• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Minuman Emulsi Kaya B Karoten Dari Minyak Sawit Merah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi Minuman Emulsi Kaya B Karoten Dari Minyak Sawit Merah"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULAS1 MINUMAN EMULSI I U U A P-IUROTEN

DARI MINYAIC SAWIT MERAIl

OLEH:

SURFIANA

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

SURFIANA. Formulasi Minuman Emulsi Kaya Beta Karoten dari Minyak Sawit

Merah. Dibimbing oleh TIEN R. MUCHTADI dan DEDE ROBIATUZ

ADAWIYAH.

Salah satu masalah gizi utama yang di derita oleh anak balita adalah defisiensi vitamin A. Defisiensi pada tingkat berat dapat mengakibatkan kebutaan. Oleh sebab itu diupayakan menghasilkan produk minuman emulsi sebagai produk diversifikasi minyak sawit merah yang mempakan altematif sumber vitamin A dalam rangka membantu memenuhi kecukupan gizi masyarakat terhadap vitamin A.

Penelitian dilaksanakan dengan memfonnulasikan minyak sawit merah sebagai sumber beta karoten dengan air dan dengan penambahan berbagai bahan tambahan makanan lainnya sehingga menghasilkan suatu produk emulsi sejenis Scott's Emulsion yang memiliki rasa, wama, aroma, dan penampakan yang disukai.

Fonnulasi emulsi yang dipilih dari hasil penelitian ini meliputi rasio minyak terhadap air = 7:3 untuk emulsifier Tween 80 pada konsentrasi 1% dan 6:4 untuk emulsifier sukrosa ester asam lemak tipe S-1570, P-1570, dan emulsifier campuran sukrosa ester asam lemak ber-HLB 15 masing-masing pada konsentrasi 1%. Bahan tambahan makanan yang digunakan yaitu pengawet Benzoat (0,2%), antioksidan BHT (200 ppm), pengkelat EDTA (200 ppm), pemanis simp fruktosa (10--15%), dan flavorjemk (1--1,5%).

Produk emulsi yang terbentuk memiliki viskositas antara 380--2100 cp., bilangan asam 1.340-1.401 mg KOWg emulsi, bilangan peroksida 1.133-2.853 meqllOOOg emulsi, total karoten 299.104--414.408 ppm, kadar beta karoten 211.852-310.870 ppm dan jumlah mikroba 0.10'-3.lb' koloni mikrobalg emulsi.

Hasil uji organoleptik terhadap minuman emulsi memberikan hasil bahwa minuman emulsi yang disukai adalah jenis emulsi dengan emulsifier sukrosa ester asam lemak HLB 15 yang memiliki rasio minyak: air = 6:4. Emulsi ini memiliki nilai viskositasl650 cp., total karoten 364,893 ppm, dan kadar beta karoten 222,285 ppm.

(3)

FORMULAS1 MINUMAN EMULSI KAYA P-KAROTEN

DARI MINYAK SAWIT MERAH

SURFIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Tesis : Fonnulasi Minuman Emulsi Kaya P-Karoten dari Minyak Sawit Merah

Nama : Surfiana

NFP : 97148

Program Studi : Ilmu Pangan

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

g-A

Prof. Dr. IT. Tien R. Muchtadi. M.S. Ir. Dede Robiatul Adawivah. M.Si.

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Pangan

(5)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 13 Januari 1968 dari ayah Sudjadi dan ibu Sanikem. Penulis merupakan anak ketujuh dari sebelas bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, lulus pada tahun 1992. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister penulis dapat tahun 1997 pada Program Studi Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasaqana diperoleh dari

Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI).

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Politekmk Pertanian Negeri Bandar

(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian

yang dilaksanakan sejak bulan Juli 1999 sampai dengan bulan Agustus 2000 ini ialah Formulasi Minuman Emulsi Kaya P-Karoten dari Minyak Sawit Merah.

Pada kesempatan ini penuljs mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi. M.S. sebagai dosen pembimbing pertama yang

telah memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat dan dorongan semangat kepada penulis. Serta kepada Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si. sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian hingga penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Hibah Bersaing VII yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis dan Dr. C. Hanny Wijaya, M.Sc. atas bantuannya dalam perolehan bahan untuk penelitian.

Kepada teman-teman khususnya mbak Rama, mbak Rini, Mbak Ani, UN Susi, Imron, Sri (alm), Tensiska, Leni, Pak Sabariman, Uni Novelina, Udin dan teman-

teman IPN 97 atas segala bantuan, dorongan, dan kebersamaannya selama melaksanakan penelitian. Kepada mas Taufik, mbak Ari, mbak Antin, dan Pak Ade terima kasih atas segala bantuannya selama penelitian di laboratorium.

Akhirnya kepada suami tercinta Wan Ruslan Abdul Ghani, SE. M.S. yang

dengan segala ketulusan dan kesabarannya mendampingi, mendukmg, d m membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan ini. Serta kepada kedua anak kami tercinta Rian dan Rosa terima kasih atas segala kasih sayangnya.

Kepada Ibunda dan ayahanda (aim) terima kasih atas segala doa, bimbingan,

dan kasih sayangnya kepada penulis. Kakak-kakak dan adik-adik atas segala bantuan dan pengertiannya selama ini. Kepada Ibu d m Ayah mertua terima kasih atas segala doa, bimbingan dan bantuannya, juga kepada Kakanda Dr. H. Wan Abbas Zakaria, M.S. sekeluarga atas segala bantuan dan dorongannya, adinda Ir. Wan Umar Nurul Anwar sekeluarga, dan adinda Wan Jamatudin, M.Ag. sekeluarga atas segala

bantuannya penulis ucapkan terima kasih.

(7)

DAFTAR IS1

Halaman

DAFTAR TABEL

...

vii

... DAFTAR GAMBAR

...

VIII DAFTAR LAMPIRAN

...

ix

PENDAHULUAN

...

1

Latar Belakang

. .

...

:. ...

...

Tujuan Penellt~an

. .

1

Manfaat Penelltlan

...

7 7 TINJAUAN PUSTAKA

...

8

...

Kelapa Sawit dan Pertumbuhannya Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil)

...

8

Minyak Sawit Merah (Red Palm Oil)

...

:

...

9

Komponen Minor Minyak Sawit

...

11

Sistem Emulsi dan Emulsifier

...

15 Pemmusan Model Umur Simpan

...

28 19

...

METODOLOGI PENELITIAN 32

...

Waktu dan Tempat Penelitian

...

Bahan dan Alat .

.

...

Metode Penelitlan

...

Penentuan Jenis dan Konsentrasi Emulsifier

...

Formulasi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah

...

Penentuan .

.

Umur Simpan Minuman Emulsi

Pengujlan Sifat Fisik

...

...

Viskositas . . (Metode

.

Haake

.

Viscometer)

...

Pengullan Sifat I m ~ a

...

Bilangan Asam (Metode Titrasi)

...

Bilangan Peroksida (Metode Titrasi)

Kandungan Total Karoten (Metode Spektrofotometri)

...

...

Kadar Beta Karoten (Metode HPLC)

. .

...

Penguj~an Mikrobiologi

...

Total Mikroba (Metode Total Plate Count)

. .

...

Pengujlan Organoleptik

...

Uji Hedonik :

....

...

HASIL DAN PEMBAHASAN 45

...

Penentuan Jenis dan Konsentrasi Emulsifier 45

...

(8)

Viskositas

... .

.

...

...

Total Karoten

...

Kadar Beta Karoten

Bilangan Asam

...

...

Bilangan Peroksida

...

Total Mikroba

. .

...

UJI Organoleptik

...

Penentuan Umur Simpan Minuman Emulsi

...

KESIMPULAN

...

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

...

1 Pangsa konsumsi minyak sawit menurut bentnk konsumsi di Indonesia 3

2 Beda tebal tempurung dari berbagai tipe kelapa sawit

...

8

3 Komposisi asam lemak dalam minyak sawit Malaysia

...

11

4 Komponen minor dalam minyak sawit mentah (CPO)

...

16

...

5 Klasifikasi emulsifier yang digunakan sebagai bahan tamballan makanan 26

6 Persentase dua jenis emulsifier dengan nilai HLB yang berbeda pada berbagai nilai HLB

...

48

7 Jenis dan konsentrasi emulsifier yang dipilih dan digunakan pada berbagai

...

rasio minyak dan air 49

8 Komposisi minuman emulsi kaya beta karoten dari minyak sawit merah

...

51

...

9 Karakteristik minyak sawit merah 52

10 Hasil uji kesukaan pada 4 (empat) jenis minuman emulsi

...

64

11 Kadar beta karoten minuman emulsi selama penyimpanan pada suhu yang berbeda

...

65

12 Perubahan kadar beta karoten minuman emulsi selama penyimpanan pada suhu yang berbeda

...

65

...

(10)

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir proses pengolahan minyak sawit

...

13

2 Struktur dasar karotenoid

...

17

3 Komponen minor dalam minyak sawit

...

18

4 Tipe grup hidrofilik dan lipofilik

...

21

5 Skema terjadinya emulsi minyak dalam air

...

23

6 Struktur kimia ester sukrosa

...

27

...

7 Struktur kimia polysorbate (Tween) 27

...

