• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Akibat Hapusnya Hak Atas Tanah Yang Diagunkan Karena Hak Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Akibat Hapusnya Hak Atas Tanah Yang Diagunkan Karena Hak Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan."

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN AKIBAT HAPUSNYA HAK ATAS TANAH YANG DIAGUNKAN KARENA HAK ATAS TANAH YANG DIBEBANI HAK

TANGGUNGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

K

K

I

I

K

K

I

I

R

R

I

I

N

N

A

A

Y

Y

A

A

NIM. 070200059

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN AKIBAT HAPUSNYA HAK ATAS TANAH YANG DIAGUNKAN KARENA HAK ATAS TANAH YANG DIBEBANI HAK

TANGGUNGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

K

K

I

I

K

K

I

I

R

R

I

I

N

N

A

A

Y

Y

A

A

NIM. 070200059

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

Pembimbing I

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

Pembimbing II

Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

ABSTRAK

Hapusnya hak atas tanah banyak terjadi karena lewatnya waktu, untuk mana hak itu diberikan. Hak-hak yang lebih rendah tingkatannya daripada hak milik seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai terbatas waktu berlakunya, sekalipun secara fisik masih tetap ada. Dengan berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan kembali kepada yang bersangkutan atau pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh negara, maka tanah tersebut kembali kepada kekuasaan negara.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan Hak Tanggungan sebagai hak salah satu bentuk hak jaminan, hapusnya hak atas tanah yang dibebani oleh Hak Tanggungan, dan kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it iswritten in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan bagi penyelesaian penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: “Analisis Yuridis Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Akibat Hapusnya Hak Atas Tanah yang Diagunkan

Karena Hak Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan”.

Pelaksanaan pendidikan guna memperoleh gelar sarjana ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.. Penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu diharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada:

(5)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Perdata Dagang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 7. Seluruh staf Departemen Hukum Perdata Dagang Fakultas Hukum USU. 8. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU.

9. Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dan memberi kesempatan untuk berjuang menuntut ilmu sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.

10.Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian yang sangat besar yang selalu mendukungku terima kasih kepada seluruh keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

11.Kepada teman-teman, khusunya stambuk 2006 Fakultas Hukum USU yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.

(6)

Demikianlah yang dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 12 Desember 2011

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN ... 22

A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan ... 22

B. Unsur-Unsur Hak Tanggungan ... 24

C. Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan ... 25

D. Subjek dan Objek Hak Tanggungan ... 31

E. Tahap-tahap Pembebanan Hak Tanggungan... 37

BAB III HAPUSNYA HAK ATAS TANAH OBJEK HAK TANGGUNGAN ... 39

A. Pengertian Hak Atas Tanah ... 39

B. Hak Atas Tanah Sebagai Objek Hak Tanggungan ... 42

(8)

BAB IV KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN AKIBAT HAPUSNYA HAK ATAS TANAH YANG DIAGUNKAN KARENA HAK ATAS TANAH YANG

DIBEBANI HAK TANGGUNGAN ... 50

A. Akibat Hukum Hapusnya Hak Atas Tanah yang Diagunkan terhadap Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan ... 50

B. Upaya yang Dapat Dilakukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Untuk Mengantisipasi Hapusnya Hak Atas Tanah yang Dijaminkan ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71

(9)

ABSTRAK

Hapusnya hak atas tanah banyak terjadi karena lewatnya waktu, untuk mana hak itu diberikan. Hak-hak yang lebih rendah tingkatannya daripada hak milik seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai terbatas waktu berlakunya, sekalipun secara fisik masih tetap ada. Dengan berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan kembali kepada yang bersangkutan atau pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh negara, maka tanah tersebut kembali kepada kekuasaan negara.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan Hak Tanggungan sebagai hak salah satu bentuk hak jaminan, hapusnya hak atas tanah yang dibebani oleh Hak Tanggungan, dan kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it iswritten in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tersedianya dana, salah satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan permohonan kredit yang diberikan perbankan nasional. Peranan bank seperti yang tersurat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) yaitu sebagai penyalur dana untuk masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dapat digunakan sebagai tambahan dana yang diperlukan bagi kegiatan usaha para nasabah debitur, tambahan dana tersebut sangat menunjang kegiatan bisnis pada khususnya dan kegiatan ekonomi pada umumnya.

