• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PEMBERIAN KUASA DIREKSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II PENGATURAN PEMBERIAN KUASA DIREKSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN PEMBERIAN KUASA DIREKSI DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

A. Wewenang Direksi Dalam Perseroan Terbatas

Tugas atau fungsi utama Direksi adalah menjalankan dan melaksanakan “pengurusan” (beheer, administration or management) perseroan. Jadi perseroan diurus, dikelola atau di-manageoleh Direksi.

Pengurusan Direksi dalam perseroan terbatas, meliputi tugas atau fungsi melaksanakan kekuasaan pengadministrasian dan pemeliharaan harta kekayaan perseroan. Dengan kata lain, Direksi melaksanakan pengelolaan atau menangani bisnis perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan perseroan dalam batas-batas kekuasaan atau kapasitas yang diberikan oleh undang-undang dan anggaran dasar kepadanya.

Implikasi dari pelaksanaan fungsi pengurusan, dengan sendirinya menurut hukum memberi wewenang (macht, authority or power) kepada direksi “menjalankan” pengurusan.76

Undang-undang memperingatkan batas-batas kewenangan direksi dalam menjalankan pengurusan, yakni:77

76M. Yahya Harahap,Hukum Perseroan Terbatas, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.

346.

(2)

1. Kewenangan menjalankan pengurusan, harus dilakukan semata-mata untuk kepentingan perseroan dan tidak boleh untuk kepentingan pribadi.

2. Direksi dalam menjalankan kewenangan pengurusan perseroan, tidak boleh melampaui batas-batas maksud dan tujuan yang ditentukan dalam anggaran dasar.

3. Direksi dalam menjalankan kewenangan pengurusan perseroan harus sesuai dengan “kebijakan yang dipandang tepat”, dalam batas-batas yang ditentukan dalam UUPT dan atau anggaran dasar.

Adapun kebijakan yang dipandang tepat menurut penjelasan UUPT adalah kebijakan yang didasarkan kepada keahlian, peluang yang tersedia (available opportunity) dan kebijakan yang diambil berdasarkan kelajiman dalam dunia usaha(common business practice).78

Dengan pendekatan legalistik, perbuatan pengurusan (beheer van daden) Direksi itu hanya ditujukan untuk kepentingan perseroan. Singkat kata kepentingan perseroan itu hanya keuntungan. Berbeda dengan paham klasik yang mengajarkan bahwa kebijakan direksi itu harus ditujukan untuk kepentingan pemegang saham. Sejak diikutinya paham institusional (institutionale opvating) orientasi kebijakan pengurus perseroan adalah tidak lagi semata-mata hanya ditujukan kepada pemegang

(3)

saham, tetapi lebih luas dari itu yaitu untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan yang diatur dalam anggaran dasar.79

Direksi sebagai salah satu organ atau alat perlengkapan perseroan, selain mempunyai kedudukan dan kewenangan mengurus perseroan, juga diberi wewenang untuk “mewakili” perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama perseroan.80

Kapasitas atau kewenangan yang dimiliki direksi mewakili perseroan karena undang-undang. Artinya, undang-undang sendiri dalam hal ini Pasal 1 angka 5 dan Pasal 92 ayat (1) UUPT yang memberi kewenangan itu kepada direksi untuk mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, kapasitas mewakili yang dimilikinya adalah kuasa atau perwakilan karena undang-undang (wettelijke vertegenwoordig, legal or statutory representative).81

Menurut Pasal 98 ayat (3) UUPT, pada dasarnya kewenangan direksi untuk mewakili perseroan:

1. Tidak terbatas(unlimited)dan tidak bersyarat(unconditional)

2. Kecuali UUPT, Anggaran Dasar atau Keputusan RUPS menentukan lain.

B. Wewenang Komisaris Dalam Perseroan Terbatas

Dewan komisaris adalah terjemahan dari bahasa Belanda raad van commissarissen. Konsep dasar dewan komisaris berasal dari tanggung jawab

79Nindyo Pramono,Tanggung Jawab Dan Kewajiban Pengurus PT (Bank) Menurut UU No.

40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan Volume 5 Nomor 3, Desember 2007, hal. 19-20.

(4)

pengaturan (governance) suatu badan usaha yang dimiliki oleh kelompok yang berbeda dengan yang menata atau yang mengelolanya.82 Dimana sebagai konsekuensi dari pemisahan fungsi manajemen dengan pemilik, diperlukan suatu perangkat dimana pemilik perlu mendapat jaminan sampai seberapa jauh penyertaannya dapat memberikan hasil yang diharapkan, karena pemilik tidak mungkin dapat langsung turut serta dalam pengelolaan perusahaan.

Dalam undang-undang disebutkan bahwa dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi.83

Selanjutnya mengenai tugas/fungsi dewan komisaris dalam UUPT diatur dalam Pasal 108 ayat (1) dan (2) yakni:

1. Melakukan pengawasan terhadap:

a. Kebijakan pengurusan perseroan yang dilakukan direksi, dan b. Jalannya pengurusan pada umumnya.

