• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dampak Usaha Kerajinan Eceng Gondok Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Dampak Usaha Kerajinan Eceng Gondok Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAMPAK USAHA KERAJINAN ECENG GONDOK

TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

DI KECAMATAN SERBAJADI KABUPATEN

SERDANG BEDAGAI

TESIS

Oleh

SYAFRIDAH SIREGAR

087003034/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA N

(2)

ANALISIS DAMPAK USAHA KERAJINAN ECENG GONDOK

TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

DI KECAMATAN SERBAJADI KABUPATEN

SERDANG BEDAGAI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYAFRIDAH SIREGAR

087003034/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISIS DAMPAK USAHA KERAJINAN ECENG

GONDOK TERHADAP SOSIAL EKONOMI

MASYARAKAT DI KECAMATAN SERBAJADI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Nama Mahasiswa : Syafridah Siregar Nomor Pokok : 087003034

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD)

Menyetujui Komisi Pembimbing:

(Prof. Dr. Badaruddin, MA) Ketua

(Prof. Aldwin Surya, SE, MPd., Ph.D) Anggota

(Drs. Rujiman, MA) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Bachtiar Hassan Miraza)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada Tanggal : 07 Juni 2010

---

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, MA

Anggota : 1. Prof. Aldwin Surya, SE, MPd., Ph.D 2. Drs. Rujiman, MA

(5)

ABSTRAK

Industri kerajinan telah berkembang menjadi salah satu bidang usaha setelah terjadi krisis ekonomi. Berbagai macam kerajinan yang dihasilkan ternyata mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan permintaan terhadap barang-barang tersebut terus meningkat, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga menjadi komoditas ekspor. Salah satu usaha kerajinan adalah dengan menggunakan bahan baku eceng gondok. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak usaha kerajinan eceng gondok terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, dan bagaimana pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perkembangan usaha kerajinan eceng gondok dan menganalisis dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, serta untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pengrajin eceng gondok di Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, sebanyak 32 pengrajin. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, daftar pertanyaan (questionaire) dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan uji beda rata-rata dan regresi linear.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa usaha kerajinan eceng gondok berdampak positif terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat. Usaha kerajinan telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya pengrajin dan karyawannya. Dengan demikian, usaha kerajinan eceng gondok telah menjadi salah satu usaha yang memberikan lapangan kerja kepada masyarakat. Peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sebagai dampak usaha kerajinan eceng gondok, selanjutnya berpengaruh terhadap pengembangan wilayah, khususnya Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi, dan umumnya Kabupaten Serdang Bedagai. Dampak terhadap pengembangan wilayah merupakan multiplier effect dari usaha kerajinan eceng gondok di wilayah tersebut.

(6)

ABSTRACT

Industry of crafting have rounded become one of business the economic crisis. Many crafting product with the high economics value and the request to the goods increasing, not merely in country but become the export commodity. One of the raw material of crafting business using water hyacinth. Formulation of the problem in this research is how the impact of water hyacinth business crafting for economic social of society at Serbajadi Subdistrict of Serdang Bedagai District, and how the influence of economics social of water hyacinth business crafting for regional development at Serdang Bedagai District. The research objective is to determine know the growth of the water hyacinth business crafting and analyse the impact to economic social of society at Serbajadi Subdistrict of Serdang Bedagai District, and to determine and analyse the social economic influence of water hyacinth business crafting to regional development at Serdang Bedagai District.

The sampel in this study all of the water hyacinth crafter and their employee at Karang Tengah Village at Serbajadi District as many 32 people. Data collection techniques conducted through interviews, questionnaire and study the documentation. The data analyse conducted with the different test of mean and multiple linear regression.

The results shows that water hyacinth business crafting have a positive effect to change of economics social of society. The water hyacinth business crafting have improved the society prosperity, specially crafter and its employees. Thereby, the water hyacinth business crafting become the one of employment to society. The change of economics social of society hereinafter have an effect to regional development, specially at Karang Tengah Village of Serbajadi Subdistrict, and generally at Serdang Bedagai District. The effect to regional development represent the multiplier effect water hyacinth business crafting in the region.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya kepada Alah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, mengucapkan syukur kehadirat-Mu atas segala rahmad dan hidayah yang

telah Engkau limpahkan kepadaku, dan dari sebagian rahmad dan hidayah-Mu pula

tesis ini dapat rampung seluruhnya.

Tesis ini disusun guna melengkapi persyaratan dalam rangka mengakhiri

masa pendidikan Sekolah Pascasarjana dan untuk mendapatkan gelar Magister Sains

pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada penulisan tesis ini, penulis memilih

judul “Analisis Dampak Usaha Kerajinan Eceng Gondok terhadap Sosial Ekonomi

Masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai”.

Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan tesis ini penulis banyak

memberoleh bantuan, bimbingan, petunjuk, nasehat dan dukungan dari berbagai

pihak, maka dari itu penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM) Sp.A(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza selaku Ketua Program Studi Perencanaan

Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas

(8)

4. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang

telah membantu memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis

dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Aldwin Surya, SE, MPd, beserta Bapak Drs. Rujiman, MA,

selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membantu memberikan

pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

6. Bapak Dr. Ir. Rahmanta, MSi, Bapak Drs. H.B. Tarmizi, SU, dan Bapak Ir.

Agus Purwoko, MSi, selaku Komisi Dosen Pembanding yang banyak

memberikan masukan dan pengarahan demi kesempurnaan tesis ini.

7. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi SPs USU yang telah banyak

membantu proses administrasi dan kelancaran kegiatan akademis selama

mengikuti perkuliahan.

8. Rekan-rekan mahasiswa PWD angkatan 2008 yang telah memberikan

semangat dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

9. Bapak Camat Serbajadi, Bapak Kepala Desa Karang Tengah dan seluruh

pengrajin dan karyawan yang telah berkenan memberikan data dan informasi

dalam proses penelitian tesis ini.

10.Suami tercinta, Drs. Hardi Pasaribu, MSi, dan anakku tersayang Nadira,

Amelia, Haikal dan Haidar, yang telah sabar dan memberikan do’anya selama

(9)

Penulis yakin Allah SWT akan membalas seluruh amal dan melimpahkan

rahmad-Nya kepada kita semua. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi

semua pihak pada umumnya dan kepada penulis khususnya.

Amin ya rabbal’alamin

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, Juni 2010

(10)

RIWAYAT HIDUP

Syafridah Siregar lahir di Medan pada tanggal 17 Oktober 1969, anak ketiga

dari delapan bersaudara pasangan Ayahanda Abdul Manan Siregar (Alm) dan Ibunda

Dra. Harliyah Pohan (Alm). Menikah dengan Drs. Hardi Pasaribu, MSi dan

dikaruniai empat orang anak bernama Nadira, Amelia, Haikal dan Haidar.

Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Sekolah Dasar (SD) Negeri 110

Medan, tamat tahun dan lulus tahun 1982. Melanjutkan pendidikan ke MTsN

(Madrasah Tsanawiyah Negeri) Medan, tamat dan lulus tahun 1985. Selanjutnya

menempuh pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 8 Medan, tamat

dan lulus tahun 1988. Kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian

Universitas Medan Area di Medan, tamat dan lulus pada tahun 1993. Tahun 2008

melanjutkan studi Strata Dua (S-2) di Universitas Sumatera Utara pada Program

Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD).

Sejak tahun 1995 diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Deli Serdang.

Saat ini penulis bertugas pada Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi

(11)

DAFTAR ISI

2.1. Pembangunan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Wilayah ... 8

2.1.1. Konsep Pembangunan Ekonomi... 8

2.1.2. Pembangunan Sosial ... 12

2.1.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah... 15

2.2. Pembangunan Daerah ... 21

2.3. Pembangunan Pedesaan... 25

(12)

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 48

4.1. Gambaran Umum ... 48

4.2. Karakteristik Responden ... 53

4.3. Deskripsi Kerajinan Eceng Gondok... 56

4.3.1. Proses Pengolahan Eceng Gondok ... 56

4.3.2. Ketenagakerjaan ... 60

4.3.3. Produksi dan Pemasaran ... 63

4.3.4. Pendapatan Usaha ... 64

4.4. Distribusi Jawaban Responden ... 65

4.4.1. Distribusi Jawaban Responden Atas Dampak Sosial ... 65

4.4.2. Distribusi Jawaban Responden Atas Dampak Ekonomi .. 68

4.4.3. Distribusi Jawaban Responden Atas Pengembangan Wilayah ... 72

4.5. Analisis dan Pembahasan ... 75

4.5.1. Dampak Sosial Ekonomi ... 75

4.5.2. Pengaruh terhadap Pengembangan Wilayah ... 77

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

5.1. Kesimpulan ... 84

5.2. Saran... 84

(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen...43

3.2. Definisi Operasional Variabel... 47

4.1. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai…...49

4.2. Luas Wilayah Kecamatan Serba Jadi Berdasarkan Desa...50

4.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ...51

4.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Sumber Mata Pencaharian...52

4.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ...54

4.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia...55

4.7. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 55

4.8. Penyerapan Tenaga Kerja pada Usaha Kerajinan Eceng Gondok ...61

4.9. Pendapatan Pengrajin Sebelum dan Sesudah Kerajinan Eceng Gondok...65

4.10. Penjelasan Responden Atas Dampak Sosial ...66

4.11. Penjelasan Responden Atas Dampak Ekonomi ...68

4.12. Penjelasan Responden Atas Pengembangan Wilayah ...72

4.13. Hasil Uji Beda Rata-rata ...76

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 39

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ...90

2. Data Responden Penelitian ...95

3. Pengolahan Data ...99

4. Dokumentasi Penelitian ...102

(16)

ABSTRAK

Industri kerajinan telah berkembang menjadi salah satu bidang usaha setelah terjadi krisis ekonomi. Berbagai macam kerajinan yang dihasilkan ternyata mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan permintaan terhadap barang-barang tersebut terus meningkat, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga menjadi komoditas ekspor. Salah satu usaha kerajinan adalah dengan menggunakan bahan baku eceng gondok. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak usaha kerajinan eceng gondok terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, dan bagaimana pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perkembangan usaha kerajinan eceng gondok dan menganalisis dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, serta untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pengrajin eceng gondok di Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai, sebanyak 32 pengrajin. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, daftar pertanyaan (questionaire) dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan uji beda rata-rata dan regresi linear.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa usaha kerajinan eceng gondok berdampak positif terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat. Usaha kerajinan telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya pengrajin dan karyawannya. Dengan demikian, usaha kerajinan eceng gondok telah menjadi salah satu usaha yang memberikan lapangan kerja kepada masyarakat. Peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sebagai dampak usaha kerajinan eceng gondok, selanjutnya berpengaruh terhadap pengembangan wilayah, khususnya Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi, dan umumnya Kabupaten Serdang Bedagai. Dampak terhadap pengembangan wilayah merupakan multiplier effect dari usaha kerajinan eceng gondok di wilayah tersebut.

(17)

ABSTRACT

Industry of crafting have rounded become one of business the economic crisis. Many crafting product with the high economics value and the request to the goods increasing, not merely in country but become the export commodity. One of the raw material of crafting business using water hyacinth. Formulation of the problem in this research is how the impact of water hyacinth business crafting for economic social of society at Serbajadi Subdistrict of Serdang Bedagai District, and how the influence of economics social of water hyacinth business crafting for regional development at Serdang Bedagai District. The research objective is to determine know the growth of the water hyacinth business crafting and analyse the impact to economic social of society at Serbajadi Subdistrict of Serdang Bedagai District, and to determine and analyse the social economic influence of water hyacinth business crafting to regional development at Serdang Bedagai District.

The sampel in this study all of the water hyacinth crafter and their employee at Karang Tengah Village at Serbajadi District as many 32 people. Data collection techniques conducted through interviews, questionnaire and study the documentation. The data analyse conducted with the different test of mean and multiple linear regression.

The results shows that water hyacinth business crafting have a positive effect to change of economics social of society. The water hyacinth business crafting have improved the society prosperity, specially crafter and its employees. Thereby, the water hyacinth business crafting become the one of employment to society. The change of economics social of society hereinafter have an effect to regional development, specially at Karang Tengah Village of Serbajadi Subdistrict, and generally at Serdang Bedagai District. The effect to regional development represent the multiplier effect water hyacinth business crafting in the region.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan kemudian berlanjut dengan

krisis keuangan global membawa dampak terhadap perekonomian Indonesia. Dari sisi

produksi, kontribusi sektor-sektor yang memiliki pangsa besar terhadap pertumbuhan

ekonomi Indonesia cenderung terus mengalami penurunan. Pertumbuhan kedua

sektor terbesar yaitu pertanian dan industri pengolahan dalam periode 2001 – 2007

mengalami penurunan. Dengan pangsa yang semakin mengecil serta pertumbuhan

yang cenderung stagnan, kontribusi sektor pertanian dan industri pengolahan pada

pertumbuhan ekonomi semakin menurun. Lemahnya kinerja sektor industri

pengolahan, khususnya industri pengolahan non migas, tidak dapat dilepaskan dari

kondisi permintaan domestik yang terus mengalami tekanan. Dengan karakteristik

sektor industri di mana orientasi dari industri-industri yang berskala besar lebih

tertuju ke pasar domestik, maka lemahnya permintaan masyarakat jelas akan

mempengaruhi kinerja sektor industri secara keseluruhan.