Penyaluran dana (fund lending) adalah kegiatan usaha meminjamkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit (utang). Menurut Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.1

1

(11)

Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur didasarkan atas kepercayaan dan harus dilakukan dengan hati-hati2 karena kredit yang diberikan selalu mengandung risiko, selain permasalahan kredit yang macet, juga ada permasalahan wanprestasi, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar batas waktu atau tidak melaksanakan ketentuan yang ada di dalam perjanjian kredit, bila ini terjadi bank akan mengalami kerugian. Maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu bank mengadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usaha, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman.3

Lebih lanjut tentang jaminan atau agunan di dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang ditegaskan bahwa: ”Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibanya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur.

2

Dalam pemberian kredit atau pembiayaan bank selalu melakukan analisis kridit yang merupakan salah satu upaya untuk memenuhi asas prinsip kehati-hatian (prudential banking principle)

3

(12)

Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembangkan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.

Di dalam ketentuan Pasal 1 butir 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa: “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”, oleh karena itu agunan tersebut merupakan upaya preventif, apabila kemudian hari pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama dengan kata lain akan melahirkan kredit macet.4

Apabila terjadi wanprestasi akan berlaku ketentuan jaminan secara umum yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang mengatakan: Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa; Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para debitur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kedua Pasal ini memberi jaminan kepastian hukum kepada kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap terpenuhi dengan adanya jaminan dari

4

(13)

kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari. Adapun hubungan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata adalah bahwa kekayaan debitur merupakan jaminan bersama bagi semua kreditur dengan hak mendahului (right preferens).

Permintaan jaminan khusus oleh bank dalam penyaluran kredit tersebut merupakan realisasi dari prinsip kehati-hatian bank sebagaimana ditentukan Undang-undang Perbankan. Jaminan kebendaan mempunyai posisi paling dominan dan dianggap strategis dalam penyaluran kredit bank. Jaminan kebendaan yang paling banyak diminta oleh bank adalah berupa tanah karena secara ekonomis tanah mempunyai prospek yang menguntungkan.

Kelahiran Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya cukup disebut UUHT) dapat mengakomodasi kebutuhan lembaga perbankan sebagai upaya mengamankan kredit yang disalurkan kepada masyarakat. Menurut ketentuan Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah:

”Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”.5

5

(14)

Pasal 8 ayat (2) UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan) menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan (memberikan hak tanggungan) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yag telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidak mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksudkan oleh UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), sebagai “benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.

Pasal 18 UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), menetapkan bahwa peristiwa-peristiwa apa saja yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. Dari cara penyebutannya, orang bisa menyimpulkan, bahwa yang menjadi maksud dari pembuat Undang-undang untuk menentukan secara limitatif peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.

(15)

hapusnya hak atas tanah. Hapusnya hak atas tanah dapat ditafsirkan fisik tanah/persilnya yang hapus maupun “hak” atas tanahnya. Hapusnya tanah dalam arti fisik jarang sekali terjadi dan hanya bisa terjadi karena tanah tersebut tertimbun total, misalnya oleh tanah lain sebagai akibat letusan gunung berapi atau tertutup air, atau karena gerusan air sungai sebagai akibat berpindahnya alur air, sehingga merendam tanah yang bersangkutan, atau terkena tsunami seperti bencana yang terjadi di Aceh atau dapat pula yang terjadi karena perbuatan yang disengaja seperti pada perendaman desa untuk pembuatan waduk.

Hapusnya hak atas tanah banyak terjadi karena lewatnya waktu, untuk mana hak itu diberikan. Hak-hak yang lebih rendah tingkatannya daripada hak milik seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai terbatas waktu berlakunya, sekalipun secara fisik masih tetap ada. Dengan berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan kembali kepada yang bersangkutan kembali atau pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh negara, maka tanah tersebut kembali kepada kekuasaan negara.

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimanakah kedudukan Hak Tanggungan sebagai hak salah satu bentuk hak jaminan?

2. Bagaimanakah hapusnya hak atas tanah yang dibebani oleh Hak Tanggungan?

(16)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan Hak Tanggungan sebagai hak salah satu bentuk hak jaminan.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis hapusnya hak atas tanah yang dibebani oleh Hak Tanggungan.

c. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan.

2. Manfaat

a. Teoritis

Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan pengetahuan ilmu hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum pidana terkait dengan peran pembimbing kemasyarakatan dalam perlindungan hak anak.

b. Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menentukan kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan jika terjadi hapusnya Hak Tanggungan.

2) Sebagai sumbang saran bagi instasni terkait, khususnya dalam dunia perbankan.

(17)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Unversitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Akibat Hapusnya Hak Atas Tanah yang Diagunkan Karena Hak Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan”. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai objektivitas dan kejujuran.

