DAYA
KEMU
SK
A HAMBA
UNDURAN
KINLESS
DEPART
FAKULT
I
AT
EDIBL
N MUTU
PADA PE
MELY
TEMEN T
TAS PERIK
INSTITUT
LE COAT
U
FILLET
ENYIMP
Y SHARA
TEKNOLO
KANAN D
T PERTA
BOGO
2015
TING
KIT
T
IKAN PA
PANAN SU
A BANGU
OGI HASI
DAN ILMU
ANIAN BO
OR
5
TOSAN T
ATIN (
Pa
UHU
CHI
UN
IL PERAIR
U KELAU
OGOR
TERHADA
angasius
s
HILLING
RAN
UTAN
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Hambat Edible Coating Kitosan terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangasius sp.)Skinless pada Penyimpanan Suhu Chilling adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Mely Shara Bangun
NIM C34110003
ABSTRAK
MELY SHARA BANGUN. Daya Hambat Edible Coating Kitosan terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangasius sp.) Skinless pada Penyimpanan Suhu Chilling. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan PIPIH SUPTIJAH
Ikan patin merupakan salah satu komoditas unggulan dari perikanan budidaya dan banyak diolah dalam bentuk fillet. Kitosan merupakan material alami yang berasal dari deasetilisasi kitin yang aman digunakan dan mempunyai sifat antibakteri sehingga berfungsi dalam mempertahankan mutu dan kesegaran ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi kitosan dalam pebuatan edible coating dan lama perendaman terhadap kualitas fillet ikan patin skinless pada penyimpanan suhu chilling. Pembuatan larutan edible coating
kitosan menggunakan konsentrasi kitosan 0, 1 dan 2% dan fillet ikan tersebut direndam selama 1 dan 3 menit dalam larutan edible coating. Fillet ikan tersebut kemudian disimpan pada suhu chilling (4ºC) dan dilakukan analisis kemunduran mutu (organoleptik, pH, TPC, dan TVB). Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan, lama perendaman fillet ikan skinless dalam larutan coating,
dan interaksi antara konsentrasi kitosan dan lama perendaman mempengaruhi tingkat kesegaran fillet ikan. Perlakuan terbaik terdapat pada fillet ikan skinless
dengan perlakuan perendaman pada larutan kitosan 2%.
Kata kunci: Antibakteri, fillet, kitosan, mutu, patin
ABSTRACT
MELY SHARA BANGUN. Inhibitory Effect of Chitosan Edible Coating on the Quality of Catfish (Pangasius sp.) Skinless Fillet Stored at Chilling Temperature. Supervised by TATI NURHAYATI and PIPIH SUPTIJAH
Catfish (Pangasius sp.) is one of the leading aquaculture commodity and mostly processed in the form of fillets. Chitosan is a natural material derived from chitin deasetilation which is safe to use, and has antibacterial feature which function in maintaining the quality of the fish. This research amis to investigate the effect of chitosan concentrations and soaking time on edible coating which is applied on catfish skinless fillets. Edible coatings were made with chitosan concentration varies of 0, 1 and 2% while the fish fillets were soaked for 1 and 3 minutes in the coating solution. Fish fillets were stored at chilling temperature (4°C) and several analysis (organoleptic, pH, TPC, and TVB) was conducted to determine the deterioration of catfish skinless fillets quality. The result showed that the chitosan concentration, soaking time of skinless fish fillets in the coating solution, and the interaction between chitosan concentration and soaking time affects the level of freshness of fish fillets. The best treatment is the catfish skinless fillets coated with 2% chitosan solution.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
DAYA HAMBAT
EDIBLE COATING
KITOSAN TERHADAP
KEMUNDURAN MUTU
FILLET
IKAN PATIN (
Pangasius
sp.)
SKINLESS
PADA PENYIMPANAN SUHU
CHILLING
MELY SHARA BANGUN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahaesa karena berkat rahmat serta kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Daya Hambat Edible Coating Kitosan terhadap Kemunduran Mutu
Fillet Ikan Patin (Pangasius sp.) Skinless pada Penyimpanan Suhu Chilling”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:
1Dr Tati Nurhayati, SPi MSi dan Dr Dra Pipih Suptijah, MBA selaku dosen
pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis.
2Orang tua (Bpk. Matius Bangun dan Ibu Sri Ulina Purba) dan keluarga tercinta
terutama kedua adik saya (Arief dan Ines) yang tak pernah berhenti memberikan doa serta dukungan baik moril maupun materil kepada penulis.
3Bambang Riyanto, SPi MSi sebagai dosen penguji dan Dr Desniar, SPi MSi
sebagai dosen perwakilan komisi pendidikan THP, yang telah memberikan saran dan bimbingan untuk penyelesaian tugas akhir.
4Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan.
5Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil
Perairan.
6Dr Eng Uju, SPi MSi selaku dosen pembimbing akademik, atas segala
bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis.
7Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP), staf Dosen, Tata Usaha (mas Adi, Bapak Ade, mas Mail), dan staf laboratorium (bu Ema, mas Zaky, mas Saeful, dan mba Dini) atas bimbingan dan bantuannya selama ini.
8Keluarga H & R (Mpit, Umi Ulfa, Sizu, Fitria, Mia dan Cici Arin) atas
kebersamaannya dalam suka dan duka serta dukungannya selama ini.
9Hanum, Nisa, Mang Idan, Iman, Wekson, Mpit, Umi, Eki, Fizeni, Jati, Sara,
Pipit, Tanjung, Rudi, Azis, Aqil, Kaleb yang telah membantu selama proses penelitian ini.
10Keluarga Perwira terutama Apri, Kak Vitis, Ina, Iska, Fero dan keluarga
Tamariska (Febri, Evi, Kak Selvi, Apri dan Kak Vera) yang telah memotivasi dan membantu penulis.
11Keluarga besar THP 48, 49, 50 dan 51 atas kebersamaan dan kekompakannya
selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juli 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xi
PENDAHULUAN... 1
Latar Belakang... 1
Rumusan Masalah... 2
Tujuan Penelitian... 3
Ruang Lingkup Penelitian... 3
METODE PENELITIAN... 3
Waktu dan Tempat... 3
Bahan dan Alat... 3
Prosedur Penelitian... 4
Pembuatan Larutan Edible Coating Kitosan (Modifikasi Butler et al. 1996)... 4
Proses Preparasi Fillet Ikan (CAC 2012)... 4
Proses Pembuatan Fillet Ikan dengan Edible Coating Kitosan... 5
Prosedur Analisis... 5
Analisis Kadar Air (BSN 1992)... 5
Analisis Kadar Abu (BSN 1992)... 5
Analisis Kadar Protein (BSN 1992)... 7
Analisis Kadar Lemak (BSN 1992)... 7
Analisis Viskositas (BSN 1998)... 8
Analisis Gugus Fungsi Kitosan (Domszy dan Roberts 1985)... 8
Analisis Proporsi Bagian Tubuh Ikan... 9
Uji Organoleptik (BSN 2006)... 9
Analisis Derajat Keasaman (pH) (BSN 1992)... 9
Analisis Mikrobiologi (BSN 2006)... 9
Analisis Total Volatile Base (TVB) (BSN 2009)... 10
Analisis Data... 10
HASIL DAN PEMBAHASAN... 12
Karakteristik Kitosan…... 12
Karakteristik Fillet Ikan Patin Skinless... 15
Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin Skinless pada Penyimpanan Suhu Chilling... 16
Organoleptik... 16
Derajat Keasaman (pH)... 21
Mikrobiologi... 23
Total Volatile Base (TVB)... 24
KESIMPULAN DAN SARAN... 26
Kesimpulan... 26
Saran... 26
DAFTAR PUSTAKA... 26
LAMPIRAN... 33
DAFTAR GAMBAR
1 Alur penelitian... 6
2 Hasil analisis spektrofotometer FT-IR kitosan... 14
3 Proporsi bagian tubuh ikan patin... 15
4 Pengaruh lama perendaman (a) dan konsentrasi kitosan (b) terhadap kemunduran mutu kenampakan fillet ikan patin skinless... 17
5 Pengaruh lama perendaman (a) dan konsentrasi kitosan (b) terhadap kemunduran mutu bau fillet ikan patin skinless... 18
6 Pengaruh lama perendaman (a) dan konsentrasi kitosan (b) terhadap kemunduran mutu tekstur fillet ikan patin skinless... 20
DAFTAR TABEL
1 Karakteristik kitosan... 122 Nilai viskositas larutan kitosan... 13
3 Ukuran ikan dan fillet ikan patin skinless.... 14
4 Komposisi kimia fillet ikan patin skinless... 15
5 Deskripsi hasil organoleptik kemunduran mutu fillet ikan patin skinless dengan coating kitosan... 21 6 Perubahan nilai pH fillet ikan patin skinless... 22
7 Perubahan nilai TPC fillet ikan patin skinless... 23
8 Perubahan nilai TVB fillet ikan patin skinless... 24
DAFTAR LAMPIRAN
1 Fillet ikan patin skinless... 352 Score sheet uji organoleptik fillet ikan segar (SNI 01-2346-2006)... 37
3 Perhitungan derajat deasetilasi kitosan........ 38
4 Sertifikat analisis kitosan... 39
5 Hasil uji Kruskal Wallis kenampakan fillet ikan patin hari ke-2... 40
6 Hasil uji Kruskal Wallis kenampakan fillet ikan patin hari ke-5... 40
7 Hasil uji Kruskal Wallis bau fillet ikan patin hari ke-2... 41
