis obat yang sering dikonsumsi ... 71
4. Cara mendapatkan obat ... 72
C. Gambaran Demografi Responden ... 72
1. Usia ... 72
2. Jenis kelamin ... 73
3. Pendidikan ... 74
4. Pekerjaan ... 74
D. Analisis Univariat... 75
1. Gambaran pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang aman ... 75
2. Gambaran sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman ... 75
3. Gambaran perilaku lansia dalam minum obat ... . 76
E. Analisis Bivariat ... 76
1. Hubungan pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang aman dengan perilaku minum obat ... 76
2. Hubungan sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman dengan perilaku minum obat ... 78
BAB VI PEMBAHASAN ... 80
xvi
3. Pendidikan ... 82
4. Pekerjaan ... 83
B. Hasil Analisis Univariat ... 83
1. Gambaran pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang aman ... 83
2. Gambaran sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman ... 85
3. Gambaran perilaku lansia dalam minum obat ... 86
C. Hasil Analisis Bivariat ... 88
1. Hubungan pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang aman dengan perilaku minum obat ... 88
2. Hubungan sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman dengan perilaku minum obat ... 90
D. Keterbatasan Penelitian ... 93
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 94
A. Kesimpulan ... 94
B. Saran ... 95
xvii
xviii
Tabel 3.1 Definisi Operasional... 54
Tabel 4.1 Kuesioner Pengetahuan ... 61
Tabel 4.2 Kuesioner Sikap ... 62
Tabel 4.3 Kuesioner Perilaku ... 63
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia ... 71
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia ... 71
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 72
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 73
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan ... 74
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan Responden Tentang Konsumsi Obat yang Aman ... 74
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Responden Terhadap Konsumsi Obat yang Aman ... 75
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Responden dalam Minum Obat ... 75
Tabel 5.9 Hubungan pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang aman dengan perilaku minum obat ... 76
xix
Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Uji validitas di RW 06, Kelurahan Cempaka Putih, Ciputat
Lampiran 2 Surat Izin Pengambilan Data di Posbindu Cempaka, RW 06, Kelurahan Cempaka Putih, Ciputat
Lampiran 3 Lembar persetujuan menjadi responden penelitian (Informed consent)
Lampiran 4 Kuesioner penelitian Lampiran 5 Hasil Uji validitas
1
A. Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari
60 tahun menurut pasal 1 ayat (2) UU No. 13 Tahun 1998. Penuaan adalah proses
alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus, dan
berkesinambungan, sehingga menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan
biokimia pada tubuh. Perubahan tersebut mempengaruhi fungsi dan kemampuan
tubuh secara keseluruhan menyebabkan lansia memiliki beberapa penyakit atau
dalam keadaan sakit meningkat (Depkes 1998; Santrock, 2002).
Perkembangan lansia Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung
meningkat dengan semakin meningginya usia harapan hidup. Data Badan Pusat
Statistik menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2000
sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18 persen dari jumlah keseluruhan penduduk
Indonesia), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23.992.553 jiwa
(9,77 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia). Pada tahun 2020
diprediksikan jumlah lansia mencapai 28.822.879 jiwa (11,34 persen dari jumlah
keseluruhan penduduk Indonesia). Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar
keempat di dunia, selain itu Indonesia juga merupakan negara keempat dengan
jumlah lansia terbanyak, setelah China, Amerika dan India (Badan Pusat Statisik
Indonesia, 2011).
Seiring dengan bertambahnya jumlah lansia yaitu sekitar 12% dari
usia ini menggunakan sekitar 25% dari semua obat-obatan. Lansia menggunakan
banyak obat karena penyakit-penyakit kronik dan banyaknya penyakit serta gejala
yang sering diderita. Lansia mengalami perubahan fisiologis, sehingga mudah
mengalami reaksi dan interaksi yang merugikan. Lansia dapat memberikan
respons yang berbeda dari orang dewasa muda, dengan sering terjadi efek
samping atau efek toksik obat. Reaksi yang merugikan dan interaksi obat yang
terjadi pada lansia adalah 3 sampai 7 kali lebih banyak daripada orang dewasa
(Joyce & Evelyn, 1996).
Lansia di Amerika yang berusia di atas 65 tahun masuk bagian gawat
darurat akibat reaksi obat yang tidak diinginkan, jumlahnya lebih dari 175.000
pasien dalam setahun (Andri, 2009). Peneliti dari University of North Carolina di
Chapel Hill telah membuat daftar peresepan obat yang meningkatkan resiko jatuh
pada pasien berusia di atas 65 tahun. Mereka adalah kelompok usia yang biasa
menggunakan empat macam obat atau lebih. Studi di rumah sakit di New Castle,
NSW, Australia menunjukkan bahwa 30% dari lansia menerima 6-10 jenis obat,
dan 13% menerima lebih dari 10 jenis setiap harinya. Perawatan gawat darurat
untuk lansia dilaporkan hingga 22% disebabkan karena masalah kesalahan obat
(Hasriyanto, 2008). Kejadian merugikan akibat obat yang menyebabkan penderita
lansia harus dirawat inap sebanyak satu dari setiap tujuh penghuni panti jompo.
Obat yang paling banyak sebagai penyebab lansia harus dirawat inap adalah obat
anti-inflamasi non-steroid (AINS), psikotropika, kardiotonika digoxin dan
antidiabetika insulin (Cooper ,1999).
Pemakaian obat pada lansia memerlukan perhatian dan pertimbangan
kepada lansia, sering timbul respons yang berlebihan atau efek toksik serta
berbagai efek samping. Masalah tambahan yang juga mengakibatkan reaksi yang
merugikan dari obat-obat adalah pengobatan diri sendiri dengan obat-obat bebas,
memakai obat yang diresepkan untuk masalah kesehatan yang lain, menggunakan
obat yang diberikan oleh beberapa dokter, dosis yang berlebihan jika gejala-gejala
tidak mereda, menggunakan obat yang diresepkan untuk orang lain, dan tentunya,
proses penuaan fisiologis yang terus berjalan. Lansia mengonsumsi lebih banyak
obat dibandingkan dengan kelompok umur yang lain. Hampir sepertiga dari
semua obat dengan resep dokter yang digunakan di Amerika Serikat digunakan
oleh orang yang berusia lebih dari 65 tahun, dan hampir dua pertiga dari semua
lansia menggunakan suatu produk obat yang dijual bebas secara teratur (Joyce &
Evelyn, 1996).
