• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP SESEORANG YANG MELAKUKAN PENYERTAAN DAN PEMBARENGAN TINDAK PIDANA MENGGUNAKAN SURAT PALSU (Studi Putusan Pengadilan Nomor Register Perkara: 47/Pid./2012/PT.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP SESEORANG YANG MELAKUKAN PENYERTAAN DAN PEMBARENGAN TINDAK PIDANA MENGGUNAKAN SURAT PALSU (Studi Putusan Pengadilan Nomor Register Perkara: 47/Pid./2012/PT.TK)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP SESEORANG YANG MELAKUKAN PENYERTAAN DAN PEMBARENGAN TINDAK PIDANA

MENGGUNAKAN SURAT PALSU

(Studi Putusan Pengadilan Nomor Register Perkara: 47/Pid./2012/PT.TK)

Oleh

Ridho Utama Putra

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan. Satu contoh suatu modus operandi yang perlu dipertanggungjawabkan mengenai tindak pidana penyertaan dan pembarengan menggunakan surat palsu yang dilakukan oleh seorang bendahara koperasi di Bandar Lampung yang bernama Duly Fitriana, S.H. M.H binti A.Abd. Roni. Sesuai dengan putusan Pengadilan Tinggi Nomor Register Perkara 47/Pid./2012/PT.TK, Duly Fitriana, S.H. M.H binti A.Abd. Roni divonis dengan mengingat Pasal 263 ayat (2) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penyertaan dan pembarengan menggunakan surat palsu dengan pidana penjara selama satu tahun oleh hakim Pengadilan Tinggi, yang menjadi permasalahannya, bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang melakukan penyertaan dan pembarengan tindak pidana menggunakan surat palsu dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan vonis bagi seseorang yang melakukan penyertaan dan pembarengan tindak pidana menggunakan surat palsu.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Dalam penelitian ini narasumber yang diambil yaitu Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Lampung, Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dengan cara menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang jawaban dari permasalahan.

(2)

perbuatan itu sendiri yang secara sah dan meyakinkan melawan hukum dan bertentangan dengan peraturan yang ada. Selain itu juga terdakwa sebagai Pegawai Negari Sipil (PNS) seharusnya memberi contoh yang baik. Dasar pertimbangan Hakim, menerangkan bahwa Hakim dalam memutuskan perkara Nomor: 47/Pid./2012/PT.TK telah memperhatikan dakwaan jaksa dalam hal ini lamanya pidana yang diancamkan memang lebih rendah dari dakwaan Jaksa karena dalam perkara ini kedudukan Hakim berada di tengah-tengah yakni melihat kepentingan dari terdakwa yang merupakan seorang tulang punggung dari keluarganya dan terdakwa melakukan perbuatan pidana tersebut dikarenakan masalah ekonomi. Hakim dalam putusannya harus mengandung 2 (dua) unsur yaitu legal justice yang artinya setiap putusan Hakim harus sesuai dengan peraturan Perundang-undangan dan juga moral justiceyang artinya setiap putusan Hakim harus sesuai dengan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum merupakan seperangkat norma atau kaidah, dan kaidah itu bermacam-macam, tetapi tetap sebagai suatu kesatuan. Karena kaidah itu berisi perintah maupun larangan maka sudah selayaknya kaidah yang merupakan petunjuk hidup tersebut mempunyai sifat memaksa yang merupakan ciri dari kaidah hukum. Didalam masyarakat terdapat berbagai macam kepentingan dimana kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat dan juga di dalam kehidupan bermasyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kepastian hukum serta penegakan hukum yang baik demi terwujudnya ketenangan dan kenyamanan dalam melaksanakan aktivitas.

Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umunya dan korban pada khususnya.Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif

(4)

bahaya. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu etika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia.

Jenis-jenis sanksi dapat dilihat dalam Pasal 10 KUHP yaitu :

1. Pidana pokok antara lain : pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan;

2. Pidana tambahan antara lain : pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentudan pengumuman putusan hakim.

Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Asas-asas Hukum

Pidana Indonesia” menyebutkan:Hukum merupakan rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat.1

Tindak pidana yang terjadi didalam masyarakat merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan, sehingga mengundang pemerintah (negara) sebagai pelindung masyarakat untuk menanggulangi meluasnya tindak pidana yang melanggar nilai dan norma yang hidup dan berlaku di masyarakat.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. sedangkan kejahatan dalam

1

(5)

3

artikriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkret.2

Aksi tindak pidana sepertinya selalu menemukan modus-modus baru untuk melancarkan aksinya yang mana tingkat aksi pidana yang sudah sampai pada tingkat mengkhawatirkan. Koperasi yang merupakan salah satu sokoguru pembangunan kini bukan hanya dilihat sebagai alat mensejahterakan anggotanya saja melainkan dapat dijadikan sebagai komiditi modus tindak pidana.Sehubungan dengan semakin banyaknya aksi tindak pidana dewasa ini maka timbul pulalah suatu modus operandi baru mengenai tindak pidana penyertaan dan perbarengan menggunakan surat palsu yang dilakukan oleh seorang bendahara koperasi di Bandar Lampung yang bernama Duly Fitriana, S.H. M.H binti A.Abd. Roni.

Koperasi Al-Ikhlas pada Kantor Kementerian Agama Kota Bandar Lampung yang berdiri pada tanggal 17 Maret 1973 dan telah mendapat pengesahan dari Kepala Direktorat Koperasi Provinsi Lampung (Badan Hukum) Nomor : 179/BH/8/73 tanggal 16 Agustus 1973 merupakan sebuah lembaga yang salah satu fungsinya adalah bergerak dibidang simpan pinjam terhadap anggotanya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Koperasi Pegawai Republik Indonesia Al-Ikhlas tanggal 18 Maret 1995 dan telah mendapat pengesahan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Provinsi Lampung dengan Surat Keputusan Nomor : 227/BH/PAD/KWK.7/VIII/1996 tanggal 9 Agustus 1996 juncto Surat Keputusan Pengurus KPRI Al-Ihlas Kantor Departemen Agama Kota Bandar Lampung Nomor : 01/AL-IKHLAS/SK/V/2008 tentang pembagian

2

(6)

tugas pengurus dan pengawas KPRI Al-Ikhlas Kantor Departemen Kota Bandar Lampung.