8 Hasil uji Kruskal Wallis bau fillet ikan patin hari ke-5... 42
9 Hasil uji Kruskal Wallis tekstur fillet ikan patin hari ke-2... 43
10 Hasil uji Kruskal Wallis tekstur fillet ikan patin hari ke-5... 43
11 Hasil uji ANOVA pH fillet ikan patin hari ke-0... 44
12 Hasil uji ANOVA pH fillet ikan patin hari ke-2... 44
13 Hasil uji ANOVA pH fillet ikan patin hari ke-5... 44
14 Hasil uji ANOVA TPC fillet ikan patin hari ke-0... 45
15 Hasil uji ANOVA TPC fillet ikan patin hari ke-2... 46
17 Hasil uji ANOVA TVB fillet ikan patin hari ke-0... 47 18 Hasil uji ANOVA TVB fillet ikan patin hari ke-2... 47 19 Hasil uji ANOVA TVB fillet ikan patin hari ke-5... 48
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang sangat mudah rusak (high perishable food) dan dalam perdagangan rentan mengalami penolakan karena buruknya kualitas ikan tersebut (FAO 2009). Kualitas ikan telah menjadi perhatian utama dalam industri perikanan di seluruh dunia sehingga kesegaran ikan merupakan faktor utama yang harus selalu diperhatikan (Huss et al. 2003). Kesegaran ikan akan memberikan pengaruh bagi kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Mutu ikan segar dapat diketahui melalui penilaian secara subjektif dan objektif (kimia, fisik, dan mikrobiologi). Ikan yang sangat segar belum banyak mengalami perubahan-perubahan secara kimia, fisik, dan mikrobiologi.
Salah satu komoditas andalan perikanan budidaya yang memiliki produktivitas cukup tinggi adalah ikan patin. Statistik Perikanan Indonesia menunjukkan jumlah produksi ikan patin nasional meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 229.267 ton pada tahun 2011, 347.000 ton pada tahun 2012, dan 410.883 ton pada tahun 2013 (KKP 2014). Kondisi ini menunjukkan bahwa komoditas patin memiliki peranan penting dalam industri perikanan nasional dan memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan pada skala yang lebih besar.
Fillet ikan merupakan salah satu pengembangan produk ikan patin. Permintaan konsumen terhadap ikan patin dalam pasar global umumnya dalam bentuk fillet yang dikenal dengan nama dory fillets (Ikasari dan Dwi 2014). Ikan patin dapat dijadikan fillet karena memiliki beberapa keunggulan, antara lain tidak bersisik, memiliki sedikit duri dan dagingnya putih kemerahan serta mudah dikuliti sehingga relatif mudah dibuat fillet yang baik (Susanto dan Amri 1999).
Fillet juga memiliki beberapa keuntungan sebagai bahan baku olahan, antara lain bebas duri dan tulang, dapat disimpan lebih lama dan mengefisienkan proses produksi serta meningkatkan mutu produk olahannya (Putri et al. 2014).
Permasalahan yang sering muncul dalam pengembangan produk perikanan adalah masalah mutu dan kesegaran produk perikanan tersebut. Kemunduran mutu ikan patin disebabkan oleh kandungan protein, kadar air yang tinggi, pH tubuh yang mendekati netral (Kurniasih 2013). Fillet ikansangat rentan terhadap kemunduran mutu karena otot ikan secara langsung terkena udara dan mikroorganisme. Penanganan proses produksi hasil perikanan dari tahap awal hingga produk sampai ke konsumen harus dilakukan dengan tepat, hati-hati, dan dengan sanitasi yang baik. Penanganan yang tepat bertujuan untuk menjaga kualitas produk perikanan sehingga sesuai dengan standar yang diinginkan. Penanganan dan penyimpanan produk perikanan dilakukan pada suhu rendah (Akter et al. 2014). Penggunaan suhu rendah berupa pendingin dapat memperlambat proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada penurunan mutu ikan (Junianto 2003).
Penggunaan suhu rendah tidak dapat menghambat seluruh reaksi biokimia yang menyebabkan kemunduran mutu pada ikan, sehingga diperlukan upaya lain yang dapat mempertahankan kesegaran dan memperpanjang umru simpan ikan (Mohan et al. 2012). Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan
2
menambahkan bahan pengawet alami, misalnya kitosan. Kitosan merupakan produk hasil deasetilasi kitin, memiliki sifat tidak beracun, dan terdiri atas unit β -(1,4)-2-actamido-2-deoxy-D-glucose dan β-(1,4)-2-amino-2-deoxy-D-glucose (No et al. 2002). Kitosan memiliki sifat antimikroba sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan makanan (Shahidi et al. 1999). Kitosan dapat berasal dari limbah industri perikanan, misalnya cangkang udang (Hargono et al. 2008), cangkang kepiting (Trisnawati et al. 2013), dan tulang rawan cumi-cumi (Agusnar 2010). Kitosan memiliki sifat biodegradable, biokompetibel, dan tidak mengandung racun. Kitosan merupakan antimikroba alami dan beberapa penelitian telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba yang efektif (Coma et al. 2002). Kitosan sebagai pengawet alami dapat diaplikasikan sebagai edible coating dan edible film pada produk pangan (Kanatt et al. 2008).
Edible coating merupakan suatu lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat dimakan dan diaplikasikan dan dibentuk langsung pada bahan pangan.
Edible coating biasanya digunakan untuk melapisi produk daging beku, makanan semi-basah, produk konveksionari, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan, dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta et al. 1994).
Edible coating dapat berfungsi sebagai penghambat uap air, lemak, dan gas serta dapat meningkatkan tekstur produk pangan (Casariego et al. 2008). Edible coating
berbahan kitosan yang bersifat antimikroba berpotensi dapat mencegah kontaminasi patogen pada berbagai bahan pangan yang memiliki jaringan (daging, buah-buahan, dan sayuran) (Quintavalla dan Vicini 2002).
Kitosan dengan kosentrasi rendah efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Penelitian ini menggunakan konsentrasi kitosan 1 dan 2 %, karena edible coating dengan konsentrasi kitosan 1% (Renur 2014) dan 2% (Mohan et al. 2012) mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan baik. Informasi mengenai penggunaan edible coating kitosan pada fillet ikan patin
skinless masih sedikit, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas
edible coating kitosan sebagai pengawet pada fillet ikan patin skinless selama penyimpanan suhu chilling. Penggunaan edible coating berbahan kitosan diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif pengawet alami sehingga fillet ikan patin yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan mampu memperpanjang umur simpan.
Rumusan Masalah
Fillet ikan patin merupakan hasil produk perikanan yang cepat mengalami kemunduran mutu. Kemunduran mutu fillet ikan patin skinless akan mempengaruhi tingkat penerimaan dari konsumen. Permintaan konsumen terhadap produk perikanan segar dengan umur simpan yang lebih panjang dan bermutu mendorong dilakukannya penelitian yang difokuskan pada penggunaan bahan-bahan alami sebagai pengawet, misalnya kitosan. Kitosan sebagai bahan pengawet dapat diaplikasikan sebagai edible coating. Penelitian mengenai penggunaan bahan alami kitosan sebagai pengawet diperlukan untuk menentukan pengaruh kitosan yang diaplikasikan sebagai edible coating dalam mempertahankan mutu fillet ikan patin skinless selama penyimpanan suhu chilling
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi kitosan dalam pembuatan edible coating dan lama perendaman terhadap daya hambat kemunduran mutu fillet ikan patin skinless pada penyimpanan suhu chilling (4ºC) selama lima hari.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efektivitas edible coating kitosan sebagai bahan pengawet pada fillet ikan patin
skinless.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah pengambilan ikan patin segar (Pangasius sp.), preparasi ikan patin (Pangasius sp.), karakterisasi kitosan dan
fillet ikan patin skinless, pengamatan organoleptik terhadap fillet ikan patin, pengujian pH, pengujian total plate count (TPC), pengujian total volatile base
(TVB) fillet ikan patin skinless.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga April 2015. Ikan patin diperoleh di CV Kurnia Fishery Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Bogor dan kitosan diperoleh dari CV Biochitosan Indonesia. Proses preparasi fillet ikan, penyimpanan fillet ikan dan analisis organoleptik dilakukan di Laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kemunduran mutu fillet ikan patin (analisis TVB, pH dan mikrobiologi) di Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta Pusat.
