• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA

RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA

RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO dan ANI MARDIASTUTI.

Sebahagian besar masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) memiliki matapencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian. Durian dan petai banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari. Satwa utama yang membantu penyerbukan durian dan petai adalah kelelawar (Chiroptera: Megachiroptera). Tidak hanya itu, kelelawar juga berperan penting dalam menjaga ekosistem di KHBT, karena membantu penyerbukan dan penyebaran biji beberapa jenis tumbuhan di sana. Masyarakat di dalam dan sekitar KHBT didominasi oleh suku Batak, dan sangat gemar mengkonsumsi daging kelelawar (Pteropodidae). Perburuan yang tidak lestari dikhawatirkan akan menekan populasi kelelawar. Untuk itu perlu dilakukan survei perburuan dan perdagangan kelelawar. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar yang terjadi di dalam dan sekitar KHBT, dalam upaya konservasi kelelawar.

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatra Utara. Penelitian dilaksanakan bulan November 2009-Juni 2010. Alat yang digunakan adalah peta kawasan, buku panduan lapang “Kelelawar di Indonesia” (Suyanto 2001), GPS, kamera digital, camera trap, binokuler, senter, alkohol 90%, dan panduan wawancara. Objek yang di teliti adalah jenis kelelawar yang diburu, pemburu, pengumpul dan pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak, pengkonsumsi, serta petani durian. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, wawancara, observasi lapangan dan pemasangan camera trap. Data dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelelawar yang diburu adalah kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak. Jenis kalong kapauk lebih banyak diburu daripada lalai kembang dan kusing dayak. Perburuan dengan tujuan komersial ini dilakukan dengan menggunakan jaring, namun ada juga sebahagian kecil yang menggunakan senapan angin dan rawe. Perburuan kalong kapauk berlangsung musiman (musim bunga durian), sedangkan perburuan lalai kembang dan kusing dayak tidak.

Perdagangan kelelawar terjadi secara lokal. Harga seekor kalong kapauk dari pedagang kepada pembeli sekitar Rp 15.000-40.000, sedangkan lalai kembang dan kusing dayak dijual seharga Rp 1.000 per ekor. Bentuk pemanfaatan kelelawar adalah sebagai sumber protein, menu makanan ekstrem, dijadikan serbuk obat asma, dan sebagai tambul. Diperlukan suatu upaya konservasi untuk menyelamatkan populasi kelelawar yang diperkirakan terus menurun ini, yaitu dengan mengadakan penyuluhan mengenai fungsi penting kelelawar, pendidikan konservasi dibangku sekolah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyuluhan pertanian, dan perbaikan habitat kelelawar.

(4)

Some Species of Bats inside and surround Forest Area of Batang Toru, North Sumatra. Under supervision of HARYANTO R. PUTRO and ANI MARDIASTUTI

Most of local people surround Batang Toru Forest Area work at agriculture sectors. Durian and petai are mostly cultivated due to those commodities have high economic value. The main wild animals that help pollination of durian and petai is bat (Chiroptera: Megachiroptera). Not only help durian and petai pollination, but bats also help other plants pollination and spread some seeds. Therefore bats also have function as forest ecosystem keeper. The local people inside and surrounding Batang Toru forest is dominated by Batak ethnic. They are found of consuming bats meat (Pteropodidae). Unsustainable bat hunting is worrying since it can decrease bats population. The aims of study is to get information concerning the hunt and trade of some species of bats inside and surrounding Batang Toru Forest Area from conservation perspective.

The locations of study were at Batang Toru Forest Area, surrounding Batang Toru Forest Area. The study was conducted during November 2009 - June 2010. The tools that were used consisted of map of area, guidance book “Kelelawar di Indonesia”, GPS, digital camera, 2 unit of trap camera, binocular, flash light, watch, alcohol 90% and guidance questioner. The objects of this study were kalong kapauk, lalai kembang and kusing dayak, bats hunters, bats collectors, bats sellers, bats buyers, food shop owners, toddy shop owners, bats consumers and durian farmers. The data was collected through literature study, interview, field observation and video from trap camera. The data then was analyzed descriptively.

The bats trades happen locally. The price of one kalong kapauk can reach Rp 15.000,00 – Rp 40.000,00, while one lalai kembang or kusing dayak is only paid Rp 1.000,00. The utilizations of bats are usually for protein source, extreme menu, medicine and Snacks. Concerning the important aim of bats in the ecosystem, it needs conservation effort to conserve bat population that is getting decrease. The conservation effort can be giving socialization to local people regarding important aim of bats to the ecosystem, delivering conservation education to pupils in the schools, increasing local people welfare by giving agricultural illumination and repairing the habitat of bats.

(5)

Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

(6)

Nama : Ronald Andreas Paja Siagian

NIM : E34050078

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Mengetahui: Ketua Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S NIP. 19580915 198403 1 003

Tanggal:

Pembimbing I,

Ir. Haryanto R. Putro, MS NIP. 19600928 198503 1 004

Pembimbing II,

(7)

segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan pada bulan November 2009-Juni 2010 adalah Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan di bawah bimbingan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.

Maraknya perburuan kelelawar yang terjadi di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) menimbulkan kekhawatiran bagi sebahagian pihak yang peduli terhadap masalah lingkungan. Penulis melakukan penelitian ini untuk melihat kondisi perburuan dan perdagangan kelelawar yang terjadi sejauh ini. Sumber dana dalam pelaksanaan penelitian ini diperoleh dari Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Ekosistem Lestari (LSM YEL).

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2011

(8)

berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Keluarga besar penulis khususnya Bapa dan Mama atas kasih sayang, nasehat, kesabaran, dan dukungan doa.

2. Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc atas semua masukan berharga serta motivasi dan nasihat-nasihatnya kepada penulis. 3. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen

Manajemen Hutan.

4. Ir. Jajang Suryana, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan. 5. Ir. Oemijati Rachmatisjah, MS sebagai dosen penguji dari Departemen

Silvikultur.

6. Yayasan Ekosistem Lestari, Gabriella Fredriksson, Graham User, dan Helga Peters atas kesempatan, masukan-masukan, bantuan selama di lapangan, dan bantuan dana penelitian yang telah diberikan.

7. Seluruh staf YEL Batang Toru (Pinda Sianturi, S.Hut, M Faesal Rakhman Khakim, S.Hut, Sri Mahaini, Jumiatik, Subroto, Waldi Sipahutar, Rijal Simangunsong, Pak Buyung, Con, dan Kalam) atas bantuannya di lapangan. 8. Lina Kristina Dewi, S.Hut dan Insan Kurnia, S.Hut atas masukan dan

bantuannya.

9. Keluarga besar KSHE 42 atas semua perjuangan dan kebersamaannya.

10.Keluarga besar Himakova khususnya Kelompok Pemerhati Gua (G-12) atas semua perjuangan dan kebersamaannya.

11.Keluarga besar KSHE atas bantuannya kepada penulis selama menimba ilmu di IPB.

12.Keluarga besar UKM PMK IPB khususnya Komisi Pelayanan Siswa atas pengalaman dan persahabatan yang dirasakan penulis.

(9)

tanggal 12 Juli 1987 sebagai anak keempat dari empat bersaudara pasangan Arnold Siagian dan Tianur Saragih. Pendidikan formal penulis dimulai di SDN IV Ajamu (1993-1999), kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Yapendak Ajamu (1999-2002). Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU RK Bintang Timur Rantauprapat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru IPB. Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Himakova Kelompok Pemerhati Gua (G-12) tahun 2006-2008, koordinator bidang pelayanan Komisi Pelayanan Siswa Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB tahun 2007-2008, dan wakil koordinator II bidang eksternal Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB tahun 2008-2009. Kegiatan lapang yang pernah diikuti adalah Eksplorasi Fauna dan Flora Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Simpang Bandung (2008).

Kegiatan akademik lapang yang pernah diikuti antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan BKPH Gunung Slamet Barat Baturaden Jawa Tengah (2007), Praktek Pengelolaan Konservasi Eksitu di Kebun Tanaman Obat Karya Sari Leuwiliang Bogor dan Taman Margasatwa Ragunan Jakarta Selatan. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur (2009).

