• Tidak ada hasil yang ditemukan

Investigation on Chemical and Biological Properties of Bamboo Rhizosphere as Disease Suppressive Soil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Investigation on Chemical and Biological Properties of Bamboo Rhizosphere as Disease Suppressive Soil"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN SIFAT KIMIA DAN BIOLOGI TANAH RHIZOSFER

BAMBU SEBAGAI

DISEASE SUPPRESSIVE SOIL

WINDA IKA SUSANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Sifat Kimia dan Biologi Tanah Rhizosfer Bambu sebagai Disease Suppressive Soil adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(3)

RINGKASAN

WINDA IKA SUSANTI. Kajian Sifat Kimia dan Biologi Tanah Rhizosfer Bambu sebagai Disease Suppressive Soil. Dibimbing oleh SURYO WIYONO dan RAHAYU WIDYASTUTI.

Tanaman bambu dapat tumbuh di beberapa daerah di Indonesia dengan keragaman fungsi dan spesies. Di Indonesia terdapat 60 spesies dari 200 spesies bambu yang ada di kawasan Asia Tenggara dan memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi. Para petani sering menggunakan tanah rhizosfer bambu sebagai media persemain beberapa jenis tanaman pertanian dan sudah menjadi indigenous knowledge. Tanah rhizosfer bambu dikenal sebagai disease suppressive soil. Tujuan dari penelitian ini adalah: (i) mengkaji pengaruh tanah rhizosfer bambu dalam fenomena disease suppressive soil dilihat dari sifat kimia dan biologi tanah, (ii) mempelajari dan mengkaji keragaman fungsional mikrob rhizosfer bambu dalam kaitannya dengan fenomena disease suppressive soil.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2014 sampai April 2015 di laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB dan di Kebun percobaan IPB di Cikabayan. Sampel tanah rhizosfer bambu diambil secara komposit pada kedalaman 0-20 cm dari beberapa lokasi di Kabupaten Bogor Jawa Barat dengan empat spesies bambu, yaitu: Gigantochloa apus, Dendrocalamus asper, Scyzosthachyum longispiculatum, dan Bambusa vulgaris. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua bagian, yaitu: (i) percobaan rumah kaca untuk mengetahui pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap pertumbuhan tanaman dan kejadian penyakit pada bibit pepaya yang diinokulasikan Phytophthora palmivora, (ii) percobaan laboratorium untuk mengetahui aspek mikrobiologi rhizosfer bambu, yang meliputi: mikrob pelarut P dan K, bakteri penambat N2, bakteri kitinolitik, IAA total tanah, jumlah bakteri dan cendawan antibiosis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kimia serta biologi dari tanah rhizosfer bambu berperan dalam meningkatkan pertumbuhan bibit pepaya dan menekan patogen P. palmivora. Mikrob asal rhizosfer bambu memiliki keragaman mikrob yang tinggi. Dibandingkan tanah non rhizosfer bambu, tanah rhizosfer bambu memiliki kemampuan yang lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menekan patogen tanaman. Kejadian penyakit pada D. asper 12.50% dan B. vulgaris 16.70%. Persentase kematian tertinggi adalah pada penanaman bibit pepaya di tanah non rhizosfer bambu sekitar 54.20%. Kemampuan tanah rhizosfer bambu sebagai disease suppressive soil ditentukan oleh sifat kimia dan biologi tanah yang saling mempengaruhi. Sifat kimia tanah rhizosfer bambu yang berkaitan meliputi: pH tanah yang rendah; KTK, C-organik, kandungan P2O5 tersedia tanah yang tinggi. Sifat biologi tanah rhizosfer bambu yang berkaitan meliputi: tingginya total bakteri dan mikrob fungsional (bakteri kitinolitik, bakteri penambat N2), tingginya IAA total tanah dan jumlah mikrob antibiosis. Dengan demikian, tanah rhizosfer bambu sangat baik digunakan sebagai media persemain beberapa jenis tanaman pertanian.

(4)

SUMMARY

WINDA IKA SUSANTI. Investigation on Chemical and Biological Properties of Bamboo Rhizosphere as Disease Suppressive Soil. Supervised by SURYO WIYONO and RAHAYU WIDYASTUTI.

Bamboo can growth in many places in Indonesia with high diversity. There are 60 species from 200 species bamboo in Southeast Asia with high adaptation. Bamboo rhizosphere known as disease suppressive soil. The objectives of this research were to: (i) study the influence of bamboo rhizosphere on disease suppressive soil phenomenon based chemical and biological soil properties, (ii) study the functional diversity of bamboo rhizosphere on disease suppressive soil.

This research was conducted from July 2014 to April 2015. Bamboo rhizosphere samples were taken at depth 0-20 cm from three locations in the district of Bogor, West Java province. There were four bamboo species successfully examined, namely: Gigantochloa apus, Dendrocalamus asper, Scyzosthachyum longispiculatum, and Bambusa vulgaris. This research was conducted in two parts; (i) bioassay in the greenhouse to determine the influence of bamboo rhizosphere on plant growth and the disease incidence,(ii) laboratory investigation of microbiological aspects of bamboo rhizosphere, including: total of microbes, P and K solubilizing microbes, N2 fixing bacteria, chitinolytic bacteria, total of indole acetic acid (IAA) and antibiosis microbes of bamboo rhizosphere.

The research result showed that chemical and biological properties of bamboo rhizosphere influent the increasing of plant growth and suppressing soil borne pathogen. Microbes in the rhizosphere of bamboo has a high diversity. Microbes in the rhizosphere of bamboo has a better ability to promote plant growth and suppress the growth of P. palmivora relative than non bamboo rhizosphere. Effectiveness of bamboo rhizosphere as disease suppressive soil determined by chemical properties, including: low pH; high Cation Exchange Capacity, high C-organic, P2O5 in the soil, and biological properties, including: high total bacteria, high functional microbes (chitinolitic bacteria, N-fixing bacteria, P solubilizing bacteria), high total of IAA, and abundance of microbes antibiosis. This research suggests the use of bamboo rhizosphere soil as a papaya nursery medium.

(5)

© Hak Cipta IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang

Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

KAJIAN SIFAT KIMIA DAN BIOLOGI TANAH RHIZOSFER

BAMBU SEBAGAI

DISEASE SUPPRESSIVE SOIL

WINDA IKA SUSANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis dengan judul “Kajian Sifat Kimia dan Biologi Tanah Rhizosfer Bambu sebagai Disease Suppressive Soil” dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setulusnya kepada Bapak Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc. Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, MSc. selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingannya selama proses penelitian hingga penulisan tesis ini selesai.

Terima kasih pula penulis sampaikan kepada:

1. Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Pertanian IPB, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB dan Ketua Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan program Magister Sains (S2) di IPB. Tidak lupa pula staf pengajar dan pegawai yang ada di lingkup Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, atas segala ilmu pengetahuan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

2. Dirjen DIKTI yang telah memberikan dukungan dana melalui BPPDN Calon Dosen.

3. Ayahanda Waridi dan Ibunda Sulistyowati atas asuhan, didikan, kasih sayang, doa restu yang tulus, dorongan semangat dan motivasi agar ananda selalu tabah dan tegar menghadapi segala kesulitan selama menempuh pendidikan di IPB. Terima kasih pula kepada adik-adikku Sandi Dwi Prayoga dan Putri Dea Asmarani serta seluruh keluarga atas segala dorongan semangat dan motivasinya.

4. Nyimas Khadijah Nastiti Adinda (Dinda Hauw) dan keluarga yang selama ini telah menginspirasi penulis, memotivasi, dan memunculkan semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan dan melaksanakan penelitian di IPB. Juga sahabatku Nurul Ismah yang membantu dorongan mental selama penulis menempuh pendidikan serta teman-teman dari Wisma Bintang.

5. Rekan-rekan seperjuangan di Program Pascasarjana Bioteknologi Tanah dan Lingkungan atas jalinan persahabatan, kerjasama, dan kebersamaan selama menempuh pendidikan. Terimaksih pula kepada Bu Asih Karyati, Pak Sardjito, Bu Julaiha, dan Bu Yeti atas segala bantuan dan kemudahan fasilitas yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian di laboratorium dan Pak Apud yang telah banyak membantu penelitian di rumah kaca Cikabayan IPB.

Penulis mendoakan semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan karuania-Nya sepada semuanya. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya di

bidang pertanian. Aminn ya Rabbal A’lamin.

