KEDUDUKAN PERJANJIAN EKONOMI ANTARA
PEMERINTAH DAERAH DENGAN LEMBAGA
INTERNASIONAL DITINJAU DARI HUKUM NASIONAL &
HUKUM INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
ANANDA JAKARIA 070200297
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEDUDUKAN PERJANJIAN EKONOMI ANTARA PEMERINTAH DAERAH DENGAN LEMBAGA INTERNASIONAL DITINJAU DARI
HUKUM NASIONAL & HUKUM INTERNASIONAL
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
ANANDA JAKARIA 070200297
Mengetahui:
Ketua Departemen Hukum Internasional
NIP. 196403301993031002 Arif, SH, MH
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum Arif, SH, MH
NIP. 197308012002121002 NIP. 196403301993031002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan syafa’atnya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan sebaik-baiknya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan
untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Adapun judul yang penulis angkat adalah “Kedudukan Perjanjian Ekonomi
Antara Pemerintah Daerah Dengan Lembaga Internasional Ditinjau Dari Hukum
Nasional & Huku m Internasional”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang
dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai
pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan
efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu menulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril maupun materiil. Kepada Yang
Terhormat:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Muhammad Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
5. Arif, SH, M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing II
yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulisan
skripsi ini..
6. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Sekertaris Departemen Hukum
Internasional sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran
dan petunjuk dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini.
7. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu terkhususnya ilmu di bidang hukum..
Penulis menyadari skripsi ini belum sempur na di satu sisi karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis
kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna
menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi
materi maupun cara penulisannya di masa yang kan datang
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya,
semoga Allah SWT meridhoi kita semua. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca dan perkembangan hukum negara Indonesia.
Medan, Juni 2012
Hormat Saya
ABSTRAK
Dr. Jelly Leviza, SH,M.Hum * Arif, SH, M.H. ** Ananda Jakaria ***
Kebutuhan hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain makin bertambah dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi pengangkutan, komunikasi dan informasi. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggara hubungan luar negeri, pelaksaan politik luar negeri dan pembuatan perjanjian internasional. Kedua perangkat hukum ini menandai dibukanya paradigma baru bagi Indonesia dalam melakukan hubungan luar negeri untuk memenuhi tuntutan zaman yang bergerak cepat. Bagaimana pengaturan kerjasama luar negeri oleh daerah ditinjau dari segi hukum perjanjian. Bagaimana hukum Indonesia mengatur pemberian tanggung jawab kepada daerah serta keterlibatan pemerintah pusat dalam pelaksanaan kerjasama ekonomi luar negeri oleh pemerintah.Hambatan apa yang dihadapi dalam upaya lebih mengefektifkan kerjasama ekonomi luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah baik dalam bentuk kerjasama antar kota (sister sity), antar daerah (sister province) dan kerjasama Ekonomi Sub Regional.
Untuk itu dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data Primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 1999, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 dan Undang-Undang No.32 tahun 2004 diikuti dengan Peraturan Pemerintah yang hingga tahun 2007 lalu masih belum disahkan. Menteri Luar Negeri sebagai kordinator pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri telah menerbitkan PerMenLu No. 09/A/KP/XII/2006/01 yang mengatur panduan umum tentang tata cara hubungan dan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah. Perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengatasnamakan pemerintah pusat sehingga memerlukan surat kuasa. Hal sama berlaku dalam hukum internasional dimana hanya negara(pemerintah pusat) yang dikenal sebagai subjek hukum internasional yang dapat membuat perjanjian internasional sehingga tanggung jawabnya terletak pada negara.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…..………..i
ABSTRAKSI………...iii
DAFTAR ISI………..iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...1
B. Permasalahan ………..8
C. Tujuan Penulisan dan manfaat penulisan………..………....8
D. Keaslian Penulisan ………...9
E. Tinjauan Kepustakaan………...10
F. Metode Penelitian ...12
G. Sistematika Penulisan ………....13
BAB IILANDASAN KONSEPTUAL KERJASAMA EKONOMI LUAR NEGERI MENGHADAPI GLOBALISASI A. Teori dan Landasan Konseptual Pembangunan Hukum dan Pembangunan Ekonomi...15
B. Pembangunan Hukum dan Pembangunan Ekonomi Sebagai Isu Global...22
C. Bentuk-Bentuk Kerjasama Antar Daerah dengan Lembaga Internasional...35
D. Penyelenggaraan dan Mekanisme Hubungan Luar Negeri oleh Daerah Menurut Hukum Nasional dan Hukum Internasional...40
BAB III KERJASAMA EKONOMI LUAR NEGERI OLEH DAERAH DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional...50
B. Perjanjian Sebagai Instrumen Hubungan Kerjasama Internasional...62
BAN IV KEDUDUKAN PERJANJIAN EKONOMI ANTARA PEMERINTAH DAERAH DENGAN LEMBAGA
INTERNASIONAL DITINJAU DARI HUKUM NASIONAL & HUKUM INTERNASIONAL
A. Kebijakan Desentralisasi Kerjasama Ekonomi Luar Negeri oleh Daerah
dalam Rangka Otonomi Daerah...76
B. Hambatan yang Dihadapi dalam Kerjasama Antara Pemerintah Daerah
dengan Lembaga Internasi..onal...86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………... 90
B. Saran ………..…91
ABSTRAK
Dr. Jelly Leviza, SH,M.Hum * Arif, SH, M.H. ** Ananda Jakaria ***
Kebutuhan hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain makin bertambah dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi pengangkutan, komunikasi dan informasi. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggara hubungan luar negeri, pelaksaan politik luar negeri dan pembuatan perjanjian internasional. Kedua perangkat hukum ini menandai dibukanya paradigma baru bagi Indonesia dalam melakukan hubungan luar negeri untuk memenuhi tuntutan zaman yang bergerak cepat. Bagaimana pengaturan kerjasama luar negeri oleh daerah ditinjau dari segi hukum perjanjian. Bagaimana hukum Indonesia mengatur pemberian tanggung jawab kepada daerah serta keterlibatan pemerintah pusat dalam pelaksanaan kerjasama ekonomi luar negeri oleh pemerintah.Hambatan apa yang dihadapi dalam upaya lebih mengefektifkan kerjasama ekonomi luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah baik dalam bentuk kerjasama antar kota (sister sity), antar daerah (sister province) dan kerjasama Ekonomi Sub Regional.
Untuk itu dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data Primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 1999, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 dan Undang-Undang No.32 tahun 2004 diikuti dengan Peraturan Pemerintah yang hingga tahun 2007 lalu masih belum disahkan. Menteri Luar Negeri sebagai kordinator pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri telah menerbitkan PerMenLu No. 09/A/KP/XII/2006/01 yang mengatur panduan umum tentang tata cara hubungan dan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah. Perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengatasnamakan pemerintah pusat sehingga memerlukan surat kuasa. Hal sama berlaku dalam hukum internasional dimana hanya negara(pemerintah pusat) yang dikenal sebagai subjek hukum internasional yang dapat membuat perjanjian internasional sehingga tanggung jawabnya terletak pada negara.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan hubungan dengan
manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota
masyarakat membutuhkan hubungan satu sama lain. Hubungan antara anggota
masyarakat ini kemudian meluas tidak hanya terbatas anggota masyarakat dalam
satu negara saja tetapi kemudian meluas melewati batas negaranya. Kebutuhan
hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang
lain makin bertambah dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi
pengangkutan, komunikasi dan informasi.1
Perubahan peta bumi politik masyarkat internasional melalui lahirnya
negara-negara baru sebagai anggota masyarakat internasional serta perkembangan
dan kemajuan teknologi telah mengharuskan adanya hubungan-hubungan yang
tetap dan terus menerus diantara negara-negara. Adanya kemauan negara-negara
(dalam suatu masyarakat internasional) untuk menjalin hubungan kerjasama satu
sama lain secara timbal balik merupakan pencerminan keterbatasan dari setiap
negara dalam hal memenuhi segala kebutuhannya atau adanya saling
ketergantungan diantara semua negara. Disamping kebutuhan dari negara untuk
menjaga kelangsungan hidupnya dan penghormatan terhadap kemerdekaan
negara, telah mengharuskan negara-negara untuk hidup berdampingan secara
1
damai melalui hubungan-hubungan internasional yang teratur.