Tindak pidana yang sering timbul diantaranya pemalsuan dokumen surat berupa surat perjanjian akta kredit. Pemalsuan tersebut dapat berupa memberikan keterangan palsu atau yang tidak berdasarkan fakta di lapangan secara bersama-sama dan berlanjut baik sebagian maupun keseluruhan surat yang bertujuan memuluskan pencairan dana.

Tindak pidana ini biasanya dilakukan oleh dua orang atau lebih karena kejahatan ini merupakan kejahatan yang sedikit rumit karena melibatkan banyak pihak. Sehingga akan menimbulkan dua kategori yaitu pelaku utama dan pelaku turut serta. Pelaku turut serta adalah pelaku yang turut membantu terjadinya tindak pidana. Dalam kaitan ini seperti menggunakan surat palsu secara bersama-sama dan berlanjut. Selain tindak pidana penyertaan yang lebih menekankan kepada si pelaku, tetapi juga terdapat tindak pidana pembarengan yaitu perbuatan tindak pidana lebih dari satu aturan pidana yang dilanggar, jadi lebih ditekankan pada perbuatan si pelaku seperti perbuatan berlanjut dalam Pasal 64 KUHP.

(7)

5

Pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni ”secara

bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”.

Pihak yang terkait didalam perkara ini adalah antara lain : Duly Fitriana, SH. MH. Binti A. Abd. Roni selaku Bendahara Koperasi Al-Ikhlas Kantor Kementerian Agama Kota Bandar Lampung berdasarkan Keputusan Rapat Anggota Tahunan KPRI Al-Ikhlas Kantor Departemen Agama Kota Bandar Lampung Nomor : 07/KEP/RAT-34/2008 tanggal 21 April 2008 secara bersama-sama dengan Maulana Marsad Bin Mahad Selaku Ketua Koperasi Al-Ikhlas Kantor Kementrian Agama Kota Bandar Lampung (KPRI Al-Ikhlas) dan Rohaya, S.Ag Binti M. Umar selaku Wakil Sekretaris Koperasi Al-Ikhlas Kantor Kementrian Agama Kota Bandar Lampung (yang perkaranya diajukan penuntutannya secara terpisah) serta M. Widoto Alias Wiwit (Alm) (Pegawai CIMB Niaga Cabang Bandar Lampung).

Saudara Duly Fitriana, SH. MH.Binti A. Abd. Roni sekiranya pada tanggal 18 September 2007 sampai dengan tanggal 29 Oktober 2009 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu antara tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 bertempat di Koperasi Al-Ikhlas Kantor Kementrian Agama Kota Bandar Lampung yakni di jalan K.H.A.Dahlan No. 28 Pahoman, Bandar Lampung atau pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bandar Lampung.

(8)

sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, antara beberapa perbuatan tersebut ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut.

Berdasarkan atas uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian penyusunan skripsi yang diberi judul

”Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Seseorang Yang Melakukan Penyertaan dan Pembarengan Tindak Pidana Menggunakan Surat Palsu (Studi Putusan Nomor: 47/Pid./2012/PT.TK)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

a) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang melakukan penyertaan dan pembarengan tindak pidana menggunakan surat palsu?

b) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang melakukan penyertaan dan pembarengan tindak pidana menggunakan surat palsu?

2. Ruang Lingkup

(9)

7

pembarengan tindak pidana menggunakan surat palsu. Kurun waktu penelitian ini adalah 1 (satu) tahun yaitu 2012 –2013. Lingkup Lokasi Penelitian ini adalah di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang terkait Putusan nomor register perkara: 47/Pid./2012/PT.TK

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian:

Sesuai dengan pertanyaan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk :

a. Mengetahui dalam hal pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang melakukan penyertaan dan pembarengan tindak pidana menggunakan surat palsu.

b. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam perkara penyertaan dan pembarengan tindak pidana menggunakan surat palsu.

2. Kegunaan Penelitian: a. Kegunaan Teoritis

(10)

b. Kegunaan Praktis

1) Memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti.

2) Mengembangkan daya kreatifitas dalam penalaran sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh.

3) Memberikan masukan serta tambahan pengetahuan dibidang hukum terutama mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang melakukan penyertaan dan pembarengan tindak pidana menggunakan surat palsu.

4) Diharapkan hasil penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dalam rangka pencegahan tindak pidana agar lebih profesional dalam menegakan hukum di negara ini.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.3

Manfaat :

a. Mencermati dokumentasi dari riset-riset sebelumnya pada area masalah yang sama secara umum

b. Mengontrol pengujian suatu hubungan

3

(11)

9

c. Meningkatkan pengetahuan atau pengertian terhadap suatu fenomena pengamatan

d. Pembentukan hipotesis untuk melihat apakah formula teori adalah valid atau tidak.

Kerangka teoritis dapat disebut juga suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu.

Syarat dipidananya seseorang tidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana saja. Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materiil), serta tidak ada alasan pembenar, hal tersebut belum memenuhi syarat bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus mempunyai kesalahan.4 Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah :5

a. Melakukan perbuatan pidana, b. Mampu bertanggung jawab, c. Dengan sengaja atau kealpaan, dan d. Tidak ada alasan pemaaf.