Bogor, Agustus 2015

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Mikrob Rhizosfer Bambu sebagai Disease Suppressive Soil 4

Rhizosfer Tanaman Bambu 4

Bakteri Kitinolitik 6

Mikrob Pelarut P 6

Bakteri Pelarut K 7

Mikrob Panghasil IAA 7

Bakteri Penambat N 8

Patogen Phytophthora palmivora 8

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian 10

Alat dan bahan 10

Metode Penelitian 10

Pengambilan Sampel Tanah dan Analisis Sifat Fisik Kimia Tanah 10 Pengujian Tanah Rhizosfer Bambu terhadap Bibit Pepaya 11

Kajian Biologi Tanah Rhizosfer Bambu 11

HASIL

Peranan Tanah Rhizosfer Bambu sebagai Disease Suppressive Soil 14

Mekanisme Disease Suppressive Soil Rhizosfer Bambu 18

Kajian Biologi Tanah Rhizosfer Bambu 20

Keragaman Mikrob Fungsional Rhizosfer Bambu 22

Kemampuan Antibiosis Mikrob Rhizosfer Bambu 27

Uji Patogenesitas Mikrob Rhizosfer Bambu 29

PEMBAHASAN 31

SIMPULAN 35

SARAN 35

DAFTAR PUSTAKA 36

(11)

DAFTAR TABEL

1 Analisis sifat fisik dan kimia tanah 11

2 Pengaruh rhizosfer bambu terhadap jumlah daun dan tinggi bibit pepaya 14

3 Pengaruh rhizosfer bambu terhadap volume dan panjang akar bibit pepaya 15

4 Rata-rata Bobot Basah Tanaman pada Pembibitan Pepaya 16

5 Pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap kejadian penyakit 17

6 Analisis sifat fisik dan kimia tanah rhizosfer dan non rhizosfer bambu 19

7 Total populasi mikrob dan kandungan IAA tanah rhizosfer bambu 21

8 Karakteristik Bakteri Rhizosfer Bambu 22

9 Mikrob fungsional rhizosfer bambu 23

10 Uji antibiosis mikrob rhizosfer bambu 28

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kitin yang terdiri dari monomer N-asetil glukosamin 6

2 Pertumbuhan bibit pepaya pada 15 HST 17

3 Pertumbuhan bibit pepaya pada 30 HST 18

4 Mikrob pelarut fosfat tanah rhizosfer bambu 24

5 Bakteri kitinolitik tanah rhizosfer bambu 25

6 Bakteri penambat N2 tanah rhizosfer bambu 26

7 Bakteri pelarut kalium tanah rhizosfer bambu 27

8 Antibiosis cendawan dan bakteri rhizosfer bambu 27

9 Kelimpahan mikrob antibiosis rhizosfer bambu 28

10 Uji patogenitas bakteri rhizosfer bambu 29

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pengamatan morfologi koloni bakteri rhizosfer bambu 40

2 Pengamatan fisiologi bakteri rhizosfer bambu 41

3 Hasil uji bakteri dan cendawan rhizosfer bambu 42

(13)

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh di beberapa daerah di Indonesia dengan keragaman fungsi dan spesies. Di Indonesia terdapat 60 spesies tanaman bambu dari 200 spesies yang ada di kawasan Asia Tenggara dan dapat dijumpai di daerah yang bebas dari genangan air, mulai dari dataran rendah hingga pegunungan. Sifat adaptasi bambu yang tergolong tinggi membuat tanaman ini dapat tumbuh baik hampir di setiap jenis tanah (Widjaja et al. 1995). Para petani sering menggunakan tanah perakaran (rhizosfer) bambu sebagai media persemaian yang sudah menjadi indigenous knowledge. Diduga tanah rhizosfer bambu memiliki peranan dalam fenomena disease suppressive soil. Mekanisme suppressive soil dipengaruhi oleh faktor tidak langsung yaitu kondisi fisik dan kimia tanah yang meliputi: tekstur, pH, kandungan bahan organik, C-organik, KTK serta faktor secara langsung dan paling berperan yaitu total populasi serta aktivitas mikrob tanah (Hadiwiyono 2010).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peranan tanah rhizosfer bambu dalam mengendalikan penyakit yang dikenal sebagai disease suppressive soil pada pengendalian penyakit tanaman pepaya. Pepaya digunakan sebagai objek penelitian karena merupakan tanaman buah penting di Indonesia yang saat ini mulai banyak ditanam secara intensif di perkebunan baik untuk keperluan pasar lokal maupun ekspor. Busuk pangkal batang yang disebabkan oleh patogen Phytophthora palmivora merupakan penyakit terpenting pada pertanaman pepaya dan tersebar luas di dunia, termasuk di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa yang dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 85%-100%. Sampai saat ini belum ada cara pengendalian yang efektif untuk menanggulangi penyakit ini, baik secara fisik maupun kimia sehingga diperlukan upaya yang bijaksana untuk mengendalikan patogen ini (Wibowo et al. 2003; Chliyeh et al. 2014).

Hingga saat ini telah banyak dilaporkan mikrob antagonis potensial asal rhizosfer bambu yang memiliki daya antagonisme terhadap patogen tular tanah (soil borne disease) melalui mekanisme antagonis berupa persaingan hidup, parasitisme, antibiosis dan induced systemic resistence. Selain menekan perkembangan patogen, mikrob rhizosfer juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui berbagai mekanisme, diantaranya melalui produksi senyawa stimulan pertumbuhan seperti fitohormon. Di dalam tanah banyak mikrob yang mempunyai kemampuan dalam melarutkan fosfat dan kalium, menambat N2, dan menghasilkan fitohormon. Mikrob ini dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan memproduksi senyawa fitohormon indole acetic acid (IAA) sebagai nutrisi bagi tanaman (Aryantha et al. 2004; Zahir et al. 2004).

(14)

penurunan indeks penyakit akar gada dan peningkatan bobot basah tanaman brokoli. Penelitian yang dilakukan Tu et al. (2013) di Cina terhadap rhizosfer 6 spesies bambu menunjukkan bahwa total populasi cendawan dan bakteri serta aktivitas mikrob pada tanah rhizosfer bambu sangat tinggi dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan tanah rhizosfer bambu dalam fenomena disease suppressive soil, yang menekan penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh P. palmivora dan meningkatkan pertumbuhan bibit pepaya. Penelitian ini juga bertujuan mengetahui mekanisme disease suppressive soil yang terjadi pada rhizosfer bambu tersebut dilihat dari sifat kimia dan biologi tanah.

Rumusan Masalah

Tanaman bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh di beberapa daerah di Indonesia. Banyak sekali spesies bambu dengan keragaman fungsinya. Selain itu, para petani juga sering menggunakan tanah perakaran bambu sebagai media persemaian yang sudah menjadi indigenous knowledge. Diduga di rhizosfer bambu tersebut terdapat banyak mikrob bermanfaat dalam fenomena disease suppressive soil yang berkaitan dengan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

Pepaya merupakan buah-buahan tropis yang banyak diminati, termasuk di Indonesia karena memiliki banyak manfaat di antaranya sebagai sumber nutrisi, menjaga kesehatan tubuh, dan bahan baku industri. Namun, dalam budidayanya tanaman ini sering ditemui organisme pengganggu tanaman khususnya yang disebabkan oleh P. palmivora penyebab penyakit busuk akar dan pangkal batang. Pemanfaatan tanah rhizosfer bambu sebagai disease suppressive soil sangat potensial untuk menekan perkembangan patogen ini melalui berbagai mekanisme.

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh tanah rhizosfer bambu sebagai disease suppressive soil dilihat dari sifat kimia dan biologi tanah ?

2. Bagaimanakah keragaman fungsional mikrob rhizosfer bambu dalam kaitannya dengan fenomena disease suppressive soil?

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji pengaruh tanah rhizosfer bambu sebagai disease suppressive soil dilihat dari sifat kimia dan biologi tanah.

2. Mempelajari dan mengkaji keragaman fungsional mikrob rhizosfer bambu dalam kaitannya dengan fenomena disease suppressive soil.

Manfaat Penelitian

(15)
(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Mikrob Rhizosfer Sebagai Disease Suppressive Soil

Penggunaan mikrob rhizosfer sebagai agensia pemacu pertumbuhan tanaman dan pengendali hayati (Plant Growth-Promoting and Bioprotecting Rhizobacteria/ PGPBR) merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya dukung lahan sehingga produktivitas tanaman dapat meningkat. Penggunaan PGPBR akan sangat bermanfaat jika isolat-isolat indigenus dilakukan sedikit modifikasi, sehingga dengan mudah mampu beradaptasi apabila diaplikasikan ke lingkungan alaminya. Dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia, penggunaan PGPBR memiliki beberapa keuntungan antara lain : (i) penggunaannya tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, (ii) tidak mengandung bahan beracun yang dapat menimbulkan residu pada rantai makanan, (iii) tidak memerlukan aplikasi berulang, karena mikroba dapat memperbanyak diri selama lingkungan mendukung perkembangannya, (iv) tidak menimbulkan efek samping terhadap organisme yang bermanfaat pada tanaman, dan (v) dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen (Zhang et al. 2002). Mekanisme PGPBR sebagai pemacu pertumbuhan dan agensia pengendali hayati belum sepenuhnya dimengerti, namun diduga erat kaitannya dengan beberapa mekanisme seperti (i) kemampuan menghasilkan atau mengubah konsentrasi hormon tumbuh seperti indole acetic acid (IAA), gibberellic acid, cytokinins, dan ethylene; (ii) fiksasi N2 secara bebas; (iii) bersifat antagonis antibiotik dan sianida, dan (iv) kemampuan melarutkan mineral fosfat dan hara lainnya (Cattelan et al. 1999). Pengendalian hayati patogen tanaman oleh mikrob rhizosfer dapat melalui: produksi siderofor, ß-1,3-glukanase, kitinase. Mikrob yang dapat hidup pada daerah rhizosfer sangat sesuai digunakan sebagai agen pengendalian hayati, mengingat bahwa rhizosfer adalah daerah yang utama dimana akar tumbuhan terbuka terhadap patogen. Jika terdapat mikrob antagonis pada daerah ini, patogen akan berhadapan selama menyebar dan menginfeksi akar.

