• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanggulangan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penanggulangan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS LUBUK PAKAM

KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Oleh

DINI LESTRINA

077033008/IKM

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Dini Lestrina : Penanggulangan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang, 2009

(2)

PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS LUBUK PAKAM

KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kekhususan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DINI LESTRINA

077033008/IKM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LUBUK PAKAM KABUPATEN DELI SERDANG

Nama Mahasiswa : Dini Lestrina Nomor Pokok : 077033008

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kekhususan : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Fikarwin Zuska) Ketua

(Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes) Anggota

Ketua Program Studi,

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada Tanggal: 1 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska

Anggota : 1. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS LUBUK PAKAM

KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

.

Medan, Juni 2009

(6)

ABSTRAK

Masalah gizi kurang dan gizi buruk sampai saat ini masih menjadi masalah yang belum dapat ditanggulangi. Status gizi buruk yang menimpa balita memberikan pengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan, terutama perkembangan otak, sehingga tingkat kecerdasan balita gizi buruk lebih rendah dari balita yang tidak mengalami gizi buruk.

Penelitian ini dilakukan dalam bentuk penelitian kualitatif, pada balita gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Pakam. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab balita mengalami gizi buruk dan penanggulangan yang diterimanya. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara mendalam. Penelitian dilakukan selama Januari-Maret 2009, dengan subjek penelitian 5 balita dan seorang bayi. Informan penelitian ini adalah ibu balita dan orang-orang terdekat yang turut serta membantu dalam pengasuhan balita tersebut. Penganalisisan data dilakukan dengan tehnik “on going analysis’.

Hasil penelitian menunjukkan penyebab langsung gizi buruk adalah kurangnya asupan makanan, yang disebabkan kuantitas dan kualitas makanan yang kurang. Pemberian makanan yang disambil, ibu pekerja, ketersediaan makanan yang kurang dan persaingan, menjadi faktor penting penyebab gizi buruk. Faktor penyebab lainnya adalah kecacingan dan rendahnya status kesehatan balita, karena BBLR dan kurang memperoleh ASI. Langkah penanggulangan yang dilakukan pada tingkat keluarga tidak maksimal sama sekali, begitu juga yang dilakukan pemerintah dengan program PMT-P. Pendistribusian dan pemberian PMT-P mengalami perubahan pada tingkat lapangan, sehingga tidak cukup efektif untuk menanggulangi permasalahan yang ada.

Untuk dapat mengatasi persoalan ini, perlu dilakukan pemberdayaan pada perempuan, sehingga memampukan kaum perempuan untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Sedangkan langkah penanggulangan yang dilakukan oleh pemerintah haruslah secara lintas sektoral.

Kata Kunci: Balita Gizi Buruk, Penyebab, Penanggulangan, PMT-P, Pemberdayaan.

(7)

ABSTRACT

Malnutrition problem have not been solved till today. In some region, malnutrition cases emerge and become hot news. Malnutrition cases on pre-school child have influenced for their growth and development, especially on their brain that cause their inteligency is lower than those whose not suppered.

This research is conducted by using qualitative method, pre-school child whose suppered from malnutrition in Lubuk Pakam Public Health Centre (Puskesmas) region. The aim of this research is to know causes of malnutrition case on pre-school child and treatment given to them. Data collection technic using with observation and indepth interview. This research is doing during January-March 2009, with the subject five children pre-school child and one infant. Information of these research are mother of the suppering and those who are closed to help in carring them. Analising data using ‘on going analysis technic’.

The result of research show that many factor causes malnutrition problem on pre-school child. Direct factor is less of food intake, caused by food quantity and quality which is low. Giving food in regular time, working mother, less of food quantity and competition on food, are supporting factors that causes of malnutrition. Other factors are worm disease and low health condition of the pre-school child, as their born weight is small and less lacth of mother lactation. Treatment of effort on family level is not maximize et all, same with what the government do by giving additional consumption food for recovery. Additional food distribution and allocation of additional consumption food for recovery is deteriodit on the field level, as it is not able to over come the problem effectively.

To solve the problem need empowerment program for woman, as they will be capable to provide the best for her family. While over coming steps of the problem by the government must be involve all sectoral across.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini, dengan judul “Penanggulangan Gizi Buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang”.

Dalam proses penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM., selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku Dosen Pembanding yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran-saran perbaikan bagi tesis ini.

3. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan sabar serta tulus membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Ibu Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan tulus dan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 5. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK., selaku pembanding yang telah meluangkan

(9)

6. Bapak dr. Masdulhag, SpOG (K), selaku Kepala Dinas Kesehatan Deli Serdang yang telah memberikan izin dalam pelaksanaan penelitian.

7. dr. Grace Simanjuntak, selaku Kepala Puskesmas Lubuk Pakam, beserta stafnya, yang telah memberikan izin dan keleluasaan bagi penulis dalam melakukan pengumpulan data.

8. Semua informan dalam penelitian ini, yang begitu terbuka dalam menerima kehadiran penulis, dan memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.

9. Ibu Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes, selaku Direktur Politeknik Kesehatan Medan yang telah memberikan izin dan dukungan dana bagi penulis selama mengikuti pendidikan.

10. Ibu Dra. Ida Nurhayati, M.Kes, selaku Ketua Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Medan, yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

11. Suami tercinta Bahtera Barus, SKM dan anak-anakku terkasih Pedro Ozora Barus, Yudhistira Nugraha Barus, Jose Manuel Barus dan Kenzo Oliver Barus, yang senantiasa memberi perhatian, semangat dan doa selama penulis dalam masa pendidikan.

12. Kedua orang tuaku serta Bapak dan Ibu mertua, yang senantiasa memberi semangat dan dukungan serta doa kepada penulis.

(10)

14. Teman-teman seangkatan di peminatan Ilmu Kesehatan Masyarakat, yang selalu memberikan saat-saat berbagi cerita dan penuh tawa.

Penulis menyadari bahwa dalam melakukan penulisan tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran-saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga semua ini bermanfaat bagi kita.

Medan, Juni 2009 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS

1. Nama : Dini Lestrina 2. Jenis Kelamin : Perempuan 3. Agama : Kristen Protestan

4. Tempat/Tgl lahir : Lubuk Pakam/22 Mei 1970

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Negeri No. 101899 Lubuk Pakam tahun 1976 - 1982 2. SMP Negeri 1 Lubuk Pakam tahun 1982 - 1985 3. SMA Negeri Lubuk Pakam tahun 1985 - 1988

4. Akademi Gizi Padang tahun 1988 - 1991

5. Jurusan Gizi Klinik Univ. Brawijaya Malang tahun 1997 - 1998 6. Program Magister Promosi Kesehatan dan

Ilmu Perilaku Sekolah Pascasarjana USU tahun 2007 - 2009

C. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Tenaga Pengajar pada Akademi Gizi

Dep.Kes.RI. Lubuk Pakam tahun 1992 – 1999 2. Dosen pada Jurusan Gizi Politeknik

(12)

DAFTAR ISI 2.2.Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk pada Balita... 2.2.1. Anak Tidak Cukup Mendapat Makanan Bergizi Seimbang... 2.2.2. Infeksi pada Balita... 2.3.Penanggulangan Gizi Buruk... 2.3.1. Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)... 2.3.2. Program Pemberian Makanan... 2.3.3. Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)... 2.4.Pemberdayaan Keluarga dan Masyarakat... 2.5.Kerangka Pikir... 3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian...

(13)

3.3.Pemilihan Informan... 3.4.Metode Pengumpulan Data... 3.5.Metode Pengolahan dan Analisis Data...

30 31 36 BAB 4 GAMBARAN UMUM... 38 4.1.Kecamatan Lubuk Pakam...

4.1.1. Letak dan Geografis... BAB 5 PENYEBAB BALITA MENGALAMI GIZI BURUK... 50 5.1.Kurangnya Asupan Zat Gizi...

5.1.1. Makanan yang Diberi ’Disambil’... 5.1.2. Ibu Pekerja di Luar Rumah... 5.1.3. Ketersediaan Makanan yang Kurang... 5.1.4. Persaingan... 5.1.5. Kemiskinan... 5.2.Kecacingan... 5.3.Rendahnya Status Kesehatan Balita... 5.3.1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)... 5.3.2. Kurangnya Pemberian ASI... 6.1.Penanggulangan Tingkat Keluarga Balita...

6.2.Penanggulangan Tingkat Pemerintah... 6.2.1. Pendistribusian PMT-P... 6.2.2. Pemberian PMT-P ke Balita... 6.3.Pemberdayaan Ibu (Perempuan)...

(14)

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN... 93 7.1.Kesimpulan...

