• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika fluks CO2 hubungannya dengan kedalaman muka air tanah, respirasi akar dan dekomposisi serasah, serta umur tanaman acacia crassicarpa pada lahan gambut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika fluks CO2 hubungannya dengan kedalaman muka air tanah, respirasi akar dan dekomposisi serasah, serta umur tanaman acacia crassicarpa pada lahan gambut."

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

PADA LAHAN GAMBUT

HERRY YOAN EDISON A14070042

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Groundwater Depth, Root Respiration and Litter Decomposition, and Plant Age of

Acacia crassicarpa in Peatlands. Supervised by HERMANU WIDJAJA and SUWARDI

Global warming has become an interesting topic discussed by environmentalists so far. It is suspected that global warming is related to the increase of greenhouse gases (GHGs) concentration at the atmosphere. One of emission resources of GHGs especially CO2 in which it gains international attention maybe come from peatland which is drained for various agricultural development. This research was carried out to study the dynamic of CO2 flux and the relationship with the groundwater depth caused by drainage, root respiration and litter decomposition, as well as the age of the plant. This research was done in 34 weeks (June 2011-January 2012) in peat areas developed into industrial pulpwood plantation in South Sumatra.

The research was conducted on peatland areas of 1-2 m with two plots of 1-year (A1) and 4-year (A4) Acacia crassicarpa plants. There were two sub-plots for 1-year plant area: A1-1 and A1-2 (with litter and roots) whereas there were four sub-plots for 4-year plant area : A4-1, A4-2 (with litter and roots) and A4-3, A4-4 (without litter and roots). CO2 flux and the groundwater depth were measured once a week from June 2011 until January 2012 covering the end of the rainy season period (June-July 2011) followed by a period of dry season (August-October 2011) and the subsequent rainy season (November-January 2012).

The result indicates that CO2 flux is not correlated to the groundwater depth caused by drainage. CO2 flux increase to 19,74 gC-CO2/m2/day at 118 cm of groundwater depth and decrease reaching 8,81 gC-CO2/m2/day with the increase of groundwater depth into 141 cm. Most of peatland CO2 flux come from root respiration and litter decomposition. The range of CO2 flux of 4-year

A.crassicarpa plants with roots and litter is 4,2 to 19,9 gC-CO2/m2/day while the range of CO2 flux without roots and litter is 1,8 to 14,1 gC-CO2/m2/day. The older age of the plant, the higher CO2 flux is resulted. Total flux of CO2 yielded from 1-year A. crassicarpa plants is 32,88 tonC-CO2/ha/year whereas 4-year

A.crassicarpa plants yields 39,59 tonC-CO2/ha/year.

(3)

dengan Kedalaman Muka Air Tanah, Respirasi Akar dan Dekomposisi Serasah, serta Umur Tanaman Acacia Crassicarpa pada Lahan Gambut. Dibimbing oleh HERMANU WIDJAJA dan SUWARDI

Pemanasan global menjadi topik yang sedang hangat dibicarakan para pakar lingkungan saat ini. Pemanasan global diduga berkaitan dengan meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Salah satu sumber emisi GRK terutama CO2 yang mendapat perhatian dari dunia internasional diduga berasal dari lahan gambut yang didrainase untuk berbagai aktifitas pembangunan pertanian. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari dinamika fluks CO2 dan hubungannya dengan kedalaman muka air tanah (MAT) akibat drainase, respirasi akar dan dekomposisi serasah, serta umur tanaman. Penelitian dilakukan selama 34 minggu (Juni 2011-Januari 2012) pada lahan gambut yang dikembangkan menjadi areal Hutan Tanaman Industri (HTI) di Propinsi Sumatera Selatan.

Penelitian dilakukan pada lahan gambut dengan kedalaman 1-2 m dengan tanaman Acacia crassicarpa umur 1 tahun (A1) dan 4 tahun (A4). Pada petak tanaman umur 1 tahun dilakukan dua plot pengamatan: A1-1 dan A1-2 (dengan serasah dan akar), sedangkan pada petak tanaman 4 tahun dilakukan empat plot pengamatan: A4-1, A4-2 (dengan serasah dan akar) dan A4-3, A4-4 (tanpa akar dan serasah). Fluks CO2 dan kedalaman MAT diukur satu hari dalam setiap minggu mulai Juni 2011 sampai dengan Januari 2012, yang meliputi periode akhir musim hujan (Juni-Juli 2011), diikuti periode kemarau (Agustus-Oktober 2011) dan musim hujan berikutnya (November-Januari 2012).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluks CO2 tidak berkorelasi dengan kedalaman MAT akibat drainase. Fluks CO2 meningkat sampai 19,74 gC-CO2/m2/hari pada kedalaman MAT 118 cm dan menurun dengan semakin turunnya kedalaman MAT sampai 8,81 gC-CO2/m2/hari pada kedalaman MAT 141 cm. Fluks CO2 lahan gambut sebagian besar berasal dari respirasi akar dan dekomposisi serasah. Kisaran fluks CO2 pada tanaman A. crassicarpa 4 tahun dengan perakaran dan serasah adalah 4,2-19,9 gC-CO2/m2/hari, sedangkan tanpa perakaran dan serasah 1,8-14,1 gC-CO2/m2/hari. Semakin tinggi umur tanaman A.

crassicarpa fluks CO2 yang dihasilkan akan semakin besar. Total fluks CO2 dari petak tanaman A. crassicarpa 1 tahun menghasilkan 32,88 tonC-CO2/ha/tahun sedangkan dari petak tanaman 4 tahun menghasilkan 39,59 tonC-CO2/ha/tahun.

(4)

PADA LAHAN GAMBUT

HERRY YOAN EDISON A14070042

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Muka Air Tanah, Respirasi Akar dan Dekomposisi Serasah, serta Umur Tanaman Acacia crassicarpa pada Lahan Gambut.

Nama : Herry Yoan Edison NRP : A14070042

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ir. Hermanu Widjaja, M. Sc Dr. Ir. Suwardi, M. Agr NIP. 19640830 199003 1 003 NIP. 19630607 198703 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003

(6)

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan, judul yang dipilih adalah “Dinamika Fluks CO2 Hubungannya dengan Kedalaman Muka Air Tanah, Respirasi Akar dan Dekomposisi Serasah, serta Umur Tanaman Acacia crassicarpa pada Lahan

Gambut” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Hermanu Widjaja, M. Sc, Dr. Ir. Suwardi, M. Agr sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan kepada penulis hingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M. Agr sebagai dosen penguji, atas segala bantuan dan arahan yang telah diberikan. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Rahmat Alfianto, Dyna Islami dan Bayu Aditya Jati partner selama penelitian di lapangan. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada Marissa Permatasari dan Vecky Dwi Kuswandora atas bantuannya dalam pengolahan data dan Nengsih yang telah bersedia membantu dalam proses pengerjaan skripsi ini. Terimakasih sebesar-besarnya kepada Papa, Mama, Kakak-kakakku Putri Yarshena Edilla dan Dicky Pratama Edison atas doa, dorongan semangat dan nasehatnya.

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi berbagai pihak. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Walaupun begitu, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, 19 Februari 2013

(7)

lulus dari SMA Negeri 1 Tanjung Pati dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis mendapat kesempatan untuk menimba ilmu di Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian.

