• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Investasi di Kota Sibolga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Investasi di Kota Sibolga"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

Karya Tulis

ANALI SI S FAKTOR- FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT I NVESTASI DI KOTA SI BOLGA

Murbanto Sinaga

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI

(2)

D AFTAR I SI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II PEMAPARAN HASIL PENELITIAN ... 10

II.A. Gambaran Kelembagaan ... 10

II.A.1. Kepastian Hukum ... 10

II.A.2. Aparatur dan Pelayanan oleh Pemda ... 13

II.A.3. Peraturan Daerah/Kebijakan Daerah ... 17

II.A.4. Keuangan Daerah ... 20

II.B. Gambaran Kondisi Sosial Politik Di Daerah ... 24

II.B.1. Kondisi Keamanan ... 24

II.B.2. Kondisi Sosial Politik Masyarakat ... 27

II.B.3. Nilai-Nilai Budaya Masyarakat ... 32

II.C. Gambaran Perekonomian Daerah ... 35

II.C.1. Potensi Ekonomi ... 35

II.C.2. Struktur Ekonomi ... 37

II.C.3. Perdagangan ... 40

II.C.4. Perbankan ... 42

II.C.5. Investasi Daerah ... 44

II.D. Gambaran Kondisi Tenaga Kerja ... 47

II.D.1. Karakteristik Penduduk ... 47

II.D.2. Ketersediaan Tenaga Kerja ... 49

II.D.3. Kualitas/Keterampilan Tenaga Kerja ... 50

II.D.4. Produktivitas Tenaga Kerja ... 51

II.E. Infrastruktur Fisik ... 52

II.E.1. Ketersediaan Infrastruktur Fisik ... 53

II.E.2. Kualitas Infrastruktur Fisik ... 57

II.E.3. Akses Terhadap Infrastruktur ... 59

BAB IIIKESIMPULAN ... .. 61

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

Letak dan geografis Kotamadya Sibolga terletak pada garis 1044’

Lintang Utara dan 98047’ Bujur Timur, yang mana wilayah keseluruhan

Kotamadya Sibolga baik sebelah Utara, Timur, Selatan berbatasan dengan

Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah Barat berbatasan dengan Teluk

Tapian Nauli yang juga termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.

Luas wilayah Kota Sibolga adalah 10,77 Km2 atau 1077 ha yang terdiri

dari daratan Sumatera 889,16 ha dan daratan kepulauan 187,84 ha, serta

daerah urban seluas 302,25 ha dan daerah non urban seluas 774,65 ha, yang

berada 1 – 50 m diatas permukaan laut.

Jika menilik dari kondisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Kota

Sibolga memang kota yang dikelilingi oleh daratan dan lautan. Dari pantauan

di lapangan terlihat bahwa Kota Sibolga sebagai salah satu basis perdagangan

komoditi ikan di Provinsi Sumatera Utara memang pantas untuk menjadi kota

yang hidup dari bidang perikanan. Namun fakta yang terjadi adalah kontribusi

dari perikanan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Sibolga sangat

minim sekali, malah dapat dikatakan hampir tidak ada. Justru sektor

perdagangan dan jasa yang memberikan kontribusi besar ke PAD.

Kota Sibolga yang berada antara 1 – 50 meter di atas permukaan laut

mempunyai iklim cukup panas dengan suhu maksimum mencapai 32,70 0C di

(4)

Curah hujan di Kota Sibolga cenderung tidak teratur di sepanjang

tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi di bulan April (601,6 mm), sedangkan

hari hujan terbanyak juga terjadi pada bulan yang sama (23 hari). Kecepatan

angin tertinggi hingga 7,20 m/det dan terendah 4,50 m/det terjadi di sepanjang

tahun 2001.

Bila dilihat luas daerah menurut kecamatan/kelurahan maka

Kotamadya Sibolga dibagi menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu: Kecamatan

Sibolga Utara yang mencakup 4 (empat) kelurahan, kemudian Kecamatan

Sibolga Kota yang mencakup 4 (empat) kelurahan, dan yang terakhir

Kecamatan Sibolga Selatan yang mencakup 8 (delapan) kelurahan.

Kecamatan Sibolga Selatan merupakan kecamatan terluas yang ada di

Kota Sibolga yaitu 5,577 Km2 dengan rasio mencapai 51,78 %, artinya

setengah dari luas wilayah Kota Sibolga berada dalam kecamatan ini.

Kecamatan Sibolga Selatan ini juga mempunyai kelurahan yang terbanyak

yaitu 8 Kelurahan. Disamping itu kawasan Kelurahan Aek Habil adalah salah

satu daerah yang tinggi aktivitas ekonominya, karena daerah ini berada dekat

dengan lokasi tangkahan ikan yang mana di daerah inilah yang sering terjadi

perdagangan ikan segar antara nelayan dengan pedagang ikan-pedagang ikan

lokal.

Kecamatan Sibolga Utara merupakan daerah yang terbesar kedua yang

mencakup wilayah seluas 2,883 Km2 dengan jumlah kelurahan sebanyak 4

kelurahan seperti yang telah diuraikan diatas. Dimana luas daerah ini

mencapai rasio sebesar 26,77%. Kemudian yang terakhir adalah Kecamatan

(5)

mencapai 21,45%, daerah ini juga mencakup 4 kelurahan. Dimana dari

pantauan di lapangan bahwa kelurahan Pasar Baru dan Pasar Belakang adalah

daerah yang juga mempunyai aktivitas ekonomi yang tinggi, karena kedua

daerah ini adalah tempat pusat perdagangan perikanan dan jasa.

Dari data komposisi pertumbuhan penduduk Kota Sibolga dari

tahun 1961 – 2000 terlihat bahwa pertumbuhan yang paling pesat terjadi

adalah pada periode 1971 - 1980 (satu dasawarsa) yaitu sebesar 3,92 %. Pada

periode ini kelihatan bahwa jumlah pertumbuhan penduduk lebih tinggi

dibandingkan periode yang lain. Malah pada periode 1990 – 2000 jumlah

pertumbuhan penduduk semakin berkurang menjadi 1,41 %. Hal ini dapat

dilihat dari tabel dibawah ini.

Tabel 1.

Pertumbuhan Penduduk Kota Sibolga Tahun 1961 - 2000

Periode Pertumbuhan (Persen)

0,90 1. 1961 - 1971

3,92 2. 1971 - 1980

1,84 3. 1980 - 1990

1,41 4. 1990 - 2000

Sumber : Kota Sibolga Dalam Angka 2001

Disamping data di atas dapat pula kita ketahui jumlah penduduk dan

kepadatan penduduk yang diklasifikasikan berdasarkan 3 kecamatan besar

pada tahun 2001. Data ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Jika dilihat dari kondisi kepadatan penduduk berdasarkan luas

wilayahnya, Kecamatan Sibolga Selatan merupakan kecamatan yang

(6)

kepadatan rata-rata sebesar 9.127 jiwa per Km2. Jumlah penduduk ini masih

signifikan bila dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah kelurahan.

Selanjutnya jumlah penduduk terpadat kedua ada di Kecamatan Sibolga Utara

dengan besarnya jumlah penduduk adalah 17.805 jiwa dengan rata-rata

kepadatan sebesar 6.176 jiwa per Km2. Sedangkan Kecamatan Sibolga Kota

mempunyai jumlah penduduk terkecil dibandingkan dengan kecamatan lain

yaitu sebesar 15.327 jiwa dengan rata-rata kepadatan sebesar 6.635 jiwa per

Km2. Berdasarkan data-data diatas dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah

penduduk di Kota Sibolga memang sudah memenuhi untuk menjadi

kotamadya yang mandiri.

Tabel 2.

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Kelompok Umur

(tahun) Laki-laki Perempuan

Laki-laki &

(7)

Dari data diatas, dapat dilihat bahwa kelompok umur terbesar adalah

kelompok Dewasa adalah kelompok mulai dari 20 tahun sampai 34 tahun

(diolah dari data) yang terdiri dari 21.912 orang atau sekitar 26,07% dari

keseluruhan jumlah penduduk Sibolga, dimana 11.255 orang diantaranya

adalah laki-laki (51,36%), sedangkan 48,64% lagi adalah perempuan, atau

sebesar 10.657 orang.

Kelompok terbesar kedua adalah kelompok Anak-anak (0-9

tahun), yaitu sebesar 20.239 jiwa atau sekitar 24,26% dari jumlah penduduk

keseluruhan, dimana sebesar 10.513 orang adalah laki-laki dan 9.876 orang

adalah perempuan. Setelah itu disusul kelompok Remaja (10-19 tahun), yaitu

sebesar 20.213 orang atau sekitar 24,05% dari jumlah penduduk keseluruhan.

Kelompok selanjutnya adalah kelompok Orangtua (35-54 tahun), yaitu sebesar

16.357 orang atau sekitar 19,46% dari jumlah penduduk keseluruhan, dimana

laki-laki berjumlah 8.406 orang dan perempuan 7.951 orang. Kelompok

terakhir adalah kelompok Manula (55-59 tahun) dimana jumlahnya adalah

5.161 orang atau sekitar 6,16% dari jumlah penduduk keseluruhan, dimana

laki-laki berjumlah 2.257 orang dan perempuan berjumlah 2.904 orang.

Kota Sibolga juga merupakan daerah yang heterogen komposisi

penduduknya yang dilihat menurut agama, dimana terlihat bahwa jumlah

penduduk yang menganut ajaran agama Islam, yaitu berjumlah 49.763 orang

atau sekitar 58,46% dari seluruh jumlah penduduk. Berikutnya untuk agama

Katholik, berjumlah 4.259 orang atau hanya sekitar 5,21%. Untuk agama

Protestan, terdiri dari 26.436 orang atau sekitar 32,26%, kemudian Hindu 115

(8)

3,67% dan aliran kepercayaan lainnya berjumlah 126 orang atau 0,16%. Dari

keberagaman penduduk ini dapat dilihat nantinya apakah berdasarkan data

hasil lapangan akan sangat sering terjadinya konflik sosial yang terjadi

dimasyarakat yang akan mempengaruhi ketertarikan daerah ini bagi investor

untuk menanamkan modalnya.