8 Diagram alir pembuatan minuman emulsi

...

9 Skema orientasi molekul emulsifier

...

10 Kemampuan dispersi dari sukrosa monoester

11 Viskositas berbagai minuman emulsi kaya beta karoten pada minggu ke-0

...

penylmpanan

12 Hubungan antara lama penyimpanan dan total karoten pada berbagai jenis

...

minuman emulsi

...

13 Kadar beta karoten pada berbagai jenis minuman emulsi

14 Hubungan antara lama penyimpanan dan bilangan asam pada berbagai jenis

...

minuman emulsi

15 Hubungan

.

.

.

antara lama penyimpanan dan bilangan peroksida pada berbagai

...

jenls mlnuman emulsi

16 Hubungan antara lama penyimpanan dan jumlah mikroba pada berbagai jenis

...

minuman emulsi

17 Perubahan kadar beta karoten minuman emulsi selama penyimpanan pada suhu

...

yang berbeda

...

....

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jenis emulsifier yang sesuai pada berbagai rasio minyak : air

...

77

2 Data hasil pengamatan viskositas minuman emulsi minyak sawit

...

82

...

3 Data hasil pengamatan total karoten minuman emulsi minyak sawit 83

...

4 Rumus perhitungan kadar beta karoten minuman emulsi minyak sawit 84 5 Data hasil pengamatan kadar beta karoten minuman emulsi minyak sawit

...

84

6 Data hasil pengamatan bilangrin asam minuman emulsi minyak sawit

...

85

7 Data hasil pengamatan bilangan peroksida minuman emulsi minyak sawit

...

86

8 Data hasil pengamatan total mikroba minuman emulsi minyak sawit

...

87

...

9 Format pengujian organoleptik minuman emulsi minyak sawit 89

10 Hasil uji kesukaan secara organoleptik terhadap minuman emulsi minyak sawit 89

...

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak pelita

N,

komoditi sawit telah ditetapkan sebagai komoditi ekspor

non migas untuk meningkatkan devisa dan memenuhi kebutuhan industri minyak

nabati dan industri laimya di dalam negeri. Dalam rangka itu, pemerintah (sub

sektor perkebunan) telah merencanakan peningkatan pioduksi sawit dalam skala

besar melalui program ekstensifikasi, intensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi

(Muchtadi, 1996).

Menurut Pulungan dkk. (2000), dilihat dari ketersediaan sumber daya yang

ada, Indonesia masih mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan

perkebunan dan industri kelapa sawit di masa mendatang. Pengembangan

agroindustri kelapa sawit ini h a m diamhkan untuk meningkatkan produktivitas,

efisiensi dan keberlanjutan usaha sehingga memberikan dampak yang lebih besar

lagi terhadap perekonomian daerah dan pemberdayaan masyarakat terutama

dalam menyongsong otonomi daerah.

Minyak sawit kasar atau yang dikenal dengan istilah crudepalm oil (CPO)

mempakan minyak yang diperoleh dari hasil ekstraksi bagian mesokarp (daging)

buah sawit, sedangkan mjnyak inti sawit yang dikenal dengan istilahpalm kernel

oil (PKO) diperoleh dari hasil ekstraksi inti sawit.

Menunrt data Oil Wodd (1994), dalam dekade terakhir ini pertumbuhan

(13)

2

Sementara i t y laju pertumbuhan konsumsi minyak sawit dunia pada periode yang

sama mampu bertumbuh sekitar 9% pertahun. Bahkan konsumsi minyak inti

sawit mampu bertumbuh rata-rata 10% per tahun. Sedangkan minyak kedelai

yang memiliki pangsa konsumsi terbesar dunia hanya mampu bertumbuh sekitar

3% per tahun. Dengan pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia yang

demikian diperkirakan pangsa minyak sawit akan menjadi sekitar 20% pada tahun

1998 ini menggeser kedudukan minyak kedelai yang pangsanya menurun menjadi

sekitar 18%.

Apabila dilihat secara global, kontribusi minyak sawit terhadap

penyediaan minyak nabati dunia adalah sebesar 21,1%. Kontribusi yang besar ini

diperkirakan masih &an naik di tahun-tahun mendatang. Hal ini karena

produhqivitas minyak sawit per satuan luas tanaman adalah yang paling besar

dengan biaya produksi yang rendah sehiigga menyebabkan minyak sawit

mempunyai daya saing yang tinggi dibandiigkan dengan minyak nabati lainnya

(Pulungan dkk, 2000).

Peranan minyak sawit dalam bidang pangan dan gizi adalah sebagai bahan

baku dalam pembuatan berbagai jenis produk pangan antara lain minyak goreng,

margarin, shortening, dan sebagainya Namun selain sebagai bahan baku dalam

pembuatan berbagai jenis produk pangan, minyak sawit digunakan pula dalam

pembuatan produk-produk kosmetika seperti sabun, shampo, lotion, dan lain-lain

serta dalam berbagai pembuatan produk f m a s i . Tabel 1 memperlihatkan pangsa

(14)

Tabel 1. Pangsa konsumsi minyak sawit nlenurut bentuk konsulnsi di Indonesia.

Pangsa Bentuk yang Dikonsumsi

Tahun Minyak Margarinl Sabun Oleokimia Lain-lain

Goreng Shortening

1991 72,5 4,3 16,O

Sumber: Saragih (1998)

Di Indonesia sendiri, konsumsi minyaWlemak per kapita sekitar 10 kg per

tahun. Jika penduduk Indonesia sekitar 200 juta orang maka total konsumsi

minyakllemakper tahun sekitar 2 juta ton (Pulungan dkk., 2000).

Kennggulan minyak sawit bila dibandingkan dengan minyak nabati

lainnya yaitu selain memerlukan biaya produksi yang rendah juga mengandung

komposisi asam lemak yang berimbang dan komponen zat gizi minor yang sangat

penting untuk kesehatan manusia.

Menurut Muhilal (1998), dari sudut pandang penggunaan minyak sawit

sebagai minyak goreng perhatian ditujukan pada komposisi asam lemaknya

karena pengaruhnya terhadap derajat kesehatan konsumen dalam jangka panjang.

Secara alami minyak sawit mempunyai komposisi asam lemak yang berpengaruh

pada profil lipida darah sedemikian mpa sehingga mengurangi peluang terjadinya

atherosklerosis. Minyak sawit mengandung kombinasi asarn lemak tidak jenuh

d m asam lemak jenuh yang berimbang (50%--50%), serta lemak pada minyak

(15)

4

Muchtadi (1998) nlenyebutkan pula bahwa nilai tanlball yang dapat

diperoleh dalam minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati lain adalah

pada kandungan sejun~lah komponen aktif seperti karotenoid, tokoferol,

tokotrienol, asam lemak esensial, dan fitosterol. Zat gizi mikro ini sangat

bermanfaat bagi tubuh antara lain untuk penanggulangan kebutaan karena

xeroftalmia, mengurangi peluang te jadinya kanker dan mencegah proses menua

yang terlalu dini. Zat gizi mikro ini juga berperan sebagai antioksidan yang

mampu memusnahkan radikal bebas. disamping meningkatkan imunitas tubuh,

yang selanjutnya mengurangi peluang tejadinya penyakit degeneratif (Muhilal,

1998).

Sayangnya berbagai macam karoten, vitamin E, serta tokoferol tersebut

terbuang atau dengan sengaja dibuang dalam proses pengolahan menjadi minyak

goreng. Oleh karena itu, saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk

menghasilkan minyak sawit yang masih memiliki zat gizi mikro tersebut yaitu

minyak sawit merah.

Minyak sawit merah mempakan minyak sawit yang masih benvama merah

karena kandungan karotenoid yang tinggi. Untuk mempertahankan kandungan

karotenoid alami khususnya P-karoten dalam minyak sawit diperlukan suatu

teknik ekstraksi yang dapat mempertahankan zat gizi mikro tersebut antara lain

lnelalui pengendalian proses pemucatan pada metode ekstraksi konvensional,

ekstraksi dengan hydraulic presser, distilasi molekuler, dan yang berkembang

dalam dekade terakhir ini adalah teknik ekstraksi fluida superkritik. Metode-

metode tersebut mampu menghasilkan minyak sawit merah yang kaya komponen

(16)

Seluruh komponen karotelioid tersebut merupakan prekursor vitamin A

dan berfungsi sebagai provitan~in A. Dilihat dari besamya aktivitas provitamin A,

kadar karotenoid minyak sawit memiliki aktivitas 10 kali lebih besar

dibandingkan wortel dan 300 kali lebih besar dibandingkan tomat. Shaikh dan

Mikle (1998) menyatakan bahwa minyak sawit dari Indonesia mengandung 500-

700 ppm karotenoid; sekitar 60% adalah P-karoten, 30% a-karoten, dan sisanya

terdiri dari y-karoten, xanthophyl, dan likopen.