7.1.1. Penyebab Gizi Buruk... 7.1.2. Penanggulangan Gizi Buruk... 7.2.Saran...

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Klasifikasi Status Gizi (BB/U) Menurut Dep.Kes.RI (2002)...9 2.2 Klasifikasi Status Gizi (BB/TB) Menurut Dep.Kes.RI (2002)...9 4.1 Luas Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Per Km2 di Kecamatan Lubuk Pakam...39 4.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian pada Wilayah

Kecamatan Lubuk Pakam...40 4.3 Karakteristik Balita Penderita Gizi Buruk...41 5.1 Persentase Asupan Zat Gizi Balita Gizi Buruk di Wilayah Kerja

Puskesmas Lubuk Pakam Tahun 2009...51 6.1 Persentase Asupan Gabungan Dibandingkan Kebutuhan Energi dan

Protein Balita Gizi Buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Prevalensi Gizi Kurang dan Gizi Buruk di Indonesia Tahun 1989- 2007...2 2.1 Penyebab Kurang Gizi...15 2.2 Kerangka Pikir...27 6.1 Perbandingan Persentase Asupan Energi (E) dan Protein (P) Balita

Gizi Buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Pakam...86 7.1 Penyebab Gizi Buruk Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Lubuk Pakam...94 7.2 Penanggulangan Gizi Buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Baku Rujukan Penentuan Status Gizi (BB/U)...104

2 Baku Rujukan Penentuan Status Gizi (BB/TB)...108

3 Perhitungan Kebutuhan Zat Gizi Balita Gizi Buruk...111

4 Perbandingan Persentase Asupan dengan Kebutuhan Zat Gizi Balita Gizi Buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Pakam...114

5 Rata-Rata Asupan Zat Gizi Balita Gizi Buruk Perhari...115

6 Kebutuhan Zat Gizi Anak Gizi Buruk Menurut Fase Pemberian Makanan...121

7 Terapi Gizi Pada Fase Tindak Lanjut...122

8 Hasil Uji Berat Badan Balita (T-test)...123

9 Surat Izin Penelitian...124

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tesis ini mengkaji penyebab-penyebab gizi buruk dan bagaimana gizi buruk tersebut ditanggulangi, baik penanggulangan yang dilakukan oleh pihak keluarga balita yang terkena gizi buruk, juga oleh Pemerintah (dalam hal ini adalah program penanggulangan gizi buruk yang diluncurkan oleh Departemen Kesehatan). Pengkajian dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu ‘sebab-sebab dekat’ sehingga seorang balita menjadi penderita gizi buruk. Dengan diketahuinya tentang ‘sebab-sebab dekat’ ini akan memudahkan untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya, dengan demikian akan dapat dibuat suatu langkah penanggulangan yang tepat.

(19)

6,3 7,2

17,1 19,8 19,3 19,2 14,8

13

1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2005 2007 Gizi Kurang Gizi Buruk

Sumber: Susenas 1989-2003; Susenas 2005; dan Riskesda, 2007

Gambar 1.1. Prevalensi Gizi Kurang dan Gizi Buruk di Indonesia Tahun 1989-2007 Sementara itu, untuk Provinsi Sumatera Utara, kasus gizi buruk tahun 2000 sebesar 9,16%, tahun 2003 sebesar 12,30%, tahun 2005 sebesar 8,82% dan tahun 2006 sebesar 7,80% (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2007: 50). Angka ini juga menunjukkan naik turunnya prevalensi gizi buruk, belum lagi angka gizi kurang yang cukup besar dan jika tidak ditangani sewaktu-waktu dapat menjadi gizi buruk.

(20)

orang warga meninggal dunia termasuk beberapa balita penderita gizi buruk. Peristiwa ini menyingkapkan sejumlah persoalan yang belum dapat diatasi oleh pemerintah, termasuk persoalan dalam memberikan bantuan yang tidak disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut (Kompas, 12 Desember 2005).

Seperti kasus di atas, penanggulangan gizi buruk yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum dapat menuntaskan kasus-kasus gizi buruk yang ada. Ada banyak program yang telah diluncurkan untuk mengantisipasi agar balita tidak menjadi gizi buruk atau terangkat dari status gizi buruknya. Posyandu, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), Keluarga Sadar Gizi, adalah beberapa contoh program penanggulangan gizi buruk melalui Departemen Kesehatan.

Alasan lain mengapa kajian ini dilaksanakan, adalah karena fakta bahwa proses seorang balita mengalami gizi buruk bukanlah suatu proses yang singkat, tetapi melalui proses yang panjang dan waktu yang lama, ini berarti ada banyak sebab yang melingkupi balita tersebut sampai akhirnya menjadi penderita gizi buruk. Kemudian efek samping yang diderita balita dari kejadian gizi buruk yang dialaminya, memberikan suatu gambaran generasi masa depan bangsa. Gizi buruk banyak terjadi pada periode emas perkembangan otak yaitu usia 0-2 tahun, sehingga menyebabkan ‘otak kosong’1 pada balita tersebut. Semua ini dapat menimbulkan

1

(21)

‘lost generation’2. Nency (2005: 5) mengatakan bahwa otak merupakan suatu aset yang vital bagi anak untuk dapat menjadi manusia yang berkualitas di kemudian hari. Sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan Arnelia (1995: 1), Intellegent Quetiont (IQ) anak usia 6-9 tahun yang pernah mengalami gizi buruk ternyata lebih rendah

13,7 poin dibandingkan anak usia 6-9 tahun yang tidak pernah mengalami gizi buruk. Lepas dari dampak buruk balita gizi buruk, maka kemiskinan selalu didengung-dengungkan sebagai akar permasalahan dari gizi buruk. Menurut Soekirman (2005: 1), faktor kemiskinan dan pendidikan orang tua yang rendah serta kurangnya pengetahuan soal gizi dan kesehatan, merupakan penyebab utama tingginya angka penderita gizi buruk.

Namun pendapat ini dibantah oleh penelitian yang mengungkapkan adanya penyimpangan positif (positive deviance) yang dilakukan oleh Jus’at, dkk (2000: 145-156) di DKI Jakarta dan Kabupaten Bogor. Penelitian ini memberikan hasil bahwa status ekonomi keluarga-keluarga yang relatif sama, belum tentu memiliki balita dengan status gizi yang sama juga.

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang (salah satu kabupaten di Sumatera Utara). Kasus gizi buruk untuk Deli Serdang pada tahun 2005 sebesar 88 kasus, tahun 2006 sebesar 32 kasus (Profil Kesehatan Deli Serdang, 2007: 46), dan pada tahun 2007 menurun dengan cepat di mana dilaporkan hanya ada 3 kasus gizi buruk (Profil Kesehatan Deli

2

(22)

Serdang, 2008). Dari laporan yang sama juga diketahui bahwa ada sebesar 3060 orang balita yang BGM3, dan tahun 2008, Puskesmas Lubuk Pakam mendapat alokasi PMT-P untuk 12 orang balita penderita gizi buruk. Kasus-kasus gizi buruk ini tidak akan terungkap ke permukaan, selama balita penderita gizi buruk itu belum dirawat

di rumah sakit, atau orang tua balita tidak melaporkannya ke petugas kesehatan emp

an dilakukan agar dapat elepaskan predikat gizi buruk pada diri balita tersebut.

1.2.

nggulangan yang dilakukan selama ini agar status gizi balita berubah menjadi baik.

set at.

Dengan berbagai alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, maka dilakukan penelitian ini untuk dapat mengangkat penyebab-penyebab balita menderita gizi buruk dan bagaimana penanggulang

m

Permasalahan

Pengkajian dalam penelitian ini adalah penyebab balita mengalami gizi buruk dan cara penanggulangan yang dilakukan untuk mengatasi status gizi buruk yang disandang balita tersebut, baik oleh keluarga balita maupun pemerintah. Pertanyaannya; (1) apakah penyebab dasar sehingga balita mengalami gizi buruk; (2) bagaimanakah pena

3

(23)

1.3.

hui penanggulangan gizi buruk yang dilakuk

a sebuah rekomendasi yang sederhana, yang dimengerti dan dipahami oleh sasaran.

apat masukan evaluasi

tepat sebagai upaya

n gizi buruk, yang tidak hanya tepat sasaran tetapi juga tepat tujuannya.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk menjawab pertanyaan yang ada dalam permasalahan, yaitu; (1) untuk menemukan penyebab dasar sehingga balita mengalami gizi buruk; dan (2) untuk mengeta

an oleh keluarga balita dan pemerintah.

Diketahuinya rangkaian proses penyebab balita mengalami gizi buruk ini akan menuntun kita pada suatu langkah penanggulangan yang lebih ‘mengena’. Langkah penanggulangan mungkin dapat berup

1.4. Manfaat Penelitian

a. Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang mend keberhasilan program penanggulangan gizi buruk.

b. Bahan pertimbangan bagi petugas gizi dan petugas kesehatan lainnya, berkaitan dengan metode promosi yang

penanggulangan gizi buruk di wilayah kerjanya.