Menurut Rao (1999) dalam tanah banyak bakteri yang mempunyai kemampuan melepas P dari ikatan Fe, Al, Ca dan Mg sehingga P yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman, salah satunya adalah Pseudomonas. Selain itu, juga terdapat mikroba penghasil fitohormon yang berperan dalam penyediaan dan penyerapan unsur hara bagi tanaman. Bakteri ini dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan memproduksi hormon IAA sebagai nutrisi bagi tanaman (Aryantha et al. 2004). Kedua jenis bakteri tersebut dapat digunakan sebagai Biofertilizer yang dapat memacu pertumbuhan tanaman tanpa membahayakan lingkungan.

Rhizosfer Tanaman Bambu Gigantochloa apus (Bambu Apus)

(17)

sifat adaptasi yang tingi sehingga cepat tumbuh dan tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus. Ciri dari bambu ini di antaranya adalah buluhnya berwarna hijau kekuningan, ketika masih muda terdapat lapisan lilin pada bagian bawah bukunya, pelepah buluh yang selalu melekat pada buluhnya, termasuk tanaman simpodial, berdiri tegak, tinggi batang 8-30 cm dengan diameter buluh 4-13, tebal buluh 1,5 cm, berwarna hijau terang sampai kuning, panjang ruas 20-60 cm dan buku sedikit membengkok pada bagian luar (Widjaja et al. 1995).

Dendrocalamus asper (Bambu Betung)

Beberapa ciri dari bambu betung di antaranya adalah rumpun yang agak sedikit rapat dengan tinggi batang dapat mencapat 20 m dan dengan diameter 20 cm. Pada buku bambu betung sering terdapat akar pendek dan menggerombol. Panjang ruas batang bambu betung berkisar antara 40-60 cm. Dinding buluh bambu betung cukup tebal yaitu berkisar 0,5-3 cm. Cabang bambu betung yang mampu bercabang lagi hanya terdapat pada buku-buku bagian atas batang dan pelepah buluhnya mudah jatuh. Panjang pelepah buluh bambu betung adalah 20-55 cm dengan miang berwarna coklat keputihan. Bambu ini tumbuh baik pada ketinggian 0-2000 mdpl, akan tumbuh baik jika tanahnya cukup subur terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering (Widjaja et al. 1995).

Schizostachyum longispiculatum (Bambu Jalur)

Bambu ini rumpunnya rapat dan tegak dengan ujung buluh yang terkulai. Tinggi buluh mencapai 7,5 m. Buluhnya ramping dan kecil dengan gaya tengah sampai 6 cm. Masing-masing ruas panjangnya tidak lebih dari 75 cm. Percabangan terdapat mulai dari buku-buku yang dekat dengan tanah, pendek dan tumbuhnya sama besar. Warna buluhnya hijau, pelepah buluhnya berwarna kuning kotor dan mudah sekali terlepas dari buluhnya. Daun pelepah buluhnya berbentuk pita, panjang dengan ujung yang lancip. Bambu ini menyukai tanah terbuka di dataran rendah dengan ketinggian di bawah 300 mdpl (Widjaja et al. 1995).

Bambusa vulgaris (Bambu Kuning)

Bambu kuning mempunyai rumpun agak jarang. Buluhnya tegak atau agak condong, tinggi antara 15 m dan 20 m dengan garis tengah sampai 10 cm. Buluhnya berwarna kuning, hijau bertotol coklat, hijau mengkilat atau kuning bergaris hijau. Percabangan terdapat pada buku-buku bagian atas, tapi tidak jarang dijumpai cabang pada buku pada bagian bawah. Letak cabang berselang-seling. Cabang primer lebih besar dari cabang-cabang yang lain. Pelepah buluhnya berniang hitam, dengan pelepah buluh yang masih menempel. Daun pelepah buluh berbentuk bundar telur melebar. Kuping daunnya ada dan jelas. Bambu kuning sangat mudah beradaptasi dengan bermacam-macam tanah dan kelembaban, di daerah-daerah dengan ketinggian sampai 700 mdpl. Seringkali jenis ini dijumpai di pematang sawah. Jika rumpun bambu dipotong, dengan mudah dapat tumbuh kembali. Rebungnya dapat dimakan sebagai sayuran. Biasanya rebung ini dipotong segera setelah tumbuh, sebab pertumbuhannya cepat, sehingga cepat pula rebung ini akan menjadi buluh muda. Dalam waktu 2 minggu buluh yang muda dapat mencapai tinggi 4 m (Widjaja et al. 1995).

(18)

Bakteri Kitinolitik

Kitinase adalah enzim yang mendegradasi kitin menjadi N-asetilglukosamin, degradasi kitin dapat dilakukan oleh organisme kitinolitik dengan melibatkan enzim kitinase. Mikrob pendegradasi kitin umumnya berasal dari kelompok bakteri. Enzim kitinase yang dihasilkan oleh bakteri kitinolitik mempunyai potensi tinggi untuk mendegragadi kitin sehingga dapat berfungsi sebagai agen biokontrol terhadap patogen tanaman maupun serangga hama yang umumnya memiliki komponen kitin pada dinding selnya (Muharni 2009). Bakteri kitinolitik dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti rhizosfer, filosfer, tanah atau dari lingkungan air. Selain lingkungan mesofil, bakteri kitinolitik juga telah berhasil diisolasi dari lingkungan termofilik seperti sumber air panas. Beberapa bakteri kitinolitik dari berbagai sumber telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi, misalnya Vibrio furnisi, Serratia marcescens, Bacillus circulans, Pseudomonas aeruginosa, Alkaligenes denitrificans, Agrobacterium sp, Aeromonas hydrophila yang mendegradasi kitin dan memanfaatkan N-asetilglukosamin sebagai sumber karbon (Herdyastuti et al. 2009).

Bakteri kitinolitik dapat diperoleh dari sumbernya dengan cara menumbuhkan dalam media yang mengandung kitin. Aktivitas kitinolitik diinduksi dalam media pertumbuhan strain dengan adanya kitin sebagai sumber karbon (Chernin et al. 1998). Suspensi koloidal kitin digunakan dalam media agar nutrien untuk isolasi bakteri kitinolitik. Koloidal kitin adalah kitin yang dilarutkan dalam asam klorida pekat sebagai media selektif untuk mendapatkan Actinomycetes dari air dan tanah. Bakteri kitinolitik dapat diseleksi keberadaannya dengan mendegradasi media agar kitin yang dapat dideteksi dengan adanya zona bening di sekitar koloni bakteri (Muharni 2009).

Gambar 1 Struktur kitin yang terdiri dari monomernya N-asetil-glukosamin dan sisi spesifik pemotongan kitinase

Mikrob Pelarut Fosfat

(19)

pelarut fosfat yang berada dekat dengan daerah perakaran lebih aktif daripada yang hidup jauh dari perakaran. Pertumbuhan mikrob pelarut fosfat sangat dipengaruhi oleh kemasaman tanah. Pada tanah masam, aktivitas mikroba didominasi oleh kelompok cendawan sebab pertumbuhan cendawan optimum pada pH 5-5,5. Pertumbuhan cendawan menurun bila pH meningkat. Cendawan dalam tanah berbentuk miselium vegetatif ataupun spora yang tersebar di antara partikel tanah dan tersusun dalam hifa-hifa bersepta atau tidak. Sebaliknya pertumbuhan kelompok bakteri optimum pada pH sekitar netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya pH tanah. Secara umum bakteri pelarut fosfat yang dominan yang diisolasi dari rizosfer tanah termasuk ke dalam golongan mikrob aerob pembentuk spora, hidup pada kisaran pH 4-10 (Sharma 2011; Reena et al. 2013).

Mikrob pelarut fosfat terdiri atas bakteri, fungi, dan sedikit aktinomiset. Mikrob yang termasuk dalam kelompok bakteri pelarut fosfat misalnya Pseudomonas striata, P. diminuta, P. fluorescens, P. cerevisia, P. aeruginosa, P. putida, P. denitrificans, P. rathonis, Bacillus polymyxa, B. laevolacticus, B. megatherium, Escherichia freundii, dan lain-lain. Sedangkan fungi yang dapat melarutkan fosfat umumnya berasal dari kelompok Deuteromycetes misalnya Aspergillus niger, A. awamori, A. tubingensis, Fusarium sp., Penicillium digitatum, P. oxalicum, P. bilaji dan lain-lain. Fungi pelarut fosfat yang dominan di tanah adalah Penicillium dan Aspergillus (Vance et al. 2003; Tallapragada et al. 2012).