Membahas permasalahan penulis menggunakan teori pertanggungjawaban pidana, Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat

4

Chairul Huda,Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta:Prenada Media, 2006), hal. 74

5

(12)

dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.6

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.7

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang telah dilarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kermampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang hanya diminta pertanggungjawaban. Pada umumnya, seseorang mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu :

1. Keadaan Jiwanya :

a. Tidak terganggu penyakit terus menerus atau sementara, b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gila,idiot, dan sebagainya),

c. Tidak terganggu karena terkejut (hipnotisme, amarah yang meluap, dan sebagainya).

6

Ibid, hal. 80

7

(13)

11

2. Kemampuan Jiwanya :

a. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya,

b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak,

c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggungjawaban harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka dalam praktek dipakai faksi yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu dan bertanggungjawab kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain.

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan. Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.8

Maka dari keterangan di atas, bahwa pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

8

(14)

Menurut Sudarto sebelum hakim menentukan perkara, terlebih dahulu ada serangkaian pertimbangan yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut :9

a. Keputusan mengenai perkaranya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan dapat dipidana.

c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Menurut Sudarto, teori tujuan pemidanaan dan teori pedoman pemidanaan, dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia juga mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia dengan menerapkan beberapa teori-teori dasar pertimbangan hakim. Adapun teori-teori-teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan antara lain:

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

9

(15)

13

b. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memeandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya.

c. Teori Keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta konkret dalam persidangan. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tetentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.

2. Konseptual

(16)

menyimpulkan informasi yang beragam dan tidak lengkap menjadi sesuatu yang jelas, mengidentifikasi kunci atau dasar permasalahan di dalam situasi yang kompleks dan menciptakan konsep-konsep baru atau menurut Soerjono Soekanto: Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan di teliti.10

Konsep ini didalamnya dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penulisan, sehingga mempunyai batasan yang jelas dan tepat dalam penafsiran beberapa istilah, hal ini untuk menghindari kesalahpahaman dalam penulisan. Adapun pengertian istilah yang digunakan sebagai berikut:

1. Analisis adalah Suatu uraian mengenai suatu persoalan yang memperbandingkan antara fakta-fakta dengan teori, dengan menggunakan metode argumentatif sehingga menghasilkan suatu kejelasan mengenai persoalan yang dibahas.11

2. Putusan hakim atau putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam siding pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 11 KUHAP).

Definisi yang berkaitan dengan judul peniulisan ini dapat diartikan sebagai berikut, diantaranya adalah :

a. Pertanggungjawaban pidana adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu pemidanaan petindak dengan maksud apakah seseorang terdakwa

10

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum(Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 132

(17)

15

atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.12

b. Penyertaan tindak pidana yaitu orang yang bekerja sama, membantu, memfasilitasi, memudahkan, dan/atau melancarkan suatu perbuatan pidana (Pasal 55 ayat (1) KUHP).

c. Perbarengan tindak pidana adalah suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana (Pasal 63 ayat (1) KUHP).

d. Surat Palsu yaitu surat yang tampak dan terlihat seperti asli, tapi baik material maupun formal, ternyata tidak asli (Pasal 263 ayat (1) KUHP).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang menguraikan latar belakang, masalah dan ruang lingkup tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan mengenai

12

(18)

pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang melakukan penyertaan dan pembarengan tindak pidana menggunakan surat palsu.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang membahas tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data yang di dapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian mengenai mekanisme pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang melakukan penyertaan dan pembarengan tindak pidana menggunakan surat palsu.

V. PENUTUP

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana 1. Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaaan bagi yang bersangkutan.

a. Pelanggaran

Pelanggaran adalah perbuatan pidana yang ringan. Ancaman hukumannya berupa denda atau kurungan. Semua perbuatan pidana yang tergolong pelanggaran diatur dalam Buku ke III KUHP.1

b. Kejahatan

Kejahatan adalah perbuatan pidana yang berat. Ancaman hukumannya dapat berupa hukuman denda, hukuman penjara, hukuman mati, dan kadangkala masih ditambah dengan hukuman penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu, serta pengumuman keputusan hakim.2

1

Yulies Tiena Masriani,Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hal. 60

2

(20)

2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkret.3

Istilah “tindak pidana” telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah Strafbaar feit tersebut. Istilah het strabare feit sendiri telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai:

a. Delik (delict);

b. Peristiwa pidana, (E.Utrecht); c. Perbuatan pidana, (Moeljatno)

d. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; e. hal yang diancam dengan hukum;

f. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum;

g. Tindak pidana, (Sudarto dan diikuti oleh pembentuk UU sampai sekarang)

Lebih lanjut, Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilahstrafbaar feit untuk menyebut tindak pidana. Oleh karena itu, timbul pertanyaan istilah manakah yang paling tepat? Untuk menjawabnya, perlu diuraikan beberapa pendapat ahli Hukum Pidana.

3

(21)

19

a. Simon menerangkan strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab;

b. Van Hamel merumuskan sebagi berikut: Perbuatan pidana adalah “kelakuan

orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan kesalahan”;

c. Moeljatno, perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu

atura hukum, yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.4

d. Pompe, memberikan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu: a) Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang

dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;

b) Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian ataufeityang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.5

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dibuatkan suatu kesimpulan mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut :

1. Suatu perbuatan yang melawan hukum;

2. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan

4

Moeljatno,Azas-azas Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal.54

5

(22)

secara sengaja dan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian;

3. Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras;

Pada hakikatnya perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibatnya yang ditimbulkan. karenanya, perbuatan pidana adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar itu pun terdapat perbedaan pandangan, baik dari Pandangan atau aliran Monistis dan Pandangan atau aliranDualistis.

Menurut aliran Monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana maka sudah dapat dipidana. Sedangkan aliran Dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana.