Gambaran lain dari Kotamadya Sibolga yang dapat dipergunakan

sebagai pertimbangan untuk menarik investasi ke daerah antara lain adalah

jumlah angkatan kerja yang bekerja berdasarkan tingkat pendidikan yang

dimiliki daerah ini. Hal ini nantinya akan dianalisa bersama dengan data hasil

lapangan untuk melihat apakah ketersediaan dan kualitas tenaga kerja yang

ada di Kota Sibolga akan mendukung untuk investor dalam melakukan

investasinya guna mencari dan membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan

cakap.

Tabel 3.

Persentase Penduduk 10 tahun ke atas yang Bekerja Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Laki-laki & Perempuan

1,12

(9)

Tingkat pendidikan yang terbesar terdapat pada tingkat SD, yaitu

sebesar 25,08%, kemudian diikuti oleh tingkat SLTA Umum yaitu sebesar

24,87%. Tingkat pendidikan terbesar ketiga adalah tingkat SLTP, yaitu

sebesar 24,56%. Sedangkat pada standart pendidikan tertinggi yaitu Diploma

IV/S1, hanya berkisar 3,01% saja. Dalam hal ini berarti jumlah penduduk yang

bekerja masih didominasi oleh pekerja yang memiliki tingkat pendidikan

terendah yaitu sekolah dasar yang secara umum dapat dikatakan bahwa

mereka bekerja lebih banyak menggunakan tenaganya agar produktivitasnya

dapat tinggi.

Tabel 4.

Persentase Angkatan Kerja menurut Lapangan Usaha tahun 2001

Lapangan Usaha Persentase

30,16 Listrik Gas dan Air

2,90 Bank dan Lembaga Keuangan

13,37 Jasa

0,10 Lainnya

S i b o l g a 100,00

Sumber : Kota Sibolga Dalam Angka 2001

Dari data diatas dapat dilihat bahwa persentase terbesar angkatan kerja

terdapat pada sektor Perdagangan yaitu sebesar 32,33%. Sektor terbesar kedua

(10)

sektor Jasa yaitu sebesar 13,37%. Dari gambaran ini dan digabung dengan data

klasifikasi penduduk yang bekerja menurut tingkat pendidikan dapat

dijelaskan bahwa penduduk yang bekerja sangat dimungkingkan tenaga kerja

yang bekerja di sektor perdagangan dan pertanian umumnya memiliki

pendidikan minimal sekolah dasar.

Kondisi lain yang dapat menjadi gambaran bagi investor baik asing

maupun lokal dalam mengambil keputusan untuk melakukan investasi pada

Kota Sibolga ini adalah laju tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi dan

kontribusi sektoral dari masing-masing sektor terhadap perekonomian daerah

ini. Gambaran ini akan mendukung dalam menganalisa data-data hasil

penelitian dan data sekunder untuk memberikan telaahan mengenai daya tarik

investasi pada sektor-sektor mana saja yang potensial untuk dikembangkan.

Tabel 5.

Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi Sektoral berdasarkan harga konstan (1999 – 2000)

Pertumbuhan Ekonomi Peranan Sektoral Sektor

1999 2000 1999 2000

Pertanian 4.9 % 6.45 % 32.20 % 32.70 %

Penggalian - 4.16 % 1.01 % 0.02 % 0.02 %

Industri 21.87 % 5.84 % 9.76 % 9.84 %

Listrik, Gas dan Air Minum 2.81 % 6.46 % 2.55 % 2.59 %

Bangunan 1.39 % 2.08 % 12.99 % 12.60 %

Perdagangan, Hotel & Restoran 1.55 % 3.59 % 14.71 % 14.49 % Pengangkutan dan Komunikasi 5.84 % 7.13 % 8.61 % 8.71 % Bank dan Lembagan Keuangan - 1.87% 2.24 % 9.11 % 8.85 %

Jasa 4.01 % 5.33 % 10.15 % 10.18 %

PDRB 4.94 % 5.00 % 100.00 % 100.00 %

(11)

Tingkat pertumbuhan PDRB Kota Sibolga pada tahun 1999 adalah

sebesar 4,96%, sedangkan pada tahun 2000 adalah sebesar 5,00 %. Kontribusi

terbesar terhadap pertumbuhan PDRB tersebut berasal dari sektor pertanian

yaitu sebesar 32,20% pada tahun 1999 dan 32.70 % pada tahun 2000,

kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 14.71 %

dan 14.49 % pada tahun 1999 dan 2000, kemudian yang ketiga sektor

bangunan yaitu sebesar 12.99 % (1999) dan 12.60 % (2000). Sedangkan

kontribusi terkecil berasal dari sektor penggalian, yaitu sebesar 0.02% untuk

tahun 1999 dan 2000. Walaupun begitu, persentase pertumbuhan ekonomi

terbesar pada tahun 2000 terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi,

yaitu sebesar 7,13 %, sedangkan untuk sektor pertanian hanya sebesar 6,45 %,

dibawah sektor listrik, gas dan air minum yagn mencapai tingkat pertumbuhan

6,46 %. Sedangkan untuk laju pertumbuhan ekonomi dari tahun 1999 – 2000

terjadi pada sektor penggalian yang meningkat sebesar 5.07 % dan sektor bank

dan lembaga keuangan meningkat sebesar 4,11 %, serta sektor listrik, gas dan

air minum mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,65 %.

Berarti walaupun sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar dari

perekonomian Kota Sibolga tetapi peningkatan pertumbuhannya yang terjadi

tidaklah cukup berarti dibandingkan dengan sektor penggalian serta bank dan

lembaga keuangan. Dari hal ini juga dapat menunjukkan bahwa sektor

penggalian, bank dan lembaga keuangan serta listrik, gas dan air minum

merupakan sektor yang dapat menjadi tempat bagi investor menanamkan

(12)

BAB II

PEMAPARAN HASIL PENELITIAN

II. A. GAMBARAN KELEMBAGAAN

Pemberlakuan otonomi daerah sangat memperngaruhi kinerja

kelembagaan terutama lembaga pemerintah daerah dalam menjalankan

peranannya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat, baik itu pelayanan

terhadap kepastian hukum, kualitas aparatur daerah, kelembagaan administrasi

daerah dan aspek-aspek lainnya, yang kesemuanya apabila berjalan dengan

optimal akan saling mendukung untuk meningkatkan pengembangan daerah

kearah yang lebih maju. Kondisi diberlakukannya otonomi daerah ini akan

sejalan bersama-sama dengan keinginan daerah untuk mengembangkan

potensi daerahnya agar menjadi sumber pemasukan keuangan daerah yang

nantinya akan menjadi modal bagi peningkatan daerah tersebut,yang mana

pada otonomi daerah ini setiap daerah akan mengelola keuangan daerahnya

sendiri termasuk berkaitan dengan peningkatan investasi yang ada di daerah.

II.A.1. Kepastian Hukum

Dari hasil wawancara terhadap 11 responden yang merupakan

pengusaha yang mengelola usahanya di Kota Sibolga, diperoleh penilaian

terhadap kepastian hukum dimana netralitas lembaga peradilan dalam hal

penanganan masalah hukum di Kota Sibolga masih dalam kategori sedang,

(13)

kategori tidak baik sebesar 27% dan untuk kategori baik sebesar 9%. Hal ini

tercermin dari tanggapan tiap responden yang mengatakan bahwa tingkat

kriminalitas di Kota Sibolga yang masih relatif rendah yang secara otomatis

membuat kinerja lembaga peradilan hanya dalam batas koridor tugas dan

wewenang mereka saja. Sementara untuk faktor kecapatan proses hukum

responden lebih banyak memberi penilaian sedang yang mencapai 91%,

karena biasanya pihak aparat penegak hukum maupun pihak lembaga

peradilan melakukan koordinasi dahulu dalam menverbal suatu kasus yang

menyangkut hukum. Sehingga konsistensi dalam penegakan keputusan

peradilan yang berkaitan dengan dunia usaha maupun perlindungan terhadap

kontrak dan hak kepemilikan masing-masing dinilai sedang oleh kebanyakan

responden, walaupun penilaian baik dan tidak baik ada jua responden yang

menilai demikian, namun nilai sedang tetap lebih dominan yaitu mencapai

73%.

Tabel 6.

Penilaian Responden terhadap Lembaga Peradilan dan Kepastian Hukum di daerah

(14)

Kemudian untuk mekanisme penyelesaian konflik antara masyarakat –

pengusaha, pengusaha – pemda maupun pemda – masyarakat masing-masing

indikator tersebut mendapat nilai sedang. Dimana antara masyarakat dengan

pengusaha mencapai nilai 91%, selanjunya pengusaha dengan pemda

mencapai nilai 64% dan terakhir antara pemda dengan masyarakat mencapai

nilai 91%. Penilaian ini didasari atas fakta (kejadian) yang pernah dialami oleh

pengusaha dalam penyelesaian konflik, dimana aparat tetap lebih

mementingkan kaidah-kaidah hukum tanpa melihat siapa (pihak) mana yang

terlibat dalam urusan tersebut. dengan kata lain tidak adanya keberpihakan

aparat dalam penanganan setiap masalah (konflik) yang menyangkut hukum.

Untuk biaya tidak resmi (pungutan liar/pungli) yang dilakukan oleh

peradilan, responden lebih dominan menilai tidak ada, yang mencapai 64%,

sedangkan sisanya menilai sedikit, yang mencapai prosentase sebesar 36%.