(24)
(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gizi Buruk

Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan energi dan pro

acam keadaan patologis pada derajat yang

P ini terdapat gangguan pertumbuhan i samping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang khas bagi tipe penyakitnya.

tein menahun pada balita. Penyakit Kurang Energi Protein (KEP) atau Protein Energy Malnutrition (PEM) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang

banyak mengenai anak-anak di bawah lima tahun (balita).

Penyakit ini banyak diselidiki di Afrika karena di negara tersebut ditemukan anak dengan rambut merah. Nama lokal yang diberikan yaitu kwashiorkor yang berarti penyakit rambut merah. Di tempat tersebut masyarakat menganggap kwashiorkor sebagai kondisi yang biasa terdapat pada anak kecil yang sudah

mendapat adik lagi, karena perhatian orang tua telah beralih ke adik baru (Sediaoetama, 2004: 47).

KEP menyebabkan berbagai m

sangat ringan sampai berat (Pudjiadi, 1990: 95). Pada keadaan yang sangat ringan tidak ditemukan kelainan biokimiawi maupun gejala klinisnya, hanya terdapat pertumbuhan yang kurang. Pada keadaan yang berat ditemukan 3 tipe yaitu kwashiorkor, marasmus, dan kwashiorkor-marasmik, masing-masing dengan gejala

(26)

adalah

hepatome embesaran he n perut.

Namun nis dari KEP be rajat dan lamanya

deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya.

Sementara gejala klinis untuk KEP, masih menurut Pudjiadi (1990: 109-121) pada tingkat kwashiorkor adalah anak terlihat gemuk, ditemukan edema pada beberapa bagian tubuh yang diiringi asites, anak apatis, adanya atrofi otot sehingga anak tampak lemah dan berbaring terus-menerus, rambut mudah dicabut dan mengalami pembesaran hati. Gejala klinis pada KEP tingkat marasmus yaitu wajah anak tampak seperti wajah orang tua, anak terlihat sangat kurus, kulit biasanya mengering, dingin dan mengendor serta turgor kulit mengurang. Penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi. Pada kwashiorkor marasmik kondisi penderita memperlihatkan gejala campuran yaitu adanya edema, kelainan rambut, kelainan kulit dan kelainan biokimiawi.

status gizi rlukan klasifikasi menurut

derajat ikasi yang d kan dengan SK

gizi

at pada Tabel 2.1:

Salah satu ciri dari gizi buruk, menurut Pudjiadi (1990: 107) gali, yaitu p par yang terlihat sebagai pembuncita gejala kli rbeda-beda tergantung dari de

Untuk menentukan balita, maka dipe

beratnya KEP. Klasif ibuat oleh Dep.Kes.RI (disah

(27)

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi (BB/U) Menurut Dep.Kes.RI (2002)

Status Gizi Berat Badan Menurut Umur (BB/U)*) Gizi Lebih Z-Score : >+2 SD

Gizi Baik Z-Score : ≥-2 SD s/d +2 SD Gizi Kurang Z-Score : <-2 SD s/d ≥ - 3 SD Gizi Buruk Z-Score : <-3 SD

*) Daftar Baku Rujukan Penilaian Status Gizi (BB/U) dapat dilihat pada Lampiran 1.

Sehubungan dengan semakin maraknya pemberitaan kasus gizi buruk di media massa, serta untuk menyamakan persepsi dan upaya penanggulangannya, maka Menteri Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan kembali SK No. 347/Menkes/IV/2008 tentang Penanggulangan Gizi Buruk dengan menetapkan Baku Rujukan Penilaian Status Gizi menurut Berat Badan dan Tinggi Badan (BB/TB). Penetapan indeks BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif/peka jika dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan BB/U, BB/TB dapat membedakan proporsi badan apakah gemuk, normal, dan kurus (Atmarita, 2004: 9). Adapun penentuan status gizi berdasarkan BB/TB dapat dilihat pada Tabel 2.2:

Tabel 2.2. Klasifikasi Status Gizi (BB/TB) Menurut Dep.Kes.RI (2002)

Status Gizi Berat Badan Menurut Tinggi Badan BB/TB*) Gemuk (Gizi Lebih) Z-Score : >2 SD

Normal (Gizi Baik) Z-Score : -2 SD s/d 2 SD Kurus (Gizi Kurang) Z-Score : <-2 SD s/d - 3 SD Kurus Sekali (Gizi Buruk) Z-Score : <-3 SD

*) Daftar Baku Rujukan Penilaian Status Gizi (BB/TB) dapat dilihat pada Lampiran 2.

(28)

a. ngganggu proses pertumbuhan, anak tidak tumbuh menurut potensialnya sehingga terlihat lebih pendek dari seharusnya.

b. Kekurangan tenaga untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari. c. Pembentukan sistem kekebalan tubuh yang tidak optimal.

d. Penurun Me

an sistem imunitas dan antibodi, menyebabkan anak mudah terserang infe

ebab Gizi Buruk pada Balita

proses tumbuh kembang.

ksi seperti pilek, batuk dan diare yang dapat menyebabkan kematian.

e. Perkembangan otak yang terhambat. Otak mencapai bentuk maksimal pada usia dua tahun, terganggunya perkembangan otak mempengaruhi tingkat kecerdasan dan perkembangan mental anak (Almatsier, 2004).

2.2. Faktor-Faktor Peny

Gizi buruk dipengaruhi banyak faktor yang saling terkait. Secara langsung gizi buruk dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang; dan anak mungkin menderita infeksi (Unicef, 1990; Marpaung, 2006: 12). Kedua penyebab langsung tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

2.2.1. Anak Tidak Cukup Mendapat Makanan Bergizi Seimbang

(29)

ang tidak eimba

emenuhi kebutuhan gizi seseora

lain-lain. Chandr

MP-ASI yang tepat dan baik seharusnya dapat disiapkan sendiri di rumah. Namun, dalam penyediaan MP-ASI yang sesuai dengan kebutuhan balita, banyak hal yang mempengaruhinya. Tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi yang rendah pada ibu balita seringkali menjadi penyebab balita mendapat makanan y

s ng.

Makanan bergizi seimbang adalah makanan yang terdiri dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai, sehingga m

ng guna pemeliharaan, perbaikan sel-sel tubuh, pertumbuhan dan perkembangan. Makan makanan yang beranekaragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.

2.2.2. Infeksi pada Balita

Gizi buruk merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain faktor diet, faktor sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan

(30)

Penyebab balita gizi buruk tidak hanya karena kedua faktor langsung tersebut, tetapi ada juga faktor tidak langsung yang berkaitan dan mempengaruhi status gizi balita,

i seimbang, tetapi anak juga harus m

bkan rendah

yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan (Unicef, 1990; Marpaung, 2006: 14).

Asuhan gizi adalah praktek yang dilakukan di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya, untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.

Anak tidak hanya mendapat makanan yang bergiz

endapat perhatian dan kasih sayang. Dalam hal ini, peranan ibu sangat kuat. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan sabar dan penuh kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat Posyandu dan kebersihan, meskipun miskin akan dapat mengasuh dan memberi makan anak dengan baik sehingga anaknya tetap sehat. Lagi-lagi unsur pendidikan dan pengetahuan gizi serta kesehatan pada perempuan mempengaruhi kualitas pengasuhan anak.

Menurut Soekirman (2005: 1), faktor kemiskinan dan pendidikan orangtua yang rendah serta kurangnya pengetahuan soal gizi dan kesehatan, merupakan penyebab utama tingginya angka penderita gizi buruk. Kemiskinan menyeba

(31)

lain pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan balita.

Kemiskinan selalu didengung-dengungkan menjadi penyebab gizi buruk, tetapi tidak semua keluarga miskin memiliki balita gizi buruk. Hal ini dikuatkan oleh penelitian mengenai penyimpangan positif (positive deviance), yang dilakukan oleh Jus’at, dkk (2000: 145-156) di DKI Jakarta dan Kabupaten Bogor. Penelitian ini membe

pak memiliki gizi lebih baik dibandingkan jika an

gizi buruk. Adakalanya pantangan tersebut didasarkan kepada keagamaan, tetapi adapula yang merupakan tradisi yang turun-temurun.

Pada masyarakat Indonesia, memberikan makan balita masih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan atau mitos yang berkembang, sehingga memantangkan jenis makanan tertentu untuk balita. Sampai saat ini masih ada anggapan bahwa “anak tidak boleh makan ikan, nanti cacingan, atau anak tidak boleh makan telur, nanti

rikan hasil bahwa status ekonomi keluarga-keluarga yang relatif sama, belum tentu memiliki balita dengan status gizi yang sama juga.

Mengapa keluarga dengan status ekonomi yang rendah tetapi memiliki balita dengan status gizi baik. Hal ini ditentukan oleh pola pengasuhan ibu, usaha ibu untuk ‘mengusahakan’ anak mau makan, berdam

ak dibiarkan mengikuti kemauannya saja yaitu tidak mau makan. Pengasuhan anak yang berpindah ke tangan ‘kedua’ misalnya pembantu atau nenek, juga mempunyai dampak pada keadaan gizi anak (Jus’at, dkk, 2000: 155-156).