Penurunan permintaan masyarakat terhadap produk industri sangat

berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dunia usaha dan kesempatan kerja.

Perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai jalan

(19)

target yang telah ditetapkan. Bahkan banyak yang sudah berproduksi jauh di bawah

kapasitas normal perusahaan.

Kondisi ini akan mempengaruhi perekonomian masyarakat, khususnya yang

selama ini bergantung pada sektor industri. Demikian juga terhadap masyarakat

lainnya, dengan kenaikan harga barang-barang pokok yang tidak sesuai dengan

peningkatan pendapatan akan menyulitkan pemenuhan kebutuhan hidup dan

kesejahteraan masyarakat tersebut.

Dalam kondisi demikian, mencari alternatif sumber pendapatan banyak

dilakukan oleh masyarakat. Namun demikian hal tersebut tergantung pada kreativitas

dan motivasi berusaha dari individu yang bersangkutan. Salah satu alternatif sumber

pendapatan yang banyak berkembang di Indonesia setelah terjadi krisis ekonomi

adalah industri kerajinan. Berbagai macam kerajinan yang dihasilkan ternyata

mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan permintaan terhadap barang-barang

tersebut terus meningkat, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga menjadi komoditas

ekspor.

Sesuai dengan kreativitas para pengusaha industri kerajinan tersebut, bahan

baku kerajinan juga bermacam-macam, mulai dari bahan-bahan yang dibeli hingga

bahan-bahan yang sudah dipergunakan lagi oleh masyarakat (daur ulang). Salah satu

bahan kerajinan yang dimanfaatkan oleh beberapa pengrajin di berbagai daerah

di Indonesia, seperti Yogyakarta, Tangerang, Semarang, dan Sumatera Utara adalah

(20)

Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart.) Solm.) merupakan tumbuhan

gulma di wilayah perairan yang hidup terapung pada air yang dalam atau

mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada air yang dangkal. Eceng gondok

berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif.

Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dua kali dalam waktu

7-10 hari. Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara

di Danau Toba (2003) dalam Pasaribu dan Sahwalita (2006) melaporkan bahwa satu

batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2, atau

dalam waktu 1 tahun mampu menutupi area seluas 7 m2. Heyne (1987) menyatakan

bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 ha dapat

mencapai bobot basah sebesar 125 ton.

Perkembangbiakannya yang demikian cepat menyebabkan tumbuhan eceng

gondok telah berubah menjadi tumbuhan gulma di beberapa wilayah perairan

di Indonesia. Di kawasan perairan danau, eceng gondok tumbuh pada bibir-bibir

pantai sampai sejauh 5 – 20 m. Sedangkan di sungai dan perairan lainnya, seperti

saluran irigasi, eceng gondok bahkan dapat menutupi badan sungai dan saluran irigasi

tersebut. Perkembangbiakan ini juga dipicu oleh peningkatan kesuburan di wilayah

perairan tersebut (eutrofikasi) sebagai akibat dari erosi dan sedimentasi lahan,

berbagai aktivitas masyarakat (mandi, cuci, kakus/MCK), budidaya perikanan

(keramba jaring apung), limbah transportasi air, dan limbah pertanian.

Karena gangguan yang ditimbulkan oleh tumbuhan eceng gondok ini

(21)

tumbuhan ini terus dilakukan. Meskipun usaha ini belum dapat dikatakan berhasil,

tetapi dengan adanya usaha pengendalian tersebut sekaligus dapat memberi peluang

usaha baru bagi masyarakat. Hampir semua bagian tumbuhan eceng gondok dapat

dimanfaatkan. Misalnya saja bunganya yang indah dapat dimanfaatkan untuk

rangkaian bunga, sementara itu daunnya juga dapat dimanfaatkan untuk melengkapi

rangkaian bunga, makanan ternak dan pupuk tanaman (kompos). Tangkai daunnya

juga dapat digunakan untuk isi vas (rangkaian bunga), media tanam jamur merang,

bahan kertas, tali, dan kerajinan anyaman.

Sadar akan potensi yang terdapat dalam tumbuhan eceng gondok, oleh

tangan-tangan terampil tumbuhan pengganggu ini dapat dijadikan menjadi barang-barang

kerajinan dengan nilai jual tinggi. Di Surabaya di bawah binaan Dinas Perindustrian

dan Perdagangan Jawa Timur, berkembang beberapa pengrajin yang memanfaatkan

tumbuhan eceng gondok menjadi barang seni yang bernilai jual tinggi. Namun

demikian sebagian masyarakat Indonesia belum sepenuhnya “familiar” dengan

kerajinan dari eceng gondok. Padahal dari segi kualitas dan tampilan produk dari

bahan eceng gondok tidak kalah baiknya dengan produk dari bahan-bahan seperti

bambu, rotan dan kayu. Produk dari bahan eceng gondok bahkan memiliki kesan

tekstur yang unik yang tidak dimiliki produk dari bahan lain.

Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai di Sumatera Utara memberikan

perhatian yang serius dalam pengembangan industri kecil sebagai salah satu sumber

ekonomi masyarakat, termasuk kerajinan dengan menggunakan bahan baku eceng

(22)

di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan Sei Rampah, Serbajadi, Perbaungan dan Sei

Bamban. Namun perkembangan yang cukup pesat hingga saat ini adalah

di Kecamatan Serbajadi dimana sebagian masyarakatnya mengolah tumbuhan eceng

gondok menjadi salah satu bahan baku untuk kerajinan, antara lain tas, vas bunga,

tempat tissu dan meja kursi.

Berdasarkan penelitian pendahuluan di Desa Karang Tengah Kecamatan

Serbajadi, usaha kerajinan eceng gondok telah memberikan manfaat ekonomis

kepada masyarakat pengrajin dan juga masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja. Setiap

usaha kerajinan eceng gondok rata-rata mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 3 – 6

orang, baik yang berasal dari dalam keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga.

Dalam hal pemasaran produk-produk yang dihasilkan, hingga saat ini belum ada

permasalahan, karena produk yang dihasilkan masih lebih rendah dari permintaan.

Dalam hal pemasaran ini, para pengrajin mendapat dukungan dari Pemerintah

Kabupaten dan sudah ada permintaan tetap dari Jakarta.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dalam hal dampak sosial ekonomi dari usaha kerajinan eceng gondok tersebut

di Kabupaten Serdang Bedagai, sehingga diketahui potensi ekonomi yang dapat

diperoleh dari pengolahan tumbuhan pengganggu eceng gondok.

(23)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana dampak usaha kerajinan eceng gondok terhadap sosial ekonomi

masyarakat di Kecamatan Serbajadi Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Bagaimana pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok terhadap

pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui perkembangan usaha kerajinan eceng gondok dan menganalisis

dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Serbajadi

Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Menganalisis pengaruh sosial ekonomi usaha kerajinan eceng gondok

terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang

antara lain adalah:

1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai dampak usaha

kerajinan eceng gondok terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan

(24)

2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam

meningkatkan dan pembinaan usaha kerajinan, khususnya usaha kerajinan

eceng gondok.

3. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam

bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Wilayah 2.1.1. Konsep Pembangunan Ekonomi

Pengertian pembangunan ekonomi yang dijadikan pedoman dalam penelitian

ini didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita riil

penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1996).

Berdasarkan atas definisi ini dapat diketahui bahwa pembangunan ekonomi berarti

adanya suatu proses pembangunan yang terjadi terus menerus yang bersifat

menambah dan memperbaiki segala sesuatu menjadi lebih baik lagi. Adanya proses

pembangunan itu diharapkan adanya kenaikan pendapatan riil masyarakat

berlangsung untuk jangka panjang.

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang terjadi

terus-menerus yang bersifat dinamis. Apapun yang dilakukan, hakikat dari sifat dan

proses pembangunan itu mencerminkan adanya terobosan yang baru, jadi bukan

merupakan gambaran ekonomi suatu saat saja. Pembangunan ekonomi berkaitan pula

dengan pendapatan perkapita riil, di sini ada dua aspek penting yang saling berkaitan

yaitu pendapatan total atau yang lebih banyak dikenal dengan pendapatan nasional

dan jumlah penduduk. Pendapatan perkapita berarti pendapatan total dibagi dengan

(26)

Pembangunan ekonomi dipandang sebagai proses multidimensional yang

mencakup segala aspek dan kebijaksanaan yang komprehensif baik ekonomi maupun

non ekonomi. Oleh sebab itu, sasaran pembangunan yang minimal dan pasti ada

menurut Todaro dalam Suryana (2000) adalah:

1. Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian atau pemerataan bahan

pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti perumahan, kesehatan dan

lingkungan.

2. Mengangkat taraf hidup temasuk menambah dan mempertinggi pendapatan

dan penyediaan lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian

yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya manusiawi, yang semata-mata

bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, akan tetapi untuk

meningkatkan kesadaran akan harga diri baik individu maupun nasional.

3. Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individu dan

nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap budak dan

ketergantungan, tidak hanya hubungan dengan orang lain dan negara lain,

tetapi dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan.

Suryana (2000) menyebutkan ada empat model pembangunan, yaitu model

pembangunan ekonomi yang beorientasi pada pertumbuhan, penciptaan lapangan

kerja, penghapusan kemiskinan dan model pembangunan yang berorientasi pada

pemenuhan kebutuhan dasar. Berdasarkan atas model pembangunan tersebut, semua

itu bertujuan pada perbaikan kualitas hidup, peningkatan barang-barang dan jasa,

(27)

tingkat hidup minimal untuk semua rumah tangga yang kemudian sampai batas

maksimal.

Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pada

pertumbuhan (growth) turut memperparah ketimpangan antara desa-kota. Ekonomi

pedesaan tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari

wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran dari arus komoditas primer

dari pedesaan, sehingga sering terjadi kebocoran wilayah yang merugikan

pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri (Tarigan, 2005).

Dalam konteks pembangunan spasial, terjadi urban bias yang cenderung

mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan yang

diharapkan dapat menimbulkan efek penetesan (trickle down effect) ke wilayah

hinterland-nya. Ternyata net-effect-nya menimbulkan pengurasan besar (massive

backwash effect). Dengan perkataan lain, dalam konteks ekonomi telah terjadi

transfer sumberdaya dari wilayah pedesaan ke kawasan perkotaan secara

besar-besaran. Walaupun kawasan perkotaan juga berperan penting dalam mensuplai

barang-barang dan pelayanan untuk pertumbuhan dan produktivitas pertanian.

Kegagalan pembangunan di wilayah pedesaan selain mengakibatkan

terjadinya backwash effect, juga mengakibatkan penguasaan terhadap pasar, kapital

dan kesejahteraan yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Sebagai

akibatnya kondisi masyarakat pedesaan semakin terpuruk dalam kemiskinan dan

kebodohan. Keadaan ini juga dinyatakan oleh Yudhoyono (2004) bahwa

(28)

pengangguran struktural di pertanian dan pedesaan. Untuk itu tantangan

pembangunan ke depan adalah mengintegrasikan pembangunan pertanian dan

pedesaan secara berimbang. Melihat kondisi yang demikian, masyarakat pedesaan

secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan, yang semakin lama

semakin deras (speed up proccesses), meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka

akan mendapatkan pekerjaan, tetapi bagi mereka kehidupan di kota lebih memberikan

harapan untuk menambah penghasilan. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan

persoalan-persoalan terhadap masyarakat kawasan perkotaan, antara lain timbulnya

pemukiman kumuh dan rumah liar, masalah kemacetan, keadaan sanitasi dan air

bersih yang buruk, menurunnya kesehatan masyarakat dan pada gilirannya akan

menurunkan produktivitas masyarakat di kawasan perkotaan.

Model pengembangan wilayah dengan pendekatan sistim agropolitan sulit

dijadikan model pembangunan yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan apabila

tidak melibatkan peran aktif dari semua stakeholder dari awal perencanaan hingga

pasca proyek. Pengembangan wilayah dengan pendekatan sistim agropolitan harus

menyentuh (1) pembangunan fisik wilayah, seperti: pembangunan jalan, pasar,

terminal, dan lain-lain, (2) sumberdaya manusia dan sosial yaitu: koordinasi antar

stakeholder dan pemahaman tentang konsep agropolitan, (3) aspek tekhnologi yaitu:

(29)

2.1.2. Pembangunan Sosial

Pembangunan sosial muncul dan ramai diperdebatkan sejak awal tahun

1990-an. Topik perdebatan tidak hanya terbatas pada substansinya, tetapi juga menyangkut

terminologi yang dianggap lebih tepat untuk mewakili gagasan baru itu. Ada

beberapa terminologi yang ditawarkan, antara lain Pembangunan Alternatif,

Pembangunan Berbasis Rakyat, Pembangunan Partisipatoris. Isu sentral dari gagasan

tersebut adalah mencari alternatif bagi pembangunan yang berfokus pertumbuhan,

yang menempatkan uang sebagai yang paling pokok (capital centered development),

berubah menjadi pembangunan sebagai proses yang manusiawi (people centered

development). Kenyataan bahwa pembangunan yang sangat berfokus pertumbuhan

memang telah berhasil dengan gemilang mewujudkan kemakmuran, tetapi gagal

mewujudkan kesejahteraan yang lebih merata, bahkan sebaliknya banyak membawa

masalah yang sulit dicari pemecahannya (Tangdilintin, 1999).