Namun pungli untuk dunia usaha (pelayanan oleh birokrasi) dan juga pungli

yang dilakukan oleh aparat kepolisian dinilai sedikit, dengan penilaian sebesar

54% untuk kedua faktor diatas. Sedangkan kategori penilaian tinggi hanya

mencapai 9% dan kategori penilai tidak ada sebesar 36%. Alasan utama yang

dibuat oleh aparat kepolisian dalam melakukan pungutan liar tersebut adalah

(15)

Tabel 7.

Penilaian Responden terhadap Pungutan Tidak Resmi / Liar terhadap kegiatan dunia usaha di daerah

Sangat

Tinggi Tinggi Sedikit Tidak Ada Total

INDIKATOR

F % F % F % F % F %

Biaya tidak resmi dalam proses peradilan

- - - - 4 36 7 64 11 100

Biaya tidak resmi dalam pelayanan oleh birokrasi

- - 1 9 6 54 4 36 11 100

Pungutan liar oleh oknum aparat keamanan (polisi)

Sumber : Data primer yang diolah, 2002

II.A.2. Aparatur dan Pelayanan oleh Pemda

Salah satu aspek yang harus diperhitungkan oleh investor sebelum

melakukan investasi adalah ketersediaan aparat pemerintah daerah (dalam hal

ini Pemerintah Kota Sibolga) dalam melaksanakan fungsi administrasi

pemerintahan daerah dan juga kesiapan maupun kesigapan aparaturnya dalam

penyediaan pelayanan bagi kalangan dunia usaha dan masyarakat. Selain itu

aparat pemerintah juga tetap menyediakan infrastruktur serta merumuskan

peraturan daerah yang terkait dengan dunia usaha dan iklim investasi.

Data-data tabel 8 berikut menunjukkan persepsi responden terhadap kualitas aparat

(16)

Tabel 8.

Penilaian Responden terhadap Kualitas Aparat Pemda

Sangat Tinggi

Tidak Tahu Tinggi Sedang Kurang Total

INDIKATOR

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Adapun kategori penilaian responden terhadap kualitas aparat pemda

seperti kualitas kepala daerah yang oleh sebagian besar responden menanggapi

sedang dengan prosentase sebesar 82%, sedangkan yang menilai kurang

sebesar 18%. Kebanyakan responden menilai sedang disebabkan faktor

fungsional dari kepada daerah belum optimal dalam kaitannya dengan dunia

usaha. Misalnya, Peraturan Daerah No. 5, 6 dan 7 tentang retribusi perikanan

yang dibuat oleh Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu faktor

penghambat dari Perda Kota Sibolga untuk meningkatkan PAD dari sektor

pertanian. Disinilah dituntut kebijakan seorang kepada daerah dalam

mengoptimalkan kinerja pemerintahannya untuk mendorong iklim usaha yang

kondusif.

Dari sisi kualitas anggota DPRD juga termasuk dalam kategori sedang

dengan nilai prosentase 64%, sedangkan responden yang menjawab kurang

sebanyak 36%. Artinya kinerja usaha dari anggota DPRD sebagai dewan yang

(17)

betul-betul membantu masyarakat dari dunia usaha dalam hal perumusan

kebijakan yang benar-benar dapat menambah daya tarik investasi.

Aspek lain yang mempengaruhi dunia usaha adalah kecakapan aparatur

dalam hal pelayanan publik, dimana 82% responden menjawab sedang,

selebihnya kategori untuk penilaian tinggi dan kurang masing-masing

responden menjawab sebesar 9%. Disamping itu aspek penyalahgunaan

wewenang (jabatan) yang dilakukan oleh aparat pemda masih didominasi

kategori penilaian sedang, yang mencapai nilai prosentase sebesar 45%, yang

menilai tinggi mencapai angka 9% sedangkan untuk kategori penilaian kurang

ada sebesar 27% responden yang menanggapinya, serta penilaian tidak tahu

sebesar 18%. Dari data tabulasi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

penyalahgunaan wewenang bukan hanya terjadi ditingkat provinsi saja, sampai

di daerah kabupaten dan kota pun hal ini tetap berlaku, walaupun masih dalam

intensitas yang sedang.

Disisi lain, pelayanan yang diberikan oleh pemda melalui aparatur

terkait khususnya dalam jalur birokrasi terhadap dunia usaha, misalnya

pengurusan izin HO, banyak responden menilai cukup baik dengan persentase

sebesar 45% sedangkan yang menilai sangat baik hanya 9%. Biasanya jalur

birokrasi yang dialami oleh pengusaha tidak menjadi hambatan bagi mereka,

karena menurut mereka Kota Sibolga yang kecil mudah saja dipantau oleh

kepala daerah yang diwakili oleh kepala dinas yang terkait. Disamping itu juga

pelayanan yang diberikan oleh aparat pemda masih berkaitan dengan

faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan di daerah. Kemudian untuk kepastian

(18)

responden antara penilaian cukup baik dan tidak baik, yang mana kedua

kategori ini mendapat tanggapan sebesar 36%, kategori baik sebesar 18% dan

kategori sangat baik hanya sebesar 9%. Dari data lapangan yang merupakan

hasil wawancara kuisioner tipe A, akan ada preseden tanggapan kurang baik

bagi petugas pelayanan publik (dunia usaha dan masyarakat), bilamana hal ini

tidak cepat diperbaiki. Konsekuensinya adalah para pengusaha akan membuat

jalan pintas dengan mencari oknum yang dapat mengurus dengan imbalan

yang cukup.

Namun bila dilihat tentang kepastian biaya dalam pengurusan untuk

dunia usaha, responden yang menilai cukup baik ada sebesar 45% dengan

perimbangan kategori tidak baik sebanyak 27%, yang selebihnya untuk

kategori baik tanggapan yang responden ada sebesar 18%, dan kategori

penilaian sangat baik ada sebesar 9%. Jadi dapat dikatakan memang ada

segelintir oknum yang membuat biaya tidak resmi kepada pengguna pelayanan

publik.

Tabel 9.

Penilaian Responden terhadap Kualitas Pelayanan yang diberikan oleh Pemda

Cukup

Kepastian dan ketepatan waktu pelayanan

(19)

Aspek yang terakhir adalah kategori penilaian terhadap

kepastian dan kejelasan pemberlakuan perda yang telah ditetapkan pusat

mendapat penilaian cukup baik sebesar 64%, sementara untuk kategori

penilaian baik dan tidak baik masing-masing sebesar 18%. Sedangkan

kepastian dan kejelasan pemberlakuan perda yang ditetapkan pemda sendiri,

ada tanggapan dari responden yang menyatakan baik sebesar 18%, selanjutnya

penilaian cukup baik mendapat respon sebesar 54%, sedangkan kategori tidak

baik mendapat respon sebesar 27%. Jadi tanggapan diatas yang diberikan oleh

responden dapat menggambarkan bahwa konsistensi pemda dalam proses

pelaksanaan cukup signifikan dalam aplikasinya di lapangan. Dalam

prakteknya di lapangan perda yang diatur oleh pusat (provinsi) terkadang

malah bersifat tumpang tindih dengan perda sendiri, yang secara otomatis

peraturan daerah tidak mampu mengakomodir segala jenis kegiatan usaha.

II.A.3. Peraturan Daerah / Kebijakan Daerah

Diatas telah disinggung bawah pemda cukup baik konsistensinya

dalam melaksanakan perda, baik itu dari pusat maupun dari pemda sendiri.

Namun dalam hal lain yaitu prosedur pelayanan dan peraturan daerah, disini

kita mendapat gambaran kesesuaian antara perda yang satu dengan perda yang

lain melalui kategori penilaian baik yang mendapat tanggapan tertinggi dari

responden yaitu sebesar 45%, dan banyak juga responden yang menjawab

tidak tahu yaitu sebesar 36%. Melihat dari persentase di atas dan hasil

(20)

dengan perda yang diberlakukan saat ini, bagi responden lebih baik

berkonsentrasi dalam meningkatkan pendapatannya.

Tabel 10.

Penilaian Responden terhadap Prosedur Pelayaan yang diatur dalam Kebijakan-kebijakan Daerah (Perda)

Tidak Tahu Sangat Baik Baik Tidak Baik Total

INDIKATOR

F % F % F % F % F %

Kesesuaian antara satu perda dengan perda yang lain

4 36 1 9 5 45 1 9 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Selain faktor di atas ada lagi aspek yang perlu dikaji yaitu tentang

kejelasan berbagai perda yang dibuat oleh pemda sendiri yang berkaitan

dengan dunia usaha, dimana responden yang menilai baik ada sebesar 54%

dan selebihnya menanggapi sangat baik sebesar 9%. Sementara untuk kategori

penilaian tidak baik dan tidak tahu ada beberapa responden yang

menanggapinya sebesar 18%. Kategori penilaian ini mengacu pada komposisi

perda yang diberlakukan di dunia usaha, yang mana tiap-tiap perda tersebut

sudah cocok (pantas) dilaksanakan bagi kaum dunia usaha khususnya maupun

terhadap masyarakat pada umumnya. Sedangkan prosedur pelayanan terhadap

dunia usaha yang diatur dalam perda, penilaiannya dapat dilihat sebagai

berikut, untuk kategori penilaian tidak baik ada sebesar 54% responden yang

menanggapinya, kemudian kategori penilaian baik sebesar 36% dan yang

(21)

tersebut masih dianggap mahal oleh pihak dunia usaha, yang pada akhirnya

akan berdampak dan sekaligus menghambat menghambat perkembangan

usaha mereka.