(32)

bisulan”. Padahal ini semua akan merugikan si anak. Ikan dan telur adalah salah satu sumber protein yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Menurut Foster/Anderson (2005: 311), masalah gizi bergantung juga dengan kepercayaan-kepercayaan yang keliru mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan. Kepercayaan, pantangan dan upacara-upacara yang ada di masyarakat mencegah orang untuk memanfaatkan makanan yang tersedia bagi mereka.

Ketahanan pangan di keluarga juga salah satu faktor tidak langsung yang menyebabkan balita gizi buruk. Menurut Tabor, dkk (2000: 49) ketika kemiskinan menimpa keluarga maka kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan pangan utama telah menurun, sehingga mengancam ketahanan pangan keluarga yang dapat menyebabkan gangguan pada status gizi.

pok masalah yang ada di masyarakat, berupa ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah ketahanan pangan keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang Berbagai faktor langsung dan tidak langsung ini berkaitan dengan ok

(33)

S r: Tabor, dkk dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2000: 45)

Banyak orang beranggapan bahwa faktor utama penyebab gizi buruk adalah kemiskinan, sehingga gizi buruk hanya dapat diperbaiki dengan p

umbe

Gambar 2.1. Penyebab Kurang Gizi

erbaikan status osial ekonomi masyarakat. Dalam usaha pembangunan, jawaban yang paling banyak

na cara menyediakan hidangan lebih baik bagi a

s

terdengar terhadap pertanyaan “bagaima

(34)

Tingkat penghasilan, belum tentu dengan sendirinya dapat memecahkan persoalan gizi buruk di masyarakat. Pertanyaan yang harus dijawab dengan mening

a antar w

uan dari pengobatan adalah untuk emul

katnya penghasilan, yaitu: seberapa besar pengeluaran untuk pangan keluarga; seberapa besar pengeluaran nonpangan keluarga; jenis pangan apa yang dibeli, apakah bergizikah; dan siapa anggota keluarga yang lebih diutamakan dalam mendapat pangan, orang tua atau anak-anak ?

Masalah gizi memiliki dimensi yang luas, tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, dan lingkungan. Faktor pencetus munculnya masalah gizi dapat berbed

ilayah ataupun antar kelompok masyarakat, bahkan akar masalah ini dapat berbeda antar kelompok usia balita.

Apapun faktor yang menyebab balita gizi buruk, penderita gizi buruk harus segera mendapat pengobatan. Adapun tuj

m ihkan kesehatan secepatnya dan menurunkan angka kematian. Penderita gizi buruk memerlukan perawatan berhubung karena keadaannya yang mengkhawatirkan dan terdapatnya berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya.

2.3. Penanggulangan Gizi Buruk

(35)

pada perkembangan mental dan kecerdasan serta terdapatnya berbagai jenis penyakit tertentu

ang disetujui oleh PBB pada tanggal 20 November 1989. Dalam

ara lain adalah pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak

, merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari gizi buruk.

Prediksi oleh Kepala Subdit Bina Kewaspadaan Gizi Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Tatang S. Falah, bahwa dalam 15 tahun mendatang sebanyak lima juta anak Indonesia terancam kehilangan daya saingnya bila kasus gizi buruk tidak segera ditanggulangi. Masih menurut beliau: “masalah gizi buruk yang ada sekarang kalau tidak segera ditanggulangi akan menyebabkan balita di masa mendatang akan kehilangan kesempatan untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas” (Pusat Promosi Kesehatan Depkes dalam mediaindo.co.id, 2006).

Ironisnya, kasus gizi buruk masih terjadi setelah hampir 20 tahun Konvensi Hak Anak (KHA) y

konvensi tersebut disebutkan anak-anak berhak untuk mendapatkan dan menikmati status kesehatan tertinggi (Maimun, 2007: 1).

Pemerintah Indonesia memang telah lama berupaya untuk menanggulangi masalah gizi buruk. Salah satunya ketika pemerintah orde baru pada tahun 1979 menetapkan Trilogi Pembangunan pada Repelita III, yang menonjolkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil yang mengarah pada terwujudnya keadilan sosial. Segi pemerataan pembangunan tersebut dituangkan dalam bentuk konsep 8 jalur pemerataan, ant

(36)

2.3.1. Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)

Salah satu usaha untuk mencapai tujuan program pangan dan perbaikan gizi Repelita III ialah meningkatkan dan memperluas UPGK. UPGK adalah suatu paket kegiata

perbaikan

ulangan Masalah Pangan dan Gizi. rbagai

ah gizi

kegiatan industri pangan rumah tangga dan kegiatan lain untuk meningkatkan n yang terpadu guna menanggulangi masalah gizi, terutama KEP dengan kegiatan-kegiatan penimbangan secara berkala pada anak-anak di bawah usia lima tahun di Posyandu. Usaha-usaha tersebut tidak akan berdaya guna dan berhasil guna tanpa ditunjang oleh usaha-usaha di bidang lain secara terpadu. Oleh karena itu, usaha-usaha penanggulangan masalah gizi memerlukan kerjasama dan koordinasi yang mantap antar berbagai sektor pembangunan. Lebih dari itu, keberhasilan penanggulangan masalah gizi sangat tergantung pada partisipasi aktif dari masyarakat (Depkes, 1979: 8).

Situasi krisis ekonomi, politik dan sosial yang terjadi di masyarakat sejak tahun 1997, menyebabkan pelaksanaan program pembangunan pangan dan

gizi semakin melemah. Oleh karena itu dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 1999 tentang Gerakan Nasional Penangg

Dalam Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi ini, be

kegiatan masyarakat bersama sektor terkait diarahkan untuk memenuhi kecukupan pangan di tingkat keluarga dan mencegah serta menanggulangi masal

di masyarakat.

(37)

pendapatan keluarga; memberikan perhatian pada pemenuhan kecukupan gizi anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui, memberikan ASI, MP-ASI dan makanan secara benar, serta menimbang semua balita setiap bulan di Posyandu (Depkes, 1999: 4).

an pembangunan

kes RI, 2006: 1). Namun

h Posyandu, tidak memiliki peralatan yang memadai. 3.

Menurut pemerintah, Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UBKM), yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggara

kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar (Dep

, kegiatan Posyandu mengalami kemunduran, terutama sejak krisis ekonomi pada tahun 1997. Kegiatan penimbangan di Posyandu tidak lagi berfungsi seperti pada tahun 1970 dan 1980-an. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Universitas Andalas Padang, Universitas Hasanuddin Sulawesi Selatan dan Sekolah Tinggi Ilmu Gizi Jawa Timur pada tahun 1999, diperoleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Hanya sekitar 40% dari jumlah Posyandu yang ada, dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

2. Lebih dari separu

Sebagian besar Posyandu tidak memiliki tempat pelayanan yang layak, karena menyelenggarakan kegiatan di gudang, garasi, atau rumah penduduk.

4. Pembinaan terhadap Posyandu masih belum merata.

(38)

6. Sebagian besar kader belum mampu mandiri, karena sangat tergantung dengan petugas Puskesmas sebagai Pembina, dan sementara itu penghargaan terhadap kader masih rendah.

, untuk balita yang sebagian besar adalah

dari kader Posyan

ini juga embe

paya preventif, omot

7. Cakupan Posyandu masih rendah

anak usia di bawah 2 (dua) tahun, cakupannya masih di bawah 50%, sedangkan untuk ibu hamil cakupannya hanya sekitar 20%.

8. Hampir 100% ibu menyatakan pernah mendengar Posyandu, namun yang hadir pada saat kegiatan Posyandu kurang dari separuhnya.

Salah satu indikator keberhasilan Posyandu adalah kemampuan

du tersebut. Hasil survey yang dilakukan Rienks dalam Dove (1985: 45-47) memberikan hasil yang menarik. Sebanyak 37% kader sama sekali tidak mempunyai aktivitas apa-apa, 57% hanya aktif sekali-kali dan bergantung pada petunjuk dari petugas kesehatan, dan hanya 5% yang memiliki “self motivated” serta memiliki standar pelaksanaan tugas sesuai dengan pedoman latihan kader. Survei

m rikan hasil bahwa hanya 7% kader yang mengakui benar-benar mengerti latihan yang diberikan.

Oleh karena itu pemerintahan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 bidang kesehatan, mengutamakan u

(39)

dihadapi, merencanakan dan melakukan upaya pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan setempat (Dinkes Prop. Sumut, 2007: 1).

