SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)
ADOL FRIAN RUMAIJUK 050308033
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
(KAWASAN HULU DAS WAMPU)
SKRIPSI
Oleh:
ADOL FRIAN RUMAIJUK 050308033
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
(KAWASAN HULU DAS WAMPU)
SKRIPSI
Oleh :
ADOL FRIAN RUMAIJUK 050308033/TEKNIK PERTANIAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
Nama : Adol Frian Rumaijuk
NIM : 050308033
Depatemen : Teknologi Pertanian Program Studi : Teknik Pertanian
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Prof. DR. Ir. Sumono, MS Ir. Edi Susanto, M.Si
Ketua Anggota
Mengetahui,
Ir. Saipul Bahri Daulay, M.Si Ketua Departemen Teknologi Pertanian
Penggunaan Lahan Tanaman Industri (Kopi) di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu), dibimbing oleh SUMONO dan EDI SUSANTO.
Pengalihfungsian lahan hutan menjadi lahan budidaya pertanian di bagian hulu DAS Wampu khususnya di Sub DAS Lau Biang telah mengakibatkan masalah peningkatan laju erosi di DAS tersebut. Untuk itu dilaksanakan penelitian di lahan tanaman industri (kopi) pada bulan April-Juli 2009 dengan menggunakan metode USLE dan metode petak kecil dengan mengambil 10 kecamatan untuk pengambilan sampel. Parameter yang diamati adalah jenis tanah, kedalaman efektif tanah, permeabilitas tanah, kadar C-organik tanah, tekstur tanah, struktur tanah, kemiringan lereng dan curah hujan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalihfungsian lahan menjadi lahan tanaman industri (kopi) berpengaruh terhadap besarnya erosi yang terjadi. Rata-rata erosi yang terjadi menurut metode prediksi sebesar 344,08 ton/(ha.thn) dan pengukuran erosi dengan metode petak kecil diperoleh laju erosi 27,38 ton/(ha.thn) lebih kecil dibandingkan dengan metode USLE.
Kata kunci : Erosi, Lahan, Bahaya Erosi.
ABSTRACT
ADOL FRIAN RUMAIJUK: The Study of Erosion Hazard Level (TBE) on Coffee Cultivation at Sub DAS Lau Biang (Headwaters of DAS Wampu), supervised by SUMONO and EDI SUSANTO.
The transferring of function of forest land into agriculture at the headwaters of DAS Wampu, especially at Sub DAS Lau Biang has resulted in the increase of erosion rate at this DAS. Therefore, research out at the coffee crop area in April-July 2009 using the USLE and small square methods by taking 10 subdistricts for sampling. The observed parameters were the kind of soil, the effective depth of soil, soil permeability, soil C-organic content, soil texture, soil structure, slope and rainfall.
The results showed that the transferring of function of forest land into the coffee crop affected the amount of erosion. The average of erosion that occured according to the predictive method was 344,08 ton/(ha.year), and according to small squares method was 27,38 ton/(ha.year) that was smaller than the USLE method.
Penulis dilahirkan di Desa Horisan Ranggitgit pada tanggal 06 Februari
1987 dari ayah Dapot Rumaijuk dan ibu Bersina Simamora. Penulis merupakan
anak kedua dari enam bersaudara.
Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Dharma Bhakti, Siborong-borong dan
pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Panduan
Minat dan Prestasi (PMP). Penulis memilih program studi Teknik Pertanian,
Departemen Teknologi Pertanian.
Selama mengiuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan
Mahasiswa Teknik Pertanian (IMATETA), dan sebagai anggota Majelis
Mahasiswa Fakultas Pertanian. Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi
ekstrauniversitas, sebagai anggota Jaringan Mahasiswa Anti Korupsi (JAMAK)
Sumatera Utara.
Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PT. Perkebunan
Nusantara IV kebun unit Bukit Lima, Kabupaten Simalungun yang beralamat di
segala rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul ”Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Penggunaan Lahan Tanaman
Industri (Kopi) di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu) ”.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan,
memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Sumono, MS dan Bapak Ir. Edi Susanto, M.Si
selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan
memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis mulai dari menetapkan
judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir. Khusus untuk Bapak
Achmad Sofyan, SE. di Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser yang telah
banyak memberi bantuan selama penelitian.
Disamping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua staf
pengajar dan pegawai di Program Studi Teknik Pertanian Departemen Teknologi
Pertanian, serta semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu
disini yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini
bermanfaat.
Medan, Juli 2009
ABSTRAK ... ii
Faktor manusia dan tindakan konservasi ... 27
Tingkat Bahaya Erosi ... 30
Lahan Tanaman Industri di Daerah Aliran Sungai ... 31
Kemiringan lahan budidaya tanaman industri ... 33
Budidaya tanaman industri (kopi) ... 34
Lahan budidaya tanaman industri (Tanah). ... 34
Faktor penutupan lahan pada lahan budidaya tanaman industri ... 35
METODE PENELITIAN
Pengukuran laju erosi dengan metode petak kecil ... 38
Perhitungan (prediksi) Laju Erosi Menggunakan Persamaan USLE ... 39
Faktor erosivitas hujan (R) ... 40
Faktor erodibilitas tanah (K) ... 41
Faktor tofografi (LS) ... 42
Faktor pengendali/konservasi erosi (P) ... 42
Faktor penutup vegetasi (C) ... 43
Laju erosi yang masih dapat ditoleransikan (T) ... 44
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) ... 45
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Sub DAS Lau Biang Bagian Hulu DAS Wampu ... 47
Pengukuran Erosi Tanah di Lahan Tanaman Industri (kopi) Sub DAS Lau Biang ... 48
Nilai Erosi Ditoleransikan (T) pada Lahan Tanaman Industri (kopi) ... 48
Erosi Tanah di Lahan Tanaman Industri (kopi) di Sub DAS Lau Biang ... 49
Pengukuran erosi tanah dengan Metode petak kecil ... 49
Pengukuran erosi tanah dengan Metode Prediksi USLE ... 53
Penilaian Fakor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi ... 55
Nilai erosivitas hujan (R) di Sub DAS Lau Biang ... 55
Faktor Erodibilitas Tanah (K) ... 58
Faktor Topografi (LS) ... 61
Faktor Vegetasi (C) dan Faktor Manusia/Tindakan Konservasi (P) ... 62
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Tanaman Industri (kopi)... 64
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 66
Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Luas wilayah kecamatan, kabupaten dan kota yang masuk ke dalam
DAS Wampu ... 10
2. Kelas kemiringan lereng di kawasan DAS Wampu ... 11
3. Luas wilayah kecamatan pada Sub DAS Lau Biang ... 12
4. Jenis dan luas penggunaan lahan di setiap Sub DAS dalam kawasan DAS Wampu ... 13
5. Contoh nilai faktor penutupan lahan pada masing-masing Sub DAS ... 35
6. Harkat struktur tanah ... 41
7. Harkat permeabilitas tanah ... 42
8. Nilai faktor (P) untuk berbagai tindakan konservasi tanah ... 43
9. Nilai faktor ( C ) untuk berbagai tipe pengelolaan tanaman ... 43
10. Nilai CP dari beberapa tipe penggunaan lahan ... 44
11. Nilai faktor kedalaman tanah pada berbagai jenis tanah ... 45
12. Kriteria tingkat bahaya erosi... 46
13. Nilai Erosi Yang Diperbolehkan (T) Untuk Tanah Lahan Tanaman Industri (Kopi) ... 50
14. Tingkat bahaya erosi pada lahan tanaman industri (kopi) di Sub DAS Lau Biang. ... 56
15. Curah Hujan bulanan rata-rata, hari hujan rata-rata, curah hujan maks- imum selama 24 jam, dan nilai erosivitas hujan di sub-DAS Lau Biang .... 58
16. nilai Faktor topografi (LS) pada Lahan Tanaman Industri (kopi) ... 63
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Laju Deforestasi versus Laju Rehabilitasi ... 7
2. Penampang Petak Kecil Dan Kolektor Pada Sebidang Lahan ... 39
3. Drum penampung di pasang hingga lobang masuk lebih rendah dari permukaan tanah ... 100
4. Petak kecil yang telah selesai dipasang di lahan hutan ... 100
5. Pengeboran tanah untuk mengukur permeabilitas tanah ... 101
6. Lobang pada tanah untuk pengokuran permeabilitas tanah ... 101
7. Pengukuran laju erodibiltas tanah dengan menggunakan pelampung ... 102