Wawasan yang lebih luas mengenai pembangunan sosial, mulai berkembang

dan diterima secara luas pula pada tahun 1970-an, dengan berbagai varian pemikiran

yang dipelopori oleh berbagai disiplin ilmu yang bebeda. Secara garis besar muncul

berbagai pemikiran yang memberi makna yang berbeda terhadap pembangunan

sosial. Ada yang sangat menyederhanakan sebagai identik dengan pelayanan

(services), ada yang memberi makna sebagai pemenuhan kebutuhan dasar (basic

need), pembangunan mandiri, pembangunan berkelanjutan, dan bahkan pembangunan

(30)

Menurut Paiva (1977) dalam Munandar (2002), pembangunan sosial adalah

development of the capacity of people to work continuosly for their own and

society’s welfare”. Definisi ini mewakili pemikiran pemberdayaan individu yang

akhirnya secara luas dikenal dengan people centered development. Pembangunan

sosial sebagai paradigma alternatif, menempatkan masyarakat sebagai pusat dari

proses pembangunan dan ekonomi sebagai cara untuk melayani kebutuhan manusia.

Setiap orang, pemerintah, atau lembaga apapun harus menghormati arti kehidupan

manusia secara global yang bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya dan

melindungi kelangsungan lingkungan hidup.

Menurut Margareth dan Midgley (1982) model pembangunan sosial pada

dasarnya menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan

kelompok marjinal, yakni peningkatan taraf hidup masyarakat yang kurang memiliki

kemampuan ekonomi secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dicapai melalui (1) upaya

menumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas masyarakat) yang lemah secara

ekonomi sebagai suatu aset tenaga kerja, (2) menyediakan dan memberikan

pelayanan sosial khususnya pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan,

perumahan, serta pelayanan yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan

produktivitas dan partisipasi sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Upaya pertama

mengarah pada penciptaan peluang bagi kelompok yang lemah secara ekonomi.

Upaya yang kedua mengarah pada peningkatan kemampuan mereka dalam merebut

dan memanfaatkan peluang yang telah diciptakan tadi. Untuk mewujudkan kedua hal

(31)

yang mengatur quota (keterwakilan sosial) dalam bidang pendidikan dan pekerjaan

bagi golongan penduduk yang lemah.

Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan

aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk

meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang

bermatra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial dan

pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006). Pembangunan melalui investasi sosial

mempunyai dampak langsung berupa penciptaan lapangan kerja, prakarsa partisipasi

dalam pembangunan yang lebih luas biarpun pada awalnya dalam lapangan

pembangunan sosial yang sederhana. Investasi dalam pembangunan sosial akan

meningkatkan produktivitas karena adanya rasa ikut memiliki serta kepercayaan

melalui partisipasi yang lebih ikhlas. Karena partisipasi itu dilakukan dengan ikhlas,

maka lebih mudah memberikan kepuasan berkat dipenuhinya hak-hak sosial ekonomi

dan budaya yang sangat mendasar.

Intervensi pembangunan sosial yang mulai marak di berbagai negara maju

menghendaki pendekatan pembangunan bukan lagi untuk mengembangkan negara

kesejahteraan (welfare state) dalam arti sempit, tetapi menciptakan suatu komunitas

yang bekerja keras (workfare community) yang akhirnya akan menciptakan suatu

workfare state yang mengharuskan negara memberikan dukungan fasilitasi yang kuat

dalam proses pemberdayaan yang lebih adil dan merata, yang memihak kepada

(32)

Biarpun pendekatan baru ini memerlukan dukungan pertumbuhan ekonomi

yang memadai, namun bukan tidak mungkin bahwa pertumbuhan ekonomi yang

tinggi pada awalnya tidak akan tercapai. Proses pemerataan akan mengharuskan

kesempatan kerja diupayakan meluas secara horizontal sehingga keluarga dan

penduduk yang tingkat produktivitasnya rendah harus diberikan kesempatan

pemberdayaan untuk dapat bekerja agar rasa keadilan bisa ditegakkan. Karena

penduduk yang kualitas dan produktivitasnya masih rendah harus diusahakan bekerja

secara merata, tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi bisa tidak tercapai. Kegiatan

ekonomi harus lebih dikuasai oleh pelaku yang terdiri dari rakyat biasa yang sedang

berjuang untuk maju. Karenanya, ketika pemberdayaan atau kesempatan kerja

diberikan kepada rakyat secara luas, pertumbuhan ekonomi tidak mungkin setinggi

upaya yang berorientasi pertumbuhan tinggi.

Namun dapat dipastikan penduduk berubah, dari sekadar sebagai penonton

pembangunan menjadi pelaku pembangunan. Kalau proses ini dilakukan dengan baik

dan konsisten, pada waktunya akan menumbuhkan massa baru, workfare society/

yang lebih berkualitas dan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang disertai

kepuasan sosial yang sangat tinggi.

2.1.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang

terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

(33)

dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu

di mana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi

secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti

tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup

komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta

bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi

antarmanusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu

batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan

Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah,

mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah

homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan

(3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region).

Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005)

berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah

menjadi: 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/

homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut

kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2) fase

kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan

interdependensi fungsional, saling hubungan antarbagian-bagian dalam wilayah

tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari

(34)

berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi

atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.

Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis

yang antarbagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah

mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara

geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah

pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas

hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara

bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah

pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan

pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan

keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan.

Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi

berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat

alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan

dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pembangunan merupakan upaya yang

sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat

menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang

paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah

dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek

(35)

berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam

sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi

pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian

pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada

kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan

pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia

sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model

pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan

administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa

memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri

(Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan

memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan

ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan

kesempatan kerja dan produktivitas (Mercado, 2002).

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan

Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar

dalam pengembangan wilayah adalah:

1. Sebagai growth center

Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus

diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat

(36)

2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar

daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.

3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari

daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.

4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat

bagi perencanaan pengembangan kawasan.

Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan

diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam,

sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi

sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme

di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).

Studi pengembangan wilayah melalui tiga indikator, yakni: penghasilan

resipien (recipient’a income), pengembangan daerah (regional development) dan

pertumbuhan kelembagaan (institusional growth). Keberhasilan program

pengembangan wilayah diukur dari ada tidaknya “perubahan” (dan atau peningkatan)

dalam ketiga indikator tersebut. Suatu program dinilai berhasil apabila program ini

berhasil membawakan kenaikan dalam penghasilan resipien (keluarga), membantu

mengembangkan daerah, dan mendorong pertumbuhan kelembagaan.