Hal tersebut dapat juga dilihat berdasarkan tabel 11, yang mana

penilaian responden terhadap besarnya biaya yang diatur dalam perda hampir

secara umum menanggapi tidak ada terhadap penetapan harga jual atas suatu

komoditas sebesar 91%, pungutan pajak ketenaga kerjaan sebesar 64%, dan

pungutan berganda sebesar 100%, yang diatur didalam perda. Hal ini

menunjukkan bahwa masih perlu adanya produk perda yang bisa

mengakomodir hal-hal tersebut agar tidak terjadi pungutan-pungutan yang

tidak resmi yang dilakukan oleh aparat pemda. Sedangkan tanggapan

responden untuk pungutan retribusi terhadap aktivitas bisnis terutama lalu

lintas barang dan jasa antar daerah ada sebesar 73% responden menanggapi

ada serta terhadap pungutan pajak atau retribusi lainnya ada sebesar 91%

responden menanggapi ada besarnya biaya pungutan tersebut diatur dalam

perda. Namun untuk hal ini ada baiknya besarnya biaya disesuaikan dengan

kondisi daerah agar tidak kelihatan seperti memaksakan agar ada peningkatan

(22)

Tabel 11.

Penilaian Responden terhadap Besarnya Biaya yang diatur dalam Perda

Tidak Ada Ada Tidak Tahu Total

INDIKATOR

F % F % F % F %

Penetapan harga jual atas suatu komoditas

10 91 1 9 - - 11 100

Pungutan pajak lalu lintas barang dan jasa antar daerah

2 18 8 73 1 9 11 100

Pungutan pajak atau retribusi ketenagakerjaan

7 64 4 36 - - 11 100

Pungutan pajak atau retribusi lainnya 1 9 10 91 - - 11 100

Pungutan berganda 11 100 - - - - 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

II.A.4. Keuangan Daerah

Bila kita berbicara tentang keuangan daerah secara otomatis kita pasti

menyinggung APBD dan PAD. Seperti kita ketahui bahwa yang menjadi

faktor-faktor yang mendukung (termasuk) dalam bagian PAD adalah Pos

Pajak Daerah, Pos Retribusi Daerah dan Pos Bagian Laba Perusahaan Milik

Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan Pos

lain-lain PAD yang sah. Dari sini kita dapat membahas tentang kontribusi

pajak daerah yagn dibuat berdasarkan Perda Kota Sibolga. Dari data-data yang

didapat pajak yang diterima pada T.A. 2001 adalah sebesar Rp.

594.564.195,86,- dengan asumsi kelebihan anggaran yang diterima adalah

Rp.120.898.195,86,-. Namun untuk pos pajak penerimaan terbesar terdapat

pada pajak penerangan jalan yaitu Rp. 471.573.673,- dengan kelebihan

penerimaan sebesar Rp.121.573.673,-. Dimana pajak penerangan jalan sudah

diatur dalam Perda Kota Sibolga No.5 tahun 1998. Sedangkan yang

(23)

mencapai Rp. 16.000.000,- yang terealisasi hanya ada sekitar Rp. 12.105.000,-

sehingga nilai kekurangan menjadi Rp. 3.895.000,-.

Selanjutnya dari pos retribusi daerah yang mencakup 21 pos retribusi

daerah, toal retribusi dari target anggaran adalah Rp. 1.692.460.000,- dengan

realisasinya sebesar Rp. 1.636.825.709,40,- sehinga terjadi defisit sebesar Rp.

55.814.290,60,-. Dari sekian banyak daftar retribusi yang ada, retribusi pasar

menduduki peringkat pertama dalam penerimaan anggaran. Dimana dari target

sebesar Rp. 264.883.000,- yang dapat direalisasikan sebesar Rp. 268.368.200,-

yang berarti surplus sebesar Rp. 3.485.200,-. Namun bila dibandingkan

dengan kondisi pasar yang ada tampaknya apa yang diharapkan oleh

masyarakat belum cukup menghasilkan. Karena pada dasarnya masyarakat

(pengusaha) mengharapkan dari retribusi yang mereka bayarkan kiranya

dibarengi dengan tindak lanjut oleh pemda dalam pembangunan sarana dan

prasarana yag membantu kelancaran usaha mereka. Seperti yang terjadi

diseputaran kawasan Jl. Mojopahit, dimana daerah ini terkenal dengan

padatnya perdagangan ikan segar karena di daerah inilah yang paling banyak

tempat-tempat tangkahan ikan, namun jalan sebagai pendukung (sarana)

kelancaran usaha sama sekali kondisinya jauh dari yang diharapkan (buruk)

sehingga aktifitas perdagangan sedikit terhalang.

Selain itu kejadian yang paling ironis adalah Kota Sibolga sebagai

salah satu sentra komoditi perikanan tidak mempunyai pos tersendiri untuk

retribusi daerah. Sehigga dapat dikatakan bahwa sektor perikanan tidak

mempunyai kontribusi sama sekali dalam PAD. Pasalnya perda yang baru

(24)

perda yang dibuat oleh provinsi No. 5, 6 dan 7 tentang masalah perikanan.

Sehingga praktis pemko tidak mendapat apa-apa dari retribusi perikanan yang

ada, dimana dana retribusi tersebut cukup besar bila hal ini dapat dikelola

sendiri oleh pemda.

Selain dari PAD penerimaan daerah sendiri juga meliputi Pos bagi

hasil pajak yang mencapai nilai target sebesar Rp. 3.719.287.000,00,- dan nilai

dana yang terealisasi mencapai nilai Rp.5.189.632.562,00,-. Sehingga nilai

surplus yang diperoleh adalah Rp. 1.470.345.652.00,- atau dengan persentase

sebesar 139,53%. Dan yang diperoleh ini adalah diluar dugaan Pemko Sibolga

sendiri, mengingat sebagian besar dana-dana ini berasal dari Pos PBB. Dimana

dari target Rp. 2.656.874.000,- yang terealisasi adalah Rp. 4.003.895.543.00,-.

Dengan nilai surplus sebesar Rp. 1.347.021.543.00,-. Dengan kata lain tingkat

kesadaran untuk membayar kewajiban atas PBB sudah tinggi dan masyarakat

sudah menyadari bahwa salah satu dari faktor penunjang daerah adalah dari

PBB. Dan realisasi pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemko diwujudkan

dengan pembangunan sarana infrastruktur yang membantu mendorong

perekonomian daerah. Disamping itu dana yang masuk dalam Pos bagi hasil

pajak diperoleh dari Pos bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dimana

dari target yang besarnya mencapai Rp.748.841.000.00,- dana yang terealisasi

adalah Rp. 872.164.975.00,- dengan nilai surflus yang diperoleh sebesar Rp.

123.323.975.00.

Selanjutnya Pos dari SDA mencapai nilai Rp.

3.460.885.213,53. Dari target diperoleh sebesar Rp. 4.520.569.000.00,-

(25)

mungkin dapat ditutupi bila Perda tentang PHP (Pungutan Hasil Perikanan)

dapat dijalankan, meskipun kondisinya Ran-Perda tentang PHP masih dalam

tahap bahasan antara semua unsur terkait, yaitu antara pihak Pemko,

Masyarakat Pengusaha Ikan, Tokoh Masyarakat, Tokoh Nelayan. Pada

bahasan /sosialisasi Ran-Perda dimaksud, Pemko Sibolga (diwakili 6 Sekda

Sibolga) lebih menekankan sasaran akhir dari sosialisasi Ran-Perda tersebut

adalah menggali potensi PAD dari sektor perikanan sebagai salah satu SDA,

dimana kontribusi dari sektor perikanan tersebut memang tidak ada, disamping

itu pembahasan (sosialisasi) Ran-Perda itu juga untuk membangkitkan

kepedulian masyarakat/pengusaha untuk membangun kota Sibolga.

Bila kita melihat anggaran biaya rutin dalam APBD TA 2001

untuk Pos Pengeluaran terbesar adalah Pos untuk bidang Pendidikan dimana

target yang akan dipenuhi sebesar Rp. 17.883.621.000.00,-. Namun dana yang

terealisasi adalah sebesar Rp. 14.649.401.225.00,-. Sehingga ada sedikit defisit

sebesar Rp. 3.234.219.775.00,-. Padahal sesuai dengan program pemerintah

yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan menciptakan

program pendidikan Wajib Belajar 9 tahun, dan membangun sarana

pendidikan bagi masyarakat, kiranya nilai defisit tersebut dapat ditutupi dari

dana pos bidang lain yang mungkin saja targetnya terlalu besar.

Kemudian untuk belanja pembangunan dari total nilai sebesar Rp.

1.977.000.000.00,-. Yang ditargetkan namun nilai yang diterima (terealisasi)

hanya Rp.567.469.150.00,-. Yang berarti defisit sebesar Rp.

1.409.530.850.00,-. Dalam belanja pembangunan ini sektor transportasi yang

(26)

dari target yang akan dicapai sebesar Rp. 1.130.000.000.00,-. Namun nilai

yang terealisasi hanya sebesar Rp. 62.750.000.00,-. Hal ini hendaknya menjadi

perhatian yang serius bagi pihak Pemko, karena nilai defisit yang sangat tinggi

sehingga diharapkan bagi Pemko Sibolga bagaimana mencari solusi yang tepat

dalam rangka mencapai target yang ada.

II.B. GAMBARAN KONDISI SOSIAL POLITIK DI DAERAH

II.B.1. Kondisi Keamanan

a. Gangguan keamanan terhadap kegiatan usaha

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diperoleh gambaran tentang

tingkat keamanan di daerah kota Sibolga. Yang mana kategori keamanan di

kota tersebut tergolong kondusif, sehingga situasi keamanan tersebut sangat

mendukung aktifitas usaha dan berinvestasi serta adanya jaminan keselamatan

jiwa dan harta. Dari hasil jawaban kuisioner diperoleh kategori penilaian tidak

pernah adalah 100% yang menjawab bila ada penjarahan oleh massa.

