• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA CLEANING SERVICE

DI KAMPUS UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2012

SKRIPSI

Disusun Oleh: Sofia Septiani 108101000055

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H.

(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA CLEANING SERVICE

DI KAMPUS UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh: Sofia Septiani 108101000055

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H.

(3)
(4)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Desember 2012

Sofia Septiani, NIM : 108101000055

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 xvi+121 halaman, 10 tabel, 2 gambar, 3 lampiran

Abstrak

Dermatitis kontak merupakan salah satu penyakit kulit akibat kerja. Penyakit tersebut timbul pada waktu tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaan atau disebabkan oleh faktor-faktor yang berada pada lingkungan kerja. Dermatitis kontak merupakan inflamasi yang diakibatkan oleh kontak kulit dengan bahan eksternal baik alergen kimiawi atau iritan mekanis. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada 10 orang pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan 8 orang pekerja cleaning service yang mengalami dermatitis kontak.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-September 2012 pada pekerja cleaning service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sampel penelitian sebanyak 99 orang dengan menggunakan teknik total sampling. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012, antara lain lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, suhu, kelembaban, personal hygiene dan penggunaan alat pelindung diri. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa lembar pemeriksaan dokter, kuisioner, thermohygrometer dan lembar observasi. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan menggunakan rumus chi square dan mann whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak sebanyak 32 pekerja (32,3%). Berdasarkan hasil analisis uji statistik diketahui bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah lama kontak (pvalue=0,001), frekuensi kontak (pvalue=0,003) dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue=0,021).

(5)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

MAJOR OF SAFETY AND OCCUPATIONAL HEALTH Thesis, Desember 2012

Sofia Septiani, NIM: 108101000055

Factors Associated With Contact Dermatitis in Cleaning Service Workers at Campus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Year of 2012

xvi+121 pages, 10 tables, 2 images, 3 attachment

Abstract

Contact dermatitis is one of occupational skin disease. The disease occurs when workers doing their job or caused by the factors in the environment at the workplace. Contact dermatitis is an inflammation caused by skin contact with an external substance either chemical allergens or mechanical irritants. Based on the results of preliminary studies on 10 workers cleaning service at campus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta obtained 8 people cleaning service workers experience contact dermatitis.

This research is quantitative, with cross sectional approach which is conducted in June-September 2012 on cleaning service workers in the state islamic university Syarif Hidayatullah Jakarta. Amount of the sample in this research 99 peoples with total sampling techniques. The purpose of this study was to determine the factors associated with the incidence of contact dermatitis in cleaning service workers on the state islamic university Syarif Hidayatullah Jakarta in 2012, such as prolonged contact, frequency of contact, age, working period, history of allergy, history of atopy, history of skin disease previously, temperature, humidity, personal hygiene and using personal protective equipment. The instruments to collect data are physician examination sheets, questionnaire, thermohygrometer and observation sheet. After the data obtained, the data analyzed by statistical tests using chi-square and mann whitney.

The results showed that total workers with contact dermatitis is 32 workers (32,3%). Based on the results of statistical analysis known that the variables associated with the incidence of contact dermatitis is prolonged contact (pvalue=0,001), frequency of contact (pvalue=0,003) and history of skin disease previously (pvalue=0,021).

To minimize the risk of contact dermatitis on cleaning service workers, replace the manual cleaning tools with machine, the standard operational procedure for safe work must be developed. The workers should be given an education about safe work process, the importance of using PPE, hygienic and healthy behavior during working and the workers are expected to using PPE and notice the personal hygiene.

(6)
(7)
(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Sofia Septiani

Tempat, tanggal Lahir : Jakarta, 12 September 1990 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Golongan Darah : B

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. Ciputat Molek II No. 24 RT.03 RW.07 Pisangan - Ciputat Timur, Tangerang Selatan 15419

Telp/Email : (0856) 864 2336/fairytopia_1213@yahoo.co.id

RIWAYAT PENDIDIKAN:

Tahun Riwayat Pendidikan

1995 - 1996 TK Ketilang

1996 - 2003 2003 - 2005 2005 - 2008 2008 - sekarang

SD Negeri Kampung Utan I MTs Negeri 3 Jakarta SMA Negeri 87 Jakarta

S1 – Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

PENGALAMAN MAGANG

(9)

KATA PENGANTAR ميح رل ا نمحرل ا ه ا مسب هت اك رب و ه ا ةمحرو مكي ع اسل ا

Segala puji bagi Allah SWT yang maha segalanya, syukur penulis ucapkan padamu ya Rabb atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Dengan penuh kesadaran penulis yakin bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi tentang “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”

Penyelesaian pembuatan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, nasehat, motivasi, dan dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Sekiranya patutlah bagi penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Allah SWT, atas berkah dan rahmatNya sehingga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. My Beloved Parents, especially my Mom, yang senantiasa mendoakan, memberikan segala sesuatu yang terbaik untukku dan mendukung penulis dalam menyelesaikan program studi ini. I’ll always give the best for my lovely Mom and Dad too.

3. Dosen pembimbing skripsi Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK dan Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS yang selalu memberikan waktu, kesabaran, motivasi dan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

4. Tim Penguji skripsi (Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, dan Ibu dr. Rachmania Diandini, MKK) yang telah menguji skripsi saya dengan penuh kebijaksanaan.

5. Seluruh dosen dan staff program studi kesehatan masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Tim peneliti dermatitis kontak yaitu Via, Riska, Niswah dan Astri yang telah berbagi

(10)

7. Kakakku dan teman-teman K3’08 yang telah membantu dan terus memberi semangat supaya penulis segera meraih gelar sarjana, semoga keberkahan selalu menyertai langkah kita.

8. Semua pihak terkait yang tidak tersebut yang telah membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah diberikan. Akhir kata, Penulis berharap skripsi ini akan bermanfaat bagi semua pihak yang membaca, baik dari kalangan mahasiswa maupun umum dan dapat dijadikan langkah awal bagi pengembangan ilmu serta bermanfaat di waktu mendatang.

هت اك رب و ه ا ةمحرو مكي ع اسل ا و

Jakarta, Desember 2012

(11)

DAFTAR ISI 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja ... 17

2.3 Dermatosis Akibat Kerja ... 20

2.4 Dermatitis ... 23

(12)

2.7.1 Lama Kontak ... 35

2.7.10 Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya ... 45

2.7.11 Tipe Kulit ... 46

2.7.12 Musim ... 47

2.7.13 Pengeluaran Keringat ... 47

2.7.14 Ras ... 47

2.7.15 Suhu dan Kelembaban ... 48

2.7.16 Personal Hygiene ... 49

2.7.17 Alat Pelindung Diri ... 51

2.8 Kerangka Teori... 52

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERSIONAL 3.1 Kerangka Konsep. ... 54

4.3 Populasi dan Sampel ... 65

4.4 Instrumen Penelitian... 70 5.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 75

5.2 Analisis Univariat... 76

(13)

