PEMEROLEHAN BUNYI UJARAN BAHASA INDONESIA ANAK
USIA DUA TAHUN: ANALISIS FONOLOGI GENERATIF
TESIS
OLEH
RAHMAWATI
127009009
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMEROLEHAN BUNYI UJARAN BAHASA INDONESIA ANAK
USIA DUA TAHUN: ANALISIS FONOLOGI GENERATIF
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh:
RAHMAWATI
127009009/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMEROLEHAN BUNYI UJARAN BAHASA INDONESIA ANAK USIA DUA TAHUN: ANALISIS FONOLOGI GENERATIF
Nama Mahasiswa : Rahmawati Nomor Pokok : 127009009 Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Gustianingsih, M.Hum.)
Ketua Anggota
(Dr. T. Syarfina, M.Hum.)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Dr. Syahron Lubis, M.A.)
Telah diuji pada
Tanggal: 28 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Gustianingsih, M.Hum.
Anggota : 1. Dr. T. Syarfina, M.Hum.
2. Dr. Dwi Widayati, M.Hum.
3. Rahmadsyah Rangkuti, M.A., Ph.D.
PERNYATAAN
Judul Tesis
PEMEROLEHAN BUNYI UJARAN BAHASA
INDONESIA ANAK USIA DUA TAHUN: ANALISIS
FONOLOGI GENERATIF
Dengan ini Penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan
ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,
penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, September 2014 Penulis,
PEMEROLEHAN BUNYI UJARAN BAHASA INDONESIA ANAK USIA DUA TAHUN: ANALISIS FONOLOGI GENERATIF
RAHMAWATI
ABSTRAK
Kajian ini memilih judul Pemerolehan Fonologi Bahasa Indonesia Anak Usia Dua: Analisis Fononolgi Generatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini teori Pemerolehan Bahasa yang di gagas oleh Chomsky (1957) dan teori Fonologi generatif oleh Schane (1992). Bahasa Indonesia ini digunakan dalam komunikasi sehari-hari sebagai bahasa nasional. Ada tiga masalah yang akan diberikan jawabannya dalam kajian ini. Khusus Masalahnya adalah: bagaimana pemerolehan fonologi anak usia dua tahun khususnya bunyi vokal, konsonan, dan semivokal?, bagaimana pola dan perubahan fonologi yang terjadi dalam bahasa anak usia dua tahun?, bagaimana kaidah fonologi generatif bahasa Indonesia anak usia dua tahun?. Secara khusus kajian ini bertujuan untuk mendeskripskan pemerolehan fonologi anak usia dua tahun khususnya bunyi vokal, konsonan, dan semivokal dalam bahasa Indonesia, mendeskripsikan pola dan perubahan fonologi yang terjadi dalam bahasa Indonesia, dan mendeskripsikan kaidah fonologi generatif bahasa Indonesia anak usia dua tahun. Kontribusi dari penelitian ini agar para orang tua mengetahui perkembangan bunyi ujaran anak yang diperoleh dalam usia dua tahun. Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan bantuan metode linguistik lapangan, kepustakaan serta analisis didukung oleh tulisan fonetik IPA, dan teknik pengumpulan data adalah teknik sadap, simak libat cakap, perekaman, dan pencatatan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa bahasa Indonesia anak usia dua tahun memperoleh segmen vokal fonemis [a], [i], [ǝ], [ ԑ], [u], dan [o], sedangkan bunyi konsonantal belum sempurna dimiliki anak usia dua tahun. Bunyi konsonantal yang sulit diucapkan oleh anak usia dua tahun adalah [h], [f], [r], dan [t]. Kemudian terjadi perubahan fonologi bahasa Indonesia anak usia dua tahun yaitu, pelesapan bunyi konsonan [h], [r], dan [t], serta penggantian konsonan [f] dan [r]. Pemerolehan fonologi bahasa Indonesia anak usia tahun pada fonologi generatif terdapat kaidah perubahan ciri, kaidah pelesapan, kaidah penggantian konsonan, kaidah perpaduan dan kaidah palatalisasi semivokal.
INDONESIAN SPEECH SOUND ACQUISITION CHILDREN TWO YEARS OLD: ANALYSIS GENERATIVE PHONOLOGY
RAHMAWATI
ABSTRACT
This study chose the title Phonological Acquisition Indonesian Children Aged Two: Analysis of Phonology Generative. The theory used in this study in the theory of language acquisition of the idea by Chomsky (1957) and the theory of Generative Phonology by Schane (1992). Indonesian is used in everyday communication as a national language. There are three issues that will be given the answer in this review. Special problem is: how to phonology acquisition of two-year olds in particular vowels, consonants, and glides ?, how patterns and phonological changes that occur in the language of children aged two years ?, how generative phonological rules of Indonesian children aged two years ?. In particular, this study aims to description phonological acquisition of two-years old in particular vowels, consonants, and glides in Indonesian, describing patterns and phonological changes that occur in the Indonesian language, and describe the rules of generative phonology Indonesian children aged two years. Contributions from this research that the parents know the child's development of speech sound obtained at the age of two years. The study used a descriptive method with the help of linguistic field methods, literature and the analysis is supported by IPA phonetic writing, and data collection techniques are tapping technique, consider ably involved, recording, and recording. The results of this study found that Indonesian children aged two years to obtain segments of phonemic vowel [a], [i], [ǝ], [ԑ], [u], and [o], while not perfect consonantal sound of the children aged two years . Consonantal sounds are difficult to pronounce by children aged two years is [h], [f], [r], and [t]. Then there is a change of phonological Indonesian children aged two years, namely, pelesapan consonant sound [h], [r], and [t], as well as the replacement of the consonant [f] and [r]. Indonesian phonological acquisition year olds in generative phonological rules changes are characteristic, pelesapan rules, rules consonant replacement, fusion rules and the rules of palatalization glides.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Pertama-tama Penulis bersyukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, keselamatan dan ilmu pengetahuan yang merupakan
amanah, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam kepada junjungan kita nabi besar Muhammad saw yang membawa kita dari
zaman kesesatan ke zaman yang terang benderang ini.
Penulisan tesis yang diberi judul: “PEMEROLEHAN BUNYI UJARAN
BAHASA INDONESIA ANAK USIA DUA TAHUN: ANALISIS
FONOLOGI GENERATIF”, adalah merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana USU. Akan tetapi
menurut Penulis, tesis ini adalah merupakan amanah yang diberikan dan harus dipertanggung jawabkan sedaya mampu dalam hakekat kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Semoga bermanfaat bagi seluruh ummat. Amin.
Penulis menyadari tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan, perhatian dan kasih sayang dari berbagai pihak, baik moril maupun materil yang telah diberikan
kepada penulis.
Terima kasih yang paling teristimewa, dan yang paling penulis sayangi ucapkan kepada mama Hj. Masitah Pohan SH, M.Hum. Rasa bangga penulis
ucapkan kepada mama yang memberikan sepenuhnya kasih sayang dan cintanya kepada anak-anaknya. Meskipun hanya sebagai single parent, tetapi tidak pernah
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada papa (alm) H.Nirwan Pasaribu
SH. Yang telah memberikan sepenuhnya kasih sayang dan cintanya kepada penulis di selama hidupnya. Semoga papa diberikan tempat yang paling terbaik di sisi Allah SWT. Amin.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Abang tersayang Mhd. Awal Kurniawan SH. Yang paling ganteng, dan paling baik yang paling penulis
sayangi, yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kembaran saya Rahmayanti SH, MH. yang paling cantik dan adik yang paling bungsu Oktavia Lestari S.Pd
yang manja, yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Prof. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K). Selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. Selaku Ketua Program Studi
Linguistik Sekolah Pascasarjana dan Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Dr. Nurlela, M.Hum,
yang selalu memberikan nasihat, masukan dan motivasi kepada penulis. 3. Ibu Dr. Gustianingsih, M.Hum (Pembimbing I) yang telah banyak
membantu penulis dalam hal memberikan bimbingan, petunjuk,
saran-saran dan dorongan memberi semangat untuk kesempurnaan tulisan ini. Berkat bimbingan dan petunjuk serta saran-saran yang diberikan, maka
4. Ibu Dr. T.Syarfina, M.Hum (Pembimbing II) yang telah banyak
membimbing dengan penuh kesabaran, dan memberikan saran-saran, serta motivasi kepada penulis dalam suasana yang akrab.
5. Hormat saya kepada Tim Penguji, Dr. Dwi Widayati, M.Hum.,
Rahmadsyah Rangkuti, M.A., Ph.D., dan Dr. Nurlela, M.Hum., yang memberikan saran, koreksi, kritik yang konstruktif, serta memberikan
curahan ilmu kepada penulis.
6. Kepada Orangtua objek peneilitian saya, Bapak Zulkifli Siregar MT dan Ibu Erma Bahagia Pakpahan MM., Bapak Wan Azmi M.AP dan Ibu Dr.