Mikrob Pelarut Kalium

Mikrob memainkan peran kunci dalam siklus K alami. Ada cukup bakteri pelarut K di dalam tanah dan rhizosfer sehingga mikrob yang dapat melarutkan K bisa menjadi teknologi alternatif untuk membuat kalium tersedia bagi penyerapan tanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikrob dapat mempercepat pelapukan mineral dan batuan dengan menghasilkan asam-asam organik, senyawa-senyawa fenolik, siderofor, dan senyawa metabolit lainnya. Beberapa genus bakteri, seperti Bacillus, Pseudomonas dan Burkholderia serta fungi dari spesies Aspergillus niger dan Aspergillus terreus mampu melarutkan K dari mineral batuan. Mikrob pelarut K berpotensi sebagai pupuk hayati yang mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara K bagi tanaman. Pupuk hayati ini sangat berperan penting dalam meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan tanah serta pertumbuhan tanaman (Prajapati et al. 2012).

Mikrob Penghasil Fitohormon

(20)

yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman, salah satunya adalah Pseudomonas. Selain itu, juga terdapat mikroba penghasil fitohormon yang berperan dalam penyediaan dan penyerapan unsur hara bagi tanaman. Bakteri ini dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan memproduksi hormon IAA sebagai nutrisi bagi tanaman (Aryantha et al. 2004). Kedua jenis bakteri tersebut dapat digunakan sebagai pupuk hayati yang dapat memacu pertumbuhan tanaman tanpa membahayakan lingkungan. Berbagai hasil penelitian sebelumnya melaporkan bahwa beberapa mikroba mampu menghasilkan senyawa yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman. Bakteri Rhizobium yang terseleksi mampu menstimulasi pertumbuhan, baik pada tanaman Leguminoceae (tanaman kacang-kacangan) maupun yang bukan Leguminoceae. Bakteri tersebut terbukti mampu memproduksi fitohormon yaitu sitokinin dan auksin (Moeinzadeh et al. 2010). Sedangkan Bacillus megaterium dilaporkan dapat melarutkan fosfat. Selain itu beberapa strain dari genus Pseudomonas, Bacillus dan Rhizobium yang diisolasi dari negara tropis, juga dilaporkan dapat melarutkan fosfat (Rodríguez & Fraga 1999).

Mikrob Penambat N2

Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro esensial yang menyusun sekitar 1,5 % bobot tanaman dan terutama berfungsi untuk pembentukan protein. Di atmosfer, nitrogen merupakan unsur paling dominan (80% dari seluruh gas yang ada), tetapi tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman. Nitrogen bersifat labil karena mudah berubah bentuk dan hilang baik melalui volatilitas ataupun pelindihan. Di daerah rhizosfer tanaman terdapat beberapa bakteri penambat N non -simbiotik yang hidup bebas seperti Azotobacter (Hanafiah 2010). Beberapa speies Azotobacter menghasilkan protein untuk mengikat nitrogenase dan melindunginya dari kerusakan oleh oksigen. Selain itu, beberapa bakteri aerobik diazotrof menghasilkan koloni besar dan gummy (ekstraseluler polisakarida) pada media agar bebas nitrogen yang berfungsi sebagai penghalang koloni terhadap paparan oksigen (Hastuti 2007). Azotobacter memiliki bentuk yang sangat variatif, bersifat gram negatif yang aerob obligat, serta tumbuh baik pada media defisien N serta menghasilkan lendir kapsul jika diberikan glukosa sebagai sumber karbon. Adanya akumulasi bakteri ini pada rizosfer merupakan cerminan adanya stimulasi eksudat akar muda berupa berbagai gula, yang mendorong migrasi dan pembelahan sel-selnya, serta perkecambahan kista. Hal ini menjelaskan kerja fungistatis dalam tanah (Hanafiah 2010).

Patogen Phytophthora palmivora pada Pepaya

(21)

interkalar, dinding tebal atau tipis, tumbuh dengan membentuk hifa. Jika 2 hifa dipertemukan akan membentuk oogonium dengan oospora bulat dan rata-rata bergaris tengah 22-24 um (Chliyeh et al. 2014).

(22)

3 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2014 sampai April 2015 di

Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan dan Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Uji pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap pengendalian P. palmivora dan peningkatan pertumbuhan bibit pepaya dilakukan di kebun percobaan IPB di Cikabayan.

Bahan dan Alat

Bahan- bahan yang digunakan adalah tanah rhizosfer dan non rhizosfer bambu, media Marthin Agar, PDA, NA, NB, Alexandrov, kitin agar, dan Pikovskaya, benih pepaya var. Calina, isolat P. palmivora, larutan fisiologis, alkohol 70%, aquadest, buffer fosfat, L-triptofan, larutan stok IAA, bahan fase gerak High Performance Liquid Cromatography (HPLC). Alat yang digunakan di laboratorium adalah autoklaf, bunsen, cawan petri, erlenmeyer, inkubator, ose, kaca objek, kaca penutup, magnetic stirrer, mikroskop, pipet serologis, shaker, soil tester, spatula, tabung reaksi, timbangan, vortex, unit HPLC. Alat yang digunakan di lapangan adalah sekop tanah, GPS, pH meter, thermometer, kamera.

Metode Penelitian

Penelitian terdiri atas 3 bagian, yaitu: (i) tahap pengambilan sampel tanah dan analisis kimia tanah non rhizosfer dan rhizosfer bambu, (ii) pengujian tanah rhizosfer bambu terhadap penyakit busuk batang dan pertumbuhan bibit pepaya di rumah kaca, dan (iii) kajian biologi tanah rhizosfer bambu yang meliputi: total populasi mikrob, kandungan IAA total ekstrak tanah, keragaman mikrob fungsional (mikrob pelarut fosfat, bakteri penambat nitrogen, bakteri pelarut kalium, bakteri kitinolitik) serta jumlah mikrob antibiosis yang meliputi cendawan dan bakteri asal rhizosfer bambu.

(i) Pengambilan Sampel Tanah dan Analisis Sifat Fisik Kimia Tanah

(23)

Setelah itu, sampel tanah dicampurkan dan sebanyak 500 g dimasukkan dalam kantung plastik tipis untuk isolasi bakteri dan cendawan di laboratorium serta 3000-4000 g tanah untuk uji rumah kaca.

Setiap sampel tanah pada masing-masing rhizosfer tanaman bambu dan tanah non rhizosfer dianalisis sifat fisik dan kimia tanahnya yang meliputi:

Tabel 1 Analisis sifat fisik dan kimia tanah

Analisa Metode

HClO4: HNO3 (1:5) spektrofotometer HClO4: HNO3 (1:5) AAS

NH4OAc 1 N pH 7

(ii) Pengujian Tanah Rhizosfer Bambu terhadap Penyakit Busuk Batang dan Pertumbuhan Bibit Pepaya

Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan tanah rhizosfer bambu dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menekan penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh P. palmivora. Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah rhizosfer bambu dan sebagai kontrol digunakan tanah non rhizosfer bambu. Tanah rhizosfer dan non rhizosfer bambu dibersihkan dari akar-akar tanaman dan dimasukkan ke dalam polibag diameter 11x14 cm. Benih pepaya var. Calina ditanam pada media tanah tersebut di dalam polibag dengan setiap polibag 1 benih pepaya. Setelah berumur 1 minggu, media tanah tersebut diinokulasikan P. palmivora kepadatan 103 spora g-1 berat kering tanah dengan cara disiramkan, kemudian dilakukan pengamatan. Penanaman bibit pepaya dilakukan selama 30 hari dengan pemeliharaan yang meliputi penyiraman, pemupukan, dan pengendalian hama. Pengamatan meliputi kejadian penyakit tanaman, tinggi tanaman, jumlah daun, volume akar, dan bobot basah. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan media tanam (tanah non rhizosfer bambu, rhizosfer D. asper KGS, rhizosfer D. asper hutan IPB, rhizosfer B. vulgaris KGS, rhizosfer B. vulgaris hutan IPB, rhizosfer S. longispiculatum, rhizosfer G. apus) dan 6 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 4 sub unit sehingga total seluruh unit adalah 168 polibag. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam pada taraf α0.05. Apabila berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).