Mengkonsumsi P-karoten (provitamin A) jauh lebih aman daripada

. ~ilengkonsumsi vitamin A yang dibuat secara sintetis dan difortifikasikan ke

dalam makanan, sebab dalam tubuh P-karoten alami akan diabsorbsi dan

dimetabolisme. Separuh dari P-karoten yang diabsorbsi akan diubah menjadi

retinol (vitamin A) dalarn mukosa usus dengan bantuan enzim 15,15P-karotenoid

oksigenase (Packer, 1991). Fungsi vitamin A yang utama adalah dalam proses

penglihatan. Menurut Guthrie (1986), vitamin A j'uga diperlukan untuk

pertumbuhan yang normal.

Menurut Muhilal (1998), salah satu masalah gizi utama yang diderita oleh

anak balita adalah defisiensi vitamin A. Defisiensi pada tingkat berat dapat

mengakibatkan kebutaan. Pada tahun 1963-1965 Departemen Kesehatan

RI

melakukan uji coba ditingkat lapangan tentang manfaat penggunaan minyak

kelapa sawit merah untuk mencegah defisiensi vitamin A. Anak-anak balita di

desa Gunung Pati setiap hari diberi 4 g rninyak kelapa sawit merah, sedangkan

anak balita lain di desa Kedung Pane hanya diberi decolorized paln~ oil (DPO)

yang sudah tidak berwarna merah. Pemeriksaan klinis dilakukan 3 (tiga) kali

(17)

6

setelah 15 bulan (Maret 1965). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa

ininyak sawit merah dapat meningkatkan status vitamin A yang sangat bermakna,

ha1 ini dapat dilihat dari kenaikan vitamin A dalam serum.

Kebutuhan akan vitamin A adalah 200.000 IU/gram/bulan/orang.

Kebutuhan Indonesia untuk menanggulangi kekurangan vitamin A yang terjadi

pada f 7% x 180 juta

x

200.000 IU = 5 x 10" IU (5,l triliun IU). Padahal pada saat lalu 80% dari kebutuhan vitamin A tersebut masih tergantung pada suplai dari

UNICEF dan sejak tahun 1997 bantuan tersebut sudah dihentikan (Direktorat

Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1998). Pada saat ini suplai vitamin A

diperoleh dari Departemen Kesehatan.

Menurut Haryati dkk. (1995), apabila pada proses pengolalian minyak

sawit kandungan P-karotemya masih dapat dipertahankan hingga 375 ppm, maka

hanya dengan mengkonsumsi sekitar 12,s ml sampai 16 ml minyak sawit perhari

kebutuhan vitamin A untuk wanita dan laki-laki dewasa sesuai dengan standar

yang ditetapkan oleh Amerika dan Kanada dapat terpenuhi.

Untuk memenuhi kebutuhan vitamin A, dirasakan perlu dilakukan

diversifikasi produk olahan minyak sawit merah. Beberapa penelitian yang telah

dilakukan antara lain pembuatan produk emulsi (sejenis Scott's Emulsion)

(Saputra, 1996 dan Wulandari 2000), pembuatan margarin, dan pembuatan

mikroenkapsulasi minyak sawit kaya beta karoten (Wardayanie, 2000) dengan

menggunakan CPO dan minyak sawit merah hasil pemumian 'dari CPO.

Sedangkan untuk mengetahui dan mempelajari ketersediaan hayati beta karoten

(18)

Hasil penelitian Saputra (1996) tentang formulasi produk elllulsi kaya

13-

karoten dari minyak sawit merah dengan bahan baku minyak sawit yang masih

berupa minyak sawit kasar (CPO) menghasilkan produk yang cukup kental

sehingga pada saat penilaian secara organoleptik, panelis (konsumen)

menunjukkan respon kurang menyukainya. Sedangkan penelitian Wulandari

(2000) dengan menggunakan bahan baku minyak sawit merah hasil pemurnian

CPO dengan optimasi suhu dan waktu proses menunjukkan respon penerimaan

secara umum terhadap minuman emulsi antara agak suka sampai suka dengan

kandungan beta karoten 153 ppm. Untuk itu, dicoba kembali melakukan

formulasi dalam bentuk minuman emulsi dengan menggunakan minyak sawit

merah yang telah dideodorisasi sehingga memiliki aroma yang lebih disukai serta

masih tetap memiliki kandungan beta karoten yang cukup tinggi.

1.2 Tujuan Penelitian

Untuk mendapatkan formula produk diversifikasi minyak sawit merah

berupa minuman emulsi yang memiliki kandungan P-karoten tinggi, sifat fisik,

kimia, dan organoleptik (rasa, aroma, wama, kekentalan, dan penampakan) yang

disukai oleh konsumen. Selain itu juga, untuk mengetahui umur simpan minuman

emulsi yang masih tetap memiliki kandungan P-karoten tinggi.

1.3 Manfaat Peuelitian

Menghasilkan suatu produk yang merupakan altematif sumber vitamin A

dalam rangka membantu memenuhi kecukupan gizi masyarakat terhadap vitamin

A yang sangat berperan penting dalam kehidupan manusia terutama fungsinya

(19)

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit dan Pertumbuhannya

Perkebunan kelapa sawit komersial di Asia bermula dari penanaman 2000

bibit kelapa sawit di Pulau Raja, Asahan dan Sungai Liput, Aceh oIeh M. Adrien

Hallet pada tahun I91 1. Sejak itu sampai sekarang, luas areal kebun kelapa sawit

di Indonesia terus berkembang hingga mencapai 2,9 juta ha pada tahun 1999

dengan produksinya bempa minyak sawit kasar (CPO) sebesar 5,9 juta ton

(Pulungan, dkk., 2000). Kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ) adalah tanaman

berkeping satu yang termasuk dalam famili Palmae dan merupakan salah satu dari

beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak dan

mempakan tanaman penghasil minyak yang paling produlrtif dibandingkan

dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.

Kelapa sawit yang dikenal terdiri dari beberapa varietas yang dapat

dibedakan berdasarkan tebal tempurung dan daging buah atau berdasarkan wama

kulit buahnya. Ada empat tipe atau varietas yang dikenal berdasarkan tebal

tempurungnya, yaitu tipe Macrocarya, Dura, Tenera, dan Pisifera (Muchtadi,

1992).

Tabel 2. Beda tebal tempurung dari berbagai tipe kelapa sawit

Macrocarya

Dura

Tenera

Pisifera

Tebal sekali : 5

Tebal : 2 - 8

Sedang : 0,5

-

4 Tipis
(20)

Tempumng varietas dura cukup tebal antara 2 - 4 mm dan tidak terdapat

lingkaran sabut pada bagian luar tempumng. Daging buah relatif tipis dengan

persentase daging buah terhadap buah bervariasi antara 3 5 4 0 % . Kernel (daging

buah) biasanya besar dengan kandungan minyak yang rendah.

Varietas Pisifera memiliki tempumng sangat tipis, bahkan hampir tidak ada

tetapi daging buahnya tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tinggi,

sedangkan daging biji sangat tipis. Jenis Pisifera tidak dapat diperbanyak tanpa

menyilangkan dengan jenis yang lain. Varietas ini dikenal sebagai tanaman betina

yang steril sebab bunga betina gugur pada fase dini.

Varietas tenera mempunyai sifat-sifat yang berasal dari kedua induknya

yaitu Dura dan Pisifera. Varietas inilah yang banyak ditanam di perkebunan-

perkebunan pada saat ini. Tempurung sudah menipis,' ketebalannya berkisar

antara 0,5--4 mrn dan terdapat lingkaran serabut disekelilingnya. Persentase

daging buah sangat tinggi antara 60--96%. Tandan buah yang dihasilkan oleh

Tenera lebih banyak daripada Dura, tetapi tandannya relatif lebih kecil.

2.2 Minyak Sawit Kasar (Crude Palrtz Oit)

Sampai saat ini Indonesia masih tercatat sebagai negara penghasil kelapa

sawit terbesar di dunia setelah Malaysia. Diperkirakan pada tahun 2012 produksi

CPO di Indonesia mencapai 15 juta ton dan ini mempakan yang terbesar di dunia.

Saat ini produktivitas tanaman kelapa sawit rata-rata telah mencapai 4--5 ton

minyak per hektar per tahun. Produksi yang tinggi ini menyebabkan biaya

produksi minyak sawit termasuk paling rendah di antara minyak nabati lainnya

(21)

10

Menun~t Saragih (1998), dimasa lalu perhatian pengembangan agribisuis

minyak sawit di Indonesia, umumnya masih tertuju pada industri minyak sawit

mentah (CPO). Dimasa yang akan datang, Indonesia hams me~nberikan perhatian

yang serius pada percepatan pengembangan industri hilir CPO. Percepatan

pengembangan industri hilir ini selain bertujuan untuk merebut nilai tambah yang

besar, juga memperkuat daya saing agribisnis minyak sawit Indonesia di pasar

intemasional.

Selain itu dinyatakan oleh Saragih (1998) bahwa sebagian besar (71%)

dari konsumsi total minyak sawit nasional dikonsumsi dalam bentuk minyak

goreng sawit. Bila digabung dengan bentuk margarin dan shortening, maka

sekitar 75% dari minyak sawit dikonsumsi dalam bentuk oleo pangan. Sedangkan

sisanya (sekitar 25%) dikonsumsi dalam bentuk sabun, oleo kimia @tty acid, fatty

alcohol, fatty nitrogen, nzetyl ester, glyserol) dan bentuk-bentuk lainnya.