Emi Memori Pakpahan, serta Bapak Ridwan dan Ibu Syarifah., yang telah memberikan izinnya kepada penulis untuk mengadakan penelitian.
7. Bapak Ibu Dosen yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis kuliah
8. Seluruh dosen staff Biro Program Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini
9. Perpustakaan Universitas Sumatera Utara
10.Terima kasih kepada Bapak Kepala Sekolah SD Muhammadiyah 01 Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan
kuliah S2.
11.Terima kasih kepada guru-guru SD Muhammadiyah yang selalu
12.Kepada nenek, opung, papa dan mama ranto(uak), bujing, tulang, terima
kasih atas do’anya. Terkhusus buat nenek (alm) Panuasah Pohan yang semasa hidupnya selalu membimbing dan selalu menyayangi penulis. 13.Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Linguistik USU atas
kerjasama, bantuan, dan persahabatan yang terjalin selama ini.
Akhirnya sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa tesis ini masih
jauh dari sempurna dan penulis berharap kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih baik dikemudian hari. Harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Segala jasa dan budi baik pihak-pihak yang terkait bagi penulisan tesis ini, semoga mendapatkan rahmad dan berkat yang tak terhingga. Dan semoga ilmu
yang penulis dapat dari Program Pascasarjana Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara dapat bermanfaat bagi masyarakat, negara, keluarga dan diri penulis. Amin.
Billahi Fie Sabililhaq, Fastabiqul Khairat
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Medan, 28 Agustus 2014 Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...i
ABSTRACT...ii
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI...vii
DAFTAR TABEL...x
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN...xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...1
1.2. Rumusan Masalah...7
1.3. Tujuan Masalah...7
1.4. Manfaat Penelitian...8
1.4.1 Manfaat Teoretis...8
1.4.2 Manfaat Praktis...8
1.5.Ruang Lingkup Penelitian...8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka...9
2.1.1 Pemerolehan Bahasa...9
2.1.2 Keuniversalan Bahasa...12
2.1.3 Universal pada Komponen Fonologi...14
2.2 Landasan Teori...18
2.2.1 Proses-proses Fonologi...18
2.2.2 Ciri-ciri Tempat Artikulasi...24
2.2.3 Ciri-ciri Artikulasi...24
2.2.4 Ciri-ciri Batang Lidah...25
2.2.5 Ciri-ciri Tambahan...25
2.2.6 Kaidah Fonologi...26
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian...35
3.2 Sumber Data Penelitian...35
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data...36
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data...37
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemerolehan Fonologi Anak Usia Dua Tahun Khususnya Bunyi Vokal, Konsonan, dan Semivokal Bahasa Indonesia...41
4.1.1 Pemerolehan Bunyi Vokal...44
4.1.2 Pemerolehan Bunyi Konsonan...50
4.1.3 Pemerolehan Bunyi Semivokal... 66
4.2 Perubahan Fonologi Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun...69
4.2.1 Pelesapan Bunyi Konsonan [h]...69
4.2.2 Pelesapan Bunyi Konsonan [r]...71
4.2.3 Pelesapan Bunyi Konsonan [t]...72
4.2.4 Penggantian Konsonan [f]...73
4.2.5 Penggantian Konsonan [r]...74
4.2.6 Penggantian Konsonan [r]...76
4.2.7 Kaidah Perpaduan...77
4.2.8 Kaidah Palatalisasi Semivokal...78
4.3 Proses-proses Fonologi Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun...79
4.3.1 Asimilasi...79
4.3.2 Proses Struktur Silabel...80
4.3.3 Netralisasi...81
4.3.4 Pelemahan Bunyi... 81
4.4 Kaidah Fonologi Segmen Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun...82
4.4.1 Kaidah Perubahan Ciri... 82
4.4.2 Kaidah Pelesapan Bunyi [h]... 83
4.4.3 Kaidah Pelesapan Konsonan [r]...84
4.4.4 Kaidah Pelesapan Konsonan [t]... 85
4.4.6 Kaidah Penggantian Konsonan [r]...86
4.4.7 Kaidah Pengganti Konsonan [r]... 87
4.4.8 Kaidah Perpaduan...88
4.4.9 Kaidah Palatalisasi Semivokal...89
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan... 90
5.2 Saran...91
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL Tabel 25 Semivokal / / ...66
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang
[ ] : Pengapit transkripsi fonetik/pengapit fitur distingtif
+ : Memiliki fitur
- : Tidak memiliki fitur/penanda batas suku kata # : Batas kata
/ : Dalam lingkungan : Menjadi
: Pada posisi Ø : Kosong/lesap
SINGKATAN
WAS : Wan Almira Syakira
KAS : Khansa Aqila Siregar MH : Muhammad Haikal
PEMEROLEHAN BUNYI UJARAN BAHASA INDONESIA ANAK USIA DUA TAHUN: ANALISIS FONOLOGI GENERATIF
RAHMAWATI
ABSTRAK
Kajian ini memilih judul Pemerolehan Fonologi Bahasa Indonesia Anak Usia Dua: Analisis Fononolgi Generatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini teori Pemerolehan Bahasa yang di gagas oleh Chomsky (1957) dan teori Fonologi generatif oleh Schane (1992). Bahasa Indonesia ini digunakan dalam komunikasi sehari-hari sebagai bahasa nasional. Ada tiga masalah yang akan diberikan jawabannya dalam kajian ini. Khusus Masalahnya adalah: bagaimana pemerolehan fonologi anak usia dua tahun khususnya bunyi vokal, konsonan, dan semivokal?, bagaimana pola dan perubahan fonologi yang terjadi dalam bahasa anak usia dua tahun?, bagaimana kaidah fonologi generatif bahasa Indonesia anak usia dua tahun?. Secara khusus kajian ini bertujuan untuk mendeskripskan pemerolehan fonologi anak usia dua tahun khususnya bunyi vokal, konsonan, dan semivokal dalam bahasa Indonesia, mendeskripsikan pola dan perubahan fonologi yang terjadi dalam bahasa Indonesia, dan mendeskripsikan kaidah fonologi generatif bahasa Indonesia anak usia dua tahun. Kontribusi dari penelitian ini agar para orang tua mengetahui perkembangan bunyi ujaran anak yang diperoleh dalam usia dua tahun. Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan bantuan metode linguistik lapangan, kepustakaan serta analisis didukung oleh tulisan fonetik IPA, dan teknik pengumpulan data adalah teknik sadap, simak libat cakap, perekaman, dan pencatatan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa bahasa Indonesia anak usia dua tahun memperoleh segmen vokal fonemis [a], [i], [ǝ], [ ԑ], [u], dan [o], sedangkan bunyi konsonantal belum sempurna dimiliki anak usia dua tahun. Bunyi konsonantal yang sulit diucapkan oleh anak usia dua tahun adalah [h], [f], [r], dan [t]. Kemudian terjadi perubahan fonologi bahasa Indonesia anak usia dua tahun yaitu, pelesapan bunyi konsonan [h], [r], dan [t], serta penggantian konsonan [f] dan [r]. Pemerolehan fonologi bahasa Indonesia anak usia tahun pada fonologi generatif terdapat kaidah perubahan ciri, kaidah pelesapan, kaidah penggantian konsonan, kaidah perpaduan dan kaidah palatalisasi semivokal.
INDONESIAN SPEECH SOUND ACQUISITION CHILDREN TWO YEARS OLD: ANALYSIS GENERATIVE PHONOLOGY
RAHMAWATI
ABSTRACT
This study chose the title Phonological Acquisition Indonesian Children Aged Two: Analysis of Phonology Generative. The theory used in this study in the theory of language acquisition of the idea by Chomsky (1957) and the theory of Generative Phonology by Schane (1992). Indonesian is used in everyday communication as a national language. There are three issues that will be given the answer in this review. Special problem is: how to phonology acquisition of two-year olds in particular vowels, consonants, and glides ?, how patterns and phonological changes that occur in the language of children aged two years ?, how generative phonological rules of Indonesian children aged two years ?. In particular, this study aims to description phonological acquisition of two-years old in particular vowels, consonants, and glides in Indonesian, describing patterns and phonological changes that occur in the Indonesian language, and describe the rules of generative phonology Indonesian children aged two years. Contributions from this research that the parents know the child's development of speech sound obtained at the age of two years. The study used a descriptive method with the help of linguistic field methods, literature and the analysis is supported by IPA phonetic writing, and data collection techniques are tapping technique, consider ably involved, recording, and recording. The results of this study found that Indonesian children aged two years to obtain segments of phonemic vowel [a], [i], [ǝ], [ԑ], [u], and [o], while not perfect consonantal sound of the children aged two years . Consonantal sounds are difficult to pronounce by children aged two years is [h], [f], [r], and [t]. Then there is a change of phonological Indonesian children aged two years, namely, pelesapan consonant sound [h], [r], and [t], as well as the replacement of the consonant [f] and [r]. Indonesian phonological acquisition year olds in generative phonological rules changes are characteristic, pelesapan rules, rules consonant replacement, fusion rules and the rules of palatalization glides.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan salah satu prestasi manusia yang paling hebat dan paling menakjubkan. Itulah sebabnya masalah ini
mendapat perhatian besar. Pemerolehan bahasa telah ditelaah secara intensif selama kurang lebih dua dekade. Pada saat itu telah dipelajari banyak hal mengenai bagaimana anak berbicara, mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi
sangat sedikit sekali yang diketahui mengenai proses aktual perkembangan bahasa. Satu hal yang perlu diketahui bahwa pemerolehan bahasa sangat banyak
ditentukan oleh interaksi rumit aspek-aspek kematangan biologis, kognitif, dan sosial.