E. Tinjauan kepustakaan

Dalam peraturan perundang-undangan telah memberikan pengaman kepada kreditur dalam menyalurkan kredit kepada debitur, yakni dengan memberikan jaminan umum menurut Pasal 1131 dan 1132 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut KUH Perdata), yang menentukan bahwa semua harta kekayaan (kebendaan) debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan atas seluruh perikatannya dengan kreditur. Apabila terjadi wanprestasi maka seluruh harta benda debitur dijual lelang dan dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur. Namun perlindungan yang berasal dari jaminan umum tersebut dirasakan belum memberikan rasa aman bagi kreditur, sehingga dalam praktik penyaluran kredit, bank memandang perlu untuk meminta jaminan khusus terutama yang bersifat kebendaan.

(18)

Perbankan. Dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa:

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”

Disamping itu dalam ilmu Ekonomi Perbankan terdapat suatu azas yang harus diperhatikan oleh Bank sebelum mamberikan kredit kepada nasabahnya yaitu yang dikenal dengan istilah The five C’s of Credit, artinya pada pemberian kredit tersebut harus diperhatikan lima faktor, yaitu Character (karakter), Capacity (kemampuan mengembalikan utang), Collateral (jaminan), Capital (modal), dan Condition (situasi dan kondisi).

Di dalam setiap kredit selalu diperlukan jaminan atau anggunan. Adapun jaminan yang dapat diberikan berbentuk benda tidak bergerak (tetap), misalnya tanah, rumah, dan pekarangan,sawah, ladang, tambak dan lain sebagainya. Sebetulnya yang dijadikan jaminan disini adalah hak atas tanah tersebut diatas. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 (Pasal 28) dijadikan jaminan hutang dengan di bebani Hak Tanggungan6

1. Hak Milik;

antara lain:

2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan.

Obyek Hak Tanggungan sebagaimana dijelaskan pada Pasal 28 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) Nomor 5 Tahun 1960 diatas sekarang telah diatur dengan adanya UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), Nomor 4

6

(19)

Tahun 1996 yang disebutkan pada Pasal 4 ayat (1), Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah:

1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan.

Selain Hak-hak atas tanah diatas disebutkan juga pada Pasal 2 UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), Hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar menurut sifatnya dapat dipindah tangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan,dan juga disebutkan pada Pasal 4 UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan juga disebutkan pada Pasal 27 bahwa:

”Ketentuan undang-undang ini berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun”. Adapun fungsi daripada jaminan tersebut adalah demi keamanan modal yang diberikan oleh kreditur kepada debitur (si pemberi modal). Hal ini memang sudah sewajarnyalah hak-hak dari kreditur harus dilindungi dan disinilah letak arti penting lembaga jaminan. Kebijakan yang longgar dalam perkreditan juga sangat diperlukan demi perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah yaitu para petani kecil, pedagang kecil, para pegawai kecil. Mereka semua itu memerlukan kredit untuk mengembangkan usahanya disamping kurang mampunya untuk memberikan jaminan yang memadai untuk jaminan bagi kredit yang diperlukan.

(20)

diminta oleh bank adalah berupa tanah karena secara ekonomis tanah mempunyai prospek yang menguntungkan. Dalam praktek terlihat, bahwa sebagian besar benda yang menjadi objek jaminan adalah tanah. Hal ini dikarenakan tanah mempunyai nilai ekonomi yang senantiasa meningkat. Kondisi yang demikian ini disebabkan oleh nilai permintaan dan ketersediaan barang (tanah) yang senantiasa semakin besar.

Sesuai dengan hukum ekonomi, kondisi ini mengakibatkan nilai tanah cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kenyataan diatas telah menempatkan tanah sebagai benda jaminan yang ideal. Tanah memilik peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujukan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Oleh karena itu pengaturan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib dibidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud.

(21)

Tujuan utama diberlakukannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) adalah untuk memberikan pengaturan penggunaan dan penguasaan tanah selain itu, juga terlihat dalam konsideran UUPA dibagian berpendapat yang antara lain menyebutkan:7

“Perlu adanya hukum agraria, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia “

“Bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai dimaksud diatas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria “ Dengan demikian jelaslah tujuan pemberlakuan UUPA (Undang- Undang Pokok Agraria) tersebut adalah untuk menghilangkan sifat dualisme dalam hukum tanah nasional, yang berarti terciptanya unifikasi hukum tanah nasional dan terciptanya kepastian hukum mengenai hak atas tanah, disamping tercapainya fungsi tanah secara optimal sesuai dengan perkembangan kebutuhan rakyat Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mengenai hak tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,8 selanjutnya disingkat UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan).

7

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Op. cit, hal. 550

8

(22)

Pasal 1 ayat (1) UUHT: ”dinyatakan bahwa Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”.