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Flow Chart Metode USLE ... 72
2. Flow Chart Metode Petak Kecil ... 73
3. Nilai Erosi Tanah (A) Di Lahan Tanaman Industri (Kopi) ... 74
4. Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) Untuk Lahan Tanaman Industri (Kopi) ... 75
5. Nilai Kandungan Partikel Tanah dan Kandungan C-Organik Tanah Pada Lahan Tanaman Industri (Kopi) ... 76
6. Nilai Erosi Tanah dengan Metode Petak Kecil pada Tanaman Kopi... 77
7. Cara perhitungan erosi dengan metode petak kecil. ... 78
8. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Tiga Pancur Kec. Simp. Empat 81 9. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Tiga Pancur Kec. Simp. Empat ... 82
10.Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Barus Jahe Kec. Barus Jahe ... 83
11.Data Curah Hujan maksimal harian Sta. Barus Jahe Kec. Barus Jahe ... 84
12.Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Merek Kec. Merek ... 85
13.Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Merek Kec. Merek ... 86
14.Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Tiga Panah Kec. Tiga Panah ... 87
15.Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Tiga Panah Kec. Tiga Panah 88
16.Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Sumber Jaya Kec. Munthe ... 89
17.Data Curah Hujan maksimal Harian Sta. Sumber Jaya Kec. Munthe .... 90
18.Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Sinabung Kec. Payung ... 91
19.Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Sinabung Kec. Payung ... 92
20.Data Rata-rata Curah Hujan Bulanan ... 93
21.Data Rata-rata hari Hujan Bulanan ... 93
22.Data Curah hujan Maksimal Harian rata-rata. ... 93
23.Contoh perhitungan menetukan Erosivitas Hujan... 94
24.Contoh Perhitungan Erodibilitas kecamatan Merek I Lahan tanaman Industri (kopi) ... 97
25. Foto Petak Kecil Di Lahan ... 100
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sub Das Lau Biang merupakan bagian hulu dari daerah aliran sungai
(DAS) Wampu yang mencakup wilayah Kecamatan Dolok Silau, Sibolangit dan
Silimakuta di Kabupaten Simalungun, serta wilayah Kecamatan Merek, Tiga
Panah, Simpang Empat, Kabanjahe, Berastagi, Barus Jahe, Payung, Dolatrakyat,
Merdeka, Namanteran, Tiga Binanga, Munthe, Tiga Derket, dan Kuta Buluh di
Kabupaten Karo, dan sebagian wilayah kecamatan Kutalimbaru Kabupaten Deli
Serdang, serta sebagian wilayah kecamatan Salapian dan Sei Bingei di Kabupaten
Langkat. Luas wilayah Sub Das Lau Biang sekitar 95.552,095 hektar atau sekitar
22,95 % dari total luas wilayah DAS Wampu (410.715 hektar). Selain Sub DAS
Lau Biang, Sub DAS lainnya di DAS Wampu adalah Sub DAS Wampu Hulu
seluas 204.680 hektar (49,83 %), Sub DAS Sei Bingei seluas 79.047 hektar
(19,25 %), dan Sub DAS Wampu Hilir seluas 32.738 hektar (7,97 %)
(BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008).
Permasalahan umum di DAS Wampu yang menyebabkan berbagai
bencana alam, diantaranya banjir bandang di Sub DAS Wampu Hulu Sub-Sub
DAS Bahorok pada Nopember 2003 yang lalu adalah akibat banyaknya
penggarapan-penggarapan liar yang menyebabkan banyak lahan hutan yang rusak
dan beralih fungsi di daerah hulu, sehingga dapat menimbulkan besarnya
sedimentasi di daerah hilir. Pola usaha tani yang kurang mengikuti kaedah
konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang di Kabupaten Simalungun dan Karo
Sedangkan pada bagian hilir terjadi penyempitan dan pendangkalan
sungai, khususnya di Sub DAS Wampu Hilir dan Sub DAS Sei Bingei di
Kabupaten Langkat dan Kota Binjai (Misran, 2008). Khusus di Sub DAS Lau
Biang, penggunaan lahan dominannya justru untuk pertanian lahan kering seluas
85,91 % dari luas Sub DAS tersebut, sementara untuk hutan hanya 11,43 %
(BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008) yang jauh lebih kecil dari ketentuan yang
diamanatkan dalam UU No.41 Tahun 1999 Pasal 8 Ayat (2) yang mensyaratkan
tutupan lahan permanen di suatu wilayah minimal 30 %.
Begitu luasnya lahan kritis di kawasan DAS yang menyebabkan terjadinya
DAS kritis, maka pengelolaan kawasan berdasarkan konsep DAS mutlak
diperlukan. Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pembangunan
berkelanjutan dengan mendayagunakan pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana, mewujudkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara sumber
daya manusia, dalam memanfaatkan sumber daya buatan dan sumber daya alam,
serta mengupayakan kelestarian fungsi sumber daya alam dalam jangka panjang
(Nasution, 2008).
Hutabarat (2008) menyebutkan bahwa ada tiga faktor utama penyebab
degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia yaitu (1) keadaan alam
geomorfologi (geologi, tanah, dan topografi) yang rentan terjadi erosi, banjir,
tanah longsor, dan kekeringan; (2) iklim, terutama curah hujan yang tinggi dan
potensial dapat menimbulkan daya rusak terhadap hamparan lahan/tanah, yang
menyebabkan erosivitas yang tinggi; dan (3) aktivitas manusia dalam
pemanfaatan/penggunaan lahan/hutan yang melampaui daya dukung
yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani, serta sikap
mental orang-orang yang tidak bertanggung jawab (memiliki moral hazard)
terutama dalam menggarap/alih fungsi hutan menjadi lahan budidaya atau untuk
penggunaan lainnya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa bagian hulu DAS Wampu (Sub
DAS Lau Biang) yang seharusnya merupakan kawasan konservasi, justru menjadi
kawasan budidaya terutama untuk komoditi tanaman pangan (jagung, padi gogo,
umbi-umbian), hortikultura (sayuran, buah-buahan), dan tanaman industri (kopi,
cacao, dan kemiri). Sementara agroteknologi yang dikembangkan belum
sepenuhnya, bahkan dapat dikatakan sangat minimal, dalam menerapkan teknik
konservasi tanah dan air, dan kawasan ini memiliki curah hujan yang tinggi (rata
rata lebih dari 3000 mm/tahun) dengan jenis tanah yang rentan terhadap erosi
(merupakan tanah andosol) menurut Brady dan Ray (2008), serta kondisi relief
yang bergelombang hingga bergunung. Berkaitan dengan itu, akan dilakukan
penelitian guna mendapatkan informasi sejauhmana tingkat bahaya erosi yang
terjadi pada setiap tipe penggunaan lahan di kawasan hulu DAS Wampu (Sub
DAS Lau Biang), untuk kemudian diharapkan dapat dijadikan dasar dalam
pengelolaan lahan yang berkelanjutan di daerah itu.
Rumusan Masalah
Baik buruknya suatu kawasan DAS dalam arti masih mantap atau telah
terdegradasinya suatu kawasan DAS dapat dilihat dari fluktuasi aliran permukaan
(run-off) atau air limpasan (sungai), besarnya erosi dan sedimentasi yang terjadi,
dan tingkat produktivitas lahan. Fluktuasi air larian yang tinggi antara musim
kecil dalam menyerap dan menyimpan air (kapasitas infiltrasi rendah), sementara
erosi dan sedimentasi yang tinggi menandakan tanah memiliki kemantapan
agregat yang rendah.
Kemampuan tanah yang rendah dalam menyerap dan menyimpan air,
bukan hanya menyebabkan tanaman akan mudah kekeringan pada musim
kemarau, tetapi juga menyebabkan air yang mengalir di atas permukaan tanah
(run-off) pada musim hujan menjadi lebih banyak dan akan menyebabkan lapisan
tanah akan lebih banyak terkikis akibat erosi.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat dijadikan
dasar dalam penelitian ini adalah:
1. Seberapa besar laju erosi yang masih dapat ditoleransikan pada tipe
penggunaan lahan tanaman industri di Sub DAS Lau Biang.
2. Bagaimana tingkat bahaya erosi (TBE) yang terjadi pada penggunaan lahan
tanaman industri di Sub DAS Lau Biang.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung laju erosi yang masih dapat
ditoleransikan (T), besarnya laju erosi tanah (A), besarnya tingkat bahaya erosi
pada lahan tanaman industri (kopi) di Sub DAS Lau Biang.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai :
1. Sebagai bahan bagi penulis untuk penulisan skripsi, yang merupakan suatu
syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Departemen Teknologi pertanian,
2. Sebagai dasar dalam mengelola lahan pertanian secara berkelanjutan, dengan
tetap mempertimbangkan keuntungan ekonomis di satu sisi, tetapi tetap
menjamin kelestarian sumberdaya lahan di sisi lain.