Bahan dan Alat
4
H3BO3, K2CO3 jenuh, dan HCl 0,02 N. Bahan yang digunakan untuk analisis
derajat keasaman (pH) adalah akuades.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah scoresheet organoleptik
fillet ikan segar (SNI 01-2346-2006), FTIR Spectroscopy (Bruker Tensor 37), oven (Yamato DV 40), pH meter (Thermo), vortex (Thermo Scientific), inkubator (Yamato), homogenizer (Philip), stomacher (Stomacher 400 Circulator), viskometer (Toki Sangyo Co LTd), dan clean bench (Pathfinder).
Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama penelitian ini adalah karakterisasi kitosan (analisis komposisi kimia dan gugus fungsi) dan pembuatan larutan coating kitosan dengan konsentrasi 0, 1, dan 2%. Larutan coating kitosan dianalisis viskositasnya. Tahap kedua penelitian ini adalah preparasi ikan patin menjadi fillet ikan patin skinless dan karakterisasi fillet ikan patin (ukuran fillet
ikan, rendemen ikan patin, dan komposisi kimia fillet ikan patin). Analisis komposisi kimia kitosan dan fillet ikan patin skinless adalah analisis kadar air (BSN 1992), analisis kadar abu (BSN 1992), analisis kadar protein (BSN 1992), dan analisis kadar lemak (BSN 1992). Tahap selanjutnya adalah perendaman
fillet ikan dalam larutan coating kitosan 0, 1, dan 2% selama 1 dan 3 menit serta perlakuan kontrol (tanpa perendaman). Fillet ikan patin tersebut disimpan pada suhu chilling (4ºC) dan dianalis tingkat kesegarannya. Analisis tingkat kesegaran yang dilakukan meliputi uji organoleptik (BSN 2006a), analisis mikrobiologi (BSN 2006b), analisis pH (BSN 1992), dan analisis TVB (BSN 2009).
Pembuatan Larutan Edible Coating Kitosan (Modifikasi Butler et al. 1996)
Edible coating kitosan dibuat dengan tiga konsentrasi kitosan. Konsentrasi kitosan yang digunakan adalah 0, 1 dan 2%. Larutan dengan konsentrasi 0% dibuat dengan mencampurkan 30 mL asam asetat dan 70 mL akuades. Edible coating dengan konsentrasi 1 dan 2% dibuat dengan melarutkan 1 dan 2 gram kitosan ke dalam 30 mL asam asetat, kemudian ditambah 70 mL akuades. Pelarutan kitosan dalam asam asetat 1% dilakukan bertahap agar kitosan dengan larut secara sempurna. Larutan dihomogenkan dengan pengaduk magnetic stirer
pada suhu 50oC selama 60 menit sampai larutan coating terlarut dengan sempurna. Pemilihan pelarut kitosan yang digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1%.
Proses Preparasi Fillet Ikan (CAC 2012)
Ikan patin segar sebanyak 25 ekor dengan berat 472,48±17,04 gram per ekor, dimatikan terlebih dahulu dengan memukul bagian kepalanya. Ikan patin yang telah mati tersebut kemudian dibuat fillet skinless dengan memisahkan bagian daging dengan kepala, tulang, dan kulit. Peralatan yang kontak langsung dengan ikan dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan detergen food grade kemudian disiram dengan menggunakan air panas. Pasokan air bersih yang cukup diperlukan untuk mencuci fillet ikan dari lendir, darah, dan jeroan. Fillet
5
digunakan dibersihkan kembali setelah proses preparasi dilakukan dan disimpan pada tempat yang bersih.
Proses Pembuatan Fillet Ikan dengan Edible Coating Kitosan
Fillet ikan patin skinless hasil preparasi dengan berat 74,00±6,21 gram diberi perlakuan coating kitosan dengan konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda. Fillet ikan patin skinless tersebut direndam dalam larutan coating kitosan dengan konsentrasi 0, 1, dan 2% selama masing-masing 1 dan 3 menit, kemudian diangkat dan ditiriskan. Larutan coating kitosan tidak dapat digunakan berulang kali. Fillet ikan disimpan pada suhu chilling (4ºC) selama 5 hari. Pengukuran suhu
chilling dilakukan dengan menempatkan termometer pada fasilitas penyimpanan dingin. Pengamatan kemunduran mutu fillet ikan patin skinless dilakukan pada hari ke 0, 2, dan 5. Hasil pembuatan fillet ikan skinless dengan edible coating
dapat dilihat pada Lampiran 1. Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Prosedur Analisis
Analisis Kadar Air (BSN 1992)
Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kadar air pada fillet ikan patin skinless. Tahap pertama yang dilakukan adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105°C selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) pada suhu ruang hingga beratnya konstan. Sampel seberat 2 gram ditimbang dan dimasukkan kedalam cawan porselen. Cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105°C selama 6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator pada suhu ruang, kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air adalah sebagai berikut:
Kadar Air (%) = B - C
B - A
x 100% Keterangan:
A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
Analisis Kadar Abu (BSN 1992)
Analisis kadar abu dilakukan untuk mengetahui jumlah abu pada fillet ikan patin skinless terkait dengan mineral. Cawan porselen dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105°C, lalu diletakkan dalam desikator pada suhu ruang, kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam cawan porselen, kemudian dipijarkan dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar 105°C sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600°C selama 2-3 jam sehingga abu berwarna putih. Cawan porselen dimasukkan dalam desikator, kemudian ditimbang beratnya. Perhitungan kadar abu adalah sebagai berikut:
Kadar Abu (%) = C - A
6
Gambar 1 Alur penelitian
Analisis kemunduran mutu:
Uji organoleptik
Analisis pH
Analisis mikrobiologi
Analisis TVB Analisis
komposisi kimia Pengukuran morfometrik dan bagian tubuh ikan patin
Analisis komposisi kimia
Analisi FTIR Serbuk kitosan
Penimbangan 0, 1, dan 2 gram
Pelarutan
Pengadukan dengan stirer pada suhu 50oC selama 60 menit
Pelarutan
Pengadukan dengan stirer pada suhu 50oC selama 15 menit
Penyaringan
Perendaman fillet ikan patin skinless dalam larutan asam asetat dan larutan edible coating 1 dan 2% selama 1 dan
3 menit
Penirisan selama 1 menit
Pemasukan fillet yang telah dilapisi kitosan ke dalam plastik steril
Penyimpanan selama 5 hari pada suhu chilling (4°C)
Fillet ikan dengan coating kitosan pada hari
ke 0, 2, dan 5 Ikan Patin Segar
Pematian ikan
Preparasi
30 mL asam asetat 1%
70 mL akuades
Larutan coating Analisis viskositas Fillet ikan
7
Keterangan:
A = Berat cawan porselen kosong (gram)
B = Berat cawan porselen dengan sampel (gram)
C = Berat cawan porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
Analisis Kadar Protein (BSN 1992)
Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.
(1) Tahap destruksi
Fillet ikan patin skinless ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl. Setengah tablet kjeldahl atau selenium dimasukkan ke dalam labu kjeldahl dan ditambah 10 mL H2SO4. Tabung yang
berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410°C. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.
(2) Tahap destilasi
Sampel yang telah didestruksi dilarutkan ke dalam labu takar 100 mL dengan menggunakan akuades. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 10 mL. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmenyer 125 mL berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan bromcresol green) yang ada di
bawah kondensor. Destilasi dilakukan hingga terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi biru.