Menurut pakar hukum Simon, seorang penganut aliran Monistis dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut6:

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

2. Diancam dengan pidana; 3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan;

5. Orang yang mampu bertanggung jawab.

6

(23)

21

Sedangkan menurut pakar hukum Moeljatno, seorang penganut Aliran Dualistis

merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut: 1. Perbuatan (manusia);

2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil; Sebagai konskuensi adanya asas legalitas);

3. bersifat melawan hukum (syarat materil; perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat. 4. Kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab tidak masuk sebagai unsur

perbuatan pidana karena unsur perbuatan ini terletak pada orang yang berbuat.7

Perlu diperhatikan menurut Sudarto mengenai unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan diatas. Meski berbeda pandangan dalam merumuskan hal tersebut antara yang satu dengan yang lainnya, namun hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian dan pasti bagi orang lain.8

Perbuatan pidana adalah suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana. Dimana larangan ditujukan kepada perbuatan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Oleh karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian memiliki hubungan erat satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan.

7

Heni Siswanto,Hukum Pidana, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2005), hal. 36

8

(24)

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.9

Pertanggungjawaban pidana yaitu syarat-syarat pengenaan pidana. Sedangkan Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai sanksi (ancaman) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.10 Tindak Pidana itu berkaitan dengan sanksi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana yaitu hanya melalui putusan hakim yang telah bersifat tetap dan jenis pidana yang dapat dijatuhkan telah ditentukan dalam undang-undang.

Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, didalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut :

Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.

Penjelasan Konsep RKUHP dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. 9

Saefudien,Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali, 2011), hal. 124

10

(25)

23

Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

Istilah pertanggungjawaban pidana dalam bahasa Belanda menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan

toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan

toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilahtoerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yangtoerekeningsvatbaar.

Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat.

Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut:

(26)

mengemukakan pendapatnya ”I…. Use the simple word “liability” for the situation where by one exact legally and other is legally subjected to the

exaction.”

Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atauliabilitytersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus

“dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.

Syarat dipidananya seseorang tidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana saja. Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materiil), serta tidak ada alasan pembenar, hal tersebut belum memenuhi syarat bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus mempunyai kesalahan.11

11

(27)

25

Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah12:

a. Melakukan perbuatan pidana, b. Mampu bertanggung jawab, c. Dengan sengaja atau kealpaan, dan d. Tidak ada alasan pemaaf.

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.13

Pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, adalah persoalan kedua, tergantung kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah dirasa perlu atau tidak untuk menuntut pertanggungjawaban tersebut. Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang umumnya telah dirumuskan oleh pembuat undang-undang. Kenyataannya memastikan siapakah yang bersalah sesuai dengan proses sistem peradilan pidana.

Perbuatan melawan hukum belum cukup untuk menjatuhkan hukuman. Harus ada pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pembuat harus ada

12

Roeslan saleh,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban, (Jakarta:Rineka Cipta, 1999), hal.79

13

(28)

unsur kesalahan dan bersalah itu adalah pertanggungjawaban yang harus memenuhi unsur :

a. Perbuatan yang melawan hukum.

b. Pembuat atau pelaku dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya (unsur kesalahan).

Pertanggungjawaban pidana adalah seseorang itu dapat dipidana atau tidaknya karena kemampuan dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam bahasa asing dikenal dengan Toerekeningsvatbaarheid dan terdakwa akan dibebaskan dari tanggung jawab jika itu tidak melanggar hukum.14

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Setiap orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya, hanya kelakuannya yang menyebabkan hakim menjatuhkan hukuman yang dipertanggungjawabkan pada pelakunya. Pertanggungjawaban ini adalah pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti luas mempunyai tiga bidang, yaitu :

1. Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan

2. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya :

a. Perbuatan yang ada kesengajaan, atau

14

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

(29)

27

b. Perbuatan yang ada alpa, lalai, kurang hati-hati

3. Tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana bagi pembuat.15

Terdapat tiga doktrin pertanggungjawaban, yaitu :

1. Pertanggungjawaban identifikasi, doktrin ini dipakai di Negara Anglo Saxon dan sering disebut pertanggungjawaban pidana langsung.

2. Pertanggungjawaban Vicarious Liability, yaitu seseorang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain atau disebut pertanggungjawaban pengganti atau pertanggungjawaban tidak langsung.

3. Pertanggungjawaban Strict Liability, yaitu pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-undang yang ditekankan pada unsur kesalahan, pertanggungjawaban ini sering disebut pertanggungjawaban mutlak.

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melakukan kesalahan, maka ia akan dipidana. Berarti orang yang melakukan tindak pidana akan dikenakan pidana atas perbuatannya. Seseorang harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang dilakukan sendiri atau bersama orang lain, karena kesengajaan atau kelalaian secara aktif atau pasif, dilakukan dalam wujud perbuatan melawan hukum, baik dalam tahap pelaksanaan maupun tahap percobaan.16

15

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1997) hal. 91

16

(30)

Asas legalitas menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun demikian, orang tersebut belum tentu dapat dijatuhi pidana, karena masih harus dibuktikan kesalahannya, apakah dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Agar seseorang dapat dijatuhi pidana, harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahan. Seseorang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat. Melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) yang mempunyai hubungan erat. Tanggung jawab itu selalu ada, meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan. Jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan yang diinginkan. Demikian pula dengan masalah terjadinya perbuatan pidana dengan segala faktor-faktor yang menjadi pertimbangan melakukan pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Atas faktor-faktor itulah tanggung jawab dapat lahir dalam hukum pidana.

(31)

29

langsung. Untuk dapat dipidana, maka perbuatannya harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Apabila perbuatannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana, maka kepada yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara yuridis.