(8)

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 2

1.2. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Hutan Tanaman Industri (HTI) ... 3

2.2. Lahan Gambut ... 4

2.3. Emisi CO2 dari Lahan Gambut ... 5

2.3.1. Emisi CO2 dari Kebakaran Gambut ... 5

2.3.2. Emisi CO2 dari Dekomposisi Gambut dan Serasah ... 6

2.3.3. Emisi CO2 dari Aktifitas Respirasi Akar ... 8

2.4. Pengukuran Fluks CO2 ... 8

2.4.1. Closed Dynamic Chamber (CDC) Method ... 8

2.4.2. Open Dynamic Chamber (ODC) Method ... 9

2.4.3. Closed Static Chamber Methods ... 10

III. BAHAN DAN METODE ... 12

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 12

3.2. Bahan dan Alat ... 12

3.3. Metode ... 12

3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 13

3.4.1. Pengambilan Sampel Gas CO2 ... 13

3.4.2. Pengukuran Kedalaman Muka Air Tanah ... 15

3.4.3. Data Iklim ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

4.1. Kondisi Umum Curah Hujan dan Muka Air Tanah ... 17

4.2. Dinamika Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah ... 18

4.3. Hubungan Fluks CO2 dengan Aktifitas Perakaran dan Dekomposisi Serasah ... 21

4.4.Hubungan Fluks CO2 dengan Umur Tanaman ... 23

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

5.1. Kesimpulan ... 25

5.2. Saran ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26

(9)

No Hal

1. Rincian Plot dan Titik Pengamatan ... 13

Lampiran

1. Tabel Nilai Fluks, MAT, CH, Suhu Tanah, dan RH pada Petak A1 ... 30 2. Tabel Nilai Fluks, MAT, CH, Suhu Tanah, dan RH pada Petak A4 ... 31

DAFTAR GAMBAR Teks

1. Sketsa Bentuk Chamber Base ... 13 2. a) Sketsa Posisi Peralatan Pendukung pada Chamber Base (tampak atas)

b) Chamber pada Saat Dilakukan Pengambilan Sampel Gas ... 14 3. Grafik Hubungan Curah Hujan (CH) dan Kedalaman Muka Air Tanah

(MAT) ... 17 4. Grafik Hubungan Fluks CO2, Curah Hujan, Kelembaban Udara (RH), dan

Muka Air Tanah (MAT) Petak Tanaman Akasia 1 Tahun (a) Plot A1-1 (b) Plot A1-2 ... 19 5. Grafik Hubungan Rata-Rata Fluks CO2, Curah Hujan, Kelembaban Udara

(RH), dan Muka Air Tanah (MAT) Petak Tanaman Akasia 1 Tahun ... 20 6. Grafik Hubungan Rata-Rata Fluks CO2, Kelembaban Udara (RH), Muka

Air Tanah (MAT) dan Curah Hujan Petak Tanaman Akasia 4 Tahun. ... 22 7. Sebaran Data Fluks CO2 (a) Plot A4-1 dan A4-2 (b) Plot A4-3 dan A4-4 ... 23 8. Perbandingan Emisi Petak Tanaman Akasia 1 Tahun dan Plot Tanaman

Akasia 4 Tahun dengan Perakaran dan Serasah... 24

Lampiran

1. Grafik hubungan Fluks CO2, Kelembaban Udara (RH), Muka Air Tanah (MAT) dan Jumlah Curah Hujan Petak Tanaman Akasia 4 Tahun Plot A4-1 ... 32 2. Grafik hubungan Fluks CO2, Kelembaban Udara (RH), Muka AirTanah

(MAT) dan Jumlah Curah Hujan Petak Tanaman Akasia 4 Tahun Plot A4-2 ... 32 3. Grafik Hubungan Fluks CO2, Kelembaban Udara (RH), Muka Air Tanah

(10)

5. Peta Lokasi Penelitian ... 34 6. Lanskap Lokasi Penelitian Petak (a) 1 Tahun dan (b) 4 tahun ... 35 7. Titik Pengambilan Sampel (a) Tanpa Perakaran dan Serasah dan (b)

Dengan Perakaran dan Serasah Akasia ... 35 8. Kegiatan Pengambilan Sampel CO2 (a) Saat Pengambilan Sampel dan (b)

(11)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pemanasan global merupakan topik yang sedang hangat dibicarakan oleh para pakar lingkungan saat ini. Pemanasan global diduga berkaitan dengan meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang disebabkan aktifitas manusia, antara lain penggunaan bahan bakar fosil dalam kegiatan transportasi dan industri, penggunaan alat-alat elektronik, serta pembakaran dan penebangan hutan.

Menurut United Nations Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC) yang dikategorikan sebagai GRK adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O), dan tiga gas industri yang mengandung fluor (HFC, PFC, dan SF6). Sumber emisi GRK di Indonesia yang mendapat perhatian khusus dunia internasional adalah lahan gambut yang didrainase untuk berbagai aktifitas pembangunan. Lahan gambut tersusun dari bahan tanah organik yang terbentuk dalam keadaan tergenang (anaerob) sehingga menjadi gudang penyimpan karbon. Pada kondisi oksidatif (aerob) akibat didrainase, gambut akan terdekomposisi dan dikhawatirkan melepaskan CO2 ke atmosfer dalam jumlah yang besar.

Fluks CO2 dari lahan gambut merupakan hasil dari respirasi, baik dari kegiatan mikroorganisme heterotropik dalam mendekomposisi bahan gambut dan serasah, maupun respirasi autotropik yang dilakukan oleh akar tanaman. Respirasi biologik sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di dalam tanah, antara lain ketersediaan oksigen (O2), kelembaban tanah, suhu tanah, pH, ketersediaan hara dan kondisi drainase. Faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh cuaca (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara) sehingga fluks CO2 yang dihasilkan setiap saat dapat berfluktuasi mengikuti perubahan dari setiap faktor.

(12)

dengan faktor lingkungan antara lain kedalaman drainase, seperti yang dikemukakan oleh Hooijer et al. (2006) yang menyatakan bahwa emisi CO2 dari lahan gambut secara linear meningkat dengan kedalaman drainase. Untuk mendukung pengelolaan lingkungan yang lebih baik pada kegiatan Hutan Tanaman Industri (HTI) di lahan gambut, pemahaman yang tepat tentang hubungan emisi CO2 lahan gambut dengan faktor lingkungan seperti kedalaman drainase, perlu didukung dengan data penelitian yang lebih baik.

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi hubungan drainase dengan fluks CO2 dari lahan gambut dengan pengukuran langsung di lapangan dalam periode yang relatif panjang mencakup musim hujan, musim kemarau, dan musim hujan berikutnya. Fluks CO2 tidak hanya berasal dari dekomposisi bahan gambut, untuk itu kontribusi aktifitas respirasi akar dan dekomposisi serasah terhadap fluks CO2 pada umur tanaman Acacia crassicarpa yang berbeda juga penting untuk diketahui.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui hubungan antara fluks CO2 dengan kedalaman muka air tanah akibat drainase gambut pada lahan HTI A. crassicarpa.

2. Mengetahui pengaruh respirasi akar dan dekomposisi serasah terhadap fluks CO2.

(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Tanaman Industri (HTI)

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 07 Tahun 1990 Hutan Tanaman Industri adalah hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Tujuan dikembangkannya HTI adalah untuk menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Menurut Bastoni et al. (2005) di wilayah Sumatera Selatan, jenis tanaman yang dikembangkan untuk HTI di lahan kering adalah Acacia mangium,

Eucalyptus sp., dan sengon, sedangkan pada lahan basah (termasuk lahan gambut) jenis tanaman yang digunakan yaitu Mangrove dan Acacia crassicarpa. Tanaman

Acacia mangium, Eucalyptus sp, dan A. crassicarpa merupakan tanaman yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas.