Minyak sawit kasar (CPO) mengandung gliserida yang merupakan

komponen mayor terdiri dari 90% trigliserida, 2--7% digliserida, 1%

monogliserida, 3--5% asam lemak bebas, dan lebih kurang 1% komponen minor

(May dkk., 1996). Komponen kimia tersebut menentukan sifat fisikokimia dari

minyak sawit. Sedangkan sifat fisik dari minyak sawit meliputi densitas, panas

jenis, panas fusi, viskositas, titik leleh, dan titik beku merupakan suatu kriteria

yang penting di dalam menentukan proses pengolahan dan penggunaan minyak

sawit tersebut (Ong dkk., 1989).

Komposisi komponen temtama asam lemak pada minyak sawit tergantung

pada beberapa faktor antara lain jenis varietas, tempat tumbuh, dan waktu

(22)

varietas Tenera menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang lebili tinggi (dmgan

bilangan iodium sampai 72) dan asam palmitat lebih kurang 26%.

Tabel 3. Komposisi asam lemak dalam minyak sawit Malaysia.

Laurat (C12

,

o)

Miristat (~14 : 0)

Palmitat (C16 : 0)

Stearat (Clg: 0)

Oleat (C18 : I)

Linoleat (CIS: 2). .,

Linolenat (CIS : 3)

Sumber : Zaizi, dkk. (1996)

Jenis Asam Lemak

Menurut Haryati dkk. (1995) minyak sawit mengandung kombinasi asam

% Asam lemak

lemak tidak jenuh yang berimbang (50%-50%) sehingga lemak pada minyak

sawit (margarin dan shortening) berkonfigurasi cis yang aman bagi kesehatan

manusia.

2.3 Minyak Sawit Merah (Red Palrtz

Oil)

Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang masih benvama merah.

Muchtadi (1992) menyatakan bahwa sesungguhnya penyebab wama merah

tersebut adalah pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari P-karoten.

Menurut Naibaho (1990), minyak sawit merah mengandung karoten sebesar 600--

1000 ppm. Karotenoid yang terdapat dalam minyak sawit merah ferdiri dari

a-karoten lebih kurang 36,2%, P-karoten lebih kurang 54,4%, y-karoten lebih

(23)

I 2

Pada masa perkembangan dimana masyarakat dengan kecerdasan dan

seleranya menghendaki tampilan produk-produk yang lebih baik, maka

berkembang pula teknologi proses untuk membuat minyak goreng yang tidak

benvama, tidak berbau; dan tidak berasa. Sehingga pada proses pembuatan

minyak goreng, wama merah yang mengandung zat gizi mikro penangkal

penyakit kronik degeneratif yang terdapat pada minyak sawit justru dengan

sengaja dibuang dan sebagian lagi terbuang dengan tidak sengaja (Muchtadi,

1998; Muhilal, 1998).

Selain itn, untuk mendapatkan produk-produk akhir minyak sawit

diperlukan adanya teknologi kimia dan fisika yang secara tidak langsung dapat

merusak komponen-komponen aktif yang terdapat di dalarnnya tenhama

komponen karotenoid.

Dalam proses pengolahan buah sawit menjadi crude palm oil (CPO) yang

selarjutnya menjadi minyak goreng, selalu diawali dengan pemanasan, yang

kemudian dilanjutkan dengan perontokan, perebusan, pengadukan dan

pengempaan, penyaringar, dan pemurnian. Secara ringkas dapat dilihat pada

Gambar 1.

Mengingat sifat karotenoid yang sensitif terhadap panas, cahaya, maupun

udara dan juga proses oksidasi, maka dalam proses pengolahannya perlu

diperhatikan dan dikendalikan parameter-parameter proses yang dapat merusak

komponen tersebut.

Berbagai metode ekstraksi untuk memperoleh minyak sawit merah yang

masih memiliki kandungan karotenoid tinggi telah banyak dikembangkan antara

(24)

ekstraksi dengan izydraulic presser, pemilihan solvent yang tepat pada ekstraksi

solvent (pelarut), distilasi molekuler, dan ekstraksi fluida superkritik.

Pada proses ekstraksi minyak sawit secara konvensional umumnya

ditujukan untuk pembuatan minyak goreng. Proses diawali dengan pemanasan,

kemudian dilanjutkan dengan perontokan, perebusan, pengempaan, penyaringan,

penjemihan, dan penyimpanan.

Tandan Buah Segar (TBS) (100%)

Pemanasan

1

TBS

+

dehidrasi buah (10%) Pembrondolan

Buah

+

tandan kosong (23%)

Pengadukan dan Pengempaan

Biji (1 1%)

+

Serat (13%) minyak mentah

Pemisahan

Padatan (5%)+

1

Pengendapan, Sentrifusi,

Air (17%) Pengeringan Harnpa

cyo

Pemurnian

Degumming, netralisasilrafinasi, Pemucatan, deodorisasi

Minyak Makan

(25)

14

Proses pemucatan (bleaclzing) adalah salah satu tingkat pengolahan minyak

atau lemak yang bertujuan untuk memisahkan zat wama dalam minyak atau

lemak. Menurut Naibaho (1979), proses pemucatan biasanya dilakukan dalam

tangki hampa udara, adsorben ditambahkan sebanyak 0,5--5,O persen dari berat

minyak. Suhu diatur sekitar 250°F atau 121°C, setelah itu suhu minyak

diturunkan sekitar 71--81DC kemudian minyak dipompakan melalui saringan

untuk memisahkan adsorber.

Untuk mendapatkan minyak sawit yang masih memiliki warna merah

dikendalikan beberapa parameter proses terutama penggunaan suhu tinggi,

sehingga saat pemurnian masih diperoleh minyak sawit yang benvarna merah.

Cara pengolahan yang relatif murah dan sering digunakan dalam industri

minyak sawit adalah dengan cara mekanik yang berprinsip pada

penekanan/pengepresan pada buah. Alat yang biasa digunakan untuk tujuan ini

adalah hydraulic press. Dengan alat tersebut, buah sawit yang telah' dipisahkan

dari bijinya dimasukkan ke dalam suatu wadah yang kemudian mendapat tekanan

sehingga buah pecah dan terperas minyaknya. Dengan cara ini bahan atau buah

sawit tersebut tidak mendapat perlakuan dengan panas yang tinggi sehingga

kehilangan karotenoid dapat diminimalkan.

Dari h a i l penelitian yang telah dilakukan oleh Muchtadi dan Andi (1996),

dengan tekanan optimal yang diperoleh yaitu 175 kg/cm2 (2489,l psi) dapat

dinyatakan bahwa dengan pengepresan hidraulik diperoleh minyak sawit merah

yang memiliki kadar P-karotennya masih bertahan sejumlah 95%.

Proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut-pelarut lemak seperti heksan,

(26)

diperoleh ininyak yang lebih n ~ u m i dengan rendemen yang lebih tinggi

dibandingkan dengan cara mekanik lain. Selain itu kadar P-karoten dalam minyak

dapat diperoleh dalam jumlah yang banyak karena P-karoten juga mempunyai

sifat larut dalam lemak sehingga akan terbawa bersama-sama fase minyak dan

pelarut, kemudian pelarutnya diuapkan kembali untuk memperoleh minyak sawit

merah (Muchtadi, 1992).

Ekstraksi fluida superkritik dengan C02 merupakan metode yang

berkembang dalam dekade terakhir ini. Menurut S z v i (1986) dan Choo dkk.

(1996), teknologi fluida superkritik adalah sebuah proses pemisahan baru yang

.

.

menggunakan sifat-sifat unik dari gas di bawah temperatur dan tekanan kritis

untuk mengekstrak campuran dari komponen.

Prinsip teknologi ekstraksi fluida superkritik sesungguhnya sama dingan

ekstraksi biasa dengan menggunakan pelamt. Pada ekstraksi ini pelarut yang

digunakan berbentuk gas, dimana temperatur dan tekanan merupakan parameter

kondisi proses yang dikendalikddikondisikan sehingga gas tidak sarnpai

terkondensasi menjadi fasa cair (Toledo, 1991).

Menurut Rizvi dkk. (1986), untuk ekstraksi suatu komponen secara

sempuma perlu pengaturan tekanan dan suhu operasi maksimum yang sangat

tergantung pada sifat fisik kimia substrat di mana komponen tersebut berada,

sedangkan tekanan maksimum sangat ditentukan oleh perancangan peralatan.

2.4 Komponen Rlinor Minyak Sawit

Komponen aktif yang terkandung dalam minyak sawit biasanya dikenal juga

(27)

16

kuantitatif jumlahnya sangat sedikit sehingga satuan yang digunakan adalah ppm

(part per r~zillion) atau bagian per sejuta. Tetapi apabila dihitung secara kualitatif,

peranannya sangat penting bagi kesehatan tubuh meskipun dalam jumlah kecil

terutama untuk pencegahan penyakit degeneratif, peningkatan imunitas tubuh,

ataupun untuk digunakan sebagai oleokimia atau produk-produk farmasi

(Muchtadi, 1998).

Disebutkan oleh May dkk. (1996) bahwa komponen minor yang dikandung

dalam minyak sawit lebih kurang 1%. Tabel 4 menunjukkan komponen minor

yang terkandung dalam minyak sawit mentah (CPO).