2.3.2.

ita diwujudkan dalam bentuk PMT. n dalam bentuk MP-ASI atau blended food.

an sama

kurangan gizi, tetapi tidak cukup besar (bermakna) Program Pemberian Makanan

Program suplementasi makanan merupakan cara efektif untuk meningkatkan status gizi anak yang kurang gizi. Tujuan utama program suplementasi makanan adalah: 1) untuk meningkatkan status gizi anak, 2) untuk mencegah memburuknya status gizi, 3) untuk membantu pengobatan penyakit infeksi, dan 4) untuk memfasilitasi program KIE untuk orangtua dan anak (Jahari, 2000: 111).

Penanggulangan kasus gizi buruk pada bal PMT diberikan untuk anak usia 6-11 bula

Bagi anak usia 12 – 59 bulan diberikan biskuit sebanyak 75 gram/hari dan susu bubuk sebanyak 80 gram/hari. PMT ini diberikan selama 90 hari dengan sasaran balita dari keluarga miskin (Jahari, 2000: 112; Dinkes Prop. Sumatera Utara, 2005: 2).

Penelitian di NTT (Anonymous, 2006: 1) yang berkaitan dengan PMT, memberikan hasil hanya sekitar 34,7% balita gizi buruk yang mengalami kenaikan berat badan, 60,3% balita gizi buruk tidak mengalami kenaikan berat bad

sekali, bahkan terdapat 5% balita mengalami penurunan berat badan.

(40)

m nkan rata-rata Z-score (Thaha, dkk, 2002: 31). Fenomena ini menunjukkan bahwa, jika perbaikan status gizi balita ingin tetap dipertahankan maka program PMT harus menjadi sebuah program yang berkesinambungan.

enuru

irekomendasikan untuk memperpanjang

ngambilan keputusan dalam Dengan kata lain, jangka waktu pemberian makanan tambahan harus diperhatikan, PMT sebaiknya diberikan terus-menerus dengan mempertimbangkan masa pertumbuhan kritis anak. Berdasarkan pengalaman di klinik gizi Bogor, untuk meningkatkan status gizi dari gizi buruk ke gizi kurang diperlukan jangka waktu pelaksanaan PMT selama sekitar 6 bulan. Dalam program PMT skala besar yang dilakukan oleh petugas/kader setempat, d

waktu PMT menjadi 10-12 bulan (Jahari, 2000). 2.3.3. Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)

Selain Posyandu, maka dikembangkan juga Kadarzi sebagai upaya agar keluarga mampu mengatasi masalah gizi yang dialaminya. Keluarga dikatakan sadar gizi apabila telah mempraktekkan perilaku gizi yang baik, seperti menimbang berat badan secara teratur, memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI eksklusif), makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, dan minum suplemen gizi sesuai anjuran (Depkes RI, 2007: 84).

Sasaran dari Kadarzi adalah keluarga, karena pe

(41)

Sudah begitu banyak program penanggulangan gizi buruk yang dilaksanakan, namun mengapa masih ada kasus gizi buruk. Bahkan kasus gizi kurang tetap tinggi,

ka tidak ditangani segera dapat menimbulkan “booming” gizi buruk.

masalah tersebut belum dapat

ng dilakukan Pemerintah, ji

Apakah hal-hal yang terlewatkan, sehingga

diatasi. Analisis sepintas menunjukkan banyak program yang bersifat “top down dan instruktif”. Hal ini menyebabkan program-program tersebut tidak mempunyai pengaruh yang berkelanjutan. Indikator-indikator pencapaian program banyak yang masih berorientasi jangka pendek, lebih fokus ke indikator-indikator fisik, bukan mendorong terjadinya perubahan perilaku.

Berbagai program penanggulangan gizi buruk ya

kerapkali mengalami ketidakberhasilan ataupun program akan berhenti dengan terhentinya aliran dana yang ada. Hal ini terjadi karena proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program pembangunan kerapkali dilakukan dari atas ke bawah (top-down). Rencana program pengembangan masyarakat biasanya dibuat di tingkat pusat (atas) dan dilaksanakan oleh instansi propinsi dan kabupaten. Masyarakat seringkali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi masukan. Dalam visi ini masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar (Tim Deliveri, 2000: 1).

Kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu usaha untuk mengurangi upaya promosi kesehatan dengan pendekatan dari atas ke bawah (top-down), yang telah terjadi selama ini. Pendekatan dari atas ke bawah ternyata tidak

(42)

program penanggulangan gizi buruk. Pendekatan dari atas ke bawah ini pada akhirnya menimbulkan paradigma ketergantungan pada masyarakat.

2. Pemberdayaan Keluarga dan Masyarakat

Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan. Perkembangan zaman dan perubahan lingkungan yang begitu cepat, mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat, namun individu ataupun masyarakat tidak dapat dengan cepat melakukan penyesuaian untuk tetap dapat menjaga kesehatannya, seperti kata “kesehatan” merup

4.

akan konsep yang kompleks, yang mempunyai arti

ingkatan kesadaran, kemauan, dan kemampuan serta

promosi kesehatan diperlukan “strategi kesehatan”. Berdasarkan rumusan WHO yang berbeda bagi orang yang berbeda (Ewles, 1994: 18).

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dilakukan pendidikan kesehatan, yang dengan semakin berkembangnya zaman maka terjadi perubahan-perubahan menjadi promosi kesehatan. Istilah promosi kesehatan sebenarnya sudah lama dikenal sebagai satu kesatuan pengertian tentang upaya kesehatan secara menyeluruh yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Promosi kesehatan adalah proses memberdayakan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui pen

pengembangan lingkungan yang sehat (Depkes, 2002: 2).

(43)

(1984) yang dikutip oleh Notoadmotjo (2005: 24), strategi promosi kesehatan secara global terdiri dari 3 hal yaitu advokasi (advocacy), dukungan sosial (social support),

dan pem

romosi kesehatan yang ditujukan kepada

t berdayaan masyarakat (empowerment). Pemberdayaan adalah upaya meningkatkan kemampuan kelompok sasaran sehingga kelompok sasaran mampu mengambil tindakan tepat atas berbagai permasalahan yang dialami (Notoatmodjo, 2005: 254). Sasaran utama pemberdayaan adalah masyarakat yang terpinggirkan, termasuk kaum perempuan, karena kaum perempuan adalah orang yang paling menentukan dalam pola asuh dan pola pemberian makanan pada anak.

Pemberdayaan adalah strategi p

masyarakat langsung. Tujuan pemberdayaan adalah membantu masyarakat memperoleh kemampuan untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan diri mereka. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan kemampuannya. Bentuk pemberdayaan ini dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan, antara lain: penyuluhan kesehatan, pengorganisasian dan pengembangan masyaraka (Notoadmotjo, 2005: 255).

(44)

daya, baik yang ada di masyarakat itu sendiri maupun di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan.

Sumberdaya tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah yang ada melalui tindakan-tindakan yang diperlukan dengan cara kerjasama

engan anggota masyarakat lainnya. Jadi pada dasarnya penggerakan dan t adalah suatu proses kegiatan masyarakat yang bersifat etempat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahtera elalui emberian pengalaman belajar dan secara bertahap dikembangkan pendekatan yang

ersifat patif dalam bentuk an wewenang peran

ang sem esar kepada masyaraka

Proses pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk ikan potensi yang sudah dimiliki sendiri an emberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya

asyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka

endiri. ntuk m t dan m u

melepaskan diri dari perangkap kemiskinan n (Setiana, 2005: 6). Penanggulangan gizi buruk yang menggunakan strategi pemberdayaan akan lebih m

mengaktualisas oleh masyarakat. Pendekat

p m

s Masyarakat mampu u eningkatkan harka artabat serta mamp dan keterbelakanga

(45)

meningkatnya kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatannya sendiri, meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyar

Gambar 2.2. Kerangka Pikir

Kerangka pikir penyebab balita gizi buruk ini ditulis berdasarkan asumsi-asumsi yang terbangun dari beberapa literatur-literatur kepustakaan yang saya baca sebelum melakukan penelitian. Balita mengalami gizi buruk disebabkan infeksi dan kurangnya asupan zat gizi. Kurangnya asupan zat gizi ini disebabkan oleh pola pengasuhan ibu. Sedangkan keberhasilan program penanggulangan gizi buruk yang

akat, dan terwujudnya pelembagaan upaya kesehatan masyarakat di tingkat lapangan (Depkes RI, 2007: 2).