Slobin (1977: 66) pernah mengemukakan dengan baik bahwa “setiap
pendekatan modern terhadap pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahwa bahasa dibangun sejak semula oleh setiap anak, memanfaatkan aneka
kapasitas bawaan sejak lahir yang beraneka ragam dalam interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia dan sosial”. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau kebanyakan pendekatan modern terhadap pemerolehan
perhatian besar pada penggunaan sosial bahasa pertama, bahasa dini
(Cairn, 1976 : 1-2).
Pemerolehan bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa menurut
Maksan (1993 : 20) adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh
seseorang secara natural, implisit dan informal. Lyons (1981) menyatakan suatu bahasa yang digunakan tanpa kualifikasi untuk proses yang menghasilkan
pengetahuan bahasa pada penutur bahasa disebut pemerolehan bahasa. Artinya, seorang penutur bahasa dapat menguasai bahasa yang dipakainya tanpa terlebih dahulu mempelajari bahasa tersebut.
Pemerolehan bahasa pertama atau first language acquisition digunakan
dalam kehidupan sehari-hari untuk berkomunikasi. Pemerolehan bahasa pertama
terjadi dengan penerapan hipotesis-hipotesis kerja terhadap kaidah bahasa yang didengarnya. Kalau seorang anak memperoleh satu dan hanya satu bahasa, disebut dengan ekabahasawan atau “monolingual first acquisition”. Kalau seorang anak
mampu memperoleh bahasa yang berbeda dengan bahasa pertama atau bahasa ibunya dikenal sebagai dwibahasawan atau “bilingual first acquisition”.
Penelitian ini menganut jenis yang pertama bahwa anak berkomunikasi dengan orang tua dan keluarga di rumah atau di luar rumah menggunakan bahasa Indonesia. Dalam pemerolehan bahasa yang ada di dunia, pemerolehan bahasa
haruslah dipelajari. Tidak ada manusia yang langsung menguasai suatu bahasa saat dilahirkan. Dengan potensi yang dimiliki manusia sejak dalam kandungan
hingga dilahirkan, anak-anak secara alami memperoleh prinsip-prinsip bahasa dari
Menurut Chomsky (dalam Woolfolk dkk, 1984) anak yang dilahirkan ke
dunia telah memiliki kapasitas berbahasa. Seperti halnya dalam bidang ilmu lain, ada faktor peranan yang cukup menonjol, mempengaruhi perkembangan anak pada fisik, psikis, kesehatan, sosial, interaksi dan termasuklah di dalamnya
bahasa. Mereka belajar makna kata dan bahasa sesuai dengan apa yang mereka dengar, lihat dan hayati dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan bahasa anak
terbentuk oleh lingkungan yang berbeda-beda.
Pemerolehan bahasa adalah penguasaan bahasa oleh seseorang secara tidak langsung dan dikatakan aktif berlaku dalam kalangan anak-anak dalam
lingkungan usia dua tahun sampai enam tahun. Pemerolehan bahasa dikaitkan dengan penguasaan sesuatu bahasa secara alami atau dipelajari secara langsung
tanpa melalui pendidikan formal, tetapi memperoleh bahasa yang dituturkan oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini juga yang terjadi pada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai B1 merupakan media yang dapat digunakan seorang anak untuk
memperoleh nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan masyarakat Indonesia (Gustianingsih, 2002: 12).
Seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa pertama dalam otaknya, lengkap dengan semua aturan-aturannya. Bahasa pertama itu diperolehnya dengan beberapa tahap, dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati
tata bahasa dari bahasa orang dewasa.
Secara biologis, anak berumur (0.0 – 0.5) telah mencapai tahap meraba
(pralinguistik) pertama; (0.5 – 1.0) = tahap meraba (pralinguistik) kedua = kata nonsens: (1.0 – 2.0) = tahap linguistik I = Holofrastik, kalimat satu
linguistik III = pengembangan tata bahasa; (4.0 – 5.0) = tahap linguistik IV = tata
bahasa pra-dewasa; dan (5.0) = dan tahap V = kompetensi penuh (Piaget, 1959 : 59; Cairns & Cairns, 1976 : 16, Tarigan, 1985a : 7).
Pada tahap pralinguistik pertama anak belum dapat menghasilkan bunyi
bahasa secara normal, pada tahap pralinguistik yang kedua anak sudah dapat mengoceh atau membabel dengan pola suku kata yang diulang-ulang. Bahkan
menjelang usia satu tahun anak sudah mulai mengeluarkan pola intonasi dan bunyi-bunyi tiruan. Pada tahap linguistik pertama anak sudah mulai menggunakan serangkaian bunyi ujaran yang menghasilkan bunyi ujaran tunggal yang
bermakna. Pada tahap II kosa kata anak mulai berkembang dengan pesat, ujaran yang diucapkan terdiri atas dua kata dan mengandung satu konsep kalimat yang
lengkap. Pada tahap linguistik III anak mampu menggunakan lebih dari dua kata, kalimat yang diucapkan biasanya menyatakan makna khusus yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada tahap linguistik IV anak sudah mampu menyusun
kalimat yang cukup lengkap meskipun masih ada kekurangan pada penggunaan infleksi dan kata fungsi. Pada tahap linguistik yang terakhir anak sudah memiliki
kompetensi penuh dalam berbahasa.
Menurut Ferguson (1975), sebelum anak mengungkapkan kata pertama bahasa yang sebenarnya, yaitu untuk menyampaikan arti, kita belum dapat
mengatakan bahwa perkembangan sistem bunyi atau sistem fonologi si anak telah bermula. Jadi pemerolehan sistem bunyi yang sebenarnya bermula pada waktu
Di Indonesia, penelitian yang terkenal tentang pemerolehan bahasa
dilakukan oleh Dardjowidjojo (2000) meneliti pemerolehan bahasa cucunya sendiri, Echa yang tinggal di Pulau Jawa, selama 5 tahun. Beliau menemukan beberapa perbedaan proses fonologi antara pemerolehan bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris anak-anak. Beliau melakukan penelitian lebih menekankan pada pendekatan kognitif Chomsky dibanding dengan pendekatan behaviorisme.
Pendekatan behaviorisme percaya bahwa bayi seperti lembaran kosong. Lembaran kosong akan berisi tulisan dengan memperoleh stimulus bahasa dari lingkungan bahasa anak. Seorang anak akan mengulangi bunyi-bunyi yang
terdengar berulang-ulang, dan kemudian mereka akan menirukan bunyi-bunyi bahasa, baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan dari bahasa orang dewasa. Itu
artinya bahwa pemerolehan bahasa dimulai dari sebuah bunyi, kosakata, frasa, klausa, dan sampai kepada kalimat.
Pemerolehan bunyi ujaran adalah satu bagian dari perolehan bahasa yang
sering juga disebut perkembangan atau pertumbuhan bahasa. Bagian yang lain ialah pemerolehan sintaksis dan semantik. Ketiga-tiganya dipisahkan hanya untuk
memudahkan pengkajian pemerolehan bahasa itu, jadi bukan karena ketiga komponen bahasa itu diperoleh atau berkembang (tumbuh) secara terpisah. Pengkajian pemerolehan fonologi anak usia dua tahun merupakan bagian dari
Psikolinguistik Perkembangan (Developmental Psycholinguistics) yang sangat
penting dikaji karena orang-orang di sekitar anak akan mengetahui perkembangan
Pada usia anak dua tahun, pemerolehan bahasa meliputi ucapan yang
dihasilkan oleh bunyi-bunyi dan pilihan kata, bentukan, dan kalimat-kalimat yang dibuat dengan meniru orang dewasa. Akan tetapi masih ditemui kerumitan, keteraturan dan keterbatasan bunyi bahasa. Biasanya seorang anak itu mulai
belajar berbahasa dengan baik. Dalam pemerolehan bahasa khususnya pada anak usia dua tahun dapat dilihat dari berbagai segi salah satunya adalah fonologi.
Pemerolehan fonologi pada anak usia dua tahun dapat dilihat pada saat ia berbicara.