Tanaman A. crassicarpa memiliki daya adaptasi dan toleransi tinggi terhadap kondisi lingkungan yang buruk atau tergenang, tanah berlumpur, tanah terdegradasi, tanah berpasir, toleran terhadap kandungan garam yang agak tinggi dalam tanah (Turnbull, 1986). Tanaman ini merupakan komoditas utama yang dikembangkan oleh HTI pada lahan gambut. Dalam proses penanamannya pada lahan gambut tanaman A. crassicarpa membutuhkan kondisi lahan yang tidak tergenang sehingga harus dilakukan proses pembuatan sistem drainase (Bastoni et al., 2005).

(14)

serapan karbon sebesar 71,567 ton C/ha/daur 5,5 tahun atau sebesar 13,012 ton C/ha/tahun, walaupun diduga degradasi lahan gambut tetap berlangsung.

2.2. Lahan Gambut

Lahan gambut merupakan lahan yang tanahnya tersusun dari tanah organik (organosol). Menurut Soil Survey Staff (2010) tanah organik adalah tanah yang selalu jenuh air ≥ 30 hari tiap tahun dalam tahun-tahun normal (atau telah didrainase) dan mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan, serta

mempunyai ketebalan sebagai berikut: 1) ≥ 60 cm jika bahan tanah sebagian besar

volume terdiri dari serat kasar (moss) atau jika bobot isi lembab < 0,1 g/cm3 atau,

2) ≥ 40 cm jika terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau jika bahan fibrik kecil

dengan kandungan serat moss kurang dari tiga perempat dan bobot isi lembab < 0,1 g/cm3. Tanah gambut tersusun sebagian besar dari bahan organik sehingga merupakan gudang karbon yang penting untuk kestabilan lingkungan. Tanah gambut di Indonesia dengan luasan ± 20 juta ha, diperkirakan menyimpan karbon sebesar ± 55 Gigaton (Jaenicke et al., 2008).

Lahan gambut pada kondisi alamiahnya terbentuk pada wilayah terdepresi yang selalu jenuh air. Kondisi jenuh air bukan berarti selalu tergenang. Lahan gambut yang terlihat datar sebenarnya memiliki topografi berbentuk kubah, yang mana pada bagian kubah gambut tidak terlimpasi lagi oleh air sungai maupun pasang surut sehingga sumber air hanya berasal dari air hujan. Area kubah gambut merupakan daerah deposit gambut yang lebih dalam dengan keragaman vegetasi lebih sedikit dari sekitarnya, ketersediaan air hanya berasal dari air hujan, sehingga menghasilkan gambut yang miskin akan unsur hara, sebagai akibatnya pertumbuhan pepohonan di areal kubah gambut menjadi terhambat (Central Kalimantan Peat Project, 2006).

(15)

sering mengalami kekeringan, walaupun pada lapisan bawahnya basah (Muslihat, 2003).

Secara fisik tanah gambut memiliki warna coklat tua atau hitam kelam yang berasal dari bahan organik. Bobot isi dari tanah gambut amat rendah jika dibandingkan tanah mineral. Nilai bobot isi tanah gambut tropika umumnya memiliki nilai antara 0,12 hingga 0,03 g/cm3 (Andriesse, 1983 dalam Tan, 2008). Selain itu nilai bobot isi pada permukaan secara umum lebih tinggi, sedangkan pada lapisan bawah (sublayer) akan lebih rendah, kondisi ini mengindikasikan bobot isi meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat dekomposisi, hal tersebut disebabkan bahan organik yang berada pada permukaan gambut mempunyai tingkat dekomposisi yang lebih lanjut jika dibandingkan dengan lapisan bawahnya (Tan, 2008).

Ciri lain dari tanah gambut adalah kemampuan menahan air yang besar dan mampu menahan air dua hingga empat kali bobot keringnya (Supardi, 1983). Karena kemampuan menahan air yang tinggi dan Bobot Isi (BI) yang rendah, saat tanah gambut didrainase, lahan gambut akan cenderung mengalami pemadatan (compaction). Air yang semula mengisi pori-pori tanah hilang, akibatnya tanah memadat karena pori-pori tanah berkurang. Akibat dari pemadatan tersebut tanah gambut akan mengalami subsidensi. Menurut Kool et al. (2006) subsidensi tanah gambut terutama pada kubah gambut terjadi akibat pengaruh dari pemadatan (compaction) yang ditandai dengan peningkatan BI, sedangkan pengaruh dari dekomposisi gambut lebih kecil. Menurut Darmawan et al. (2012) tingkat subsidensi tanah gambut tropika sulit untuk ditentukan karena permukaan lahan gambut yang dapat turun dan naik tergantung kondisi air tanah, material gambut di atas permukaan air tanah umumnya merupakan fraksi halus yang secara umum berhubungan dengan bobot isi yang lebih tinggi, namun demikian bobot isi yang lebih tinggi tidak dapat secara langsung diinterpretasikan sebagai indikasi pemadatan, karena tergantung pada sejarah perubahan lahan gambut.

2.3. Emisi CO2 dari Lahan Gambut

(16)

(Hatano et al., 2010), serta aktifitas respirasi akar dan dekomposisi serasah (Vien, 2010). Produksi karbondioksida oleh organisme dan bagian tanaman di dalam tanah bertujuan untuk menghasilkan energi (Luo, 2006), atau dikenal sebagai respirasi tanah. Savage (2011) menyatakan bahwa respirasi tanah merupakan jumlah respirasi akar dan dekomposisi bahan organik heterotrofik tanah.

2.3.1. Emisi CO2 dari Kebakaran Gambut

Kebakaran lahan gambut terjadi hampir setiap tahun di Indonesia, baik secara alami maupun dilakukan oleh masyarakat untuk persiapan lahan. Kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia yang terparah terjadi pada tahun 1997/1998 akibat pengaruh el nino, dengan luasan lahan gambut yang terbakar mencapai 2,1 juta hektar (Bappenas-ADB, 1999 dalam Tacconi, 2003). Emisi CO2 yang dilepaskan adalah sekitar 156,3 juta ton karbon (Tacconi, 2003).

Emisi CO2 akibat kebakaran pada umumnya terjadi pada areal lahan gambut yang telah didrainase, namun demikian banyak areal gambut di Indonesia yang kondisinya masih alami dan sulit terbakar karena kedalaman MAT yang dangkal atau bahkan tergenang. Beberapa peneliti dalam mengestimasi emisi CO2 mengabaikan hal tersebut sehingga menghasilkan estimasi yang tidak rasional, seperti yang dilaporkan oleh Page et al. (2002) yaitu sebesar 0,48-2,57×109 ton. Angka emisi tersebut diduga dengan menggunakan citra landsat, kemudian tingkat emisi dari lokasi penelitian seluas 383.500 ha di Kalimantan Selatan diekstrapolasi terhadap total luasan gambut di Indonesia. Sumawinata dan Darmawan (2009) menyatakan secara ilmiah nilai emisi yang dilaporkan Page et al. (2002) tidak dapat dipertanggung jawabkan, karena dihitung dengan asumsi seluruh lahan gambut di Indonesia telah didrainase, selain itu ekstrapolasi terhadap seluruh luasan gambut di Indonesia sangat gegabah, karena tidak seluruh lahan gambut di Indonesia terbakar habis.