(iii)Kajian Biologi Tanah Rhizosfer Bambu

Kajian Total Populasi Mikrob dan Kandungan IAA

(24)

Suspensi yang dihasilkan dibuat seri pengenceran hingga 10-7 dalam tabung reaksi. Untuk isolasi bakteri, diambil sebanyak 0.1 ml pada pengenceran 10-6 dan 10-7 kemudian dibiakkan pada media Nutrient Agar (NA), sedangkan cendawan pada pengenceran 10-3 dan 10-4 dan dibiakkan pada media Martin Agar (MA). Semua isolat bakteri dan cendawan yang diperoleh dihitung jumlah koloninya dan dimurnikan. Perhitungan kandungan IAA potensial dari ekstrak tanah menggunakan metode analisis HPLC.

Perhitungan:

Total populasi cfu g-1 tanah kering = (jumlah koloni) x (fp) Berat kering tanah Keterangan:

fp = faktor pengenceran pada cawan petri yang koloninya dihitung bk = berat kering contoh tanah (g) = berat basah x (1- kadar air)

Untuk pengujian IAA, masing-masing sampel tanah disaring (< 2 mm) kemudian ditimbang sebanyak 3 g ke dalam tabung sentrifus propilena. Sampel tanah tersebut harus dijaga kelembabannya (jaga pada suhu in situ). Kemudian ditambahkan 5 ml larutan buffer fosfat netral (PP7) dan mencampurkannya dengan spatula, kocok agregat dengan sonifikasi selama 5 detik dalam ultrasonic bath. Suspensi tanah tersebut kemudian disentrifus pada 5000 x g (swing out rotor) selama 30 menit pada suhu 40 C dan diambil supernatannya dengan hati-hati, filter (0.45 um) dengan slight partial vacum ke dalam gelas vial 15 ml. Setelah itu, cuci permukaan tanah dua kali dengan 1 ml larutan PP7, filter kembali suspensi cucian dan cuci permukaan peralatan filtrasi bagian dalam dua kali dengan 1 ml PP7 ke dalam vial sehingga diperoleh 9-10 ml filtrat. Filtrat atau supernatan ini langsung digunakan untuk pengukuran kadar IAA dengan analisis HPLC.

Kajian Mikrob Fungsional Rhizosfer Bambu

(25)

Kajian Antibiosis Mikrob Rhizosfer Bambu Secara in vitro

Uji antagonisme secara in vitro dilakukan dengan metode dual culture pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) dalam cawan Petri. Mekanisme penghambatan yang terjadi adalah antibiosis yang diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai zona penghambatan pertumbuhan P. palmivora. Untuk uji antagonisme bakteri, sebanyak 1 lup inokulan digoreskan ke dalam cawan Petri yang telah berisi media PDA dengan jarak 2 cm dari patogen. Untuk uji antagonisme cendawan, ke dalam cawan Petri yang berisi media PDA diletakkan isolat cendawan antagonis dan isolat patogen dengan diameter masing-masing sebesar 3 mm dengan jarak 3 cm. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang dan dilakukan pengamatan terhadap zona bening yang dihasilkan serta perhitungan persentase antibiosis bakteri dan cendawan asal rhizosfer bambu.

Uji Patogenesitas Mikrob Antagonis Asal Rhizosfer Bambu Uji Patogenitas Bakteri Rhizosfer Bambu

Uji patogenesitas bakteri dilakukan dengan menggunakan tanaman tembakau (Nicotiana tabacum). Uji ini dilakukan untuk mencari isolat yang tidak memberikan respon hipersensitif atau bersifat patogen terhadap tanaman uji. Melalui uji ini akan diperoleh informasi mengenai sifat patogenitas isolat terhadap tanaman, apakah isolat tersebut bersifat patogen bagi tanaman atau tidak. Masing-masing isolat yang berumur 24 jam dalam larutan fisiologis 0.85% dengan konsentrasi 108 sel/ml, kemudian sebanyak 1 ml diinjeksikan pada area ruas daun tembakau (Nicotiana tabacum) berumur 3 bulan. Pengamatan akan dilakukan 48 jam setelah penyuntikan. Kontrol negatif menggunakan air steril dan kontrol positif dengan bakteri patogen tanaman. Respon patogenisitas ditunjukkan dengan adanya nekrosis yang berwarna kecoklatan pada permukaan daun di daerah yang telah diinjeksi oleh isolat mikrob. Nekrosis disebabkan karena kematian lokal jaringan daun.

Uji Patogenesitas Cendawan Asal Rhizosfer Bambu

(26)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Peranan Tanah Rhizosfer Bambu dalam Fenomena Disease Suppressive Soil

Di beberapa daerah di Indonesia, para petani sering menggunakan tanah rhizosfer bambu sebagai media persemaian yang sudah menjadi indigenous knowledge. Hasil penelitian ini menguraikan mengenai peranan tanah rhizosfer bambu yang dikaji dari sifat kimia dan biologi tanah dalam meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan bibit pepaya terhadap serangan patogen. Penelitian ini membuktikan bahwa tanah rhizosfer bambu bersifat disease suppressive soil dalam menekan patogen P. palmivora penyebab busuk pangkal batang (damping off) dan meningkatkan pertumbuhan bibit pepaya melalui percobaan rumah kaca. Pertumbuhan tanaman yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, volume akar, dan bobot basah tanaman. Pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap tinggi tanaman pepaya ditunjukkan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2 Pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap jumlah daun dan tinggi bibit pepaya

Perlakuan Pertumbuhan tanaman (30 HST)

Jumlah daun (helai)

tinggi (cm)

Tanpa inokulasi patogen

Non Rhizosfer Bambu 7.0 d 13.77 e

Rhizosfer G. apus 7.0 d 14.92 de

Rhizosfer S. longispiculatum 7.0 d 15.83 d

Rhizosfer D. asper KGS 11.0 a 22.53 a

Rhizosfer D. asper Hutan IPB 9.0 bc 17.46 c Rhizosfer B. vulgaris KGS 8.0 cd 17.84 c Rhizosfer B. vulagris Hutan IPB 10.0 ab 20.20 b

Dengan inokulasi patogen

Non Rhizosfer Bambu 7.0 c 12.23 d

Rhizosfer G. apus 8.0 b 13.40 c

Rhizosfer S. longispiculatum 7.0 c 13.87 bc Rhizosfer D. asper KGS 9.0 a 15.78 a Rhizosfer D. asper Hutan IPB 8.0 b 13.62 c Rhizosfer B. vulgaris KGS 8.0 b 14.62 ab Rhizosfer B. vulgaris Hutan IPB 9.0 a 14.94 ab

Keterangan : Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%, KGS=kaki Gunung Salak.

(27)

Sama halnya dengan tinggi tanaman, pertumbuhan tanaman juga diindikasikan dengan jumlah daun tanaman yang tumbuh. Semakin baik pertumbuhan tanaman, jumlah daun tanamannya juga semakin banyak. Pada perlakuan tanpa inokulasi patogen ataupun dengan inokulasi patogen, bibit pepaya yang ditanam pada beberapa jenis rhizosfer bambu memiliki jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan dengan jika ditanam pada tanah non rhizosfer bambu, kecuali penanaman bibit pepaya pada rhizosfer G. apus dan rhizosfer S. longispiculatum yang tidak berbeda nyata dengan penanaman bibit pepaya pada tanah non rhizosfer bambu. Penanaman bibit pepaya pada rhizosfer D. asper KGS dan B. vulgaris hutan IPB menunjukkan nilai pertumbuhan tanaman terbaik (Tabel 2). Selain tinggi tanaman dan jumlah daun, pertumbuhan bibit pepaya yang baik juga diindikasikan oleh volume dan panjang akar tanaman, baik yang diinokulasi dengan patogen P. palmivora ataupun yang tanpa inokulasi patogen.

Tabel 3 Pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap volume dan panjang akar

Keterangan : Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%, KGS=kaki Gunung Salak.

(28)

Volume akar yang baik akan berpengaruh positif terhadap perkembangan populasi mikrob yang terdapat pada tanah sekitar bambu tersebut. Nilai volume akar yang tinggi diindikasikan oleh banyaknya rambut-rambut akar yang akan berpengaruh pula terhadap kuantitas dari eksudat akar yang dihasilkan. Selain berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, volume akar juga akan berpengaruh terhadap hasil tanaman yang diperlihatkan oleh bobot basah tanaman. Terdapat korelasi posistif antara volume akar, eksudat akar yang dihasilkan dan juga total komunitas mikrob yang mendiami rhizosfer tanaman, baik total populasi cendawan, bakteri, maupun komunitas mikrob fungsional tanah rhizosfer bambu. Pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap bobot basah bibit pepaya diperlihatkan pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4 Rata-rata bobot basah tanaman pada pembibitan pepaya

Perlakuan Rata-rata bobot basah tanaman(g)

Dengan akar tanpa akar

Keterangan : Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%, KGS=kaki Gunung Salak.

(29)

pertumbuhan tanaman, kejadian penyakit juga diamati pada penelitian ini. Kejadian penyakit diamati di lapangan untuk mengetahui kemampuan tanah rhizosfer bambu dalam mengendalikan patogen P. palmivora yang menyerang bibit pepaya dan dihitung dalam persentase.