Sementara itu bila kita perhatikan sisi pencurian di lokasi usaha sebanyak 8

orang (72,72%) menjawab tidak pernah sedangkan selebihnya 3 orang

(27,27%) menjawab/memberi kategori penilaian rendah. Alasan mereka

menjawab/menilai rendah disebutkan pencurian yang terjadi biasanya

dilakukan kaum remaja iseng. Misalnya: Adanya pencurian ikan asin ditempat

pengeringan ikan, dimana hasil yang dicuri tersebut jumlahnya kecil, dan

biasanya hasil curian itu dibelanjakan untuk hariannya (contoh: makan dan

(27)

Tabel 12.

Frekuensi Gangguan Keamanan terhadap Dunia Usaha Selama Tahun 2000 – 2002

Tidak Perampokan / penghadangan / penodangan di jalan 11 100 11 100

Bajing loncat 11 100 11 100

Pengrusakan terhadap fasilitas / asset perusahaan 11 100 11 100

Lain-lain 11 100 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Kemudian gangguan keamanan lain seperti perampokan/penodongan

dijalan, adanya bajing loncat, pengerusakan aset perusahaan tampaknya belum

pernah terjadi dengan kategori penilaian tidak pernah yang menjawab 11

orang (11%). Dari penilaian yang ada terlihat kondisi keamanan di kota

Sibolga masih kondusif dan sangat relevan bila dilakukan investasi baik

investasi dari dalam negri maupun luar negeri. Karena salah satu faktor yang

menjamin lancarnya kegiatan usaha (investasi) tak lain adalah jaminan

keamanan.

b. Gangguan Keamanan terhadap Masyarakat.

Bila gangguan terhadap dunia usaha dapat dikatakan tidak ada, maka

masyarakat sendiri menganggap gangguan keamanan masih dalam kategori

relatif kecil. Melihat dari jawaban responden, dimana untuk pertayaan bila ada

perampokan/pencurian dirumah yang menjawab tidak pernah sebanyak 2

orang (18,18%) sedangkan yang menjawab jarang sebanyak 9 orang (81,81%).

(28)

ataupun pencurian namun masyarakat menilai kejadian tersebut belum

menganggu aktivitas mereka. Kemudian mengenai jawaban dari pertanyaan

pencurian dijalan,sebanyak 6 orang (54,54%) menjawab tak pernah dan

manjawab jarang ada 5 orang (45,45). Untuk kasus penodongan, perampokan

dijalan serta pemerkosaan, masing-masing untuk tiap kasus responden

menjawab tidak pernah sebanyak 8 orang (72,72%) dan responden menjawab

jarang sebanyak 3 orang (27,27%). Sedangkan pada kasus pembunuhan yang

menjawab tidak pernah sebanyak 6 orang (54,54%) dan selebihnya yang

menjawab jarang ada 5 orang (45,45%). Dan terakhir untuk kasus

penjambretan/pencopetan yang menjawab tidak pernah 5 orang (45,45%)

sedangkan yang menjawab jarang ada sebanyak 6 orang (54, 54%).

Tabel 13.

Frekuensi Gangguan Keamanan terhadap Masyarakat (selain Dunia usaha ) selama tahun 2000 – 2002

Tidak Pernah Jarang (1– 3 kali) Total INDIKATOR

F % F % F %

Perampokan, pencurian di rumah 2 18 9 82 11 100 Pencurian di jalan (curanmor, asesoris

kendaraan bermotor dll)

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Melihat dari data persentase tingkat gangguan keamanan terutama

bersifat kriminal dapat disimpulkan bahwa frekuensi gangguan berencana

terhadap masyarakat 2 tahun terakhir masih dalam kategori wajar. Artinya

(29)

dikalangan masyarakat,dan boleh disimpulkan kondisi keamanan secara umum

dikota Sibolga dalam kategori kondusif, hal ini ditunjukkan dengan jawaban

responden sebanyak 11orang(100%).

Tabel 14.

Penilaian Responden terhadap kondisi Keamanan Secara Umum di Daerah ini untuk kegiatan Usaha / Investasi

Kondusif Total INDIKATOR

F % F %

Kondisi Keamanan Secara umum 11 100 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

II.B.2. Kondisi Sosial Politik Masyarakat.

Apabila kita ingin melihat secara jelas keadaan sosial masyarakat

dikota Sibolga maka mau tak mau kita harus memperhatikan aspek-aspek yang

membentuk kondisi sosial tersebut. Komposisi penilaian responden dapat

dilihat pada tabel 15 berikut.

Tabel 15.

Penilaian Responden terhadap kondisi Sospol Daerah

Sangat Baik Baik Tidak Baik Tidak Ada Total

INDIKATOR

F % F % F % F % F %

Pelibatan dunia usaha dalam perumusan kebijakan

Netralitas media massa di daerah

1 9 3 27 4 36 3 27 11 100

(30)

Aspek yang pertama adalah partisipasi dunia usaha dalam suatu

perumusan kebijakan (Perda) dimana responden yang menjawab/menilai

sangat baik satu orang (9%), kemudian yang menilai baik sebanyak 4 orang

(36%),selanjutnya yang menilai tidak baik sebanyak satu orang juga (9%) dan

memberi penilaian tidak ada sebanyak 5 orang (45%). Dari beragam jawaban

diatas peneliti dapat menjelaskan responden yang menilai tidak ada tersebut

ialah responden yang kurang/belum mengetahui secara pasti dan jelas akan

sosialisasi kebijakan/perda yang baru. Dikalangan dunia usaha atau mungkin

juga sosialisasai untuk perda yang baru tersebut belum sesuai dengan bidang

usaha yang ditekuninya. Karena biasanya untuk pembahasan (sosialisasi)

perda yang baru setiap jenis usaha akan diikutkan wakil/utusan dari jenis

usaha.

Aspek yang kedua adalah sosialisasi atas rancangan perda yang

berhubungan dengan dunia usaha, dimana responden yang menjawab/menilai

sangat baik sebanyak satu orang (9%) selanjutnya yang memberi penilaian

yang baik sebanyak 2 orang (18%).

Seperti sudah disinggung diatas bahwa kebutuhan/kekurangan perda

yang baru tetap akan dibahas bersama antara pihak pemko dengan tokoh

masyarakat, utusan pengusaha, LSM, agar dapat tercapai kesepakatan

bersama.

Untuk aspek berikutnya dimana peluang masyarakat untuk ikut

mengawasi pelaksanaan kebijakan daerah, responden yang menjawab/menilai

sangat baik sebayak satu orang (9%) sedangkan responden yang menilai baik

(31)

(36%) sedangkan menilai tidak ada sebanyak 3 orang (27%). Ada

kecenderungan masyarakat bahwa sesudah sebuah Perda dibuat maka untuk

selanjutnya Perda tersebut dilaksanakan saja tanpa diawasi praktek

pelaksanaannya. Dari jawaban responden yang mengatakan tidak baik (4

orang) cukup beralasan disebabkan faktor diatas tadi.

Bila kita bicara Sospol maka dapat kita kaitkan hubungan antara

legislatif dan eksekutif di kota Sibolga, dalam hal ini pihak DPRD dengan

Pemko. Pada kasus ini kriteria penilaian tentang hubungan antara DPRD dan

Pemko, dimana seluruh responden menjawab tidak pernah ada komflik politik

antara lembaga tersebut. Dengan kata lain hubungan antara kedua lembaga

tersebut cukup harmonis dan cukup bagus dalam penerapan suatu kebijakan.

Untuk aspek pemberitaan oleh media massa di daerah, biasanya yang

dilihat oleh masyarakat adalah netralitas pemberitahuan atas suatu kejadian di

daerah tersebut. Dimana pada aspek ini responden yang menilai sangat baik

sebanyak satu orang (9%) selanjutnya responden yang memiliki baik sebanyak

3 orang (27%) dan menilai tidak baik sebanyak 4 orang (36%) sedangkan yang

menilai tidak ada sebanyak 3 orang (27%). Alasan utama responden menilai

tidak baik disebabkan penderitaan atas suatu kasus tidak diberitahukan dengan

jujur dan biasanya berita tersebut malah di”blow up” agar menarik minat baca

masyarakat.

Mengenai konflik sosial yang terjadi antara kelompok masyarakat

biasanya yang didominasi oleh kelompok preman. Yaitu sebanyak 6 orang

responden (54%) menilai ada terjadi selebihnya menyatakan tidak. Karena

(32)

ekonomi (daerah kekuasaan), ataupun karena kecemburuan sosial ekonomi

yang menjadi konflik, namun hal ini masih dalam katagori sedikit.

Tabel 16.

Konflik Sosial yang terjadi di daerah selama tahun 2000 – 2002 yang memicu kerusuhan masa antara elemen masyarakat

Ya Tidak Total

INDIKATOR

F % F % F %

Antar Agama - - 11 100 11 100

Antar Etnis / Suku - - 11 100 11 100

Antar Kampung 1 9 10 91 11 100

Antar Kelompok preman 6 54 5 45 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Yang paling utama digaris bawahi disini adalah konflik yang terjadi di

kota Sibolga belumlah/kurang mengganggu terhadap kegiatan usaha/investasi

didaerah ini, halini tercermin dari jawaban responden yang menilai kurang

mengganggu debanyak 11 orang (100%).

Tabel 17.

Penilaian Responden Terhadap pengaruh konflik sosial terhadap kegiatan usaha / investasi di daerah

Kurang Mengganggu Total INDIKATOR

F % F %

Konflik Sosial terhadap investasi di daerah 11 100 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Aspek terakhir yang dapat mengganggu perekonomian dan kegiatan

usaha ataupun investasi adalah masalah unjuk rasa. Dimana tingkat unjuk rasa

kaum buru didaerah ini dinilai tidak ada atau tidak pernah ada. Sedangkan

(33)

orang (36%) kemudian yang menjawab pernah sebanyak 6 orang (54%) dan

yang menjawab tinggi sebanyak 1 orang (9%) responden.