3. Sumber informasi bagi pihak yang berkepentingan tentang tingkat bahaya
erosi pada penggunaan lahan tanaman industri, khususnya di kawasan hulu
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Umum Pengelolaan DAS
Semua aktivitas manusia di darat berlangsung di dalam suatu wilayah yang
disebut Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu wilayah daratan yang dibatasi oleh
pemisah topografis berupa punggung bukit yang menerima air hujan dan
mengalirkannya ke hilir dan bermuara ke laut. DAS terdiri dari beberapa sub-DAS
yang merupakan suatu anak sungai yang bermuara ke waduk, dam, danau atau
sungai. Sub DAS ini sering juga disebut sebagai Daerah Tangkapan Air atau
Catchment Area. Peristiwa banjir dan tanah longsor yang diberitakan media masa,
terjadi pada suatu kawasan yang disebut DAS tersebut (Siswomartono, 2008).
Salah satu fokus kegiatan Departemen Kehutanan untuk melaksanakan
amanat Kabinet Indonesia Bersatu adalah pengelolaan DAS. Seperti diketahui
terdapat 458 DAS kritis di Indonesia. Dari jumlah DAS kritis tersebut, 60 DAS
merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas II dan sisanya 176 DAS
tergolong prioritas III dalam upaya penanggulangan/rehabilitasinya. Sedangkan
lahan kritis di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat luas dan terbagi ke dalam
lahan sangat kritis seluas 6.890.567 hektar, dan 23.306.233 hektar merupakan
lahan kritis (Darori, 2008).
Berbicara tentang pengelolaan DAS, maka tidak akan terlepas dari
permasalahan pengelolaan hutan, meskipun seluruh titik di muka bumi ini
merupakan bagian dari DAS. Seperti diketahui bahwa luas kawasan hutan di
Indonesia mencapai 120,35 juta hektar atau 63 % dari luas daratan, dan terdiri dari
hutan produksi seluas 66,35 juta hektar. Dari luas kawasan hutan tersebut kondisi
kawasan yang tidak berhutan (terjadi deforestasi) seluas 30,83 juta hektar atau
25,6 % dari luas kawasan hutan. Tercatat laju deforestasi pada tahun 2000 hingga
2005 mencapai 1,08 juta ha/tahun (Gambar 1). Kawasan hutan yang kritis
semakin meningkat karena laju deforestasi tersebut jauh lebih besar dibandingkan
laju rehabilitasi yang hanya 500 ribu hingga 700 ribu hektar per tahun.
Khusus di Sumatera Utara, lahan kritis dan sangat kritis pada 21 kabupaten
seluas 2.126.780 hektar yang terbagi di DAS Asahan Barumun seluas 1.148.050
hektar dan DAS Wampu seluas 978.730 hektar (28,38 % dari luas DAS di
Propinsi Sumatera Utara seluas 7.491.695,34 hektar) (Hutabarat, 2008).
Gambar 1. Laju Deforestasi versus Laju Rehabilitasi (Hutabarat, 2008)
Terdapat tiga faktor utama penyebab degradasi DAS-DAS di Indonesia yaitu
(Hutabarat, 2008) :
• Keadaan alam geomorfologi (geologi, tanah, dan topografi) yang rentan terjadi
erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan (kemampuan lahan/daya dukung
wilayah)
• Iklim/curah hujan tinggi yang potensial menimbulkan daya merusak lahan/
tanah (erosivitas tinggi) = Luas (Ha)
• Aktivitas manusia yang terdiri dari penebangan hutan ilegal (pencurian kayu
hutan), kebakaran hutan, perambahan hutan, eksploitasi hutan dan lahan
berlebihan (HPH, tambang, kebun, industri, pemukiman, jalan, pertanian dan
lain-lain), penggunaan/pemanfaatan lahan tidak menerapkan kaidah
konservasi tanah dan air.
Begitu luasnya lahan kritis di kawasan DAS yang menyebabkan terjadinya
DAS kritis, maka pengelolaan kawasan berdasarkan konsep DAS mutlak
diperlukan. Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pembangunan
berkelanjutan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang
mendayagunakan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan
keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara sumber daya manusia, dalam
memanfaatkan sumber daya buatan dan sumber daya alam, serta mengupayakan
kelestarian fungsi sumber daya alam dalam jangka panjang (Nasution, 2008).
Dengan demikian, tujuan pengelolaan DAS menurut Darori, 2008 dan
Hutabarat, 2008 terdiri dari :
• Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar multipihak
dalam pengelolaan SDA dan lingkungan DAS
• Terbentuknya kelembagaan pengelolaan DAS yang mantap
• Terwujudnya kondisi tata air DAS yang optimal meliputi kuantitas, kualitas
dan distribusinya menurut ruang dan waktu
• Terbentuknya kelembagaan pengelolaan DAS yang mantap
• Terjaminnya pemanfaatan/penggunaan hutan, tanah dan air yang produktif
sesuai daya dukung dan daya tampung DAS
Tahapan pelaksanaan pengelolaan DAS terdiri dari kegiatan pengelolaan
DAS, sasaran lokasi kegiatan pengelolaan DAS dan pelaksanaan kegiatan
pengelolaan DAS itu serdiri. Kegiatan pengelolaan DAS meliputi pemanfaatan
dan penggunaan hutan, lahan dan air, restorasi hutan, rehabilitasi dan reklamasi
hutan dan lahan, konservasi hutan, tanah dan air. Sedangkan sasaran lokasi
kegiatan pengelolaan DAS meliputi kawasan budidaya di bagian hulu dan hilir
DAS, kawasan lindung di bagian hulu dan hilir DAS. Pelaksanaan kegiatan
pengelolaan DAS didasarkan atas kriteria teknis sektoral, persyaratan kelestarian
ekosistem DAS, dan pola pengelolaan hutan, lahan dan air.
Satu kalimat yang menjadi dambaan bagi kita semua untuk diwujudkan
dalam pengelolaan DAS adalah “Save Our Forest, Land and Water”, demi
keberlangsungan peradaban umat manusia di muka bumi (Hutabarat, 2008).
Kondisi Umum DAS Wampu
Secara geografis Daerah Aliran Sungai Wampu terletak antara 02º58’51”–
04º36’00” LU dan 97º 48’ 03” – 98º38’50” BT dengan luas sekitar 410714,75
hektar atau 4107,15 Km2 (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Sedangkan menurut
administratif terletak di Kabupaten Langkat, Karo, Deli Serdang, Simalungun dan
Kota Binjai Propinsi Sumatera Utara, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut
(Misran, 2008; BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008) :
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
Sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Lau Renun dan DTA Danau Toba
Sebelah Timur berbatasan dengan DAS Belawan, Deli, Percut dan Ular
Tabel 1. Luas wilayah kecamatan, kabupaten dan kota yang masuk ke dalam DAS Wampu.
Kecamatan/Kabupaten Luas
Ha %
Kabupaten Karo: 1. Barus Jahe 2. Berastagi 3. Dolat Rakyat 4. Kaban Jahe 13. Tiga Binanga 14. Tiganderket 15. Tiga Panah 16. Simpang Empat Jumlah
Kabupaten Langkat :
1. Bahorok 9. Tanjung Pura
10. Wampu
11. Stabat Jumlah Kota Binjai :
1. Binjai Barat 2. Binjai Kota 3. Binjai Selatan 4. Binjai Timur 5. Binjai Utara Jumlah
Kabupaten Simalungun : 1. Dolok Silau 2. Silimakuta Jumlah
Kabupaten Deli Serdang : 1. Kutalimbaru
JUMLAH 410714,75 100,00
Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008)
Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu dengan luas 410.714,75 hektar
(a). Sub DAS Wampu Hulu seluas 204.679,85 hektar (49,83 %); (b). Sub DAS Sei
Bingei seluas 79.046,91 hektar (19,25 %); (c). Sub DAS Wampu Hilir seluas
32.737,53 hektar (7,97 %), (d). Sub Das Lau Biang seluas 94.250,45 hektar
(22,95%).
Wilayah kecamatan yang masuk ke dalam DAS Wampu meliputi 16
Kecamatan di Kabupaten Karo, 11 Kecamatan di Kabupaten Langkat, 2
Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, 2 Kecamatan di Kabupaten Simalungun,
dan 5 Kecamatan di Kota Binjai (Tabel 1).