Tabel 5 Pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap kejadian penyakit busuk pangkal batang

Jenis rhizosfer bambu Kejadian penyakit (%)

Non rhizosfer bambu Rhizosfer G. apus

Rhizosfer S. longispiculatum Rhizosfer D. asper KGS Rhizosfer D. asper Hutan IPB Rhizosfer B. vulgaris KGS Rhizosfer B. vulgaris Hutan IPB

54.20 a 41.70 ab

33.40 b 12.50 c 25.00 bc 29.20 bc

16.70 c

Keterangan : Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian penyakit yang tertinggi adalah bibit pepaya yang ditanam pada tanah non rhizosfer bambu yaitu 54.20%, sedangkan kejadian penyakit terendah yaitu bibit pepaya yang ditanam pada rhizosfer D. asper asal kaki Gunung Salak dengan nilai 12.50% dan disusul dengan kejadian penyakit bibit pepaya yang ditanam rhizosfer B. vulgaris asal hutan bambu IPB dengan nilai 16.70%. Secara umum, kejadian penyakit tanaman akibat serangan patogen P. palmivora lebih rendah pada bibit pepaya yang ditanam pada tanah rhizosfer bambu dibandingkan dengan yang ditanam pada tanah non rhizosfer bambu (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan bahwa tanah rhizosfer bambu selain berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan bibit pepaya, juga berpotensi dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen, khususnya P. palmivora.

(30)

Secara umum bibit pepaya yang ditanam pada tanah beberapa rhizosfer bambu menunjukkan pertumbuhan tanaman dan ketahanan terhadap serangan patogen yang jauh lebih baik (Gambar 2 dan 3) dibandingkan dengan bibit pepaya yang ditanam pada tanah non rhizosfer bambu. Dengan demikian, tanah rhizosfer bambu berperan dalam fenomena disease suppressive soil yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menurunkan kejadian penyakit tanaman yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan pertumbuhan bibit pepaya dan penekanan patogen P. palmivora.

Gambar 3 Pertumbuhan bibit pepaya pada 30 HST

Mekanisme DiseaseSuppressive Soil Tanah Rhizosfer Bambu

(31)

tanaman yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Munawar 2011). Tingginya kandungan C-organik pada rhizosfer bambu diduga karena melimpahnya serasah, baik berupa pelepah buluh ataupun daun-daun di sekitar tanah perakaran bambu dan mengalami dekomposisi sehingga terjadi peningkatan bahan organik tanah.

Tabel 6 Analisis sifat fisik dan kimia tanah rhizosfer dan non rhizosfer bambu Sifat Kimia Non pertumbuhan tanaman. Tingginya nilai KTK dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah rhizosfer bambu yang tinggi. KTK tanah yang tinggi mampu meningkatkan efisiensi dan penyerapan unsur hara sehingga tanah dengan nilai KTK tinggi ketersediaan unsur haranya akan meningkat. Berdasarkan penelitian Handoko (2014), KTK yang tinggi berpengaruh terhadap serapan unsur hara oleh akar tanaman. Tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik sehingga pertumbuhan tanaman juga akan lebih baik. Tanah dengan KTK tinggi didominasi oleh kation yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Dengan KTK tanah yang tinggi, pertumbuhan tanaman lebih baik dan sehat sehingga lebih tahan terhadap penyakit. Kandungan P2O5 tersedia tanah rhizosfer bambu lebih tinggi dibandingkan tanah non rhizosfer bambu dan berpengaruh terhadap ketersediaan P bagi tanaman. Berdasarkan penelitian Hadiwiyono (2010), unsur P yang tersedia cukup bagi tanaman dapat menurunkan intensitas penyakit. Tingginya P tersedia pada tanah rhizosfer bambu diduga berkaitan dengan aktivitas mikrob pelarut P dan bahan organik tanah.

(32)

kelimpahan mikrob dan total populasi mikrob pelarut fosfat berkorelasi negatif dengan nilai pH tanah. Semakin tinggi populasi mikrob pelarut fosfat, maka pH tanah cenderung turun karena sekresi asam organik oleh mikrob. Penelitian yang sama dilakukan oleh Tu et al. (2013) terhadap 6 spesies bambu di Cina yang menunjukkan bahwa total populasi dan aktivitas mikrob tanah berkorelasi negatif dengan pH tanah. Semakin tinggi populasi mikrob dalam tanah rhizosfer bambu, nilai pH tanahnya cenderung turun. Nilai pH tanah yang rendah ini akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan P. palmivora. Dengan demikian, tanaman akan lebih tahan terhadap penyakit yang disebabkan P. palmivora pada pH masam.

Sifat fisik tanah berpengaruh secara tidak langsung dalam penelitian ini. Hasil analisis sifat fisik tanah menunjukkan bahwa seluruh sampel tanah didominasi oleh fraksi liat.Tekstur tanah yang didominasi oleh fraksi liat memiliki pengaruh positif terhadap nilai KTK tanah dan serapan unsur hara tanaman. Dengan demikian, tanah dengan kandungan liat tinggi memiliki KTK yang lebih tinggi pula (Munawar 2011).

Kajian Biologi Tanah Rhizosfer Bambu

Selain faktor kimia tanah, fenomena disease suppressive soil juga dipengaruhi oleh faktor biologi tanah. Dalam penelitian ini, sifat biologi tanah yang menentukan disease suppressive soil diantaranya: total populasi bakteri, bakteri penambat N2, bakteri kitinolitik, kandungan IAA total tanah, kelimpahan bakteri dan cendawan antibiosis. Total populasi bakteri yang berasal dari rhizosfer bambu lebih tinggi dibandingkan dengan tanah non rhizosfer bambu. Total populasi bakteri tertinggi adalah pada rhizosfer D. asper di dua lokasi dan B. vulgaris asal kaki Gunung Salak. Demikian halnya dengan kandungan IAA total tanah rhizosfer bambu yang lebih lebih tinggi dibandingkan tanah non rhizosfer bambu (Tabel 7). Kandungan IAA total tanah rhizosfer G. apus tergolong sedang, dan kandungan IAA total tanah seluruh rhizosfer bambu lainnya tergolong tinggi berdasarkan penelitian Astuti (2008) bahwa konsentrasi IAA 0-30 ppm merupakan kategori rendah, 31-60 ppm kategori sedang, dan > 60 ppm kategori tinggi. Pengukuran IAA pada ekstrak rhizosfer bambu menunjukkan kandungan IAA total tanah. Kandungan IAA total dalam ekstrak tanah mengindikasikan banyaknya mikrob dalam sampel rhizosfer bambu yang berpotensi dalam menghasilkan IAA. Semakin tinggi kandungan IAA dalam ekstrak tanah rhizosfer, maka semakin besar pula kandungan IAA yang dihasilkan oleh mikrob tersebut. Nilai kuantitatif dari konsentrasi IAA pada sampel tanah umumnya jauh lebih lebih rendah jika dibandingkan dengan konsentrasi IAA yang diperoleh langsung dari kultur mikrobnya. Namun, konsentrasi IAA dari ekstrak tanah menggambarkan sejauh mana komunitas mikrob yang terdapat dalam rhizosfer bambu tersebut dalam memproduksi hormon IAA (Saraswati et al. 2007).

(33)

berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan, menginisiasi pemanjangan akar, perluasan sel, diferensiasi vaskuler, dan pembungaan (Patten & Glick 2002). Salah satu penghasil IAA yang cukup besar adalah bakteri rhizosfer. Sekitar 80% bakteri rhizosfer diketahui dapat menghasilkan hormon IAA (Patten & Glick 1996). Pada penelitian ini, rhizosfer bambu yang memiliki kandungan IAA tinggi akan diiringi dengan pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Hal ini selaras dengan penelitian Patten & Glick (2002) yang menyatakan bahwa IAA yang dihasilkan oleh bakteri rhizosfer berperan dalam menstimulasi pembentukan sistem perakaran tanaman inang (host plant root system). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa total populasi bakteri memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan tanaman dibadingkan dengan total populasi cendawan berdasarkan uji bioassay tanaman. Diduga hal ini berkaitan dengan kandungan IAA yang sebagian besar dihasilkan oleh bakteri rhizosfer (Tabel 7).

Tabel 7 Total populasi mikrob dan kandungan IAA potensial tanah rhizosfer bambu

Kategori rhizosfer bambu Total populasi bakteri

Non Rhizosfer Bambu 24.5 2.52 37.935

G. apus 75.1 7.27 53.665

Keterangan: cfu = colony forming unit

(34)

yang total populasi bakterinya paling rendah adalah G. apus, namun masih tetap lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah non rhizosfer bambu.

Secara umum, bakteri yang ditemukan pada tanah rhizosfer bambu bersifat aerobik, pergerakan motil, dapat memfermentasikan glukosa, dan sebagaian besar merupakan bakteri Gram Positif (Tabel 8). Untuk pengamatan morfologi koloni bakteri dan karakteristik fisiologi dari bakteri beberapa rhizosfer bambu dirangkum pada Lampiran 1 dan 2.