Sebagaimana yang terkandung dalam UUHT, maka unsur-unsur pokok Hak Tanggungan antara lain:9

1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang; 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA;

3. Hak Tanggungan dapat dibebankan terhadap tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;

4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu;

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain.

Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.

Mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian “kedudukan yang diutamakan kepada kreditur-kreditur lain” tidak dijumpai di dalam penjelasan Pasal 1 tersebut, tetapi dijumpai di bagian lain dalam UUHT, yaitu di dalam

9

(23)

Angka 4 Penjelasan Umum UUHT. Dijelaskan dalam Penjelasan Umum itu bahwa yang dimaksud dengan “memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain” ialah: “bahwa jika kreditur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain.

Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”. Mencermati pengertian Hak Tanggungan yang terdapat pada Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 1996, dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Menelaah dengan saksama terhadap kalimat "kedudukan yang diutamakan kepadakreditur tertentu kepada kreditur lain", hal ini tidak dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 maupun penjelasannya, namun kalimat tersebut dapat diketemukan dalam penjelasan umum Undang-Undang Hukum Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan bahwa:

”Bahwa jika debitur cedera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku”.

Selain dalam penjelasan umum UUHT, ditemukan pengertian mengenai kalimat "kedudukan yang diutamakan tertentu terhadap kreditur lain, juga dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ketentuan yang berbunyi bahwa:

(24)

dimaksud dalam Pasal 6; atau (b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditemukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya.

Pasal 8 ayat (2) UUHT, menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan (memberikan Hak Tanggungan) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan.

Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidak mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada dikemudian hari. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT. Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksudkan oleh UUHT sebagai “Benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.

(25)

Hak Tanggungan. Dalam Pasal 18 UUHT disebutkan mengenai hapusnya Hak Tanggungan Yaitu:

(1) Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh

Ketua Pengadilan Negeri;

d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

(2) Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.

(3) Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.

(4) Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.

(26)

milik seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai terbatas waktu berlakunya, sekalipun secara fisik masih tetap ada. Dengan berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan kembali kepada yang bersangkutan kembali atau pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh negara, maka tanah tersebut kembali kepada kekuasaan negara.

F. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.10

Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku tentang kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

10

(27)

2. Sumber Data

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.11

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Perubahannya dan peraturan lain yang terkait.

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

11

(28)

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

A. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN, yang memuat tentang Dasar hukum dan pengertian Hak Tanggungan, Unsur-unsur Hak Tanggungan, Ciri-ciri dan sifat Hak Tanggungan, Subjek dan objek Hak Tanggungan, Tahap-tahap pembebanan Hak Tanggungan.

(29)

BAB IV: Bab ini akan membahas tentang kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan, yang membahas dan menganalisa akibat hukum hapusnya hak atas tanah yang diagunkan, kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan

(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

SEBAGAI HAK JAMINAN

A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis kedua-duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan ketetapan MPRS Nomor II/MPR/1960 yang intinya memperkuat adanya unifikasi hukum tersebut.

Sebelum berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dalam hukum dikenal lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yaitu: jika yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah Hipotik, sedangkan Hak Milik dapat sebagai obyek Credietverband. Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband atas tanah masih tetap berdasarkan ketentuan-ketentuan KUH Perdata dan Stb 1908 Nomor 542 jo Stb 1937 Nomor 190 yaitu misalnya mengenai hak-hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai asas-asas Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam Hipotik dan Credietverband.12

Dengan berlakunya UUPA, (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah baru yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan

12

(31)

sebagai obyek yang dapat dibebaninya Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik dapat sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA. Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1996 telah diundangkan pada Tanggal 9 April 1996 yang berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang tersebut.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima. Dalam penjelasan umum UU Nomor 4 Tahun 1996 butir 6 dinyatakan bahwa Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang ini pada dasarnya adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada Hak atas tanah. Namun pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut.

Dari uraian di atas Hak Tanggungan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Hak Tanggungan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan pengaturan tentang Hak Tanggungan atas benda-benda tetap lain selain dari pada tanah. Apabila membahas pengertian Hak Tanggungan, maka banyak pendapat yang dikemukakan, diantaranya pengertian Hak Tanggungan menurut St. Remy Syahdeni menyatakan bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan definisi yaitu Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan.13

Sedangkan menurut E. Liliawati Muljono, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

13

(32)

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur yang lain.14

Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur yang lain.