2.3.2. Emisi CO2 dari Dekomposisi Gambut dan Serasah

(17)

organik dapat berlangsung secara aerobik ataupun anaerobik, tergantung pada ketersediaan oksigen (Gaur, 1986). Secara umum reaksi dekomposisi bahan organik yang berlangsung secara aerobik digambarkan sebagai berikut :

Tanah gambut sebenarnya relatif sulit didekomposisi karena berasal dari bahan yang sulit melapuk, kadar hara yang rendah, dan pH yang rendah, serta sangat dipengaruhi oleh kondisi kelembaban tanah. Vien (2010) menyatakan pelepasan CO2 tertinggi dari lahan gambut berasal dari dekomposisi dan aktifitas fauna pada serasah. Lahan gambut yang miskin hara makro menyebabkan konsentrasi kegiatan mikroba berada pada lapisan serasah yang lebih kaya nutrisi. Serasah adalah bahan-bahan yang telah mati, terletak diatas permukaan tanah dan mengalami dekomposisi dan mineralisasi, dimana komponen-komponen yang termasuk serasah adalah daun, ranting, cabang kecil, kulit batang, bunga dan buah (Aprianis, 2011). Menurut Aprianis (2011) serasah daun A. crassicarpa

mengandung unsur hara yang cukup tinggi, sehingga aktifitas dekomposisi dan aktifitas fauna sebagian besar berada pada lapisan serasah dengan tujuan untuk mengkonversi bahan organik menjadi energi dan senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain-lain.

Dekomposisi gambut dipengaruhi oleh banyak faktor, namun demikian beberapa penelitian menghubungkan secara langsung emisi CO2 dengan kedalaman drainase yang berkaitan dengan ketersediaan oksigen. Hooijer et al.

(2010) dan Hatano et al. (2010) menyatakan bahwa emisi CO2 berkorelasi positif dengan kedalaman muka air tanah. Pendapat sebaliknya dikemukakan oleh Sumawinata et al. (2012) bahwa tidak ditemukan korelasi positif antara fluks CO2 dengan kedalaman muka air tanah, dan tingkat fluks CO2 yang dihasilkan pada HTI A. crassicarpa dipengaruhi oleh kadar air gambut serta umur tanaman akasia, dengan indikasi kuat bahwa respirasi sangat berpengaruh besar terhadap fluks CO2.

Aktivitas

Bahan Organik + O2 CO2 + H2O + Hara + Humus + Energi

(18)

2.3.3. Emisi CO2 dari Aktifitas Respirasi Akar

Salah satu komponen yang berperan besar dalam respirasi tanah adalah aktifitas respirasi akar. Menurut Hanson (2000) total respirasi tanah sebagian besar dipengaruhi oleh perakaran tanaman, bervariasi dari 10 hingga 90%. Coleman (1973) dalam penelitiannya pada padang rumput yang mengalami suksesi mendapatkan bahwa komponen yang berkontribusi terhadap respirasi tanah adalah 8-17% dari perakaran, 6-16% dari dekomposisi serasah, dan 67-80% dari aktifitas mikroba pada rhizosfer. Pada tutupan hutan alam, Richard (1974) mendapatkan bahwa respirasi tanah dipengaruhi 35% dari respirasi akar, 48% dari dekomposisi serasah dan 17% dari respirasi lain dalam tanah. Kontribusi setiap komponen tersebut pada lahan gambut belum banyak diketahui.

Respirasi akar dilakukan tanaman dalam siklus krebs yang bertujuan untuk menghasilkan energi, berbagai asam amino dan nukleotida yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman, serta NADPH (Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate) untuk biosintesa jaringan (Lambers et al.,1998). Pada tanah mineral, Kuswandora (2012) menyatakan aktifitas respirasi tanah terutama aktifitas tanaman sangat berpengaruh terhadap tingkat emisi CO2. Tanah mineral yang ditanami jagung, kacang tanah, dan singkong menghasilkan emisi CO2 berturut-turut 13,23 tonC/ha, 8,11 tonC/ha, dan 9,73 tonC/ha, sedangkan pada lahan bera di antara baris tanaman tersebut, dihasilkan emisi CO2 berturut-turut sebesar 1,72 tonC/ha, 1,96 tonC/ha, dan 0,90 tonC/ha.

2.4. Pengukuran Fluks CO2

2.4.1. Closed Dynamic Chamber (CDC) Method

Metode CDC menggunakan ruang (chamber) tertutup yang mencakup sejumlah areal di permukaan tanah, serta terdapat sirkulasi antara chamber dengan sensor CO2 yaitu Infra Red Gas Analyzer (IRGA) selama pengukuran. Saat

(19)

(Luo, 2006). Untuk menghitung nilai fluks digunakan persamaan berikut ini (Field et al., 1989 dalam Luo, 2006).

F= (Cf – Ci)V ... 1)

ΔtA

Dimana :

F = fluks Cf = Konsentrasi akhir

Ci = Konsentrasi awal V = Volume chamber

Δt = Perubahan waktu A = Luas areal yang ditutupi chamber

Jika banyak data diambil dalam satu kali pengukuran, maka peningkatan konsentrasi di dalam chamber dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linear dengan slope b. Sehingga perhitungan tingkat respirasi menjadi:

F=bV ………2)

A

2.4.2. Open Dynamic Chamber (ODC) Method

Metode ODC menggunakan diferensial modus untuk mengestimasi effluks CO2, berbeda dengan CDC yang menggunakan perubahan konsentrasi CO2 berdasarkan periode waktu. Metode ODC menggunakan aliran udara ambient (udara bebas) dari sebuah inlet melewati chamber menuju suatu outlet. Udara yang meninggalkan chamber akan diperkaya dengan konsentrasi CO2 selama melewati chamber yang berasal dari respirasi tanah (Luo, 2006). Dengan asumsi bahwa tingkat respirasi dan aliran udara yang melewati chamber konstan, maka respirasi tanah dapat dihitung dengan persamaan berikut:

F=uoco-uece

A

Dimana :

F = fluks

co= Konsentrasi udara yang keluar dari chamber

ce = Konsentrasi udara masuk

uo= Laju aliran udara yang meninggalkan chamber

ue= Laju aliran udara yang memasuki chamber

(20)

2.4.3. Closed Static Chamber Methods

Metode CSC adalah metode dimana permukaan tanah ditutup dengan

chamber yang memiliki absorban kimia di dalamnya, yang berfungsi untuk menyerap molekul CO2 dalam waktu tertentu. Absorban tersebut dapat berupa larutan alkali maupun soda lime, yang mengandung NaOH dan Ca(OH)2. Metode dengan soda lime merupakan metode yang paling sering dilakukan karena murah dan juga mudah diaplikasikan. Metode ini dilakukan tanpa adanya aliran udara, kecuali CO2 yang dilepaskan dari tanah (Luo, 2006).

Metode dengan menggunakan alkali dilakukan dengan menggunakan cairan alkali yang menyerap CO2 yang dilepaskan dari tanah kedalam sebuah

chamber yang diisolasi dalam selang waktu tertentu. Larutan yang digunakan adalah NaOH atau KOH. Total massa CO2 ditentukan dengan menitrasi NaOH atau KOH dengan larutan HCl untuk mengetahui nilai pH. Laju pelepasan CO2 (F) dikalkulasi menggunakan total CO2 yang diserap dalam selang waktu tertentu (Δtabs):

F=Ctrap-Cblank

ΔtabsA

Dimana :

F = fluks Ctrap = Jumlah CO2 yang diserap

Cblank = Jumlah CO2 pada control Δtabs = Variasi waktu

A = Luas areal yang ditutupi chamber

Dalam penggunaan soda lime jumlah CO2 dihitung dari perubahan berat

soda lime yang digunakan berdasarkan periode tertentu. Soda lime yang telah dikering oven (105°) ditempatkan dalam sebuah jar terbuka dan ditempatkan di permukaan tanah di bawah chamber. Soda lime ditempatkan selama 24 jam dan kembali dikering ovenkan, dan dihitung perubahan berat yang terjadi antara sebelum dan sesudah perlakuan untuk mengetahui jumlah CO2 yang diserap (Luo, 2006).