Hubungan-hubungan internasional diantara negara-negara sebagai anggota masyarkat
internasional yang didasarkan pada kebutuhan, kepentingan dan kemampuan yang
berbeda-beda serta keinginan untuk hidup berdampingan secara damai, perlu
diatur dan dipelihara. Untuk itu diperlukan hukum demi menjamin kepastian
dalam setiap hubungan yang teratur dengan hukum, dan hukum yang mengatur
hubungan antar negara adalah hukum internasional.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional itu adalah
merupakan keseluruhan kaedah-kaedah dan azas-azas yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas negara-negara antara:
1. Negara dengan negara.
2. Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan
negara satu sama lain.2
Kaedah - kaedah dan azas-azas hukum internasional yang mengatur
hubungan-hubungan yang melintasi batas negara tersebut, sumber formalnya
secara tegas tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional
(Statute of the International Court of Justice).
Pada Pasal 38 ayat 1 statuta Mahkamah Internasional menempatkan
perjanjian internasional pada kedudukan pertama sebagai sumber formal hukum
internasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa praktek negara-negara
selalu menggunakan perjanjian internasional untuk mengatur hubungan-hubungan
diantara negara. Karena itu menjadi jelas, pentingnya perjanjian internasional
2
sebagai sarana bagi pengaturan hubungan-hubungan internasional demi menjaga
ketertiban masyarakat internasional. Namun sekalipun ketentuan Pasal 38 ayat 1
Statuta Mahkamah Internasional menempatkan perjanjian internasional sebagai
sumber pertama hukum internasional, namun dalam pelaksanaannya tidak semua
perjanjian internasional secara langsung menjadi sumber hukum internasional.
Dalam hal ini teori hukum internasional membedakan dua golongan perjanjian
internasional, yaitu:
1. “law Making treaties” dan 2. “treaty contracts”.
”law making treaties” merupakan perjanjian-perjanjian internasional mengandung kaedah-kaedah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota-anggota
masyarakat bangsa-bangsa; sehingga dengan demikian dikategorikan sebagai
perjanjian-perjanjian internasional yang berfungsi sebagai sumber langsung
hukum internasional. Di lain pihak perjanjian-perjanjian yang berbentuk “treaty contracts” hanya mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihak yang mengadakan saja,
sehigga dengan demikian hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian.
Dalam hal ini “treaty contracts” hanya dapat membentuk kaedah-kaedah hukum yang berlaku umum, melalui proses hukum kebiasaan internasional.3
Dalam penulisan ini, perjanjian-perjanjian yang berbentuk “treaty contracts” menjadi landasan pembahasan karena berkaitan dengan persetujuan kerjasama antar daerah/kota, kerjasama provinsi dan kerjasama ekonomi
sub-3
regional (KERS) yang melintasi batas negara (kerjasama internasional). Hal ini
penting karena suatu perjanjian kerjasama internasional yang dilaksanakan oleh
daerah/kota, provinsi serta koordinasi kerjasama ekonomi sub regional (KERS)
dengan pihak asing hanya mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur
hubungan atau persoalan dan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang melakukan
perjanjian atau kerjasama itu.
Kenyataannya bahwa praktek negara-negara selalu menggunakan
perjanjian internasional untuk mengatur hubungan-hubungan antar negara
sehingga menempatkannya sebagai sarana bagi pengaturan hubungan
internasional, telah mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk
melakukan kodifikasi hukum perjanjian internasional dalam suatu konvensi.
Keinginan ini diwujudkan dalam Konvensi Wina Tahun 1969, dimana dihasilkan
suatu naskah hukum perjanjian yang dikenal dengan nama “Vienna Convention On the Law of the Treaties”.
Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional ini tidak saja
mengakomodasi hukum kebiasaan internasional dalam bidang hukum perjanjian,
tetapi mengakomodasi hukum kebiasaan internasional dalam bidang hukum
perjanjian, tetapi sekaligus mengembangkan secara progresif hukum internasional
tentang perjanjian. Di lain pihak, Konvensi Wina 1969 tetap mengakui eksistensi
hukum kebiasaan internasional tentang perjanjian, khususnya mengenai
masalah-masalah yang tidak atau belum diatur.
Kemudian bagi organ-organ pemerintah yang beritndak atas nama negara
pemerintah) tersebut haruslah mendapatkan kuasa penuh (full power) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969. Dalam hal ini seseorang
dianggap mewakili suatu negara untuk membuat perjanjian atau dengan tujuan
menyatakan setujunya negara terikat pada perjanjian apabila:
a. Ia memperlihatkan “Full Power” yang layak.
b. Terlihat dari praktek negara tersebut yang menyatakan bahwa
orang tersebut dianggap mewakili negara.4
Atas dasar fungsi-fungsi yang dilakukan maka tanpa memperlihatkan
“Full Power”, maka dianggap mewakili negara secara langsung:
a. Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri.
b. Kepala Misi Diplomatik.
c. Wakil-wakil yang dikirim suatu negara ke konfrensi
internasional.5
Perkembangan dalam masyarakat internasional dewasa ini menunjukkan
bahwa hubungan-hubungan internasional, tidak semata-mata dilakukan antar
negara saja, tetapi organ-organ di dalam suatu negara juga melakukan hubungan
internasional yang melintasi batas-batas negara. Kenyataannya telah berkembang
dengan pesat hubungan-hubungan internasional antar kota-kota dua negara yang
dikenal sebagai kerjasama antar kota (Sister City Cooperation). Di samping itu juag dikenal kerjasama Ekonomi Sub-Regional yang merupakan kerjasama daerah
dengan luar negeri. Hubungan kerjasama antar kota secara internasional
4
Pasal 7 ayat 1 Konvensi Wina 1969.
5
dimaksudkan agar terdapat kesamaan strategi bagi pembangunan agar bermanfaat
bagi pariwisata, pembangunan sosial ekonomi kota-kota lain.
Kerjasama antar kota/daerah sebagai bagian kerjasama ekonomi dan
sosial internasional yang melintasi batas-batas negara, tunduk pada kaedah-kaedah
hukum internasional. Dalam hal ini kota/daerah yang mewakili Pemerintah
Daerah dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan hukum
internasional, apabila diperkenankan oleh “negara” (pemerintah pusat).
Dalam hal ini kedudukan Pemerintah Daerah sebagai organ negara
adalah sebagai badan hukum publik yang mempunyai hak, kewajiban dan
tanggungjawab. Sebagai badan hukum publik Pemerintah Daerah dapat
melakukan kerjasama antar kota apabila mendapatkan wewenang dari negara
(Pemerintah Pusat). Wewenang pemeritah daerah/kota sebagai organ negara untuk
melakukan kerjasama antar kota didasarkan pada “mandat” (mandaat) yang diberikan Pemerintah Pusat. Dalam pergaulan hukum, madat merupakan suatu
bentuk pemberian kekuasaan (lastgeving) maupun kuasa penuh (volmacht).