2.5. Kerangka Pikir

Balita Menderita Gizi Buruk Kurangnya

Gizi Asupan Zat Pola

Ibu Pengasuhan

Penyakit/Infeksi

Program Penanggulangan Gizi Buruk

(46)

dilakukan pemerintah, berkaitan dengan petugas kesehatan, promosi program dan sentralisasi (program yang di

Setelah pelaksanaan penelitian di lapangan, kerangka pikir ini mengalami emukan beberapa sebab-sebab dekat yang saling berkaitan dengan

uan-temuan tersebut maka s

buat secara ’top down’).

beberapa perubahan. Dit

sebab-sebab jauh sehingga balita mengalami gizi buruk. Temuan-temuan ini memberikan suatu rangkaian yang lebih terperinci mengenai penyebab balita menderita gizi buruk, terutama yang berkaitan dengan pola pengasuhan ibu. Begitu juga dengan penanggulangan gizi buruk yang dilakukan keluarga balita dan juga yang dilakukan oleh pemerintah, lebih memberikan gambaran mengapa permasalahan gizi buruk sampai saat ini tidak dapat dituntaskan. Berdasarkan tem

(47)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi menaruh minat pada ‘dunia kehidupan (life world)’ pribadi individu dan kelompok, serta bagaimana life world tersebut

n, serta komunikasi mereka (Daymon, 2001: 218). Pendek

sus gizi buruk dan upaya penanggulangan yang telah dilakuk

dialokasi PMT-P untuk 12 orang balita penderita gizi buruk. mempengaruhi motif, tindaka

atan fenomenologi untuk melihat bahwa kenyataan bukanlah seperti apa yang tampak, tetapi kenyataan ada di masing-masing kepala individu.

Pendekatan fenomenologi akan membantu untuk memasuki sudut pandang orang lain, dan berupaya memahami bagaimana mereka menjalani hidupnya dengan cara tertentu, serta pemahaman bahwa realitas masing-masing individu itu berbeda.

Dalam penelitian ini, fenomena yang ingin digali adalah faktor-faktor penyebab terjadinya ka

an.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

(48)

Selain itu, wilayah ini sangat dipahami oleh peneliti, sehingga akan memudahkan untuk melakukan pengamatan (observasi) dan wawancara mendalam (indept

3.3.

enderita gizi buruk tersebut dan orang-orang terdekat yang turut serta membantu dalam pengasuhan balita tersebut. Selain

a adalah orang-orang yang dapat menjelaskan dan m

h interview) mengenai faktor mendasar penyebab terjadinya gizi buruk dan

langkah-langkah penanggulangan yang telah dilakukan.

Pelaksanaan penelitian ini telah berlangsung sejak Januari 2009 sampai dengan Maret 2009.

Pemilihan Informan

Ada 12 orang balita penderita gizi buruk yang mendapat PMT-P4 di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Pakam, dan yang menjadi subjek penelitian adalah sebanyak 5 orang dari 4 kelurahan/desa, dan seorang balita yang belum mendapat PMT-P dari kelurahan lainnya. Jadi ada 6 balita seluruhnya. Penelitian kualitatif menuntut suatu penggalian informasi yang mendalam berkaitan dengan objek atau permasalahan penelitian, oleh sebab itu tidak memungkinkan untuk mengambil subjek penelitian dengan jumlah banyak.

Informan adalah orang tua dari balita p

orang tua balita, informan selanjutny

emberi keterangan atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berkembang di lapangan. Jadi tidak menutup kemungkinan akan terus bertambahnya jumlah

4

(49)

informan, sesuai kebutuhan-kebutuhan akan informasi lanjutan untuk melengkapi data yang ada.

Pada saat melakukan penelitian, yang menjadi informan pertama sekali adalah ibu dari subjek penelitian (balita penderita gizi buruk). Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan dengan ibu balita, juga pengamatan terhadap balita itu sendiri, serta berdasarkan ‘field note’ dan analisis yang terus berlangsung, maka informan lanjutan terus bertambah sesuai dengan kebutuhan data penelitian.

Informan lanjutan tersebut adalah kader Posyandu, petugas kesehatan, kakak balita, tetangga, atau orang-orang yang ada di sekitar balita, baik yang didatangi secara

engetahui perkembangan dari subjek penelitian. Walaupun begitu,

rvasi dilakukan sengaja atau orang-orang yang ikut ‘nimbrung’ secara tidak sengaja ketika berlangsungnya wawancara mendalam ataupun pengamatan. Orang-orang yang secara tidak sengaja ‘ambil bagian dalam wawancara’ ini tetap merupakan orang-orang terdekat dan m

selama penelitian berlangsung proses analisis tetap saya lakukan, sehingga terjadi pemilahan data yang layak atau tidak layak untuk berperan serta dalam proses menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

3.4. Metode Pengumpulan Data

(50)

terhadap subjek penelitian yang berkaitan dengan tingkah laku dan segala tindakan ataupun perlakuan yang diterimanya.

Uji keabsahan data dilakukan dengan tehnik triangulasi data. Peneliti akan memastikan bahwa catatan harian wawancara dengan informan dan catatan harian observasi telah terhimpun. Kemudian dilakukan uji silang terhadap materi catatan-catatan harian, untuk memastikan tidak ada informasi yang bertentangan antara catatan harian wawancara dan catatan harian observasi. Jika ada perbedaan informasi atau informasi tidak relevan, peneliti akan menelusuri sumber perbedaan tersebut dan

engon

n data yaitu alat tulis, ‘note b

gga sangat rentan terhada

dalam memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

m firmasi perbedaan tersebut pada informan dan sumber-sumber lainnya.

Proses trianggulasi dilakukan terus-menerus sepanjang proses mengumpulkan data dan analisis data, sampai suatu saat peneliti yakin bahwa sudah tidak ada lagi perbedaan-perbedaan, dan tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasikan kepada informan (Bungin, 2007: 252).

Alat bantu yang digunakan dalam proses pengumpula

ook’ dan kamera. Data hasil pengamatan dan wawancara umumnya langsung

saya tulis di tempat penelitian dalam bentuk tulisan-tulisan singkat. Tulisan-tulisan singkat ini kemudian dikembangkan ke dalam bentuk ‘field note’ yang lebih rinci dan lengkap. Ada juga yang ditulis setelah berlalu sekian lama, sehin

(51)

Data primer yang pertama ingin diketahui adalah data asupan zat gizi balita (walaupun tetap tidak mengesampingkan data-data lain). Metode yang digunakan untuk m

n juga penimbangan terhadap beberapa makana

nsumsi balita pada jam-jam

emperoleh data asupan zat gizi balita yaitu gabungan metode ‘food recall’5 dan pengamatan terhadap makanan yang dimakan oleh balita-balita tersebut. Pengamatan terhadap makanan yang dimaksud di sini adalah saya melihat secara langsung makanan yang dikonsumsi balita dan mencatat jumlah makanan yang dimakan. Jika memungkinkan, dilakuka

n tertentu.

Dalam melakukan pengamatan terhadap makanan yang dikonsumsi oleh balita tersebut, saya lakukan dengan cara mengunjungi rumah keluarga balita pada jam yang berbeda-beda. Kunjungan pada pagi hari sekitar jam 7.00 WIB untuk mengamati makan pagi. Kunjungan pada siang hari sekitar jam 11.00 WIB untuk mengamati makan siang, dan untuk pengamatan makan sore atau malam hari kunjungan ke rumah balita dilakukan sekitar jam 18.00 WIB.

Sedangkan ‘food recall’ dilakukan untuk mengetahui ko

di luar dari pengamatan. Maksudnya, ‘food recall’ dilakukan untuk mengetahui konsumsi balita selain pada saat pengamatan dilakukan, sehingga akan diperoleh data konsumsi makanan balita dalam satu hari (24 jam).

Pengamatan, penimbangan dan ‘food recall’, terhadap makanan balita tidak dilakukan dalam tiga hari berturut-turut, tetapi diberi jarak 1 atau 2 hari. Dalam

5

(52)

pelaksa

dengan kebutu

Menurut Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana hitungkan untuk menentukan i mana kondisi balita sangat gBB, kemudian fase transisi

denga i en gBB, terakhir memasuki fase

rehabil

yaitu 150 kkal/kgBB, dari hasil perkalian itu diperoleh kebutuhan energi sehari masing-masing balita (perhitungan kebutuhan zat gizi dapat dilihat pada Lampiran 3).

naannya, kedatangan saya tidak pernah dijanjikan hari dan jamnya, sehingga memang terlihat jelas apa yang dikonsumsi oleh balita sehari-hari.

Untuk mengetahui asupan zat gizi dari data konsumsi makanan tersebut dilakukan dengan bantuan program ‘Nutrisurvey’. Konsumsi makanan selama tiga hari tersebut direkapitulasi dan komposisi zat gizi yang dihasilkan sudah merupakan nilai rata-rata dalam sehari. Nilai gizi rata-rata ini kemudian dibandingkan

han zat gizi masing-masing balita.

Penghitungan kebutuhan zat gizi balita dalam sehari dengan mempertimbangkan umur, berat badan, dan fase6 pemberian makanan yang disandangnya saat penelitian dilakukan.

Gizi Buruk (Buku II), ada fase-fase yang harus diper kebutuhan zat gizinya. Dimulai dengan fase stabilisasi d buruk, diberikan konsumsi energi sebesar 50-100 kkal/k

n konsums ergi sebesar 100-150 kkal/k

itasi dengan konsumsi energi sebesar 150-220 kkal/kgBB.