Pembangunan regional adalah bagian yang integral dalam pembangunan

nasional. Karena itu diharapkan bahwa hasil pembangunan akan dapat terdistribusi

dan teralokasi ke tingkat regional. Untuk mencapai keseimbangan regional terutama

(37)

program pembangunan daerah yang mengacu pada kebijaksanaan regionalisasi atau

perwilayahan. Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan

aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep pusat-pusat

pertumbuhan ini menekankan pada fakta bahwa pembangunan tidak terjadi

dimana-mana secara serentak, tetapi di tempat-tempat tertentu yang disebut sebagai pusat

pertumbuhan dan pada akhirnya akan menyebar melalui berbagai saluran dan

mempunyai akibat akhir yang berlainan pada perekonomian secara keseluruhan.

Pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu

daerah terutama di pedesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan

yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah

yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan

ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal.

Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah

yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing,

manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu

mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep

pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan pedesaan untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan

(38)

2.2. Pembangunan Daerah

Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan

ekonomi daerah secara komprehensif. Namun demikian, ada beberapa teori yang

secara parsial dapat membantu bagaimana memahami arti penting pembangunan

ekonomi daerah. Pada hakikatnya, inti dari teori-teori tersebut berkisar pada dua hal,

yaitu pembahasan yang berkisar tentang metode dalam menganalisis perekonomian

suatu daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan

pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu (Arsyad, 1999).

Pengembangan metode untuk menganalisis suatu perekonomian suatu daerah

penting sekali kegunaannya sebagai sarana mengumpulkan data tentang

perekonomian daerah yang bersangkutan serta proses pertumbuhannya.

Pengembangan metode analisis ini kemudian dapat dipakai sebagai pedoman untuk

menentukan tindakan-tindakan apa yang harus diambil guna mempercepat laju

pertumbuhan yang ada. Akan tetapi di pihak lain harus diakui, menganalisis

perekonomian suatu daerah sangat sulit (Arsyad, 1999). Beberapa faktor yang sering

menjadi penghambat dalam melakukan analisis perekonomian di antaranya:

a. Data tentang daerah sangat terbatas terutama kalau daerah dibedakan

berdasarkan pengertian daerah nodal (berdasarkan fungsinya).

b. Data yang dibutuhkan umumnya tidak sesuai dengan data yang dibutuhkan

untuk analisis daerah, karena data yang terkumpul biasanya ditujukan untuk

(39)

c. Data tentang perekonomian daerah sangat sukar dikumpulkan sebab

perekonomian daerah lebih terbuka jika dibandingkan dengan perekonomian

nasional. Hal tersebut menyebabkan data tentang aliran-aliran yang masuk

dan keluar dari suatu daerah sukar diperoleh.

d. Bagi Negara Sedang Berkembang, di samping kekurangan data sebagai

kenyataan yang umum, data yang terbatas itu pun banyak yang kurang akurat

dan terkadang relatif sulit dipercaya, sehingga menimbulkan kesulitan untuk

melakukan analisis yang memadai tentang keadaan perekonomian yang

sebenarnya di suatu daerah.

Ada beberapa teori dalam pembangunan daerah yang berhubungan dengan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)

Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry W. Richardson yang

menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah

adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar

daerah (Arsyad, 1999). Dalam penjelasan selanjutnya dijelaskan bahwa

pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk

tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah

dan penciptaan peluang kerja (job creation). Asumsi ini memberikan pengertian

bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut

dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain

(40)

Ada serangkaian teori ekonomi sebagai teori yang berusaha menjalankan

perubahan-perubahan regional yang menekankan hubungan antara sektor-sektor

yang terdapat dalam perekonomian daerah. Teori yang paling sederhana dan

populer adalah teori basis ekonomi (economic base theory). Menurut Glasson

(1990), konsep dasar basis ekonomi membagi perekonomian menjadi dua sektor

yaitu:

1) Sektor-sektor Basis adalah sektor-sektor yang mengekspor barang-barang dan

jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan atas

masukan barang dan jasa mereka kepada masyarakat yang datang dari luar

perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan.

2) Sektor-sektor Bukan Basis adalah sektor-sektor yang menjadikan

barang-barang yang dibutuhkan oleh orang yang bertempat tinggal di dalam batas

perekonomian masyarakat bersangkutan. Sektor-sektor tidak mengekspor

barang-barang. Ruang lingkup mereka dan daerah pasar terutama adalah

bersifat lokal.

Secara implisit pembagian perekonomian regional yang dibagi menjadi dua

sektor tersebut terdapat hubungan sebab-akibat di mana keduanya kemudian

menjadi pijakan dalam membentuk teori basis ekonomi. Bertambahnya kegiatan

basis di suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang

bersangkutan sehingga menambah permintaan terhadap barang dan jasa yang

dihasilkan, akibatnya akan menambah volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya

(41)

produk dari kegiatan bukan basis yang berarti berkurangnya pendapatan yang

masuk ke daerah yang bersangkutan. Dengan demikian kegiatan basis mempunyai

peran sebagai penggerak utama.

b. Teori Tempat Sentral

Teori Tempat Sentral (central place theory) menganggap bahwa ada hirarki

tempat dimana setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat lebih kecil

yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral

tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk

daerah yang mendukungnya. Teori tempat sentral memperlihatkan bagaimana

pola-pola lahan dari industri yang berbeda-beda terpadu membentuk suatu sistem

regional kota-kota (Supomo, 2000).

Teori tempat sentral ini bisa diterapkan pada pembangunan ekonomi daerah,

baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. Misalnya, perlunya

melakukan pembedaan fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga

(berbatasan). Beberapa daerah bisa menjadi wilayah penyedia jasa sedangkan

daerah lainnya hanya sebagai wilayah pemukiman. Seorang ahli pembangunan

ekonomi daerah dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan peranan

fungsional mereka dalam sistem ekonomi daerah.

c. Teori Interaksi Spasial

Merupakan arus gerak yang terjadi antara pusat-pusat pelayanan baik berupa

barang, penduduk, uang maupun yang lainnya. Untuk itu perlu adanya hubungan

(42)

maka suatu daerah akan saling melengkapi dan bekerja sama untuk meningkatkan

laju pertumbuhan ekonominya.

Dalam teori ini didasarkan pada teori gravitasi, di mana dijelaskan bahwa

interaksi antardua daerah merupakan perbandingan terbalik antara besarnya massa

wilayah yang bersangkutan dengan jarak keduanya. Di mana massa wilayah

diukur dengan jumlah penduduk. Model interaksi spasial ini mempunyai

kegunaan untuk:

1) Menganalisa gerakan antaraktivitas dan kekuatan pusat dalam suatu daerah.

2) Memperkirakan pengaruh yang ada dan ditetapkannya lokasi pusat

pertumbuhan terhadap daerah sekitarnya.

Interaksi antarkelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lain

sebagai produsen dan konsumen serta barang-barang yang diperlukan

menunjukkan adanya gerakan. Produsen suatu barang pada umumnya terletak

pada tempat tertentu dalam ruang geografis, sedangkan para langganannya

tersebar dengan berbagai jarak di sekitar produsen.