Dari segi kemiringan lereng, bentuk lahan dominan di DAS Wampu
adalah agak curam hingga sangat curam (kemiringan > 26 %) seluas 282.179,86
hektar atau 68,7 % dari luas DAS Wampu. Bentuk kemiringan lereng lainnya
berikut luasnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kelas kemiringan lereng di kawasan DAS Wampu
No Lereng (%) Bentuk Lahan Ha %
1 < 2 Datar 30851,025 7,51
2 2 – 8 Landai 27809,410 6,77
3 9-15 Bergelombang 67114,834 16,34
4 16-25 Berbukit 2759,617 0,67
5 26-40 Agak Curam 104853,056 25,53
6 41-60 Curam 77465,902 18,86
7 > 60 Sangat Curam 99860,902 24,31
Jumlah 410714,747 100,00
Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008)
Sementara wilayah kecamatan yang masuk ke dalam Sub DAS Lau Biang
sebanyak 19 kecamatan dengan luas wilayah masing-masing sebagaimana
Tabel 3. Luas wilayah kecamatan pada Sub DAS Lau Biang
11. Namanteran 7523,418 7,98
12. Munthe 7901,312 8,38
13. Payung 3071,953 3,26
14. Tiganderket 9283,204 9,85
15. Kuta Buluh 2863,562 3,04
16. Tiga Binanga 2185,782 2,32
17. Kutalimbaru 1,374 0,001
18. Salapian 24,847 0,03
19. Sei Bingei 49,473 0,05
Luas Sub DAS Lau Biang 95552,095 100,00
Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008)
Curah Hujan di kawasan Daerah Aliran Sungai Wampu antara 1.154,5
mm/thn sampai 4.127,2 mm/tahun. Debit sungai di DAS Wampu sebesar 180
m³/detik. Sedangkan penutupan lahan (Land Cover) DAS Wampu disajikan pada
Tabel 4.
Permasalahan khusus di DAS Wampu antara lain adalah (1) banyaknya
penggarapan-penggarapan liar di era reformasi, sehingga banyak lahan hutan yang
rusak dan beralih fungsi didaerah hulu saat ini, sehingga dapat menimbulkan
besarnya sedimentasi di daerah hilir; (2) pola usaha tani yang kurang mengikuti
kaedah konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang (tanaman industri) Kabupaten
Karo; (3) pada bagian hilir DAS adalah terjadinya penyempitan dan pendangkalan
sungai di Sub DAS Wampu Hilir, Sub DAS Bingei Kabupaten Langkat dan Kota
Tabel 4. Jenis dan luas penggunaan lahan di setiap Sub DAS dalam kawasan DAS Wampu
No Sub Das Penggunaan Lahan Ha %/Kec.
1 Lau Biang Belukar 1062,491 1,05
Danau/air 152,338 0,13
Hutan Tanaman Industri 1617,986 1,13
Hutan lahan kering skunder 11869,586 10,30
Pemukiman 482,023 0,54
Pert. Lahan kering campur semak 315,966 0,85
Pertanian lahan kering 80169,822 85,06
Sawah 415,763 0,60
Terbuka 314,261 0,33
95.552,095 100,00
2 Sei Bingei Belukar 2706,732 3,42
Hutan lahan kering skunder 12589,229 15,93
Pemukiman 3605,944 4,56
Perkebunan 11830,809 14,97
Pert. Lahan kering campur semak 30411,443 38,47
Pertanian lahan kering 15494,856 19,60
Rawa 20,249 0,03
Sawah 1711,881 2,17
Terbuka 675,768 0,85
79046,911 100,00
3 Wampu Hilir Belukar 2199,217 6,72
Hutan belukar rawa 5111,674 15,61
Hutan mangrove skunder 18,732 0,06
Pemukiman 1222,289 3.73
Perkebunan 4234,642 12,94
Pert. Lahan kering campur semak 7914,319 24,17
Pertanian lahan kering 5960,24 18,21
Rawa 261,864 0,80
Sawah 1529,18 4,67
Tambak 3753,854 11,47
Terbuka 531,517 1,62
32737,528 100,00
4 Wampu Hulu Belukar 9883,575 4,83
Danau/air 7,167 0,004
Hutan lahan kering primer 40837,661 19,95
Hutan lahan kering skunder 63941,95 31,24
Pemukiman 389,488 0,19
Perkebunan 24605,028 12,02
Pert. Lahan kering campur semak 43683,562 21,34
Pertanian lahan kering 17639,344 8,62
Sawah 2444,487 1,19
Terbuka 1247,592 0,61
204679,854 100,00
Total DAS Wampu 410714,747
Erosi dan Sedimentasi Pada Suatu DAS
Erosi dan sedimentasi merupakan proses penting dalam pembentukan
suatu daerah aliran sungai (DAS) serta memiliki konsekwensi ekonomi dan
lingkungan yang penting di DAS tersebut. Erosi dan sedimentasi secara alami
akan mempengaruhi pembentukan landscape suatu DAS dan sebaliknya bentuk
dan kondisi fisik suatu DAS akan sangat berpengaruh terhadap laju erosi dan
sedimentasi (Linsley, dkk. 1996).
Erosi merupakan salah satu penyebab utama degradasi lahan. Besarnya
erosi pada suatu lahan ditentukan oleh lima faktor yaitu (Arsyad, 2006) :
1. Jumlah dan intensitas hujan (erosivitas hujan),
2. Kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah),
3. Bentuk lahan (kemiringan dan pajang lereng),
4. Vegetasi penutup tanah, dan
5. Tingkat pengelolaan tanah.
Menurut Tarigan., dkk (2008) ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya degradsi lahan, yaitu : Faktor yang pertama adalah penggunaan dan
peruntukan lahan sudah menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah atau
Rencana Tata Ruang Daerah. Faktor yang kedua adalah penggunaan lahan tidak
sesuai dengan kemampuan lahan. Faktor yang ketiga adalah perlakuan yang
diberikan pada lahan tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh lahan
atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air atau teknik
konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak memadai. Faktor yang keempat
adalah tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang
secara memadai disetiap penggunaan lahan. Faktor yang kelima adalah kurang
memadainya kesungguhan pemerintah mencegah degradasi lahan.
Erosivitas hujan merupakan faktor alami yang hampir tidak mungkin
untuk dikelola, sedangkan erodibilitas tanah dapat diperbaiki dengan
meningkatkan/menjadikan kemantapan agregat tanah yang ideal melalui
penambahan bahan amelioran seperti bahan organik. Kemiringan dan panjang
lereng serta faktor vegetasi dan pengelolaan tanah merupakan faktor yang paling
sering dikelola untuk mengurangi jumlah aliran permukaan serta menurunkan laju
dan jumlah erosi (Agus dan Widianto, 2004; Arsyad, 2006).
Erosi tanah bukan saja disebabkan oleh penduduk sekitar hutan, tetapi
secara menyeluruh penyebab erosi tanah adalah meningkatnya kebutuhan manusia
akan sumber daya alam (kayu bakar) yang tersedia makin tertekan, terutama
hutan, sehingga menyebabkan tingkat erosi tanah makin tinggi dan secara
otomatis diikuti kehilangan air. Erosi merupakan proses dimana tanah, bahan
mineral dilepaskan dan diangkut oleh air, angin atau gaya berat. Tanah longsor
dan batu-batuan berjatuhan (mass wastage) merupakan akibat dari gaya berat
yang makin ditingkatkan oleh air (Arief, 2001).
Erosi dan sedimentasi menjadi penyebab berkurangnya produktivitas lahan
pertanian, dan berkurangnya kapasitas saluran atau sungai akibat pengendapan
material hasil erosi. Dengan berjalannya waktu, aliran air berkonsentrasi ke dalam
suatu lintasan-lintasan yang agak dalam dan mengangkut partikel tanah dan
diendapkan ke daerah dibawahnya yang mungkin berupa sungai, waduk, saluran
Proses degradasi tanah, terutama yang banyak terjadi di daerah
pegunungan atau daerah yang berbukit-bukit, dimana pada lokasi-lokasi ini
degradasi permukaan tanah umumnya berupa erosi permukaan (surficial erosion)
dan gerakan massa (mass movement). Gravitasi merupakan gaya penggerak utama
gerakan massa tanah, sedang angin dan aliran air merupakan sumber terjadinya
erosi. Secara umum, faktor-faktor penyebab terjadinya erosi tanah, adalah 1)
Iklim; 2) Kondisi tanah; 3) Topografi; 4) Tanaman penutup permukaan tanah; 5)
Pengaruh gangguan tanah oleh aktivitas manusia. Sedangkan proses erosi oleh air
hujan dapat dikelompokkan menjadi 5 macam, yaitu 1) Erosi percikan (splash
erosion); 2) Erosi lembaran (sheet erosion); 3) Erosi alur (rill erosion); 4) Erosi
parit (gully erosion); 5) Erosi sungai/saluran (stream/channel erosion)
(Hardiyatmo, 2006).