B. Unsur-Unsur Hak Tanggungan

Hak Tanggungan adalah jaminan atas tanah dan tidak termasuk gadai, kreditur hanya menguasai tanah dan rumah secara yuridis saja berdasarkan Undang-undang Hak Tanggungan. Debitur tetap merupakan pemegang hak tanah yang bersangkutan yang menguasai secara yuridis dan fisik hak atas tanah tersebut.

Beranjak dari pengertian di atas, dapat ditarik unsur pokok dari Hak Tanggungan, sebagai berikut:15

1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang. 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA

3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;

4. Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu;

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

14

Eugenia Liliawati Mulyono, Op. cit, hal. 2.

15

(33)

C. Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan

Ciri Hak Tanggungan adalah:16

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference.

2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitur cedera janji;

3. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan; dan

4. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.

Ciri-ciri di atas selalu melekat pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio bahwa:17

1. hak jaminan;

ciri-ciri Hak Tanggungan dapat dilihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang- Undang Hak Tanggungan, suatu Pasal yang hendak memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan yang antara lain menyebutkan ciri:

2. atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah yang bersangkutan;

16

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 98.

17

(34)

3. untuk pelunasan suatu hutang;

4. memberikan kedudukan yang diutamakan.

Bila dibandingkan ciri-ciri yang dikemukakan dua sarjana di atas, maka ciri yang ditampilkan berbeda dasar pengaturannya yaitu Pasal 3 dan Pasal 1 Undang-Undang Hak Tanggungan sedangkan yang sama hanyalah mengenai kedudukan yang diutamakan.

Apabila mengacu beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka terdapat beberapa sifat dan asas dari Hak Tanggungan.Adapun sifat dari hak tangggungan adalah sebagai berikut:

1. Hak Tanggungan mempunyai sifat hak didahulukan, yakni memiliki kedudukan yang diutamakan bagi kreditur tertentu terhadap kreditur lain (droit de preference) dinyatakan dalam pengertian Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undangundang Nomor 4 Tahun 1996:

“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”,

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 pada angka 4 menyatakan:

“Bahwa apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelengan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.

(35)

(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan: “Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi ,kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan juga di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:

“Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan hutang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan,yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi”.

3. Hak Tanggungan mempunyai sifat membebani berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanah juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,…. Hak Tanggungan dapat saja dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.18

18

(36)

4. Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir Hak Tanggungan menurut sifat accessoir dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 angka 8 menentukan bahwa,

“Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”

Lebih lanjut Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa:

“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lain yang menimbulkan hutang tersebut”.

Kemudian dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan: “Hak Tanggungan hapus karena hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.” Perjanjian pembebanan Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena ada perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin. Dengan kata lain, perjanjian pembebanan Hak Tanggungan adalah pejanjian accessoir. 5. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat diberikan lebih dari satu hutang.

(37)

“Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.”

6. Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:

“Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”.

Dengan demikian Hak Tanggungan tidak akan hapus sekalipun objek Hak Tanggungan itu berada pada pihak lain.

7. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat beralih dan dialihkan. Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:

“Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi ,pewarisan ,atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditur yang baru.”

Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan karena mungkin piutang yang dijaminkan itu dapat beralih dan dialihkan. Ketentuan bahwa Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan yaitu dengan terjadinya peralihan atau perpindahan hak milik atas piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut atau Hak Tanggungan beralih karena beralihnya perikatan pokok.19

19

(38)

8. Hak Tanggungan mempunyai sifat pelaksanaan eksekusi yang mudah Menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan: “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan dibawah kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.

Dengan sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan hutang. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang untuk melakukan pelelangan objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.

D. Subjek dan Objek Hak Tanggungan

Subjek Hak Tanggungan adalah: 1. Pemberi Hak Tanggungan

Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.20

20

(39)

Penyebutan “orang perseorangan” atau “badan hukum” adalah berlebihan, karena dalam pemberian Hak Tanggungan objek yang dijaminkan pada pokoknya adalah tanah, dan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang bisa mempunyai hak atas tanah adalah baik orang perserorangan maupun badan hukum vide Pasal 21, Pasal 30, Pasal 36, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Untuk masing-masing hak atas tanah, sudah tentu pemberi Hak Tanggungan sebagai pemilik hak atas tanah harus memenuhi syarat pemilikan tanahnya, seperti ditentukan sendiri-sendiri dalam undang-undang.

Selanjutnya syarat, bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan hukum atas objek yang dijaminkan adalah kurang lengkap, karena yang namanya tindakan hukum bisa meliputi, baik tindakan pengurusan atau beschikkingsdaden, padahal tindakan menjaminkan merupakan tindakan pemilikan –bukan pengurusan, yang tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi, lebih baik disebutkan, bahwa syaratnya adalah pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan tindakan pemilikan atas benda jaminan.