2. Memberi nasihat kepada direksi.

Komisaris pada umumnya bertugas untuk mengawasi kebijaksanaan direksi dalam mengurus perseroan serta memberikan nasihat-nasihat kepada direksi. Tugas pengawasan itu bisa merupakan bentuk pengawasan preventif atau represif.84

Pengawasan preventif ialah melakukan tindakan dengan menjaga sebelumnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan merugikan perseroan,

82Moenaf H. Regar I, Op.Cit., hal. 34 83Pasal 1 angka 6 UUPT

84 Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas,

(5)

misalnya untuk beberapa perbuatan dari direksi yang harus dimintakan persetujuan komisaris. Sedangkan yang dimaksud dengan pengawasan represif ialah pengawasan yang dimaksudkan untuk menguji perbuatan direksi apakah semua perbuatan yang dilakukan itu tidak menimbulkan kerugian bagi perseroan dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan anggaran dasar.85

Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Perseroan Terbatas Paradigma Baru, fungsi pengawasan dari dewan komisaris diwujudkan dalam 2 (dua) level sebagai berikut:

1. LevelPerformance, adalah fungsi pengawasan dimana komisaris memberikan pengarahan dan petunjuk kepada direksi perusahaan dan RUPS.

2. Level Conformance, adalah berupa pelaksanaan kegiatan melaksanakan pengawasan selanjutnya agar dipatuhi dan dilaksanakan, baik terhadap pengarahan dan petunjuk yang telah diberikan maupun terhadap ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak memperinci secara jelas arti kata “pengawasan” yang merupakan fungsi dari komisaris. Namun demikian, menurut Munir Fuady, pelaksanaan tugas pengawasan oleh komisaris dalam suatu perseroan terbatas dapat dilakukan dengan beberapa pedoman yuridis sebagai berikut:

1. Pengawasan dilakukan oleh komisaris, baik jika diminta oleh direksi dan atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ataupun jika tidak diminta.

2. Pengawasan tidak boleh berubah menjadi pelaksanaan tugas-tugas eksekutif, karena pelaksanaan tugas-tugas eksekutif perusahaan merupakan kewenangan direksi.

3. Pengawasan harus dilaksanakan kepada keputusan yang sudah diambil (ex post facto) atau terhadap putusan-putusan yang akan diambil (preventive basis).

(6)

4. Pengawasan bukan hanya sekedar menerima informasi dari direksi/Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), melainkan juga dapat mengambil tindakan-tindakan yang bersifat korektif.

5. Pengawasan tidak hanya sekedar menyetujui atau tidak menyetujui terhadap tindakan-tindakan yang memerlukan persetujuan komisaris sebagai yang diperinci dalam anggaran dasar, tetapi pengawasan mencakup semua aspek bisnis dan aspek korporat dari perusahaan.86

Beberapa prinsip yuridis yang berlaku untuk komisaris adalah sebagai berikut:87

1. Komisaris merupakan badan pengawas.

2. Komisaris merupakan badan independen, artinya komisaris tidak tunduk kepada kekuasaan siapa pun, dan harus melihat semata-mata kepentingan perseroan.

3. Komisaris tidak mempunyai otoritas manajemen (non-executive). 4. Komisaris tidak bisa memberikan instruksi kepada direksi.

5. Komisaris tidak bisa diinstruksikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

C. Hubungan Antara Direksi Dengan Perseroan Terbatas

Direksi sebagai pengurus (beheerder, administrator or manager) perseroan adalah “Pejabat” Perseroan. Jabatannya adalah anggota Direksi atau Direktur Perseroan (a director is an officer of the company). Anggota direksi atau direktur bukan pegawai atau karyawan (he is not an employee). Oleh karena itu, dia tidak

(7)

berhak mendapat pembayaran preferensial (preferential payment) apabila Perseroan di likuidasi.88

Hubungan antara direksi dengan perseroan dapat dilihat dari dua sudut pandang yakni pertama, direksi merupakan organ perseroan dan tidak dapat dianggap sebagai pegawai perseroan, dan dari sudut pandang yang kedua, direksi dapat dianggap sebagai pegawai perseroan jika dia menerima gaji dari perseroan.

Direksi mempunyai hubungan ganda dengan perseroan. Direksi sebagai organ merupakan bagian esensial dari perseroan, selain dari direksi mempunyai hubungan kontraktual dengan perseroan selaku badan hukum mandiri. Hubungan kontraktual direksi dengan perseroan tidak melahirkan hubungan kerja dan direksi bukan karyawan perseroan.89

Secara tradisional direksi tidak digaji perusahaannya karena secara tradisional direksi sendiri merupakan pemegang saham yang juga memiliki kepentingan dalam perusahaan tersebut. Dalam hal ini para direksi yang demikian tidaklah berstatus “pegawai” dari perusahaan tersebut. Meskipun masih banyak perusahaan dimana direksinya merupakan pemegang saham, tetapi ada juga perkembangan sekarang menempatkan direksi pada posisi sebagai pegawai perusahaan dan dibayar gaji.90

Konsekuensi yuridis dari direksi sebagai pekerja perusahaan (jika dia digaji) adalah bahwa direksi tersebut berstatus sebagai “pegawai” terhadap perusahaan

88

Yahya Harahap,Op.Cit., hal. 346.