Pada dasarnya terdapat dua macam erosi yaitu erosi geologi atau erosi
normal dan erosi yang dipercepat. Erosi geologi (erosi normal) juga disebut erosi
alami merupakan proses-proses pengangkutan tanah yang terjadi di bawah
keadaan vegetasi alami. Biasanya terjadi pada keadaan lambat yang
memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu mendukung
pertumbuhan vegetasi secara normal. Proses geologi meliputi terjadinya
pembentukan tanah di permukaan bumi secara alami. Dalam hal ini erosi yang
terjadi tidak melebihi laju pembentukan tanah. Erosi dipercepat adalah
pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan
manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan
pengangkutan tanah. Oleh sebab itu, hanya erosi dipercepat inilah yang menjadi
Dalam Saban (2008) mengatakan, salah satu contoh multifungsi pertanian
dalam hubungannya dengan aspek lingkungan di antaranya adalah dampak dari
penerapan teknik konservasi tanah terhadap lingkungan. Pengurangan sedimentasi
di daerah hilir dari hasil penerapan konservasi pada areal pertanian di daerah hulu
dapat digolongkan sebagai multi-fungsi, karena pengurangan sedimentasi
mem-berikan manfaat bagi pengguna air di sepanjang aliran sungai, khususnya di
bagian hilir. Degradasi lahan pertanian yang banyak terjadi sebagai akibat pola
penggunaan lahan yang kurang tepat, dapat berakibat pada penurunan kuantitas
dan kualitas multifungsi pertanian, sehingga multifungsi pertanian tidak dapat
dinikmati secara optimal.
Abdurachman (2005) mengemukakan bahwa salah satu strategi utama
untuk mempertahankan multi-fungsi pertanian adalah dengan meningkatkan
upaya konservasi lahan pertanian. Penanggulangan sedimentasi dan erosi dapat
dilakukan dengan perbaikan prosedur pengolahan limbah yang akan dialirkan ke
sungai atau badan air lainnya. Kegiatan pertanian seringkali dijadikan contoh
sebagai penghasil utama sedimen, karena kegiatan ini umumnya dilakukan dengan
pembukaan lahan besar-besaran.
Di daerah beriklim tropis basah, air merupakan penyebab utama erosi
tanah, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Proses erosi air
merupakan kombinasi dua proses yaitu (1). Penghancuran struktur tanah menjadi
butir-butir primer oleh energi tumbukan butir-butir hujan yang menimpa tanah
dan perendaman oleh air yang tergenang (proses dispersi), dan pemindahan
(pengangkutan) butir-butir tanah oleh percikan hujan, dan (2). penghancuran
mengalir di permukaan tanah. Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan
menyebabkan tanah terdispersi. Sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan
mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di permukaan
tanah tergantung pada hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan
kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas penyimpanan air tanah (Rahim, 2003).
Tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas permukaan tanah dapat
mem-perbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak
butir-butir hujan yang jatuh, daya dispersi dan daya angkut aliran di atas
permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan-tindakan yang diberikan manusia
terhadap tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya akan menentukan apakah tanah
itu akan menjadi baik dan produktif atau menjadi rusak
(Rahim, 2003; Arsyad, 2006).
Setelah penghacuran butir-butir tanah oleh energi kinetik curah hujan akan
terjadi aliran permukaan apabila kapasitas infiltrasi tanah berkurang. Jumlah
aliran permukaan yang meningkat disamping menyebabkan erosi lebih besar, juga
mengurangi kandungan air tersedia dalam tanah yang mengakibatkan
per-tumbuhan per-tumbuhan menjadi kurang baik. Berkurangnya perper-tumbuhan berarti
berkurangnya sisa-sisa tumbuhan yang kembali ke tanah dan berkurangnya
perlindungan, yang mengakibatkan erosi menjadi lebih besar (Arsyad, 2006).
Erosi merupakan faktor eksternal penyebab tanah-tanah pertanian menjadi
sakit atau bahkan mati. Erosi pada awalnya akan memindahkan bahan organik dan
liat dari dalam tanah (selektifitas erosi) ke badan-badan air (sungai) yang
kemudian diendapkan di buffer area sungai atau terbuang ke muara dan ke lautan.
lembut (horizon A dan B), sehingga horizon C (bahan induk) dan bahkan horizon
R (batuan induk) muncul ke permukaan (Arsyad, dkk 1992). Fenomena ini terjadi
secara berkelanjutan pada hampir semua lahan pertanian di Indonesia, terutama
pada sistem pertanian lahan kering di kawasan hulu suatu DAS. Pada tahap ini
tanah dikategorikan sakit parah dan bahkan dapat dikatakan sebagai tanah yang
mati (Arsyad, 2006).
Prediksi erosi pada sebidang tanah dapat dilakukan menggunakan model
yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (Hallsworth, 1987; Arsyad,
2006) yang diberi nama Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan persamaan
sebagai berikut:
P C S L K R
A= × × × × × ... (1)
dimana :
A = banyaknya tanah tererosi (ton/(ha.thn)).
R = faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi
hujan tahunan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E)
dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30).
K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk
suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak
percobaan yang panjangnya 72,6 kaki (22,1 meter) terletak pada lereng 9 %,
tanpa tanaman.
L = faktor panjang lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan
suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang
S = faktor kecuraman lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari
suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari
tanah dengan lereng 9 % di bawah keadaan yang identik.
C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman yaitu nisbah antara
besarnya erosi dari suatu tanah dengan vegetasi penutup dan pengelolaan
tanaman tertentu terhadap besarnya erosi tanah dari tanah yang identik tanpa
tanaman.
P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan
penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, teras menurut
kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan
tindakan konservasi khusus tersebut terhadap besarnya erosi dari tanah yang
diolah searah lereng, dalam keadaan yang identik.
Saifuddin Sarief (1980) dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Masalah
Pengawetan Tanah dan Air”, penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan
pengikisan dan penghanyutan tanah menggunakan metode pengukuran besarnya
tanah yang terkikis dan aliran permukaan (run-off) untuk satu kali kejadian hujan.
Metode ini disebut “Pengukuran Erosi Petak Kecil”, metode ini ditujukan untuk
mendapatkan data-data sebagai berikut :
1. Besarnya erosi
2. Pengaruh faktor tanaman
3. Pemakaian bahan pemantap tanah (soil conditioner)
4. Pemakaian mulsa penutup tanah, dan
Dengan berpegangan pada pendapat Konhke dan Bertrand (1959). Bahwa
petak kecil yang biasanya berbentuk persegi panjang dipergunakan untuk
mendapatkan besarnya pengikisan dan penghanyutan yang disebabkan oleh
pengaruh faktor-faktor tertentu untuk suatu tipe tanah dan derajat lereng tertentu
(Kartasapoetra, 1990).
Faktor Yang Mempengaruhi Erosi 1. Faktor Iklim
Di daerah beriklim basah, faktor iklim yang menyebabkan terdispersinya
agregat tanah, aliran permukaan dan erosi adalah hujan (Sinukaban, 1986).
Menurut Arsyad (1989), besarnya curah hujan serta intensitas dan distribusi butir
hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan
aliran permukaan, dan erosi. Air yang jatuh menimpa tanah-tanah terbuka akan
menyebabkan tanah terdispersi, selanjutnya sebahagian dari air hujan yang jatuh
tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di
atas permukaan tanah tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air
(kapasitas infiltrasi)
Besarnya hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Oleh
karena itu, besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter kubik per satuan
luas atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air yaitu millimeter.
Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau masa tertentu
2. Faktor tanah
Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang
berbeda-beda. Kepekaan erosi tanah adalah mudah tidaknya tanah tererosi yang merupakan
fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah
yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi laju infiltrasi; (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan
struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh
dan aliran permukaan.
Utomo (1989), tanah andosol terbentuk dari bahana abu vulkan muda
dengan kandungan bahan organik.yang tinggi, tekstur lapisan tanah atas pasir
berlempung sampai berlempung, tekstur lapisan bawah lempung berliat, memiliki
thixotropi, sangata porous, bersolum dalam sehingga kapasitas infiltrasi dan
perkolasinya tinggi. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, pengukuran erodibilitas tanah
dengan nomograph menunjukkan bahwa indeks erodibilitas andosol bervariasi
dari 0,10 samapai 0,25. mengikuti klasifikasi kelas erodibilitas yang diusulkan
Utomo (1985), maka andosol mempunyai indeks erodibiltas sangat rendah sampai
sedang. Jadi sebenarnya cukup tahan terhadap erosi yang ditimbulkan oleh
pukulan air hujan dan kikisan limpasan permukaan. Tetapi karena umumnya
andosol mempunyai sifat thixotropic, maka jika jenuh air (karena intensitas hujan
sangat tinggi), tanahnya mudan mengalami erosi massa (creep dan slip erosion).