Teori hukum pidana Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu : 1. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggung jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman.17

2. Kesengajaan Secara Keinsyafan Kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.18

3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.19

17

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hal. 66

18

Ibid, hal. 67-68

19

(32)

Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan

sebagai berikut : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang

lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurangan paling

lama satu tahun.”

Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu :

1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum 2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum

Ketentuan diatas, dapat diikuti dua jalan, yaitu pertama memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-duga menurut semestinya. Yang kedua memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna menentukan adanya kealpaan. Siapa saja yang melakukan perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang semestinya, ia juga tidak mengadakan menduga-duga akan terjadi akibat dari kelakuannya.

Selanjutnya ada kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan demikian tidak mengadakan penduga-duga yang perlu menurut hukum terdiri atas dua kemungkinan yaitu:

a. Terdakwa tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.

(33)

31

Syarat yang ketiga dari pertanggungjawaban pidana yaitu tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si

pembuat. Dalam masalah dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara “dasar

pembenar” (permisibilry) dan “dasar pemaaf” (ilegal execuse). Dengan adanya salah satu dasar penghapusan pidana berupa dasar pembenar maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/boleh, pembuatanya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Namun jika yang ada adalah dasar penghapus berupa dasar pemaaf maka suatu tindakan tetap melawan hukum, namun si pembuat dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana.

Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP, selain itu ada pula dasar penghapus diluar KUHP yaitu : Hak mendidik orang tua wali terhadap anaknya/guru terhadap muridnya dan Hak jabatan atau pekerjaan.

Termasuk dasar Pembenar Bela paksa Pasal 49 ayat 1 KUHP, keadaan darurat, pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, pemerintah jabatan-jabatan Pasal 51 ayat 1 Dalam dasar pemaaf atau fait d’excuse ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit dalam daya berpikir, daya paksa (overmacht),

bela paksa, lampau batas(noodweerexes),perintah jabatan yang tidak sah.20

20

(34)

C. Pelaku Penyertaan Dalam Tindak Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, pelaku (pleger) merupakan arti pembuat (dader) dalam pandangan yang sempit. Pembuat itu sendiri merupakan bagian dari penyertaan menurut ajaran “equivalente” setiap syarat bagi suatu akibat yang diperlukan dalam penyertaan, maka pengertian pelaku atau pembuat akan diperluas dengan:

1. Pelaku (pleger)

adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang melakukan perbuatan adalah pelaku sempurna yaitu yang melakukan sesuatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam suatu tindak pidana atau yang melakukan perbuatan yang memenuhi perumusan tindak pidana. Menurut H.R tanggal 19 Desember 1910, pelaku menurut undang-undang adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menghentikan situasi terlarang, sedangkan peradilan Indonesia memandang pelaku adalah orang yang menurut maksud pembuat undang-undang harus dipandang bertanggungjawab.21

2. Menyuruh melakukan (doenpleger)

adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain sedang itu hanya diumpamakan alat. Dengan demikian doenpleger ada dua pihak yaitu pembuat langsung dan pembuat tidak langsung, pada doenpleger

terdapat unsur-unsur:

a. Alat yang dipakai adalah manusia;

21

(35)

33

b. Alat yang dipakai itu berbuat (bukan alat yang mati); c. Alat yang dipakai itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Perbuatan menyuruh melakukan adalah suatu penyertaan, dalam hal ini orang yang telah benar-benar melakukan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya sedangkan orang lain dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang nyata oleh orang yang disuruh melakukan. Menurut MvT, perbuatan menyuruh melakukan terdapat dalam hal tindak pidana itu terjadi dengan perantaraan seorang manusia lain:

a. Yang dipergunakan sebagai alat dalam tangan pelaku;

b. Yang karena tanpa sepengetahuannnya terbawa dalam suatu keadaan atau terbawa dalam suatu kekeliruan atau karena kekerasan, sehingga ia menyerah untuk bertindak tanpa maksud ataupun kesalahan maupun tanpa dapat diperhitungkan sebelumnya.22

3. Yang turut serta (medepleger)

adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana ada tiga kemungkinan:

a. Mereka masing-masing memenuhi unsur rumusan delik; b. Salah seorang memenuhi semua unsur delik;

c. Tidak seorangpun memenuhi unsur delik, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu.

22

(36)

Syarat untuk adanya medepleger yaitu adanya kerjasama secara sadar dan ada pelaksanaan bersama secara fisik. Noyon berpendapat bahwa turut serta melakukan bukanlah turut melakukan, juga bukan bentuk pemberian bantuan, tetapi merupakan bentuk penyertaan yang berdiri sendiri yang terletak diantara perbuatan melakukan dan perbuatan pemberian bantuan.23

4. Penganjur (uitlokker)

adalah orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang. Perbedaan antara penganjur dengan menyuruh melakukan yaitu: a. Pada penganjuran orang yang digerakkannyadengan menggunakan sarana

untuk menggerakkannya tidak ditentukan;

b. Pada penganjuran pembuat materil dapat dipertanggungjawabkan sedangkan pada menyuruh melakukan pembuat materil tidak dapat dipertanggungjawabkan.

D. Tindak Pidana Menggunakan Surat Palsu Secara Bersama-sama dan Berlanjut

1. Surat Palsu dan Dasar Hukum

KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), dalam bahasa Belanda disebut: "Wetboek van Straffrecht" merupakan hukum positif Indonesia. Hukum positif adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku disuatu negara.Sebelum adanya KUHP baru, keberadaan KUHP sekarang, meski merupakan peninggalan kolonial masih tetap berlaku (hukum positif), terutama

23

(37)

35

khusus yang mengatur ketentuan-ketentuan pidana dan berbagai sanksi yang dikenakan bagi pelanggarnya.

Hal ini sesuai dengan pernyataan pada pasal 2 KUHP, bahwa ketentuan pidana dalam Undang Undang (UU) Indonesia berlaku bagi tiap orang yang dalam wilayah Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum (peristiwa pidana).