Dari segi Hukum Perjanjian Internasional, siapapun dapat diterima
sebagai perwakilan suatu negara untuk kepentingan membentuk perjanjian
internasional sejauh ia dapat menunjukan /memiliki kuasa penuh (full power) dari negara. Konsekuensi dari pemberi mandat berupa ”full power” dari negara (pemerintah pusat) bertanggung jawab sepenuhnya atas kerjasama tersebut. Dalam
hal ini apalagi terjadi pelanggaran kewajiban internasional dalam pelaksanaan
kerjasama antar kota, maka tanggung jawab dapat dibedakan kepada negara
Pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini telah memacu semakin
intensifnya interaksi antar negara dan antar bangsa di dunia. Meningkatnya
intensitas interaksi tersebut telah mempengaruhi pula potensi kegiatan ekonomi,
politik, sosial dan budaya Indonesia dengan pihak luar, baik itu dilakukan oleh
Pemerintah, organisasi non-pemerintah, swasta dan perorangan. Kenyataannya ini
menuntut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut
selain ditunjukan untuk melindungi kepentingan negara dan warga negara serta
pada gilirannya memperkokoh Negara Kesatuan Rapublik Indonesia.6
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengundangkan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua
undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggara
hubungan luar negeri, pelaksaan politik luar negeri dan pembuatan perjanjian
internasional. Kedua perangkat hukum ini menandai dibukannya paradigma baru
bagi Indonesia dalam melakukan hubungan luar negeri untuk memenuhi tuntutan
zaman yang bergerak cepat.
7
Dengan adanya paradigma baru ini, tentunya mengubah pemahaman
yang selama ini ada bahwa hubungan luar negeri merupakan monopoli negara
(state actors). Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kemungkinan daerah untuk mengadakan
hubungan dan kerjasama dengan pihak asing.
6
Hasan Wirajuda. Panduan Umum T ata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Sambutan Revisi Tahun 2006
7
B. Permasalahan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penting untuk diteliti hal-hal
sebagaimana berikut ini:
1. Bagaimana penyelenggaraan dan mekanisme kerjasama luar negeri oleh daerah
menurut hukum nasional dan hukum internasional?
2. Bagaimana kewajiban dan tanggung jawab negara dalam pelaksanaan kerjasama
luar negeri oleh pemerintah daerah?
3. Hambatan apa yang dihadapi dalam upaya lebih mengefektifkan kerjasama
ekonomi luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana peyelenggaraan dan mekanisme kerjasama luar
negeri yang dilakukan oleh daerah menurut hukum nasional dan hukum
internasional.
2. Untuk mengetahui bagaimana kewajiban dan tanggung jawab negara dalam
pelaksanaan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah serta keterlibatan
pemerintah pusat dalam pelaksanaan kerjasama ekonomi luar negeri.
3. Untuk mengetahui bagaimana hambatan yang dihadapi dalam upaya lebih
mengefektifkan kerjasama ekonomi luar negeri yang dilakukan pemerintah
Manfaat penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis :
a. Secara Teoritis
Secara teoritis penulisan ini diharapkan berguna sebagai wawasan dan
kajian dalam menambah pengetahuan tentang perjanjian ekonomi yang
dilakukan pemerintah daerah dengan lemabaga internasional.
b. Secara Praktis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarkat khususnya
memberikan informasi ilmiah mengenai perjanjian ekonomi yang
dilakukan pemerintah daerah dengan lembaga internasional tersebut.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Kedudukan Perjanjian Ekonomi antara Pemerintah
Daerah dengan Lembaga Internasional Ditinjau dari Hukum Nasional & Hukum
Internasional”. Di dalam penulisan ini penulis memulai dengan melakukan
pengumpulan bahan-bahan yang berhubungan dengan masalah perjanjian
kerjasama ekonomi, serta lembaga-lembaga internasional baik dari literatur yang
diperoleh dari perpustakaan, dari buku yang dimiliki, media cetak maupun media
elektronik. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini penulis melakukan
pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
untuk membuktikan bahwa judul skripsi yang saya tulis ini belum ada atau belum
Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis
oleh orang lain dalam bentuk skripsi ini dibuat, maka hal itu akan menjadi
tanggung jawab penulis itu sendiri.
E. Tinjauan Kepustakaan.
Di dalam melakukan kerjasama internasional, kita pasti berpendapat
bahwa kerjasama yang dilakukan tentunya antara negara. Namun tidak semua
kerjasama internasional tersebut subjeknya negara dengan negara, bisa juga
negara dengan daerah/kota, provinsi maupun Kerjasama Ekonomi Sub-regional.
Ini dapat kita lihat dari Pasal 1 konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
yang telah membatasi berlakunya konvensi hanya pada perjanjian-perjanjian antar
negara; dengan mengatakan “The present Convention applies to trieties between states”8
Kemudian ketentuan dalam Pasal 1 Konvensi Wina 1969 tersebut
kemudian dipertegas dalam Pasal 6, menyangkut kapasitas dari negra untuk
membentuk perjanjian internasional. Secara tegas Pasal 6 Konvensi Wina 1969
menyatakan “every states possesses capacity to conclude treaties”
. Hal ini tidak berarti bahwa hanya negara saja yang dapat menjadi peserta
dalam perjanjian-perjanjian internasional, melainkan terkandung keinginan untuk
mengatur perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum internasional
lainnya secara tersendiri. Kenyataanya pada Tahun 1986 telah ditetapkan “vienna convention on the law of the treaties” yang berlaku bagi organisasi Internasional.
9
8
Konvensi Wina 1969, Pasal 1
9
Konvensi Wina 1969, Pasal 6.
. Pengertian
piagam PBB dan statuta Mahkamah Internasional yaitu “state for the purpose of internasional law”.
Hal ini tidak menutup kemungkinan suatu wilayah yang merupakan bagian
dari suatu negara (dalam tulisan ini yang dimaksud adalah Provinsi,
Kabupaten/Kota dan Kerjasama Ekonomi oleh Daerah dalam lingkup
Sub-Regional) turut serta dalam pembuatan/pembentukan perjanjian internasional,
sejauh hukum nasional memperbolehkan.
Dalam kaitan dengan kewenangan suatu negara bagian untuk membentuk
perjanjian internasional, D.J Harris memberikan pendapatnya sebagai berikut:
“More frequently the treaty-making capacity is vested exclusively in the federal gonverment, but there is no rule of internasional law which precludes the component state from being invested with the power to conclude treaties with third states. Questions may arise in some cases as to wheather the component state or in its own right. But on this point also the solution must be sought in the provisions of the federal constitution.10
Dari pendapat beliau tersebut diatas, dapatlah di tarik kesimpulan sebagai
berikut: 1. Hukum internasional tidak membatasi pemberian wewenang dari
pemerintah federal kepada negara bagian dalam pembentukan perjanjian
internasional. 2. Pembentukan perjanjian internasional oleh negara bagian selain
dilakukan sebagai organ negara pemerintah federal atau dasar hak negara bagian.
3. Penyelesaian masalah tersebut tergantung dari konstitusi federal.
10
F. Metode Penelitian.
Penelitian merupakan suatu saran pokok dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan
konsisten.11 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu dengan jalan
menganalisanya.12Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk
memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang
bersangkutan13
1. Metode yuridis normatif yaitu penelitan yang dilakukan atas
norma-norma hukum yang berlaku, yang norma-norma tersebut
berasal dari peraturan hukum yang diundangkan.
, dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk
memahami dan memecahkan suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu.
Metode penelitian hukum terbagi atas 2 macam yaitu:
2. Metode yuridis sosiologis yaitu metode yang dilakukan tentang
penerapan norma hukum di masyarakat.
Dalam penulisan skripsiini, penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif. Karena dalam penelitian ini yang dilakukan penulis
membaca, mempelajari, mentransfer dari buku-buku, konvensi-konvensi
11
Soerjono Soekanto, Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001.hal 1.
12
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika. Jakarta. 1996. Hal 6.