Tabel 4. Komponen minor dalam minyak sawit mentah (CPO)

Komponen intrinsik yang sangat berperan dalam rninyak sawit adalah

karotenoid. Karotenoid pada buah kelapa sawit akan makin jelas terlihat apabila

buah tersebut telah matang yaitu pada saat buah memberondol. Karotenoid adalah

suatu pigmen alami berupa warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur Karotenoid

Tokoferol dan Tokotrienol

Sterol

Pospolipid

Triterpen akohol

Metil-sterol

Sequalen

Alifatik alkohol

Alifatik hidrokarbon

500-700

600-1000

326-527

5-130

40-80 (est)

40-80 (est)

200-500

.loo-200

50

(28)

alifatik atau alisiklik yang tersusun oleh delapan unit isoprena dan 4 gugus n~etil

dan selalu terdapat ikatan ganda terkonyugasi di antara gugus metil tersebut.

Kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan

C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5 (Lehninger,

1990). Struktur dasar karotenoid dapat dilihat pada Gambar 2.

CH3 CS3 CH3 CH3

1 5 . molekul pusat 1 5

1 . 6

Gambar 2. Struktur dasar karotenoid (Lehninger, 1990)

Meyer (1973) menjelaskan bahwa karotenoid dapat dikelompokkan menjadi

empat golongan, yaitu (1) karoten merupakan karotenoid hidrokarbon C40H56

yang termasuk di dalam goiongan ini adalah a,

P,

dan y karoten serta likopen; (2)

xantophil dan derivat-derivat karoten yang mengandung oksigen din hidroksil

misalnya kriptoxantin dan lutein; (3) ester xantophil yaitu ester asam lemak,

misalnya zeaxantin; (4) asam karotenoid yaitu derivat karoten yang mengandung

gugusan karboksil.

Nielsen (1994) menyatakan bahwa pigmen karotenoid terdiri dari dua

golongan utama yaitu hydrocarboll carotetles dan oxygenated xanthophylls.

Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik

dalam pelarut-pelarut organik seperti karbon disulfida, benzena, khloroform,

aseton, metanol, etanol, eter, dan petroleum eter, tetapi tidak larut dalam air

(29)

1s

Suradikusumah (1989) menyebutkan bahwa karotenoid adalah pigmen yang

tidak stabil, mudah teroksidasi temtama bila berhubungan dengan udara. Selain

itu karotenoid sebagian besar mengalami dekolorisasi baik oleh panas, cahaya,

maupun perlakuan oksidatif Vollet, 1992).

Hasil seleksi yang dilakukan oleh Goh (1998) terhadap komponen minor

dalam minyak sawit dapat dilihat pada Gambar 3.

Lycopene

Squalene

a-Tocopherol quinone

H

dolichols

HO /

&

Champesterol
(30)

(3-karoten dalam ekstrak ~ninyak sawit dapat digunakan dalam pencegallan

penyakit kanker (Goh, 1998) dan untuk menghambat pertumbuhan in vitro sel

tumor payudara (Muchtadi, 1998). Nalnun beberapa studi menunjukkan bahwa a-

karoten memiliki potensi 10 kali lebih baik daripada bentuk P-karoten sebagai

penghambat kanker (Murakoshi, 1992).

Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Chong dan hasil

penelitian yang teIah dilakukan di Indonesia memberi gambaran yang jelas bahwa

minyak kelapa sawit mengandung zat gizi yang dapat menekan perkembangan

kanker. Zat yang bersifat antioksidan tersebut bukan hanya karoten saja tetapi

juga zat-zat lain yang terdapat pada minyak sawit, seperti tokoferol dan

tokotrienol (Muhilal, 1998).

2.5 Sistem Emulsi dan Emulsifier

Emulsi adalah sistem yang terdiri dari dua fasa cair yang tidak saling

bercampur, dimana fasa yang satu terdispersi pada fasa lainnya dalam bentuk

droplet berdiameter antara 0,l-10 pm. Fasa yang berbentuk droplet disebut fasa

intemavfasa terdispersgfasa diskontinyu, fasa dimana droplet terdispersi disebut

fasa ekstemallfasa pendispersilfasa kontinyu (Nawar, 1985).

Winarno (1984) menyebutkan bahwa pada suatu sistim emulsi biasanya

/

terdapat tiga bagian utama yaitu: (1) bagian yang terdispersi yang terdiri dari

butir-butir yang biasanya terdiri dari minyak, (2) bagian yang disebut media

pendispersi yang juga dikenal sebagai fase kontinyu (pendispersi) yang biasanya

terdiri dari air; dan (3) emulsi yang berfungsi menjaga butir minyak tersebut tetap

(31)

20

En~ulsi sebagai salah satu bentuk dispersi koloid banyak digunakan dalam

kehidupan sehari-hari dan rnempunyai peranan yang besar dalanl beberapa bahan

pangan. Ernulsi makanan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari .

seperti mentega, es krim, sosis, mayonaise, dan sebagainya.

Sudah menjadi sifatnya bahwa bentuk ernulsi bersifat tidak stabil, karena

masing-masing fasa cenderung bergabung dengan fasa sesarnanya membentuk

suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi tersebut pecah. Menurut

Bergenstahl dan Claesson (1990), diperlukan dua ha1 untuk dapat membentuk

suatu sistern ernulsi yaitu adanya energi rnelalui alat kirnia yang berfungsi

mendispersikan sistern dan penambahan emulsifier untuk menjaga sistem tetap

terdispersi. Ditambahkan oleh Kurnar (2000) bahwa produk emulsi komersial

membutuhkan adanya penstabillemulsifier.

Nawar (1985) menyatakan bahwa kerusakan atau destabilisasi emulsi te jadi

melalui tiga mekanisme utama yaitu kriming, flokulasi, dan koalesen. Kriming

merupakan proses pemisahan yang terjadi karena gerakan-gerakan ke ataske

bawah, ha1 ini tejadi karena gaya gravitasi terhadap fasa-fasa yang berbeda

densitasnya. Flokulasi merupakan agregasi dari droplet. Pada flokulasi tidak

terjadi pernutusan film antar permukaan sehingga jumlah dan ukuran globula

tetap, terjadinya flokulasi akan mempercepat terjadinya laiming. Koalesen adalah

penggabungan globula-globula menjadi globula yang lebih besar. Pada tahap ini

tejadi pemutusan film antar permukaan sehingga jumlah dan ukuran globula

berubah.

Emulsifier bahan pangan dapat dikatagorikan berdasarkan pada beberapa

(32)

nonionik vs ionik; HLB; dan kehadiran grup fungsional. Katagori emulsifier

makanan menurut William (1990), terdiri dari: lecitin dan derivat lecitin; gliserol

ester asam lemak; asam hidroksikarboksilat dan ester asam lenak; laktilat ester

asam lemak; poligliserol ester asam lemak; etilen atau propilen glikol, ester asam

lemak; derivat ethoksilat atau monogliserida; sorbitan ester asam lemak; dan

derivat miscellaneous.

Noerono (1990) menyatakan bahwa salah satu fasa di dalam sistim emulsi

mempunyai karakter lipofilik dan fasa lainnya mempunyai karakter hidrofilik.

Disebutkan pula oleh Wijnans dan Baal (1997), setiap emulsifier mengandung dua

grup hngsional yaitu hidrofilik dan lipofilik.

Akhir Lipofilik Akhir Hidrofilik

Saturated; palmitat atau stearat

Unsaturated; oleat

Unsaturated; linoleat

Gambar 4. Tipe grup hidrofilik dan Lipofilik (Hasenhuettl, 1997)

Kedua , p p hngsional tersebut mempertemukan dua fasa minyak-air, air-

minyak, dan air-udara dengan mengurangi ketegangan antar permukaan. Karena

(33)

22

minyak dan air untuk me~nbentuk kestabilan atau emulsi yang hotnogen (Wijnans

dan Baal, 1997).

Terdapat dua tipe emulsi yaitu emulsi minyak dalam air (olw) dan emulsi air

dalam minyak (wlo). Jika fasa lipofilik mempakan fasa terdispersi maka emulsi

yang terbentuk adalah emulsi minyak dalam air dan sebaliknya jika fasa hidrofilik

mempakan fasa terdispersi maka disebut emulsi air dalam minyak (Noerono,

1990). Dispersibilitas atau daya larut suatu emulsi ditentukan oleh medium

dispersinya. Bila medium dispersinya air, maka emulsinya dapat 'diencerkan

dengan air, dan sebaliknya bila medium dispersinya lemak maka emulsinya dapat

diencerkan dengan minyak atau lemak.

Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang

dapat terikat baik pada minyak maupun air. Bila emulsifier tersebut lebih teiikat

pada air atau lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih membantu terjadinya

dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (olw).

Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalarn minyak

(nonpolar) terjadilah emulsi air dalam minyak (wlo). Contohnya mentega dan

margarin.