89 Ratnawati W. Prasodjo, Organisasi Perusahaan. Makalah disampaikan pada Pendidikan

Khusus Profesi Advokat Angkatan 6. Jakarta, 31 Juli 2008, hal. 30.

(8)

tersebut sehingga berlakulah hukum tentang ketenagakerjaan (hukum perburuhan) terhadap direksi yang bersangkutan secara mutatis mutandis.91

Hubungan kerja antara direksi dengan perseroan yang memberikan pekerjaan adalah hubungan berdasarkan kepercayaan yang menimbulkanfiduciary duty.92

Hubungan kerja antara direktur dan perseroan yang memberikan pekerjaan adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duty). Direktur dalam melakukan tugasnya harus menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk tujuan yang patut. Direktur tidak dapat atau tidak boleh memperoleh keuntungan untuk dirinya pribadi.93Oleh karena itu, berdasarkan prinsip kepercayaan ini, maka direktur harus berbuatbonafideuntuk kepentingan perseroan secara keseluruhan.94

Sebagai pengurus perseroan, direksi adalah agen dari perseroan, dan karenanya tidak dapat bertindak sesuka hati.95 Hal ini dikarenakan adanya hubungan fiduciarydalam hubungan hukum antara direksi dengan perseroan.

Hubungan fiduciary sebagai konsekuensi logis dari eksistensi teori fiduciary duty terdapat bukan hanya dalam hubungan trustee dengan beneficiary, melainkan juga dalam berbagai hubungan hukum lainnya, termasuk hubungan hukum antara

91Ibid., hal. 55.

92Veronica Tampubolon,Op.Cit., hal. 109.

93 Chatmarrasjid Ais, Pengaruh Doktrin Piercing The Corporate Veil Dalam Hukum

Perseroan Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 6 Tahun 2003, Hal. 12.

94Rudhi Prasetya,Kedudukan Mandiri Dan Pertanggungjawaban Terbatas Dari Perseroan

Terbatas, Airlangga University Press, Surabaya, 1983, hal. 9.

(9)

direksi dengan perseroannya atau hubungan hukum antara agen dengan prinsipalnya.96

Direksi sebagai pengurus perseroan mempunyai tugas fiduciary duty. Seseorang mempunyai tugas fiduciary (fiduciary duty) manakala dia mempunyai kapasitas fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang dikatakan memiliki fiduciary capacity jika bisnis yang ditransaksikannya atau uang/property yang dihandel bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya, melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang lain tersebut, dimana orang tersebut mempunyai kepercayaan yang besar kepadanya. Sementara itu, dilain pihak dia wajib mempunyai itikad baik yang tinggi (high degree of good faith) dalam menjalankan tugasnya.97

Hubungan fidusia lebih luas dari sekedar pertanggungjawaban hukum berdasarkan undang-undang dan anggaran dasar karena juga berasal dari kepercayaan para pemegang saham yang meliputi prinsip kehati-hatian, moralitas professional dan itikad baik. Oleh karena itu, direksi sebagai perwakilan perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa bertindak dengan itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab (full responsibility) dengan tingkat kecermatan yang wajar dan tidak memperluas maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri.98

Fiduciary duty merupakan wujud dari konsep kepercayaan dari perseroan kepada direksi, dimana kewenangan pengurusan perseroan diserahkan ditangan direksi. Konsekuensi dari konsep kepercayaan tersebut maka setiap anggota direksi “wajib dipercaya” dalam melaksanakan tanggung jawab pengurusan perseroan.99

Prinsipfiduciary duty berlaku bagi direksi dalam menjalankan tugasnya, baik dalam menjalankan fungsinya sebagai manajemen maupun representasi dari perseroan.

96Munir Fuady,Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam

Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 57.

97Ibid.

, hal. 33.

(10)

Sepanjang sejarah penerapan teori fiduciary duty ini, muncul beberapa “pedoman dasar” bagi direksi dalam menjalankan fiduciary duty terhadap perseroan yang dipimpinnya. Pedoman dasar tersebut adalah sebagai berikut:100

1. Fiduciary duty merupakan unsur wajib (mandatory element) dalam hukum perseroan.

2. Dalam menjalankan tugasnya, seorang direksi tidak hanya harus memenuhi unsur itikad baik, tetapi juga harus memenuhi unsur “tujuan yang layak” (proper purpose).

3. Pada prinsipnya direktur dibebani prinsip fiduciary duty terhadap perseroan, bukan terhadap pemegang saham. Karena itu, hanya perusahaanlah yang dapat memaksakan direksi untuk melaksanakan tugasfiduciarytersebut.

4. Dalam menjalankan fungsinya, direksi juga harus memperhatikan kepentingan stake holders, seperti pihak pemegang saham dan buruh perusahaan.

5. Direksi bebas dalam memberikan suara atau pendapat sesuai dengan keyakinan dan kepentingannya sebagai seorang direktur dalam setiap rapat yang dihadirinya.