KUHP Indonesia terdiri dari tiga buku dengan 47 bab, dengan rincian: Buku Pertama berisi "Peraturan Umum" (9 bab), Buku Kedua mengatur tentang "Kejahatan" (31 bab) dan Buku Ketiga mengatur tentang "Pelanggaran" (6 bab), termasuk satu bab khusus didalam Buku Kedua yang mengatur tentang " Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan", yakni pada Bab XXIX.A-nya.

Khusus mengenai surat palsu, didalam KUHP diatur pada Buku Kedua Bab XII berjudul: "Memalsukan Surat-Surat", terdiri dari 14 pasal (pasal 263 sampai dengan 276). Namun tiga buah pasal telah dihapus, masing-masing pasal 265 dihapuskan oleh S (Staatblaad) 1926 No. 259 jo 429, dan pasal 272-273 dihapuskan oleh S. 1926 No. 359 jo 429. Sebab pasal 429 yang di jo (juncto)-kan ternyata sudah diatur didalam pasal 429 Bab XXVIII tentang: "Kejahatan Yang Dilakukan Dalam Jabatan", khusus untuk pegawai negeri.

2. Kriteria Surat Palsu

(38)

material maupun formal, ternyata tidak asli. Ketidak-aslian antara lain dapat terlihat dari form dan kop surat yang diyakini sipenerima surat adalah tidak asli. Atau bisa juga form dan kop surat diyakini adalah asli, tapi tulisan dan atau tanda-tangan sipemberi/sipengirim pada surat tersebut ternyata tidak asli atau diragukan.

Memalsu surat, mengubah surat sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari materi aslinya, atau sehingga surat itu menjadi lain dari pada aslinya. Caranya bermacam-macam. Tidak senantiasa perlu, bahwa surat itu diganti dengan yang lain. Dapat pula dilakukan dengan jalan mengurangkan, menambah atau mengubah sesuatu dari surat itu.

Memalsu tandatangan masuk kedalam pengertian "memalsu" surat. Demikian pula penempelan foto orang lain pada pemegang yang berhak atas suatu surat, misal dalam surat ijasah sekolah, SIM (surat ijin mengemudi /rijsbewijs), KTP (kartu tanda penduduk), dan lain-lain, harus dipandang sebagai suatu pemalsuan

Sedangkan surat yang dipalsukan haruslah berupa surat, yang, satu: dapat menerbitkan suatu "hak", misalnya: Ijasah sekolah/lembaga pendidikan, sertifikat hak atas tanah (SHM, SHGU, SHGB, dan lain-lain), SK/Surat Keputusan (pengangkatan pegawai, penetapan suatu jabatan, penetapan anggota partai/DPR), dan lain sebagainya.

(39)

37

Empat: surat yang boleh/dapat dipergunakan sebagai surat keterangan bagi sesuatu perbuatan atau sesuatu peristiwa tertentu, seperti akta perkawinan, akta kelahiran, IMB/ijin mendirikan bangunan, SIM, STNK/surat tanda nomor kendaraan, KTP, Obligasi/ORI (obligasi Republik Indonesia), buku tabungan di bank, termasuk kartu ATM dan atau kartu kredit, dan lain sebagainya.

3. Sanksi Hukum

Membuat surat palsu berbeda dengan memalsu surat. Membuat surat palsu, artinya membuat surat sedemikian rupa, misalnya kop suratnya asli tapi isi/materi surat bukan sebagaimana tujuan/maksudnya dan penandatangannya pun bukan merupakan orang yang berwenang untuk maksud tersebut.

Misal, petugas penyidik (Polri) dalam membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang isinya bukan semestinya (tidak yang sebenarnya), atau, membuat surat demikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Petugas penyidik Polri yang membuat proses perbal yang berisi sesuatu cerita yang tidak benar dari orang yang menerangkan kepadanya, tidak masuk pengertian membuat proses perbal palsu. Petugas tersebut baru dapat disebut telah membuat proses perbal palsu, bilamana petugas Polri itu menuliskan dalam proses perbalnya lain dari pada hal yang diceritakan kepadanya oleh orang tersebut.

(40)

diganti dengan yang lain. Dapat pula dilakukan dengan jalan mengurangkan, menambah atau mengubah sesuatu dari surat tersebut.

Memalsu tandatangan masuk pengertian memalsu dalam pasal ini. Demikian pula penempelan suatu foto orang lain dari pada pemegang yang berhak dalam suatu surat ijasah sekolah, SIM, KTP, harus dipandang sebagai suatu pemalsuan Surat aspal (asli tapi palsu) atau palsu tapi asli, sebenarnya tidak ada. Itu hanya merupakan sebuah istilah yang semakin populer didalam praktik hukum. Karena hanya dua gendang surat, yakni surat asli atau surat tidak asli/palsu.

Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa kriteria surat palsu (tidak asli) dapat disebutkan sebagai berikut, satu isinya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang sebenarnya dari surat tersebut. Dua, isinya sudah sesuai, namun stempel perusahaan/organisasi, nama dan tanda-tangan sipenandatangan surat dipalsukan. Tiga, isinya sudah sesuai, stempel perusahaan /organisasi sudah sesuai, namun nama dan si penandatangan bukan yang berwenang. Empat, isi surat, stempel dan tandatangan sudah sesuai, namun kop suratnya tidak sesuai dengan kop surat perusahaan/organisasi yang asli/sah/berwenang. Lima, isi dan tandatangan, stempel perusahaan/organisasi serta kop surat sudah sesuai, namun si penandatangan bukan orang yang namanya tercantum dibawah tandatangannya, dan sebagainya.

(41)

39

utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian, dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun".