Untuk lebih menjelaskan bagaimana ke rja emulsifier akan diberikan ilustrasi

sebagai berikut: bila butir-butir lemak telah terpisah karena adanya tenaga

mekanik (pengocokan), maka butir-butir lemak yang terdispersi tersebut segera

terselubungi oleh selaput tipis emulsifier (Gambar 5). Bagian molekul emulsifier

yang nonpolar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak, sedangkan bagian' yang

(34)

Minyak

+

Sabun 0-

I

Gambar 5. Skema terjadinya emulsi minyak dalam air (Neal, 1971)

Dengan kata lain, adanya emulsifier maka molekulnya akan terorientasi pada

batas antarpermukaan dan menurunkan tegangan antarpermukaan minyak-air

sehingga memudahkan pembentukan emulsi. Hal ini terjadi karena emulsifier

memiliki afinitas baik terhadap fasa air maupun fasa minyak. Jika terhadap

emulsifier yang cukup maka molekul emulsifier akan terabsorbsi pada setiap batas

antarpermukaan globula-globula yang terbentuk dan membentuk lapisan film

yang utuh, dengan demikian memberikan perlindungan yang cukup kepada

globula-globula terhadap penggabungan antarglobula.

Seleksi sistematis dari tipe emulsifier untuk emulsi khusus seringkali

didasarkan pada konsep HLB yang dikemukakan pertama kali oleh Griffin pada

(35)

24

Griffin (1979) mengembangkan suatu skala yang didasarkan atas

keseimbangan antara kedua gugus yang berlawana~l tersebut. Skala tersebut

dinyatakan dalam angka berkisar antara 0 sampai 20 untuk masing-masing

pengemulsi untuk memberikan informasi kelarutannya dalanl air dan Ininyak.

Angka antara 0 dan 9 menunjukkan pengemulsi bersifat larut d a l m minyak

(lipofilik), sedangkan angka antara 11 dan 20 menunjukkan pengemulsi bersifat

lamt dalam air (hidrofilik). Keseimbangan hidrofilik-lipofilik yang dikenal

dengan HLB terletak pada angka 10 yang merupakan tengah dari skala.

Dijelaskan pula oleh Wijnans dan Baal (1997) bahwa nilai HLB (hidrofilik-

lipofilik balance) dari emulsifier m e ~ p a k a n suatu karakteristik yang

mendefinisikan afinitas relatif untuk minyak dan air. Hal ini menentukan

kestabilan sistem emulsi minyak dalam air atau air dalak minyak. Nilai HLB

memberikan indikasi dari kelarutan emulsifier dalam air atau dalam minyak.

Friberg dkk. (1990) juga menyebutkan bahwa nilai HLB menunjuMtan rasio

relatif antara gmp hidrofilik dan lipofilik. Emulsifier dengan nilai HLB 3-6 cocok

untuk emulsi air dalam minyak (wlo) dan emulsifier dengan nilai HLB 8-18 baik

untuk emulsi minyak dalam air (olw).

Lebih lanjut Noerono (1990) menyatakan bahwa melalui penggunaan energi

yang amat besar dapat dicapai pendispersian lebih jauh sebuah fasa ke dalam fasa

lainnya, narnun keadaan ini hanya dapat dipertahankan dalanl waktu singkat.

Noerono (1990) juga mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhi kestabilan emulsi yaitu ukuran fasa terdispersi, perbedaan densitas

antar dua fasa, viskositas fasa pendispersi, jenis dan jumlah emulsifier, besar

(36)

Emulsifier yang banyak terdapat di alam adalah fosfolipida, lesitin (fosfatidil

kolina) dan fosfatidil etanolamina yang dikenal sebagai emulsifier alami. Selain

itu gelatin dan albumin (putih telur) adalah protein yang bersifat sebagai

emulsifier dengan kekuatan biasa dan kuning telur sebagai emulsifier yang kuat.

Di samping emulsifier alami telah dibuat orang emulsifier buatan yang

terdiri dari monogliserida, misalnya gliseril monostearat. Emulsifier biasanya

dibuat dengan cara alkoholisis atau esterifikasi secara langsung. Beberapa contoh

emulsifier buatan lainnya antara lain misalnya ester.dari asam lemak sorbitan yang

dikenal dengan SPANS yang dapat membentuk emulsi air dalam minyak (wlo),

dan ester dari polioksietilena sorbitan dengan asam lemak yang dikenal sebagai

TWEEN yang dapat membentuk emulsi minyak dalam air (ol~v).

Emulsifier makanan adalah ester atau bagian ester dari turunan asam lemak

yang dapat dimakan bersumber dari hewan atau tumbuhan dan polyols seperti

gliserol, propilen glikol dan sorbitol (Krog, 1977).

Asam lemak dapat diesterifikasi menjadi polietilen atau propilen glikol

secara langsung atau dengan preparasi secara enzimatik. Poliglikol ester asam

lemak adalah emulsifier yang baik untuk bentuk emulsi minyak dalam air (OIW).

Polioksietilen sorbitan ester umumnya disebut dengan nama polisorbat

dibuat dari reaksi antara ester sorbitan dengan etilen oksida melalui polimerisasi

menjadi sorbitan ester asam lemak. Terdapat tiga tipe dari polisorbat yang

diizinkan digunakan dalam jumlah yang terbatas dalam makanan yaitu polisorbat

6 0 , polisorbat 65 dan polisorbat 80. Polisorbat 60 ditambahkan dalam gula yang

digunakan sebagai pelapis pada produk confectionaiy, shortening, edible oil untuk

produk-produk yang mengalami pembakaran dan sebagainya. polisorbat 65

(37)

Sedangkan polisorbat 80 penggunaannya lebih Iuas lagi yaitu dalam produk yang

menggunakan es krim, ice milk dan froze11 ciistard. Selain itu juga digunakan

sebagai emulsifier untuk edible fat dan edible oil. Masing-masing tipe memiliki

nilai HLB, polisorbat 60 (14.4), polisorbat 65 (10.5) dan polisorbat 80 (15.4)

(Dziezak, 1988).

Tabel 5. Klasifikasi emulsifier yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan

Monogliserida 172.850 Emulsifier, plasticizer, agen Produk panggang,

1

lakilat

I

(

surface-aktif whipped toppings

I

Jenis Emulsifier

I

Monogliserida 172.828 Membentuk film, pembawa acetilat

I

I

kandungan air

I

Monogliserida 172.830 Emulsifier,memberi kekuatan Shortening, roti

succinilat

I

I

pada adonan

I

I I I

21 CFR No.

Monogliserida 172.834 Emulsifier, penstabil

I

etohiiat

I

I

I

Sorbitan 172.842 Emulsifier, agen rehidrasi monostearat

I

I

Fungsi Aplikasi

Sukrosa ester 172.859 Emulsifier,pemberi tekstur, asam lemak

I

I

pembentuk film

Polysorbat Polyglycerol ester 172.836 172.838 172.840 172.854 Kalsium dan sodium Laktilatstearol

Kue, whipped toppings, fiozen, dessert

Emulsifier,opacifier, solubilizer, wetting agent

Emulsifier, aerator, cloud inhibitor

Propilen glikol ester

Confectionary, pelapis, ragi, kue, icings

172.844 172.846

Salad dressings, coffe whiteners, gelatin, es

kIim

Emulsifier, conditioner adonan, whiiping agent

Sumber: Hasenhuettl(l997) 172.858

Icings, minyak salad, peanut butter, pengisi

Emulsifier, aerator

Produk panggang, pela- pis buah, confectionary Roti, coffe whiteners, icings, kentang kering

Campuran kue, whipped toppings

Salah satu jenis emulsifier terbaru yang mendapat persetujuan d a ~ i FDA

untuk digunakan secara langsung sebagai bahan tambahan makanan dan

(38)

dagang Ryoto sugar ester yang dibuat ole11 Mitsubishi Chemical Industries Ltd.

Ester sukrosa asam lemak merupakan surfaktan yang bersifat nonionik yang

terdiri dari sukrosa sebagai grup hidrofilik dan asam lemak sebagai grup lipofilik.

Metode utama pembuatan sukrosa monoester adalah proses interesterifikasi antara

sukrosa dan metil ester dari asam lemak (Zielinski, 1997).

Menurut Wijnans dan Baal (1997), ester sukrosa asam lemak umurnnya

dikenal sebagai ester sukrosa. Ester sukrosa adalah emulsifier yang selain bersifat

nonionik dan juga stabil sampai suhu 180°C pada nilai pH antara 4-8. Struktur

ester sukrosa dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 . Struktur kimia dari ester sukrosa (Wijnans dan Baal, 1997)

I Keterangan:

R,= CH3(CH2), dari asam lemak,

CH- 0- CH2- C H r OH contoh: asam stearaf untuk

I 0 polysorbate 60

asam oleat, untuk polysorbate 80

(39)

28

2.6 Perurnusan Model Urnur Sirnpan

Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan metode

Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS

adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk

pads

kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan

mutunya hingga mencapai mutu kadaluarsa. Metode ini sangat akurat dan tepat,

namun pelaksanaannya memerlukan waktu yang panjang dan analisa karakteristik

mutu yang dilakukan relatif banyak. Sedangkan ASS adalah penentuan waktu

kadaluarsa dengan penerapan kondisi lingkungan yang memungkinkan reaksi

penurunan mutu produk pangan berlangsung lebih cepat. Keuntungan dari

metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat.