(21)

pengamatan yang sebanyak mungkin (Parkin, 2003). Peningkatan konsentrasi gas CO2 akibat kegiatan respirasi tanah dapat diukur dengan meregresikan perubahan konsentrasi awal yaitu udara bebas di atas chamber base dengan konsentrasi gas CSC dalam jangka waktu tertentu. Gas dihitung berdasarkan volume (v/v), sehingga dalam metode ini digunakan perhitungan yang sama dengan metode CDC (Luo, 2006). Volume gas CO2 dipengaruhi oleh suhu dan densitas gas CO2. Persamaan untuk menghitung fluks C-CO2 adalah sebagai berikut:

F = Fluks (mgC-CO2/m2/jam) ρ = densitas gas (106mg/m3)

Δc = variasi konsentrasi CO2 (µL/L) T = Suhu di dalam chamber (K)

(22)

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengukuran fluks CO2 (Karbondioksida) dilakukan dari bulan Juni 2011 hingga Januari 2012 di areal gambut dengan kedalaman 1-2 m pada HTI PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBA WI) yang terletak di Desa Simpang Tiga Sakti Kec. Tulung Selapan Kab. Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan.

3.2. Bahan dan Alat

Alat yang digunakan pada kegiatan penelitian ini adalah chamber, chamber base, tedlar bag, Anemometer humidity barometer, CO2 analyzer (ZEP9,

Fuji Electric Systems), syringe, sampling tube system, pressure bag compensasion, stop cock, baterai kering 6 volt, termometer, mini Fan, meteran, alat-alat tulis, serta peralatan pendukung lainnya. Bahan yang digunakan adalah gas standar 1700 ppm (v/v) yang disertifikasi oleh PT Sucofindo, serta soda lime.

3.3. Metode

Penelitian dilakukan pada 2 petak tanaman akasia dengan umur yang berbeda, yaitu umur 1 tahun (A1) dan umur 4 tahun (A4).

a) Pada petak A1 dibuat 2 plot kondisi normal dengan perakaran dan serasah (plot A2-1 dan A2-2).

b) Pada petak A4 dibuat 4 plot, yaitu 2 plot kondisi normal dengan perakaran dan serasah (plot A4-1 dan A4-2), dan plot tanpa perakaran dan serasah (plot A4-3 dan A4-4).

(23)

Tabel 2. Rincian Plot dan Titik Pengamatan

Petak A1 (Akasia 1 Tahun) A4 (Akasia 4 Tahun)

Plot A1-1 A1-2 A4-1 A4-2 A4-3 A4-4

Titik Ulangan

A1-11 A1-21 A4-11 A4-21 A4-31 A4-41

A1-12 A1-22 A4-12 A4-22 A4-32 A4-42

A1-13 A1-23 A4-13 A4-23 A4-33 A4-43

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Pengambilan Sampel Gas CO2

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Closed-Chamber Methode. Peralatan yang digunakan dalam metode ini terdiri dari chamber base

dan chamber. Chamber base berbentuk segi empat tanpa alas dan tutup dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 7 cm yang terbuat dari baja, ditanam hingga rata dengan permukaan tanah (Gambar 1). Setelah dipasang, chamber base dibiarkan selama 24 jam atau lebih sebelum dilakukan pengukuran. Pada saat pengukuran, chamber

berbentuk kubus tanpa alas dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm dipasang pada

chamber base. Chamber yang digunakan dalam penelitian dibuat dari plexiglass

dan dilapisi dengan alumunium foil untuk merefleksikan cahaya (Gambar 2). Gambar 2 menunjukkan chamber yang digunakan dalam penelitian, serta posisi peralatan pendukungnya.

Gambar 1. Sketsa Bentuk Chamber Base

7 cm 30

Wadah Air

(24)

1) Termometer 2) Mini Fan

3) Syringe Tube System

4) Pressure Bag Compansation

Gambar 2. a) Sketsa Posisi Peralatan Pendukung pada Chamber (tampak atas) b) Chamber pada Saat Dilakukan Pengambilan Sampel Gas

Peralatan pendukung terdiri dari termometer, mini fan, syringe tube system, dan pressure bag compensasion. Termometer digunakan untuk mengukur suhu di dalam chamber. Pressure bag compensasion merupakan sebuah kantong yang terhubung dengan udara luar, berfungsi sebagai penyeimbang tekanan udara di dalam dan di luar chamber. Syringe tube system adalah alat untuk mengekstraksi udara dari dalam chamber ke dalam tedlar bag. Sedangkan mini fan berguna untuk menjaga agar tetap terjadi pergerakan udara di dalam chamber. Pengambilan sampel gas karbondioksida dilakukan pada pagi, siang dan sore hari. Sampel gas diambil sebanyak 250 ml dengan menggunakan syringe

bervolume 25 ml dan diekstrak kedalam tedlar bag yang terbuat dari Polivinyl Fluorida (PVF) yang bersifat inert terhadap berbagai macam gas dan mempunyai permeabilitas rendah.

Pengambilan sampel gas dilakukan pada menit ke-0, ke-3 dan menit ke-6. Untuk sampel gas menit ke-0, gas yang diambil merupakan udara bebas di atas

chamber base, sedangkan untuk menit ke-3 dan ke-6 diambil dari dalam chamber

melalui syringe tube system. Sampel gas kemudian diukur dengan CO2 analyzer 1

2

3 3 4

(25)

(ZEP9, Fuji Electric Systems). Sebelum dilakukan pengukuran, alat tersebut dinyalakan terlebih dahulu hingga stabil (minimal 30 menit) lalu dikalibrasi dengan soda lime untuk menentukan titik nol alat. Setelah itu dikalibrasi kembali dengan gas CO2 standar 1700 ppm (v/v). Setelah itu dilakukan pengukuran terhadap sampel gas.

Nilai fluks CO2 (mgC-CO2/m2/jam) kemudian dihitung dengan rumus :

F = Fluks (mgC-CO2/m2/jam) ρ = densitas gas (106mg/m3)

Δc = variasi konsentrasi CO2 (µL/L) T = Suhu di dalam chamber (K)

A = luas ruang (m2) Δt = variasi waktu (jam) V = volume ruang (m3) α = koefisien transformasi

Pengambilan sampel gas untuk pengukuran fluks CO2 dilakukan sehari dalam seminggu untuk setiap plot. Nilai fluks harian merupakan rata-rata dari 3 titik pengukuran pada setiap plot, sedangkan fluks mingguan didapat dengan mengalikan fluks harian dengan tujuh hari. Data fluks CO2 mingguan selama periode penelitian dibuat grafik hubungan fluks CO2 dengan waktu (minggu). Nilai total emisi tahunan didapat dari jumlah total interval fluks mingguan (luasan di bawah grafik) selama periode penelitian dikonversi menjadi emisi satu tahun. Emisi tahunan pada petak 1 tahun didapatkan dari periode pengukuran selama 34 minggu, yang meliputi musim hujan, musim kemarau hingga musim hujan berikutnya. Adapun emisi tahunan pada petak tanaman 4 tahun didapatkan dari periode pengukuran selama 18 minggu (musim hujan), karena pada musim kemarau tidak dilakukan pengukuran karena kendala aksesibilitas.

3.4.2. Pengukuran Kedalaman Muka Air Tanah

(26)

pipa merupakan nilai kedalaman muka air tanah. Pengukuran kedalaman muka air tanah dilakukan pada periode dan waktu yang sama dengan pengambilan sampel gas.

3.4.3. Data Iklim

(27)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Curah Hujan (CH) dan Muka Air Tanah (MAT)

Lokasi penelitian berada pada zona iklim muson Indo-Australia yang bercirikan suhu, kelembaban dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, dimana musim hujan berlangsung dari November sampai Juni, dan musim kemarau dari Juli sampai Oktober (Wijaya, 2010). Penelitian ini dilaksanakan dari minggu keempat Juni 2011 hingga Januari 2012 mencakup musim hujan, musim kemarau, dan musim hujan berikutnya. Sehingga terjadi fluktuasi kedalaman muka air tanah yang mengikuti naik dan turunnya curah hujan. Kondisi umum keadaan curah hujan dan kedalaman muka air tanah pada saat penelitian disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik Hubungan Curah Hujan (CH) dan Kedalaman Muka Air Tanah (MAT)

Minggu ke-1 sampai ke-8 atau bulan Juni hingga Juli 2011 merupakan akhir musim hujan dengan curah hujan rata-rata 56,85 mm/minggu dengan total 454,8 mm pada periode tersebut. Pada musim kemarau yang dimulai pada minggu pertama bulan Agustus hingga minggu pertama November 2011 (minggu ke-9 hingga 23 penelitian), curah hujan sangat rendah yaitu rata-rata 0,9 mm/hari dengan total 14 mm. Musim hujan kembali terjadi dari minggu kedua November 2011 hingga Januari 2012 (minggu ke-24 hingga 34 penelitian) dengan curah hujan rata-rata 76,5 mm/hari dengan total 459 mm.

(28)

itu perkebunan menerapkan sistem tata kelola air (water management) untuk mempertahankan air pada kedalaman yang dibutuhkan. Lahan gambut pada petak tanaman satu tahun kedalaman MAT rata-rata pada saat musim hujan 52 cm, pada saat musim kemarau 113 cm, sedangkan pada musim hujan berikutnya 68 cm. Pada petak tanaman empat tahun, kedalaman MAT rata-rata pada musim hujan (minggu ke-1 hingga 8) 39 cm dan pada musim hujan berikutnya 54,5 cm (minggu ke-24 hingga 34). Pada musim kemarau tidak dilakukan pengukuran pada petak tanaman empat tahun karena kendala aksesibilitas.

4.2. Dinamika Fluks CO2 terhadap Kedalaman Muka Air Tanah

Hasil pengukuran fluks CO2 pada petak tanaman 1 tahun disajikan pada Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat fluktuasi CO2 dengan pola yang berbeda di setiap titik. Misalnya pada minggu ke-5 pada petak A1-1 (Gambar 1a) pada titik A1-11 terjadi kenaikan fluks, sedangkan pada titik yang lain terjadi penurunan. Begitu juga pada petak A1-2 (Gambar 1b) pada minggu ke 30 titik A1-21 mengalami lonjakan kenaikan fluks yang sangat besar dibandingkan minggu sebelumnya, tetapi pada titik yang lain terjadi penurunan fluks. Selain itu, pada petak A1-2 titik A1-21 selalu menghasilkan nilai fluks CO2 yang lebih tinggi, jika dibandingkan titik pengukuran lainnya.

(29)

Gambar 4. Grafik Hubungan Fluks CO2, Curah Hujan, Kelembaban Udara (RH), dan Muka Air Tanah (MAT) Petak Tanaman Akasia 1 Tahun (a) Plot A1-1 (b) Plot A1-2

(30)

Fluks CO2 terendah terjadi pada minggu ke-21 yaitu 8,80 gC-CO2/m2/hari dengan kedalaman MAT 141 cm. Pada akhir periode penelitian yang merupakan musim hujan (minggu ke-23 hingga 33) kedalaman MAT berkisar pada kedalaman 62 cm, sedangkan fluks berkisar pada angka 11,34 gC-CO2/m2/hari Hasil ini menunjukkan tidak terdapat indikasi korelasi positif antara fluks CO2 yang dihasilkan dengan kedalaman MAT.

Gambar 5. Grafik Hubungan Rata-Rata Fluks CO2, Curah Hujan, Kelembaban Udara (RH), dan Muka Air Tanah (MAT) Petak Tanaman Akasia 1 Tahun.

[image:30.595.113.508.210.465.2]
(31)

rendah, kondisi kedalaman MAT sangat rendah dan gambut mengalami kekeringan di lapisan atasnya menyebabkan aktifitas dekomposisi dan respirasi akar menurun. Pada awal musim hujan (minggu ke-26 hingga 34), walaupun nilai RH tinggi (kisaran 80-90%), terjadi peningkatan fluks CO2 yang diduga karena peningkatan aktifitas dekomposisi serasah dan respirasi akar.

Hasil di atas menunjukkan bahwa fluktuasi fluks CO2 dalam periode penelitian tidak menunjukkan tren yang konsisten terhadap kondisi MAT. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Sumawinata et al. (2012) bahwa fluks CO2 tidak menunjukkan korelasi positif dengan MAT, tetapi jelas berkorelasi dengan peningkatan respirasi tanaman yang meningkat seiring umur tanaman, serta berhubungan dengan kadar air tanah gambut. Fluks CO2 tertinggi pada kadar air antara kapasitas lapang yaitu 250% (b/b) dan titik layu permanen yaitu 180% (b/b), fluks CO2 terendah akan terjadi pada kadar air dibawah titik layu permanen (Sumawinata et al., 2012). Hasil tersebut tidak sejalan dengan yang didapatkan oleh Hooijer et al. (2010) dan Hatano et al. (2010) yang menyatakan adanya korelasi positif antara peningkatan fluks CO2 dengan penurunan MAT akibat drainase.

4.3. Hubungan Fluks CO2 dengan Aktifitas Perakaran dan Dekomposisi

Serasah

(32)
[image:32.595.115.509.84.333.2]

Gambar 6. Grafik Hubungan Rata-Rata Fluks CO2, Kelembaban Udara (RH), Muka Air Tanah (MAT) dan Curah Hujan Petak Tanaman Akasia 4 Tahun

Gambar 7 menunjukkan sebaran data fluks CO2 pada plot tanaman akasia 4 tahun dengan perakaran dan serasah (A4-1 dan A4-2) serta plot tanpa perakaran dan serasah (A4-3 dan A4-4). Pada plot tanaman akasia 4 tahun dengan perakaran dan serasah secara statistik (95% data) fluks CO2 berada pada kisaran 4,2-19,9 gC-CO2/m2/hari, sedangkan plot tanpa perakaran dan serasah berada pada kisaran 1,8-14,1 gC-CO2/m2/hari. Perbedaan tersebut menunjukkan kontribusi aktifitas respirasi akar, dan dekomposisi serasah terhadap fluks CO2. Serasah yang lebih kaya akan unsur hara merupakan sumber emisi CO2 yang lebih tinggi karena dekomposisi serasah lebih intensif dibandingkan gambut. Akar tanaman selain menyumbangkan CO2 dari kegiatan respirasinya, juga mengeluarkan eksudat berupa ion, oksigen bebas, enzim-enzim, karbohidrat serta asam amino (Bais et al., 2006)yang dapat meningkatkan aktifitas respirasi di zona rhizosfer. Selain itu nilai fluks CO2 pada kedua plot penelitian tersebut tidak menunjukkan korelasi positif dengan kedalaman MAT.

[image:32.595.111.510.96.604.2]
(33)
[image:33.595.112.508.73.457.2]

Gambar 7. Sebaran Data (95%) Fluks CO2 (a) Plot A4-1 dan A4-2 (b) Plot A4-3 dan A4-4

4.4.Hubungan Fluks CO2 dengan Umur Tanaman

Gambar 8 menunjukkan perbandingan total fluk CO2 pada plot tanaman akasia umur 4 tahun (A4-1 dan A4-2) dan 1 tahun (A1-1 dan A1-2), keduanya merupakan plot dengan perakaran dan serasah. Total fluks pada petak tanaman 1 tahun adalah 32,88 tonC-CO2/ha/tahun, sedangkan petak tanaman 4 tahun menghasilkan total fluks yang lebih tinggi, yaitu 39,59 tonC-CO2/ha/tahun. Data ini menunjukkan bahwa fluks CO2 meningkat dengan meningkatnya umur tanaman. Semakin tinggi umur tanaman maka respirasi perakaran akan meningkat, begitu juga jumlah serasah yang dihasilkan, implikasinya fluks CO2 yang dihasilkan semakin tinggi.

Sebaran data 4,2-19,9

gC-CO2/m2/hari Median: 10,9 gC-CO2/m2/hari

(34)
[image:34.595.135.471.83.305.2]
(35)

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

1. Fluks CO2 tidak berkorelasi dengan kedalaman muka air tanah akibat drainase. Fluks CO2 meningkat sampai 19,74 gC-CO2/m2/hari pada kedalaman MAT 118 cm dan menurun dengan semakin turunnya kedalaman MAT sampai 8,81 gC-CO2/m2/hari pada kedalaman MAT 141 cm.

2. Fluks CO2 lahan gambut sebagian besar berasal dari respirasi akar dan dekomposisi serasah. Kisaran fluks CO2 pada tanaman A. crassicarpa 4 tahun dengan perakaran dan serasah adalah 4,2-19,9 gC-CO2/m2/hari, sedangkan tanpa perakaran dan serasah 1,8-14,1 gC-CO2/m2/hari.

3. Semakin tinggi umur tanaman A. crassicarpa fluks CO2 yang dihasilkan akan semakin besar. Total fluks CO2 dari petak tanaman A. crassicarpa 1 tahun menghasilkan 32,88 tonC-CO2/ha/tahun sedangkan dari petak tanaman 4 tahun menghasilkan 39,59 tonC-CO2/ha/tahun.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penghitungan total biomassa yang dihasilkan dari HTI sehingga dapat diketahui net-emisi.

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Aprianis, Y. 2011. Produksi dan laju dekomposisi serasah Acacia crassicarpa A. Cunn. Di PT ARARA ABADI. Tekhno Tanaman Hutan. 4 (1): 41-47.

Asmani, N. 2011. HTI sebagai kegiatan ekonomi hijau dan penelolaan hutan lestari menuju green South Sumatera. Di dalam: Asmani, N., Hanafiah, K. A., Maryadi., editor. Prosiding Seminar Lokakarya (Semiloka) Nasional Kontribusi HTI Sebagai Kegiatan Ekonomi Hijau Melalui PDRB Hijau Menuju Green South Sumatera. Palembang, 12 April 2011. Palembang: Simetri. Hal: 33-44.

Bais, H. P., Weir, T. L., Perry, L. G., Gilroy, S., and Vivanco, J. M. 2006. The role of root exudates in rhizosphere interaction with plants and other organism. Ann. Rev. Plant. Biol. 57:233-266.

Bastoni, Sumadi, A., and Waluyo, E. A. 2005. Tipe vegetasi hutan Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman: Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktifitas Hutan dan Lahan. Baturaja 7 Desember 2005. Hal: 45-54.

Burba, G., and Anderson, D. 2010. A Brief Practical Guide to Eddy Covariance Flux Measurements. Nebraska : LI-COR.

Central Kalimantan Peatlands Project, 2006. Lahan Gambut di Kalimantan. CKPP . Universitas Palangkaraya. Palangkaraya. http://www.ckpp.org.

Coleman, D. C. 1973. Soil carbon balance in a successional grassland. Oikos. 24: 195–199.

Darmawan., Baskoro, D. P. T., and Nugroho, B. 2012. Indications of compaction in relation to subsidence on peatlands used for Accacia crassicarpa plantation in Indonesia. Proceeding of the 14th International Peat Congress Peatlands in Balance. Stockholm, 3-8 June 2012. Swedia : International Peat Society. Gaur, A. C. 1986. A Manual of Rural Composting. Food and Agriculture

Organization of United Nations. New Delhi.

Hanson, P. J., Edwards, N. T., Garten, C. T., and Andrews, J. A. 2000. Separating root and soil microbial contributions to soil respiration: A review of methods and observations. Biogeochemistry. 48: 115–146.

(37)

Tropical Peatland. Yogyakarta, 27-29 August 2007. Leicester : CARBOPEAT. 277-282.

Hooijer, A., Page, S., Canadell, J. G., Silvias, M., Kwadijk, J., Wosten, H., and Jauhiainen, J. 2010. Current and future CO2 emission from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences. 7: 1505-1514.

Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H., and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943.

Jaenicke, J., Rieley, J. O., Mott, C., Kimman, P., and Siegert, F. 2008. Determination of the amount of carbon stored in Indonesia peatlands.

Geoderma. 147 : 151-158.

Kalsim, D. K. 2007. Model pengembangan lahan gambut berkelanjutan. Seminar nasional ketahanan pangan. 15-17 November 2007. Unila.

Kementrian Kehutanan. 2011. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta: Kementrian Kehutanan. http://www.dephut.go.id/files/Statistik_kehutanan_2011.pdf. Kool, D. M., Buurman, P., and Hoekman, D. H. 2006. Oxidation and compaction

of a collapsed peat dome in Central Kalimantan. Geoderma. 137 : 217-225. Kuswandora, V. 2012. Emisi Gas CO2 dan Neraca Karbon pada Lahan Jagung,

Kacang Tanah, dan Singkong di Kecamatan Ranca Bungur, Bogor. [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Lambers, H., and Steingrover, E. 1978. Efficiency of root respiration of a flood-tolerant and a flood-inflood-tolerant senecio species as affected by low oxygen tension. Physiologia Plantarum. 42: 163.

Luo, Y., and Zhou, X. 2006. Soil Respiration and the Environment. California: Elsevier.

Muslihat, L. 2003. Ekologi Gambut. Bogor: Wetland International Indonesia Programme.

Page, S. E., Siegert, F., Rieleys, J. O., Boehm, H. D. V., Jaya, A., and Limin, S. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature. 140: 61-65

(38)

Richards, B. N. 1974. Introduction to the Soil Microbiology. New York: John Wiley & Sons.

Savage, K. E., and Davidson, E. A. 2001. Interannual variation of soil respiration in two New England forest. Global Biogeochemical Cycles. 15 (2): 337-350. Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy 11th Edition. Washington DC :

United State Department of Agriculture.

Sumawinata, B., and Darmawan. 2009. Current issues of tropical peatland in Indonesia. Di dalam : Sudarsono et al., Editor. Proceedings of Bogor Symposium and Workshop on Tropical Peatland Management; Bogor, 14-15 July 2009. Bogor: IFES-GCOE. 1-10.

Sumawinata, B., Suwardi, Munoz, C. P. 2012 Emission of CO2 dan CH4 from plantation forest of Acacia crassicarpa on peatlands in Indonesia. Proceeding of the 14th International Peat Congress Peatlands in Balance. Stockholm, 3-8 June 2012. Swedia : International Peat Society.

Supardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. 1983. Bogor : IPB.

Tacconi, L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. Cifor Occasional Paper. 38 (i).

Tan, K. H. 2008. Soils in the Humid Tropics and Monsoon Region of Indonesia. Boca Raton : CRC Press.

Turnbull, J. W. 1986. Multipurposes Australian Trees Shrubs. Canberra : Australian Centre for International Agricultural Research.

Vien, D. M., Puong, N. M., Jauhiainen, J., and Guong, V. T. 2010. Carbon dioxide emission from peatland in relation to hydrologi, peat moisture, humification at the Vo Doi national park, Vietnam. Di dalam: Rieley, J, O., Banks, C, J., dan Rajagukguk, B., editor. Proceedings of the International Symposium and Workshop on Tropical Peatland. Yogyakarta, 27-29 August 2007. Leicester : CARBOPEAT. 277-282.