(42)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian Hukum yuridis normatif dan yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.1

Membahas permasalahan yang penulis ajukan dalam penelitian ini, terdapat dua pendekatan yang dilakukan, yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan, penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dengan cara menguhubungkan peraturan-peraturan tertulis atau buku-buku hukum yang erat hubungannya dengan masalah yang diteliti.2

1

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 134

(43)

41

2. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan wawancara dengan responden yaitu petugas yang berwenang dalam masalah yang diteliti.3

Pendekatan ini digunakan dalam penelitian di lapangan yang ditinjau dari suatu pendekatan dengan cara melihat suatu masalah hukum sebagai kaidah atau norma yang dianggap sesuai dengan penelitian. Pendekatan yuridis normatif itu sendiri dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis dan legalistik, dimana dalam hal ini adalah dengan melakukan pendekatan dan menelaah asas-asas hukum yang ada dalam teori, undang-undang dan peraturan-peraturan yang lain, kemudian menyesuaikannya dengan apa yang terjadi di lapangan dimana dalam hal ini adalah kewenangan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.4 Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi/penelitian di lapangan atau dengan mengadakan wawancara dengan berbagai pihak yang terkait mengenai masalah Penyertaan dan Pembarengan Tindak Pidana Menggunakan Surat Palsu.

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum(Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 51

(44)

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Dimana data ini diperoleh melalui cara mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini yaitu mengenai pelaksanaan pertanggungjawaban pidana penyertaan dan pembarengan.

Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang dalam hal ini antara lain:

1. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(45)

43

a) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

b) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.14.PW.07.03 Tahun 1983;

c) Putusan Pengadilan Negeri Nomor Reg 771/Pid. B/2011/PN.TK; d) Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 47/Pid./2012/PT. TK.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna sebagai penunjang dimana bahan ini dapat memberikan informasi, petunjuk, dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa indonesia, artikel, media massa, makalah, naskah, paper, jurnal, dan bahan dari internet yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel serta Narasumber

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga.5 Dalam penelitian ini, maka yang menjadi populasi adalah Hakim di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang sebagai pihak yang terkait dengan Penyertaan dan Pembarengan Tindak Pidana Menggunakan Surat Palsu.

Menentukan sampel dari populasi, maka digunakan metode purposive sampling

yaitu memilih sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak digambarkan dan dicapai.6

Masri Singaribuan, Metode dan Proses penelitian, (Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, 1989), hal. 156

6

(46)

Narasumber adalah orang yang memberitahu atau mengetahui secara jelas atau menjadi sumber informasi.7 Adapun responden/narasumber sebagai bahan hukum penunjang dalam penelitian ini adalah para aparat penegak hukum dari Hakim yang bertugas di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Lampung serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung adalah sebagai berikut :

1. Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 orang 2. Jaksa Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang 3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

D. Prosedur pengumpulan dan pengolahan data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Penulisan dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi literatur.

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan ini bertujuan mencari dan mendapatkan data sekunder yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan menganalisis peraturan perundang-undangan dan literatur hukum yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana penyertaan dan pembarengan, diantaranya Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

(47)

45

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini dilakukan dengan pokok bahasan dan ruang lingkup penelitian ini.

b. Studi Literatur

Studi literatur dilakukan dengan cara menelaah dan mengidentifikasi literatur yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini yang mana masalah itu mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana penyertaan dan pembarengan dimana akan ditarik kesesuaian antara norma yang mengatur kewenangan tersebut dengan implementasinya dilapangan. Teknik yang digunakan adalah dengan membaca, menganalisis kemudian memahami isi ketentuan dalam norma-norma atau peraturan-peraturan yang mengatur mengenai kewenangan tersebut yang dapat memudahkan proses pengolahan data.

c. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer, maka dilakukan dengan cara observasi dan wawancara langsung terhadap narasumber. Wawancara dilakukan dengan memberikan pertanyaan secara lisan maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data pada penelitian ini antara lain meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini:

(48)

b. Klasifikasi data yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya dikelompokkan sesuai pokok bahasannya, sehingga diperoleh data yang struktural dan objektif.

c. Sistematisasi data yaitu menyusun data secara sistematis sehingga memudahkan menganalisis dan mengintrepretasikan data.

d. Intrepretasi data yaitu mengubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.

E. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menyederhanakan data yang diperoleh dari penelitian agar lebih mudah dimengerti dan diintrepretasikan lebih lanjut. Dimana dalam penelitian ini digunakan analisis kualitatif, yaitu dengan menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian, dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan dan kemudahan pembahasan. Dimana akan dianalisis dengan mencari kesesuaian antara imlpementasi dilapangan dengan doktrin-doktrin yang terdapat pada literatur-literatur.8 Selanjutnya berdasarkan hasil anasis data tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat induktif, yaitu dasar penarikan kesimpulan dengan cara penjabaran dari fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

8

(49)

62

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada terdakwa telah sesuai karena terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melawan hukum. Perbuatan terdakwa yang merugikan orang lain dalam hal ini Bank CIMB Niaga Cabang Bandar Lampung, sehingga sifat dari perbuatan itu sendiri yang secara sah dan meyakinkan melawan hukum dan bertentangan dengan peraturan yang ada. Selain itu juga terdakwa sebagai Pegawai Negari Sipil (PNS) seharusnya memberi contoh yang baik.

(50)

dakwaan jaksa dalam hal ini lamanya pidana yang diancamkan memang lebih rendah dari dakwaan Jaksa karena dalam perkara ini kedudukan Hakim berada di tengah-tengah yakni melihat kepentingan dari terdakwa yang merupakan seorang tulang punggung dari keluarganya dan terdakwa melakukan perbuatan pidana tersebut dikarenakan masalah ekonomi. Hakim dalam putusannya harus mengandung 2 (dua) unsur yaitu legal justice yang artinya setiap putusan Hakim harus sesuai dengan peraturan Perundang-undangan dan juga moral justice yang artinya setiap putusan Hakim harus sesuai dengan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.