Umur simpan adalah jangka waktu hingga suatu produk mengalami suatu

tingkat penyimpangan mutu dari mutu awalnya. Reaksi penyimpangan mutu ini

dimulai dengan kontak antara produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau

karena akibat perubahan suhu. Tingkat penyimpangan mutu produk dipengaruhi

oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju penyimpangannya dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan penyimpanan.

Menurut Institute of Food Technology (IFT, 1974), umur simpan produk

pangan adalah selang wakctu antara saat produk diproduksi hingga saat

dikonsumsi, dimana produk berada dalanl kondisi yang memuaskan terkama pada

sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Dalam bentuk

persamaan umum, penurunan mutu suatu produk pangan dapat dituliskan sebagai

berikut:

(40)

Dimana -dQ/dt adalah laju penurunan lnutu persatuan waktu, RH adalah

kelenlbaban relatif, T = ten~peratur lingkungan penyimpanan, p 0 2 = tekanan

oksigen lingkungan pengemas dan K = faktor pengemas atau faktor komposisi.

Semua model pendugaan umur simpan yang menggunakan metode ASS

menggunakan persamaan 1 sebagai acuan dalam memformulasikan model

prediktif, meskipun demikian terdapat variasi di dalam proses perhitungannya.

Dalam mengkuantifikasi pengaruh temperatur terhadap reaksi kerusakan

yang terjadi dapat dilakukan dengan 2 jenis pendekatan yaitu pendekatan model

Arrhenius dan pendekatan model linear. Pendekatan Arrhenius dilakukan dengan

jalan menunjukkan ketergantungan konstanta laju reaksi terhadap temperatur

dalam kisaran temperatur yang cukup lebar. Pendekatan model linear dilakukan

bilamana tidak tersedia cukup data untuk kisaran temperatur yang besar atau

bilamana pengaruh temperatur hanya akan dilihat pada suatu kisaran yang sempit

(yaitu sekitar 20°C).

Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi kerusakan

terhadap temperatur yang dirumuskan sebagai berikut:

k = ko em WRT

...

(2)

In k = In ko - (Ea/RT)

In k = In ko - I\(E~/R).(I/T)\L

...

(3) Keterangan:

KO = konstanta pre-eksponensial atau konstanta laju absolut k = konstanta laju reaksi pada temperatur T

Ea = Energi aktivasi (kaYmol)

R = konstanta gas ideal (l.9SG kaVmol°K)

T = suhu absolut (OK)

Interpretasi Ea (energi aktivasi) dapat memberikan gambaran mengenai

(41)

30

grafik garis lurus hubungan In k dengan (l/T). Dengan demikian energi aktivasi

yang besar mempunyai arti bahwa nilai In k berubah cukup besar dengan hanya

perubahan beberapa derajat dari temperatur dengan demikian slope akan besar.

Energi aktivasi dari beberapa reaksi kimia dapat dikelompokkan ke dalam

tiga golongan. Pertama adalah golongan reaksi yang memiliki energi aktivasi

rendah (2-15 kkal/mol), seperti reaksi-reaksi kerusakan pigmen karotenoid,

klorofil dan oksidasi lemak. Kedua adalah golongan reaksi dengan energi aktivasi

sedang (15-30 kkal/mol) seperti kerusakan vitamin, kemsakan pigmen larut air

pada umumnya serta reaksi maillard. Ketiga adalah golongan reaksi dengan

energi aktivasi tinggi (50-100 kkal/mol) seperti reaksi denaturasi enzim,

inaktivasi mikroorganisme dan inaktivasi spora m k o b a (Sadler, 1987).

Persamaan Anhenius dalam penggunaannya untuk menetapkan umur

simpan menggunakan asumsi sebagai berikut:

1) hanya ada satu jenis reaksi yang dihubungkan dengan penurunan mutu produk.

Asumsi pertama ini berkepentingan dalam melihar pengaruh temperatur

karena bilamana temperatur meningkat, maka reaksi-reaksi yang memiliki

energi aktivasi lebih tinggi dari reaksi yang diamati dapat mulai berlangsung

dan mempengaruhi mutu produk.

2) Tidak tejadi perubahan fase selama reaksi berlangsung sehingga tidak

mempengaruhi konsentrasi reaktan.

3) Pengaruh fase lain, misalnya jika tejadi proses partisi dari komponen reaktan

ke dalam fase minyak atau lemak tidak dipengaruhi oleh temperatur.

4) Tidak ada pengaruh pengolahan dan penanganan terhadap reaksi. Dalam ha1

(42)

dishpan pada temperatur yang nlemungkinkan untuk terjadinya reaksi, nlaka

reaksi akan berlangsung.

5) Analisis penurunan konsentrasi komponen dan penentu& nilai k tidak

didasarkan pada analisa hedonik.

Pendekatan yang kedua terhadap penganrh temperatur dilakukan dengan

menggunakan model linear. Pendekatan ini khususnya sangat penting jika hanya

tersedia data yang jumlahnya terbatas (Labuza, 1983; dan Robertson, 1993).

Pendekatan model linear diturunkan sebagai berikut untuk semua jenis ordo reaksi

berlaku:

Keterangan:

k = laju reaksi penyimpangan

AA = perubahan konsentrasi/mutu dari mutu awal hingga kadaluarsa ts = umur simpan

Nilai AA untuk reaksi-reaksi ordo no1 akan sama dengan:

sedangkan untuk reaksi ordo satu:

Apabila disubstitusikan ke dalam persamaan Anhenius, maka diperoleh:

In k = In ko - (EaJRT)

(43)

111. . METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kimia Pangan, Rekayasa dan Gizi

Masyarakat Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, serta laboratorium

yang ada di lingkungan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta IPB.

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 1999 sampai dengan bulan Agustus 2000.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit merah

dengan merk "Carotino" yang diperoleh dari Malaysia. Bahan lain yang

digunakan meliputi emulsifier Sukrosa ester asam lemak dengan nama dagang

Ryoto Sugar Ester tipe S-1670 (HLB 16), S-1570 (HLB 15), S-370 (HLB 3),

dan tipe P-1570 (HLB 15) dari Mitsubishi-Kasei Food Corporation (MFC) Japan,

Tween 80, Gum Arabik, CMC (Carboxymethyl Cellulose), beberapa jenis flavor

(Flavor jemk dan nanas) dari International Flavors & Fragrances-PT Essence

Indonesia, pemanis (aspartam dan high fiuktosa simp), pengawet Sodium

Benzoat, pengkelat Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA), antioksidan Butil

Hidroksi Toluen (BHT), Air mineral "Aqua", Standar P-karoten dari Sigma, dan

bahan-bahan kimia lain untuk keperluan analisa kimia pada minyak dan minuman

emulsi.

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi satu unit peralatan

(44)

emulsi, satu unit peralatan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC) merk

Shimadzu, Spektrofotometri, Haake Viscometer RC-20, Vorteks, Stopwatcll,

peralatan titrasi dan peralatan gelas lainnya yang diperlukan untuk analisa kimia

dan analisa sifat fisik produk emulsi.

3.3 Metode Penelitian

Metode Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan:

(1) Penentuan Jenis dan Konsentrasi Emulsifier

Tujuan:

a. Mendapatkan nilai HLB yang tepat yang mampu membentuk emulsi dari

kombinasi dua jenis emulsifier sukrosa ester asam lemak dengan nilai HLB

yang berbeda yaitu S-1670 (nilai HLB 16) dan S-370 (nilai HLB 3).

b. Mendapatkan jenis emulsifier yang tepat dengan konsentrasi tertentu yang

mampu membentuk emulsi secara baik pada berbagai rasio minyak dan air.

Emulsifier yang digunakan meliputi emulsifier campuran dari sukrosa ester

asam lemak dengan nilai HLB 8,9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 16, sukrosa ester

asam lemak tipe S-1570 (HLB 15), sukrosa ester asam lemak tipe P-1570

(HLB 15), Tween 80, CMC, dan Gum Arabik.

Metode:

a. Untuk mendapatkan emulsifier campuran dengan nilai HLB tertentu,

dilakukan pencampuran dua jenis emulsifier dengan nilai HLB yang berbeda

yaitu emulsifier Sukrosa Ester Asam lemak tipe S-1670 (HLB 16) dan

emulsifier Sukrosa Ester Asam Lemak tipe S-370 (HLB 3) sehingga di

(45)

dan 16. Persentase berat tiap jenis emulsifier yang dibutuhkan untuk lnembuat

campuran emulsifier tersebut dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

100% (X - HLB B) %A =

HLB A

-

HLB B

Sumber: Dziezak (1988) Keterangan:

A = Emulsifier A (Sukrosa Ester Asam Lemak tipe S-1670 dengan nilai HLB 16)

B = Emulsifier B (Sukrosa Ester Asam Lemak tipe S-370 dengan nilai HLB 3)

X = Nilai HLB emulsifier yang diinginkan

b. Untuk mengetahui kemampuan emulsifier membentuk emulsi dilakukan

pembuatan emulsi. Mula-mula fase air d m emulsifier dicampurkan dengan

konsentrasi tertentu (0,25%; 0,5%; 0,75%, 1,0%) dalam homogenizer dan

dihomogenisasi selama lebih kurang 1 (satu) menit. Selanjutnya ditambahkan

fase minyak s e d i i t demi sedikit sambil diiomogenisasi sehingga diperoleh

emulsi yang homogen (lebih kurang 3 menit). Rasio minyak dan air yang

digunakan yaitu 46; 5:5; 6:4; 7:3 d m 8:2. Pada tahapan ini diperoleh rasio minyak dan air serta jenis dan konsentrasi emulsifier yang mampu membentuk

emulsi yang stabil.