Tabel 18.

Frekuensi terjadinya unjuk rasa yang mengganggu perekonomian dan kegiatan usaha / investasi

Tidak pernah Rendah Tinggi Total INDIKATOR

F % F % F % F %

Buruh 11 100 - - - - 11 100

Masyarakat 4 36 6 54 1 9 11 100

Kelompok Sosial / Keagamaan 9 82 2 18 - - 11 100

Mahasiswa 11 100 - - - - 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Dari kalangan akademis dalam hal ini kelompok mahasiswa,

responden yang menjawab tidak pernah seluruhnya 11 orang responden

(100%). Karena sesuai data di lapangan jumlah lembaga setingkat perguruan

tinggi sangat sedikit (2 buah) dan jumlah mahasiswa relatif kecil, sehingga

bisa diprediksi kemungkinan terjadi unjuk rasa dari mahasiswa tidak akan

pernah, namun bila unjuk rasa dari kalangan masyarakat pernah terjadi, yaitu

pada kasus pukat dan kapal-kapal nelayan asing yang menangkap ikan di

perairan Indonesia. Beberapa anggota masyarakat yang diwakili oleh

kelompok nelayan penangkap ikan berdemo di halaman kantor DPRD untuk

menuntut pengusiran kapal-kapal asing tersebut yang beroprasi diperairan

Indonesia. Akan tetapi aksi unjuk rasa itu tidak sampai mengganggu kegiatan

(34)

II.B.3. Nilai-nilai Budaya Masyarakat.

a. Keterbukaan Masyarakat.

Melihat suasana yang dihadapi oleh tim peneliti selama penelitian

tampaknya kehadiran peneliti disambut baik oleh masyarakat. Hal ini menjadi

dasar ukuran dasar ukuran tentang sikap masyarakat terhadap pendatang di

daerah tersebut. Namun demikian untuk menjaga objektifitas penelitian tim

peneliti tetap menanyakkan sikap keterbukaan masyarakat terhadap investasi

dari luar (investor).

Tabel 19.

Penilaian Responden terhadap Nilai-nilai Budaya Masyarakat di daerah yang berkaitan dengan kegiatan usaha / investasi

Sangat Terbuka Terbuka Total INDIKATOR

F % F % F %

Keterbukaan masyarakat terhadap kegiatan usaha / investasi dari luar

2 18 9 82 11 100

Keterbukaan masyarakat terhadap orang-orang dari luar daerah / pendatang yang bekerja di daerah ini

2 18 9 82 11 100

Sumber : Data primer yang diolah 2002

Dari komposisi penilaian diatas terlihat bahwa responden yang

menjawab sangat terbuka sebanyak 2 orang (18%) dan yang menjawab

terbuku ada sebanyak 9 orang (82%). Kemudian sikapmasyarakat terhadap

orang-orang diluar daerah/pendatang yang bekerja di kota Sibolga cukup

bagus,yang mana responden yang menilai sangat terbuka sebanyak 2 orang

juga dan selebihnya menjawab terbuka. Jadi peluang investasi di kota Sibolga

cukup potensial untuk di kembangkan bila dikaitkan dengan sikap keterbukaan

(35)

Sibolga menginginkan investasi yang banyak,yang dampaknya juga akan

mendorong perekonomian daerah kearah yang lebih bagus.

b. Etos Kerja Masyarakat

Selain sikap keterbukaan masyarakat, etos kerja masyarakat menjadi

faktor pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di daerah Sibolga.

Etos kerja masyarakat ini ditunjukkan aspek-aspek yang mendukung

terjadinya iklim yang kondusif di masyarakat, seperti sikap semangat

masyarakat yang bersaing secara sehat dinilai oleh responden sangat tinggi

sebanyak 2 orang (18,18%) sedangkan yang menilai tinggi sebanyak 9 orang

(81,81%). Artinya kategori nilai tinggi tersebut cukup signifikan bagi calon

investor yang mencoba berinvestasi di daerah kota Sibolga. Data penilaian

responden dapat dilihat pada tabel 20 berikut.

Tabel 20.

Penilaian Responden terhadap Etos Kerja masyarakat di daerah

Sangat Tinggi Tinggi Total

INDIKATOR

F % F % F %

Semangat masyarakat untuk bersaing secara sehat 2 18 9 82 11 100 Nilai budaya masyarakat memberikan kesempatan

dan perlakukan yang sama kepada setiap orang tanpa memperdulikan ras, suku asal daerah dan agama.

1 9 10 91 11 100

Masyarakat memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada setiap orang tanpa memperdulikan gender

1 9 10 91 11 100

Nilai budaya masyarakat memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada setiap orang tanpa memperdulikan asal daerah

1 9 10 91 11 100

Masyarakat memiliki semangat berusaha dan bekerja keras

1 9 10 91 11 100

(36)

Kemudian aspek yang lain adalah nilai budaya masyarakat

memberikan kesempatan dan perlakuan dalam masyarakat tanpa

memperdulikan ras, gender, asal daerah dan agama, dinilai sangat tinggi oleh

seorang responden sedangkan sebanyak 10 orang (91%) menilai tinggi. Nilai

ini juga cukup kondusif mengingat budaya di tiap-tiap daerah jelas

berbeda-beda. Akan tetapi bila melihat nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat

daerah kota Sibolga yang cukup kondusif dan bagus ini, maka faktor etos kerja

ini menjadi perhatian penting bagi setiap calon investor baru. Begitu juga

dengan adat istiadat di daerah ini juga mendukung terciptanya persainganyang

sehat, artinya masyarakat tetap mempercayai terjadinya mekanisme pasar yang

sempurna, dimana prinsipnya, siapapun orang yang berkualitas dialah yang

dapat dipakai bekerja. Dalam pengertian lain dapat dikatakan bahwa setiap

orang baik pendatang ataupun non pendatang tetap mempunyai peluang untuk

bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang

dimilikinya.

Faktor lain sebagai pendukung etos kerja adalah semangat kerja dan

berusaha penduduk/masyarakat, dimana responden yang menilai sangat tinggi

sebanyak seorang dan yang menilai tinggi sebanyak 10 orang (91%). Yang

artinya kemampuan setiap anggota masyarakat dalam usahanya menghasilkan

sesuatu masih dalam kategori penilaian tinggi. Jadi setiap anggota masyarakat

dan kelompok umur pekerja mempunyai semangat kerja dan berusaha yang

tinggi. Namun persoalannya adalah kesempatan untuk bekerja dan berusaha

masih kurang dan rendah. Oleh sebab itu masyarakat masih membutuhkan dan

(37)

di kota Sibolga khususnya. Karena dengan adanya investasi otomatis akan

terbuka lapangan kerja baru dan secara otomatis pula akan meningkatkan

pendapatan tingkat per kapita daerah kota Sibolga.

II.C. Gambaran Perekonomian Daaerah.

II.C.1. Potensi Ekonomi

Melihat struktur perekonomian di kota Sibolga, yang cukup bagus

yang mana ditandai dengan kenaikan tiap tahun dari PDRB atas dasar harga

harga berlaku. Dimana kenaikan pertumbuhan yang tertinggi terjadi pada

tahun 1994 – 1995 yaitu kenaikan pertumbuhan sekitar 7,54%. Pengertian dari

kenaikan ini adalah kecenderungan rata-rata kenaikan pendapatan masyarakat

yang berdampak maningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang

berdampak meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Sementara persentase pertumbuhan PDRB untuk tahun 2000 mencapai

5,26%, angka ini bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya jauh lebih

menurun. Namun bila kita bandingkan nilai harga berlaku untuk tahun 2000

yaitu sebesar Rp.480.452,32 juta dengan nilai harga berlaku tahun-tahun

sebelumnya peningkatan nilai ini cukup signifikan dan cukup stabil tanpa

adanya fluktuasi kenaikan. Grafik kenaikan pertumbuhan PDRB ini juga

cukup stabil, dimana setiap tahunnya kenaikan persen pertumbuhan PDRB

rata-rata ± Rp.100 juta.

Adapun ukuran untuk melihat potensi ekonomi masyarakat daerah

yaitu dengan mengukur pertumbuhan PDRB perkapita tahun 2000, yang

(38)

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana pada tahun 2000 pertumbuhan

PDRB perkapitanya mencapai nilai Rp.5.837,10. Angka ini diperoleh dari

perbandingan PDRB atas harga berlaku dibagi dengan jumlah penduduk.

Maka dari angka ini kita dapat mengetahui bahwa tingkat pendapatan

perkapita masyarakat cukup tinggi yang ditandai dengan daya beli masyarakat

yang juga cukup tinggi. Dari hasil wawancara dengan beberapa responden

terbukti sebahagian besar responden (54%) beranggapan bahwa daya beli

masyarakat Kota Sibolga relatif tinggi, disamping itu harga-harga kebutuhan

pokok juga lebih tinggi dibanding dengan kota-kota Tk II lainnya (kecuali

Medan).

Tabel 21.

Penilaian Responden terhadap daya beli masyarakat daerah

Tinggi Rendah Total INDIKATOR

F % F % F %

Daya beli / Konsumsi masyarakat 6 54 5 45 11 100

Sumber : Data primer yang diolah, 2002

Bila kita lihat data-data statistik yang ada, maka daya beli masyarakat

selama tahun 2001 maka pada sisi kebutuhan akan makanan jadi, minuman,

rokok dan tembakau yang menempati tingkat tertinggi, tepatnya pada bulan

Desember yang mencapai angka 302,56. Pengertiannya adalah pada bulan

tersebut tingkat konsumsi tertinggi masyarakat berada pada kebutuhan akan

makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau. Hal ini dapat dikaitkan dengan

adanya perayaan hari besar bagi umat beragama yaitu Muslim dan Nasrani.