(3) Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Perhitungan kadar protein adalah sebagai berikut:
Kadar Protein (%) = Vol HCL x N HCl x , x , x Fp
mg sampel x 100%
Keterangan:
FP = Faktor pengenceran
Analisis Kadar Lemak (BSN 1992)
Sampel fillet ikan patin skinless seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam
kertas saring, kemudian dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong lemak berisi sampel dimasukkan ke dalam soxhlet. Labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong
lemak dimasukkan ke dalam tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak heksana. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 80°C dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor saat proses destilasi, dan dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak adalah sebagai
8
Kadar Lemak (%) =
W ‐W
W x 100 %
Keterangan :
W1 = Berat sampel (gram)
W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
Analisis Viskositas (BSN 1998)
Analisis viskositas larutan menggunakan metode SNI 06-4558-1998. Sampel sebanyak 100 gram dimasukkan ke dalam wadah kemudian diukur viskositasnya menggunakan viskometer (Toki Sangyo Co LTd) dengan spindel no 2 dan kecepatan 60 rpm. Faktor koreksi untuk spindel 2 adalah 5. Nilai viskositas (cp) adalah angka hasil pengukuran x faktor konversi.
Analisis Gugus Fungsi Kitosan (Domszy and Roberts 1985)
Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui struktur dan derajat deasetilasi kitosan. Analisis ini dilakukan dengan mencampurkan 2 mg serbuk kitosan dengan 200 mg KBr untuk dijadikan pelet. Pelet dibuat dengan menggunakan
hand press Shimadzu. Pengukuran spektrum FTIR dilakukan dengan menggunakan Spektrometer FTIR (Bruker Tensor 37) yang dilengkapi dengan detektor DTGS yang memunculkan puncak-puncak dari gugus fungsi yang terdapat pada sampel kitosan. Pengukuran derajat deasetilasi kitosan dilakukan berdasarkan kurva yang tergambar oleh spektrofotometer. Puncak tertinggi (P0)
dan puncak terendah (P) dicatat dan diukur dengan garis dasar yang dipilih. Nisbah absorbansi dihitung dengan rumus:
A = Log P P
Keterangan:
P0 = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak
tertinggi dengan panjang gelombang 1.655 cm-1 atau 3450 cm-1.
P = Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang gelombang 1.655 cm-1 atau 3450 cm-1.
Perbandingan absorbansi pada 1.655 cm-1 dengan absorbansi 3.450 cm-1 digandakan satu per standar N-deasetilasi kitosan (1,33). Pengukuran nilai derajat deasetilasi kitosan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
N-deasetilasi (%) =
1-
AA
x
1 1,33
Keterangan:
A1655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1.655 cm-1.
A3450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3.450 cm-1.
9
Analisis Proporsi Bagian Tubuh Ikan
Perhitungan bagian tubuh ikan dilakukan berdasarkan proporsi bobot bagian tubuh terhadap bobot ikan patin awal. Perhitungan proporsi bagian tubuh ikan adalah sebagai berikut:
Bagian tubuh ikan (%) = Bobot contoh (g)
Bobot awal (g)
100
Uji Organoleptik (BSN 2006a)
Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian yang bersifat subjektif menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk daya penerimaan terhadap makan. Tujuan uji organoleptik adalah untuk mengetahui mutu fillet ikan patin
skinless yang dilapisi dengan edible coating kitosan dari segi kenampakan, bau, dan tekstur. Score sheet uji organoleptik fillet ikan segar (SNI 01-2346-2006) dapat dilihat pada Lampiran 2.
Analisis Derajat Keasaman (pH) (BSN 1992)
Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter digital. Alat pH meter harus dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tisu sebelum digunakan untuk menganalisis pH fillet ikan. Alat pH meter selanjutnya akan dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 4 lalu dicelupkan pada buffer pH 7 dan dibiarkan sesaat hingga stabil. Fillet ikan sebanyak 10 gram ditambah akuades sebanyak 90 mL dan dihomogenisasi. Alat pH meter tersebut kemudian dicelupkan pada larutan fillet ikan yang telah dihomogenisasi.
Analisis Mikrobiologi (BSN 2006b)
10
N = ∑ . Keterangan:
∑ c = Jumlah seluruh mikroba yang dapat dihitung (25-250) n1 = Jumlah cawan dari pengenceran pertama
n2 = Jumlah cawan dari pengenceran kedua
d = Faktor pengenceran pada pengenceran pertama
Analisis Total Volatile Base (BSN 2009)
Salah satu parameter dalam menentukan kemunduran mutu ikan adalah kadar total volatile base (TVB). Kadar TVB bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisa TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amonia, mono-, di- dan trimetilamin). Senyawa-senyawa tersebut kemudian diikat oleh H3BO3 kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N. Sampel fillet
ikan sebanyak 15 gram ditambah 45 mL larutan TCA 7%, kemudian dihomogenisasi selama 2 menit, disaring dengan kertas saring sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih.
Larutan H3BO3 sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam inner chamber
cawan conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi setengah menutupi cawan. Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber sebanyak 1 mL disebelah kiri, kemudian ditambah 1 mL K2CO3 jenuh ke dalam outer chamber sebelah kanan
sehingga filtrat dan K2CO3 tidak tercampur. Cawan segera ditutup dan digerakkan
memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Blanko dibuat dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 7%.
Kedua cawan Conway tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 37oC selama 2 jam. Larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sehingga berubah warna menjadi merah muda. Cawan conway berisi dengan larutan yang sama dititrasi sehingga menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko .
Kadar TVB =
j-i x N HCl x
100 Mx
fp
1
x 14 mg
N 100gKeterangan:
j = Volume HCl 0.02 N yang dibutuhkan untuk titrasi i = Volume titrasi blanco
M = Berat sampel Fp = Faktor pengencer
N = Normalitas HCl (0,02 N)
Analisis Data
11
a. Merangking data dari yang terkecil hingga yang terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter.
b. Menghitung total dan rata-rata untuk setiap perlakuan.
c. Uji lanjut Dunn dilakukan apabila hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh.
Rumus uji Kuskal-Wallis adalah sebagai berikut (Montgomery 1997) :
K = S
∑
Ri2 ni
-
N(N+1)2 4 k
i=1
Keterangan:
K = Nilai Kruskal-Wallis dari hasil perhitungan S2 = Ragam
Ri = Jumlah ranking dari kategori/perlakuan ke i ni = Banyaknya ulangan pada kategori/perlakuan ke-i k = Banyaknya kategori/perlakuan (i=1,2,3,…..,k) N = Jumlah seluruh data
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 = Perbedaan konsentrasi kitosan dan lama perendaman memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai organoleptik fillet ikan patin skinless.
H1 = Minimal ada satu jenis konsentrasi kitosan dan lama perendaman memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai organoleptik fillet ikan patin
skinles.
Nilai Pvalue <0,05 menyatakan bahwa tolak H0 dan dilanjutkan dengan menggunakan analisis Dunn dengan rumus (Daniel 1990) :
| | > Zα/k(k-1) N N ∑ T
N N Keterangan:
| | = Rata-rata peringkat untuk contoh /perlakuan ke-i dan ke-j
Zα/k(k-1) = Titik kritis pada kurva sebaran normal baku
k = Banyaknya kategori/perlakuan (i=1,2,3,…..,k) N = Jumlah seluruh data
T = Banyaknya ties (nilai yang sama pada pengamatan)
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 = Perbedaan konsentrasi kitosan dan lama perendaman memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai organoleptik fillet ikan patin
skinless.
H1 = Perbedaan konsentrasi kitosan dan lama perendaman memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai organoleptik fillet ikan patin skinless.