(10)

DAFTAR TABEL ... i

(11)

5.2.1.2 Senapan Angin ... 35

5.4.4 Pemilik Rumah Makan dan Warung Tuak yang Menjual Kalong Kapauk Siap Saji ... 50

(12)

1. Lokasi pasar tradisional yang menjual kalong kapauk, di dalam dan

sekitar KHBT ... 43 2. Karakteristik umum responden pemanfaat kalong kapauk di dalam

dan sekitar KHBT ... 44 3. Asal responden yang menjadi pembeli kalong kapauk di Kabupaten

Tapanuli Tengah ... 49 4. Lokasi dan jumlah rumah makan/warung tuak yang menjual kalong

kapauk siap saji di dalam dan sekitar KHBT, berdasarkan hasil

survei ... 50 5. Lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua

Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ... 56 6. Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing

dayak di Kecamatan Tukka ... 60 7. Kelas umur pemburu lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang

dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap ... 61 8. Jumlah pemburu lalai kembang dan kusing dayak per kelompok

dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap ... 61 9. Luas tanaman, produksi, dan rata-rata produksi durian di Kabupaten

Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, tahun

(13)

1. Kerangka pemikiran penelitian perburuan dan perdagangan

kelelawar di dalam dan sekitar KHBT ... 3

2. Penyebaran geografi kalong kapauk (Sumber: Kunz & Jones 2000) ... 7

3. Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001) ... 15

4. Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006) ... 17

5. Camera trap tipe Sony P41 ... 19

6. Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL) ... 25

7. Kalong kapauk (a), lalai kembang (b), dan kusing dayak (c) ... 32

8. Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring ... 35

9. Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe ... 36

10. Persentase kepemilikan lahan yang dijadikan lokasi penjaringan kalong kapauk ... 37

11. Beberapa lokasi penjaringan kalong kapauk di punggung bukit (a) dan salah satu lokasi penjaringan kalong kapauk (b) ... 38

12. Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara pemburu (n = 69) ... 39

13. Pemburu di Panti menjual hasil tangkapan kepada pengumpul di Panti (a), keranjang pengiriman (b), serta kalong kapauk yang sudah diikat mulut dan sayapnya lalu dikelompokan sesuai ukuran (c) ... 41

14. Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT ... 41

15. Kalong kapauk setelah dibakar (a), masakan daging kalong kapauk (b), dan salah satu rumah makan kalong kapauk siap saji di Desa Tukka (c) ... 42

16. Penjualan kalong kapauk dengan cara berkeliling menggunakan sepeda motor ... 42

17. Persentase responden pemanfaat kalong kapauk berdasarkan masing-masing kategori ... 43

18. Persentase persepsi pemburu mengenai upaya perlindungan kalong kapauk (n = 69) ... 47

(14)

20. Tempat perburuan lalai kembang dan kusing dayak (patca) dengan

memanfaatkan pohon hidup (a) dan menggunakan tiang kayu (b) ... 54 21. Gua Liang (a) dan Gua Anak Liang (b) di dalam KHBT blok Barat,

Kabupaten Tapanuli Utara ... 54 22. Jumlah perburuan yang dilakukan setiap pemburu dari

masing-masing desa/dusun dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ... 56 23. Frekuensi perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang

dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ... 57 24. Sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan (n = 1) ... 58 25. Penanganan lalai kembang dan kusing dayak sebelum dipasarkan:

membuang sayap (a), ditusuk dengan kayu (b), dibakar (c), hasil

setelah dibakar (d), perebusan (e), dan pengasapan (f) ... 59 26. Sampah yang ditinggalkan pemburu (a), tempat masak (b), dan batu

gilingan (c) ... 63 27 Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara

petani durian (n = 59) ... 63 28. Penyebab berkurangnya produksi durian berdasarkan wawancara

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Panduan wawancara kepada pemburu kalong kapauk di dalam dan

sekitar KHBT ... 82 2. Panduan wawancara kepada pemburu lalai kembang dan kusing

dayak di dalam dan sekitar KHBT ... 85 3. Panduan wawancara dengan pengumpul sekaligus pedagang kalong

kapauk, di dalam dan sekitar KHBT ... 86 4. Panduan wawancara kepada pembeli kalong kapauk (untuk

konsumsi sendiri), di dalam dan sekitar KHBT ... 87 5. Panduan wawancara kepada pemilik rumah makan dan warung tuak

yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar

KHBT ... 88 6. Panduan wawancara kepada pengkonsumsi di rumah makan dan

warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam

dan sekitar KHBT ... 89 7. Panduan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan

(16)

Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terletak di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatra Utara. Kawasan HBT berstatus hutan produksi seluas 93.628 ha (68,7%), hutan lindung (register) atau suaka alam seluas 25.315 ha (18,6%) dan area peruntukan lain seluas 17.341 ha (12,7%) (Indra & Fredriksson 2007). Sebahagian besar masyarakatnya memiliki matapencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian. Durian dan petai merupakan jenis tanaman yang banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari oleh masyarakat.

Satwa utama yang membantu penyerbukan durian dan petai adalah kelelawar. Selain durian dan petai, di dalam dan sekitar KHBT terdapat sekitar 184 jenis tanaman lain yang penyerbukannya juga dibantu oleh kelelawar, seperti: nangka, mangga, pisang, jambu serta beragam jenis tanaman penting lainnya yang menghasilkan kayu dan non kayu (Indra & Fredriksson 2007). Kelelawar juga berperan sebagai pemencar biji-bijian yang efektif, karena dapat menyebarkan biji dengan jarak lebih luas. Kelelawar jenis kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) di Malaysia memiliki daya tempuh 60 km dalam semalam (Burns 2009), sedangkan kelelawar jenis lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) memiliki daerah jelajah mencapai radius 40 km dalam semalam (Suyanto 2001).

Ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan habitat dan perburuan secara berlebihan (Suyanto 1979; Maharadatunkamsi et al. 2003; Mulyana 2009). Perburuan kalong kapauk sering terjadi karena satwa tersebut dianggap merugikan (memakan buah-buahan di kebun) dan kurangnya informasi bagi masyarakat (Kencana 2002). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), perburuan satwaliar pada awalnya hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan protein. Pemanenan kemudian berubah menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dari pihak lain (Soehartono & Mardiastuti 2003).

(17)

yang diburu dan diperdagangkan adalah kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890). Ketiga jenis kelelawar ini berasal dari genus yang berbeda-beda dan termasuk dalam kelas Mamalia, subordo Megachiroptera, dan famili Pteropodidae. Kalong kapauk termasuk dalam genus Pteropus (Andersen 1912; Yalden & Morris 1975; Koopman 1993, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001), lalai kembang termasuk dalam subfamili Macroglossinae dan genus Eonycteris (Suyanto 2001), sedangkan kusing dayak termasuk dalam genus Dyacopterus (Suyanto 2001).

Masyarakat di dalam dan sekitar KHBT sudah lama mengenal ketiga jenis kelelawar ini. Kalong kapauk lebih dikenal dengan sebutan haluang, sedangkan lalai kembang dan kusing dayak dikenal dengan sebutan lopong. Lopong merupakan sebutan lokal untuk semua jenis kelelawar yang tinggal di dalam gua. Jenis lopong yang diburu adalah lalai kembang dan kusing dayak, karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Penulis tidak melakukan identifikasi terhadap jenis kelelawar lain yang tidak diburu oleh masyarakat.

Perburuan dan pedagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak yang berlangsung secara terus menerus dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan populasi dari ketiga jenis kelelawar tersebut. Penurunan populasi kelelawar ini dapat mengakibatkan produktivitas buah durian, petai dan jenis tanaman budidaya lainnya menurun, serta terganggunya ekosistem di KHBT. Penelitian mengenai perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT perlu untuk dilakukan.

1.2 Perumusan masalah

(18)

konservasi terhadap jenis kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak khususnya di dalam dan sekitar KHBT.

1.3 Kerangka pemikiran

Kelelawar memiliki peranan penting dalam membantu proses penyerbukan dan pemencaran biji tumbuhan. Perburuan secara tidak lestari dikhawatirkan dapat menekan populasinya di alam, karena perkembangbiakannya yang berlangsung lambat. Perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT perlu segera disurvei untuk melihat kondisi yang sebenarnya, sehingga dapat dilakukan upaya yang tepat untuk mendukung pelestarian dari ketiga jenis kelelawar ini. Kerangka penelitian perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian perburuan dan perdagangan kelelawar di dalam dan sekitar KHBT.

1.4 Maksud dan tujuan

Maksud dan tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar yang terjadi di dalam dan sekitar KHBT, dalam upaya konservasi kelelawar.

Upaya-upaya konservasi Survei pasar tradisional

Persepsi para pihak

Populasi berkurang

1. Produktivitas kebun buah berkurang 2. Ekosistem di KHBT

terganggu Kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing

dayak di dalam dan sekitar KHBT

Diburu secara tradisional

Konsumsi sendiri Diperdagangkan

(19)

1.5 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam:

1. Menyediakan informasi mengenai sistem perburuan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar KHBT.

2. Menyediakan informasi mengenai kajian perdagangan dan pemanfaatan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar KHBT.

(20)

Kelelawar termasuk Ordo (bangsa) Chiroptera dan memiliki 2 subordo

(anak bangsa), yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera

umumnya berukuran besar, telinga tidak memiliki tragus/antitragus, jari sayap

kedua umumnya bercakar dan terdiri dari dua tulang jari, serta pemakan buah dan

nektar (Standbury 1970; Yalden & Morris 1975; Feldhamer 1999; Kunz & Jones

2000; Suyanto 2001). Microchiroptera pada umumnya berukuran kecil, telinga

memiliki tragus/antitragus, jari sayap kedua tidak bercakar, tidak memiliki tulang

jari, dan pemakan serangga (Standbury 1970; Feldhamer 1999; Kunz & Jones

2000; Suyanto 2001), serta pemakan ikan dan darah (Feldhamer 1999). Perbedaan

lainnya adalah dari cara melihat, ukuran dan bentuk sayap, orientasi mencari

pakan (Feldhamer 1999) dan tingkat ketajaman indra penciumannya (Standbury

1970). Megachiroptera memiliki mata yang lebih besar, penciuman yang baik, dan

memiliki lidah yang panjang (Standbury 1970).