2.3. Pembangunan Pedesaan

Pembangunan pedesaan di Indonesia dewasa ini memasuki saat-saat sulit

karena sebagai suatu komunitas, sangat sulit untuk mencari faktor pengikat yang

dapat dijadikan sebagai landasan bagi suatu gerakan bersama dalam membangun

desa. Kondisi ini berbeda dengan keadaan pada awal pelaksanaan pembangunan

(43)

masyarakat desa, terutama karena masyarakat berada pada kondisi yang relatif hampir

sama dan menghadapi masalah yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

(Jamal, 2009).

Perdebatan yang mewarnai pemikiran tentang pembangunan pedesaan

di Indonesia pada masa Orde Baru dan awal Orde Reformasi adalah mengenai

pendekatan yang digunakan dalam pembangunan itu sendiri. Secara sederhana

terdapat tiga kutub pemikiran tentang pembangunan pedesaan di Indonesia.

Kelompok pertama melihat wilayah pedesaan dan masyarakatnya sebagai sesuatu

yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan pembangunan di wilayah pedesaan,

pendekatan yang digunakan adalah dengan sedikit mungkin campur tangan

pemerintah. Pada sisi lain, para pemikir yang melingkari kekuasaan pada saat itu,

sebagai kelompok kedua, cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang homogen dan

perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal. Pemikiran inilah

yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan pedesaan dan

ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan desa sebagai suatu

wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis, serta menjadi 'alat

pemerintah' dalam pembangunan.

Kelompok ketiga mencoba menyeimbangkan kekuatan masyarakat pedesaan

dan negara dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam

masyarakat pedesaan. Beberapa pemikiran dari kelompok pertama antara lain dapat

diikuti pada tulisan Rozelle dan Swinnen (2000), Harianto (2007), serta Timer (2007)

(44)

alat-alat produksi kepada lapisan masyarakat yang memiliki potensi produksi

terbesar, tetapi berada dalam kedudukan yang lemah. Kelompok ini mensyaratkan

perlunya dilakukan pengaturan kembali struktur penguasaan atas tanah, sistem

hubungan penguasaan, pemilikan, sakap menyakap sebagai dasar dalam modernisasi

pedesaan. Kegiatan industri akan berkembang sebagai akibat surplus dari pertanian,

dan kelebihan tenaga kerja dari pertanian secara bertahap akan diserap sektor

pengolahan hasil pertanian dan industri.

Pemikiran kelompok kedua dapat dilihat dalam tulisan Kartasasmita (1997),

Pakpahan (2000), Lokollo (2004), dan para teknokrat Orde Baru, yang menekankan

pada upaya penyeragaman pendekatan dalam pembangunan pedesaan. Pemikiran dari

kelompok inilah yang banyak mewarnai berbagai kebijakan pembangunan pedesaan

di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru. Pemikiran kelompok ketiga antara lain

dapat dilihat pada tulisan Kasryno et al. (1999), serta Islam dan Braun (2007), yang

menyatakan harus ada equal-partnership antara rakyat desa dan aparat perencana dan

pelaksana pembangunan. Beberapa persepsi yang keliru dalam pelaksanaan

pembangunan pedesaan adalah persepsi bahwa aparat desa merupakan sumber energi

dalam pembangunan dan bukan sumber informasi. Selain itu, masyarakat desa sering

kali diposisikan sebagai pihak yang digerakkan untuk mendukung pembangunan

yang direncanakan dan dilaksanakan pemerintah tanpa diminta pendapatnya. Sistem

panutan dalam pembangunan pedesaan sebagai sesuatu yang tidak berdasar, dan desa

(45)

Sistem cetak biru dalam pembangunan pedesaan akan membuat pembangunan

efisien, namun tidak menumbuhkan partisipasi dari masyarakat. Tidak ada yang

keliru dari ketiga pendekatan tersebut karena semuanya mempunyai dasar berpijak

dan alasan yang kuat. Namun, ketiga pemikiran tersebut belum dengan jernih

memilah persoalan masyarakat desa sebagai persoalan individu masyarakat dan

sebagai persoalan suatu komunitas. Bila hal ini dapat dipilah dengan baik maka

pentahapan pembangunan pedesaan dapat dilakukan dengan melihat tingkat

perkembangan kebutuhan mereka secara individu dan sebagai sebuah komunitas.

Pada tahap awal pembangunan Orde Baru, tingkat kebutuhan individu di pedesaan

relatif sama, yaitu bagaimana dapat memenuhi kebutuhan dasar, dan perlunya

gerakan bersama dalam komunitas untuk mendukung inisiatif pemerintah dalam

pembangunan. Oleh karena itu, upaya penyeragaman pembangunan pedesaan dalam

bentuk cetak biru bukanlah suatu hal yang keliru. Kekeliruan baru terjadi bila pola ini

diterapkan secara permanen untuk waktu yang lama tanpa melihat tingkat

perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan dalam suatu

komunitas.

Beranjak dari pemikiran tersebut maka pendekatan pembangunan pedesaan

yang sebaiknya digunakan bergantung pada homogenitas kebutuhan individu di suatu

wilayah serta ragam keperluan bagi kebersamaan masyarakat desa dalam

pembangunan itu sendiri. Pada tataran ini, pendekatan komando didefinisikan sebagai

pendekatan instruktif, di mana inisiatif pemerintah sangat dominan dan masyarakat

(46)

Pendekatan semipartisipatif merupakan pendekatan yang memadukan inisiatif

masyarakat dan campur tangan pemerintah, sedangkan pendekatan partisipatif lebih

mengedepankan inisiatif masyarakat dan meminimalkan campur tangan pemerintah.

Pada masyarakat yang kebutuhan individunya relatif homogen dan kebutuhan

kebersamaan sebagai suatu komunitas lebih pada upaya mendukung inisiatif

pemerintah, atau sebagai partner pemerintah maka pendekatan komando bukan suatu

hal yang tabu untuk dilaksanakan. Pendekatan partisipatif yang lebih menekankan

inisiatif masyarakat akan efektif dilaksanakan bila kebutuhan individu masyarakat

pada suatu wilayah sangat heterogen, dan kebersamaan sebagai komunitas merupakan

energi utama penggerak pembangunan pedesaan atau sebagai partner pemerintah.

Pada wilayah dengan tingkat perkembangan individu yang heterogen namun

kebersamaan sebagai komunitas merupakan energi utama penggerak pembangunan

pedesaan, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan. Pada kondisi yang tidak

termasuk kedua hal tersebut, pendekatan semipartisipatif lebih tepat digunakan dalam

pembangunan pedesaan.

2.4. Industri Kerajinan

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, yang

menyebutkan bahwa industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah,

bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai

yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancangan dan

(47)

mempunyai kegiatan tertentu dalam mengubah secara mekanik atau secara kimia

bahan-bahan organis sehingga menjadi hasil baru.