6. Direksi bebas dalam mengambil keputusan sesuai pertimbangan bisnis dan “sense of business” yang dimilikinya.

7. Dalam hal-hal dimana terdapat conflict of interest, seorang direksi dilarang atau setidak-tidaknya dibatasi atau diawasi dalam menjalankan tugasnya. Pedoman dasar tersebut juga terdapat dalam UUPT yang terlihat dari isi beberapa pasalnya, yakni:

1. Pasal 92 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa “Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas-batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.” Hal ini berarti direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan bebas dalam membuat kebijakan sesuai dengan pertimbangan bisnis dan“sense of business” yang dimilikinya. Selain itu juga direksi dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus:

a. Memperhatikan kepentingan perseroan,

(11)

b. Sesuai dengan maksud dan tujuan PT (intra vires act),

c. Memperhatikan ketentuan mengenai larangan dan batasan yang diberikan dalam undang-undang dan anggaran dasar.

2. Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.” Yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” adalah direksi wajib memperhatikan perseroan dengan seksama dan tekun.

3. Pasal 99 ayat (1) UUPT yang membatasi kewenangan anggota direksi dalam mewakili perseroan dalam hal terjadi perkara di pengadilan antara perseroan dengan anggota direksi yang bersangkutan, atau anggota direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan.

Perseroan terbatas sebagai abstraksi hukum memerlukan pengurus perseroan untuk menjalankan operasionalnya. Pengurus perseroan tersebut dalam ketentuan UUPT disebut direksi. Oleh karena itu, keberhasilan atau kegagalan operasional suatu perseroan terbatas sangat tergantung pada kepengurusan direksi.101

Tanggung jawab direksi bersumber dari ketergantungan PT pada direksi sebagai salah satu organ PT. ketergantungan PT terhadap direksi tersebut diwujudkan dalam bentuk pendelegasian PT kepada direksi untuk dikelola atas dasar kepercayaan tanggung jawab (fiduciary duty). Oleh karena itu, keberadaan PT dengan direksi adalah saling mendukung, dalam arti adanya PT adalah sebab keberadaan direksi dan

(12)

keberadaan direksi adalah sebab adanya PT, karena mustahil ada PT tanpa ada direksi. Disinilah letak hubungan antara PT dan direksi bersifat hubungan fiduciary.102

Hubungan fiduciary antara PT dengan direksi menimbulkan fiduciary duty bagi direksi yakni bahwa direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas, dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (high degree).

Karena kedudukannya yang bersifat fiduciary, maka tanggung jawab direksi menjadi sangat tinggi. Direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap ketidakjujuran yang disengaja (dishonesty), tetapi dia bertanggung jawab juga secara hukum terhadap tindakanmismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perusahaan.103

Tanggung jawab direksi dinyatakan secara tegas dalam Pasal 97 UUPT. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan dan pengurusan mana wajib dilaksanakan oleh setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dalam hal terjadi kerugian perseroan yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian direksi dalam menjalankan tugasnya maka setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi dan tanggung jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi. Hal ini berarti bila terbukti bahwa kerugian perseroan merupakan akibat dari kesalahan atau

102Ibid., hal. 103.

(13)

kelalaian direksi maka direksi akan dikenakan pertanggungjawaban yang meliputi harta pribadinya.

Anggota direksi tidak akan turut dikenakan pertanggungjawaban atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT, yakni bahwa:

1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya,

2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan,

3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan

4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

D. Hubungan Antara Komisaris Dengan Perseroan Terbatas

(14)

Dalam kata “organ” mengandung arti yang penting. Bila diibaratkan sebagai seorang manusia yang mempunyai organ-organ tubuh dalam menjalankan setiap aktivitas maka organ dalam sebuah perseroan juga mempunyai fungsi yang sama agar perusahaan dapat beroperasi dengan sebagaimana mestinya.

Sebagai organ perseroan, dewan komisaris berfungsi untuk mengawasi setiap kebijakan direksi agar tetap berada dalam koridor anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Perseroan Terbatas mewajibkan suatu perseroan untuk memiliki komisaris karena UUPT memandang perlu adanya komisaris sehingga menjadikan posisi komisaris ini sebagai posisi yang wajib ada dalam setiap perseroan terbatas.

Undang-Undang Perseroan Terbatas memandang begitu pentingnya posisi dari organ komisaris ini, karena dia akan berfungsi sebagai badan pengawasan, baik bagi direksi maupun juga bagi perseroan.104

Fungsi komisaris dalam hukum perseroan yang modern dalam menjalankan tugas pengawasannya adalah independen, yakni lebih dititikberatkan kepada perlindungan kepentingan perseroan secara menyeluruh, yang berarti lebih memperhatikan seluruhstakeholderdari perseroan, termasuk kepentingan lingkungan dan masyarakat.105

(15)

Tugas pengawasan inilah yang harus dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh kehati-hatian. Inilah yang merupakanfiduciary dutydewan komisaris terhadap perseroan.106 Pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris tersebut harus dilaksanakan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, sesuai dengan tugas pengurusan dari direksi yang pelaksanaan tugas pengurusannya diawasi oleh dewan komisaris.107

Setiap anggota dewan komisaris wajib menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab. Setiap anggota dewan komisaris bertanggung jawab atas kerugian perseroan yang timbul sehubungan dengan kesalahan atau kelalaian anggota direksi dalam menjalankan tugasnya.