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Indonesia menunjukkan dalam
pengobatan sendiri ada kecenderungan penggunaan obat menurun, tetapi
penggunaan obat tradisional dan cara tradisional meningkat dari tahun 1998 ke
tahun 2001 (Supardi, 2005). Golongan obat yang digunakan dalam pengobatan
sendiri adalah obat bebas sebesar 90,17% dan obat resep 9,83% (Ditjen POM,
1993).
Usia bertambah akan terjadi perubahan-perubahan fisiologis yang
berkaitan dengan proses penuaan yang mempunyai efek utama dalam terapi obat.
Beberapa perubahan fisiologis yang bisa berefek terhadap terapi obat pada lansia
adalah: pada mukosa rongga mulut elastisitas hilang, sehingga menjadi kering dan
pecah-pecah; sensitif terhadap obat yang membuat mulut kering; rentan terhadap
melemah dan sfingter esofagus bawah tidak bisa relaksasi; sulit menelan tablet
atau kapsul yang besar. Penurunan keasaman lambung dan peristaltik;
meningkatnya efek pengiritasi obat yang sangat asam (misal aspirin), perubahan
larut obat tertentu. Tonus otot kolon menurun, refleks defekasi hilang,
menggunakan laksatif secara berlebihan; aliran darah pada usus menurun; ekskresi
obat melambat; absorpsi obat melambat. Jantung dan sirkulasi, terjadi penurunan
curah jantung, dan penurunan aliran darah. Hati, mengalami penurunan fungsi
enzim; waktu biotransformasi lebih panjang; durasi kerja obat lebih lama dari
normal; resiko sensitivitas dan toksisitas obat lebih besar. Ginjal, mengalami
penurunan aliran darah, penurunan fungsi nefron (sel-sel ginjal), dan penurunan
laju filtrasi glomerulus; risiko akumulasi obat dan toksisitas (Joyce & Evelyn,
1996; Potter & Perry, 2005).
Terapi obat merupakan suatu cara hemat biaya untuk penatalaksanaan
masalah kesehatan yang berkaitan dengan umur. Respons obat pada lansia
kadang-kadang tidak dapat diramalkan karena variasi dalam sensitivitas terhadap
efek obat terapeutik dan efek toksiknya. Banyak obat yang mempunyai indikasi
terapeutik yang sempit, sehingga perawat harus secara konstan waspada terhadap
efek yang tidak dikehendaki. Obat memainkan suatu peran integral dalam
keseluruhan penatalaksanaan berbagai permasalahan kesehatan yang dihubungkan
dengan penuaan (Stanley & Beare, 2006).
Penggunaan banyak obat lebih sering terjadi pada pasien yang sudah lansia
dengan menderita lebih dari satu penyakit. Satu atau lebih diantaranya bersifat
kronis, sementara penyakit yang lain bersifat akut, jika tidak ditangani dengan
menyebabkan lansia mengkonsumsi banyak obat diantaranya adalah hipertensi,
gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus,
gangguan fungsi ginjal dan hati. Juga terdapat berbagai keadaan yang khas dan
sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan,
penglihatan dan pendengaran (Darmansjah, 1994; Corsonello et al, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan 78% lansia menderita tidak kurang dari 4
macam penyakit, 38% menderita lebih dari 6 macam penyakit, dan 13%
menderita lebih dari 8 macam penyakit. Banyaknya penyakit yang diderita ini
sering menyulitkan seorang dokter membuat diagnosis yang tepat dan memberi
pengobatan yang rasional. Sehingga sering dijumpai, dokter meresepkan obat
secara berlebihan (over prescribing) atau memberikan obat tidak tepat (incorrect
prescribing) pada penderita lansia (Mustofa,1995) .
Perawat berada pada posisi yang ideal untuk memantau respons klien
terhadap pengobatan, memberikan pendidikan untuk klien dan keluarga tentang
program pengobatan dan menginformasikan kepada dokter efektifitas atau
ketidakefektifan obat serta obat yang tidak dibutuhkan lagi. Perawat harus
memantau apakah seorang klien menerima obat pada waktunya dan mengkaji
kemampuan klien untuk menggunakan obat secara mandiri. Perawat yang berada
di dalam masyarakat dapat memberikan konseling mengenai penggunaan obat
yang aman bagi lansia, memberikan penyuluhan dan pendidikan terkait konsumsi
obat yang aman bagi lansia. Perawat juga dapat melakukan kunjungan rumah
terhadap klien lansia yang mempunyai penyakit kronik yang setiap hari
mengkonsumsi obat, perawat dapat membuat catatatan berupa catatan pengobatan
Fungsi dan peran perawat dalam pemberian obat bagi pasien meliputi
peran perawat sebagai tenaga pengelola obat, peran perawat dalam mengobservasi
reaksi dan efek samping obat, fungsi perawat dalam pelaksanaan kolaborasi
dengan dokter dan apoteker, serta fungsi perawat dalam pemberian obat yang
telah tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran perawat sebagai tenaga
pengelola obat (81,67%), peran perawat dalam mengobservasi reaksi dan efek
samping obat (87,50%), fungsi perawat dalam pelaksanaan kolaborasi dengan
dokter dan apoteker (98,33%), fungsi perawat dalam pemberian obat yang telah
tersedia (84,50%) (Muntasir, 2007).
Pengelolaan obat sangat penting dalam mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan yang baik bagi lansia. Perawat dapat bekerja secara
kolaboratif dengan klien untuk memastikan penggunaan semua obat dengan aman
dan tepat. Klien harus diajarkan nama obat-obatan yang digunakan, kapan dan
bagaimana menggunakannya, dan efek obat yang diharapkan serta yang tidak
diharapkan. Perawat juga mengajarkan bagaimana menghindari efek merugikan
atau interaksi obat dan bagaimana membentuk dan mengikuti pola pemberian obat
secara mandiri dengan tepat (Potter & Perry, 2005).
Perawat harus merencanakan strategi dengan lansia dan keluarga serta
teman mereka untuk mengurangi masalah-masalah yang mungkin terjadi. Dengan
hanya memberikan perintah pengobatan tidak menjamin klien dapat meminum
obat atau memakai obat dengan benar contohnya, obat seperti ibuprofen dapat
mengiritasi saluran gastrointestinal, sehingga seringkali membuat lansia tidak
sebelum pemberian ibuprofen untuk mengurangi efek samping (Joyce & Evelyn,
1996).
Obat-obat yang sering dikonsumsi oleh lansia, seperti obat analgesik
(terutama aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen) digunakan oleh 30 sampai 40 %
lansia, banyak yang menggunakan lebih dari satu butir analgesik secara
bersama-sama. Vitamin dan pelengkap makanan digunakan oleh 1 dari tiap 3 orang yang
berusia 65 tahun. Lansia sering juga memakai obat laksatif. Hampir 10% orang
yang berusia lebih dari 65 tahun mengakui menggunakan laksatif secara teratur,
dan menjadi ketergantungan, penggunaannya meningkat seiring dengan
peningkatan usia (Stanley & Beare, 2006).