Berdasarkan keadaan klinis balita, maka perhitungan angka kebutuhan zat gizi balita dilakukan dengan mengelompokkan balita ke dalam fase rehabilitasi, di mana kondisi balita sudah membaik (melewati masa-masa kritis) sesuai dengan kriteria pada tahap ini. Angka yang diambil adalah angka yang paling rendah pada tahap ini

6

(53)

Untuk kebutuhan7 protein, lemak dan karbohidrat, sudah ada persentase yang ditentukan yaitu kebutuhan protein sebesar 10-15% dari kebutuhan total energi, lemak

tuhan karbohidrat, sehingga total keseluruhan adalah 100%.

Nilai rata-rata asupan gizi balita kemudian dibandingkan dengan nilai l perbandingan tersebut kemudian disesua

angka kebutuhan gizi c.

emeriksaan feses pada laboratorium. Botol yang sudah diberi kode untuk tempat

sebesar 15-30% dari kebutuhan total energi dan karbohidrat sebesar 55-75% dari kebutuhan total energi (Almatsier, 2002: 44,72). Dalam hal ini, angka yang diambil adalah angka 15% untuk kebutuhan protein, 20% untuk kebutuhan lemak dan 65% untuk kebu

kebutuhan zat gizi balita, persentase dari hasi

ikan dengan tingkatan asupan zat gizi dibagi menjadi empat ‘cut off points’8, sebagai berikut (Supariasa, 2002: 114):

a. Baik : ≥ 100% angka kebutuhan gizi b. Cukup : 80 – 99%

Kurang : 70 – 79% angka kebutuhan gizi d. Defisit : < 70% angka kebutuhan gizi

Untuk mengetahui status kecacingan pada balita-balita gizi buruk ini, maka dilakukan p

sampel feses, diberikan kepada ibu balita pada sore hari, dan disampaikan untuk mengambil sampel feses balitanya pada keesokan paginya. Pada jam 08.00 WIB, botol-botol sampel itu kemudian saya ambil dari rumah balita dan langsung

Lihat Penuntun Diit Anak, RSCM & Persagi (1992: 5). 8

(54)

dibawa ke laboratorium Dinas Kesehatan Deli Serdang. Pemeriksaan feses dilakukan pada 4 (empat) orang balita yang sudah berusia ≥ 2 tahun.

Sedangkan data untuk letak geografis, kependudukan dan mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Lubuk Pakam, diambil dari laporan yang ada di Puskesmas Lubuk Pakam, termasuk laporan Badan Pusat Statistik yang ada di Kantor Kecamatan Lubuk Pakam.

3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Hal yang ingin dicapai dalam melakukan analisis data kualitatif adalah menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena dan memperoleh gambaran tuntas terhadap proses tersebut, serta menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena.

Pengolahan data dilakukan dengan menganalisis jawaban-jawaban yang diberikan oleh informan. Penganalisisan data dilakukan dengan tehnik “on going analysis” yaitu analisis yang terjadi di lapangan berdasarkan data-data yang

diperoleh.

(55)

hingga akhirnya dapat mencapai sua aitan dengan sebab jauhnya. Prinsip ‘countiguous causation’-nya 08: 53-56), juga digunakan untuk melakukan analisis data pada penelitian ini.

tu keterk

(56)

BAB 4

4.1. Kecamatan Lubuk Pakam 4.1.1. Letak dan Geografis

Kecamatan Lubuk Pakam luasnya ± 31,19 km2 (3.119 Ha), terdiri dari 13

desa/kelura 107 dusun. Kecamatan Lubuk Pakam

dibagi berdasarkan wilayah kerja Puskesmas. Puskesmas Lubuk Pakam mengelola 10 kelurahan/desa sebagai wilayah kerjanya, se 3 de an wil rja

P e ti.

k Pakam merupakan daerah pantai dengan ketinggian 0-8 m r t. Adapun batas-batas kecamatan ini, yaitu:

S la tasan dengan Ke tan Berin

S la r : berbatasan dengan Ke tan Pagar Merbau S la rbatasan dengan Ke tan Tanjung Morawa Sebelah Selatan atasan dengan K

edua musim ini dipengaruhi oleh kedua arah angin yang terdiri

usim kemarau hanya pada bulan Januari, Pebruari dan Mei.

GAMBARAN UMUM

han (7 kelurahan dan 6 desa), serta

dangkan sa merupak ayah ke usk smas Pagarja

: berb ecamatan Pagar Merbau

Daerah Kecamatan Lubuk Pakam beriklim sedang yang terdiri dari musim hujan dan musim kemarau, k

(57)

4.1.2. Kependudukan

Berdasarkan data statistik maka j lah penduduk pada Kecamatan Lubuk

Pakam 92.57 a, n j u i- ar

jiw d bes 46.91 jiwa.

pen an p duk per Km2 di Kecamatan Lubuk Pakam, seperti terlihat pada Tabel 4.1:

Tabel 4.1. Luas Desa/Kelurahan, Ju ah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Per m2 di Kecama ubu kam

No Desa/Kelurahan Luas

(Km

adalah sebesar 9 jiw denga umlah pend duk lak laki sebes 45.668 a an perempuan se ar 1 Adapun luas desa/kelurahan, jumlah

duduk dan kepadat endu

Keterangan: *) desa yang termasuk ke dalam wilayah kerja Puskesmas Pagarjati Sumber: BPS Deli Serdang, 2007

4.1.3. Mata Pencaharian

Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian pada wilayah kerja uskesmas Lubuk Pakam, seperti pada Tabel 4.2:

(58)

Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian pada Wilayah

Sumber: BPS Deli Serdang, 2007

(59)

4.2. Subjek Penelitian

Balita yang menjadi subjek penelitian ini berjumlah 6 orang, dengan umur dan lokasi tempat tinggal yang berbeda. Adapun karakteristik dari subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3:

Tabel 4.3. Karakteristik Balita Penderita Gizi Buruk

BB (kg) Pekerjaan

Nama Umur Jumlah

Kandung

Balita (bln) Lahir Nop.08 Jan.09 Saudara Ayah Ibu

Santi 48 2,5 9,5 11,5 5 orang Satpam IRT

Bima 21 2,5 5,6 7,0 5 orang Penarik becak Jualan

Intan 36 2,0 9,0 9,7 5 orang - Buruh

Putra 6 3,8 4,5 5,0 6 orang

Syahnan 28 2,0 6,3 8,2 6 orang Mocok-mocok IRT Aini 28 2,2 6,0 7,9 14 orang Mocok-mocok Jualan

Pesuruh SD Jualan

Berdasarkan karakteristik balita penderita gizi buruk ini, telah dapat menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi balita tersebut, baik dari segi umur, BB lahir, jumlah saudara kandung serta pekerjaan orang tua balita (segi ekonomi). Dengan gambaran ini akan memudahkan untuk memahami mengapa si balita bisa menderita gizi buruk.

(60)

4.2.1. Santi

Santi dilahirkan sebagai anak kelima dari lima bersaudara. Abang tertua Santi sudah SMU, kakaknya saat ini kelas 3 SMP, kemudian dua orang abangnya di SD dan kelas 2. Dulu bapak Santi bekerja sebagai penarik becak bermotor

berjualan sayuran karena engal

’ (mencuci dan menggosok

dengan luas tanah 5 x 30 meter dan luas bangunan 5 x 20 meter. Rumah ini cukup

at gsung seng rumah).

negeri kelas 4

(betor), dan ibunya bekerja sebagai pedagang sayuran di kaki lima pasar tradisional. Tapi lebih setahun yang lalu, karena merasa penghasilannya tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga maka bapak Santi merantau ke Pekanbaru dan menjadi Satpam perusahaan swasta di sana. Ibu Santi juga berhenti

m ami kerugian, akibat terlalu banyak yang berjualan sayuran sedangkan pembeli sedikit, sehingga sayuran banyak yang tidak laku.

Setiap bulan bapak Santi mengirim uang Rp.1.300.000 untuk keperluan anak-anaknya. Ibu Santi sebenarnya merasa tidak cukup dengan kiriman suaminya, tetapi tampak pasrah dan masih berupaya untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Baru-baru ini ibu Santi bekerja pada sebuah ‘laundry

pakaian karyawan/pekerja pembangunan lapangan terbang). Pekerjaan ini menuntutnya untuk meninggalkan Santi di rumah sendirian beberapa jam, sementara abang dan kakaknya sekolah. Penghasilan tambahan yang diharapkan oleh ibu Santi adalah beternak babi di belakang rumah.