12
Duncan apabila hasil ANOVA berbeda nyata. Perlakuan yang diberikan terdiri atas dua perlakuan, yaitu konsentrasi kitosan yang digunakan dalam pembuatan
edible coating dan lama perendaman fillet ikan dalam larutan coating. Analisis ini menggunakan software Statistical Analysis System (SAS) 9 Portable. Model matematika yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya 2002):
:
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
Yijk : Pengamatan faktor A level i, faktor B level j
μ : Nilai tengah umum
αi : Pengaruh faktor ke A (konsentrasi kitosan) level i
βj : Pengaruh faktor ke B (lama perendaman dalam larutan kitosan) level j
(αβ)ij : Interaksi AB pada A level i dan B level j
εij : Galat percobaan
Hipotesis yang digunakan dengan metode rancangan acak lengkap faktorial ini adalah:
1. H0 = Konsentrasi kitosan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap mutu fillet ikan patin
H1 = Konsentrasi kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap mutu fillet ikan patin
2. H0 = Lama perendaman fillet ikan dalam larutan edible coating kitosan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap mutu fillet ikan patin H1 = Lama perendaman fillet ikan dalam larutan edible coating kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap mutu fillet ikan patin 3. H0 = Interaksi antara konsentrasi kitosan dan lama perendaman fillet ikan
dalam larutan edible coating kitosan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap mutu fillet ikan patin
H1 = Interaksi antara konsentrasi kitosan dan lama perendaman fillet ikan dalam larutan edible coating kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap mutu fillet ikan patin
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kitosan
13
Tabel 1 Analisis komposisi kimia kitosan
Parameter Nilai
Kitosan Standar* Kitosan Uji
Bentuk partikel Serpihan-serbuk Serpihan kecil
Kadar Air (%) Maks 12% 10,25 ± 0,21%
Kadar Abu (%) Maks 5% 0,82 ± 0,07%
Kadar Nitrogen (%) Maks 5% 5,85 ± 0,02%
Derajat Deasetilisasi (%) Min 75% 83 %
Warna Larutan Jernih Jernih
*BSN 2013
Kadar air kitosan yang dihasilkan adalah 10,25±0,0001%. Standar kadar air kitosan adalah ≤12% (BSN 2013) maka kadar air kitosan yang digunakan sudah memenuhi standar mutu. Kadar air yang terkandung pada kitosan dipengaruhi oleh proses pengeringan, lama pengeringan yang dilakukan, jumlah kitosan yang dikeringkan dan luas tempat permukaan tempat kitosan yang dikeringkan (Saleh et al. 1994). Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Proses demineralisasi semakin efektif jika nilai kadar abu kitosan yang digunakan semakin kecil. Kadar abu pada kitosan merupakan parameter penting yang dapat memengaruhi kelarutan, mengakibatkan viskositas rendah dan dapat memengaruhi karakteristik produk akhir (No dan Meyers 1995). Kadar abu kitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,82±0,0001%. Standar kadar abu dalam kitosan adalah ≤5% (BSN 2013) maka kadar abu kitosan yang digunakan sudah memenuhi standar mutu.
Kadar nitrogen menunjukkan kandungan nitrogen yang terdapat pada kitosan. Efektivitas proses deproteinasi pada pembuatan protein dapat ditentukan melalui kadar nitrogen total yang terdapat pada kitosan (Hong et al. 1989). Kadar nitrogen kitosan yang dihasilkan yaitu sebesar 5,85 ± 0,02%. Hal ini menunjukkan kadar nitrogen yang lebih besar dari nilai SNI, yaitu ≤5%. Nilai dari kadar nitrogen sangat dipengaruhi oleh proses deproteinasi. Viskositas juga merupakan salah satu parameter mutu kitosan. Nilai viskositas dari larutan kitosan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai viskositas larutan kitosan
Konsentrasi kitosan (%) Viskositas (cP)
0 3,70 ± 0,05
1 33,55 ± 0,06
2 70,10 ± 0,03
14 yang dan p dease peng mem meng (Sup dease berda yang menu DD dilak (Pras meng gugu gelom gelom 2783 spekt
g tinggi akan pembentuka Salah sa etilasi. Sem gotornya yai miliki kelar ggambarkan tijah 2006 etilasi (DD) asarkan has Standar g digunakan urut sertifik dapat diseb kukan (Khan setyaningrum ggunakan a us –OH pad mbang 1655 mbang 3450 3 cm-1 dan trofotomete
Ga
OH
n membutuh an lapisan p atu paramet makin tinggi itu protein, rutan yang n penghilan 6). Analisis ) kitosan da sil perhitung nilai DD ki n sudah me kat analisis babkan oleh n et al. 200 m et al. 2 analisis FT da bilangan 5,64 cm-1. H 0-3200 cm -n 1656 cm er FT-IR kit
ambar 2 Has
H
hkan waktu pada permuk
ter mutu k i derajat dea
mineral dan g sempurn ngan gugus s FTIR di an mengeta gan (Lampir itosan adala emenuhi sta kitosan ad h perbedaa 02), konsent 2007). Gug TIR. Gugus n gelomban Haerudin et
1
terdapat g m-1 terdap tosan dapat
sil analisis s
u yang lebih kaan produk kitosan yan
asetilasinya n pigmen se na dalam s asetil (CO ilakukan u ahui gugus f
ran 3) adala ah ≥75% (B andar mutu dalah 87,5% an metode trasi NaOH us fungsi fungsi kit g 3433cm-1
al. (2010) m gugus OH d pat gugus
t dilihat pad
spektrofotom
h lama dalam k (Usawake
g cukup pe a, maka kito
erta gugus a asam ase OCH3) yang
untuk meng fungsi kitos ah 83%. BSN 2013) m
u. Nilai kito % (Lampira
analisis der H dan suhu s kitosan dap tosan yang
1
dan gugu menyatakan dan NH, pad
CH dan da Gambar 2
meter FT-IR
NH
m proses pe esmanee et a
enting adal osan sudah asetil sehing etat 1%. N
g terdapat getahui nil san. Nilai D
maka nilai D osan yang n 4). Perbe rajat deaset saat proses pat diketah digunakan us N-H pad n bahwa pad da panjang g NH. Hasi 2.
R kitosan
engeringan
15
Karakteristik Fillet Ikan Patin Skinless
[image:33.612.107.499.156.792.2]Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih perak dengan punggung kebiru–biruan. Kepala ikan kecil dengan mulut terletak di ujung kepala sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas catfish (Djarijah 2001). Karakteristik dari fillet ikan patin yang dilakukan meliputi ukuran, berat, dan komposisi kimia dari fillet ikan patin skinless yang digunakan. Ukuran dan berat ikan patin dipengaruhi oleh pertumbuhan, jenis kelamin, umur, makanan dan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan (Efendi 1997). Hasil pengamatan ukuran ikan dan fillet ikan patin skinless dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Ukuran ikan dan fillet ikan patin skinless
Parameter Nilai
Berat ikan (g) 472,00 ± 17,04
Panjang ikan (cm) 35,08 ± 1,96
Panjang baku ikan (cm) 31,60 ± 2,14
Berat fillet skinless (g) 74,00 ± 6,21
Panjang fillet skinless (cm) 16,68 ± 1,11
Keterangan: nilai diambil dari rata-rata 25 ekor ikan
Ikan patin pada penelitian ini memiliki daging fillet sebesar 31,32% dari berat ikan. Ningsih (2011) menyatakan bagian daging fillet dari ikan patin mencapai 38,56%, bagian kulit 3,73%, bagian jeroan 14,43% dan bagian tertinggi terdapat pada tulang dan kepala, yaitu sebesar 43,28%. Proporsi masing-masing bagian tubuh ikan patin disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Proporsi bagian tubuh ikan patin
Komposisi kimia ikan sangat penting untuk diketahui sebagai dasar untuk penerapan teknik pengolahan dan penyimpanan. Ikan memiliki komposisi kimia yang berbeda-beda. Thammapat et al. (2010) menyatakan bahwa komposisi kimia ikan patin dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya pakan, umur, musim, dan
Kulit; 4,27%
Daging; 31,32%
16
tempat budidaya. Komposisi kimia fillet skinless ikan patin pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi kimia fillet ikan patin skinless
Senyawa Jumlah (%)
Air 78,45 ± 0,16
Abu 0,39 ± 0,05
Lemak 2,97 ± 0,03
Protein 16,56 ± 0,07
Karbohidrat (by different) 1,63 ± 0,4
Komposisi kimia steak ikan patin pada penelitian Viji et al. (2012) adalah kadar air 77%, kadar protein 16,5%, kadar lemak 4% dan kadar abu 0,97%. Sedjati et al. (2007) menyatakan ikan memiliki kadar air yang tinggi. Kadar air merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan. Air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan media yang baik untuk mendukung pertumbuhan dan aktivtas mikroorganisme. Yanti et al. (2009) menyatakan bahwa kandungan air yang tinggi pada bahan pangan mengakibatkan proses perubahan protein secara mikrobiologis menghasilkan senyawa-senyawa nitrogen yang lebih sederhana dan merupakan substrat bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga mempercepat proses kemunduran mutu ikan.
Proses pengolahan fillet ikan patin menghasilkan daging fillet sebagai hasil utama dan bagian kepala, tulang ekor, kulit, daging belly flap (daging pada bagian perut), dan isi perut sebagai sisa ataupun limbah. Kadar lemak pada fillet ikan yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2,97%. Orban et al. (2008) menyatakankan bahwa fillet patin untuk pasar Uni Eropa kadar lemaknya harus berkisar antara 1,1-3%. Ikan patin memiliki kandungan lemak yang tinggi pada bagian isi perut, yaitu mencapai 35,32%. Hal ini dikarenakan ikan patin memiliki bagian lemak abdomen yang tersimpan di bagian isi perut sehingga menyumbang kadar lemak yang cukup tinggi untuk ikan patin (Hastarini et al. 2012).
Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin Skinless pada Penyimpanan Suhu Chilling
Organoleptik
Tahapan kemunduran mutu fillet skinless ikan patin ditentukan melalui pengamatan organoleptik. Pengamatan fillet ikan patin skinless dilakukan pada hari ke 0, 2, dan 5. Kenampakan fillet ikan pada penyimpanan awal masih berwarna sangat cemerlang dan menarik karena belum mengalami perubahan secara fisik, biokimia, maupun mikrobiologi. Lama perendaman dan konsentrasi kitosan berpengaruh terhadap kenampakan dari fillet ikan patin skinless. Hasil uji Kruskal Walis menunjukkan bahwa fillet ikan yang dilapisi kitosan 1 dan 2% pada penyimpanan hari ke 2 dan 5 memiliki nilai organoleptik yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p<0,05). Fillet ikan patin skinless
17
Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)
(a)
Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)
[image:35.612.118.491.85.769.2](b)
Gambar 4 Pengaruh lama perendaman (a) dan konsentrasi kitosan (b) terhadap kemunduran mutu kenampakan fillet ikan patin skinless
Hasil pengamatan organoleptik akan berkolerasi dengan pertumbuhan mikroorganisme dan juga analisis kimia dari fillet ikan patin skinless. Nilai organoleptik fillet ikan cenderung menurun untuk setiap perlakuan seiring dengan makin lamanya penyimpanan, namun kerusakan terjadi lebih lambat pada sampel yang dilapisi dengan kitosan dibandingkan sampel fillet ikan kontrol. Hal ini menandakan adanya penghambatan kemunduran mutu organoleptik kenampakan oleh larutan kitosan. Mohan et al. (2012) menyatakan kemunduran nilai kenampakan diakibatkan oleh proses kemunduran mutu fillet ikan yang terjadi akibat adanya aktivitas mikroorganisme, sehingga pigmen pada daging kehilangan kecerahan dan daging menjadi kusam. Kitosan memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat mengurangi jumlah mikroorganisme dan memperpanjang daya simpan fillet ikan (Ojagh et al. 2010). Edible coating kitosan bersifat sebagai pelindung sehingga dapat memperlambat kemunduran mutu kenampakan fillet.
a b b a a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
H0 H2 H5
N il a i Org a no le pt ik Kenam p ak an Hari ke Kontrol 1 Menit 3 Menit a a a a a a a b b a b b 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
H0 H2 H5
18
Krochta et al. (1994) menyatakan kitosan termasuk salah satu jenis polisakarida yang dapat bersifat sebagai penghalang yang baik antara lingkungan dan daging sehingga dapat meminimalkan kontaminasi, karena coating polimer kitosan dapat membentuk matriks yang kuat dan kompak. Mohan et al. (2012) menyatakan bahwa edible coating kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter sensori dari fillet ikan Sardinella longiceps. Fillet ikan Sardinella longiceps yang dilapisi dengan kitosan 2% mengalami penurunan nilai kenampakan yang lebih lambat dibandingkan fillet tanpa pelapisan kitosan. Hasil pengamatan organoleptik bau fillet skinless ikan patin disajikan pada Gambar 5.
Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)
(a)
Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)
[image:36.612.117.456.211.374.2](b)
Gambar 5 Pengaruh lama perendaman (a) dan konsentrasi kitosan (b) terhadap kemunduran mutu bau fillet ikan patin skinless
Fillet ikan segar memiliki bau yang sangat segar dan spesifik jenis sedangkan bau fillet ikan yang sudah busuk memiliki bau amoniak yang keras dan busuk (BSN 2006a). Lama perendaman dan konsentrasi kitosan berpengaruh pada
a b b a a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
H0 H2 H5
N il a i Organ ole p tik B a u Hari ke kontrol 1 menit 3 menit a b b a b b a a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
H0 H2 H5
19
bau dari fillet ikan patin skinless. Fillet ikan yang disimpan selama 2 hari mengalami penurunan nilai organoleptik bau (p<0,05) (Lampiran 7) pada fillet
kontrol dan fillet yang direndam dalam larutan asam asetat (konsentrasi kitosan 0%). Penurunan nilai bau fillet masih terus terjadi hingga penyimpanan selama 5 hari. Nilai bau terendah terdapat pada fillet dengan perlakuan kontrol (p<0,05) (Lampiran 8), sementara fillet yang dilapisi dengan kitosan 1 dan 2% memiliki bau yang tidak berbeda. Fillet ikan patin skinless kontrol memiliki nilai organoleptik bau terendah dan berbeda nyata dengan fillet yang direndam selama 1 dan 3 menit. Hal ini menandakan adanya penghambatan kemunduran mutu bau oleh larutan coating kitosan.
Bau busuk pada ikan disebabkan oleh kandungan asam lemak tidak jenuh yang mengalami proses oksidasi serta terbentuknya senyawa amonia, trimetilamin, dan senyawa-senyawa hasil metabolisme dari mikroorganisme (Ridwansyah 2002). Oksigen merupakan salah satu faktor kunci yang dapat menyebabkan oksidasi, sehingga terjadi perubahan bau, warna, dan rasa yang tidak diinginkan serta terjadinya penurunan nutrisi makanan. Edible coating dapat berperan sebagai penghalang oksigen yang baik sehingga dapat mempertahankan kualitas makanan (Elsabee dan Abdou 2013). Kitosan sebagai polimer karbohidrat memiliki sifat selektif permeabel terhadap gas, sehingga selektif dalam mengontrol difusi berbagai gas dan dapat memodifikasi atmosfer dengan menurunkan laju transpirasi. Edible coating kitosan yang diaplikasikan pada fillet
ikan dapat memperlambat perubahan biokimia pada makanan sehingga menghambat timbulnya bau yang tidak disukai panelis (Dutta et al. 2009).
Kitosan sebagai bahan aditif pada makanan memiliki aktivitas antioksidan karena berkaitan dengan sifat kitosan sebagai agen pengkelat. Kitosan bertindak sebagai antioksidan sekunder dengan berikatan dengan logam dan mencegah terjadinya oksidasi lipid (Rhazi et al. 2002) dan dapat bertindak sebagai antioksidan primer dengan mendonorkan elektron atau atom hidrogen kepada radikal bebas (Georgantelis et al. 2007). Hasil penelitian mengenai edible coating
kitosan yang dilakukan oleh Mohan et al. (2012) menunjukkan bahwa mutu bau
fillet ikan Sardinella longiceps yang dilapisi dengan kitosan dapat dipertahankan hingga 5 hari penyimpanan, sedangkan fillet tanpa coating hanya bertahan selama 3 hari penyimpanan.
Tekstur daging fillet ikan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran ikan. Fillet ikan patin pada penyimpanan awal memiliki tekstur elastis, padat, dan kompak, terlihat jika fillet ikan patin ditekan dengan jari, maka akan kembali seperti semula. Lama perendaman dan konsentrasi kitosan berpengaruh pada tekstur dari fillet ikan patin skinless. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa fillet ikan yang dilapisi kitosan 1 dan 2% pada penyimpanan hari ke 2 dan 5 memiliki nilai organoleptik tekstur yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p<0,05). Fillet ikan patin
skinless kontrol memiliki nilai organoleptik terendah dan berbeda nyata (p<0,05) dengan fillet yang direndam selama 1 dan 3 menit (Lampiran 9 dan 10). Hal ini menandakan adanya penghambatan kemunduran mutu tekstur fillet ikan patin
20
Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)
(a)
Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)
[image:38.612.92.465.74.556.2](b)
Gambar 6 Pengaruh lama perendaman (a) dan konsentrasi kitosan (b) terhadap kemunduran mutu tekstur fillet ikan patin skinless
Proses kemunduran mutu dapat menyebabkan tekstur daging ikan menjadi lunak karena adanya proses autolisis oleh enzim (Suptijah et al. 2008). Kitosan dapat berperan untuk mengimobilisasi enzim, sehingga pembusukan yang terjadi karena autolisis dapat dihambat (Hirano 1988). Penurunan nilai tekstur juga dapat disebabkan oleh kerusakan struktur jaringan daging ikan. Kerusakan jaringan ikan dapat menyebabkan daging kehilangan sifat kelunturannya dan kelihatan menjadi lunak. Kerusakan jaringan disebabkan oleh perubahan biokimia dan aktivitas mikroba (Renur 2014). Kitosan memiliki struktur khusus dengan kelompok amino reaktif sehingga kitosan menjadi senyawa bioaktif yang memperlihatkan fungsi antimikrobial (Kumar et al. 2004) dan dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroorganisme antara lain bakteri, jamur, dan ragi (Sagoo et al. 2002).