Kriteria penggunaan obat rasional adalah tepat diagnosis, tepat indikasi
penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis (dosis, jumlah, cara, waktu dan lama
pemberian obat harus tepat), waspada terhadap efek samping. Dengan penggunaan
obat yang rasional membuat konsumsi obat menjadi aman (Direktorat bina
penggunaan obat rasional, 2008).
Terbentuknya suatu perilaku baru dimulai pada domain kognitif.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penerimaan
perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses pengetahuan, kesadaran dan
sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat lama (long lasting).
Pengetahuan akan menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap dan akan
diekspresikan dalam bentuk tindakan, yang merupakan bentuk nyata dari
pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki (Notoatmodjo, 2003).
Hasil studi pendahuluan pada tanggal 12 Juni 2012, lansia yang berada di
Posbindu Cempaka mendapatkan obat dari warung, Posbindu Cempaka,
Puskesmas, Rumah sakit, dan apotik. Lansia mencari obat bila ada keluhan yang
dirasakan, bila keluhan ringan seperti flu, pilek, batuk dan demam membeli obat
yang ada di warung, bila keluhan sudah mulai berat maka lansia datang ke
puskesmas atau ke Rumah sakit. Konsumsi obat sesuai dengan yang telah
diresepkan oleh dokter dan meminum obat tersebut sampai habis, bila keluhan
masih terasa atau keluhan datang lagi lansia membeli obat ke apotik dengan resep
ataupun tanpa resep dari dokter. Menurut kader lansia biasanya diberikan obat
paling sedikit 3 macam obat. Lansia mengaku jenuh dengan banyaknya obat yang
diminum dan harus teratur, sehingga terkadang mereka tidak patuh minum obat.
Dilihat dari dampak yang ditimbulkan akibat pemakaian obat yang tidak
aman dikonsumsi pada lansia dan atas dasar teori diatas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti hubungan pengetahuan dan sikap lansia tentang konsumsi obat
yang aman terhadap perilaku minum obat di Posbindu Cempaka, RW 06,
Kelurahan Cempaka Putih Ciputat.
B. Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang di atas dengan semakin banyaknya jumlah
lansia, dan makin banyak lansia yang mengkonsumsi obat, maka peneliti
lansia tentang konsumsi obat yang aman terhadap perilaku minum obat di
Posbindu Cempaka, RW 06, Kelurahan Cempaka Putih Ciputat?”.
C. Pertayaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang
aman di Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka Ciputat?
2. Bagaimana gambaran sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman di
Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka Ciputat?
3. Bagaimana perilaku minum obat lansia di Posbindu Cempaka Kelurahan
Cempaka Ciputat?
4. Adakah hubungan pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang aman
dengan perilaku minum obat di Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka
Ciputat?
5. Adakah hubungan sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman dengan
perilaku minum obat di Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka Ciputat?
D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap lansia terhadap
perilaku minum obat di Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka, Ciputat.
2. Tujuan khusus
a. Melihat gambaran pengetahuan lansia tentang konsumsi obat yang
b. Melihat gambaran sikap lansia terhadap konsumsi obat yang aman di
Posbindu Cempaka Kelurahan Cempaka Ciputat
c. Melihat gambaran perilaku minum obat lansia di Posbindu Cempaka
Kelurahan Cempaka Ciputat
d. Mengetahui hubungan pengetahuan lansia tentang konsumsi obat
yang aman dengan perilaku minum obat di Posbindu Cempaka
Kelurahan Cempaka Ciputat.
e. Mengetahui hubungan sikap lansia terhadap konsumsi obat yang
aman dengan perilaku minum obat di Posbindu Cempaka Kelurahan
Cempaka Ciputat.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi institusi tempat penelitian
Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam melaksanakan program
yang bersifat perilaku minum obat di lansia. Sebagai program promosi
konsumsi obat yang aman bagi lansia.
2. Bagi pendidikan keperawatan
Diharapkan dapat memperluas bahasan yang berkaitan dengan lingkup
keperawatan gerontik (lansia). Dalam hal ini dikhususkan pada
pengetahuan dan sikap lansia tentang konsumsi obat yang aman bagi
lansia terhadap perilaku minum obat yang hingga pada saat ini masih
3. Bagi peneliti
Merupakan hal yang sangat menarik bagi peneliti, karena yang dihadapi
yaitu lansia yang memerlukan perawatan yang komprehensif dan dapat
menambah wawasan tentang pengetahuan dan sikap lansia tentang
konsumsi obat yang aman bagi lansia terhadap perilaku minum obat.
4. Bagi peneliti selajutnya
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengetahuan dan
sikap lansia tentang konsumsi obat yang aman bagi lansia terhadap
perilaku minum obat untuk dapat mengembangkan penelitian-penelitian
selanjutnya.
F.Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif-korelasional,
dengan menggunakan metodologi penelitian cross sectional. Data dikumpulkan
dengan cara penyebaran kuesioner terkait pengetahuan dan sikap lansia tentang
konsumsi obat yang aman bagi lansia terhadap perilaku minum obat. Populasi
dalam penelitian ini yakni lansia yang tercatat di Posbindu Cempaka, RW 06,
Kelurahan Cempaka Putih, Ciputat dengan teknik sampling yakni purposive
sampling dimana obyek datang dan memenuhi ktiteria pemilihan dimasukkan
12
A. Lansia 1. Definisi
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun keatas
karena adanya proses penuaan berakibat menimbulkan berbagai masalah
kesejahteraan dihari tua (Mangoenprasodjo, 2005). Ada dua pandangan
tentang definisi lansia, yaitu pandangan orang barat yang tergolong lansia
adalah orang yang sudah berumur 65 tahun keatas, dimana usia ini akan
membedakan seseorang masih dewasa atau sudah lanjut, sedangkan
pandangan orang Indonesia, lansia adalah orang yang berumur lebih dari 60
tahun karena dipakai sebagai usia maksimal kerja dan mulai tampaknya
ciri-ciri ketuaan (Santrock, 2002).
2. Karakteristik Lansia
Menurut Keliat dalam Maryam (2008), lansia memiliki karakteristik sebagai
berikut:
a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13
tentang kesehatan).
b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai
sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spritual, serta dari kondisi
adaptif hingga kondisi maladaptif.
3. Konsep Menua
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000).