Karena tingkat perkembangan tanahnya baru pada tingkat lemah sampai sedang.
Menurut Arsyad (2000), beberapa sifat tanah yang mempengaruhi erosi
adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat
mudah atau tidaknya tanah mengalami erosi ditentukan oleh berbagai sifat fisika
tanah.
Tekstur adalah ukuran tanah dan proporsi kelompok ukuran butir-butir
primer bagian mineral tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir
berkerikil mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi dan jika tanah tersebut
dalam, erosi dapat diabaikan. Tanah-tanah bertekstur pasir halus juga
mempengaruhi kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran
permukaan, butir halus akan mudah terangkut. Tanah-tanah yang mengandung liat
dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh
menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat.
Struktur adalah ikatan butir primer kedalam butiran sekunder atau agregat.
Terdapat dua aspek struktur yang penting dalam hubungannya dengan erosi.
Pertama adalah sifat-sifat fisika-kimia liat yang menyebabkan terjadinya flokulasi
dan yang kedua adalah adanya bahan pengikat butir-butir primer sehingga
terbentuk agregat yang mantap.
Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur
yang menutupi permukaan tanah merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan
perusak butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami
pelapukan mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi.
Bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan
tetapi kemampuan itu hanya faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran
permukaan. Pengaruh bahan organik dalam mengurangi aliran permukaan
terutama berupa perlambatan aliran, peningkatan infiltrasi dan pemantapan
Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi
daripada tanah yang permeabel, tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan
kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dan dengan
demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan.
Sifat lapisan bawah tanah yang menentukan kepekaan erosi tanah adalah
permeabilitas lapisan tersebut. Permeabilitas dipengaruhi oleh tekstur dan struktur
tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler dan permeable kurang
peka erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan bawahnya padat dan
permeabilitasnya rendah.
Perbaikan kesuburan tanah akan memperbaiki pertumbuhan tanaman.
Pertumbuhan tanaman yang lebih baik akan memperbaiki penutupan tanah yang
lebih baik dan lebih banyak sisa tanaman yang kembali ke tanah setelah panen.
Kepekaan erosi tanah haruslah merupakan pernyataan keseluruhan sifat-sifat
tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor penyebab erosi lainnya. Menurut
Hodson (1992), kepekaan erosi didefinisikan sebagai mudah tidaknya tanah untuk
tidak tererosi, sedangkan menurut Arsyad (2000), kepekaan erosi tanah
didefinisikan sebagai erosi per satuan indeks erosi hujan untuk suatu tanah dalam
keadaan standar. Kepekaan erosi tanah menunjukkan besarnya erosi yang terjadi
dalam ton tiap hektar tiap tahun indeks erosi hujan, dari tanah yang terletak pada
keadaan baku (standar). Tanah dalam standar adalah tanah yang terbuka tidak ada
vegetasi sama sekali terletak pada lereng 9 % dengan bentuk lereng yang seragam
dengan panjang lereng 72,6 kaki atau 22 m. Nilai faktor kepekaan erosi tanah
yang ditandai dengan huruf K, dinyatakan dalam persamaan berikut:
dengan K adalah nilai faktor kepekaan erosi suatu tanah, A adalah besarnya erosi
yang terjadi dari tanah pada petak standar (ton/(ha.thn)), dan R adalah EI30
tahunan.
3. Faktor Topografi
Jika keadaan lereng di lapangan tidak sama dengan baku, maka faktor
panjang lereng dan kemiringan lereng harus dikembalikan pada keadaan baku,
yaitu panjang lereng 22 m dan kemiringan lereng Sembilan persen dengan
persamaan berikut :
(
0,00138)
2 +0,000965 +0,0138= L S S
LS ... (3)
Dengan L adalah lereng dalam meter, S adalah persen kemiringan lereng dalam
keadaan baku.
Lereng yang lebih curam, selain memerlukan tenaga dan biaya yang lebih
besar dalam penyiapan dan pengelolaan, juga menyebabkan lebih sulitnya
pengaturan air dan lebih besar masalah erosi yang dihadapi. Di samping itu,
lereng-lereng dengan bentuk yang seragam dan panjang memerlukan pengelolaan
yang berbeda dengan lereng-lereng pada kemiringan yang sama, tetapi
mempunyai bentuk yang tidak seragam dan pendek. Pada lereng yang panjang dan
seragam, air yang mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di lereng bawah
sehingga makin besar kecepatannya daripada di lereng bagian atas. Akibatnya
tanah lereng bagian bawah mengalami erosi lebih besar daripada lereng bagian
atas. Sebaliknya, lereng yang panjang dan tidak seragam biasanya diselingi oleh
lereng datar dalam jarak pendek. Akibatnya aliran air yang terkumpul di lereng
bawah tidak begitu besar dan erosi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan
Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang
berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng
10 %. Kecuraman lereng 100 % sama dengan kecuraman 45º. Selain dari
memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga
memperbesar kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar
energi angkut air. Dengan makin curamnya lereng, jumlah butir-butir tanah yang
terpercik ke atas oleh tumbukan butir hujan semakin banyak. Jika lereng
permukaan dua kali lebih curam, banyaknya erosi 2 sampai 2,5 kali lebih besar
(Sinukaban, 1986).
Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai
suatu titik air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dengan kemiringan lereng
berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah. Air yang
mengalir di permukaan tanah akan berkumpul di ujung lereng. Dengan demikian,
lebih banyak air yang mengalir akan makin besar kecepatannya di bagian bawah
lereng mengalami erosi lebih besar daripada di bagian atas. Akibatnya adalah
tanah-tanah di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian
atas. Makin panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena
akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan
makin tinggi mengakibatkan kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi
pula (Wischmeier dan Smith, 1978).
4. Faktor Vegetasi
Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam
lima bagian, yakni (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, (b) mengurangi
kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, (d)
pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan (e) transpirasi
yang mengakibatkan kandungan air berkurang (Arsyad, 2000).
Pola pertanaman dan jenis tanaman yang dibudidayakan sangat
berpengaruh terhadap erosi dan aliran permukaan karena berpengaruh terhadap
penutupan tanah dan produksi bahan organik yang berfungsi sebagai pemantap
tanah. Menurut FAO (1965, dikutip oleh Sinukaban, 1986) pergiliran tanaman
terutama dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah lainnya,
merupakan cara konservasi tanah yang sangat penting. Tujuannya adalah
memberikan kesempatan pada tanah untuk mengimbangi periode peng-rusakan
tanah akibat penanaman tanaman budidaya secara terus-menerus. Keuntungan dari
pergiliran tanaman adalah mengurangi erosi karena kemampuannya yang tinggi
dalam memberikan perlindungan oleh tanaman, memperbaiki struktur tanah
karena sifat perakaran, dan produksi bahan organik yang tinggi.
5. Faktor Manusia atau Tindakan Konservasi (P)
Pada akhirnya manusialah yang menentukan apakah tanah yang
diusahakannya akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif
secara lestari. Banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan
mem-perlakukan dan merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijaksana sehingga
menjadi lebih baik dan dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk jangka
waktu yang tidak terbatas, antara lain dengan (a) luas tanah pertanian yang
diusahakan, (b) tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, (e) harga hasil
usaha tani, (f) perpajakan, (g) ikatan hutang, (h) pasar dan sumber keperluan
Rencana konservasi tanah harus mempertimbangkan keterbatasan atau
hambatan dalam pemanfaatan tanah disamping faktor-faktor yang
bersifatmendukung program konservasi. Faktor penting yang harus dilakukan
dalam usaha konservasi tanah,yaitu teknik inventarisasi dan klasifikasi bahaya
erosi dengan tekanan daerah hulu (upstream area). Untuk menentukan tingkat
bahaya erosi suatu bentang lahan diperlukan kajian terhadap empat faktor, yaitu
jumlah, macam dan waktu berlangsungnya hujan serta faktor-faktor yang
berkaitan dengan iklim, jumlah dan macam tumbuhan penutup tanah, tingkat
erodibilitas didaerah kajian, dan keadaan kemiringan lereng (Asdak, 1995)
Pengolahan tanah meliputi pemeliharaan kandungan bahan organik tanah,
praktek pembajakan, dan penstabilan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam
tanah berfungsi tidak saja untuk mempertahankan kesuburan tanah, tetapi juga
dapat meningkatkan kapasitas tanahuntuk meretensi air, dan menstabilkan agregat
tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2 persen biasanya
paling peka terhadap erosi. Karena itu perlu penambahan bahan organik hingga
angka tersebut. Penambahan bahan organik ke tanah perlu memperhatikan jenis
tanah, karena hal itu berhubungan dengan faktor isohumikjumlah humus yang
dihasilkan persatuan bahan organik ( Rahim, 2003).