13
dan sebagainya yang menurut penulis ada hubungannya dengan perjanjian
ekonomi antara pemerintah daerah dengan lembaga internasional.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang
menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang
saling berkaitan satu dengan yang lainnya. penulis membuat sistematika dengan
membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab terperinci adapun
bagiannya adalah:
Bab I : Pendahuluan yang isinya antara lain memuat: latar belakang, pokok
permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab II : Landasan konseptual kerjasama ekonomi luar negeri menghadapi
globalisasi, teori dan landasan konseptual hukum pembangunan,
pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi sebagai isu
global, bentuk-bentuk kerjasam antara daerah dengan Lembaga
Internasional, penyelenggaraan dan mekanisme hubungan luar
negeri oleh daerah menurut hukum nasional dan hukum
internasional.
Bab III : Kerjasama ekonomi luar negeri oleh daerah ditinjau dari hukum
perjanjian internasional, perjanjian internasional sebagai sumber
hukum internasional, perjanjian sebagai instrumen hubungan
kerjasama internasional, kewajiban dan tanggung jawab negara
dalam pelaksanaan kerjasama luar negeri oleh daerah.
Bab IV : Kedudukan perjanjian ekonomi antara pemerintah daerah dengan
lembaga internasional ditinjau dari hukum nasional & hukum
internasional. Kebijakan desentralisasi kerjasama ekonomi luar
dihadapi dalam kerjasama antara pemerintah daerah dengan
lembaga internasional
Bab V : Kesimpulan dan Saran, dalam bab terakhir tulisan ini akan
dirangkum dalam sebuah kesimpulan dan juga saran yang berkaitan
dengan kedudukan perjanjian ekonomi antara pemerintah daerah
dengan lembaga internasional ditinjau dari hukum nasional &
BAB II
LANDASAN KONSEPTUAL KERJASAMA EKONOMI LUAR NEGERI MENGHADAPI GLOBALISASI
A. Teori Landasan Komseptual Hukum Pembangunan.
Pembukaan undang-undang dasar 1945, alinea 4, menetapkan tujuan
bernegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain :
“… ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Ikut melaksanakan ketertiban dunia, merupakan ciri dari Indonesia yang
telah merdeka, untuk dapat memelihara hubungan-hubungan internasional dengan
negara-negara lain secara baik dalam suasana keerdekaan, persamaan derajat
dengan keadilan. Secara teoritis, konsep untuk memelihara eksistensi sebagai
negara yang merdeka dan berdaulat, tiap negara termasuk Indonesia mempunyai
cita-cita yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Upaya
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ini ditempuh melalui pembangunan yang
merata di segala bidang.
Karena ini menurut Mochtar Kusumaatmadja, tujuan kehidupan bernegara
itu dapat dicapai melalui pembangunan nasional menuntut pembaharuan dan
pembinaan di segala bidang. Dalam keadaan demikian, hukum harus disesuaikan
atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah.14
14
Hukum pada hakekatnya merupakan sarana penunjang perkembangan
masyarakat dan pembangunan. Hukum sebagai sarana penunjang pembangunan
berarti hukum diperlukan sebagai pemberi patokan serta pengarahan hukum
haruslah dapat memberikan kebutuhan hukum masyarakat. Tujuan pembangunan
hukum ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu
ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat fundamental bagi adanya
suatu masyarakat manusia yang teratur.
Agar pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk
pembangunan itu berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya aturan
perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran
sociological jurisprudence, yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat, jadi mencerminkan nilai-nilai yang hidup
di masyarakat. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak
dapat dilaksanakan (bekerja) dan mendapat tantangan-tantangan. Hal ini cukup
beralasan, karena di satu sisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk mengatur rumah
tangganya sendiri, namun di sisi lain ketentuan-ketentuan dari beberapa Pasal
tersebut belum sepenuhnya mendukung bagi terlaksananya otonomi daerah yang
luas dan bertanggungjawab.
Selain itu, dapat dipelihara pula dari ketentuan Pasal-Pasal yang berkaitan
dengan pelaksanaan investigasi di daerah, dimana dalam hal ini daerah “masih
dikekang” dan kurang diberikan keterluasan dalam mengeluarkan kebijaksanaan
Undang-undang tersebut tidak aspiratif dan tidak mencerminkan terhadap
nilai-nilai yang tumbuh di tengah masyarakat dan terkesan cenderung bersifat
sentralistik. Begitu pula halnya dengan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional dan Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri dimana mungkin terdapat ketentuan-ketentuan yang belum mengakomodir
kepentingan masyarakat atau daerah dalam melaksanakan kerjasama ekonomi
dengan luar negeri secara efektif dan efisien.
Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia berwujud
perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan lebih baik dari pada
perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata.
Karena baik “perubahan” maupun “ketertiban” (keteraturan) merupakan tujuan
kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang
tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Dalam hal adanya suatu
masyarakat internasional, saling membutuhkan antara bangsa-bangsa di berbagai
lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan
terus menerus antara bangsa-bangsa, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan
untuk memelihara dan mengatur hubungan yang demikian. Karena kebutuhan
antara bangsa-bangsa timbal balik sifatnya, kepentingan memelihara dan
mengatur hubungan yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan
bersama.
Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional ini
dibutuhkan hukum guna menjamin unsure kepastian yang diperlukan dalam setiap
bergabung dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang berlainan itu dapat
merupakan hubungan tak langsung atau resmi yang dilakukan oleh para pejabat
negara yang mengadakan berbagai perundingan atas nama negara dan meresmikan
persetujuan yang dicapai dalam perjanjian antar negara.
Disamping hubungan antar negara yang resmi demikian, orang dapat juga
mengadakan hubungan langsung secara perseorangan atau gabungan di lapangan
perniagaan, keagamaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, ilmu pengetahuan, olah
raga atau perburuhan yang melintasi batas negara. Jika direduksi maka tujuan
utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban (order). Tujuan ini sejalan
dengan fungsi utama hukum, yaitu mengatur. Ketertiban merupakan syarat dasar
bagi adanya suatu masyarakat. Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan
kebutuhan objektif bagi setiap manusia.
Masyarakat internasional yang anggotanya terdiri dari negara-negara
merdeka dan berdaulat, juga membutuhkan hukum untuk mengatur
hubungan-hubungan di antara mereka. Hukum yang mengatur hubungan-hubungan-hubungan-hubungan di antara
anggota-anggota masyarakat internasional adalah hukum internasional. Hukum
internasional secara langsung mengatur keseluruhan kegiatan hubungan
internasional di antara negara-negara sebagai subjek hukum internasional. Hukum
internasional secara tidak langsung mempengaruhi jalannya hubungan
internasional.
Kebutuhan untuk memelihara ketertiban di dalam masyarakat internasional
telah melahirkan hukum internasinal, yang secara terus menerus dikembangkan
masyarakat internasional berupa negara-negara merdeka dan berdaulat. Atas dasar
hidup berdampingan secara damai di antara negara-negara serta berlandaskan
pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang mewajiibkan Indonesia untuk
“ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial”, maka terbentuklah hubungan-hubungan antara
Indonesia dengan negara-negara lain di dunia ini. Hubungan-hubungan
internasional ini tidak saja dilakukan dalam bentuk hubungan antar negara, tetapi
juga telah berkembang dengan pesat hubungan kerjasama antar kota maupun
hubungan antar daerah dengan luar negeri. Adanya hukum suatu masyarakat
internasional, yang meliiputi seluruh bangsa-bangsa yang ada didunia ini,
benar-benar merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi. Adanya hukum
alami yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara
damai, dapat dikembalikan kepada akal sehat manusia (rasio) dan naluri untuk
mempertahankan diri dan jenisnya.