Perubahan menjadi tua adalah perubahan alami yang akan dilalui
oleh setiap orang saat memasuki lansia. Selama proses ini akan terjadi
penurunan sejumlah sel-sel tubuh baik bentuk maupun jumlahnya, yang
tentunya berpengaruh pada fungsi organ-organ tubuh lainnya. Perubahan juga
terjadi dalam aspek sosial berupa kehilangan pekerjaan, pensiun, kehilangan
pasangan dan terpisah dengan anak. Selain itu juga terjadi perubahan kejiwaan
berupa daya ingat yang menurun, cepat lupa, mudah sedih, mudah
tersinggung, mudah frustasi, merasa kesepian, dan takut kemandirian hilang
(Nugroho dalam Maryam, 2008).
Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan
sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan
kematian (Setiati, Harimurti & Roosheroe, 2006).
Terdapat dua jenis penuaan, antara lain penuaan primer,
merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang dimulai
pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun-tahun,
terlepas dari apa yang orang-orang lakukan untuk menundanya, sedangkan
penuaan sekunder merupakan hasil penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan
seseorang (Busse,1987; J.C Horn & Meer,1987 dalam Papalia, Olds &
Feldman, 2005). Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua
merupakan akibat dari kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss).
Watson (2003) mengungkapkan bahwa lansia mengalami
perubahan-perubahan fisik diantaranya perubahan-perubahan sel, sistem persarafan, sistem
pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan
suhu tubuh, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinari,
sistem endokrin, sistem muskuloskeletal, disertai juga dengan
perubahan-perubahan mental menyangkut perubahan-perubahan ingatan (memori). Berdasarkan
perbandingan yang diamati secara potong lintang antar kelompok usia yang
berbeda, sebagian besar organ tampaknya mengalami kehilangan fungsi
sekitar 1 persen per tahun, dimulai pada usia sekitar 30 tahun (Setiati,
Harimurti & Roosheroe, 2006).
4. Perubahan Fisiologis Pada Lansia
Perubahan fisiologis bervariasi pada setiap lansia yang umumnya
diantisipasi oleh lansia. Perubahan ini bukan proses patologis, perubahan ini
terjadi pada semua orang tetapi pada kecepatan yang berbeda dan tergantung
pada kehidupan. Perubahan-perubahan fisiologis tersebut mempunyai efek
utama dalam terapi obat, seperti: pada gastrointestinal, akan terjadi
peningkatan Ph (asam) lambung, penurunan peristaltik yang menyebabkan
terhambatnya waktu pengosongan usus halus. Sistem vaskuler akan terjadi
penurunan curah jantung dan penurunan aliran darah. Hati akan terjadi
penurunan aliran darah, penurunan nefron-nefron yang berfungsi (sel-sel
ginjal), dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Pada lansia, obat-obat yang
bersifat asam kurang diserap karena sekresi lambung yang basa, dan obat-obat
lebih lama berada di dalam saluran gastrointestinal karena berkurangnya
motilitas lambung. Lansia mengalami penurunan curah jantung dan penurunan
aliran darah, sehingga mempengaruhi aliran darah kehati dan ginjal,
menyebabkan setelah usia 65 tahun, fungsi nefron berkurang sampai 35%, dan
setelah usia 70 tahun, aliran darah ke ginjal berkurang sampai 50%. Disfungsi
hati dapat dialami oleh lansia akibat menurunnya fungsi enzim, dan juga
menurunnya kemampuan hati untuk memetabolisir dan mendetoksikasi
obat-obat, sehingga meningkatkan risiko toksisitas obat (Joyce & Evelyn, 1996).
Dengan adanya disfungsi hati dan ginjal, efektivitas dari suatu
dosis obat biasanya berkurang. Pemakaian obat yang banyak dapat
meningkatkan efek obat dan ekskresi obat pada orang lansia. Hati dan ginjal
adalah 2 organ utama yang bertanggung jawab untuk klirens (bersihan) obat
dari tubuh. Jika efisiensi kedua sistem tubuh ini berkurang, maka waktu paruh
obat diperpanjang dan toksisitas obat mungkin terjadi. Perawat perlu menilai
fungsi ginjal dan memantau keluaran urin dan nilai-nilai laboratorium dari
nitrogen urea darah (BUN=Blood Urea Nitrogen)dan kreatinin serum (Cr).
Untuk menilai fungsi hati, enzim-enzim hati perlu diperiksa. Kadar yang
meningkat menunjukkan adanya kemungkinan disfungsi hati. Faktor-faktor
yang menunjang terjadinya reaksi yang merugikan pada orang lansia adalah
berkurangnya tempat pengikatan pada protein, yang meningkatkan jumlah
waktu paruh obat yang memanjang akibat menurunnya fungsi hati dan ginjal.
Interval waktu antara dosis suatu obat mungkin perlu ditambah untuk klien
lansia. Penilaian untuk efek-efek yang merugikan merupakan proses yang
terus-menerus dalam merawat orang lansia (Joyce & Evelyn, 1996).
B. Masalah Obat Pada Lansia 1. Pengertian Obat
Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan untuk
mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia
atau hewan. Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap
untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan
Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005).
Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan
dalam pelayanan kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan,
karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi
sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena
penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari
tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi, peran obat secara umum
adalah sebagai berikut dalam Sanjoyo (2005):
a. Untuk pencegahan penyakit
b. Menyembuhkan penyakit
d. Peningkatan kesehatan
e. Mengurangi rasa sakit
2. Obat yang Sering Diminum Lansia
Menurut Stanley & Beare (2006) produk obat yang paling sering digunakan
oleh lansia adalah :
a. Analgesic (aspirin, asetaminofen dan ibuprofen )
b. Mineral dan Vitamin
c. Laksatif
d. Preparat obat batuk dan Flu
Obat yang sering diresepkan pada lansia dalam Farklin (2009), yaitu:
a. Obat-obat sistem saraf pusat
1) Sedativa-hipnotika
Jenis obat diantaranya, Anesfer, Dormicum, Estalin, Sedacum, dan
Sezolam. Efek yang dihasilkan untuk antidepresan, obat tidur dan
anestesi. Efek samping obat yang ditimbulkan pada lansia, pasien
merasa tidak enak badan setelah bangun tidur (dapat terjadi sepanjang
hari), sempoyongan, kekakuan dalam bicara dan kebingungan
beberapa waktu sesudah minum obat.
2) Analgetika
Jenis obat diantaranya, Acetram, Corsadol, Aspirin bayer, Pamol,
Panadol dan Sanmol. Efek yang dihasilkan untuk meredakan nyeri
seperti sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot dan demam. Dengan
kepekaan terhadap efek respirasi obat-obat golongan opioid
(analgetika-narkotik) juga meningkat.