Tabel 8 Karakteristik Bakteri Rhizosfer Bambu: Kategori

rhizosfer

Kebutuhan oksigen

Motilitas Uji fermentasi Pengecatan gram

(35)

Tabel 9 Populasi Mikrob Fungsional Rhizosfer Bambu Keterangan: BPF=bakteri pelarut fosfat; CPF=cendawan pelarut fosfat; BPK=bakteri pelarut

kalium; cfu=colony forming unit; tanda (-) = tidak ditemukan koloni mikrob

Populasi Mikrob Pelarut Fosfat Rhizosfer Bambu

Populasi mikrob pelarut fosfat yang terdapat pada rhizosfer bambu mengindikasikan kemampuan mikrob rhizosfer bambu dalam melarutkan fosfat secara kualitatif yang ditunjukkan dengan adanya zona bening (holozone) pada media Pikovskaya. Kemampuan mikrob rhizosfer bambu dalam melarutkan unsur hara fosfat yang tidak larut menjadi unsur yang siap diserap oleh tanaman untuk peningkatan pertumbuhan tanaman. Populasi cendawan pelarut fosfat yang terdapat pada rhizosfer bambu tersebut juga cukup tinggi, walaupun populasinya lebih rendah dari pada bakteri pelarut fosfat.

(36)

Gambar 4 Mikrob pelarut fosfat rhizosfer bambu

Secara keseluruhan, total populasi cendawan dari rhizosfer empat spesies bambu lebih tinggi jika dibandingkan total populasi cendawan dari tanah non rhizosfer bambu, walaupun terdapat total populasi bakteri pelarut fosfat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan total populasi bakteri pelarut fosfat pada tanah non rhizosfer bambu yaitu rhizosfer G. apus dan D. asper asal kaki Gunung Salak. Kepadatan populasi mikrob pelarut fosfat yang tinggi pada tanah perakaran bambu sangat baik karena berperan sebagai fasilitator ketersediaan unsur hara yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Kondisi pertumbuhan tanaman yang baik, dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen yang dapat menurunkan hasil tanaman. Namun, dalam penelitian peranan mikrob pelarut fosfat sebagai disease suppressive soil tidak sebesar pengaruh dari mikrob fungsional lain yaitu mikrob dari kelompok bakteri penambat N2 dan bakteri kitinolitik dalam meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan bibit pepaya terhadap serangan penyakit. Hal ini juga sesuai dengan peranan PGPR secara langsung dengan meningkatkan pertumbuhan tanaman, serta peranan PGPR secara tidak langsung dengan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen.

Bakteri Kitinolitik Tanah Rhizosfer Bambu

Dalam penelitian ini, bakteri kitinolitik berperan penting dalam fenomena disease suppressive soil. Bakteri kitinolitik berperan dalam pertahanan tanaman terhadap serangan patogen karena memiliki kemampuan dalam mendegradasi dinding sel cendawan patogen yang sebagian besar tersusun dari kitin. Adanya bakteri kitinolitik pada tanah rhizosfer bambu mengindikasikan bahwa tanaman yang ditanam pada tanah rhizosfer bambu yang mengandung bakteri kitinolitik tersebut lebih tanah terhadap serangan patogen. Namun, dalam penelitian ini tidak semua tanah rhizosfer bambu ditemukan bakteri kitinolitik. Perhitungan total bakteri kitinolitik dilakukan pada media kitin agar. Suspensi koloidal kitin digunakan dalam media agar nutrien untuk isolasi bakteri kitinolitik. Bakteri kitinolitik dapat diseleksi keberadaannya dengan mendegradasi media kitin agar yang dapat dideteksi dengan adanya zona bening di sekitar koloni bakteri (Herdyastuti et al. 2009).

(37)

tersebut (Gambar 5). Zona bening terbentuk karena terjadinya pemutusan ikatan b-1,4-asetilglukosamin pada kitin oleh kitinase menjadi monomer N-asetilglukosamin. Besarnya zona bening yang dihasilkan tergantung pada jumlah monomer N-asetilglukosamin yang dihasilkan dari proses hidrolisis kitin dengan memutus ikatan b- 1,4 homopolimer N-asetilglukosamin. Semakin besar jumlah monomer N-asetilglukosamin yang dihasilkan, maka akan semakin besar zona bening yang terbentuk di sekitar koloni (Muharni 2009). Pada beberapa jenis rhizosfer bambu yang digunakan sebagai sampel dan satu tanah non rhizosfer bambu sebagai kontrol diketahui bahwa tidak semua tanah rhizosfer bambu terdapat bakteri kitinolitik. Bakteri ini hanya ditemukan pada tanah rhizosfer B. vulgaris, baik yang berasal dari kaki Gunung Salak ataupun dari hutan bambu IPB serta pada rhizosfer D. asper yang berasal dari kaki Gunung Salak. Untuk rhizosfer bambu yang lainnya serta tanah non rhizosfer bambu tidak ditemukan adanya bakteri kitinolitik sehingga bibit pepaya yang ditanam pada rhizosfer ketiga bambu ini lebih tahan terhadap serangan patogen.

Gambar 5 Bakteri kitinolitik rhizosfer bambu

Bakteri Penambat N2 Tanah Rhizosfer Bambu

(38)

Gambar 6 Bakteri penambat N2 hidup bebas

Tingginya populasi bakteri penambat N2 hidup bebas pada tanah rhizosfer bambu berpengaruh positif terhadap pertumbuhan bibit pepaya karena berperan sebagai PGPR yang memfasilitasi tersedianya unsur hara bagi tanaman, khususnya nitrogen. Dengan demikian, bibit pepaya yang ditanam pada tanah rhizosfer bambu menunjukkan hasil yang lebih baik, terutama bibit pepaya yang ditanam pada rhizosfer D. asper asal kaki Gunung Salak dan hutan bambu IPB serta rhizosfer B.vulgaris asal hutan bambu IPB karena total populasi bakteri penambat N2 yang berperan sebagai PGPR juga lebih tinggi. Menurut Hanafiah (2010), bakteri penambat N2 non simbiotik seperti Azotobacter, Azospirillum, dan Beijerinckia aktif pada kondisi masam hingga pH 3 dan merupakan kelompok bakteri yang bersifat aerobik. Hal ini berkorelasi positif dengan pH tanah rhizosfer bambu yang cenderung masam sehingga kepadatan baketri penambat N2 pada tanah rhizosfer bambu lebih tinggi. Dalam penelitian ini, pengaruh bakteri penambat N2 terhadap pertumbuhan dan ketahanan bibit pepaya terhadap patogen lebih besar dibandingkan dengan pengaruh dari mikrob fungsional yang lain.

Bakteri Pelarut Kalium Rhizosfer Bambu

(39)

Gambar 7 Bakteri pelarut kalium rhizosfer bambu

Kemampuan Antibiosis Mikrob Rhizosfer Bambu terhadap P. palmivora

Penekanan patogen P. palmivora dapat diamati melalui fenomena antibiosis dengang uji dual culture secara in vitro antara bakteri dan fungi dengan patogen. Pengujian kemampuan antibiosis mikrob rhizosfer bambu dilakukan secara in vitro melalui metode dual culture dengan tujuan untuk mengetahui potensi bakteri dan cendawan asal rhizosfer bambu dalam menghambat patogen.. Isolat bakteri dan cendawan ditumbuhkan berdampingan dengan isolat patogen P. palmivora penyebab busuk akar dan batang pada tanaman pepaya. Isolat mikrob antagonis yang berpotensi sebagai agen antibiosis akan membentuk zona bening terhadap isolat mikrob patogen yang menunjukkan kemampuan antagonisme mikrob. Peristiwa antibiosis mikrob rhizosfer bambu dan isolat patogen ditunjukkan pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8 Antibiosis oleh (a) cendawan dan (b) bakteri

(40)

pada rhizosfer D. asper asal kaki Gunung Salak (87.50%) dan persentase cendawan antibiosis tertinggi D. asper pada dua lokasi (80.00%) dan B. vulgaris asal hutan IPB (80.00%), sedangkan cendawan asal tanah non rhizosfer bambu tidak ada yang menghambat patogen P. palmivora pada uji dual culture secara in vitro (Tabel 10). Hal ini mengindikasikan bahwa mikrob asal rhizosfer bambu lebih berpotensi dalam menekan patogen tanaman sehingga mampu menurunkan kejadian penyakit. Antibiosis merupakan salah satu mekanisme dari mikrob dalam pengendalian penyakit tanaman.

Tabel 10 Jumlah mikrob antibiosis asal rhizosfer bambu

Kategori Tanah Bakteri Cendawan culture dapat dirangkum pada Gambar 9.