Kerjasama internasional sebagai akibat adanya saling ketergantungan,
diupayakan dengan menghormati keadilan dan kewajiban-kewajiban
internasional. Penghormatan terhadap keadilan dan kewajiban-kewajiban
internasional diupayakan terutama untuk :
a) Memelihara perdamaian dan keamanan internasional;
b) Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa
c) Mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan
persoalan-persoalan internasional di lapangan ekonomi, sosial, kebudayaan atau
bersifat kemanusian.15
Bagi Indonesia, kerjasama antar kota (Sister City) maupun Kerjasama Ekonomi Sub-Regional yang merupakan salah satu contoh kerjasama ekonomi
daerah dengan luar negeri selain bertujuan untuk mempererat persahabatan antara
kedua negara, juga dapat memanfaatkan kemajuan dan kemampuan kota di negara
yang menjadi pihak dalam kerjasama untuk kepentingan pengembangan dan
pembangunan daerah yang berada di Indonesia. Pelaksanaan kerjasama ekonomi
luar negeri oleh daerah ini dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan-kepentingan sebagai berikut :
a) Ketertiban, ketentraman dan kepentingan umum;
b) Stabilitas politik dalam negeri;
c) Terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kepribandian
nasional.
Dalam kaitan ini maka kerjasama antar kota/daerah harus bermanfaat
untuk :
a) Menunjang pelaksanaan program pembangunan nasional di
daerah;
b) Membantu meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan
kecerdasan masyarakat;
15
c) Membantu meningkatkan kemampuan pemerintah dan
pembangunan, dan lain sebagainya.
Begitu pula halnya dengan Kerjasama Ekonomi Sub-Regional yang
melibatkan beberapa provinsi di Indonesia dalam meghadapi perkembangan
ekonomi dunia yang semakin pesat akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi mendorong pihak pemerintah untuk mencari “model” pengembangan
ekonominya dalam upaya untuk tetap dapat bersaing dan memanfaatkan
peluang-peluang yang ada di daerah dalam rangka mengintensifkan kerjasama antar negara
yang telah terjalin.
Sementara itu pembentukan kawasan-kawasan pertumbuhan ekonomi
tersebut dapat dilakukan dalam kekosongan hukum, artinya pembentukan dan
mekanisme hubungan antar negara yang merupakan anggota dari kawasan
tersebut membutuhkan kehadiran perangkat hukum untuk mengesahkan dan
mengaturnya. Dengan kata lain, kerjasama ekonomi internasional antar negara
selalu memerlukan pengaturan hukum (perjanjian internasional). Di sinilah
kemudian kita akan menemukan peran dan fungsi dari hukum ekonomi nasional
dan internasional.
Masyarakat, khususnya dunia bisnis sekarang ini sudah merasa yakin
bahwa pembangunan ekonomi sangat memerlukan sarana hukum. Supaya
pembangunan ekonomi itu benar-benar mencapai tujuan sesuai dengan rencana.
Sunaryati Hartono menyatakan : Dalam mencari penyelesaiaan bagi
masalah-masalah nasional kita, perlu lebih dikembangkan pendekatan transnasional, yaitu
melihatnya dalam konteks nasional saja, akan tetapi juga dengan
menempatkannya ke dalam kehidupan masyarakat dunia. Disinilah diperlukan
peraturan-peraturan hukum ekonomi Indonesia yang cukup jeli, untuk disatu
pihak mengembangkan kerjasama internasional di bidang ekonomi, tetapi dilain
pihak memasang rambu-rambu yang cukup ampuh untuk melindungi hajat hidup
maupun kepribadian dan jati diri bangsa di dalam badai globalisasi itu. Di sini
pula tampak betapa hukum nasional ikut menentukan ketahanan sosial.16
B. Pembangunan Hukum dan Pembangunan Ekonomi sebagai isu Global
Memahami dinamika globalisasi dengan segala dimensinya, maka
globalisasi juga akan memberi pengaruh terhadap hukum. Globalisasi hukum akan
menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi,
perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati
negara-negara maju (Convergency). tetapi apapun istilah yang dilekatkan pada globalisasi hukum itu, pada intinya hendak menegaskan bahwa disamping hukum nasional
suatu negara bangsa berkembang suatu hukum-hukum yang melampaui
batas-batas kedaulatan negara bangsa.
Meskipun saat ini pembicaraan terhadap globalisasi hukum lebih
cenderung dalam konteksnya dengan globalisasi dibidang lain. Globalisasi hukum
kadang kala dipahami pula sebagai penyesuaian hukum-hukum nasional suatu
negara bangsa sebagai dampak dari perkembangan perekonomian global
misalnya. Penyesuaian hukum nasional bisa juga dilakukan atas adanya tekanan
16
organisasi internasional atau badan-badan dunia seperti WTO, IMF, World Bank
dan lain sebagainya. Meskipun pengaruh sistem hukum yang datang dari dari luar
itu bukan barang baru bagi Indonesia, tetapi yang membedakannya dari suatu
waktu adalah kondisi dan situasi serta atas kepentingan apa hukum-hukum
nasional Indonesia menyesuaikan diri atau memerlukan penyesuaian.
Dalam perspektif perbandingan sistem hukum benar adanya Hari
Purwadi,17
Dari sudut perkembangan globalisasi hukum yang demikian tentu bisa
dipahami apabila pada abad mendatang akan berkembang apa yang disebut
dengan “the era of comparative law”, meskipun saat ini geraknya belum tampak terlalu kuat. Namun demikian, yang terpenting sebenarnya dalam kaitan ini
memaksa kita untuk mendalami globalisasi hukum pada satu pihak dan sistem
hukum global dipihak lain. Apakah kemudian sistem hukum global menjadi bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang paling execelen
di dunia. Karena memang tidak bisa diingkari, bahwa sebagian besar sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum import sejak dari zaman penjajahan
sampai saat ini. Oleh karena itu, globalisasi hukum di Indonesia sudah berlansung
sejak lama, akan tetapi globalisasi hukum yang terjadi masa lalu itu hanya
menjadi sistem hukum yang hidup dan berkembang dalam suatu negara bangsa
yang berdaulat. Globalisasi hukum dalam perkembangannya justeru tumbuh dan
berkembang melampau batas-batas kedaulatan negara dan kalau pun ia hidup
dalam suatu negara nasional, tetapi perubahan dan penyesuaian sistem hukum itu
lahir dari suatu kesepakatan internasional.
17
bagian dari globalisasi hukum atau globalisasi hukum melahirkan sistem hukum
global, merupakan tema-tema yang menjadi fokus pada bagian ini. Kalau secara
nasional sudah jelas bagaimana pengaruh globalisasi itu menjalar dalam
kehidupan sistem hukum nasional. Di Indonesia saja saat ini berkembang
beberapa sistem hukum:
1. Civil Law System
2. Common Law Sistem
3. Islamic Law
4. Socialisme Law
5. Customary Law atau Sistem Hukum Adat.18
Oleh karenanya, jika globalisasi hukum bergulir ke ranah publik bersaman
dengan pengejewantahan globalisasi, bagi Indonesia tidak sepenuhnya benar,
karena jauh sebelum Indonesia merdeka sudah terjadi impor sistem hukum ke
Indonesia. Dengan demikian, pembicaraan terhadap globalisasi hukum di
Indonesia beberapa waktu belakangan, tampaknya lebih merupakan suatu
pembicaraan berkaitan dengan pergerakkan globalisasi di bidang lain. Dalam
banyak pembicaraan dan bahasan sering diutarakan, bahwa globaliasi hukum
diberbagai bidang, semisal globalisasi di bidang ekonomi, teknologi harus di ikuti
dengan globalisasi hukum. Artinya globalisasi hukum berada dibelakang
globalisasi bidang lain. Jika disetujui, bahwa globalisasi ekonomi merupakan
manifesitasi baru dari perkembangan kapitalisme sebagai sistem ekonomi sosial,
dimana transaksi dan lalu lintas ekonomi dan perdagangan tidak lagi terikat pada
asal negara dari berbagai sistem hukum dan tradisi, maka globalisasi ekonomi
harus diikuti globalisasi hukum. Meskipun demikian, tetap saja ada keraguan,
dimana globaliasi hukum itu tetap diharapkan berlangsung pada sistem hukum
18
yang berbeda. Artinya, model ini tidak menjelaskan apakah globalisasi hukum
memiliki sistem sendiri atau sistem hukum yang berbeda menjadi kekayaan dari
globalisasi hukum.