Ojagh et al. (2010) menyatakan bahwa fillet ikan trout (Oncorhynchus mykiss) yang dilapisi dengan kitosan 2% mampu bertahan hingga 16 hari pada penyimpanan suhu chilling (4ºC) sementara tanpa perlakuan coating kitosan
a b b a a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
H0 H2 H5
Ni lai Or ganol ep ti k T e k stu r Hari ke Kontrol 1 menit 3 menit a b b a b b a a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
H0 H2 H5
21
hanya bertahan selama 8 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian coating
kitosan dapat menambah umur simpan ikan. Penggunaan kitosan dapat menghambat kemunduran mutu ikan sehingga dapat mempertahankan tekstur daging selama penyimpanan.
Perubahan nilai organoleptik fillet ikan sangat berkaitan dengan tingkat kesegaran ikan tersebut (Viji et al. 2014). Nilai organoleptik untuk ikan segar adalah 7-9 (BSN 2006), oleh karena itu fillet ikan patin pada penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-2 tergolong ikan segar untuk semua perlakuan. Nilai organoleptik 5 merupakan ambang batas dari kesegaran ikan, sehingga fillet ikan dengan perlakuan kontrol dan kitosan 0% tergolong tidak segar pada penyimpanan hari ke-5. Fillet ikan yang dilapisi kitosan 1 dan 2% masih memiliki nilai organoleptik 5,5-7 pada penyimpanan hari ke-5.
Fillet ikan dengan perendaman antara 1 dan 3 menit dalam larutan kitosan 1 dan 2% menghasilkan nilai tidak berbeda. Kurnianingrum (2008) mengatakan bahwa perlakuan perendaman udang dengan menggunakan kitosan selama 3 menit memiliki nilai organoleptik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perendaman dengan waktu yang lebih lama. Hal ini diduga karena asam pada larutan kitosan memiliki efek yang dapat mengubah penampakan produk, sehinggadapat menurunkan nilai organoleptik.
Mohan et al. (2012) menyatakan nilai organoleptik ikan Sardinella longiceps yang dilapisi larutan kitosan mengalami nilai yang cenderung menurun sering dengan lamanya penyimpanan. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa ikan yang dilapisi kitosan 1 dan 2% memiliki nilai organoleptik kenampakan, warna, dan bau yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol. Deskripsi hasil organoleptik fillet ikan patin skinless dengan pelapisan kitosan dengan konsentrasi 1 dan 2% dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Deskripsi hasil organoleptik kemunduran mutu fillet ikan patin skinless
Kenampakan Bau Tekstur
Hari ke-0
Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi, menarik dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun
linea lateralis berwarna merah cerah dan tidak terbelah. Bau sangat segar, spesifik jenis Elastis, padat dan kompak Hari ke-2
Daging berwarna putih, kurang cemerlang, bersih, rapi dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun
linea lateralis berwarna merah dan tidak terbelah. Bau segar, spesifik jenis Cukup elastis dan agak Lunak Hari ke-5
Daging putih agak kehijauan, kurang cemerlang dan garis yang terbentuk dari
tulang belakang maupun linea lateralis
merah kecoklatan dan sedikit terbelah.
Bau kurang segar, sedikit bau amoniak
Kurang elastis dan lunak
Derajat Keasaman (pH)
Pengujian pH dilakukan untuk mengetahui penurunan atau peningkatan pH pada fillet ikan selama proses penyimpanan. Penentuan nilai pH merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran ikan. Perubahan nilai pH fillet
22
Tabel 6 Perubahan nilai pH fillet ikan patin skinless
Nilai pH pada penyimpanan hari ke
Perlakuan 0 2 5
Kontrol 6,38 ± 0,02a 6,24 ± 0,21a 6,68 ± 0,11bc
Kitosan 0% 1 Menit 6,44 ± 0,02a 6,24 ± 0,00a 6,53 ± 0,00a
Kitosan 0% 3 Menit 6,43 ± 0,16a 6,13 ± 0,11a 6,87 ± 0,01a
Kitosan 1% 1 Menit 6,55 ± 0,09a 6,39 ± 0,16a 6,86 ± 0,01a
Kitosan 1% 3 Menit 6,51 ± 0,10a 6,46 ± 0,08a 6,74 ± 0,02ab
Kitosan 2% 1 Menit 6,55 ± 0,00a 6,47 ± 0,01a 6,59 ± 0,06bc
Kitosan 2% 3 Menit 6,49 ± 0,11a 6,36 ± 0,04a 6,49 ± 0,01d
Keterangan: Angka yang disertai huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)
Nilai pH fillet ikan cenderung menurun pada penyimpanan hari ke-2, namun meningkat pada penyimpanan hari ke-5. Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa pH fillet ikan pada awal penyimpanan dan setelah penyimpanan dua hari memiliki nilai yang tidak berbeda (p>0,05) (Lampiran 11 dan 12). Hal ini disebabkan oleh cara pematian ikan patin yang sama sehingga kadar glikogen awal pada daging fillet ikan tidak berbeda. Nilai pH setelah ikan mati umumnya mendekati netral, yaitu sekitar 6,8 hingga netral (Eskin 1990).
Nilai pH ikan pada penyimpanan hari ke-2 mengalami penurunan. Kadar glikogen awal yang tidak berbeda menyebabkan penurunan pH pada hari kedua tidak berbeda (p>0,05). Proses glikolisis tetap berlangsung setelah ikan mati, karena enzim-enzim dalam ikan masih aktif. Oleh karena tidak ada lagi pasokan oksigen, maka tidak lagi terjadi pembentukan glikogen melainkan justru terjadi pembongkaran glikogen yang merupakan sumber energi menjadi asam laktat dalam kondisi anaerob, sehingga terjadi penumpukan asam laktat dalam daging ikan. Arannilewa et al. (2005) menyatakan adanya penumpukan asam laktat akan menyebabkan pH ikan menjadi turun.
Fillet ikan yang disimpan selama 5 hari mengalami peningkatan nilai pH. Lama perendaman, konsentrasi kitosan dan interaksi antara lama perendaman dan konsentrasi kitosan mempengaruhi nilai pH dari fillet ikan patin skinless pada penyimpanan hari ke-5. Berdasarkan analisis ragam, diketahui bahwa nilai pH
fillet ikan mengalami peningkatan nilai terkecil pada fillet ikan yang dilapisi dengan kitosan 2% selama 3 menit (p<0,05) (Lampiran 13). Peningkatan nilai pH pada fillet ikan mengindikasikan telah terjadi penurunan mutu pada fillet ikan. Waktu penyimpanan yang semakin lama akan cenderung meningkatkan nilai pH karena adanya produksi senyawa-senyawa basa volatil akibat aktivitas bakteri (Arannilewa et al. 2005) dan dapat juga disebabkan oleh proses autolisis yang mengakibatkan terjadinya penguraian protein pada daging ikan oleh enzim menjadi senyawa-senyawa yang sederhana (Li et al. 2013). Buckle et al. (2010) menyatakan bahwa beberapa mikroorganisme dapat memecah senyawa sumber energi bagi kehidupan, biasanya senyawa organik, misalnya protein, lemak, gula, atau senyawa anorganik yang secara ilmiah ada dalam bahan pangan.
Hasil penelitian Mohan et al. (2012) menunjukkan bahwa nilai pH fillet
23
target mikroba yang luas (Aider 2010) dan dapat berperan untuk mengimobilisasi enzim (Hirano 1988), sehingga proses kemunduran mutu yang terjadi karena aktivitas mikroba dan autolisis dapat dihambat.