(40)

pembuat undang-undang untuk menampung kebutuhan praktik, dimana orang bisa menjaminkan persil, yang masih akan dibeli dengan uang kredit dari kreditur.

Praktiknya, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah banyak Kantor Pertanahan yang ragu-ragu atau menolak pendaftaran hipotik jika kreditur merupakan orang perorangan. Hal ini rupanya diantisipasi oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, sehingga kini orang perorangan dimungkinkan secara tegas sebagai penerima Hak Tanggungan. Walaupun demikian sejauh mungkin harus dicegah adanya praktik renternir, yang menyalahgunakan peraturan Hak Tanggungan ini.21

2. Pemegang Hak Tanggungan

Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.22

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menyebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai kreditur.

Penerima Hak Tanggungan, yang sesudah pemasangan Hak Tanggungan akan menjadi pemegang Hak Tanggungan, yang adalah juga kreditur dalam perikatan pokok, juga bisa orang perseorangan maupun badan hukum. Di sini tidak ada kaitannya dengan syarat pemilikan tanah, karena pemegang Hak Tanggungan memegang jaminan pada asasnya tidak dengan maksud untuk nantinya, kalau debitur wanprestasi, memiliki persil jaminan.

21

M. Ridhwan Indra, Mengenal Undang-Undang Hak Tanggungan, Cetakan Pertama (Jakarta: Cv Trisula, 1997), hal. 22.

22

(41)

Menentukan siapa yang bisa menjadi pemegang Hak Tanggungan tidak sesulit menentukan siapa yang bisa bertindak sebagai pemberi Hak Tanggungan. Karena seorang pemegang Hak Tanggungan tidak berkaitan dengan pemilikan tanah dan pada asasnya bukan orang yang bermaksud untuk memiliki objek Hak Tanggungan bahkan memperjanjikan. Bahwa objek Hak Tanggungan akan menjadi milik pemegang Hak Tanggungan, kalau debitur wanprestasi adalah batal demi hukum sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Berdasarkan penegasan bahwa yang bisa bertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan adalah “orang-perseorangan” atau “badan hukum”, dapat disimpulkan bahwa yang bisa menjadi pemegang Hak Tanggungan adalah orang alamiah ataupun badan hukum, yang namanya badan hukum bisa Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perkumpulan yang telah memperoleh status sebagai badan hukum ataupun yayasan. Diatas tidak disebutkan Perseroan Komanditer atau commanditer venootschap. Ini membawa persoalan lain, yaitu apakah Perseroan Komanditer bisa bertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan, mengingat bahwa Perseroan Komanditer di indonesia belum secara resmi diakui sebagai badan hukum, sekalipun harus diakui, dalam praktik sehari-hari terlihat adanya pengakuan secara tidak resmi dari anggota masyarakat, seakan-akan Perseroan Komanditer bisa mempunyai hak dan kewajiban sendiri?23

Objek Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, adalah hak atas tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

23

(42)

menentukan yang dapat menjadi objek Hak Tanggungan adalah Hak Pakai Atas Tanah Negara. Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 1996, terdapat dua unsur mutlak dari Hak Atas Tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan adalah:

1. “Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum, dalam hal ini Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferen) yang diberikan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas).

2. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan sehingga apabila diperlukan harus dapat segera direalisasi untuk membayar hutang yang dijamin pelunasannya”.

Salim HS mengemukakan bahwa, hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:24

1. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin berupa uang;

2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;

3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji benda yang dijaminkan hutang akan dijual dimuka umum; dan

4. Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.

Objek Hak Tanggungan menurut Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah Hak Milik. Menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor

24

(43)

5 Tahun 1960 Hak Milik adalah hak turun-temurun,terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menentukan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Mengenai pengertian terkuat dan terpenuh sebagaimana dikemukakan oleh Budi Harsono, bahwa maksud pernyataan itu adalah untuk menunjukan bahwa diantara hak-hak atas tanah Hak Milik Yang “ter” (dalam arti “paling”) kuat dan “terpenuh”, yaitu mengenai tidak adanya batas waktu penguasaan tanahnya dan luas lingkup penggunaannya, yang meliputi baik untuk diusahakan atau digunakan sebagai tempat membangun sesuatu.25

Lebih lanjut kata-kata terkuat dan terpenuh dinyatakan oleh AP. Parlindungan, bahwa maksudnya untuk membedakan Hak Milik dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan hak-hak lainnya, untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dimiliki orang, Hak Milik yang paling kuat dan penuh.