Untuk segmen ketersediaan dan kualitas sumber daya lahan/tanah ini

(39)

tidak ada lagi. Mengingat daerah kota Sibolga adalah daerah yang dikelilingi

oleh daaerahperbukitan dan lautan, sehingga jelas tidak memungkinkan lagi

untuk melakukan pengembangan usaha. Kesimpulan ini juga diperkuat oleh

argumen-argumen oleh pengusaha dan juga masyarakat selaku tokoh

masyarakat yang dituakan.

Di sektor pertambangan dan penggalian hal-hal yang dapat kita kaji di

sini yaitu kontribusi sektor ini masih tergolong kecil dan tingkat kenaikan

pertahun juga relatif kecil tidak terlalu menolok. Kemudian kenaikan tersebut

dapat kita lihat dari tahun 1996 ke tahun 2000, dimana pada tahun 1996 posisi

nilai sektor pertambangan sebesar Rp. 81,31 juta, sampai ke tahun 2000 posisi

nilai sebesar Rp. 102,71 juta. Selama kurun waktu 4 tahun kenaikannya hanya

mencapai nilai sebesar Rp. 21,40 juta. Angka ini menunjukkan bahwa potensi

ekonomi dari sektor pertambangan belum mampu menjadi potensi yang dapat

dikembangkan lebih lanjut.

II.C.2. Struktur Ekonomi

Telah kita singgung diatas bahwa mencari nilai dari PDRB perkapita

selaku daerah adalah dengan membagi jumlah total PDRB dengan jumlah

penduduk daerah. Total nilai PDRB untuk tahun 2000 adalah Rp. 480.452,32

juta yang dibagi dengan 82.310 maka hasil yang diperoleh sebesar Rp.

5.837,10. Namun bila kita membandingkan dengan tingkat kesejahteraan

masyarakat di daerah nilai diatas masih signifikan dengan fakta di lapangan.

Bila kita ingin menganalisa (membahas) tentang PDRB maka kita

(40)

Primer, sektor Sekunder, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ditambah

sektor Jasa Keuangan. Disini kita akan membahas kontribusi masing-masing

sektor terhadap PDRB.

Untuk sektor primer dibagi lagi ke dalam sub sektor pertanian,

pertambangan, kehutanan, perikanan, bahan makanan dan perkebunan. Dari

sub sektor pertanian pada tahun 2000 kontribusinya terhadap PDRB adalah

sebesar 28,58%, dimana nilai persentase ini adalah nilai tertinggi dari sub

sektor lainnya. Kemudian disusul oleh sub sektor perikanan yang mencapai

nilai 24,84%, yang artinya hampir seperempat dari total nilai PDRB ada di sub

sektor perikanan. Namun alangkah ironisnya sub sektor perikanan ini

kontribusinya terhadap PAD hampir tidak ada. Selanjutnya sub sektor

peternakan mencapai nilai sebesar 3,72% dan sub sektor bahan makanan

mencapai angka 0,02%.

Pada sektor sekunder kontribusinya terhadap PDRB tahun 2000

mencapai nilai sebesar 12,28% yang diperoleh dari industri besar dan sedang

dengan nilai persentase 0,90% ditambah dengan industri kecil dan rumah

tangga sebesar 11,38%. Dari nilai persentase ini kelihatan sektor industri dan

pengolahan belum terlalu besar kontribusinya terhadap PDRB dalam rangka

mendongkrak roda perekonomian. Padahal program pemerintah saat ini adalah

lebih mendorong sektor industri untuk lebih produktif dalam menggerakkan

roda perekonomian dengan keinginan mencapai era industrialisasi.

Kontribusi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran pada tahun

2000 mencapai nilai persentase sebesar 16,54%. Dengan komposisi

(41)

sebesar 11,98%, kemudian sub sektor hotel dengan nilai persentase 1,76%

serta sub sektor restoran mencapai nilai persentase sebesar 2,80%. Nilai

kontribusi yang tinggi pada sub sektor perdagangan juga diperkuat dengan

referensi yang diberikan oleh Ka Bidang Perekonomian BAPPEDA yaitu IR.

MAULI BADIA. Beliau mengatakan sektor yang paling dominan

dikembangkan di kota Sibolga adalah sektor perdagangan.

Sektor yang terakhir yang kita bahas pada bagian ini adalah sektor jasa

keuangan. Dimana besarnya kontribusi sektor perbangkan di tahun 2000

adalah sebesar 8,85% dengan klasifikasi pembagian sebagai berikut, sub

sektor perbankan mempunyai kontribusi sebesar 1,30%, lembaga keuangan

bukan bank kontribusinya 0,12%, jasa perusahaan kontribusinya 0,11% dan

sewa bangunan kontribusinya paling besar yaitu 7,27%. Melihat keberadaan

sektor perbankan yang ada di daerah Sibolga ini tim peneliti berasumsi bahwa

jasa keuangan atau bank sudah mampu untuk mengakomodir keinginan

masyarakat untuk berurusan dengan pihak bank.

Dari wawancara yang dilakukan terhadap responden terpilih, mayoritas

dari responden tersebut (91%) berpendapat bahwa sektor yang paling

berpotensial untuk dikembangkan di Kota Sibolga adalah sektor perikanan.

Hal ini disebabkan karena sektor inilah yang banyak menunjang

pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor lainnya. Menurut responden

sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan, sehigga jika sektor

perikanan meningkat, maka potensi kenaikan konsumsi masyarakat pun akan

meningkat, yang nantinya menyebabkan tumbuhnya usaha-usaha sektor

(42)

tetapi mereka beranggapan bahwa usaha yang mereka jalankan tdak lain

adalah usaha pendukung industri perikanan. Misalnya, usaha docking kapal (2

responden), perkayuan (1 responden), pelayaran (1 responden), penangkahan

ikan (1 responden) dan lain-lain. Responden lain berpendapat bahwa sektor

yang potensial untuk dikembangkan di Kota Sibolga adalah sektor kehutanan

(9%). Tapi setelah diwawancarai lebih mendalam, ternyata beliau beranggapan

bahwa sektor kehutanan tersebut nantinya akan mendukung sektor perikanan,

dimana kayu hasil hutan tadi akan digunakan untuk industri kapal, sehingga

dapat turut menunjang sektor perikanan.

II.C.3. Perdagangan

Perdagangan yang terjadi di kota Sibolga terkesan hanya bertitik tumpu

pada transaksi/aktifitas ekspor dan tanpa dibarengi dengan kegiatan impor.

Nah, bila kita amati perdagangan ekspor tahun 2000 mencapai nilai US$ 16,12

juta atau sekitar Rp.128.953,97 milyar (dengan asumsi nilai kurs Rp. 8000,-)

Dimana jenis komoditi yang mempunyai kontribusi terbesar pada total nilai

ekspor Sibolga pada tahun 2000 adalah komoditi plywood, yaitu sebesar US$

9,18 atau sekitar 56,9% dan diikuti oleh komoditi logs dengan nilai ekspor

US$ 6,65 juta atau sekitar 41, 22%.

Sedangkan untuk tahun 2001 nilai ekspor nilai Sibolga mencapai

US$18,64 juta atau naik sebesar 15,64% bila dibandingkan tahun 2000. Jenis

komoditi yang mempunyai kontribusi terbesar pada total nilai ekspor Sibolga

(43)

74,22% dan diikuti logs dengan nilai ekspor US$ 4,45 juta sebesar atau 23,

87%.

Bila kita bandingkan total nilai ekspor kota Sibolga sebesar

Rp.128.953,97 milyar dengan total nilai PDRB sebesar Rp. 480.452,32 M

pada tahun 2000 maka kita peroleh rasio nilai sebesar 26,84. Angka ini

menunjukkan tingkat perbandingkan yang tinggi, artinya perekonomian daerah

kota Sibolga memang telah terbiasa dan cenderung berorientasi dengan

aktifitas perdagangan internasional, mengingat total nilai total rasio yang

cukup tinggi tersebut.

Kemudian bila kita melihat perdagangan yang ada, maka disini dapat

kita gambarkan nilai rasio perdagangan antara yang masuk dan keluar daerah

selama tahun 2001. Dimana jumlah arus perdagangan yang masuk mencapai

nilai 299.071,8 ton sedangkan jumlah arus ilmu yang keluar ada sebesar

140.138,7 ton. Sehingga rasio yang diperoleh adalah 2,13. Artinya posisi nilai

perdagangan yang masuk lebih besar dibanding barang yang keluar dari luar

daerah.

Menurut salah seorang responden yang bergerak di bidang percetakan

dan perdagangan ATK, Abd. H. Pohan, pesat atau tidaknya kemajuan dari

bidang perdagangan sangat tergantung pada tingkat konsumsi barang dari

konsumen, yang ditentukan oleh keberhasilan mereka di dalam meningkatkan

penghasilan mereka yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Jadi jika

pendapatan nelayan tinggi, maka permintaan mereka akan barang-barang

(44)

II.C.4. Perbankan

Di sektor perbankan ini, kita dapat melihat sampai sejauh mana pihak

bank dalam usaha membantu dan mendorong perekonomian daerah. Kita juga

dapat melihat dana yang beredar di masyarakat melalui indikator rasio

tabungan pihak ketiga terhadap pinjaman pada bank umum daerah selam tahun

2000. Dimana posisi nilai tabungan rupiah berada pada angka Rp. 257.405

juta, sedangkan nilai pinjaman berada pada posisi Rp. 75.761, sehingga selisih

antara tabungan dengan pinjaman sebanyak Rp. 181.644 juta. Artinya

peredaran uang di Kota Sibolga termasuk tidak terlalu tinggi (dengan asumsi

perhitungan diatas menggunakan jenis mata uang rupiah). Atau dengan kata

lain dana yang tersalurkan untuk kredit di masyarakat berada pada tingkat

persentase yang kecil yaitu sebesar 29 persen. Sedangkan nilai kredit untuk

usaha kecil yang berjumlah Rp.53.740 juta masih terlalu kecil bila

dibandingakan dengan jumlah simpanan masyarakat, dengan persentase

mencapai 20 % dari total dana simpanan nasabah.