Di dunia ada 18 suku, sekitar 192 marga, dan 977 jenis kelelawar (Nowak

1999, diacu dalam Suyanto 2001). Meskipun memiliki jumlah jenis yang banyak

(terbesar kedua setelah Rodentia dalam kelas Mamalia), namun umumnya anggota

individu masing-masing jenis tidak banyak (Suyanto 2001). Di Indonesia ada 205

atau 21% jenis kelelawar di dunia yang sudah diketahui, sembilan suku dari

jenis-jenis ini termasuk dalam 52 marga (Suyanto 2001). Kesembilan suku tersebut

terdiri dari Subordo Megachiroptera (Pteropodidae) dan Subordo Microchiroptera

(Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae,

Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Molossidae) (Suyanto 2001).

Selain memiliki tingkat adaptasi yang baik kelelawar juga memiliki daerah

penyebaran yang bersifat kosmopolit, karena ditemukan hampir diseluruh wilayah

di muka bumi kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terisolasi (Stadbury 1970;

Vaughan 1986). Menurut Suyanto (2001), kelelawar dapat tinggal di kolong

atap-atap rumah, terowongan-terowongan, di bawah jembatan, rerimbunan dedaunan,

gulungan daun pisang/palem, celah bambu, lubang-lubang batang pohon dan

pohon-pohon besar. Musuh alami kelelawar adalah ular sanca, ular hijau, elang

(21)

2.1.1 Kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758)

Kalong kapauk termasuk dalam Subordo Megachiroptera, famili

Pteropodidae dan Genus Pteropus, serta memiliki 58 jenis (Andersen 1912; Yalden & Morris 1975; Koopman 1993, diacu dalam Kunz & Jones 2000;

Suyanto 2001). Menurut Andersen (1912), kalong kapauk mempunyai beberapa

sub spesies yaitu P. v. malaccensis di Sumatera, Malaysia, Burma, Muangthai dan Vietnam; P. v. vampyrus di Jawa; P. v. pluton di Bali dan Lombok; P. v. edulis di Timor dan Pulau Sawu; P. v. natunae di Pulau Natuna (Bunguran, Pulo Panjang) dan Kalimantan; P. v. lanensis di Filipina.

Nama ”pteropus” berasal dari bahasa Yunani ”pteron” yang berarti sayap,

sedangkan ”vampyrus” berasal dari bahasa Perancis dan Jerman ”vampir” yang

berarti penghisap darah, sebutan untuk kelelawar penghisap darah (Suyanto 1979).

Sebutan ”vampir” bertentangan dengan sifat binatang yang bersangkutan, karena

makanannya berupa buah-buahan dan sama sekali tidak menghisap darah

(Suyanto 1979). Kalong kapauk memiliki nama lain: keluang, paniki, kabog, giant

flying fox, island flying fox, Malayan flying fox, Malayan large flying fox,

Malaysian flying fox, common flying fox, Sunda Island flying fox, large fruit bat,

Malacca fruit bat, dan red-necked fruit bat (Kunz & Jones 2000).

Ciri-ciri umum yang dimiliki kalong kapauk menurut Suyanto (1979)

adalah panjang badan dan kepala dapat mencapai 40 cm, kepala mirip anjing,

berwarna kuning kemerah-merahan sampai coklat kehitam-hitaman (warna ini

hanya sampai kebahu, sedangkan sisanya kehitam-hitaman), betis dan sayap tidak

berambut , panjang telinga 4-5 cm dengan ujung meruncing, membran antar paha

tidak tumbuh di tengah, rigi platum (tonjolan kulit pada langit-langit) 5+5+3 atau

5+51/2 atau 6+3, betis bagian atas tidak berbulu, basal ledge belakang pada graham tidak tumbuh, dan lengan bawah panjangnya mencapai 18-22 cm. Kalong

kapauk tidak memiliki ekor (Taylor 1934, diacu dalam Kunz & Jones 2000).

Kalong kapauk juga dapat dibedakan dengan jenis lainnya melalui warna

bulu (Ingle & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Warna dan bentuk

bulu kalong kapauk bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin (Goodwin

1979, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Kalong kapauk remaja biasanya

(22)

Jones 2000). Bulu jantan terlihat sedikit lebih kaku dan lebih tebal dibandingkan

betina (Taylor 1934, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Jantan juga mempunyai

kelenjar neck-tufts yang kaku di leher (Andersen 1912).

Menurut Ingle dan Heaney (1992) diacu dalam Kunz dan Jones (2000),

kalong kapauk memiliki berat badan kira-kira mencapai 645–1,092 gram.

Menurut Suyanto (1979), berat kalong kapauk dewasa sekitar 600 - 1.400 gram.

Menurut Yalden dan Morris (1975), berat kalong kapauk dapat mencapai 1.200

gram, yang sama dengan berat seekor kelinci. Panjang rentang sayap 1,320–1,500

m (Yalden & Morris 1975; Ingle & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones

2000; Suyanto 2001).

Menurut Andersen (1912), kalong kapauk terdapat hampir diseluruh

wilayah Wallace Indo-Malayan (Gambar 2). Kalong kapauk terdapat mulai dari

selatan Burma dan Thailand bagian timur sampai ke Filipina dan ke Selatan

Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Timor (Andersen 1912). Di Semenanjung

Malaysia dan Kalimantan, kalong kapauk umumnya berada di wilayah pantai,

tetapi juga terdapat pada ketinggian sampai 1,370 m dpl (Medway 1969, diacu

dalam Kunz & Jones 2000). Menurut Liat (1966), di Malaysia kalong kapauk

dapat ditemukan di hutan-hutan dataran rendah yang hinggap bergantungan di

pohon-pohon besar dengan ketinggian antara 100-150 kaki dari permukaan tanah.

(23)

Menurut Lekagul dan McNeely (1975), penyebaran kalong kapauk hampir

meliputi seluruh kawasan Asia Tenggara, yaitu dapat dijumpai di dataran rendah

sampai dataran tinggi dengan ketinggian kurang lebih 1.300 m dpl. Sarang kalong

kapauk juga dapat ditemukan di hutan-hutan mangrove, dimana jenis ini

berkelompok dalam jumlah yang lebih kecil dengan jumlah antara 20-150 ekor

setiap kelompoknya (Liat 1966). Kalong kapauk dalam koloni yang besar,

mungkin dapat berkisar ratusan sampai ribuan individu (Liat 1966).

Menurut Dharmawan (1987), kalong kapauk yang ada di Pulau Rambut

Kepulauan Seribu hanya menggunakan dua tipe hutan, yaitu: hutan payau

(mangrove) dan tipe hutan sekunder dataran rendah. Pada hutan payau, jenis

pohon tempat istirahat adalah bakau merah (Rhizopora mucronata), sedangkan pada hutan sekunder dataran rendah, jenis pohon yang digunakan adalah pohon

kepuh (Sterculia foetida), kedoya (Amoora aphanamixis), dan kesambi (Schleichera oleosa) (Dharmawan 1987). Pohon-pohon yang disenangi adalah pohon tertinggi, mudah dijangkau, bercabang banyak, dan kuat, serta cabangnya

menyebar luas (Dharmawan 1987).

Menurut Pieters (1953) diacu dalam Suyanto (1979), kalong kapauk di

alam memakan buah semacam beringin (Ficus) dan kersen (Muntingia calabura). Kalong kapauk juga makan bunga dan daun muda untuk mendapatkan serbuk sari

dan air, terutama pada musim kering. Bunga randu (Ceiba pentandra), durian (Durio zibethinus) dan kelapa (Cocos nucifera) sangat disukai kalong kapauk. Menurut Yalden dan Morris (1975), makanan kalong kapauk adalah buah, nektar,

dan serbuk sari. Selain kalong kapauk, Chiroptera pemakan buah, nektar, dan

serbuk sari lainnya adalah Phyllostomidae yang berasal dari Subordo Microchiroptera (Yalden & Morris 1975).

Tipe pohon-pohon yang disenangi kalong kapauk untuk tempat bersarang

mempengaruhi penyebarannya. Pteropus spp. lebih menyenangi pohon-pohon yang tinggi dengan cabang-cabangnya yang menyebar luas (Liat 1966). Kalong

kapauk sering bersarang pada satu pohon tertentu atau satu kelompok pohon, dan

dari tahun ketahun kalong kapauk tersebut enggan (malas) meninggalkan tempat

yang telah disenanginya itu (Liat 1966). Perilaku umum dari kalong kapauk ini

(24)

tanaman atau ketersediaan makanannya (Payne et al. 1985, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Liat 1966). Kalong kapauk melimpah pada bulan April-Juni dan

Desember-Januari setiap tahunnya, karena pada waktu-waktu tersebut adalah

musim buah-buahan (Liat 1966).