(39)
(40)

Lampiran 1. Tabel Nilai Fluks, MAT, CH, Suhu Tanah, dan RH pada Petak A1

Minggu CH Suhu Tanah RH MAT

A1-1 A1-2

1 2 3 1 2 3

mm °C % cm gC-CO2/m2/hari

1 65 29,7 68,3 51,5 9,27 8,34 13,63 17,43 5,63 7,76

2 7 28,8 60,0 54,0 13,61 8,90 12,94 12,49 6,77 7,29

3 120 27,8 77,6 52,5 9,79 8,70 15,46 16,53 8,64 7,16

4 3 28,6 67,0 56,5 8,20 9,34 9,53 11,91 3,92 8,57

5 37 28,0 76,6 41,5 19,72 6,59 4,49 16,89 9,26 8,66

6 176 27,2 72,5 49,0 8,63 6,95 8,86 14,38 8,53 8,88

7 37 28,4 65,5 54 9,57 9,91 9,65 14,37 4,37 7,37

8 9 27,3 66,1 56 12,82 9,69 9,41 11,90 5,75 8,24

9 0 28,8 67,1 57,0 7,75 10,53 9,22 12,33 4,33 5,99

10 3 28,8 65,4 68,5 9,05 12,75 14,64 16,69 5,83 12,00

11 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -*

12 11 28,0 69,1 85 10,27 17,04 17,77 13,57 10,81 6,95

13 0 28,5 60,9 94 10,59 15,28 14,90 15,95 7,14 9,18

14 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -*

15 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -*

16 0 29,5 63,1 119 13,76 22,23 18,21 30,11 19,77 14,42

17 0 28,1 72,0 117 13,56 15,38 18,14 21,78 11,87 13,35

18 0 28,9 59,0 126 13,08 12,56 12,52 21,00 12,98 12,58

19 0 28,7 66,8 142 9,78 13,93 10,16 -* -* -*

20 0 27,7 69,9 137 10,57 13,59 6,65 10,16 7,19 9,43

21 0 27,4 74,9 141 9,64 13,95 6,37 10,55 5,40 6,96

22 0 28,9 73,4 146 9,21 20,25 9,96 8,79 5,46 8,65

23 0 27,7 69,5 119 7,52 17,32 7,58 11,56 7,38 11,04

24 72 28,3 65,7 132 8,90 11,03 9,27 8,49 6,78 8,96

25 101 27,0 70,2 96 8,96 14,88 6,23 7,46 5,97 7,35

26 40 -* 93,7 -* 10,33 13,28 8,58 14,81 5,39 9,39

27 28 28,2 91,0 67 12,44 14,65 9,17 10,61 13,61 11,05

28 31 27,8 95,0 70,5 13,99 14,78 8,23 13,97 6,39 11,80

29 25 25,9 90,3 49 13,42 13,23 12,20 18,39 11,26 12,37

30 21 26,4 94,0 49 16,02 12,56 6,92 36,19 3,23 9,07

31 29 26,1 -* -* -* -* -* -* -* -*

32 20 -* -* -* -* -* -* -* -* -*

33 56 27,6 89,7 40 19,81 16,30 14,19 21,80 16,71 12,11

(41)

Lampiran 2. Tabel Nilai Fluks, MAT, CH, Suhu Tanah, dan RH pada Petak A4 Minggu

CH Suhu Tanah RH MAT A41 A42 A43 A44

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

mm °C % cm gC-CO2/m2/hari

1 65 26,3 76,5 37,5 9,1 21,9 20,1 8,1 7,5 5,2 12,3 9,9 14,6 13,1 11,8 6,8

2 7 25,7 83,5 33 -* -* -* 12,2 8,3 10,6 -* -* -* 27,0 13,5 4,0

3 120 25,7 78,3 37,5 10,5 12,4 12,0 13,4 16,7 14,8 9,3 13,5 9,7 11,3 16,4 11,2 4 3 25,9 74,8 35 8,7 12,5 11,0 7,7 7,3 10,4 9,4 8,0 7,9 9,3 17,2 11,3 5 37 25,0 84,7 29,5 8,6 9,1 9,5 9,8 23,1 8,8 18,2 19,5 9,7 15,8 12,0 2,3 6 176 25,2 81,2 36 3,3 6,6 7,4 15,0 10,4 20,9 16,0 2,0 1,1 13,3 9,5 1,9 7 37 25,3 76,7 48 5,6 13,7 11,3 8,6 15,3 15,4 8,0 5,0 5,1 8,6 6,6 7,7 8 9 25,9 81,7 56 7,6 12,1 13,7 12,4 12,1 10,9 11,7 6,2 4,6 8,1 6,1 6,6

9 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

10 3 -* 67,0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

11 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

12 11 26,8 -* 86 22,1 14,3 19,5 10,0 7,2 13,0 13,7 10,0 9,2 12,9 9,7 10,2

13 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

14 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

15 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

16 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

17 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

18 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

19 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

20 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

21 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

22 0 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

23 72 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

24 101 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

25 40 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

26 28 28,4 92,3 77 9,2 23,5 11,5 -* -* -* 6,5 7,7 8,3 -* -* -*

27 31 28,2 86,3 81 7,0 11,8 10,0 -* -* -* 3,4 8,6 10,9 -* -* -* 28 25 27,7 85,5 72 8,2 22,0 11,3 5,1 6,0 13,9 3,2 11,9 10,7 5,6 3,5 7,0 29 21 26,4 80,5 48 9,6 30,8 14,2 6,2 8,9 16,7 5,9 4,6 6,3 8,4 6,2 8,2

30 29 0,0 89,7 -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -* -*

31 20 27,2 89,7 36,5 9,0 23,3 9,1 12,2 11,0 13,1 3,7 3,7 9,4 14,3 5,5 4,8

32 56 27,0 92,3 41 -* -* -* 6,5 7,2 12,6 -* -* -* 5,6 3,2 5,6

33 38 26,2 -* 26 12,8 14,7 15,8 -* -* -* 5,5 6,3 10,6 -* -* -*

(42)

Lampiran 3. Grafik hubungan Fluks CO2, Kelembaban Udara (RH), Muka Air Tanah (MAT) dan Jumlah Curah Hujan Petak Tanaman Akasia 4 Tahun Plot A4-1

(43)

Lampiran 5. Grafik Hubungan Fluks CO2, Kelembaban Udara (RH), Muka Air Tanah (MAT) dan Curah Hujan Petak Tanaman Akasia 4 Tahun Plot A4-3

(44)
(45)

Lampiran 8. Lanskap Lokasi Penelitian Petak (a) 1 Tahun dan (b) 4 tahun (a) (b)

Lampiran 9. Titik Pengambilan Sampel (a) Dengan Perakaran dan Serasah dan (b) Tanpa Perakaran dan Serasah

(a) (b)

Lampiran 10. Kegiatan Pengambilan Sampel CO2 (a) Saat Pengambilan Sampel dan (b) Chamber Saat Pengukuran dilaksanakan

Gambar

Gambar 2. a) Sketsa Posisi Peralatan Pendukung pada Chamber (tampak atas)
Gambar 4. Grafik Hubungan Fluks CO 2, Curah Hujan, Kelembaban Udara (RH),
Gambar 5. Grafik Hubungan Rata-Rata Fluks CO 2, Curah Hujan, Kelembaban
Gambar 6. Grafik Hubungan Rata-Rata Fluks CO 2, Kelembaban Udara (RH),
+3

Referensi

Dokumen terkait