Pada pengolahan lahan menurut kontur, pembajakan dilakukan menurut
kontur atau memotong lereng, sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan
alur menurut kontur. Pengolahan lahan menurut kontur akan lebih efektif apabila
diikuti dengan penanaman menurut kontur pula, yaitu larikan tanaman dibuat
Efek utama pengelolaan menurut kontur adalah terbentuknya penghambat
aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan
pengangkutan tanah. Oleh karena itu, didaerah kering, pengolahan menurut kontur
sangatsangat efektif dalam pengawetan air.
Teras adalah suatu bangunan pengawetan tanah dan air secara mekanis
yang dibuat untuk memperpendek lereng dan atau memperkecil kemiringan, dan
merupakan suatu metode pengendalian erosidengan membangun semacam saluran
lebar melintang lereng tanah. Pengelolaan lahan dengan kontur tanah pertanian
selalu dikombinasikan dengan teras. Karena perterasan memerrlukan investasi
tambahan dan menyebabkan perubahan dalam prosedurbertani maka tindakan
penterasan hanya dipertimbangkan di mana tindakan pertanaman atau pengelolaan
tanah lainnya, sendiri-sendiri atau bersama, tidak memberikan pengendalian yang
cukup.
Fungsi teras adalah mengurangi panjang lereng, karena itu mengurangi
sheet dan riil, mencegah terbentuknya gully, dan menahan aliran permukaan di
daerah kurang hujan. Disebagian besar daerah, graded teras lebih efektif dalam
mengurangi erosi daripada aliran permukaan (runoff), sedangkan level teras lebih
efektif dalam mengurangi runoff disamping mengendalikan erosi.
Di dalam perencanaan teras, diperlukan berbagai pertimbangan khusus,
antara lain keadaan tata guna lahan pada daerah yang bersangkutan, pembuatan
sluran pembuangan (outlet), penentuan tata letak teras (terrace lay-out) dan
rencana pertanian yang diusahakan.
Berdasarkan fungsinya, teras dibedakan kedalam dua jenis, yaitu : teras
intersepsi, aliran permukaan ditahan oleh saluran yang memotong lereng,
sedangkan pada teras disversi berfungsi untuk mengubah arah aliran sehingga
tersebar kesaluran lahan dan tidak terkonsentrasi kesuatu tempat. Menurut
bentuknya teras dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu teras kredit, teras
guludan, teras datar, teras bangku, teras kebun dan teras individu
(Hardjoamidjojo dan Sukandi, 2008)
Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Asdak, 1995 menyatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan program
konservasi tanah salah satu informasi penting yang harus diketahui adalah tingkat
bahaya erosi (TBE) dalam suatu DAS atau sub-DAS yang menjadi kajian. Dengan
mengetahui TBE suatu DAS atau masing-masing sub-DAS, prioritas rehabilitasi
tanah dapat ditentukan.
Tingkat bahaya erosi pada dasarnya dapat ditentukan dari perhitungan
nisbah antara laju erosi tanah (A) dengan laju erosi erosi yang masih
ditoleransikan.
Batas Toleransi Erosi adalah batas maksimal besarnya erosi yang masih
diperkenankan terjadi pada suatu lahan. Besarnya batas toleransi erosi dipengaruhi
oleh kedalaman tanah, batuan asal pembentuk tanah, iklim, dan permeabilitas
tanah. Evaluasi bahaya erosi merupakan penilaian atau prediksi terhadap besarnya
erosi tanah dan potensi bahayanya terhadap sebidang tanah. Evaluasi bahaya erosi
ini didasarkan dari hasil evaluasi lahan dan sesuai dengan tingkatannya. Menurut
Arsyad (2000) evaluasi bahaya erosi atau disebut juga tingkat bahaya erosi
ditentukan berdasarkan perbandingan antara besarnya erosi tanah aktual dengan
kejadian erosi pada tingkat membahayakan atau suatu ancaman degradasi lahan
atau tidak, dapat diketahui dari tingkat bahaya erosi dari lahan tersebut.
Tingkat Bahaya Erosi dikategorikan ke dalam sangat ringan hingga sangat
berat. Pada tanah dengan solum dalam (kedalaman >90 cm) seperti pada wilayah
kajian, tingkat bahaya erosi dikatakan Sangat Ringan (SR) bila jumlah erosi < 15
ton/(ha.thn), Ringan (R) bila jumlah erosi antara 15-60 ton/(ha.thn), Sedang (S)
bila jumlah erosi 60-180 ton/(ha.thn), Berat (B) bila jumlah erosi 180-480
ton/(ha.thn) dan Sangat Berat (SB) bila erosinya > 480 ton/(ha.thn)
(Saptarini, dkk, 2007).
Lahan Tanaman Industri di Daerah Aliran Sungai
Perkebunan dapat diartikan berdasarkan fungsi, pengelolaan, jenis
tanaman dan produk yang dihasilkan. Perkebunan berdasarkan fungsinya dapat
diartikan sebagai usaha untuk menciptakan lapangan kerja, peningkatan
pendapatan dan devisa negara, dan pemeliharaan kelestarian sumber daya alam.
Berdasarkan pengelolaannya, perkebunan dapat dibagi menjadi (1)
Perkebunan Rakyat, yaitu suatu usaha budidaya tanaman yang dilakukan oleh
rakyat yang hasilnya sebagian besar untuk dijual, dengan areal pengusahaannya
dalam skala yang terbatas luasnya; (2) Perkebunan Besar, yaitu suatu usaha
budidaya tanaman yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau
Swasta yang hasilnya seluruhnya untuk dijual dengan areal pengusahaannya
sangat luas; (3) Perkebunan Perusahaan Inti Rakyat (PIR), yaitu suatu usaha
budidaya tanaman, di mana perusahaan besar (pemerintah atau swasta) bertindak
Proyek (Perkebunan Pola UPP) yaitu perkebunan yang dalam pembinaannya
dilakukan oleh pemerintah, sedangkan pengusahaannya tetap dilakukan oleh
rakyat.
Sedangkan perkebunan berdasarkan jenis tanamannya dapat diartikan
sebagai usaha budidaya tanaman yang dilakukan oleh rakyat, pemerintah, maupun
swasta selain tanaman pangan dan hortikultura. Demikian pula perkebunan
berdasarkan produknya dapat diartikan sebagai usaha budidaya tanaman yang
ditujukan untuk menghasilkan bahan industri (misalnya karet, tembakau, cengkeh,
kapas, rosela, dan serai wangi), bahan industri makanan (misalnya kelapa, kelapa
sawit, dan kakao), dan makanan (misalnya tebu, teh, kopi, dan kayu manis)
(Syamsulbahri, 1996).
Hutan memegang peranan yang sangat penting sebagai tata guna yang
produktif dan berkelanjutan secara lokal maupun global. Seperti efek rumah kaca,
kenaikan air laut, dan degradasi tanah dan air disebabkan oleh terjadinya
penebangan hutan yang tidak memperhitungkan kelestariannya. Umumnya,
penebangan hutan di konversi sebagai perladangan dan pemanenan kayu
perdagangan, bukan sebagai pemenuhan keperluan yang mendesak dari penduduk
sekitar hutan. Penebangan hutan untuk kayu bakar dan orang termasuk penyebab
menciutnya penutupan pohon. Hilangnya hutan basah setiap tahun diperkirakan
25.000 km2 sebagai pasokan kayu bakar keperluan penduduk sekitar hutan
(Arief, 2001).
Tanaman keras perkebunan berfungsi sama atau hampir sama dengan
tanaman hutan. Karena di bawah tegakan terdapat tanaman penutup tanah yang
dalam tanah. Demikian pula aliran permukaan dihambat oleh tanaman penutup,
sisanya masuk ke sungai. Volume run-off dihambat oleh tegakan tanaman
perkebunan, demikian pula sedimennya (Siswomartono, 2008).
1. Kemiringan Lahan Budidaya Tanaman Industri.
Tanaman kopi banyak yang dibudidayakan pada lahan miring di daerah
pegunungan yang umumnya mempunyai pola sebaran hujan tidak merata. Curah
hujan yang tinggi terkonsentrasi pada bulan-bulan tertentu, sehingga erosivitasnya
sangat besar. Lahan miring merupakan lahan yang peka terhadap degradasi/
penurunan kualitas. Erosi merupakan penyebab utama kemunduran lahan kering
di daerah tropika basah. Tanah yang hilang karena erosi merupakan tanah lapisan
atas yang subur, sehingga erosi akan menurunkan kesuburan tanah secara nyata.