B. Saran

(51)

64

(52)

(Studi Putusan Nomor: 47/Pid./2012/PT.TK)

(Skripsi)

Oleh :

RIDHO UTAMA PUTRA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(53)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana ... 17

B. Pertanggungjawaban Pidana ... 22

C. Pelaku Penyertaan dalam Tindak Pidana ... 32

D. Tindak Pidana Menggunakan Surat Palsu secara Bersama-Sama dan Berlanjut ... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 40

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Populasi dan Sampel serta Narasumber... 43

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 44

E. Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 47

(54)

Pembarengan Tindak Pidana Menggunakan Surat Palsu ... 55

BAB V PENUTUP

A. Simpulan... 62 B. Saran... 63

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. Hukum Pidana, Asas-asas dan Aturan Umum Hukum Pidana di Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung: 2006

Anwar, Moch. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung, 1981

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana I Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali. Jakarta: 1988. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 1999

Firganefi.Politik Hukum Pidana. Universitas Lampung Press. Lampung: 1998.

Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung: 2009 Huda, Chairul. Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada

Media, Jakarta, 2006

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997

Masriani, Yulies Tiena,Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana. BinaAksara. Jakarta: 1983

________. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung: 2004.

(56)

Bandung, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: 1981.

Singaribuan, Masri. Metode dan Proses Penelitian, Pusat penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1989

Siswanto, Heni.Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2005 Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986 ________________.Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 1990 Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia,

Jakarta, 1988

Sudarto.Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. 1981.

_______. Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas HukumUndip, Semarang, 1990

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.14.PW.07.03 Tahun 1983

Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor Register Perkara 771/Pid.B/2011/PN.TK

(57)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP SESEORANG YANG MELAKUKAN PENYERTAAN DAM PEMBARENGAN TINDAK PIDANA

MENGGUNAKAN SURAT PALSU (Studi Putusan Nomor: 47/Pid./2012/PT.TK)

Oleh

Ridho Utama Putra

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(58)

MENGGUNAKAN SURAT PALSU

(Studi Putusan Nomor: 47/Pid./2012/PT.TK) Nama Mahasiswa : Ridho Utama Putra

No. Pokok Mahasiswa : 0912011238

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H, M.H. Deni Achmad, S.H, M.H.

NIP 196112311989031023 NIP 198103152008011014

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(59)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua Penguji : Tri Andrisman, S.H, M.H. ...

Sekretaris : Deni Achmad, S.H, M.H. ...

Penguji Utama : Diah Gustianiati, S.H, M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H, M.S. NIP 196211091987031003

(60)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 17 April 1991, putra pertama dari dua bersaudara, dari Bapak yang bernama Muhtaridi Putra Negara, S.I.P dan ibu yang bernama Sri Maryati, S.Pd.

Jenjang Pendidikan yang pertama kali ditempuh oleh penulis adalah Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) PKK Nambah Dadi pada tahun 1995-1997 dan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Kristen Bandar Jaya pada tahun 1997-2003, kemudian penulis melanjutkan Pendidikan Menengah Tingkat Pertama di SMP Negeri 3 Terbanggi Besar pada tahun 2003-2006 serta mengakhiri Pendidikan Menengah Atas di SMA Negeri 1 Terbanggi Besar pada tahun 2006-2009.

(61)

Motto

Tak ada rahasia menggapai kesuksesan Kesuksesan itu dapat terjadi karena

Persiapan, kerja keras dan mau belajar dari kegagalan (Gen Collin Powell)

Kegagalan adalah satu-satunya kesempatan Untuk memulai lagi dengan lebih cerdik

(Henry Ford)

(62)

Papa dan Mamaku tercinta

Yang telah memberikan kasih sayang serta mendoakan anak-anaknya Yang telah memberikan seluruh dukungan baik moril maupun materil Agar menjadi orang yang berguna baik untuk diri sendiri maupun untuk orang

lain

Dan kepada adikku tersayang

Ryo Novri Rahmanu, saya mengucapkan terima kasih atas kasih sayang dan perhatiannya yang telah diberikan selama ini

Untukku, kalian semua adalah segala-galanya yang aku dimiliki di dunia ini karena kalianlah penyemangat hidupku

Tanpa kalian aku bukanlah siapa-siapa

(63)

KATA PENGANTAR

<

Referensi

Dokumen terkait

akibat pemberian berbagai jenis peptisida dengan berbagai konsentarasi, sehingga hasil akhirnya didapatkan bahan aktif peptisida dan konsentrasi yang aman bagi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pihak-pihak yang terkait dalam implementasi sistem poin di SMA Negeri 4 Lubuklinggau yaitu Kepala Sekolah, Wakil Kepala

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah keragaan hibrida hasil persilangan intraspesifik 4 populasi ikan nila ( Red NIFI, NIRWANA, Merah lido, dan BEST,) secara

Dengan demikian, hasil analisis data kuantitatif yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan tarif pajak efektif kini setelah amnesti pajak mencerminkan bahwa

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah pengetahuan terutama di bidang auditing, untuk menjadi acuan penelitian selanjutnya,

Formula Allah ya Allah digunakan di dalam syair pengiring tari karena kesenian merupakan salah satu media dakwah yang digunakan oleh ulama di Aceh untuk berzikir..

Menurut Borshchev &amp; Filippov (2004) Agent Based Model (ABM) adalah suatu metode yang digunakan untuk eksperimen dengan melihat pendekatan dari bawah ke atas (

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukan bahwa jenis dan komposisi nutrisi media tanam jamur tiram putih memberikan pengaruh yang nyata pada persentase