26

Hak Guna Usaha merupakan objek Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, menentukan Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Selanjutnya Hak Guna Usaha sebagimana Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian,perikanan atau peternakan.

Hak Pakai Atas Negara sebagai objek Hak Tanggungan menurut Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:”Hak Pakai Atas

25

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Op. cit, hal. 390

26

(44)

Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dan dapat juga dibebani Hak Tanggungan”.

AP.Perlindungan mengemukakan bahwa pengertian Hak Pakai sebagai objek Hak Tanggungan adalah:27

”Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau tanah memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi kewenangan atau kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hak Pakai menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 berkedudukan sebagai objek Hak Tanggungan adalah mengingat bahwa hak pakai diatas tanah Negara merupakan hak atas tanah yang wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankan seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan dengan demikian memenuhi asas publisitas sehingga tanah yang berstatus hak pakai itupun dapat menjadi objek Hak Tanggungan”

E. Tahap-tahap Pembebanan Hak Tanggungan

Proses pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan. Pasal 10 mengatur tata cara pemberian Hak Tanggungan secara langsung, sedangkan Pasal 15 mengatur tentang pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada penerima kuasa. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:28

1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya APHT (AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN) oleh PPAT (PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH), yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin ;

27

Ibid, hal. 7.

28

(45)

2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

(46)

BAB III

HAPUSNYA HAK ATAS TANAH OBJEK HAK TANGGUNGAN

A. Pengertian Hak Atas Tanah

Tanah sebagai sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu sudah sewajarnya apabila tanah dikelola dengan sebaik-baiknya agar pemanfaatannya dapat memberikan kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.29

Tanah adalah permukaan bumi, demikian dinyatakan dalam Pasal 4 Undang- Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA”). Dengan demikian hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.30

Hak atas tanah dengan demikian mengandung kewenangan, sekaligus kewajiban bagi pemegang haknya untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari satu bidang tanah tertentu yang dihaki. Pemakaiannya mengandung kewajiban untuk memelihara kelestarian kemampuannya dan mencegah kerusakannya, sesuai tujuan pemberian dan isi haknya serta peruntukan tanahnya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah daerah yang bersangkutan.

31

29

Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hal. 19.

30

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Op. cit, hal. 63

31

(47)

Namun demikian pemegang hak atas tanah tidak dibenarkan untuk berbuat sewenang-wenang atas tanahnya, karena disamping kewenangan yang dimilikinya ia juga mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu dan harus memperhatikan larangan-larangan yang berlaku baginya. Fungsi sosial atas setiap hak atas tanah juga harus senantiasa menjadi pedoman bagi pemegang hak atas tanah.32

Sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah Hukum Adat. Pembangunan hukum tanah nasional secara yuridis formal menjadikan hukum adat sebagai sumber utama, sehingga segala bahan yang dibutuhkan dalam hukum tanah nasional sumbernya tetap mengacu kepada hukum adat, baik berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya. Konsepsi, asas-asas dan lembaga- lembaga hukumnya tersebut merupakan masukan bagi rumusan yang akan diangkat menjadi norma-norma hukum tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat.33

Hukum adat bukan hanya merupakan sumber utama hukum tanah nasional, melainkan ketentuan-ketentuannya yang pada kenyataannya masih berlaku, tidak berada di luar, melainkan merupakan bagian dari hukum tanah nasional, sepanjang belum mendapat pengaturan dan tidak bertentangan dengan hukum nasional yang tertulis (Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria).

34

Dalam konsep Undang-Undang Pokok Agraria, tanah di seluruh wilayah Indonesia bukanlah milik Negara Republik Indonesia, melainkan adalah hak milik seluruh Bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia

32

Arie Sukanti Hutagalung, Op. cit, hal. 19.

33

Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 53

34

(48)

Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Atas dasar hak menguasai dari Negara itu, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum (Pasal 4 ayat (1) UUPA). Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA menyebutkan bahwa hak atas tanah memberikan wewenang kepada yang berhak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.

Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembedaan diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.35

B. Hak Atas Tanah Sebagai Objek Hak Tanggungan

Dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, yang membutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, untuk itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat serta mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partIsipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun di dalam Pasal 1131 KUH Perdata dikatakan bahwa segala kebendaan orang yang berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang

35

(49)

akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan, namun sering orang tidak merasa puas dengan jaminan yang dirumuskan secara umum. Oleh karena itu, bank perlu meminta supaya benda tertentu dapat dijadikan jaminan yang diikat secara yuridis. Dengan demikian, apabila debitur tidak menepati janjinya, bank dapat melaksanakan haknya dengan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur lainnya untuk mendapatkan pelunasan piutangnya.

Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Sebab tanah, pada umumnya, mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani Hak Tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur.36

Didalam UUPA, hak jaminan atas tanah yang dinamakan Hak Tanggungan mendapat pengaturan dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39, Pasal 51 dan Pasal 57. Di dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 UUPA, ditetapkan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, yaitu tanah dengan status hak milik, hak guna usaha serta hak guna bangunan.

Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan itu akan diatur dengan undang dan dalam Pasal 57 UUPA, dinyatakan bahwa selama undang-undang tersebut belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan mengenai Hipotik dan Creditverband. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, ketentuan-ketentuan mengenai hipotik atas tanah yang terdapat dalam Buku II KUH Perdata dan ketentuan-ketentuan mengenai

36

(50)

Creditverband yang terdapat dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, karena dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia.37

Terbitnya UUHT ini sangat berarti terutama didalam menciptakan unifikasi hukum tanah nasional, khususnya di bidang hak jaminan atas tanah.38 Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, disebutkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Hak Tanggungan ini merupakan lembaga hak jaminan yang kuat atas benda tidak bergerak berupa tanah yang dijadikan jaminan, karena memberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan dibandingkan dengan kreditur lainnya.39

Lembaga Hak Tanggungan sebagai perwujudan amanat Pasal 51 juncto Pasal 57 UUPA, berlandaskan pada hukum adat yang menganut asas pemisahan horizontal yang menyatakan bahwa tanah terpisah dengan segala sesuatu yang berada diatasnya. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bila hukum adat tidak mengenal hak kebendaan sebagaimana dalam hukum perdata barat. Searah dengan hal itu, apabila Hak Tanggungan mendasarkan diri secara konsisten pada hukum Dengan demikian, dari uraian diatas dapat dirasakan bahwa masalah jaminan ini sangat penting dalam rangka pelaksanaan pemberian kredit.

37

A.P Parlindungan II, Op. cit, hal.13

38

Naning Indratni, UUHT Menciptakan Unifikasi Hukum Tanah Nasional, Suara Pembaruan 31 Maret 1996

39

(51)

adat maka ia tidak mempunyai ciri-ciri khusus sebagaimana yang dimiliki oleh hypotheek yang dilekati hak kebendaan.

Ciri-ciri yang menonjol dari Hak Tanggungan yang menyebabkan memberikan jaminan kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi bank sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat baik melalui simpanan giro, tabungan dan menyalurkan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat berupa pinjaman kredit:40

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya (droit de preference);

2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada (droit de suite);

3. Hak Tanggungan bersifat mutlak; 4. Mudah dan pasti eksekusinya;

Khusus untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah untuk Rumah Tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik, berlaku ketentuan sebagaimana dibawah ini:41

1. Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.

2. Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan dihapus.

40

Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 18

41

(52)

3. Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar hapusnya Hak Tanggungan yang membebani Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik, bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.

4. Untuk melindungi kepentingan kreditur / bank yang semula dijamin dengan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut dengan SKMHT) dengan objek Hak Milik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut.

5. Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanah dapat membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.

(53)

Terhadap ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:42

1. Jangka waktu SKMHT berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 jangka waktu SKMHT terbatas yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan ayat (5) UUHT

2. Peringkat SKMHT tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa SKMHT. Akan tetapi, mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah Hak Milik yang bidang tanahnya adalah sama dengan bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebelumnya dan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin sebelumnya dan krediturnya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat dibuat SKMHT, seyogianya adalah sesuai dengan peringkat yang termuat dalam sertifikat Hak Tanggungan yang semula membebani tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Kreditur pemegang SKMHT ini haruslah kreditur yang semula pemegang Hak Tanggungan, sebab ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang tanahnya sedang dimohonkan perubahan hak atas tanah.

3. Atas perubahan hak, bagi kreditur perlu memperhatikan bahwa terdapat periode dimana kreditur tidak lagi menjadi kreditur preferen, yaitu sejak Hak Tanggungan hapus (pada saat Hak Milik terdaftar) sampai saat Hak

42

(54)

Tanggungan terdaftar. Pada periode tersebut, kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur pemegang SKMHT. Mengingat bahwa APHT hanya dapat dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode tersebut memakan waktu sesuai dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan definisi atau pengertian Hak Tanggungan sebagai hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

”Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa Hak Tanggungan yaitu Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

UUHT sendiri memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, di dalam Pasal 1 ayat

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tersebut, disebutkan bahwa: Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

Pasal 1 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 tahun 1960, berikut atau tidak berikut benda- benda

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT) disebutkan bahwa hak tanggungan atas tanah dan beserta dengan

Menurut Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1