Guna mengatasi degradasi lahan di perkebunan kopi, maka telah dilakukan
penelitian pengendalian erosi dengan teras dan tanaman pagar yang ditanam pada
bibir teras. Perlakuan yang diberikan adalah (1) kontrol tanpa teras, (2) teras
bangku tanpa tanaman penguat teras, (3) teras bangku dengan tanaman penguat
teras Leucaena leucocephala, (4) teras bangku dengan tanaman penguat teras
Vetiveria zizonioides, dan (5) teras bangku dengan tanaman penguat teras
Moghania macrophylla. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa teras
bangku nyata menurunkan erosi. Kehilangan tanah dari lahan berteras bangku
adalah 6,15 % dibandingkan dengan lahan yang tidak berteras. Erosi pada lahan
berteras, baik tanpa penguat teras maupun dengan penguat teras L. leucocephala,
V. zizanioides, serta M. macrophylla, tidak berbeda nyata. Stabilitas dari teras
yang diperkuat dengan tanaman penguat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
2. Budidaya Tanaman Industri (kopi).
Tanaman kopi di Tanah Karo tersebar di seluruh kecamatan dan yang
paling luas secara berturut terletak di Kecamatan Merek, Tiga Panah, Simpang
Empat, Payung dan Munthe. Saat ini Kecamatan Merek lebih dikenal sebagai
sentra produksi kopi, karena wilayah ini merupakan garis pengembangan tanaman
kopi dan kini mencapai 1500 ha. Kopi yang dikembangkan adalah jenis Arabica.
Pada masa yang akan datang diharapkan kecamatan ini menjadi daerah
Kimbun-Kopi dimana mulai dari proses penanaman sampai pengolahan menjadi bubuk
dipusatkan di Kecamatan Merek. Kini tercatat seluas 5045 ha dengan produksi
10.837,85 ton tanaman kopi yang ada di Kabupaten Karo (KPDE, 2009).
3. Tanah Lahan Budidaya Tanaman Industri
Tanaman kopi menghendaki tanah yang lapisan atasnya dalam (± 1,5 m)
dan gembur, subur, banyak mengandung humus dan bersifat permeable. Tanah
dapat berasal dari abu gunung berapi/cukup mengandung pasir. Jenis tanah latosol
dan vulkanis disukai tanaman kopi. Tanah yang drainasenya jelek, tanah liat berat,
dan tanah pasir yang kapasitas mengikat airnya kurang serta kandungan N-nya
rendah tidak cocok untuk pertumbuhan kopi. Dengan kedalaman air tanah
sekurang-kurangnya, 3 m dari permukaan tanah. Tanah harus mempunyai drainase
dan kemampuan mengikat air yang baik (Anonim, 2008).
Struktur (kondisi fisik) tanah merupakan faktor yang sangat dominan
menentukan erosi dan aliran permukaan pada lahan usahatani berbasis kopi di
Sumberjaya. Pada tanah yang pori makronya >24 % dan permeabilitasnya >6
cm/jam di Tepus dan Laksana, erosi yang terjadi <2 Mg/ha /h. Sedangkan pada
erosi telah mencapai 37 Mg/ha dalam jangka waktu 3 bulan. Perbedaan tingkat
erosi pada berbagai struktur tanah yang berbeda berimplikasi bahwa rekomendasi
tindakan konservasi perlu bersifat soil specifik dalam arti diarahkan untuk tanah
yang peka terhadap erosi (Dariah dkk, 2003).
4. Faktor Penutupan Lahan pada Lahan Budidaya Tanaman Industri.
Faktor pengelolaan tanaman (faktor-C) merupakan rasio dari tanah yang
tererosi pada suatu jenis pengelolaan tanaman terhadap tanah yang tererosi pada
kondisi permukaan lahan yang sama, tetapi tanpa pengelolaan tanaman (Achlil,
1995). Berdasarkan formula yang dikemukakan Wischmeier dan Smith (1978),
nilai pengelolaan tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
besarnya laju erosi, selain faktor erosivitas hujan, erodibilitas tanah, kemiringan
dan panjang lereng. Faktor pengelolaan tanaman ini merupakan salah satu faktor
yang dapat dimanipulasi, sehingga penting untuk diketahui oleh pengelola. Faktor
tanaman (C) yang sangat tergantung pada jenis dan kondisi tanaman dalam
pembentukan perlindungan terhadap tanah. Perhitungan nilai penutupan lahan
(faktor-C) dilakukan terhadap seluruh lahan (sub DAS) dengan intensitas
sampling 100 %, artinya sub DAS merupakan plot pengamatan. Survei penutupan
lahan dilakukan pada Bulan Nopember 2001. Hasil perhitungan nilai faktor
penutupan lahan pada masing-masing sub DAS disajikan oleh Tabel 5.
Tabel 5. Contoh Nilai Faktor Penutupan Lahan pada Suatu Sub DAS
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2009 di kawasan
hulu DAS Wampu, yaitu Sub DAS Lau Biang yang meliputi 10 (sepuluh) wilayah
kecamatan yaitu Kecamatan Dolok Silau dan Silimakuta di Kabupaten
Simalungun, serta wilayah Kecamatan Merek, Tiga Panah, Kabanjahe, Barus
Jahe, Singgamanik, Tiganderket, Kuta Buluh dan Payung di Kabupaten Karo.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System), altimeter, klinometer, bor tanah, ring sampel tanah, meteran, waterpass,
pisau pandu, kantong plastik dan karet gelang, kertas label, drum penampung atau
kolektor air larian dan sedimentasi, lembar plastik penahan/dinding petak kecil,
kawat, patok kayu, paku, martil, dan alat pertukangan lainnya, parangkat
penangkar mini curah hujan, timbangan, alat tulis, perangkat komputer yang
dilengkapi dengan perangkat sistem informasi geografis (SIG), kamera digital.
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya lahan budidaya
tanaman industri (lahan tanaman kopi), contoh tanah/sedimen, contoh air larian,
peta administrasi, peta jenis tanah, peta kelas lereng, peta penutupan dan
penggunaan lahan, data curah hujan.
Prosedur penelitian
Adapun prosedur penelitian adalah :
1. Dihitung erosi dengan menggunakan Metode Petak Kecil.
b. Diukur curah hujan per kejadian hujan.
c. Dilakukan pengukuran setiap setelah kejadian hujan.
d. Pengukuran air limpasan dan sedimen
- Diaduk seluruh air limpasan dan sedimen yang tertampung
dalam drum penampung.
- Dihitung volume air limpasan dan sedimen yang telah diaduk
rata.
- Diambil sampel larutan (air limpasan dan sedimen yang
diaduk)
e. Pengukuran besar tanah yang tererosi,
- Disaring sampel larutan (air limpasan dan sedimen yang diaduk)
- Diovenkan sedimen yang tersaring hingga berat konstan
- Ditimbang sedimen yang tersaring setelah diovenkan. 2. Dihitung erosi menggunakan persamaan USLE.
a. Ditentukan titik pengambilan sampel tanah, diambil sampel tanah.
b. Dihitung laju permeabilitas tanah.
c. Dianalisis sifat fisika tanah (tekstur, struktur).
d. Dianalisis kandungan C-Organik tanah
e. Dihitung Besar erosi dan indeks bahaya erosi.
3. Ditentukan laju erosi yang dapat ditoleransikan ( T ).
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan metode deskriptif eksploratif yang dilakukan
untuk mengetahui tingkat bahaya erosi di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS
Lau Biang) melalui penghitungan dan pengukuran besarnya erosi aktual dan erosi
yang ditoleransikan pada penggunaan lahan tanaman industri (kopi) dan kawasan
hutan. Pengukuran erosi dan pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara
purposive sampling terutama dalam menetapkan lokasi yang meliputi lahan
budidaya (lahan tanaman industri).
1. Pengamatan Lapangan
Penetapan besarnya erosi dilakukan dengan dua cara yaitu (1) Pengukuran
secara langsung menggunakan metoda petak kecil (kolektor air larian dan
sedimentasi), dan (2) Penghitungan (prediksi) menggunakan persamaan USLE.
2. Pengukuran Laju Erosi dengan Metode Petak Kecil
Metode petak kecil yang dibuat merupakan petak standar berukuran
panjang 22 m dengan lebar 2 m. Petakan lahan tersebut dibatasi menggunakan
lembar plastik yang ditanamkan sedemikian rupa sehingga setengah lebar plastik
tersebut (sekitar 10 cm) tertanam di dalam tanah, sedangkan sisanya 10 cm
menjadi dinding penahan air larian dan sedimen. Untuk menampung air larian dan
tanah yang tererosi, di ujung bawah petak dipasang tangki penampungan, berupa
drum yang diberi tutup di bagian atasnya agar air hujan tidak langsung masuk ke
dalam drum tersebut (hanya air larian dari petak yang dibatasi tersebut yang