Mikrobiologi
Aktivitas mikroba menjadi penyebab utama untuk pembusukan pada bahan pangan segar, terutama seafood. Hal ini menyebabkan perhitungan jumlah total mikroorganisme dalam bahan pangan menjadi standar wajib (Li et al. 2013). Salah satu metode untuk menentukan jumlah mikroorganisme pada ikan adalah dengan analisis TPC. Hasil analisis TPC fillet ikan patin skinless dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Perubahan nilai TPC fillet ikan patin skinless
Perlakuan Nilai TPC (log CFU/g) pada penyimpanan hari ke
0 2 5
Kontrol 3,53 ± 0,29a 6,79 ± 0,08a 8,05 ± 0,14a
Kitosan 0% 1 Menit 3,78 ± 0,47a 5,33 ± 0,07a 8,15 ± 0,00a
Kitosan 0% 3 Menit 2,94 ± 0,19ab 4,78 ± 0,13a 7,99 ± 0,01a
Kitosan 1% 1 Menit 3,34 ± 0,37a 4,96 ± 0,17a 7,91 ± 0,12a
Kitosan 1% 3 Menit 2,93 ± 0,10ab 5,33 ± 0,50a 7,37 ± 0,09b
Kitosan 2% 1 Menit 2,65 ± 0,04ab 4,74 ± 0,09a 7,24 ± 0,02bc
Kitosan 2% 3 Menit 2,53 ± 0,02b 3,86 ± 1,16a 7,03 ± 0,07c
Kterangan: Angka yang disertai huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)
Lama perendaman berpengaruh terhadap nilai TPC dari fillet ikan patin
skinless pada penyimpanan hari ke-2. Konsentrasi kitosan, lama perendaman, dan interaksi antara konsentrasi kitosan dan lama perendaman mempengaruhi nilai TPC pada penyimpanan hari ke-5. Hasil tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah bakteri seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan
fillet ikan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai log TPC terkecil fillet
ikan pada awal penyimpanan terdapat pada fillet yangdilapisidengan kitosan 2% dan direndam selama 3 menit (p<0,05). Nilai log TPC fillet ikan patin skinless
mengalami peningkatan pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-5. Berdasarkan analisis ragam, nilai log TPC fillet ikan mengalami peningkatan tertinggi pada perlakuan fillet kontrol, sementara nilai log TPC fillet ikan yang dilapisi dengan kitosan 2% dan direndam selama 3 menit mengalami peningkatan terkecil (p<0,05) (Lampiran 15 dan 16).
Fillet ikan yang yang direndam dalam larutan asam asetat (konsentrasi kitosan 0%) memiliki jumlah log TPC yang lebih kecil dibandingkan fillet
kontrol. Larutan asam asetat memiliki pH yang rendah. Nilai pH mempengaruhi jumlah bakteri karena pada ikan terdapat bakteri yang sifatnya tidak tahan asam. Volk dan Wheeler (1998) menyatakan larutan asam menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi inaktivasi enzim bakteri, sistem metabolisme bakteri terganggu dan akhirnya tidak ada aktivitas sel mikroba.
24
mikroorganisme yang luas dan penggunaan coating kitosan dapat mempertahankan kesegaran mutu ikan (Ojagh et al. 2010). Mekanisme antimikroba dari kitosan belum diketahui secara tepat (Dutta et al. 2009) tetapi melalui pengamatan TEM (Trasnmission Electron Microphotograph), diketahui bahwa adanya interaksi antara kitosan dengan membran sel, yaitu kitosan merupakan polikation yang dapat berikatan dengan muatan negatif dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga mempengaruhi permeabilitas membran sel dan mengakibatkan terjadinya kebocoran bahan-bahan intraseluler yakni enzim, protein, materi genetik, dan lain-lain (Goy et al. 2009). Aktivitas antibakteri kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi, konsentrasi kitosan dalam larutan, dan pH medium (Liu et al. 2001).
Kitosan pada konsentrasi yang rendah (0,2 mg/mL), memiliki sifat polikation yang dapat mengikat muatan-muatan negatif pada permukaan bakteri hingga menyebabkan aglutinasi (Dutta el at. 2009). Mohan et al. (2012) menyatakan bahwa kitosan dengan konsentrasi 2% memiliki efektivitas yang baik sebagai antimikroba. Konsetrasi yang tepat dibutuhkan dalam pembuatan edible coating, karena semakin tinggi konsentrasi kitosan yang digunakan, maka viskositas larutan coating juga akan semakin tinggi. Hal ini dapat menyebabkan penetrasi larutan coating kedalam tubuh ikan menjadi semakin sulit, sehingga efektivitasnya segabai antimikroba dapat menurun (Renur 2014). Lama perendaman juga akan mempengaruhi mutu fillet ikan patin. Kemampuan kitosan dalam mereduksi bakteri (Pseudomonas) juga meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi kitosan dan lama perendaman (Kurnianingrum 2008).
Jumlah TPC berdasarkan standar mutu untuk ikan segar adalah sebesar 5,0x105 koloni/gram atau 5,7 log CFU/gram (BSN 2006c). Fillet ikan patin
skinless dengan perlakuan kontrol sudah tidak memenuhi standar mutu SNI pada penyimpanan hari ke-2 karena memiliki nilai TPC diatas standar mutu SNI. Fillet
ikan yang dilapisi dengan kitosan 2% masih memenuhi persyaratan SNI pada penyimpanan hari ke-2.
Total Volatile Base (TVB)
Kemunduran mutu dari produk perikanan disebabkan oleh proses autolisis oleh enzim dan aktivitas bakteri pembusuk yang menguraikan protein menjadi senyawa-senyawa volatil. Total Volatile Base merupakan salah satu indikator utama dalam menentukan tingkat kesegaran ikan. Perubahan nilai TVB pada fillet
ikan patin skinless dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Perubahan nilai TVB fillet ikan patin skinless
Perlakuan Nilai TVB (mg N/100 g) pada penyimpanan hari ke
0 2 5
Kontrol 17,37 ± 3,54a 20,56 ± 0,06a 35,33 ± 1,61a
Kitosan 0% 1 Menit 10,42 ± 0,72a 18,22 ± 2,09ab 29,54 ± 1,39b
Kitosan 0% 3 Menit 13,89 ± 0,01a 16,69 ± 0,01bc 22,04 ± 0,64c
Kitosan 1% 1 Menit 10,41 ± 0,70a 14,75 ± 0,02cd 19,61 ± 1,40cd
Kitosan 1% 3 Menit 8,44 ± 0,69a 11,80 ± 1,44de 16,73 ± 1,35de
Kitosan 2% 1 Menit 9,43 ± 2,12a 12,79 ± 2,82de 16,29 ± 2,21de
Kitosan 2% 3 Menit 5,46 ± 0,69a 9,80 ± 1,41e 14,83 ± 1,52e
25
Konsentrasi kitosan, lama perendaman, dan interaksi antara konsentrasi kitosan dan lama perendaman mempengaruhi nilai TVB yang dihasilkan. Edible coating kitosan mampu melindungi produk dari terbentuknya basa volatil yang tidak diinginkan. Hal ini terbukti dari perlakuan kontrol (tanpa penambahan edible coating) memiliki nilai TVB yang paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p<0,05) (Lampiran 17, 18, dan 19) sementara nilai TVB terendah terdapat pada fillet yang dilapisi dengan kitosan 2% dan direndam selama 3 menit. Nilai TVB 30 mgN/100g merupakan batas aman produk ikan segar dapat diterima oleh konsumen (Connell 1995) sehingga fillet ikan patin dengan perlakuan kontrol sudah tidak dapat diterima oleh konsumen pada penyimpanan hari ke-5. Hal ini sesuai dengan penelitian Mohan et al. (2012), yaitu nilai TVB dari ikan Sardinella longiceps pada penyimpanan hari ke-5 dengan perlakuan tanpa kitosan memiliki nilai TVB 34,63 mgN/100g dan merupakan nilai TVB tertinggi, sedangkan nilai TVB terendah terdapat pada ikan yang dilapisikitosan 2% dengan nilai TVB 22,32 mgN/100g.
Hal ini menandakan bahwa edible coating kitosan dapat menjadi pelindung dan menghambat kemunduran mutu TVB fillet ikan dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Viji et al. (2014) menyatakan TVB terbentuk dari dekomposisi protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (amonia, trimetilamin, kreatin, basa purin, dan asam amino bebas). Chamidah et al. (2002) menyatakan bahwa nilai TVB mengalami peningkatan selama penyimpanan disebabkan penguraian senyawa makromolekul kompleks menjadi senyawa lebih sederhana yang mudah menguap. Peningkatan kadar TVB selama penyimpanan seiring dengan peningkatan jumlah mikroba. Aktivitas mikroba akan memecah protein dan senyawa yang mengandung nitrogen untuk pertumbuhannya. Yasni et al. (2004) menyatakan jumlah mikroba yang semakin meningkat mengakibatkan semakin banyak senyawa volatil bernitrogen yang terbentuk dan terukur sebagai volatil base. Nilai TVB merupakan indeks kerusakan atau penurunan mutu ikan akibat degradasi komponen protein. Proses perubahan protein baik secara autolisis (enzimatis) maupun mikrobiologis ak