Terkait dengan globalisasi itu, Soetandyo Wigjosoebroto mengemukakan,
bahwa proses nasionalisasi saat ini belum selesai, namun proses baru yang
dikenali sebagai proses globalisasi sudah memasuki ambang pintu. Ini suatu
proses yang lebih berhakikat sebagaiproses ekonomi dan sosial kultural daripada
sebatas proses politik, nota bene proses politik yang diilhami oleh semangat dan paham nasionalisme, dengan cita-citanya yang tak mau ditawar untuk
mewujudkan kesatuan bangsa di bawah kontrol kepemimpinan yang berlegalitas
kuat. Akan tetapi, kini kenyataan telah kian menjadikan cita-cita seperti itu
bagaikan ilusi belaka. Kini, perkembangan kehidupan tidak lagi berhenti pada
jalannya proses integrasi komunitas-komunitas lokal ke satuan-satuan nasional,
melainkan bersiterus ke prosesnya yang kian berlanjut.19
19
Soetandyo Wigjosoebroto, Pluralisme Hukum Dalam Kehidupan Global, Hukum Dalam Masyarakat:Perkembangan dan Masalah (Malang: Bayumedia, 2008), hlm. 237-252
Hal ini memperkuat
globalisasi hukum menjadi suatu yang tidak terhindarkan dan akhirnya meminta
kita untuk mengamini, bahwa kehidupan nasional di manapun, baik yang
menyatukan manusia-manusia yang terbilang ‘bangsa tua’ yang muncul dalam
sejarah sebagai bangsa penjajah maupun yang terbilang ‘bangsa muda’ yang
terjajah, kini ini telah terkocok ulang dalam suatu kekisruhan yang namun begitu
bolehlah tetap direspons secara optimistik sebagai suatu proses yang secara
Dalam perpesktif seperti dikemukakan di atas, bagaimana sistem hukum
global memainkan peran dan eksistensinya tidaklah mudah, sementara dilain
pihak diyakini global society bukanlah suatu global state. Adanya juga yang menyebut Global state lebih tepat kalau dikatakan sebagai “masyarakat pasar” yang boleh juga disebut a global economy. Hal ini tentu menjadi integral dengan
global society, dimana masyarakat negara bangsa terbebas dari ikatan-ikatan hukum nasional mereka. Dalam perkembangan saat ini, globalisasi berkembang
lebih jauh dari pada global state (masyarakat pasar) atau global state dalam pemahaman yang lebih luas sebagai “negara dunia” yang hadir dalam bentuknya
yang nyata, tetapi berkembang dalam apa yang disebut dengan “tanggung jawab
global”.
Keadaan itu tampak rumit dibanding memahami globalisasi hukum dalam
perspektif tuntutan dari globalisasi ekonomi-perdagangan atau bidang lainnya.
Jika, global economy bekerja melampui batas-batas nation state yang selama ini dirasakan sebagai hambatan, sekarang Jika terjadi silang sengketa dalam
hubungan kontratual yang tidak bersanksi negara itu, maka penyelesaiannya akan
dilakukan lewat apa yang disebut ADR (alternative dispute resolution), mulai dari yang bermodel renegosiasi atau mediasi sampai ke yang disebut arbitrasi.
Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti ini mulai banyak
dipilih daripada penyelesaian-penyelesaian adjudikatif lewat litigasi-litigasi di
badan-badan peradilan nasional. Pada tataran ini tampak globalisasi hukum
sebagai dampak dari globalisasi ekonomi melahirkan suatu sistem hukum. Pilihan
yang terjadi pada bidang ekonomi/perdagangan itu, tentu akan tampak berbeda
dalam konteks “global state” yang berwujud dalam tanggung jawab global.
Bagi Indonesia sendiri pengaruh globalisasi itu, selain menuntut
penyesuaian sistem hukum nasional, globalisasi hukum sekaligus menghadapkan
Indonesia pada berbagai penuntasan persoalan hukum yang harus dilesaikan.
Tidak saja menyangkut grand desain hukum nasonal yang belum ada, ada
sejumlah keadaan hukum Indonesia atau apa yang dinamakan dengan (the existing legal system)20
1. Dilihat dari substansi hukum, asas dan kaedah, hingga saat ini terdapat
berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum
agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem
hukum yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan.
Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarkan
rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasi
untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang
modern.
yang menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
2. Ditinjau dari segi bentuk, sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan
pada bentuk-bentuk hukum tertulis. Para pelaksana dan penegak hukum
senantiasa mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis.
Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan
dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus
menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan jurisprudensi dalam
20
mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung
peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.
3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam
banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula
ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik
ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan
masyarakat.
4. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan
kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara, bahkan ada pula dari badan justisial.
5. Keadaan hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris.
Hukum- khususnya peraturan perundang-undangan- sering dipandang
sebagai urusan departemen yang bersangkutan.
6. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas
hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan.
Keadaan hukum Indonesia sebagaimana digambarkan Bagir Manan di
atas, penyesuaian sistem hukum nasional sebagai tuntutan globalisasi, jelaslah
merupakan bukan pekerjaan ringan. Disisi lain, arus globalisasi terus mengalir
dengan deras. Artinya, beberapa penyesuaian sistem hukum nasional Indonesia
saat ini berkenaan dengan tuntutan globalisasi masih menyisakan banyak
Bagaimana globalisasi hukum dan perkembangannya merasuki sisten
hukum nasional, maka dipihak lain globalisasi hukum pun menampakkan
wujudnya sendiri yang tidak sekedar berupa adaptasi yang dilakukan dalam sistem
hukum nasional. Bahwa keberadaan ADR sebagai sistem hukum global tentulah
tidak akan sama keberadaanya dengan keberadaan Mahkamah Internasional yang
mengurusi peradilan atas pelanggaran hak azasi manusia. Globalisasi hukum
kemudian memperlihatkan wujudnya yang lain, dimana Mahkamah Internasiona;
sebagai sistem hukum global sebagai suatu intrumen negara dunia (global state). Meskipun tidak terang-terangan dimaksudkan demikian, namun
pengadilan-pengadilan nasional bukan satu-satunya tempat berproses bagi suatu kejahatan
yang meskipin masih dibatasai objek dan subjeknya, tetapi ada lagi Mahkamah
Internasional sebagai alternative. Mahkamah Internasionan akan bekerja atas
suatu pengaduan/tuntutan, sekalipun yang teradukan adalah suatu tindakan dari
pejabat pemerintah negara nasional yang sah.
Berdasarkan dinamika globalisasi yang mempengaruhi bidang hukum,
maka globalisasi hukum sepertinya berakar pada dua hal, Pertama globalisasi hukum yang berakar pada globalsiasi ekonomi dan bidang lainnya yang
menempatkan global state sebagai “masyarakat pasar. Kedua globalisasi hukum yang berakar pada global state yang menampakkan wujudnya dalam apa yang disebut dengan “tanggung jawab global”. Hal ini mengindikasikan, globalisasi
hukum ternyata lebih rumit dibanding globalisasi ekonomi. Globalisasi hukum
global state. Kondisi ini mirip dengan hukum sebagai alat kekuasaan sebagaimana terjadi pada negara-negara bangsa (negara nasional).
Dengan demikian. globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan hukum,
yang kini ini kian tak lagi gampang dikontrol oleh kekuasaan sentral negara
nasional, telah mengundang perhatian yang serius dari berbagai pengkaji dan
pembuat kebijakan di manapun, baik yang nasional maupun yang internasional.