3) Antidepresansia
Jenis obat diantaranya, Deproz, Antiprestin, Ludios, Sandepril, dan
Valdoxan. Efek yang dihasilkan untuk mengobati gejala-gejala
depresi, insomnia. Sering menimbulkan efek samping pada lansia,
antara lain berupa mulut kering, retensi urin, konstipasi, hipotensi
postural, kekaburan pandangan, kebingungan, dan aritmia jantung.
b. Obat-obat kardiovaskuler
1) Antihipertensi
Jenis obat diantaranya, Cardura, Catapres, Captopril, dan Dopamet.
Efek yang dihasilkan untuk mengatasi darah tinggi. Pengobatan
hipertensi pada lansia sering menjadi masalah, tidak saja dalam hal
pemilihan obat, penentuan dosis dan lamanya pemberian, tetapi juga
menyangkut keterlibatan pasien secara terus menerus dalam proses
terapi. Hal ini karena pengobatannya umumnya jangka panjang.
2) Obat-obat antiaritmia
Jenis obat seperti Tiaryt. Efek yang dihasilkan untuk menekan dan
mencegah terjadinya aritmia ventrikuler dan supraventrikuler yang
membahayakan jiwa. Pengobatan antiaritmia pada lansia akhir-akhir
ini semakin sering dilakukan mengingat makin tingginya angka
3) Glikosida jantung
Jenis obat diantaranya, Fargoxin, Digoxin, dan Indop. Digoksin
merupakan obat yang diberikan pada penderita lansia dengan
kegagalan jantung atau aritmia jantung. Gejala intoksikasi digoksin
sangat beragam mulai anoreksia, kekaburan penglihatan, dan psikosis
hingga gangguan irama jantung yang serius.
c. Antibiotika
Jenis obat diantaranya, Ciprofloxacin, Garamycin, dan Claforan. Efek yang
dihasilkan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh mikroba.
Pemakaian antibiotika golongan aminoglikosida dan laktam perlu
diwaspadai karena ekskresi utamanya melalui ginjal. Penurunan fungsi
ginjal karena lansia akan mempengaruhi eliminasi antibiotika tersebut, di
mana waktu paruh obat menjadi lebih panjang (waktu paruh gentasimin,
kanamisin, dan netilmisin dapat meningkat sampai dua kali lipat) dan
memberi efek toksik pada ginjal (nefrotoksik), maupun organ lain
(misalnya ototoksisitas).
d. Obat-obat antiinflamasi
Jenis obat diantaranya, Aktofen, Antalgin, Cataflam, dan Arcoxia.
Obat-obat golongan antiinflamasi relatif lebih banyak diresepkan pada lansia,
terutama untuk keluhan-keluhan nyeri sendi (osteoaritris). Berbagai studi
menunjukkan bahwa obat-obat antiinflamasi non-steroid (AINS), seperti
misalnya indometasin dan fenilbutazon, akan mengalami perpanjangan
waktu paruh jika diberikan pada lansia, karena menurunnya kemampuan
e. Laksansia
Jenis obat diantaranya, Bicolax, Microlax, dan Laxasium. Pada lansia
umumnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal, yang biasanya
dikeluhkan dalam bentuk konstipasi. Pemberian obat-obat laksansia jangka
panjang sangat tidak dianjurkan, karena di samping menimbulkan habituasi
juga akan memperlemah motilitas usus.
Daftar obat yang tidak dianjurkan pemberiannya kepada lansia karena adanya efek
samping yang serius dalam Maryam (2008):
a. Psikofarmaka: diazepam, lorazepm, fluoksetin, semua senyawa barbital
(terkecuali fenobarbital dan untuk epilepsi)
b. analgetik dan obat rema: naproksen, piroksikam, indometasin
c. Obat jantung: disopiramida, dipirimadol, amiodaron, metildopa, nifedipin
d. Antihistamin: siproheptadin, prometazin, deksklorfeniramin
e. Obat parkinson: orfenadrin
f. Obat anti-bakteril:nitrofurantoin
g. Hormon pria: testosteron
h. Obat lambung: simetidin, emulsi parafin
Banyak obat yang dapat menyebabkan kerusakan kognitif pada lansia
seperti: amantadine, aspirin, klorpromazin, simetidin, diazepam, difenhidramin,
flurazepam, haloperidok, meperidin, metildopa, reserpin, triazolam dan
kemungkinan 2 atau lebih dari obat-obat ini akan diresepkan secara bersamaan
cukup tinggi (Stanley & Beare, 2006).
Sebagian dari perubahan farmakokinetik ini sukar untuk diramalkan,
yang paling rendah. Titrasi dosis yang hati-hati, dengan sedikit peningkatan
jumlah dalam dosis obat, mungkin diperlukan untuk mencapai tujuan pengobatan.
Dosis yang konservatif dapat membantu mencegah keracunan dan membantu
pasien menghemat biaya tambahan untuk obat yang tidak perlu (Stanley & Beare,
2006).
Obat oral adalah obat yang paling aman dan paling mudah diberikan,
kecuali jika klien menderita gangguan fungsi cerna atau tidak mampu menelan
(Potter, Ferry 2005). Kadang-kadang sulit menelan tablet yang terlalu besar, tetapi
sebaliknya tablet yang kecil sulit dipegang karena tangan dan jari-jari mulai kaku.
Kadang-kadang sulit mengeluarkan obat dari wadahnya. Obat cair sepertinya
pilihan yang baik, tetapi tetap ada kendala karena mulai sulit untuk menuangkan
obat dari botolnya dan tidak tepat dalam mengisi sendok dengan takaran yang
seharusnya. Juga mulai sulit untuk membawa sendok kearah mulut karena tangan
mulai gemetar dan tidak lentur lagi (Hanna & Andar, 2009).
3. Masalah Dalam Peresapan Obat Pada Lansia
Masalah dalam peresepan obat dalam Manjoer (2004), yaitu:
a. Farmakokinetik
Yang meliputi penyerapan, distribusi, metabolisme dan pengeluaran obat.
b. Farmakodinamik
Perubahan ini berupa gangguan kepekaan target organ terhadap obat yang
dikonsumsi pada lansia yang menyebabkan meningkatnya atau
berkurangnya efek obat tersebut dibandingkan dengan pada usia yang
c. Masalah-masalah khusus
Beberapa masalah khusus perlu diperhatikan di dalam meresepkan obat
pada lansia, yaitu :
1) Polifarmasi: lansia cenderung mengalami polifarmasi karena
penyakitnya yang lebih dari satu jenis (multipatologi), dan diagnosis
tidak jelas.