Kemudian secara matematis kita dapat mengukur laju pertumbuhan

tabungan disetiap tahun yaitu selama periode 1991-2000 bergerak secara

fluktuatif, artinya pergerakan kenaikan laju pertumbuhan simpanan tidak

stabil. Perhitungan ini diasumsikan pada seluruh total nilai tabungan baik yang

bersifat nominal maupun rekening. Kalau kita lihat secara cermat laju

pertumbuhan yang tertinggi terjadi pada periode tahun 1998 yang mencapai

tingkat laju pertumbuhan sebesar 0,49 dengan total nilai tabungan mencapai

Rp. 198.872 juta. Sedangkan tingkat laju pertumbuhan terendah berada pada

(45)

nilai tabungan mencapai Rp. 64.969 juta. Untuk tahun 2000 laju pertumbuhan

mencapai nilai 0,11 yang berarti mengalami penurunan dibanding tahun 1999.

Namun dari posisi nilai tabungan tetap bergerak baik yaitu dengan posisi nilai

Rp.257.405 juta. Jadi kesimpulan yang dapat diambil yaitu walaupun posisi

nilai tabungan setiap tahunnya mengalami peningkatan, namun tingkat laju

pertumbuhan tidak secara otomatis bergerak naik.

Untuk suku bunga rata-rata deposito 3 bulan di BPD kita harus

membagi /mendefinisikan suku bunga tersebut menjadi 2 bagian penting yaitu

suku bunga tertinggi dan suku bunga terendah. Pada sutau akhir periode,

dimana selama periode tahun 2000 pertumbuhan suku bunga tertinggi untuk

deposito 3 bulan mencapai 14,00% per tahun sedangkan suku bunga terendah

mencapai posisi 5,00%. Bila kita ambil rata-rata suku bunga untuk deposito 3

bulan maka hasil yang diperoleh adalah 9,5% per tahun. Nilai persentase dari

suku bunga rata-rata ini masih bisa kita golongkan kedalam batas-batas wajar

untuk deposito berjangka 3 bulan.

Sedangkan untuk suku bunga rata-rata deposito 3 bulan dari BPR

selama periode tahun 2000 memakai formula yang sama, maka nilai

persentase yang kita peroleh sebesar 14,8%. Bila kita Bandingkan antara suku

bunga rata-rata untuk deposito 3 bulan di BPD dengan BPR maka secara nilai

persentase untuk suku bunga di BPR jelas lebih tinggi. Artinya disini adalah

bahwa pihak bank (BPR) sudah mampu melayani (memfasilitasi) serta

mengelola aktifitas perekonomian melalui simpanan dana dari masyarakat.

Berdasarkan daya beli masyarakat dan melihat kecenderungan

(46)

besar laju inflasi yang ada di kota Sibolga. Selama masa satu tahun periode

2000, tingkat laju inflasi mencapai 6,95%. Dimana laju inflasi tertinggi dicapai

pada bulan Desember yaitu 4,63%. Artinya biaya operasi yang dikeluarkan

oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya mencapai puncak pada bulan

Desember hal ini disebabkan pada bulan tersebut umat beragama mayoritas

merayakan hari besarnya. Sehingga kecenderungan meningkatnya biaya

ekonomi selalu terjadi pada peringatan hari besar agama.

Berdasarkan wawancara kuisioner A yang dilakukan terhadap 11

responden, sebahagian besar berpendapat bahwa daya dukung perbankan di

Kota Sibolga untuk kegiatan usaha/investasi sebesar 73% responden

menanggapi sudah memadai, demikian juga dengan kemampuan perbankan

sebagai fungsi intermediasi juga sebesar 73% responden menilai sudah

memadai.

Tabel 22.

Penilaian Responden terhadap Lembaga Keuangan / Perbankan di daerah

Kurang

Memadai Total Memadai

INDIKATOR

F % F % F %

Daya dukung perbankan di daerah untuk

kegiatan usaha / investasi 8 73 3 27 11 100

Kemampuan perbankan di daerah

menjalankan fungsi intermediasi 8 73 3 27 11 100

Sumber : Data Primer yang diolah 2002

II.C.5. Investasi Daerah

Kondisi yang ada dalam suatu wilayah, dalam pengembangannya mau

tidak mau harus melibatkan unsur investasi. Investasi diharapkan akan dapat

(47)

semakin baik dan berkualitas, sehingga pada akhirnya akan mampu masuk ke

pasar yang lebih luas.

Dari hasil pengisian kuisioner A dan wawancara dengan responden,

ada beberapa kegiatan penanaman modal (investasi) yang dilakukan oleh

insvestor dari luar daerah, misalnya: dari Tapanuli Tengah, Medan dan

sebagainya. Dari 11 responden yang diwawancarai dalam penelitian 91%

merupakan perusahaan dengan investasi lokal yang berasal dari pemilik itu

sendiri. Kondisi ini paling tidak dapat menjelaskan bahwa tidak terlalu banyak

investor luar daerah yang masuk ke Kota Sibolga.

Salah satu responden yang usahanya dimiliki oleh investor dari luar

kota, yaitu M.A. Ketaren mengatakan bahwa secara geografis, Kota Sibolga

sangat sulit untuk berkembang, karena lahan sudah sangat terbatas, dan

langsung berbatasan dengan laut. Hal inilah yang menyebabkan investor dari

luar kota enggan untuk membuka usaha di Kota Sibolga. Sementara itu

responden lain yang bergerak di bidang warung telekomunikasi, yaitu A.

Pasaribu berpendapat bahwa penyebab lain yang membuat orang enggan

menanamkan modalnya di Kota Sibolga oleh karena semua sektor sangat

bergantung pada sektor perikanan. Makanya jika sektor perikanan sedang lesu,

maka usaha bisa merugi, atau bisa bangkrut.

Hal tersebut dipertegas kembali oleh Yahya Pasaribu yang bidang

usahanya adalah docking kapal. Beliau mengalami sendiri bahwa saat ini

nelayan sedang mengalami kesulitan didalam bekerja, karena maraknya

pencurian ikan oleh kapal-kapal Thailand yang lebih modern, sehingga

(48)

enggan melalut pada diri nelayan tadi, karena biaya operasional yang

dikeluarkan tidak sesuai dengan hasil tangkapan ikan. Dengan malasnya

nelayan ke laut, maka kapal-kapal banyak yang menganggur, sehingga

permintaan akan produksi kapal pun bisa tidak sampai jangka waktu 6 bulan.

Salah seorang responden yang bergerak di bidang penangkahan ikan,

yaitu A. Saragih, berpendapat, investor dari luar untuk saat ini sulit untuk mau

masuk, karena kondisi pendapatan masyarakat saat ini sedang sulit maka

tingkat konsumsinya agak menurun. Jadi investor pun saat ini tidak tahu mau

mengembangkan sektor yang mana, sedangkan usaha yang sudah ada sedang

mengalami kesulitan.

Hal berbeda diungkapkan oleh Munzier, salah seorang responden yang

berusaha di bidang pengeringan ikan. Menurut beliau usaha perikanan masih

bisan dikembangkan, hanya saja sub bidangnya harus lebih beragam.

Walaupun nelayan mengatakan sulit mendapat ikan, tetapi beliau tidak pernah

mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku produksinya yang

merupakan ikan basah. Jadi walaupun sebahagian orang mengatakan sulit

untuk bergerak di bidang perikanan, ia tidak setuju.

Tetapi disamping itu, secara umum jika dilihat dari kondisi

masyarakatnya, sebenarnya Kota Sibolga merupakan tempat untuk

berinvestasi yang baik. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap 11

responden, tidak ada respondenn yang menolak adanya investor luar yang mau

berinvestasi di Kota Sibolga, semua responden sangat berharap ada banyak

investor baru yang masuk. Hal ini juga menjelaskan bahwa semangat bersaing

Gambar

Tabel 1.  Pertumbuhan Penduduk Kota Sibolga Tahun 1961 - 2000
Tabel 2.  Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Tabel 3.  Persentase Penduduk 10 tahun ke atas yang Bekerja Menurut Pendidikan Tertinggi
Tabel 4. Persentase Angkatan Kerja menurut Lapangan Usaha tahun 2001
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan investasi daerah, yaitu faktor kelembagaan, sosial politik, ekonomi daerah, tenaga kerja dan produktivitas, dan infrastruktur

Pertumbuhan investasi sektor-sektor perekonomian Jawa Barat tiap tahun sebelum otonomi daerah pada tahun 1995-2000 dari segi nilai investasi PMDN, jumlah proyek PMDN, nilai

Analisis kuantitatif digunakan untuk menilai kelayakan usaha bunga pada Jelita Florist secara finansial dengan melakukan analisis penilaian kriteria investasi yaitu

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan investasi daerah, yaitu faktor kelembagaan, perekonomian daerah, sistem keuangan, infrastruktur fisik serta

(4) besar pengaruh jumlah unit usaha, nilai investasi, dan nilai produksi secara bersama-sama terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri kecil (makanan, minuman, dan

Model pengukuran variabel minat investasi juga menginformasikan bahwa indikator mau meluangkan waktu untuk mempelajari lebih jauh tentang investasi dengan mengikuti

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kelayakan usaha ternak sapi ditinjau dari investasi awal, pendapatan, lamanya pengembalian investasi, besaran nilai sekarang,

Hal diatas menjadi dasar untuk mendapati efek pengeluaran pemerintah, tenaga kerja, PDRB, inflasi, tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat investasi di Daerah