Anggota dewan komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan:

1. Telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. 2. Tidak mempunyai benturan kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak

langsung atas tindakan pengurusan direksi yang mengakibatkan kerugian, dan 3. Telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau

berlanjutnya kerugian tersebut.

(16)

E. Pemberian Kuasa

Pemberian kuasa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) berasal dari kata “lastgeving”. Subekti menerjemahkan rumusanlastgevingsebagai suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.108

Dari rumusan tersebut jelas bahwa yang dinamakan dengan lastgeving atau pemberian kuasa adalah suatu perjanjian. Dengan demikian, suatu pemberian kuasa hanya dapat terjadi antara orang-orang yang cakap untuk bertindak dalam hukum.

Para pihak dalam pemberian kuasa terdiri dari: 1. Pemberi Kuasa (lastgever)

2. Penerima Kuasa (lasthebber)

Dalam pasal 1793 KUHPerdata dinyatakan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa. Pasal ini memberikan arti bahwa:

1. Lastgeving atau pemberian kuasa adalah suatu perjanjian konsensuil, yang tidak terikat dengan suatu bentuk formil tertentu.

2. Sebagaimana suatu perjanjian pada umumnya, kuasa juga memerlukan penawaran dan penerimaan. Suatu pemberian kuasa baru berlaku dan mengikat manakala telah ada penerimaan oleh penerima kuasa atas suatu kuasa yang ditawarkan oleh pemberi kuasa.

3. Penerimaan kuasa dapat terjadi dengan suatu bukti penerimaan yang secara tegas menyatakan kehendaknya untuk menerima kuasa tersebut dan melaksanakan kuasa yang diberikan; maupun secara langsung melaksanakan kuasa yang ditawarkan tersebut. Konteks yang terakhir ini oleh KUHPerdata dinyatakan sebagai penerimaan kuasa secara diam-diam.109

108Pasal 1792 KUHPerdata

(17)

Menurut undang-undang terdapat 2 (dua) jenis pemberian kuasa, yaitu:110 1. Kuasa umum, yaitu kuasa untuk melakukan pengurusan. Seorang penerima

kuasa dengan kuasa umum tidak diperkenankan untuk: a. Meminjam uang;

b. Mengasingkan atau membebani benda-benda tak bergerak, termasuk menjual atau memindahtangankan surat-surat utang Negara, piutang-piutang, dan andil-andil;

c. Menyewa atau mengambil dalam hak usaha untuk diri sendiri;

d. Menerima warisan, selain dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan tersebut;

e. Menolak warisan; f. Menerima hibah;

g. Memajukan suatu gugatan dimuka hakim; h. Memajukan pembelaan atas suatu gugatan;

i. Meminta pembagian dan pemisahan harta peninggalan; j. Mengadakan perdamaian di luar hakim;

k. Menyerahkan suatu perkara kepada suatu lembaga penyelesaian sengketa alternatif.

2. Kuasa khusus, yaitu kuasa untuk menyelenggarakan hal-hal khusus sebagaimana dikecualikan dari tindakan pengurusan.

Undang-undang mengatur bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui kuasa yang diberikan kepadanya.111

Kewajiban Penerima Kuasa menurut pasal 1800 KUHHPerdata, antara lain: 1. Melaksanakan perbuatan hukum yang dikuasakan kepadanya.

2. Menyelesaikan semua urusan atau perbuatan hukum yang dilimpahkan kepadanya sebelum jangka waktu perjanjian kuasa berakhir.

3. Kuasa wajib memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang tindakan apa saja yang dilakukannya, serta memberi perhitungan kepada pemberi kuasa tentang segala apa yang diterimanya.112

110Ibid.

(18)

4. Bertanggung jawab atas tindakan yang dibuat orang yang ditunjuknya, padahal kepadanya tidak diberi hak substitusi, atau kepadanya diberi hak substitusi tanpa menyebut namanya, dan ternyata orang yang ditunjuknya tidak cakap dan tidak mampu.113

5. Penerima kuasa wajib menanggung segala kerugian dan bunga yang timbul atas keingkaran dan kelalaiannya melaksanakan apa yang dikuasakan kepadanya.

Adapun kewajiban pemberi kuasa, yang terpenting diantaranya:

1. Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa dengan pihak ketiga, sepanjang perikatan itu masih dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan kepada penerima kuasa.114

2. Pemberi kuasa wajib membayar ganti rugi kepada kuasa tentang kerugian yang diderita sewaktu menjalankan kuasa, dengan syarat asal kuasa tidak bertindak kurang hati-hati (carelessly).115

F. Akibat Hukum Pemberian Kuasa Pada Umumnya

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian kuasa merupakan suatu perjanjian dimana seorang memberikan kuasa kepada orang lain yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dengan

112

Pasal 1802 KUHPerdata

(19)

demikian, pemberian kuasa juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata.

Pengaturan tentang perjanjian dapat ditemui dalam Buku III Bab II KUHPerdata. Dalam pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Menurut Abdulkadir Muhammad, pengertian Perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi, antara lain:116

1. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri” jadi ada consensus antara dua pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu consensus. Seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanya bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

116 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

(20)

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, dkk, yang menyatakan bahwa :

Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan diatas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.117

Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas, beberapa sarjana hukum memberikan definisi baru perjanjian, antara lain:

a. R. Setiawan.

Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.118

b. R. Subekti.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.119

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang dittapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum

117 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka

Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.

(21)

(legally concluded contract).120 Sebagai suatu perjanjian, maka pemberian kuasa harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yakni:121

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.122

Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perujudan kehendak tersebut.123

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).124

120Abdulkadir Muhammad,Op.Cit.,hal 228. 121

Pasal 1320 KUHPerdata

122

R. Subekti,Op.Cit.,hal. 17.

(22)

Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, antara lain:

1. Kekhilafan (Kesesatan) Pasal 1321 KUHPerdata :

Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

Pasal 1322 KUHPerdata:

Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.

Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

(23)

Error in substantia maksudnya ialah bahwa kesesatan itu adalah mengenai sifat benda, yang merupakan alasan yang sesungguhnya bagi kedua belah pihak, untuk mengadakan perjanjian.125

Sedangkan dikatakan tidak ada kekhilafan apabila kehendak seseorang pada waktu membuat persetujuan tidak dipengaruhi kesan atau pendangan yang palsu. Kekhilafan harus sedemikian rupa sehingga seandainya tidak khilaf mengenai hal itu, ia tidak akan menyetujuinya.

2. Paksaan

Pasal 1323 KUHPerdata:

Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut tidak telah dibuat.

Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Disini paksaan itu harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.126

3. Penipuan

Pasal 1328 KUHPerdata :

(24)

Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu-muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

4. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden)

Penyalahgunaan keadaan terjadi jika seseorang tergerak karena keadaan khusus (bijzondere omstandigheden) untuk melakukan tindakan hukum dan pihak lawan menyalahgunakan hal ini. KUHPerdata belum mengatur secara khusus mengenai penyalahgunaan keadaan. Namun, pengaturan tentang hal ini dapat ditemukan dalam yurisprudensi. Sebagaimana dinyatakan oleh Setiawan, Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan adalah faktor yang membatasi atau mengganggu terbentuknya kehendak bebas yang dipersyaratkan bagi persetujuan antara kedua pihak sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 butir 1 KUHPerd.127

Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak dalam melakukan tindakan hukum. Siapa yang dapat dan boleh bertindak dan mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak dan mampu untuk melakukan suatu tindakan hukum (handelingsbekwaam) yang membawa akibat hukum.128Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.

(25)

Dengan kata lain, mereka yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap adalah orang yang secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum.129

Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum, terlepas dari apakah secara faktual ia mampu memahami konsekuensi tindakan-tindakannya.130

Ketidakcakapan (handelingsonbekwaamheid) melakukan tindakan hukum haruslah dibedakan dengan ketidakwenangan melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). Tidak berwenang adalah mereka yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.131

Perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak wenang galibnya batal demi hukum (nietig). Sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap tidakipso jurebatal, tetapi dapat dibatalkan (vernietigbaar).132

Penentuan ketidakcakapan dan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum, demi kepastian hukum, dikaitkan pada fakta eksternal yang mudah dipastikan dan dikenal batas-batasnya secara jelas, misalnya, akta kelahiran atau pernyataan umum lainnya (putusan pengadilan), surat/akta bukti pemilikan.133

Dalam suatu perjanjian terdapat objek perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, objek perjanjian disebut dengan “suatu hal tertentu”. Yang dimaksud

129Ibid.,hal. 102-103. 130

Ibid.

131Ibid

., hal. 105.

(26)

dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak dari kreditor.134

Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau kausa yang halal. Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian.135

Ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Hal ini berarti suatu perjanjian yang mengandung sebab-sebab demikian adalah batal demi hukum.

Lebih lanjut, Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan bahwa “Jika tak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, atau pun jika ada suatu sebab lain dari pada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah”. Ketentuan ini berbicara tentang suatu sebab yang tidak dinyatakan ataupun berbeda dari apa yang dinyatakan, tetapi tetap merupakan sebab yang halal. Dalam kasus demikian, perjanjian adalah sah.

Pasal 1337 KUHPerdata mengatur mengenai apa yang dimaksud dengan sebab terlarang yakni apabila sesuatu sebab itu dilarang oleh undang-undang, atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

134Ibid., hal. 107-108.

(27)

Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving) dapat dibuat dalam bentuk perjanjian sepihak (apabila tidak diperjanjikan upah) atau dalam bentuk perjanjian timbal balik (apabila diperjanjikan upah).136

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak.137 Hal ini berarti bahwa suatu perjanjian pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak apabila pihak yang akan menerima prestasi hanya pihak pemberi kuasa, sedangkan pihak penerima kuasa tidak mendapat prestasi berupa apapun juga.

Sebaliknya apabila dalam suatu perjanjian pemberian kuasa diperjanjikan suatu upah kepada penerima kuasa maka perjanjian pemberian kuasa itu adalah perjanjian timbal-balik. Dikatakan sebagai perjanjian timbal balik karena kedua pihak sama-sama memperoleh prestasi dimana pemberi kuasa memperoleh prestasi berupa dilaksanakannya urusan yang berhubungan dengan kepentingannya oleh penerima kuasa dan penerima kuasa memperoleh upah yang telah diperjanjikan.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah akan menimbulkan akibat hukum. Demikian pula dengan perjanjian pemberian kuasa yang dibuat secara sah akan menimbulkan akibat hukum.