Hukum berformat macam apakah yang kini ini mesti beroperasi di berbagai
kancah, mulai yang transnasional, nasional dan juga subnasional. Tatkala
negara-negara nasional terpaksa banyak membuka perbatasan-perbatasannya, dan
perubahan-perubahan kehidupan ekonomi – yang berimbas ke kehidupan politik,
sosial dan kultural – telah meningkatkan jumlah manusia berikut ide dan
ideologinya yang melintasi berbagai sekatan, masalah penataan tertib dan
kekuasaan struktural penertibnya akan menjadi pekerjaan rumah para pemimpin
masa depan. Walaupun globalisasi hukum merupakan sesuatu yang sukar
dihindari negara-negara nasional, namun dalam konteks ini menjadi paradoks,
sistem hukum global tumbuh dan berkembang, tapi ia tumbuh dan berkembang
tidak dalam ruang apa yang disebut dengan global state. Kalaupun kemudian diproyeksikan akan akan suatu era pasca modern dengan paradigmanya sendiri
yang lain, maka sistem hukum global yang sekarang berkembang belum
menemukan bentuknya yang ideal.
Apakah mungkin mengharapkan globalisasi hukum akan melahirkan suatu
sistem hukum suatu negara nasional yang kemudian bertindak atas nama tanggung
jawab internasional atau dengan dalih perdagangan global, memaksanakan sistem
hukumnya diterima suatu negara-negara bangsa. Kemungkinan itu bisa terjadi
apabila terdapat tergantungan ekonomi, perdagangan, investasi, politik dan
pertahanan dari suatu negara bangsa pada negara-negara yang selalu tampil dalam
memainkan peran tanggung jawab internasional. Untuk saat ini globalisasi hukum
yang berakar pada pengejawantahan tanggung jawab internasional itu, maka yang
paling logis bisa terjadi adalah impor sistem hukum. Meskipun kita tidak
melupakan adanya beberapa kesepakatan internasional yang melahirkan
lembaga-lembaga hukum lintas batas negara-negara bangsa seperti Mahkamah
Internasional, dan lain sebagainya.
Terlepas dari bagaimana hubungan yang menyelimuti antara hukum
nasional dan globalisasi hukum itu, berkaca pada apa yang mengarus pada
globalisasi ekonomi, maka globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi
dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian yang menyebar
melewati batas-batas negara. Globalisasi hukum dapat terjadi melalui perjanjian
dan konvensi internasional, hukum privat, dan institusi ekonomi baru. Globalisasi
hukum itu kemudian diikuti dengan praktek hukum, dimana antara lain konsultan
hukum suatu negara dan suatu sistem hukum, dapat bekerja dinegara lain yang
mempunyai sistem hukum yang berbeda. Akan tetapi dibalik globalisasi hukum ada hukum global.
Jika demikian halnya, maka dalam bertumbuhnya globalisasi sedemikian
pada apa yang digambarkan Paul Schiff Berman, “we need to realize that normative conflict among multiple, overlapping legal systems is unavoidable and might even sometimes be desirable, both as a source of alternative ideas and as a site for discourse among multiple community affiliations”.21
Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya yang berlimpah tetapi
tidak merata tersebut bagi pengembangan wilayah nasional secara berkelanjutan
dan menjamin kesejahteraan umum secara luas (public interest), diperlukan
intervensi kebijakan dan penanganan khusus oleh Pemerintah untuk pengelolaan
wilayah yang tertinggal. Hal ini seiring dengan agenda Kabinet Gotong Royong
untuk menormalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar bagi kehidupan
perekonomian rakyat melalui upaya pembangunan yang didasarkan atas sumber Persoalannya
menjadi tidak hanya sekedar menyangkut pertempuran hukum local (baca hukum
nasional) yang dihadapan pada globalisasi hukum, tetapi sekaligus dengan hukum
global. Persoalannya kemudian, bagaimana sistem hukum global bekerja dan
eksis.. hidup berdampingan dengan hukum nasional.
Indnesia memiliki kekayaan sumber daya alam. Kenyataan bahwa
sumberdaya yang berlimpah tersebut tidak merata berada di seluruh daerah. Hal
yang sama terjadi dengan sebaran sumberdaya manusia yang merupakan “aktor”
pembangunan tersebar juga tidak merata. Implikasi dari ketidak-merataan
keberadaan kedua sumberdaya tersebut adalah belum baiknya tingkat pelayanan
infrastruktur wilayah melayani kebutuhan wilayah dan masyarakat, terutama
daerah-daerah terisolir dan tertinggal.
21
daya setempat (resource-based development), dimana baik sumberdaya lautan dan daratan saat ini didorong pemanfaatannya, sebagai salah satu andalan bagi
pemulihan perekonomian nasional. Secara sederhana, pembangunan ekonomi
dapat dipahami sebagai upaya melakukan perubahan yang lebih baik dari
sebelumnya yang ditandai oleh membaiknya faktor-faktor produksi. Faktor-faktor
produksi tersebut adalah kesempatan kerja, investasi, dan teknologi yang
dipergunakan dalam proses produksi. Lebih lanjut, wujud dari membaiknya
ekonomi suatu wilayah diperlihatkan dengan membaiknya tingkat konsumsi
masyarakat, investasi swasta, investasi publik, ekspor dan impor yang dihasilkan
oleh suatu negara. Secara mudah, perekonomian wilayah yang meningkat dapat
diindikasikan dengan meningkatnya pergerakan barang dan masyarakat antar
wilayah.
Dalam konteks tersebut, pembangunan ekonomi merupakan pembangunan
yang a-spasial, yang berarti bahwa pembangunan ekonomi memandang wilayah nasional tersebut sebagai satu “entity”. Meningkatnya kinerja ekonomi nasional sering diterjemahkan dengan meningkatnya kinerja ekonomi seluruh
wilayah/daerah. Hal ini memberikan pengertian yang “bias”, karena hanya
beberapa wilayah/daerah yang dapat berkembang seperti nasional dan banyak
daerah yang tidak dapat berlaku seperti wilayah nasional. Wilayah Indonesia
terdiri sari 33 propinsi dengan 400an kabupaten/kota yang secara sosial ekonomi
dan budaya sangat beragam. Keberagaman ini memberikan perbedaan dalam
pembangunan ekonomi yang disepakati sulit mencapai tujuan dan sasaran yang
diharapkan pada semua daerah-daerah yang memiliki karakteristik sangat berbeda.
Pembangunan ekonomi wilayah memberikan perhatian yang luas terhadap
keunikan karakteristik wilayah (ruang). Pemahaman terhadap sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur dan kondisi kegiatan usaha
dari masing-masing daerah di Indonesia serta interaksi antar daerah (termasuk
diantara faktor-faktor produksi yang dimiliki) merupakan acuan dasar bagi
perumusan upaya pembangunan ekonomi nasional ke depan.
Tantangan pembangunan Indonesia ke depan sangat berat dan berbeda
dengan yang sebelumnya. Paling tidak ada 4 (empat) tantangan yang dihadapi
Indonesia, yaitu:
1) Otonomi daerah,
2) Pergeseran orientasi pembangunan sebagai negara maritim,
3) Ancaman dan sekaligus peluang globalisasi, serta
4) Kondisi objektif akibat krisis ekonomi.
Pertama, undang-undang otonomi daerah secara tegas meletakkan otonomi
daerah di daerah kabupaten/kota. Hal ini berarti telah terjadi penguatan yang nyata
dan legal terhadap kabupaten/kota dalam menetapkan arah dan target
pembangunannya sendiri. Di satu sisi, penguatan ini sangat penting karena secara
langsung permasalahaan yang dirasakan masyarakat di kabupaten/kota langsung
diupayakan diselesaikan melalui mekanisme yang ada di kabupaten/kota tersebut.
dan bahkan telah menciptakan konflik antar daerah yang bertetangga dan ancaman
terhadap kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedua, reorientasi pembangunan Indonesia ke depan adalah keunggulan
sebagai negara maritim. Wilayah kelautan dan pesisir beserta sumberdaya
alamnya memiliki makna strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena
dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional.