Di Semenanjung Malaysia, puncak kebuntingan kalong kapauk terjadi

pada bulan November sampai Januari (Medway 1969, diacu dalam Kunz & Jones

2000), tetapi dapat juga pada waktu yang berbeda (Heideman & Heaney 1992,

diacu dalam Kunz & Jones 2000). Di Thailand, induk kalong kapauk melahirkan

anak secara bersamaan pada bulan Maret atau April (Heideman & Heaney 1992,

diacu dalam Kunz & Jones 2000; Lekagul & McNeely 1977). Kalong kapauk

berkembangbiak dengan melahirkan anak dengan masa buntingnya sekitar 6 bulan

dan jumlah anak seekor pada setiap kelahiran (Lecagul & McNeely 1977; Suyanto

1979). Umumnya masa kelahiran bayi kalong kapauk dipengauhi oleh musim

buah, yaitu bersamaan dengan musim buah-buahan, tetapi dapat juga

berbeda-beda berdasarkan letak wilayahnya (Lecagul & McNeely 1977).

Menurut Yalden dan Morris (1975), faktor lingkungan yang

mempengaruhi musim kawin (breeding) pada hewan mamalia pada umumnya adalah perubahan cahaya (bertambah atau berkurangnya sepanjang hari), curah

hujan dan temperatur (suhu). Setiap kalong kapauk yang berada di daerah

beriklim sedang adalah jenis monoestrous, yaitu hanya memiliki satu masa bereproduksi dalam setahun dan menghasilkan seekor anak setiap kelahirannya.

Di daerah tropis, cahaya dan temperatur relatif stabil dan beberapa jenis

kalong kapauk di daerah ini seharusnya akan berbiak setiap bulannya, tetapi

ternyata kalong kapauk hanya menghasilkan anak seekor setiap tahunnya (Yalden

& Morris 1975). Beberapa jenis kelelawar di daerah tropis memiliki musim kawin

yang dibatasi oleh siklus tahunan melalui pergantian hujan, sehingga anak kalong

kapauk akan dilahirkan dengan mengikuti musim berbunga atau musim buah

(Yalden & Morris 1975).

Menurut Yalden dan Morris (1975), sebelum melahirkan induk-induk

kalong kapauk mengalami pemisahan sex terlebih dahulu. Induk-induk yang

bunting tersebut kadang-kadang ditemani oleh beberapa ekor betina yang masih

(25)

pemisahan induk-induk bunting dengan pejantan untuk mengurangi adanya

kekacauan dan persaingan makanan (Yalden & Morris 1975).

Janin kalong kapauk sangat besar, terkadang mencapai sepertiga berat

induknya (Yalden & Morris 1975). Bayi yang baru lahir menempel pada induknya

dan untuk beberapa hari pertama turut dibawa terbang dalam pencarian makanan.

Setelah itu ditinggalkan di pohon tempat istirahat setiap kali induknya mencari

makan (Yalden & Morris 1975). Kalong kapauk umumnya sudah dapat terbang

sendiri pada usia sekitar 2 - 3 bulan (Yalden & Morris 1975). Karena jumlah bayi

yang berasal dari satu induk sangat kecil, populasi kalong kapauk memiliki

tingkat pertumbuhan yang lambat. Mungkin ini diimbangi dengan masa hidupnya

yang lama (Yalden & Morris 1975).

Perilaku satwa merupakan suatu reaksi (ekspresi) satwa terhadap

faktor-faktor yang mempengaruhi baik itu faktor-faktor internal yang berasal dari dalam tubuh

satwa dan dipengaruhi oleh sifat genetik, maupun faktor eksternal yaitu

rangsangan dari lingkungan (Suratmo 1979). Perilaku merupakan gerak-gerik

satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan

rangsangan dari lingkungannya. Fungsi perilaku adalah untuk menyesuaikan diri

terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam

(Alikodra 2002).

Kalong kapauk merupakan satwa yang aktif pada malam hari yang selalu

berkoloni dalam kelompok kecil sampai besar dan beristirahat pada siang hari

dengan cara menggantung ke bawah dan kuku kaki mencengkram cabang (ranting

pohon), sehingga pohon-pohon yang dihuninya terlihat seperti dipenuhi oleh

daun-daun kering yang berwarna coklat (Suyanto 2001). Sebagian kecil tinggal di

gua, umumnya tinggal di tajuk pepohonan di antara dedaunan yang rimbun

(Suyanto 2001). Koloni kalong kapauk diatur berdasarkan kelompok belum

dewasa dan dewasa belum berkembang biak. Pada sekeliling kelompok kalong

kapauk, jantan bertindak sebagai penjaga, yang akan memberikan alarm yang

keras jika terdapat gangguan (Yalden & Morris 1975).

Disebutkan juga oleh Yalden dan Morris (1975) bahwa suatu koordinasi

dan prilaku kelompok yang lebih tinggi terjadi pada kalong kapauk yang hidup

(26)

terlokalisasi dimana terdapat buah-buahan. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh

kelelawar pemakan serangga untuk mencari makan secara bersama-sama dan

berdekatan, karena makanannya sangat mobil dan tersebar (Yalden & Morris

1975).

2.1.2 Lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871)

Lalai kembang termasuk dalam Subordo Megachiroptera, famili

Pteropodidae, Subfamili Macroglossinae, dan Genus Eonycteris (Corbet & Hill 1992, diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Suyanto 2001).

Menurut Andersen (1912), Genus Eonycteris terdiri dari 3 jenis, yaitu E. spelaea (Dobson, 1871), E. major (Andersen, 1910), dan E. rosenbergii (Jentink, 1889). Di Indonesia genus Eonycteris hanya terdapat 2 jenis saja, yaitu: E. major (Andersen, 1910), yang penyebarannya di Kalimantan dan E. spelaea (Dobson, 1871) yang memiliki daerah penyebaran di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa

Tenggara, dan Sulawesi (Suyanto 2001). Lalai kembang memiliki nama Inggris

Dawn bat, Common dawn bat, Common nectar bat, Lesser dawn bat (IUCN

2008).

Lalai kembang memiliki penyebaran di India, Myanmar, Thailand,

Indocina, Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa

Tenggara, dan Sulawesi) (Corbet & Hill 1992, diacu dalam Maharadatunkamsi et al. 2003; Suyanto 2001). Selain itu, di Indonesia lalai kembang juga dapat ditemukan di Bali, Lombok, Sumba, Muna, Sanana, Halmahera, Batjan dan

Tidore (IUCN 2008). Habitat lalai kembang adalah di berbagai tipe hutan, mulai

dari hutan primer sampai lahan pertanian campuran (IUCN 2008). Sedangkan,

menurut Suyanto (2001) Eonycteris tinggal di gua-gua atau ceruk-ceruk batuan pada mintakat peralihan atau gelap total.

Ciri-ciri yang dimiliki lalai kembang adalah: jari kedua tanpa cakar,

moncong panjang, lidah panjang, bulu pendek halus seperti beludru, ada sepasang

kelenjar dekat anus yang berbentuk seperti ginjal, lengan bawah sayap 60-85 mm,

betis 25-40 mm, kaki belakang dengan cakar 17-21 mm, dan ukuran telinga 16-22

mm (Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Suyanto 2001). Menurut Suyanto

(27)

sayap 60-81 mm dan berwarna lebih terang, sedangkan E. major memiliki ukuran lengan bawah sayap 72-85 mm dan berwarna lebih gelap.

Lalai kembang merupakan kelelawar berukuran sedang (kira-kira 53–84 g)

yang bertengger di dalam gua dalam koloni besar dan berpergian dengan jarak

yang jauh untuk mencari makanan berupa nektar dan serbuk sari (Corbet & Hill

1992 diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Hill & Smith 1984 diacu

dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Kitchener et al. 1990 diacu dalam Maharadatunkamsi et al. 2003). Banyak jenis tanaman yang bergantung pada kelelawar ini untuk penyerbukan dan penyebaran biji, tetapi jumlah populasinya

mengalami penurunan karena pengrusakan habitat, gangguan pada gua, dan

perburuan (Maharadatunkamsi et al. 2003).

Tercatat lebih dari 4.000 individu lalai kembang ditemukan di gua-gua

Batu di Malaysia (Bates dan Harrison 1997 diacu dalam IUCN 2008). Di Pulau

Palawan ditemukan dua populasi, satu melebihi 2.000 individu dan lain yang

mungkin melebihi 50.000 individu (Esselstyn et al. 2004 diacu dalam IUCN 2008). Sepanjang tahun, seekor lalai kembang betina hanya melahirkan satu anak

(Bates dan Harrison 1997diacu dalam IUCN 2008). Sedangkan menurut Suyanto

(2001), secara umum suku Pteropodidae memiliki masa bunting 3-6 bulan, dengan

melahirkan seekor anak dalam setiap kelahiran. Menurut Heideman & Utzurrum

(2003), di Filipina lalai kembang memiliki pola musim kawin yang sama dengan

Rousetus amplexicaudatus dan Macroglossus minimus, dengan 2 musim kelahiran setiap tahun, yaitu pada pertengahan bulan Maret atau April dan Agustus atau

September.

2.1.3 Kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890)

Kusing dayak termasuk dalam subordo Megachiroptera, famili

Pteropodidae, dan genus Dyacopterus (Suyanto 2001). Kusing dayak memiliki nama Inggris Dayak fruit bat dan Dyak fruit bat (IUCN 2008). Menurut Suyanto

(2001), genus Dyacopterus hanya memiliki satu jenis anggota, yaitu kusing dayak D. spadiceus (Thomas, 1890). Kusing dayak dapat ditemukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand (IUCN 2008). Menurut Suyanto (2001)

(28)

Menurut Suyanto (2001), ciri-ciri kusing dayak adalah: bentuk geraham

atas (P3, P4) dan geraham bawah (P3, P4, dan M1) menyerupai segiempat

berukuran besar, P3 berukuran 2,87-3,01 x 2,36-2,60 mm, P4 berukuran 2,52-2,90

x 2,32-2,61 mm, P3 berukuran 3,38-3,60 x 2,21-2,31 mm, dan P4 berukuran

3,06-3,17 x 2,35-2,67 mm. Rumus gigi I1I2CP3P4M1/I1I2CP1P3P4M1M2 dengan M1 jauh

lebih kecil daripada P4, (dibandingkan dengan Cynopterus yang hampir sama besarnya), crista sagittalis tumbuh baik, ada celah antara gigi seri nomor 2 dengan taring atas (Suyanto 2001). Selanjutnya, Suyanto (2001) menyatakan lengan

bawah sayap berukuran 76-92 mm, betis 27 mm, telinga 17-21 mm, warna wajah

kehitaman, bahu kekuningan, coklat pada daerah punggung dan sisi samping

badan, serta keputih-putihan pada dada dan perut.

2.2 Fungsi di alam

Fungsi kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak di alam sangat

besar. Dilihat dari segi ekologi, kalong kapauk dapat memencarkan biji

pohon-pohon yang menghasilkan buah ke tempat-tempat yang lebih luas dibandingkan

dengan yang dapat dilakukan oleh binatang-binatang lainnya (Suyanto 1979).

Peran ini akan sangat penting dalam hal pemulihan hutan di lokasi-lokasi yang

rusak akibat aktivitas penebangan hutan ataupun akibat bencana alam (Suyanto

1979). Kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak juga berperan dalam

penyerbukan pohon-pohon di hutan, termasuk pohon-pohon dengan nilai

komersial tinggi seperti durian, randu, dan jenis-jenis lainnya di hutan mangrove

(Suyanto 1979).

Fungsi kalelawar secara umum, selain fungsi yang telah disebutkan diatas

adalah sebagai pengendali hama serangga, penghasil pupuk guano (lalai kembang

E. spelaea Dobson, 1871) dan tambang fosfat di gua-gua, sebagai obyek wisata, bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan yang tidak kalah

pentingnya daging dan hati kalong kapauk ternyata merupakan penawar asma

yang baik, walaupun belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Suyanto 1979).

Menurut Suyanto (1979) dibeberapa tempat di Indonesia daging kalong

kapauk dianggap lezat, tetapi kebanyakan orang enggan memakannya karena

baunya yang tidak sedap. Disamping dagingnya, tulang lengan bawah kalong

(29)

(1968) diacu dalam Suyanto (1979) oleh penduduk tertentu lemaknya digunakan

untuk menyuburkan rambut kepala dan menyembuhkan penyakit encok. Ada pula

yang mengatakan hati kalong kapauk dicampur hati codot (Macroglossus minimus) dan cleret gombel (Draco volans), setelah dimasak dapat menyembuhkan penyakit asma yang berat (Suyanto 1979).

2.3 Alat dan cara perburuan

Peraturan yang mengatur perburuan satwaliar terdapat pada bab 4 pasal 17

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999, tentang

pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar. Perburuan jenis satwaliar dalam

peraturan tersebut dilakukan untuk keperluan olah raga buru (sport hunting), perolehan trofi (hunting trophy), dan perburuan tradisional oleh masyarakat setempat. Penangkapan kelelawar dapat dilakukan untuk tujuan penelitian,

khususnya bagi jenis-jenis yang belum diketahui identitasnya (Suyanto 2001).

Alat penangkapan kalelawar meliputi jaring kabut (mistnet), jaring harpa dan jaring serangga (jaring bertangkai) (Suyanto 2001). Di Indonesia alat yang

biasa dipakai untuk menangkap kalelawar adalah jaring kabut (Gambar 3a) dan

jaring serangga (Gambar 3b) (Suyanto 2001). Jaring kabut yang dipakai untuk

menangkap kalelawar adalah jaring yang memiliki mesh (lebar mata jaring) 30-32 mm, dan ketebalan benang jaring 80 Denier (1 Denier = berat 9000 m benang

nilon dalam gram), serta benang nilon yang terdiri dari untaian rangkap (Suyanto

2001). Di dalam gua yang berlangit-langit rendah jaring bertangkai biasanya

sangat efektif untuk menangkap kelelawar. Sedangkan, untuk gua yang

berlangit-langit tinggi dapat menggunakan jaring kabut dengan mengikatkannya pada kedua

tiang, lalu menggerakkan kedua tiang kearah kelelawar (Suyanto 2001).

Suyanto (2001) melanjutkan bahwa tempat paling baik untuk memasang

jaring adalah di tempat kelelawar tidur atau sedang mencari makan, seperti di

sekitar pohon yang sedang berbuah (jambu, beringin dan lain-lain), pohon randu

atau pisang yang sedang berbunga dan di sekitar tempat koloni laron atau semut

terbang. Jaring dapat dipasang menyusuri tepi hutan, atau punggung bukit,

menyilang lorong-lorong atau jalan setapak yang dilalui kelelawar (Suyanto

(30)

tumbuhannya lebat biasanya tidak dilalui kelelawar karena kelelawar tidak bisa

menggunakan sayapnya dengan bebas untuk terbang (Suyanto 2001).

Gambar 3 Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001).

Selain alat-alat yang telah disebutkan diatas, cara lain yang biasa

digunakan pemburu kalong kapauk adalah dengan menggunakan senapan angin,

jala ikan (jaring), dan layangan. Penangkapan dengan senapan angin dan jala ikan

pernah dilakukan di Kebun Raya Bogor, ketika populasi kalong kapauk

dinyatakan mengalami peningkatan yang begitu cepat dan dinyatakan dapat

mengakibatkan kematian pohon koleksi (Susetyo 2007). Penangkapan dengan jala

ikan yang dimaksudkan adalah menangkap dengan menggunakan jaring semacam

net untuk permainan bola voli. Jaring dipasang dengan tali kemudian dinaikkan

hingga membentang di lintasan udara yang biasa dilalui kalong kapauk. Dalam

sehari, sejak matahari terbenam hingga subuh, rata-rata tertangkap 30-40 ekor

(Susetyo 2007). Cara penangkapan dengan jaring ini juga yang dilakukan

penangkap kalong kapauk di kawasan Bukit Tangkiling di Palangkaraya dan di

hutan Timpah, arah ke Buntok Kabupaten Barito Selatan (Zainuddin 2009).

Penangkapan kalong kapauk dengan layangan pernah dilakukan oleh

warga Sirenjang Jambi, yang mana di daerah ini kalong kapaukdianggap sebagai

hama pertanian (Pakde 2009). Pada tali layangan dipasang mata kail (pancing)

yang cukup banyak dengan tujuan kalong kapauk akan tersangkut di mata kail

tersebut ketika layangan diterbangkan (Pakde 2009). Biasanya layangan

diterbangkan sampai ketinggian 100 m dan dilakukan dari pukul 17.00−18.30

WIB, yaitu ketika kalong kapauk baru mulai keluar dari sarang untuk mencari

makan sampai hari mulai gelap. Dalam sehari mereka dapat menangkap 8 ekor

(31)

2.4 Perdagangan

Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis

tumbuhan dan satwaliar, pada bab 5 pasal 18 menjelaskan bahwa:

(1) Tumbuhan dan satwaliar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwaliar

yang tidak dilindungi.

(2) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari:

hasil penangkaran, pengambilan atau penangkapan dari alam.

Pada awalnya pemanenan hidupan liar hanya ditujukan untuk kebutuhan

masyarakat sehari-hari, misalnya untuk memenuhi kebutuhan protein (Soehartono

& Mardiastuti 2003). Selanjutnya kegiatan pemanenan ini kemudian berubah

menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dengan pihak lain

(Soehartono & Mardiastuti 2003). Pada skala nasional, perdagangan hidupan liar

dapat menyumbangkan devisa bagi negara, meskipun jika dibandingkan dengan

sumberdaya lainnya, seperti minyak, gas dan kayu, nilai hidupan liar memang

tergolong sangat kecil (Soehartono & Mardiastuti 2003).

Kalong kapauk terdaftar dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora (CITES), yaitu pada Appendix II. Jenis ini akan menjadi terancam punah jika perdagangannya tidak diatur (Brautigan

1992 diacu dalam Kunz & Jones 2000; Soehartono & Mardiastuti 2003).

Kelelawar jenis lalai kembang dan kusing dayak belum masuk kedalam daftar

CITES.

Pelaku perdagangan sumberdaya alam (Gambar 4) pada umumnya

mencakup pengumpul dan penjual sumberdaya alam atau collector, pembeli sekaligus penjual atau trader, pembeli sekaligus penjual sekala besar atau large-scale trader, serta pembeli dan pengguna atau consumer (MWBP 2006). Di Kalimantan Tengah, penangkap kalong kapauk dari hutan membawa hasil

buruannya ke kota-kota besar seperti ke Palangkaraya, dan menjualnya dengan

harga partai (Zainuddin 2009). Kemudian kalong kapauk tersebut dibeli pedagang

pengecer kemudian dijual di beberapa tempat, bukan hanya di pinggir jalan tetapi

(32)

Gambar 4 Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006).

Menurut Suyanto (2001), di Indonesia semua jenis kalelawar belum

dilindungi oleh undang-undang. Berbeda dengan di negara-negara maju dimana

kelelawar hanya boleh ditangkap oleh peneliti saja. Isu yang beredar di

masyarakat daging dan hati kalong kapauk dipercaya menjadi penyembuh

penyakit asma yang baik, walaupun belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Suyanto

1979). Selain untuk tujuan penyembuhan penyakit, kalong kapauk juga diperjual

belikan di pasar untuk dikonsumsi dagingnya (Suyanto 1979). Seperti halnya yang

terjadi di Palangkaraya, daging kalong kapauk disukai bukan hanya karena enak

rasanya, tetapi ternyata daging ini juga berkhasiat obat, seperti obat asma, obat

pedarahan, atau sangat baik bagi ibu yang baru melahirkan (Zainuddin 2009).

Masakan kalong kapauk dapat disop, dibuat makanan kare, dibuat gorengan, atau

dibakar begitu saja (Zainuddin 2009).

Harga kalong kapauk berbeda-beda berdasarkan tempat dan waktunya.

Pada waktu musim buah populasi kalong kapauk akan meningkat dan harga

kalong kapauk akan menurun (Khairulid 2005). Di Medan, kalong kapauk

dihargai mulai dari 40 ribu hingga 70 ribu rupiah per ekornya, bergantung hasil

tawar-menawar (Khairulid 2005). Di Sirenjang Jambi, kalong kapauk dijual

kepada orang Cina seharga 15 ribu rupiah (Pakde 2009). Sedangkan di

Palangkaraya, Misdan yang biasa menjual 115 ekor per harinya biasa menjual

(33)

2.5 Upaya konservasi

Berdasarkan Red List IUCN (2008) versi 3.1, kalong kapauk terdaftar

sebagai hampir terancam (Near Threatened; NT), karena jenis ini menurun secara

signifikan akibat pemanenan secara berlebihan untuk dimakan, dan karena

terus-menerus mengalami degradasi habitat di hutan primer (IUCN 2008). Berbeda

dengan lalai kembang yang berstatus risiko rendah (Least Concern; LC), karena lalai kembang memiliki disribusi yang luas, diduga populasinya besar di sejumlah

kawasan lindung, dapat mentoleransi sedikit banyak perubahan habitat, dan

karena tidak mungkin mengalami penurunan populasi yang begitu cepat (IUCN

2008). Sedangkan, kusing dayak terdaftar sebagai hampir terancam (Near

Threatened; NT) karena hilangnya habitat secara luas, sehingga membuat spesies

dekat dengan kualifikasi untuk Rentan di bawah kriteria A (IUCN 2008).

Ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan atau rusaknya habitat,

dan perburuan secara berlebihan (Suyanto 1979; Maharadatunkamsi et al. 2003; Mulyana 2009). Banyak jenis kelelawar yang mencari makan di hutan hujan tropis

dan menyesuaikan hidupnya dengan kondisi sekitarnya. Ketika hutan tersebut

dikonversi maka akan ada banyak kelelawar yang tidak mampu bertahan hidup

bahkan akan mati (Suyanto 2001). Di Semenanjung Malaysia, Sumatera,

Thailand, Vietnam dan pulau sekitarnya, populasi kalong kapaukterancam punah

akibat penurunan jumlah hutan mangrove, perdagangan, dan pembukaan lahan

hutan menjadi perkebunan karet (Heideman & Heaney 1992, diacu dalamKunz &

Jones 2000). Metode perlindungan yang baik adalah dengan melindungi

kelompok-kelompok kalong kapaukdi pulau-pulau kecil.

Menurut Kepala Balai Zoologi LIPI, Ahmad Johan Arif diacu dalam

Mulyana (2009), populasi jumlah kalong kapauk di KRB mulai berkurang akibat

pengaruh pembangunan Kota Bogor. Penangkapan kelelawar untuk dimakan

secara berlebihan juga dapat mengancam populasinya, karena

perkembangbiakannya yang berlangsung sangat lambat (Suyanto 2001). Selain

(34)

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 15 November 2009 - 15 Juni 2010. Lokasi penelitian berada di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT), yaitu: di Kabupaten Tapanuli Utara, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Padang Sidempuan, dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Lokasi penelitian perburuan lalai kembang dan kusing dayak berada di Gua Liang, yaitu di salah satu gua yang ada di dalam KHBT blok Barat. 3.2 Alat dan bahan

Alat yang digunakan adalah: peta kawasan, Global positioning System (GPS), kamera digital, 2 unit camera trap tipe Sony P41 (Gambar 5), binokuler, alat penerangan (senter), pengukur waktu, alkohol 90%, dan panduan wawancara. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah: kalong kapauk, lalai kembang, kusing dayak, dan sebahagian kecil dari masyarakat di dalam dan di sekitar KHBT yang terlibat dalam kegiatan perburuan dan perdagangan ketiga jenis kelelawar tersebut, serta petani durian.

Gambar 5 Camera trap tipe Sony P41 3.3 Jenis data yang dikumpulkan

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian (Gulo 2002). Jenis-jenis data yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut:

1. Jenis kelelawar yang diburu dan diperdagangkan.

(35)

3. Data perdagangan, yaitu: rantai perdagangan kelelawar dan lokasi penjualan. 4. Karakteristik responden pemanfaat kelelawar (pemburu, pengumpul dan

pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, dan pengkonsumsi kalong kapauk siap saji).

5. Data kondisi habitat, yaitu: pembukaan KHBT beberapa tahun terakhir, perubahan luas area kebun durian, posisi koordinat mulut gua, tinggi dan lebar mulut gua, jarak dengan pemukiman penduduk, bukti-bukti aktivitas perburuan, dan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perburuan tersebut. 6. Data kebun durian, yaitu: karakteristik petani durian, waktu musim berbunga

durian, hasil panen buah durian beberapa tahun terakhir, penyebab penurunan panen buah (bila panen menurun), dan pengaruh keberadaan kelelawar bagi kebun durian.

Selain data diatas, data penunjang penelitian yang diperlukan adalah kondisi umum lokasi penelitian (letak dan luas, topografi dan geologi, iklim, dan potensi flora maupun fauna), kondisi masyarakat di lokasi penelitian, dan peta lokasi penelitian.

3.4 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan metode Triangulasi, yaitu menggunakan beberapa metode pengumpulan data dan analisis data sekaligus dalam sebuah penelitian, termasuk menggunakan informan sebagai alat uji keabsahan dan analisis hasil penelitian (Bungin 2003). Beberapa tahap yang dilakukan yaitu: (1) melakukan studi literatur dan konsultasi dengan ahli, (2) melakukan pengumpulan data di lapangan dengan pengamatan (observasi), wawancara dan pemasangan camera trap, (3) melakukan pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan hasil mengenai gambaran perburuan dan perdagangan kelelawar. Pendokumentasian dilakukan dalam setiap kegiatan pengumpulan data di lapangan.

3.4.1 Pengamatan (observasi)

(36)

dalam aktivitas orang yang diteliti tanpa membatasi diri hanya sebagai pengamat saja (Gulo 2002). Pengamatan dilakukan di lokasi perburuan kalong kapauk yang termasuk dalam lokasi penelitian, dan di Gua Liang (habitat kelelawar) yang mejadi lokasi perburuan lalai kembang dan kusing dayak.

3.4.2 Wawancara (interviu)

Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden (Gulo 2002). Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal (Gulo 2002). Dalam wawancara telah disiapkan daftar pertanyaan (instrumen) dalam bentuk panduan wawancara. Secara prosedur wawancara ini termasuk kedalam bentuk wawancara terpimpin, yang menggunakan panduan pokok-pokok masalah yang diteliti (Gulo 2002). Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa lokal (Batak Toba), dan diusahakan tidak membuat responden tersinggung atau takut.

Pemilihan responden dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sampel secara sengaja yang melibatkan informan kunci (Bungin 2003). Penggunaan teknik purposive sampling disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemampuan biaya dan waktu yang dimiliki oleh peneliti, dengan asumsi yang telah dipilih untuk dijadikan sampel dianggap dapat mewakili dari sampel yang diharapkan. Total responden berjumlah 247 orang, yang terdiri dari: 69 responden pemburu kalong kapauk; 6 responden pemburu lalai kembang dan kusing dayak; 4 responden pengumpul kalong kapauk; 2 responden pedagang kalong kapauk; 20 responden pembeli kalong kapauk; 25 responden pembeli lalai kembang dan kusing dayak; 25 responden pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji; 37 responden pengkonsumsi kalong kapauk siap saji; dan 59 responden petani durian.

3.4.3 Camera trap

(37)

(24 Desember 2009 - 4 Mei 2010). Foto hasil camera trap diambil setiap 1-2 bulan sekali.

Lokasi pemasangan camera trap berada di 2 jalur yang biasa dilalui pemburu lalai kembang dan kusing dayak (berasal dari 4 dusun). Kedua jalur ini memiliki jarak yang tidak terlalu jauh dari lokasi perburuan dan masih merupakan daerah penelitian LSM YEL, sehingga pemasangan camera trap relatif aman dari gangguan manusia. Pemasangan camera trap di sekitar gua (lokasi perburuan) tidak dilakukan karena menghindari rasa curiga dari pemburu dan pertimbangan keamanan.

Jumlah pemburu dalam satu kelompok diketahui dengan menghitung jumlah orang (datang pada waktu yang bersamaan) pada foto hasil camera trap. Jumlah seluruh kunjungan pemburu ke Gua Liang dan jumlah seluruh kelompok diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pemburu dan seluruh kelompok yang ada. Untuk mengetahui jumlah orang yang melakukan perburuan dan asal dari pemburu tersebut maka dilakukan identifikasi wajah (pemburu) pada foto hasil camera trap. Identifikasi wajah dibantu oleh salah seorang masyarakat lokal. Setelah mengidentifikasi wajah pemburu, kelas umur pemburu dan banyaknya perburuan yang dilakukan oleh masing-masing pemburu juga dapat diketahui. Lamanya waktu perburuan (berapa malam) diketahui dengan melihat jam kedangan dan kepulangan pemburu pada foto hasil camera trap.

3.4.4 Jenis kelelawar yang diburu dan diperdagangkan

(38)

3.4.5 Perburuan kelelawar

Pada perburuan kalong kapauk, data mengenai alat dan cara perburuan, daerah dan lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, serta estimasi jumlah tangkapan dikumpulkan melalui wawancara dengan pemburu kalong kapauk (Lampiran 1). Di beberapa desa/dusun, pengumpulan data ini juga dilakukan dengan pengamatan lapang. Pengamatan lapang dilakukan dengan menyewa seorang masyarakat lokal (pemburu) untuk menunjukkan lokasi-lokasi perburuan kalong kapauk.

Pada perburuan lalai kembang dan kusing dayak, data mengenai alat dan cara perburuan, lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, estimasi jumlah tangkapan, serta data sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan dikumpulkan melalui pengamatan lapang dan melalui wawancara dengan pemburu lalai kembang dan kusing dayak (Lampiran 2). Selain itu juga dilakukan pemasangan camera trap di 2 jalur menuju lokasi perburuan.

3.4.6 Perdagangan kelelawar

Data rantai perdagangan kalong kapauk dan lokasi penjualan penjualan diperoleh dengan mewawancarai pengumpul dan pedagang kalong kapauk (Lampiran 3), sedangkan pada perdagangan lalai kembang dan kusing dayak dilakukan wawancara pada pemburu. Pada perdagangan kalong kapauk, survei pasar juga dilakukan di pasar-pasar tradisional yang biasanya melakukan jual-beli kalong kapauk. Penulis mencatat setiap lokasi penjualan kalong kapauk, sumber kalong kapauk, harga yang ditawarkan, serta melakukan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui jaringan perdagangan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT. Untuk mengetahui apakah kalong kapauk selalu habis terjual ada kalanya penulis mengikuti pedagang/pengecer saat berangkat dari rumah pengumpul. 3.4.7 Karakteristik responden

(39)

yang menyediakan kalong kapauk siap saji (Lampiran 5), dan pengkonsumsinya (Lampiran 6). Data pembeli lalai kembang dan kusing dayak diperoleh melalui wawancara kepada pembeli lalai kembang dan kusing dayak (Lampiran 7).

3.4.8 Kondisi habitat

Data kondisi habitat kelelawar diperoleh berdasarkan hasil pengamatan lapang. Wawancara kepada pemburu juga dilakukan untuk menggali lebih banyak lagi informasi mengenai kondisi habitat.

3.4.9 Kebun durian

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, perburuan dan perdagangan kelelawar dapat mengakibatkan penurunan produktivitas kebun durian milik masyarakat. Untuk membuktikan dampak penurunan tersebut, maka dilakukan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan di sekitar KHBT (Lampiran 8).

3.5 Analisis data

(40)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan luas

Kawasan HBT (Gambar 6) yang terdiri dari blok barat dan blok timur (Sarulla), secara geografis terletak antara 98o 53’ - 99o 26’ Bujur Timur dan 02o 03’ - 01o 27’ Lintang Utara (Indra & Fredriksson 2007). Hutan alami (primer) di HBT yang tersisa saat ini diperhitungkan seluas 136.284 ha dan berada di Blok Barat seluas 81.344 ha dan di Blok Timur seluas 54.940 ha (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT secara administratif berada di 3 kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara.

Gambar 6 Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL). 4.1.1 Kabupaten Tapanuli Utara

Kabupaten Tapanuli Utara memiliki luas wilayah sekitar 3.800,31 km2, yang terdiri dari luas daratan 3.793,71 km2 dan luas perairan Danau Toba 6,60 km2 (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Utara terdiri dari 15 kecamatan, yaitu: Parmonangan (14 desa/kelurahan), Adian Koting (14 desa/kelurahan), Sipoholon (14 desa/kelurahan), Tarutung (31 desa/kelurahan), Siatas Barita (12 desa/kelurahan), Pahae Julu (19 desa/kelurahan), Pahae Jae (13 desa/kelurahan), Purbatua (11 desa/kelurahan), Simangumban (8 desa/kelurahan), Pangaribuan (22 desa/kelurahan), Garoga (12 desa/kelurahan), Sipahutar (23 desa/kelurahan), Siborong-borong (21 desa/kelurahan), Pagaran (14 desa/kelurahan), dan Muara (15 desa/kelurahan) (BPS 2009).

(41)

Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah Utara Kabupaten Tapanuli Utara berbatasan langsung dengan kabupaten Toba Samosir, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu, sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasudutan dan Tapanuli Tengah (BPS 2009). Curah hujan di tahun 2008 tercatat 2.922 mm dan lama hari hujan 209 hari, atau curah hujan bulanan sebanyak 243,50 mm dan lama hari hujan 17,42 hari (BPS 2009). Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli, yaitu 619 mm dengan 15 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari, yaitu 175 mm dan lama hari hujan 12 hari (BPS 2009).

Kawasan HBT yang termasuk kedalam daerah Tapanuli Utara adalah seluas 89.236 ha atau 65,5 % dari luas hutan. Air dari HBT di Tapanuli Utara mengairi persawahan luas di lembah Sarulla dan hulunya dari DAS Sipansihaporas dan Aek Raisan berada di Tapanuli Utara. Pegunungan yang paling tinggi di Batang Toru berada di Tapanuli Utara, yaitu di Dolok Saut dengan ketinggian 1.802 m dpl (Indra & Fredriksson 2007).

4.1.2 Kabupaten Tapanuli Tengah

Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki luas wilayah sekitar 2.194,98 km2, sebahagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebahagian kecil berada di pulau-pulau kecil di sekitar wilayah kabupaten ini (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri dari 20 kecamatan, yaitu: Pinangsori (7 desa/kelurahan), Badiri (9 desa/kelurahan), Sibabangun (7 desa/kelurahan), Lumut (6 desa/kelurahan), Sukabangun (6 desa/kelurahan), Pandan (9 desa/kelurahan), Sarudik (5 desa/kelurahan), Tukka (8 desa/kelurahan), Tapian Nauli (9 desa/kelurahan), Sitahuis (6 desa/kelurahan), Kolang (12 desa/kelurahan), Sorkam (14 desa/kelurahan), Sorkam Barat (11 desa/kelurahan), Pasaribu Tobing (8 desa/kelurahan), Barus (13 desa/kelurahan), Sosor Gadong (9 desa/kelurahan), Andam Dewi (14 desa/kelurahan), Barus Utara (6 desa/kelurahan), Manduamas (9 desa/kelurahan), dan Sirandorung (8 desa/kelurahan) (BPS 2009).

(42)

Tapanuli Tengah berbatasan langsung dengan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia (BPS 2009). Suhu udara rata-rata tahun 2008 di Kabupaten Tapanuli Tengah 25,98oC, dengan suhu maksimum mencapai 31,50oC dan suhu minimum mencapai 21,51oC. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September, dan musim penghujan terjadi pada bulan November-Maret (BPS 2009).

Kawasan HBT yang termasuk kedalam daerah Tapanuli Tengah adalah seluas 15.492 ha atau 11,4% dari luas hutan (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT di Tapanuli Tengah merupakan daerah tangkapan air bagi PLTA Sipansihaporas yang sudah beroperasi sejak tahun 2002 dengan kapasitas 50 MW (Indra & Fredriksson 2007). Areal sekitar Sipansihaporas merupakan hutan di tebing kapur yang sangat indah dengan banyak air terjun (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan Bukit Anugerah sedang dibangun di tepi HBT yang akan dijadikan sebagai kawasan ekowisata Tapanuli Tengah (Indra & Fredriksson 2007).

4.1.3 Kabupaten Tapanuli Selatan

Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki luas wilayah 4.367,05 km2 (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 12 kecamatan, yaitu: Batang Angkola (58 desa/kelurahan), Sayurmatinggi (55 desa/kelurahan), Angkola Timur (39 desa/kelurahan), Angkola Selatan (18 desa/kelurahan), Angkola Barat (24 desa/kelurahan), Batang Toru (29 desa/kelurahan), Marancar (32 desa/kelurahan), Sipirok (100 desa/kelurahan), Arse (31 desa/kelurahan), Saipar Dolok Hole (68 desa/kelurahan), Aek Bilah (42 desa/kelurahan), dan Muara Batang Toru (7 desa/kelurahan) (BPS 2009).

(43)

Mandailing Natal dan juga Samudera Indonesia (BPS 2009). Curah hujan rata-rata di tahun 2008 tercatat 295,83 mm, dengan lama hari hujan rata-rata 16 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret, yaitu 650 mm dengan 23 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Mei, yaitu 106 mm dan lama hari hujan 9 hari (BPS 2009).

Kawasan HBT yang termasuk kedalam Kabupaten Tapanuli Selatan adalah seluas 31.556 ha atau 23,1% dari luas hutan (Indra & Fredriksson 2007). Air dari sungai Batang Toru menjadi penting buat perkebunan luas yang berada di daerah hilir (Indra & Fredriksson 2007). Di Kabupaten Tapanuli Selatan sedang dilakukan eksplorasi oleh tambang emas di Kecamatan Batang Toru (Indra & Fredriksson 2007).

4.2 Topografi dan geologi

Keadaan topografi di KHBT bergelombang dan sangat curam (Indra & Fredriksson 2007). Berdasarkan peta kontur sebagian besar kelerengan berkisar lebih dari 40 %, lebih curam lagi di Blok Timur Sarulla (Indra & Fredriksson 2007). Jenis tanah di KHBT adalah tanah ultisolik, alluviocolluvial dan inseptisolik (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT menjadi areal yang penting untuk mencegah terjadinya banjir, erosi dan longsor di daerah Tapanuli yang rentan terhadap datangnya bencana alam, termasuk gempa (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT merupakan hutan pegunungan dataran rendah, hutan gambut pada ketinggian 900-1.000 m dpl, hutan batu kapur, hutan berlumut, hutan rawa diketinggian 800 m dpl dan dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 400-1.803 m dpl (Indra & Fredriksson 2007). Titik terendahnya berada di Sungai Sipansihaporas (dekat Kota Sibolga) dan titik tertingginya berada pada Dolok Lubuk Raya di bagian selatan kawasan (Indra & Fredriksson 2007).

(44)

(Batang Toru Timur). PLTA Sipansihaporas adalah salah satu pembangkit listrik yang memanfaatkan DAS Sipansihaporas (Indra & Fredriksson 2007).

4.3 Iklim

Curah hujan di KHBT cukup tinggi yaitu antara 4.500 sampai 5.000 mm per tahun. Suhu pada malam hari dapat turun sampai 14ºC. Sedangkan curah hujan rata-rata tahunan dari tahun 2007-2008 menurut PT. Agincourt Oxiana adalah sebesar 4.190,65 mm per tahun. Sementara curah hujan rata-rata bulanannya adalah sebesar 349,22 mm per bulan (Indra & Fredriksson 2007). Berdasarkan pengukuran pada bulan November-Desember 2009, temperatur rata-rata pada pagi hari 21,96ºC dan temperatur rata-rata-rata-rata pada sore hari 20,29ºC. 4.4 Potensi fauna dan flora

Kawasan HBT memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selain ditemukan berbagai jenis kelelawar, saat ini KHBT adalah habitat terakhir untuk populasi orangutan Pongo abelii yang jauh terpisah dari orangutan lain di Sumatera Utara dan Aceh (Indra & Fredriksson 2007). Populasi orangutan diperkirakan sekitar 600 ekor di blok Batang Toru Barat dan sekitar 300-400 ekor di blok Batang Toru Timur, berkisar 10-15% dari seluruh populasi orangutan Sumatera yang saat ini diperkirakan hanya tinggal 6.600 ekor yang tersisa di dunia ini (Indra & Fredriksson 2007).

Selain orangutan ada beragam satwa langka lainnya seperti tapir (Tapirus indicus), kijang (Muntiacus muntjak), Babi Hutan (Sus scrofa) harimau Sumatera (Panthera tigris Sumaterae), kucing batu (Pardofelis marmorata), beruang madu (Helarctos malayanus) dan kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis). Ditemukan 265 jenis burung yang 59 jenis diantaranya termasuk langka atau khas Sumatera (Indra & Fredriksson 2007).

(45)

4.5 Kondisi masyarakat

(46)

Bagi masyarakat Indonesia, kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) umumnya lebih sering dikenal dengan sebutan “kalong” saja. Padahal

menurut Suyanto (2001), di Indonesia ada 20 jenis anggota marga Pteropus yang dalam bahasa lokal juga memiliki nama depan kalong (Lampiran 8). Seluruh jenis

anggota Pteropus ini dibedakan berdasarkan ada/tidak adanya tonjolan belakang (basal ledge posterior) pada graham depan, ada/tidaknya bulu pada betis, ukuran lengan bawah sayap, ukuran panjang telinga dan warna tubuh (Suyanto 2001).

Di dalam dan sekitar KHBT kalong kapauk atau yang lebih dikenal dengan

sebutan haluang ini dapat dilihat pada sore hari (ketika sedang terbang dari tempat

tinggal menuju sumber pakan), dan malam hari saat mencari makan di sekitar

tumbuhan yang sedang berbunga atau berbuah (seperti: durian, petai, langsat,

mangga, rambutan dan pisang). Pada kondisi yang sama ada kalanya kita tidak

dapat melihat kalong kapauk, karena sedang bermigrasi ke daerah lain.

Kalong kapauk merupakan salah satu jenis kelelawar berukuran besar

(berat berkisar 600-1.200 g). Bila kedua sayap direntangkan, rentangan sayap

kalong kapauk dapat mencapai 1-1,5 m. Dada, perut, dan punggung kalong

kapauk berwarna hitam, bahu berwarna coklat kekuningan, kepala mirip anjing,

ujung telinga meruncing, bagian di atas betis tidak berbulu dan tidak berekor

(Gambar 7a). Kalong kapauk yang sedang terbang secara sepintas terlihat seperti

burung, namun akan berbeda bila dilihat dengan lebih teliti. Sayap kalong kapauk

terbentuk dari kulit tipis yang membentang di antara jari-jari yang memanjang,

sedangkan sayap pada burung memiliki bulu-bulu.

Kelelawar lainnya yang diburu dan diperdagangkan di dalam dan sekitar

KHBT adalah lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) dan kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890). Lalai kembang merupakan jenis kelelawar berukuran sedang (sekitar 50 g), memiliki warna sedikit lebih terang,

tidak ada cakar pada jari kedua sayap, moncong dan lidah panjang, bulu pendek

dan halus, serta ada sepasang kelenjar dekat anus yang berbentuk seperti ginjal

(Gambar 7b). Kelelawar jenis kusing dayak ditandai dengan wajah berwarna

Gambar

Gambar 3  Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001).
Gambar 4  Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006).
Gambar 5  Camera trap tipe Sony P41
Gambar 6  Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL).
+7

Referensi

Dokumen terkait

langsung memberikan data utama mengenai pendekatan semantik kontekstual berdasarkan para linguis Barat dan Timur, sedangkan sumber data skundernya adalah karya tulis ilmiah

merupakan salah satu jenis ikan kakap yang banyak dicari oleh konsumen. sebagai bahan konsumsi masyarakat yaitu sebagai lauk-pauk harian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta di bagian perawatan Lantai VA, Lantai VC, Lantai IVA, Lantai IVC dan Emergency dilakukan pada bulan

Penyimpanan dan penempatan alat-alat atau bahan kimia menganut prinsip sedemikian sehingga tidak menimbulkan kecelakaan pada pemakai ketika mengambil dari dan

Karena dengan menjalankan pola hidup sehat akan bagian dari cara dan tips mensyukuri nikmat sehat dalam Islam yang bisa kita coba terapkan dalam kehidupan kita sehari- hari7.

III. Perbedaan dan Persamaan Budaya dalam Perkembangan Kognitif.. Perkembangan kognitif adalah spesialiasasi dalam psikologi yang mempelajari bagaimna kemampuan berpikir

SEKRETARIAT JENDERAL UNIT LAYANAN PENGADAAN. KELOMPOK

Sebagaimana lazimnya dunia Linux Quanta Plus 3.1 adalah Editor Web yang free, tetapi mempunyai banyak fasilitas yang tidak kalahnya dengan Web Editor yang komersil, seperti