Pengamatan:

Pengamatan dilalrukan setiap hari terhadap kestabilan emulsi yang dihasilkan

melalui pengamatan secara visual (secara langsung). ' ~ m u l s i dianggap stabil

(46)

(2) Formulasi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah

Tujuan:

Memperoleh formula emulsi dengan penambahan bahan tambahan makanan

lainnya (pemanis, pengawet, pengkelat, dan flavor) dengan tujuan bahwa

penambahan tersebut tidak mempengamhi kestabilan emulsi yang terbentuk.

Metode:

Metode pembuatan minuman emulsi dengan penambahan bahan tambahan

lainnya (pemanis, pengawet, pengkelat dan flavor) dapat dilihat pada Gambar 8.

Bahan tambahan yang digunakan antara lain simp fiuktosa, BHT, EDTA,

Benzoat, serta flavor jernk. Banyaknya bahan tambahan yang digunakan bernpa

pengawet Benzoat 0,2%; antioksidan BHT 200 ppm; dan pengkelat EDTA 200

ppm mengikuti penelitian Saputra (1996). Sedangkan pemanis h k t o s a

dicobakan pada konsentrasi 10-15% dan flavor 1-1,5%.

Pengamatan:

Pengamatan yang dilakukan terhadap minuman emulsi meliputi pengujian

terhadap sifat fisik, sifat kimia, dan pengujian secara organoleptik. Pengujian

terhadap sifat fisik meliputi viskositas (Metode Haake Viscometer). Pengujian

terhadap sifat kimia meliputi bilangan asam (metode titrasi; AOAC, 1990),

bilangan peroksida (metode titrasi; AOAC, 1990), kandungan karoten total

(Metode Spektrofotometri; Packer, 1992), dan kadar beta karoten (Metode HPLC;

Packer, 1992). Pengujian mikrobiologi yaitu total mikroba (metode TPC, Fardiaz,

1987). Pengujian organoleptik meliputi rasa, aroma, wama, kekentalaJi, dan

(47)

36

Air Minyak

1

+-- El~lulsifier (1%)

1

+--

BHT (200 ppm)

+--

Benzoat (0,2%) EDTA (200 ppm)

Homogenisasi

-

(rf: 1 menit, 8000 rpm) Homogenisasi (+ 1 menit,8000 rpm)

Ditarnbahkan perlahan-lahan sambil dihomogenisasi

Homogenisasi (+ 3 menit, 8000 rpm)

I

'

Sirup ~ u ~ o s a ( l ~ - - i ~ % )

+---

Flavor (1-1,5%)

Homogenisasi (zk 4 menit, 8000 rpm)

1

Emulsi O N

Pengemasan

Gambar 8. Diagram alir pembuatan minuman emulsi

(3) Penentuan Umur Simpan Minuman Emulsi

Tujnan:

Pada tahapan ini dilahwkan percobaan untuk menentukan umur simpan

(48)

(percepatan) sehingga diketahui pada saat kapan minuman emulsi masih dapat

dikatagorikan sebagai minuman emulsi yang kaya kandungan beta karoten.

Metode:

Penentuan karakteristik mutu minuman emulsi kaya beta karoten adalah

pada kandungan beta karoten dari produk tersebut yang nlerupakan kondisi

kritisnya untuk dapat dikatakan sebagai produk yang kaya kandungan beta karoten

atau tidak. Kondisi kritis ini dinyatakan apabila produk minuman emulsi kaya

beta karoten tersebut masih memiliki kadar beta karoten lebih kurang 100 ppm.

Pengamatan terhadap perubahan karakteristik mutu minuman emulsi adalah

perubahan kandungan beta karoten produk selama waktu penyimpanan, dalain ha1

ini adalah penurunannya. Metode akselerasi dilakukan terhadap minuman emulsi

yang dihasilkan dengan cara dipanaskan pada suhu 60°C . d m 90°C, selanjutnya

pada setiap 0 jam, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam dan 6 jam dilakukan analisa

kandungan beta karoten dengan metode HPLC (Packer, 1992). Penentuan umur

simpan dengan metode akselerasi dilakukan dengan menggunakan model

Anhenius.

Data hasil pengamatan selanla penyimpanan ditabulasikan, selanjutnya

dilahkan tahap-tahap penentuan umur simpan produk dengan menggunakan

bantuan persamaan Arrheius yaitu sebagai berikut:

1. Data hasil analisa karakteristik beta karoten pada berbagai waktu

penyimpanan/pemanasan pada berbagai suhu diplotkan sehingga didapatkan

persamaan regresi liniernya. Dari regresi ini diperoleh dua persamaan regresi

(49)

ini lan~anya pemanasan, dalam jam), a = nilai karakteristik minuman en~ulsi

pada waktu penyimpanan, b = laju perubahan nilai karakteristik.

2. Dari masing-masing persamaan tersebut akan diperoleh nilai slope (b) yang

mempakan konstanta laju reaksi pembahan karakteristik minuman emulsi.

3. Nilai Ink dan 1/T yang merupakan parameter persamaan Arrhenius

ditabulasikan, selanjutnya nilai Ink diplotkan terhadap nilai 1/T (PK) dan

didapatkan nilai intersep dan slope dari persamaan regresi linier

Ink = lnko - (EalR)(IIT), di mana Ink0 = intersep, EalR = slope, Ea = energi

aktivasi dan R = konstanta gas ideal = 1,986 ka!./mol°K.

4. Dengan persamaan yang diperoleh pada tahap (3) didapatkan nilai konstanta

ko yang mempakan faktor preeksponensial dan nilai energi aktivasi reaksi

perubahan karakteristik minuman emulsi (Ea). Lebih lanjut ditentukan model

persamaan kecepatan reaksi (k) p e ~ b a h a n karakteristik minuman ernulsi

k = ko.emT. Persamaan ini disebut persamaan Arrhenius.

5. Dengan persamaan Arrhenius dapat dihitung nilai kecepatan reaksi (k)

pembahan karakteristik minuman emulsi pada suhu (T) penyimpanan yang

ditentukan.

6. Umur simpan minuman emulsi dihitung dengan menggunakm persamaan

kinetika reaksi ordo satu: A, = &.e-" (di mana ts = umur simpan produk).

Perhitungan menggunakan data karakteristik mutu awal minuman emulsi

(kondisi minuman emulsi pada waktu t=O atau Ao) dan nilai karakteristik

(50)

Peneuiian Sifat Fisik

(1) Viskositas (Metode Haake)

Pengukuran viskositas minuman emulsi dilakukan dengan menggunakan alat

Haake Viskometer RC-20. Sejumlah sampel (lebih kurang 40 ml) dimasukkan

kedalam wadah khusus pada alat Haake viskometer. Pengukuran viskositas

dilakukan pada suhu 25'C. Nilai viskositas yang temkur dalam satuan Pascal-

detik (Pas). Nilai yang diperoleh dikonversi menjadi satuan centipoises (cp).

Nilai viskositas terukur Perhitungan (cp) =

1000

Peneuiian Sifat Kimia

(1) Bilangan Asam, Metode Titrasi (AOAC, 1990)

Bilangan

asam

adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk

menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan

asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat

dalam

Gambar

Tabel 1.  Pangsa konsumsi minyak sawit nlenurut bentuk konsulnsi di Indonesia.  Pangsa Bentuk yang Dikonsumsi
Tabel 3.  Komposisi asam lemak dalam minyak sawit Malaysia.
Gambar 1.  Diagram alir proses pengolahan minyak sawit (Muchtadi, 1992b)
Tabel 4.  Komponen minor dalam minyak sawit mentah  (CPO)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Judul : Produksi Margarin Kaya Β -Karoten Berbasis Minyak Sawit Merah secara Interesterifikasi Enzimatik untuk Mengatasi Defisiensi Vitamin A dalam Upaya Meningkatkan

Penulis memanjatkan syukur ke hadirat Alloh SWT karena dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Produksi Bahan Baku Spreads Kaya β -Karoten berbasis Minyak Sawit Merah

[r]

Dari lima jenis flavor yang ditambahkan ke dalam minuman minyak bekatul, yang terbaik adalah minuman emulsi minyak bekatul dengan flavor stroberi 0.5%.. Penyimpanan

Penentuan karakteristik mutu minuman emulsi kaya beta karoten adalah pada kandungan beta karoten dari produk tersebut yang nlerupakan kondisi kritisnya untuk

untuk mengalami kerusakan akibat reaksi hidrolisis dan oksidasi, selanjutnya dapat menghasilkan produk lanjut berupa prooksidan dan radikal bebas yang sangat berbahaya

Semakin tinggi jumlah minyak dalam rasio tersebut cenderung akan menghasilkan kekentalan yang lebih tinggi, batas forsi minyak dalam sistem emulsi yang masih disukai oleh