Akibat hukum dengan dibuatnya suatu perjanjian pemberian kuasa adalah bahwa para pihak terikat dengan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam undang-undang.

(28)

Ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penerima kuasa dapat ditemukan pengaturannya pada Pasal 1800 hingga Pasal 1806 KUHPerdata. Pasal 1800 KUHPerdata merupakan ketentuan dasar yang mengikat seorang penerima kuasa. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa dengan menerima suatu kuasa, seorang penerima kuasa telah mengikatkan dirinya untuk menyelesaikan kuasa tersebut, dan karenanya bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pemberi kuasa sebagai akibat tidak dilaksanakannya kuasa tersebut.

Pasal 1801 KUHPerdata mengatur mengenai tanggung jawab penerima kuasa. Luasnya tanggung jawab dari seorang penerima kuasa tidak hanya meliputi perbuatan-perbuatan yang disengaja olehnya melainkan juga terhadap setiap kelalaian yang dilakukan olehnya.

Pasal 1802 KUHPerdata mewajibkan penerima kuasa untuk memberikan laporan tentang segala sesuatu yang telah dilakukan oleh penerima kuasa tersebut, dan selanjutnya memberikan perhitungan kepada pemberi kuasa mengenai penerimaan yang telah dilakukannya, sesuai dengan kuasa yang telah diberikan kepadanya, termasuk segala sesuatu yang tidak seharusnya dibayar kepada pemberi kuasa.

(29)

Pasal 1803 KUHPerdata mengatur mengenai penunjukan kuasa oleh penerima kuasa. Dalam pasal tersebut terdapat beberapa hal, antara lain:

1. Penerima kuasa bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk olehnya sehubungan dengan pemberian kuasa apabila : a. Penerima kuasa tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang lain

sebagai penggantinya.

b. Dalam hal penerima kuasa diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dan orang yang ditunjuk sebagai penggantinya itu ternyata tidak cakap atau tidak mampu dalam menyelesaikan kuasa yang telah diberikan.

2. Dalam hal kuasa diberikan untuk melakukan pengurusan benda-benda yang terletak di luar wilayah Indonesia atau di lain pulau daripada yang di tempat tinggal pemberi kuasa, maka setiap saat penerima kuasa berhak untuk menunjuk seorang lain melaksanakan kuasanya tersebut atas tanggungan pemberi kuasa.

3. Meskipun suatu penunjukkan seorang lain untuk melaksanakan kuasanya tersebut dilakukan oleh penerima kuasa, dengan atau tanpa persetujuan pemberi kuasa, pemberi kuasa adalah berwenang untuk setiap saat secara langsung menuntut orang yang ditunjuk lebih lanjut oleh penerima kuasa tersebut.

(30)

pemberian kuasa ditunjuk lebih dari satu orang penerima kuasa, maka terhadap para penerima kuasa tidak dibebankan tanggung jawab secara tanggung renteng, kecuali hal tersebut telah diatur secara tegas dalam perjanjian pemberian kuasa.

Pasal 1806 KUHPerdata mengatur bahwa penerima kuasa tidak bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi diluar dari batas kuasa yang telah dijalankannya, kecuali ia secara pribadi telah mengikatkan dirinya untuk itu.

Selanjutnya mengenai kewajiban pemberi kuasa diatur dalam Pasal 1807 hingga Pasal 1812 KUHPerdata. Pasal 1807 KUHPerdata mengatur mengenai akibat eksternal dari pelaksanaan kuasa yang telah dilakukan oleh penerima kuasa sesuai dengan kuasa yang diberikan kepadanya. Adapun akibat eksternal dari pelaksanaan kuasa tersebut adalah bahwa pemberi kuasa bertanggung jawab atas pemenuhan setiap perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa berdasarkan kuasa yang diberikan kepadanya. Namun, jika ada pelaksanaan kuasa yang menyimpang dari kuasa yang diberikan, pemberi kuasa adalah bebas untuk setiap saat mengukuhkan atau menyetujui pelaksanaan kuasa yang menyimpang tersebut. Dalam hal penyimpangan atau perbuatan di luar kuasa tersebut dikukuhkan atau disetujui, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab pemberi kuasa.

(31)

penerima kuasa tidak melakukan kelalaian dalam melaksanakan kuasanya, terlepas dari selesai tidaknya kuasa tersebut dilaksanakan oleh penerima kuasa.

Pasal 1809 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban pemberi kuasa dalam memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-kerugian yang diderita penerima kuasa sewaktu menjalankan kuasanya, sepanjang penerima kuasa tidak telah lalai atau berbuat kurang hati-hati.

Pasal 1810 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban pemberi kuasa dalam membayar bunga atas persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa sehubungan dengan pelaksanaan kuasa yang telah diberikan, terhitung sejak dikeluarkannya persekot-persekot itu oleh penerima kuasa.

Pasal 1811 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban tanggung menanggung dari beberapa orang pemberi kuasa yang memberikan kuasa kepada satu orang penerima kuasa untuk mewakili suatu urusan yang merupakan urusan para pemberi kuasa secara bersama-sama.

Pasal 1812 KUHPerdata mengatur mengenai hak retensi yang dimiliki oleh penerima kuasa untuk menahan milik pemberi kuasa yang berada ditangannya, untuk suatu waktu yang tidak ditentukan lamanya, hingga seluruh tuntutan penerima kuasa dari pemberi kuasa, sehubungan dengan pemberian kuasa telah dibayar lunas oleh pemberi kuasa.

G. Pemberian Kuasa Direksi Dalam UUPT

(32)

Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.

Adapun surat kuasa yang dimaksud dalam pasal 103 UUPT tersebut adalah surat kuasa khusus.138

UUPT tidak mengatur lebih lanjut mengenai pemberian kuasa yang dimaksud dalam pasal 103 sehingga dengan demikian ketentuan mengenai pemberian kuasa yang diatur dalam Bab XVI, Buku III KUHPerdata berlaku bagi pemberian kuasa direksi.

Sesuai dengan salah satu prinsip pokok pemberian kuasa yakni dengan adanya suatu pemberian kuasa maka penerima kuasa sah bertindak untuk dan atas nama (for and on behalf) pemberi kuasa melakukan perbuatan hukum yang ditentukan dalam surat kuasa, dan dalam bertindak melakukan perbuatan hukum, penerima kuasa tidak atau bukan bertindak atas namanya sendiri, tetapi tetap atas nama pemberi kuasa.

Jika prinsip hukum diatas dikaitkan dengan pemberian kuasa yang diatur pada pasal 103 UUPT maka orang yang diberi kuasa atau penerima kuasa dari direksi, akan bertindak untuk dan atas nama (for and on behalf) perseroan.

Direksi mempunyai kapasitas dan kewenangan sebagai kuasa menurut undang-undang mewakili perseroan, sehingga direksi dalam mengurus perseroan adalah untuk dan atas nama perseroan.139 Dengan demikian, jika direksi memberi

(33)

kuasa kepada orang lain untuk melakukan tindakan pengurusan kepentingan perseroan, dengan sendirinya karena hukum orang itu bertindak untuk dan atas nama perseroan menggantikan kedudukan dan kapasitas direksi.140

Pemberian kuasa yang sah menurut pasal 103 UUPT harus dalam bentuk tertulis (schriftelijke machtiging, written authorization). Bentuk tertulis dari pemberian kuasa tersebut dapat dibuat dalam bentuk akta otentik (authentieke akte, public deed) yakni surat kuasa yang dibuat dihadapan pejabat umum, atau dalam bentuk akta bawah tangan (onderhandse akte, private instrument) yakni dibuat secara partai oleh pemberi dan penerima kuasa tanpa campur tangan pejabat umum.

Sifat kuasa yang boleh diberikan direksi adalah kuasa khusus (bizondere machtiging, special authorization). Kuasa khusus tersebut adalah untuk melaksanakan pengurusan kepentingan perseroan mengenai perbuatan tertentu.

Direksi dilarang atau tidak dibenarkan memberi kuasa umum. Apabila direksi memberi kuasa umum, selain kuasa itu batal demi hukum berdasar pasal 1337 KUHPerdata, tindakan itu sekaligus dikategorikan perbuatanultra viresyakni direksi telah melakukan perbuatan yang melampaui batas kapasitas dan kewenangannya. Hal ini dikarenakan direksi adalah organ yang diberi kewenangan langsung untuk mengurus perseroan, sehingga apabila direksi memberikan kuasa umum maka berarti juga direksi telah mempersempit ruang geraknya dalam mengurus perseroan dan hal mana adalah bertentangan denganfiduciary dutydari direksi.

Referensi

Dokumen terkait

1) Memfasilitasi PA/KPA dan mengumumkan rencana umum pengadaan. 2) Memfasilitasi ULP menayangkan pengumuman pelaksanaan pengadaan. 3) Memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan

Berikut gambar activity diagram untuk login admin Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Operator Terbaik Dengan Metode SAW (Simple AdditiveWeighting) Pada PT.

Salah satu cara untuk menentukan biaya pencemaran adalah dengan melihat tingkat harga, tetapi bila tidak dapat secara langsung mengetahui harga pasar untuk kerugian karena

Dapat disimpulkan dari beberapa pendapat diatas, bahwa tujuan maintenance adalah untuk mempermudah penggunaan komponen secara optimal dari peralatan yang digunakan melalui

Untuk mengatasi masalah tersebut digunakan metode Improved k-Nearest Neighbor di mana pada metode ini digunakan nilai k yang berbeda untuk setiap kategori

Pengujian kesamaan model GWNBR dengan regresi binomial negatif dilakukan untuk melihat terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak antara model GWNBR dengan

Akhirnya dengan terbitnya pedoman uji kompetensi, pembentukan lembaga sertifikasi kompetensi, pembentukan tempat uji kompetensi, serta pelatihan dan ujian calon penguji uji

Sebaran ibu hamil menurut kadar T4 bebas serum dan deskriptif statistik kadar T4 bebas serum pada berbagai kelompok intervensi Koefisien regresi peubah respon yang