Perkembangan kebahasaan anak khususnya bunyi ujaran berjalan sesuai
dengan jadwal biologisnya. Banyak orang yang mengaitkan hal ini dengan jumlah umur yang dimiliki oleh seseorang. Rujukan kepada jumlah tahun dan bulan
memang lebih mudah digunakan untuk menentukan perkembangan motoris anak. Perkembangan bunyi ujaran anak-anak disertai oleh pertukaran bunyi ujaran, pelesapan perubahan bahkan mungkin terjadi bentuk metatesis pada bunyi
ujaran anak. Disamping perkembangan bunyi ujaran anak ini yang dilihat, penelitian ini juga ingin melihat perkembangan psikis anak, terutama
perkembangan kognitifnya. Keterpaduan perkembangan bunyi ujaran dan perkembangan kognitif ini adalah suatu hal yang harus bisa dideskripsikan dalam sebuah penelitian. Ini juga alasan ketertarikan penulis melakukan penelitian ini.
1.2Rumusan Masalah
pemerolehan fonologi. Penelitian ini secara khusus memfokuskan analisis
pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun. Yang menjadi masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pemerolehan bunyi ujaran anak usia dua tahun khususnya
bunyi vokal, konsonan dan semivokal dalam bahasa Indonesia?
2. Bagaimana perubahan fonologi yang terjadi dalam bahasa anak usia dua
tahun?
3. Bagaimana kaidah fonologi generatif bahasa Indonesia anak usia dua tahun?
1.3Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan pemerolehan bunyi ujaran anak usia dua tahun khususnya bunyi vokal, konsonan dan semivokal dalam bahasa Indonesia
2. Mendeskripsikan perubahan fonologi yang terjadi dalam bahasa anak usia dua tahun
3. Mendeskripsikan kaidah fonologi generatif bahasa Indonesia anak usia dua
tahun
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
1. Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan rujukan dalam
penelitian pemerolehan bahasa khususnya bidang fonologi bahasa Indonesia anak usia dua tahun,
2. Penelitian ini diharapkan menambah penelitian bidang psikolinguistik dalam bahasa Indonesia selain bahasa Inggris, Jerman atau bahasa lainnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi para orang tua yang memiliki anak usia dini, khususnya yang berusia dua tahun agar mengetahui
perkembangan fonologi yang dialami anaknya, sehingga dapat mengetahui perkembangan bahasa anak usia dua tahun.
1.5Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki ruang lingkup yang terbatas, yakni: penelitian
dibatasi pada anak usia dua tahun, fokus penelitian hanya pada pemerolehan fonologi, data penelitian ini berupa bunyi vokal dan konsonan dalam bahasa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa yang sering juga disebut perkembangan bahasa kanak-kanak atau pertumbuhan bahasa kanak-kanak telah menjadi satu disiplin
yang berdiri sendiri di dalam kajian Psikolinguistik. Cabang Psikolinguistik yang mengkaji perolehan bahasa ini telah mendapat nama baru sebagai Psikolinguistik Perkembangan (Simanjuntak 1987).
Pemerolehan bahasa sebagai proses pemahaman dan penghasilan bahasa pada manusia melalui beberapa tahap mulai dari meraban sampai kefasihan penuh
(Kridalaksana, 1982: 123). Disamping itu, Kirsparsky (dalam Tarigan, 1985: 234), menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa atau “language acquisition” adalah suatu
proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis
yang bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya
sampai dia memilih berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian tatabahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut.
Pemerolehan bahasa atau language acquisation adalah proses-proses yang
baru setelah memperoleh bahasa ibunya. Dengan kata lain pemerolehan bahasa
melibatkan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa melibatkan bahasa kedua atau bahasa asing (Simanjuntak, 1987: 157).
Pemerolehan bahasa umumnya berlangsung di lingkungan masyarakat
bahasa target dengan sifat alami dan informal serta lebih merujuk pada tuntutan komunikasi. Berbeda dengan belajar bahasa yang berlangsung secara formal dan
artifisial serta merujuk pada tuntutan pembelajaran (Schultz, 2006: 12), dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama terjadi jika anak belum pernah belajar bahasa apapun, lalu memperoleh bahasa. Pada satu sisi,
pemerolehan ini terjadi pemeralihan satu bahasa atau monolingual FLA (First
Language Acquisition), dapat juga pemerolehan dua bahasa secara bersamaan atau
berurutan (bilingual FLA), bahkan dapat lebih dari dua bahasa (multilingual FLA).
Pada sisi lain pemerolehan bahasa kedua terjadi jika seseorang memperoleh bahasa setelah menguasai bahsa pertama atau merupakan proses seseorang
mengembangkan keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa asing.
Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada
dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses
performasi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi
adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara alamiah. Kompetensi memerlukan pembinaan sehingga
pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi
kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Simanjuntak, 1986).
Chomsky (1999 : 340) mengajukan konstruk mekanisme abstrak yang
dinamakan Language Acquisition Device (LAD); yang diterjemahkan di sini
menjadi Piranti Pemerolehan Bahasa (PPB). PPB ini menerima korpus dari
lingkungan dalam bentuk kalimat-kalimat. Meskipun kalimat merupakan manifestasi dari kompetensi seseorang, tetapi seringkali berbentuk kalimat-kalimat yang rancu. PPB yang dimiliki anak dapat menyerap esensi yang benar
yang kemudian dikembangkan menjadi wujud bahasa yang baik. Caranya proses itu terjadi, waktu dan rincian-rincian lainnya memang sebahagian dipengaruhi
oleh: lingkungan, tetapi proses pemerolehan itu sendiri pada esensinyaa inner
directed “bawaan langsung dari lahir” (Dardjowidjojo,2000:19,
Gustianingsih, 2002 : 10).
Chomsky melihat adanya dua aliran pendekatan terhadap masalah pemerolehan empiris sebagai suatu kasus pemerolehan pengetahuan. Pendekatan
empiris atau environment mempunyai asumsi bahwa struktur LAD atau PPB terbatas hanya pada mekanisme-mekanisme prosesan yang dangkal (perihal proscessing mechanism). Mekanisme proses data didasarkan kepada
prinsip-prinsip induktif sederhana – misalnya prinsip-prinsip asosiasi dan prinsip-prinsip generalisasi yang terbatas. Diasumsikan bahwa pengalaman-pengalaman mula-mula dianalisis
analisis pengalaman itu seseorang memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep
(Chomsky, 1999 : 34)
Jadi, pemerolehan bahasa anak terjadi secara bertahap mulai dari yang mudah sampai pada yang sulit dengan melihat konstruksi tuturan lisan anak
disesuaikan dengan tuturan orang dewasa.
2.1.2 Keuniversalan Bahasa
Anak dapat memperoleh bahasa apapun, pastilah ada sesuatu yang mengikat bahasa-bahasa ini secara bersama, ada sesuatu yang sifatnya universal.
Tanpa sifat ini mustahillah manusia dari pelbagai latar belakang yang berbeda-beda dapat memperoleh bahasa yang disajikan kepadanya, yang menjadi
pertanyaan adalah seberapa jauh keuniversalan ini ada pada bahasa.
Berdasarkan gradasi seperti ini Comrie (1989/81 : 15-23) membagi keuniversalan absolut dan keuniversalan tendensius. Dengan memperhatikan
gejala implikasional maka menurut Comrie ada tiga kelompok.
Kelompok pertama
Contoh: Semua bahasa memiliki bunyi vokal bahasa mana pun di dunia ini menggabungkan bunyi untuk sukukata atau kata.
adalah tidak ada perkecualian.
Kelompok kedua adalah
Contoh: Bila suatu bahasa mempunyai refleks persona pertama/kedua, maka bahasa itu mempunyai pula refleks persona ketiga, bila suatu bahasa mempunyai bunyi hambat velar, bahasa tersebut pasti mempunyai bunyi
hambat bilabial.
keuniversalan absolut implikasional
Contoh: Hampir semua bahasa memiliki konsonan nasal
Bertitik tolak dari landasan yang sama sekali berlainan, Chomsky memberi pengertian yang berbeda mengenai keuniversalan bahasa. Chomsky (1965: 28) hanya memakai satu bahasa yang dikajinya secara mendalam dan dari sistem
aturan bahasa tersebut dia memunculkan fitur-fitur yang universal. Tentu saja fitur-fitur itu harus diuji-coba dan diadu-coba dengan bahasa-bahasa yang lain
untuk ditentukan kebenarannya. Pandangan Chomsky dapat diumpamakan sebagai suatu pengkajian terhadap suatu entitas, bila entitas itu mengandung unsur-unsur hakiki tertentu maka unsur-unsur itu pasti ada pada sampel lain dari
entitas yang sama. Oleh karena itu, Chomsky hanya membedakan dua macam keuniversalan: (1) keuniversalan subtantif yang berupa elemen pembentukan
bahasa, dan (2) keuniversalan formal
Ada pula ciri universal dalam tutur anak-anak ditinjau dari segi fonologi. Misalnya, bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh gerak membuka dan menutup bibir
yang bisa disebut bunyi bilabial, merupakan bunyi-bunyi yang sangat umum dihasilkan oleh anak-anak pada awal ujarannya. Orang pertama dan yang terutama
paling dekat dengan anak pada masa awal perkembangan bahasanya adalah ibunya. Selanjutnya, jika diperhatikan kata panggilan untuk ibu dalam pelbagai bahasa, akan membenarkan pandangan bahwa bunyi bilabial itu dominan pada , yang meramu elemen bahasa. Bahwa bahasa mempunyai nomina dan verba merupakan contoh dari keuniversalan substantif. Bagaimana kedua elemen ini diatur dalam bahasa merupakan
keuniversalan formal. Pengaturan elemen umumnya berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain, karena itu pada dasarnya bahasa itu sama, wujud lahiriahnya
perkembangan bahasa anak. Contohnya: mama, bu. Produksi awal bunyi-bunyi
bilabial ini bisa dimengerti, karena bunyi-bunyi ini yang dianggap paling mudah dihasilkan, yaitu dengan hanya menggerakkan kedua bibir.