Rumah Santi merupakan rumah toko (satu dinding dengan rumah sebelahnya)

(61)

Lantai terbuat dari semen biasa, tidak ada perabotan yang cukup ‘layak’9 di dalam rumah tersebut, selain sebuah TV 14 inci hitam putih. Tetapi rumah ini sudah

emili

ulan.

a bekerja sebagai penarik becak motor (betor) sewaan dengan

rata-pati oleh adik ibunya yang sudah erkelu

m ki penerangan listrik dan sumber air bersih PAM. 4.2.2. Bima

Bima dilahirkan sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Abang tertua Bima sudah duduk di kelas 3 SDN, sedangkan dua orang lagi di atasnya yaitu abang dan kakaknya belum bersekolah (usia 5,5 tahun dan 3,5 tahun). Bima memiliki seorang adik laki-laki yang saat ini sudah berusia 6 b

Ayah Bim

rata penghasilan Rp.18.000/hari, sedangkan ibu Bima sambil mengurusi anak-anaknya juga berjualan es aneka rasa seperti Finto, Teh Sisri, Top Ice di depan rumahnya (kebetulan rumah yang ditempati oleh keluarga ini berseberangan dengan 4 buah SD dan sebuah SMPN). Jika hari panas Ibu Bima bisa menjual 14 set, satu set terdiri dari 10 bungkus dengan harga Rp.500/bungkus.

Keluarga Bima masih menumpang di rumah adik ibunya. Rumah tersebut adalah warisan kakeknya dari pihak ibunya yang diberikan untuk adik laki-laki ibunya. Rumah tersebut 2 pintu, satu ditem

b arga, satu pintu lagi milik adik ibunya tetapi karena masih SMA (belum berkeluarga), jadi ditempati oleh keluarga Bima. Ibu Bima mendapat warisan

ba m 9

(62)

sebidang tanah yang tidak jauh dari rumah ini, tetapi karena ketiadaan dana maka belum dapat dibangun sampai sekarang.

Rumah yang ditempati keluarga Bima berukuran 6 x 7 meter, memiliki sebuah kamar dan sebuah kamar mandi yang digunakan secara bersama dengan rumah

n anak keenam dari 6 bersaudara, empat laki-laki dan dua erempuan. Dua abang Syahnan yang paling tua sudah tidak bersekolah lagi,

sebelahnya (adik ibu Bima). Ruangan yang tersisa digunakan untuk ruang tamu, tempat nonton TV, tempat ayunan dan tempat masak. Rumah Bima sama sekali tidak memiliki halaman, hanya berjarak 1,5 meter antara rumah dengan jalan utama. Penerangan listrik dan sumber air bersih dari PAM.

4.2.3. Syahnan

Syahnan merupaka p

harusnya mereka sudah SMP dan kelas 6 SD, tetapi sejak kelas 5 SD mereka berdua berhenti dari sekolahnya. Ibu Syahnan mengatakan bahwa mereka yang tidak mau bersekolah, karena itu ibu Syahnan tidak ingin memaksa anaknya untuk kembali sekolah. Ibu merasa rugi untuk menempah baju sekolah jika anak memang malas bersekolah, ibu merasa mengatur anak di saat sekarang terasa sulit. Anak yang lainnya masih bersekolah di sebuah SD negeri.

Ibu Syahnan saat ini tidak mempunyai pekerjaan tetap, terkadang ‘meleles’10 ke sawah orang lain yang sedang panen, terkadang ikut membantu cuci piring

10

Meleles adalah mengumpulkan butir-butir padi sisa panen yang masih tertinggal pada

(63)

di rumah tetangga yang mengadakan pesta, Ayah Syahnan juga bekerja serabutan (mocok-mocok), terkadang bekerja sebagai ‘kenek’ tukang bangunan, terkadang

bu, atau juga ikut meleles padi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengha

membawa Syahnan berobat ke

h). Memiliki menebang bam

silan mereka tidak tetap setiap bulannya.

Sejak kecil Syahnan gampang sakit, seperti batuk, pilek, mencret dan demam, sehingga imunisasinya tidak lengkap sampai dia berusia 40 bulan saat ini. Ketika Syahnan sakit ibunya tidak pernah langsung

Puskesmas atau Rumah Sakit, tindakan pertama ibu adalah membeli obat di warung (sesuai dengan sakit yang dialami anaknya), jika sakitnya tidak sembuh barulah ibu membawa ke Puskesmas.

Rumah Syahnan berukuran 5 x 10 meter, cukup sederhana dan sempit untuk jumlah penghuni mencapai 8 orang. Berdinding papan sebagian, sebagian lagi dinding dari anyaman bambu (tepas). Atap rumah juga begitu, bagian depan terbuat dari seng, bagian belakang beratap rumbia. Setali tiga uang dengan lantai rumah, 4 meter kedepan berlantai semen, maka dari ruang tamu ke belakang masih berlantai tanah (batu bata yang disusun, sebagian telah tertutupi oleh tana

penerangan dari listrik tetapi tidak memiliki sumber air bersih walaupun itu hanya sebuah sumur. Jadi keluarga ini untuk keperluan mandi, cuci, kakus dilakukan disebuah sungai kecil yang tidak jauh dari rumah tersebut (sekitar 10 meter),

(64)

sedangkan untuk air minum, ibu mengambil dari sumur di rumah nenek Syahnan (berjarak 2 rumah dari rumah Syahnan).

4.2.4. Intan

Kelahiran Intan cukup menyedihkan, karena setelah lahir Intan ditelantarkan ‘ayahnya’11. Intan lahir sangat kecil, untunglah rumah kader posyandu berdekatan hnya sehingga begitu lahir Intan langsung dibawa oleh kader Posyandu rum

ng banyaknya buah yang dikupas.

Rumah yang ditempati keluarga ini merupakan hadiah dari Bupati Deli

disumbanglah dana Rp.5.000.000.- untuk membangun rumah tersebut. Rumah Intan dengan ruma

ke ah sakit untuk dirawat di dalam inkubator.

Ibu Intan tidak mempunyai pekerjaan tetap, dahulu menjadi buruh cuci di rumah tetangga, sekarang berganti menjadi buruh harian mengupas buah untuk manisan pada sebuah industri rumah tangga yang tidak jauh dari rumahnya. Setiap hari Ibu Intan digaji Rp.7.000 -10.000, tergantu

Setiap ibu pergi bekerja, maka Intan ditinggal berdua di rumah bersama abangnya (usia 5,5 tahun), pintu depan rumah tidak ditutup tetapi diberi penghalang papan agar Intan tidak keluar rumah. Ibu memasrahkan penjagaan Intan hanya kepada Tuhan. Kakak Intan ada yang sudah berumah tangga, tinggal di tempat lain, ada juga kakaknya yang ikut dengan ayahnya (ibu dan ayahnya sudah bercerai).

Serdang. Intan yang mengalami gizi buruk mendapat perhatian dari Camat Lubuk Pakam dan Bupati Deli Serdang, mereka terenyuh dengan tempat tinggal Intan, maka

Ayahnya Intan menikah di bawah tangan dengan ibu Intan. Ayah Intan sangat menginginkan anak laki-laki, karena dari istri sebelumnya tidak diperoleh anak laki-laki. Ternyata Intan lahir sebagai anak perempuan, sehingga ayahnya meninggalkan mereka.

Gambar

Tabel 2.2. Klasifikasi Status Gizi (BB/TB) Menurut Dep.Kes.RI (2002)
Gambar 2.1. Penyebab Kurang Gizi
Gambar 2.2. Kerangka Pikir
Tabel 4.1. Luas Desa/Kelurahan, Juah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Per m2 di KecamaubumlKtan Lk Pakam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten dapat diketahui upaya penanggulangan gizi buruk yaitu penimbangan anak balita menggunakan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa fungsi manajemen tenaga gizi puskesmas efektif terhadap program penanggulangan gizi buruk. Saran yang diajukan adalah penelitian ini

Nya sehingga skripsi yang berjudul “Efektifitas Fungsi Manajemen Tenaga Gizi Puskesmas Terhadap Program Penanggulangan Gizi Buruk Di Kabupaten Demak Tahun 2010” dapat

artinya ada hubungan antara pekerjaan dengan pengetahuan ibu tentang gizi buruk pada balita di wilayah kerja puskesmas Ciputat Timur karena hasil koefisien

pengetahuan dalam penelitian ini yang berpengaruh terhadap kinerja petugas gizi dalam penanganan gizi buruk didapatkan hasil uji regresi logistik

Pengaruh karakteristik Ibu dan dukungan suami terhadap pemberian imunisasi BCG pada Bayi diwilayah kerja puskesmas Aekraja Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2011.. Pengetahuan,

Setyaningsih, 2009, Pengaruh Kompetensi Bidan di Desa dalam Manajemen Penatalaksanaan Kasus Gizi Buruk pada Anak Balita Terhadap Pemulihan Kasus Gizi Buruk, Tahun 2008, (Studi

Selain itu, berdasarkan data BPS, Sulawesi Barat merupakan negara di bawah usia lima tahun yang mengalami gizi buruk jika dibandingkan dengan empat negara bagian terdekat Sulawesi