(a) (b)

Gambar 9 Jumlah mikrob antibiosis (a) bakteri (b) cendawan rhizosfer bambu

Gambar 9 menunjukkan bahwa persentase antibiosis bakteri tertinggi adalah pada rhizosfer D. asper dan B. vulgaris dari dua lokasi yang mengindikasikan bahwa kedua rhizosfer bambu tersebut paling potensial dalam menekan patogen P. palmivora. Sama halnya dengan antagonisme bakteri, persentase antagonisme cendawan yang tertinggi didapat pada tanah rhizosfer D. asper dan B. vulgaris, sedangkan pada tanah non rhizosfer bambu tidak ditemukan cendawan yang berpotensi menekan P. palmivora. Persentase antagonisme bakteri dan cendawan berkaitan dengan nilai persentase kematian tanaman. Semakin tinggi nilai persentase antagonisme mikrob dalam menekan patogen, maka akan semakin kecil pula nilai persentase kematian tanaman tersebut.

(41)

menghambat pertumbuhan dan pembentukan miselia patogen sehingga dapat digunakan sebagai agen biokontrol penyakit tanaman (Abdulkareem et al. 2014). Beberapa bakteri memproduksi metabolit yang dapat mengontrol patogen dan menyebabkan lisis pada patogen (Baker & Cook 1974; Huang et al. 2012). Beberapa genus cendawan yang ditemukan di tanah rhizosfer bambu merupakan agen biologi yang mengendalikan P. palmivora melalui mekanisme antibiosis (Stonier 1960). Selain itu juga meningkatkan pertumbuhan akar, produktivitas tanaman serta serapan nutrisi tanaman. Beberapa cendawan memiliki kemampuan memproduksi metabolit yang bersifat antifungi dan menghasilkan enzim litik ekstraseluler yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antibiosis (Anoop et al. 2014; Reddy et al. 2014). Fenomena disease suppressive soil didasarkan pada interaksi mikrob antara patogen dengan mikrob antagonis. Patogen di dalam tanah hidup bersama dengan mikrob antagonis yang menyebabkan kondisi lingkungan menjadi terbatas untuk patogen. Akibatnya, spora patogen sering tidak mampu berkecambah. Dengan demikian, semakin tinggi kelimpahan mikrob antibiosis, akan semakin meningkat kompetisi antara patogen dengan mikrob antibiosis sehingga menurunkan kejadian penyakit.

Hasil Uji Patogenesitas Mikrob Rhizosfer Bambu

Uji patogenesitas dilakukan untuk mengetahui apakah isolat bakteri atau cendawan asal rhizosfer bambu bersifat patogen atau tidak terhadap tanaman uji (Lampiran 4). Berdasarkan hasil uji patogenesitas bakteri yang telah dilakukan, diketahui bahwa setelah isolat cair bakteri sebanyak 1 mL disuntikkan ke dalam jaringan tanaman tembakau dan ditunggu selama 2 sampai 3 hari, seluruh bakteri yang ditemukan pada rhizosfer empat spesies bambu menunjukkan reaksi hipersensitivitas atau patogenesitas negatif yang ditunjukkan dengan tidak adanya gejala nekrosis pada daun yang telah disuntikkan bakteri asal rhizosfer bambu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bakteri yang diisolasi dari tanah perakaran bambu tidak bersifat patogen pada tanaman sehingga penggunaan tanah rhizosfer bambu sebagai media persemaian tidak membahayakan bagi pertumbuhan tanaman budidaya, terutama patogen tular tanah yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman pada saat persemaian.

(42)

Demikian pula dengan uji patogenitas yang dilakukan terhadap cendawan rhizosfer bambu. Pengujian dilakukan dengan melakukan uji perkecambahan benih pepaya pada isolat cendawan. Sebanyak 20 benih pepaya ditanam pada cawan petri berisi media PDA yang sudah tertutup sepenuhnya oleh isolat cendawan asal rhizosfer bambu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih pepaya dapat berkecambah lebih dari 80% pada media PDA yang berisi isolat cendawan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa isolat cendawan rhizosfer bambu tidak bersifat petogen terhadap tanaman. Uji patogenitas cendawan rhizosfer bambu terhadap benih pepaya dipelihatkan pada Gambar 11.

(43)

Pembahasan

Dalam penelitian ini, sifat kimia dan biologi tanah rhizosfer bambu yang sangat berperan dalam fenomena disease suppressive soil adalah pH tanah yang rendah; KTK, C-organik, serta kandungan P-tersedia tanah yang tinggi, sedangkan sifat biologi tanah yang berkaitan dengan fenomena disease supressive soil adalah total populasi bakteri, populasi bakteri kitinolitik, bakteri penambat N2, IAA total tanah, dan jumlah mikrob antibiosis yang tinggi pada tanah rhizosfer bambu. Sifat biologi tanah sangat dipengaruhi oleh sifat kimia tanah tersebut. Nilai KTK dan C-organik berpengaruh secara langsung terhadap total populasi mikrob dan aktivitas mikrob tanah. Selain itu, KTK dan C-organik tanah yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah. Bibit pepaya yang ditanam di tanah rhizosfer bambu dengan nilai KTK dan C-organik yang tinggi menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dilihat dari jumlah daun, tinggi tanaman, panjang akar, volume akar, dan bobot basah tanaman.

Sifat kimia tanah yang baik, diantaranya tingginya nilai KTK dan C-organik tanah berpengaruh secara langsung terhadap sifat biologi tanah, diantaranya total populasi dan aktivitas mikrob tanah. Secara tidak langsung kondisi kimia tanah yang baik akan ditunjukkan oleh produksi IAA total dalam ekstrak tanah yang tinggi. Salah satu produsen IAA yang cukup besar adalah bakteri rhizosfer yang berperan sebagai PGPR. Sekitar 80% bakteri rhizosfer diketahui dapat menghasilkan hormon IAA (Patten & Glick 1996; Bashan & Bashan 2005). Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pengaruh populasi bakteri lebih besar dibandingkan dengan populasi cendawan. Produksi IAA yang tinggi secara langsung dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan sistem perakaran tanaman yang ditunjukkan dengan pertumbuhan akar lateral dan volume akar. Menurut Patten & Glick (2002), akar merupakan bagian dari tanaman yang paling peka terhadap kandungan IAA di dalam tanah. Semakin tinggi kandungan IAA total dalam tanah, maka akan semakin baik pertumbuhan sistem perakaran, yang dapat ditunjukkan oleh volume akar. Bibit pepaya yang ditanam pada tanah rhizosfer beberapa spesies bambu memiliki nilai volume akar yang berbeda nyata dibandingkan dengan bibit pepaya yang ditanaman pada tanah non rhizosfer bambu. Pada penelitian ini, terlihat sangat jelas bibit pepaya yang ditanam di tanah rhizosfer D. asper asal kaki Gunung Salak yang menunjukkan pertumbuhan tanaman tertinggi untuk sebagian besar parameter pertumbuhan yang diamati (tinggi tanaman, jumlah daun, volume akar, dan bobot basah tanaman). Diduga tingginya kandungan IAA total pada rhizosfer bambu ini yang paling mempengaruhi nilai pertumbuhan tanaman yang diamati.

Gambar

Gambar 1  Struktur kitin yang terdiri dari monomernya N-asetil-glukosamin dan
Gambar 2  Pertumbuhan bibit pepaya pada 15 HST
Gambar 3  Pertumbuhan bibit pepaya pada 30 HST
Tabel 6  Analisis sifat fisik dan kimia tanah rhizosfer dan non rhizosfer bambu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembagian tugas terhadap dosen wali untuk melaksanakan bimbingan terhadap mahasiswa bukan hanya terbatas pada kontrak studi, tetapi harus dapat memberikan pemahaman

Dari firman Allah dan sabda Rasulullah dapat disimpulkan bahwa aliran yang sesat itu adalah aliran yang tidak mengikuti Al-Quran, Hadits (Sunnah), dan jalan

Prosedur pengembangan media pembelajaran berbasis social network menggunakan edmodo pada mata kuliah pengukuran alat ukur listrik pembahasan multimeter analog adalah :

hlh{ofdf Joj:yflksfnfO{ sdhf]/ agfpg] kl/jt{gn] ;+j}wflgs cbfntnfO{ klg sdhf]/ agfof] lsgeg] ToxfF Ps ltxfO GofofwLz Joj:yflksfaf6 lgo'Qm x'g]

Students involved in group work, group projects and collaborative learning should be encouraged to utilise peer feedback because they can learn from other students and the lecturer..

INCO, yang merupakan anak usaha dari Vale S.A Brazil—produsen nikel terbesar kedua di dunia—memiliki nilai kapitalisasi pasar terbesar kedua di kawasan Asia Pasifik dan

Berdasarkan analisis data penelitian dengan metode pre-experimental yang dilakukan di kelas XI Multimedia SMK N 1 Pringapus semester I tahun pelajaran 2016/2017, maka dapat

Hasil Uji Mann - Whitney perbedaan pertumbuhan kultur bakteri Mycobacterium tuberculosis metode media kultur bifasik agar – darah dengan media Lowenstein –