2) Takaran obat : akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik
pada lansia maka takaran obat perlu diberikan serendah mungkin yang
masih mempunyai efek untuk menyembuhkan.
3) Efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik
(penyakit yang disebabkan obat yang digunakan)
4) Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian,
memegang peranan untuk timbulnya efek samping obat.
4. Interaksi Obat Pada Lansia
Suatu interaksi bisa terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh
kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya
dalam lingkungan. Efek suatu obat merubah efek obat lain atau saling
mempengaruhi. Ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau yang
terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya (Stockley,
2008). Kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin besar dengan
meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan saat
Penggunaan berbagai obat, beberapa orang dokter, dan
penggunaan obat yang dijual bebas semua turut berperan dalam terjadinya
interaksi obat. Penurunan fungsi ginjal dan hati yang berhubungan dengan
penuaan membuat konsekuensi interaksi obat tampaknya dapat menjadikan
penyakit yang dialami lansia akan lebih serius. Interaksi obat yang mungkin
mempunyai konsekuensi kecil pada orang dewasa muda, dapat menimbulkan
konsekuensi yang merusak pada lansia. Sebagai contoh, orang muda tidak
diragukan lagi akan mengalami sedasi oleh kombinasi difenhidramin dan
suatu fenotiazin seperti klopromazin. Pada lansia, kombinasi ini turut berperan
dalam kejadian jatuh, baik karena sedasi yang berlebihan atau karena
pengaruh pada tekanan darah postural. Interaksi obat dapat dideteksi hanya
jika suatu daftar obat lengkap yang digunakan dapat dipelihara. Profil obat
termasuk daftar obat yang diresepkan maupun yang dijual bebas selalu ditulis
oleh setiap dokter pasien tersebut (Maryam, 2008).
Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi yang
melibatkan aspek farmakokinetik obat dan interaksi yang mempengaruhi
respon farmakodinamik obat. Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada
beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi.
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek suatu obat diubah oleh
obat lain (Fradgley, 2003). Beberapa kejadian interaksi obat sebenarnya dapat
diprediksi sebelumnya dengan mengetahui efek farmakodinamik serta
mekanisme farmakokinetik obat-obat tersebut. Pengetahuan mengenai hal ini
merugikan yang dapat ditimbulkan akibat interaksi obat (Quinn dan Day,
1997).
Interaksi obat yang paling penting pada lansia termasuk obat
dengan indikasi terapeutik yang sempit atau obat yang memengaruhi sistem
saraf pusat. Perawat perlu menyaring profil pengobatan untuk interaksi obat
pada pasien yang menggunakan obat seperti warfarin, fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital, digoksin, quinidin, prokainamid, antidepresan, atau
benzodiazepin (Maryam, 2008).
5. Polifarmasi Pada Lansia
Kombinasi obat yang tidak diperlukan adalah penggunaan dua
macam obat atau lebih dengan kelas terapi yang sama namun berbeda
golongan yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas terapi namun
salah satu obat atau lebih dalam kombinasi tersebut sebenarnya tidak
diperlukan bagi pasien (Rahmawati, 2008).
Kelompok lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan
dengan kelompok umur lain. Polifarmasi ada bila obat-obatan yang digunakan
tidak memiliki indikasi yang nyata, duplikasi pengobatan, interaksi
pengobatan yang sedang digunakan saat ini, kontraindikasi pengobatan yang
digunakan, obat yang digunakan untuk mengobati reaksi obat yang
merugikan, atau terdapat perbaikan setelah pemutusan obat (Stanley & Beare,
2006).
Terapi obat adalah dasar perawatan untuk artritis, hipertensi,
lain dapat dilihat pada lansia. Karena 4 dari 5 orang yang berusia di atas 65
tahun mempunyai satu atau lebih penyakit kronis, tidak mengejutkan bahwa
kelompok usia ini adalah pemakai paling besar obat yang diresepkan. Adanya
sejumlah permasalahan medis mungkin membawa pasien untuk mencari
bantuan dari beberapa dokter. Suatu resep dibuat untuk 60% kunjungan ke
tempat praktik, dan karena lansia mengunjungi dokter lebih banyak daripada
kelompok usia yang lain, mereka menerima lebih banyak obat yang
diresepkan (Stanley & Beare,2006).
6. Dampak Masalah Polifarmasi Pada Lansia
Penggunaan berbagai macam obat meningkatkan potensi untuk
terjadinya ketidakpatuhan dan turut berperan dalam terjadinya reaksi obat
yang tidak diinginkan, interaksi obat, dan biaya pelayanan kesehatan.
Penambahan suatu obat baru pada program pengobatan mungkin memerlukan
suatu perubahan gaya hidup pasien ( misalnya: harus ingat untuk memakan
satu tablet pada pagi hari) atau perubahan yang lebih penting (misalnya: harus
ingat untuk memakan enam atau delapan kapsul setiap harinya, melakukan
penyesuaian untuk diet yang dikendalikan, membatasi aktifitas fisik atau
menggunakan obat tambahan untuk mengantisipasi efek samping obat).
Kurangnya dukungan terhadap program pengobatan yang kompleks
merupakan hal yang sering terjadi, dan kegagalan penyedia layanan kesehatan
untuk mengkoordinasikan program pengobatan. Perilaku ketergantungan kemudian mungkin mendorong kearah tidak mematuhi, kegagalan perawatan,
mungkin mendorong kearah penggunaan obat yang berlebihan (Stanley &
Beare, 2006).
Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara
jumlah obat yang diminum dengan kejadian efek samping obat. Artinya,
makin banyak jenis obat yang diresepkan pada individu-individu lansia, makin
tinggi pula kemungkinan terjadinya efek samping. Secara epidemiologis, 1
dari 10 orang (10%) akan mengalami efek samping setelah pemberian 1 jenis
obat. Resiko ini meningkat mencapai 100% jika jumlah obat yang diberikan
mencapai 10jenis atau lebih. Secara umum angka kejadian efek samping obat
pada lansia mencapai 2 kali lipat kelompok usia dewasa. Obat-obat yang
sering menimbulkan efek samping pada lansia antara lain analgetika,
antihipertensi, antiparkinsion, antipsikotik, sedatif dan obat-obat
gastrointestinal. Sedangkan efek samping yang paling banyak dialami antara
lain hipotensi postural, ataksia, kebingungan, retensi urin, dan konstipasi.