5.2.2 Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2012 ... 76

5.2.2.1 Gambaran Lama Kontak ... 77

5.2.2.2 Gambaran Frekuensi Kontak ... 78

5.2.2.3 Gambaran Usia ... 78

5.2.2.4 Gambaran Masa Kerja ... 78

5.2.2.5 Gambaran Suhu ... 79

5.2.2.6 Gambaran Kelembaban ... 79

5.2.2.7 Gambaran Riwayat Alergi ... 79

5.2.2.8 Gambaran Riwayat Atopi ... 79

5.2.2.9 Gambaran Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya ... 80

5.2.2.10 Gambaran Personal Hygiene ... 80

5.2.2.11 Gambaran Alat Pelindung Diri (APD) ... 80

5.3 Analisis Bivariat ... 81

5.3.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 83

5.3.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 83

5.3.3 Hubungan antara Usia dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 83

5.3.4 Hubungan antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 84

5.3.5 Hubungan antara Suhu dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 84

5.3.6 Hubungan antara Kelembaban dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 84

5.3.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 85

5.3.8 Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 85

5.3.9 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 86

(14)

6.4 Gambaran Penggunaan APD Pada Pekerja Cleaning Service di UIN Jakarta ... 93

6.5 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 95

6.5.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak ... 95

6.5.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak... 98

6.5.3 Hubungan antara Usia dengan Dermatitis Kontak ... 100

6.5.4 Hubungan antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak... 103

6.5.5 Hubungan antara Suhu dengan Dermatitis Kontak ... 105

6.5.6 Hubungan antara Kelembaban dengan Dermatitis Kontak ... 108

6.5.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak... 111

6.5.8 Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak ... 114

6.5.9 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak ... 116

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 119

7.2 Saran ... 120

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Bahan Kimia di Tempat Kerja Cleaning Service ... 12

Tabel 2.2 Iritan yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Iritan ... 29

Tabel 2.3 Alergen yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Alergi ... 30

Tabel 2.4 Bahan Kimia yang Menimbulkan Kelainan Kulit... 37

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ... 68

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 76

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Usia, Masa Kerja, Suhu dan Kelembaban) Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 77

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi (Riwayat Alergi, Riwayat Atopi, Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya, Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri) Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 77

Tabel 5.4 Analisis Hubungan antara (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Usia, Masa Kerja, Suhu dan Kelembaban) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 82

(16)

DAFTAR BAGAN

(17)

DAFTAR GAMBAR

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu masalah dunia. Telah banyak diketahui bahwa bekerja di manapun selalu ada risiko terkena penyakit akibat kerja (Kurniawidjaja, 2010). Menurut laporan ILO tahun 2002, setiap tahun ditemukan 2 juta orang meninggal dan 160 juta kasus PAK (Depkes, 2008). Sedangkan laporan WHO tentang kesehatan dunia pada tahun 2002, menunjukkan 1,5% dari beban kesehatan dunia diakibatkan oleh risiko pekerjaan tertentu, hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa terdapat ratusan juta penduduk dunia bekerja dalam kondisi tidak sehat dan atau tidak selamat. Risiko kesehatan kerja ini diperkirakan 10-20 kali lebih tinggi di negara berkembang (Kurniawidjaja, 2010).

(20)

Menurut Diepgen et.al (1999) mengenai dermatitis kontak akibat kerja menduduki peringkat pertama dari semua penyakit akibat kerja di berbagai negara. Tingkat kejadian terdapat sekitar 0,5-1,9 kasus per 1000 pekerja penuh waktu per tahun. Sedangkan di Indonesia, menurut Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993, penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja, dari daftar penyakit berjumlah 31 penyakit dalam Keppres tersebut diketahui bahwa salah satu penyakit akibat kerja ialah penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi dan biologi.

Badan Pusat Statistik RI pada bulan Agustus 2009 mencatat bahwa sebanyak 104,87 juta jiwa (92,08%) penduduk Indonesia adalah bagian dari angkatan kerja, yang bekerja di sektor formal sebanyak 32,14 juta jiwa (30,6%) dan di sektor informal sebanyak 67,86 juta jiwa (69,3%), sedikitnya terdapat 720.457 kasus penyakit akibat kerja dalam tahun 2009 (Hudoyo, 2009). Penyakit kulit akibat kerja sebagai salah satu bentuk penyakit akibat kerja, merupakan jenis penyakit akibat kerja terbanyak kedua setelah penyakit muskuloskeletal, berjumlah sekitar 22% dari seluruh penyakit akibat kerja. Sebanyak 90% penyakit kulit akibat kerja berlokasi di tangan (Depkes, 2008).

(21)

disebabkan oleh faktor-faktor yang berada pada lingkungan kerja (Suma’mur, 2009).

Pada tahun 2009 perkembangan penyakit dermatosis semakin meningkat dengan persentase sebesar 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja (Suma’mur, 2009). Situasi tersebut akhirnya menggiring status kesehatan pekerja sektor informal menjadi buruk. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Departemen Kesehatan pada 2004 di 8 provinsi pada pekerja sektor informal didapatkan 75,8% perajin batu bata mengalami gangguan otot rangka, 41% perajin kulit dan petani kelapa sawit mengalami gangguan mata, 23,2% perajin batu onix mengalami gangguan dermatitis kontak alergika (Kurniawidjaja, 2010).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Florence (2008) menunjukkan bahwa pekerja pencuci botol di PT. X Medan yang menderita dermatitis kontak sebesar 54%. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan dermatitis kontak. Selain itu menurut penelitian lain yang dilakukan oleh Nuraga (2006) menunjukkan terdapat 74,07% (40 pekerja) dari 54 responden yang mengalami dermatitis kontak akibat kerja. Faktor yang sangat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak tersebut ialah lama kontak, frekuensi kontak dan alat pelindung diri.

(22)

sawar kulit, meningkatkan kemungkinan berkembangnya dermatitis kontak iritan dan sensitisasi terhadap suatu alergen, bahan kimia dan protein (Escala, 2010).

Cleaning service adalah salah satu jenis pekerjaan basah (sering kontak

dengan air) yang membuat karakteristik cleaning service menjadi berpotensi terkena penyakit kulit akibat kerja, seperti dermatitis kontak akibat kerja. Aktivitas pembersihan biasanya berlangsung di rumah, kantor, sekolah atau pabrik. Pekerjaan cleaning service berpotensi mengakibatkan kerusakan fisik kulit karena kontak

dengan sabun, detergen, beberapa makanan dan produk teknis lainnya. Pekerja pembersih rumah tangga dan industri lebih rentan untuk menderita dermatitis kontak iritan dan dermatitis tangan sebagai akibat dari paparan alergen (Escala, 2010).

Produk pembersih telah dikembangkan untuk menghilangkan debu, kotoran, melarutkan kotoran berminyak dan sebagai disinfektan. Namun produk ini mengandung berbagai jenis bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan (OSHA, 2008). Bahan iritan yang umum digunakan dalam produk pembersih yang dapat menyebabkan dermatitis ialah asam dan basa, detergen, surfaktan dan solvent. Bahan tambahan yang sering digunakan seperti pewangi, pewarna, dll merupakan zat sensitizer bagi kulit dan detergen keras biasanya mengandung senyawa ammonium surfaktan yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Produk pembersih

(23)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 19-20 Juni 2012 pada 10 orang pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan 8 orang pekerja cleaning service yang mengalami dermatitis kontak dan 2 orang pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Gejala yang timbul pada pekerja antara lain ialah gatal-gatal sebanyak 70%, mengelupas sebanyak 20%, kemerahan sebanyak 40%, rasa perih sebanyak 30% dan lepuh kecil berisi cairan sebanyak 20%. Pekerja sebagian besar tidak menggunakan alat pelindung diri pada saat mereka bekerja. Hasil tersebut diperoleh berdasarkan observasi melalui kunjungan lapangan dan ditunjang dengan adanya pemeriksaan dokter. Pada saat bekerja di area kampus UIN Jakarta, para pekerja cleaning service sering kontak dengan air, sabun dan bahan kimia dari pembersih lantai maupun toilet yang mengandung zat iritan berupa detergen, solvent, surfaktan, asam dan basa, sehingga berpotensi menimbulkan penyakit dermatitis kontak akibat kerja.

Berdasarkan teori-teori dari para ahli yaitu Cohen (1999), Djuanda (2007), Hutomo (1999), Maibach (2006), Sassevile (2006), Sulaksmono (1994) dan beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak disebabkan oleh lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia, usia, jenis kelamin, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, tipe kulit, musim, pengeluaran keringat, jenis pekerjaan, suhu, kelembaban, personal hygiene, ras dan alat pelindung diri.

(24)

mengakibatkan penurunan produktivitas kerja penderita sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan terhadap penyakit ini. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya diharapkan proses pencegahan dapat lebih mudah dilakukan. Selain itu cleaning service di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan pegawai kelas bawah yang kurang mendapatkan perlindungan mengenai kesehatan kerja mereka dan hasil penelitian ini nantinya akan digunakan sebagai data based pelaksanaan program intervensi kepada pekerja di internal UIN.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.2Rumusan Masalah

(25)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 19-20 Juni 2012 pada 10 orang pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan 8 orang pekerja cleaning service yang mengalami dermatitis kontak dan 2 orang pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Gejala yang timbul pada pekerja antara lain ialah gatal-gatal sebanyak 70%, mengelupas sebanyak 20%, kemerahan sebanyak 40%, rasa perih sebanyak 30% dan lepuh kecil berisi cairan sebanyak 20%. Pekerja sebagian besar tidak menggunakan alat pelindung diri pada saat mereka bekerja. Hasil tersebut diperoleh berdasarkan observasi melalui kunjungan lapangan dan ditunjang dengan adanya pemeriksaan dokter. Pada saat bekerja di area kampus UIN Jakarta, para pekerja cleaning service sering kontak dengan air, sabun dan bahan kimia dari pembersih lantai maupun toilet yang mengandung zat iritan berupa detergen, asam dan basa, solvent dan surfaktan sehingga berpotensi untuk terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 ?

2. Bagaimana gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, suhu, kelembaban, personal hygiene dan alat pelindung diri) pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 ?

(26)

kelembaban) dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 ?

1.4Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

2. Diketahuinya gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, suhu, kelembaban, personal hygiene dan alat pelindung diri) pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

3. Diketahuinya hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, suhu dan kelembaban) dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

(27)

penelitian dan penyusunan karya tulis serta penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai dermatitis akibat kerja. 2. Bagi Pekerja

Sebagai bahan informasi dan masukan untuk memperhatikan kesehatan kerja pekerja cleaning service dalam upaya pencegahan dermatitis yang merupakan penyakit kulit akibat kerja. Para pekerja cleaning service diharapkan dapat mengurangi kontak dengan bahan kimia berbahaya yang berada dalam produk pembersih.

3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Sebagai informasi penelitian dan dokumentasi data penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswa peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

(28)
(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cleaning Service(EU-OSHA, 2009)

2.1.1Definisi

Cleaning service adalah pekerjaan umum yang dilakukan di semua sektor dan

tempat kerja baik di luar ruangan dan dalam ruangan, baik di perusahaan swasta serta di tempat umum. Ini mencakup berbagai tugas. Sebagian besar pekerjaan cleaning service dilakukan secara kontrak dimana cleaning service dipekerjakan

oleh sebuah perusahaan cleaning service tetapi bekerja dalam satu atau lebih lokasi. Sektor ini sebagian besar wiraswasta, yang dominan ditemukan pada cleaning service rumah tangga.

Pekerja cleaning service biasanya sering tidak diberikan pelatihan, peralatan dan informasi untuk melakukan pekerjaan mereka dengan cara yang terbaik, sehat dan aman.

2.1.2 Kondisi kerja

Cleaning service terdapat dalam berbagai kegiatan dan dilakukan dalam

(30)

2.1.3 Potensi Bahaya Terkait Pekerjaan Cleaning Service a) Bahaya Kimia

Paparan bahan kimia pada seorang cleaning service tergantung pada jenis produk yang digunakan dan karakteristik lingkungan kerja di mana mereka bekerja dan kondisi penggunaan. Pekerja cleaning service mungkin dapat terpapar berbagai bahan kimia yang berbeda.

Oleh karena itu, ketika menilai risiko kimia yang mungkin terpajan pada pekerja cleaning service, zat kimia yang ada di kotoran, debu, partikel, dll yang sedang dibersihkan, serta karakteristik lingkungan dan proses kerja harus diperhitungkan selain komponen kimia dari produk pembersih yang digunakan. Tergantung pada zat kimia yang terlibat, berbagai jenis risiko kesehatan dapat menyebabkan seperti iritasi pada mata dan selaput lendir, dermatitis kulit, gangguan pernapasan, termasuk asma, dan kanker. Bahan kimia yang terkandung dalam beberapa bahan pembersih mungkin juga bersifat mudah terbakar atau mudah meledak.

Tabel 2.1 Bahaya Kimia di Tempat Kerja Cleaning Service

(31)

Sumber: Emmanuelle Brun. 2009. The Occupational Safety and Health of Cleaning Workers (EU-OSHA)

b) Bahaya Biologi

Pekerja cleaning service dapat juga terpajan berbagai jenis agen biologi seperti mikroorganisme (bakteri, virus dan jamur) yang terdapat dalam debu dan dalam aerosol yang terjadi selama proses pembersihan. Rute eksposur utama adalah

hidroksida, sodium

Disinfektan Sensitisasi, iritasi selaput lendir pernafasan; racun bagi saraf atau reproduksi

Fatty acid salts, organic sulphonates

Deterjen, sabun Iritasi kulit, mata dan selaput lendir

Pelarut pembersih Iritasi kulit, mata dan selaput lendir

(32)

sama seperti pada bahaya kimia, yang berarti terutama melalui inhalasi, kulit dan pencernaan.

c) Bahaya Fisik

Bahaya fisik yang dihadapi pekerja cleaning service mencakup antara lain jatuh dari tangga, permukaan yang tinggi dan lantai yang basah atau licin serta kejatuhan benda yang tidak hanya dari peralatan kerja yang digunakan tetapi juga dari lingkungan dimana pekerjaan pembersihan dilakukan.

Beberapa studi penelitian pada pekerjaan yang berhubungan dengan penyakit pada pekerja cleaning service ditemukan di Belgia, Denmark, Finlandia, Jerman, Norwegia, Portugal, Spanyol, Swedia, dan Inggris menunjukkan bahwa MSDS, penyakit pernapasan dan penyakit kulit merupakan masalah kesehatan yang paling umum yang ditemukan pada pekerja cleaning service. Penyakit kulit seperti dermatitis kontak dan eczema merupakan salah satu penyakit terkait kerja yang sering muncul pada petugas

kebersihan, misalnya karena paparan terhadap kulit yang disebabkan oleh bahan kimiawi dan agen biologi, sering bekerja di tempat basah, dan luka pada kulit disebabkan oleh faktor mekanis karena pekerjaan.

(33)

Surfactant dianggap sebagai komponen aktif yang paling utama pada bahan

pembersih dan juga sebagai penyebab berbagai masalah kulit yang dilaporkan oleh pekerja cleaning service dan dikaitkan dengan pekerjaan cleaning service. Zat aktif lain mungkin juga asam atau basa, desinfektan, pelarut atau zat pencampur. Produk dengan zat asam seperti asam klorida termasuk misalnya dalam produk pembersih dapat menimbulkan risiko tinggi dan bersifat korosif pada mata dan kulit.

Bahan pencampur (zat yang mampu membentuk senyawa kompleks dengan bahan lain dalam larutan) seperti EDTA (Ethylene Diamin Tetra Acetic Acid) dapat menyebabkan iritasi mata atau iritasi kulit. Beberapa bahan kimia dapat menimbulkan iritasi pada konsentrasi rendah dan bersifat korosif pada konsentrasi tinggi, misalnya asam atau basa. Salah satu penyakit kulit seperti dermatitis pada tangan yang dapat disebabkan oleh kontak kulit dengan deterjen - serta kontak yang lama dan berulang dengan air, bekerja di tempat basah atau bekerja sambil mengenakan sarung tangan.

Mengingat peningkatan jumlah penyakit kulit akibat kerja dalam profesi cleaning service, dan juga pada profesi lain seperti petugas kesehatan dan pekerja di dapur,

(34)

2.1.4 Rute Eksposur

Zat kimia dapat memasuki tubuh manusia dengan cara yang berbeda, tergantung pada sifat mereka (misalnya cairan, gas, dll) dan jalan yang mereka digunakan. Zat kimia dapat menembus ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan bila terhirup, kontak langsung dengan mata atau kulit, atau tertelan dan masuk ke dalam pencernaan. Rute pajanan melalui kulit dijelaskan sebagai berikut :

Tangan adalah bagian tubuh yang utama di mana dapat terjadi kulit kontak dengan bahan pembersih. Selain mungkin bersifat iritan atau beracun, bahan pembersih juga mengandung zat yang dapat menurunkan dan menghancurkan penghalang alami bagi kulit. Sering terpapar air (pekerjaan basah) juga dapat mengubah mekanisme pertahanan penghalang kulit dengan konsekuensi bahwa kulit menjadi lebih "permeable" dan lebih sensitif terhadap zat kimia lainnya. Sebuah pertahanan alami kulit yang rusak dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan. Asupan zat sistemik juga dapat meningkatkan kerusakan kulit.

(35)

risiko pada kulit. Program perawatan kulit yang tepat, mencakup perlindungan kulit, membersihkan kulit dan perawatan kulit juga penting.

Menurut sebuah penelitian Jungbauer, et al (2004) mengenai pekerjaan basah (cleaning service) di industri, pekerja yang membersihkan kantor diklasifikasikan sebagai pekerjaan basah. Kegiatan pembersihan utama dilakukan di gedung kantor untuk membersihkan lantai, toilet, perabot dan tempat sampah dan lebih dari 50% proses pembersihan dari seluruh pekerjaan dilakukan dalam kondisi tangan basah karena kontak dengan air dan menyebabkan iritasi kulit (misalnya karena kontak dengan asam, basa, maupun pelarut) untuk sebagian dari waktu pembersihan. Produk yang mengandung zat iritan atau alergi digunakan setiap hari dan sering terjadi kontak dengan kulit.

2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja

Pada prinsipnya penyebab terjadinya penyakit kulit akibat kerja sama dengan penyakit lainnya yaitu tidak adanya keseimbangan antara host (manusia), agent (penyebab) dengan environment (lingkungan) (Erliana, 2008). Menurut WHO (1995), penyakit kulit akibat kerja adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit kulit ini meliputi penyakit kulit (baru) yang timbul karena pekerjaan atau lingkungan kerja dan penyakit kulit (lama) yang kambuh karena pekerjaan atau lingkungan kerja.

(36)

a) Faktor Mekanik

Gesekan, tekanan trauma, menyebabkan hilangnya barrier (penghalang) sehingga memudahkan terjadinya infeksi sekunder. Penekanan kronis menimbulkan penebalan kulit seperti kuli-kuli bangunan.

b) Faktor Fisik

1. Suhu tinggi di tempat kerja dapat menyebabkan miliara, combustion 2. Suhu rendah menyebabkan chilblans, trench foot, frosbite

3. Kelembaban terlalu rendah menyebabkan kulit dan selaput lendir saluran pernafasan menjadi kering dan pecah-pecah sehingga dapat terjadi perdarahan pada kulit dan selaput lendir

4. Radiasi elektromagnetik non ionisasi seperti ultraviolet dan infra merah

5. Kelembaban yang menyebabkan kulit menjadi basah, hal ini dapat menyebabkan malerasi, paronychia dan penyakit jamur

6. Penerangan yang kurang baik dapat menyebabkan terganggunya indra penglihatan sehingga cenderung terjadi kecelakaan kerja

7. Kecepatan aliran udara yang lambat menyebabkan kemungkinan kontak dengan bahan kimia dalam bentuk uap, gas, asap, kabut menjadi lebih besar

c) Faktor Biologi

(37)

d) Tanaman dan Bahan-bahan yang berasal dari padanya

Dijumpai pada pekerja-pekerja pengolahan karet, damar dan tembakau, pekerja perkayuan dan perusahaan meubel.

e) Mental Psikologis

Seperti hubungan kerja yang kurang baik, pekerjaan-pekerjaan yang monoton dan faktor-faktor psikis lainnya.

f) Faktor Kimia

Apabila kulit terpapar dengan bahan kimia dapat terjadi kelainan kulit berupa dermatitis kontak iritasi atau dermatitis kontak alergi. Faktor penyebab terbanyak adalah agen kimia yang terdiri dari 4 kategori :

1. Iritan primer berupa asam, basa, pelarut lemak, deterjen, garam-garam logam (arsen, air raksa dan lain-lain)

2. Sensitizer, logam dan garam-garamnya (kromium, nikel, kobal, dll), bahan-bahan kimia karet, obat-obatan dan antibiotik, kosmetik dan lain-lain

3. Agen-agen aknegik, naftalen dan bifenil klor, minyak mineral dan lain-lain

4. Photosensitizer-antrasen, pitch, derivate asam benzoate, hidrokarbon aromatik, pewarna akridin dan lain-lain

Sedangkan menurut Fregert (1988), zat-zat kimia yang dapat menyebabkan penyakit kulit antara lain adalah kromium, nikel, cobalt dan mercuri.

(38)

nikel umumnya ditemukan akibat penyepuhan dengan nikel, yaitu penyepuhan nikel pada permukaan logam lain. Dermatitis nikel mempunyai kecenderungan tertentu untuk menyebar ke seluruh lengan dan bagian tubuh yang lain.

c. Cobalt, bersifat alergenik seperti nikel, dimana kedua logam tersebut mempunyai hubungan erat. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat cobalt sebagai kotoran pada logam nikel. Oksida cobalt yang bersifat alergenik terdapat dalam pigmen yang digunakan untuk pengecatan gambar serta keramik dan dalam pembuatan email. Cobalt juga digunakan dalam acrylic yang terolah dingin (cold cured acrylic) dan plastik polyster tak jenuh tetapi jarang menimbulkan sensitisasi.

d. Mercuri, logam mercuri seperti logam nikel dan cobalt, bersifat alergenik. Mercuri bisa menimbulkan dermatitis alergika pada industri peralatan atau pembuatan amalgam untuk bahan penambal gigi (amalgam yang sudah mengeras di dalam mulut tidak menimbulkan sensitisasi). Logam mercuri juga ditemukan dalam krim anti jerawat. Logam mercuri organik kadang menimbulkan sensitisasi kalau digunakan sebagai pembetsa dari penyamak atau sebagai pengawet dalam obat-obatan.

2.3 Dermatosis Akibat Kerja

(39)

Persentasi dermatosis akibat kerja dari seluruh penyakit akibat kerja menduduki porsi tertinggi sekitar 50-60%, maka dari itu penyakit ini pada tempatnya mendapat perhatian yang proporsional. Selain prevalensi yang tinggi, dermatosis akibat kerja yang kelainannya biasanya terdapat pada lengan, tangan dan jari sangat mengganggu penderita melakukan pekerjaan sehingga sangat berpengaruh negatif terhadap

produktivitas kerja (Suma’mur, 2009).

Penyebab dermatosis akibat kerja dapat digolongkan sebagai berikut (Suma’mur, 2009) :

a. Faktor fisik, yaitu tekanan, tegangan, gesekan, kelembaban, panas, suhu dingin, sinar matahari, sinar X dan sinar elektromagnetis lainnya;

b. Bahan yang berasal dari tanaman, yaitu daun, ranting, getah, akar, umbi, bunga, debu, kayu dan lainnya;

c. Mahluk hidup, yaitu bakteri, virus, jamur, cacing, serangga dan kutu;

d. Bahan kimia, yaitu asam dan garam zat kimia anorganik, persenyawaan kimia organis hidrokarbon, oli, ter, zat pewarna dan lainnya.

Dari semua penyebab itu faktor kimiawi adalah yang terpenting, oleh karena zat dan bahan kimia banyak digunakan pada proses produksi dalam berbagai industri. Ada dua mekanisme zat atau bahan kimia menimbulkan dermatosis, yaitu, pertama, dengan jalan perangsangan primer dan penyebabnya disebut iritan primer dan kedua, melalui sensitisasi dan penyebabnya disebut pemeka (sensitizer) (Suma’mur, 2009).

(40)

Sensitisasi oleh zat kimia pemeka biasanya disebabkan oleh zat kimia organis dengan struktur molekul lebih sedemikian rupa sehingga dapat bergabung dengan zat putih telur tubuh membentuk antigen (Suma’mur, 2009).

Perangsang primer adalah zat atau bahan kimia yang menimbulkan dermatosis oleh efeknya yang langsung kepada kulit normal di tempat terjadinya kontak zat atau bahan tersebut dengan kulit untuk kuantitas dan kadar zat atau bahan dimaksud yang cukup serta untuk waktu yang cukup lama pula. Pemeka kulit adalah zat atau bahan kimia yang tidak usah menimbulkan perubahan pada kulit ketika berlangsungnya kontak pertama dengan kulit tetapi menyebabkan efek khas di kulit tempat terjadinya kontak maupun pada tempat lain setelah selang waktu 5 atau 7 hari sejak kontak yang pertama

(Suma’mur, 2009).

Faktor penyebab fisik-mekanis tekanan, tegangan atau gesekan menimbulkan dermatosis akibat kerja dengan terjadinya kerusakan langsung pada kulit. Bakteri, virus, jamur dan lain-lain menyebabkan dermatosis akibat kerja melalui mekanisme peradangan (infeksi) yang tanda-tandanya meliputi warna merah di kulit (rubor), panas (color), sakit (dolor), dan kelainan fungsi (functio laesa). Infestasi parasit adalah hidup atau menembusnya parasit di kulit yang menyebabkan iritasi dan kerusakan kulit

(41)

2.4 Dermatitis

2.4.1 Kulit Manusia

2.4.1.1 AnatomiKulit

Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m² dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital, serta merupakan cerminan kesehatan dan kehidupan. Kulit tersusun atas tiga lapisan utama yaitu : epidermis, dermis atau korium dan jaringan subkutis (Wasitaatmadja, 2007).

(42)

Kulit terbagi atas 3 (tiga) lapisan utama yaitu (Wasitaatmadja, 2007) :

a. Epidermis, terbagi atas empat lapisan yaitu : lapisan tanduk atau stratum korneum, stratum lusidum, lapisan granular atau stratum granulosum, lapisan lapisan malpighi atau stratum spinosum dan basal atau stratum germinativum. b. Dermis atau korium merupakan lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal

daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut.

c. Subkutis (hipodermis) adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan getah bening.

2.4.1.2 Fungsi Kulit

Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan tubuh dengan lingkungan. Fungsi kulit adalah sebagai berikut (Wasitaatmadja, 2007) : a) Fungsi Proteksi

Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanis, misalnya tekanan dan gesekan; gangguan kimiawi, misalnya zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan, contohnya lisol, karbol, asam dan alkali kuat lainnya; gangguan yang bersifat panas dan gangguan infeksi dari luar.

(43)

b) Fungsi Pengatur Suhu

Kulit melakukan pengaturan suhu dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit mendapat nutrisi yang cukup baik.

c) Fungsi Penyerapan

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak. Kemampuan penyerapan kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban dan metabolisme.

d) Fungsi Persepsi

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan Krause yang terletak di dermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di epidermis.

e) Fungsi Ekskresi

Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5-6,5.

f) Fungsi Pembentukan Pigmentasi

(44)

g) Fungsi Pembentukan Vitamin D

Pembentukan vit. D dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar matahari.

2.4.2 Definisi Dermatitis

Dermatitis merupakan penyakit inflamasi superfisial kulit baik karena faktor endogen maupun eksogen. Secara morfologis, perubahan dermatitis akut atau kronik adalah spesifik dan dapat dikenali (Harnowo, 2001).

Jenis dermatitis berdasarkan penyebab, antara lain (Harnowo, 2001) : A. Faktor Eksogen

1) Dermatitis kontak 2) Dermatitis fotokontak B. Faktor Endogen

1) Dermatitis atopik 2) Dermatitis numuler 3) Dermatitis seborea 4) Dermatitis stasis

2.4.2.1 Dermatitis Kontak

(45)

Menetapkan penyebab dermatitis kontak tidak selalu mudah dikarenakan banyak sekali kemungkinan yang ada. Selain itu banyak yang tidak tahu atau menyadari seluruh zat-zat kimia yang bersentuhan dengan kulit mereka. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi (Djuanda, 2007).

2.4.2.1.1 Dermatitis Kontak Iritan

Dermatitis kontak iritan adalah peradangan pada kulit karena berkontak dengan bahan iritan dalam waktu dan konsentrasi cukup. Sedang iritan adalah substansi yang pada kebanyakan orang dapat mengakibatkan kerusakan sel bila dioleskan untuk waktu tertentu dengan konsentrasi tertentu (Harnowo, 2001). Menurut Djuanda (2007) dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan usia, ras dan jenis kelamin. Kelainan kulit yang terjadi ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang), gesekan, trauma fisis, suhu dan kelembaban lingkungan kerja serta adanya faktor individu berupa ketebalan kulit, usia, ras dan jenis kelamin.

(46)

a. Dermatitis Akut

Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut. Penyebab dermatitis iritan akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam kuat dan basa kuat. Biasanya reaksi kelainan terjadi langsung setelah kontak. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lama kontak dengan iritan, terbatas pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.

b. Dermatitis Akut Lambat

Gambaran klinis dan gejala sama dengan dermatitis kontak iritan akut tetapi baru muncul 8-24 jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan akut lambat, misalnya podofilin, antralin, etilen oksida, dan asam hidrofluorat.

c. Dermatitis Kontak Iritan Kumulatif

Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi, disebut juga dermatitis iritan kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisis maupun bahan kimia, misalnya deterjen, sabun dan pelarut). Dermatitis kontak iritan kumulatif mungkin terjadi karena kerjasama berbagai faktor. Kelainan baru nyata setelah kontak berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun.

(47)

sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan di bagian lain tubuh.

Tabel 2.2

Iritan yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Iritan

No. Bahan Iritan

Asam kuat (hidroklorida, hidroflorida, asam nitrat, asam sulfat)

Basa kuat (kalsium hidroksida, natrium hidroksida, kalium hidroksida) Detergen

Sumber : Keefner, K.P. 2004 dalam Agung S 2008. Dermatitis Kontak Swamedikasi

2.4.2.1.2 Dermatitis Kontak Alergi

Terjadi pada orang-orang yang telah mengalami sensitisasi dengan bahan-bahan alergen atau suatu peradangan kulit yang terjadi karena proses imunologik yaitu hipersensitivitas tipe lambat (Djuanda, 2007). Syarat-syarat dari alergen pada dermatitis kontak :

1. Asing bagi tubuh

2. Harus dapat berdifusi melalui kulit (epidermis).

3. Harus dapat mengikat diri dengan protein/asam-sama amino kuat sehingga membentuk kompleks antigen.

(48)

pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema dan papulovesikel. Sedangkan dermatitis kontak alergi kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan batasnya tidak jelas karena dapat meluas ke tempat lain (Djuanda, 2007).

Tabel 2.3

Alergen yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Alergi

Alergen Uji Patch Positif Sumber Antigen

Benzokain

Penggunaan anastetik tipe-kain, baik pada penggunaan topikal maupun oral

Plat elektronik kalium dikromat, semen, detergen, pewarna

Aksesoris pada celana jeans, pewarna, perabot rumah tangga, koin

Spesies toxicodendron (racun ivy, oak, sumac), primrose, tulip

Sumber : Keefner, K.P 2004 dalam Agung S 2008. Dermatitis Kontak Swamedikasi

Secara umum, tingkat keparahan dermatitis kontak alergi dapat dibagi menjadi tiga (Agung S, 2008) :

a) Dermatitis ringan

(49)

terjadi, namun tidak berhubungan dengan bengkak di daerah terpapar, melainkan akibat terkena tangan yang terkontaminasi urosiol. Secara klinis, pasien mengalami reaksi di daerah bawah tubuh dan lengan yang kurang terlindungi.

b) Dermatitis sedang

Selain rasa gatal, eritema, papul dan vesikel pada dermatitis ringan, gejala dan tanda dermatitis sedang juga meliputi bulla dan bengkak eritematous dari bagian tubuh.

c) Dermatitis berat

Dermatitis berat ditandai dengan adanya respon yang meluas ke daerah tubuh dan edema pada ekstremitas dan wajah. Rasa gatal dan iritasi yang berlebihan, pembentukan vesikel, blister dan bulla juga dapat terjadi. Selain itu, aktivitas harian pasien dapat terganggu, sehingga kadangkala membutuhkan terapi yang segera, khususnya dermatitis yang telah mempengaruhi sebagian besar wajah, mata ataupun genital. Komplikasi dengan penyakit lain yang dapat terjadi ialah eosinofilia, serima multiform, sindrom pernafasan akut, gangguan ginjal, dishidrosis dan uretritis.

2.4.2.2 Dermatitis Fotokontak

(50)

2.5 Diagnosa Dermatosis Akibat Kerja

Diagnosa dermatosis prosedurnya hampir sama dengan dermatitis harus diikuti dengan cara diagnosa penyakit-penyakit pada umumnya. Dalam hal ini sangat penting untuk memperoleh kejelasan kapan tepatnya dermatosis itu mulai timbul. Agar dapat mengetahui dengan pasti mulai timbulnya dermatosis akibat kerja, sangat membantu ada dan terdokumentasinya temuan hasil pemeriksaan kesehatan sebelum kerja dan pemeriksaan kesehatan berkala. Demikian pula perlu informasi yang lengkap tentang pekerjaan dan lingkungan kerja penderita, yang dengannya dapat dinilai apakah benar penyebab penyakit itu berada dalam pekerjaan atau lingkungan kerja tenaga kerja yang bersangkutan. Bila ada, dilakukan identifikasi bagaimana cara penyebab itu menyebabkan terjadinya dermatosis akibat kerja, apakah dengan cara infeksi, perangsangan primer, pemekaan atau lainnya. Dalam hal ini dapat dijawab dengan menganalisis data tentang faktor penyebab yang terdapat dalam pekerjaan atau lingkungan kerja, dengan melakukan pemeriksaan klinis lebih lanjut dan juga pengujian laboratoris (Suma’mur, 2009).

“Patch test” adalah cara uji klinis untuk menentukan, apakah suatu bahan kimia

bersifat sensitizer atau tidak. Terdapat banyak cara untuk melakukan “patch test”. Patch

test dapat digunakan sebagai alat diagnostik ataupun preventif. Sebagai alat diagnostik, bahan dalam konsentrasi sangat rendah dibiarkan kontak dengan kulit dan ditutup dengan plester. Bila penderita peka, timbullah tanda kelainan di kulit.

(51)

dengan plester untuk kira-kira 5 hari. Lalu plesternya dibuka dan bahannya dibersihkan sekali. Biarkan dahulu untuk waktu 10 hari. Kemudian bahan yang sama dikontakkan pula di kulit. Bila reaksi timbul, berarti bahan itu sensitizer.

Demikian pula faktor psikis tidak jarang menimbulkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis dermatosis akibat kerja ataukah suatu kelainan yang latar belakangnya penyakit psikosomatis. Untuk mengatasi hal demikian kadang-kadang diperlukan konsultasi kepada psikiater (Suma’mur, 2009). Menurut Depkes (2008) langkah-langkah diagnosa dermatitis akibat kerja, yaitu :

1. Anamnesis

Pertanyaan tersebut memuat riwayat perjalanan penyakit, antara lain : a) Waktu kejadian

b) Lokasi kelainan c) Adanya rasa gatal d) Perbaikan selama cuti

e) Pengobatan yang telah didapat f) Riwayat pekerjaan terdahulu g) Hobi atau pekerjaan sambilan

h) Riwayat penyakit terdahulu atau riwayat penyakit keluarga 2. Pemeriksaan fisik

(52)

3. Pemeriksaan penunjang

Berbagai macam pemeriksaan penunjang diagnosis diperlukan sesuai dengan jenis penyakit kulit yang diderita. Misalnya uji tempel (patch test) untuk dermatitis kontak di tangan sebagai akibat reaksi tipe cepat, pemeriksaan kerokan kulit tangan dengan KOH 20% dan kultur pada agar Sabouraud untuk jamur kulit, dan biopsi yang digunakan terutama untuk menyingkirkan diagnosis lain, misalnya psoriasis.

4. Kunjungan tempat kerja (plant visit) Diperlukan untuk menunjang diagnosis.

2.6 Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan terhadap kejadian dermatitis merupakan upaya yang paling penting dan jauh lebih berarti dari pada pengobatan. Satu-satunya upaya yang akan berhasil adalah meniadakan faktor penyebab dermatitis dari pekerjaan dan lingkungan kerja dan menghilangkan seluruh resiko tenaga kerja kontak kulit dengan faktor penyebab yang bersangkutan. Penggunaan pakaian kerja dan alat pelindung diri adalah salah satu bentuk upaya preventif. Memindahkan penderita dari pekerjaan dan lingkungan yang mengandung faktor penyebab penyakit ke pekerjaan dan lingkungan kerja lain yang tidak berbahaya bagi kulit yang bersangkutan merupakan upaya terakhir dan hal itu biasanya tidak mudah dilaksanakan (Suma’mur, 2009).

(53)

pelindung diri yang bersih dan lain-lain. Kebersihan lingkungan dan pemeliharaan ketatarumahtanggaan meliputi pembuangan air bekas dan sampah industri, pembersihan debu, penerapan proses produksi yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan juga permukaan, cara sehat dan selamat penimbunan dan penyimpanan barang dan lainnya

(Suma’mur, 2009).

2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak

2.7.1 Lama Kontak

Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja (Djuanda, 2007). Lama kontak dengan bahan kimia yang terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kulit kontak dengan bahan kimia maka dapat menyebabkan rusaknya sel kulit lapisan luar, semakin sering berkontak maka semakin rusaknya sel kulit lapisan yang lebih dalam sehingga kejadian dermatitis kontak semakin berisiko tinggi (Cohen, 1999). Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pengendalian risiko, yaitu dengan cara membatasi jumlah dan lama kontak yang terjadi perlu dilakukan (Nuraga, dkk, 2008).

(54)

(92,8%) untuk dermatitis kontak akut, 20 responden (95,2%) sub akut, dan 5 responden (100%) kronis.

2.7.2 Frekuensi Kontak

Frekuensi kontak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak (Djuanda, 2007). Frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak jenis alergi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Oleh karena itu upaya menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja adalah dengan menurunkan frekuensi kontak dengan bahan kimia (Cohen, 1999).

Menurut hasil penelitian Nuraga, dkk (2008) menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak bahan kimia dengan kejadian dermatitis kontak (p=0,000, r=0,606). Kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak 15 kali per hari terjadi pada dermatitis kontak akut sebanyak 14 responden (100%), sub akut 17 responden (81%) dan kronis 4 responden (80%).

2.7.3 Bahan Kimia

(55)

Bahan kimia cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa. Asam menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dengan proses perusakan jaringan lunak. Cairan korosif memerlukan pH yang rendah atau sangat tinggi untuk menyebabkan korosi, namun pada paparan awal tidak timbul rasa sakit (Linins I, 2006).

Beberapa bahan kimia yang memiliki potensi iritasi dan sensitisasi pada kulit menurut National Safety Council Itasca, Illnois dalam buletin SHARP tahun 2001 dalam Nuraga (2006) sebagai berikut :

No. Bahan Kimia Iritan Primer Sensitizers Bentuk Kelainan Kulit 1. Asam :

Asetat x Dermatitis, ulserasi

Karbolat x Korosif, rasa kebal

Kromat x Ulkus

Format x Iritasi berat

Hidrokolat x Iritasi dan ulserasi

Hidro-lourat x Luka bakar

Laktat x Ulserasi

Nitrat x Luka bakar, ulkus

Oksalat x Korosif berat

Pikrat x Kemerahan, dermatitis

Sulfurat x Korosif

2. Basa :

Amonia x Iritasi

Kalsium sianida x Iritasi

Kalsium oksida x Dermatitis

Natrium hidrolida x Korosif berat

Natrium hidroksida x Korosif berat

Trisadium fosfat x Ulserasi

3. Pelarut :

Aseton x Iritasi

Benzen x Iritasi

Karbon disulfida x Iritasi

(56)

2.7.4 Usia

Menurut Cohen (1999) kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih mudah terkena dermatitis. Pada anak usia dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi bahan iritan (Djuanda, 2007).

Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Sasseville (2006) menyatakan bahwa pekerja muda lebih mungkin terkena dermatitis akibat kerja. Hal tersebut dikarenakan mereka kurang berpengalaman dibandingkan rekan mereka yang lebih tua, atau mungkin pekerja muda memiliki sikap yang lebih ceroboh mengenai langkah-langkah keselamatan dan kemungkinan pekerja usia tua telah belajar bagaimana cara menghindari kontak dengan bahan berbahaya.

Menurut hasil penelitian (Nuraga, 2006) menunjukkan bahwa responden yang berusia diatas 30 tahun ada kecenderungan negatif mengalami kasus dermatitis kontak (p=0,01), artinya semakin muda umur seseorang semakin menurun persentase terjadinya dermatitis kontak. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Diepgen, et al (2003) dalam Erliana (2008) menunjukkan bahwa pada pekerja konstruksi, penyakit dermatitis kontak 47% terjadi pada usia muda (18-39 tahun).

(57)

kontak, sedangkan diantara pekerja yang berusia >30 tahun hanya sekitar 13 orang (35,1%) yang terkena dermatitis kontak. Hal ini dapat menyimpulkan bahwa pekerja muda lebih mudah terkena dermatitis kontak. Hasil uji statistik menunjukan nilai p value sebesar 0,042 hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan proporsi penyakit

dermatitis yang bermakna antara pekerja muda (≤30 tahun) dengan pekerja tua (>30

tahun).

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuraga, dkk (2008), variabel umur pekerja pada penelitian ini mempunyai distribusi paling banyak < 30 tahun sebanyak 49 orang responden (91%) dibanding usia ≥ 30 tahun hanya 5 orang responden (9%). Berdasarkan hasil analisis ternyata faktor umur tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.

(58)

2.7.5 Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis akibat kerja dan perempuan lebih sering menderita dermatitis daripada laki-laki (Hutomo, 1999). Jenis kelamin perempuan lebih rentan terhadap penyakit kulit daripada laki-laki, selain itu permukaan kulit perempuan lebih sensitif terhadap bahan-bahan iritan. Terdapat perbedaan antara kulit wanita dan laki-laki misalnya, folikel rambut pada laki-laki lebih kasar, rambut yang tumbuh lebih panjang dan laki-laki lebih cepat berkeringat sedangkan untuk wanita folikel rambut lebih lembut, rambut yang tumbuh lebih pendek dan wanita agak sukar berkeringat (Sulaksmono, 1994).

Perempuan ternyata lebih berisiko mendapat penyakit kulit akibat kerja dibandingkan dengan laki-laki. Insiden pada perempuan lebih tinggi pada usia muda. Sedangkan pada laki-laki kejadian meningkat sesuai usia (Nuraga, 2006).

Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan oleh Trihapsoro (2003) mengenai dermatitis kontak pada pasien rawat jalan di RSUP Medan menunjukkan dari 40 pasien yang diuji tempel ternyata bahwa jenis kelamin yang terbanyak mengalami dermatitis kontak adalah perempuan yaitu 29 pasien (72,5%) dibandingkan dengan laki-laki yaitu hanya 11 pasien (27,5%).

2.7.6 Masa Kerja

(59)

berhubungan dengan pajanan terhadap pencemar atau bahan yang berisiko terhadap gangguan kesehatan kulit (Notoatmodjo, 1997).

Hasil penelitian Erliana (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja dengan masa kerja 6-9 tahun 61,5% menderita dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang masa kerjanya 1-5 tahun yaitu hanya 18,8%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja (p=0,018).

Namun berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007) menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki masa bekerja ≤2 tahun lebih banyak yang terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (66,7%), dibandingkan dengan 17 orang (36,2%) dari 47 pekerja yang telah bekerja selama >2 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik terlihat bahwa terdapat perbedaan proporsi terkena

dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja yang memiliki masa kerja ≤2 tahun

dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja >2 tahun terlihat dari nilai p value sebesar 0,014.

(60)

terus-2.7.7 Jenis Pekerjaan

Dermatitis kontak akan muncul pada permukaan kulit jika zat kimia tersebut memiliki jumlah, konsentrasi dan durasi (lama pajanan) yang cukup. Dengan kata lain semakin lama besar jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar kemungkinan pekerja tersebut terkena dermatitis kontak (Cohen, 1999).

Berdasarkan penelitian Lestari (2007) menunjukkan bahwa pada dua jenis proses kerja yaitu proses realisasi dan proses pendukung memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak. Pada proses realisasi terlihat bahwa pekerja yang terkena dermatitis kontak (60,4%) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang tidak terkena dermatitis kontak (39,6%). Hal ini berbanding terbalik dengan proses pendukung yang pekerjanya lebih banyak tidak terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (68,8%) dari total pekerja 32 orang. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,02 maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan proporsi penyakit dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja proses realisasi dengan pekerja proses pendukung. Hasil analisis menunjukkan nilai odds ratio sebesar 3,358. Hal ini berarti pekerja pada proses realisasi memiliki peluang 3,358 (3,4) kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja di proses pendukung.

2.7.8 Riwayat Alergi

(61)

(misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu), dan riwayat lain yang berhubungan dengan dermatitis (Putro 1985 dalam Lestari 2007).

Riwayat alergimerupakan salah satu faktor yang dapat menjadikan kulit lebih rentan terhadap penyakit dermatitis kontak. Analisis hubungan antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat alergi yang terkena dermatitis sebanyak 15 orang (57,7%) dari 26 orang yang memiliki riwayat alergi. Sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terkena dermatitis sebanyak 24 orang dengan persentase sebesar 44,4% dari 54 orang pekerja. Hasil uji statistik menunjukkan menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja dengan riwayat alergi dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi. Hal ini terlihat dari nilai p value 0,383 > 0,05 pada CI 95% (Lestari, 2007).

Menurut penelitian Cahyawati (2011) menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor riwayat alergi dengan kejadian penyakit dermatitis pada nelayan (p value=0,018) dengan proporsi nelayan yang memiliki riwayat alergi dan mengalami

dermatitis sebanyak 10 orang (50%) dan nelayan yang tidak memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang (50%).

2.7.9 Riwayat Atopi

(62)

panas atau terpapar debu kimia dan pengaruh faktor psikis, akan kambuh dalam stadium yang lebih berat (Ganong 2006 dalam Ernasari 2012).

Atopi ialah orang atau keluarga yang cenderung biasanya anak atau dewasa yang menjadi peradangan dan menghasilkan antibodi Imunoglobulin E untuk merespon paparan alergen seperti protein dengan konsekuensi orang dapat berkembang menderita gejala asma, rhinoconjungtivitis atau eksim. Sehingga orang dengan atopi bila kontak dengan bahan kimia akan cenderung lebih parah menderita dermatitis kontak (Akib A 2004 dalam Ruhdiat 2006). Seseorang yang memiliki riwayat atopi lebih rentan terhadap efek iritasi zat iritan (Partogi, 2008).

Riwayat atopi merupakan salah satu faktor predisposisi dari dermatitis kontak. Atopi merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia (Harijono 2006 dalam Sulistyani 2010). Sedangkan menurut Djuanda (2007) atopi merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya misalnya, dermatitis atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale dan konjungtivitis alergi.

(63)

Menurut hasil penelitian Nuraga,dkk (2008) menunjukkan bahwa tidak terbukti adanya perbedaan antara kejadian dermatitis kontak dengan riwayat atopi. Distribusi responden yang mengalami dermatitis kontak pada kedua kategori baik terdapat riwayat atopi maupun tidak terdapat riwayat atopi hampir seimbang, yaitu 19 responden (35%) dengan riwayat atopi dan tanpa riwayat atopi sebanyak 35 responden (65%). Hasil uji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai p value = 0,199. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan

antara adanya riwayat atopi dengan tidak adanya riwayat atopi terhadap terjadinya dermatitis kontak.

2.7.10 Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya

Menurut Djuanda (2007) adanya penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami akan mempengaruhi ambang rangsang terhadap bahan iritan menjadi menurun. Pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit bukan akibat kerja cenderung lebih mudah mendapat dermatosis akibat kerja, seperti pekerja-pekerja dengan acne yang bekerja terpapar dengan cutting oil dan ter, sering menderita dermatitis (Ganong 2006 dalam Ernasari 2012).

(64)

kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999).

Berdasarkan penelitian Nur Cahyawati (2011) faktor riwayat penyakit kulit ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis, terbukti dari hasil uji chi square dengan nilai p = 0,006 (< 0,05). Sebagian besar responden yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebesar 90% dan pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat penyakit kulit sebesar 10%. Selain itu, menurut hasil penelitian Lestari (2007) menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kejadian dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya (p = 0,042).

2.7.11 Tipe Kulit

Gambar

Tabel 5.5 Distribusi Pekerja menurut (Riwayat Alergi, Riwayat Atopi dan Riwayat
Gambar 2.1 Anatomi Kulit Manusia ..........................................................................
Tabel 2.1 Bahaya Kimia di Tempat Kerja Cleaning Service
Gambar 2.1 Anatomi Kulit Manusia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Yang Terpajan Dengan Bahan Kimia Di Perusahaan Invar Sin.. FK

Menurut Hierarchy of Controls setelah metode pertama dilakukan untuk meminimalisir kejadian dermatitis kontak iritan yang terjadi akibat kontak dengan bahan kimia,

Faktor-faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak iritan pada pekerja pengolahan sampah di TPA Cipayung kota Depok tahun 2010.. Skripsi Universitas

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Penyakit Dermatitis Kontak Iritan pada Tangan Pekerja Kecantikkan Kuku ( manicure- pedicure ) di Salon The Nail Shop

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja di Perusahaan Invar Sin Kawasan

variabel untuk diteliti lebih lanjut yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja bengkel sebagai variabel independen dan.

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa, 37 responden berisiko berdasarkan lama kontak, 94,6% menderita dermatitis kontak dan yang tidak mengalami kejadian dermatitis kontak

Analisis hubungan antara lama bekerja dengan kejadian dermatitis kontak menunjukan bahwa pekerja yang memiliki lama bekerja ≤2 tahun lebih banyak yang terkena dermatitis