Ketiga, ancaman dan peluang dari globalisasi ekonomi terhadap Indonesia
yang terutama diindikasikan dengan hilangnya batas-batas negara dalam suatu
proses ekonomi global. Proses ekonomi global cenderung melibatkan banyak
negara sesuai dengan keunggulan kompetitifnya seperti sumberdaya manusia,
sumberdaya buatan/infrastruktur, penguasaan teknologi, inovasi proses produksi
dan produk, kebijakan pemerintah, keamanan, ketersediaan modal, jaringan bisnis
global, kemampuan dalam pemasaran dan distribusi global.
C. Bentuk-Bentuk Kerjasama antara Daerah dengan Lembaga Internasional
Perkembangan dunia yang semakin tak berbatas ini, membuat aktivitas
aktor-aktor di suatu negara makin berkembang. Negara tak lagi menjadi aktor
utama dalam melaksanakan peran-perannya dalam kancah hubungan
internasional. Pergeseran kedudukan negara telah digantikan dan diisi oleh
aktor-aktor lain, mulai dari organisasi internasional sampai ke tingkat individu.22
22
Salah satu bentuk peningkatan kapasitas diri adalah dengan melalui
kerjasama. Keinginan untuk bekerjasama tidak terbatas hanya dengan pemerintah
negara saja, tetapi mulai merambah ke pemerintah daerah di negara lain atau
denan Lembaga Internasional. Adanya kebijakan otonomi daerah menuntut
pemerintah daerah untuk lebih mandiri, tidak selalu tergantung pada pemerintah
pusat. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi
daerahnya, baik yang berupa potensi alam maupun manusia, untuk
memaksimalkan pendapatan asli daerah agar dapat melaksanakan pembangunan
demi meningkatkan taraf hidup masyarakat. Caranya adalah dengan mengadakan
kerjasama dengan daerah otonom lain. Tidak hanya kerjasama antar daerah
otonom di Indonesia, tetapi juga kerjasama dengan daerah (propinsi, kabupaten,
kota) di luar negeri maupun dengan Lembaga Internasional.
Kerjasama ini sangat menarik untuk dibicarakan, karena merupakan suatu
bentuk kerjasama internasional yang dapat dirasakan lebih dekat manfaatnya
karena bersifat lokal-internasional. Bisa dikatakan bahwa bentuk kerjasama ini
adalah praktek dari konsep think globally, act locally. Kerjasama ini bisa juga dikatakan sebagai “pembumian” dari konsep hubungan internasional yang sangat
luas dan besar.
Kerjasama begitu sangat dibutuhkan, perkembangan dan masa depan
negara akan menjadi lebih sulit bila tanpa menutup dirinya untuk tidak
mengadakan kontak kerja sama dengan negara lain. Itu sudah kodratnya, tidak ada
penyelesaian masalah yang dihadapi dengan sendirian, mereka butuh kerja sama
(Co-operate), terutama di bidang Ekonomi.
Pada awalnya, kerjasama ekonomi hanya sebatas pada kegiatan ekspor dan
impor saja. Tetapi dengan makin luasnya pengaruh globalisasi ekonomi, semakin
dirasakan dampaknya terhadap aktivitas pembangunan suatu negara. Bentuk kerja
sama antar negara yang akan kita bahas saat ini, tentunya tidak hanya terpaku
pada sektor trading (perdagangan) saja, tetapi bisa meluas sampai pada usaha
untuk ikut aktif dalam aktivitas pembangunan seperti investasi atau pendirian
cabang usaha baru di negara lain. Agar kerja sama tersebut berhasil dan
menguntungkan, maka kerja sama antarnegara tersebut diatur dalam suatu bentuk
organisasi resmi.23
1. Kerja Sama Bilateral
Bentuk-bentuk kerjasama antarnegara dapat digolongkan sebagai berikut :
Kerja sama bilateral merupakan kerja sama antar dua negara. Misalnya,
kerja sama ekonomi yang terjalin antara Indonesia dengan Singapura atau
Amerika dengan Arab Saudi. Kerja sama bilateral bertujuan untuk membina
hubungan yang telah ada serta menjalin hubungan kerja sama perdagangan
dengan negara mitra. Pemerintah Indonesia sendiri telah mentandatangani
perjanjian perdagangan dan ekonomi di Kawasan Asia Pasifik dengan 14 negara,
di Afrika dan Timur Tengah dengan 10 negara, di Eropa Timur dengan 9 negara,
di Eropa Barat dengan 12 negara dan di Amerika Latin dengan 7 negara.24
23
Sobri, Ekonomi Internasional, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM, Jogjakarta, 1999, hal 46.
24
Kerja sama bilateral, yang dikoordinasikan oleh Bagian Kerja Sama
Bilateral, lazimnya dapat dilaksanakan antara Indonesia dan suatu negara yang
memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dan keduanya telah
menandatangani “Persetujuan” atau Agreement, yang akan menjadi payung bagi semua bentuk kerja sama bilateral. Kerja sama bilateral dalam bidang pendidikan,
pemuda dan olahraga dituangkan dalam Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU), yang diikuti dengan kesepakatan pelaksanaannya yang dituangkan dalam “Pengaturan Pelaksanaan” atau Implementational Arrangements bersama Rencana Aksinya ( Action Plan ). 25
Kerja sama regional merupakan kerja sama antara negara-negara
sewilayah atau sekawasan. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan
perdagangan bebas antara negara di suatu kawasan tertentu. Bentuk kerja sama
regional sudah dijajaki oleh PBB melalui pembentukan komisi regional yang
dimulai dari Eropa, Asia Timur dan Amerika Latin. Komisi ini mengembangkan
kebijakan bersama untuk masalah pembangunan khususnya pada bidang ekonomi.
Kerja sama secara regional biasanya lebih pada hubungan dengan lokasi negara
serta berdasarkan alasan historis, geografis, teknik, sumber daya alam dan
pemasaran.
2. Kerja Sama Regional
26
Kerja sama regional pada dasarnya berkenaan dengan kerja sama
antarnegara-negara di Asia Tenggara yang dalam bidang pendidikan, ilmu
25
Ibid. hal 27.
26
pengetahuan dan kebudayaan dimulai pada Tahun 1965 ketika SEAMEO ( South-East Asia Ministers of Education Organization ) dibentuk dengan lima negara anggota, yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sekarang
anggota SEAMEO telah bertambah lima , yaitu Brunei Darussalam, Myanmar ,
Kamboja, Laos , dan Vietnam . Di samping itu, organisasi ini memiliki enam
associate members : Australia , Belanda, Kanada, Jerman, Perancis, dan Selandia
Baru. Selain itu, ada satu affiliate member, yaitu Norwegia. Sekretariat SEAMEO,
yang disebut SEAMES ( South-East Asia Ministers of Education Secretariat ), yang berkantor di Bangkok , dipimpin oleh seorang Direktur dengan masa bakti 3
(tiga) Tahun, yang direkrut dari negara-negara anggota secara bergiliran.
3. Kerja sama Multilateral
Kerja sama multilateral, yang dikoordinasikan oleh Bagian Kerja Sama
Multilateral, berurusan dengan kerja sama dengan badan-badan dunia yang
melibatkan sejumlah negara. Dalam melaksanakan program-program pendidikan,
pemuda dan olahraga yang memerlukan bantuan teknis asing, Depdiknas bekerja
sama dengan ADB ( Asian Development Bank ), WB ( World Bank ), dan IDB (
Islamic Development Bank) melalui program kemitraan. Kerja sama dengan badan-badan dunia ini dapat berupa pemberian hibah atau pinjaman, untuk
mendukung program-program yang dilaksanakan di dalam negeri maupun di luar
negeri, seperti pelatihan jangka pendek dan pendidikan pascasarjana. Kedua
bentuk kerja sama ini memerlukan persiapan yang melibatkan berbagai instansi
terkait, terutama BAPPENAS, KEMENKEU, KEMENLU, dan Sekretariat