Tingginya angka kejadian efek samping obat ini nampaknya berkaitan erat
dengan kesalahan peresepan oleh dokter maupun kesalahan pemakaian oleh
pasien, dalam Franklin (2009),
a. Kesalahan peresepan
Sebagai contoh simetidin yang sering diberikan pada kelompok usia ini,
ternyata memberi dampak efek samping yang cukup sering (misalnya
halusinasi dan reaksi psikotik), jika diberikan sebagai obat tunggal. Obat
ini juga menghambat metabolisme berbagai obat seperti warfarin, fenitoin
dan beta blocker. Sehingga pada pemberian bersama simetidin tanpa lebih
toksik yang kadang fatal karena meningkatnya kadar obat dalam darah
secara mendadak (Franklin, 2009).
b. Kesalahan pasien
Secara konsisten, kelompok lansia banyak mengkonsumsi obat-obat yang
dijual bebas/tanpa resep (OTC). kandungan zat-zat aktif dalam satu obat
OTC kadang-kadang belum jelas efek farmakologiknya atau malah
bersifat membahayakan. Beberapa antihistamin mempunyai efek sedasi,
yang jika diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif akan
memberi efek samping yang serius. Demikian pula obat-obat dengan
kandungan zat yang mempunyai antimuskarinik akan menyebabkan
retensi urin atau glaukoma, yang penanganannya akan jauh lebih sulit
dibanding penyakitnya semula (Franklin, 2009).
c. Ketidak-jelasan informasi pengobatan
Keadaan ini banyak dialami oleh penderita-penderita penyakit yang
bersifat hilang timbul (sering kambuh). Kesalahan umumnya berupa salah
minum obat (karena banyaknya jenis obat yang diresepkan), atau berupa
ketidaksesuaian dosis dan cara pemakaian seperti yang dianjurkan.
Kelompok usia ini tidak jarang pula memanfaatkan obat-obat yang
kadaluwarsa secara tidak sengaja, karena ketidaktahuan ataupun
ketidakjelasan informasi. Namun demikian, hal-hal yang perlu dicatat
dalam segi ketaatan pasien antara lain dalam Franklin (2009) :
1) Meskipun secara umum populasi lansia kurang dari 15%, tetapi
peresepan pada usia ini relatif tinggi, yaitu mencapai 25%-30% dari
2) Pasien sering lupa instruksi yang berkenaan dengan cara, frekuensi dan
berapa lama obat harus diminum untuk memperoleh efek terapetik
yang optimal. Untuk antibiotika, misalnya pasien sering menganggap
bahwa hilangnya simptom memberi tanda untuk menghentikan
pemakaian obat.
3) Pada penderita yang tremor, mengalami gangguan visual atau
menderita artritis, jangan diberi obat cairan yang harus ditakar dengan
sendok.
4) Untuk pasien lansia dengan katarak atau gangguan visual karena
degenerasi makular, sebaiknya etiket dibuat lebih besar agar mudah
dibaca.
7. Reaksi Obat yang Tidak Diharapkan
Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan sama
sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan
menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar dapat diketahui. Dampak
negatif masalah efek samping obat dalam klinik antara lain dapat
menimbulkan keluhan atau penyakit baru karena obat, meningkatkan biaya
pengobatan, mengurangi kepatuhan berobat serta meningkatkan potensi
kegagalan pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena pada pasien lansia
kemungkinan terjadinya penurunan fungsi organ sehingga pada saat
pemberian obat, dosisnya harus disesuaikan. Selain itu faktor kepatuhan
minum obat, dimana untuk pasien lansia terkadang lupa untuk minum obat
Polifarmasi merupakan salah satu dari faktor utama yang
memberikan kontribusi, faktor resiko lain termasuk postur tubuh yang kecil
(terutama pada wanita), riwayat penyakit alergi, reaksi obat yang tidak di
harapkan yang telah terjadi sebelumnya, berbagai macam penyakit kronis,
gagal ginjal, berobat kepada beberapa orang dokter, status mental yang
abnormal, tinggal sendiri, masalah keuangan, tidak patuh, dan masalah
penglihatan atau pendengaran. Faktor resiko ini mungkin sering timbul secara
bersamaan pada lansia. Reaksi obat yang tidak diharapkan mungkin
menyebabkan perubahan kecil yang tidak menyenangkan atau perubahn
penting pada dosis obat. Reaksi tidak diharapkan yang lebih serius mungkin
cukup berat sehingga perlu dilakukan hospitalisasi. Dalam suatu penelitian
melaporkan bahwa 1 dari setiap 5 orang pasien lansia yang masuk ke rumah
sakit adalah akibat dari suatu reaksi obat yang tidak diharapkan. Obat-obat
yang dapat menyebabkan hospitalisasi karena reaksi yang tidak diharapkan :
analgesik, aspiri, kemoterapi, digoksin, insulin, prednison, teofilin, warfarin
(Stanley & Beare, 2006).
Banyak efek obat yang tidak di harapkan berhubungan dengan
dosis atau konsentrasi dan ada kecenderungan obat untuk terakumulasi pada
lansia. Untuk mencegah reaksi yang tidak diharapkan yang disebabkan oleh
efek farmakologis yang berlebihan, perawat harus memahami bagaimana
fisiologis, perubahan yang memengaruhi penumpukan obat di dalam tubuh.
Efek yang tidak diharapkan seperti hipotensi ortostatik, keadaan mengantuk,
pusing, pandangan kabur, atau konfusi. Gejala reaksi obat yang tidak
hanya menambah masalah akibat penggunaan berbagai macam obat (Stanley
& Beare, 2006).
8. Fisiologis dan Penimbunan Obat Pada Lansia
Obat mengalami proses 4 tahap sebelum meninggalkan tubuh menurut
Stanley & Beare, (2006):
a. Absorpsi
Absorsi obat terjadi dengan cara difusi sederhana melalui usus halus, suatu
proses yang bergantung pada konsentrasi, tidak memerlukan energy dan
tidak di pengaruhi oleh usia. Tetapi, tingkat kecepatan absorsi dan efek
puncak dari beberapa obat mungkin lebih lambat pada lansia karena
penurunan yang berhubungan dengan penuaan pada aliran darah dan
otilitas gastrointestinal. Karena absorsi obat pada lansia mungkin
terlambat, toksiksitas obat yang terjadi pada pasien lansia mungkin terjadi
lebih lama dan lebih panjang daripada toksiksitas obat pada pasien yang
lebih muda. Berkurangnya keasaman lambung mengubah absorpsi
obat-obat yang bersifat asam lemah, seperti aspirin. Berkurangnya aliran darah
ke saluran gastrointestinal (berkurangnya 40-50%) adalah akibat dari
curah jantung yang menurun. Karena adanya aliran darah yang berkurang,
maka absorpsi diperlambat tetapi tidak berkurang. Berkurangnya laju
motilitas gastrointestinal (peristaltik) akan mengakibatkan tertundanya
b. Distribusi
Saat di absorpsi, sebagian besar obat di distribusikan keseluruh tubuh
dalam konsentrasi yang bergantung pada kemampuan obat untuk
menembus baik kompartemen yang mengandung air maupun yang
mengandung lipid. Karena total cairan tubuh menurun 10 sampai 15% di
antara usia 20 tahun dan 80 tahun, lansia akan mengalami peninggian
konsentrasi plasma ketika obat yang di distribusikan kedalam plasma di
berikan, kecuali jika penyesuaian dosis telah di lakukan. Sebagai contoh,
lansia yang diberi suatu dosis standar etanol intravena mengalami puncak
konsentrasi alkohol yang lebih tinggi daripada orang yang lebih muda
dengan dosis yang sama.
Akibat berkurangnya air tubuh pada orang lansia, obat-obat yang larut
dalam air akan lebih terkonsentrasi (pekat). Terdapat peningkatan rasio
lemak terhadap air pada orang lansia, obat-obat yang larut dalam lemak
disimpan dan mengalami akumulasi. Lemak tubuh berfungsi sebagai
reservoir bagi obat yang larut dalam lemak, membantu menurunkan
konsentrasi plasma tetapi meningkatkan durasi aksi obat tersebut. Telah
terjadi peningkatan durasi aksi dari obat yang dapat larut dalam lemak
seperti flurazepam, diazepam, klorpromazin, dan antidepresan trisiklik
pada lansia. Perubahan ini disebabkan oleh peningkatan proporsi lemak
pada tubuh lansia. Orang lansia mempunyai serum protein dan kadar
albumin yang berkurang, sehingga terdapat lebih sedikit tempat
pengikatan pada protein, akibatnya terdapat lebih banyak obat bebas.
mendapatkan tempat pengikatan pada protein dengan obat-obat lain.
Interaksi obat mengakibatkan berkurangnya tempat pengikatan pada
protein dan bertambahnya obat bebas.
c. Metabolisme dan eliminasi
Pada orang lansia, terdapat penurunan produksi enzim hati, aliran darah
hati, dan fungsi hati. Semua penurunan ini mengakibatkan berkurangnya
metabolisme obat. Dengan berkurangnya laju metabolisme obat, waktu
paruh (t 1/2) dari obat-obat meningkat, dan dapat terjadi akumulasi obat.
Metabolisme suatu obat menginaktivasi obat dan merupakan persiapan
untuk eliminasi oleh ginjal. Toksisitas obat mungkin terjadi jika waktu
paruh diperpanjang.
Ginjal dan hati adalah organ yang bertanggung jawab untuk
mengeliminasi sebagian besar obat melalui biotransformasi di dalam hati
menjadi suatu metabolit yang kurang aktif atau non aktif atau pembuangan
obat dan metabolitnya melalui ginjal. Kedua proses ini menurun seiring
dengan penuaan. Aliran darah hati menurun sebanyak 47% pada usia 65
tahun, yang sebagian terjadi akibat penurunan curah jantung secara
bersamaan. Aliran darah hati, yang merupakan suatu faktor utama dalam
klirens berbagai jenis obat, mungkin dipengaruhi lebih lanjut oleh gagal
jantung dan sirkulasi, demam, dan dehidrasi. Dosis beberapa obat mungkin
perlu dikurangi untuk lansia. Contoh obat yang mengalami penurunan
metabolisme pada lansia karena penurunan aliran darah hati : amitriptilin,
desipramin, imipramin, isoniazid, lidokain, meperidin, morfin, nortriptilin,
Pada orang lansia terdapat penurunan aliran darah ginjal dan penurunan
laju filtrasi glomerulus sebanyak 40-50%. Dengan adanya penurunan
fungsi ginjal, terdapat penurunan ekskresi obat, dan terjadi akumulasi obat.
Dosis obat yang dieliminasi oleh ginjal harus dikurangi pada pasien lansia.
Contoh obat yang mengalami penurunan eliminasi pada lansia karena
penurunan fungsi ginjal: amantadin, amilorid, aminoglikosid, antibiotik,
atenolol, kaptopril, klorpropamid, simetidin, klonidin, digoksin,
disopiramid, etambutol, litium, metotreksat, metildopa, metoklopramid,
prokainamid, pridostigmin, vankomicin. Toksisitas obat harus dinilai
secara terus-menerus selama klien menerima pengobatan.
C. Prinsip-Prinsip Umum Penggunaan Obat Pada Lansia
Penggunaan obat harus mempertimbangkan rasio manfaat dan resiko bagi
pasien. Pemilihan obat tidak hanya melihat manfaatnya menyembuhkan penyakit,
namun harus selalu disertai pertimbangan kondisi pasien. Obat dikategorikan
tidak aman bagi kondisi pasien apabila obat tersebut potensial menyebabkan efek
samping yang berbahaya bagi kondisi pasien atau sudah terbukti menyebabkan
efek samping pada pasien (Rahmawati,2008).
Ketidakrasionalan obat yang terjadi karena ketidak sesuaian kombinasi
obat dalam satu resep yang mengakibatkan terjadinya interaksi antar obat yang
dapat mengakibatkan kehilangan kerja obat, berkurangnya efek obat, dan
peningkatan toksisitas obat (Herianto, dkk., 2006). Secara singkat, pemakaian
kecil atau tidak ada sama sekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan
efek samping atau biayanya (Vance dan Millington, 1986).
Penggunaan obat pada pasien lansia memerlukan perhatian khusus karena
adanya perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat terkait proses
penuaan. Resiko terjadinya reaksi yang tidak diharapkan (edverse drug reactions)
dan interaksi obat juga akan meningkat seiring bertambahnya jumlah obat yang
dikonsumsi. Banyaknya jenis obat dan rumitnya tata cara pengobatan membuat
pasien lansia, yang kemampuan kognitif dan fisiknya sudah mengalami
penurunan, menjadi tidak patuh terhadap tata cara pengobatan yang telah
ditetapkan. Selain itu, kondisi psikososial pasien lansia sangat potensial untuk
memperburuk status kesehatannya (Retno, 2010).
Kriteria penggunaan obat rasional dalam Direktorat bina penggunaan obat
rasional (2008) adalah :
1. Tepat diagnosis
Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak ditegakkan
dengan benar maka pemilihan obat akan salah.
2. Tepat indikasi penyakit
Obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu penyakit.
3. Tepat pemilihan obat
Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.
4. Tepat dosis
Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat.
a. Tepat Jumlah