Bunyi-bunyi juga dilafalkan sesuai dengan daya kerja alat-alat ucap
seorang anak. Dalam pelbagai masyarakat bahasa Indonesia bunyi /r/ adalah
bunyi yang paling sulit diproduksi, sehingga bunyi itu baru dikuasai anak setelah
mereka berusia beberapa tahun. Banyak anak berusia dua tahun yang masih mengucapkan /lambut/ untuk /rambut/. Agak kurang sulit dari bunyi /r/ adalah
bunyi /s/ yang untuk beberapa waktu diucapkan /č/, sehingga /susu/ /sapi/
diucapkan / čuču/, /čapi/.
2.1.3 Universal pada Komponen Fonologi
Konsep universal dengan pemerolehan fonologi, ahli yang pandangannya sampai kini belum disanggah orang adalah Roman Jakobson. Beliau
mengemukakan adanya universal pada bunyi bahasa manusia dan urutan pemerolehan bunyi-bunyi tersebut. Menurut beliau, pemerolehan bunyi berjalan
selaras dengan kodrat bunyi itu sendiri. Bunyi pertama yang keluar waktu anak mulai berbicara adalah kontras antara konsonan dan vokal. Dalam hal vokal, hanya bunyi /a/, /i/, dan /u/ yang akan keluar duluan. Dari tiga bunyi ini, /a/ akan
keluar lebih dahulu daripada /i/ atau /u/. Mengapa demikian? Sebabnya adalah bahwa ketiga bunyi ini membentuk apa yang dia namakan Sistem Vokal Minimal
(Minimal Vocalic System): bahasa mana pun di dunia ini pasti memiliki tiga vokal
Mengenai konsonan Jakobson mengatakan bahwa kontras pertama yang
muncul adalah oposisi antara bunyi oral dengan bunyi nasal (/p-b/ dan /m-n/) dan kemudian disusul oleh kontras antara bilabial dengan dental (/p/-/t/). Sistem kontras ini dinamakan Sistem Konsonantal Minimal (Minimal Consonantal
System).
Macam dan jumlah bunyi pada bahasa bisa saja berbeda-beda dari satu
bahasa ke bahasa yang lain. Akan tetapi, hubungan antara satu bunyi dengan bunyi lain bersifat universal. Jakobson mengajukan hukum yang dinamakan Laws of Irreversible Solidarity yang esensinya dirumuskan sebagai berikut:
1. Apabila suatu bahasa memiliki konsonan hambat velar, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan dental dan bilabial. Contoh: Bila bahasa X
memiliki bunyi /k/ dan /g/, bahasa ini pasti memiliki /t/-/d/ dan /p/-/b/.
2. Apabila suatu bahasa memiliki konsonan frikatif, bahasa tadi pasti memiliki konsonan hambat. Contoh: Bila bahasa X memiliki /f/ dan
/v/, bahasa ini pasti memiliki /p/-/b/, /t/-/d/, dan /k/-/g/.
3. Apabila suatu bahasa memiliki konsonan afrikat, bahasa tadi memiliki
konsonan frikatif dan konsonan hambat. Contoh: bila bahasa X memiliki /c/-/j/, bahasa ini pasti memiliki /s/, /t/, dan /d/.
Hukum ini juga meramalkan urutan kesukaran masing-masing bunyi. Pada
umumnya bunyi yang letaknya di bagian depan mulut lebih mudah daripada yang dibelakang mulut. Dengan demikian /p/ dan /b/ adalah lebih mudah daripada /k/
Apa kaitan semua ini dengan pemerolehan bahasa? Kaitannya adalah
bahwa bunyi yang dikuasai anak mengikuti urutan universal. Karena /m/ adalah bilabial dan karenanya mudah, dan karena /a/ adalah juga mudah /m/ dan /a/ akan keluar awal pada anak. Begitu juga /p/. Itulah sebabnya mengapa kata awal yang
keluar pada anak adalah /papa/ atau /mama/ yang oleh orang tua diartikan sebagai ayah dan ibu (Gass dan Salinker 2001: 93).
Urutan pemunculan bunyi ini bersifat genetik dan karena perkembangan biologi manusia itu tidak sama maka kapan munculnya suatu bunyi tidak dapat diukur dengan tahun atau bulan kalender. Echa, misalnya, baru dapat
mengucapkan /r/ pada umur 4;6 (Dardjowidjojo 2000: 113), tetapi adiknya Dhira, sudah dapat mengucapkan bunyi ini pada umur 3;0. Yang harus dipegang pada
patokan adalah bahwa suatu bunyi tidak akan melangkahi bunyi yang lain. Tidak akan ada anak Indonesia yang sudah dapat mengucapkan /r/ tetapi belum dapat mengucapkan /p/, /g/, dan /j/. Kapan bunyi-bunyi ini akan muncul berbeda dari
satu anak ke anak yang lain. Inventori fonemik untuk vokal dan konsonan pada umur 2;0 (Darjowidjojo 2000: 115) dapat dilihat pada table 1 dan table 2 berikut:
Tabel 1 Fonem Vokal
Posisi Lidah Depan Tengah Belakang
Tinggi i [i] u [u]
Tengah e [e, ɛ] e [ə] o [o, ɔ]
Tabel 2 Fonem Konsonan
(sumber: Darjowidjojo 2000: 155)
2.2 Landasan Teori
Analisis data peneliti ini menggunakan teori fonologi generatif yang
2.2.1 Proses-proses Fonologis
Proses fonologis merupakan morfem-morfem yang bergabung untuk membentuk kata, segmen-segmen dari morfem yang berdekatan berjejeran dan kadang-kadang mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam lingkungan
yang bukan berupa pertemuan dua morfem misalnya posisi awal kata dan akhir kata, atau hubungan antara segmen dengan vokal bertekanan.
Schane (1973: 49-61) mengelompokkan proses-proses fonologi menjadi empat macam yakni:
1. Asimilasi, yaitu suatu peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi
yang lain sebagai akibat dari bunyi yang ada di lingkungannya sehingga bunyi itu menjadi sama atau mempunyai ciri -ciri yang sama dengan bunyi
yang mempengaruhinya.
2. Struktur suku kata. Proses struktur kata mempengaruhi distribusi secara relasional konsonan dan vokal, yaitu dalam hubungan satu sama lain
dalam kata. Proses ini terjadi karena perubahan distribusi ruas dalam sebuah morfem, baik vokal maupun konsonan.
3. Pelemahan dan penguatan. Perubahan struktur suku kata yang disebabkan oleh ruas-ruas yang lemah atau kuat dalam kata atau morfem dapat disebut sebagai proses pelemahan dan penguatan.
4. Netralisasi. Menurut Schane (1973), netralisasi merupakan suatu proses penghilangan perbedaan fonologis dalam lingkungan tertentu
Dalam proses asimilasi, sebuah segmen mendapat ciri-ciri dari segmen
sebaliknya, konsonan yang satu bisa mempengaruhi yang lain, atau vokal yang
satu bisa mempengaruhi yang lain. Proses asimilasi terbagi empat (Schane, 1992: 51), yaitu:
1.1 Konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri vokal
Ciri-ciri sebuah vokal dapat diberikan kepada konsonan sebagai modifikasi sekunder. Palatalisasi dan labialisasi merupakan proses demikian yang
sudah lazim. Dalam palatalisasi, posisi lidah untuk vokal depan dilapiskan pada konsonan yang berdampingan; dalam labialisasi, posisi bibir untuk vokal bundar menyebabkan artikulasi sekunder pada konsonan.
Dalam bahasa Rusia, konsonan tertentu dipalatalisasi apabila mendahului vokal depan.
stól meja (tunggal nominatif) solylé meja (tunggal lokatif)
vkús rasa (nomina) vkúsyen enak
dàr hadiah daryìt memberi
dóm rumah donyìsko rumah kecil
bómba bom bombyìt membom
Dalam bahasa Nupe, Afrika Barat, konsonan dipalatalisasi sebelum vokal depan dan dilabialisasikan sebelum vokal bundar.
egYi anak egw
egYe bir eg
u lumpur w
Dalam bahasa Inggris, alternasi dalam contoh electric, electricity, dan
analogous, analogy, mencerminkan palatalisasi historis yang diikiuti oleh perubahan daerah artikulasi.
1.2 Vokal berasimilasi dengan ciri-ciri konsonan
Ciri-ciri konsonan dapat dilapiskan pada vokal. Dalam asimilasi demikian, modifikasi vokal biasanya alofonis.
Vokal cukup lazim dinasalisi secara fonetis apabila berdampingan dengan
konsonan nasal. Proses ini terdapat dalam bahasa Inggris: see [sìy], seen [sìyn];
cat [kæt], can’t [kænt].
Dalam bahasa Chatino, Meksiko, vokal tak bertekanan diantara konsonan-konsonan tak bersuara menjadi tak bersuara.
tiyé? limau tihì keras
kinó sandal kisú avokad
suwì bersih suɁwà kamu mengirim
laɁà sisi taɁà pesta
ŋgutà bibit kutà kamu akan memberi
kiɁ api kità kamu akan menunggu
1.3 Konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri konsonan
Salah satu gejala yang paling umum ialah bahwa gugus konsonan
bersesuaian dalam penyearaan. Proses ini dapat dilihat dalam bahasa Inggris: akhiran untuk bentuk jamak, bentuk persona ketiga tunggal, dan kala lampau bersesuaian dalam penyuaraaan dengan konsonan sebelumnya. Jadi, orang
mendapati s dan t sesudah konsonan tak bersuara, z dan d sesudah konsonan
bersuara.
kʌps cups (‘cangkir’) kʌbz cubs (‘anak beruang’)
réyst raced (‘berlomba’) réyzd raised (‘menaikkan’)
Konsonan nasal biasanya menjadi homorgan dengan konsonan berikutnya artinya, konsonan nasal itu mengambil daerah artikulasi yang sama. Bahasa Yoruba, Afrika Barat, mempunyai prefiks nasal yang berasimilasi dengan cara
lain.
ba bersembunyi mba sedang bersembunyi
fo memecahkan mfo sedang memecahkan te menyebar nte sedang menyebarkan sun tidur nsun sedang tidur
lƆ pergi nlƆ sedang pergi
kƆ menulis ŋkƆ sedang menulis
gun memanjat ŋgun sedang memanjat wa datang ŋwa sedang datang
Dalam bahasa Inggris, prefiks negatif in- menjadi homorgan dengan
konsonan hambat berikutnya, misalnya inadvisiable, tetapi impossible, imbalance,
intolerance, indecisive, incoherent, yang terakhir dengan ŋ untuk penutur tertentu.
1.4 Vokal berasimilasi dengan ciri-ciri vokal
Vokal sebuak silabel bisa menjadi lebih serupa dengan vokal silabel lain.
Di sini kita dapat membedakan antara harmoni vokal dan memberi pemberi
umlaut.
Harmoni vokal ialah keadaan vokal-vokal yang bersesuaian dalam ciri-ciri
diŠ gigi diŠim gigiku
ev rumah evim rumahku
gӧnül hati gӧnülüm hatiku
gӧz mata gӧzüm mataku
baŠ kepala baŠim kepalaku
gul mawar gulum mawarku
kol lengan kolum lenganku
Dalam bahasa Jerman, vokal belakang didepankan sebelum sufiks tertentu yang berisi vokal tinggi depam; ini dikenal sebagai umlaut.
yār tahun yǣrliç tiap tahun
Šrundǝ jam Štündliç tiap jam gūt bagus gǖtiç baik hati
nōt keperluan nȫtiç perlu
got dewa gӧtin dewi
hunt anjing hündin anjing betina
Dalam bahasa Jerman modern, penggunaan umlaut tidak lagi terbatas pada
vokal tinggi depan yang berikutnya, walaupun orang percaya bahwa semua lingkungan berumlaut timbul dengan cara demikian.
Dalam bahasa Inggris, bentuk jamak tak beraturan seperti foot, feet dan
mouse, mice merupakan sisa dari proses penggunaan umlaut yang luas
jangkauannya dalam bahasa Inggris Kuno.
1. Pelesapan konsonan 2. Pelesapan vokal
3. Penyisipan konsonan 4. Penyisipan vokal
5. Penggabungan vokal 6. Perpaduan konsonan
7. Penggabungan konsonan atau vokal
8. Perubahan kelas utama, dan 9. Metatesis
Pelemahan dan penguatan akan mengakibatkan tidak semua perubahan dalam struktur silabel selalu berakibat menjadi lebih sederhana. Struktur silabel
akan menjadi kompleks, misalnya, jika vokal berkonfigurasi KVKN yang asli dilesapkan, shingga dua konsonan itu berjejer. Pelesapan yang demikian sering disebabkan oleh segmen yang menduduki posisi lemah dalam silabel itu.
Dalam proses pelemahan dan penguatan secara dapat dibedakan atas: (1) sikop dan apokop, (2) pengurangan vokal yang dialami oleh vokal-vokal
lemah. Penguatan dapat dibedakan atas diftongisasi dan pergeseran vokal yang dialami oleh vokal-vokal kuat, yakni vokal-vokal tegang atau bertekanan.
Netralisasi adalah proses yang membedakan fonologisnya dihilangkan
2.2.2 Ciri-ciri Tempat Artikulasi
Ciri-ciri tempat artikulasi ini digolongkan atas empat tempat yang mendasar, yaitu labial, dental, palatoalveolar, dan velar. Namun, keempat tepat artikulasi ini tercakup ke dalam dua ciri pembeda yaitu, anterior dan koronal yang
didasarkan apakah penyempitan dari alveolum ke depan (konsonan anterior) atau terletak di belakang alveolum (konsonan tidak anterior). Di samping itu, apakah
artikulator berupa daun lidah (koronal) atau tidak (tidak koronal) (Schane 1973:29; hyman, 1975: 47-48).
2.2.3 Ciri-ciri Cara Artikulasi
Ciri-ciri cara artikulasi meliputi malar (continuant), pengelesapan tertunda
(delayed realease), kasar, nasal, dan lateral. Bunyi [+malar] merupakan bunyi
yang udaranya ke luar terus-menerus. Obstruen yang bersifat [+malar] adalah frikatif, sedangkan, hentian, dan afrikat bersifat [-malar].
Afrikat bersifat pelesapan tertunda [+pelesapan tertunda], sedangkan hentian bersifat [-pelesapan tertunda]. Bunyi afrikat yang bergeser dan beberapa
frikatif dapat digolongkan bersifat [+kasar] karena udara yang keluar menyetuh gigi atau uvala sehingga bunyinya lebih kasar. Jadi, f,v,s,z bersifat [+kasar], sedangkan Ɵ dan ð bersifat [-kasar]. Bunyi nasal bertentangan dengan bunyi alir,
2.2.4 Ciri-ciri Batang Lidah
Dalam penggolongan vokal digunakan sifat depan-belakang dan sifat bulat-hampar (Schane, 1973 : 30) sehingga vokal mempunyai ciri pembeda [tinggi], [belakang], dan [bulat] (Lass, 1984 : 80). Semivokal mirip dengan vokal
tinggi, kecuali pada nilai ciri silabis. Oleh karena itu, ciri tinggi, belakang, dan bulat dapat membedakan berbagai semivokal. Disamping itu, ciri-ciri pembeda
tinggi belakang dapat dipakai untuk membedakan konsonan, misalnya konsonan-konsonan yang [-anterior] dan [-koronal].
2.2.5 Ciri-ciri Tambahan
Ciri-ciri terdiri atas [tegang], [bersuara], dan [hambat]. Ciri-ciri tegang
terjadi, baik pada vokal maupun pada konsonan. Bunyi tegang ditandai oleh ketegangan otot secara relatif terdengar lebih panjang dan alat-alat pembentuk suara digerakkan lebih jauh dari posisi letaknya (Schane, 1973 : 13).
2.2.6 Kaidah-Kaidah Fonologis
Kaidah sebenarnya adalah penetapan secara tepat persyaratan terjadinya proses fonologis (Schane, 1992 : 62). Kaidah tersebut dapat dinyatakan dengan bahasa sehari-hari atau dapat pula dinyatakan dengan suatu notasi formal. Hal ini
penting karena notasi harus cocok untuk mengungkapkan jenis-jenis proses yang terjadi dalam fonologi dan untuk mencakup generalisasi yang ditemukan di situ.
1. Kaidah perubahan ciri
2. Kaidah pelesapan dan penyisipan
3. Kaidah permutasi dan perpaduan, dan 4. Kaidah variabel
Dalam penulisan kaidah fonologis dikembangkan berbagai konvensi yang merujuk ke segmen dan kelas segmen. Segmen biasanya ditulis dengan notasi
fonemis (misalnya /p/), sedangkan kelas segmen digambarkan dengan spesipikasi ciri minimum yang diperlukan untuk identifikasinya (misalnya [-malar, +pelesapan tidak segera] merujuk ke konsonan afrikat). Kelas konsonan dan kelas
vokal dilambangkan dengan K dan V. Penanda lain + dipakai untuk menyatakan batas morfem, # dipakai untuk menyatakan batas kata, dan // dipakai untuk batas
frasa. Sementara simbol 0 (nol) sebagai kaidah penyisipan jika simbol itu muncul di sebelah kiri tanda panah atau untuk pelesapan jika simbol itu muncul di sebelah kanan tanda panah (Schane, 1992; Hyman, 1975; Kenstowicz, 1994).
Untuk menyatakan jumlah minimum dan maksimum gugus segmen silabel
digunakan angka subskrip dan superskrip. Misalnya K20 berarti nol, satu, dan maksimum dua konsonan. Pembatasan mengenai batas atas dapat juga diungkapkan melalui notasi tanda kurung, seperti K10 = (K), K20 = (K)(K), dan
K21
Dalam penetapan sebuah kaidah, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Ketiga hal tersebut adalah (1) segmen mana yang berubah, (2) bagaimana segmen
=K (K). Untuk menggambarkan perubahan-perubahan segmen dalam suatu bahasa juga bisa digunakan notasi formal, fitur pohon, matriks dan lain-lain
itu berubah, dan (3) dalam kondisi apa segmen itu berubah (Schane. 1992 : 65).
Segmen atau kelas segmen yang mengalami perubahan digambarkan dengan perangkat ciri yang minimal untuk identifikasi yang unik. Perubahan itu juga diungkapkan dalam notasi ciri. Selanjutnya, segmen yang berubah dan cara
perubahannya dihubungkan dengan tanda panah yang menunjuk kearah perubahan itu. Dalam penggambarannya, segmen yang berubah di sebelah kiri tanda panah,
perubahan segmen tersebut muncul di sebelah kanan tanda panah, dan lingkungan perubahan ditulis sesudah garis miring.
Berikut ini adalah sebuah contoh kaidah fonologis yang berlaku dalam
bahasa Hanunoo di Filipina (data Schane, 1992 : 47). K
ø - konsonan / V +V + malar
Kaidah tersebut mengatakan bahwa dalam bahasa Hanunoo (Filipina),
sebuah konsonan /h/ disispkan untuk memisahkan gugus vokal. Contoh itu terlihat pada data jika sufikes –i ditambahkan pada kata dasar.
Ɂupat ‘empat’ Ɂupati ‘jadikan empat’
Ɂunum ‘enam’ Ɂunumi ‘jadikan enam’
Ɂpusa ‘satu’ Ɂusahi ‘jadikan satu’
Tulu ‘tiga’ tuluhi ‘jadikan tiga’
Data bahasa Hanunoo di atas memperlihatkan bahwa penambahan bunyi
antarmorfem yang tidak diizinkan dalam bahasa tersebut sehingga muncul
epentesis /h/.
Kaidah fonologis merupakan representasi dari adanya proses-proses fonologis yang terjadi dalam sebuah bahasa. Kaidah-kaidah tersebut dirumuskan
berdasarkan adanya proses fonologis, baik sebagai pertemuan dua atau lebih morfem maupun pengaruh dari segmen yang berdekatan.
2.3 Kajian yang Relevan
Lapoliwa (1991) merupakan perintis penelitian bahasa Indonesia dalam
bidang kajian Fonologi Generatif. Lapoliwa (1981) penelitiannya yang berjudul Fonologi Bahasa Indonesia: Suatu Pendekatan Generatif. Lapoliwa (1981)
menemukan dalam bahasa Indonesia mempunyai 23 bunyi konsonan dan 6 vokal. Ada 11 ciri pembeda untuk membedakan 29 segmen itu, yaitu [konsonantal], [silabis], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal],
[kontinuan], dan [tekanan]. Ada 27 kaidah fonologi, yaitu kaidah degiminasi, pelesapan trill, penyisipan glottal stop, realisasi glottal stop dari /k/, pelesapan /h/,
despirantisasi (naturalisasi) /f/, naturalisasi /h/, pengedepanan (naturalisasi) /s/, naturalisasi /x/, penyisipan schwa, pelesapan nasal dan asimilasi, penyatuan konsonan, pelesapan dua segmen pertama dari /mǝn/, pelemahan vokal, penarikan
kembali vokal, pelesapan schwa, nasalisasi vokal, perendahan vokal, penyatuan vokal, penyisipan luncuran, desilabitasi, desilabitasi, desimilasi vokal, akhir kata pinjaman, dan penempatan tekanan. Dalam penelitian itu ditemukan adanya
h-l, h-y, h-w, s-h, m-r, m-h-l, l-m, dan b-r dan rangkaian vokal i-a, i-u, i-o, a, e,
u-u, a-i, a-u-u, a-e, a-a, o-a.
Wayan (1993) melakukan penelitian yang berjudul Teori Transformasi
Generatif Dalam Penelitian Fonologi Dan Sintaksis; Suatu Tinjauan Teoretis:
Laporan Penelitian. Dalam penelitian sintaksis, dicoba menemukan
komponen-komponen sintaksis yang meliputi kaidah struktur frase (KSF), leksikon, struktur
batin, kaidah transformasi, dan struktur lahir. Sebaliknya, dalam penelitian fonologi, ingin diketahui konsep-konsep tentang fonem, fonetik, ciri-ciri pembeda, proses-proses fonologis, dan kaidah-kaidah fonologis. Data
dikumpulkan melalui metode intuitif, yakni peneliti menjadikan dirinya sebagai informan bahasa yang memberikan data kebahasaan sesuai dengan kebutuhan
teori. Ditemukan bahwa KSF dan leksikon bermanfaat untuk menciptakan kalimat pada tingkat mental; kalimat pada tingkat mental ini disebut dengan kalimat struktur batin. Namun demikian, kalimat yang kita ucapkan atau dengarkan
bukanlah kalimat struktur batin melainkan kalimat struktur lahir. Penurunan kalimat struktur batin menjadi kalimat struktur lahir, terlebih dahulu mengalami
beberapa proses, yaitu permutasi, pelesapan, penambahan, dan substitusi. Pada tingkat fonologis juga terjadi proses, yakni kalimat struktur lahir menjadi masukan dalam komponen fonologi. Rangkaian ruas bunyi bahasa yang
membentuk morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat merupakan rangkaian ruas fonetik. Rangkaian ruas fonetik ini diturunkan dari rangkaian ruas fonemik.
Adnyana (1995) meneliti Kaidah-Kaidah Fonologi Bahasa Bajo: Sebuah
Kajian Transformasi Generatif Di Lombok Timur. Dalam penelitian ini ditemukan secara fonemis ada 24 segmen (vokal dankonsonan) dan secara fonetis ada 27 segmen. Diperlukan 15 ciri pembeda dan 18 kaidah dalam pembentukan bentuk
turunan. Diantara kaidah tersebut ditemukan pula 3 macam kaidah yang berurutan.
Mulyani (1998) dalam penelitian yang berjudul Ayat Fasif Bahasa Melayu
Dialek Deli Medan: Suatu Tinjauan Transformasi Generatif. Penelitian ini hanya
mengkaji aspek sintaksis transformasi generatifnya. Penelitian ini menemukan
ayat (kalimat) pasif, (1) yaitu ayat pasif dengan imbuhan kata kerja pasif di-, (2) ayat pasif dengan kata kerja pasif ber-, ‘ber’, dan ayat pasif dengan imbuhan kata
kerja pasif ke-...-an. (3) ayat pasif dengan perkataan kene ‘kene’ (4) ayat pasif dengan kata ganti diri. Sedangkan frase ditemukan dua jenis, yaitu (1) Frase kerja (FK) transitif dan frase kerja (FK) inti.
Hendrina (2001) melakukan penelitian terhadap bahasa Sumba dengan judul Representasi Fonologi dan Fonetis Bahasa Sumba: Sebuah Analisis
Fungsional. Berdasarkan penelitiannya Hendrina menemukan 24 segmen asal (vokal dan konsonan) secara fonemis dan 29 segmen secara fonetis. Sebagai ciri pembeda ada 14, yaitu [consonantal], [silabis], [sonoran], [koronal], [anterior],
[tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal], [malar], [pelesapan tek segera], [bersuara]. Dalam penelitian ini hanya ditemukan rangkaian segmen vokal saja,
Gustianingsih (2002) dalam tesis yang berjudul Pemerolehan Kalimat
Majemuk Bahasa Indonesia Pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak Medan. Dalam
penelitian ini mencakup tentang bagaimana kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia anak diperoleh serta pola struktur kalimat majemuk koordinatif bahasa
Indonesia. Jenis kalimat majemuk koordinatif apa yang sedang, akan dan telah di pahami anak TK, serta karakteristik kalimat majemuk koordinatif bahasa
Indonesia anak TK. Penelitian ini berusaha memperoleh pemerian yang shahih dan objektif berdasarkan data empiris yang diperoleh dari bahasa lisan anak, dan telah dipahami anak TK serta mendapatkan data tentang karakteristik kalimat
majemuk koordinatif bahasa Indonesia anak TK. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia benar-benar dikuasai anak,
kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia sedang dalam proses belajar atau sedang dikuasai anak, serta kalimat majemuk koordinatif yang akan dikuasai anak.
Sartini (2012) meneliti Bahasa Pergaulan Remaja: Analisis Fonologi
Generatif. Dalam penelitian ini ditemukan analisis fonologi generatif, pada
tipe-tipe kata yang terdapat dalam bahasa pergaulan remaja cenderung singkat atau pendek. Pemendekan ini terjadi dalam dua proses yaitu kontraksi dan akronim. Kecenderungan lain adalah modifikasi bentuk, menggunakan verba dengan
akhiran –in. Sedangkan ciri-ciri fonologis yang terdapat dalam bahasa pergaulan remaja adalah cenderung menggunakan vokal /e, o dan ə /; melesapkan bunyi,
pengenduran , penguatan, dan perpaduan vokal.
segmen vokal fonemis /i,u,e,ǝ,o,a/ dan memiliki realisasi fonetik
[i,u,e,ǝ,o,a,I,ʊ,Ԑ,Ɔ]. Konsonan Bahasa Gayo ditemukan sebanyak 18 buah, yaitu
/p,b,t,d,c,j,k,g,s,h,m,n, ɲ,ŋ,l,r,y,w/. Memiliki distribusi yang lengkap, yaitu dapat mendeskripsikan awal, tengah dan akhir kata. Segmen konsonan /c,j,ɲ,y,w/ hanya
dapat menduduki posisi awal dan tengah kata. Diperlukan 15 ciri-ciri pembeda, segmen yang digambarkan sebanyak 24 buah, sehingga penggambaran keluruh
segmen tersebut memakai 360 fitur. Ditemukan 136 kaidah redundansi yang bisa digabung-gabungkan, sehingga menjadi 38 kaidah. Analisis pola kanonik sukukata dan persyaratan struktur morfem Bahasa Gayo memiliki pola suku
margin tunggal, yaitu V,KV,VK dan KVK. Pola morfem pangkal asal ditemukan dalam 24 macam, yaitu pola satu sukukata 6 macam, dan 4 macam, dua sukukata
3 macam. Ditemukan 11 kaidah fonologi yang berguna untuk menjelaskan proses fonologi yang terjadi. KF penambahan luncuran semivokal, KF penggantian konsonan [k], KF penggantian konsonan [b], KF pelesapan konsonan [h], KF
pelesapan vokal [ǝ], KF penaksuaraan konsonan hambat, KF pengenduran vokal dan penempatan tekanan dalam Bahasa Gayo. Bahasa Gayo tidak mempunyai
sistem tulisan tersendiri maka digunakan huruf Latin, yaitu /i,e,u,o,ǝ,a/ [i,e,u,o,ǝ,o] ditulis dengan i,e,u,o,ǝ,a. Untuk segmen vokal /ǝ, ԑ,I,ʊ,Ɔ/ ditulis dengan huruf e,i,u,o. Untuk segmen konsonan /p, b, t, d, c, j, k, g, s, h, m, n, ŋ, ɲ,
l, r, y, w/ [p, b, t, d, c, J, k, g, s, h, m, n, ŋ, ɲ, l, r, y, w] ditulis dengan huruf / p, b, t, d, c, j, k, g, s, h, m, n, ng, ny, l, r, y,w/ [p, b, t, d, c, j, k, g, s, h, m, n, ng, ny, l, r,
y,w].
Kato (2013) dalam jurnal yang berjudul Fonologi Generatif Bahasa Ende
digunakan adalah Fonologi Generatif. Hasilnya: (1) dari 29 fonem, yakni 6 fonem
vokal dan 23 fonem konsonan. BE memiliki distribusi yang tidak lengkap, kecuali fonem vokal; (2) masing-masing fonem tersebut merupakan fonem asal yang dapat membentuk morfem pangkal secara fonetis; (3) memiliki 14 (empat belas)
struktur silabel; dan (4) memiliki dua proses fonologis, yakni proses pelesapan/penghilangan bunyi, dan proses penambahan dengan glotal [?]. Ciri lain
yang paling menonjol dalam BE adalah segmen bunyi: /mb, bh, nd, dh, gh, rh, dan approximant [ ?].
Kajian fonologi yang telah dilakukan itu dapat memperkaya khazanah
penerapan teori Fonologi Generatif, khususnya pada bahasa-bahasa Nusantara. Hal itu menjadi penting karena teori Fonologi Generatif tersebut lahir dari kajian
pada bahasa Inggris saja. Kajian tersebut akan dapat merumuskan, antara lain, bunyi-bunyi yang khas pada bahasa tertentu; jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran bunyi-bunyi bahasa Nusantara; dan kaidah-kaidah yang diperlukan
dalam realisasi bentuk asal dan turunannya. Demikian juga dengan kajian fonologi terhadap bahasa Indonesia anak usia dua tahun sangat penting dilakukan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah penelitian tersebut
akan dilakukan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengambil lokasi Jl. Durung No. 118 Medan, Jl. Kolonel Laut Yos Sudarso Lorong 14 A No. 3 B,
Kelurahan Glugur kota, Kecamatan Medan Barat, dan Jl. Pasar 1 Asam Kumbang Kecamatan Medan Sunggal. Peneliti memilih lokasi tersebut karena merupakan tempat tinggal dari objek penelitian.
3.2 Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan anak-anak usia dua tahun di Medan. Selanjutnya disebut sebagai subjek penelitian ini adalah dua orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki. Anak perempuan berusia dua tahun lima
bulan bernama Khansa Aqila Siregar lahir di Medan pada tanggal 23 September 2011, anak dari Bapak Zulkifli Siregar MT dan ibu Erma Bahagia Pakpahan MM.
Dua tahun enam bulan bernama Wan Almira Syakira lahir di Medan pada tanggal 15 Agustus 2011, anak dari Bapak Wan Azmi M.AP dan Ibu Dr. Emi Memori Pakpahan. Anak laki-laki lainnya yang berusia dua tahun empat bulan bernama
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan ini adalah istilah deskriptif kualitatif. Menurut (Sudaryanto, 1993:54) “Istilah deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta, walaupun bahan yang diolah dipilih sesuai dengan
tujuan penelitian”. Metode ini digunakan untuk mengetahui pemerolehan bahasa anak usia dua tahun empat bulan, dua tahun lima bulan dan dua tahun enam bulan
dari segi pemerolehan bahasa pertama dalam bidang fonologi. Pada usia ini, anak mulai mendekut dan mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip seperti vokal tetapi ada campuran dengan semacam konsonan yang umumnya berupa konsonan belakang: [č], [g], [Ɣ], dan [k]. Ini biasanya muncul sebagai respon terhadap
senyum atau ujaran sang ibu.
Dalam hal ini, metode penyediaan data dikenal sebagai metode simak dan metode cakap; dan tekniknya dapat di dibedakan atas dua tahap pemakaiannya yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan.
1. Teknik dasar metode simak adalah teknik sadap. Peneliti dalam upaya memperoleh data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa oleh
informan.
2. Teknik Lanjutan I: teknik simak libat cakap maksudnya si peneliti terlibat langsung dalam dialog dan memperhatikan penggunaaan bahasa mitra
wicaranya serta ikut serta dalam pembicaraan mitra wicaranya itu.
3. Teknik Lanjutan II: teknik rekam digunakan untuk mendapatkan data untuk mendapatkan data yang akurat melalui tuturan kanak-kanak ketika
4. Teknik Lanjut IV: teknik catat.
Data-data tersebut dicatat dalam kartu data dan dalam waktu yang bersamaan dilakukan juga perekaman. Hal ini dimaksudkan agar peneliti memperoleh kemudahan dalam melakukan pengecekan kembali kebenaran data
yang telah dicatat sebelumnya.
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode padan sering pula disebut metode identitas ialah metode yang dipakai untuk mengkaji atau
menentukan identitas satuan lingual penentu dengan memakai alat penentu yang berada di luar bahasa, terlepas dari bahasa, dan tidak menjadi bagian dari bahasa
yang bersangkutan (Sudaryanto 1993). Peneliti menggunakan metode fonetis artikulatoris (articulatory phonetic [identity] method), alat penentunya organ
wicara atau alat ucap pembentuk bunyi bahasa.
Untuk menganalisis data, penulis menggunakan metode agih. Metode agih adalah metode analisis data yang berupa penghubung antar fenomena dalam
bahasa itu sendiri (Sudaryanto 1993:15). Kemudian untuk menganalisis jenis bunyi ujaran yang digunakan adalah teknik lesap, teknik ganti, teknik perluasan, dan teknik sisip. Selanjutnya teknik analisis data menggunakan teori pemerolehan
bahasa Chomsky dan fonologi generatif Schane.