Dari pengertian di atas maka industri mencakup segala kegiatan produksi

yang memproses pembuatan bahan-bahan mentah menjadi bahan-bahan setengah jadi

maupun barang jadi atau kegiatan yang bisa mengubah keadaan barang dari suatu

tingkat tertentu ke tingkat yang lain, kearah peningkatan nilai atau daya guna yang

berguna untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Industri sebagai suatu sistem terdiri

dari unsur fisik dan unsur perilaku manusia. Unsur fisik yang mendukung proses

industri adalah komponen tempat meliputi pula kondisinya, peralatan, bahan

mentah/bahan baku, dan beberapa hal yang memerlukan sumber energi. Sedangkan

unsur perilaku manusia meliputi komponen tenaga kerja, ketrampilan, tradisi,

transportasi, dan komunikasi, serta kpeadaan pasar dan politik (Dumairy, 1998).

Menurut Azhary (1986) industri di Indonesia digolongkan dalam empat

kriteria yaitu:

1. Industri besar menggunakan tenaga kerja mencapai 100 orang atau lebih.

2. Industri sedang menggunakan tenaga kerja mencapai 20-99 orang.

3. Industri kecil menggunakan tenaga kerja 5-19 orang.

4. Industri rumah tangga menggunakan tenaga kerja mencapai 1-4 orang.

Menurut Deperindag industri juga dapat dibedakan berdasarkan tingkat

investasinya, yaitu:

1. Industri besar dengan tingkat investasi lebih dari Rp. 1 milyar.

(48)

3. Industri kecil dengan tingkat investasi Rp. 5 juta – 200 juta.

4. Industri kerajinan rumah tangga dengan tingkat investasi kurang dari Rp. 5

juta.

Perusahaan industri kecil merupakan kesatuan produksi yang terkecil di suatu

tempat tertentu yang melakukan kegiatan untuk mengubah barang secara mekanis

atau kimia sehingga menjadi barang atau produk baru yang sifatnya lebih dekat

dengan konsumen. Karakteristik industri kecil menurut Tambunan (1999) antara lain:

1. Proses produksi lebih mechanized, dan kegiatannya dilakukan di tempat

khusus (pabrik) yang biasanya berlokasi di samping rumah si pengusaha atau

pemilik usaha.

2. Sebagian besar tenaga kerja yang bekerja di industri kecil adalah pekerja

bayaran (wage labour).

3. Produk yang dibuat termasuk golongan barang-barang yang cukup

sophisticated.

Berdasarkan eksistensinya dinamisnya industri kecil (dan kerajinan rumah

tangga) di Indonesia dapat dibagi dalam tiga (3) kelompok kategori, yaitu:

1. Industri lokal, yaitu kelompok industri yang menggantungkan kelangsungan

hidupnya kepada pasar setempat yang terbatas, serta relatif tersebar dari segi

lokasi.

2. Industri sentra, yaitu kelompok jenis industri yang dari segi satuan usaha

(49)

kawasan produksi yang terdiri dari kumpulan unit usaha yang menghasilkan

barang sejenis.

3. Industri mandiri, adalah kelompok jenis industri yang masih mempunyai

sifat-sifat industri kecil, namun telah berkemampuan mengadakan teknologi

produksi yang cukup canggih (Saleh, 1986 dalam Subekti, 2007).

Klasifikasi industri kecil menurut Departemen Perindustrian (dalam Subekti,

2007) antara lain:

1. Industri Kecil Modern

Menurut definisi Departemen Perindustrian, industri kecil modern meliputi

industri kecil yang:

a. Menggunakan teknologi yang proses madya (intermediate process

technologies).

b. Mempunyai skala produksi yang terbatas.

c. Tergantung pada dukungan Litbang dan usaha-usaha kerekayasaan

(industri besar).

d. Dilibatkan dalam sistem produksi industri besar dan menengah dan

dengan sistem pemasaran domestik dan ekspor.

e. Menggunakan mesin khusus dan alat perlengkapan modal lainnya.

2. Industri Kecil Tradisional

Ciri-cirinya antara lain:

(50)

b. Teknologi pada bantuan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang disediakan

oleh Departemen Perindustrian sebagai bagian dari program bantuan

teknisnya kepada industri kecil.

c. Mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal lainnya relatif

sederhana.

d. Lokasinya di daerah pedesaan.

e. Akses untuk menjangkau pasar di luar lingkungan yang berdekatan

terbatas.

3. Industri Kerajinan Kecil

Industri kerajinan kecil meliputi industri kecil yang sangat beragam mulai dari

industri kecil yang menggunakan teknologi proses yang sederhana, sampai

industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya atau malahan

teknologi proses yang maju. Selain potensinya untuk menyediakan lapangan

kerja dan kesempatan untuk memperoleh pendapatan bagi

kelompok-kelompok yang berpendapatan rendah, terutama di daerah pedesaan, industri

kerajinan kecil juga didorong atas landasan budaya yakni mengingat peranan

pentingnya dalam pelestarian warisan budaya Indonesia.

Menurut Saleh (1986) dalam Subekti (2007) alasan-alasan yang mendukung

pentingnya pengembangan industri kecil adalah:

1. Fleksibel dan adaptabilitasnya yang ditopang oleh kemudahan relatif dalam

Gambar

Tabel 3.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel
Tabel 4.1. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai
Tabel 4.2. Luas Wilayah Kecamatan Serba Jadi Berdasarkan Desa 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pihak pertama berjanji akan mewujudkan target kinerja yang seharusnya sesuai lampiran perjanjian ini, dalam rangka mencapai target kinerja jangka menengah seperti yang telah

Askes (KCU Semarang) per 31 Desember 2011 menunjukkan jumlah peserta Askes di Kota Semarang yang memilih Puskesmas sebesar 69.578 jiwa, dan yang memilih dokter keluarga

Berdasarkan latar belakang, maka peneliti perlu melakukan penelitian dengan judul “Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar

Dalam melaksanakan Rencana Strategis Bappeda Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011-2016, LAKIP Tahun 2015 yang merupakan bagian dari informasi pengukuran kinerja

“Dengan kecekapan pegawai yang dipertanggungjawabkan dan penerimaan peladang, penternak dan nelayan melalui aktiviti dan program yang dijalankan oleh pertubuhan peladang,

Pada Multi Level Marketing target penjualan sepenuhnya ditentukan oleh distributor independen dan jaringan penjual langsung yang dikembangkannya, sementara imbal

Peubah amatan yang diamati adalah tinggi bibit kakao, diameter batang bibit kakao, jumlah daun bibit kakao, total luas daun bibit kakao, bobot basah tajuk bibit kakao,

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia yang dilimpahkan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini